J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
2016
ISSN: 2527-6271
J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016
EFEK PERENDAMAN VAKUM ASAP CAIR PADA BAKSO IKAN TUNA (Thunnus sp.) TERHADAP PENYIMPANAN (The Effect of Vacuum Immersion of Liquid Smoke on Tuna Meatballs (Thunnus sp.) on The Storage) Rosayanti Dwi Utami1)*, Tamrin1), Kobajashi Togo Isamu2) 1) Jurusan
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo Kendari Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo Kendari
2) Jurusan
*Penulis
Korespondensi: E-mail:
[email protected] (Telp.+62822-9105-8608)
ABSTRACT The purpose of this study was to investigate the effects of immesion of liquid smoke under vacuum method on the charateristics of sensory and the total colony of tuna meatballs. The concentration of liquid smoke used is 10%. The immersion method of liquid smoke used in this research are non-vacuum immersion (V0) and vacuum immersion (V1). The storage temperature used are under ambient storage temperature (T0) and low temperature (T1).The observation was carried out to 14th day. The result of this research showed that the tuna fish meatballs which immersed by liquid smoke on vacuum and stored in cold temperatures produced the lowest total microbial ie. 4.48 log CFU/mL or 3.96 x 104 colonies/mL during the last storage. Key Words: Tuna Meatballs, Liquid Smoke, Vacuum Submersion Method
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perendaman asap cair dengan teknik vakum terhadap karakteristik sensori, dan total mikroba bakso ikan tuna. Konsentrasi asap cair yang digunakan adalah 10%. Metode perendaman asap cair yang digunakan adalah metode perendaman secara non-vakum (V0) dan metode perendaman secara vakum (V1). Suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu penyimpanan ambient (T0) dan suhu penyimpanan dingin (T1). Masa pengamatan bakso ikan tuna dilakukan hingga mencapai hari ke-14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso ikan tuna yang direndam asap cair secara vakum dan disimpan dalam suhu dingin menghasilkan nilai total mikroba terendah, yakni 4,48 log CFU/ml atau setara dengan 3,96 x 10⁴ koloni/ml pada masa penyimpanan terakhir. Kata kunci : Bakso Ikan Tuna, Asap Cair, Metode Perendaman Vakum
PENDAHULUAN Laut sulawesi merupakan salah satu perairan Indonesia yang menjadi potensi kehidupan ikan tuna. Pada tahun 2007 produksi perikanan tangkap ikan tuna di Kota Kendari mencapai 604, 54 ton, 606, 04 ton pada tahun 2008 dan tahun 2009 telah mencapai 608, 64 ton (BKPM, 2015). Bakso ikan tuna adalah produk olahan daging berbentuk bola yang diperoleh dari campuran daging ikan tuna dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan pangan yang diizinkan (BSN, 1995). Namun bakso juga merupakan produk pangan yang memiliki kadar air yang tinggi, kaya nutrisi dan memiliki pH yang mendekati netral sehingga bisa menjadi media kultur pertumbuhan yang ideal bagi mikroorganisme (Sugiharti, 2009). Tidak sedikit pedagang bakso yang mencoba melakukan penyalahgunaan pemakaian zat aditif pangan dengan menambahkan bahan-bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP, dengan tujuan sebagai bahan pengawet makanan tersebut. Berdasarkan 193
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2016 J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), formalin dan boraks bukan bahan pengawet makanan sehingga keduanya tidak termasuk ke dalam jenis Bahan Tambahan Pangan (BTP). Formalin biasanya digunakan sebagai bahan pengawet mayat dan pengawetan hewan untuk penelitian. Formalin juga berfungsi sebagai desinfektan, antiseptik, antihidrolik serta bahan baku industri pembuatan lem plywood, resin dan tekstil (Saparinto & Hidayati, 2010). Damiyati (2007) melaporkan bahwa formalin dapat memperpanjang daya awet bakso dan boraks dapat mengenyalkan bakso, namun keduanya sangat membahayakan kesehatan (Sudarwati, 2007). Hasil laporan tahunan BPOM Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010 menyatakan, dari 1263 sampel makanan yang diuji, diperoleh 0,07% mengandung formalin, 1,10% mengandung Rhodamin B dan 0,15% mengandung boraks (Syaputri, 2012). Salah satu pengawet yang dapat digunakan adalah asap cair. Asap cair dapat digunakan sebagai pengawet makanan karena adanya sifat antimikroba dan senyawa antioksidan, seperti aldehid, asam karboksilat dan fenol. Pengasapan dengan asap cair mudah dilakukan, cepat, keseragaman produk dapat diperoleh, karakteristik makanan yang didapatkan baik serta tidak terdepositnya senyawa karsinogenik hidrokarbon aromatik polisiklik dalam makanan yang diawetkan (Alçiçek, 2011). Kandungan benzo[a]pyrene pada asap cair juga sangat rendah, bahkan menurut Guillen et al. (2000) penggunaan asap cair memungkinkan untuk menghasilkan produk asap yang tidak mengandung benzo[a]pyrene dan senyawa karsinogenik lainnya. Faktor yang menyebabkan terbentuknya senyawa PAH adalah suhu pengasapan dan benzo[a]pyrene tidak terbentuk jika suhu pirolisis dibawah 425°C (Guillen et al. 2000; Stolyhwo & Sikorski 2005), sehingga asap cair tempurung kelapa aman digunakan untuk produk pangan. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Efek Perendaman Vakum Asap Cair pada Bakso Ikan Tuna (Thunnus sp.) Selama Penyimpanan”.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa yang diproduksi secara komersial di Kab. Bogor Jawa Barat serta daging ikan tuna segar yang diperoleh langsung dari tempat pelelangan ikan (TPI) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan bahan lain sebagai pengisi bakso ikan tuna diantaranya tapioka, merica, bawang putih, putih telur dan garam yang diperoleh di pasar tradisional Kota Kendari. Prosedur pembuatan bakso ikan tuna (Thunnus sp.) Ikan tuna yang masih segar dicuci, diambil dagingnya, dibersihkan dari duri-duri kecil dan serat-serat putihnya, kemudian dicuci kembali dan didinginkan dengan menambahkan es batu disekitar daging ikan tuna yang telah dibersihkan. Selanjutnya daging ikan tuna yang telah dipotong kecil-kecil ditambahkan 30 gr garam, 20 ml air es, 100 gr tapioka/200 gr daging ikan tuna, bumbu yang telah dihaluskan berupa 30 gr bawang putih, merica/lada secukupnya serta 1 butir putih telur, lalu digiling menggunakan blender/food processor hingga halus dan homogen. Adonan ini dicetak menjadi bulatan-bulatan kecil lalu dimasak dengan merebusnya dalam air mendidih sampai mengapung, hasil rebusan ditiris dan diperoleh bakso matang yang siap diberi perlakuan perendaman asap cair. Proses pembuatan bakso ikan ini berpedoman pada penelitian Olivia (2013) yang telah dimodifikasi. Aplikasi teknik perendaman asap cair pada bakso ikan tuna (Thunnus sp.) Bakso yang menjadi perlakuan kontrol direndam dalam asap cair 10% tanpa menggunakan mesin vakum kemudian ditiriskan, dikemas dalam kemasan jenis PE (Polyethylen) dan disimpan pada suhu ambient (30°C).
194
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
2016
ISSN: 2527-6271
J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016 Selanjutnya, beberapa butir bakso lainnya dengan perlakuan yang sama hingga tahap pengemasan, disimpan pada suhu dingin (10°C). Setelah itu, mesin vakum disiapkan. Larutan asap cair 10% dan bakso ikan lainnya dimasukkan ke dalam vakum dan dilakukan proses perendaman selama 10 menit (Hakim et.al.,2014) kemudian bakso ikan ditiriskan, dikemas dalam kemasan PE dan disimpan pada suhu ambient (30°C) dan suhu dingin (10°C). Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (RALF). Faktor I adalah metode perendaman asap cair pada bakso ikan tuna yang terdiri dari 2 taraf, yaitu perendaman asap cair 10% tanpa menggunakan mesin vakum dan perendaman asap cair 10% menggunakan mesin vakum (V0 dan V1). Faktor II adalah suhu penyimpanan yang terdiri dari 2 taraf yaitu, penyimpanan pada suhu ambient dan penyimpanan pada suhu dingin (T0 dan T1). Terdapat 4 kombinasi perlakuan dari kedua faktor dengan 6 kali ulangan sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Variabel Penelitian Variabel pengamatan pada penelitian ini yaitu analisis sensori yang menggunakan uji kesukaan (uji hedonik) (SNI 01-2346-2006) dan uji mutu hedonik (SNI 01-6683-2002) untuk mengetahui karakteristik mutu sensori produk bakso ikan tuna meliputi warna, aroma, tekstur, dan rasa pada produk bakso ikan tuna. Pengujian menggunakan 15 orang panelis. Skor penilaian yang diberikan berdasarkan kriteria uji hedonik terdapat pada Tabel 1. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tabel 1. Skor penilaian dan kriteria uji hedonik Skor Kriteria uji hedonik 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Agak tidak suka 4 Netral 5 Agak suka 6 Suka 7 Sangat suka
Penelitian ini juga mengamati uji mikrobiologi (Fardiaz, 1992) dengan menggunakan persamaan berikut :
N= N = jumlah koloni per gram C = Jumlah total koloni yang tumbuh dalam cawan yang dihitung n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = tingkat pengenceran pertama 195
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
2016
ISSN: 2527-6271
J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Sensori Ketika akan melakukan perancangan produk baru, pengujian dengan inderawi sangat berperan. Sifat sensori merupakan parameter yang penting karena berkaitan erat dengan tingkat penerimaan panelis. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penerimaan panelis terhadap produk bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% dengan metode perendaman yang berbeda-beda, maka dilakukan uji kesukaan (Hedonic Test). Rerata analisis pengaruh metode perendaman asap cair 10% dan suhu penyimpanan terhadap nilai sensori bakso ikan tuna,yang meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa, serta total mikroba bakso ikan tuna pada masa pengamatan hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14, disajikan dalam Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan terdapat pengaruh sangat nyata pada metode perendaman asap cair saat masa pengamatan hari ke-0, dan pengaruh sangat nyata pada suhu penyimpanan saat masa pengamatan hari ke-7 dan hari ke-14. Tabel 2.
Rerata analisis sensori dan total mikroba bakso ikan tuna pada penyimpanan hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Metode Perendaman V0
Variabel pengamatan
Sensori a. Warna b. Aroma c. Tekstur d. Rasa Total mikroba
V1 Suhu Penyimpanan
T0
T1
0
7
14
0
7
4,93 5,01 5,14 5,57 2,60
1,00 1,00 1,00 1,00 8,51
1,00 1,00 1,00 1,00 11,68
4,77 5,11 5,40 5,48 2,36
4,24 5,08 5,18 5,36 3,61
T0 Masa simpan (hari) 14 0 3,71 4,46 3,74 5,16 4,65
5,74 5,51 5,49 5,47 2,52
T1
7
14
0
7
14
1,00 1,00 1,00 1,00 8,44
1,00 1,00 1,00 1,00 11,44
5,31 5,14 5,32 5,20 1,81
4,47 5,10 5,28 5,13 3,30
4,03 4.76 4,23 5,09 4,48
Warna Warna berperan penting dalam proses penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Soekarto (1990), menjelaskan bahwa warna merupakan sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik yang obyektif dan sifat sensori yang subyektif. Sehingga warna dapat diukur secara obyektif dengan instrumen fisik seperti chromameter, tintometer, whiteness meter, maupun diukur secara subyektif dengan uji sensori yang menggunakan manusia sebagai subyek penilai warna sampel. Pengamatan hari ke-0 menunjukkan bahwa, nilai rerata tertinggi sebesar 5,74 (suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara vakum dan penyimpanan suhu ambient (V1T0), dan nilai terendah sebesar 4,77 (agak suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara non vakum dan penyimpanan pada suhu dingin (V0T1), dimana warna bakso yang menjadi pilihan panelis adalah warna putih keabu-abuan. Nilai 1,00 pada sampel bakso ikan tuna menunjukkan produk yang telah rusak dan tidak dapat dikonsumsi lagi sehingga nilai 1,00 yang berarti sangat tidak suka menunjukkan respon penolakan panelis terhadap produk jenis ini. Tingginya nilai rerata warna bakso ikan tuna pada sampel V1T0 disebabkan karena proses perendaman asap cair 196
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2016 J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016
dengan teknik vakum, sehingga mengakibatkan komponen senyawa karbonil, yang merupakan senyawa pembentuk warna khas pada produk pengasapan (Ruiter, 1979), terserap lebih banyak pada sampel ini, sehingga warna bakso menjadi putih keabu-abuan. Aroma Pengamatan hari ke-0, menunjukkan bahwa nilai rerata tertinggi sebesar 5,51 (suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara vakum dan penyimpanan suhu ambient (V1T0), dan nilai terendah sebesar 5,01 (agak suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara non vakum dan penyimpanan pada suhu ambient (V0T0), dimana aroma bakso ikan tuna pilihan panelis adalah aroma bakso khas ikan asap. Hal ini diduga disebabkan oleh proses perendaman asap cair dengan teknik vakum mengakibatkan senyawa fenol, yang merupakan senyawa utama pembentuk aroma asap (Soeparno, 2005), terserap lebih banyak. Selain itu, menurut Chiralt et al. (2001) dan Silvana et al. (2006), lama waktu vakum membutuhkan lama waktu yang tertentu tergantung pada jumlah udara dan air bebas pada bahan. Akibatnya, pada waktu vakum lebih lama, larutan osmotik yang masuk ke bahan menjadi lebih banyak, karena struktur bahan akan menyeimbangkan dengan kondisi/ konsentrasi larutan di lingkungan tersebut. Proses perendaman bakso ikan tuna dalam larutan asap cair 10% secara vakum pada tekanan atmosfer -54 cmHg, menyebabkan pori-pori produk bakso ikan tuna terbuka lebih besar, sehingga penyerapan larutan asap cair menjadi lebih banyak. Skor penilaian yang diberikan panelis terhadap aroma bakso ikan tuna juga disebabkan oleh perbedaan suhu penyimpanan bakso ikan tuna. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan terdapat pengaruh sangat nyata pada metode perendaman asap cair, suhu penyimpanan dan interaksi antara keduanya saat masa pengamatan hari ke-14. Tekstur Menurut Kartika, et al. (1988), tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut (pada waktu digigit, dikunyah dan ditelan) ataupun perabaan dengan jari. Pengamatan hari ke-0 menunjukkan bahwa nilai rerata tertinggi sebesar 5,49 (agak suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara vakum dan penyimpanan suhu ambient (V1T0), dan nilai terendah sebesar 5,14 (agak suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara non vakum dan penyimpanan pada suhu ambient (V0T0), dimana tekstur bakso ikan tuna pilihan panelis adalah tekstur bakso yang kenyal. Penggunaan daging ikan tuna sebanyak 200 gram dan tepung kanji sebanyak 100 gram disetiap adonan, pada proses pembuatan bakso ikan tuna, menghasilkan rerata skor tekstur bakso yang kenyal dan disukai panelis. Menurut Triatmojo (1992), tekstur bakso dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas daging yang digunakan, metode pengolahan dan bahan-bahan yang ditambahkan. Adonan yang emulsinya stabil akan menyebabkan tekstur yang lebih baik. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan terdapat pengaruh sangat nyata pada suhu penyimpanan saat masa pengamatan hari ke-7 dan 14. Rasa Rasa merupakan unsur yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Pengamatan hari ke-0 menunjukkan nilai rerata tertinggi sebesar 5,57 (suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara non vakum dan penyimpanan suhu ambient (V0T0), dan nilai terendah 197
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
2016
ISSN: 2527-6271
J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016 sebesar 5,20 (agak suka) pada perlakuan perendaman asap cair 10% secara vakum dan penyimpanan pada suhu dingin (V1T1). Tingginya respon penilaian panelis terhadap sampel bakso yang direndam asap cair tanpa menggunakan mesin vakum, diduga disebabkan oleh penyerapan larutan asap cair pada bakso tidak begitu banyak, karena kondisi pori-pori permukaan bakso ikan tuna dalam keadaan normal. Selain itu, tingginya kandungan asap cair pada sampel bakso yang direndam menggunakan teknik vakum menyebabkan rasa bakso ikan menjadi agak asam dan pahit (Hasbullah, 2005). Perbedaan nilai panelis dapat disebabkan karena setiap panelis memiliki tingkat kesukaan yang berbeda terhadap rasa bakso ikan tuna. Total Mikroba
Rerata Nilai total mikroba Bakso (cfu/ml)
Total mikroba bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% dan suhu penyimpanan yang berbeda selama masa penyimpanan berkisar antara 1,81 CFU/ml – 11,68 CFU/ml atau setara dengan 1.41 x 10² - 5,1 x 10¹¹ koloni/ml. Rerata nilai total mikroba bakso ikan tuna selama masa penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 1. 11.44
11.68
12.00
8.44
8.51
10.00 8.00 6.00 4.00
2.60
2.36
3.61
4.65 2.52
3.3
4.48
1.81
2.00 0.00 V0T0
V0T1
V1T0
V1T1
Kombinasi Perlakuan 0 hari
7 hari
14 hari
Total mikroba yang rendah pada awal masa simpan menunjukkan nilai yang masih berada dibawah ambang batas angka lempeng total yang ditetapkan SNI Nomor 01-7266.1 Tahun 2006, yaitu 5,0 x 10⁴ koloni/g, hal ini diduga disebabkan oleh konsentrasi asap cair yang seragam dan adanya perebusan saat proses pembuatan bakso, sehingga mikroba pembusuk yang tidak tahan panas menjadi mati. Namun menurut Fardiaz (1992), pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat dalam sampel. Hal tersebut menunujukkan bahwa asap cair memiliki beberapa keunggulan, salah satunya memiliki aktivitas antibakteri (Muratore et al., 2007). Produk yang disimpan dalam suhu ambient menjadi rusak dan tidak dapat bertahan lama sebelum masa penyimpanan mencapai 1 pekan, karena lendir yang muncul akibat aktivitas mikroba (Kok and Park, 2007). Bakso yang disimpan dalam suhu dingin masih bertahan selama masa penyimpanan berlangsung karena pendinginan dapat menghambat pertumbuhan mikroba, tetapi menurut Sardjono dan Wibowo (1988), aktivitas metabolik mikroba tersebut tetap berlangsung dengan lambat yang ditandai dengan menurunnya kecepatan pertumbuhan. 198
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
2016
ISSN: 2527-6271
J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016 Jumlah mikroba pada sampel tersebut berturut-turut adalah 2,17 x 10³ koloni/ml dan 4,15 x 10³ koloni/ml. Jumlah mikroba yang terdapat pada kedua jenis sampel ini masih dibawah ambang batas total mikroba yang ditetapkan SNI Nomor 01-7266.1 Tahun 2006 yaitu 5,0 x 10⁴ koloni/g, sehingga sampel ini masih termasuk dalam kategori aman untuk dikonsumsi. Pengamatan pada hari ke-14, menunjukkan bahwa jumlah mikroba bakso ikan tuna hasil perendaman asap cair 10% secara vakum maupun non vakum yang disimpan dalam suhu ambient, berturut-turut mencapai 3 x 10¹¹ koloni/ml dan 5,1 x 10¹¹ koloni/ml. Lendir dan bau basi sangat banyak terdapat pada kedua sampel ini. Menurut Frazier dan Westhoff (1981), aktifitas mikroba selama penyimpanan mengakibatkan terjadinya dekomposisi senyawa kimia yang dikandung daging, khususnya protein akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana dan apabila proses ini berlanjut terus akan menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan, amin-amin dan H₂S. Data yang berbeda didapatkan pada sampel bakso ikan tuna yang direndam asap cair 10% secara vakum maupun non vakum dan disimpan dalam suhu dingin, yaitu jumlah mikroba yang telah mencapai 3,96 x 10⁴ koloni/ml dan 4,6 x 10⁴ koloni/ml. Kurangnya jumlah mikroba total yang ada pada sampel bakso ikan tuna yang direndam asap cair 10% secara vakum maupun non vakum, selain disebabkan oleh adanya aktifitas fenol dan asam dalam kandungan asap cair yang digunakan, juga didukung oleh suhu penyimpanan, sebab menurut Wibowo (1998), pendinginan dapat menghambat pertumbuhan mikroba tetapi aktivitas metabolik mikroba tersebut tetap berlangsung dengan lambat. Menurut Pszczola (1995), dua senyawa utama dalam asap cair yang diketahui mempunyai efek bakterisidal dan bakteriostatik adalah fenol dan asam organik. Dalam kombinasinya, kedua senyawa tersebut bekerja sama secara efektif untuk mengontrol pertumbuhan mikroba. Hal yang sama dilaporkan Yulistiani (1997), bahwa fenol dan asam asetat merupakan senyawa antimikrobia dalam asap cair tempurung kelapa yang masing-masing mempunyai konsentrasi 28% dan 9,60%. Rerata pengaruh interaksi metode perendaman asap cair 10% dan suhu penyimpanan pada masa pengamatan hari ke-7 dan hari ke-14 terhadap total mikroba bakso ikan tuna, berdasarkan uji DMRT ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2.
Pengamatan Hari ke-7 Hari ke-14
Pengaruh Interaksi Perlakuan Metode Perendaman Asap Cair 10% dan Suhu Penyimpanan terhadap Total mikroba Bakso Ikan Tuna dan Hasil Uji DMRTα 0,05 pada Masa Pengamatan Hari ke-7 dan Hari ke-14. SNI ALT Bakteri Bakso Ikan No. 01-7266.1 Suhu Penyimpanan Perlakuan DMRTα 0,05 Tahun 2006 (T0) (T1) (V0)
8,51ᶜ
3,60ᵇ
(V1)
8,43ᶜ
3,30ᵃ
(V0) (V1)
11,67ᵇ 11,42ᵇ
4,65ᵃ 4,48ᵃ
2 = 0,245 3 = 0,257 4 = 0,265 2 = 0,318 3 = 0,333 4 = 0,343
5,0 x 10⁴ koloni/g
Masa pengamatan hari ke-14 menunjukkan bahwa, perendaman asap cair secara non vakum dan penyimpanan pada suhu dingin (V0T1) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, tetapi tidak berbeda nyata dengan perendaman asap cair secara vakum dan penyimpanan pada suhu dingin (V1T1). 199
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
2016
ISSN: 2527-6271
J. Sains dan Teknologi Pangan Vol. 1, No. 3, P. 193-200, Th. 2016
KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu penggunaan perendaman asap cair 10% secara vakum yang dikombinasikan dengan penyimpanan dingin, dapat mempertahankan mutu sensori bakso ikan tuna hingga penyimpanan 14 hari. Selain itu, konsentrasi asap cair 10% menghasilkan efek yang baik dalam perolehan persentase total mikroba bakso ikan tuna selama masa penyimpanan berlangsung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, saran yang dapat diberikan adalah untuk karakteristik sensori rasa bakso, sebaiknya menggunakan konsentrasi asap cair dibawah 10%.
DAFTAR PUSTAKA Alçiçek Z. (2011), The Effects of Thyme (Thymus vulgaris L.) Oil Concentration on Liquid-Smoked VacuumPacked Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum, 1792) FilletsDuring Chilled Storage.Food Chemistry Journal., No. 128, hal. 683–688. [BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2015). Profil Daerah Kota Kendari. Profil Komoditi Unggulan di Daerah. Perikanan. Kendari. http://regionalinvestment.bkpm.go.id/ Diakses pada tanggal 12 Mei 2015. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. Chiralt A., Fito P, Barat JM, Andrés A, González-Martínez C, Escriche I dan Camacho MM. (2001). Use of vacuum impregnation in food salting process. Journal of Food Engineering. 49(2-3): 141–151. Fardiaz S. (1992). Petunjuk Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga Sumber Daya Informasi (LSI), IPB. Frazier WC dan Westhoff DC. (1988). Food Microbiology. Mc. Graw Hill Inc., New York. Guillen, MD, Sopelana P dan Partearroyo MA. (2000). Polycyclicaromatic hydrocarbons in liquid smoke flavorings obtained from different types of wood, effect of storage in polyethyleneflasks on their concentrations. Journal Agric Food Chem 48:5083-6087. Hakim AR, Gunawan dan Rodiah NS. (2014). Rancang Bangun Alat Impregnasi Vakum dan Uji Performansinya pada Filet Ikan. Agritech. 9 (1): 11–19. Hasbullah (2005). Tentang Pengolahan Pangan Daging Asap (Daging Sale) Cara Cair.http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/ikan,%20daging,%20telor20dan%20udang/daging_asap_car a_cair.pdf Akses ; 11/11/2008. Pszczola DE. (1995). Tour Highlights Production and Uses of Smoked Based Flavour. Food Tech. 49 (1) : 70-74. Saparinto C dan Hidayati D. (2010). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Soekarto, ST. (1990). Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB, Bogor.
200