HISTAMIN TUNA (Thunnus sp) DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEMBENTUKNYA PADA KONDISI SUHU PENYIMPANAN STANDAR
SRI WAHYUNI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN
SRI WAHYUNI. C34070083. Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar. Dibimbing oleh: WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO. Banyak industri pangan dunia tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan cara pengolahan pangan yang baik, begitu juga dengan industri perikanan tuna karena tingginya kadar histamin. Amerika Serikat dan Uni Eropa menetapkan regulasi tentang suhu penanganan tuna untuk menghambat pembentukan histamin melalui risk analysis, namun tidak demikian dengan Indonesia. Risk analysis belum banyak digunakan dalam pengambilan keputusan dan perumusan regulasi, padahal ikan tuna merupakan komoditi ekspor kedua terbesar untuk produk perikanan di Indonesia, sehingga aturan tentang histamin seharusnya dibuat berdasarkan pendekatan ilmiah untuk menghindari penolakan terkait dengan histamin. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembentukan histamin pada bagian tubuh ikan tuna yang berbeda dengan lama penyimpanan dan suhu penyimpanan standar serta mengidentifikasi bakteri pembentuknya. Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu: preparasi sampel, penyimpanan sampel, analisis kimia dan mikrobiologi, yakni analisis kadar histamin, kadar Total Volatile Base (TVB), angka lempeng total dan bakteri pembentuk histamin, serta isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri. Faktor penelitian ini terdiri dari bagian daging tuna (ekor dan perut), lama penyimpanan (0, 2, dan 7 hari), serta suhu penyimpanan (4-5 ºC dan (-2)-1 ºC). Kualitas daging tuna bagian ekor yang disimpan pada suhu 4-5 ºC dan (-2)-1 ºC serta tuna bagian perut yang disimpan pada (-2)-1 ºC selama 7 hari masih sangat bagus karena mengandung histamin tidak melebihi 50 ppm, sedangkan daging bagian perut yang disimpan pada suhu 4-5 0C mengandung histamin melebihi 50 ppm pada penyimpanan hari ke-7, sehingga waktu penyimpanan pada suhu 4-5 0C untuk konsumsi harus di bawah 7 hari atau diduga hingga 6 hari. Isolasi, karakterisasi, dan identifikasi yang dilakukan terhadap bakteri pembentuk histamin menunjukkan bahwa Pseudomonas putida dengan persentase identifikasi sebesar 99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good identification serta Raoultella ornithinolytica dengan persentase identifikasi sebesar 99,9% merupakan bakteri pembentuk histamin tuna.
HISTAMIN TUNA (Thunnus sp) DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEMBENTUKNYA PADA KONDISI SUHU PENYIMPANAN STANDAR
SRI WAHYUNI C34070083
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
:
Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar
Nama
:
Sri Wahyuni
NRP
:
C34070083
Departemen
:
Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Wini Trilaksani,M.Sc NIP. 196101281986012001
Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si NIP. 196906031998021001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil. NIP. 195805111985031002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Sri Wahyuni C34070083
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya penelitian berjudul “Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar” dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan
dan
Ilmu
Kelautan,
Institut
Pertanian
Bogor.
Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
2.
Ibu Dr.Ir Iriani Setyaningsih selaku dosen penguji atas saran dan masukan bagi penulis.
3.
Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
4.
Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan Teknologi Hasil Perairan.
5.
Pihak manajemen PT Z yang telah membantu dalam menyediakan sampel penelitian.
6.
Pimpinan BPMPHPK yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta penyelia dan analis atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
7.
Pimpinan dan analis Mikrobiologi Klinik FKUI atas segala bimbingan dan bantuannya kepada penulis.
8.
Ibu, almarhum Papa, dan kakak-adik yang selalu mendoakan dan memberi bantuan kepada penulis.
9.
Yoga Indra Purnama serta Jordan dkk, terima kasih atas motivasi dan dukungannya dalam segala bentuk.
10. Alhana, Fipo, Mila, Sabri, Yunko, Sherly, Medal, Cencen, Dyhart, Ellis, Indah RW, Desie, Mariah, Anggi Nurmalasari, Marisa, Trancy, iv
THP 44, 45, dan 43, terutama Kak Ibnu yang telah membantu banyak hal kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Desember 2011
Sri Wahyuni C34070083
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Belawan, pada tanggal 8 April 1989 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Mochammad Husni (Alm.) dan Nunung Janita Salmiah. Pada tahun 2007, penulis lulus dari SMA Dharmawangsa, Medan dan pada tahun yang sama, penulis diterima di Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama pendidikan, penulis aktif menjadi staf Departemen Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB, 2007-2008), anggota divisi Pengembangan dan Pendidikan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM FPIK, 2008-2009), serta anggota Fisheries Processing Club (FPC, 2009-2010). Penulis pernah menjadi asisten praktikum Penanganan Hasil Perairan pada tahun 2009-2010, asisten praktikum Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan, Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah Industri Perairan serta Teknologi Pengolahan Hasil Perairan pada tahun 2010-2011, dan pernah mengikuti pelatihan HACCP di Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyusun
skripsi
dengan
judul
“Histamin
Tuna
(Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar” di bawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si.
vi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
1
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Tujuan ................................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
5
2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp) .....................................................
5
2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna (Thunnus sp) ........................................
7
2.3 Histidin dan Histamin ........................................................................
9
2.4 Bakteri Pembentuk Histamin .............................................................
11
2.5 Standar, Regulasi Teknis, dan Risk Assessment .................................
13
METODOLOGI ......................................................................................
16
3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................
16
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................................
16
3.3 Metode Penelitian ............................................................................ 3.3.1 Preparasi sampel..................................................................... 3.3.2 Penyimpanan sampel.............................................................. 3.3.3 Analisis kimia dan mikrobiologi ............................................ 3.3.4 Isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri ........................
17 17 18 18 19
3.4 Rancangan Penelitian .........................................................................
19
3.5 Prosedur Pengujian Sampel ............................................................. 3.5.1 Analisis kadar histamin (SNI 2355.10:2009) ......................... 3.5.2 Analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI 2355.8:2009) .......................................................................... 3.5.3 Analisis Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.32006) ..................................................................................... 3.5.4 Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (modifikasi Niven et al.1981) .................................................................. 3.5.5 Isolasi bakteri (modifikasi Niven et al. 1981; Kung et al. 2009; Hwang et al. 2010) ....................................................... 3.5.6 Karakterisasi bakteri (Tiwari et al. 2009) ............................. 3.5.6.1 Morfologi koloni (Tiwari et al. 2009) .................... 3.5.6.2 Morfologi sel (Tiwari et al. 2009) .......................... 3.5.6.3 Uji sifat fisiologis (Tiwari et al. 2009) ....................
20 20
2
3
vii
21 22 23 24 24 25 25 26
Halaman 3.4.7 Identifikasi bakteri (bioMérieux 2006) .................................
26
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
29
4.1 Kadar Histamin Tuna (Thunnus sp) ..................................................
29
4.2 Kadar TVB Tuna (Thunnus sp) .........................................................
31
4.3 Nilai ALT Tuna (Thunnus sp) ...........................................................
32
4.4 Jumlah Bakteri Pembentuk Histamin Tuna (Thunnus sp).................
33
4.5 Isolasi Karakterisasi, dan Identifikasi BPH Tuna(Thunnus sp) ........
34
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
40
5.1 Simpulan ...........................................................................................
40
5.2 Saran ..................................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
41
\ 4
5
viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Komposisi ikan tuna per 100 gram ...........................................................
7
2
Komposisi asam amino ikan tuna per 100 g .............................................
8
3
Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan .......................................
11
4
Model tabel data analisis ...........................................................................
19
5
Kadar histamin daging ikan tuna dalam satuan ppm pada berbagai kondisi perlakuan......................................................................................
29
Kadar TVB daging ikan tuna dalam satuan mg N/100 g pada berbagai kondisi perlakuan......................................................................................
31
Log ALT daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan ..................................................................................................
33
Log BPH daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan ..................................................................................................
34
Morfologi koloni dan morfologi sel bakteri ..............................................
36
10 Hasil pembacaan API kit 20 NE ..............................................................
38
11 Hasil pembacaan API kit 20 E ..................................................................
39
6 7 8 9
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Ikan tuna (Thunnus sp) ........................................................................
6
2
Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin..................................
10
3
Lokasi bagian daging yang digunakan dalam penelitian .....................
18
4
Skema pemilihan API ..........................................................................
28
5
Bentuk sel dan hasil pewarnaan Gram isolat 1, 2, dan 3......................
36
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Good Manufacturing Practise penanganan bahan baku PT Z .............
49
2
Morfologi koloni bakteri (Tiwari et al. 2009) ......................................
51
3
Morfologi sel bakteri (Tiwari et al. 2009) ...........................................
52
4
Data uji statistik hasil analisis histamin ...............................................
53
5
Data uji statistik hasil analisis TVB .....................................................
55
6
Data uji statistik hasil analisis ALT .....................................................
56
7
Data uji statistik hasil analisis BPH .....................................................
57
8
Contoh perhitungan kadar histamin .....................................................
58
9
Contoh perhitungan kadar TVB ...........................................................
61
10
Contoh hasil pembacaan API kit ..........................................................
62
11
Dokumentasi penelitian........................................................................
63
12
Pertimbangan penentuan suhu berdasarkan risk assessment ...............
65
xi
1
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Food
and
Agricultural
Organization/World
Health
Organization
(FAO/WHO) sejak tahun 1992 telah merasa prihatin bahwa ratusan juta manusia di dunia telah mati karena menderita penyakit akibat mengonsumsi pangan yang tercemar (FAO 1992), bahkan European Commissioner (EC) menyatakan bahwa pangan yang aman merupakan hak asasi manusia (EC 2010). Akan tetapi, banyak industri pangan dunia tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan cara pengolahan pangan yang baik, seperti mengontrol suhu produk dan program sanitasi yang berdampak terhadap keamanan pangan, padahal penolakan terhadap pangan karena permasalahan keamanan pangan merupakan pertimbangan penting dalam perekonomian dunia. Food and Drug Administration (FDA) menyampaikan bahwa telah terjadi penolakan yang besar terhadap pangan yang berasal dari laut sepanjang tahun 1998-2004, yang mencapai 20,1% dari total pangan yang masuk ke Amerika dan kasus ini merupakan kasus kedua terbesar setelah sayuran (Buzby 2008). Lebih lanjut EC (2010) menyampaikan bahwa pada tahun 2010 terdapat lebih dari 1 miliar orang mengonsumsi pangan yang tidak aman ini. Industri perikanan tuna Indonesia tidak lepas dari permasalahan keamanan pangan tersebut, yaitu berupa penolakan dari negara importir karena tingginya kadar histamin. Sejarah mencatat bahwa terdapat 4 kasus impor tuna Indonesia pada tahun 2006 (EC 2007), 7 kasus tahun 2007 yang mengalami penolakan Rapid Alert System for Food and Feed (RASSF) Uni Eropa (EU 2008). Import Refusal Report (IRR) juga menunjukkan catatan penolakan produk tuna Indonesia, yakni sebanyak 8 perusahaan mengalami penolakan karena kasus histamin sepanjang tahun 2009 (FDA 2010). Keracunan histamin merupakan isu yang selalu hangat dan terkait dengan keamanan dan kesehatan pangan masyarakat. Keracunan histamin ditandai dengan gejala timbulnya ruam, mual, muntah, dan diare (Shalaby 1996), bahkan menjurus pada kematian. Histamin dikenal sebagai ”scromboid toxin”, karena umumnya ditimbulkan akibat mengonsumsi ikan-ikan dari famili scombridae, seperti tuna, mahi-mahi, dan mackerel (Murray et al. 1981; FDA 2004; Barceloux 2008).
2
Keracunan ini timbul karena konsentrasi yang terdapat pada produk pangan tersebut telah melebihi dosis 200 ppm, dan seringkali terjadi pada konsentrasi histamin 500 ppm (Lehane & Olley 2000; FDA 2011). Selain itu, mengonsumsi ikan, sayur, buah, produk fermentasi yang mengandung amin biogenik lainnya, seperti putresin dan kadaverin dapat pula meningkatkan risiko keracunan (Shalaby 1996; Hungerford 2010). Faktor kerentanan manusia, bobot tubuh, usia (Barceloux 2008), mengonsumsi lemon atau vinegar, alkohol (Lehane & Olley 1996), obat antihistamin tertentu dan isoniazid (Barceloux 2008), mengidap histamine intolerance (Hungerford 2010) juga dapat meningkatkan risiko. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa keracunan histamin tidak hanya disebabkan oleh mengonsumsi ikan dengan histamin tinggi, tetapi juga diperparah oleh faktor manusia sendiri. Pembentukan histamin pada produk ikan, terkait langsung dengan konsentrasi histidin dalam jaringan, jumlah dan jenis bakteri yang mengandung enzim histamine decarboxylase (hdc) atau bakteri pembentuk histamin, lokasi daging dan kondisi lingkungan (Lehanne & Olley 1999; Barceloux 2008). Histidin merupakan asam amino yang dapat didekarboksilasi oleh hdc yang dihasilkan ikan dan bakteri, menjadi histamin (Keer et al. 2002). Ikan scromboid, tuna misalnya mengandung histidin tinggi pada jaringan daging yang dapat mencapai 8% - 9% dari total asam amino bebas (Alasalvar et al. 2011). Dengan kata lain, tingginya kadar histidin sebagai prekursor histamin pada ikan dapat meningkatkan peluang terbentuknya histamin yang tinggi. Berbagai jenis bakteri telah disinyalir menghasilkan histamin diantaranya Morganella morganii, Enterobacter aerogenes, Raoultella planticola, Raoultella ornithinolytica dan Photobacterium damselae yang dapat menghasilkan lebih dari 1000 ppm histamin. Hafnia alvei, Citrobacter freundi, Vibrio alginolyticus dan Escherichia coli dapat menghasilkan histamin dengan konsentrasi kurang dari 500 ppm (Taylor & Speckhard 1983; Butler et al. 2010). Selain itu, Morganella psychrotolerans, Staphylococcus piscifermentans, Bacillus subtilis, dan Bacillus sp juga merupakan bakteri penghasil histamin (Emborg 2006; Hwang et al. 2010). Bakteri penghasil hdc berperan penting dalam memproduksi histamin. Menurut Trilaksani et al. (2009), jumlah bakteri pembentuk histamin sebesar 65,84% dari
3
angka lempeng total (ALT) pada proses pembongkaran tuna di transit. Namun, produksi histamin tidak selalu berkorelasi dengan jumlah bakteri penghasil histamin, karena respon dan kemampuan bakteri dalam menghasilkan histamin bervariasi (Allen 2004). Kondisi lingkungan, terutama suhu, juga sangat terkait dengan terbentuknya histamin. Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa kadar histamin cenderung mengalami peningkatan pada kondisi penyimpanan dan penanganan yang tidak baik terkait dengan suhu (Silva et al. 1998). Hasil penelitian mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah 25 ºC oleh Morganella morganii dan Proteus vulgaris, tetapi pada suhu 15 ºC histamin masih diproduksi dalam level yang signifikan pada daging (Kim et al. 2001). Menurut Guizani et al. (2005), produksi histamin pada suhu 0 ºC sebesar 0,61 mg/kg pada hari ke-17, pada suhu 8 ºC hari ke-8 produksi histamin meningkat cepat sebanyak 15 mg/100 g. Pembentukan histamin terjadi dengan sangat cepat pada penyimpanan suhu 20 ºC, yakni naik hingga 10 kali lipat setelah penyimpanan selama 24 jam sebesar 11,14 mg/100 g tuna. Food and Drug Administration (FDA 2011) menetapkan batas kritis suhu untuk pembentukan histamin pada pusat ikan, yakni 4,4 ºC, Indonesia menetapkan suhu pusat ikan tuna juga sebesar 4,4 ºC (BSN 2006a), sedangkan Uni Eropa menentukan suhu pusat ikan tuna, yakni suhu lebur es atau sekitar 0-2 ºC (EU 2004; Dalgaard 2008). Amerika Serikat dan Uni Eropa menetapkan suatu regulasi dan kebijakan pangan khususnya kebijakan tentang histamin dan suhu penanganan ikan tuna melalui risk analysis, yang dilakukan oleh Center for Food Safety and Applied Nutrient, Risk Assessment Consortium, dan Joint Institute for Food Safety Research (JIFSR) dan European Food Safety Authority. Namun tidak demikian dengan Indonesia, risk analysis belum banyak digunakan dalam pengambilan keputusan dan perumusan regulasi (Trilaksani et al. 2010). Padahal, ikan tuna merupakan komoditi ekspor kedua terbesar untuk produk perikanan di Indonesia, sehingga aturan tentang histamin seharusnya dibuat berdasarkan pendekatan ilmiah untuk menghindari penolakan barang terkait dengan histamin.
4
Risk analysis merupakan suatu pendekatan berbasis risiko dalam mengendalikan bahaya kesehatan masyarakat terkait dengan pangan (WHO 2005). Pelaksanaan risk analysis membutuhkan pendekatan ilmiah untuk mengukur besarnya risiko dan efeknya. Selain analisis histamin, jenis bakteri pembentuk histamin
juga
penting
diketahui
untuk
menghambat
bakteri
spesifik
pembentuknya serta dalam melakukan pengujian mikrobiologi untuk pangan laut harus diketahui target bakteri yang diinginkan, sehingga karakterisasi bakteri tersebut harus diketahui (Dalgaard et al. 2008). Dengan demikian, sebagai acuan ilmiah untuk melakukan risk analysis terhadap penanganan dan penyimpanan ikan tuna, penelitian ini penting dilakukan.
1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembentukan histamin pada bagian tubuh ikan tuna yang berbeda dengan lama penyimpanan dan suhu penyimpanan standar serta mengidentifikasi bakteri pembentuknya.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp) Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, tubuh seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar (yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna (tuna-like species), yaitu marlin, sailfish, dan swordfish (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2005). Morfologi tuna dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984 dan FAO 2011) adalah sebagai berikut. Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Subkelas
: Actinopterygi
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombridae
Famili
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Spesies
: Thunnus obesus (big eye tuna, tuna mata besar) T. alalunga (albacore, tuna albacore) T. albacares (yellowfin tuna, madidihang) T. tonggol (longtail tuna, tuna ekor panjang) T. macoyii (southern bluefin tuna, tuna sirip biru selatan) T. thynnus (northern bluefin tuna, tuna sirip biru utara) T. atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam)
6
Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp) (Destin Florida Fishing 2005). Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003). Penangkapan ikan tuna dilakukan menggunakan kapal purse sein, longline, dan pole and line. Hasil tangkapan tuna oleh kapal purse sein sebesar 58%, longline 15%, pole and line 14%, gear lainnya (gillnet coastal, handline, dll) 13%, dan troll <1%. Kapal longline umumnya menangkap tuna mata besar dan tuna sirip biru yang berumur lebih tua, sedangkan kapal purse sein menangkap cakalang dan madidihang yang berumur lebih muda, serta sesekali tuna mata besar (FAO 2004; Gilman & Lundin 2008). Tuna merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan penampakan eksternal tuna merupakan pertimbangan penting untuk menentukan nilai jual, sehingga penanganan tuna harus dilakukan dengan hati-hati, cepat, dan digunakan suhu rendah segera setelah penangkapan. Selain itu, penanganan yang baik dapat meningkatkan umur simpan dan mempertahankan kesegaran tuna. Aktivitas penanganan ikan tuna di kapal meliputi membunuh tuna (killing), membuang darah (bleeding), membuang insang dan jeroan (gilling and gutting), mencuci (cleaning), dan menyimpan pada suhu rendah (Blanc et al. 2005).
7
2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna (Thunnus sp) Ikan tuna adalah jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan tuna bervariasi tergantung spesies dan bagian-bagian dari tubuh ikan tersebut. Selain itu, variasi ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: jenis, umur, musim, laju metabolisme, aktivitas pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby & Olcott 1963). Kandungan lemak ikan tuna berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara daging merah dengan daging putih (Stansby & Olcott 1963). Berdasarkan lapisan lemaknya, daging tuna dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: otoro, chutoro, akami. Otoro dan chutoro merupakan jenis-jenis toro dengan kadar lemak sekitar 25%. Otoro berwarna merah muda, merupakan bagian terbaik dan termahal sebagai bahan baku sashimi, kemudian diikuti oleh chutoro yang berwarna lebih gelap. Bagian daging tuna yang terletak agak di pusat ikan dan berwarna lebih merah dengan kandungan lemak 14% lebih rendah disebut akami. Bagian ini memiliki harga paling murah diantara bagian tubuh ikan tuna yang lainnya. Ikan tuna tergolong ke dalam ikan dengan protein yang sangat tinggi dan lemak rendah (Stansby & Olcott 1963). Komposisi kimia tersebut dapat mengalami perubahan ketika terjadi proses kemunduran mutu. Kemunduran mutu ikan meliputi perubahan fisik, kimia, dan organoleptik dengan urutan mulai dari pre-rigor, rigormortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba, oksidasi lemak, dan hidrolisis (Huss 1995). Komposisi kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi ikan tuna per 100 gram Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat Abu
Yellow fin 74,0 ±0,28 23,2 ± 1,34 2,4 ±1,41 1,0 ±1,27 1,3 ±0,14
Komposisi kimia (%) Blue fin 70,1 ±1,98 25,5 ±4,03 2,1 ±0,92 0,9 ±1,13 1,4 ±0,21
Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Infofish (2002)
Skipjack 69,9 ±0,71 26,0 ±0,28 2 ±0,07 0,7 ±0,42 1,4 ±0,07
8
Tabel 2 Komposisi asam amino ikan tuna per 100 g Asam amino Threonine Tryptophane Valine Histidine Arginine Alanine Aspartic acid Glutamic acid Glysine Proline Serine
Kandungan mg/100g 1079 342,5 1477,5 1476,5 1487 1569,5 2260 3171 971,5 1088,5 953,5
Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Kim et al. (2009)
Pre-rigor merupakan peristiwa lepasnya lendir dari kelenjar di bawah kulit ikan. Keadaan tersebut terjadi pada saat jaringan otot lembut dan lentur, ditandai dengan menurunnya ATP dan kreatin fosfat. Lendir sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Lendir membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Jumlah lendir yang terlepas dapat mencapai 1-2,5% dari bobot tubuh ikan. Pada tahap pre-rigor, terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga menurunkan pH (Eskin 1990). Rigormortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Rigormortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen (Eskin 1990). Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dan suhu lingkungan yang rendah akan menunda terjadinya rigor (Huss 1995). Tahap autolisis dimulai dengan terjadinya pemecahan senyawa penyusun ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil oleh kerja enzim. Pemecahan penyusunan jaringan akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik, seperti bau, rasa, tekstur, dan terkadang warna (Huss 1986; Clucas & Ward 1996). Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigormortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, jeroan, dan kulit, mulai masuk ke
9
otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi, seperti protein, lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa pembusuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lainnya. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang terberat dan dianggap paling bertanggung jawab dalam kebusukan ikan (Huss 1986).
2.3 Histidin dan Histamin Histidin merupakan asam amino bebas yang terdapat pada daging ikan merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel. Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6% histidin, bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya, sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer et al. 2002). Menurut Abe et al. (1986), kandungan histidin cakalang lebih banyak terdapat pada daging putih daripada daging merah. Kandungan histidin pada ikan yang lelah berenang akan meningkat pada daging putih, sedangkan tetap pada daging merah. Hal tersebut terkait dengan kemampuan tuna dalam berenang cepat. Kemampuan tuna berenang cepat didukung dengan peningkatan kapasitas glikolisis secara anaerob pada daging putih, yang dapat dilihat dari aktivitas dehidrogenase laktat (Guppy & Hochachka 1978, diacu dalam Abe et al. 1986). Selama berenang cepat, sejumlah besar laktat, sekitar 100 µmol/g daging terakumulasi sebagai produk akhir pada daging putih, diikuti dengan produksi proton, yang menimbukan efek bahaya (Guppy et al. 1979, diacu dalam Abe et al. 1986). Untuk itu dibutuhkan peran penyangga intraseluler, yakni kelompok imidazol L-histidin, yang berubah menjadi residu histidin pada protein, L-histidin, dan histidin yang mengandung dipeptida (anserine, carnosine, balenine atau orphidine) (Crush 1970, diacu dalam Abe et al. 1986). Histidin pada ikan dapat diubah menjadi histamin oleh enzim histidin dekarboksilase. Histamin merupakan kelompok dari amin biogenik, yaitu bahan
10
aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Amin biogenik adalah basa organik dengan bobot molekul rendah yang secara normal dapat membantu fungsi fisiologis tubuh, seperti pH dan volume lambung, aktivitas otak, pengaturan suhu tubuh, dan pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan alergi (Allen 2004). Histamin disebut juga sebagai scrombotoksin. Histamin adalah salah satu penyebab paling signifikan dari foodborne illness yang terkait dengan pangan laut, walaupun terkadang terjadi kesalahan diagnosis sebagai infeksi Salmonella spp. Histamin terbentuk pada ikan rusak/busuk oleh bakteri tertentu yang memiliki enzim histidin dekarboksilase (Frank et al. 1981), sehingga dapat mendekarboksilasi asam amino histidin. Walaupun bakteri tersebut secara normal terdapat pada flora mikroba ikan hidup, sebagian besar berasal dari kontaminasi pasca penangkapan pada kapal, industri pengolahan, atau distribusi (Lehane & Olley 2000). Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2. Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat dinyatakan dalam mg/100g atau ppm (mg/kg). Uni Eropa menentukan
satuan
standar
histamin
yang
dinyatakan
dalam
mg/kg
a
(Etienne 2005 ).
Gambar 2 Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002). Laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 ºC oleh Morganella morganii dan Proteus vulgaris, tetapi pada suhu 15 ºC histamin masih diproduksi dalam level yang signifikan pada daging (Kim et al. 2001). Menurut Fletcher et al. (1995) pembentukan histamin pada suhu 0–5 ºC sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian
11
Price et al. (1991) menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 C atau lebih rendah. Menurut Craven et al. (2000), pada suhu 4,4 ºC dengan es curai terbentuk histamin sebanyak 0,5-1,5 mg/100g ikan. Konsentrasi tersebut memenuhi aturan FDA, yakni tidak melampaui 5 mg/100 g. Oleh karena itu, FDA menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada ikan sebesar
4,4 ºC (FDA 2011). Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 3.
FDA mengatur tentang kadar maksimum histamin, yakni tidak melebihi 50 ppm (FDA 2002), sedangkan peraturan dari EC menyatakan bahwa histamin yang dianalisis dari 9 sampel pada masing-masing batch, memiliki rataan tidak melebihi 100 ppm, dan tidak ada sampel yang melebihi 200 ppm (EU 2005). Pembentukan histamin pada produk ikan, terkait langsung dengan konsentrasi histidin dalam jaringan, jumlah dan jenis bakteri yang mengandung enzim histamine decarboxylase (hdc) atau bakteri pembentuk histamin, lokasi daging dan kondisi lingkungan (Lehanne & Olley 1999; Barceloux 2008). Tabel 3 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan Kadar histamin per 100 g < 5 mg 5-20 mg 20-100 mg > 100 mg
Tingkatan bahaya Aman dikonsumsi Kemungkinan toksik Berpeluang toksik Toksik
Sumber: Shalaby (1996), diacu dalam Sumner et al. (2004)
2.4 Bakteri Pembentuk Histamin Mikroorganisme ditemukan di seluruh permukaan tubuh (kulit dan insang) serta di dalam usus pada ikan hidup dan ikan yang baru ditangkap. Flora bakteri pada ikan yang baru ditangkap lebih bergantung pada lingkungan ikan tersebut dibandingkan dengan spesies ikan. Ikan yang ditangkap di perairan sangat dingin dan tidak tercemar mengandung sejumlah kecil flora bakteri, sebaliknya ikan yang ditangkap di perairan hangat mengandung flora bakteri sedikit lebih banyak dan ikan yang ditangkap di perairan hangat dan tercemar mengandung sejumlah besar flora bakteri, yakni 107 cfu/cm2 (Huss 1995). Pembentukan histamin terjadi selama penanganan ikan yakni pada proses thawing oleh bakteri psikotropik karena proses tersebut membutuhkan waktu yang
12
lama. Selain itu, bila jeroan tidak dikeluarkan sebelum pembekuan, beberapa jenis bakteri di usus berperan dalam dekomposisi dan akumulasi histamin (Frank & Yoshinaga 1987). Histamin diproduksi oleh mikroorganisme tertentu yang mengandung enzim hdc. Banyak jenis bakteri yang dapat menghasilkan histamin, tetapi penghasil utama histamin pada ikan adalah bakteri Gram negatif jenis enterik mesofilik dan bakteri laut (Middlebrooks et al. 1988; Butler et al. 2010). Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada otot, insang, dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri tersebut karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 ºC) daripada temperatur rendah (7,2 ºC) (FDA 2011). Kung et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat lima jenis bakteri ditemukan pada tuna sandwiche yang dapat menghasilkan 42,1-595,4 ppm histamin dalam media trypticase soy broth dengan 1% L-histidin (TSBH), yakni Hafnia alvei, Raoultella ornithinolytica dan Raoultella planticola. Hafnia alvei diidentifikasi sebagai pembentuk histamin yang lemah, sedangkan Raoultella ornithinolytica dan Raoultella planticola dapat menghasilkan histamin lebih dari 500 ppm dalam media TSBH. Taylor & Speckhard (1983) menemukan Proteus morganii dari media TSA dan NA dan Citrobacter freundii dari media TSA pada insang skipjack tuna beku. Histamin dihasilkan oleh berbagai jenis bakteri, penghasil utama histamin adalah bakteri Gram negatif mesofil, yakni Morganella morganii, Enterobacter aerogenes, Raoultella planticola, Raoultella ornithinolytica dan Photobacterium damselae yang dapat menghasilkan lebih dari 1000 ppm histamin dalam kaldu ketika dikultur dalam kondisi optimal. Hafnia alvei, Citrobacter freundi, Vibrio alginolyticus dan Escherichia coli adalah penghasil histamin yang rendah dengan konsentrasi kurang dari 500 ppm di bawah kondisi kultur yang sama (Butler et al. 2010).
13
2.5 Standar, Regulasi Teknis, dan Risk Assessment Berdasarkan PP RI nomor 15 tahun 1991 tentang SNI, standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya (Departemen Perindustrian 1992). Standar dalam pelayanan publik bermanfaat untuk mengurangi variasi proses, sehingga meningkatkan konsistensi pelayanan publik, mengurangi terjadinya kesalahan, meningkatkan efisiensi pelayanan, dan memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan. Pelaksanaan standar tidak bersifat wajib (World Trade Organisation WTO 2003). Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN. Agar SNI memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu: terbuka, transparan, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pembangunan (BSN 2011). Berdasarkan Annex I perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT), regulasi teknis merupakan suatu dokumen yang ditetapkan berdasarkan karakteristik produk atau proses yang terkait dan cara produksi, termasuk ketentuan administrasi aplikatif yang pemberlakuannya bersifat wajib. Regulasi teknis juga berisi tentang terminologi, simbol atau label yang dibutuhkan untuk produk, proses atau cara produksi (WTO 2003). Oleh karena suatu regulasi teknis mencakup persyaratan yang mengikat, maka penetapannya harus memenuhi sejumlah kaidah sebagai berikut (BSN 2003). a. tujuan dari regulasi tersebut dapat dimengerti oleh pihak-pihak yang terikat; b. regulasi teknis tersebut dapat diberlakukan kepada semua pihak yang terikat tanpa diskriminasi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan iklim usaha yang kompetitif dan persaingan yang sehat;
14
c. semua ketentuan yang dipersyaratkan dapat dipenuhi oleh pihak yang terikat olehnya dalam kurun waktu yang wajar; d. penetapan regulasi teknis memberi tenggang waktu yang cukup sebelum diberlakukan secara efektif, agar pihak yang terikat olehnya dapat mempersiapkan penerapannya; e. regulasi teknis yang telah berlaku secara efektif dapat ditegakkan, baik melalui penyediaan prasarana yang memadai untuk memfasilitasi pihakpihak yang mematuhi semua ketentuan yang diatur maupun melalui pengawasan pasar untuk mengkoreksi dan/atau menindak pihak-pihak yang tidak mematuhinya; f. regulasi teknis ditetapkan oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan koreksi dan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi regulasi tersebut. Risk analysis merupakan suatu pendekatan berbasis risiko dalam mengendalikan bahaya kesehatan masyarakat terkait dengan pangan (WHO 2005). Risk analysis terdiri dari tiga komponen, yakni risk assessment, risk management, dan risk communication. Risk assessment adalah karakterisasi potensial risiko bahaya menggunakan pendekatan ilmiah, termasuk perkiraan besarnya risiko dan efek dari hasil yang ada. Risk management merupakan proses mempertimbangkan alternatif kebijakan yang sesuai dan dapat diterapkan berdasarkan hasil risk assessment, sehingga dapat mengendalikan potensi bahaya. Risk communication merupakan proses interaksi berupa diskusi dan pertukaran informasi antara pihakpihak yang terkait dalam pelaksanaan pengawasan keamanan pangan untuk memastikan pelaksanaan kebijakan dan konsep keamanan pangan berjalan dengan baik dan benar. Aplikasi risk assessment terdiri dari empat komponen, yakni identifikasi bahaya (hazard identification), penilaian paparan (exposure assessment), karakterisasi bahaya (hazard characterization), dan karakterisasi risiko (risk characterization) (Sumner et al. 2004). a. Identifikasi bahaya, merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisik yang memiliki efek merugikan terhadap kesehatan bila terdapat dalam
15
makanan. Proses ini merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber bahaya, misalnya: bahaya histamin pada ikan scromboid. b. Penilaian paparan, merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari kemungkinan adanya agen biologi, kimia, dan fisik yang masuk melalui makanan. Pada tahap ini diperlukan data konsumsi makanan yang berpotensi bahaya dan tingkat kontaminasi dari mikroorganisme atau toksin pada saat konsumsi. c. Karakterisasi bahaya, merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari efek yang merugikan kesehatan dalam hubungannya dengan agen biologi, kimia, dan fisik yang mungkin terdapat dalam makanan. Dua faktor penting dalam tahap ini adalah gambaran efek bahaya dan dosis yang dapat diterima. d. Karakterisasi risiko, merupakan proses penentuan secara kualitatif dan atau kuantitatif yang mencakup ketidakpastian, kemungkinan kejadian, dan keparahan dari potensi yang merugikan kesehatan yang diketahui dalam suatu populasi yang ditentukan berdasarkan identifikasi bahaya, penilaian paparan, dan karakterisasi bahaya.
16
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2011, bertempat di PT Z, Jakarta Utara, Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan (BPMPHPK) DKI Jakarta, dan Laboratorium Mikrobiologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ikan tuna segar (Thunnus sp) pada bagian ekor dan perut, yang ditangani sesuai dengan penanganan bahan baku perusahaan terkait (Lampiran 1). Bahan untuk membawa ikan tuna dari PT Z ke laboratorium adalah sterofoam, selotip putih, dan plastik polypropylene steril. Bahan untuk pengujian kadar histamin meliputi metanol,
glass wool, HCl 1 N, NaOH 1 N, HCl 0,1 N, orto-ptalatdikarbosildehid (OPT) 0,1%, H3PO4 3,57 N, resin penukar ion, dan histamin dihidroklorida. Pengujian total volatile base (TVB) membutuhkan bahan berupa asam perklorat 6%, NaOH 20%, H3BO4 3%, HCl 0,02 N. Pengujian angka lempeng total (ALT) membutuhkan plate count agar dan larutan butterfield’s phosphate buffered. Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin membutuhkan larutan butterfield’s phosphate buffered dan larutan agar Niven yang terdiri dari: 0,1% trypton, 0,2% yeast exstract, 1,8% L-histidin, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,5% agar, dan 0,003% phenol red. Isolasi bakteri membutuhkan bahan berupa media Niven, Trypticase Soy Agar (TSA) dan Trypticase Soy Broth Histidine (TSBH). Karakterisasi bakteri, yakni pewarnaan Gram membutuhkan kristal violet, iodin, safranin, minyak imersi, alkohol 95%; Uji motilitas membutuhkan agar semi solid; Uji oksidase membutuhkan kertas oxidase test strip; Uji katalase membutuhkan 3% H2O2. Identifikasi bakteri membutuhkan API kit 20 E dan API kit 20 NE beserta reagen. Alat penyimpanan sampel pada suhu 4-5 ºC berupa lemari pendingin dengan temperature display bermerk Vwr Refrigerator Chrom 45.5CF VCR445D dengan rentang suhu 1 ºC - 8 ºC, dengan setting suhu 4 ºC - 5 ºC, sedangkan alat
17
penyimpanan sampel pada suhu -2-1 ºC
berupa lemari pendingin dengan
temperature display bermerk Vwr/ Shel lab 5216 dengan rentang suhu -60 ºC - 8 ºC, dengan setting suhu -2 ºC - 1 ºC. Alat yang dibutuhkan untuk pengujian kadar histamin adalah kolom resin dan instrumen spektroflorometer Cary Eclipse FLO811M007 detektor floresens dan waterbath. Alat yang dibutuhkan untuk pengujian TVB adalah alat destilasi uap dan timbangan analitik dengan ketelitian 10-4 gram. Alat pengujian ALT dan analisis jumlah bakteri pembentuk histamin yang dibutuhkan adalah timbangan analitik, homogenizer, cawan petri, inkubator, alat penghitung koloni (acolyte) serta pH meter. Isolasi bakteri membutuhkan pipet 0,1 ml, cawan petri, dan inkubator. Alat yang dibutuhkan untuk karakterisasi bakteri adalah kaca objek dan mikroskop cahaya merek Olympus untuk pengamatan morfologi koloni dan bentuk sel; pewarnaan Gram membutuhkan mikroskop cahaya; uji motilitas membutuhkan inkubator; uji oksidase membutuhkan ose dan stopwatch; uji katalase membutuhkan ose dan pipet tetes. Identifikasi bakteri membutuhkan alat berupa inkubator, nephelometer, dan apiwebTM identification software (Ref. 40 011).
3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu: (1) preparasi sampel; (2) penyimpanan sampel; (3) analisis kimia dan mikrobiologi, yakni analisis kadar histamin, analisis kadar Total Volatile Base (TVB), analisis Angka Lempeng Total (ALT), dan bakteri pembentuk histamin (BPH); serta (4) isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri. 3.3.1 Preparasi sampel Sampel merupakan daging ikan tuna (Thunnus sp) segar yang diperoleh dari PT Z. Daging tuna yang digunakan meliputi daging bagian ekor dan perut (Frank et al. 1981). Pengkodean sampel dilakukan dengan memberikan tanda sesuai dengan ketentuan yang ditunjukkan pada Gambar 3. Teknik preparasi yang dilakukan meliputi penerimaan, pencucian, penyimpanan sementara, pemotongan kepala dan sirip, serta pembentukan loin (Lampiran 1). Teknik tersebut mengacu pada SNI 01-4104.3-2006 tentang tuna loin beku (BSN 2006b). Daging tuna yang digunakan meliputi daging bagian ekor
18
dan perut dari produk tuna loin, dengan daging pada bagian perut yang tidak dilakukan proses pemotongan (Frank et al. 1981). Hal tersebut dilakukan karena PT Z melakukan proses pemisahan pada penjualan loin dan daging perut. Proses preparasi sampel dilakukan dengan memperhatikan sanitasi peralatan dan higienitas manusia (BSN 2006a), yang dilakukan oleh pihak PT Z.
Perut
Ekor
Gambar 3 Lokasi bagian daging yang digunakan dalam penelitian. Seluruh sampel selanjutnya dibawa dengan segera dari PT Z ke laboratorium menggunakan sterofoam dengan lama perjalanan 10 menit. Selama transportasi, sampel dalam sterofoam diberikan es curai mengacu kepada Widiastuti (2008). 3.3.2 Penyimpanan sampel Sampel yang diperoleh dari perusahaan, ditimbang dan dicacah hingga halus. Namun, sampel analisis mikrobiologi tidak dicacah. Proses tersebut dilakukan dengan memperhatikan higienitas dan sanitasi, yakni selalu menggunakan api bunsen, alkohol, masker, dan sarung tangan. Sampel kemudian dibungkus dengan plastik polypropylene steril. Sampel selanjutnya disimpan dalam ruang pendingin (BSN 2006a). Suhu ruang penyimpanan yang digunakan adalah -2-1 ºC untuk penyimpanan suhu -2-1 ºC , mengacu ketentuan EC (2004) dan Dalgaard (2008) serta 4-5 ºC untuk penyimpanan suhu 4-5 ºC , mengacu ketentuan FDA (2001). Lama penyimpanan sampel dilakukan selama 0, 2, dan 7 hari berdasarkan FDA (2009) dan ketentuan PT Z. 3.3.3 Analisis kimia dan mikrobiologi Tingkat kemunduran mutu sampel diketahui dengan melakukan analisis kimia
dan mikrobiologi, yang meliputi
analisis kadar histamin
(SNI
2354.10:2009), analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI 2354.8:2009),
19
analisis Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.3-2006) dan analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (BPH) (modifikasi Niven et al. 1981). Analisis tersebut dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali dan duplo. Model tabel analisis penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Model tabel data analisis Lama penyimpanan
Lokasi daging Perut 4-5
Ekor Suhu penyimpanan (°C) -2-1 4-5
-2-1
0 hari 2 hari 7 hari
3.3.4 Isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri Jenis bakteri yang berperan dalam memproduksi histamin diketahui dengan isolasi bakteri (Hwang et al. 2010), karakterisasi bakteri yang terdiri dari uji morfologi koloni, morfologi sel, yakni bentuk sel, pewarnaan Gram, uji motilitas, uji oksidase, uji katalase (Tiwari et al. 2009), dan identifikasi bakteri (bioMérieux 2006a; bioMérieux 2006b). 3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial. Penggunaan RAK faktorial disebabkan karena sampel yang digunakan pada setiap ulangan berasal dari ikan tuna dari hasil tangkapan yang berbeda. RAK faktorial sangat baik digunakan jika keheterogenan unit percobaan berasal dari satu sumber keragaman (Mattjik & Sumertajaya 2002), dalam hal ini adalah tuna pada masing-masing ulangan. Faktor yang digunakan meliputi lokasi daging, suhu penyimpanan dan lama penyimpanan. Lokasi daging terdiri dari ekor dan perut. Suhu penyimpanan adalah -2-1 ºC dan 4-5 ºC, serta lama penyimpanan adalah 0, 2, dan 7 hari. Pengujian dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga kali. Model untuk RAK faktorial adalah (Steel & Torrie 1983)
20
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + þk + εijk Keterangan: Y jk : hasil pengamatan untuk faktor A taraf ke- i, faktor B taraf ke- j pada kelompok ke- k μ : nilai tengah populasi αi : pengaruh faktor A pada taraf ke- i βj : pengaruh faktor B pada taraf ke- j (αβ)ij : pengaruh interaksi AB pada taraf ke-i (dari faktor A), dan taraf ke-j (dari faktor B ) þk : pengaruh taraf ke k dari faktor kelompok εijk : pengaruh acak (galat percobaan) pada taraf ke-i (faktor A), taraf ke-j (faktor B), interaksi AB yang ke- i dan ke- j
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis ragam dengan bantuan program SAS 9.1. Bila hasil perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang memberikan perbedaan yang nyata terhadap respon yang dianalisis. Model uji Duncan adalah sebagai berikut. Se = √(KTG/n) Keterangan: Se : uji Duncan KTG : KT galat : jumlah sampel n
3.5 Prosedur Pengujian Sampel Prosedur kerja analisis dalam pengujian sampel pada penelitian ini, terdiri dari analisis kadar histamin, kadar Total Volatile Base (TVB), Angka Lempeng Total (ALT), analisis jumlah bakteri pembentuk histamin, isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri. 3.5.1 Analisis kadar histamin (SNI 2354.10:2009) Analisis
kadar
histamin
dilakukan
dengan
menggunakan
spektroflorometri, yang didasarkan pada pengukuran fluorosensi. Prinsip metode tersebut adalah histamin diekstrak dari jaringan daging sampel (BSN 2009 a). Prosedur analisis kadar histamin, yakni sampel diblender hingga homogen, kemudian ditimbang sebanyak 10±0,1 gram dalam beaker glass 250 ml dan ditambahkan 50 ml metanol. Sampel dalam keadaan tertutup dipanaskan di dalam waterbath selama 15 menit pada suhu 60 ºC dan didinginkan dalam suhu kamar. Sampel tersebut dituang ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan hingga tanda tera dengan metanol. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan kertas
21
saring dan filtrat ditampung dalam botol contoh. Filtrat dapat disimpan dalam refrigerator. Glass wool yang telah diberi aquades dimasukkan ke dalam kolom resin setinggi 1,5 cm. Resin netral dalam medium air dimasukkan ke kolom resin setinggi 8 cm dengan volume air di atas resin setinggi 1 cm. Labu takar 50 ml yang berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin untuk menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin. Filtrat contoh sebanyak 1 ml dipipet ke dalam kolom resin, kran kolom resin dalam posisi terbuka dan hasil elusi dibiarkan menetes lalu ditampung dalam labu takar 50 ml. Aquades ditambahkan pada saat tinggi cairan 1 cm di atas resin dan cairan dibiarkan terelusi. Prosedur tersebut diulangi hingga hasil elusi dalam labu takar tepat 50 ml. Hasil elusi dapat disimpan dalam refrigerator. Tiga tabung reaksi 50 ml disiapkan untuk sampel, standar, dan blanko. Filtrat sampel, larutan standar kerja, dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet masingmasing sebanyak 5 ml. Ke dalam tabung reaksi tersebut berturut-turut ditambahkan 10 ml HCl 0,1 N dan diaduk; 3 ml NaOH 1 N dan diaduk, kemudian didiamkan selama 5 menit; 1 ml OPT 0,1% lalu diaduk dan didiamkan selama 4 menit; 3 ml H3PO4 3,57 N dan diaduk. Pengukuran flourescene dilakukan terhadap sampel, standar, dan blanko sesegera
mungkin dengan
alat
spektroflorometri pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 444 nm dalam waktu 90 menit. y = a + bx Keterangan: : fluoresensi contoh y a : intersep b : kemiringan x : konsentrasi contoh
Konsentrasi histamin (µg/g) = x . (volume akhir (ml). faktor pengenceran) gram sampel 3.5.2 Analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI 2354.8:2009) Total volatile base (TVB) merupakan jumlah basa nitrogen yang mudah menguap. Analisis ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis TVB adalah
22
sampel diekstraksi menggunakan larutan asam perklorat (HClO4) 6%. Ekstrak dibasakan dengan penambahan larutan NaOH 20% kemudian didestilasi uap, destilat ditampung dalam larutan H3BO3 3%. Konsentrasi TVB-N dalam destilat ditentukan dengan cara titrasi menggunakan larutan HCl 0,02 N (BSN 2009b). Analisis kadar TVB dilakukan dengan tahapan ekstraksi, destilasi, titrasi, dan perhitungan kadar TVB. Sampel ditimbang sebanyak 10 gram ± 0,1 gram dengan menggunakan beaker glass. Ke dalam sampel ditambahkan 90 ml asam perklorat (PCA) 6%, kemudian dihomogenkan dengan homogenizer selama 2 menit dan disaring dengan kertas saring kasar. Ekstrak dapat disimpan paling lama satu minggu pada suhu 2 ºC – 6 ºC. Ekstrak sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi dan ditambahkan dengan 3 tetes indikator fenolftalein. Tabung destilasi dipasang pada peralatan destilasi uap dan ditambahkan 10 ml NaOH 20% (pada tahap ini campuran berwarna merah). Penampung erlenmeyer berisi 100 ml H3BO4 3% dan 3-5 tetes indikator tashiro disiapkan (larutan berwarna ungu). Destilasi uap dilakukan selama 10 menit hingga mempeoleh destilat 100 ml, sehingga terdapat volume akhir sebanyak 200 ml larutan berwarna hijau. Destilasi larutan blanko sama dengan sampel, tetapi mengganti ekstrak contoh dengan 50 ml PCA 6%. Titrasi destilat contoh dan blanko dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya kembali warna ungu pada cairan yang sama dengan warna blanko yang telah didestilasi. Kadar TVB-N (mg/100g) =
Keterangan: Ar N
: 14.007
Faktor pengenceran : 2
3.5.3 Analisis Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.3-2006) Angka lempeng total merupakan jumlah mikroorganisme hidup yang membutuhkan oksigen yang terdapat dalam suatu produk yang diuji. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah total bakteri aerob pada sampel. Prinsip kerja analisis ALT adalah pertumbuhan mikroorganisme setelah contoh diinkubasi
23
dalam media agar pada suhu 35 ºC selama 48 jam, maka mikroorganisme tersebut akan tumbuh berkembang biak dengan membentuk koloni yang dapat langsung dihitung (BSN 2006c). Sampel ditimbang secara aseptik sebanyak 25 gram dan ditambahkan 225 ml larutan butterfield’s phospate buffered, kemudian dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dengan menggunakan pipet steril, diambil 1 ml homogenat dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan butterfield’s phospate buffered sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali, kemudian dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-3, 10-4, 10-5, dan seterusnya sesuai kondisi sampel. Selanjutnya untuk metode cawan tuang (pour plate method), dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Ke dalam masingmasing cawan yang sudah berisi sampel, ditambahkan 12-15 ml media Plate Count Agar (PCA) yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu 45 ºC. Setelah agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan larutan sampel tersebut dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35 ºC. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni bakteri yang ada di dalam cawan petri menggunakan alat penghitung koloni. Jumlah koloni yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 25-250 koloni. 3.5.4 Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (modifikasi Niven et al. 1981) Analisis bakteri pembentuk histamin dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri yang berperan dalam pembentukan histamin. Prinsip dari analisis bakteri pembentuk histamin adalah Enterobactericeae akan mengubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksilasi yang akan menaikkan pH dan mengubah warna pada media (Niven et al. 1981). Media modifikasi Niven agar dipersiapkan dengan cara mencampurkan 0,1% trypton, 0,2% yeast extract, 1,8% L-histidin, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,5% agar, dan 0,003% phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diencerkan menggunakan aquades hingga 1000 ml. Selanjutnya dipanaskan
24
hingga mendidih dan diatur pH 6 kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit. Sampel sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan butterfield’s phospate buffered steril, kemudian diblender hingga larutan homogen. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dari campuran tersebut kemudian diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan butterfield’s phospate buffered sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok hingga homogen. Pengenceran dilakukan hingga 10-4. Satu ml larutan sampel di setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu 12-15 ml media Niven bersuhu 45 ºC dituangkan ke dalam cawan berisi sampel. Setelah media Niven memadat, cawan petri dimasukkan dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35 ºC. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni dengan pink halo hingga purpe halo yang merupakan koloni bakteri pembentuk histamin. 3.5.5 Isolasi bakteri (modifikasi Niven et al. 1981; Kung et al. 2009; Hwang et al. 2010) Isolasi dan pemurnian bakteri bertujuan memperoleh isolat bakteri murni dari sampel, sehingga dapat dilakukan karakterisasi dan identifikasi bakteri yang diperoleh. Isolasi bakteri yang dilakukan menggunakan metode gores kuadran, yaitu menggoreskan larutan sampel beberapa kali menggunakan lup inokulasi di permukaan media kultur. Larutan sampel dari setiap pengenceran untuk analisis jumlah bakteri pembentuk histamin atau ALT dipipet sebanyak 0,1 ml dan dituang ke media Niven lalu diinkubasi selama 4 hari pada suhu 35 ºC. Koloni berwarna biru atau ungu digoreskan pada media trypticase soy agar (TSA) untuk memperoleh kultur murni. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah. Isolat bakteri dikatakan murni jika diperoleh bentuk sel dan morfologi koloni yang seragam. 3.5.6 Karakterisasi bakteri (Tiwari et al. 2009) Karakterisasi bakteri meliputi pengujian terhadap morfologi koloni dan sel bakteri serta sifat fisiologis isolat murni yang diperoleh. Sebelum karakterisasi bakteri dilakukan, penting dilakukan pengujian kemampuan bakteri menghasilkan
25
histamin. Pengujian tersebut bertujuan untuk meyakinkan bahwa isolat bakteri yang dimiliki merupakan BPH. Kultur murni ditumbuhkan dalam 10 ml trypticase soy broth (TSB) yang ditambahkan 1% L-histidin atau disebut sebagai media trypticase soy broth histidine (TSBH), kemudian diinkubasi pada suhu 35 ºC selama 24 jam. Biakan tersebut digunakan untuk pengujian kadar histamin yang dihasilkan bakteri sesuai BSN (2009a). 3.5.6.1 Morfologi koloni Pengamatan morfologi koloni bertujuan mengetahui bentuk koloni dari atas, bentuk tepi, bentuk elevasi, dan warna koloni secara visual (Lampiran 2). 3.5.6.2 Morfologi sel (Tiwari et al. 2009) Pengamatan morfologi sel meliputi pewarnaan gram dan uji motilitas. Pewarnaan
gram
merupakan
metode
yang
sangat
bermanfaat
untuk
mengidentifikasi bakteri berdasarkan perbedaan warna karena perbedaan komposisi kimia dan fisika dinding sel bakteri. Pewarnaan gram diawali dengan mengolesi inokulum yang berumur 24 jam pada kaca objek dan difiksasi di atas api hingga kering. Kaca objek ditetesi larutan kristal violet dan didiamkan selama 1 menit. Larutan kristal violet dibuang dengan memiringkan kaca objek dan dibilas dengan aquades lalu dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya kaca objek digenangi dengan larutan iodin selama 1 menit dan dibilas dengan alkohol 95% selama 15 detik, kemudian ditetesi dengan safranin selama 45 detik dan dibilas dengan aquades serta dikeringkan dengan tisu. Saat pengamatan dengan mikroskop, kaca objek ditetesi minyak imersi. Mikroskop di-setting memiliki perbesaran lensa objek 100 kali dan perbesaran lensa okuler 10 kali. Bila terbentuk warna merah muda, menandakan bakteri Gram negatif, sedangkan bila terbentuk warna ungu, menandakan bakteri Gram positif. Bentuk sel dari preparat bakteri juga dapat diamati melalui pewarnaan gram. Sel bakteri yang berbentuk seperti bola atau elips dinamakan kokus. Sel bakteri yang berbentuk silindris atau batang dinamakan basilus. Bakteri berbentuk spiral atau spirilum terurtama dijumpai sebagai individu sel yang tidak saling melekat (Pelczar dan Chan 1986) (Lampiran 3).
26
Uji motilitas dilakukan dengan cara menusukkan isolat bakteri ke dalam media semisolid agar dengan jarum ose tusuk steril, kemudian diinkubasi selama semalam pada suhu 37 ºC. Bila pertumbuhan bakteri menyebar, maka bakteri tersebut motil dan bila pertumbuhan bakteri tidak menyebar atau hanya berupa segaris mengikuti arah tusukan, maka bakteri non motil. 3.5.6.3 Uji sifat fisiologis (Tiwari et al. 2009) Uji sifat fisiologis meliputi uji oksidase dan uji katalase. Sebanyak satu ose koloni bakteri digoreskan pada kertas Oxidase Test Strip untuk pengujian oksidase. Perubahan warna yang terjadi pada tes strip diamati setelah 10-15 detik. Bila terjadi perubahan warna menjadi biru violet menandakan oksidase positif dan bakteri termasuk bakteri non enterik, sedangkan bila tidak terjadi perubahan warna menandakan oksidase negatif dan bakteri termasuk bakteri enterik. Uji katalase dilakukan dengan cara satu ose koloni bakteri dioleskan pada kaca objek kering dan diteteskan 2-3 tetes 3% H2O2. Bila terbentuk gelembung udara, maka bakteri dinyatakan katalase positif. Bakteri aerob memberikan reaksi positif, sebaliknya pada bakteri anaerob. 3.5.7 Identifikasi bakteri (bioMérieux 2006) Identifikasi bakteri dilakukan dengan menggunakan analytical profile index (API). API terdiri dari beberapa jenis dan bersifat spesifik terhadap karakteristik bakteri yang akan diidentifikasi. Skema pemilihan API untuk bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan tidak rewel (non fastidious) dapat dilihat pada Gambar 4. Identifikasi bakteri yang bersifat Gram negatif, tidak rewel, dan oksidase positif dilakukan menggunakan API kit 20 NE dengan tahapan sebagai berikut (bioMérieux 2006a). 1. Bakteri dengan koloni murni yang akan diuji disegarkan terlebih dahulu selama 18-24 jam. 2. Bakteri kemudian dilarutkan dalam garam fisiologis (0,85%) sebanyak 6
ml
dan dihomogenisasi, kemudian kekeruhan larutan diukur
menggunakan nephelometer. Kekeruhan larutan sebesar 0,5 Mc Farland.
27
3. Sebanyak 0,2 ml larutan bakteri murni dihomogenkan dengan media API AUX. 4. Larutan media tersebut dipipet ke dalam cupules (sumur) API 20 NE menggunakan jarum suntik. 5. Cupules yangbertanda
dipipet hingga penuh, yakni cupules GLU, ARA,
MNE, MAN, NAG, MAL,GNT, CAP, ADI, MLT, CIT, dan PAC. 6. Cupules NO3, TRP, GLU, ADH, URE, ESC, GEL, dan PNPG dipipet hanya sampai setengah bagian cupules. 7. Cupules GLU, ADH, dan URE ditambahkan dengan minyak mineral. 8. Hasil dibaca setelah inkubasi selama 24±2 jam pada suhu 29±2 ºC. 9. Setelah inkubasi 24 jam, reagen James ditambahkan sebanyak 1 tetes pada cupules TRP dan hasil dapat dibaca langsung. Reagen Nit 1 dan Nit 2 ditambahkan pada cupules NO3. 10. Hasil perubahan warna dituliskan pada kertas hasil, kemudian kode angka yang diperoleh berdasarkan pembacaan hasil dimasukkan ke dalam software API web. Spesies isolat akan ditampilkan sebagai hasil. Identifikasi bakteri yang bersifat Gram negatif, tidak rewel, dan oksidase negatif dilakukan menggunakan API kit 20 E dengan tahapan sebagai berikut (bioMérieux 2006b). 1. Bakteri dengan koloni murni yang akan diuji disegarkan terlebih dahulu selama 18-24 jam. 2. Bakteri kemudian dilarutkan dalam garam fisiologis (0,85%) sebanyak 6
ml
dan dihomogenisasi,
kemudian kekeruhan larutan diukur
menggunakan nephelometer. Kekeruhan larutan sebesar 0,5 Mc Farland. 3. Suspensi bakteri tersebut kemudian dipipet ke dalam cupules API 20 E menggunakan pipet sekali pakai. 4. Cupules yang bertanda
dipipet hingga penuh, yakni cupules Cit, VP,
dan Gel. 5. Cupules lainnya dipipet hanya sampai setengah bagian cupules. 6. Cupules ADH, LDC, ODC, H2S, dan URE ditambahkan dengan minyak mineral. 7. Hasil dibaca setelah inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 36±2 ºC.
28
8. Setelah inkubasi 24 jam, reagen James ditambahkan sebanyak 1 tetes pada cupules IND dan hasil dapat dibaca langsung. Reagen VP 1 dan VP 2 ditambahkan pada cupules VP, tunggu selama 10 menit untuk melihat perubahan warna. Reagen TDA ditambahkan pada cupules TDA. 9. Hasil perubahan warna dituliskan pada kertas hasil, kemudian kode angka yang diperoleh berdasarkan pembacaan hasil dimasukkan ke dalam software API web. Spesies isolat akan ditampilkan sebagai hasil.
Bakteri Gram negatif bentuk batang
Oksidase positif Oksidase positif Fermenter negatif
Oksidase positif Fermenter positif
Non fermenter: API 20 NE
Oksidase negatif Oksidase positif Fermenter negatif
Fermenter: API 10 S API 20 E Rapid 20 E
Gambar 4 Skema pemilihan API (bioMérieux 2006ab).
Oksidase negatif Fermenter positif
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kadar Histamin Tuna (Thunnus sp) Tuna merupakan ikan yang mengandung sejumlah asam amino histidin. Asam amino ini merupakan substrat bagi enzim histidine decarboxylase (hdc), baik yang dihasilkan oleh bakteri dalam daging maupun oleh ikan itu sendiri, untuk kemudian diubah menjadi histamin (Frank et al. 1981; Hungerford 2010). Hasil analisis histamin memperlihatkan bahwa kadar histamin daging tuna bagian ekor yang disimpan pada suhu 4-5 °C dan (-2)-1 °C serta daging tuna bagian perut yang disimpan pada (-2)-1 °C selama 7 hari tidak melebihi 50 ppm, namun daging tuna bagian perut yang disimpan pada suhu 4-5 °C selama 7 hari telah melebihi 50 ppm. FDA mengatur tentang kadar maksimum histamin untuk ikan yang dapat dikonsumsi, yakni tidak melebihi 50 ppm. Hal tersebut disebabkan ketika terdeteksi histamin sebesar 50 ppm pada satu bagian tubuh, kemungkinan akan terdeteksi 500 ppm histamin pada bagian tubuh lainnya (FDA 2001). Kadar histamin ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kadar histamin daging ikan tuna dalam satuan ppm pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut 4-5 0,9732±0,1970de 7,3427±0,5483c 71,3474±0,8901a
Ekor Suhu penyimpanan (°C) (-2)-1 4-5 (-2)-1 de de 0,5479±0,4233 0,7961±1413 0,4483±0,1298de de de 1,2843±0,3847 1,2909±0,4461 1,1748±0,4719de 0,3445±0,1683e 45,6645±0,6204b 1,4266±0,9584d
Keterangan: Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa interaksi antara ketiga perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar histamin pada daging ikan tuna. Lebih lanjut, hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada daging ikan tuna yang diambil di bagian ekor dengan suhu (-2)-1 °C selama penyimpanan 0 dan 2 hari tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan perlakuan suhu 4-5 °C selama penyimpanan yang sama. Demikian pula dengan daging ikan tuna yang diambil pada perut dengan suhu (-2)-1 °C
30
selama penyimpanan 0 hari dan 2 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan suhu 4-5 °C dengan penyimpanan yang sama. Akan tetapi, kombinasi perlakuan dengan menggunakan daging ekor dan perut pada suhu penyimpanan 4-5 °C dengan lama penyimpanan 7 hari memberikan perbedaan yang nyata dengan kombinasi perlakuan pada suhu penyimpanan (-2)-1 °C dengan lama penyimpanan 7 hari. Tingginya kadar histamin tuna pada bagian perut dibandingkan bagian ekor pada suhu 4-5 ºC selama penyimpanan 7 hari diduga dikarenakan isi perut merupakan sumber terbesar dari mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan Du et al. (2002) dan FDA (2004) yang menyatakan bahwa kandungan histamin pada bagian anterior ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan posterior. Lebih lengkap disampaikan oleh Lerke (1978), tercatat bahwa pada daging bagian dorsal dari ikan tuna jenis madidihang terdeteksi histamin 52±15 mg/kg, sedangkan daging bagian perut pada kondisi penyimpanan yang sama terdeteksi 4400±2700 mg/kg histamin. Adanya kandungan histamin hingga hari ke-7 diduga disebabkan oleh telah terjadinya autolisis yang menyebabkan degradasi protein, sehingga membebaskan histidin terikat. Selama histidin masih tersedia pada daging, enzim hdc bakteri akan terus bekerja membentuk histamin. Secara umum, Alasalvar et al. (2011) menyampaikan bahwa kandungan asam amino histidin pada ikan tuna adalah sebesar 82-90 mg/g protein. Lebih lanjut Silva et al. (1998) menyampaikan bahwa hingga penyimpanan hari ke-12, kadar histidin pada ikan tuna masih tersedia, yaitu sebesar 300 mg/100 g daging pada cakalang dan 400 mg/100 g daging pada ikan tuna sirip biru. Adanya perbedaan suhu penyimpanan dan lama penyimpanan terutama hari ke-7 terhadap peningkatan kadar histamin diduga disebabkan oleh aktivitas yang intensif dari bakteri-bakteri pembentuk histamin. Walaupun menurut Du et al. (2002) bahwa pada suhu 4 ºC dengan lama penyimpanan 9 hari tercatat telah terbentuk histamin sebanyak 68,8 ppm dengan log ALT mendekati 7,5 CFU/g dan log BPH mendekati 5,2 CFU/g, namun jika melihat data hasil analisis log ALT (Tabel 7) dan BPH (Tabel 8) menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya peningkatan yang signifikan akan jumlah bakteri selama berlangsungnya
31
penyimpanan hingga pada hari ke-7. Akan tetapi, jika melihat dari jenis bakteri yang ada cenderung terlihat adanya bakteri-bakteri pembentuk histamin yang kuat, seperti Raoultella ornithinolytica. Menurut Kung et al. (2009), Raoultella ornithinolytica dapat menghasilkan histamin hingga lebih dari 500 ppm, bahkan menurut Butler et al. (2010) dapat melebihi 1000 ppm pada kondisi yang optimal.
4. 2 Kadar TVB Tuna (Thunnus sp) Total Volatile Base (TVB) atau Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N) atau Total Volatile Nitrogen (TVN) merupakan jumlah dari amonia, dimetilamin (DMA), trimetilamin (TMA), dan komponen basa lainnya berbasis nitrogen yang bersifat volatil (Etienne et al. 2005b). DMA dan TMA dihasilkan dari degradasi trimetilamin oksida (TMAO), sedangkan amonia berasal dari adenosine monophospate (AMP) (Huss 1995). TVB dapat digunakan sebagai parameter kimia sebagai uji tambahan untuk meyakinkan hasil uji organoleptik dalam menentukan kebusukan ikan, namun TVB bukan merupakan indikator kebusukan yang tepat pada ikan tertentu, seperti tuna mata besar (Thunnus alalunga) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) karena merupakan ikan pelagis dengan kadar TMAO yang rendah (Etienne et al. 2005b). Analisis kadar TVB pada daging ikan tuna memperlihatkan bahwa hanya daging tuna bagian ekor dan perut yang disimpan pada suhu 4-5 °C selama penyimpanan 7 hari yang tidak termasuk dalam kelompok kondisi segar, yaitu melebihi 30 mg N/100 g (Farber 1965). Kadar TVB daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kadar TVB daging ikan tuna dalam satuan mg N/100 g pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut
Ekor Suhu penyimpanan (°C) 4-5 (-2)-1 4-5 (-2)-1 9,1436±0,8028 9,1536±0,0609 10,0587±0,4677 9,6887±0,3544 13,3622±0,9684 10,4960±0,3624 13,2587±0,9531 12,8803±0,8783 38,6908±0,8867 14,3313±0,7589 36,9076±0,8352 18,5937±0,3923
Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang
32
nyata terhadap kadar TVB. Tidak adanya pengaruh ini diduga disebabkan aktivitas mikrorganisme dalam menghasilkan perubahan komponen volatil cenderung belum terlihat nyata. Secara mekanisme, perubahan volatil oleh bakteri melibatkan kerja enzim yang meliputi enzim dehidrogenase yang menguraikan asam amino dan TMAOase yang mereduksi TMAO. Suhu merupakan penghambat aktivitas bakteri tersebut. Banyak bakteri yang tidak dapat tumbuh pada suhu di bawah 10 ºC, bahkan bakteri psikotropik hanya dapat tumbuh dengan lambat. Pada suhu mendekati 0 ºC, pertumbuhan bakteri berada pada fase lag karena suhu tersebut memperpanjang fase lag bakteri (Huss 1995). Oleh sebab itu, tidak banyak bakteri bekerja untuk menghasilkan TVB. Menurut Özoğul & Özoğul (2000), ikan rainbow trout yang disimpan pada suhu 4-6 ºC mengalami peningkatan TVB dengan cepat setelah penyimpanan hari ke 7-9. Hal tersebut disebabkan karena kadar TVB tidak meningkat pada tahap awal kemunduran mutu. TVB hanya akan meningkat karena aktivitas bakteri selama tahap kemunduran mutu lanjut (Huss 1995; Silva et al. 1998; Etienne et al. 2005b), sehingga TVB bukanlah indikator kesegaran yang tepat pada tahap awal kemunduran mutu ikan. Oleh karena kemungkinan sampel tuna belum mengalami kemunduran mutu lanjut hingga penyimpanan hari ke(-2), maka kadar TVB tidak mengalami peningkatan yang besar.
4.3 Nilai ALT Tuna (Thunnus sp) Mikroorganisme pada ikan, umumnya ditemukan di seluruh permukaan luar tubuh ikan (kulit dan insang) atau pada bagian dalam jeroan dari ikan yang masih hidup maupun ikan yang baru ditangkap. Jeroan merupakan bagian tubuh ikan yang berisiko besar mengandung sejumlah besar bakteri karena disebut sebagai gudang bakteri (Huss 1995). Angka Lempeng Total (ALT) merupakan jumlah mikroorganisme hidup yang terdapat pada produk uji. ALT yang dapat diterima atau layak untuk konsumsi adalah tidak melebihi sebesar 5x10 5 CFU/g atau setara dengan log ALT 5,70 CFU/g (BSN 2006c). Hasil analisis ALT menunjukkan kondisi tidak layak konsumsi (log ALT melebihi 5,70 CFU/g) adalah untuk lama penyimpanan 7 hari,
33
baik pada daging bagian ekor maupun perut pada suhu penyimpanan 4-5 ºC. Nilai log ALT daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap ALT. Hal tersebut kemungkinan disebabkan pada suhu rendah, pertumbuhan bakteri menjadi terhambat. Huss (1995) dan Guizani et al. (2006) menyatakan bahwa ikan yang berasal dari perairan hangat, mengandung mikroba yang didominasi oleh mikroba mesofilik. Oleh karena perlakuan suhu yang diberikan adalah suhu rendah, diduga mengakibatkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat atau bahkan tidak tumbuh. Tabel 7 Log ALT daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut 4-5 3,30±0,0122 4,70±0,0356 6,70±0,1197
Ekor Suhu penyimpanan (°C) (-2)-1 4-5 (-2)-1 4,11±0,1656 3,52±0,0354 3,58±0,0778 4,60±0,0361 4,28±0,1891 4,40±0,2052 5,60±0,0986 6,70±0,0272 4,53±0,0284
Menurut Silva et al. (1998), pada suhu 0 ºC nilai log bakteri yang tumbuh pada ikan tuna segar pada penyimpanan 2 hari dan 7 hari berturut-turut sebesar 3,2 CFU/g dan 4 CFU/g, sedangkan penyimpanan pada suhu 20 ºC hanya selama 2 hari telah mencapai log bakteri 5,8 CFU/g. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri terhambat pada suhu rendah. Selain itu, pada suhu 4 ºC, baik bakteri mesofilik maupun bakteri psikrofilik, cenderung mengalami pertumbuhan yang tidak jauh berbeda (Silva et al. 1998) dan suhu 0 ºC dapat memperpanjang fase lag bakteri psikrofilik (Huss 1995).
4.4 Jumlah Bakteri Pembentuk Histamin Tuna (Thunnus sp) Histamin, yang merupakan salah satu amin biogenik, terutama terbentuk karena adanya enzim histidin dekarboksilase dari jenis bakteri yang terdapat pada
34
pangan laut. Bakteri pembentuk histamin (BPH) biasanya terdapat dalam lingkungan perairan, menetap di insang dan usus ikan laut yang hidup serta tidak berbahaya bagi ikan itu sendiri (Ko 2006). Secara umum jumlah bakteri pembentuk histamin yang dapat diterima atau layak untuk konsumsi sama dengan ketentuan jumlah bakteri dengan ALT yaitu tidak melebihi 5x105 CFU/g (BSN 2006c). Nilai log BPH daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 8. Data Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak semua bakteri pada ALT merupakan BPH karena tidak semua bakteri tersebut mampu menghasilkan hdc. Tabel 8 Log BPH daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan Lama penyimpanan
0 hari 2 hari 7 hari
Lokasi daging Perut 4-5 1,11±0,0658 2,28±0,1219 4,40±0,0372
Ekor Suhu penyimpanan (°C) (-2)-1 4-5 (-2)-1 1,40±0,1462 1,32±0,0553 1,23±0,0853 2,20±0,0413 2,92±0,2843 1,85±0,1381 3,45±0,1434 4,26±0,0534 2,45±0,0493
Analisis ragam pada kepercayaan 95% diperoleh bahwa kombinasi perlakuan antara lokasi daging, suhu, dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah BPH. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena suhu rendah tidak dapat mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri pembentuk histamin (BPH) umumnya merupakan golongan bakteri Gram negatif jenis enterik mesofilik (Middlebrooks et al. 1988; Butler et al. 2010). Bakteri mesofilik memiliki rentang suhu hidup 20-45 ºC (Tiwari et al. 2009), sehingga suhu rendah yang diberikan kepada bakteri tersebut dapat menyebabkan hambatan terhadap proses metabolisme dan akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri.
4.5 Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi BPH Tuna (Thunnus sp) Isolasi merupakan pemisahan mikroba tertentu dari populasi campuran. Proses isolasi dilakukan terhadap tiga koloni terpilih yang berwarna ungu atau biru pada media Niven didasarkan pada Niven et al. (1981), Kung et al. (2009),
35
dan Hwang et al. (2010). Koloni berwarna ungu kemudian digoreskan dengan metode gores kuadran pada media TSA hingga menghasilkan koloni tunggal. Karakterisasi bakteri bertujuan untuk mengetahui karakteristik tiap isolat yang dihasilkan dan memudahkan dalam pemilihan jenis API kit yang akan digunakan. Sebelum dilakukan uji karakterisasi, dilakukan terlebih dahulu analisis histamin yang dihasilkan bakteri. Isolat murni yang diperoleh ditumbuhkan dalam media TSBH, kemudian kadar histamin yang dihasilkan bakteri tersebut dianalisis. Analisis histamin isolat bakteri bertujuan untuk meyakinkan bahwa koloni yang dihasilkan merupakan koloni BPH karena tidak semua bakteri yang tumbuh pada Niven adalah penghasil histamin (Kim et al. 2002), hanya sebesar 33% (Hwang et al. 2010) dan 29,16% (Joshi & Bhoir 2011). Hasil analisis histamin isolat murni menunjukkan bahwa ketiga isolat menghasilkan histamin sebesar (i) 1,2077 ppm pada isolat 1; (ii) 1,2802 ppm pada isolat 2; dan (iii) 1,8617 ppm pada isolat 3. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa ketiga isolat tersebut menghasilkan enzim hdc. Selanjutnya, uji karakteristik bakteri dilakukan terhadap ketiga isolat yang telah dinyatakan positif penghasil histamin. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil pewarnaan Gram yang terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa ketiga isolat merupakan bakteri Gram negatif dengan penampakan sel berwarna merah muda. Uji karakterisasi berikutnya pada ketiga isolat adalah pergerakan bakteri (motilitas), yang menunjukkan bahwa semua bakteri dari ketiga isolat bersifat non motil. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhannya yang tidak menyebar pada agar semisolid. Oleh karena itu, bakteri tersebut tidak memiliki flagela sebagai alat gerak (Pelczar dan Chan 2006). Oksidase merupakan enzim yang termasuk dalam sistem transpor elektron bakteri
aerob.
Uji
oksidase
penting dilakukan
untuk
mengidentifikasi
Pseudomonas, Vibrio, Flavobacterium, dan sebagainya. Ketiga jenis bakteri tersebut bersifat oksidase positif, sedangkan anggota dari Enterobacteriaceae bersifat oksidase negatif (Tiwari et al. 2009). Selain itu, uji oksidase penting dilakukan untuk mengetahui jenis API kit yang digunakan untuk identifikasi. Hasil pengujian oksidase menunjukkan bahwa isolat 1 dan 2 bersifat oksidase positif, sedangkan isolat 3 bersifat oksidase negatif. Oksidase positif menandakan
36
bahwa bakteri menghasilkan energi melalui respirasi, sedangkan oksidase negatif menandakan bahwa bakteri menghasilkan energi melalui proses fermentasi. Tabel 9 Morfologi koloni dan morfologi sel bakteri Sifat isolat
1
Warna pada Niven Warna pada TSA Bentuk koloni
2 Morfologi koloni Ungu Ungu Kuning Kuning Tidak beraturan Tidak beraturan
Tepian Elevasi
3 Ungu Kuning Bulat
Berombak Berombak Cembung Cembung Morfologi sel Batang Batang Negatif Negatif Negatif Negatif
Bentuk sel Gram Motilitas
Isolat 1
Penuh Cembung Batang Negatif Negatif
Isolat 2
Isolat 3 Gambar 5 Bentuk sel dan hasil pewarnaan Gram isolat 1, 2, dan 3 Uji
katalase
bertujuan
mengetahui
kemampuan
mikroba
untuk
menghasilkan katalase. Katalase berperan sebagai pendegradasi H2O2 yang dihasilkan oleh oksidase. Selama respirasi, banyak mikroba menghasilkan H2O2 dan turunan oksigen reaktif lainnya, seperti superoksida. Akumulasi bahan
37
metabolit tersebut dapat bersifat racun, sehingga harus diinaktif secara enzimatis. Katalase mengubah H2O2 menjadi oksigen dan air (Tiwari et al. 2009). Berdasarkan uji katalase terhadap ketiga isolat, diketahui bahwa ketiga isolat tersebut bersifat katalase positif, maka isolat tersebut bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Identifikasi bakteri merupakan perbandingan antara sifat bakteri yang belum teridentifikasi dengan sifat bakteri sesuai dengan kunci identifikasi bakteri. Identifikasi bakteri dapat dilakukan secara konservatif melalui pengujian berbagai macam gula yang kemudian hasil reaksi gula tersebut dicocokkan dengan panduan buku manual untuk mencari genus dari isolat bakteri. Buku manual yang dapat digunakan adalah Bergey’s Manual. Selain itu, terdapat cara yang lebih mudah dan cepat untuk mengidentifikasi bakteri, yakni menggunakan kit, seperti analytical profile index (API). Analytical profile index (API) merupakan suatu sistem yang dapat menentukan reaksi isolat murni terhadap berbagai jenis media diagnosa yang dipilih secara hati-hati. Keuntungan penggunaan sistem tersebut adalah hanya membutuhkan sedikit media, tidak menggunakan banyak tempat dalam inkubator, dan memberikan makna yang efektif serta dapat dipercaya terhadap hasil identifikasi (Black 2004). Berdasarkan hasil uji oksidase dan pewarnaan Gram memperlihatkan bahwa jenis API yang digunakan dan berhasil mengidentifikasi ketiga isolat adalah API 20 NE untuk isolat 1 dan 2 serta API 20 E untuk isolat 3. API 20 NE digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Gram negatif, berbentuk batang, dan nonfermenter (Lampe & Reijden 1984), sedangkan API 20 E digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Enterobacteriaceae (Popovic et al. 2007). Hasil identifikasi bakteri isolat dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Software API kit yang berperan dalam membaca hasil menyatakan bahwa isolat 1 dan 2 adalah bakteri jenis Pseudomonas putida dengan persentase identifikasi berturut-turut 99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good identification, sedangkan isolat 3 adalah bakteri Raoultella ornithinolytica dengan persentase identifikasi sebesar 99,9% atau dianggap sebagai excellent identification.
38
Hasil ini sejalan dengan hasil uji histamin terhadap isolat, bahwa ketiga bakteri tersebut merupakan BPH. Kanki et al. (2002), Wauters et al. (2004), Kung et al. (2009), menyatakan bahwa Raoultella ornithinolytica adalah salah satu dari jenis Enterobacteriaceae yang berperan sebagai BPH. Demikian juga dengan Sato et al. (1994) yang menyatakan bahwa Pseudomonas putida juga merupakan BPH dan bakteri pendekomposisi histamin. Tabel 10 Hasil pembacaan API kit 20 NE Pengujian
Bahan aktif
NO3
Potassium nitrate
TRP
L-triptophane
GLU ADH URE ESC
D-glucose L-arginine Urea Esculin ferric citrate Gelatin
GEL PNPG GLU ARA MNE MAN NAG MAL GNT CAP ADI MLT CIT PAC
4-nitrophenyl-βDgalactophyranoside D-glucose L-arabinose D-mannose D-mannitol N-acetylglucosamine D-maltose Potassium gluconate Capric acid Adipic acid Malic acid Trisodium citrate Phenylacetic acid
Hasil (-) Tidak berubah warna Tidak berubah warna Biru Kuning Kuning Tidak berubah warna Tidak berubah warna Tidak berubah warna Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih
Isolat 1 (-) (+) √
Isolat 2 (-) (+) √
Jingga
√
√
Kuning Jingga Merah muda Hitam
√ √ √
√ √
Hitam
√
√
Kuning
√
√
(+) Merah tua
Keruh Keruh Keruh Keruh Keruh
Jernih Jernih
Keruh Keruh
Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih
Keruh Keruh Keruh Keruh Keruh
√ √
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√
√ √
√
√
√
√
√ √ √ √
√ √ √
39
Tabel 11 Hasil pembacaan API kit 20 E Pengujian ONPG
Bahan aktif
Hasil (-) Tidak berubah warna Kuning Kuning Kuning Kuning Tidak berubah warna Kuning Kuning Kuning Jernih
ADH LDC ODC CIT H2 S
2-nitrophenyl-βDgalactophyranoside L-arginine L-lysine L-ornithine Trisodium citrate Sodium thiosulfate
URE TDA IND VP
Urea L-tryptophane L-tryptophane Sodium pyruvate
GEL
Gelatin
GLU
D-glucose
Tidak berubah warna Biru
MAN INO SOR RHA SAC MEL AMY ARA
D-mannitol Inositol D-sorbitol L-rhamnose D-saccharose D-melibiose Amygdaline L-arabinose
Biru Biru Biru Biru Biru Biru Biru Biru
(+) Kuning Merah Oranye Merah Biru tua Hitam Merah muda Hitam Merah Jernih kemerahmudaan Hitam
Isolat 3 (-) (+) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kuning
√
Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning
√ √ √ √ √ √ √ √
40
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Kadar histamin yang terdapat pada daging bagian perut dan ekor yang disimpan pada suhu 4-5 ºC atau pada suhu pada (-2)-1 ºC selama 0 dan 2 hari tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, namun perbedaan tersebut menjadi sangat nyata dengan lama penyimpanan 7 hari. Hal ini sejalan pula dengan makin meningkatnya nilai TVB dan ALT. Identifikasi bakteri pada penelitian ini dilakukan terhadap BPH yang terdiri dari tiga isolat. Hasil pengujian histamin dan identifikasi bakteri mengindikasikan bahwa Pseudomonas putida dari isolat 1 dan 2 dengan persentase identifikasi berturut-turut 99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good identification serta Raoultella ornithinolytica dari isolat 3 dengan persentase identifikasi sebesar 99,9% atau dianggap sebagai excellent identification adalah tergolong sebagai BPH.
5.2 Saran Berdasarkan pertimbangan kemungkinan risiko yang akan timbul melihat dari besaran suhu yang ada, maka suhu 4-5 oC merupakan kondisi yang cukup baik dalam mencegah peningkatan kandungan histamin pada ikan tuna selama proses penanganan. Selain itu, diperlukan pengujian histamin pada lama penyimpanan 5-6 hari pada suhu 4-5 oC untuk mengetahui dengan pasti batas waktu penyimpanan tuna. Penanganan yang tepat, terutama pendinginan cepat penting dilakukan pada tahap pasca penangkapan untuk mengantisipasi risiko terbentuknya histamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abe H, Brill RW, Hochachka PW. 1986. Metabolism of L-histidine, carnosine, and anserine in skipjack tuna. Physiol Zool (4): 439-450. Alasalvar C, Shahidi F, Miyashita K, Wanasundara U. 2011. Handbook of Seafood Quality, Safety, and Health Applications. UK: Blackwell Publishing Ltd. Allen DG. 2004. Regulatory control of histamine production in North Carolina harvested mahi-mahi (Coryphaena hippurus) and yellowfin tuna (Thunnus albacares): a HACCP-based industry survey [thesis]. North Carolina: Graduate Faculty, North Carolina State University. Barceloux GD. 2008. Medical Toxicology of Natural Substances. Virginia: John Wiley & Sons, Inc. bioMérieux. 2006a. Identification system for non-fastidious, non-enteric Gram negative rods. France: bioMérieux, Inc. bioMérieux. 2006b. Identification system for Enterobacteriaceae and other nonfastidious Gram negative rods. France: bioMérieux, Inc. Black JG. 2004. Microbiology: Principles and Exploration. Virginia: John Wiley & Sons, Inc. Blanc M, Desurmont A, Beverly S. 2005. Onboard Handling of Sashimi-Grade Tuna. A Practical Guide for Crew Members. New Zealand: Ultimo Group. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2003. Pedoman pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006a. Tuna Segar untuk Sashimi. SNI 012693.3-2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006b. Tuna Loin Beku - Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. SNI 01-4104.3-2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006c. Cara Uji Mikrobiologi – Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. SNI 012332.3-2006. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009a. Cara Uji Kimia - Bagian 10. Penentuan Kadar Histamin dengan Spektroflorometri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada Produk Perikanan. SNI 2354.10:2009. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009b. Cara Uji Kimia - bagian 8. Penentuan Kadar Total Volatile Base Nitrogen (TVB-N) dan Trimetil Amin
42
Nitrogen (TMA-N) pada Produk Perikanan. SNI 2354.8:2009. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Tentang SNI. http://www.bsn.go.id [18 Oktober 2011] Butler KB, Bolton GE, Jaykus LA, Green PDM, Green DP. 2010. Development of molecular-based methods for determination of high histamine producing bacteria in fish. International J of Food Microbiology 139: 161-167. Buzby JC. 2008. International Trade and Food Safety, Economic Story and Case Study. USA: USDA. Clucas IJ dan Ward AR. 1996. Post Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing, and Quality. United Kingdom: Chatam Maritime. Craven C, Hilderbrand K, Kolbe E, Sylvia G, Daeschel M, Gloria B, An H. 2000. Understanding and Controlling Histamine Formation in Troll-Caught Albacore Tuna: A Review and Update of Preliminary Findings from The 1994 Season. Oregon: Oregon State University. Dalgaard P, Emborg J, Køjlby A, Sørensen ND, Ballin NZ. 2008. Improving Seafood Product for The Customer. England: Woodhead Publishing Limited. Departement of Health, Education and Walfare. 1972. Food composition table for use in East Asia. http:www.fao.org [7 September 2011] Departemen perindustrian. 1992. Kumpulan Perundang-undangan Republik Indonesia. Jakarta: Departemen perindustrian. Destin Florida Fishing. 2005. Yellowfin tuna. http://www.floridafishinginfo.net [28 November 2010] Du WX, Lin CM, Phu AT, Cornell JA, Marshall MR, Wei CI. 2002. Development of biogenic amines in yellowfin Tuna (Thunnus albacares): effect of storage and correlation with decarboxylase-positive bacterial flora. J of Food Science 67: 292-301. [EC] European Commision. 2010. An EU policy framework to assist developing countries in addressing food security challenges. http://www.ec.europa.eu [27 Oktober 2011] Emborg J. 2006. A new psychrotolerant and histamine producing Morganella species. http://www.seafoodplus.org [7 Februari 2011] Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Ed ke-2. California: Academic press Inc.
43
Etienne M, Ifremer, Nantes. 2005a. Methods for chemical quality assessmentmethodology for histamine and biogenic amines analysis. France: EC. Etienne M, Ifremer, Nantes. 2005b. Volatile amines as criteria for chemical quality assessment. France: Seafood plus Traceability. [EU] European Union. 2004. Regulation (EC) No 853/2004 of the European Parliament and of the Council of 29 April 2004 laying down specific hygiene rules for food of animal origin. Official J of the European Union 226: 22-82. [EU] European Union. 2005. Commission regulation (EC) No 2073/2005 of 15 November 2005 on microbiological criteria for foodstuffs. Official J of the European Union 338: 1-29. [EU] European Union. 2008. The Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Annual Report 2007. Luxembourg: European Communities. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1992. International conference of nutrition. http://www.fao.org [28 November 2010] [FAO] Food and Agricultural Organization. 2004. The world tuna industry -an analysis of imports, prices, and of their combined impact on tuna catches and fishing capacity. FAO. Farber L. 1965. Freshness Tests. Di dalam: Borgrom G, editor. Fish as Food. Vol IV. New York: Academic Press, Inc. [FDA] Food and Drug Administration. 2001. FDA and EPA Safety Level in Regulation and Guidance, 3rd Edition. Washington DC: FDA. [FDA] Food and Drug Administration. 2004. ORA laboratory manual, volume 4, section 9, seafood chemistry. http://www.fda.gov [23 November 2010] [FDA] Food and Drug Administration. 2009. Chapter 27: Scombrotoxin (histamine) formation. http://www.fda.gov [16 Februari 2011] [FDA] Food and Drug Administration. 2010. Detention without physical examination of seafood and seafood products from specific manufacturers/shippers due to decomposition and/or histamines. http://www.fda.gov [28 November 2010] [FDA] Food and Drug Administration. 2011. Fish and Fisheries Products Hazards and Control Guidance, Fourth Edition. Washington DC: FDA. Fletcher GC, Summers G, Winchester RV dan Wong RJ. 1995. Histamine and histidine in New Zealand marine fish and shellfish species, particularly Kahawai (Arripis trutta). J of Aquatic Food Product Technology 4(2): 5374.
44
Frank HA, Yoshinaga DA, Wai-Kit NIP. 1981. Histamine formation and honeycombing during decomposition of skipjack tuna, Katsuwonus pelamis, at elevated temperatures. Marine Fisheries Review 43: 9-14. Frank HA dan Yoshinaga DA. 1987. Table for estimating histamine formation in skipjack tuna, Katsuwonus pelamis, at low nonfreezing temperature. Marine Fisheries Review 49: 67-70. Gilman E dan Lundin C. 2008. Principles and Methods to Minimize Bycatch of Sensitive Species Groups in Marine Capture Fisheries: Lessons from Commercial Tuna Fisheries. Handbook of Marine Fisheries Conservation and Management. Oxford University Press. Guizani N, Al-Busaidy MA, Al-Belushi IM, Mothershaw A, Rahman MS. 2005. The effect of storage temperature on histamine production and the freshness of yellowfin tuna (Thunnus albacares). J Food Res 38: 215-222. Hungerford JM. 2010. Scromboid poisoning: a review. J of Toxicon 56: 231-243. Huss HH. 1986. Fresh Fish Quality and Quality Change. Roma: FAO. Huss HH. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. FAO Fisheries Technical Paper 348, FAO. Hwang CC, Lee YC, Huang YR, Lin CM, Shiau CY, Hwang DF, Tsai YH. 2010. Biogenic amines content, histamine-forming bacteria and adulteration of bonito in tuna candy products. J Food Cont 21: 845-850. Infofish. 2002. Handling and Processing of Tuna for Sashimi and Fresh or Chilled Product. Infofish Technical Handbook 1. Kuala Lumpur: Infofish. Joshi PA dan Bhoir VS. 2011. Study of histamine forming bacteria in commercial fish samples of Kalyan city. Int J Cur Sci Res 1 (2): 39-42. Kanki M, Yoda T, Tsukamoto T, Shibata T. 2002. Klebsiella pneumoniae produces no histamine: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica strains are histamine producers. Applied and Enviromental of Microbiology 68 (7): 3462-3466. Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of storage condition on histamine formation in fresh and canned tuna. Victoria: Comissioned by Food Safety Unit. Kim BH, Lee HS, Jang YA, Lee JY, Cho YJ, Kim CI. 2009. Development of amino acid composition database for Korean foods. J of Food Composition and Analysis 22: 44-52. Kim SH, Field KG, Chang DS, Wei CI, An H. 2001. Identification of bacteria crucial to histamine accumulation in pacific mackerel during storage. J Food Prot 64 (10): 1556–1564.
45
Kim SH, Price RJ, Morrissey MT, Field KG, Wei CI, An H. 2002. Occurrence of histamine-forming bacteria in albacore and histamine accumulation in muscle at ambient temperature. J of Food Microbiology and Safety 67 (4): 1515-1521. Ko IS. 2006. Factor affecting histamine level in Indonesia canned albacore tuna (Thunnus alalunga) [tesis]. Norway: University of Tromsø. Kung HF, Wang TY, Huang YR, Lin CS, Wu SW, Lin CM, Tsai YH. 2009. Isolation and identification of histamine-forming bacteria in tuna sandwiches. J Food Cont 20: 1013-1017. Lampe AS dan Reijden TJK. 1984. Evaluation of commercial test system for identification of nonfermenters. Eur J Clin Microbiol 4: 301-305. Lehane L dan Olley J. 1999. Histamine (scromboid) fish poisoning, a review in a risk-assessment framework. Canberra: National Office of Animal and Plant Health. ___________. 2000. Histamine fish poisoning revisited. J of Food Microbiology 58: 1-37. Lerke PA, Werner SB, Taylor SL, Guthertz LS. 1978. Scombroid poisoning. The Western J of Medicine 129: 381–386. Mattjik AA dan Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. Bogor: IPB Press. Mendes R. 2009. Fishery Product: Quality. Safety, and Authenticity. London: Blackwell Publishing Ltd. Middlebrooks, B.L., Toom, P.M., Douglas, W.L., Harrison, R.E. and McDowell, S. (1988) Effects of storage time and temperature on the microflora and amine development in Spanish mackerel. J of Food Science 53: 1024-1029. Murray CK, Hobbs J, Gilbert RJ. 1981. Scrombotoxin and scrombotoxin-like poisoning from canned fish. J Hyg Camb 88: 215-220. Niven CF, Jeffrey MB, Corlett DA. 1981. Differential plating medium for quantitative detection of histamine-producing bacteria. Applied and Environmental Microbiology 41 (1):321-322. Önal A. 2006. A review: Current analytical methods for the determination of biogenic amines in foods. J Food Chem 103: 1475-1486. Özoğul F dan Özoğul Y. Comparison of methods used for determination of total basic nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J Zool 24: 113-120. Pelczar MJ dan Chan ECS. 2006. Dasar Dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI-Press.
46
Popovic NT, Rakovac RC, Perovic IS. 2007. Commercial phenotypic test (API 20E) in diagnosis of fish bacteria: a review. Veterinary Medicina 2: 49-53. Price RJ, Melvin EF, Bell JW. 1991. Postmortem changes in chilled round bled and dress albacore. J of Food Science 35: 318-321. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I & II. Jakarta: Bina Cipta. Sato T, Okuzumi M, Masuda T, Fujii T. 1995. Distribution and genus/spescies composition of histamine-decomposing bacteria during storage of common mackerel. Fisheries Science 61: 83-85. Shakila RJ, Vijayalakshmi K. Jayasekaran J. 2003. Changes in histamine and volatile amine six commercially important of fish of the Thoothukkudi coast of Tamil Nadu, India stored at ambient temperature. J Food Chem 82: 347-352. Shalaby AR. 1996. Significance of biogenic amines to food safety and human health. Food Research International 29 (7): 675-690. Silva CCG, Ponte DJB, Dapkecivius MLNE. 1998. Storage temperature effect on histamine formation in big eye tuna and skipjack. J of Food Science 63 (4): 644-647. Stansby ME dan Olcott HS. 1963. Composition of Fish. Di dalam: Stansby ME, Dassow JA, editor. Industrial Fishery Technology. London: Reinhold Publishing Co. Chapman and Hall Ltd. Steel RGD dan Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik: Edisi kedua. B Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in The Fish Industry. Rome: FAO. Taylor SL dan Speckhard MW. 1983. Isolation of histamine-producing bacteria from frozen tuna. Marine Fisheries Review 45: 35-39 Tiwari RP, Hoondal GS, Tewari R. 2009. Laboratory Techniques in Microbiology and Biotechnology. New Delhi: Abhishek Publication. Trilaksani W, Bintang M, Monintja DR, Hubeis M. 2009. Asesmen semikuantitatif risiko histamin ikan tuna dari tempat pendaratan (transit 14). J Ilmu dan Teknologi Pangan 7 (2): 1-20. ___________. 2010. Analisis regulasi sistem manajemen keamanan pangan tuna di Indonesia dan negara tujuan ekspor. J Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia XIII (1): 63-82.
47
Wauters G, Avesani V, Charlier J, Janssens M, Delmée M. 2004. Histidine decarboxylase in Enterobacteriaceae revisited. J Clin Microbiol 42 (12): 5923-5924. [WHO] World Health Organization. 2005. About risk analysis in food. http://www.who.int [10 Januari 2011] Widiastuti I. 2008. Analisis mutu ikan tuna selama lepas tangkap pada perbedaan preparasi dan waktu penyimpanan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut pertanian Bogor. [WTO] World Trade Organisation. 2003. 3.10 Techinal Barrier to Trade. New York and Geneva: United Nations.
49
Lampiran 1 Good Manufacturing Practice penanganan bahan baku PT Z 1. Proses penanganan sampel tuna di PT Z Penerimaan ikan tuna dilakukan di dalam ruang penerimaan bahan baku. Ikan satu per satu diturunkan dari mobil, diukur suhunya, dan dimasukkan dalam ruang melalui sebuah loket yang dilengkapi dengan plastik curtain. Daging ikan yang diterima adalah daging yang memiliki warna merah cerah. Suhu ikan yang diterima umumnya kurang dari 0 ºC. bila mencapai suhu 3 ºC, biasanya ikan akan ditolak oleh perusahaan. Ikan yang telah diterima di ruang penerimaan dicuci dengan menggunakan air dingin bersuhu ± 2 ºC. Air yang digunakan adalah potable water. Ikan yang telah dicuci, kemudian dimasukkan ke dalam bak penampungan ikan selama 30 menit. Bak penampungan tersebut berisi air dan es curai yang bersuhu ≤ 3 ºC. Proses ini bertujuan untuk menjaga suhu ikan agar ≤ 3 ºC saat menunggu proses selanjutnya. Ikan yang telah ditampung dalam bak penampung, kemudian ditimbang. Ikan yang teelah ditimbang dilanjutkan ke proses filleting dengan pemotongan kepala dan pembentukan loin. Pembuatan loin dilakukan dengan memotong tubuh ikan menjadi empat bagian dan membuang duri atau tulang yang masih menempel pada daging. Proses selanjutnya adalah pembuangan kulit dari loin, dilanjutkan dengan pembuangan daging gelap dan perapihan. Pada tahap ini dilakukan pengambilan sampel berupa daging perut (belly) dan ekor.
2. Profil PT Z PT Z berlokasi di komplek Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, Jakarta. Lokasi perusahaan berdekatan dengan pelabuhan dan tempat pelelangan ikan, sehingga memudahkan proses produksi serta mendapatkan bahan baku. PT Z memiliki visi menjadi perusahaan pengolahan ikan tuna yang paling berkualitas dengan selalu memuaskan kepentingan pelanggan, karyawan, dan lingkungan sekitar, dengan misi mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan melalui proses pengolahan ikan tuna yang berprinsip pada zero waste atau cleaner
50
production, yaitu memanfaatkan ikan secara optimal sehingga tidak ada bagian yang terbuang. PT Z memfokuskan produksi produk ekspor beku, seperti loin, stick, cubes, chunk, saku dan produk sampingan, yaitu scrab dalam jumah besar. Negara tujuan ekspor perusahaan ini adalah USA, UE, Jepang, Cina, Taiwan, dan Asia Tenggara. Data ekspor produk tuna PT Z dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Data ekspor produk tuna PT Z Tahun
Volume (kg) Lainnya
UE
USA
Total (kg)
2003
63.475
244.621
227.509
535.605
2004
257.431
495.799
245.107
998.337
2005
131.409
394.625
201.698
727.732
2006
85.053
242.625
172.253
499.931
2007
67.100
-
238.851
305.951
2008
126.062
-
310.684
436.746
2009
61.050
-
365.363
426.413
2010
15.490
-
288.873
304.363
807.070
1.377.670
2.050.338
4.235.078
Pemilihan PT Z sebagai sumber penyedia sampel disebabkan oleh selama 10 tahun beroperasi, hampir tidak terjadi keluhan pelanggan mengenai produk tuna yang dihasilkan. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pelanggan terhadap PT Z. Pelanggan merasa puas terhadap kualitas produk tuna, terlebih lagi kualitas pelayanan perusahaan menjadi prioritas utama dalam menghargai setiap pembeli yang datang. Selain itu, PT Z merupakan satu-satunya perusahaan tuna Indonesia yang tidak terkena aturan CD 235 tahun 2006 yang dikeluarkan oleh UE, sehingga produk tuna PT Z dapat dipercaya memiliki kualitas yang baik.
51
Lampiran 2 Morfologi koloni bakteri (Tiwari et al. 2009)
52
Lampiran 3 Morfologi sel bakteri (Tiwari et al. 2009)
53
Lampiran 4 Data uji statistik hasil analisis histamin The GLM Procedure Variabel terikat (dependent variable): respon1 Sumber (source) Derajat Jumlah bebas kuadrat (DF) (sum of squares) Model 13 17317,84897 Kesalahan (error) 22 5,86184 Total koreksi 35 17323,71082 (corrected total)
Koef determinasi (RSquare) 0,999662
Sumber (source) fak1 fak2 fak1*fak2 fak3 fak1*fak3 fak2*fak3 fak1*fak2*fak3
DF
1 1 1 2 2 2 2
Nilai tengah kuadrat (mean square) 1332,14223 0,26645
Koef. keragaman (Coeff Var) 4,669907
Jumlah kuadrat (Type I SS) 240,852103 3732,510574 268,712654 6281,641318 241,578858 6256,864743 295,052007
Nilai F (F Value)
Pr > F
4999,64 <,0001
Root Respon1 Mean MSE 0,516185 11,05344
Nilai tengah kuadrat (mean square) 240,852103 3732,510574 268,712654 3140,820659 120,789429 3128,432371 147,526003
Nilai F (F value) 903,94 14008,4 1008,50 11787,8 453,33 11741,3 553,68
Pr > F
<,0001 <,0001 <,0001 <,0001 <,0001 <,0001 <,0001
Keterangan: Fak1 : Lokasi daging Fak2 : Suhu penyimpanan Fak3 : Lama penyimpanan * : Interaksi Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.
54
Means with the same letter are not significantly different, Duncan Grouping Mean N fak1 A 71,3474 3 PT1H3
E E E E E E E E E E E E E E Keterangan: P : perut E : ekor T1 : suhu 4-5 ºC T2 : suhu -2-1 ºC H1 : penyimpanan 0 hari H2 : penyimpanan 2 hari H3 : penyimpanan 7 hari
B
45,6645
3 ET1H3
C
7,3427
3 PT1H2
D D D D D D D D D D D D D D D
1,4266
3 ET2H3
1,2909
3 ET1H2
1,2843
3 PT2H2
1,1748
3 ET2H2
0,9732
3 PT1H1
0,7962
3 ET1H1
0,5479
3 PT2H1
0,4483 0,3445
3 ET2H1 3 PT2H3
55
Lampiran 5 Data uji statistik hasil analisis TVB The GLM Procedure Dependent Variable: respon1 Sumber (source) Derajat bebas (DF) 13 22 35
Model Kesalahan (error) Total koreksi (corrected total)
Koef determinasi (RSquare) 0,949462
Sumber (source) fak1 fak2 fak1*fak2 fak3 fak1*fak3 fak2*fak3 fak1*fak2*fak3
Jumlah kuadrat (sum of squares) 6,59820641 0,35121038 6,94941679
0,50755434 0,01596411
Koef. keragaman (Coeff Var) 4,206785
DF Jumlah kuadrat (Type I SS) 1 1 1 2 2 2 2
Nilai tengah kuadrat (mean square)
0,00682426 0,88082027 0,08790073 4,24360235 0,01866004 1,22396300 0,09570304
Nilai F (F Value)
Pr > F
31,79 <,0001
Root Respon1 Mean MSE 0,126349 3,003461
Nilai tengah kuadrat (mean square) 0,00682426 0,88082027 0,08790073 2,12180117 0,00933002 0,61198150 0,04785152
Nilai F (F value) 0,43 55,18 5,51 132,91 0,58 38,33 3,00
Pr > F
0,5200 <,0001 0,0284 <,0001 0,5658 <,0001 0,0706
Keterangan: Fak1 : Lokasi daging Fak2 : Suhu penyimpanan Fak3 : Lama penyimpanan * : Interaksi Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.
56
Lampiran 6 Data uji statistik hasil analisis ALT The GLM Procedure Dependent Variable: respon1 Sumber (source) Derajat bebas (DF) Model Kesalahan (error) Total koreksi (corrected total)
13 22 35
Koef determinasi (RSquare) 0,993883 Sumber (source) fak1 fak2 fak1*fak2 fak3 fak1*fak3 fak2*fak3 fak1*fak2*fak3
Jumlah kuadrat (sum of squares) 220,6291423 1,3580016 221,9871439
16,9714725 0,0617273
Koef, keragaman (Coeff Var) 2,281439
DF Jumlah kuadrat (Type I SS) 1 1 1 2 2 2 2
Nilai tengah kuadrat (mean square)
1,0270972 16,2380602 8,5355740 156,6173834 3,5393598 34,1868212 0,3505811
Nilai F (F Value)
Pr > F
274,94 <,0001
Root Respon1 Mean MSE 0,248450 10,89005
Nilai tengah kuadrat (mean square) 1,0270972 16,2380602 8,5355740 78,3086917 1,7696799 17,0934106 0,1752905
Nilai F (F value) 16,64 263,06 138,28 1268,62 28,67 276,92 2,84
Pr > F
0,0005 <,0001 <,0001 <,0001 <,0001 <,0001 0,0800
Keterangan: Fak1 : Lokasi daging Fak2 : Suhu penyimpanan Fak3 : Lama penyimpanan * : Interaksi Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.
57
Lampiran7 Data uji statistik hasil analisis BPH The GLM Procedure Dependent Variable: respon1 Sumber (source) Derajat bebas (DF) 13 22 35
Model kesalahan (error) Total koreksi (corrected total) Koef determinasi (RSquare) 0,992420
Sumber (source) fak1 fak2 fak1*fak2 fak3 fak1*fak3 fak2*fak3 fak1*fak2*fak3
Jumlah kuadrat (sum of squares) 11,33352 3,057375 14,39089
10,01406025 15,437369 2,4550373 12,2226192 12,759365 25,026902 3,7852559
Nilai F (F Value)
0,871809 0,138972
Koef keragaman (Coeff Var) 2,14260
DF Jumlah kuadrat (Type I SS) 1 1 1 2 2 2 2
Nilai tengah kuadrat (mean square)
Root MSE 100039,7
Nilai tengah kuadrat (mean square) 10,01406025 5,437369 2,4550373 6,113096 6,879682 5,1345099 1,8926279
Pr > F
6,32 <,0001
respon1 Mean 432275,0
Nilai F (F value) 10,01 243,31 24,53 610,83 6,87 113,04 8,91
Pr > F
0,0045 <,0001 <,0001 <,0001 0,0048 <,0001 0,0100
Keterangan: Fak1 : Lokasi daging Fak2 : Suhu penyimpanan Fak3 : Lama penyimpanan * : Interaksi Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.
58
Lampiran 8 Contoh perhitungan kadar histamin a. Pembacaan awal standar dan sampel
59
60
b. Persamaan regresi standar histamin 0 0,0025 0,005 0,01 0,02 0,04
IU 0,460 a 1,240 b 2,727 r 4,980 8,679 16,733
0,5496 406,72995 0,99828
y = a + bx 1,003 = 0,5496 + 406,72995x x = 0,0011
c. Perhitungan kadar histamin yang dihasilkan sampel 1 Konsentrasi histamin (µg/g) = x . (volume akhir (ml). faktor pengenceran) gram sampel
= 0,0011. 50. 100 10,0000 = 0,5574 µg/g = 0,5574 ppm
61
Lampiran 9 Contoh perhitungan kadar TVB Kadar TVB daging perut; 4,4 ºC; Hari ke-0 ulangan 1 =
=
vol ,titrasi sampel −vol ,titrasi blanko
x N HCl x Ar N x faktor pengenceran x 100
bobot sampel 1,9 ml −0,02 ml x 0,0193x 14,007x2 x 100 10,0075 g
=10,1570 mg N/100 g
62
Lampiran 10 Contoh hasil pembacaan API kit
63
Lampiran 11 Dokumentasi penelitian
Gambar 1 Media analisis BPH
Gambar 2 Media analisis ALT
Gambar 3 Alat penghitung koloni
Gambar 4 Homogenizer
Gambar 5 Alatdestilasi analisis TVB
Gambar 6 Larutan blanko dan larutan contoh analisis TVB
64
Gambar 7 Proses persiapan sampel analisi histamin
Gambar 8 Proses pemurnian sampel analisis histamin
Gambar 9 Proses derivatisasi analisis histamin
Gambar 10 Isolasi bakteri dengan metode gores kuadran
Gambar 11 API kit
Gambar 12 Indikator pembacaan hasil API kit 20 NE
65
Lampiran 12 Pertimbangan penentuan suhu berdasarkan risk assessment Tabel pertimbangan penentuan suhu berdasarkan risk assessment Lama penyimpanan
Lokasi daging Perut 4-5 Pro/Sev
0 hari 2 hari 7 hari
L/NL L/L H/ML
Ekor Suhu penyimpanan (°C) -2-1 4-5 Pro/Sev Pro/Sev L/NL L/NL L/NL
Keterangan: Pro : probability (Low, Medium, High) Sev : severity (Not Likely, May Likey, Automatic)
L/NL L/L H/NL
-2-1 Pro/Sev L/NL L/NL H/ML