PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU
ANDRIAN SAPUTRA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Andrian Saputra NIM F34090147
ABSTRAK ANDRIAN SAPUTRA. Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu. Dibimbing oleh ONO SUPARNO. Peminyakan (fatliquoring) merupakan salah satu proses yang terdapat pada proses penyamakan, yaitu proses penetrasi bahan peminyak ke dalam ruang kosong antar serat-serat di dalam kulit. Proses ini mampu mengubah sifat fisik yang dimiliki oleh kulit, yaitu membuat kulit menjadi lebih lembut, elastis, fleksibel dan menghasilkan permukaan kulit yang mulus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan peminyak dan jenis peminyak yang digunakan terhadap sifat fisik kulit samak ikan tuna untuk bahan bagian atas sepatu. Jenis bahan peminyak yang digunakan adalah alami dan sintetis, sedangkan dosis bahan peminyak yang digunakan adalah 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Respon yang diuji meliputi peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus dan organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan peminyak berpengaruh nyata dalam meningkatkan kekuatan sobek dan perpanjangan putus secara signifikan. Faktor dosis yang tersarang pada jenis bahan peminyak berpengaruh nyata dalam meningkatkan suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan perpanjangan putus secara signifikan. Tidak ada satu faktor pun yang berpengaruh nyata dalam peningkatan tebal. Kondisi terbaik dicapai oleh bahan peminyak sintetis dengan dosis 3%. Nilai sifat fisik yang dihasilkan adalah peningkatan tebal sebesar 32.4%, suhu kerut sebesar 125oC, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik sebesar 27.9 N/mm2, perpanjangan putus sebesar 45.3%, berwarna alami coklat tua merata, bagian permukaan yang halus dan tingkat kelenturan yang baik. Kata kunci: peminyakan, bahan peminyak, sifat fisik, kulit ikan tuna ABSTRACT ANDRIAN SAPUTRA. Fatliquoring Process on Tuna’s Skin (Thunnus sp) Tanning for Shoe Upper Leather. Supervised by ONO SUPARNO. Fatliquoring is part of tanning process, which penetrate the fatliquoring agent into leather’s empty cells. This process can change the physical properties of leather, which make it softer, more elastic, flexible and give smooth grain surface. This research was conducted to observe the influence of fatliquor addition on physical characteristics of tuna’s skin for the shoe upper. Responses measured were thickness, shrinkage temperature, tear strength, tensile strength, elongation at break and organoleptic properties. The types of fatliquor agent used in this study were natural and synthetic, and the dosages were 3%, 6%, 9%, 12% and 15%. Based on this research, the types of fatliquoring agent significantly affected the tear strength and elongation at break. The dosages of fatliquor which was nested in the type of fatliquor agent significantly affected the shrinkage temperature, tear strength, tensile strength, and elongation at break. There was
no factor that significantly affected the thickness increase. The best condition in this research was reached by synthetic fatliquoring agent with dosage of 3%. The best condition gave thickness increase of 32.4%, shrinkage temperature of 125oC, tear strength of 95.3 N/mm, tensile strength of 27.9 N/mm2, elongation at break of 45.3%, with a good natural brown colour, smooth of feel/handle and good elasticity. Key words: fatliquoring, fatliquoring agent, physical properties, tuna skin
PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu Nama : Andrian Saputra NIM : F34090147
Disetujui oleh
Prof Dr Ono Suparno, STP, MT Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu” berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian dilaksanakan selama April sampai Agustus 2014. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada: 1. Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuan penelitian berupa dana dan berbagai fasilitas yang telah diberikan selama penelitian. 2. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi. 3. Bapak Nurhadi selaku Manager PT Lautan Niaga Jaya atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian. 4. Ayahanda tercinta Mukhni, Ibunda Nurmahlina, adik-adikku Megayana Putri dan Nur Alam Saputra beserta keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya. 5. Amira atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya. 6. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah yang tak terlupakan. 7. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2014 Andrian Saputra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kulit
3
Kulit Ikan Tuna
4
Penyamakan
4
Peminyakan
5
METODE PENELITIAN
7
Waktu dan Tempat
7
Bahan
7
Alat
7
Prosedur Penelitian
7
Penelitian Pendahuluan
7
Penelitian Utama
7
Prosedur Pengujian
9
Prosedur Analisis Data
9
Penentuan Perlakuan Terbaik
10
Analisis Nilai Tambah
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Peningkatan Tebal
10
Suhu Kerut
11
Kekuatan Sobek
12
Kekuatan Tarik
15
Perpanjangan Putus
17
Uji Organoleptik
20
Penentuan Perlakuan Terbaik
21
Nilai Tambah
22
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
25
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL 1 2
Hubungan mutu kulit hasil peminyakan terhadap jenis bahan peminyak dan dosis yang digunakan Perhitungan nilai tambah kulit samak
21 22
DAFTAR GAMBAR 1 Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000) 2 Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada protein kolagen (Anonim 1995) 3 Proses sulfatasi – hidrolisis trigliserida dan reaksi asam sulfat dengan hidroksil dari gliserol (Covington 2009) 4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna 5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna 6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna 7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna 8 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan tarik kulit samak ikan tuna 9 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna 10 Skema alat ukur suhu kerut (SLTC 1996) 11 Bentuk dan dimensi sampel uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus (SLTC 1996) 12 Bentuk dan ukuran sampel untuk uji kekuatan sobek (mm) (SLTC 1996)
3 5 6 12 13 14 16 18 19 35 36 37
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Gambar/foto bahan penelitian yang digunakan dan penjelasan produk bahan peminyak Gambar/foto peralatan penelitian yang digunakan Proses penyamakan krom (Suparno 2005) Proses penyamakan nabati (Suparno et al. 2008) Prosedur uji sifat fisik kulit Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon peningkatan tebal Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon suhu kerut Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon kekuatan sobek Tabel data dan analisis ragam (α = 0.05) pada respon kekuatan tarik Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon perpanjangan putus Foto kulit hasil penyamakan kombinasi
28 30 32 33 35 38 39 40 41 42 43
12 Prosedur pemilihan perlakuan terbaik 13 Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987) 14 Syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing (SNI 2009)
44 49 50
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan tuna merupakan salah satu komoditi bidang perikanan terbesar di Indonesia. Fillet ikan tuna merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan ikan tuna. Hasil samping dari pengolahan tersebut adalah kulit mentah ikan tuna. Sebagian besar hasil samping mengalami proses pengolahan menjadi produk kerupuk kulit ikan yang relatif bernilai rendah. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil samping tersebut. Salah satu usaha pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan proses penyamakan terhadap kulit mentah ikan tuna. Melalui proses penyamakan, maka akan dihasilkan kulit samak ikan tuna. Kulit samak yang dihasilkan selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai produk yang dapat menunjang kegiatan manusia seperti tas, dompet, sepatu, ikat pinggang dan berbagai produk lainnya. Dibutuhkan beberapa tahapan proses yang harus dilakukan untuk mengubah kulit mentah menjadi kulit samak. Tahapan proses yang dilalui meliputi tahap prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Tahap prapenyamakan merupakan tahap yang dilakukan untuk mempersiapkan kulit mentah menjadi kulit siap samak (kulit pikel). Tahap penyamakan merupakan tahap inti dari proses penyamakan. Inti dari proses penyamakan adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam kulit mentah sehingga terjadi proses yang mampu mengubah kulit mentah menjadi kulit samak. Selanjutnya tahap pascapenyamakan (finishing) merupakan tahap yang dilakukan setelah tahap inti berlangsung. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan proses yang terjadi pada tahap penyamakan (inti). Setiap tahapan proses perlu dilakukan secara seksama agar didapatkan kulit samak yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Salah satu tahap penting yang perlu dilakukan pada proses pascapenyamakan adalah tahap peminyakan (fatliquoring). Purnomo (2002) menjelaskan bahwa peminyakan merupakan bagian dari proses penyamakan kulit yang bertujuan untuk memasukkan molekul minyak ke dalam ruang kosong yang terdapat di antara serat-serat kulit. Melalui proses tersebut, maka akan dihasilkan perubahan sifat penting kulit, antara lain kulit menjadi lebih lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus, sehingga mudah untuk diolah lebih lanjut. Minyak yang digunakan pada proses peminyakan merupakan minyak yang telah mengalami proses sulfatasi atau sulfitasi. Minyak hasil sulfatasi atau sulfitasi banyak digunakan karena dapat menghasilkan dispersi minyak yang baik dan tidak sensitif terhadap asam (Etherington dan Roberts 2011). Berbagai minyak yang biasa digunakan pada proses peminyakan berasal dari minyak hewan dan nabati. Saat ini juga telah banyak dikembangkan berbagai jenis bahan peminyak sintetis yang mampu menghasilkan sifat fisik kulit samak yang tidak jauh berbeda dengan jenis bahan peminyak alami. Setiap jenis bahan peminyak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan bahan peminyak dengan jenis dan dosis yang tepat mampu menghasilkan kulit samak yang lebih lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus sehingga dapat diolah lebih lanjut serta mampu meningkatkan efisiensi terhadap penggunaan bahan peminyak. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap pengaruh
2 jenis dan dosis bahan peminyak yang digunakan terhadap sifat fisik kulit ikan tuna untuk bahan bagian atas sepatu. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh jenis dan perbedaan dosis bahan peminyak yang digunakan terhadap respon peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus (elongasi) dan sifat organoleptik yang dihasilkan? 2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu kulit terbaik dari respon tersebut? 3. Bagaimanakah sifat kulit hasil peminyakan pada kondisi perlakuan terbaik? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh jenis dan dosis bahan peminyak terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit samak ikan tuna untuk bahan bagian atas sepatu, menentukan perlakuan jenis dan dosis bahan peminyak yang terbaik untuk bahan bagian atas sepatu, dan menentukan sifat-sifat fisik kulit samak ikan tuna bahan bagian atas sepatu yang dihasilkan. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan bermanfaat sebagai penentu kondisi terbaik dari proses peminyakan dengan pemilihan bahan jenis peminyak dan dosis yang terpilih dari produk kulit samak yang dihasilkan. Oleh karena itu, kondisi proses terpilih dalam tahap peminyakan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyesuaikan antara tingkat kesempurnaan proses penyamakan dengan mutu produk bahan bagian atas sepatu yang ingin dicapai. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada proses peminyakan yang merupakan bagian dari tahapan pascapenyamakan. Bahan baku kulit ikan tuna yang digunakan merupakan limbah industri fillet ikan tuna yang dihasilkan oleh PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Bagian kulit yang digunakan terdiri atas bagian perut hingga punggung yang memiliki rata-rata ketebalan antara 0.5 – 2.0 mm. Proses yang dilakukan pada penelitian ini meliputi prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Tahap prapenyamakan dilakukan untuk mengkonversi kulit mentah menjadi kulit pikel siap samak. Tahap penyamakan kombinasi dilakukan dengan menggunakan bahan penyamak krom 8% dan penyamak gambir 20%. Setelah tahap penyamakan selesai, dilakukan tahap pascapenyamakan dengan melakukan proses peminyakan dengan dua jenis bahan peminyak berupa bahan peminyak alami dan sintetis, serta lima taraf dosis bahan peminyak yang terdiri atas 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Hasil proses peminyakan kemudian dianalisis sifat-sifat fisiknya yang meliputi peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus serta uji organoleptik yang meliputi warna, feel/handle dan kelenturan.
3
TINJAUAN PUSTAKA Kulit Suardana et al. (2008) menyatakan bahwa kulit merupakan lapisan terluar dari struktur makhluk hidup. Kulit berfungsi sebagai lapisan yang melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh luar secara langsung, seperti panas, perlakuan mekanis, kimiawi serta merupakan alat pengantar suhu. Covington (2009) menyatakan bahwa secara histologis, kulit terdiri atas tiga lapisan utama, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis (corium atau cutis) dan lapisan hipodermis (subcutis). Lapisan epidermis merupakan lapisan paling luar dari kulit. Lapisan ini berfungsi sebagai penghalang antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Lapisan dermis (corium atau cutis) merupakan bagian pokok tenunan kulit yang dapat diubah menjadi kulit samak. Lapisan ini sebagian besar tersusun atas seratserat tenunan pengikat. Lapisan ini terdiri atas tiga tipe tenunan pengikat, yaitu tenunan kolagen, elastin dan retikular. Lapisan hipodermis (subcutis) adalah tenunan pengikat longgar yang menghubungkan lapisan dermis dengan bagianbagian lain dari tubuh. Said (2012) menyatakan bahwa pada penyamakan kulit, lapisan ini harus dipisahkan dari dermis karena sebagian besar lapisan hipodermis terdiri atas sisa daging. Struktur histologis kulit secara umum dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1 Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000) Kulit mentah sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah rusak akibat pengaruh fisik, kima maupun biologi. Protein penyusun kulit sebagian besar tersusun atas kolagen, elastin dan retikular. Kolagen merupakan jaringan ikat terbanyak, disusul oleh elastin dan retikular. Mustakim et al. (2006) menyatakan bahwa adanya reaksi bahan penyamak yang berikatan dengan kolagen menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik kulit mentah yang semula mudah rusak dan tidak stabil menjadi kulit samak yang lebih stabil dan tahan lama. Kulit memiliki dua buah gugus fungsi bermuatan yang berbeda jenis, yaitu karboksilat (COO-) dan amino (NH3+). Kedua gugus fungsi tersebut akan aktif pada kondisi lingkungan berbeda. Gugus fungsi karboksilat akan aktif dalam suasana asam, sedangkan gugus fungsi amino aktif dalam suasana basa. Covington (2009) menjelaskan bahwa perbedaan ini harus disesuaikan dengan jenis bahan penyamak yang akan digunakan. Proses pengikatan tanning agent
4 (bahan penyamak) terhadap gugus fungsi tidak akan terjadi dalam muatan yang tidak sesuai. Kulit Ikan Tuna Pada dasarnya setiap kulit hewan dapat digunakan sebagai bahan baku industri penyamakan, termasuk ikan. Kulit hewan pada umumnya memiliki sifatsifat alami yang bervariasi. Berbagai faktor yang menyebabkan adanya variasi pada kulit hewan adalah faktor umur, keturunan, lingkungan hidup dan faktor pemeliharaan. Sebagai contoh adalah ketebalan kulit yang berbeda pada setiap bagian kulit. Pada kulit hewan besar (contoh: sapi dan kambing), ketebalan dibagi atas beberapa daerah, yaitu krupon, kepala dan leher, ekor dan perut, serta kaki. Berbeda dengan hewan besar, kulit ikan tuna tidak memiliki bagian yang cukup jelas. Alfindo (2009) menyatakan bahwa kulit ikan tuna berwarna gelap pada bagian tulang punggung dan semakin memudar ke arah perut. Ketebalan kulit ikan tuna dari bagian kepala ke arah ekor semakin menipis, demikian juga secara vertikal dari daerah tulang punggung ke arah perut. Kepadatan jaringan serat kolagen pun beragam di setiap bagian. Menurut Oosten (1969) serta Nagai dan Takeda (2004), secara kimiawi kulit ikan terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen protein dan nonprotein. Komponen nonprotein terdiri atas lipid, karbohidrat, mineral, enzim dan vitamin. Umumnya kulit ikan mengandung air (69.9%), protein (26.9%), mineral (2.5%) dan lemak (0.7%). Penyamakan Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen dengan cara mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak lainnya) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut, sehingga kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme (Suparno et al. 2005). Penyamakan secara sederhana bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang memiliki sifat tidak stabil, yaitu mudah rusak karena pengaruh biologis, fisika dan kimia, menjadi kulit samak yang memiliki sifat stabil dan tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Purnomo (2002) menjelaskan bahwa mekanisme yang dilakukan adalah dengan memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara serat kolagen dan bahan penyamak. Terdapat tiga tahapan utama dalam proses penyamakan kulit, yaitu prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Prapenyamakan merupakan proses yang dilakukan terhadap kulit mentah agar siap untuk disamak. Proses tersebut meliputi penghilangan bagian yang tidak diinginkan (epidermis dan hipodermis) melalui proses perendaman, pengapuran (liming), pembuangan bagian lain yang tidak penting seperti sisik, daging dan lendir (fleshing), pembuangan kapur (deliming), pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling). Dilanjutkan proses penyamakan, yaitu sebuah proses penyerapan tanning agent oleh substansi kulit sehingga terjadi perubahan dari kulit mentah menjadi kulit samak. Setelah proses penyamakan selesai, maka dilakukan proses finishing yang meliputi peminyakan, pengeringan, pengecatan, pementangan dan peregangan. Judoamidjojo (1982) dan Purnomo (2002) menjelaskan bahwa seluruh proses dilakukan dalam upaya memperbaiki kualitas dan rupa kulit samak. Setiap tahapan proses harus dilakukan secara sempurna. Kegagalan yang terjadi pada
5 salah satu proses menyebabkan kegagalan pada proses selanjutnya sehingga kulit samak yang dihasilkan tidak tersamak secara sempurna. Pada proses penyamakan kulit, serabut kolagen yang satu dengan yang lain membentuk berkas serabut dan kemudian membentuk cabang berkas serabut. Cabang berkas serabut yang satu dengan yang lainnya kemudian saling membentuk anyaman dan terbentuk sudut jalinan (wave angle). Gambaran model rantai ikatan silang pada protein kolagen secara lengkap disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada protein kolagen (Anonim 1995) Peminyakan Proses peminyakan (fatliquoring) merupakan bagian dari proses penyamakan kulit. Proses ini bertujuan untuk memasukkan molekul minyak ke dalam ruang kosong yang terdapat di antara serat-serat kulit. Masuknya molekul minyak memberikan perubahan terhadap sifat-sifat fisik kulit samak, antara lain kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut dan permukaan rajahnya lebih halus (Purnomo 2002). Peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan serat-serat kulit sehingga membuat serat kulit tidak menempel antara satu dengan yang lainnya, kemudian terjadi peningkatan pada kekuatan/daya tarik, peningkatan elastisitas kulit dan penurunan daya serap air (Rachmi 1992). Covington (2009) menjelaskan bahwa tujuan utama dari proses peminyakan bukanlah membuat kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur dan lemas. Tujuan utama dari proses peminyakan adalah mencegah struktur serat kulit saling berikatan kembali pada saat proses pengeringan. Ketika proses pengeringan berlangsung, kulit samak mengering secara perlahan. Pada kondisi tersebut air yang yang berada di antara serat-serat kulit secara perlahan menghilang. Hilangnya air menyebabkan struktur jaringan serat perlahan berdekatan, kemudian saling berikatan. Seiring berjalannya waktu, ikatan tersebut akan semakin kuat. Hal ini dapat menyebabkan kulit sama menjadi keras dan kaku. Hal tersebut menyebabkan nilai mutu kulit samak yang tidak sesuai dengan standar sehingga perlu dilakukan pencegahan dengan cara melakukan proses peminyakan. Etherington dan Roberts (2011) menjelaskan bahwa penambahan minyak terhadap kulit menyebabkan terjadinya pengaturan terhadap perbedaan pengkerutan antara bagian grain (bagian yang terdapat arah serat kulit/dermis) dengan corium selama proses pengeringan kulit. Puntener (1996) menjelaskan bahwa selama proses peminyakan terjadi ikatan yang kuat secara fisis antara molekul minyak dan jaringan kulit sehingga menyebabkan sulitnya minyak migrasi dari kulit. Bahan yang digunakan pada proses peminyakan disebut bahan peminyak (fatliquoring agent). Bahan peminyak merupakan minyak, lemak, lilin, alami atau
6 sintetis dan berbagai produk tambahan yang digunakan sehingga bahan tersebut dapat larut di dalam air. Salah satu cara untuk membuat bahan memiliki sifat tersebut adalah dengan melakukan modifikasi secara kimia, yaitu menambahkan material yang mampu larut dalam air. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menambahkan asam sulfat atau asam sulfit (Leafe 1999). Minyak tersulfatasi atau minyak tersulfitasi (biasa disebut dengan bahan peminyak atau fatliquor) merupakan minyak yang secara umum digunakan pada proses peminyakan karena mampu memberikan kemampuan mendispersi minyak secara baik dan kurang sensitif terhadap asam. Bahan peminyak biasa dibuat dari berbagai jenis minyak, seperti minyak hewan dan minyak nabati (Sharphouse 1995). Metode yang paling umum digunakan untuk melakukan modifikasi secara kimia untuk pembuatan bahan peminyak adalah sulfatasi. Sulfatasi merupakan proses pencampuran bahan yang akan direaksikan dengan agen sulfatasi/sulfonasi. Bernardini (1983) dan Pore (1976) menjelaskan bahwa pereaksi yang biasa digunakan pada proses sulfatasi antara lain asam sulfat (H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H dan CISO3. Berikut adalah contoh proses sulfatasi dalam pembuatan bahan peminyak (Gambar 3).
Gambar 3 Proses sulfatasi – hidrolisis trigliserida dan reaksi asam sulfat dengan hidroksil dari gliserol (Covington 2009) Secara umum bahan peminyak dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu bahan peminyak anionik, kationik, amfoterik dan nonionik. Bahan peminyak anionik merupakan bahan peminyak yang dihasilkan dari proses sulfatasi atau sulfitasi. Bahan peminyak kationik merupakan bahan peminyak yang berasal dari minyak mentah yang diemulsikan dengan bahan emulsi kationik seperti ammonium quarternari. Bahan peminyak amfoterik merupakan bahan peminyak yang berasal dari minyak mentah yang diemulsikan dengan reagen amfoterik. Bahan peminyak nonionik merupakan bahan peminyak hasil emulsifikasi dengan senyawa kondensasi etilen oksida (Covington 2009).
7
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama enam bulan sejak April – September 2014. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit Leuwikopo, Laboratorium Bioindustri, Laboratorium Teknologi Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bangunan Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan tuna dan bahan peminyak (fatliquor agent). Kulit ikan tuna berasal dari PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Bahan baku disimpan dan diawetkan dalam kondisi beku. Bahan yang digunakan pada proses penyamakan adalah aquades, krom dengan basisitas 33%, bahan penyamak gambir, natrium klorida, asam sulfat, asam formiat, natrium bikarbonat, Sertan ND (dispersing agent), serta bahan peminyak (fatliquor agent) alami dan sintetis. Bahan peminyak yang digunakan merupakan bahan peminyak dengan merk Quimser, Barcelona dengan kode produk Seroil CMT (alami) dan Seroil FO (sintetis). Quimser (2014) menjelaskan bahwa bahan peminyak dengan kode produk Seroil CMT dan Seroil FO sama-sama mampu menghasilkan kulit samak yang sangat lembut dengan berat kulit yang cukup ringan. Foto bahan-bahan penelitian dan penjelasan terkait bahan peminyak dapat dilihat pada Lampiran 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah molen (drum putar), shaker, jar, pH meter, pisau, talenan, erlenmeyer 250 ml, labu ukur 100 ml, pipet volumetrik, termometer, thickness gauge, baumeter, kompor listrik, toggle dryer, utility tensile machine (UTM Instron), alat pengukur suhu kerut dan alat uji tarik dengan merk “Zwick/Roell”. Foto alat-alat yang digunakan dalam proses dapat dilihat pada Lampiran 2.
Prosedur Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahapan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah proses pembuatan kulit pikel pada tahap prapenyamakan. Selanjutnya dilakukan proses penyamakan kombinasi dengan bahan penyamak krom 8% dan penyamak gambir 20%. Kemudian dilakukan proses peminyakan dengan dosis bahan peminyak yang digunakan terdiri atas 0%, 5% dan 15%. Hal ini dilakukan agar diketahui pengaruh dosis bahan peminyak terhadap sifat-sifat fisik kulit samak ikan tuna. Penelitian Utama 1. Prapenyamakan Tahap prapenyamakan merupakan tahap awal untuk menyiapkan kulit mentah menjadi kulit siap samak. Prapenyamakan terdiri atas proses pengapuran (liming), penghilangan daging (fleshing), penghilangan kapur (deliming), pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling). Kulit mentah dicuci bersih
8 kemudian dimasukkan ke dalam molen. Selanjutnya dilakukan pencampuran bahan pembantu penyamakan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan pada tiap proses. Satuan penambahan dosis adalah persen (%) yang dihitung dari bobot total kulit yang akan disamak. Sebagai contoh, apabila dibutuhkan air sebanyak 100% dan NaCl sebanyak 8% dari bobot total kulit sebanyak 1000 gram, maka air yang dibutuhkan adalah 100% dari 1000, yaitu 1000 ml, sedangkan NaCl yang dibutuhkan adalah 8% dari 1000, yaitu 80 gram. Dilakukan proses liming dengan mencampurkan air sebanyak 300%, Ca(OH)2 (kapur) sebanyak 5% dan Na2S sebanyak 3%, lalu dimasukkan ke dalam molen dan diputar selama 120 menit, kemudian didiamkan selama 16 jam 15 menit. Dilakukan fleshing sampai bersih sehingga tidak ada lagi daging dan komponen lain (jaringan lemak, dan sebagainya) selain kulit yang tersisa. Kulit dicuci dengan air mengalir, kemudian dilakukan proses deliming untuk menghilangkan kapur yang masih terdapat di dalam kulit. Deliming dilakukan dengan mencampurkan air sebanyak 200% dan 100%, ammonium sulfat sebanyak 0.5% dan 2% serta natrium bisulfat sebanyak 0.2%. Proses tersebut dilakukan di dalam molen selama 2 x 15 menit. Selanjutnya dilakukan proses bating dengan menggunakan enzim (rindol RNN) sebanyak 0.15% dan degressing agent sebanyak 0.05%, dan dilakukan selama 10 menit. Memasuki tahap pickling, seluruh cairan dibuang kemudian diganti dengan cairan baru yang merupakan campuran dari air sebanyak 200%, NaCl sebanyak 10%, Regresol LP sebanyak 0.2% dan natrium format sebanyak 0.5%. Sebelum dimasukkan, dilakukan pengaturan derajat Baumé melalui pengaturan air dan garam (penambahan atau pengurangan) dengan nilai yang digunakan berkisar antara 6 – 10, kemudian diproses selama 10 – 15 menit. Derajat Baumé (oBé) pada penelitian ini adalah 9 o Bé. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH dengan menambahkan larutan asam yang telah mengalami proses pengenceran dengan perbandingan 1:10. Asam formiat ditambahkan sebanyak 0.8% kemudian diproses selama 2 x 20 menit. Setelah selesai, ditambahkan asam sulfat sebanyak 1.2%, kemudian diproses selama 3 x 30 menit + 90 menit dengan rentang pH akhir berkisar antara 2.9 – 3.1. 2.
Penyamakan krom Kulit pikel mengalami penyamakan kombinasi, yaitu proses penyamakan dengan menggunakan dua bahan penyamak berbeda. Penelitian ini menggunakan bahan penyamak krom dan nabati. Penyamakan diawali dengan pemotongan kulit pikel dengan ukuran 7 cm x 7 cm. Selanjutnya dilakukan pengukuran ketebalan di lima titik permukaan kulit pikel dengan menggunakan alat thickness gauge dan pengukuran suhu kerut. Kemudian dimasukkan ke dalam molen bersih berupa air sebanyak 200%, NaCl 10% (Baumé 6 – 10), lalu diproses selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan penambahan asam formiat sebanyak 0.1% dan asam sulfat sebanyak 0.2%, lalu diproses selama 4 x 30 menit dengan pengenceran 1:10 dan rentang pH antara 2.0 – 3.2. Material bahan penyamak krom (Cr2O3) kemudian ditambahkan sebanyak 8% dengan lama proses 60 menit. Setelah selesai, dimasukkan natrium bikarbonat yang telah mengalami pengenceran 1:5 sebanyak 0.25%. Proses ini dilakukan selama 4 x 30 menit dengan rentang pH antara 3.2 – 3.8 dan suhu 30oC. Cairan dibuang lalu dilakukan proses netralisasi dengan mencampurkan air sebanyak 300% (40oC) dan natrium bikarbonat sebanyak 2% dengan rentang pH 3.7 – 3.9. Setelah selesai, kulit samak krom dicuci dengan air
9 mengalir lalu didiamkan selama satu malam. Metode penyamakan krom di atas merupakan metode yang dilakukan oleh Suparno (2005). Proses penyamakan krom secara lebih jelas tersaji pada Lampiran 3. 3.
Penyamakan nabati dan peminyakan Bahan penyamak nabati yang digunakan adalah gambir (Uncaria gambir). Dilakukan proses depickling (pengaturan pH) dengan mencampurkan air sebanyak 200%, NaCl 10% (Baumé 6-10), kemudian diproses selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan natrium bikarbonat sebanyak 0.75% dengan pengenceran 1:10 selama 3 x 15 menit dan pH 4.5. Setelah selesai, ditambahkan Sertan ND sebanyak 2% selama 30 menit dan pH 4.5, serta gambir sebanyak 20% selama 2 x 60 menit. Cairan dibuang kemudian dilakukan proses pencucian kulit di dalam molen selama 15 menit. Kulit memasuki tahap pascapenyamakan berupa penambahan bahan peminyak alami dan sintetis yang masing-masing sudah dilarutkan ke dalam air bersuhu 80oC, kemudian diproses di dalam molen selama 60 menit. Jumlah dosis bahan peminyak yang dimasukkan terdiri atas 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Proses fiksasi dengan menggunakan asam formiat sebanyak 0.25% selama 3 x 10 + 60 menit dengan pengenceran 1:3 dan pH 3.5. Cairan dibuang, kemudian kulit dicuci dengan air mengalir (pH 3.5). Selanjutnya kulit disampirkan di kuda-kuda penyampir selama satu malam, lalu dikeringkan di toggle dryer selama 1 – 2 malam. Selanjutnya dilakukan proses pengujian yang meliputi perubahan ketebalan, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus, dan uji organoleptik. Metode penyamakan nabati dan peminyakan di atas merupakan metode yang pernah dilakukan oleh Suparno et al. (2008). Proses penyamakan nabati dan peminyakan secara lebih jelas tersaji pada Lampiran 4. Prosedur Pengujian Terdapat dua parameter yang diamati, yaitu parameter sifat-sifat fisik dan sifat organoleptik kulit samak. Respon yang diamati pada parameter sifat-sifat fisik kulit samak meliputi perubahan ketebalan, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, dan perpanjangan putus (elongasi). Respon yang diamati pada parameter organoleptik kulit samak meliputi warna, feel/handle dan kelenturan. Setiap pengujian dilakukan dengan menggunakan prosedur yang berbeda. Pada pengujian sifat-sifat fisik kulit samak, prosedur yang digunakan adalah SLP 4 untuk pengujian ketebalan, SLP 18 untuk pengujian suhu kerut, SLP 7 untuk pengujian kuat sobek, SLP 6 untuk pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus. Pada pengujian organoleptik kulit samak, dilakukan penilaian secara visual untuk respon warna dan feel/handle, serta penilaian secara skala ordinal untuk respon kelenturan. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5. Prosedur Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Tersarang (Nested Design) dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang diamati adalah jenis bahan peminyak dan dosis bahan peminyak yang tersarang pada jenis bahan peminyak. Jenis bahan peminyak yang digunakan, yaitu bahan peminyak alami (A1) dan bahan peminyak sintetis (A2). Kemudian dosis bahan peminyak (fatliquor) yang digunakan, yaitu 3% (B1), 6% (B2), 9% (B3), 12% (B4), dan 15% (B5). Model matematikanya adalah sebagai berikut:
10 Yijk = µ + Ai + Bj(i) + єijk Keterangan: Yijk = pengamatan pada ulangan ke-k, jenis ke-i dan dosis ke-j µ = rataan umum Ai = pengaruh jenis bahan pada taraf ke-i Bj(i) = pengaruh dosis pada taraf ke-j pada Ai єijk = galat eksperimen Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan program statistika SPSS versi 16.0 trial version dengan perhitungan analisis ragam yang mengacu pada rancangan percobaan yang digunakan. Jika hasil analisis ragam menyatakan adanya pengaruh nyata, maka pengolahan data dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Uji Duncan). Uji Duncan bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari setiap faktor. Penentuan Perlakuan Terbaik Data hasil penelitian yang didapatkan kemudian dipilih satu jenis perlakuan yang terbaik. Proses pemilihan perlakuan terbaik tersebut menggunakan metode berupa penilaian. Tiap parameter hasil akan dijadikan sebagai kriteria dengan bobot yang berbeda-beda. Prosedur penilaian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah dari kulit samak hasil proses peminyakan dilakukan dengan menggunakan metode Hayami (1987). Prosedur selengkapnya dari metode Hayami dapat dilihat pada Lampiran 13.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peningkatan Tebal Proses penyamakan mampu memberikan pengaruh terhadap karakterisitik kulit samak. Kulit mentah yang dikonversi menjadi kulit samak akan mengalami perubahan sifat fisik, kimia, maupun organoleptik. Salah satu perubahan yang sangat terlihat adalah peningkatan tebal kulit. Tebal kulit berubah akibat adanya reaksi antara bahan penyamak dan kolagen kulit yang menyebabkan efek penambahan volume pada kulit. Hasil pengujian terhadap respon peningkatan tebal kulit (Lampiran 6) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tebal sebesar 31 – 33%, yang semula berada di kisaran 0.5 – 2.0 mm menjadi 0.65 – 2.5 mm. Peningkatan tersebut sudah memenuhi SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai tebal kulit minimal sebesar 0.5 mm. Berdasarkan analisis ragam (anova), didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.062 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.186 (> 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai peningkatan tebal kulit. Karena hasil analisis ragam menyatakan
11 bahwa faktor-faktor tersebut tidak memberikan pengaruh nyata, maka uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan. Hasil data dan analisis ragam dapat dilihat di Lampiran 6. Proses peminyakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan tebal kulit samak karena proses ini merupakan reaksi fisik. Pada proses peminyakan terjadi pengisian ruang serat kosong antar kulit. Hal ini jelas berbeda dengan proses penyamakan yang merupakan reaksi kimia antara bahan penyamak dengan kolagen kulit. Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) menyatakan bahwa adanya reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen kulit menyebabkan terjadinya peningkatan tebal kulit. Pada proses penyamakan kulit terjadi penumpukan serabut kolagen yang membentuk anyaman sehingga menyebabkan peningkatan tebal kulit. Penggunaan bahan penyamak nabati yang salah satu sifatnya adalah memberikan efek pertambahan volume pada kulit samak menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan tebal kulit. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Joenoes (2002) yang menyatakan bahwa gambir bereaksi sangat cepat dalam menyamak kulit mentah dengan mengisi gugus protein yang bebas, sehingga peningkatan tebal kulit menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan bahan penyamak nabati yang lain. Suhu Kerut Kulit samak akan mengalami pengerutan dalam rentang waktu tertentu apabila terpapar oleh panas. Semakin besar suhu panas dan lamanya waktu yang dialami oleh kulit samak pada saat terpapar, maka kulit samak akan semakin mengerut. Suhu kerut atau shrinkage temperature (Ts) merupakan suhu pada saat kulit mengerut sebanyak 0.3% dari panjang awalnya (SLTC 1996). Yahua et al. (2011) menjelaskan bahwa suhu kerut merupakan suhu saat kulit mulai mengerut di dalam air atau media panas lainnya. Hasil pengujian suhu kerut (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu kerut seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Secara berurutan nilai suhu kerut meningkat dari kisaran 124oC – 127oC. Nilai suhu kerut terbesar dimiliki oleh sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127oC, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dimiliki oleh sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 124.5oC. Berdasarkan analisis ragam didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.838 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.001 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai suhu kerut. Pada faktor dosis tersarang (Gambar 4), dapat dilihat bahwa nilai suhu kerut berkisar antara 124oC – 127oC. Nilai suhu kerut terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127oC, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 124.5oC. Meski didapatkan hasil yang berbeda nyata pada faktor dosis tersarang, uji lanjut Duncan pada dosis tersarang tidak dapat dilakukan karena yang menjadi faktor utama pada rancangan percobaan yang digunakan adalah faktor jenis bahan peminyak. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami sudah pasti berbeda dengan faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak sintetis. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami akan
12 tetap tersarang pada bahan peminyak alami dan tidak akan pernah pindah ke jenis bahan peminyak sintetis. Hal ini menyebabkan tidak akan ada interaksi yang terjadi antara dosis yang tersarang pada setiap bahan peminyak. Rancangan inilah yang menjadi dasar dari rancangan percobaan tersarang (nested design). Tabel data dan analisis ragam dari respon suhu kerut dapat dilihat pada Lampiran 7. Peningkatan suhu kerut terjadi akibat proses penyamakan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) yang menyatakan bahwa penggunaan bahan penyamak selama proses penyamakan menghasilkan reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen. Reaksi tersebut mampu meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit dengan adanya ikatan silang yang terjadi, sehingga struktur kulit yang semula terpisah kemudian bergabung bersama menjadi struktur yang lebih kuat. Suhu kerut tidak akan meningkat apabila jumlah krom pada kulit prapenyamakan tinggi. Jika kandungan krom rendah, maka akan terjadi peningkatan suhu kerut. Schröpfer dan Meyer (2012) menjelaskan bahwa meski terjadi peningkatan suhu kerut pada penambahan bahan peminyak, akan tetapi peningkatan suhu kerut secara dominan disebabkan oleh adanya peningkatan derajat crosslinking yang diikuti dengan peningkatan stabilitas hidrotermal. Proses prapenyamakan juga mampu memberikan pengaruh terhadap stabilitas hidrotermal kulit. Hasil penelitian Brown et al. (2012) menunjukkan bahwa proses pelepasan bulu (unhairing) dapat mempengaruhi struktur kolagen dari kulit. Perbedaan struktur kolagen inilah yang menyebabkan stabilitas hidrotermal dari kulit menjadi ikut berbeda. 130
Suhu Kerut (oC)
125 Konsentrasi
120
3% 6%
115
9%
110
12%
105
15%
100 Alami
Sintetis Jenis Bahan Peminyak
Gambar 4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna Kekuatan Sobek Kekuatan sobek (tear strength) merupakan besarnya gaya maksimal yang dibutuhkan untuk merobek kulit (ikatan kolagen) tiap mm ketebalan sampel. Kuat sobek juga dapat diartikan sebagai suatu besaran yang menentukan seberapa baik suatu material/sampel mampu menahan gaya sobekan. Secara sederhana kekuatan
13 sobek menunjukkan batas maksimal yang dapat diterima oleh kulit untuk dapat sobek. Hasil pengujian kekuatan sobek (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai kekuatan sobek seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 156.3 N/mm, sedangkan nilai terkecil dimiliki oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.005 (< 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata terhadap respon kekuatan sobek. Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 5), nilai kekuatan sobek yang dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis (121.8 N/mm) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bahan peminyak alami (114 N/mm). Dari hasil uji lanjut Duncan didapatkan dua grup berbeda, yaitu grup A yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 121.8 N/mm, dan grup B yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 114 N/mm. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda nyata terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak.
Kekuatan Sobek (N/mm)
140 130 120 110 100 90 80 Alami
Sintetis Jenis Bahan Penyamak
Gambar 5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna Pada faktor dosis tersarang (Gambar 6), terlihat jelas bahwa peningkatan nilai kekuatan sobek meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Hasil serupa juga dinyatakan oleh Nurdiansyah (2012) serta Pahlawan dan Kasmudjiastuti (2012) yang menyatakan bahwa pertambahan dosis bahan peminyak menyebabkan peningkatan nilai kekuatan sobek. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai
14 sebesar 156.3 N/mm, dan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Nilai tersebut sudah melewati batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai minimal sebesar 150 N/cm atau 15 N/mm. Tabel data, analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon kekuatan sobek dapat dilihat di Lampiran 8. Suparno dan Wahyudi (2012) menyatakan bahwa nilai kekuatan sobek sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tebal kulit, sudut antar serat dengan lapisan grain, arah serat kolagen dan lokasi sampel pada kulit. Selain itu, keberhasilan proses pengapuran (liming) dan pelumatan (bating) menjadi kunci peningkatan kekuatan sobek. Proses liming dan bating menyebabkan tenunan serat kolagen terbuka. Apabila proses liming dan bating dilakukan secara berlebihan, maka tenunan serat kolagen akan terbuka lebar dan terurai. Apabila proses liming dan bating dilakukan dengan kurang sempurna, maka tenunan serat kolagen tidak akan terbuka sehingga menyebabkan sulitnya penetrasi bahan penyamak ke dalam kulit. 180 Kekuatan Sobek (N/mm)
160 140
Konsentrasi 3%
120 100
6%
80
9%
60
12%
40
15%
20 0 Alami
Sintetis Jenis Bahan Peminyak
Gambar 6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna Purnomo (2002) menjelaskan bahwa kulit yang tebal memiliki tenunan serat kolagen yang berikatan lebih banyak dan menumpuk, berbeda dengan kulit yang tipis yang memiliki tenunan serat kolagen yang longgar. Perbedaan tersebut menyebakan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek kulit tebal lebih besar jika dibandingkan dengan kulit tipis. Penambahan bahan peminyak menyebabkan nilai kekuatan sobek meningkat. Hal ini disebabkan oleh penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen sehingga molekul minyak melapisi setiap tenunan serat kolagen. Tenunan serat kolagen yang terlapisi oleh bahan peminyak menjadi lebih lemas dan elastis. Serat kolagen yang elastis menyebabkan kulit lebih sulit untuk disobek sehingga dibutuhkan gaya yang lebih besar dari biasanya meski ketebalan kulit tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan nilai kekuatan sobek dari kulit samak meningkat.
15 Kekuatan Tarik Kekuatan tarik (tensile strength) merupakan besar gaya maksimal yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus tiap mm2 sampel kulit. Kekuatan tarik merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak. Nilai kekuatan tarik yang tidak memenuhi standar akan menyebabkan kulit mudah pecah atau retak. Hasil pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik mengalami penurunan seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan tarik terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 27.9 N/mm2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm2. Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.117 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai kekuatan tarik. Pada faktor dosis tersarang (Gambar 7), terlihat bahwa nilai kekuatan tarik menurun seiring dengan pertambahan dosis bahan peminyak. Nilai kekuatan tarik terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 27.9 N/mm2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm2. Pada faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak sintetis, meski terjadi penurunan nilai kekuatan tarik, akan tetapi penurunan pada dosis 9% terlalu besar, yaitu dengan nilai 15.6 N/mm2. Seharusnya nilai kekuatan tarik pada dosis 9% berada di antara nilai 21 N/mm2 (dosis 6%) dan 18.6 N/mm2 (dosis 12%). Hal ini disebabkan oleh sampel uji yang dibuat berasal dari bagian kulit yang tidak terlalu tebal sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan menjadi sangat kecil. Selain tebal kulit, keberadaan kolagen pada sampel uji juga mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Besar kemungkinan bahwa jumlah kolagen pada sampel uji tidak lebih banyak dibandingkan dengan kulit lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil ulangan pertama dan kedua pada pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9). Tebal kulit yang tidak seragam dapat menyebabkan jumlah bahan penyamak yang terikat oleh kolagen menjadi berbeda. Meski dengan jumlah bahan penyamak yang sama, akan tetapi karena terjadi perbedaan jumlah kolagen, maka pengikatan bahan penyamak antara kulit yang satu dan lainnya akan berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan nilai-nilai sifat fisik yang dihasilkan berbeda pula. Penggunaan bahan peminyak dengan dosis 3% sudah memenuhi nilai batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai minimal sebesar 16 N/mm2. Tabel data dan analisis ragam dari respon kekuatan tarik dapat dilihat di Lampiran 9.
16
Kekuatan Tarik (N/mm2)
30 25 20
Konsentrasi 3%
15
6% 9%
10
12%
5
15%
0 Alami
Sintetis Jenis Bahan Peminyak
Gambar 7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna Menurut Suparno et al. (2011), nilai kekuatan tarik kulit samak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan penyamak, arah serat (sejajar dan tegak lurus), proses penyamakan, ketebalan kulit dan lokasi pengambilan sampel. Kanagy (1977) dalam Amwaliya (2011) menyatakan bahwa nilai kekuatan tarik dipengaruhi oleh komposisi protein serat di dalam kulit. Proses peminyakan juga mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Purnomo (2002) menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen kulit. Ketika serat kolagen dilapisi oleh minyak, maka serat kolagen tersebut menjadi lebih mulur, lemas dan elastis. Hal ini sejalan dengan pendapat Palop (2007) dan Sivakumara et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses kompleks yang mampu mempengaruhi sifat fisik kulit samak seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kelemasan dan kemuluran. Serat kolagen yang menjadi lebih mulur dan elastis menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus menjadi lebih kecil. Meski dengan ketebalan yang serupa, akan tetapi dengan berkurangnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus, maka nilai kekuatan tarik akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan yang telah dilakukan oleh Nurdiansyah (2012) yang menyatakan nilai kekuatan tarik menurun seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Covington (2009) menjelaskan bahwa pada kulit samak dikenal istilah handle yang merupakan sifat kompleks dari kulit samak dan berhubungan secara langsung dengan sifat yang dihasilkan oleh kulit samak ketika kulit berhasil dimanipulasi. Handle merupakan gabungan dari densitas, tingkat kelemasan, kekakuan, kelenturan, kelembutan/kehalusan, dan kemuluran yang dimiliki oleh kulit. Selain handle, dikenal juga istilah strength (kekuatan) yang merupakan kemampuan suatu material untuk tahan terhadap kekuatan tarik atau putus. Pada kulit samak, strength merupakan kemampuan kulit untuk menghilangkan ketegangan berlebih yang diakibatkan oleh pergerakan struktur jaringan serat.
17 Terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi untuk menghilangkan ketegangan tersebut: 1. Jaringan serat tidak boleh berikatan kembali pada saat proses pengeringan berlangsung. 2. Jaringan serat harus dilumasi agar pada saat proses pengeringan berlangsung, meskipun terjadi gesekan antar jaringan serat, akan tetapi tidak terdapat jaringan serat yang saling berikatan. Hal inilah yang menjadi peran utama proses peminyakan dalam upaya memenuhi dua kondisi tersebut, yaitu mencegah terjadinya resticking (berikatan kembali) antar jaringan serat dengan cara mengisi ruang kosong antar serat-serat kulit dan melumasi setiap jaringan serat kulit. Dari proses tersebut dihasilkan kulit samak yang lebih lunak, liat, mulur, lembut dan lemas. Perpanjangan Putus Perpanjangan putus (elongation at break) merupakan nilai elastisitas kulit pada saat kulit ditarik hingga putus yang kemudian dibagi dengan panjang semula dan dinyatakan dalam satuan persen. Secara sederhana perpanjangan putus merupakan perubahan panjang kulit yang terjadi pada saat kulit sebelum dan sesudah ditarik hingga putus. Kulit yang memiliki nilai perpanjangan putus yang tinggi menunjukkan bahwa kulit tersebut sangat elastis dan tidak mudah sobek. Perpanjangan putus merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak. Hasil pengujian perpanjangan putus (Lampiran 10) menunjukkan bahwa nilai perpanjangan putus meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 15% dengan nilai sebesar 80.8%, sedangkan nilai perpanjangan putus terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 45.3%. Berdasarkan analisis ragam, nilai signifikansi untuk faktor jenis dan dosis tersarang adalah 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna. Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 8), terlihat bahwa terjadi perbedaan nilai perpanjangan putus yang cukup jauh antara jenis bahan peminyak alami dan sintetis. Nilai terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 60.8%, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 55.8%. Dari uji lanjut Duncan didapatkan hasil berupa dua grup berbeda, yaitu grup A yang diisi oleh jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 60.8% dan grup B yang diisi oleh jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 55.8%. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda nyata terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak.
18
Perpanjangan Putus (%)
64 62 60 58 56 54 52 50 Alami
Sintetis Jenis Bahan Peminyak
Gambar 8 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan tarik kulit samak ikan tuna Pada faktor dosis tersarang (Gambar 9), nilai perpanjangan putus cenderung meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 15% dengan nilai sebesar 80.8%, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 45.3%. Akan tetapi pada jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis 12% (53.8%), nilainya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan dosis 9% (65.3%). Hal ini disebabkan oleh penetrasi bahan peminyak yang kurang maksimal sehingga tidak melapisi serat-serat kolagen secara baik. Akibatnya, kulit dengan dosis 12% menjadi lebih sulit ditarik jika dibandingkan dengan kulit dengan dosis 9% sehingga nilai perpanjangan putus menjadi lebih kecil. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, jika hasil tersebut dibandingkan dengan nilai SNI, yaitu maksimum sebesar 55% (BSN 2009), maka hanya sampel jenis bahan peminyak alami dengan dosis 3% (51.2%), dosis 6% (53.9%) dan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% (45.3%) yang memenuhi syarat batas SNI untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing. Tabel data, analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon perpanjangan putus dapati dilihat di Lampiran 10.
19 90 80
Elongasi (%)
70
Konsentrasi 3%
60 50
6%
40
9%
30
12%
20
15%
10 0 Alami
Sintetis Jenis Bahan Peminyak
Gambar 9 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna Nugraha (1999) menyatakan bahwa kulit menjadi lemas akibat tercerainya serat-serat kolagen penyusun tenunan kulit pada proses pengapuran (liming). Pada proses tersebut terjadi reaksi reduksi elastin pada protein kulit. Elastin merupakan protein fibrous yang membentuk serat-serat yang sangat elastis, karena mempunyai rantai asam amino yang membentuk sudut sehingga pada saat mendapat tegangan maka sudut-sudut tersebut akan menjadi lebih lurus dan akan kembali seperti semula apabila tegangan tersebut dilepaskan. Selanjutnya pelemasan kulit juga disebabkan oleh proses peminyakan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada proses peminyakan terjadi penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen kulit. Purnomo (2002) menjelaskan bahwa akibat dari penetrasi tersebut adalah adanya serat-serat kolagen yang dilapisi oleh molekul minyak sehingga menyebabkan perubahan kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut dan permukaan rajahnya lebih halus. Rachmi (1992) menyatakan bahwa peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan seratserat kulit sehingga membuat serat kulit tidak menempel antara satu dengan yang lainnya, kemudian terjadi peningkatan pada kekuatan/daya tarik, peningkatan elastisitas kulit dan penurunan daya serap air. Hal ini sejalan dengan pendapat Palop (2007) dan Sivakumara et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses kompleks yang mampu mempengaruhi sifat fisik kulit samak seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kelemasan dan kemuluran. Nilai perpanjangan putus berhubungan langsung dengan nilai kekuatan tarik. Pada respon kekuatan tarik, serat kolagen yang menjadi lebih mulur dan elastis menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus menjadi lebih kecil. Gaya yang lebih kecil menyebabkan kulit dengan mudah untuk ditarik hingga putus. Semakin mudah dan kecil gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus, maka semakin kecil nilai kekuatan tarik yang dihasilkan. Semakin kecil nilai kekuatan tarik, maka semakin tinggi perubahan panjang kulit akibat penarikan kulit. Semakin tinggi nilai perubahan panjang yang terjadi, maka semakin tinggi pula nilai perpanjangan putus yang diperoleh. Secara sederhana,
20 semakin kecil nilai kekuatan tarik, maka semakin tinggi nilai perpanjangan putus kulit samak. Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan salah satu parameter penting pada mutu kulit samak. Perbedaan jenis dan dosis dari setiap bahan yang digunakan pada proses penyamakan dapat menyebabkan adanya perbedaan sifat kulit samak yang dihasilkan, termasuk sifat organoleptik kulit samak. Penggunaan jenis dan dosis bahan pada proses penyamakan disesuaikan dengan produk yang diinginka. Pada penelitian ini, uji organoleptik mutu kulit hasil peminyakan dinilai berdasarkan tiga respon, yaitu warna, feel/handle dan kelenturan. Penilaian respon warna dan feel/handle dilakukan secara visual, sedangkan penilaian respon kelenturan dilakukan secara skala ordinal. Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, semua sampel uji menunjukkan hasil yang serupa pada respon warna dan feel/handle, sedangkan pada respon kelenturan didapatkan beberapa perbedaan nilai kelenturan. Pada respon warna didapatkan hasil berupa setiap kulit samak yang dihasilkan berwarna coklat tua. Hal ini disebabkan oleh bahan penyamak gambir yang digunakan. Warna bahan penyamak gambir yang berwarna coklat tua dan dosis yang seragam (20%) menyebabkan warna yang dihasilkan oleh kulit samak berwarna coklat tua pada setiap sampel uji. Foto penampakan warna dari tiap-tiap kulit hasil samak dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya pada respon feel/handle, sebagian besar kulit samak menghasilkan nilai berupa kulit samak dengan permukaan yang halus dan pola sisik yang terlihat jelas. Permukaan kulit yang halus disebabkan oleh bahan peminyak yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purnomo (2002) yang menyatakan bahwa proses peminyakan mampu menghasilkan kulit samak yang menjadi lebih lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus sehingga dapat diolah lebih lanjut. Pada respon kelenturan didapatkan hasil yang serupa pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Perbedaan dosis bahan peminyak menyebabkan adanya perbedaan kelenturan yang dihasilkan. Semakin tinggi dosis bahan peminyak yang digunakan, maka semakin lentur kulit samak yang dihasilkan. Respon kelenturan dinilai dengan menggunakan skala ordinal 1 – 5, dengan 1 sebagai nilai yang menyatakan tidak lentur dan 5 sebagai nilai yang menyatakan sangat lentur. Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, kelenturan yang dihasilkan berkisar antara 3 hingga 4. Pada dosis bahan peminyak 3% dan 6% didapatkan nilai kelenturan sebanyak 3, kemudian meningkat menjadi 4 pada dosis 9%, 12% dan 15%. Peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan menyebabkan adanya peningkatan kelenturan. Akan tetapi terjadi penurunan nilai kelenturan pada bahan peminyak jenis sintetis dengan dosis 12%. Nilai kelenturan yang semula 4 pada dosis 9% turun menjadi 3 pada dosis 12%. Penurunan ini terjadi akibat bahan peminyak yang tidak terdifusi secara sempurna sehingga nilai kelenturan yang dihasilkan tidak meningkat. Hubungan antara mutu kulit hasil penyamakan terhadap jenis bahan penyamak dan dosis yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
21 Tabel 1 Hubungan mutu kulit hasil peminyakan terhadap jenis bahan peminyak dan dosis yang digunakan Jenis Mutu Kulit bahan Dosis (%) Warna Feel/Handle Kelenturan peminyak 3 coklat tua halus 3 halus, terdapat 6 coklat tua 3 sedikit pola sisik halus, pola sisik Alami 9 coklat tua 4 terlihat jelas halus, pola sisik 4 12 coklat tua terlihat 15 coklat tua halus 4 halus, pola sisik 3 coklat tua 3 terlihat 6 coklat tua halus 4 halus, pola sisi Sintetis 9 coklat tua 4 terlihat 12 coklat tua halus 3 15 coklat tua halus 4 Penentuan Perlakuan Terbaik Berdasarkan penelitian ini, kulit samak yang mengalami proses peminyakan dengan menggunakan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3%, 6% jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dan 12% memberikan hasil terbaik. Pemilihan ini didasarkan pada sistem penilaian dengan bobot yang berbeda pada tiap respon. Nilai yang diberikan pada tiap sampel berkisar antara 1 – 5. Nilai-nilai tersebut mewakili rentang nilai tertentu sesuai dengan parameter yang diukur. Respon yang dijadikan kriteria penilaian antara lain: peningkatan tebal, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus dan organoleptik. Sebagai contoh, pada respon kekuatan sobek, nilai 1 untuk rentang < 4 N/mm, nilai 2 untuk rentang 4 – 7 N/mm, nilai 3 untuk rentang 8 – 11 N/mm, nilai 4 untuk rentang 12 – 15 N/mm, dan nilai 5 untuk rentang > 15 N/mm. Setiap respon memiliki nilai bobot yang berbeda. Nilai bobot masing-masing respon adalah 0.1 untuk peningkatan tebal, 0.3 untuk kekuatan sobek, 0.3 untuk kekuatan tarik, 0.2 untuk perpanjangan putus, dan 0.1 untuk organoleptik. Bobot tersebut disesuaikan dengan kondisi kulit dan produk akhir kulit yang dituju, yaitu berupa bahan bagian atas sepatu. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode penilaian pada Lampiran 12, perlakuan terbaik dihasilkan oleh sampel kulit samak dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dan 6%, serta sampel kulit samak pada jenis bahan peminyak sintetis pada dosis sebesar 3% dan 12% dengan nilai perhitungan sebesar 4.2. Dilakukan Uji Beda (Uji t) untuk mengetahui perlakuan mana yang terbaik di antara perlakuan-perlakuan tersebut. Berdasarkan perhitungan Uji t pada Lampiran 12, perbandingan nilai setiap sampel hanya berbeda nyata pada respon kekuatan sobek. Selanjutnya dari hasil perhitungan uji t pada respon kekuatan sobek, nilai dari setiap perlakuan adalah berbeda nyata, kecuali antara sampel dengan perlakuan jenis bahan peminyak alami pada dosis 6% (A1B2) dan sampel
22 dengan perlakuan jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% (A2B1). Karena hanya respon kekuatan sobek yang berbeda nyata, maka dilakukan pemilihan perlakuan terbaik berdasarkan nilai kekuatan sobek terbesar. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh sampel dengan perlakuan jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 12% (A2B4) dengan nilai sebesar 140.4 N/mm. Akan tetapi karena nilai perpanjangan putus dari sampel tersebut sebesar 53.8% (mendekati batas maksimum SNI sebesar 55%), maka dipilihlah sampel dengan perlakuan jenis bahan peminyak sintetis pada dosis sebesar 3% (A2B1). Hal ini berdasarkan pada nilai kekuatan sobek yang dimiliki sampel tersebut adalah terbesar kedua, yaitu dengan nilai sebesar 95.3 N/mm dan nilai perpanjangan putus yang cukup jauh di bawah dari nilai setiap perlakuan yang dibandingkan, yaitu sebesar 45.3%. Pada kondisi perlakuan ini, dihasilkan nilai peningkatan tebal sebesar 32.4%, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik sebesar 27.9 N/mm2 dan perpanjangan putus sebesar 45.3%. Uji organoleptik dengan nilai 3 menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan kulit samak ikan tuna dengan menggunakan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% terlihat merata dan alami, yaitu coklat tua, serta bagian permukaan (feel/handle) yang halus serta tingkat kelenturan yang cukup. Nilai Tambah Kulit ikan tuna merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan pada industri pengolahan fillet tuna. Limbah kulit tersebut biasanya dijual kepada pengepul untuk dijadikan kerupuk dengan harga Rp500 per kg kulit mentah (Hastuti 2013). Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan oleh kulit ikan tuna masih sangat kecil. Proses penyamakan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah kulit ikan tuna. Proses penyamakan mampu memberikan nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hanya menjual kulit mentahnya saja. Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan nilai tambah yang diperoleh dari kulit samak yang melalui proses peminyakan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Hayami (1987) dalam Giska (2013). Prosedur perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan hasil perhitungan yang terdapat pada Tabel 2, rendemen bahan baku kulit yang digunakan sebesar 0.5. Hal ini disesuaikan dengan bagian-bagian pada kulit tuna yang akan digunakan sebagai kulit samak. Bagian-bagian yang memiliki tebal berbeda dan bermutu kurang akan dipisahkan, sehingga tersisa setengah bagian yang akan digunakan pada penyamakan. Berdasarkan hasil analisis, nilai tambah kulit ikan tuna yang telah disamak menjadi sebesar Rp 22000/ft2 dari harga input awal Rp 250/ft2. Rasio nilai tambah yang dihasilkan sebesar 73.3%, sehingga persentase peningkatan keuntungannya sebesar 27.5% dengan nilai keuntungan sebesar Rp 8250/ft2. Kulit ikan tuna yang semula hanya berupa limbah yang nilai tambahnya sangat kecil,menjadi sangat potensial untuk ditingkatkan nilai tambahnya jika diubah menjadi kulit samak. Tabel 2 Perhitungan nilai tambah kulit samak No 1 a
Variabel Nilai Output, input dan harga Output/produk total (ft2/produksi) 1200
23 b c d e f g 2 h i j k l m n o p
Input bahan baku (ft2/produksi) Input tenaga kerja (HOK) Faktor konversi Koefisien tenaga kerja Harga output (Rp/ft2) Upah tenaga kerja (Rp/HOK) Penerimaan dan keuntungan Harga input bahan baku (Rp/ft2) Sumbangan input lain (Rp/ft2) Nilai output Nilai tambah (Rp/ft2) Rasio nilai tambah (%) Pendapatan tenaga kerja (Rp/ft2) Pangsa tenaga kerja(%) Keuntungan (Rp/ft2) Tingkat keuntungan (%)
2400 6 0.50 0.25 60000 55000 250 7750 30000 22000 73.3 13750 62.5 8250 27.5
Keterangan: Rincian biaya sumbangan input lain dengan basis 1 kg kulit mentah: 1. Harga input bahan penyamak dan bahan peminyak a. 1 kg gambir = Rp 24000 Biaya penggunaan gambir (20% × 1 kg) × Rp 24000 = Rp 4800 b. 1 kg krom = Rp 22000 Biaya penggunaan krom (8% × 1 kg) × Rp 22000 = Rp 1760 c. 1 liter fatliquor sintetis = Rp35.000 Biaya penggunaan fatliquor sintetis (3% x 1kg) x Rp35.000 = Rp 1050
2. Harga input bahan kimia = Rp 20000 a. 1 l H2SO4 Biaya penggunaan H2SO4 (2% × 1 kg) × Rp 20000 = Rp 400 b. 1 l HCOOH = Rp 20000 Biaya penggunaan HCOOH (2% × 1 kg) × Rp 20000 = Rp 400 c. 1 kg Na2S = Rp 50000 Biaya penggunaan Na2S (3% × 1 kg) × Rp 50000 = Rp 1500 d. 1 kg Ca(OH)2 = Rp 50000 Biaya penggunaan Ca(OH)2 (5% × 1 kg) × Rp 50000 = Rp 2500 e. 1 kg (NH4)2SO4 = Rp 6500 Biaya penggunaan (NH4)2SO4 (2.5% × 1 kg) × Rp 6500 = Rp 162.5 f. 1 l Rindill RNN = Rp 16500 Biaya penggunaan Rindill RNN (0.15% × 1 kg) × Rp 16500 = Rp 24.75 g. 1 kg Na2SO3 = Rp 11000 Biaya penggunaan Na2SO3 (0.2% × 1 kg) × Rp 11000 = Rp 22 h. 1 kg HCOONa = Rp 6600 Biaya penggunaan HCOONa (0.5% × 1 kg) × Rp 6600 = Rp 33 i. 1 l Degresser 606 = Rp 30000 Biaya penggunaan Degresser 606 (0.05% × 1 kg) × Rp 30000 = Rp 15 j. 1 kg NaCl = Rp 8000 Biaya penggunaan NaCl (20% × 1 kg) × Rp 8000 = Rp 1600
24 k. 1 kg NaHCO3 = Rp 6500 Biaya penggunaan NaHCO3 (1% × 1 kg) × Rp 6500 = Rp 65 l. 1 kg Sertan ND = Rp 26000 Biaya penggunaan Sertan ND (2% × 1 kg) × Rp 26000 = Rp 520 3. Harga input lain-lain a. Biaya listrik/proses produksi dengan motor 1 pk = Rp 100000 Biaya untuk produksi 1 kg kulit = Rp 333.33 b. Biaya penggunaan air/proses produksi = 3 m3/1 m3 × Rp 5000 = Rp 15000 Biaya untuk produksi 1 kg kulit = Rp 300 -
-
Total harga input sumbangan lain/kg produksi kulit = harga input bahan penyamak dan peminyak + harga input bahan kimia + harga input lain-lain ≈ Rp 15500/kg produksi kulit 1 kg kulit = 4 lembar kulit 1 lembar (30 cm × 15 cm) = 0.5 ft2 1 kg kulit = 2 ft2 Biaya sumbangan input lain per ft2 = Rp 7750
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor jenis bahan peminyak berpengaruh nyata terhadap respon kekuatan sobek dan perpanjangan putus. Pada faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak didapatkan hasil berupa berpengaruh nyata pada respon suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Tidak ada satu faktor pun yang berbeda nyata terhadap respon peningkatan tebal. Perlakuan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% merupakan perlakuan terbaik. Perlakuan tersebut menghasilkan nilai peningkatan tebal sebesar 32.4%, suhu kerut sebesar 125oC, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik sebesar 27.9 N/mm2 dan perpanjangan putus sebesar 45.3%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan kulit samak ikan tuna dengan menggunakan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis 3% terlihat merata dan alami, yaitu coklat tua, serta bagian permukaan (feel/handle) yang halus serta tingkat kelenturan yang cukup. Hasil analisis nilai tambah menunjukkan bahwa proses penyamakan yang disertai dengan peminyakan mampu meningkatkan nilai jual kulit ikan tuna mentah dari Rp500/kg atau setara dengan Rp250/ft2 menjadi kulit samak dengan nilai tambah sebesar Rp22.000/ft2, peningkatan persentase keuntungan sebesar 27.5% dengan nilai keuntungan sebesar Rp 8250/ft2. Saran Proses penyamakan ikan tuna sebaiknya menggunakan kulit ikan dengan tebal yang seragam, dengan kisaran ketebalan 0.7 – 1.3 mm per sampel. Jika tebal kulit yang digunakan melebihi angka tersebut, maka perlu dilakukan proses shaving agar tebal kulit yang digunakan seragam. Ketidakseragaman tebal kulit menjadi faktor adanya keanehan data yang ditimbulkan pada respon kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Hal ini disebsabkan oleh keberadaan kolagen yang
25 tidak seragam pada setiap kulit. Tebal kulit yang seragam dipastikan mampu menghasilkan nilai sifat-sifat fisik kulit samak lebih teliti karena jumlah kolagen pada setiap kulit sudah seragam. Selanjutnya bisa dilakukan proses peminyakan dengan jenis bahan peminyak lainnya untuk mengetahui sifat-sifat fisik kulit samak yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Alfindo T. 2009. Penyamakan Kulit Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Fisik Kulit. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anonim. 1995. The Art of MBoC3. New York (US): Garland Publishing Inc. Amwaliya S. 2011. Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Mutu Kulit Samoa pada Proses Penyamakan Minyak yang Dipercepat dengan Hidrogen Peroksida. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome (ITA): Interstampa. Brown EM, Latona RJ, Taylor MM. 2012. Effects of pretanning process on collagen structure and reactivity. J. American Leather Chemist Association. 108: 23 – 28. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia. Kulit Bagian Atas Alas Kaki – Kulit Kambing. SNI 0253:1989. Jakarta (ID): BSN. Covington AD. 2009. Tanning Chemistry The Science of Leather. Cambridge (UK): RSC Publishing. Etherington D, Roberts MT. 2011. A Dictionary of Descriptive Terminology: Fatliquoring [internet]. [diacu 15 September 2014]. Tersedia dari: http://cool.conservation-us.org/don.dt/dt1274.html. Hastuti TU. 2014. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hayami Y. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, a Perspective From Sunda Village. Bogor (ID): CGPRT Center. Joenoes ZN. 2002. Ars Prescribendi Jilid III. Surabaya (ID): Airlangga University Press. Judoamidjojo RM. 1982. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Bandung (ID): Angkasa. Leafe MK. 1999. Leather Technologists Pocket Book. United Kingdom (UK): The Society of Leather Technologists and Chemists. Mustakim AS. 2006. Pengaruh persentase penggunaan kuning telur ayam ras terhadap proses peminyakan terhadap kekuatan sobek lidah, keretakan rajah dan kadar lemak cakar ayam pedaging samak kombinasi (krom-nabati). J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 1 (1): 5 – 11. Nagai S, Takeda M. 2004. Four species of giant crustaceans from the Indonesian depths, with description of a new species of the family lithodidae. Bulletin of the National Science Museum Series A (Zoology) 30 (1): 9 – 21. Nugraha G. 1999. Pemanfaatan Tanin Dari Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Sebagai Bahan Penyamak Nabati. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
26 Nurdiansyah D. 2012. Pengaruh Tingkat Penggunaan Minyak Ikan Tersulfit pada Proses Fatliquoring Terhadap Mutu Fisik Fur Kelinci. Skripsi. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Oosten JV. 1969. Skin and Scale. New York (US): Academic Press Inc. Pahlawan IF, Kasmudjiastuti E. 2012. Pengaruh jumlah minyak terhadap sifat fisis kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk bahan bagian atas sepatu. J. Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik. 28: 105 – 111. Palop R. 2007. Influence of Fatliquor on Physical Properties oh Leather. Beijing (CH): China Leather and Footwear Industry Research Institute. Pore J. 1976. Sulfated and sulfonated oils. Di dalam Karlenskind, A. (ed.), Oil and Fats. New York (US): Manual Intercept Ltd. Puntener A. 1996. Fatliquors: their effect on the lightfastness of dyed leathers. World Leather Professional Magazine for The Leather Industry. 9 (1): 30 – 31. Purnomo. 2002. Penyamakan Kulit Ikan Pari. Yogyakarta (ID): Kanisius. Quimser. 2014. Wet Process Catalogue. Barcelona (SPA): Quimser. Rachmi R. 1992. Pengaruh Berbagai Bahan Penyamak Kulit Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.). Skripsi. Semarang (ID): Universitas Dipenogoro. Said MI. 2000. Isolasi dan Indentifikasi Kapang Serta Pengaruhnya terhadap Sifat Fisik dan Struktur Jalinan Kulit Kambing Pickling serta Wet Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. Said MI. 2012. Hibah Penulisan Buku Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Kulit. Makasar (ID): Universitas Hasanudin. Schröpfer M, Meyer M. 2012. Dimensional and structural stability of leather under alternating climate conditions. J. Aqeic. 63: 1 – 2. Sharphouse JH. 1995. Leather Technician’s Handbook. Leather Producers Association. Northhampton (UK): Page Bros. [SLTC] Society of Leather Technologists and Chemists. 1996. Official methods of Analysis. Northampton (UK): SLTC. Sivakumara V, Prakasha RP, Raob PG, Ramabrahmana BV, Swamithana G. 2008. Power ultrasound in fatliquor preparation based on vegetable oil for leather application. J. of Cleaner Production. 16: 549 – 553. Suardana IW, Sudiadnyana P, Rubiyanto. 2008. Kriya Kulit Jilid 1 untuk SMK. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Suparno O. 2005. Phenolic Reactions for Leather Tanning and Dyeing. PhD Thesis. Leicester (UK): University of Leicester. Suparno O, Covington AD, Evans CS. 2008. Teknologi penyamakan kulit ramah lingkungan: penyamakan kombinasi menggunakan penyamak nabati, naftol, dan oksazolidin. J. Teknologi Industri Pertanian 18 (2): 79 – 84. Suparno O, Gumbira-Sa’id E, Kartika IA, Muslich, Mubarak S. 2011. An innovative new application of oxidizing agents to accelerate chamois leather tanning. J. of the American Leather Chemists Association. 106 (12): 360 – 366. Suparno O, Wahyudi E. 2012. Pengaruh konsentrasi natrium perkarbonat dan jumlah air pada penyamakan kulit samoa terhadap mutu kulit samoa. J. Teknologi Industri Pertanian. 22 (1): 1 – 9.
27 Thorstensen TC. 1993. Practical Leather Technology. Florida (US): Kreiger Publishing Company. Yahua L, Duo N, Jianbing H, Bin LV, Thing Z. 2011. A methode for measuring shrinkage temperature of leather. J. of The Society of Leather Technologists and Chemists. 95 (5): 221 – 224.
28 Lampiran 1 Gambar/foto bahan penelitian yang digunakan dan penjelasan produk bahan peminyak
Bahan penyamak krom dan nabati gambir Kulit tuna segar
Bahan pendukung penyamakan
A1 A2 Bahan peminyak alami (A1) dan sintetis (A2)
Tabel penjelasan produk bahan peminyak (Quimser 2014) Kode Produk
Komposisi kimia
Penjelasan
Seroil CMT
Seroil FO
Very soft and light weight fatiliquor
Phosporic ester fatliquor
dibuat dari minyal alami
dibuat dari phosporic ester
Seroil CMT merupakan bahan Bahan peminyak yang dapat peminyak yang digunakan pada berbagai macam dikembangkan untuk kulit, kulit samak krom, kulit memberikan kelembutan samak nabati, maupun samak ekstrim dengan berat yang kombinasi. Memiliki stabilitas ringan dan permukaan yang yang tinggi sehingga ketika terlihat tanpa memberikan dicampurkan dengan bahan aroma khas ikan. peminyak lainnya, dapat Kemampuan-kemampuan meningkatkan stabilitas, inilah yang menjadikan Seroil distribusi dan penetrasi. CMT sebagai bahan peminyak Merupakan bahan peminyak yang unik. Bahan peminyak sintetis dengan kemampuan
29
Penampakan Warna pH Ligh fastness Karakter
ini dapat dicampur dengan bahan peminyak anionik lainnya dan cocok juga digunakan secara bersamaan dengan produk anionik lainnya, seperti pewarna, bahan penyamak sintetis, bahan penyamak nabati, dan lain-lain. Seroil CMT digunakan untuk menghasilkan kulit dengan kelembutan terbaik. Penggunaan Seroil CMT pada proses pemikelan atau penyamakan dapat meningkatkan kelembutan. Seroil CMT juga cocok digunakan sebagai brush-on fatliquor. Minyak cair Coklat transparan 7-8 Baik Anionik
tidak dapat teroksidasi dan tengik. Kemampuannya yang dapat menghasilkan penetrasi yang baik menyebabkan Seroil FO dapat dicampur dengan berbagai jenis bahan peminyak. Seroil FO dapat digunakan pada proses pemikelan untuk meningkatkan kelembutan kulit wet-blue, setelah penyamakan krom atau penyamakan kembali dari setiap jenis kulit, juga cocok digunakan pada penyamakan alumunium pada pembuatan fur. Penggunaan Seroil FO dapat menghasilkan kulit dengan lubrikasi yang baik, berat yang ringan, lembut, dan dry feeling. Minyak cair Coklat transparan 7-8 Sangat baik Anionik
Baik digunakan untuk
Garmen, upholstery, gloving, otomotif.
Tas kulit, bahan bagian atas sepatu, upholstery, garmen, gloving,otomotif, lining.
Proses
Pemikelan, Penyamakan, Penyamakan krom, Peminyakan
Penyamakan krom kembali (rechromage), prapenyamakan, prapeminyakan, penyamakan kembali (retanning), peminyakan, penyamakan
Penggunaan
Dicampurkan dan diaduk
Dicampurkan dan diaduk
30 Lampiran 2 Gambar/foto peralatan penelitian yang digunakan
Molen (drum putar) Baumémeter
Toggle Dryer Shaker
Alat pengukur kekuatan sobek (Tensile Strength Tester) Alat pengukur suhu kerut
31
Tensile strength tester
Thickness gauge
32 Lampiran 3 Proses penyamakan krom (Suparno 2005) Dosis (% Suhu Waktu Bahan Proses bobot (oC) (menit) Kimia kulit) Garam 10 (NaCl) 20 15 Air
Penyamakan
Basifikasi
Asam Sulfat
200
Keterangan Diukur densitas (derajat Baumé) dan pH Asam dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan asam : air 1:10
0.2 25
4 x 30
Asam Formiat
0.1
Krom
8
25
60
Natrium Bikarbonat
0.25
30
4 x 30
Penambahan larutan asam ke dalam molen dilakukan setiap 30 menit hingga pH antara 2.9 – 3.2 selama 120 menit 33% basisitas; pH 2.9 – 3.2 Natrium Bikarbonat dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan Natrium Bikarbonat : air 1:5 Penambahan larutan dilakukan setiap 30 menit hingga pH 3.2 – 3.8 selama 120 menit
Air Netralisasi
Natrium Bikarbonat
300 30 2
60
Dilakukan pada pH 3.7 – 3.8
Drain (pembuangan cairan di dalam molen)
Cairan dikeluarkan
Horse Up (penyampiran)
Kulit samak krom didiamkan selama satu malam
33 Lampiran 4 Proses penyamakan nabati (Suparno et al. 2008) Proses
Bahan Kimia
Dosis (% bobot kulit)
Air
200
Garam (NaCl)
Suhu (oC)
Waktu (menit)
Keterangan
25
20
Ukur derajat Baumé (6 – 10 Be)
10
Depickling (Pengaturan pH) Natrium Bikarbonat
0.75
3 x 15
Natrium Bikarbonat dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan Natrium Bikarbonat : air 1:10 Cek pH (4.5)
Sertan ND (Dispersing Agent)
Penyamakan
Penyamak Nabati Gambir
2
20
Drain (pembuangan cairan di dalam molen) Pencucian
Peminyakan
Fiksasi
25
25
30
Cek pH (4.5)
2 x 60
Bahan penyamak dimasukkan secara bertahap sebanyak dua kali (total dosis bahan yang digunakan dibagi dua untuk setiap 60 menit)
25
Air
150
Air
150
Bahan Peminyak
Asam Formiat
Keluarkan cairan
25
1–5
Dicuci dengan air mengalir
80
60
Bahan peminyak dilarutkan pada air bersuhu 80oC
3/6/9/12/15
0.25
30
3 x 10 menit + 60 menit
Asam dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan asam : air 1:3 Cek pH 3.5
Drain (pembuangan cairan di dalam molen) Pencucian Drain (pembuangan cairan di dalam molen)
Keluarkan cairan Air
300
25
10 menit
Cek pH (3.5) Cairan dikeluarkan
34 Horse Up (penyampiran)
Satu malam
Sampirkan kulit
Pengeringan
1-2 hari
Bentangkan kulit pada toggle dryer
35 Lampiran 5 Prosedur uji sifat fisik kulit 1. Ketebalan (SLTC 1996) Ketebalan kulit diukur menggunakan sebuah alat yaitu thickness gauge. Bagian yang diukur tebalnya yaitu 3 – 5 titik yang dipilih secara acak pada permukaan kulit. Alat diletakkan di atas bidang horizontal dengan permukaan yang rata kemudian sampel diletakkan di antara tatakan dan penekan dari alat tersebut. Jika posisi grain dapat diidentifikasi, maka grain diarahkan ke atas. Namun jika tidak, salah satu sisi diarahkan ke atas. Kemudian penekan dilepas dan ditunggu sampai ± 5 detik. Angka yang muncul kemudian dicatat sebagai tebal dari kulit. Hasilnya kemudian dirata-ratakan. 2. Suhu Kerut (SLTC 1996) Sampel dikaitkan pada pengait kemudian dimasukkan ke dalam gelas yang telah terisi 350 ± 50 ml air destilasi atau parafin cair. Air dipanaskan dengan menjaga kenaikan suhu sebisa mungkin sebesar 2oC per menit. Parafin cair, yang memiliki titik didih di atas 100oC, digunakan untuk memanaskan sampel tersamak krom. Parafin cair dipanaskan dengan menjaga kenaikan suhu sedapat mungkin sebesar 4oC per menit. Setiap interval setengah menit, suhu yang terbaca pada termometer dan derajat yang terbaca pada pointer dicatat. Kegiatan ini diteruskan sampai sampel mengalami pegerutan. Kegiatan ini dapat diakhiri setelah sampel tidak lagi mengalami pengerutan seiring dengan kenaikan suhunya. Dengan membaca hubungan antara suhu dan besarnya derajat pergerakan pointer atau dengan menggunakan grafik hubungan antara pembacaan pointer dengan suhu maka dapat ditentukan derajat pengerutan dari sampel tersebut. Suhu pengerutan adalah suhu dimana terjadi pengerutan sampel dengan derajat paling besar.
Gambar 10 Skema alat ukur suhu kerut (SLTC 1996)
36 3. Kekuatan Tarik (SLTC 1996) Uji kekuatan tarik kulit dilakukan dengan alat tensile strength tester. Sampel diletakkan pada alat penguji dengan cara kedua ujung sampel dijepit pada alat penjepit. Jarak antar jepitan adalah 5 cm. Setelah sampel sudah siap, alat dinyalakan dan dimatikan pada saat kulit terputus. Nilai kekuatan tarik dapat dihitung dengan persamaaan seperti berikut: Kekuatan tarik ( kgf/mm2) =
𝐹
𝑡×𝑙
F = nilai yang terbaca pada alat (kgf) l = lebar kulit yang diuji (mm) t = ketebalan kulit (mm)
Dimensi (mm): l1 50
l2 30
b 10
b1 25
R 5
Gambar 11 Bentuk dan dimensi sampel uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus (SLTC 1996) 4. Kekuatan Sobek (SLTC 1996) Uji kekuatan sobek menggunakan alat yang sama dengan uji kuat tarik yaitu tensile strength tester. Perbedaan terdapat pada alat tambahan dan juga bentuk sampel. Alat tambahan tersebut berupa pengait yang akan menarik sampel uji kuat sobek. Sampe dipasang dengan cara mengaitkan bagian tengah sampel pada alat pengait. Alat pengait akan menarik sampel dengan arah berlawanan hingga sampel menjadi sobek. Nilai kekuatan sobek yang terbaca pada alat akan dilihat ketika sampel mulai tersobek dan jarum penunjuk nilai kekuatan sobek pada alat pengujian berhenti. Nilai kekuatan sobek dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kekuatan sobek (kgf/mm) =
𝐹
𝑡 F = nilai yang terbaca pada alat (kgf) t = ketebalan kulit (mm)
37
Gambar 12 Bentuk dan ukuran sampel untuk uji kekuatan sobek (mm) (SLTC 1996) 5. Perpanjangan putus/elongasi putus (SLTC 1996) Uji perpanjangan putus (elongasi putus) merupakan pengukuran perpanjangan kulit yang ditarik mulai dari kondisi awal hingga akhir yaitu pada saat kulit terputus saat pengujian kekuatan tarik. Perpanjangan dihitung dengan membandingkan perpanjangan kulit ketika terputus pada saat pengujian kuat tarik dengan panjang kulit di awal pengukuran. Perpanjangan putus dapat dihitung dengan persamaan berikut: Perpanjangan putus =
𝐿1 −𝐿0 𝐿0
L1 = Panjang pada waktu putus (mm) L0 = Panjang mula – mula (mm)
38 Lampiran 6 Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon peningkatan tebal Tabel data peningkatan tebal (%) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ST Dev 32.7 32.7 32.7 0.0 A1B1 32.3 32.2 32.2 0.1 A1B2 33.8 32.2 33.0 1.1 A1B3 32.8 32.3 32.6 0.4 A1B4 33.2 32.6 32.9 0.5 A1B5 32.3 32.4 32.4 0.1 A2B1 32.0 31.8 31.9 0.2 A2B2 31.3 31.3 31.3 0.1 A2B3 33.6 32.2 32.9 1.0 A2B4 32.5 32.6 32.6 0.0 A2B5 33.4 32.7 33.1 0.5 Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value a Corrected Model 4.928 9 .548 2.106 Intercept 21047.072 1 21047.072 8.095 x 104 Jenis 1.152 1 1.152 4.431 Dosis(Jenis) 3.776 8 .472 1.815 Error 2.600 10 .260 Total 21054.600 20 Corrected Total 7.528 19 a Corrected Model 4.928 9 .548 2.106 R Squared = .655 (Adjusted R Squared = .344) * Berpengaruh nyata pada taraf 5%
Sig. .131 .000 .062 .186
.131
39 Lampiran 7 Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon suhu kerut Tabel data suhu kerut (oC) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ST Dev 124.7 124.3 124.5 0.3 A1B1 125.0 125.7 125.4 0.5 A1B2 126.3 125.0 125.7 0.9 A1B3 125.7 126.0 125.9 0.2 A1B4 127.0 127.0 127.0 0.0 A1B5 124.7 125.3 125.0 0.4 A2B1 125.0 124.3 124.7 0.5 A2B2 125.3 125.0 125.2 0.2 A2B3 126.3 126.7 126.5 0.3 A2B4 126.7 127.0 126.9 0.2 A2B5 119.0 119.3 119.2 0.2 Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. a Corrected Model 14.220 9 1.580 8.729 .001 Intercept 315758.450 1 315758.450 1.745 x 106 .000 Jenis .008 1 .008 .044 .838 Dosis(Jenis) 14.212 8 1.777 9.815 .001* Error 1.810 10 .181 Total 315774.480 20 Corrected Total 16.030 19 a Corrected Model 14.220 9 1.580 8.729 .001 R Squared = .887 (Adjusted R Squared = .785) * Berpengaruh nyata pada taraf 5%
40 Lampiran 8 Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon kekuatan sobek Tabel data kekuatan sobek (N/mm) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan St Dev 76.0 76.1 76.1 0.1 A1B1 90.0 89.6 89.8 0.3 A1B2 111.6 111.1 111.3 0.4 A1B3 136.3 136.3 136.3 0.0 A1B4 156.1 156.6 156.3 0.3 A1B5 94.7 95.8 95.3 0.3 A2B1 104.9 104.2 104.6 0.5 A2B2 121.5 112.0 116.7 6.7 A2B3 140.4 140.3 140.4 0.0 A2B4 161.7 142.3 152.0 13.7 A2B5 54.2 56.3 55.3 1.5 Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. a Corrected Model 13520.543 9 1502.283 64.065 .000 Intercept 277890.312 1 277890.312 1.185 x 104 .000 Jenis 304.981 1 304.981 13.006 .005* Dosis(Jenis) 13215.562 8 1651.945 70.447 .000* Error 234.495 10 23.449 Total 291645.350 20 Corrected Total 13755.038 19 Corrected Model 13520.543a 9 1502.283 64.065 .000 R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .968) * Berpengaruh nyata pada taraf 5% Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Jenis A 121.8 10 Sintetis B 114.0 10 Alami Keterangan: • Grup dengan kode yang berbeda menandakan berbeda nyata
41 Lampiran 9 Tabel data dan analisis ragam (α = 0.05) pada respon kekuatan tarik Tabel data kekuatan tarik (N/mm2) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan St Dev 25.2 24.7 25.0 0.3 A1B1 21.5 21.3 21.4 0.1 A1B2 19.4 20.5 19.9 0.7 A1B3 16.0 16.3 16.1 0.2 A1B4 14.9 14.8 14.9 0.1 A1B5 28.4 27.3 27.9 0.8 A2B1 20.4 21.7 21.0 0.9 A2B2 15.1 16.1 15.6 0.7 A2B3 17.6 19.5 18.6 1.4 A2B4 17.4 16.5 16.9 0.6 A2B5 29.0 27.8 28.4 0.9 Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. Corrected Model 321.142a 9 35.682 71.940 .000 Intercept 7785.458 1 7785.458 1.570 x 104 .000 Jenis 1.458 1 1.458 2.940 .117 Dosis(Jenis) 319.684 8 39.960 80.566 .000* Error 4.960 10 .496 Total 8111.560 20 Corrected Total 326.102 19 Corrected Model 321.142a 9 35.682 71.940 .000 R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .971) * Berpengaruh nyata pada taraf 5%
42 Lampiran 10 Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon perpanjangan putus Tabel data perpanjangan putus (%) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ST Dev 51.7 50.6 51.2 0.8 A1B1 53.9 54.0 53.9 0.1 A1B2 56.3 55.3 55.8 0.7 A1B3 59.2 59.8 59.5 0.5 A1B4 58.6 58.7 58.6 0.1 A1B5 47.5 43.0 45.3 3.1 A2B1 58.4 58.7 58.5 0.2 A2B2 66.1 64.6 65.3 1.0 A2B3 54.0 53.7 53.8 0.2 A2B4 81.0 80.6 80.8 0.3 A2B5 42.5 42.5 42.5 0 Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. a Corrected Model 1647.950 9 183.106 144.008 .000 Intercept 67942.824 1 67942.824 5.344 x 104 .000 Jenis 122.512 1 122.512 96.353 .000* Dosis(Jenis) 1525.438 8 190.680 149.964 .000* Error 12.715 10 1.272 Total 69603.490 20 Corrected Total 1660.665 19 Corrected Model 1647.950a 9 183.106 144.008 .000 R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .985) * Berpengaruh nyata pada taraf 5% Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Jenis A 60.8 10 Sintetis B
55.8
10
Alami
43 Lampiran 11 Foto kulit hasil penyamakan kombinasi
Peminyak Alami Dosis 3% (A1B1)
Peminyak Alami Dosis 6% (A1B2)
Peminyak Alami Dosis 12% (A1B4)
Peminyak Alami Dosis 15% (A1B5)
Peminyak Sintetis Dosis 3% (A2B1)
Peminyak Sintetis Dosis 6% (A2B2)
Peminyak Sintetis Dosis 12% (A2B4)
Peminyak Sintetis Dosis 15% (A2B5)
Peminyak Alami Dosis 9% (A1B3)
Peminyak Sintetis Dosis 9% (A2B3)
44 Lampiran 12 Prosedur pemilihan perlakuan terbaik Tabel nilai sifat-sifat fisik dan organoleptik kulit samak ikan tuna Respon Alternatif Peningkatan Kekuatan Kekuatan Perpanjangan Organoleptik tebal sobek tarik putus A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 Bobot kriteria
32.7 32.2 33.0 32.6 32.9 32.4 31.9 31.3 32.9 32.6
76.1 89.8 111.3 136.3 156.3 95.3 104.6 116.7 140.4 152.0
25.0 21.4 19.9 16.1 14.9 27.9 21.0 15.6 18.6 16.9
51.2 53.9 55.8 59.5 58.6 45.3 58.5 65.3 53.8 80.8
3 3 4 4 4 3 4 4 3 4
0.1
0.3
0.3
0.2
0.1
Tabel penilaian Respon Alternatif Peningkatan Kekuatan Kekuatan Perpanjangan Organoleptik tebal sobek tarik putus A1B1 5 A1B2 5 A1B3 5 A1B4 5 A1B5 5 A2B1 5 A2B2 5 A2B3 5 A2B4 5 A2B5 5 Bobot 0.1 kriteria Keterangan: Peningkatan tebal
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 4 5 5 4 5 5
2 2 1 1 1 2 1 1 2 1
3 3 4 4 4 3 4 4 3 4
0.3
0.3
0.2
0.1
1= 0–5% 2 = 6 – 10 % 3 = 11 – 20 % 4 = 21 – 30 % 5 = > 30 %
45 Kekuatan sobek
1 = < 4 N/mm 2 = 4 – 7 N/mm 3 = 8 – 11 N/mm 4 = 12 – 15 N/mm 5 = > 15 N/mm
Kekuatan tarik
1 = < 5 N/mm2 2 = 5 – 8 N/mm2 3 = 9 – 12 N/mm2 4 = 13 – 16 N/mm2 5 = > 16 N/mm2
Perpanjangan putus
1 = ≥ 55 % 2 = 45 – 54 % 3 = 35 – 44% 4 = 25 – 34 % 5 = < 25 %
Total perhitungan: A1B1 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(2) + 0.1(3) = 4.2 A1B2 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(2) + 0.1(3) = 4.2 A1B3 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(1) + 0.1(4) = 4.1 A1B4 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(1) + 0.1(4) = 4.1 A1B5 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(4) + 0.2(1) + 0.1(4) = 3.8 A2B1 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(2) + 0.1(3) = 4.2 A2B2 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(1) + 0.1(4) = 4.1 A2B3 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(4) + 0.2(1) + 0.1(4) = 3.8 A2B4 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(2) + 0.1(3) = 4.2 A2B5 = 0.1(5) + 0.3(5) + 0.3(5) + 0.2(1) + 0.1(4) = 4.1 Berdasarkan total perhitungan, perlakuan terbaik dihasilkan oleh sampel kulit samak dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dan 6%, serta sampel kulit samak pada jenis bahan peminyak sintetis pada dosis sebesar 3% dan 12% dengan nilai perhitungan sebesar 4.2. Dilakukan Uji Beda (Uji t) untuk mengetahui perlakuan mana yang terbaik. Tabel data perlakuan terbaik Alternatif A1B1 A1B2 A2B1 A2B4
Peningkatan tebal 32.7 32.2 32.4 32.9
Respon Kekuatan Kekuatan sobek tarik 76.1 25 89.8 21.4 95.3 27.9 140.4 18.6
Perpanjangan putus 51.2 53.9 45.3 53.8
46 Tabel uji t pada respon peningkatan tebal
A1B2
.45000
.05000
.146
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -.8685 1.7685
A2B1
.35000
.05000
.186
-.9685
A2B4
-.20000
.70000
.999
18.2595 18.6595
A1B1
-.45000
.05000
.146
-1.7685
.8685
A2B1
-.10000
.07071
.691
-.6406
.4406
A2B4
-.65000
.70178
.881
17.3796 18.6796
A1B1
-.35000
.05000
.186
-1.6685
.9685
A1B2
.10000
.07071
.691
-.4406
.6406
A2B4
-.55000
.70178
.923
17.4796 18.5796
A1B1
.20000
.70000
.999
18.6595 18.2595
A1B2
.65000
.70178
.881
18.6796 17.3796
A2B1
.55000
.70178
.923
18.5796 17.4796
(I) (J) Mean Kode Kode Std. Error Difference (I-J) Sampel Sampel
A1B1
A1B2
Dunnett T3 A2B1
A2B4
Sig.
1.6685
Uji t (Dunnett t-test) menjadikan satu grup (kode sampel) sebagai kontrol kemudian membandingkannya dengan semua grup (kode sampel) lainnya.
47 Tabel uji t pada respon kekuatan sobek Mean (I) Kode (J) Kode Difference Sampel Sampel (I-J)
A1B1
A1B2 Dunnett T3 A2B1
A2B4
Std. Error
95% Confidence Interval
Sig.
A1B2
-13.75000* .20616
.013*
Lower Bound -17.8416
A2B1
-19.20000* .55227
.036*
-33.1646
*
Upper Bound -9.6584 -5.2354
A2B4 A1B1
-64.30000 13.75000*
.07071 .20616
.000* .013*
-64.8406 -63.7594 9.6584 17.8416
A2B1
-5.45000
.58523
.095
-14.5743
A2B4
-50.55000
*
3.6743
.20616
.003*
-54.6416 -46.4584
A1B1
19.20000*
.55227
.036*
5.2354
33.1646
A1B2
5.45000
14.5743
.58523
.095
-3.6743
A2B4
-45.10000
*
.55227
.015*
-59.0646 -31.1354
A1B1
64.30000
*
.07071
.000*
63.7594
64.8406
A1B2
50.55000*
.20616
.003*
46.4584
54.6416
A2B1
*
.55227
.015*
31.1354
59.0646
45.10000
Tabel uji t pada respon kekuatan tarik Mean (I) Kode (J) Kode Std. Difference Sampel Sampel Error (I-J)
A1B1
A1B2 Dunnett T3 A2B1
A2B4
Sig.
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -.3302 7.4302
A1B2
3.55000
.26926
.056
A2B1
-2.90000 .60415
.190
-10.6680
4.8680
A2B4
6.40000
.98234
.170
-12.5870
25.3870
A1B1
-3.55000 .26926
.056
-7.4302
.3302
A2B1
-6.45000 .55902
.101
-19.0176
6.1176
A2B4
2.85000
.95525
.410
-20.9690
26.6690
A1B1
2.90000
.60415
.190
-4.8680
10.6680
A1B2
6.45000
.55902
.101
-6.1176
19.0176
A2B4
9.30000 1.09772
.068
-1.9685
20.5685
A1B1
-6.40000 .98234
.170
-25.3870
12.5870
A1B2
-2.85000 .95525
.410
-26.6690
20.9690
A2B1 -9.30000 1.09772 .068 -20.5685 1.9685 Uji t (Dunnett t-test) menjadikan satu grup (kode sampel) sebagai kontrol kemudian membandingkannya dengan semua grup (kode sampel) lainnya.
48 Tabel uji t pada respon perpanjangan putus (I) (J) Mean Std. Kode Kode Difference Error Sampel Sampel (I-J)
.250
Lower Bound -16.7646
Upper Bound 11.1646
5.90000 2.31625 .453
-40.5794
52.3794
A2B4
-2.70000 .57009
.238
-13.5045
8.1045
A1B1
2.80000
.250
-11.1646
16.7646
8.70000 2.25056 .328
-50.4975
67.8975
.10000
.964
-2.5334
2.7334
A1B1
-5.90000 2.31625 .453
-52.3794
40.5794
A2B1 A1B2
-8.70000 2.25056 .328
-67.8975
50.4975
A2B4
-8.60000 2.25499 .330
-66.7269
49.5269
A1B1
2.70000
.57009
.238
-8.1045
13.5045
A2B4 A1B2
-.10000
.15811
.964
-2.7334
2.5334
A1B2 A1B1 A2B1
A1B2 A2B1 Dunnett T3
Sig.
95% Confidence Interval
A2B4
-2.80000 .55227
.55227 .15811
A2B1 8.60000 2.25499 .330 -49.5269 66.7269 Uji t (Dunnett t-test) menjadikan satu grup (kode sampel) sebagai kontrol kemudian membandingkannya dengan semua grup (kode sampel) lainnya.
49 Lampiran 13 Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987) Tabel perhitungan nilai tambah Keluaran (output), masukan (input) dan harga 1 Output/produk total (ft2/produksi) A 2 2 Input bahan baku (ft /produksi) B 3 Input tenaga kerja (HOK) C 4 Faktor konversi D = A/B 5 Koefisien tenaga kerja E = C/B 2 6 Harga output (Rp/ft ) F 7 Upah tenaga kerja (Rp/HOK) G Penerimaan dan keuntungan 8 Harga input bahan baku (Rp/ ft2) H 2 9 Sumbangan input lain (Rp/ ft ) I 2 10 Nilai output (Rp/ ft ) J=D×F 11 Nilai tambah (Rp/ ft2) K=J-H-I Rasio nilai tambah (%) I% = K/J × 100% 2 12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/ ft ) M=E×G Pangsa tenaga kerja (%) N% = M/K × 100% 2 13 Keuntungan (Rp/ft ) O=K–M Tingkat keuntungan (%) P% = O/J × 100% Berdasarkan tabel di atas, terdapat beberapa informasi yang diperoleh: a. Nilai tambah (Rp) b. Rasio nilai tambah (%) persentase nilai tambah dari produk c. Balas jasa tenaga kerja (Rp) besar upah yang diterima oleh tenaga kerja langsung d. Bagian tenaga kerja (%) persentase upah tenaga kerja dari nilai tambah e. Keuntungan (Rp) bagian yang diterima pengusaha Tingkat keuntungan (%) persentase nilai tambah
50 Lampiran 14 Syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing (SNI 2009) Jenis Uji Organoleptis Warna Kelepasan Nerf Elastisitas Fisik Tebal Kekuatan Sobek Penyamakan Penyusutan Ketahanan Gosok Cat Tutup a. Kering
Satuan
Syarat Mutu
-
Rata Tidak lepas Elastis
mm N/mm %
Minimum 0.5 Minimum 15 Masak Maksimum 10
-
Tidak luntur, dengan grey scale nilai minimum 4/5
b. Basah
Ketahanan Retak
-
Kekuatan Tarik Kemuluran Kimiawi Kadar air Kadar abu
N/mm2 %
Kadar krom oksida (Cr2O3) Kadar minyak/lemak pH
% %
Sedikit luntur, dengan grey scale nilai minimum 4 Nerf dan cat tidak retak, nilai minimum 7 Minimum 16 Maksimum 55
%
Maksimum 18 Maksimum 2 di atas kadar Cr2O3 2.5 – 3.0
% %
4–8 3.5 – 7.0
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 31 Juli 1991 dari pasangan bapak Mukhni dan ibu Nurmahlina. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, Megayana Putri dan Nur Alam Saputra. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2003 di SDN Pajajaran Bogor, kemudian melanjutkan studi di SMPN 1 Bogor 2003 – 2006, SMAN 1 Bogor 2006 – 2009, dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2009. Selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi ORYZA Baseball – Softball IPB sebagai Ketua Umum pada tahun 2010 – 2011, kemudian aktif sebagai Dewan Pembina dan Pelatih. Selanjutnya penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai Kepala Bagian Minat dan Bakat di bawah divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia pada tahun 2010 – 2011. Penulis juga merupakan Kepala Divisi Auditor pada kegiatan HAGATRI 2011, yaitu kegiatan kaderisasi HIMALOGIN. Penulis yang sangat mencintai olahraga dan ilmu pengetahuan juga aktif dalam kepanitian One Step – Recognition And Mentoring Program (RAMP) IPB, Kejuaraan Baseball Softball Perbasasi Kota Bogor, serta kepanitiian lainnya. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Serat, Karet, Gum, dan Resin pada tahun 2013. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada bulan Juli – Agustus 2013 di PT Sumber Pangan Jaya, Cikarang, Jawa Barat. Judul yang dikerjakan dalam praktik lapang tersebut adalah “Proses Pengolahan Daging Ayam Menjadi Produk Daging Olahan di PT Sumber Pangan Jaya”.