PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) MENGGUNAKAN KULIT KAYU AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP MUTU FISIK KULIT
Oleh: Tomi Alfindo C34104062
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN TOMI ALFINDO. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Fisik Kulit. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan PIPIH SUPTIJAH. Indonesia pernah menjadi negara pengekspor kulit terutama kulit yang berasal dari hewan ternak. Pada tahun 1996 ekspor kulit dapat memberikan kontribusi ekspor sebesar 2,4 miliar dolar AS yang menduduki urutan ketiga di bawah tekstil dan kayu sebagai komoditi ekspor utama non migas. Tetapi pada saat ini kenyataannya Indonesia kekurangan pasokan bahan baku. Impor bahan baku kulit untuk memenuhi kebutuhan industri pun terus meningkat. Oleh karena itu diperlukan antisipasi dengan mencari bahan baku untuk menutupi kekurangan kulit mentah yang berasal dari hewan ternak. Sebagai alternatif dapat digunakan kulit yang berasal dari ikan. Salah satu komoditi perikanan yang diproduksi dalam jumlah besar di Indonesia dan juga merupakan komoditas ekspor adalah ikan tuna (Thunnus sp). Selama pengolahan ikan tuna banyak dihasilkan limbah berupa kulit dalam jumlah besar. Oleh karena itu sangat cocok bila limbah kulit ini digunakan sebagai bahan baku penyamakan. Penyamakan dengan menggunakan bahan penyamak nabati belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini akan mencoba menggunakan bahan penyamak nabati dengan didahului penyamakan krom pada tahap pretanning. Bahan penyamak nabati yang digunakan berasal dari tanaman Akasia (Acacia mangium Willd). Tumbuhan akasia ini mengandung tanin yang merupakan substansi utama pada proses penyamakan kulit. Tanin dari kulit kayu akasia ini pun sudah diperdagangkan, dan dipasarkan dengan paten mimosa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan penyamak nabati yang berasal dari kulit kayu akasia (mimosa) terhadap mutu fisik kulit tuna tersamak dan mencari konsentrasi terbaik dari penggunaan mimosa. Tahapan proses penyamakan kulit ikan tuna adalah sebagai berikut: pengapuran, pembuangan kapur dan pengikisan protein, pengasaman, penyamakan krom, netralisasi, pengetaman, penyamakan ulang (perlakuan mimosa 5%, 10% dan 15%), pengecatan dasar dan peminyakan, pementangan, pelembaban, pementangan kembali dan penyeterikaan. Setelah itu, kulit yang sudah tersamak dilakukan analisis fisik yang meliputi uji kekuatan tarik, kekuatan regang dan kekuatan sobek. Hasil analisis kekuatan tarik menunjukan bahwa penggunaan mimosa memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan tarik kulit tuna tersamak. Semakin besar konsentrasi mimosa yang digunakan maka nilai kekuatan tarik pun akan semakin besar. Hasil analisis kekuatan regang menunjukan bahwa penggunaan mimosa memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan regang kulit tuna tersamak. Semakin besar konsentrasi mimosa yang digunakan maka nilai kekuatan regang akan semakin kecil. Hasil analisis kekuatan sobek menunjukan bahwa penggunaan mimosa memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan sobek kulit tuna tersamak. Semakin besar konsentrasi mimosa yang digunakan maka nilai kekuatan sobek pun akan semakin besar.
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) MENGGUNAKAN KULIT KAYU AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP MUTU FISIK KULIT
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Tomi Alfindo C34104062
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Penelitian
: Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Fisik Kulit.
Nama Mahasiswa
: Tomi Alfindo
NRP
: C34104062
Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc.
Dra. Pipih Suptijah MBA
NIP : 19611101 198703 1 002
NIP : 19531020 198503 2 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc NIP : 19610410 198601 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
yang
berjudul
“PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) MENGGUNAKAN KULIT KAYU AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP MUTU FISIK KULIT” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Juni 2009 Tomi Alfindo C34104062
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Juni 1986 yang merupakan anak kedua dari 3 bersaudara pasangan bapak M. Daler dan ibu Eva Wati. Penulis memulai pendidikan pertamanya di TK Sejahtera Bogor (1991 – 1992) dan melanjutkan ke Sekolah Dasar di SD Negeri Panaragan III Bogor (1992 – 1998). Setelah lulus SD, kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 1 Bogor pada tahun 1998 – 2001 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2001 – 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus PSDM HIMASILKAN (2006-2007). Selain itu penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti OMBAK (2006-2007), SANITASI (2006), Gemar Makan Ikan (GMI) (2007), dan PORIKAN (2006). Penulis pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Teknologi Pengolahan Tradisional Hasil Perairan pada tahun 2008. Penulis pun pernah mengikuti beberapa seminar, diantaranya: “Journalistik Fair”, “Ketika Alumni Bicara”, dan “Flu Burung”. Prestasi yang pernah diraih adalah menjadi peringkat pertama pada lomba Pekan Ilmiah Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan Nasional (PIMPIKNAS) tahun 2006. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Parameter Fisik Kulit” di bawah bimbingan Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc. dan Dra. Pipih Suptijah MBA.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan ridhoNya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Fisik Kulit” ini dengan baik. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini dibuat sabagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu atas kelancaran proses penelitian dari tahap awal hingga tahap penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada: 1.
Orang tua, M. Daler dan Eva Wati atas semua doa dan kasih sayang yang diberikan.
2.
Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc dan Dra. Pipih Suptijah MBA sebagai komisi pembimbing atas segala bimbingan, masukan, kritik, saran, pengertian dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
3.
Ir. Dadi R. Sukarsa dan Ir. Djoko Poernomo B.Sc selaku penguji tamu atas masukan dan bantuannya dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini.
4.
Ibu Desniar S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik.
5.
Pak Nurul Haq yang telah memberikan banyak masukan, saran dan membantu dalam penyediaan bahan.
6.
Kakakku Melly dan adikku Tya yang selalu memberikan dorongan dan semangat untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
7.
Mauwo Yamsasni, Paetek Nusyirwan, Uni Yanti, Paangah Khaidir dan te’ nen beserta seluruh sanak keluarga yang selalu bertanya “kapan di wisuda
Tom?” yang menjadikan penulis terpacu untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8.
Kakek, nenek, om-om dan tante-tante yang berada di Bukittinggi dan Duri.
9.
Adikku Adi, Rizky, U-u dan Fathan dan juga keponakanku Nazwa yang masih kecil-kecil yang menjadi sumber semangatku.
10. Rita, Glory, Laler, Anang, An’im, Boby, Hangga, Dhias, Ika, Iis, Ranti, Dika atas semua semangat dan bantuan riil yang telah diberikan. 11. Nuzul, Yudha, Gilang, Pelor, Dede, Ucok, Bojonk, Pia, Ary, Yanti, Bucek, Alim, Yayan, Haris, Dila, Nia, Windy, Vera, Ima, Anez, Syeni, Indah, Sayt, Deboy, Dani, Afid, Ubeat, Yogi, Wisnu, Juan, Rijal, Rijan, Popeye dan teman-teman THP 41lainnya yang belum disebutkan, bersama kalian hidup selama lima tahun di IPB ini menjadi lebih berarti. 12. Mas Zacki, Mas Ipul, Mas Mail, Pak Ade dan Staf TU THP lainnya. 13. Teman-teman THP 42, 43, dan 44. 14. Pak Gunawan beserta staf di PPMB Ciracas yang membantu selama proses Analisis. 15. Semua orang yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang selalu memberikan doa dan perhatian kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Juli 2009
Tomi Alfindo
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xi
1. PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2.Tujuan .......................................................................................................
4
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
5
2.1.Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp.) ..................................
5
2.2.Klasifikasi dan Deskripsi Tumbuhan Akasia (Acacia mangium Willd) ...
6
2.3.Kulit Hewan ...............................................................................................
8
2.4.Kulit Ikan. .................................................................................................
9
2.5.Kulit Tersamak ..........................................................................................
9
2.6.Penyamakan (tanning) .............................................................................. 10 2.7.Penyamakan Krom (Cr2O3) ....................................................................... 11 2.8.Bahan Penyamak........................................................................................ 11 2.9.Bahan Kimia Pembantu ............................................................................. 12 2.10.Tujuan Setiap Tahap Proses Penyamakan ............................................... 14 2.11.Ekstraksi Tanin dari Kulit Kayu Akasia ................................................. 17 3. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 18 3.1.Waktu dan Tempat .................................................................................... 18 3.2.Alat dan Bahan .......................................................................................... 18 3.3.Prosedur Penyamakan Kulit ...................................................................... 18 3.4.Analisis Produk .......................................................................................... 3.4.1.Kekuatan tarik ................................................................................ 3.4.2.Kekuatan regang ............................................................................. 3.4.3.Kekuatan sobek...............................................................................
23 23 24 25
3.5.Analisis Data ............................................................................................. 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 27 4.1. Sifat Fisik .................................................................................................. 27 4.2. Kekuatan Tarik ......................................................................................... 27 4.3. Kekuatan Regang ...................................................................................... 30 4.4. Kekuatan Sobek ........................................................................................ 32 5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 35 5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 35 5.2. Saran.......................................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36 LAMPIRAN ......................................................................................................... 39
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Data impor kulit Indonesia ...........................................................................
1
2. Data produksi ikan tuna dan cakalang...........................................................
2
3. Data ekspor ikan tuna ke beberapa negara tujuan .........................................
2
4. Basisitas garam krom .................................................................................... 12
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Ikan tuna (Thunnus sp.) .................................................................................
5
2. Tumbuhan akasia (Acacia mangium Willd)..................................................
7
3. Diagram alir proses penyamakan kulit ikan tuna .......................................... 19 4. Contoh cuplikan untuk uji kuat tarik............................................................. 24 5. Contoh cuplikan sebelum dilakukan uji tarik................................................ 24 6. Contoh cuplikan setelah dilakukan uji tarik .................................................. 24 7. Contoh cuplikan untuk uji kuat sobek........................................................... 25 8. Grafik nilai rata-rata kekuatan tarik (kg/cm2) kulit tuna tersamak................ 28 9. Grafik nilai rata-rata kekuatan regang (%) kulit tuna tersamak .................... 30 10. Grafik nilai rata-rata kekuatan sobek (kg/cm) kulit tuna tersamak............... 32
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1a. Nilai rata-rata kekuatan tarik kulit tuna tersamak ...................................... 40 1b. Analisis sidik ragam kekuatan tarik kulit tuna tersamak............................ 40 1c. Uji lanjut Duncan kekuatan tarik kulit tuna tersamak................................ 40 2a. Nilai rata-rata kekuatan regang kulit tuna tersamak................................... 41 2b. Analisis sidik ragam kekuatan regang kulit tuna tersamak ........................ 41 2c. Uji lanjut Duncan kekuatan regang kulit tuna tersamak ............................ 41 3a. Nilai rata-rata kekuatan sobek kulit tuna tersamak .................................... 42 3b. Analisis sidik ragam kekuatan sobek kulit tuna tersamak.......................... 42 3c. Uji lanjut Duncan kekuatan sobek kulit tuna tersamak.............................. 42 4.
Data mentah uji kekuatan tarik kulit tuna tersamak ................................... 43
5.
Data mentah uji kekuatan regang kulit tuna tersamak ............................... 44
6.
Data mentah uji kekuatan sobek kulit tuna tersamak ................................. 45
7.
Gambar mesin uji tarik merk “Zwick Roell” ............................................. 46
8.
Gambar alat pengukur ketebalan merk “atsfaar” ....................................... 46
9. Gambar alat pengukur lebar merk “Mitutoyo” .......................................... 47 10. Gambar kulit ikan tuna pada proses pengasaman ...................................... 47
1. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki industri penyamakan kulit
yang sudah berkembang pesat, terutama penyamakan yang menggunakan kulit yang berasal dari hewan darat seperti kerbau, sapi, kambing dan domba. Produk yang dihasilkannya pun beragam, seperti sepatu, tas, jaket dan produk lain yang memiliki mutu yang tak kalah dengan produk luar negeri. Kejayaan ekspor produk kulit pernah terjadi pada tahun 1986-1996. Saat itu, pemerintah berhasil menggeser produk-produk kulit dari hulu ke hilir sehingga ekspor produk kulit berupa jaket, sepatu dan sarung tangan berkembang pesat. Pada tahun 1996 ekspor kulit dan produk kulit dapat memberikan kontribusi ekspor sebesar
2,4 miliar
dolar AS yang menduduki urutan ketiga di bawah tekstil dan kayu sebagai komoditi ekspor utama non migas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan ekspor produk kulit Indonesia antara tahun 2000-2004 memang mengalami peningkatan dari 1,225 miliar dolar AS pada tahun 2000 menjadi 3,106 miliar dolar AS pada tahun 2004 (Anonimous 2006). Produksi kulit di Indonesia saat ini mencapai 440 juta buah dengan nilai Rp 34,81 triliun (Widiyanti 2007). Tetapi pada saat ini kenyataannya Indonesia kekurangan pasokan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor bahan baku kulit mentah dan kulit jadi untuk memenuhi kebutuhan industri pun terus meningkat. Data impor kulit dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data impor kulit Indonesia Tahun
Volume (Ton)
Nilai (Dolar AS)
2005
1.407
1,24 juta
2006
2.293
1,14 juta
2007
4.026
2,21 juta
Sumber: (Yuliawati 2008).
Berdasarkan fakta tersebut sudah seharusnya pemerintah mengantisipasi permasalahan diatas, yaitu dengan mencari bahan baku kulit untuk menutupi kekurangan bahan baku kulit yang berasal dari hewan ternak. Sebagai alternatif dapat digunakan kulit yang berasal dari ikan. Mengingat luas perairan Indonesia lebih besar dibanding luas daratannya membuat produksi perikanan di Indonesia tergolong besar, begitu juga dengan banyaknya jenis ikan (komoditi) yang ditangkap. Salah satu komoditi perikanan yang diproduksi dalam jumlah besar di Indonesia dan juga merupakan komoditi ekspor adalah ikan tuna. Data produksi ikan tuna dan cakalang dapat dilihat pada Tabel 2. Dari data produksi tersebut, bila diasumsikan rendeman kulit ikan tuna sebesar 7% dari bobot total ikan tuna, maka akan diperoleh limbah kulit tuna sebanyak 11.000 ton per tahun. Komoditas
Tabel 2. Data produksi ikan tuna dan cakalang Tahun (dalam Ton) 2004
2005
2006
2007
Tuna
176.996
183.144
159.404
191.558
Cakalang
233.319
252.232
277.388
697.166
Sumber: (BPS 2009).
Total ekspor tahun 2005 sebesar 91.631 ton, tahun 2006 sebesar 91.822 ton dan tahun 2007 sebesar 121.315 ton (DKP 2008). Sedangkan data ekspor ikan tuna ke beberapa negara tujuan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data ekspor ikan tuna ke beberapa negara tujuan Tahun (dalam Ton) Negara tujuan 2005
2006
2007
Jepang
30.356
30.998
31.329
USA
21.773
21.212
21.375
Singapura
4.097
2.909
3.140
United Kingdom
2.837
1.282
1.323
China
1.963
1.419
3.380
Sumber: (DKP 2008).
Selain dijual dalam bentuk segar, umumnya ikan tuna diolah menjadi tuna kaleng, produk beku (loin tuna) dan pada saat ini sudah banyak pengolahan tuna menjadi steak dan fillet tuna. Selama proses pengolahan tersebut, tentunya banyak limbah yang dihasilkan, diantaranya sirip, sisik, tulang dan juga kulit. Untuk menambah nilai dari limbah kulit ini maka sangat cocok untuk dijadikan bahan baku penyamakan, mengingat ukuran kulit ikan tuna lebih besar dibanding kulit ikan pada umumnya. Pengolahan limbah kulit seperti ikan patin, ikan pari dan beberapa jenis ikan lainnya selama ini hanya dimanfaatkan menjadi kerupuk. Sedangkan untuk kulit ikan tuna pemanfaatannya belum banyak dikembangkan. Penyamakan bukan merupakan hal baru di Indonesia. Namun selama ini penerapannya lebih banyak ke hewan darat seperti kambing, sapi dan domba. Perkembangan penyamakan kulit ikan dapat dikatakan lambat, padahal kulit ikan tersamak sangat potensial dikembangkan. Oleh karena itu usaha penyamakan kulit ikan tidak hanya memberikan nilai tambah pada limbah kulit, tetapi juga merupakan alternatif dalam mencukupi kebutuhan bahan baku kulit dalam industri perkulitan di Indonesia yang telah diaplikasikan ke dalam pembuatan produk berbahan dasar kulit seperti sepatu, tas, jaket, sabuk, dompet dan beberapa produk lainnya. Penyamakan kulit dapat dilakukan dengan menggunakan bahan penyamak nabati, mineral maupun sintetis. Selama ini kebanyakan proses penyamakan kulit hanya menggunakan bahan penyamak krom yang merupakan bahan mineral. Penyamakan dengan krom ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya: kulit yang dihasilkan akan lebih lemas, tahan terhadap panas yang tinggi dan kekuatan tariknya lebih tinggi (Purnomo 1992). Penggunaan bahan penyamak nabati dalam proses penyamakan kulit belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini akan mencoba menggunakan bahan penyamak nabati yang didahului dengan bahan penyamak krom pada tahap pretanning. Bahan penyamak nabati yang digunakan berasal dari tanaman Akasia (Acacia mangium Willd). Tanaman ini merupakan tanaman yang tergolong cepat tumbuh (fast growing species) dan yang terpenting pada tanaman akasia ini mengandung tanin yang merupakan substansi utama pada proses
penyamakan kulit. Bagian yang banyak mengandung tanin pada tumbuhan ini adalah pada bagian kulit kayu (babakan). Penggunaan bahan penyamak nabati dalam penyamakan kulit akan mempengaruhi kualitas fisik kulit, baik itu kekuatan tarik, kekuatan sobek maupun karakter fisik lainnya. Selain itu dapat mereduksi penggunaan krom yang diketahui memiliki limbah berupa cairan krom hasil penyamakan yang berbahaya bagi lingkungan maupun makhluk hidup. Dari segi ekonomis penggunaan bahan penyamak nabati lebih murah dibanding bahan penyamak krom. Potensi limbah kulit kayu akasia yang merupakan tanaman untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) ini di masa mendatang akan sangat besar dengan semakin digalakkannya HTI akasia. Dengan perhitungan kulit kayu sekitar 10% dari batang kayu, maka akan didapatkan limbah kulit kayu sekitar 3 juta ton lebih per tahun (Prasetya 1995). Pemanfaatan limbah kulit kayu sebagai sumber energi kurang memberikan nilai tambah yang menguntungkan. Salah satu pemanfaatan limbah kulit kayu yang mempunyai prospek yang baik adalah pemanfaatan bahan tanin yang terkandung di dalamnya untuk perekat kayu atau komposit kayu. Oleh karena adanya kandungan tanin maka sangat tepat jika kulit kayu akasia digunakan pada proses penyamakan kulit. Tanin dari kulit kayu akasia ini pun sudah diperdagangkan, dan dipasarkan dengan paten mimosa. 1.2.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui pengaruh penggunaan bahan penyamak nabati yang berasal dari kulit kayu akasia terhadap mutu fisik kulit tersamak ikan tuna.
2.
Mencari konsentrasi terbaik dari penggunaan kulit kayu akasia (mimosa).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Ikan tuna termasuk ke dalam ikan pelagis besar dalam keluarga
Scombridae yang mempunyai warna biru kehitaman pada bagian punggung dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut. Ikan tuna tergolong ikan perenang cepat, tubuhnya seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan biasanya lebih pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh hypural (DKP 2008). Gambar ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Sub kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Sub ordo
: Scombroideae
Famili
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Spesies
: Thunnus sp.
Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp.) Sumber: (Collette 1995).
Ikan tuna hidup pada habitat berupa perairan dengan suhu 10 – 40oC, pada kedalaman 0 - 400 m di bawah permukaan laut.
Faktor yang berpengaruh
terhadap pola penyebaran ikan tuna antara lain suhu, arus, salinitas perairan dan tempat memijah. Ikan tuna termasuk ke dalam ikan buas, karnivor, predator dan dapat mencapai panjang 50 - 150 cm.
Selain itu, ikan memiliki kebiasaan
bergerombol kecil dan biasanya tertangkap bersama-sama ikan cakalang. Cara penangkapannya dengan memakai peralatan seperti tuna longline, purse seine, pole and line dan trolling. Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi ikan tuna merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara samudera Hindia dan samudera Pasifik (DKP 2008). 2.2.
Klasifikasi dan Deskripsi Tumbuhan Akasia (Acacia mangium Willd) Tumbuhan akasia (Acacia mangium Willd) merupakan jenis pohon cepat
tumbuh (fast growing species). Klasifikasi taksonomi dari tumbuhan ini adalah sebagai berikut (Anonymous 1983 diacu dalam Widodo 2002):
Sub Kingdom : Embryophyta Filum
: Tracheophyta
Sub Fiilum
: Pteropsida
Kelas
: Angiospermae
Sub Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Family
: Leguminosae
Sub Family
: Mimosoideae
Genus
: Acacia
Spesies
: Acacia mangium
Akasia termasuk ke dalam pohon berbuah polong-polongan yang cepat tumbuh. Berbunga majemuk dan daunnya berupa daun semu (filodia), dimana tangkai daun berkembang dan berfungsi sebagai daun untuk menggantikan daun sejati yang telah tereduksi. Daun dewasa sangat besar dengan lebar 5 - 10 cm dan panjang 25 cm, berbentuk bulat telur sampai elips, berwarna hijau tua dan terdapat tiga sampai empat tulang daun utama (Keng 1978 diacu dalam Hilwan 1993). Tanaman ini menyebar alami di Queensland utara Australia, Papua New Guinea hingga propinsi Papua dan Maluku. Tanaman ini tergolong tanaman yang cepat tumbuh, pohon berumur pendek (30 - 50 tahun), beradaptasi terhadap tanah asam (pH 4,5 - 6,5) di dataran rendah tropis yang lembab. Tidak toleran terhadap musim dingin. Tumbuh baik pada tanah subur yang baik drainasenya, tetapi tahan terhadap tanah yang tidak subur dan jelek drainasenya, pohon mudah terbakar, dapat menjadi gulma pada kondisi tertentu (IFSP 2001). Gambar tumbuhan akasia dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 2. Tumbuhan Akasia (1. Pohon: 2. Bunga: 3. Polong) Sumber: (IFSP 2001)
Kemampuan akasia untuk tumbuh pada tanah asam dengan pH 4,2 merupakan suatu keistimewaannya, mengingat tanah asam tersebut tersebar luas di daerah tropis. akasia berwarna coklat pucat tua, kadang coklat zaitun. Kayu akasia mempunyai corak polos atau berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial.
Teksturnya halus sampai agak kasar dan merata, arah serat
biasanya lurus, kadang-kadang berpadu. rabanya
licin,
kekerasannya
berkisar
Permukaan mengkilap, kesan dari
agak
kasar
sampai
kasar
(Mandang dan Pandit 1997).
2.3. Kulit Hewan Bila ditinjau secara histologis kulit hewan mempunyai struktur yang sama, terdiri dari tiga lapisan, yaitu: epidermis, corium (derma) dan hypodermis
(subcutis).
Epidermis adalah lapisan kulit terluar, lapisan epidermis pada
penyamakan kulit harus dibuang sampai bersih sehingga didapatkan hasil penyamakan yang bagus (Judoamidjojo 1981). Kulit hewan pada umumnya mempunyai sifat-sifat alami yang sangat bervariasi.
Faktor yang menyebabkan adanya variasi ini cukup banyak,
diantaranya adalah faktor umur, keturunan, lingkungan hidup dan faktor pemeliharaan atau manajemen. Sifat kulit pada daerah satu dan lainnya berbeda, misalnya tebal kulit dari bagian depan kearah ekor semakin menipis, demikian juga secara lateral dari daerah tulang punggung ke arah perut. Kepadatan jaringan serat kolagen pun tidak sama pada daerah satu dan lainnya. Kulit mentah adalah bahan baku kulit hewan yang baru ditanggalkan dari hewannya sampai mengalami proses-proses pengawetan (Judoamidjojo 1974). Kulit hewan yang baru dikuliti dari hewannya mudah menjadi busuk, karena kulit merupakan suatu media yang baik untuk berkembangnya mikroorganisme, terutama bakteri-bakteri pembusuk. Hal ini terkait dengan kandungan air yang tinggi dalam kulit hewan segar. Kulit hewan yang masih segar mengandung air 65%, yang terdiri dari air terikat (polar) dan air bebas (kapiler) (Fahidin 1977). Komponen kimia kulit terdiri dari sebagian besar protein 80 % dari bahan kering dan 20 % adalah non-protein. Protein kulit terdiri dari dua golongan yaitu: protein serat (fibrous) dan protein globular. Contoh protein serat adalah kolagen, elastin dan keratin, sedangkan protein globular adalah albumin dan globulin (Judoamidjojo 1979). Kandungan mineral yang ada dalam kulit kira-kira 0,5 % dari berat kulit. Mineral yang utama antara lain kalsium (Ca), kalium (K), magnesium (Mg), besi (Fe), klorida, sulfat, karbonat dan fosfat (Fahidin 1977). Berdasarkan SNI 6 - 4900 - 1998 untuk kulit sapi samak kombinasi (nabati-krom/sintetis)
yang
dicat
tutup,
syarat
mutunya
meliputi:
kimiawi (kadar air maksimal 20 %, derajat penyamakan minimal 40 %); fisik (tebal minimal 1,0 mm, kekuatan tarik minimal 1500 N/cm2, ketahanan gosok cat tutup); organoleptik (keadaan kulit, cat, bagian daging) (BSN 1998).
2.4.
Kulit Ikan Kulit ikan sama seperti vertebrata yang lain, terdiri dari dua jaringan,
yaitu: bagian luar yang disebut epidermis dan bagian dalam yang disebut dermis (corium).
Pada spesies lain (elasmobranchii, salmon dan lain sebagainya)
integumennya cukup kuat sehingga bermanfaat dalam pembuatan kulit samak (Oosten 1969). Kulit ikan mengandung air 69,6 %, protein 26,9 %, abu 2,5 % dan lemak 0,7 % (Oosten 1969). Konstituen dari kulit ikan secara kimiawi dapat dibagi atas dua golongan yaitu konstituen non protein dan konstituen protein. Konstituen non protein yang penting adalah lipid, karbohidrat, mineral, enzim dan vitamin (Judoamidjojo 1974). Berdasarkan SNI 6 - 6121 - 1999 syarat mutu kulit ikan pari yang diklasifikasikan dalam tiga kelas meliputi; tebal minimal 1 mm; suhu pengerutan minimal
70oC;
kekuatan
tarik
minimal
2000
N;
kekuatan
sobek
minimal 300 N; kadar air maksimal 20%; kadar minyak/lemak maksimal 12 %; keadaan kulit (liat, lemas, tidak keriput); manik-manik (kuat, warna rata) (BSN 1999). 2.5.
Kulit Tersamak Kulit tersamak adalah kulit hewan yang dikerjakan sedemikian rupa
sehingga lebih permanen, tahan terhadap dekomposisi bila basah dan bersifat lemas bila kering. Melalui penyamakan kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme (Judoamidjojo 1981). Salah satu sifat fisik kulit tersamak yang sangat penting adalah kekuatan tarik. Adapun definisi dari kekuatan tarik adalah beban maksimum per satuan luas yang dibutuhkan untuk menarik cuplikan (contoh uji) sampai putus dan dinyatakan dalam kg/cm2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik kulit tersamak diantaranya ketebalan, struktur kulit, penanganan sewaktu masih hidup dan penanganan setelah pengulitan (Anonymous 1989).
Kulit yang disamak dengan bahan penyamak krom akan mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati, antara lain: kulit tersamak akan lebih lemas, tahan terhadap panas yang tinggi, kekuatan tariknya lebih tinggi dan hasilnya akan lebih baik bila dilakukan pengecatan. Komponen yang memegang peranan penting adalah elastin karena merupakan bahan dasar pembuatan kulit samak (Judoamidjojo 1979). Karena sifat tersebut diatas, maka kulit tersamak dengan krom lebih cocok untuk dijadikan kulit atasan sepatu, baju, sarung tangan, tas, koper dan lain-lain (Purnomo 1992). 2.6.
Penyamakan (Tanning) Penyamakan adalah seni atau teknik dalam mengubah kulit mentah
menjadi kulit samak.
Penyamakan juga memiliki pengertian sebagai suatu
rentetan pengerjaan pada kulit dengan zat-zat atau bahan-bahan penyamak sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh kimia, fisik dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu (Judoamidjojo 1974). Prinsip dari proses penyamakan menurut Judoamidjojo (1981) adalah sebagai berikut: a)
Pembuangan bagian-bagian yang tidak dikehendaki, misalnya epidermis, hypodermis dengan perendaman dan pengapuran kemudian pembuangan sisik, lendir dan daging.
b)
Persiapan tenunan derma untuk disamak, yaitu dengan perendaman, pengapuran,
pembuangan
kapur,
pelumatan
dan
pemikelan
atau
pengasaman. Proses-proses tersebut membebaskan kulit epidermis serta mempersiapkan derma secara kimia dan mekanis. Pengapuran yang dapat memperlunak epidermis dan membuka tenunan kulit adalah proses kimia. Sedangkan pembuangan rambut dan hypodermis dengan menggunakan pisau adalah proses mekanis. c)
Penyamakan yaitu absorpsi dari zat penyamak dalam larutan oleh substansi kulit akan mengubah kulit mentah menjadi kulit samak.
d)
Proses perampungan, seperti pelemakan, pengeringan, pengecatan, pementangan, pengetunan (peregangan), kesemuanya bertujuan untuk memperbaiki kualitas dan rupa kulit samak.
2.7.
Penyamakan Krom (Cr2O3) Penyamakan kulit dengan bahan penyamak krom dilakukan melalui
tahap-tahap sebagai berikut: kulit direndam dan diaduk dalam larutan 200% air dan 3% garam selama lima menit. Setelah itu kulit direndam dan diaduk dalam larutan 5% Cr2O3 selama satu jam. Akhirnya kulit direndam dan diaduk lagi selama tiga kali (masing-masing 15 menit) dalam larutan 1% Na2CO3, setelah itu perendaman ditambah lagi selama satu jam (Hak 1980). Bahan penyamak krom mempunyai sifat sebagai berikut: basisitas rendah, molekul kecil, daya ikat kecil, penetrasi cepat dan dalam larutan yang encer molekul akan membesar (Anonymous 1975). Kematangan penyamakan dapat diperiksa dengan uji didih. Sepotong kulit diukur panjang maksimumnya (dengan sedikit tarikan), dimasukkan ke dalam air mendidih dan direbus selama 10 menit. Apabila setelah diukur masih terjadi pengerutan maka penyamakan belum sempurna, sehingga pemutaran perlu dilanjutkan 0,5 - 1 jam lagi (Judoamidjojo 1974). 2.8.
Bahan Penyamak Bahan penyamak adalah substansi yang digunakan untuk menkonversi
kulit mentah menjadi kulit samak. Bahan penyamak untuk industri perkulitan terbagi menjadi empat golongan besar, yaitu: bahan penyamak nabati, sintetis, mineral dan bahan penyamak lemak atau aldehid (Judoamidjojo 1974). a)
Bahan penyamak nabati adalah bahan penyamak yang diambil dari tumbuh-tumbuhan. Ada yang diambil buahnya (jambe), diambil daunnya (gambir), diambil kulit kayunya (akasia dan bakau).
b)
Bahan penyamak sintetis adalah bahan penyamak yang terbuat dari senyawa phenol yang telah dibesarkan molekulnya dengan jalan kondensasi dan sulfitasi.
c)
Bahan penyamak mineral antara lain: Fe, S, Zn, Al dan Cr. Dari sekian banyak logam yang sampai sekarang tetap unggul adalah Cr atau Chromium yang bervalensi 3.
Bahan penyamak krom adalah suatu persenyawaan
kompleks dari krom yang cukup besar untuk bersifat menyamak kulit. Bahan ini pun dapat dikatakan berupa paten pabrik, dipasaran dikenal dengan chromosal dan chromitan.
Kekuatan menyamaknya dinyatakan dalam
persen basisitas atau kadar Cr2O3 dalam persen. Garam krom ini mampu bereaksi dan membentuk ikatan dengan asam amino bebas dalam struktur protein kolagen yang reaktif. Ikatan yang terbentuk antara krom dengan protein kulit disebut ikatan silang.
Ikatan silang yang terbentuk selama
proses penyamakan akan menyebabkan berubahnya sifat kulit mentah menjadi lebih tahan terhadap pengaruh fisik maupun kimia (Purnomo 1992). Basisitas dari cairan krom adalah perbandingan antara valensi OH dan valensi Cr yang terdapat dalam kompleks dikalikan 100%. Penyamakan biasanya dimulai dari basisitas 33% dan berakhir pada basisitas 50 - 60% (Judoamidjojo 1974). Tabel 4. Basisitas garam krom Jenis garam krom
Basisitas
Warna kelarutan
Kekuatan ikatan
Krom sulfat
0%
Hijau sangat baik
Kurang
Krom sulfat
33%
Hijau sangat baik
Sedang
45%
Hijau sangat baik
Baik
66%
Hijau kurang
Baik sekali tetapi sulit
basis sedang Krom sulfat basis tinggi Krom sulfat basis sangat tinggi Krom hidroksida
masuk dalam kulit 100%
Hijau pucat
Tidak ada
Sumber: Purnomo (1992).
d) Bahan penyamak lemak dan aldehyd biasanya berasal dari minyak ikan hiu atau lainnya yang dalam perdagangan disebut minyak ikan kasar.
Bahan penyamak lemak banyak digunakan untuk menyamak kulit beludru. Minyak-minyak atau lemak yang dapat dipakai untuk tujuan ini ialah minyak yang mempunyai ikatan rangkap (Judoamidjojo 1979). 2.9.
Bahan Kimia Pembantu Sebagian besar penggunaan bahan kimia pembantu adalah dalam proses
penyamakan kulit. Jika sistematika didasarkan pada proses-proses dalam penyamakan, maka dapat disusun berdasarkan tahap penyamakan menurut Judoamidjojo (1979) sebagai berikut: a)
Cismolan atau moluscal, merupakan paten-paten zat pembantu dalam proses perendaman kulit karena bersifat merendahkan tekanan permukaan dan bersifat bakteriostatik. Untuk pengganti bahan ini dapat digunakan teepol atau sabun biasa.
b)
Kapur Ca(OH)2, digunakan dalam proses pengapuran yaitu untuk menghidrolisa protein kulit sampai batas tertentu dan membuang bulu atau rambut
c)
Dekaltal, merupakan zat paten yang digunakan untuk membuang kapur di dalam kulit. Sebagai pengganti dapat pula digunakan asam lemah seperti asam asetat.
d)
Oropon atau enzylon, merupakan bahan pembeitsan.
Tujuannya adalah
menghidrolisa secara enzimatik tenunan kulit untuk memperhatikan seratnya. Bahan ini pernah merupakan bahan paten, tetapi sekarang dapat dibuat sendiri. e)
Soda abu (NaHCO3), merupakan zat pembantu dalam penyamakan mineral atau krom dalam meninggikan basisitas sehingga mematangkan kulit samak.
f)
Asam H2SO4 atau HCl dan garam dapur NaCl yang dikombinasikan merupakan cairan pemikelan yang diperlukan dalam penyamakan mineral atau untuk pengawetan kulit.
g)
Zat warna khusus untuk kulit diperlukan dalam memberi warna dasar pada kulit. Di pasaran dikenal zat warna asam, zat warna basa dan zat warna belerang. Adapun penggunaanya harus disesuaikan dengan jenis dan kondisi kulit samak.
h)
Bahan minyak atau lemak, diperlukan untuk memberikan sifat fleksibel pada kulit karena pergeseran antara serat dikurangi.
i)
Cat kulit, diperlukan untuk memperindah rupa kulit dengan lapisan cat. Pada saat ini telah banyak jenis cat yang baik dari bahan dasar plastik. Cat jenis lain seperti cat protein pun masih banyak digunakan untuk memperoleh kulit dengan mutu tertentu karena cat protein masih dapat bernafas melalui poripori, sedangkan cat plastik merupakan lapisan yang kompak.
j)
Sandozin NIL, diperlukan pada proses perendaman sebagai wetting agent, artinya untuk mengembalikan kondisi kulit seperti kulit yang masih segar dan juga mengembalikan kadar air yang hilang selama proses pengawetan. Sandozin NIL ini tersusun atas 2,4,6-trichloro-1,3,5-triazine dengan tiga titik wetting agent.
k)
Sandopan DTC, Substansi yang tersusun atas R--O--(CH2CH2O)n--CH2-CO2H.
l)
Syntan, dibuat melalui treatment substansi aromatik seperti phenol, naphthalene dengan formaldehid asam sulfur. Terdapat banyak variasi pada bahan-bahan penyusun syntan, tergantung dari jumlah yang digunakan dan metodologi dari manufakturnya. Walaupun syntan dapat digunakan sendiri untuk menghasilkan kulit, tetapi banyak syntan yang kekurangan kemampuan mengisi dari tanin nabati dan menghasilkan kulit tipis yang tidak diinginkan. Syntan juga memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan tanin alami.
m) Antimould, Substansi yang tersusun atas 2-Oktill-2H-Isothiazol-3-one. Substansi ini digunakan untuk proses dyeing, yakni pewarnaan atau pengecatan dasar untuk mendapatkan warna kulit yang diinginkan.
Perlu diketahui bahwa beberapa bahan kimia pembantu tersebut mempunyai sifat bervariasi dalam merek, penamaan maupun mutunya sehingga diperlukan perhatian khusus dalam aplikasinya. 2.10.
Tujuan Setiap Tahap Proses Penyamakan Dalam penyamakan kulit terdapat beberapa tahapan proses yang
masing-masing tahapannya memiliki tujuan (Judoamidjojo 1979), diantaranya: 1.
Perendaman (soaking) Tujuan dari proses perendaman antara lain: a)
Mengembalikan keadaan kulit yang telah diawet sebagaimana kulit hewan segar. Dengan sendirinya kulit yang baru dikuliti dari hewannya (kulit hewan segar) tidak perlu melalui proses perendaman, hanya dicuci dan dapat langsung dilakukan pengapuran.
b)
Membersihkan kulit dari kotoran-kotoran, seperti: tanah, darah dan mikroorganisme.
c)
Menghilangkan bahan-bahan pengawet yang digunakan, seperti; garam dan bahan pengawet lainnya.
d) 2.
Melarutkan protein substansi interfibrilair. Pengapuran (liming)
Proses pengapuran bertujuan untuk: a)
Menghilangkan epidermis dan bulu/rambut.
b)
Menghilangkan substansi interfibrilair yang masih ada.
c)
Melanjutkan pembengkakan (swelling) yang telah dimulai pada tahap perendaman.
d)
Menceraikan
serabut-serabut
kolagen
menjadi
serat-serat
atau
fibril/peptisasi, sehingga kulit menjadi lebih lemas dan terbuka/longgar.
e)
Menyabunkan lemak.
f)
Menghidrolisa elastin dan kelenjar-kelenjar.
3.
Pembuangan Kapur (deliming) Tujuan dari pembuangan kapur adalah: a)
Menghilangkan/mengurangi kadar kapur di dalam penampang kulit.
b)
Menghilangkan pembekuan akibat dari pengapuran. Bahan-bahan yang digunakan antara lain: asam-asam atau garam-garam ammonium, banyaknya antara 0,5 - 1% dari berat kulit tanpa bulu. Garam-garam ammonium daya pembuang kapurnya bisa lebih sempurna dan lebih aman.
4.
Pembitsan (bating) Proses ini bertujuan untuk: a)
Membersihkan sisa-sisa keratin, epidermis, rambut, pigmen dan lemak.
b)
Melanjutkan peptisasi dari serat-serat kolagen.
c)
Membuang sisa kapur yang masih ada. Proses ini sebaiknya dilakukan di dalam bak (dengan pengadukan) dengan 300% air dan 0,8 - 1% oropon/enzylen selama 1 - 2 jam. Temperatur optimum pada proses ini adalah 35 - 40oC, sedangkan pH optimum berkisar antara 7,5 - 8,5.
5.
Pemikelan (pickling) Biasanya dilakukan pada kulit yang akan disamak dengan bahan penyamak krom. Tujuannya adalah untuk mengurangi reaktifitas bahan penyamak krom terhadap kulit. Selain itu proses pemikelan adalah suatu proses yang dapat digunakan untuk mengawetkan kulit telanjang/tanpa bulu sebagai bahan perdagangan/ekspor.
6.
Penyamakan krom (tanning) Tujuan penyamakan krom antara lain: a)
Untuk menjadikan kulit stabil dari pengaruh degradasi enzimatik dan meningkatkan daya tahan terhadap bahan kimia.
b)
Untuk meningkatkan suhu pengerutan dan daya tahan terhadap air panas.
c)
Mengurangi atau menghilangkan kemampuan kulit untuk membusuk (membengkak).
7.
d)
Meningkatkan kekuatan fisik.
e)
Mengurangi berat jenis.
f)
Mengurangi pengerutan dalam volume, area dan ketebalan.
g)
Meningkatkan kemampuan menyerap tekstur jaringan. Pengetaman (shaving)
Kulit yang telah ditumpuk 1 - 2 hari diperas untuk menghilangkan airnya. Kulit diketam dengan mesin ketam guna mengatur tebal kulit dengan merata, kemudian dicuci dengan air mengalir 0,5 jam. 8.
Penetralan Tujuan dari netralisasi adalah agar reaksi pengikatan zat warna pada substansi kulit tidak terlalu cepat. Biasanya penetralan menggunakan garam alkali misalnya NaHCO3. Penetralan dilakukan dengan cara merendam kulit sambil diaduk selama satu jam dalam larutan 300% air hangat (50oC) dan 2% NaHCO3, setelah itu kulit dicuci dengan air bersih. Persentase dari larutan yang digunakan dihitung dari berat kulit ketam. Penetralan dianggap cukup apabila 1/4 – 1/3 penampang kulit masih kuning terhadap indicator Brom Cresol Green (BCG) sedang lainnya berwarna biru, kemudian kulit dicuci lagi.
9.
Peminyakan Serat-serat kulit yang terdehidrasi selama proses penyamakan diberi pelumas berupa minyak atau lemak untuk menjadikan kulit lembut dan fleksibel saat dipegang.
Pada saat yang bersamaan lemak/minyak juga memberikan
pengaruh terhadap sifat-sifat fisik kulit, seperti daya tahan sobek, kekuatan tarik, kedap air, kelembaban serta penyerapan udara dan air (Judoamidjojo 1974). 10.
Pewarnaan Tujuan dari pewarnaan adalah memberikan warna yang dapat meresap ke dalam jaringan kulit sehingga berfungsi sebagai warna dasar. Zat warna untuk kulit samak terdapat dalam 2 tipe, yaitu tipe alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan serta tipe buatan yang dibuat secara sintetik. Zat warna alami tidak dapat digunakan sendiri karena tidak dapat tinggal tetap di dalam kulit. Jadi harus diadakan pengikatan oleh bahan tertentu yang dinamakan mordant atau strikers.
11.
Penyelesaian Untuk kulit samak krom tidak ada persoalan dalam pengeringan biasa, hanya akan lebih baik jika temperatur dinaikkan secara berangsur-angsur. Setelah kulit dikeringkan maka pengerjaan kulit selanjutnya bersifat mekanis, diantaranya dilakukan peregangan, pementangan (recking) atau (pasting), pengampelasan (buffing) pada lapisan luar kulit (rajah) dan juga trimming (Judoamidjojo 1974).
2.11.
Ekstraksi Tanin dari Kulit Kayu Akasia Untuk memperoleh tanin berupa serbuk/bubuk dari kulit kayu akasia yang
digunakan, maka dilakukan proses ekstraksi, dengan tahapan sebagai berikut: Kulit kayu akasia dibuat serbuk dengan hammermill kemudian diayak, partikel yang lolos saringan ukuran 60 mesh yang digunakan. Lima gram serbuk kulit kayu dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diekstraksi dengan air panas (100ºC) selama 1 jam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1 : 20. Hasil ekstraksi
disaring dengan G3-frite. Larutan ekstrak diuapkan dengan menggunakan oven pada suhu 60ºC sehingga didapatkan ekstrak tanin. Di samping ekstraksi dengan air panas, dapat pula dilakukan ekstraksi tanin dengan larutan NaOH 0,3% dengan prosedur yang sama (Subyakto dan Bambang 2003).
3. METODOLOGI 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2009 bertempat di
Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan analisis dilakukan di Laboratorium Uji Hasil Hutan dan Furniture, Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (PPMB), Departemen Perindustrian, Ciracas, Jakarta Timur. 3.2.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan untuk
proses penyamakan dan proses analisis antara lain: ember plastik, pisau, sikat, timbangan digital, corong, selang plastik, papan triplek dan kertas pH yang merupakan alat-alat untuk proses penyamakan. Sedangkan alat-alat untuk analisis diantaranya: penggaris, cutter, jangka sorong, alat pengukur ketebalan (thickness dumb bell digital), mesin uji tarik dengan merk “Zwick/Roell”. Bahan utama yang digunakan adalah kulit ikan Tuna (Thunnus sp.) yang diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta. Kulit tuna yang digunakan adalah kulit dari pengolahan tuna loin yang berukuran panjang sekitar 50 x 20 cm dan dengan ketebalan > 1 mm. Untuk bahan-bahan kimia pembantu yang digunakan pada proses penyamakan antara lain: air,
Na2S/SN, Ca(OH)2, Pancreol (oropon), asam formiat HCOOH,
(NH4)2SO4, garam dapur NaCl, bahan penyamak krom (Cr2O3), Natrium bikarbonat (NaHCO3), Natrium karbonat (Na2CO3), cat dasar, minyak, dan bahan penyamak nabati (mimosa).
3.3.
Prosedur Penyamakan Kulit Sebagai tahap awal, kulit dibersihkan dulu dari kotoran- kotoran berupa
daging maupun darah yang masih melekat. Kemudian masuk ke tahap utama proses penyamakan. Tahap utama proses penyamakan kulit tuna dapat dilihat pada Gambar 3.
Kulit ikan tuna (Thunnus sp.)
600% air, 3% Natrium sulfida (Na2S) dan 5 gr/l (Ca(OH)2).
400% air, 1 gr/l (NH4)2SO, 1,5 gr/l Pancreol dan 1gr/l asam formiat.
200% air, 12% garam dapur dan 2 % HCOOH.
Larutan asam, 10% krom dan 2% Natrium karbonat (NaCO3) 3 tahap.
300% air (40oC) dan 2% Natrium bikarbonat.
Pengapuran (1 - 3 hari) hari
Pembuangan kapur dan bating (Pengikisan protein)
Pengasaman (pickling) pH akhir 3 - 3,5
Penyamakan krom
Netralisasi
Pengetaman (shaving)
400% air hangat dan penambahan 5%, 10%, dan 15% serbuk/bubuk mimosa.
400% air hangat (40 - 45oC), 0,5 gr/l amoniak, 2% cat dasar dan1 % asam formiat.
Penyamakan ulang *
Pengecatan dasar dan peminyakan
Pementangan
Pelembaban
Pementangan kembali
Penyeterikaan
Kulit tuna tersamak
Gambar 3. Diagram alir proses penyamakan kulit ikan tuna (Hak et al. 2000) Ket : (*) dengan modifikasi seperlunya.
Tahapan utama proses penyamakan kulit ikan tuna (Thunnus sp.) secara lengkap diuraikan sebagai berikut: 1.
Pengapuran (liming) Kulit direndam di dalam bak atau ember yang berisi larutan kapur sebagai berikut: 600% air, 3% Natrium sulfida (Na2S) atau SN dan 5 gr/l tepung kapur (Ca(OH)2). Persentase bahan dihitung berdasarkan berat kulit basah. Lama perendaman di dalam larutan kapur adalah 1 - 3 hari. Setelah itu kulit dicuci sampai terbebas dari kapur.
2.
Pembuangan kapur dan pengikisan protein (bating) Kulit diputar di dalam ember selama 20 menit dengan ditambahkan 400% air dan 1 gr/l ammonium sulfat (NH4)2SO4.
Sementara kulit terus diputar,
kemudian ditambahkan 1 gr/l asam formiat dan terus diputar selama 45 menit. Selanjutnya ditambahkan lagi 1,5 gr/l Pancreol dan diputar selama 1 jam. Setelah itu kulit dicuci dengan air mengalir di dalam ember sambil diputar selama 15 menit.
Persentase bahan dihitung terhadap berat
kulit basah. 3.
Pengasaman (pickling) Kulit dimasukkan ke dalam ember, kemudian ditambahkan 200% air dan 12% garam dapur. Kemudian ditambahkan 2% asam formiat (HCOOH) dalam ember sedikit demi sedikit sambil terus diputar selama 1 jam. Kemudian larutan diperiksa, apabila pH larutan berada pada kisaran 3 - 3,5 maka pengasaman sudah cukup. Persentase bahan dihitung terhadap berat kulit basah. Selanjutnya kulit ditimbang sebagai berat kulit asam (pickle) dan larutan asamnya jangan dibuang karena akan digunakan pada penyamakan krom.
4.
Penyamakan krom (pretanning) Kulit diputar dalam ember selama dua jam dalam larutan asam hasil proses pengasaman dengan penambahan 10% krom ke dalam kulit yang masih berputar. Lalu ditambahkan 2% Natrium karbonat (NaCO3) dalam tiga tahap,
artinya sebanyak 0,66% NaCO3 ditambahkan ke dalam ember yang diputar setiap 1 jam sekali. Persentase bahan diatas dihitung terhadap berat kulit pickle.
Kemudian kulit diangkat dari dalam ember lalu ditumpuk dan
diangin-anginkan selama 1 malam. Keesokan harinya kulit dicuci dengan air mengalir di dalam ember sambil diputar selama 15 menit. Setelah ditiriskan, kulit ditimbang sebagai berat kulit biru basah (wet blue). 5.
Netralisasi Kulit diputar di dalam ember selama 1 jam dengan dicampur 300% air hangat (40oC) dan 2% Natrium bikarbonat. Bahan dihitung berdasarkan berat kulit biru basah. Kemudian kulit dicuci di dalam ember sambil diputar dengan air mengalir selama 15 menit.
6.
Pengetaman (shaving) Kulit diketam dengan mesin ketam khususnya pada bagian ekor, agar ketebalan di seluruh permukaan kulit tidak jauh berbeda. Setelah diketam kulit ditimbang untuk mendapatkan berat kulit ketam.
7.
Penyamakan ulang (retanning) Kulit diputar di dalam ember selama 1 jam dengan 400% air hangat dan serbuk/bubuk mimosa dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15%. Persentase bahan dihitung terhadap kulit ketam. Kemudian kulit dicuci dalam ember sambil diputar dengan air mengalir selama 15 menit.
8.
Pengecatan dasar dan peminyakan Kulit diputar di dalam drum selama 20 menit dengan dicampur 400% air hangat (40 - 45oC) dan
0,5 gr/l amoniak.
Kemudian berturut-turut
ditambahkan 2% cat dasar, drum diputar selama 1 jam, 1% asam formiat dalam drum yang diputar selama 30 menit.
Persentase bahan dihitung
berdasarkan berat kulit biru basah (wet blue). Kemudian kulit ditumpuk dan dibiarkan selama semalam.
Keesokan harinya kulit dicuci dalam drum
berputar dengan air mengalir selama 15 menit.
9.
Pementangan Kulit dipentang pada papan triplek yang permukaannya licin, kemudian kulit diangin-anginkan sampai kering.
10. Pelembaban Setelah kulit betul-betul kering kemudian kulit dapat dilembabkan dengan cara dicelupkan ke dalam air bersih selama 10 menit, kemudian ditumpuk selama 1 malam. 11. Pementangan kembali Kulit dipentang kembali pada papan triplek dengan cara dipaku pada bagian sudut-sudut kulit, hal ini dimaksudkan agar kulit tidak mengalami pengkerutan setelah kering nanti. 12. Penyeterikaan Permukaan kulit diseterika dengan panas seterika 70 - 80oC. 3.4.
Analisis Produk Analisis yang akan dilakukan terhadap kulit tuna tersamak meliputi
analisis kekuatan tarik, kekuatan regang (kemuluran) dan kekuatan sobek. 3.4.1. Kekuatan Tarik (BSN 1990a) Pengujian dilakukan dengan mesin penarik (tensile strength) merk Zwick/Roell. Berdasarkan SNI 06 - 1795 - 1990, uji kekuatan tarik dilakukan dengan membuat cuplikan dengan ukuran 11 × 3 cm dan dibentuk sesuai Gambar 4. Untuk pengujian ini kulit dipotong dengan alat pemotong (cutter). Kulit diukur ketebalannya di tiga tempat sepanjang Lo dan dari tiga ketebalan tersebut diambil ukuran ketebalan terkecil.
Kemudian diukur lebar kulit di
sepanjang wilayah Lo, diukur tiga bagian lebar dan diambil ukuran lebar yang terkecil. Pengukuran dilakukan dengan ketelitian 0,01 mm. Setelah itu cuplikan siap untuk diuji dan dipasang pada penjepit. Kemudian mesin dijalankan dan penarikan dilakukan sampai kulit putus.
Keterangan: [F maksimum]
= beban maksimum yang dibutuhkan untuk menarik contoh kulit sampai putus.
[t]
= tebal contoh kulit.
[w]
= lebar contoh kulit.
t
w = 1 cm
3 cm 5 cm 11 cm
Gambar 4. Contoh cuplikan untuk uji kuat tarik
3.4.2. Kekuatan Regang ((BSN 1990a) Berdasarkan SNI 06 - 1795 - 1990, kekuatan regang diperoleh melalui perhitungan antara selisih panjang cuplikan akhir dan panjang cuplikan awal dibagi dengan panjang cuplikan awal, dan kemudian dinyatakan dalam persen. Contoh cuplikan uji kekuatan regang dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Keterangan: [Li]
= panjang contoh kulit setelah kulit ditarik sampai putus
[Lo]
= panjang contoh kulit mula-mula pada jarak antara 2 penjepit
Lo = 5 cm Gambar 5. Contoh cuplikan sebelum dilakukan uji tarik.
Li = ?
Gambar 6. Contoh cuplikan setelah dilakukan uji tarik. 3.4.3. Kekuatan Sobek (BSN 1990b). Berdasarkan SNI 06 - 1794 - 1990 pengujian terhadap kekuatan sobek dapat dilakukan dalam tiga model cuplikan, yakni model lidah, model celah dan model lapisan kulit. Model yang dipakai untuk uji ini yaitu model lidah. Untuk pengujian ini kulit dipotong dengan ukuran 10 × 2 cm (Gambar 7). Kemudian dibuat lubang “X” dengan diameter 0,2 cm yang berjarak 2 cm dari E ke X. Kemudian buat irisan dari lubang X memanjang ke F sehingga cuplikan teriris dan berbentuk potongan lidah. Kemudian ukur tebal di bagian yang akan tersobek, yakni disekitar titik X. Setelah itu dua bagian lidah yang terbentuk dipasang pada penjepit mesin tarik. Mesin dijalankan sehingga kulit tersobek sempurna. Besar kekuatan sobek dipengaruhi oleh gaya yang diberikan untuk menarik cuplikan dan juga tebal cuplikan. Perhitungan rumusnya adalah sebagai berikut:
Keterangan: [F maksimum]
= beban maksimum yang dibutuhkan untuk menarik contoh kulit sampai sobek
[t]
= tebal contoh kulit Digunting
A
B
E D C
X
F 2 cm
8 cm Gambar 7. Contoh cuplikan untuk uji kuat sobek
3.4. Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri dari satu faktor dan tiga taraf dengan lima kali ulangan. Kemudian data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam.
Dari hasil yang diperoleh
apabila menunjukan adanya pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi +εij Keterangan: Yij
= Hasil mutu ke j dengan konsentrasi mimosa ke i
µ
= Pengaruh rata-rata dari konsentrasi mimosa
τi
= Pengaruh konsentrasi mimosa ke i
εij
= Galat percobaan karena konsentrasi mimosa ke i dan ulangan ke j
i
= Variasi konsentrasi mimosa (5%, 10% dan 15%)
j
= Ulangan (1, 2 dan 3)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisik Sifat fisik kulit samak merupakan sifat yang sangat mempengaruhi penggunaan kulit samak pada suatu produk. Kualitas fisik kulit samak yang baik akan meningkatkan kualitas produk. Sifat fisik yang sangat dominan dalam menentukan kualitas suatu produk kulit samak adalah kekuatan tarik, kekuatan regang (kemuluran) dan juga kekuatan sobek. Secara umum, penggunaan kulit jadi membutuhkan kulit yang mempunyai kekuatan tarik dan kekuatan sobek yang tinggi
(di
atas
standar)
sedangkan
kekuatan
regang
yang
rendah
(di bawah standar). Sifat fisik kulit samak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kualitas bahan mentah kulit, pengawetan kulit, proses pengapuran, buang kapur, pengikisan protein, penyamakan maupun peminyakan, juga pada tahap penyelesaian seperti peregangan, pelembaban dan pementangan. Berdasarkan kulit tersamak yang dihasilkan, dapat dilihat secara umum bahwa kulit dengan perlakuan penambahan mimosa 5% lebih lentur/lemas dibandingkan kulit dengan penambahan mimosa 10% dan 15%. 4.2. Kekuatan Tarik Kekuatan tarik adalah besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk menarik kulit sampai putus, dinyatakan dalam kg/cm2 dan Newton/cm2. Kekuatan tarik merupakan salah satu parameter penting yang menjadi patokan terhadap kualitas dari kulit tersamak, karena dapat menggambarkan kuatnya ikatan antara serat kolagen penyusun kulit dengan zat penyamak. Proses penyamakan yang baik akan menghasilkan kulit dengan kekuatan tarik yang tinggi. Kekuatan tarik dalam aplikasinya sangat penting terutama pada industri barang dari kulit. Kekuatan tarik kulit yang kurang dari persyaratan akan menyebabkan kulit mudah pecah atau retak. Berdasarkan hasil pengukuran kekuatan tarik kulit tuna tersamak (Gambar 8) dapat dilihat bahwa kekuatan tarik rata-rata terendah berada pada perlakuan dengan penambahan mimosa 5% dengan nilai 223,56 kg/cm2, sedangkan kekuatan tarik rata-rata tertinggi berada pada perlakuan dengan penambahan mimosa 15% dengan
nilai 372,09 kg/cm2. Hal ini menunjukan
bahwa kekuatan tarik cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi mimosa. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa perlakuan berupa penambahan mimosa dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan tarik kulit tuna tersamak. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 1c) dapat dilihat bahwa perlakuan dengan penambahan mimosa 5% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan mimosa 15%, begitu juga dengan perlakuan penambahan mimosa 10% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan mimosa 15%.
Gambar 8. Grafik nilai rata-rata kekuatan tarik (kg/cm2) kulit tuna tersamak. Nilai rata-rata kekuatan tarik kulit tuna tersamak meningkat dengan adanya penambahan mimosa. Menurut Herawati (1996) nilai kekuatan tarik rata-rata kulit tuna tersamak berkisar antara 128,15 – 273,60 kg/cm2. Sedangkan setelah adanya penambahan mimosa pada penelitian ini, nilai rata-rata kekuatan tarik bertambah dengan kisaran antara 223,56 – 372,09 kg/cm2. Hal ini menunjukkan penggunaan mimosa dengan konsentrasi yang semakin besar akan meningkatkan kekuatan tarik. Kekuatan tarik produk kulit tersamak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: ketebalan kulit, struktur kulit, dan juga penanganan setelah pengulitan. Selain itu, bahan penyamak dan komposisi dari bahan penyamak tersebut juga sangat menentukan terhadap kualitas kulit termasuk kekuatan tariknya (Suramto et al. 1993).
Berdasarkan kulit tersamak yang dihasilkan, terlihat adanya perbedaan antara kulit samak dari setiap perlakuan. Kulit dengan penambahan mimosa sebesar 5% cenderung lebih longgar dalam strukturnya sehingga terasa lebih elastis dibanding kulit yang dengan penambahan mimosa 10% dan 15%. Fahidin dan Muslich (1999) menyatakan bahwa semakin besar molekul zat penyamak semakin besar daya absorpsi serat kulit terhadap zat penyamak. Zat penyamak nabati akan bereaksi dengan kolagen dan selanjutnya zat penyamak nabati akan meningkatkan ikatan serat-serat dari kulit dan merubah serat menjadi struktur kulit yang kompak. Sesuai dengan pendapat purnomo (1985) bahwa kulit yang disamak dengan menggunakan bahan penyamak nabati akan memberikan hasil yang kurang tahan terhadap panas, kulitnya agak kaku, namun empuk dan memberikan sifat kulit yang berisi (padat), warna coklat dan kekuatan tariknya tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi kuat tarik kulit adalah ketebalan. Semakin tebal kulit maka akan semakin besar pula kuat tariknya (dalam keadaan perlakuan yang sama). Ketebalan akan mempengaruhi kestabilan kulit, dimana kestabilan kulit ini dipengaruhi oleh ikatan silang yang terbentuk antara bahan penyamak dengan protein kulit. Kulit yang telah masak akan mempunyai jumlah ikatan silang yang lebih banyak daripada kulit yang belum masak, sehingga lebih mampu dan tahan terhadap adanya gaya fisik yang menyerangnya, termasuk air yang mendidih (Purnomo 1992). Aten et al. (1995) diacu dalam Yuwono (2002) menyatakan
bahwa
kekuatan
tarik
kulit
samak
dipengaruhi
oleh
perubahan-perubahan struktur serabut kulit, termasuk disebabkan oleh perubahan luar pada waktu penyimpanan dan pengeringan kulit sehingga kekuatan tarik menunjukan kualitas kulit (serabut). Kekuatan tarik kulit tersamak dipengaruhi pula oleh proses peminyakan kulit. Karena minyak yang berfungsi sebagai pelumas akan menjadikan serat-serat kulit lembut dan fleksibel saat dipegang. Pada saat yang bersamaan minyak juga memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat fisik kulit, seperti kuat tarik, kedap air, daya
tahan
sobek
(Herawati 1996).
dan
kelembaban
serta
penyerapan
udara
dan
air
4.3. Kekuatan Regang (Kemuluran) Kemuluran kulit adalah pertambahan panjang kulit pada saat ditarik sampai putus dibagi dengan panjang semula dan dinyatakan dalam persen. Kekuatan regang menunjukan kemampuan mulur kulit, semakin panjang ukuran kulit pada saat putus, maka nilai kekuatan regang yang dihasilkan semakin besar, yang menandakan bahwa kualitas kekuatan regangnya baik. Berdasarkan hasil pengukuran kekuatan regang kulit tuna tersamak (Gambar 9) dapat dilihat bahwa kekuatan regang rata-rata terendah berada pada perlakuan dengan penambahan mimosa 15% dengan nilai kekuatan regang sebesar 30,16%, sedangkan kekuatan regang rata-rata tertinggi berada pada perlakuan dengan penambahan mimosa 5% dengan nilai kekuatan regang sebesar 42,24%. Hal ini menunjukan bahwa kekuatan regang cenderung menurun dengan bertambahnya
konsentrasi
mimosa.
Berdasarkan
hasil
analisis
ragam
(Lampiran 2b) menunjukkan bahwa perlakuan berupa penambahan mimosa dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% akan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan regang kulit tuna tersamak.
Gambar 9. Grafik nilai rata-rata kekuatan regang (%) kulit tuna tersamak. Sedangkan dari uji lanjut Duncan (Lampiran 2c) menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan mimosa 5% berbeda nyata dengan perlakuan dengan penambahan mimosa 15%, demikian juga antara perlakuan penambahan mimosa 10% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan mimosa 15%.
Hasil kekuatan regang yang berkisar antara 30,16% - 42,24% masih memenuhi syarat mutu kulit tersamak kras kambing/domba yaitu maksimal 50% (SNI 06 – 3635 – 1994). Kekuatan regang semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi bahan penyamak mimosa, hal ini dapat disebabkan oleh kulit yang dihasilkan pada konsentrasi mimosa yang lebih besar lebih kaku dibanding dengan kulit tersamak yang dihasilkan pada konsentrasi yang lebih rendah. Semakin kaku kulit maka tingkat elastisitasnya semakin rendah sehingga kemulurannya pun akan semakin rendah. Menurut Purnomo (1985) menyatakan bahwa pada kulit yang disamak dengan menggunakan bahan penyamak nabati didapatkan kulit yang berisi, padat tetapi kaku sehingga kemulurannya rendah. Rendahnya kemuluran yang didapatkan pada kulit yang disamak dengan mimosa adalah akibat dari meningkatnya ikatan serat-serat kulit oleh bahan penyamak mimosa dan berubahnya serat menjadi struktur kulit yang kompak. Struktur kulit yang kompak ini menghambat masuknya minyak sebagai bahan pelemas sehingga menyebabkan kulit menjadi kaku. Jenis kelamin dan umur hewan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya tahan regang pada struktur jaringan kulit. Hewan yang berkelamin jantan kulit tersamaknya memiliki kekuatan regang yang lebih kecil dibanding hewan berkelamin betina. Begitu pula dengan hewan yang berumur lebih tua, kekuatan regang kulitnya lebih kecil dibanding yang berumur lebih muda (Tancous et al. 1981). Menurut Herawati (1996) kekuatan regang kulit tersamak ikan tuna berkisar antara 66,89% - 92,28%. Nilai ini jauh lebih besar dari nilai kekuatan regang setelah adanya penambahan mimosa. Hal ini juga menunjukan bahwa kekuatan regang menurun seiring dengan penambahan mimosa. Menurut Purnomo (1985) kulit yang disamak dengan menggunakan bahan penyamak nabati bersifat buffing effect yang baik, daya serap air yang tinggi, warna coklat muda, kulit kaku, proses sederhana, dan dapat menekan harga. Sifat kulit yang menjadi kaku yang disebabkan adanya penambahan mimosa inilah yang menyebabkan nilai kekuatan regangnya lebih kecil dibanding kulit tersamak tanpa adanya penambahan mimosa.
Kemuluran kulit berkaitan dengan kelemasan/elastisitas kulit yang dihasilkan. Kulit samak menjadi lemas karena terjadi reduksi elastin pada proses pengapuran dan pengikisan protein kulit. Judoamidjojo (1974) menyatakan elastin merupakan protein fibrous yang membentuk serat-serat yang sangat elastis karena mempunyai rantai asam amino yang membentuk sudut. Sudut-sudut tersebut menjadi lurus pada saat mendapat tegangan dan akan kembali seperti semula apabila tegangan tersebut dilepaskan. Hilangnya elastin pada protein kulit dapat mengurangi elastisitas kulit. Kemuluran kulit juga dipengaruhi oleh tingginya komposisi protein serat. Derajat kemuluran serta kelemasan juga dipengaruhi oleh proses penyelesaiannya seperti pementangan, pelemasan dan penghamplasan (Purnomo 1985). 4.4. Kekuatan Sobek Kekuatan sobek menunjukan batas maksimum kulit tersebut untuk dapat sobek. Fahidin (1977) menyatakan bahwa kulit yang disamak dengan menggunakan bahan penyamak dengan kadar tinggi akan memiliki ketahanan sobek yang tinggi.
Gambar 10. Grafik nilai rata-rata kekuatan sobek (kg/cm) kulit tuna tersamak. Berdasarkan hasil pengukuran kekuatan sobek kulit tuna tersamak (Gambar 10) dapat dilihat bahwa kekuatan sobek rata-rata terendah berada pada perlakuan dengan penambahan mimosa 5% dengan nilai kekuatan sobek sebesar
40,89 kg/cm, sedangkan kekuatan sobek rata-rata tertinggi berada pada perlakuan dengan penambahan mimosa 15% dengan
nilai kekuatan sobek sebesar
61,51 kg/cm. Hal ini menunjukan bahwa kekuatan sobek cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi mimosa. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukan bahwa perlakuan berupa penambahan mimosa dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan sobek kulit tuna tersamak. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 3c) dapat dilihat bahwa perlakuan dengan penambahan mimosa 5% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan mimosa 15%.. Nilai kekuatan sobek yang diperoleh berkisar antara 40,89 – 61,51 kg/cm. Nilai ini lebih besar dari nilai syarat minimal kekuatan sobek kulit domba sebagai bahan produk jaket yaitu sebesar 12,5 kg/cm (SNI 06 – 4593 – 1998) diacu dalam Yuwono (2002). Ini menunjukan adanya pengaruh penambahan mimosa yang menyebabkan nilai kekuatan sobek semakin besar. Purnomo (1985) menyatakan bahwa komposisi serat di dalam kulit juga mempengaruhi kekuatan sobek. Kolagen adalah salah satu protein serat yang merupakan komponen utama dalam kulit samak. Protein serat ini berperan sebagai penunjang mekanis, yang memberikan kekuatan pada tulang dan daya tahan sobek pada kulit (Winarno 1989). Berdasarkan SNI 6 – 6121 – 1999 (BSN 1999) syarat mutu kulit ikan pari untuk kekuatan sobek yaitu minimal sebesar 300 N atau sama dengan 30 kg/cm. Nilai ini juga lebih kecil dengan nilai kekuatan sobek kulit setelah penambahan mimosa, yang menandakan adanya penambahan nilai kekuatan sobek setelah penambahan mimosa. Berdasarkan kulit tersamak yang dihasilkan, kulit dengan penambahan mimosa 5% lebih tipis dibanding dengan penambahan mimosa 10% dan 15%, begitu juga kulit dengan penambahan mimosa 10% lebih tipis dibanding kulit dengan penambahan mimosa 15%. Adanya konsentrasi mimosa yang semakin besar akan memperkuat struktur komposisi serat dari kulit. Untari dkk (1995) menyatakan bahwa besar kecilnya kekuatan sobek sejalan dengan kadar penyamak yang terkandung dalam kulit samaknya dan penampilan fisik kulit akan mencerminkan kandungan zat penyamak di dalam kulit tersebut. Ini berarti bahwa
besarnya kekuatan sobek menunjukan derajat kestabilan antara bahan penyamak dengan lapisan kulit. Kekuatan sobek kulit tersamak juga dipengaruhi oleh perubahan struktur kulit dan tingginya komposisi protein serat di dalam kulit. Serabut-serabut kulit akan mengalami kontraksi pada saat pengapuran dan pengikisan protein sehingga kekuatan sobeknya akan menjadi rendah, selanjutnya kekuatan sobek akan meningkat bila serabut-serabut kolagen mengadakan ikatan dengan krom dalam kompleks krom (Purnomo 1985).
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kekuatan tarik, kekuatan regang dan kekuatan sobek merupakan parameter uji yang biasa dilakukan untuk mengetahui kualitas fisik dari kulit tersamak yang dihasilkan. Penggunaan bahan penyamak nabati mimosa memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan tarik, kekuatan regang maupun kekuatan sobek. Penambahan mimosa dari konsentrasi 5% sampai 15% akan meningkatkan nilai kekuatan tarik dari 223,56 kg/cm2 sampai 372,09 kg/cm2 dan juga kekuatan sobek dari 40,89 kg/cm sampai 61,51 kg/cm. Sedangkan meningkatnya konsentrasi mimosa dari 5% sampai 15% akan menurunkan kekuatan regang dari 42,24% menjadi 30,16%. Kekuatan tarik dan kekuatan sobek sangat bergantung pada kestabilan serat yang kompak, sedangkan kekuatan regang sangat bergantung pada elastisitas. Konsentrasi mimosa 15% memberikan pengaruh yang paling baik terhadap kekuatan tarik dan kekuatan sobek, sedangkan konsentrasi mimosa 5% memberikan pengaruh yang paling baik terhadap kekuatan regang. 5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyamakan kulit ikan dengan menggunakan bahan penyamak nabati lainnya, seperti tumbuhan mangrove, buah jambe, bakau dan bahan nabati lainnya. Selain itu penggunaan bahan penyamak sintetis dan aldehid juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan juga analisis terhadap parameter kimia.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1975. Pedoman penyamakan kulit dan penggunaan kulit tersamak. Kerjasama Balai Penelitian Kulit dengan Departemen Perindustrian. Yogyakarta. __________. 1989. Mutu dan cara uji kulit glace kambing. Standar Nasional Indonesia. SNI 06 – 0253 – 1989. Jakarta. Dewan Standardisasi Nasional. __________. 2006. Pasar kulit di dalam www.kapanlagi.com. [13 Agustus 2008].
negeri
terbuka
lebar.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2009. Indonesia lebih aktif turut mengelola perikanan tuna di Samudera Hindia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1990a. Cara uji kekuatan tarik dan kemuluran kulit. Standar Nasional Indonesia. SNI 06 – 1795 – 1990. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional. _________________________________. 1990b. Cara uji kekuatan sobek kulit. Standar Nasional Indonesia. SNI 06 – 1794 – 1990. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional. _________________________________. 1998. Kulit sapi samak kombinasi (nabati-krom/sintetis) yang dicat tutup. SNI 6 – 4900 – 1998. www.bsn.or.id. [09 Oktober 2008]. _________________________________. 1999. Kulit ikan pari untuk barang kulit. SNI 6 – 6121 – 1999. www.bsn.or.id. [09 Oktober 2008]. Collette BB. 1995. Thunnus orientalis pacific blufin tuna. www.fishbase.com. [13 Juli 2009]. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Potensi dan pemberdayaan ikan tuna. www.dkp.go.id. [15 Januari 2009]. Fahidin. 1977. Pengolahan hasil ternak unit pengolahan kulit. Departemen Pertanian, Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, Sekolah Pertanian Pembangunan (SNAKMA). Bogor. Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hak N. 1980. Penyamakan kulit cucut. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi Pasca Panen Perikanan. ISSN 0216 – 8316. 1988. Jakarta: Balai Penelitian Teknologi Perikanan.
Hak N, Yunizal dan Memen S. 2000. Teknologi Pengawetan dan Penyamakan Kulit Ikan. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan. Herawati SY. 1996. Pengaruh kadar Cr2O3 dalam penyamakan kulit tuna (Thunnus albacores) terhadap mutu kulit tersamaknya. [skripsi]. Teknologi Hasil Perairan. Institut Pertanian Bogor. Hilwan I. 1993. Produksi, laju dekomposisi, dan pengaruh alelopati serasah pinus merkusii Jungh, et de vriese dan Acacia mangium Willd di hutan Gunung Walad, Sukabumi, Jawa Barat. [tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. [IFSP] Indonesia Forest Seed Project. 2001. Informasi singkat benih (Acacia mangium Willd). www.dephut.go.id. [25 Januari 2009]. Judoamidjojo RM. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Bogor: Institut Pertanian Bogor. _______________. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian. _______________. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Bandung: Angkasa. Mandang YI dan Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu. Bogor: Yayasan Prosea. Oosten JV. 1969. Skin and Scale. New York: Academic Press Inc. Prasetya B. 1995. Tanin: Karakterisasi dan aplikasi pemanfaatannya dalam industry pengolahan kayu komposit. [prosiding] KIPNAS, Serpong 12 - 16 September 1995. Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Departemen Perindustrian. Yogyakarta. __________. 1992. Dasar-Dasar Teknologi Kulit I. Yogyakarta: Kanisius. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Jakarta: Bina Cipta. Subyakto dan Bambang P. 2003. Pemanfaatan langsung serbuk kulit kayu akasia sebagai perekat papan partikel. www.jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org. [25 Januari 2009]. Suramto, Pertiwi S dan Widhiati. 1993. Pengaruh perbedaan lama pengawetan dengan garam terhadap kekuatan tarik dan kemuluran kulit kaki ayam pedaging samak krom. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit, Karet dan Plastik. Yogyakarta.
Tancous J J, Roddy W T and O’Flaherty. 1981. Defek-Defek Pada Kulit Mentah dan Kulit Samak. Diterjemahkan oleh Judoamidjojo R M. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Untari S, Lutfie M dan Dadang. 1995. Pengaruh pelarut lemak di dalam proses pelarutan lemak pada penyamakan kulit itik ditinjau dari sifat fisiknya. Jurnal Nusantara Kimia 10 (1.2). Yogyakarta. Untari S. 2001. Penyamakan kulit kelinci dengan teknologi tepat guna sebagai bahan kerajinan kulit dan sepatu dalam menunjang Agribisnis ternak kelinci. Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik. Yogyakarta. Widiyanti. 2007. RI masih berpeluang tembus www.detikfinance.com. [09 Oktober 2008].
pasar
kulit
dunia.
Widodo T. 2002. Pertumbuhan semai Acacia mangium Willd pada berbagai campuran media organik serasah daun Acacia mangium Willd dan sekam padi. [Skripsi]. Manajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1989.Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: P.T. Gramedia. Yuliawati. 2008. Kenaikan pungutan ekspor www.tempointeraktif.com. [13 Agustus 2008].
kulit
dikaji.
Yuwono B. 2002. Kualitas fisik dan kimia kulit domba awet kering dan samak dengan metode peracunan dan pengeringan. [Skripsi]. Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Insitut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1a. Nilai rata-rata kekuatan tarik (kg/cm2) kulit tuna tersamak. Ulangan
5%
1 2 3 4 5 Rata-rata
Konsentrasi Mimosa 10%
234,72 187,83 261,48 180,36 253,39 223,56
15%
338,26 199,1 327,44 197,25 369 286,21
352,62 398 374,66 349,68 385,5 372,09
Lampiran 1b. Analisis ragam kekuatan tarik kulit tuna tersamak. ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 55606,97 2 27803,49 9,784346 0,003017 3,885294 Within Groups 34099,56 12 2841,63 Total
89706,53
14
Lampiran 1c. Uji lanjut Duncan kekuatan tarik kulit tuna tersamak. Konsentrasi mimosa
N
5 10 15 Sig
5 5 5
Subset for alpha = 0.05 1 2 223,5560 286,2100 372,0920 ,088 1,000
Lampiran 2a. Nilai rata-rata kekuatan regang (%) kulit tuna tersamak. Konsentrasi Mimosa Ulangan 5% 10% 15% 1 38,6 30,4 28,8 2 45,4 42,6 23,2 3 35,8 31,4 30,4 4 47,8 48,2 34,6 5 43,6 43 33,8 Rata-rata 42,24 39,12 30,16 Lampiran 2b. Analisis ragam kekuatan regang kulit tuna tersamak. ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 393,2373 426,032
Total
819,2693
df
MS F P-value F crit 2 196,6187 5,538138 0,019774 3,885294 12 35,50267 14
Lampiran 2c. Uji lanjut Duncan kekuatan regang kulit tuna tersamak. Konsentrasi mimosa
N
15 10 5 Sig
5 5 5
Subset for alpha = 0.05 1 2 30,1600 39,1200 42,2400 1,000 ,424
Lampiran 3a. Nilai rata-rata kekuatan sobek (kg/cm) kulit tuna tersamak. Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata
Konsentrasi Mimosa 5% 10% 37,57 64,25 34,45 45,62 49,15 52 39,51 46,43 43,76 47,78 40,89 51,22
15% 77,21 73,74 47,97 47,24 61,41 61,51
Lampiran 3b. Analisis ragam kekuatan sobek kulit tuna tersamak. ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 1063,58 1150,429 2214,01
df
MS F P-value F crit 2 531,7902 5,547045 0,019683 3,885294 12 95,86909 14
Lampiran 3c. Uji lanjut Duncan kekuatan sobek kulit tuna tersamak. Konsentrasi mimosa
N
5 10 15 Sig
5 5 5
Subset for alpha = 0.05 1 2 40,8880 51,2160 51,2160 61,5140 ,121 ,122
Lampiran 4. Data mentah uji kekuatan tarik kulit tuna tersamak. Konsentrasi mimosa
Ulangan
5%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
10%
15%
Lebar cuplikan (mm) 11,20 10,80 11,33 11,10 11,44 10,11 10,80 10,80 10,58 11,08 11,15 10,42 11,00 11,40 10,90
Tebal cuplikan (mm) 1,03 0,99 1,12 1,21 1,22 1,08 1,02 1,03 1,06 1,07 1,15 1,06 1,11 1,17 1,01
Kekuatan tarik (kg/cm2) 234,72 187,83 261,48 180,36 253,39 338,26 199,10 327,44 197,25 369,00 352,62 398,00 374,66 349,68 385,50
Lampiran 5. Data mentah uji kekuatan regang kulit tuna tersamak. Konsentrasi mimosa
Ulangan
5%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
10%
15%
Panjang awal (Lo) (mm) 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
Panjang akhir (Li) (mm) 69,3 72,7 67,9 73,9 71,8 65,2 71,3 65,7 74,1 71,5 64,4 61,6 65,2 67,3 66,9
Kekuatan regang (%) 38,6 45,4 35,8 47,8 43,6 30,4 42,6 31,4 48,2 43,0 28,8 23,2 30,4 34,6 33,8
Lampiran 6. Data mentah uji kekuatan sobek kulit tuna tersamak. Konsentrasi mimosa
5%
10%
15%
Ulangan 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Tebal cuplikan (mm) 1,37 1,31 1,28 1,28 1,05 1,20 1,13 1,20 1,29 1,33 1,46 1,13 1,11 1,12 1,24
Kekuatan sobek (kg/cm) 37,57 34,45 49,15 39,51 43,76 64,25 45,62 52,00 46,43 47,78 77,21 73,74 47,97 47,24 61,41
Lampiran 7. Gambar mesin uji tarik merk “Zwick Roell”.
Lampiran 8. Gambar alat pengukur ketebalan merk “atsfaar”.
Lampiran 9. Gambar alat pengukur lebar merk “Mitutoyo”.
Lampiran 10. Gambar kulit ikan tuna pada proses pengasaman.