PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI
TRI UTAMI HASTUTI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Tri Utami Hastuti NIM F34090028
ABSTRAK TRI UTAMI HASTUTI. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati. Dibimbing oleh ONO SUPARNO. Penyamakan kulit merupakan cara untuk mengubah kulit mentah yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis) menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut. Penyamakan kombinasi adalah penyamakan dengan dua atau lebih bahan penyamak, dengan tujuan saling melengkapi karena setiap bahan penyamak memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Penyamakan dengan krom memiliki beberapa kelebihan diantaranya kulit yang dihasilkan bersifat lemas, tahan terhadap panas tinggi, dan kuat tarik tinggi. Penggunaan bahan penyamak nabati dalam penyamakan kulit akan memengaruhi sifat-sifat fisik, yakni kuat tarik, kuat sobek, maupun sifat-sifat fisik lainnya. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penyamak nabati terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit ikan tuna pada penyamakan kombinasi kulit ikan tuna, menentukan jenis bahan dan konsentrasi penyamak nabati yang terbaik untuk penyamakan kulit ikan tuna, menentukan sifat-sifat kulit tuna yang dihasilkan, dan menghitung nilai tambah kulit ikan tuna hasil samak kombinasi. Bahan penyamak yang digunakan adalah krom dengan konsentrasi sebesar 8% dan bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho) dengan konsentrasi masing-masing (10%, 15%, dan 20%). Respon yang diamati pada penelitian ini adalah peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat tarik, kuat sobek, perpanjangan putus dan sifat-sifat organoleptik kulit yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa jenis bahan penyamak nabati berpengaruh nyata terhadap semua variabel sifat fisik, yaitu ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, dan perpanjangan putus. Konsentrasi berpengaruh nyata terhadap suhu kerut, dan kuat sobek. Pemilihan perlakuan terbaik yaitu gambir dengan konsentrasi 20% yang dikombinasikan dengan krom 8% menghasilkan kulit dengan mutu terbaik, peningkatan ketebalan kulit, kuat sobek 84.77 N/mm, kuat tarik 22.68 N/mm2, dan perpanjangan putus 57.38%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan kulit samak dengan menggunakan gambir lebih terlihat menarik dan alami, serta lebih halus, sehingga pada pengaplikasiannya dapat digunakan sebagai alas sofa maupun jaket. Kata kunci : kulit ikan tuna, penyamakan kombinasi, krom, nabati ABSTRACT TRI UTAMI HASTUTI. Tanning of Tuna’s Skin (Thunnus sp.) With Combination Tanning of Chrome and Vegetable Tannages. Supervised by ONO SUPARNO. Tanning is a way to change unstable rawhide (easily damaged by physical, chemical and biological effects) into a stable leather against those effects.
Combination tanning method was a tanning process using two or more tannages in order to complete each other advantages and disadvantages to obtain leather with desired characteristics. Tanning using chrome would increase the flexibility, resistency of high temperature and tensile strength of leather. While vegetable tannage used in tanning gave an effect on physical quality on leather, including tensile strength, tear strength and other characteristics. The main purpose of this study were determined the effect of type and concentration of vegetable tannage on physical and organoleptic characteristics of skin tannage in the tanning process, to decide the best type and concentration of tannage for tanning, and to decide the characteristic of the leather. Tannages used were chrome with a concentration of 8% and vegetable tannages (mimosa, gambier, quebracho) with concentrations of 10%, 15% and 20%. The observed reponses in this study were thickness, shrinkage temperature, tensile strength, tear strength, elongation at break, and organoleptic characteristics. Based on the study, gambier with 20% concentration combined with 8% chrome produced the best quality of leather, highest increase thickness, tear strength of 84.76 N/mm, tensile strength of 22.68 N/mm2 and elongation at break of 57.38%. Organoleptic test showed that the colours produced by gambier looked more attractive, natural, finer texture, so that can be applied for material in sofa or jacket manufacture. Key words: tuna’s skin, combination tanning, chrome, vegetable
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI
TRI UTAMI HASTUTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati Nama : Tri Utami Hastuti NIM : F34090028
Disetujui oleh
Prof Dr Ono Suparno, STP, MT Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati” berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama April sampai Desember 2013 ini adalah proses penyamakan kulit ikan tuna. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada: 1. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi 2. Bapak Ir Moh. Najikh selaku CEO, Bapak Pebru Yuwono, Ibu Sapta Rahardja dan seluruh Staff atas kesediaan dan bimbingannya selama menjalankan program capstone praktik lapang di PT Kelola Mina Laut. 3. Ayahanda tercinta Wisarno (Alm), Ibunda Supriyati, kakak-kakakku Wiryawan Suraji dan Rahmat Pratomo beserta keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya 4. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah yang tak terlupakan 5. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014 Tri Utami Hastuti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kulit
3
Kulit Ikan Tuna
4
Penyamakan
5
Penyamakan Krom
6
Penyamakan Nabati
8
METODE
9
Waktu dan Tempat
9
Bahan
9
Alat
10
Prosedur Penelitian
10
Prosedur Pengujian
13
Prosedur Perhitungan Nilai Tambah
13
Prosedur Analisis Data
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
Persiapan Bahan Baku
14
Ketebalan Kulit
15
Suhu Kerut
16
Kuat Sobek
18
Kuat Tarik
20
Perpanjangan Putus
21
Uji Organoleptik
23
Nilai Tambah
24
SIMPULAN DAN SARAN
25
Simpulan
27
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
44
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Prosedur penyamakan krom Prosedur penyamakan nabati Prosedur perhitungan nilai tambah Hubungan mutu kulit hasil penyamakan terhadap jenis bahan penyamak dan konsentrasi yang digunakan Perhitungan nilai tambah kulit samak
11 12 13 24 25
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Struktur histologi kulit secara umum Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada protein kolagen Ikatan antara zat penyamak krom dengan kolagen Perubahan gugus amina dan karboksil pada kondisi isoelektrik Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi yang digunakan terhadap peningkatan ketebalan Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai suhu kerut Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai kuat sobek Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai kuat tarik Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai perpanjangan putus
4 5 6 8 16 18 19 20 22
DAFTAR LAMPIRAN 1
Foto bahan penelitian yang digunakan Foto peralatan yang digunakan Prosedur analisa kadar tanin Prosedur uji sifat fisik kulit Analisis uji T kadar tanin bahan penyamak nabati Tabel anova respon variabel ketebalan (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan 7 Tabel anova respon variabel suhu kerut (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan 8 Tabel anova respon variabel kuat sobek (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan 9 Tabel anova respon variabel kuat tarik (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan 10 Tabel anova respon variabel perpanjangan putus (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan 11 Foto kulit hasil penyamakan kombinasi 12 Syarat mutu kulit lapis domba/kambing samak kombinasi (krom-nabati) (SNI 1989) 2 3 4 5 6
30 31 32 33 36 37 38 39 40 41 42 43
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan salah satu komoditi yang memiliki potensi yang tinggi dan salah satu produk ekspor potensial Indonesia dari sektor peternakan yang permintaannya terus meningkat. Pada umumnya kulit yang dimanfaatkan adalah kulit yang berasal dari hewan darat seperti kerbau, sapi, dan domba. Sebagai alternatif dapat digunakan kulit yang berasal dari ikan. PT Kelola Mina Laut yang merupakan perusahaan berbasis pengolahan ikan tercatat per harinya menghasilkan limbah berupa kulit sebesar 3.4% dari jumlah produksi 7 ton ikan tuna (Hastuti 2012). Kulit akan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dan mutu yang baik apabila dilakukan pengolahan; salah satunya adalah dengan penyamakan. Menurut Said (2012) perkembangan penyamakan kulit dapat dikatakan sangat signifikan. Pertumbuhan di sektor hulu misalnya, dari 37 unit pabrik berskala besar pada tahun 1975, hingga akhirnya kemudian telah menjadi 67 unit pabrik pada tahun 2007 yang lalu, dan saat ini kulit ikan tersamak merupakan produk yang sangat potensial untuk dikembangkan. Penyamakan adalah suatu proses memodifikasi protein dalam kulit, sehingga ketahanan terhadap panas, pendegradasian enzimatis, dan kekuatan termo mekanikalnya lebih stabil (Krishnaraj 2010). Dalam industri penyamakan kulit terdapat tiga proses, yaitu proses basah (beam house operations), proses penyamakan (tanning), pasca penyamakan, dan penyelesaian akhir (finishing). Penyamakan dengan krom yang merupakan penyamakan yang umum dilakukan karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya kulit yang dihasilkan akan lebih lemas, tahan terhadap panas yang tinggi dan kuat tariknya lebih tinggi. Namun demikian, penyamakan mineral tersebut juga berkontribusi terhadap masalah pencemaran lingkungan (Fathima 2003). Saat ini banyak studi yang melakukan riset terhadap teknologi pengurangan penggunaan krom saat penyamakan untuk mengurangi bahaya toksisitas yang dihasilkan. Penyamakan kombinasi merupakan sistem penyamakan yang sifatnya lebih reaktif (Madhan 2006). Penyamakan krom dan nabati pada hasil akhirnya akan menghasilkan produk akhir yang memiliki sifat lebih baik dari satu jenis penyamakan. Penyamakan nabati adalah proses penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuhan alami yang mengandung kadar tanin yaitu senyawa polifenol di dalamnya. Penggunaan bahan penyamak nabati dalam penyamakan kulit akan memengaruhi mutu fisik, yaitu feel/handle yang lebih lembut, daya serap air yang baik, dan warna yang lebih menarik (Madhan 2006). Penggunaan bahan penyamak nabati juga dapat mereduksi penggunaan krom yang diketahui memiliki limbah yang berbahaya bagi lingkungan maupun makhluk hidup sekitarnya. Dari segi ekonomis penggunaan penyamak nabati lebih murah dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan penyamak krom. Dengan demikian penyamakan kombinasi yang didahului dengan penyamak krom dan dilanjutkan dengan penyamak nabati diharapkan akan menghasilkan kulit yang memiliki suhu kerut yang tinggi, feel/handle yang lebih lembut, daya serap yang
2
baik, dan warna yang menarik, sehingga hasil akhirnya dapat diaplikasikan sebagai alas sofa maupun bahan jaket kulit. Penelitian serupa sebelumnya telah dilakukan oleh Alfindo (2009) yaitu penyamakan kulit ikan tuna menggunakan kombinasi penyamak krom dan mimosa menghasilkan produk akhir kulit yang memiliki kuat tarik dan kuat sobek yang baik pada konsentrasi 15%, yaitu untuk kuat tarik sebesar 372.09 kgf/cm2 dan kuat sobek 61.51 kgf/cm. Pada penelitian tersebut hanya dilakukan pada satu jenis bahan penyamak nabati yaitu mimosa. Penelitian yang dilakukan saat ini menggunakan tiga jenis penyamak nabati yang berbeda yaitu mimosa, gambir dan quebracho. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian adalah 10%, 15% dan 20%, hal tersebut digunakan dengan alasan pada penelitian sebelumnya yang menggunakan konsentrasi 5 – 15% terlihat respon yang diteliti terus meningkat, sehingga dibutuhkan verifikasi apakah konsentrasi 15% merupakan konsentrasi maksimum dari bahan penyamak nabati. Pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan pada penyamakan krom adalah sebesar 8% dan dimulai dari basisitas 33% seperti pada umumnya (Basaran 2006). Hal tersebut disebabkan pada tingkat basisitas tersebut kekuatan ikatannya bersifat sedang sehingga penetrasi pada kolagen kulit lebih baik, dan akan berakhir pada basisitas 50 – 66%, semakin tinggi persentase krom yang masuk ke dalam kulit yang akan disamak maka semakin signifikan sifat fisik kulit yang akan dihasilkan (Krishnaraj 2010). Jenis bahan penyamak nabati serta konsentrasi yang digunakan pada proses penyamakan kombinasi ini diharapkan mampu menghasilkan mutu kulit samak yang terbaik.
Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh jenis bahan penyamak nabati yang digunakan dan perbedaan konsetrasinya serta interaksi keduanya terhadap respon peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat tarik, kuat sobek, perpanjangan putus serta sifat organoleptik yang dihasilkan? 2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu kulit terbaik dari respon tersebut? 3. Bagaimanakah sifat kulit hasil penyamakan pada kondisi perlakuan terbaik?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penyamak nabati terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit ikan tuna pada proses penyamakan kombinasi kulit ikan tuna, menentukan jenis bahan dan konsentrasi penyamak nabati yang terbaik untuk penyamakan kulit ikan tuna, menentukan sifat-sifat kulit samak ikan tuna yang dihasilkan, dan menghitung nilai tambah kulit ikan tuna hasil samak kombinasi.
3
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan bermanfaat sebagai penentu kondisi terbaik dari proses tanning dengan pemilihan bahan penyamak nabati dan konsentrasi yang terpilih dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, kondisi proses terpilih dalam tahap tanning dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyesuaikan antara tingkat kesempurnaan proses tanning dengan mutu produk yang ingin dicapai.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penyamakan kulit ikan yang merupakan limbah kulit ikan tuna yang dihasilkan oleh PT Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur dengan jenis spesies Thunnus albacore (tuna sirip kuning). Kulit yang diambil adalah kulit bagian perut hingga punggung yang memiliki ketebalan ratarata seragam. Proses yang dilakukan adalah penyamakan kombinasi menggunakan penyamak krom dan dilanjutkan dengan bahan penyamak nabati. Bahan penyamak yang digunakan adalah mimosa, gambir dan quebracho dengan konsentrasi masing-masing 10%, 15%, dan 20%. Hasil percobaan kemudian dianalisis sifat-sifat fisiknya meliputi ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, perpanjangan putus, serta uji organoleptik.
TINJAUAN PUSTAKA Kulit Kulit merupakan lapisan terluar dari struktur tubuh makhluk hidup yang berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh-pengaruh luar, seperti panas, perlakuan mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al. 2008). Secara histologis, kulit dapat dibagi atas tiga lapisan yaitu lapisan epidermis, lapisan corium atau cutis, dan lapisan subcutis, seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Lapisan epidermis adalah lapisan paling luar dari kulit, yang berfungsi sebagai penghalang antara binatang dengan lingkungannya (Covington 2009). Histologis lapisan ini masih dibagi atas empat lapisan yang prinsipnya berangsur-angsur dari sel-sel yang paling aktif dalam metabolisme sampai pada sel tanduk yang keras. Lapisan epidermis pada kulit selalu ditutupi oleh lendir yang dihasilkan oleh selsel tubuhnya.
4
Gambar 1. Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000) Lapisan corium atau cutis adalah bagian pokok tenunan kulit yang dapat diubah menjadi kulit samak. Corium sebagian besar tersusun atas serat-serat tenunan pengikat. Dalam derma terdapat tiga tipe tenunan pengikat yaitu tenunan kolagen, elastin, dan reticular. Lapisan subcutis adalah tenunan pengikat longgar yang menghubungkan corium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Pada penyamakan kulit lapisan ini harus dipisahkan dari corium (Said 2012). Kulit sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah rusak apabila berada dalam kondisi segar. Protein penyusun kulit sebagian besar tersusun oleh jaringan ikat terutama kolagen, elastin, dan retikulum. Kolagen merupakan jaringan ikat terbanyak, kemudian retikulum dan yang paling sedikit adalah elastin (Mustakim et al. 2006). Jaringan ikat terutama kolagen jika bereaksi dengan bahan penyamak akan mengubah sifat fisik kulit lebih tahan terhadap pengaruh lingkungan maupun mikroorganisme. Kulit memiliki dua buah gugus fungsi bermuatan yang berbeda jenis, yakni karboksilat (COO-) dan amino (NH3+). Kedua gugus fungsi tersebut akan aktif pada kondisi lingkungan berbeda. Gugus fungsi karboksilat akan aktif dalam suasana asam, sedangkan gugus fungsi amino aktif dalam suasana basa. Perbedaan ini harus disesuaikan dengan jenis bahan penyamak yang digunakan. Proses pengikatan tanning agent terhadap gugus fungsi tidak akan terjadi dalam muatan tidak sesuai, sehingga proses penyamakan tidak akan berlangsung (Covington 2009).
Kulit Ikan Tuna Kulit hewan pada umumnya mempunyai sifat-sifat alami yang sangat bervariasi. Faktor yang menyebabkan adanya variasi diantaranya adalah faktor umur, keturunan, lingkungan hidup, dan faktor pemeliharaan. Sifat kulit pada daerah satu dan lainnya pun berbeda, misalnya tebal kulit hewan pada umumya dibagi atas beberapa daerah yaitu krupon, kepala dan leher, ekor dan perut, serta kaki. Kulit ikan khususnya kulit ikan tuna tidak terdapat pembagian daerah yang jelas, tebal kulit dari bagian depan kearah ekor menipis, demikian juga secara lateral dari daerah tulang punggung ke arah perut. Kepadatan jaringan serat
5
kolagen pun tidak sama pada daerah satu dan lainnya (Alfindo 2009). Dilihat dari segi warna kulit ikan tuna memiliki warna yang gelap dan semakin memudar warnanya ke arah perut, kulit ikan tuna juga memiliki sisik yang halus. Kulit ikan secara kimiawi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu konstituen non protein dan konstituen protein. Konstituen non protein yang penting adalah lipid, karbohidrat, mineral, enzim dan vitamin. Kandungan dari kulit ikan sendiri yaitu air 70%, protein 27%, abu 2%, dan lemak 1%. Senyawa organik terdiri dari 40-90% pada sisik ikan dan selebihnya merupakan kolagen (Nagai et al. 2004).
Penyamakan Penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut, sehingga kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme (Suparno et al. 2005). Pada proses penyamakan kulit, serabut kolagen yang satu dengan yang lain membentuk berkas serabut, berkas serabut dapat membentuk cabang. Cabang berkas serabut yang satu dengan yang lainnya saling membentuk anyaman dan terbentuk sudut jalinan (wave angle). Gambaran model rantai ikatan silang pada protein kolagen secara lengkap disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada protein kolagen (Anonim, 1995) Dalam praktiknya, penyamakan dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap prapenyamakan, penyamakan, dan pasca penyamakan. Setiap tahapan proses tersebut terdiri atas bagian-bagian proses yang saling terkait satu sama lain. Prapenyamakan terdiri atas proses washing, liming, fleshing, deliming, bating, dan pickling. Kegagalan salah satu tahapan proses akan menyebabkan kegagalan proses yang lain, sehingga mutu produk akhir proses penyamakan tersebut juga akan menyimpang (Purnomo 2002).
6
Penyamakan Krom Penyamakan terbagi atas beberapa jenis, yaitu penyamakan mineral, penyamakan nabati, penyamakan sintetik, serta penyamakan kombinasi. Penyamakan mineral menggunakan garam-garam yang berasal dari logam-logam alumunium, zirkonium, besi, kobalt, dan yang terpenting adalah kromium. Keuntungan yang didapat dari penyamakan yang menggunakan jenis mineral garam krom adalah menghasilkan penyamakan yang lebih cepat, murah, serta mudah dilakukan pewarnaan dalam proses akhirnya dengan berbagai warna, kulit yang dihasilkan juga memiliki sifat fisik yang baik, yaitu derajat stabilitas dan suhu kerut yang tinggi (Karthikeyan 2007). Zat penyamak krom dalam bentuk kromium sulfat basa (Cr(SO4OH) berkaitan dengan kolagen kulit dan membentuk ikatan silang seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
1. 2. 3.
Keterangan : Reaksi antara zat penyamak dengan gugus karboksil dan protein Sulfat yang terikat oleh krom digantikan oleh ion OH- yang ditambahkan untuk meningkatkan daya fiksasi Selama pengeringan terjadi penyempurnaan ikatan sehingga ikatan menjadi stabil dengan pengeluaran ion OH-
Gambar 3. Ikatan antara zat penyamak krom dengan kolagen (Thorstensen 1993)
7
Thorstensen (1993) dalam Prihandoko (2009) menyatakan bahwa terdapat tiga reaksi dalam proses penyamakan mineral, yaitu : 1. Pelarutan garam krom (Cr2(SO4)3) ke dalam air, sehingga membentuk senyawa lain yaitu Cr(SO4OH). Reaksinya sebagai berikut : Cr2(SO4)3 + 2H2O 2.
Untuk meningkatkan daya fiksasi, perlu ditambahkan sodium format, sehingga terjadi pergantian antara sulfat yang terikat dalam garam krom oleh OH- (hidroksi) dengan reaksi sebagai berikut : Cr2(SO4)3 + 3Na2CO3 + H2O
3.
2Cr(SO4OH) + 2H2SO4
2Cr(OH3) + 3Na2SO4 + CO2
Kation kromium bereaksi dengan anion gugus karboksil dari asam amino protein. Ikatan molekul air (H2O) dengan atom krom (Cr) terjadi karena atom oksigen (O) dalam molekul H2O yang menyumbang dua elektron (e) untuk digunakan bersama antara grup aquo dan atom Cr. Maka Oksigen (O) dalam H2O menjadi bersifat positif dengan proses koordinasi. Muatan ini menyebabkan proton dibebaskan dari molekul H2O. Dengan terbentuk grup hidroksil ke dalam kompleks krom karena pembebasan sebuah proton (protolysis), maka terbentuklah senyawa hidroksil (Prihandoko 2009). Pada penyamakan krom pengaturan pH sangatlah penting. Semakin banyak asam dalam kompleks maka akan terjadi proses masking yang menyebabkan reaktivitas garam krom kompleks menjadi berkurang, berkurangnya reaktivitas garam krom kompleks menyebabkan zat penyamak dapat meresap ke dalam jaringan kulit sehingga penyamakan tidak hanya terjadi di permukaan kulit saja tetapi dapat tersamak hingga ke dalam bagian kulit. Jumlah asam yang digunakan pada proses penyamakan kulit harus tepat, karena apabila jumlah asam terlalu banyak maka akan terjadi rapid tanning yang memungkinkan garam krom bereaksi dengan permukaan kulit secara cepat sehingga menutup penetrasi krom ke dalam jaringan kulit begitu pula apabila asam yang digunakan terlalu sedikit maka garam krom tidak akan sampai ke dalam jaringan kulit (Gumilar 2010). Pada penyamakan krom digunakan Chromosal-B sebagai bahan penyamak krom. Reaksi garam-garam krom dengan grup karboksilat dari protein kulit (kolagen) menjadikan kulit tersebut memiliki stabilitas hidrotermal tinggi, yaitu memiliki suhu kerut (Ts) lebih tinggi daripada 100oC, dan tahan terhadap mikroorganisme (Suparno 2005). Setelah penyamakan krom, kulit hewan yang telah disamak disebut wet blue atau blue crust (Covington 1997). Kulit wet blue merupakan produk setengah jadi, dan proses lebih lanjut dari kulit wet blue dapat menghasilkan kulit lapis, kulit jaket, pakaian, kulit sarung tangan, dan lain lain.
8
Penyamakan Nabati Penyamak nabati (condensed vegetable tannages) seperti mimosa, gambir, dan quebracho yang juga digunakan pada penelitian ini merupakan bahan penyamak non mineral yang dihasilkan dari sumberdaya alam terbarukan dan bersifat ramah lingkungan (Suparno 2005). Penyamakan nabati mulai digunakan dan berkembang seiring dengan isu bahwa penyamakan mineral yang umum dilakukan berkontribusi terhadap masalah pencemaran, khususnya di negaranegara berkembang. Penyamak nabati adalah polifenol dengan bobot molekul antara 500-3000. Diantara bahan yang dianggap penting secara komersial sebagai sumber tanin antara lain batang, kayu, ranting, daun, buah, dan akar (Escuer 2012). Mimosa dihasilkan dari kayu dan kulit kayu Acacia mangium Willd; gambir berasal dari daun dan ranting pohon Uncaria gambir, dan quebracho berasal dari kayu Schinopsis lorentzii dan S. balansea. Tanin yang terkandung dalam penyamak nabati diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Gutterres 2007). Tanin yang terkandung mempunyai sifat diantaranya adalah kemampuannya untuk berikatan dan mengendapkan protein sehingga terbentuk suatu senyawa kompleks yang tidak larut. Sifat ini sangat berguna bagi industri penyamakan kulit karena reaksi antara protein dengan tanin ini merupakan reaksi utama dalam penyamakan kulit. Terdapat dua gugus yang paling penting di dalam kolagen kulit hewan yang berperan dalam proses penyamakan kulit yaitu –NH2 dan COOH. Pada keadaan isoelektrik gugus tersebut berubah menjadi –NH3+ dan COO-, hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 4. Gugus amina (NH3+) inilah yang akan berikatan dengan tanin yang terdapat dalam penyamak.
Gambar 4. Perubahan gugus amina dan karboksil pada kondisi isoelektrik (Radiman, 1990) Reaksi antara tanin dengan protein yang terdapat pada kulit mentah terdiri atas beberapa fase yaitu : 1. Pada fase pertama dari penyamakan terjadi reaksi antara –NH3+ dari kulit mentah dan anion zat penyamak oleh ionisasi zat penyamak. L – OH NH3+ + LO-
H+ + LO-NH3OL
dengan L adalah gugus zat penyamak. Tidak seluruh –NH3+ dari kolagen kulit mentah dapat bereaksi dengan tanin, tetapi masih ada yang terikat dengan anion dari kolagen –COO-. Agar seluruh –NH3+ dapat bereaksi, pH lingkungan harus diatur yaitu berkisar antara pH 1-2, dengan cara melakukan pemikelan saat prapenyamakan.
9
2. Pada fase kedua terjadi pengikatan semipolar
3. Pada fase ketiga terjadi reaksi fisik yaitu adsorpsi tanin yang terkandung dalam zat penyamak nabati yang digunakan oleh serat-serat kulit. Tanin yang mempunyai besar molekul pada kisaran tertentu mempunyai daya adsorpsi yang besar. Kandungan yang dimiliki dari jenis bahan penyamak nabati yang berbeda memiliki nilai yang berbeda pula, mimosa memiliki kadar tanin sebesar 57%, quebracho 55% dan yang terendah gambir sebesar 54% (Suparno 2005). Penyamakan nabati menghasilkan kulit samak yang berisi dan mudah dibentuk serta mempunyai kemampuan menyerap air yang baik. Selain itu kulit hasil penyamakan nabati memiliki tekstur yang lebih halus dan lembut dilihat dari tekstur, tetapi kekurangannya ketahanan fisik terhadap panas yang dimiliki kurang baik dibandingkan dengan penyamakan krom. Untuk melengkapi sifat kulit yang akan dihasilkan dilakukanlah penyamakan kombinasi antara penyamakan krom dan penyamakan nabati.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan sejak April - Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit, Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian; Laboratorium Rekayasa Desain Bangunan Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan tuna yang berasal dari spesies Thunnus albacore (tuna sirip kuning) dari PT Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur. Bahan baku ini disimpan dan diawetkan dengan menggunakan garam dan disimpan dalam kondisi beku. Bahan yang digunakan pada proses penyamakan adalah aquades, krom dengan basisitas 33%, bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho), natrium klorida, asam
10
sulfat, asam formiat, natrium bikarbonat, sertan ND (dispersing agent), minyak ikan, dan minyak sintetik untuk proses fatliquoring. Bahan-bahan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah molen (drum putar), shaker, jar, pH meter, pisau, talenan, erlenmeyer 250 mL, labu ukur 100 mL, pipet volumetrik, termometer, thickness gauge, baumeter, kompor listrik, toggle dryer, utility tensile machine (Instron), pengukur suhu kerut dan alat uji tarik dengan merk “Zwick/Roell”. Foto alat-alat yang digunakan dalam proses dapat dilihat pada Lampiran 2. Prosedur Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahapan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah pengukuran kadar tanin dari tiga bahan penyamak nabati yang digunakan, yakni mimosa, gambir, dan quebracho. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melihat besaran nilai tanin yang terkandung pada bahan-bahan penyamak nabati tersebut. Metode analisis kadar tanin yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3. Sebelum masuk ke dalam proses penyamakan dilakukan terlebih dahulu tahap prapenyamakan yang di dalamnya meliputi liming, deliming, bating, dan pickling. Penelitian Utama a. Penyamakan Krom Kulit pikel dipotong dengan ukuran 7 × 7 cm2. Hasil dari pemotongan tersebut kemudian diukur ketebalannya di lima titik berbeda dengan menggunakan alat thickness gauge. Kulit pikel kemudian dicuci, ditambahkan air 70% dan NaCl 6% dengan mengukur derajat baume (6-10 ºBѐ), dan dilakukan pengaturan pH. Hal tersebut dilakukan karena untuk penyamakan krom dibutuhkan pH maksimal 3. Pada tahap berikutnya proses penyamakan dimasukkan asam sulfat dengan konsentrasi 0.2% dan asam formiat dengan konsentrasi 0.1% yang telah diencerkan dengan aquades dengan perbandingan 1:10, kemudian ditambahkan bahan penyamak krom basisitas 33% dengan konsentrasi sebesar 8% lalu diputar menggunakan shaker selama 1 jam. Terakhir ditambah dengan 0.25% natrium bikarbonat yang telah dilakukan pengenceran 1:5 yang dimasukkan secara bertahap setiap 30 menit sekali dan dijalankan selama 120 menit hingga pH mencapai 3.2 - 3.8. Proses penyamakan krom secara lebih jelas tersaji pada Tabel 1. Larutan sisa penyamakan krom yang telah selesai dilakukan kemudian dikeluarkan dari jar dan kulit didiamkan selama semalam. Setelah itu, kulit dilanjutkan dengan penyamakan lanjutan dengan menggunakan bahan penyamak nabati.
11
Tabel 1. Prosedur penyamakan krom (Suparno 2005) Proses
Bahan Kimia
Penyamakan Natrium Klorida Air
Basifikasi
Jumlah (%)
Temperatur Waktu (oC) (menit)
6 70
20
Keterangan
15
Diukur densitas (derajat baume) dan pH Diencerkan dengan air 1:10
Asam Sulfat Asam Formiat
0.2 0.1
25
120
Cr2O3
8
25
60
33% basisitas
Natrium Bikarbonat
0.25
30
30
Diencerkan dengan air 1:5 Dilakukan pengulangan setiap 30 menit hingga pH 3.2 – 3.8, selama 120 menit
Drain Hang to drain (horse overnight)
b. Penyamakan Nabati Kulit hasil proses penyamakan krom dilanjutkan dengan penyamakan nabati. Penyamak nabati yang digunakan adalah mimosa, gambir, dan quebracho dengan konsentrasi masing-masing yang digunakan 10%, 15%, dan 20%. Kulit hasil penyamakan krom yang telah dicuci dengan air 200% kemudian ditambahkan sertan ND (dispersing agent) 2% untuk kemudian dimasukkan bahan penyamak nabati diputar selama 120 menit. Proses selanjutnya dilakukan fiksasi dengan ditambahkan asam formiat 0.25% dan dilakukan pengecekan pH 3.5 dan kemudian larutan di-drain. Pada tahap akhir dilakukan tahap peminyakan (fatliquoring) yang berfungsi untuk menghasilkan kulit dengan tekstur yang lebih lembut, dengan menambahkan air 150% dengan suhu 40oC yang dilakukan selama 10 menit, selanjutnya ditambahkan bahan fatliquor berupa minyak ikan dan
12
minyak sintetik (fatliquoring agent) masing masing sebanyak 3% kemudian diputar selama 90 menit. Fiksasi kemudian dilakukan selama 2 × 20 menit hingga mencapai pH 3.6 – 3.8. Selanjutnya ditambahkan air 300% untuk mencuci kulit dari sisa bahan penyamak selama 10 menit. Setelah dicuci, kulit kemudian dibentangkan selama semalam dan dikeringkan selama 1-2 hari pada toggle dryer. Proses penyamakan nabati secara lebih jelas tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Prosedur penyamakan nabati (Suparno 2008) Proses Bahan Jumlah Durasi kimia Depickling (Pengaturan pH)
Penyamakan
Fiksasi
Air
200 %
Garam (NaCl)
10 %
20 menit
Diukur derajat baume (6-10 ºBѐ)
Natrium Bikarbonat
0.75%
3 × 15 menit
Diencerkan dengan air 10 kali Dicek pH (4.5)
30 menit
Dicek pH (4.5)
Sertan ND 2 % (Dispersing Agent) Penyamak Nabati
10%, 20%
Asam Formiat
0.25 %
15%, 120 menit 3 × 10 menit Diencerkan + 60 menit dengan air 3 kali Diukur pH (3.5)
Drain Pencucian
Keterangan
Cairan dikeluarkan air
300 %
10 menit
Drain
Dicek pH (3.5) Cairan dikeluarkan
Horse up
Semalam
Kulit disampirkan
Pengeringan
1-2 hari
Kulit dibentangkan pada toggle dryer
13
Prosedur Pengujian Respon yang diamati pada penelitian ini meliputi perubahan ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, perpanjangan putus (elongasi), serta sifat organoleptik (warna dan tekstur). Kuat tarik dan perpanjangan putus diuji dengan prosedur SLP 6, suhu kerut (Ts) dengan prosedur SLP 18, ketebalan dengan prosedur SLP 4, kuat sobek dengan prosedur SLP 7 dan sifat organoleptik kulit berupa warna dan feel/handle yang diuji oleh panelis. Prosedur pengujian terhadap sifat fisik kulit dapat dilihat pada Lampiran 4.
Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Analisis nilai tambah kulit hasil samak kombinasi ditentukan melalui metode Hayami (1987) dengan prosedur yang terlihat pada Tabel 3. Informasi yang dihasilkan melalui metode Hayami berupa : (a) nilai tambah (Rp), (b) rasio nilai tambah (%) yang menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk, (c) balas jasa tenaga kerja (Rp) yang menunjukkan besarnya upah uang yang diterima oleh tenaga kerja langsung, (d) bagian tenaga kerja (%) yang menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah, (e) keuntungan (Rp) yang menunjukkan bagian yang diterima pengusaha dan (f) tingkat keuntungan (%) yang menunjukkan persentase nilai tambah. Prosedur perhitungan nilai tambah tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987) Keluaran (output) Masukan (input) dan Harga 1 Output/produk total (ft2/produksi) A 2 2 Input bahan baku (ft /produksi) B 3 Input tenaga kerja (HOK) C 4 Faktor konversi D = A/B 5 Koefisien tenaga kerja E = C/B 2 6 Harga output (Rp/ ft ) F 7 Upah tenaga kerja (Rp/HOK) G Penerimaan dan keuntungan 8 Harga input bahan baku (Rp/ ft2) H 2 9 Sumbangan input lain (Rp/ ft ) I 10 Nilai output (Rp/ ft2) J=DXF 2 11 Nilai tambah (Rp/ ft ) K=J-H-I Rasio nilai tambah (%) I% = K/J X100% 2 12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/ ft ) M=EXG Pangsa tenaga kerja (%) N% = M/K X 100% 13 Keuntungan (Rp/ ft2) O=K-M Tingkat keuntungan (%) P% = O/J X 100%
14
Prosedur Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis data hasil penyamakan kombinasi kulit tuna adalah rancangan percobaan faktorial acak lengkap dengan dua kali ulangan. Faktor yang diteliti terdiri atas dua faktor yang masing-masing faktor terdiri atas tiga taraf, yaitu (A) jenis bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho) dan (B) konsentrasi yang digunakan (10%, 15%, dan 20%). Model linear aditif dari rancangan percobaan faktorial acak lengkap dapat dirumuskan sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εijk dengan: Yijk peubah yang diukur µ nilai rata-rata yang sebenarnya Ai jenis bahan penyamakan nabati (mimosa, gambir, quebracho) Bj konsentrasi bahan penyamak (10%, 15%, dan 20%) ABij pengaruh keterkaitan antara faktor A dan faktor B Εijk kesalahan karena anggota ke-k dari faktor ke-i dan faktor ke-j Selanjutnya, data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah menggunakan analisis ragam dengan menggunakan program statistika SPSS versi 17.00 dengan perhitungan mengacu pada rancangan percobaan yang digunakan. Jika hasilnya berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Uji tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi antarfaktor.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku Karakterisasi bahan baku penyamak nabati dilakukan untuk mengetahui kandungan kadar tanin yang terdapat dalam bahan penyamak tesebut. Kadar tanin merupakan parameter yang penting. Nilai kadar tanin yang dihasilkan dari pengukuran yang telah dilakukan adalah mimosa memiliki kadar tanin sebesar 25.26%, quebracho 22.98%, dan gambir 17.24%. Kadar-kadar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan literatur yaitu mimosa memiliki kadar tanin sebesar 57%, quebracho 55% dan yang terendah gambir sebesar 54% (Suparno 2005). Kadar tanin yang rendah dapat disebabkan bahan penyamak nabati yang digunakan bukanlah bahan penyamak murni hasil ekstrasi langsung dari tanaman asalnya. Kadar dan sifat tanin berbeda-beda pada setiap jenis tanaman bergantung pada jenis dan umur tanaman, serta tempat tumbuhnya (Syafii 2000). Nilai kadar tanin yang telah diperoleh untuk melihat pengaruh beda nyatanya dilakukan analisis uji T. Dari hasil analisis yang dilakukan dapat
15
diketahui bahwa untuk pasangan variabel bahan penyamak gambir dan quebracho tidak berbeda nyata, begitu pula dengan pasangan variabel gambir dan mimosa. Tetapi untuk pasangan variabel quebracho dan mimosa nilai T yang diperoleh berada dalam rentang T tabel sehingga dapat dikatakan berbeda nyata. Nilai kadar tanin dan analisis uji T dapat dilihat pada Lampiran 5. Persiapan bahan baku juga dilakukan pada kulit tuna pikel yang akan dilakukan penyamakan. Sebelum masuk penelitian utama, terlebih dahulu dilakukan tahap prapenyamakan yang di dalamnya meliputi liming, deliming, bating, dan pickling. Setelah proses pemikelan dihitung ketebalan dan suhu kerut untuk melihat peningkatannya setelah dilakukan proses penyamakan. Hasil yang diperoleh adalah ketebalan kulit pikel sebesar 0.88 mm dengan suhu kerut 53oC. Kulit yang telah dipikel kemudian dilakukan penyamakan menggunakan bahan penyamak krom dan dihitung kembali peningkatan ketebalan dan suhu kerutnya. Ketebalan kulit yang telah disamak krom meningkat menjadi 0.92 mm, dan suhu kerutnya menjadi 95oC. Hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap tahapan proses yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap pengaruh fisik kulit yang dihasilkan, yaitu peningkatan ketebalan dan suhu kerut. Ketebalan Kulit Proses penyamakan akan memengaruhi karakteristik kulit. Kulit yang setelah dilakukan proses penyamakan akan sangat berbeda dengan kulit mentah dari segi organoleptik, fisik, dan kimia. Perbedaan yang sangat terlihat adalah ketebalannya. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya ikatan kimia antara bahan penyamak dengan kulit pada proses penyamakan. Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan sebesar 0.024 (< 0.05), sehingga efek faktor bahan berpengaruh secara signifikan terhadap ketebalan. Data ini digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengujian lanjutan untuk mengetahui interaksi terbaik dari faktor bahan penyamak yang digunakan. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi sebesar 0.088 (> 0.05), sehingga efek faktor konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketebalan. Selain itu interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi juga memberikan signifikansi sebesar 0.335 (> 0.05), sehingga interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketebalan. Faktor konsentrasi dan interaksi antara bahan dan konsentrasi yang digunakan yang dihasilkan pada kesimpulan anova tidak ada pengaruh yang nyata, maka uji lanjut duncan tidak berlaku. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat perbedaan dari faktor yang berpengaruh nyata pada uji sebelumnya. Uji tersebut menunjukkan bahwa jenis bahan mimosa dan gambir secara signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda (mimosa masuk ke dalam subset 1 dan gambir ke dalam subset 2). Hal tersebut berarti kedua bahan tersebut memberi efek yang berbeda nyata terhadap ketebalan. Tabel anova dan uji lanjut Duncan dari respon ketebalan kulit dapat dilihat pada Lampiran 6. Jenis bahan penyamak mimosa dan gambir memberikan efek yang berbeda nyata, peningkatan ketebalan pada kulit yang telah disamak dengan kulit pikel perbedaan yang terlihat cukup besar. Berdasarkan penelitian ini, jenis bahan penyamak nabati gambir memiliki pengaruh yang paling baik diantara yang
16
lainnya. Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi yang digunakan terhadap peningkatan ketebalan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap peningkatan ketebalan kulit samak ikan tuna Jenis bahan penyamak gambir mengalami peningkatan yang berbeda nyata dari konsentrasi 10 – 20%, dan pada konsentrasi tertinggi persentase pertambahan ketebalan mencapai 30.55% dari kulit pikel 0.9 mm meningkat menjadi 1.2 mm setelah dilakukan penyamakan. Apabila dibandingkan dengan kulit kambing yang disamak menggunakan penyamak kombinasi krom dan nabati, kulit samak tersebut sudah sesuai karena persyaratan rata rata ketebalan kulit adalah 0.7 – 1.2 mm dengan toleransi 5% (BSN 1989). Gambir memiliki bobot molekul yang paling rendah di antara bahan penyamak lain yang digunakan yaitu 520, sedangkan bobot molekul mimosa adalah 1600-1700 dan quebracho 2400. Pada suasana basa, bahan penyamak nabati yang tergolong ke dalam tanin terkondensasi, akan terdispersi, menjadi mudah teroksidasi, dan membentuk warna merah (Thorstensen 1993). Tanin tersebut akan terpenetrasi ke dalam kolagen kulit. Kecepatan absorbsi partikel berbanding lurus dengan cairan atau pelarutnya dengan besar kecilnya partikel, semakin kecil partikel akan semakin mudah larut (Joenoes 2002). Gambir bereaksi sangat cepat dalam menyamak kulit mentah dengan mengisi gugus protein yang bebas sehinga peningkatan ketebalannya lebih tinggi dibandingkan dengan penyamak nabati lainnya. Bahan penyamak gambir menghasilkan hasil kulit samak yang lebih lembut dan feel/handle yang lebih tipis. Berbeda dengan kulit yang disamak menggunakan gambir, kulit yang dihasilkan dari penyamakan yang menggunakan jenis bahan penyamak mimosa dan quebracho memiliki karakterstik kulit yang lebih kaku. Suhu Kerut Kulit ketika dipanaskan akan mengalami pengerutan seiring dengan berjalannya waktu. Suhu kerut (Ts) merupakan suhu pada saat kulit mengalami
17
pengerutan paling besar akibat pengaruh panas atau pada saat kulit mengerut 0,3% dari panjang awalnya (SLTC 1996). Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan penyamak nabati sebesar 0.004 (< 0.05), sehingga faktor bahan berpengaruh secara signifikan terhadap suhu kerut. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi sebesar 0.014 (< 0.05), sehingga faktor konsentrasi berpengaruh secara signifikan terhadap suhu kerut. Interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi memberikan signifikansi sebesar 0.332 (> 0.05), sehingga interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap suhu kerut. Tabel anova dan uji lanjut Duncan dari respon suhu kerut dapat dilihat pada Lampiran 7. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bahan penyamak quebracho memberi efek yang paling berbeda nyata terhadap suhu kerut. Dilihat dari konsentrasinya, berdasarkan uji lanjut Duncan, nilai konsentrasi 10% dan 20% pada jenis bahan penyamak nabati quebracho tersebut memberikan efek yang berbeda nyata terhadap suhu kerut. Hasil pengujian suhu kerut menunjukkan nilai suhu kerut untuk kulit yang disamak menggunakan bahan penyamak quebracho pada konsentrasi 20% memiliki nilai tertinggi yaitu 92oC terlihat sekali peningkatannya seiring penambahan konsentrasi, yaitu pada konsentrasi 10% yang hanya 90.30oC. Hal tersebut menunjukkan suhu kerut akan meningkat seiring dengan semakin banyaknya konsentrasi bahan penyamak yang ditambahkan. Kulit yang disamak dengan menggunakan penyamak krom akan menghasilkan kulit dengan suhu kerut tinggi. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa nilai suhu kerut penyamakan krom adalah 95oC. Nilai suhu kerut yang dimiliki oleh kulit yang disamak krom lebih besar dibandingkan dengan bahan penyamak lainnya, karena penyamak krom memiliki elektron valensi sebanyak 3+ yang dapat berikatan dengan COO- pada kolagen kulit. Menurut Thorstensen (1993) reaksi antara penyamak krom dan kolagen kulit akan meningkatkan stabilitas kulit dengan adanya ikatan silang yang terjadi, sehingga struktur kulit yang awalnya terpisah menjadi bergabung bersama menjadi struktur yang lebih kuat. Setelah disamak kembali dengan menggunakan bahan penyamak nabati, nilainya justru menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya efek penyamakan akibat dari proses pencucian menggunakan soaking agent. Selain itu, pada proses akhir tahapan fatliquoring minyak yang terdifusi dan mengisi rongga di dalam jaringan serat kulit yang menyebabkan struktur serat kulit saling berjauhan juga dapat menyebabkan nilai suhu kerut berkurang (Covington 2009). Hubungan antara nilai suhu kerut dengan konsentrasi dari beberapa bahan penyamak nabati ditunjukkan pada Gambar 6.
18
Gambar 6. Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna Kuat Sobek Kuat sobek adalah besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk menyobek kulit hingga sobek yang dinyatakan dalam N/mm. Nilai kuat sobek kulit akan berbeda apabila tebal kulitnya berbeda; semakin tebal kulit samak yang dihasilkan, maka nilai kekuatan sobek yang dihasilkan akan semakin kecil dan sebaliknya semakin tipis kulit samak maka nilai kekuatan sobeknya akan semakin besar. Kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga mempunyai daya sobek yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang lebih tebal. Perbedaan ketebalan kulit yang diukur setelah kulit dikondisikan mempunyai korelasi yang positif dengan kekuatan sobek kulit (Manich et al. 1999). Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan sebesar 0.000 (< 0.05), sehingga efek faktor bahan penyamak yang digunakan berpengaruh secara signifikan terhadap kuat sobek. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi sebesar 0.001 (< 0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa efek faktor konsentrasi berpengaruh secara signifikan terhadap kuat sobek. Selain itu, interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi juga memberikan signifikansi sebesar 0.031 (< 0.05), sehingga interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi berpengaruh secara signifikan terhadap kuat sobek. Tabel anova dan uji lanjut Duncan dari respon kuat sobek dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari hasil analisis uji lanjut Duncan dapat terlihat bahwa dari bahan penyamak dilihat bahwa jenis bahan mimosa secara signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda (mimosa masuk ke dalam subset 1, sedangkan quebracho dan gambir ke dalam subset 2). Hal tersebut berarti bahan mimosa tersebut memberi efek yang signifikan terhadap kuat sobek.
19
Nilai kadar tanin pada mimosa yang lebih rendah dibandingkan jenis penyamak lainnya memberikan pengaruh nyata yang negatif terhadap kuat sobek pada kulit samak. Hal tersebut disebabkan ketebalan kulit samak yang menggunakan bahan penyamak mimosa memiliki persentase peningkatan ketebalan yang paling rendah dibandingkan dengan bahan penyamak gambir dan quebracho. Febianti (2011) menyebutkan bahwa nilai kuat sobek yang dihasilkan dipengaruhi oleh ketebalan kulit, arah serat kolagen, sudut antar serat dengan lapisan grain dan lokasi sampel pada kulit. Ketebalan kulit memengaruhi nilai kuat sobek karena kulit yang tebal memiliki tenunan serat-serat kolagen yang berikatan lebih banyak. Haines dan Barlow (1975) di dalam Fahroji (2010) menambahkan bahwa sudut yang kecil antara jalinan serat-serat kolagen terhadap permukaan grain kulit memungkinkan gaya tarik dapat didistribusikan lebih menyebar ke seluruh sumbu jalinan serat, sehingga kuat sobek menjadi semakin besar. Dari variabel konsentrasi dapat dilihat bahwa ketiga nilai konsentrasi secara signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda, yang berarti ketiga nilai konsentrasi tersebut memberikan efek yang signifikan terhadap kuat sobek. semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan pada bahan penyamak maka semakin tinggi pula nilai kekuatan sobek yang dihasilkan. Hubungan antara nilai kuat sobek dengan konsentrasi dari beberapa jenis bahan penyamak yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai kuat sobek kulit samak ikan tuna Peningkatan nilai kuat sobek juga dipengaruhi oleh jenis bahan penyamak yang digunakan, kulit yang disamak nabati lebih padat dan berisi dibandingkan dengan kulit yang disamak menggunakan krom. Pada tahap penyamakan ulang, molekul zat penyamak akan mengisi sebagian besar ruang kosong yang terdapat di antara berkas serat kolagen, sehingga kulit lebih padat dan berisi. Indikasi kesempurnaan proses peminyakan dalam penelitian ini dapat diketahui dari tingginya nilai kekuatan sobek yang dihasilkan. Nilai kuat sobek yang rendah menunjukkan bahwa kulit tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku barang
20
kulit seperti dompet, tas, kulit sepatu wanita bagian atas yang tidak membutuhkan nilai kuat sobek yang terlalu tinggi. Kuat Tarik Kuat tarik sangat penting pada proses penyamakan kulit, kekuatan kulit yang tidak memenuhi standar menyebabkan kulit mudah pecah atau retak. Kuat tarik menunjukkan besar gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga kulit tersebut putus. Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan sebesar 0.002 (< 0.05), sehingga efek faktor bahan berpengaruh secara signifikan terhadap kuat tarik. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi sebesar 0.074 (> 0.05), sehingga efek faktor konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kuat tarik. Selain itu, interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi juga memberikan signifikansi sebesar 0.507 (> 0.05), sehingga interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kuat tarik. Tabel anova dan uji lanjut Duncan dari respon kuat tarik dapat dilihat pada Lampiran 9. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa jenis bahan mimosa secara signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda (mimosa masuk ke dalam subset 2, sedangkan quebracho dan gambir ke dalam subset 1), sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan mimosa tersebut memberi efek yang berbeda nyata terhadap kuat tarik. Mimosa dengan konsentrasi 20% memiliki nilai kuat tarik yang tertinggi dibandingkan dengan penyamak lainnya yaitu sebesar 25.31 N/mm². Jika dibandingkan dengan standar minimum SNI yaitu 75 kgf/cm2 atau setara dengan 7.5 N/mm2 (BSN 1989), nilai kuat tarik yang dihasilkan sudah memenuhi standar dan dapat dikatakan memiliki mutu kuat tarik yang baik. Hubungan antara nilai kuat tarik dengan konsentrasi dari beberapa jenis bahan penyamak yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai kuat tarik kulit samak ikan tuna Nilai kuat tarik dipengaruhi oleh ketebalan dan memiliki korelasi yang positif dengan nilai kuat sobek. Ketebalan akan memengaruhi kestabilan kulit, dimana kestabilan kulit ini dipengaruhi oleh ikatan silang yang terbentuk antara
21
bahan penyamak dengan protein kulit (Amwaliya 2011). Berdasarkan hasil penelitian nilai kuat tarik terbesar adalah pada bahan penyamak nabati mimosa dengan konsentrasi 20%, sedangkan pada parameter uji sebelumnya yaitu ketebalan dan kuat sobek mimosa memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dengan bahan penyamak nabati gambir dan quebracho. Pada kulit yang disamak dengan menggunakan mimosa, kulit yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih kaku dan keras, sehingga nilai kuat tarik yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Kuat tarik juga dipengaruhi oleh komposisi serat di dalam kulit. Kulit yang diambil pada bagian krupon akan memiliki kuat tarik yang lebih baik bila dibandingkan dengan kulit yang diambil pada bagian bahu dan perut karena kulit pada bagian krupon memiliki jaringan kolagen yang lebih kuat, rapat, dan kompak. Yuwono (2002) menyebutkan bahwa kekuatan tarik kulit samak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan struktur serabut kulit, termasuk disebabkan oleh perubahan luar pada saat penyimpanan dan pengeringan kulit sehingga kekuatan tarik menunjukkan mutu kulit. Perpanjangan Putus Perpanjangan putus menunjukkan nilai keelastisan kulit suatu sampel uji pada saat ditarik hingga putus dibagi dengan panjang semula dan dinyatakan dalam persen. Perpanjangan putus sangat penting pada hasil penyamakan, perpanjangan putus menunjukkan kemampuan kulit untuk mulur. Semakin tinggi nilai perpanjangan putus maka kulit tersebut semakin mudah longgar dan tidak mudah sobek. Hal tersebut menunjukkan mutu kulit yang dihasilkan baik, karena tidak kaku saat digunakan. Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan sebesar 0.034 (< 0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa efek faktor bahan berpengaruh secara signifikan terhadap perpanjangan putus. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi sebesar 0.713 (> 0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa efek faktor konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perpanjangan putus. Selain itu interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi memiliki nilai signifikansi sebesar 0.999 (> 0.05), yang menunjukkan bahwa interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perpanjangan putus. Tabel anova dan uji lanjut Duncan dari respon perpanjangan putus dapat dilihat pada Lampiran 10. Uji Duncan menunjukkan bahwa jenis bahan mimosa dan gambir secara signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda (mimosa masuk ke dalam subset 1, sedangkan gambir subset 3), hal tersebut menunjukkan bahwa bahan mimosa dan gambir tersebut memberi efek yang berbeda nyata terhadap perpanjangan putus. Hubungan antara nilai kuat tarik dengan konsentrasi dari beberapa jenis bahan penyamak yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 9.
22
Gambar 9. Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna Hasil menunjukkan bahwa bahan penyamak gambir memiliki tingkat kemuluran tertinggi yaitu sebesar 60.49 % pada konsentrasi 10%. Nilai tersebut tidak memenuhi standar minimum syarat mutu kulit kambing samak kombinasi yang memiliki persyaratan maksimum 25% (BSN 1989). Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan kulit yang digunakan, kulit ikan memiliki serat yang lebih renggang dan arah serat yang tidak teratur dibandingkan dengan serat pada kulit kambing. Nilai perpanjangan putus yang dihasilkan berbanding terbalik dengan persentase peningkatan ketebalan kulit, sehingga dengan faktor sebelumnya yaitu kuat tarik memiliki korelasi yang negatif. Peningkatan ketebalan pada kulit samak seiring dengan bertambahnya konsentrasi bahan penyamak menjadikan kulit samak lebih kaku akibat dari banyaknya ikatan yang terjadi antara kolagen kulit dengan tanin pada bahan penyamak nabati yang menyebabkan nilai kemuluran putus akan semakin berkurang. Pada hasil pengujian ketebalan kulit samak tuna menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi dapat meningkatkan ketebalan kulit samak. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh, pada peningkatan ketebalan gambir memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan mimosa dan quebracho, begitu pula pada nilai perpanjangan putus. Grafik menunjukkan terjadi penurunan persentase nilai perpanjangan putus seiring meningkatnya konsentrasi, hal tersebut dapat terjadi karena kadar tanin yang terikat lebih banyak akan menghasilkan struktur kulit yang lebih kuat. Rendahnya kemuluran yang diperoleh pada kulit hasil samak adalah akibat dari meningkatnya ikatan serat-serat kulit oleh bahan penyamak dan berubahnya serta menjadi struktur kulit yang kompak. Kompaknya struktur kulit mengindikasikan banyaknya ikatan yang terjadi dalam kulit. Nilai perpanjangan putus berbanding terbalik dengan nilai kuat tarik. Apabila pembebanan sudah mencapai titik ultimate stress (batas maksimum) maka titik tersebut merupakan kuat tarik maksimum yang mampu ditahan oleh kulit. Pada titik tersebut, kulit sudah
23
menunjukkan gejala-gejala patah berupa retakan-retakan. Retakan-retakan yang sudah mulai timbul pada titik ultimate stress akan semakin bertambah besar dan akhirnya kulit akan putus (Trijati 2008). Kulit samak akan menjadi lemas dapat disebabkan karena tercerainya seratserat kolagen penyusun tenunan kulit pada proses pengapuran (Nugraha 1999). Thorstensen (1993) dalam Nugraha (1999) menambahkan bahwa pada proses pengapuran akan terjadi reaksi reduksi elastin pada protein kulit. Elastin merupakan protein fibrous yang membentuk serat-serat yang sangat elastis, karena mempunyai rantai asam amino yang membentuk sudut sehingga pada saat mendapat tegangan maka sudut-sudut tersebut akan menjadi lebih lurus dan akan kembali seperti semula apabila tegangan tersebut dilepaskan. Uji Organoleptik Aplikasi penggunaan kulit hasil penyamakan disesuaikan dengan mutu hasil kulit yang diperoleh dari setiap jenis penyamakan. Dari yang sudah disebutkan, penyamakan menggunakan krom menghasilkan mutu kulit yang berbeda dengan penyamakan nabati, sehingga untuk menyempurnakan mutu hasil kulit yang dihasilkan dilakukan penyamakan kombinasi krom dan bahan penyamak nabati. Selain itu, akibat adanya penambahan bahan penyamak tersebut juga menyebabkan warna kulit hasil penyamakan memiliki warna dan feel/handle yang berbeda. Pada penelitian ini, uji organoleptik mutu kulit hasil penyamakan dinilai berdasarkan dua faktor, yakni warna dan feel/handle yang dilakukan secara organoleptik. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akibat adanya penambahan bahan mimosa dalam proses penyamakan menyebabkan warna kulit samak yang terbentuk memiliki warna coklat muda, sedangkan feel/handle yang dapat dirasakan setiap peningkatan konsentrasi yang ditambahkan menyebakan mutu kulit memiliki mutu yang halus pada konsentrasi 10%, dan semakin agak kasar dan bertekstur sisik pada konsentrasi 20%. Dibandingkan dengan mutu kulit yang disamak menggunakan mimosa, warna kulit yang dihasilkan oleh bahan penyamak gambir terlihat lebih tua, semakin tinggi konsentrasinya semakin gelap warna kulit yang dihasilkan, sedangkan feel/handle yang dihasilkan lebih halus. Warna yang dihasilkan quebracho adalah coklat muda terang, dan feel/handle yang dihasilkan lebih kasar dan kaku dibandingkan dengan dua penyamak yang lainnya. Hubungan antara mutu kulit hasil penyamakan terhadap jenis bahan penyamak dan konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Kulit ikan yang disamak menggunakan samak kombinasi krom dan gambir pada umumnya menghasilkan keadaan kulit yang lebih lemas hal ini sesuai dengan SNI kulit samak kambing kombinasi (BSN 1989). Dilihat dari segi warna, kulit yang disamak dengan gambir menghasilkan warna lebih menarik dan rata, sehingga kulit jenis ini pada pengaplikasiannya cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan alas sofa dan jaket kulit. Foto penampakan warna dari tiap-tiap kulit hasil samak dapat dilihat pada Lampiran 11.
24
Tabel 4. Hubungan mutu kulit hasil penyamakan terhadap jenis bahan penyamak dan konsentrasi yang digunakan Jenis bahan Konsentrasi Mutu Kulit penyamak nabati (%) Warna Feel Handle Mimosa 10 coklat muda halus 15 coklat muda halus bertekstur sisik 20 coklat muda agak kasar bertekstur sisik Gambir
10 15 20
Quebracho
10 15 20
coklat tua terang coklat tua terang coklat tua gelap
halus
coklat muda terang coklat muda terang coklat muda
agak kasar bertekstur sisik kasar bertekstur sisik kasar bertekstur sisik
halus halus
Pemilihan Perlakuan Terbaik Berdasarkan penelitian ini, kombinasi penyamakan dengan krom (8%) dan gambir (20%) memberikan hasil terbaik. Pemilihan ini didasarkan pada pengujian sifat fisik dan organoleptik yang diperlukan oleh kulit samak sebagai bahan baku untuk memproduksi dompet, sabuk atau ikat pinggang, dan aksesoris yakni yang memerlukan sifat-sifat fisik dan organoleptik kulit samak seperti memiliki sifat kulit yang lebih tebal dan lembut, serta elastis. Pemilihan ini didasarkan pada gabungan hasil dari seluruh parameter yang diuji. Pada kondisi perlakuan ini, dihasilkan peningkatan ketebalan kulit yang paling tinggi yaitu 30.55%, kuat sobek 84.77 N/mm, kuat tarik 22.68 N/mm2 dan perpanjangan putus 57.38%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan kulit samak ikan tuna dengan menggunakan gambir lebih terlihat menarik dan alami yaitu coklat tua, serta lebih halus dibandingkan hasil samak mengunakan bahan penyamak lainnya. Nilai Tambah Kulit ikan tuna yang merupakan bahan baku dalam penyamakan kulit ikan tuna ini adalah limbah yang pada perusahaan penghasil limbah tersebut tidak dilakukan pengolahan lebih lanjut, biasanya kulit tersebut dijual pada pengepul
25
yang biasanya diolah kembali menjadi kerupuk dan dihargai sebesar Rp 1000 per kg kulit. Proses pengolahan menjadi kulit samak tentunya akan meningkatkan nilai tambah dari kulit ikan tuna tersebut. Analisis nilai tambah ditentukan melalui metode Hayami menurut Hapsari (2008) yang dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dari rendemen input kulit bahan baku adalah sebesar 0.5; Hal tersebut dapat terjadi karena selama proses penyamakan dilakukan proses sortasi maupun penghilangan bagian-bagian kulit yang tidak dibutuhkan, maupun bagian kulit yang memiliki mutu tidak baik dan tidak seragam. Dari analisis nilai tambah yang dilakukan, diketahui bahwa nilai tambah kulit ikan tuna dari penyamakan Rp 23500/ft2 dari harga input bahan baku awal Rp 250/ft2 dengan persentase rasio nilai tambah 85.45%, sehingga dapar dilihat bahwa persentase peningkatan keuntungannya adalah sebesar 45.45% dengan nilai keuntungan sebesar Rp 12500/ft2, yang menandakan bahwa kulit ikan tuna yang awalnya merupakan sebuah limbah perusahaan sangat potensial untuk dikembangkan dengan penyamakan karena meningkatkan nilai tambah yang tinggi.
No. 1 a. b. c. d. e. f. g 2 h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Tabel 5. Perhitungan nilai tambah kulit samak Uraian Jumlah/Nilai Output, input dan harga Output/produk total (ft2/produksi) 1200 2 Input bahan baku (ft /produksi) 2400 Input tenaga kerja (HOK) 6 Faktor konversi 0.50 Koefisien tenaga kerja 0.25 2 Harga output (Rp/ ft ) 55000 Upah tenaga kerja (Rp/HOK) 60000 Penerimaan dan kentungan Harga input bahan baku (Rp/ ft2) 250 2 Sumbangan input lain (Rp/ ft ) 3750 2 Nilai output (Rp/ ft ) 27500 Nilai tambah (Rp/ ft2) 23500 Rasio nilai tambah (%) 85.45 2 Pendapatan tenaga kerja (Rp/ ft ) 15000 Pangsa tenaga kerja (%) 63.83 2 Keuntungan (Rp/ ft ) 12500 Tingkat keuntungan (%) 45.45
Keterangan : Berikut adalah rincian biaya sumbangan input lain dengan basis 1 kg produksi kulit samak 1. Harga input bahan penyamak a. 1 Kg gambir = Rp 24000 Biaya penggunaan mimosa : (20% × 1 Kg) x Rp 24000 = Rp 4800
26
b. 1 Kg Krom = Rp 10000 Biaya penggunaan Krom : (8% × 1 Kg) × Rp 10000 = Rp 800 2. Harga input bahan kimia a. 1 L H2SO4 = Rp 20000 Biaya penggunaan H2SO4 : (2% × 1 Kg) × Rp 20000 = Rp 400 b. 1 L HCOOH = Rp 20000 Biaya penggunaan HCOOH : (2% × 1Kg) × Rp 20000 = Rp 400 c. 1 Kg Na2S = Rp 50000 Biaya penggunaan Na2S : (3% × 1 Kg) × Rp 50000 = Rp 1500 d. 1 Kg Ca(OH)2 = Rp 50000 Biaya penggunaan Ca(OH)2 : (5% × 1 Kg) × Rp 50000 = Rp 2500 e. 1 Kg Za = Rp 6500 Biaya penggunaan Za : (2.5% × 1 Kg) × Rp 6500 = Rp 162.5 f. 1 L Rindill RNN = Rp 16500 Biaya penggunaan Rindill RNN : (0.15% × 1 Kg) × Rp 16500 = Rp 24.75 g. 1 Kg Sodium Bisulfit = Rp 11000 Biaya penggunaan Sodium Bisulfit : (0.2% × 1 Kg) × Rp 16500 = Rp 22 h. 1 Kg Natrium Formiat = Rp 6600 Biaya penggunaan Natrium Formiat : (0.5% × 1 Kg) × Rp 6600 = Rp 33 i. 1 L Degreser 606 = Rp 30000 Biaya penggunaan Degreser 606 : (0.1% × 1 Kg) × Rp 30000 = Rp 30 j. 1 Kg NaCl = Rp 8000 Biaya penggunaan NaCl : (20% × 1 Kg) × Rp 8000 = Rp 1600 k. 1 L Palgrosol LP = Rp 37000 Biaya penggunaan Palgrosol LP : (0.2% × 1 Kg) × Rp 37000 = Rp 74 l. 1 Kg Natrium Karbonat = Rp 8000 Biaya penggunaan Natrium Karbonat : (2% × 1 Kg) × Rp 8000 = Rp 160 m. 1 Kg Natrium Bikarbonat = Rp 6500 Biaya penggunaan Natrium bikarbonat : (1% × 1 Kg) × Rp 6500 = Rp 65 n. 1 Kg Sertan ND = Rp 25725 Biaya penggunaan Sertan ND : (2% × 1 Kg) × Rp 25725 = Rp 514.5 o. 1 Kg Fatliquor agent = 16011 Biaya penggunaan Fatliquor agent : (8% × 1 Kg) × 16011 = Rp 1280.88 3. Harga input lain-lain a. Biaya penggunaan listrik/proses produksi dengan motor 1 pk = Rp 100000 Biaya untuk produksi 1 Kg kulit = Rp 333.33 b. Biaya penggunaan air/proses produksi = 3 m3/1m3 x Rp 5000 = Rp 15000 Biaya untuk produksi 1 Kg kulit = Rp 300
Total harga input sumbangan lain/1 Kg produksi kulit = harga input bahan penyamak + harga input bahan kimia + harga input lain lain = Rp 15000 Dari 1 kg kulit dihasilkan 4 lembar kulit (30 cm × 15 cm) = 14.76 ft2 Sehingga biaya sumbangan input lain untuk 1 lembar kulit = Rp 3750
27
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan penyamak nabati berpengaruh nyata terhadap semua variabel sifat fisik, yaitu ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, dan perpanjangan putus. Konsentrasi berpengaruh nyata terhadap suhu kerut dan kuat sobek. Interaksi antara keduanya berpengaruh terhadap kuat sobek. Dengan mengacu pada hasil dari pengujian yang dilakukan dan diperkuat dengan data uji organoleptik, dapat disimpulkan bahwa gambir dan kecepatan konsentrasi 20% yang dikombinasikan dengan krom 8% merupakan hasil perlakuan terbaik. Perlakuan tersebut menghasilkan peningkatan ketebalan, kuat tarik, elongasi, suhu kerut. Sifat kulit yang dihasilkan adalah peningkatan ketebalan kulit yang paling tinggi yaitu 30.55%, kuat sobek 84.77 N/mm, kuat tarik 22.68 N/mm2 dan perpanjangan putus 57.38%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan samak samak dengan menggunakan gambir lebih terlihat menarik dan alami, serta lebih halus dibandingkan hasil samak mengunakan bahan penyamak lainnya. Dengan hasil kulit tersebut pada pengaplikasiannya cocok digunakan sebagai alas sofa dan jaket kulit. Kulit ikan yang merupakan limbah meningkat nilai tambahnya sebesar Rp 23500/ft2 dengan tingkat persentasenya hingga 85.45% setelah dilakukan proses penyamakan kombinasi menggunakan krom dan nabati sehingga keuntungannya meningkat hingga 45.45%. Saran Perlu dilakukan penelitian terhadap jenis bahan penyamak nabati lainnya yang didapat dimanfaatkan serta konsentrasi krom yang dapat dimodifikasi. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fatliquor agar kulit ikan hasil samak memiliki feel/handle yang lebih lembut.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. The Art of MBoC3. New York: Garland Publishing Inc. Alfindo T. 2009. Penyamakan Kulit Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Fisik Kulit. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Amwaliya S. 2011. Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Mutu Kulit Samoa pada Proses Penyamakan Minyak yang Dipercepat dengan Hidrogen Peroksida. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Basaran B. and Isik NO. 2006. Cr (VII) Formation in Double-Face Sheepskins: Effect of Chromium Level and Ironing Temperature. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemists 91 (1) : 4 – 10. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1989. Standar Nasional Indonesia. Kulit Lapis Domba/Kambing Samak Kombinasi (Krom-Nabati). SNI 06-0463-
28
1989. Jakarta: BSN. Covington AD. 1997. Modern Tanning Chemistry. Chem. Soc. Rev. 26, 111. Covington AD. 2009. Tanning Chemistry The Science of Leather. Cambridge: RSC Publishing. Escuer JCC. 2012. Tara (Caesalpinia spinosa): The Sustainable Source of Tanin for Innovative Tanning Processes. Thesis. Barcelona: University Politecnica de Catalunya (UPC). Fahroji Z. 2010. Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) terhadap Mutu Kulit Samoa. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fathima NN, Madhan B, Rao JR. and Nair BU. 2003. Mixed Metal Tanning Using Chrome-Zinc-Silica: A New Chrome-Saver Approach. JALCA 98 : 139 – 143. Febianti I. 2011. Penentuan Waktu Oksidasi Terbaik untuk Proses Penyamakan Kulit Samoa Menggunakan Minyak Biji Karet dengan Oksidator Natrium Hipoklorit. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Gumilar J, Wendri SP, Eka W. 2010. Pengaruh Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) dan Asam Formiat (HCOOH) Pada Proses Pikel Terhadap Kualitas Kulit Jadi (Leather) Domba Garut. Jurnal Ilmu Ternak 10 (1),1-6. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung. Gutterres M. 2007. Analysis of Vegetable Tanin Absorption During The Tannage of Hide/Hide Powder. JALCA 102 : 216 – 221. Hapsari H, Endah D, dan Tuti K. 2008. Peningkatan Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Salak Manonjaya. Jurnal Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 19 (3) : 208 – 215. Hastuti TU. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Tuna sebagai Bahan Baku Gelatin dan Kerupuk Kulit guna Meningkatkan Nilai Tambah Di PT Kelola Mina Laut [laporan praktik lapang]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hayami Y. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, a Perspective From Sunda Village. Bogor: CGPRT Center. Haines BM, Barlow JR. 1975. The Anatomy of Leather. British Leather Manufacturer’s Research Association, Militon Park, Egham, Surrey, UK. Journal of Material Science 10 (1975) 525-538. Joenoes ZN. 2002. Ars Prescribendi Jilid III. Surabaya : Airlangg University Press. Karthikeyan R, Ramesh R, Usha RB, Ramanaiah, and Chandra Babu NK. 2007. Fe (III)-Cr(III) Combination Tannage For The Production of Soft Leather. JALCA 102 : 383 – 392. Krishnaraj K, Thanikaivelan, and Chandrasekaran B. 2010. Effect of Chromium and Tanning Method on The Drape of Goat Suede Apparel Leathers. JALCA 105 : 71 – 77. Madhan B. 2006. Interaction of Alumunium and Hydrolysable Tannin Polyphenols: An Approach to Understanging the Mechanism of Alumunium Vegetable Combination Tannage. JALCA 101 : 317 – 323. Manich L, Bosch M, Long W, and Stoich B. 1999. The Strain Energy Release Rat A new Parameter to be Concidered in The Tearing Strenght Test. Proceding of XXVI ULTCS Congress Tata McGraw. Hill Publishing Company Ltd. New Delhi.
29
Mustakim AS. 2006. Pengaruh Persentase Penggunaan Kuning Telur Ayam Ras Terhadap Proses Peminyakan Terhadap Kekuatan Sobek Lidah, Keretakan Rajah dan Kadar Lemak Cakar Ayam Pedaging Samak Kombinasi (KromNabati). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 1 (1): 5-11. Nagai et al. 2004. Four Species of Giant Crustaceans From the Indonesian Depths, with Description of a New Species of the Family Lithodidae. Bulletin of the National Science Museum Series A (Zoology) 30(1) : 9-21 Nugraha G. 1999. Pemanfaatan Tanin Dari Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Sebagai Bahan Penyamak Nabati. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Prihandoko A. 2009. Sifat Fisik Kulit Samak Krom Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis Awet Garam. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Purnomo E. 2002. Penyamakan Kulit Ikan Pari. Yogyakarta : Kanisius. Radiman. 1990. General Theory of Tanning Process. Yogyakarta: Leather Reaserch Institut. Said MI. 2000. Isolasi dan Indentifikasi Kapang Serta Pengaruhnya terhadap Sifat Fisik dan Struktur Jalinan Kulit Kambing Pickling serta Wet Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Said MI. 2012. Hibah Penulisan Buku Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Kulit. Makasar: Universitas Hasanudin. [SLTC] Society of Leather Technologists and Chemists. 1996. Official methods of Analysis. Northampton (UK): SLTC. Suardana IW, Sudiadnyana P, dan Rubiyanto. 2008. Kriya Kulit Jilid 1 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Suparno O. 2005. Phenolic Reactions for Leather Tanning and Dyeing. PhDThesis. Leicester: University of Leicester. Suparno O, Covington AD, Evans CS. 2008. Teknologi Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan: Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak Nabati, Naftol, dan Oksazolidin. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 18 (2) : 79 – 84. Syafii W. 2000. Pemanfaatan Tanin Kulit Kayu Acacia decurrens Willd. Sebagai Bahan Baku Perekat Untuk Pembuatan Papan Serat. Pertanian Indonesia 9(1): 12-18. Thorstensen TC. 1993. Practical Leather Technology. Florida: Kreiger Publishing Company. Trijati L. 2008. Mekanisme Fading Pada Paduan AC4B Dengan Penambahan 0.0072 wt.% Titanium Hasil Low Pressure Die Casting. Depok: Universitas Indonesia. Yuliasih I, Sugiarto. 2013. Penuntun Praktikum Teknologi Bahan Penyegar, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yuwono B. 2002. Kualitas Fisik dan Kimia Kulit Domba Awet Kering dan Samak Dengan Metode Peracunan dan Pengeringan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
30
Lampiran 1. Foto Bahan Penelitian yang Digunakan
Kulit tuna segar
Bahan penyamak Krom
Bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, quebracho)
31
Lampiran 2. Foto Peralatan Penelitian yang Digunakan
Drum putar (molen)
Toggle dryer
Alat pengukur suhu kerut
Thickness gauge
Shaker
Timbangan
32
Tensile strength tester
UTM Instron
Lampiran 3. Prosedur Analisa Kadar Tanin (Yuliasih 2013) Sebanyak 1 gram contoh direbus di dalam gelas piala selama 30 menit dengan menambahkan 80 ml air destilata. Setelah disaring lalu dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan dipenuhkan hingga tanda tera (filtrat I). a. 2 ml filtrat I ditambahkan dengan 150 ml air destilasi dan 5 ml larutan indigokarmin, kemudian dititrasi dengan KMnO4 0.1 N, sambil diaduk hingga warna berubah menjadi kuning emas pada permukaan cairan tersebut, misalnya diperlukan (a) ml. b. 20 ml filtrat I ditambahkan 10 ml larutan gelatin, 20 ml larutan garam asam dan 2 gram kaolin powder. Selanjutnya dikocok dengan kuat beberapa menit dan disaring (filtrat II), 5 ml cairan dipipet ditambah 5 ml larutan indigokarmin dan 150 ml air destilasi, kemudian dititrasi denan menggunakan KMnO4 0.1 N, Misalnya dalam titrasi diperlukan (b) ml Perhitungan:
Keterangan : a = ml KMnO4 penetrasi cairan a b = ml KMnO4 penetrasi cairan b P1 = pengenceran pada cairan a P2 = pengenceran pada cairan b N = normalitas KMnO4
33
Lampiran 4. Prosedur Uji Sifat Fisik Kulit 1.
Ketebalan (SLTC 1996) Ketebalan kulit diukur dengan cara mengukur ketebalan pada tiga titik permukaan kulit dan dihitung rata-rata dari hasil pengukuran. Pengukuran ketebalan menggunakan alat thickness gauge. Alat diletakkan di atas bidang horizontal dengan permukaan yang rata kemudian sampel diletakkan di antara tatakan dan penekan dengan sisi grain berada di atas (jika dapat diidentifikasi). Jika sisis grain-nya tidak dapat diidentifikasi, maka sampel diletakkan dengan salah satu sisi ke atas. Penekan dilepas, ditunggu sekitar 5 detik ±1 detik, kemudian angka yang terbaca pada meteran dicatat.sebagai ketebalan. Hasil ketebalan yang terbaca kemudian dirata-ratakan.
2.
Kuat tarik (SLTC 1996) Pengujian kekutan tarik dilakukan dengan menggunakan alat tensile strength tester. Sampel dipasang pada alat penguji dengan cara menjepitkan kedua ujung sampel pada alat penjepit. Jarak antar jepitan adalah 5 cm. Setelah sampel terpasang, mesin dinyalakan dan dimatikan ketika sampel terputus. Nilai kekuatan tarik dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
F = nilai yang terbaca pada alat (kgf) l = lebar kulit yang diuji (mm) t = ketebalan kulit (mm) Berikut ini adalah bentuk sampel untuk uji kekuatan tarik
Dimensi (mm): L 55 3.
l1 25
l2 15
b 5
b1 12.5
A 5
Perpanjangan putus (SLTC 1996) Pengujian perpanjangan (elongasi) adalah pengukuran perpanjangan kulit yang ditarik mulai dari kondisi awal sampai dengan akhir yaitu terputusnya kulit pada saat pengujian kekuatan tarik. Perpanjangan dihitung dengan membandingkan perpanjangan kulit ketika terputus pada saat pengujian kekuatan tarik dengan panjang kulit diawal pengukuran.
34
Penghitungan perpanjangan putus dilakukan dengan menggunakan rumus sebagi berikut:
L1 = Panjang pada waktu putus (mm) L0 = Panjang mula – mula (mm) 4.
Kuat sobek (SLTC 1996) Pengujian kekuatan sobek menggunakan alat yang sama dengan uji kekuatan tarik, yang berbeda hanya pada bentuk sampel dan penggunaan alat tambahan pada alat tensile strength tester. Alat tambahan yang digunakan yaitu pengait yang berfungsi untuk menarik sampel uji kekuatan sobek. Sampel dipasang dengan cara mengaitkan bagian tengah sampel pada alat pengait. Alat pengait akan menarik sampel dengan arah yang berlawanan sehingga sampel akan tersobek. Nilai kekuatan sobek yang terbaca pada alat dilihat ketika sampel mulai tersobek dan jarum penunjuk nilai kekuatan sobek pada alat pengujian berhenti. Nilai kekuatan sobek dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
F = Nilai yang terbaca pada alat ( kgf) t = Ketebalan kulit (mm)
Keterangan : A. Penampang alat uji kekeuatan sobek. B. Bentuk dan ukuran sampel C. Posisi sampel untuk pengujian kekuatan sobek.
35
5.
Suhu kerut (SLTC 1996) Prosedur pengujian : 1. Sampel dikaitkan pada pengait D dan J 2. Sampel dimasukkan ke dalam gelas A yang telah berisi 350±50 ml air destilasi. Kecuali sampel diduga mempunyai suhu pengerutan di bawah 60oC , sampel dimasukkan ke dalam air dengan suhu 50±5oC. Air dipanaskan dengan menjaga kenaikan suhu sebisa mungkin sebesar 2oC per menit. 3. Setiap interval setengah menit, suhu yang terbaca pada termometer M dan derajat yang terbaca pada pointer G dicatat. Kegiatan ini diteruskan sampai sampel mengalami pegerutan. Kegiatan ini dapat diakhiri setelah sampel tidak lagi mengalami pengerutan seiring dengan kenaikan suhunya. Dengan membaca hubungan antara suhu dan besarnya derajat pergerakan pointer atau dengan menggunakan grafik hubungan antara pembacaan pointer dengan suhu maka dapat ditentukan derajat pengerutan dari sampel tersebut. Suhu pengerutan adalah suhu dimana terjadi pengerutan sampel dengan derajat paling besar.
A. B.
Keterangan : Penampang alat uji suhu pengerutan. Posisi sampel untuk pengujian suhu pengerutan.
36
Lampiran 5. Analisis uji T kadar tanin bahan penyamak nabati Data hasil pengujian kadar tanin (%) Gambir 16.84 17.64 17.24
Quebracho 23.83 23.37 21.73
Mimosa 25.12 25.41 25.26
Uji Hipotesis : H0 : µa = µb (nilai mean kedua variabel tidak berbeda secara signifikan) H1 : µa ≠ µb (nilai mean kedua variabel berbeda secara signifikan) H0 ditolak apabila nilai signifikansi pada output kurang dari alfa (sig. < α) atau nilai t pada output berada pada rentang t < -t(α/2;df) dan t > t(α/2;df). Dengan nilai α = 0,05 dan df = n-1 = 3-1 = 2 Dari tabel uji-t didapat nilai t tabel untuk t(α/2;df) = t(0,025;2) = 4,302653 Hasil Output Uji-t Berpasangan.
Gambir-Quebracho Gambir-Mimosa Quebracho-Mimosa
Paired differences Mean Stdev Std Error -5.74 1.25 0.72 -8.02 0.25 0.15 -2.28 1.14 0.66
t -7.95 -54.93 -3.46
df 2 2 2
Sig. 0.015 0.000 0.074
37
Lampiran 6. Tabel anova respon variabel ketebalan (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F Value
Sig.
Corrected Model
8
1.32
1.65
2.91
0.066
Intercept
1
1.38
1.38
2432.80
0.000
Bahan
2
6.57
3.29
5.78
0.024*
Konsentrasi
2
3.67
1.83
3.22
0.088
Bahan*Konsentrasi
4
2.99
7479472.39 1.31
0.335
Error
9
5.12
5687032.28
Total
18
1.40
Corrected Total
17
1.83
* Berpengaruh nyata pada taraf 5%
Uji Lanjut Duncan Bahan
N
Subset 1
Mimosa
6
25246.67
Quebracho
6
28028.50
Gambir
6
Sig.
2
28028.50 29897.67
0.74
0.208
Keterangan : Faktor yang masuk ke dalam subset yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata Faktor yang masuk ke dalam dua subset yang berbeda dengan nilai yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
38
Lampiran 7. Tabel anova respon variabel suhu kerut (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F Value
Sig.
Corrected Model
8
25.87
3.23
5.17
0.012
Intercept
1
145044.98 145044.98
231865.86 0.000
Bahan
2
13.71
6.85
10.96
0.004*
Konsentrasi
2
8.84
4.42
7.07
0.014*
Bahan*Konsentrasi
4
3.32
0.829
1.32
0.332
Error
9
5.63
0.626
Total
18
145076.48
Corrected Total
17
31.50
* Berpengaruh nyata pada taraf 5%
Uji Lanjut Duncan Bahan
N
Subset 1
Gambir
6
88.917
Mimosa
6
89.417
Quebracho
6
Sig.
Konsentrasi
2
90.967 0.302
1.000
N
Subset 1
10
6
88.900
15
6
89.783
20
6
Sig.
2
89.783 90.617
0.085
0.101
39
Lampiran 8. Tabel anova respon variabel kuat sobek (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F Value
Sig.
Corrected Model
8
351.361
43.92
52.83
0.000
Intercept
1
114800.35 114800.35
138078.92 0.000
Bahan
2
306.89
153.45
184.56
0.000*
Konsentrasi
2
30.026
15.01
18.06
0.001*
Bahan*Konsentrasi
4
14.44
3.61
4.34
0.031*
Error
9
7.48
0.83
Total
18
115159.19
Corrected Total
17
358.84
* Berpengaruh nyata pada taraf 5%
Uji Lanjut Duncan Bahan
N
Subset 1
Mimosa
6
74.0583
Quebracho
6
82.1967
Gambir
6
83.3283
Sig.
Konsentrasi
1.000
N
10
6
15
6
20
6
0.060
Subset 1
Sig.
2
2
3
78.3433 79.7400 81.5000 1.000
1.000
1.000
40
Lampiran 9. Tabel anova respon variabel kuat tarik (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F Value
Sig.
Corrected Model
8
1.08
1.35
4.76
0.016
Intercept
1
8.32
8.32
2944.00
0.000
Bahan
2
7.76
3.88
13.732
0.002*
Konsentrasi
2
1.99
9976873.72 3.53
0.074
Bahan*Konsentrasi
4
1.01
2518684.81 0.89
0.507
Error
9
2.54
2826502.50
Total
18
8.45
Corrected Total
17
1.33
* Berpengaruh nyata pada taraf 5%
Uji Lanjut Duncan Bahan
N
Subset 1
Quebracho
6
19995.17
Gambir
6
20070.17
Mimosa
6
Sig.
2
24437.50 0.940
1.000
41
Lampiran 10. Tabel anova respon variabel perpanjangan putus (α = 0.05) dan tabel uji lanjut Duncan Sumber Keragaman
df
SS
MS
F Value Sig.
Corrected Model
8
1011.02
126.38
1.356
0.328
Intercept
1
44695.42 44695.42
479.45
0.000
Bahan
2
936.89
468.45
5.02
0.034*
Konsentrasi
2
65.54
32.77
0.35
0.713
Bahan*Konsentrasi
4
8.59
2.15
0.02
0.999
Error
9
838.99
93.22
Total
18
46545.43
Corrected Total
17
1850.01
* Berpengaruh nyata pada taraf 5%
Uji Lanjut Duncan Bahan
N
Subset 1
Mimosa
6
41.26583
Quebracho
6
49.31083
Gambir
6
Sig.
2
49.31083 58.91483
0.183
0.119
42
Lampiran 11. Foto kulit hasil penyamakan kombinasi
Mimosa konsentrasi 10%
Gambir Konsentrasi 10%
Quebracho konsentrasi 10%
Mimosa konsentrasi 15
Mimosa konsentrasi 20%
Gambir Konsentrasi 15%
Gambir Konsentrasi 20%
Quebracho konsentrasi 15%
Quebracho konsentrasi 20%
43
Lampiran 12. Syarat mutu kulit lapis domba/kambing samak kombinasi (kromnabati) (SNI 1989) Jenis Uji Kimiawi Kadar air Kadar minyak/lemak Kadar zat larut dalam air Kadar abu jumlah Kadar krom oksida Derajat penyamakan pH
Fisis Tebal Kekuatan zwik (lastibility) Kekuatan tarik Mulur pada waktu putus Penyerapan air : 2 jam 24 jam Organoleptis Nerf Bagian daging Keadaan kulit
Persyaratan
Keterangan
maksimum 18% (3 - 8) % maksimum 6% maksimum 2% di atas kadar Cr2O3 minimum 1.5 % minimum 25 3.5 - 7.0
(0.7 - 1.2) mm dengan toleransi 5% nerf tidak pecah minimum 75 kgf/cm2 = 7.5 N/mm2 maksimum 25% minimum 60% minimum 80% Licin, warna muda rata Bersih dari sisa daging Cukup lemas
dengan catatan untuk pH 3.5 - 4.5 apabila cairan diencerkan 10x selisih pH sebelum dan sesudah diencerkan harus lebih kecil dari 0.7
44
44
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 24 April 1991 dari pasangan bapak Wisarno (Alm.) dan ibu Supriyati. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari dua kakak laki-laki, Rahmat Pratomo dan Wiryawan Suraji. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2003 di SD Kartika X-4, kemudian dilanjutkan menempuh studi di SMPN 161 Jakarta 2003 – 2006, SMAN 47 Jakarta 2006 – 2009, dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian melalui jalur Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) pada tahun 2009. Selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai sekretaris, dan menjadi kepala divisi intern pada tahun 2011-2012. Penulis yang juga mencintai lingkungan juga aktif dalam kepanitian IPB Green Living Movement, serta kepanitiian lainnya. Di sela-sela organisasinya, penulis juga termasuk sebagai anggota dari grup seni tari Elodea tingkat fakultas. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Serat, Karet, Gum, dan Resin pada tahun 2013. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada bulan Juli - Agustus 2012 dengan program capstone di PT Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur. Judul yang dikerjakan dalam praktik lapang tersebut adalah “Pemanfaatan Limbah Kulit Tuna sebagai Bahan Baku Gelatin dan Kerupuk Kulit guna Meningkatkan Nilai Tambah Di PT Kelola Mina Laut”.