EVALUASI MUTU DAN NILAI GIZI NUGGET DAGING MERAH IKAN TUNA (Thunnus sp)
EPI ROSPIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus spp) adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Prof. DR. Ir. Deddy Muchtadi, Prof. DR. Ir. Made Astawan dan
Ir. Santoso, Mphil dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
pergurua n tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Nopember 2006 Epi Rospiati NRP F251030021
ABSTRACT EPI ROSPIATI. Quality and Nutritional Evaluation on Fish Nugget of Dark Flesh Tuna, Thunnus sp. Supervised by DEDDY MUCHTADI, MADE ASTAWAN and SANTOSO. Dark flesh tuna is a kind of rejected flesh in processing and canning of tuna flesh because it is easy to be rancid and changed in color. The objectives of this research were : 1) to determine an effective concentration of Titanium dioxide (TiO 2 ) in bleaching the color of dark flesh tuna, 2) to evaluate and compare the quality of fish nugget from both dark flesh which was bleached by TiO 2 and white flesh, and 3) to evaluate biological quality of fish nugget protein wich were stored in frozen temperature during 0, 1 and 2 months. Raw materials used, were as follows : dark and white flesh were collected from PT ISAAP BONECOM in Jakarta, TiO 2 proanalysis as bleaching agent, and 21 to 23 days old Spraque Dawley (SD) male rat for in vivo analysis. Nuggets were made by using BBPPHP (Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan) methods (2003). Parameters observed were degree of whiteness of the nugget, organoleptic test (different test), proximate analysis (protein, fat, water and ash), nugget quality (TVN ,TPC and TBA), and nutritiona l values of protein (digestibility, biological value and NPU). The results of organoleptic on score of color of the nugget in concentration of TiO 2 1 % were not significantly differ with control (white flesh tuna). The score of texture of dark flesh nugget in all treatments with several concentration of TiO 2 and without TiO 2 were significantly differ from the control (flesh white tuna). The average values of the aroma of dark flesh nugget using several treatments of TiO 2 were not significantly differ from the control except for the treatments without TiO 2 . The score of taste of dark flesh nuggets using several treatment of TiO 2 were not significantly differ from the control. Protein content of nugget made of dark flesh tuna in storage duration 0, 1, and 2 months were: 42.0, 37.9 and 34.5 % respectively; fat content: 40.0, 30.4 dan 22.9 % respectively; water content: 70.5, 68.9 and 67.5 % respectively; ash content: 4.5, 4.2 and 4.0 % ; and Total Volatile Nitrogen (TVN): 7.1, 7.4 and 7.7 mgN/100g. The TVN content were still below maximum standard TVN value for fish-based food. Total Plate Count (TPC) : 5.3 x 103 , 7.0 x 103 and 7.2 x 103 CFU/g which were still below the BSN standard and TBA content: 0.4, 0.4 and 0.6 malonaldehyde/kg. On the basis of nutritional protein evaluation of the nugget (in vivo) in different frozen storages (0, 1 and 2 months), digestibility values found were: 98.5, 98.1 and 96.8 %, respectively. Biological value: 92.1, 93.1 and 96.8, respectively. NPU were: 90.7, 91.3 and 95.1, respectively. These indicated that the protein quality the nugget made from dark flesh was good. Key words : fish nugget, titanium dioxide, dark flesh tuna, biological value
ABSTRAK EPI ROSPIATI. Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus sp). Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI, MADE ASTAWAN and SANTOSO. Daging merah tuna merupakan limbah pada pengolahan dan pengalengan tuna beku karena daging ini cepat mengalami ketengikan dan perubahan warna yang tidak diinginkan. Tujuan peneltian ini adalah 1) menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO 2 ) yang efektif sebagai pemucat warna merah daging tuna, 2) mengevaluasi mutu nugget ikan daging merah tuna yang dipucatkan dengan TiO 2 dibandingkan dengan mutu nugget daging putih tuna, dan 3) mengevaluasi nilai gizi protein nugget ikan tuna yang disimpan pada suhu beku selama 0, 1 dan 2 bulan. Bahan yang digunakan adalah daging merah dan putih ikan tuna yang diperoleh dari PT ISAAP BONECOM, bahan pemucat TiO 2 proanalisis serta tik us jenis Spraque Dawley (SD) jantan usia sapih 21 – 23 hari untuk analisis nilai gizi protein secara in vivo. Nugget dibuat berdasarkan Metode BBPPHP (Ba lai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan) (2003). Parameter yang diamati : derajat put ih nugget, uji organoleptik different test, proksimat (protein, lemak, air dan abu), kualitas nugget (TVN, TPC, TBA) dan nilai gizi protein (daya cerna, nilai biologis dan NPU). Hasil pengujian organoleptik (different test) terhadap skor warna nugget menunjukkan penambahan TiO 2 1 % tidak berbeda nyata dengan kontrol (daging putih tuna). Skor tekstur nugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO 2 dan tanpa TiO 2 berbeda nyata dengan kontrol. Skor aroma nugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO 2 tidak berbeda nyata dengan kontrol kecuali pada tanpa penambahan TiO 2 . Skor rasa nugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO 2 dan tanpa TiO 2 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Kadar protein nugget daging merah tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 42,0 ; 37,9 dan 34,1 %, kadar lemak : 40,0 ; 30,4 dan 22,9 %, kadar air : 70,5 ; 68,9 dan 67,5 %, kadar abu : 4,5 ; 4,2 dan 4.0 %, kadar TVN : 7,1 ; 7,4 dan 7,7 mgN/100 g masih di bawah standar maksimum nilai TVN untuk makanan yang berasal dari ikan. Jumlah TPC : 5,3 x 103 ; 7,0 x103 dan 7,2 x103 CFU/g masih di bawah standar BSN dan kadar TBA: 0,4, 0,4 dan 0,6 malonaldehid/kg. Evaluasi mutu protein secara in vivo pada perlakuan nugget daging merah dengan penyimpanan beku 0, 1 dan 2 bulan diperoleh nilai daya cerna : 98,5, 98,1 dan 96,8 %. Nilai biologis : 92,1 ; 93,1 dan 96,8 dan NPU : 90,7, 91,3 dan 95,1. Hal tersebut menunjukkan bahwa protein produk nugget daging merah tuna mempunyai mutu yang baik. Kata-kata kunci : Nugget ikan, Titanium dioksida, daging merah tuna, nilai biologis
EVALUASI MUTU DAN NILAI GIZI NUGGET DAGING MERAH IKAN TUNA (Thunnus sp)
EPI ROSPIATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Penelitian
: Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus sp)
Nama
: Epi Rospiati
NRP
: F251030021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Anggota
Ir. Santoso, M.Phil Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Tanggal lulus :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 sampai April 2006 ini ialah ikan tuna, dengan judul Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus sp). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Ir, Santoso, M.Phil selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam mengarahkan penulis selama penyusunan karya ilmiah ini. Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan terima kasih pula kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung : 1. Kepada orang tua saya, ibunda N.K. Roslyani serta kedua mertua atas doa dan kasih sayangnya selama ini. 2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DIKNAS atas BPPS yang diberikan selama kuliah di IPB. 3. Rektor IPB yang telah berkenan menerima saya sebagai mahasiswa Pascasarajana IPB. 4. Dekan Pascasarjana beserta staf atas bantuan pelayanan akademik dan kerjasamanya yang diberikan selama ini.
Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS beserta staf atas perhatian dan kerjasamanya. 5. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkejene Kepulauan Bapak Ir. Zainal Abidin Musa, DR. Ir. Jayadi, MS serta ketua Jurusan TPHP bapak Ir. Tasir Pammula, atas izin dan bantuan yang diberikan selama ini. 6. Pemerintah Daerah (PEM DA) Propinsi Sulawesi Selatan atas bantuan penelitian yang diberikan. 7. Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan beserta staf pengolahan dan staf lab kimia atas bantuan fasilitas ya ng disediakan selama penelitian 8. Direktur PT. ISAAP BONECOM Jakarta beserta staf atas kesediaannya membantu menyediakan daging merah tuna selama penelitian.
9. Kepada Staf laboratorium Pak Sobirin, Pak Wahid, Mas Taufiq, Ibu Rubiah, Mbak Arie dan Pak Adi atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. 10. Kepada Mahasiswa IPN
S2 dan S3 angkatan 2003 (Anuraga, Reni,
Herpandi, Cut, Rina, Nora, Ahmad, mbak Widowati, dan mbak Susi) mahasiswa TPP angkatan 2004 (Ismael, Yanie, mbak Rina, Astri, Adnan) serta teman-teman lainnya atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini 11. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada : suami (Muhammad Jamal) kedua anak saya (Muh. Fauzan Syahbani dan Fathonah Annisa), Adik-adikku (Lia Rosiana sek, Hera Indryana sek , Ari Rifayandi sek, Elin Arlyni sek, dan Ade Tirtana) dan seluruh keluarga, atas segala doa, bantuan dan kasih sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amin.
Bogor, Nopember 2006
Epi Rospiati
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Agustus 1966 dari ayah Supian Busra (Mayor Purn AD) dan ibu Ninin Karmini Roslyani. Penulis putri pertama dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar, lulus tahun 1990. Pada tahun 2003, penulis diterima di program studi Ilmu Pangan pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai dosen di Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (TPHP) sejak tahun 1998. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Ir. Muhammad Jamal, M.Si dan telah dikaruniai 2 orang anak Muhammad Fauzan Syahbani dan Fathonah Annisa.
ii
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ......................................................................................................... i DAFTAR ISI .....................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
1
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN ......................................................................... 2 C. PERUMUSAN MASALAH ...................................................................
3
D. HIPOTESIS ............................................................................................
3
E. KEGUNAAN ........................................................................................... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
5
A. TUNA .....................................................................................................
5
B. DAGING MERAH IKAN TUNA ..........................................................
8
C. TITANIUM DIOKSIDA ........................................................................
9
D. KANDUNGAN PIGMEN ...................................................................... 11 E. KOMPOSISI DAGING IKAN ............................................................... 13 F. NUGGET IKAN (FISH NUGGET) ........................................................ 16 G. HISTAMIN DAN MUTU IKAN TUNA ............................................... 19 H. PEMBEKUAN ........................................................................................ 20
3 METODE PENELITIAN ..............................................................................
24
A. WAKTU DAN TEMPAT ....................................................................... 24 B. BAHAN DAN ALAT .............................................................................
24
C. PROSEDUR PENELITIAN ...................................................................
25
D. ANALISIS SAMPEL .............................................................................
32
E. ANALISIS DATA ..................................................................................
41
iii 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 42 A. PENELITIAN PENDAHULUAN ........................................................... 42 1. Derajat putih ........................................................................................ 42 2. Uji Organoleptik Nugget Daging Merah dan Daging Putih Tuna ...... 43 3. Konsentasi Titanium Dioksida terhadap kadar protein nugget ........... 46 B. PENELITIAN LANJUTAN 1 .................................................................
47
1. Protein nugget ..................................................................................... 48 2. Lemak nugget ...................................................................................... 49 3. Kadar air .............................................................................................. 52 4. Kadar abu ............................................................................................ 53 5. pH Nugget Daging Merah .................................................................... 54 6. Kadar TVN (Total Volatil Nitrogen) ................................................ 55 7. Nilai TPC ( Total Plate Count) ………………………………….. 56 8. Nilai Bilangan Peroksida ……………………………………….... 57 9. Kadar TBA (Thiobarbaituric Acid) ................................................. 59 10. Kadar Histamin ............................................................................... 61 C. PENELITIAN LANJUTAN 2 ................................................................ 63 1. Formulasi Ransum ............................................................................. 63 2. Perkembangan Berat Badan, Jumlah Konsumsi Ransum dan Efisiensi Ransum Tikus Selama Percobaan ............................... 64 3. Evaluasi Mutu Protein Secara in vivo ................................................ 69 5 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 73 A. KESIMPULAN .................................................................................... 73 B. SARAN .................................................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
75
LAMPIRAN .....................................................................................................
81
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi Nilai Gizi Beberapa Nilai Gizi Ikan Tuna (Thunnus sp) per 100 g Daging ......................................................................................... 7 2. Produksi Ikan Tuna Tahun 1989 - 1998 .....................................................
7
3. Formulasi Bumbu Nugget Ikan per 100 g Daging Ikan ............................. 18 4. Komposisi Bahan Pengikat Nugget per 100 g Daging Ikan ......................
18
5. Komposisi Ransum yang Dianjurkan untuk Penetapan PER ....................
40
6. Skor rata-rata hasil uji organoleptik produk nugget daging merah dibandingkan nugget daging putih ..........................................................
44
7. Nilai TPC nugget daging merah Tuna .......................................................
57
8. Rekapitulasi analisis proksimat Kasein, Tepung nugget daging putih, Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0 bulan , Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 1 bulan dan Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 2 bulan ................
63
9. Komposisi bahan untuk pembuatan ransum 100 g .................................
64
10. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan berat badan tikus, jumlah konsumsi ransum dan efisiensi ransum .......................................
65
11. Daya cerna, Nilai Biologis dan Net Protein Utilization tepung nugget daging putih dan daging merah dibandingkan dengan kasein .....
69
v
DAFTAR GAMBAR .
Halaman
1. Bentuk Tubuh Beberapa Spesies Ikan Tuna .............................................
6
2.
Letak daging merah pada jenis ikan tuna ...............................................
8
3.
Pembagian daging merah tuna berdasarkan lapisan lemak ....................
8
4. a. Kristal rutile, b. Kristal anatase dan c. Kristal brookite ......................
10
5.
Sistem Kristal Titanium Dioksida (TiO 2 ) ................................................
10
6.
Struktur molekul myoglobin ..................................................................
11
7.
Struktur molekul heme ...........................................................................
12
8.
Struktur Tunaxanhtin dan ß – karoten ..................................................
13
9
Tikus Sparaque Dawley (SD) jantan yang digunakan ...........................
24
10. Cara pembuatan nugget tuna .................................................................
27
11. Kandang metabolik dan wadah penampung urin dan feses tikus .........
30
12. Prosedur Penelitian .................................................................................
31
13. Nilai derajat putih nugget daging merah tuna ........................................
42
14. Kadar protein nugget pada berbagai konsentrasi TiO 2 ............................
47
15 Kadar protein nugget daging merah tuna ................................................
48
16. Kadar lemak nugget daging merah tuna ..................................................
50
17. Kadar air nugget daging merah tuna ........................................................
52
18. Kadar abu nugget daging merah tuna ......................................................
53
19. Nilai pH nugget daging merah tuna .........................................................
55
20 . Kadar TVN nugget daging merah tuna .....................................................
56
21. Kadar bilangan peroksida nugget daging merah tuna .............................
58
22 . Kadar TBA nugget daging merah tuna .................................................... 60 23. Kadar Histamin nugget daging merah tuna ................................................ 61 24 . Tepung nugget daging putih tuna (DP), tepung daging merah tuna penyimpanan nol bulan (B0), tepung daging merah tuna penyimpanan satu bulan (B1) dan tepung daging merah tuna penyimpanan dua bulan (B2) ..................................................................
64
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Contoh format uji pembedaan : Difference from control test ...…………. 81 2. Hasil analisis sidik ragam derajat putih ….............................................
82
3. Uji Lanjut Tukey derajat putih ..............................................................
82
4. Uji pembanding warna nugget daging merah tuna ................................
83
5. Uji pembanding aroma nugget daging merah tuna ................................
84
6. Uji pembanding rasa nugget daging merah tuna....................................
85
7. Uji pembanding tekstur nugget daging merah tuna ...............................
86
8. Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget terhadap TiO 2 .............
87
9. Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget ......................................
87
10. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar protein nugget ..............................
87
11. Hasil analisis sidik ragam kadar lemak nugget ......................................
88
12. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar lemak nugget .................................
88
13. Hasil analisis sidik ragam kadar air nugget .............................................
88
14. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar air nugget .......................................
88
15. Hasil analisis sidik ragam kadar abu nugget ............................................
89
16. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar abu nugget ....................................
89
17. Hasil analisis sidik ragam pH nugget .....................................................
89
18. Hasil analisis sidik ragam TVN nugge t...................................................
90
19. Hasil uji beda Tukey rata-rata TVN nugget ............................................
90
20. Hasil analisis sidik ragam TPC nugget ....................................................
90
21 Hasil analisis sidik ragam Bilangan Peroksida nugget .............................
91
22. Hasil uji beda Tukey rata-rata Bilangan Peroksida nugget ......................
91
23. Hasil analisis sidik ragam TBA nugget .................................................... 91 24. Hasil uji beda Tukey rata-rata TBA nugget ............................................. 91 25. Hasil analisis sidik ragam Nilai Histamin nugget ......................................
92
26. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Histamin nugget ..............................
92
27. Hasil analisis sidik ragam pertambahan berat badan tikus ........................
92
28. Hasil uji beda Tukey rata-rata pertambahan berat badan tikus .................. 92 29. Hasil analisis sidik ragam efisiensi ransum tikus ....................................... 93 30. Hasil uji beda Tukey rata-rata efisiensi ransum tikus ................................ 93 31. Hasil analisis sidik ragam konsumsi ransum tikus .................................... 93 32. Hasil uji beda Tukey rata-rata konsumsi ransum tikus .............................. 93 33. Hasil analisis sidik ragam Daya Cerna (DC) sejati protein ....................... 94 34. Hasil uji beda Tukey rata-rata Daya Cerna (DC) sejati protein .................. 94 35. Hasil analisis sidik ragam Nilai Biologis (NB) tikus .................................. 94 36. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Biologis (NB) tikus ............................ 94 37. Hasil analisis sidik ragam Nilai Protein Utilization (NPU) tikus ............... 95 38. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Protein Utilization (NPU) tikus ......... 95 39. Hasil perhitungan daya cerna, nilai biologis dan Net Protein Utilization pada tikus .................................................................................................. 96
1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2 ) dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari (maximum sustainable yield) ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari total potensi lestari ikan laut dunia. Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat berlangsung secara lestari (Dahuri, 2004). Dalam dua puluh lima tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia (Dahuri, 2004). Ikan (seafood) rata-rata mengandung 20 % protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke dan darah tinggi. Lebih dari itu omega 3 juga dapat mencegah penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, colitis, dermatitis serta psoriasis, beberapa jenis penyakit ginjal dan memb antu penyembuhan penyakit depresi, skizofrenia serta gejala hiperaktif pada anak-anak (Dahuri, 2004 dan Astawan, 2004). Pemanfaatan limbah perikanan berupa kepala ikan, sirip, tulang, kulit dan daging merah telah digunakan dalam beberapa hal, yaitu berupa daging lumat (minced fish) untuk bahan pembuatan produk-produk gel ikan seperti bakso, sosis, nugget dan lain- lain. Selain itu dapat dibuat tepung, konsentrat, hidrolisat dan isolat protein ikan.
Sebagai pakan ternak, ikan dapat diolah menjadi tepung,
bubur dan larutan- larutan komponen ikan (Moeljanto, 1979). Dibandingkan dengan nilai gizi daging hewan darat, misalnya daging sapi, kedudukan ikan boleh dikatakan jauh lebih tinggi.
Sedangkan dibandingkan
dengan telur kedudukan ikan sebagai bahan pangan juga tidak jauh berbeda. Protein ikan mempunyai nilai biologis tinggi. Meskipun tiap jenis ikan angka biologisnya berbeda tetapi umumnya sekitar 90. Derajat penerimaan seseorang terhadap ikan sangat tinggi. Hal ini karena ikan memberikan rasa yang khas yaitu
2
gurih, warna dagingnya kebanyakan putih, jaringan pengikatnya halus sehingga jika dimakan terasa enak (Hadiwiyoto, 1993). Daging merah yang selama ini merupakan limbah bagi industri pengalengan tuna karena lemaknya yang tinggi dan proteinnya yang kurang, dapat dimanfaatkan dengan
pengolahan yaitu
mengkonversi menjadi produk yang lebih diminati. Produk olahan hasil perikanan begitu marak di pasaran untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kehidupan modern yang serba sibuk dan banyak menyita waktu.
Contoh produk olahan hasil
perikanan yang siap saji adalah otak-otak ikan, bakso ikan, fish nugget, fish finger, fish burger dan sebagainya. Produk olahan tersebut
memiliki nilai gizi yang
sangat dibutuhkan oleh konsumen. Nugget ikan merupakan salah satu makanan baru, dibuat dari daging giling dengan penambahan bumbu-bumbu dan dicetak, kemudian dilumuri dengan pelapis (coating dan breading) yang dilanj utkan dengan penggorengan. Pada dasarnya nugget ikan mirip dengan nugget ayam, perbedaannya terletak pada bahan baku yang digunakan (Aswar, 1995). Nugget hasil olahan diharapkan memiliki citarasa yang enak, aman dan memenuhi kebutuhan zat gizi (Labuza, 1982), sehingga penting mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan. Pemucatan dengan bahan pemucat titanium dioksida (TiO 2 ) biasa digunakan sebagai bahan tambahan untuk pemucat. Pemucatan dengan TiO 2 ini tidak menurunkan nilai gizi protein. Diharapkan proses pemucatan terhadap daging merah ikan tuna dengan menggunakan TiO 2 dapat meningkatkan nilai organoleptik dan pemenuhan nilai gizi protein pada produk siap saji berupa nugget ikan.
Sehingga daging merah tidak lagi merupakan limbah bagi
pengalengan ikan tuna, tapi merupakan suatu bahan baku untuk diversifikasi produk protein hewani yang siap saji. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO 2 ) yang efektif dalam memucatkan warna merah daging tuna
3
2. Mengevaluasi mutu nugget ikan tuna yang terbuat dari daging merah yang dipucatkan dengan TiO 2 dibandingkan dengan nugget dari daging putih tuna 3. Mengevaluasi nilai gizi protein nugget ikan yang disimpan pada suhu beku selama 0, 1 dan 2 bulan
C. PERUMUSAN MASALAH Daging merah pada ikan tuna tidak disukai karena menimbulkan rasa pahit dan memiliki kadar lemak lebih tinggi (5,60 % bb atau 18,43 % bk) tetapi kadar protein lebih rendah dibandingkan daging putih (Hendriawan, 2002).
Kadar
lemak yang tinggi menyebabkan daging merah mudah teroksidasi, cepat mengalami proses penururan mutu dan berbau tengik sehingga biasanya dibuang dalam proses pengalengan ikan. Daging merah tuna merupakan limbah dalam proses pengalengan tuna dan industri pembekuan tuna untuk ekspor yaitu tuna loin, biasanya limbah ini dimanfaatkan untuk pakan ternak. Pusparani (2003) mengatakan bahwa limbah potensial ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dilihat dari nilai gizinya, daging ini masih dapat dikonsumsi serta dapat dimanfaatkan untuk produk olahan yang memerlukan penanganan dan pengolahan agar rasa pahit dapat dikurangi serta menghambat proses ketengikan. Adapun proses penanganan daging merah ini yaitu dengan proses bleaching (pemucatan) dan pengolahannya dengan pembuatan nugget ikan dengan penyimpanan beku. Diharapkan hasil pemucatan tersebut dapat meningkatkan nilai organoleptik, menghilangkan rasa pahit dan me ncegah ketengikan serta tidak mengurangi nilai gizi protein.
D. HIPOTESIS a. Perlakuan penambahan titanium dioksida (TiO 2 ) berpengaruh terhadap derajat putih daging merah tuna yang dipucatkan b. Penambahan TiO 2 berpengaruh terhadap komposisi kimia (protein, lemak, air dan abu) dan mutu nugget daging merah tuna yang dipucatkan
4
c. Penyimpanan beku berpengaruh terhadap nilai gizi protein nugget daging merah tuna yang dipucatkan E. KEGUNAAN Kegunaan hasil penelitian ini yaitu : •
Memanfaatkan daging merah dari limbah pengalengan tuna menjadi nugget.
2 TINJAUAN PUSTAKA
A. TUNA Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983) Menurut Saanin (1984), klasisifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Thunnus Class : Teleostei Sub Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidae Genus : Thunnus Species : Thunnus alalunga (Albacore) Thunnus albacores (Yellowfin Tuna) Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna) Thunnus obesus (Big eye Tuna) Thunnus tongkol (Longtail Tuna) Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan- ikan yang berangka tulang.
Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India,
Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981). Adapun bentuk tubuh beberapa species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tongkol (Euthynnus affinis) Mata besar (Thunnus obesus) Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) Madidihang (Thunnus albacores) Albacor (Thunnus alalunga) Cakalang (Katsuwonus pelamis)
7
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging.
Di samping itu ikan tuna
mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) Departemen of Health Education and Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 1 dan produksi ikan tuna di Indonesia disajikan dalam Tabel 2. Tabel 1 Komposis i nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging Komposisi Energi Protein Lemak Abu Kalsium Fosfor Besi Sodium Retinol Thiamin Riboflavin Niasin
Bluefin 121,0 22,6 2,7 1,2 8,0 190,0 2,7 90,0 10,0 0,1 0,06 10,0
Jenis Ikan Tuna Skipjack Yellowfin 131,0 105,0 26,2 24,1 2,1 0,1 1,3 1,2 8,0 9,0 220,0 220,0 4,0 1,1 52,0 78,0 10,0 5,0 0,03 0,1 0,15 0,1 18,0 12,0
Satuan Kal g g g mg mg mg mg mg mg mg mg
Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000) Tabel 2 Produksi ikan tuna tahun 1992- 2001 Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi (ton) 90.451 76.650 89.330 101.688 115.549 116.214 168.122 136.474 163.241 153.110
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003)
8
B. DAGING MERAH IKAN TUNA Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45 – 50 % dari tubuh ikan (Suzuki, 1981). Untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50 – 60 % (Stanby, 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi dari pada daging merahnya. Namun sebaliknya kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dari daging merahnya. Pembagian daging merah ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Letak daging merah pada jenis ikan tuna (http://www.jakartafishport.com/ikan-tuna.jpg) Daging merah tuna dapat dibedakan berdasarkan lapisan lemaknya yaitu otoro, chutoro dan akami (Gambar 3). Otoro terdapat pada bagian perut bawah, berwarna lebih terang karena lebih banyak mengandung lemak dan lebih mahal dibandingkan chutoro.
Gambar 3 Pembagian daging merah tuna berdasarkan lapisan lemak
9
Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan yang berpigmen kemerahan sepanjang tubuh ikan di bawah kulit tubuh.
Jumlah daging merah bervariasi
mulai kurang dari 1 – 2 % pada ikan yang tidak berlemak hingga 20 % pada ikan yang berlemak. Diameter sel atau jaringan otot pada daging merah lebih kecil (Okada, 1990). Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung mioglobin.
Daging merah pada ikan pelagis memungkinkan jenis ikan ini
berenang pada kecepatan yang tetap untuk memperoleh makanan dan untuk bermigrasi (Learson dan Kaylor, 1990). Okada (1990) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80 % hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna (Okada, 1990). C. TITANIUM DIOKSIDA (TiO2 ) Sebelum dikenal sebagai semikonduktor tipe- n yang memiliki celah energi relatif lebar dengan sifat super hidrofilik ketika terkena cahaya, TiO 2 dikenal sebagai senyawa dioksida berwarna putih yang tahan karat dan tidak beracun. Karena sifatnya ini TiO 2 telah lama digunakan sebagai bahan pemberi warna (pigmen) putih pada makanan
maupun produk kosmetik.
Dalam bentuk
mikroskopis, TiO 2 diketahui memiliki dua bentuk utama yaitu kristal dan amorf (Gunlazuardi, 2001 yang diacu Sudana, 2003). Konfigurasi elektron atom titanium (22 Ti) ialah 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2 3d2 sementara atom oksigen (8 O) yaitu 1s2 2s2 2p4. Secara sederhana orbital molekul TiO 2 terbentuk antara ikatan kulit 3d Ti dengan kulit 2p O. Tingkat energi kulit 3d menjadi daerah konduktif molekul sedangkan kulit 2p menjadi area valensi molekul.
10
TiO 2 amorf seperti layaknya senyawa amorf lain tidak memiliki keteraturan susunan atom sehingga bahan tersebut tidak memiliki keteraturan pita konduksi dan valensi, akan tetapi TiO 2 amorf juga dikenal memiliki kemampuan untuk mendegradasi polutan dalam waktu yang tidak singkat. Sedangkan dalam bentuk kristal, TiO 2 diketahui memiliki tiga fase kristal yang berbeda yaitu rutile, anatase dan brookite (Gambar 4).
a
b
c
Gambar 4 a. Kristal rutile, b. Kristal anatase dan c. Kristal brookite http://ruby.colorado.edu/~smyth/min/tio2.html Rutile merupakan bentuk kristal yang paling stabil dib andingkan dua fase lainnya, oleh karena itu kristal jenis ini lebih mudah ditemukan dalam bentuk yang paling murni (biji). Anatase dikenal sebagai fase kristal yang paling reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar dari pada celah energinya. Kristal ini juga dapat terbentuk akibat pemanasan TiO 2 amorf pada suhu 400o C hingga 600o C sedangkan pemanasan hingga 700o C akan menyebabkan kristal anatase bertranformasi menjadi rutile. Sedangkan brookite merupakan jenis kristal yang paling sulit diamati karena sifatnya yang tidak mudah dimurnikan (Diebold, 2003 yang diacu Marlupi, 2003). Molekul TiO 2 dalam fase anatase atau rutile tersusun dari konfigurasi satu ion Ti+4 dan enam ion O-2 yang membentuk konfigurasi bangun oktahedron dengan sistem kristal tetragonal (Gambar 5).
Gambar 5 Sistem kristal Titanium dioksida (TiO 2 ) www.webelement.com/webelements/compounds.html
11
TiO 2 paling banyak digunakan sebagai material fotokatalisis karena paling stabil, tahan terhadap korosi, aman memiliki sifat ampifilik dan harganya relatif murah. Sifat ampifilik ditunjukkan dengan perubahan sifat permukaan TiO 2 yang super hidrofobik sebelum disinari UV menjadi super hidrofilik setelah disinari UV. Karakteristik ini dimanfaatkan dalam sistem desinfeksi, antifogging, dan self cleaning (Gunlazuardi, 2001 yang diacu Marlupi, 2003).
Titanium dioksida
(Pigmen White 6 C I no : 77891) biasa digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan (Depkes RI, 1999 dan MacDougall, 2002) dan penggunaannya tidak boleh melebihi 1%. D. KANDUNGAN PIGMEN v Myoglobin Perbedaan utama antara daging putih dan daging merah adalah kandungan pigmennya, dimana myoglobin menjadi pigmen utama yang terdapat pada daging merah (Winarno, 1984). Menurut Winarno (1984), myoglobin mirip dengan hemoglobin berbentuk lebih kecil, yaitu kira-kira satu per empat bagian dari besar hemoglobin. Satu molekul myoglobin terdiri dari satu rantai polipeptida yang terdiri satu rantai polipeptida yang terdiri dari 150 buah asam amino.
Gambar 6 menunjukkan
struktur molekul dari myoglobin.
Keterangan : M = methyl (-CH3) V = vinyl (-CH-CH2) P = Propinic acid (CH2CH2COOH)
Gambar 6 Struktur molekul myoglobin
12
Menurut Gray dan Pearson (1984), gugus heme yang terdapat dalam molekul hemoglobin sama dengan gugus heme pada myoglobin, yaitu terdiri dari porpirin yang mengandung sebuah atom besi (Fe). Struktur molekul heme dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Struktur molekul heme Berdasarkan sifat fisiknya, myoglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma daging, bersifat larut dalam air dan larutan garam encer (Clydesdale dan Francis, 1976) Kramlich et al (1973) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah hemoglobin dan myoglobin pada daging antara lain 1) tingkat aktivitas jaringan, (2) suplai darah, (3) tingkat kebutuhan oksigen, serta (4) umur dan species. v Karotenoid Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange dan merah serta larut dalam minyak (Winarno, 1984). Karotenoid merupakan grup pigmen yang terdapat pada kulit, alat-alat dalam tubuh ikan dan bagianbagian lainnya dari ikan (Simpson, 1962). Selanjutnya dinyatakan bahwa, ikan tuna termasuk jenis ikan yang banyak mengandung karotenoid.
Kandungan
pigmen ini dapat disebabkan karena beberapa jenis ikan dapat mengkonsumsi ikan-ikan lain atau kerang-kerangan yang lebih kecil yang mengandung karotenoid. Pigmen yang telah diisolasi dari grup ikan tuna adalah “ tunaxanthin “ dan pigmen tersebut merupakan karakterisrtik utama ikan- ikan laut pada umumnya (Simpson, 1962).
13
Tunaxanhtin dan ß – karoten mempunyai struktur yang mirip, terdiri dari delapan unit isoprene dan dua cincin ionon. Perbedaan terlihat pada adanya dua gugus hidroksil dan pada cincin ionon dari tunaxanthin seperti terlihat pada Gambar 7. Menurut Clydesdale dan Francis (1976), ß – karoten adalah karotenoid yang paling umum dan merupakan sumber utama bagi sintesa vitamin A pada hewan.
Gambar 8 Struktur Tunaxanhtin dan ß – karoten (Simpson, 1962) Selanjutnya Simpson (1962) menjelaskan bahwa pengurangan intensitas warna ikan yang berdaging merah lebih mudah terjadi pada suhu pembekuan (refrigerasi) dan bebas dari cahaya. Selain itu juga homogenaisasi pada proses pengolahan ikan dapat pula mendegradasi tunaxanhtin dan ß – karoten, terutama yang terletak pada jaringan di bawah kulit dan jaringan dekat hati, sehingga bagian tersebut berubah menjadi bagian yang tidak berwarna. Kerusakan lanjut dari karotenoid dapat disebabkan oleh faktor- faktor cahaya, adanya enzim lipoksigenase dan perlakuan pengeringan (Simpson, 1962). Kerusakan
tersebut dapat berupa perubahan warna secara bertahap dan
terisomerisasi.
E. KOMPOSISI DAGING IKAN v Protein Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan dengan protein hewan lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan (Pigott dan Tucker, 1990 ). Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, miofibrillar dan
14
protein pengikat (stroma), protein pembentuk atau pembentuk enzim, koenzim dan hormon (Hadiwiyoto, 1993). Jebsen (1983) membagi protein ikan menjadi 3 kelompok yaitu : 1), kelompok yang terdiri dari tropomiosin, aktin, miosin dan aktomiosin yang terdapat kira-kira 65 % dari total protein dan larut dalam natrium klorida netral dengan kekuatan ion lebih tinggi dari (0,50), 2) terdiri dari globin, miosin dan mioglobin yang terkandung sekitar 25 sampai 30 persen dari total protein yang diekstrak dengan larutan netral dengan kekuatan ion lebih rendah (0,15) 3), meliputi stroma protein yang
terdapat kira-kira 3 persen dari protein ikan.
Kelompok protein ini tidak dapat larut dalam larutan garam netral, asam encer atau alkali. Suzuki (1981) menyatakan protein miofibrilar bersifat sedikit larut dalam air pada pH netral tetapi larut dalam larutan garam kuat. Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari protein struktural (aktin, miosin dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin dan aktinin). Protein miofibrilar merupakan bagian terbesar dari protein ikan, yaitu sekitar 66 – 77 % dari total protein ikan. Pada proses pengolahan daging protein miofibrilar memegang peranan penting dalam struktur yang menentukan karakteristik produk yang diinginkan adalah miosin, Miosin adalah merupakan protein berserabut besar dengan berat molekul 500.000 dan terdapat sekitar 43 % dari total miofibrilar dalam jaringan otot (Xiong, 2000 yang diacu Nakai, 2000). Suzuki (1981) menyatakan bahwa aktivitas ATP-ase miosin dipengaruhi oleh ion K+, Mg
2+
dan Ca
2+.
Pada daging
yang mengalami rigor mortis aktin akan berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin. Aktin akan terekstrak bersama-sama dengan miosin dengan adanya garam dan polifosfat. Xiong (2000 yang diacu Nakai, 2000) menyatakan bahwa protein kolagen merupakan serabut sarkoplasma yang penting adalah mioglobin yang sangat berperan dalam warna merah pada daging. Molekul mioglobin terdiri dari dua bagian yaitu : bagian protein (globin) dan bagian nonprotein (heme). Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan mioglobin dalam tiap daging berbeda tergantung jenisnya.
15
Kolagen adalah salah satu protein stroma (jaringan pengikat) yang tersusun dari asam-asam amino penyusun protein kecuali triptofan, sistin dan sistein (Hadiwiyoto, 1993). Stanley (1999) menyatakan bahwa merupakan serabut protein yang sangat penting dalam tekstur daging yang tersusun dari asam amino glisin (30%), proline dan hydroproline (25%). McCormick yang diacu Kinsman et al (1994) menyatakan bahwa kolagen adala h 2 – 6 % berat kering otot, tergantung jenis otot dan umur. v Lemak Suzuki (1991) menyatakan bahwa kandungan lemak ikan bermacammacam tergantung pada jenis ikan, umur dan jumlah daging merah serta kondisi makanan.
Kandungan lemak erat kaitannya denga n kandungan protein dan
kandungan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah umumnya mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar Winarno (1993) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi 3 golongan yaitu : ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari 2%) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus, ikan dengan kandungan lemak sedang (2 – 5 %) terdapat pada rajungan,oyster,udang, ikan mas, lemuru, salmon dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (4 – 5%) terdapat pada hering, mackerel, salmon, tuna, sepat, tawes dan nila. Ikan banyak mengandung asam lemak bebas berantai karbon lebih dari 18. Asam lemak ikan lebih banyak mengandung ikatan rangkap atau asam lemak tak jenuh (PUFA) dari pada mamalia. Keseluruhan asam lemak yang terdapat pada daging ikan krang lebih 25 macam. Jumlah asam lemak jenuh 17 – 21% dan asam lemak tidak jenuh 79 – 83 % dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan.
Asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap a 1-6
(Hadiwiyoto, 1993). v Karbohidrat Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril- miofibril. Glikogen terdapat dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan
16
yaitu 0,05 – 0,085 %. Disamping itu terdapat jauga glukosa (0,038 %), asam laktat (0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat (Hadiwiyoto, 1993). Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa hasil antara proses glikolisa juga terdapat dalam daging ikan ,yaitu : asam fruktosafosfor, asam fosfogliserat dan asam piruvat.
Selain itu masih terdapat sejumlah kecil
monosakarida dari golongan pentosa yaitu ribosa dan deoksiribosa yang merupakan hasil pemecahan asam asam nukleat. Kedua monosakarida ini dapat membentuk protein-protein kompleks. v Air Kadar air pada ikan adalah 66 – 84 %. Kadar air mempunyai hubungan yang berlawanan dengan kadar lemak. Makin tinggi kadar air, makin rendah kadar lemaknya. Air terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan plasma (Suzuki, 1981). Air yang ditemukan dalam jaringan otot terdiri dari tiga tipe yaitu : air konstitusional merupakan air yang terletak dalam molekul protein (1%), air yang terikat kuat (0,3 g air/100 g protein) dan air permukaan yang terletak pada permukaan multi layer protein dan dalam celah-celah kecil. Sekitar 10 % dari air tersebut ditemukan dalam ruang ekstraseluler yang bisa bertukar denga n air sel pada kondisi tertentu sehingga mengakibatkan perubahan protein miofibril. F. NUGGET IKAN (FISH NUGGET) Pada tahun 1982, Castle dan Cooke Foods
San Fransisco telah
memasarkan produk salmon nugget dengan label Bumble Bee yang memiliki aroma, bau, rasa ikan salmon segar dengan bentuk baru dan menarik. Bentuk makanan nugget ikan berupa cincangan daging ikan yang memiliki kekenyalan khas, dibalut lapisan remah roti kering (buttered and breaded) yang dapat diberi cita rasa khusus dengan ukuran sekitar 50 g, sehingga mudah disajikan bersama saus setelah digoreng dalam minyak terlebih dahulu. Pada saat disajikan berupa gumpalan berwarna coklat keemasan dengan bagian luar yang renyah (crispy) dan bagian tengahnya lunak – kenyal dengan aroma bau rasa ikan salmon.
17
Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang merupakan bentuk emulsi minyak dalam air (O/W).
Nugget ikan yang sekarang dipasarkan di
Indonesia umumnya menggunakan bahan baku ikan kakap merah (Manullang dan Tanoto, 1995). Penambahan polyphospate pada pengolahan nugget diduga kuat juga
mencegah
timbulnya
ketengikan
pada
produk precooked
selama
penyimpanan dan distribusinya (Brotsky, 1976 yang diacu Huffman et al, 1987). Alkalin polyphospate telah diizinkan untuk digunakan sebagai pengawet flavor produk daging oleh USDA sejak tahun 1984 (Huffman et al, 1987). Nugget adalah suatu bentuk produk olahan dari daging giling dan diberi bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicampur dengan bentuk-bentuk tertentu selanjutnya dilumuri dengan tepung roti (coating) dan digoreng. Nugget merupakan produk makanan baru yang dibekukan, rasanya lezat, gurih dapat dihidangkan dengan cepat karena hanya digoreng dan dapat langsung dimakan (Anonim, 1990). Pada umumnya nugget berbentuk persegi panjang ketika digoreng menjadi kekuningan dan kering. Hal yang terpenting dari nugget adalah penampakan produk akhir, warna, tekstur dan aroma. Pada saat pelumuran dengan tepung roti diusahakan secara merata jangan sampai adonan kelihatan.
Tekstur dari nugget tergantung dari asal bahan baku (Maghfiroh,
2000). Pada dasarnya produk fish nugget hampir sama dengan chicken nugget dan shrimp nugget. Perbedaannya terletak pada jenis dan karakteristik bahan baku yang digunakan (Aswar, 1995). Pembuatan fish nugget tidak jauh berbeda dengan pemb uatan surimi seperti kamaboko, sosis, chikuwa dan ham ikan yang juga dibuat dari daging ikan giling (Suzuki, 1981).
Nugget ikan tenggiri yang
menggunakan bahan pengikat maizena dan emulsifier SPI (Soy Protein Isolate) menunjukkan hasil yang relatif lebih dapat diterima oleh panelis jika dibandingkan dengan kombinasi bahan pengikat dan emulsifier yang lain (terigu dan kasein). Batter yang digunakan berasal dari formula maizena 80 g, garam 12 g, bumbu nugget 3 g dan air 300 ml (Elingsari, 1994). Hasil pene litian Aswar (1995) bahwa penggunaan bahan pengikat maizena sebanyak 15 % , emulsifier lechitin 2 % dengan batter maizena menghasilkan nugget ikan nila merah yang lebih disukai dibandingkan dengan menggunakan
18
bahan pengikat tapioka 15 %, emulsifier dan batter yang sama karena produk yang dihasilkan teksturnya
lebih lembut serta warnanya kuning keemasan.
Warna ini muncul setelah produk digoreng, diduga sebagai hasil reaksi Maillard. Nugget ikan yang digoreng akan menyerap minyak selama proses pemasakan sehingga rasanya lebih enak dan gurih. Formulasi bumbu nugget ikan terlihat dalam Tabel 4. Menurut Maghfiroh (2000), bahwa nugget ikan dengan menggunakan tepung terigu 15 % sebagai bahan pengikat memiliki kemiripan dengan produk komersial.
Kedua nugget tersebut mempunyai warna kuning kemerahan,
penampakan utuh dan rapi, tekstur kompak, aroma dan rasa ikan.
Komposisi
bahan pengikat nugget ikan per 100 g daging ikan Tabel 5. Tabel 3 Formulasi bumbu nugget ikan per 100 g daging ikan Bahan Bawang putih Bawan bombay Garam Merica Emulsifier (susu) Tepung terigu Putih telur Telur utuh Sumber : Maghfiroh (2000)
Jumlah (gram) 2 42,17 4 1 50 15 40 120
Tabel 4. Komposisi bahan pengikat nugget ikan per 100 g daging ikan Bahan Tepung terigu Tepung maizena Bawang putih Merica Garam Breading Sumber : Maghfiroh (2000)
Jumlah (gram) 100 5 2 11 4 150
Nilai log TPC nugget tuna meningkat dengan lama waktu penyimpanan, tetapi nilai hedonik nugget tuna setelah digoreng tidak dipengaruhi oleh waktu penyimpanan. Namun rata-rata
penilaian panelis cenderung menurun seiring
19
dengan bertambahnya waktu penyimpanan suhu kamar , demikian halnya terhadap parameter warna dan penampakan nugget (Hidayati, 2002). Dari hasil uji fisik terhadap dua bahan dasar nugget yaitu daging lumat dan surimi, meliputi daya ikat air, nilai kekerasan dan susut masak fish nugget menunjukkan bahwa sifat fisik tersebut tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan yang diamati. Sedangkan hasil perhitungan Kruskal Wallis, diperoleh bahan dasar yang terbaik adalah surimi untuk penelitian lanjutan yaitu pemberian bahan pengisi dan bahan pengikat pada nugget Hal ini dikarenakan pada daging lumat yang tidak mengalami pencucian dan perlakuan seperti surimi, sehingga daging merah yang banyak mengandung mioglobin yang mudah teroksidasi dan produk menjadi tengik dalam hal rasanya (Sianipar, 2003).
G. HISTAMIN DAN MUTU IKAN TUNA Histamin adalah senyawa yang terdapat pada daging ikan dari famili scombroidae, subfamili scombroidae, atau ikan lain yang telah membusuk yang di dalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi. Histamin di dalam daging diproduksi oleh hasil karya enzim yang menyebabkan pemecahan histidin. Melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil ) dihasilkan histamin. Satuan kadar histamin dalam daging tuna dapat dinyatakan dalam mg/100 g ; mg % atau ppm (mg/1000 g) (Hadiwiyoto, 1993) ”Histidin bebas” yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungan histidin bebas dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg %. Sebaliknya, ikan- ikan berdaging putih rendah kandungan histidin bebasnya dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg % setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 250 C. Pada jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap, justru daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya. Daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa daging merah justeru kecil kandungan histaminnya, hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan
20
trimetil amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghamb at proses terbentuknya histamin (Winarno, 1993). Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain ya ng mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi.
Bagian
depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor. Ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu: Proteus marganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium pefringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang.
Mikroba
tersebut banyak yang berasal dari sentuhan tangan manusia dan kotoran tinja dan isi usus ikan. Mikroba dan enzim protease isi perut ikan dapat merembes dari dinding perut ke daging (Winarno, 1993)
H. PEMBEKUAN Menurut Hadiwiyoto (1993) pengolahan agar mempertahankan sifat segar ikan dengan suhu rendah. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan
dan
pembekuan.
Penerapan
suhu
rendah
adalah
untuk
menghindarkan hasil perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh autolisa dan atau karena pertumbuhan mikroba.
Baik aktifitas enzim maupun
pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu.
Pada kondisi tertentu
aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat
bahkan terhenti.
Suhu optimum dimana enzim dan mikroba
mempunyai aktifitas yang paling baik biasanya terletak pada suhu di antara sedikit di bawah dan di atas suhu kamar.
21
Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal.
Suhu
penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 150 C efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek.
Setiap penurunan suhu 80 C
menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -20 C sampai 100 C diharapkan dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan. Selama pendinginan dan pembekuan akan terjadi perubahan-perubahan sifat pada ikan. Perubahan tersebut meliputi perubahan sifat kimiawi, sifat fisikiawi dan perubahan organoleptik. Pada pendinginan tidak terlalu banyak perubahan
yang
terjadi
dibandingkan
pada
proses
pembekuan,
karena
terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto, 1983) Pembentukan adonan dengan menggiling daging yang ditambahkan dengan es dimaksudkan agar suhu daging tetap dingin sehingga protein tidak terdenaturasi. Penghancuran daging bertujuan untuk memecah dinding sel serabut otot sehingga protein seperti miosin dan aktin dapat terekstrak dengan penggunaan larutan garam. Suhu optimum untuk mengekstrak protein serabut otot adalah 4 – 5 0C dan dipertahankan agar tidak melebihi 200 C, karena gesekan daging dengan alat penghalus grading seperti
“cutter”, “mixer“ atau alat
pengemulsi lemak mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein serabut otot sehingga terjadi koagulasi protein (Pisula, 1984). Penambahan air ke dalam adonan nugget pada waktu penggilingan berperan penting dalam membentuk adonan yang lebih baik dan untuk mempertahankan temperatur selama pendinginan. selain itu air berfungsi sebagai fase pendispersi dalam emulsi daging dan melarutkan protein sarkoplasma, pelarut garam yang akan melarutkan protein miofibril (Kramlich, 1973).
22
Produk nugget pre-cooked merupakan produk basah yang harus disimpan pada suhu beku di bawah -180 C untuk menjaga mutunya.
Perubahan sifat
inderawi pada berbagai suhu penyimpanan adalah sama hanya prosesnya menjadi lebih lambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah. Nugget yang disimpan pada suhu beku (-250C) sampai pada pengamatan minggu keenam tidak dapat diterima panelis karena terasa asam dan berlendir (Prayitno, 2003). Menurut Fennema et al (1973) dan Ilyas (1972) sela ma penyimpanan beku produk perikanan akan kehilangan air, terjadi oksidasi , perubahan warna dan rasa, serta terjadi “drip”, yaitu cairan bening yang merembes keluar sewaktu produk dilelehkan. Proses pembekuan cenderung menyebabkan susunan mutu makanan berubah dan perubahan ini akan langsung berakibat pada susunan proteinnya (Connell, 1968).
Dyer dan Dingle (1961) menjelaskan perubahan
yang terjadi adalah denaturasi protein, perubahan dalam sistem garam, protein dan air selama pembekuan dan perubahan dalam sistem aktomiosin. WHC atau daya ikat air nugget ikan manyung yang disimpan pada suhu beku rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan nugget yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin, hal tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah air bebas yang tidak dapat diikat oleh protein pada nugget yang disimpan pada suhu beku, karena denaturasi protein yang terjadi. mengikat airnya rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa daya
Banyaknya air yang bebas yang terjerat dalam
mikrostruktur jaringan dipengaruhi oleh suhu (Syartiwidya, 2003). Menurut Suzuki (1981) ada beberapa teori, yang menjelaskan mekanisme denaturasi protein akibat pembekuan yaitu : 1) meningkatnya konsentrasi garam di dalam sel-sel otot akibat perubahan air menjadi kristal-kristal es, 2) hilangnya molekul air dari ruang menyebabkan molekul menjadi lebih dekat satu sama lain dan membentuk berbagai ikatan silang yang menimbulkan agregasi dan 3) terjadinya auto-oksidasi, pengaruh protein larut air, reaksi dengan lemak dan reaksi dengan formaldehida yang terbentuk dari trimetilamin (TMA). Denaturasi atau degradasi protein yang disebabkan oleh penyimpanan beku yang dipercepat dengan adanya penggilingan dan pencincangan. Degradasi
enzimatis
dari
trimetilaminoksida
(TMAO)
menjadi
dimetilamin (DMA) dan formaldehida dapat menyebabkan beberapa kerusakan
23
tekstural, kerusakan ini disebabkan oleh karena adanya formaldehida yang berikatan dengan protein (Gratham, 1981). Menurut Kamallan (1988) selama penyimpanan beku elastisitas/kekenyalan produk akan menurun.
Hal ini
disebabkan adanya pelepasan sejumlah cairan dari dalam produk selama thawing, sehingga keteguhan gel menjadi berkurang akibat terbentukya pori-pori pada produk. Pada suhu beku peningkatan asam tiobarbiturat hanya mencapai 0,25 mg malonaldehid/kg sampai pada minggu ke- 10 (70 hari) , dan aroma nugget masih beraroma ikan.
Hal ini terjadi karena penyimpanan pada suhu beku dapat
menghambat reaksi oksidasi lemak (Syartiwidya, 2003) Fennema
et al. (1973) dan Ilyas (1972) menyatakan bahwa selama
penyimpanan beku produk perikanan akan terjadi perubahan warna dan rasa. Proses mincing dan proses penghancuran produk yang dihasilkan berwarna lebih gelap. Semakin lama penyimpanan warna akan semakin gelap (Winarno, 1993).
3
METODE PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2005 sampai April 2006, di Laboratorium Pilot Plant Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST CENTER) IPB
dan Pengujian dilakukan di
bagian Kimia, Mikrobiologi, dan Biokimia Pangan Departeme n Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan
serta laboratorium
Pengendalian Hasil Perikanan
(BBPPHP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. B. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan
dalam
penelitian adalah daging merah ikan
tuna beku yang diperoleh dari PT ISAAP (BONECOM) Jakarta. Daging merah tuna dibawa menggunakan cold box styroform yang telah diberi es curah. Adapun bahan tambahan untuk pembuatan nugget ikan adalah : tepung maizena, bawang putih, bawang merah, garam, merica. Bahan untuk pemucat adalah
titanium
dioksida (TiO 2 ) proanalisis yang diperoleh dari PT. BRATACO CHEMIKA Bogor. Untuk analisis nilai gizi protein secara in vivo digunakan tikus jenis Spraque Dawley (SD) jantan masa sapih antara 21 – 23 hari yang diperoleh dari Pusat Penelitian Gizi dan Makanan, Bogor.
Komposisi ransum tikus yang
diberikan sesuai rekomendasi AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993) yaitu meliputi sumber protein, sumber lemak, pati (maizena merk honig), selulosa, vitamin, mineral dan air.
Gambar 9 Tikus Spraque Dawley (SD) jantan yang digunakan dalam uji in vivo
25
Bahan yang digunakan untuk analisis kimia : a) penetapan kadar nitrogen (metode Kjeldahl) : NaOH 10 %, H2 SO4 pekat, H3 BO3 3 %, HCl ; b) Pengukuran derajat putih: BaSO4 ; c) Penetapan TBA : 0,5 -1,0 ml KI 25 %, aquades, larutan blanko, larutan TBA dan HCL ;
d) Penetapan TVN : TCA 5 %, HCl 0,01 M,
NaOH 0,01 M 2 %, NaOH 2 M, formaldehid 15 % ; e) Penetapan pH : aquades, tissue, larutan Buffer ; f) Penetapan total asam : NaOH 0,1 M, kalium hidrogen ptalat / (COOH)2, indikator fenolftalein ; g) Penentuan lemak :
dietyl eter ;
h) Pengujian in vivo : enzim a-amilase, standar asam amino, standar asam lemak, anti oksidan merk nature-E, n-heksan, kloroform, formalin, alkohol, methanol, NaCl, NaOH, HCl, asam asetat, asam sulfat, akuades, dan gas N2 . Alat yang digunakan dalam pembuatan dan penyimpanan nugget : meat separator, pisau stainless, talenan, baskom, cold box, blender, pengaduk, plastik PE, freezer, deep fryer, sodet, dan timbangan. Alat yang digunakan untuk analisis kimia adalah whiteness meter, pHmeter, gelas piala, buret, pipet mikrometer,
tabung reaksi,
pengaduk,
labu
Erlenmenyer, gelas ukur, stirer, desicator, oven, alat destilasi dan blender,. Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi : cawan petri, jarum ose, obyek glass, mikroskop elektron, tabung reaksi, buret dan stirer Alat yang digunakan untuk analisis organoleptik : pisau, wadah pencicip, sendok, garpu kecil, dan tabel angka acak. Alat yang digunakan untuk analisis nilai gizi protein secara in-vivo adalah timbangan analitik, termometer, sentrifuse, oven, tanur, mikro-Kjeldahl, freezer, labu Erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pipet, kertas saring, buret, cawan, hot plate, stirer, kandang metabolik tikus, wadah ransum, wadah minum, labu leher tiga, HPLC, GC, mikroskop, rotapavor dan labu pemisah. C. PROSEDUR PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari tiga tahap : Penelitian Pendahuluan Dilakukan untuk menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO 2 ) yang efektif dalam memucatkan warna merah daging tuna. Cara pembuatan nugget daging merah tuna berdasarkan BBPPHP (2003) sebagai berikut : daging lumat
26
merah tuna yang telah siap (setelah dithawing, dicuci dan dipress) dibagi menjadi
lima bagian.
Setelah
itu
masing - masing bagian diberikan
perlakua n penambahan TiO 2 sebagai berikut : A0 = 0 % TiO 2 A1 = 0,25 % TiO 2 A2 = 0,50 % TiO 2 A3 = 0,75 % TiO 2 A4 = 1,00 % TiO 2 Adonan yang telah ditambahakan TiO 2 dimasukkan ke dalam silent cutter bersama dengan bahan lainnya yaitu : maizena (0,34%) , air es (6,71%), garam (1,34 %), merica (0,67%), bawang (2,01%) hingga terbentuk
adonan yang
homogen. Setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan lalu dikukus dengan pengukus steam pada suhu 800 C selama 30 menit.
Setelah matang dibiarkan
dingin lalu dicelup ke dalam adonan batter (terigu, air dan garam) dan dilumuri tepung roti. Nugget yang telah dilumuri disimpan dalam lemari es selama 15 menit kemudian digoreng menggunakan deep fryer electric selama 3 menit dengan suhu 1800 C. Cara pembuatan nugget daging putih tuna (kontrol) juga berdasarkan BBPPHP (2003). Cara pembuatan nugget daging merah tuna secara skematis dapat dilihat pada Gambar 10. Parameter yang diamati adalah derajat putih nugget dengan menggunakan Whiteness meter, uji kadar protein dengan metode Kjedhal dan uji organoleptik nugget dengan metode different test panelisnya adalah mahasiswa IPB. Form uji pembedaan (Difference from control test) dapat dilihat pada Lampiran 1.
27
Pencucian daging dengan air dingin (suhu 50 C) 3 kali
Pengepresan daging tuna secara mekanik
Pelumatan daging dengan grinder
Penambahan TiO 2 sebanyak 0 %, 0,25 %, 0,50 %, 0,75 % dan 1 %
Penambahan bumbu : garam 1,34 %, merica 0,67 %, bawang 2,01 % dan air es 6,71 %
Penambahan bahan pengikat maizena 0,34 %
Pencetakan dengan alat cetak nugget
Pengukusan dengan dandang selama 30 menit
Battering dan breading menggunakan terigu, air, garam dan tepung roti
Penyimpanan di lemari es dengan suhu -50 C selama 15 menit
Penggorengan pada suhu 1800 C selama 3 menit
Pengemasan dengan polietylen Gambar 10 Cara pembuatan nugget tuna
28
Penelitian Lanjutan 1 Dari hasil penelitian pendahuluan diperoleh konsentrasi TiO 2 1 % efektif digunakan dalam memucatkan warna merah daging tuna. Sehingga nugget yang disimpan pada perlakuan penyimpanan beku adalah nugget daging merah tuna dengan perlakuan penambahan TiO 2 1 % yang memiliki derajat putih yang sama dengan nugget daging putih (kontrol).
Nugget
didinginkan terlebih dahulu
kemudian dibekukan dengan blast freezer pada suhu -320 C selama 20 menit. Setelah beku, nugget dikemas dengan plastik lalu disimpan dalam freezer dengan suhu -180 C sampai - 200 C. Perlakuan penyimpanan beku adalah sebagai berikut : DP = nugget daging putih penyimpanan 0 bulan (kontrol) B0 = nugget daging merah penambahan TiO 2 1 % penyimpanan 0 bulan B1 = nugget daging merah penambahan TiO 2 1 % penyimpanan 1 bulan B2 = nugget daging merah penambahan TiO 2 1 % penyimpanan 2 bulan Parameter yang diamati pada penelitian lanjutan 1 adalah pengamatan proksimat nugget yang meliputi : protein, lemak, air, dan abu serta mutu nugget meliputi : pH, TVN, TPC, bilangan peroksida, TBA, dan histamin. Penelitian Lanjutan 2 Hasil pengujian proksimat yaitu uji protein dari masing- masing sampel nugget daging putih penyimpanan 0 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO 2 1 % penyimpanan 0 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO 2 1 % penyimpanan 1 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO 2 1 % penyimpanan 2 bulan diperoleh kadar nitrogen berdasarkan metode Kjeldahl (AOAC, 1990).. Setelah kadar nitrogen dari masing- masing sampel nugget diketahui maka dihitung jumlah
protein contoh nugget yang dibutuhkan untuk komposisi
pembuatan rans um tikus sesuai standar AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993) dengan menggunakan rumus seperti yang terdapat pada Tabel 5. Setelah diketahui jumlah protein contoh
maka dicampurkan seluruh bahan campuran
ransum sesuai dengan standar AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993). Nugget ransum tikus
yang telah berbentuk tepung tersebut dicampurkan ke dalam percobaan dan diberikan selama masa penelitian berlangsung.
29
Tikus yang digunakan adalah jenis Spraque Dawley jantan yang berumur 21 – 23 hari yang baru disapih dengan berat rata-rata sekitar 25 g. Sebanyak 30 ekor tikus jantan dipersiapkan untuk penelitian ini.
Sebelum percobaan dimulai, tikus
diadaptasikan di lingkungan laboratorium selama 4 hari. Pada masa adaptasi, tikus diberi ransum kasein (BDH Chem, LTD, London) sebagai sumber protein dicampur dengan bahan-bahan lain (minyak jagung, vitamin, mineral, tepung maizena dan selulosa). Minyak yang digunakan untuk melengkapi ransum adalah minyak jagung. Campuran mineral terdiri dari 139,3 g NaCL ; 079 g KI ; 389,0 g KH2 PO4 ; 57,3 g MnSO4 anhyd ; 381,4 g CaCO3 ; 27,0 g FeSO4 ; 7H2 O ; 4,01 g MnSO4 , H2 O ; 0,548 g ZNSO4 ; 7 H2 O ; 0,477 g CuSO4 5H2 O dan CoCL2 6H2 O, Vitamin untuk ransum terdiri dari 2000 IU vit A ; 200 IU vit D ; 10 IU vit ;, 0,5 mg Menadione ; 200 mg Choline ; 10 mg Inositol ; 4 mg Niacin ; 4 mg Ca- D panthotenat ; 0,5 mg Riboflavin ; 5 Thiamine HCl ; 0,5 mg Piridoksin ; 0,2 g asam Folat ; 0,04 mg Biotin ; 0,003 mg vit B12 dan glukosa untuk membuat ransum menjadi 100 persen digunakan tepung maizena. Tikus-tikus tersebut dibagi dalam enam grup, masing- masing grup terdiri dari lima ekor tikus. Perbedaan berat badan antar kelompok tidak boleh lebih dari 5 g.
Tikus-tikus tersebut dikandangkan sendiri-sendiri pada kandang
metabolik yang dapat menampung urin dan feses (Gambar 11). Keenam grup tikus dengan perlakuan ransum adalah sebagai berikut : •
A = ransum kasein sebagai standar
•
B = ransum non protein.
•
C = ransum tepung nugget daging putih tuna
•
D = ransum tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0 bulan
•
E = ransum tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 1 bulan
•
F = ransum tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 2 bulan
30
Gambar 11 Kandang metabolik dan wadah penampung urin dan feses tikus Tikus diberi makan secara ad libitum, berat badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali.
Kadar nitrogen dalam ransum, urin dan feses
berdasarkan metode Kjeldahl.
ditentukan
Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan unt uk
mengukur keseimbangan nitrogen.
Parameter nilai gizi protein yang diamati
pada penelitian lanjutan 2 yaitu : daya cerna sejati , nilai biologis (biological value) dan NPU (net protein utilization). Prosedur penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12.
31
Daging Merah Tuna
Daging merah lumat
v Penambahan TiO2 dengan kadar : A0 = 0 % TiO2 A1 = 0,25 % TiO2 A2 = 0,50 % TiO2 A3 = 0,75 % TiO2 A4 = 1,00 % TiO2
Pembuatan Nugget
Analisis Kimia : Derajat putih, kadar protein, Organoleptik (warna,aroma,tekstur dan rasa)
Pembuatan Nugget dari daging merah penambahan TiO2 1% dan daging putih
Analisis proksimat, Kimia, dan Mikrobilogi (protein, lemak, air, abu , Histamin, Bilangan Peroksida, TVN,TBA, pH,dan TPC).
Penyimpanan Suhu -180 C
0 bulan
1 bulan
Pengujian Protein Secara In Vivo
Gambar 12 Prosedur penelitian
2 bulan
32
D. ANALISIS SAMPEL 1. Uji Proksimat a. Kadar Air (AOAC, 1984). Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 1050 C selama 15 menit, kemudian didinginkan lalu ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 5 gram (B). Setelah itu cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 1050 C selama 6 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap (C). Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar Air (%wb) = Kadar Air (%db) =
[B − (C − A)] B
x 100 %
[B − (C − A)] C−A
x 100 %
b. Kadar Abu (AOAC, 1984) Sampel ditimbang sebanyak 1-5 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel diarangkan di atas Bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 500-6000 C sampai menjadi abu yang berwarna putih. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus : Kadar Abu (%) =
BeratAbu ( g ) x 100 % BeratSampel ( g )
c. Kadar Protein (AOAC, 1984) Sampel dihitung sebanyak 0,5-3 g lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan didestruksi dengn menggunakan 20 ml asam sulfat pekat dengan pemanasan sampai terjadi larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi diencerkan dan didestilasi dengan penambahan 10 ml NaOH 10 %. Destilat ditampung dalam 25 ml larutan H3 BO3 3 %. Larutan H3 BO3 dititrasi dengan larutan HCl standar dengan menggunakan metal merah sebagai indikator.
33
Dari hasil titrasi ini total nitrogen dapat diketahui.
Kadar protein sampel
dihitung dengan mengalikan total nitrogen dan faktor koreksi. mltitranxNHClxfkx14 x 100 % BobotSampel
Total Nitrogen (%) =
Kadar Protein (%) = Total Nitrogen x 6,25 d. Kadar Lemak (AOAC, 1984) Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ektraksi soxhlet dikeringkan dalam oven.
Kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ektraksi soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor ditasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. ditampung.
Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan
Kemudian labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan
dalam oven pada suhu 1050 C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar Lemak (%) =
BeratLemak ( g ) x 100 % BeratSanpe l ( g )
2. Total Volatile Base Nitrogen/TVN (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebanyak 100 gram yang sudah digiling dimasukkan ke dalam waring blender. Kemudian ditambah 300 ml larutan TCA 5 % dan diblender sampai homogen. Dipisahkan ekstrak TCA dengan cara penyaringan atau sentrifuse. Ekstrak TCA sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam alat destilasi Kjeldahl semimikro dan ditambahkan 5 ml NaOH 2 M.
Selanjutnya
didestilasi, di mana destilat ditangkap dengan 15 ml HCl 0,01 M standar. Ke dalam destilat ditambahkan beberapa tetes merah fenol, lalu dititrasi dengan NaOH 0,01 M standar sampai tercapai titik akhir. Perhitungan :
34
TVN (mg N/100 g) = Keterangan :
14 (300 + W ) x (15 − V ) x 0,01 100 x 5 M
14 = Bobot atom nitrogen V = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi M = Berat sampel (g) W = Jumlah air (kadar air) yang ada dalam bahan (g)
3. Derajat Putih (Fardiaz, 1989) Derajat putih dilakukan dengan menggunakan whiteness meter. Standar warna putih yang digunakan untuk kalibrasi adalah BaSO4 yang diasumsikan derajat putih 100 %. Prinsip pengukurannya adalah berdasarkan jumlah sinar yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur dibandingkan warna standar. 4. Total Plate Count/TPC (Fardiaz, 1987) Pembuatan media agar dengan cara mencampurkan 23 g nutrient agar ke dalam 1 liter aquades dala m gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut.
Sterilisasi
(1210 C, 1 atm) dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan lain yang akan digunakan seperti pipet, dan blender dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan agar disimpan dalam pemanas air bersuhu 450 C. Pembuatan larutan pengencer dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 ml akuades. Larutan pengencer kemudian disterilisasi. Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen tersebut dengan menggunakan pipet steril, lalu kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian.
Pemipetan dilakukan dari masing- masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam cawan
35
petri dengan metode tuang sebanyak 20 ml dan digoyangkan sampai merata. Cawan petri (agar yang sudah membeku) diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 370 C selama 48 jam. Perhitungan koloni bakteri pada cawan yang telah diinkubasi dihitung berdasarkan jumlah yang layak dihitung (30-300 koloni). Perhitungan jumlah bakteri total per gram dapat dihitung dengan memperhitungkan jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri dengan menggunakan koloni counter atau hand counter. 5. pH (Apriyantono et al., 1989) •
Menyalakan pH meter sampai diperoleh keadaan stabil selama 15 sampai 30 menit.
Sampel sebanyak 10 g ditambah dengan 50 ml
akuades dan kemudian diblender. •
Elektroda pH meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Kemudian pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan buffer pH 7 lalu dikeringkan dengan tissue.
•
Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel dan nilai pH dapat diketahui setelah diperoleh pembacaan yang stabil dari pH meter.
•
Catat pH sampel
6. Analisis Histamin (BBPPHP, 2001) •
Timbang 10 g contoh dalam beaker glass 250 ml dan tambahkan 50 ml metahanol, blender hingga homogen
•
Panaskan di atas waterbath selama 15 menit pada suhu 60o C. Dijaga sample dalam kondisi tertutup, diinginkan hingga suhu kamar.
•
Tuangkan contoh ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan hingga volume labu dengan metanol.
•
Saring menggunakan kertas saring dan filtratnya ditampung dalam botol contoh.
Pada tahap ini filtrat contoh dapat disimpan dalam
refrigerator. •
Timbang 3 g resin untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml.
•
Kemudian tambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin untuk mengubah resin menjadi bentuk OH.
36
•
Aduk menggunakan stirer-plate selama 30 menit.
•
Tuang cairan pada bagian atas dan ulangi penambahan NaOH (basa) dengan jumlah yang sama.
•
Cuci/bilas resin dengan aquadest sebanyak 3 kali.
•
Saring melalui kertas saring No. 588 atau yang setara dan cuci kembali dengan aquadest.
•
Siapkan resin segar setiap minggu dan simpan dalam aquadest.
•
Masukkan galasswool dalam kolom resin setinggi ± 1,5 cm.
•
Masukkan resin dalam kolom resin setinggi ± 8 cm, pertahanakan volume air yang berada di atas resin ± 1 cm, jangan dibiarkan kering.
•
Letakkan labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N dibawah kolom resin guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin.
•
Pipet 1 ml filtrat contoh, masukkan dalam kolom resin, kran kolom resin dalam posisi terbuka biarkan aliran menetes (hasil elusi) ditampung dalam labu takar 50 ml.
•
Seketika tinggi cairan ± 1 cm diatas resin, tambahkan aquadest dan biarkan cairan berelusi. takar tepat 50 ml.
Lakukan demikian seterusnya hingga labu
Hasil elusi (contoh) dapat disimpan dalam
refrigator. •
Siapkan tabung reaksi 50 ml duplo, tambahkan : -
5 ml contoh
-
10 ml HCl 0,1 N, kocok
-
3 ml NaOH 1 N, kocok, dalam waktu 5 menit harus sudah ditambah 1 ml OPT 0,1 %, kocok dan biarkan selama 4 menit.
-
3 ml H3 PO4 3 N, kocok dan sample sesegera mungkin dibaca dengan alat spectrofotometer Ex : 350 nm dan Em : 444 nm
•
Standar diberlakukan sama seperti pada persiapan pembacaan contoh. Untuk blanko digunakan HCl 0,1 N.
•
dalam waktu 90 menit standar dan sample harus sudah dibaca flouresensinya pada instrumen fluorometer.
37
Perhitungan : •
Masukkan nilai konsentrasi dan fluorosense dari larutan standar dalam program/persamaan linier untuk mendapatkan kurva standar (kurva kalibrasi).
Nilai koefisien regresi (r) slope (b) dari intercep (a)
digunakan untuk menghitung konsentrasi contoh.
Masukkan nilai
fluorosense contoh ke dalam persamaan regresi standar (y = a + bx) dimana :
y = fluorosense contoh a = intercep b = slope x = konsentrasi contoh •
Setelah didapat nilai konsentrasi contoh (x); kalikan dengan faktor pengenceran dan kembalikan ke berat contoh. Nyatakan hasil dalam satuan mg/100 g contoh.
7. Analisis Bilangan Peroksida (Apriyantono et al. 1989) Timbang sampel seberat 200 mg yang telah dilarutkan dengan heksan dalam tabung reaksi. Tambahkan 0,5 ml larutan Potasium Iodida , 0,5 ml larutan Aluminium klorida dan heksan 1 ML, campur (kocok) kemudian diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 5 menit. Tambahkan 15 ml HCl 0,01 N dan 0,5 ml larutan pati campur sampai merata. Pindahkan larutan ke dalam tabung sentrifus selama 3 me nit dengan kecepatan 3000 rpm. Lapisan bawah (fase cair) ditetapkan absorbansinya pada 560 nm (Total lapisan air adalah 16,5ml). Blanko ditetapkan seperti pada penetapan contoh. 8. Analisis TBA (Apriyantono et al. 1989) Sampel seberat 10 gram dimasukkan kedalam blender (waring blender), lalu ditambah dengan 50 ml aquades dan dilumatkan selama 2 menit. Pindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi sambil dicuci dengan 4,75 ml aquades. Tambahkan 2,5 ml 4 M HCI sampai pH 1,5, batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent). Pasang labu destilasi pada alat destilasi,
38
panaskan sampai didapat 50 ml destilat selama 10 menit. Aduk destilat yang didapat dan pipetkan 5 ml ke dalam tabung reaksi tertutup .
Kemudian
tambahkan 5 ml pelarut TBA dan panaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Dinginkan selama 10 menit
kemudian baca absorbansinya (A)
pada ? = 5,28 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol (blanko terdiri dari 5 ml aquadest dan 5 ml pereaksi).
Bilangan TBA dinyatakan dalam mg
malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7,8 D. Bilangan TBA dapat diketahui dengan rumus : 3 mg malonaldehid per kg sampel =
x absorban x 7,8 berat sampel
9. Penentuan Kadar Protein (AOAC, 1984) Kadar protein ditetapkan dengan metode Micro Kjeldhal bahan ditimbang 1 g dimasukkan kedalm labu Kjeldahl. Tambahkan 5 ml H2 SO4 pekat dan setegah sendok selenium mixture, lalu dipanaskan untuk menghilangkan uap SO2. Pemanasan mula-mula dengan api kecil lalu api hijau hingga terbentuk larutan berwarna jernih kehijauan. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur (100 ml) dan diencerkan sampai tanda tera.
Kemudian diambil 10 ml
dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH 30 %, lalu disuling. Destilasi dilakukan sampai uap destilasi tidak bereaksi basa (diuji dengan kertas pH).
Hasil destilasi ditampung dalam 20 ml larutan asam
boraks (H3 BO3 3 %), dititrasi dengan HCl standar menggunakan merah methil Perhitungan : % Total Nitrogen = Kadar protein
ml HCl x N Hcl x Fp x 14,007 x 100 % mg sampel
= % total nitrogen x Fk
10. Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 1999) Uji organoleptik yang dilakukan terhadap nugget ikan adalah uji penampakan fisik yang meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur.
Uji
organoleptik ini menggunakan uji pembeda (different test) dengan kisaran nilai yang digunakan adalah 0-6 untuk masing- masing atribut. Nilai 0 = tidak
39
berbeda ; 1 = sedikit berbeda ; 2 = hampir berbeda ; 3 = berbeda ; 4 = lebih dari berbeda ; 5 = sangat berbeda dan 6 = sangat berbeda sekali. Pengujian dilakukan dengan mengggunakan 17 panelis mahasiswa IPB. 11. Penentuan Mutu Protein Secara In Vivo Tikus yang digunakan adalah jenis Spraque Dawley jantan yang berumur 21-23 hari yang baru disapih dengan berat rata-rata sekitar 25 g. . Sebelum percobaan dimulai, tikus diadaptasikan di lingkungan laboratorium selama 4 hari. Pada masa adaptasi, tikus diberi ransum kasein (BDH Chem, LTD, London) sebagai sumber protein dicampur dengan bahan-bahan lain (minyak jagung, vitamin, mineral, tepung maizena dan selulosa). Sebanyak 30 ekor tikus jantan dari species Spraque Dawley dipersiapkan untuk percobaan ini. Masing- masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus dengan perlakuan ransum adalah sebagai berikut : A = ransum kasein sebagai standar ; B = ransum non protein ; C = ransum tepung nugget daging putih tuna ; D = ransum tepung nugget daging merah penyimpanan beku 0 bulan ; E = ransum tepung nugget daging merah penyimpanan beku 1 bulan ; F = ransum tepung nugget daging merah penyimpanan beku 2 bulan. Perbedaan berat badan antar kelompok tidak boleh lebih dari 5 g. Komposisi ransum yang diberikan disesuaikan AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993), yaitu : Tabel 5 Komposisi ransum yang dianjurkan untuk penetapan PER Bahan campuran Protein Minyak Vitamin Mineral Selulosa Air Pati jagung
Jumlah (%) X = 1,60 x 100 / % N sampel (10 % protein) = 8 - ( X x % ekstrak eter /100) = 1 = 5 - ( X x % kadar abu / 100) = 1 - ( X x % kadar serat kasar/ 100) = 5 - ( X x % kadar air / 100 ) = untuk membuat 100 %
Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali, sedangkan banyaknya konsumsi ransum ditimbang setiap hari. Makanan dan minuman diberikan secara ad libitum (sekitar 15 g berat kering setiap hari). Di bagian bawah kandang ditempatkan wadah penampung urin dan feses. Setiap 2 hari sekali
40
urin dan feses dikumpulkan ke dalam botol dan disimpan pada refrigerator (40 C). Ke dalam botol yang berisi urin ditambahkan 1 ml H2 SO4 10 % untuk mencegah kehilangan nitrogen. Pada penentuan nilai biologis dan daya cerna kandungan nitrogen urin dan feses dilakukan secara mikro Kjeldahl. a. Nilai Biologis (NB) Dilakukan dengan cara membandingkan jumlah nitrogen yang ditahan dengan jumlah nitrogen yang diserap. Percobaan dilakukan selama 10 hari. NB =
I − ( F − Fm) − (U − Ue) I − ( F − Fm)
dimana : I = N yang dikonsumsi dari ransum F = N feses pada hewan dengan ransum berprotein U = N urin pada hewan dengan ransum berprotein Fm = N feses pada hewan dengan ransum non protein Ue = N urin pada hewan dengan ransum non protein b. Daya Cerna Sejati Kondisi perlakuan sama seperti perlakuan sebelumnya. Dihitung dengan rumus : DC =
I − ( F − Fm) x 100 % I
c. NPU (Net Protein Utilization) NPU = NB x DC sejati E. ANALISIS DATA Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis me nggunakan sidik ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji t-Student atau uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1995). Model persamaan RAL adalah sebagai berikut :
Yij = µ + a i + eij
41
Di mana :
Yij µ ai eij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke- i dan ulangan ke-j = Rataan (nilai tengah umum) = Pengaruh perlakuan ke-i (i= 1,2,3...) = Pengaruh acak pada perlakuan ke- i dan ulangan ke-j.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Daging merah Yellow fin tuna yang telah dicincang (mince) diberikan perlakuan penambahan konsentrasi
titanium
dioksida
(TiO 2 )
kemudian
dicampurkan dengan bumbu lainnya dan bahan pengikat sehingga homogen. Setelah menjadi nugget diuji mutunya. Untuk menguji
mutunya
dilakukan
analisis yang meliputi derajat putih, uji organoleptik nugget daging merah dan putih tuna serta kadar protein nugget. 1. Derajat Putih Nilai hasil pengukuran derajat putih nugget daging merah tuna yang dipucatkan dengan pemberian TiO 2 dapat dilihat pada Gambar13. Derajat putih nugget dengan penambahan TiO 2 : 0,25 ; 0,50 ; 0,75 ; 1,00 % ; dan tanpa penambahan TiO 2 adalah : 10,45 ; 13.92 : 14,88 ; 22,64 dan 10,16 %. Derajat putih nugget daging putih tuna sebagai kontrol adalah 22,85 %.
Persentase (%) BaSO4
25
22.85
d
22.64
d
20 13.92
15 10.16
a
10.45
b
14.88
c
a
10 5 0 DP
A0
DP : Daging Putih A0 : Tanpa TiO2
A1
A2 Perlakuan
A1 : 0.25 % TiO2 A2 : 0.50 % TiO2
A3
A4
A3 : 0.75 % TiO2 A4 : 1.00 % TiO2
Gambar 13 Nilai derajat putih nugget daging merah tuna Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan TiO 2 . berpengaruh nyata (p<0.05) pada nilai derajat putih nugget daging merah tuna (Lampiran 2). Hasil uji Lanjut Tukey menunjukkan bahwa derajat putih nugget daging merah tuna dengan perlakuan TiO 2 sebesar 1,00 % tidak berbeda dengan nugget daging putih tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya (Lampiran 3). Hal
43
ini menunjukkan bahwa konsentrasi 1,00 % efektif untuk memucatkan daging merah tuna. Penggunaan konsentrasi 1 % TiO 2 adalah konsentrasi yang masih direkomendasikan oleh Depkes (1999).
Titanium dioksida merupakan bahan
pemucat dalam bentuk kristal anatase yang dapat menyebabkan warna menjadi opaque dan penggunaannya maximal 1 % (Depkes, 1999 dan Mac Daugall, 2002). Warna merah pada daging tuna menjadi pucat penampakannya karena titanium dalam bentuk anatase sehingga menjadi
dapat menyebabkan dispersi warna gelap
opaque. Titanium bentuk
anatase memucatkan makanan
bekerja secara dispersi pada produk semi solid (Winarno, 1997). Titanium dioksida merupakan senyawa anorganik (Institute of Food Technologists, 1986 dalam de Man 1997). Selanjutnya de Man (1997) memasukkan titanium ke dalam Lake. Lake menghasilkan warna dalam bentuk dispersi dan dapat dipakai dalam makanan berbasis minyak. MacDougall (2002) menyatakan TiO 2 mempunyai kemampuan mendispersi dalam bentuk minyak dan air. Warna merah pada daging ikan berasal dari myoglobin dan hemoglobin yang menjadi pigmen utama pada daging merah (Casseens dan Cooper, 1971 dan Winarno, 1984).
Pada myoglobin terdapat gugus heme yang mengandung
porfirin (Fe) yang jika mengalami pemucatan akibat bahan pemucat maka heme pada daging ikan akan putus. Pigmen heme terdapat pada daging dan ikan yang merupakan senyawa tetrapirol. MacDougall (2002) menyatakan bahwa TiO 2 merupakan oksidator yang dapat
memutuskan ikatan rangkap pigmen warna
yang kompleks menjadi komponen yang tidak berwarna melalui proses oksidasi.
2. Uji Organoleptik Nugget Daging Merah dan Daging Putih Tuna Skor rata-rata organoleptik nugget daging merah tuna dibandingkan nugget daging putih (kontrol) tercantum pada Tabel 6. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan, selain itu warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan (de Man, 1997). Warna juga merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih produk. Hasil uji t (0,05) menunjukkan bahwa nilai rata-rata warna nugget daging merah tuna penambahan TiO 2 1 % tidak berbeda
44
nyata dengan kontrol (daging putih) yaitu sebesar 0,5, kecuali pada perlakuan penambahan konsentrasi TiO 2 lainnya (Lampiran 4). Tabel 6. Skor rata-rata hasil uji organoleptik produk nugget daging merah dibandingkan nugget daging putih Daging Merah Parameter
TiO2 0%
TiO2 0,25 %
TiO2 0,50 %
TiO2 0,75 %
TiO2 1,00 %
warna aroma Rasa tekstur
4,7b 1,5b 1,2a 2,7b
4,1b 1,2a 1,2a 3,4b
3,9b 1,2a 1,2a 2,8b
3,3b 1,2a 1,2a 2,4b
0,9a 1,0a 1,1a 2,0b
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P< 0,05)
Perbedaan tersebut menurut panelis karena masih nampak warna kecoklatan pada produk nugget dari daging merah tuna.
Warna daging
disebabkan adanya dua pigmen myoglobin dan hemoglobin, kedua pigmen mengandung globin sebagai protein gugus heme terdiri atas cincin porfirin dan atom besi. Hal ini terjadi karena kromoprotein dan heme yang terdapat pada daging merah berubah menjadi hemin karena oksidasi. Kromoprotein sering menimbulkan masalah dalam pengolahan yaitu terjadinya perubahan warna yang tidak disukai saat pengolahan (pengukusan dan penggorengan).
Hal tersebut
mengindikasikan bahwa penambahan TiO 2 0,25 %, 0,50 % dan 0,75 % belum efektif untuk memucatkan warna merah daging tuna. Pemanasan
mengakibatkan
terbentuknya
sejumlah
pigmen
globin
terdenaturasi dan besi dioksidasi menjadi besi III sehingga berwarna coklat yang disebut hemikrom. Serta terjadi oksidasi pada daging merah yang banyak mengandung asam lemak yang juga mempengaruhi warna ke arah lebih gelap (Hultin, 1993). Stabilitas pigmen dalam bahan pangan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan.
Faktor- faktor tersebut meliputi antara lain : ada tidaknya
oksigen, cahaya, subtansi oksidasi dan reduksi, unsur logam berat, Aw, pH dan suhu (Purnomo, 1995). Diperlukan kontrol suhu dan pH saat pengolahan nugget dengan penambahan TiO 2 agar degradasi pigmen dapat menghasilkan warna daging merah yang lebih pucat karena perubahan myoglobin tersebut terjadi pada
45
kisaran pH 5 sampai 7 menyebabkan oksidasi besi (II) menjadi besi (III) dan terjadi pembentukan Met.Mb (McDonald and Hultin, 1993). Hasil uji t (0,05) terhadap nilai rata-rata aroma nugget dengan berbagai konsentarsi TiO 2 tidak berbeda nyata dengan kontrol yaitu sebesar 0,7 (Lampiran 5). Kecuali pada perlakuan nugget daging merah tuna tanpa TiO 2 . Menurut Hadiwiyoto (1993) bahwa berbagai asam lemak bebas seringkali dikaitkan dengan rasa dan aroma daging ikan. Aroma khas nugget tetap ada tetapi pada nugget daging merah tanpa penambahan TiO 2 tercium aroma amis karena bau darah yang dikandung oleh myoglobin dan haemolobin pada otot daging lebih dominan. Berdasarkan hasil uji t(0,05) terhadap nilai rata-rata rasa nugget pada perlakuan daging merah tanpa penambahan TiO 2 dan penambahan
TiO 2 tidak
berbeda dengan kontrol yaitu sebesar 0,8 (Lampiran 6). Nugget daging merah dengan perlakuan tersebut mempunyai rasa ikan yang sangat kuat dan gurih sama dengan nugget daging putih tuna (kontrol). Penambahan TiO 2 tidak mengubah rasa ikan pada nugget daging merah. Cita rasa enak pada daging ikan segar dipengaruhi oleh asam inosinat (inosin monofosfat) yang terbentuk saat ATP terbongkar dan menghilang. Adanya flavo ur yang diinginkan juga dapat terbentuk sebagai akibat reaksi Maillard. Menurut Muchtadi (1993) bahwa reaksi Maillard mengakibatkan sebagian besar bahan pangan mengandung asam amino bebas yang reaksinya berakibat pada terbentuknya flavo ur daripada menurunnya nilai gizi (Hurrel, 1984 yang dikutip Muchtadi, 1993). Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan. Ciri yang sering menjadi acuan adalah kekerasan dan kandungan air (de Man,1997).
Pengujian
fisik meliputi kekerasan dan elastisitas. Kekerasan didefenisikan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu produk sehingga menjadi produk yang diinginkan. Adapun elastisitas adalah kemampuan makanan untuk kembali ke bentuk semula setelah diberi tekanan (Ranggana, 1986). Hasil uji t (0,05) terhadap nilai rata-rata tekstur nugget pada perlakuan daging merah tanpa penambahan TiO 2 dan penambahan TiO 2 berbeda dengan kontrol yaitu sebesar 0,7 (Lampiran 7). Tekstur nugget daging merah dengan perlakuan penambahan TiO 2 dengan berbagai konsentrasi menghasilkan tekstur padat, dan kenyal. Hal ini terjadi karena tekstur yang dihasilkan agak kering dan
46
menyebabkan kekenyalan. Sifat tekstur dipengaruhi oleh pembentukan gel oleh protein kolagen dan protein sarkoplasma (Zayas, 1997). Serat daging tuna yang khas yaitu berserat agak kasar dibandingkan dengan serat daging ikan lainnya atau daging ayam yang lebih halus. Serat ini berpengaruh terhadap tekstur nugget daging ikan tuna. Untuk mengimbangi serat kasar tersebut dalam penelitian ini digunakan es dengan konsentrasi 7 % seperti disarankan oleh Elingsari (1994) yang menyatakan konsentrasi es 7 % akan memberikan tekstur nugget ikan menjadi baik dan hampir mendekati produk komersial. Konsentrasi es yang kurang dari 7 % akan menghasilkan tekstur nugget yang terlalu kering dan rapuh. Pemberian es juga akan mengurangi terurainya lipida yang mempunyai andil besar dalam perubahan sifat kekerasan daging ikan. Daging tuna banyak mengandung lemak terutama pada daging merahnya. Menurut Hadiwiyoto (1994) interaksi antara asam lemak dan protein miofibrillar dapat menyebabkan protein menjadi tidak larut dalam air sehinga menyebabkan daging ikan menjadi keras. Menurut Potter (1973) tekstur akan berubah dengan berubahnya kandunga n air. Selain kandungan airnya, tekstur juga dipengaruhi lemak, protein, gula dan sebagainya. Tekstur juga dipengaruhi oleh konsentrasi es yang diberikan pada saat penggilingaan daging ikan. Diperlukan
keseimbangan formulasi bahan pengikat antara maizena,
tepung terigu dan emulsifier seperti susu atau isolat protein lainnya. Konsentrasi bahan pengikat dan emulsifier yang digunakan juga akan mempengaruhi tekstur nugget yang dihasilkan. Formulasi antara maizena dan tepung terigu sangat mempengaruhi kekerasan dan elastisitas produk. Jumlah pati yang besar menyebabkan tekstur menjadi lebih padat dan lebih cenderung keras. Menurut Elingsari (1994) formulasi konsentrasi maizena 1,5 %, isolat protein kedelai 4 % menghasilkan elastisitas standar karena mengandung sedikit pati.
3. Konsentasi Titanium Dioksida terhadap Kadar Protein Nugget Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu protein yang mudah larut, tidak dapat larut dan protein yang sukar larut.
Berdasarkan lokasi terdapatnya
dalam daging, yaitu
protein
47
sarkoplasma, myofibrillar dan protein jaringan pengikat (stroma). berdasarkan fungsinya
sedangkan
yaitu protein penyusun sel dan jaringan serta protein
pembentuk atau pembuat enzim, koenzim dan hormon (Hadiwiyoto, 1993) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan TiO 2 tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kadar protein nugget (Lampiran 8). 42.12
42.00
42.00
42.00
42.00
A0
A1
A2
A3
A4
Persentase (%) bk
40
30
20
10 0 Perlakuan
A0 : Tanpa TiO2 A1 : 0.25 % TiO2 A2 : 0.50 % TiO2
A3 : 0.75 % TiO2 A4 : 1.00 % TiO2
Gambar 14 Kadar protein nugget pada berbagai penambahan TiO 2 Kadar protein nugget daging merah penambahan TiO 2 0,25 % ; 0,50 %, 0,75 % ; 1 % dan tanpa TiO 2 adalah 42,0 ; 42,0 ; 42,0 ; 42,0 dan 42,12 % bk (Gambar 14) lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein nugget daging putih 57,96 % bk.
Hal ini disebabkan protein
pada daging merah adalah
sarkoplasma yang merupakan protein larut air (water soluble protein). Protein sarkoplasma saat mengalami pencucia n, dan pengepresan, larut terbawa air sehingga mempengaruhi kadar protein nugget. Syartiwidya (2003) menyatakan bahwa viskositas daging cincang minced lebih tinggi karena berkurangnya air bebas akibat pencincangan dengan meat separator, juga penambahan jumlah padatan sol yang berasal dari denaturasi protein miofibril dan koagulasi protein terlarut (darah, protein sarkoplasma).
B PENELITIAN LANJUTAN 1 Penelitian ini dilakukan setelah diperoleh konsentrasi Titanium dioksida yang efektif memucatkan daging merah tuna pada penelitian pendahuluan yaitu
48
penambahan TiO 2 1 %. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati perubahan mutu gizi nugget yang disimpan pada suhu -18 o C dengan masa simpan 0, 1 dan 2 bulan. Pada produk olahan yang disimpan akan mengalami proses penurunan mutu dan nilai gizi yang berbeda antara suatu produk dengan produk lainnya.
1. Protein Nugget Kadar protein nugget perlakuan penyimpanan beku selama penelitian tercantum pada Gambar 15. Semakin lama penyimpanan semakin rendah kadar protein. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar protein (Lampiran 9). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa kadar protein antar perlakuan berbeda (Lampiran 10). Dari hasil analisis diperoleh bahwa kadar protein daging putih tuna lebih besar dibandingkan dengan daging merah tuna yang dipucatkan. Daging merah tuna mempunyai kadar protein yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein daging putih tuna (Suzuki,1981).
70
Persentase (%) bk
60
57.96
e 50.90
50
42.00
d
bc 37.94
40
ab
45.50
c 34.46
a
30 20 10 0 DP0
B0
DP1
B1
DP2
B2
Perlakuan
DP0 : Daging Putih (0 bulan) DP1 : Daging Putih (1 bulan) DP2 : Daging Putih (2 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B1 : Daging Merah (1 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 15 Kadar protein nugget daging merah tuna Penurunan kadar protein selama penyimpanan beku pada nugget daging putih dan merah diduga karena adanya denaturasi protein. Karena pada nugget pengamatan tidak memakai anti denaturasi pada pembuatannya, sehingga saat
49
pembekuan terjadi denaturasi protein. Hal tersebut juga diduga akibat adanya loss drip (cairan yang keluar/eksudasi) yang terjadi pada saat thawing sebelum diadakan pengukuran kadar protein nugget daging tuna. Drip menyebabkan beberapa nutrient seperti garam, polipeptida, asam amino, asam laktat, purin dll yang larut dalam air akan terbawa bersama air yang keluar dari nugget. Polipeptida, asam amino dan asam laktat tersebut mengandung nitrogen yang hilang akibat drip dan tak terukur saat pengukuran dengan metode Kjeldhal dimana pengukurannya berdasarkan pengamatan jumlah nitrogen. Menurut Taub dan Singh (1998) protein terdenaturasi pada suhu beku disebabkan karena faktor : 1). perubahan kandungan air, 2). perubahan lemak pada ikan dan 3) aktivitas enzim trimethylamin oksidase (TMAO-ase). Selanjutnya Djazuli et al (2001) menyatakan bahwa denaturasi dapat diartikan sebagai proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dengan ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul. Perusakan asam amino dan denaturasi protein menyebabkan meningkatnya nilai pH dengan terlepasnya N dan hilangnya air. Suzuki (1981) menyatakan akibat pembekuan terjadi denaturasi protein yang salah satunya adalah kelarutan protein sarkoplasma maupun miofibriler menurun. Protein sarkoplasma pada umumnya kandungannya lebih tinggi pada species ikan pelagik dibandingkan ikan demersal.
Jumlah prosentase myoglobinnya lebih
besar dari hemoglobin dan cytochrome. Sesuai penelitian Arannilewa, et al (2005) menemukan pada penyimpanan beku ikan Nile Tilapia selama 0, 1 dan 2 bulan kandungan proteinnya mengalami penurunan.
Hal tersebut diduga ada hubungannya dengan denaturasi akibat
pembekuan. Mallikage (2001) menemukan penurunan kadar protein pada ikan Herring yang didinginkan pada air es, es dengan air laut dan es. Pada suhu beku denaturasi protein lebih cepat terjadi karena protein ikan lebih sensitif terhadap pembekuan. Formaldehid yang dihasilkan dari aktivitas enzim TMAO-ase dapat menyebabkan terjadinya ikatan silang dari protein otot dan meningkatkan kekenyalan. Formaldehid dapat meningkatkan kecepatan denaturasi protein selama penyimpanan beku oleh interaksi dengan rantai sisi protein yang dihasilkan pada waktu agregasi protein melalui interaksi non kovalen (Zayas, 1997).
50
Denaturasi protein juga disebabkan oleh penyimpanan beku, yang dipercepat dengan adanya proses penggilingan/pencincangan.
Degradasi
enzimatis dari trimetilamin (TMAO) menjadi dimetilamin (DMA) dan formaldehida dapat menyebabkan beberapa kerusakan tekstural. Kerusakan ini terjadi
karena
adanya
formaldehid
yang
berikatan
dengan
protein
(Gratham,1981). 2. Lemak Nugget Ikan umumnya terdiri atas asam-asam lemak yang mempunyai berat molekul tinggi dari berbagai panjang rantai karbon yang berbeda antara 12 - 26 atom karbon. Jumlah asam lemak jenuh adalah 17-21 % dan asam lemak tidak jenuh 79-83 % dari seluruh asam lemak yang ada dalam daging ikan (Hadiwiyoto, 1993). Kadar lemak nugget daging merah tuna selama penelitian tercantum pada Gambar 16. Semakin lama penyimpanan semakin rendah kadar lemak. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar lemak (Lampiran 11).
Hasil uji lanjut Tukey
menunjukkan bahwa kadar lemak antar perlakuan berbeda (Lampiran 12). 45
40.00
e
Persentase (%) bk
40 35
30.39
d
30 22.86
25 20
18.00
b 16.20
b 13.80
15
c
a
10 5 0 DP0
B0
DP1
B1
DP2
B2
Perlakuan
DP0 : Daging Putih (0 bulan) DP1 : Daging Putih (1 bulan) DP2 : Daging Putih (2 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B1 : Daging Merah (1 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 16 Kadar lemak nugget daging merah tuna Penurunan kadar lemak pada penyimpanan satu dan dua bulan dapat disebabkan oleh peristiwa kerusakan lemak berupa reaksi-reaksi hidrolisis
51
maupun oksidatif. Oleh karena daging merah tuna lebih banyak mengandung lemak yaitu asam lemak tak jenuh dimana asam lemak tak jenuh cepat sekali mengalami oksidasi. Kadar lemak daging merah tuna lebih tinggi dari daging putih (Suzuki, 1981). Learson dan Kaylor (1990) menyatakan bahwa daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung myoglobin. Daging merah mengandung myoglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak (Okada, 1990). Ikan tuna mempunyai kadar lemak sebesar 8 % yang terdiri dari 2,2 % asam lemak jenuh, (palmitat 1,6 %, stearat 0,3 %) dan 5,2 % asam lemak tidak jenuh (oleat 1,4 %, linoleat 0,2 % dan lain- lain 3,6 %). Komposisi asam lemak ikan berbeda bergantung jenis ikan, makanannya dan musim (Almatsier, 2002). Menurut Hultin (1993)
Komponen yang penting yang menyebabkan
oksidasi lipid pada daging merah adalah antara lain : vascular system, haemoglobin, myoglobin, mitokondria, lipid, tokoperol, lipolytic enzim, Fe, Cu, ascorbat, histidin. Daging merah mempunyai dua kemampuan yaitu : pro-oksidasi dan sangat sedikit antioksidasi. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak.
Otooksidasi dimulai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor- faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak dan hidroperoksida. logam- logam berat seperti Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksidase.
Molekul lemak yang
mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi yang memecah hidroperoksida dan menghasilkan senyawa-senyawa seperti aldehid dan keton (Hultin, 1993). 3. Kadar Air Kadar air nugget perlakuan selama penelitian tercantum pada Gambar 17. Semakin lama masa penyimpanan semakin rendah kadar air nugget. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata
52
(p<0,01) terhadap kadar air (Lampiran 13). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa kadar air antar perlakuan berbeda (Lampiran 14). Semakin lama waktu penyimpanan, daya ikat air akan semakin menurun yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah air bebas. 80
75.50
d 70.50
b
73.47
cd 68.90
ab
72.50
bc
Persentase (%)
70
67.50
a
60 50 40 30 20 10 0 DP0
B0
DP1
B1
DP2
B2
Perlakuan
DP0 : Daging Putih (0 bulan) DP1 : Daging Putih (1 bulan) DP2 : Daging Putih (2 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B1 : Daging Merah (1 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 17 Kadar air nugget daging merah tuna Menurunnya kadar air disebabkan oleh terjadinya degradasi protein miofibril (aktin dan miosin) sehingga protein tidak dapat mengikat air
lagi
dengan baik. Penyimpanan beku menyebabkan penurunan kadar air karena desikasi atau penarikan air oleh evavorator (Hadiwiyoto, 1993). Stansby (1963) menyatakan jumlah air yang dilepaskan dipengaruhi oleh lama pembekuan, suhu pembekuan dan suhu pencairan. penyimpanan beku semakin banyak air yang dilepaskan.
semakin lama jumlah air yang
dilepaskan kira-kira 1 – 20 %. Penurunan ini ada hubungannya dengan WHC, diduga berkurangnya sifat hidrofilitas sehingga menurunkan kemampuan mengikat air karena proses pencucian terjadi pengurangan air dan pada saat penyimpanan terjadi denaaturasi protein yang menyebabkan berkurangnya gugus hidrofilik. Sent et al (1981) menyatakan jumlah air yang diserap terutama sekali bergantung pada jumlah dan kemampuan gugus hidrofilik untuk melakukan ikatan hidrogen dengan air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Scott et al. (1988 yang diacu Afrianto, 1995) dimana kadar air akan menurun dengan meningkatnya lama penyimpanan beku.
53
4. Kadar Abu Kadar abu ini menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang menguap. Besarnya kadar abu pada produk nugget, diduga karena bahan baku yang digunakan adalah bahan pangan hewani yang cukup tinggi kandungan abunya. Sudarmaji et al (1989) menyatakan bahwa makanan yang berasal dari hewani mengandung kadar abu yang tinggi, hal ini disebabkan oleh kandungan beberapa mineral seperti kalsium, besi dan fosfor. Kadar abu nugget perlakuan selama penelitian tercantum pada Gambar 18. Semakin lama penyimpanan semakin rendah kadar abu nugget. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar abu (Lampiran 15). 8
7.10
b 6.80
Persentase (%) bk
7
b 6.20
6 4.50
5
a 4.20
b
a 4.00
a
4 3 2 1 0 DP0
B0
DP1
B1
DP2
B2
Perlakuan DP0 : Daging Putih (0 bulan) DP1 : Daging Putih (1 bulan) DP2 : Daging Putih (2 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B1 : Daging Merah (1 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 18 Kadar abu nugget daging merah tuna Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan nugget daging merah tanpa penyimpanan beku dan penyimpanan beku berbeda dengan kontrol (Lampiran 16). Penurunan kadar abu tidak terlalu mempengaruhi kandungan gizi nugget karena mineral yang dibutuhkan oleh tubuh tidak sebanyak protein. Metode pengolahan seperti leaching dan pengukusan mempengaruhi kandungan mineral pada nugget. Pengolahan dengan pengukusan air menyebabkan mineral berkurang lebih banyak (Karmas, 1982).
Mineral umumnya tidak mengalami
kerusakan dan penurunan selama pengolahan, kecuali mengalami leaching (Andarwulan dan Purwiyato, 2004).
54
Tingginya kadar abu yang diperoleh dibandingkan dengan hasil- hasil penelitian produk olahan daging merah selama ini diduga karena daging merah yang digunakan mengandung kulit tuna bagian lateral dan serpihan tulang yang terikut saat pengolahan. Tetapi prosentase kadar abu nugget daging merah lebih rendah dibandingkan dengan nugget daging putih tuna. Menurut de Man (1997) penyebaran mineral antara bentuk terlarut dan bentuk tak terlarut. Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein.
Karena mineral terutama berasosiasi
dengan bagian daging non lemak. Daging yang tidak berlemak biasanya kandungan mineralnya atau kadar abunya tinggi. Mineral yang terdapat pada ikan tuna adalah kalsium, fosfor, besi dan sodium. Menurut Ilyas (1982) kandungan mineral pada ikan terdapat dalam jumlah kecil tapi sangat penting bagi tubuh manusia. Misalnya brom (Bro), magnesium (Mg), selenium (Se), arsen (As), kobal (Co,) serta mengandung iodium (I) dan kalsium (Ca) dalam jumlah yang cukup besar.
5. pH Nugget Daging Merah Nilai pH suatu bahan makanan menunjukkan derajat keasaman makanan. Nilai pH pada makanan akan mempengaruhi mikroorganisme yang dapat tumbuh. Jasad renik yang dapat tumbuh pada kisaran pH 3 - 6 (Fardiaz, 1989). Nilai pH nugget perlakuan selama penelitian tercantum pada Gambar 19. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai pH (Lampiran 17). Perubahan pH pada nugget yang disimpan beku terjadi karena menggunakan daging merah tuna yang merupakan protein sarkoplasma yang mempunyai pH isoelektrik yang tinggi, mengandung enzim- enzim yang terlibat dalam metabolisme energi seperti glikolisis (Xiong dalam Nakai, 2000). Kisaran nilai pH pada nugget selama pembekuan memenuhi kisaran yang dianjurkan oleh Shimizu, et al (1992) bahwa kisaran pH optimum untuk pembentukan gel
yaitu 6,5 -7,5. Pembekuan mengurangi atau memperlambat
kegiatan enzim dalam metabolisme. Sesuai dengan hasil penelitian Arannilewa, et al (2005) pH ikan Nile Tilapia mengalami peningkatan selama penyimpanan beku 0, 1 dan 2 bulan. Kondisi daging ikan tersebut telah mengalami kekakuan
55
dan proses kekakuan daging ikan pada pH sekitar netral dikatakan sebagai proses kekakuan alkalis (Hadiwiyoto, 1993). 8 6.42
6.26
DP
B0
6.72
6.60
B1
B2
Nilai pH
6
4
2
0 Perlakuan DP : Daging Putih B1 : Daging Merah (1 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 19 Nilai pH nugget daging merah tuna
Pada daging ikan segar nilai pH mula- mula kurang lebih 6,4 - 6,6 karena rendahnya cadangan glikogen dalam daging ikan. Setelah ikan mati pH terendah yang yang dapat dicapai hanya 6,2, kecuali pada jenis tertentu misalnya ikan gepeng (flat fish) nilai pH : 5,5. 6. Analisis TVN (Total Volatile Nitrogen) Pengukuran TVN (Total Volatile Nitrogen) pada produk nugget digunakan sebagai petunjuk adanya kebusukan bahan makanan yang mengandung protein. Pola peningkatan nilai TVN berhubungan dengan kegiatan bakteri proteolitik dalam menguraikan protein menjadi senyawa protein yang lebih sederhana dan menguraikan TMAO (Trimetil Amin Oksida) menjadi TMA (Trimetil Amin). Semakin tinggi aktifitas bakteri maka semakin tinggi nilai TVN. Kadar TVN nugget selama penelitian tercantum pada Gambar 20.
Hasil
sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar TVN nugget (Lampiran 18).
56
TVN (mg N/100 g)
15.0
12.5
b
12.5 10.0
7.1
a
7.4
a
7.7
a
7.5 5.0 2.5 0.0 DP
B0
B1
B2
Perlakuan DP : Daging Putih B1 : Daging Merah (1 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 20 Kadar TVN nugget daging merah tuna Hasil uji lanjut Tukey merah
menunjukkan bahwa perlakuan nugget daging
berbeda dengan kontrol selama penyimpanan beku (Lampiran 19).
Penyimpanan beku dapat mempengaruhi nilai TVN.
Penurunan suhu
menyebabkan enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau lebih mendekati inaktifasi enzim, hal ini menyebabkan proses penguraian senyawa
protein
menjadi senyawa yang lebih sederhana terhambat. Terhambatnya proses tersebut menyebabkan terhentinya atau melambatnya produksi senyawa-senyawa asam amino volatil. Kadar TVN dipengaruhi oleh nilai TVN bahan baku awal dan kadar protein yang terdapat pada bahan baku. Nilai TVN daging merah lebih rendah dari daging putih karena kadar protein yang terdapat pada daging merah lebih rendah dari daging putih sehingga senyawa organik yang akan diuraikan oleh bakteri proteolitik juga lebih sedikit. Kadar TVN nugget daging merah selama penelitian masih layak untuk dikonsumsi. Kadar TVN maksimal untuk makanan yang berasal dari ikan adalah 30 mg N/100 g (Connel, 1980).
7. Analisis TPC ( Total Plate Count) Nilai Total Plate Count (TPC ) nugget selama penelitian tercantum pada Tabel 7. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku tidak
57
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai TPC nugget daging merah tuna (Lampiran 20). Tabel 7 Nilai TPC nugget daging merah tuna
Perlakuan
Parameter DP TPC (cfu/g) Keterangan :
B0 3
4,6x10
B1 3
5,3x10
DP : Daging Putih B1 : Daging Merah (1 bulan)
B2 3
7,0x10
7,2x103
B0 : Daging Merah (0 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Kisaran nilai TPC pada nugget masih dapat ditolerir karena masih di bawah batasan nilai maksimal nilai TPC untuk produk perikanan berdasarkan SNI tahun 1992 yaitu 104 CFU/g. Suhu beku dapat menyebabkan penarikan air bebas yang terdapat pada produk sehingga water activity menjadi rendah. Hal tersebut mengakibatkan aktifitas bakteri terhambat dan suhu yang rendah menyebabkan enzim menjadi inaktif sehingga tidak dapat menguraikan bahan organik yang terdapat pada produk.
Karena tidak adanya bahan-bahan yang terurai maka
bakteri tidak dapat memperoleh makanan dari subtratnya dalam hal ini adalah nugget. Untuk menghambat tumbuhnya bakteri dalam jangka waktu yang lama, diperlukan suhu -120 C sampai -180 C. Penyimpanan beku nugget menggunakan suhu -180 C,
mendukung penghambatan pertumbuhan mikroorganisme pada
nugget daging merah tuna. Pembekuan dapat membunuh sebagian mikroba di dalam produk, tetapi tidak seluruhnya (Winarno dan Betty, 1982). Mikroba yang mampu bertahan akan tumbuh setelah pencairan (thawing)
dan akan terus
berkembang selama proses selanjutnya. Penanganan bahan pangan yang memenuhi rantai dingin sebelum pengolahan dengan pembekuan dapat menghindari pertumbuhan mikroba.
8. Analisis Bilangan Peroksida Bilangan peroksida merupakan pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan melalui reaksi oksidasi oleh peroksida dalam lemak/minyak pada suhu ruang di
58
dalam medium asam asetat/kloroform (Apriyantono, et al. 1989). Bilangan peroksida mudah ditentukan kadarnya pada lemak. Bilangan peroksida sering digunakan untuk mengukur perkembangan oksidasi dalam produk yang mengandung lemak (de Man, 1997). Kadar bilangan peroksida nugget daging merah selama penelitian tercantum pada Gambar 21. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar bilangan peroksida
nugget daging merah (Lampiran 21). Hasil uji lanjut Tukey
menunjukkan bahwa kadar bilangan peroksida nugget antar perlakuan daging
Bilangan Peroksida (millimol/g)
merah tuna berbeda (Lampiran 22). 10 8.33 8 6
6.67 4.81
d
c
b 3.77
4
a
2 0 DP
B0
B1
B2
Perlakuan
DP : Daging Putih B1 : Daging Merah (1 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 21 Kadar bilangan peroksida nugget daging merah tuna Kadar asam lemak yang tinggi pada daging merah menyebabkan terjadinya oksidasi. Pembekuan tidak dapat menghambat reaksi oksidasi tetapi hanya memperlambat. pembekuan.
Enzim lipase tetap melakukan aktifitasnya selama
Energi yang dibutuhkan selama beraktifitas sangat sedikit. Dan
oksigen yang tidak digunakan oleh mikroba digunakan oleh enzim lipase dalam melakukan reaksi oksidasi. Bilangan peroksida pada nugget daging merah selama penyimpanan masih di bawah standar produk perikanan yang mengalami ketengikan adalah sebesar 10-20 millimol/g (Connel, 1980).
Bilangan peroksida ini memberi indikasi
adanya oksidasi namun belum terjadi ketengikan oleh reaksi oksidasi primer. Warna pada daging ikan berasal dari heme dan mioglobin.
Heme yang
59
mengandung Fe jika mengalami pemucatan warna pada daging ikan menyebabkan ikatan rangkap hemenya akan terputus.
Terputusnya ikatan heme tersebut
menyebabkan tidak dapat mengikat oksigen, hal ini mengurangi ketengikan pada produk nugget. Pada makanan yang berasal dari laut, transisi metal dilakukan oleh besi yang merupakan proses lingkaran redoks dan penting dalam kontribusinya pada aktivasi oksigen. Sebagian besar dari besi dalam otot ikan ditemukan dalam heme protein yaitu hemoglobin dan myogblobin. Keduanya merupakan pigmen utama dan larut dalam air. Ferritin merupakan protein terlarut yang mempunyai fungsi untuk menyimpan besi sebelum digunakan oleh proses biosintesis di dalam sel (Hultin, 1993). 9. Analisis TBA (Thiobarbaituric Acid) Pengukuran asam tiobarbiturat ini dilakukan untuk mengetahui adanya reaksi lebih lanjut pada lemak yang menyebabkan ketengikan pada nugget. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat ketengikan.
Kadar TBA nugget selama
penelitian tercantum pada Gambar 22. Semakin lama penyimpanan beku semakin tinggi kadar TBA nugget daging merah tuna. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar TBA nugget (Lampiran 23). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa kadar TBA perlakuan nugget daging merah penyimpanan beku nol bulan dan nugget daging merah penyimpanan beku satu bulan dan kontrol berbeda dengan nugget daging merah tuna penyimpanan dua bulan (Lampiran 24). Ini berarti semakin lama masa penyimpanan beku hanya mampu menekan tingginya laju oksidasi tetapi tidak dapat menghentikan jumlah lemak yang teroksidasi. Angka malonaldehid cenderung meningkat dan tidak teruapkan selama pembekuan dan terakumulasi di dalam nugget selama penyimpanan pada suhu rendah sehingga tertahan di dalam struktur gel. Kadar TBA nugget daging merah selama penyimpanan beku masih di bawah standar
kadar TBA untuk hasil perikanan
yaitu 1-2 malonaldehid/g
60
(Connell, 1980). Schwartz dan Watts (1957 dalam Borgstrom,1965) menemukan deteriosasi ya ng diakibatkan oleh oksidasi lemak pada oyster yang telah dikukus selama penyimpanan beku. 0.7 0.58
Bilangan TBA (mg malanoldehid/kg)
0.6 0.5 0.4
0.34
a
0.38
a
0.40
b
a
0.3 0.2 0.1 0 DP
B0
B1
B2
Perlakuan DP : Daging Putih B1 : Daging Merah (1 bulan)
Gambar 22
B0 : Daging Merah (0 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Kadar TBA nugget daging merah tuna
Olcot (1972) menjelaskan bahwa proses oksidasi lemak pada ikan beku lebih cepat terjadi selama pembekuan.
Aktifitas mikroba terhenti sehingga
oksigen yang biasanya dipergunakan oleh mikroba tersedia bagi oksidasi lemak. Pembekuan akan memekatkan larutan dalam sel sehingga komponen metalik seperti heme menjadi pekat dan ini dapat mempercepat ketengikan. Menurut Afrianto (1995) rata-rata kadar TBA sosis semakin meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan beku, yaitu berkisar antara 0,35 hingga 4,93 mg malonaldehid/kg. Peningkatan TBA pada nugget beku sampai minggu ke 5 sebesar 3 mg malonaldehid/kg (Syartiwidya, 2003). Daging merah mengandung mioglobin dan haemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya oleh lemak (Okada, 1990). Lebih adari 80 % protein dari daging merah tuna adalah mioglobin dan haemoglobin, kandungan mioglobinnya lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990).
Hal tersebut yang mendukung
terjadinya oksidasi. Nilai TBA yang diperoleh selama penyimpanan nugget beku meningkat tetapi belum menimbulkan bau tengik dan masih mempunyai aroma ikan yang khas.
61
10. Kadar Histamin Histamin merupakan senyawa hasil dekarboksilasi asam amino histidin (aamino-ß-imidazol asam propionat). Histamin menyebabkan keracunan apabila terserap melalui makanan dalam dosis tinggi. Histamin banyak terdapat pada daging merah ikan. Adanya histamin dalam makanan menandakan adanya kerusakan makanan akibat penanganan yang tidak baik. 30 Kadar Histamin (ppm)
25.20 25 20.20 20 15.60
a
16.20
c
b
a
15 10 5 0 DP
B0
B1
B2
Perlakuan DP : Daging Putih B1 : Daging Merah (1 bulan)
B0 : Daging Merah (0 bulan) B2 : Daging Merah (2 bulan)
Gambar 23 Kadar histamin nugget daging merah tuna Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar histamin nugget daging merah tuna (Lampiran 25). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa kadar histamin antar perlakuan nugget daging merah tuna penyimpanan satu bulan dan dua bulan berbeda dengan kontrol kecuali nugget perlakuan daging merah tuna penyimpanan nol bulan (Lampiran 26). Pada Gambar 23 memperlihatkan bahwa
selama
pembekuan tetap terbentuk histamin pada produk nugget. Walaupun demikian kadar histamin yang terbentuk selama penelitian masih di bawah ambang batas yang dapat ditoleransi yaitu : 5 mg/100g (50 ppm) sesuai dengan FDA (1995 yang diacu Kim et al, 2002). Adanya peningkatan histamin selama penyimpanan beku diduga karena pengaruh penanganan yang kurang baik pada bahan baku. Bahan baku awal yang digunakan adalah fillet daging tuna yang telah beku yang juga dipengaruhi oleh kondisi awal dari bahan baku pasca tangkap di atas kapal saat penanganan serta kondisi penyimpanan beku
62
yang suhunya berfluktuasi. Sehingga enzim dekarboksilase dan mikroba dapat aktif lagi sesuai kondisi suhu optimumnya atau suhu yang ditoleransi. Keadaan ini dapat memberi peluang bakteri yang ada untuk berkembang untuk menghasilkan histamin dan pemecahan histidin oleh enzim. Penangkapan yellowfin tuna dengan long line selama 20 jam dengan temperatur air laut 25,80 C. Walaupun tuna diberi es, menyebabkan Scombroid Poisoning di Pennsylvania (CDC 2000 yang diacu Kim et al, 2002). Istilah Scombroid adalah merupakan istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan ikan yang secara alami telah mengandung senyawa toksin dalam tuna, mackarel dan ikan- ikan sejenis tuna lainnya terutama ikan yang memiliki daging merah yang banyak. Hampir seluruh hasil penelitian berpendapat bahwa histamin terbentuk karena kondisi penanganan yang tidak memenuhi rantai dingin dan membiarkan ikan kontak dengan udara dalam jangka waktu yang lama serta suhu yang sering mengalami fluktuasi, walaupun telah mengalami pembekuan.
Rusaknya asam
amino histidin dan enzim yang menduk ung kerja dari bakteri yang menyebabkan akumulasi histamin pada produk perikanan yang sifatnya perishable. Menurut Stratton and Taylor (1991) histamin tidak mempunyai bau dan warna yang mengindikasikan keberadaannya di dalam makanan. Sifatnya stabil karena tidak mudah untuk dibuang atau dirusak dengan pemasakan, tekanan ataupun pembekuan. FDA (1995 yang diacu Kim et al, 2002) menetapkan pedoman HACCP histamin sebesar 5 mg/100 g pada daging ikan. Histidin bebas yang terdapat pada daging ikan erat sekali berhubungan dengan terbentuknya histamin.
Histamin di dalam daging ikan diproduksi oleh enzim yang
menyebabkan dan meningkatkan pecahan histidin melalui proses dekarboksilasi (potongan gugus karboksil). Level tertinggi akumulasi histamin pada otot daging ikan selama penyimpanan adalah pada suhu 250 C dibandingkan pada suhu 370 C, walaupun tidak terdapat perbedaan populasi bakteri. Pada suhu 150 C merupakan level yang sifnifikan untuk akumulasi histamin dan peningkatan populasi bakteri. Akumulasi histamin pada semua otot ikan 0
berkaitan dengan
panjangnya waktu
penyimpanan. Pada suhu 4 C, aktivitas histidine dekarboksilase pada M. Morganii
63
membentuk histamin dan stabil selama 96 jam pada 4 – 240 C tetapi tereduksi sebesar 5% setelah 24 jam masa inkubasi pada suhu 370 C (Baranowski et al., 1985 yang diacu Kim, Price, Morriseyy, Filed, Wei and An, 2002).
C PENELITIAN LANJUTAN 2 Pada tahap penelitian lanjutan 2 diamati nilai biologis protein secara in vivo pada tikus Sprague Dawley pada usia sapih 21-23 hari kemudian dilakukan adaptasi selama 4 hari dengan pemberian ransum kasein sesuai standar (AOAC 1990 yang diacu Muchtadi, 1993). 1. Formulasi Ransum Pada Tabel
8 disajikan rekapitulasi hasil analisis proksimat kasein,
nugget daging putih, nugget daging merah penyimpanan nol bulan, nugget daging merah penyimpanan satu bulan
dan nugget daging merah penyimpanan dua
bulan. Data hasil proksimat tersebut dijadikan dasar perhitungan untuk formulasi ransum tikus yang digunakan dalam percobaan.
Persamaan yang digunakan
dalam perhitungan berdasarkan AOAC (1984 yang diacu Muchtadi, 1993). Komposisi bahan untuk pembuatan 100 g ransum dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel. 8 Rekapitulasi analisis proksimat Kasein, DP, B0, B1 dan B2 DP B0 B1 B2 Jumlah (% berat kering) Protein 80,30 61,68 57,52 62.63 61.03 Lemak 0,50 1,08 4,17 1.99 2.66 Air 11,20 12,10 10,72 13.10 15.59 Abu 3,50 5,77 11,60 9.75 8.85 serat 0,30 0,47 0,79 0.42 0.54 Karbohidrat lain *) 4.20 18.90 15,20 12.11 11.33 Keterangan : *) Karbohidrat dihitung by difference DP = Tepung nugget daging putih tuna B0 = Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0 bulan B1 = Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 1 bulan B2 = Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 2 bulan Kandungan
Kasein
64
Tabel. 9 Komposisi bahan untuk pembuatan ransum 100 g Komposisi bahan (g) Sumber protein Minyak jagung Mineral mix Vitamin Selulosa Air Pati Jumlah
Kasein 12,45 7.94 4.56 1.00 0.96 3.61 69.48 100.0
Perlakuan Non Protein DP B0 16.21 17.39 8 7.85 7.84 5 1.00 4.94 1 1.00 1.00 1 0.84 0.83 5 4,96 4.93 80 64.24 63.07 100.0 100.0 100.0
B1 15.96 7.86 4.98 1.00 0.845 4.97 64.41 100.0
B2 16.62 7.86 4.93 1.00 0.84 4.99 64.06 100.0
Gambar 24 Tepung nugget daging putih tuna (DP), tepung daging merah tuna penyimpanan nol bulan (B0), tepung daging merah tuna penyimpanan satu bulan (B1) dan tepung daging merah tuna penyimpanan dua bulan (B2)
2 Perkembangan Berat Bada n, Jumlah Konsumsi Ransum dan Efisiens i Ransum Tikus Selama Percobaan. Laju pertambahan berat badan tikus selama percobaan antara setiap perlakuan pada semua grup umumnya meningkat, kecuali pada perlakuan tikus dengan ransum non protein tidak mengalami peningkatan. Peningkatan berat badan tikus sangat berhubungan dengan asupan protein dari ransum yang dikonsumsi. Peningkatan berat badan tikus ini berkaitan dengan umur tikus yang
65
tidak akan berhenti bertumbuh sampai dengan umur 100 hari, meskipun dengan kecepatan yang menurun (Muchtadi, 1993). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap pertambahan berat badan tikus (Lampiran 27) dan hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan ransum tepung nugget daging putih dan daging merah tuna berbeda dengan kasein tetapi antara ransum tepung nugget daging tuna tidak berbeda (Lampiran 28). dan Tabel 10. Pada semua perlakuan tikus yang diberi ransum : tepung nugget daging putih tuna, tepung nugget daging merah tuna penyimpanan nol bulan, satu bulan dan dua bulan menunjukkan pertambahan berat badan yang besar dibandingkan tikus yang diberikan ransum kasein. Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap pertambaha n berat badan tikus, jumlah konsumsi ransum dan efisiensi ransum Parameter Perlakuan Kasein
Pertambahan berat (g) 53,8 ± 5,5b
Jumlah konsumsi ransum (g bk) 231,4 ± 19,0b
Efisiensi ransum (%) 23,37 ± 2,9b
Non Protein
-8,4 ± 14,6a
153,6 ± 14,6a
-5,41 ± 8,8a
DP
94,8 ± 9,5d
321,2 ± 55,9d
30,22 ± 5,8c
B0
89,6 ± 20,2cd
313,4 ± 34,3cd
28,35 ± 4,1c
B1
88,4 ± 6,9cd
316,4 ± 23,7cd
27,97 ± 1,6c
B2
82,0 ± 6,9c
285,8 ± 22,9c
28,71 ± 1,5c
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada a = 0,01 (Uji Tukey) Hal tersebut menunjukkan bahwa ransum tepung nugget daging putih tuna dan nugget daging merah tuna dengan dan tanpa penyimpanan beku, memenuhi kebutuhan protein untuk pertumbuhan tikus percobaan. Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak dan mineral yang sangat baik dan lengkap. Astawan, (2004) menyatakan bahwa keunggulan utama protein ikan dibandingkan produk lainnya terletak pada kelengkapan komposisi asam aminonya dan kemudahannya untuk dicerna. Muchtadi (1993) menyatakan bahwa protein yang
66
mudah dicerna (dihidrolisis) oleh enzim-enzim pencernaan, serta mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap serta dalam jumlah yang seimbang, merupakan protein yang bernilai gizi tinggi. Fungsi protein utama bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh, zat pengatur dalam tubuh, mengganti bagian tubuh yang rusak serta melindungi /mempertahankan tubuh dari serangan penyakit (Sediaoetama, 1991).
Bila
mengkonsumsi ransum tanpa protein, maka nitrogen yang hilang (obligatory nitrogen) pasti berasal dari protein tubuh yang dipecah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, sehingga pertumbuhan terganggu dan berat badan menjadi menurun. Berdasarkan hasil pengamatan pada tikus dengan ransum non protein, tikus perlakuan tersebut mengalami penurunan berat badan sebesar 8,5 %. Kebutuhan proteinnya diperoleh dengan cara memecah protein yang terdapat pada otot daging dan digunakan hanya sebagai maintenance,
tidak
bertindak
sebagaimana fungsinya. Nitrogen yang dikeluarkan dari tubuh merupakan hasil buangan metabolisme protein, karena itu jumlah protein yang terbuang mewakili jumlah protein yang harus diganti. Secara normal protein yang diganti diperoleh melalui asupan makanan (ransum). Kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorbsi dan transportasi zat- zat gizi, sehingga ransum yang dikonsumsi tidak dapat diabsorbsi dan tidak akan menambah massa otot. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Read (2002 yang diacu Handayani, 2005) yang menyatakan bahwa konsumsi protein dan energi yang rendah akan menyebabkan penurunan berat badan dan massa otot termasuk massa organ internal. Muchtadi (1993) menjelaskan bahwa peningkatan dan pertambahan massa otot hanya mungkin terjadi apabila tersedia protein dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan dan penggantian jaringan. Akibat tidak adanya energi dan kurangnya asupan protein maka kondisi tubuh menjadi lesu menyebabkan
berkurangnya aktivitas dan
nafsu makan.
Tikus non protein banyak berdiam diri di sudut kandang dan kurang na fsu makan sehingga ransum banyak yang tersisa.
Penelitian yang dilakukan Du
Higginbotham dan White (2000) melihat bahwa penurunan konsumsi protein
67
(kasein) dari 10 % menjadi 2 % dalam diet tikus akan mengakibatkan penur unan berat badan, air tubuh, berat karkas dan energi tubuh. Kelesuan pada grup tikus ini diduga
akibat terjadinya gangguan
neurotransmitter dan transpor elektron, yang akhirnya menurunkan kelincahan dan nafsu makan tikus (Handayani, 2005). Lebih jelas Koolman (1996 yang diacu Handayani, 2005) menyatakan bahwa fungsi dari komponen amino adalah sebagai subtansi signal, dimana substansi signal yang penting adalah GABA (yaminobutyrate) yang merupakan derivat glutamat. Hilangnya nafsu makan diduga akibat terganggunya penyampaian signal lapar ke otak sehingga tidak ada perintah untuk makan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan beku berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap efisiensi ransum (Lampiran 29) (pertambahan berat badan/jumlah konsumsi ransum x 100 %). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan ransum tepung nugget daging putih dan daging merah tuna berbeda dengan kasein (Lampiran 30). Nilai efisiensi ransum tepung nugget daging putih, tepung nugget daging merah tuna penyimpanan nol bulan, satu bulan dan dua bulan lebih besar dibandingkan perlakuan kasein. Hal tersebut menunjukkan bahwa ransum tepung nugget daging putih, tepung nugget daging merah tuna penyimpanan nol bulan,
satu bulan dan dua
bulan lebih efisien dalam meningkatkan berat badan. Adapun jumlah konsumsi ransum berkisar antara 285,8 -321,2 g dan efisiensi berkisar antara 27,97 – 30,22 %.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa masa penyimpanan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah konsumsi ransum (Lampiran 31). Dari hasil uji lanjut Tukey diperoleh bahwa nilai antar perlakuan berbeda (Lampiran 32). Pada nugget daging putih tuna dimana kandungan proteinnya lebih tinggi tentunya mempengaruhi daya cerna, jumlah konsumsi dan efisinsi yang tinggi dibandingkan daging merah yang lebih sedikit kandungan proteinnya. Protein merupakan salah satu penghasil utama energi. Jadi bila energi kurang cukup di dalam hidangan, maka protein lebih banyak yang dikatabolisme menjadi energi.
Hal ini berarti semakin kurang protein yang tersedia untuk
keperluan lain, termasuk untuk sintesa protein tubuh. Tepung nugget daging
68
putih dan tepung nugget merah ikan penyimpanan nol, satu dan dua bulan menghasilkan warna yang berbeda. Pada
Gambar 24 memperlihatkan bahwa tepung
daging putih
mempunyai warna kuning terang, tepung nugget warna merah penyimpanan 2 bulan berwarna agak kekuningan hampir sama dengan warna tepung nugget daging putih. Diduga pada tepung nugget penyimpanan beku dua bulan terjadi pemucatan warna yang lebih besar akibat adanya degradasi warna tunaxantin karena pembekuan dan waktu pembekuan yang lebih lama. Pigmen warna pada daging merah
tuna selain mioglobin
dan haemoglobin, juga tunaxant hin.
Tunaxanthin akan mengalami pengurangan warna akibat pembekuan (Simpson, 1963) Pada tepung nugget
penyimpanan nol bulan berwarna kecoklatan
demikian pula tepung nugget daging merah penyimpanan satu bulan berwarna coklat muda. Kedua tepung nugget tersebut memiliki aroma khas ikan yang kuat dibandingkan
dengan tepung daging putih dan tepung nugget daging merah
penyimpanan dua bulan mempunyai aroma lebih wangi khas ikan. Tepung daging putih dan tepung nugget daging merah penyimpanan dua bulan memiliki tekstur yang halus dibandingkan tepung nugget daging merah penyimpanan nol bulan dan satu bulan. Lama penyimpanan beku berpengaruh terhadap tekstur. Nugget daging merah penyimpanan dua bulan lebih lunak sehingga saat penepungan menghasilkan tekstur yang lebih halus dibandingk an dengan nugget daging merah penyimpanan nol bulan dan satu bulan. Perbedaan warna yang dimiliki oleh tepung nugget tersebut terjadi akibat pengolahan bahan pangan berprotein. Menurunnya nilai gizi protein pangan dan timbulnya warna pigmen coklat (melanoidin) serta flavo ur merupakan reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi maillard terjadi akibat pemanasan pada pangan berprotein tinggi (terutama grup e-amino dari lisin dan grup dari ? –amino N-terminal ) yang juga mengandung gula pereduksi. Hasil pengamatan terhadap tepung nugget memperlihatkan bahwa reaksi Maillard lebih besar terjadi pada tepung nugget daging merah penyimpanan nol bulan karena berasal dari nugget yang tidak diberikan bahan pemucat titanium
69
dioksida. Warna daging merah awal yang banyak mengandung mioglobin dan haemoglobin menyebabkan warna tepung nugget daging merah nol bulan lebih coklat dibandingkan tepung nugget daging merah penyimpanan satu bulan dan dua bulan. Tepung nugget daging merah penyimpanan dua bulan memiliki warna yang agak kekuningan akibat reaksi Maillard yang lebih sedikit terjadi karena mengalami pembekuan yang lebih lama. Karena pigmen warna Tunaxanthin mengalami penurangan warna akibat pembekuan. Sehingga warna lebih terang dibandingkan tepung nugget daging merah penyimpanan satu bulan. Desroiser (1959)
menyatakan pembekuan menyebabkan perubahan cita rasa, perubahan
warna dan kehilangan zat gizi serta kehilangan tekstur pada saat thawing. 3
Evaluasi Mutu Protein Seacara in vivo Uji ini dilakukan untuk menilai mutu protein nugget ikan.
Ada dua
metode pengukuran yaitu metode pertumbuhan dan metode keseimbangan nitrogen. Metode pertumbuhan dihitung berdasarkan hubungan kualitatif antara laju pertumbuhan dengan jumlah protein yang dikonsumsi. Metode keseimbangan nitrogen diukur berdasarkan jumlah N yang dikonsumsi, jumlah N yang diserap dan jumlah N yang ditahan. Dari hasil analisis kadar nitrogen pada ransum yang dikonsumsi (N intake), urine dan feses, dapat dihitung nilai daya cerna (DC) sejati, nilai biologis (NB) dan Net Protein Utilization (NPU) seperti yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Daya cerna sejati, Nilai Biologis dan Net Protein Utilization tepung nugget daging putih dan daging merah dibandingkan dengan kasein Rata-rata
Ransum DC sejati (%)
Nilai Biologis
NPU
Kasein
97,61 ± 0,6ab
97,61 ± 0.5b
96,82 ± 0,8b
DP
98,46 ± 0,7c
92,99 ± 5.8a
91,54 ± 5,3a
B0
98,48 ± 0,4c
92,08 ± 4.7a
90.68 ± 3,9a
B1
98,07 ± 0,7bc
93,11 ± 2,8a
91,29 ± 2,2a
B2
96,81 ± 0,8a
96,81 ± 0,8ab
95,08 ± 0,7ab
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaann nyata pada a = 0,05 (Uji Tukey)
70
Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nya ta (p<0,01) terhadap daya cerna sejati protein (Lampiran 33). Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa ransum perlakuan nugget daging merah penyimpanan beku nol bulan dan nugget daging merah penyimpanan satu bulan berbeda dengan nugget daging merah penyimpanan dua bulan.
Namun nugget daging merah
penyimpanan beku dua bulan tidak berbeda dengan kasein (Lampiran 34). Ransum nugget perlakuan termasuk dalam kategori baik karena memiliki nilai daya cerna sejati di atas 90 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Stansby and Oleott (1983) bahwa mutu protein dari berbagai jenis ikan hampir sama yaitu mempunyai daya cerna 90 – 95 %. Secara umum nilai cerna protein ikan sangat tinggi (lebih dari 90%). Hal ini menunjukkan bahwa ikan sangat mudah dicerna. Dengan demikian ikan dapat digunakan sebagai sumber protein untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Daya cerna protein yang tinggi menunjukkan tingginya daya guna protein bagi tubuh. Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan beku berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai biologis (Lampiran 35). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa ransum perlakuan nugget daging putih, daging merah penyimpanan nol bulan dan satu bulan berbeda dengan kasein namun tidak berbeda dengan nugget daging merah penyimpanan dua bulan (Lampiran 36). Nilai biologis ini dinyatakan sebagai prosentase nitrogen yang diabsorbsi terhadap nitrogen yang ditahan tubuh. Nilai biologis ke empat ransum nugget termasuk tinggi karena di atas 90. Nugget daging putih dan nugget daging merah tuna mempunayi nilai yang hampir sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa protein pada ke empat ransum tersebut mampu berperan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan sel tikus percobaan secara optimal karena me miliki kualitas yang baik. Nilai biologis kasein lebih tinggi dari ke empat ransum perlakuan nugget. Hal ini diduga karena pada pengolahan susu kasein tidak menggunakan tahapan pemanasan seperti halnya yang dialami oleh ransum nugget daging tuna. Ikan merupakan bahan makanan yang mempunyai nilai biologis 80 sampai 90. Baik daging putih maupun daging merah mempunyai nilai biologis yang hampir sama.
71
Daging merah mempunyai kandungan myoglobin tinggi diimbangi dengan banyaknya jaringan pengikat dan pembuluh darah.
Daging putih mempunyai
jenis-jenis protein yang berkualitas tinggi, sedangkan kandungan asam amino kedua macam daging tersebut boleh dikatakan sama.
Penyimpanan tanpa
pendinginan dapat menurunkan nilai biologiknya. Menurut Almatsier (2002) nilai biologis diatas 70 % atau lebih pada suatu makanan mampu memberikan pertumbuhan bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dan konsumsi energi yang mencukupi. Net Protein Utilization (NPU) digunakan untuk mengukur kualitas protein dengan mempertimbangkan nilai cerna antar protein, artinya tidak saja memperhatikan jumlah protein yang ditahan akan tetapi juga jumlah protein yang mampu dicerna.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama penyimpanan
beku berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai NPU protein nugget (Lampiran 37). Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 38) menunjukkan bahwa ransum perlakuan nugget daging putih, daging merah penyimpanan nol bulan dan satu bulan berbeda dengan kasein namun tidak berbeda dengan nugget daging merah penyimpanan dua bulan. Hal ini sejalan dengan data daya cerna dan nilai biologis pada ketiga ransum tepung nugget daging putih, tepung nugget daging merah penyimpanan nol bulan dan dua bulan tersebut juga rendah. Gaman dan Sherrington (1992) menyatakan bahwa NPU menunjukkan prosentase protein dalam produk yang mampu diubah tubuh menjadi protein tubuh. Jadi inti penggunaan protein makanan dapat dikembalikan sebagai penggunaan asam amino yang dihasilkan pada pemecahan protein makanan tersebut. Penggunaan asam amino untuk sintesa protein adalah
melepaskan
gugusan amino atau gugusan karboksil. Proses ini berlangsung melalui proses transaminasi atau deaminasi. Transaminasi ialah suatu asam amino baru yang berbeda dari asam amino asal, tetapi diperlukan oleh tubuh. Sediaoetama (1991) menyatakan perlu asam keto yang strukturnya sejenis dengan asam amino yang hendak dibentuk. Pada deaminasi gugus aminonya dilepaskan dari asam amino asal, selanjutnya diproses dan rekssi siklus dan menghasilkan ikatan organik ureum (urea) yang kemudian dibuang melalui ginjal di dalam urin.
72
Sebagian besar asam amino telah diabsorbsi pada saat asam amino diujung usus halus. Namun karena suatu sebab, absorbsi mungkin tidak terjadi secara komplit. Asam amino yang tidak diabsorbsi ini masuk ke dalam usus besar. Di dalam usus besar terjadi metabolisme oleh mikroflora kolon yang produknya dikeluarkan melalui feses. Karena itu pengukuran kadar nitrogen feses dan urin menjadi hal penting dalam metode ini.
5
A.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitin ini adalah : 1. Perlakuan penambahan konsentrasi titanium dioksida TiO 2 1% efektif sebagai bahan pemucat pada nugget daging merah tuna. 2. Hasil pengujian organoleptik (different test) menunjukkan bahwa : skor warna nugget penambahan TiO 2 1% tidak berbeda nyata dengan kontrol. Skor aroma nugget daging merah perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Skor rasa nugget daging merah tuna tidak berbeda nyata dengan kontrol. Skor tekstur nugget daging merah tuna berbeda nyata dengan kontrol. 3. Penambahan TiO 2 tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein nugget daging merah tuna. 4. Komposisi gizi yang diperoleh : kadar protein nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan adalah 42,0 ; 37,9 dan 34,5 %. Kadar lemak nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan adalah 40,0 ; 30,4 dan 22,9 %. Kadar air nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan adalah 70,5 ; 68,9 dan 67,5 %. Kadar abu nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan adalah 4,5 ; 4,2 dan 4,0 %. 5. Evaluasi mutu yang diperoleh : kadar TVN nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan adalah 7,1 ; 7,4 dan 7,7 mg N/100g masih di bawah standar maksimum kadar TVN untuk makanan yang berasal dari ikan yaitu sebesar 30 mg N/100g (Connel, 1990). Nilai TPC nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan adalah : 5,32 x 103 ; 7,0 x 103 dan 7,2 x 103 CFU/g masih di bawah standar yaitu sebesar 104 (BSN, 2003). Kadar TBA nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan manonaldehid/kg
masih
di
diperoleh ;
bawah
standar
0,38 ; 0,4 dan 0,58 yaitu
sebesar
1-2
manonaldehid/kg (Connel, 1980). Kadar Histamin nugget daging merah
74
tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan diperoleh : 16,2 ; 20,2 dan 25,2 ppm, masih di bawah standar yaitu sebesar 50 ppm (FDA, 1995). 6.
Nilai pH nugget
daging merah tuna tidak berbeda nyata selama
penyimpanan 0,1 dan 2 bulan
adalah :
6,1 : 6,7 dan 6,6. Bilangan
Peroksida nugget daging merah tuna selama penyimpanan 0,1 dan 2 bulan diperoleh : 3,8 ; 6,7 dan 8,3 millimol/g masih di bawah standar 10 – 20 millimol/g (Connell, 1980). 7.
Penambahan berat badan tikus sumber protein tepung nugget merah
daging
tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 89,6 g ; 88,4 g dan
82,0 g. 8. Evaluasi mutu protein nugget : daya cerna sejati pada tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 98,5 ; 98,1 dan 96,8 %. Nilai biologis protein nugget daging merah tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 92,1 ; 93,1 dan 96,8. Nilai NPU protein nugget daging merah tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 90,7 ; 91,3 dan 95,1 %
B. SARAN Diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan ke skala pilot plant untuk tujuan komersil.
74
DAFTAR PUSTAKA AOAC, 1984. Official Methods of Analysis. Association of Official. Agricultural Chemists. Washington DC. 1141 hal. Afrianto, E. 1995. Pengaruh Jenis Bahan Baku, Lama Penyimpanan Beku dan Metode Pengasapan terhadap Karakteristik Sosis Ikan. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Andarwulan, N dan Hariyadi, P., 2004. Perubahan Mutu (Fisik, Kimia, Mikrobiologi) selama Pengo lahan dan Penyimpanan Produk Pangan. Pusat Studi Pangan dan Gizi, IPB Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto, 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arpah, 2001. Penentua n Kadar Kadaluarsa Produk Pangan. Buku dan Monograf. IPB. Bogor. Arannilewa, S.T, Salawu, S.O, Sorungbe, A.A and Ola-Salawu, B.B., 2005. Effect on Frozen Period on the Chemical, Microbiological and Sensory Quality of Frozen Tilapia Fish (Sarotherodun galiaenus). African Journal of Biotechnology Vol. 4 (8), pp. 852-855, August, 2005. Astawan, M. 2004. Ikan yang sedap dan bergizi. Tiga Serangkai. Solo. Aswar. 1995. Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila merah (Oreochromis sp ). Skripsi, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Balai Besar Penge mbangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, 2001. Analisis Kadar Histamin. BBPPHP, Jakarta. -----------------------------------------------------------------------, 2003. Maksimalisasi Pemanfaatan Ikan Tangkapan Laut. SEAFDEC dan DIRJEN TANGKAP DKP, Jakarta. Borgstrom, G., 1965. Fish as Food. Volume IV Part 2. Academic Press, Inc. Connel, J.J., 1980. Control Fish Quality. Second Edition. Fishing News Book Ltd Dahuri, R. 2004. Gerakan Makan Ikan, Budaya Bahari, dan Kualitas Hidup Bangsa. Harian Kompas, Jakarta, Senin 14 Juni 2004.
76
De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB. Bandung.
Terjemahan Kosasih Padmawinata.
Depkes, 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1168/Menkes/PER/XI/ 1999 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan, 1983. Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia. Jakarta. -------------------------------------, 2003. Buku Statistika Perikanan, DKP, Jakarta. Djazuli, N., Sutimantoro, A. Chaidir, T. Istihastuti dan Widarto, 2001. Teknologi Pengolahan Surimi dan Produk Fish Jelly. BPPMHP, Jakarta. Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico, Bandung Dyer, W.J and J.R. Dingle. 1961. Fish as Food. Akcademic Press. New York, London. Elingsari, T. 1994. Penggolahan Fish Nugget dari Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson). Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, D. Kamaboko Produk Olahan Ikan yang Berpotensi Dikembangkan. Media Teknologi Pangan. Vol 1 (2). Bogor.
untuk
Fardiaz, S. 1995. Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan di Indonesia, Tantangan dan Harapan Sistem Jaminan Mutu. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. I : 65-73 Girard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis Horwood. New York. Gratham, G.J. 1981. Minced Fish Technology. Review Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Teknologi Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta.
Fakultas
Handayani, C.A., 2005. Pembuatan Tepung Kedelai Kaya Isoflavon melalui Ekstraksi Asetonitril dan Hidrolisis Bromelin serta Evaluasi Nilai Gizi Proteinnya secara Biologis. Hendriawan, B. 2002. Kemampuan Pembentukan Gel Surimi Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus sp) dengan Perlakuan Frekuensi Pencucian, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
77
http://ruby.colorado.edu/~smyth/min/tio2.html [ 10 Juli 2005] http://www.jakartafishport.com/ikan-tuna.jpg [ 2 Agustus 2006] Hultin, H.O. 1993. Oxidation of Lipids in Seafoods In Seafoods : Chemistry, Processing Technology and Quality. Shahidi, F. and J.R. Botta (Eds.). Blackie Academic & Profesional. London. Ilyas, S. 1972. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan . Pendinginan Ikan. Penerbit. CV. Paripurna. Jakarta.
Jilid I.
Teknik
Jebsen, N.D., 1983 Fundamental of Canning T echnology. Thae AVI Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut. Kamallan, M.T. 1988. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengikat dan Sodium Tripolypospat terhadap Mutu dan daya Awet Kamaboko Ikan Pari Kelapa. Skripsi, Fakultas Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Karmas, E. 1982. Meat, Poultry and Sea Food Technology. Recent Development. Noyes Data Corporation, Park Ridge. New Jersey. USA. Kramlich, W.E. 1981. Sausage Product. In : Price, J.F. and B.S. Schewiger (eds). The Science of Meat Product. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Labuza, T.P., 1982. Shelf- life Dating of Foods Westport, Connecticut 06880 USA : Food and Nutrition Press. Inc. Learson, R.J. and J.D. Kaylor. 1990. Pelagic Fish. In The Sea Food Industry. Editor. R.E. Martin and G.J. Flick. Van Nastrand. New York. MacDougall, D.B., 2002. Colour in Food. Improving Quality. Woodhead Publishing Limited and CRC Press, LLC. New York. Maghfiroh, I. 2000. Pengaruh Penambahan Bahan Pengikat Terhadap Karaktristik Nugget dari Ikan Patin (Pangasius hypothalamus). Skripsi, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mallikage, M., 2001. The Effect of Different Cooling System on Quality of Pelagic Species. UNU-Fisheries Training Programme. Marlupi, I. 2003. Desinfeksi Escherichia coli Melalui FotokatalisisTitanium Dioksida (TiO 2 ) Bubuk Fase Rutile. Skripsi. Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB, Bogor.
78
Mannullang, M. dan T. Elingsari. 1995. Hasil Penelitian : Pengaruh Bahan Pengikat dan Emulsifier terhadap Mutu Nugget Ikan (Scomberomorus commerson) selama Penyimpanan Pada Suhu beku. Buletin Tekno logi dan Industri Pangan. Meilgaard, M., Civille, G.V. and Carr B.T., 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Edition. CRC Press. Boca Raton London New York Washington, D.C. p 79-82. Muchtadi, D. 1993. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Muchtadi, T.R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Moeljanto, 1979. Pemanfaatan Limbah Perikanan, Balai Penelitian Teknologi Perikanan. Jakarta. Nakai, S. And H.W Modler, 2000. Food Protein, Processing Application. Wiley VCH. New York. Okada, M. 1990. Fish and Raw Material. In science of Processing Marine Food Product. Vol. I. editor. T. Motohiro, H. Kadota. K. Hashimoto. M. Katayama and T. Tokunaga. Japan International Coorporation Agency. Hyoga International Centre Japan. Pigott, G.M. and B.W. Tucker. 1990. Seafod, Effect of Technology on Nutrition. Marcel Dekker, Inc. New York. Pisula, A. 1984. Meat Processing. FAO, Rome. Italy. Prayitno, E. 2003. Kajian Proses Nugget dari Surimi ikan Manyung (Arius thalassinus) dengan Bahan Tambahan Gelatin dari Kulit Ikan Tuna. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Purnomo, H 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI Press. Pusparini, 2003. Pemanfaatan Tepung Sukun (Altocarphus altilis) sebagai Bahan Pengikat Pada Pembuatan Kamaboko Daging Merah Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Skripsi. Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ratnaningsih, 1999. Pembuatan Nugget Sebagai Pemanfaatan Daging Merah Tuna (Thunnus Obesus). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Hasil Perikanan Dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.
79
Rosenthal, A.J. 1999. Food Texture Measurement and Perception. An Aspen Publication. Gaithersburg, Maryland. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bina Cipta. Jakarta. Sediaoetama, A.J. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Dian Rakyat, Jakarta. Shimizu, Y, Toyohara H and Lanier, T.C. 1992. Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. In Surimi Techology. T.C. Lanier, C.M. Lee (Eds.) New York Marcell Dekker. Sianipar, D. T. 2003. Pengaruh Kombinasi Bahan Pengikat Dan Bahan PengisiTerhadap Sifat Fisik, Kimia Serta Palatibilitas Fish Nugget Dari Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus obesus). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, IPB. Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Stanby, M. 1963. Industry Fishery Technology. Reinhold Publishing Corp. Washington. Stanley, D.W. 1987. Food Texture and Microstruture, In: Moskowitz, H.R. Food Texture, Instrument and Sensory Measurement. Marcel Dekker. New York. Steel. R.G.D. , dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik. Diterjemahkan B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sudarmaji, S., Horyono B.S dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : PAU Pangan & Gizi, UGM. Sudana, A.A. 2003. Deposisi dan Karakterisasi Lapisan Tipis Titanium Doksida (TiO 2 ) dalam Proses Desinfeksi Escherichia coli. Skripsi. Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB, Bogor. Suhendar, 2003. Pemanfaatan Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus albacores) Sebagai Produk Sosis (Frankfurter). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Dan IlmuKelautan, IPB< Bogor. Suzuki, T. 1981. Fish Krill Protein Procesing Technology. Aplied Science Publisher, Ltd. London. Syarief, R. dan H. Halid, 1995. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan. Jakarta.
80
Syartiwidya, 2003. Kajian Tekstur dan Perubahan Mikrostruktur Nugget Ikan Selama Pengolahan dan Penyimpanan. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Taub, I.A. and R.P. Singh , 1998. Food Sotrage Stability. CRC Press. New York. Walstra, P. 1996. Dispersed Systems: Basic Considerations. In Chemestry. Owen F. Fenema. New York : Marcel Dekker, Inc.
:
Food
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. ------------------, 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Watanabe, S. 1990. The Cemisrtry of protein from Marine Animals. In. Food Science of Processing Marine Food Product.. Vol. I. Editor. T. Motohiro, H. Kadota, K. Hashimoto, M. Kayama. T, Tokunaga. Japan International Coorporation Agency. Hyoga. International Centre Japan. www.webelement.com/webelements/compounds.html [ 10 Juli 2005] Xiong, Y.L. 2000. Meat Processing. In: Nakai, S and H.W. Modler. Food Protein, Processing Aplications. Wiley VCH. New York. Young, K.W., S.L. Neuman, A.S. McGill dan R. Hardy. 1980. In The Use of Dilute Solutions of Hydrogen Peroxide of White Fish Fless. J.J. Connell (Ed.) Advances in Fish Science and Technology. Fishing News Book Ltd. Farnham, Surrey, England. Zayas, J.F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer. Germany.
81
Lampiran 1 Contoh format uji pembedaan : Difference from control test Nama Tanggal Pengujian Atribut Sensori
: .................................................... : .................................................... : Aroma
Instruksi Uji : 1. Silahkan dibandingkan sampel yang akan diuji berikut dari kiri ke kanan dengan contoh pembanding (kode K) 2. Hiruplah aroma sampel sebanyak dua kali dengan cara didekatkan pada hidung dengan jarak 10 cm dari hidung. 3. Nyatakan intensitas pebedaan tersebut pada tabel di bawah ini dengan cara diberi tanda check list (v)
Aroma Tidak berbeda Sedikit berbeda Hampir berbeda Berbeda Lebih dari berbeda Sangat berbeda Sangat berbeda sekali
Nilai 0 1 2 3 4 5 6
Kode sampel
82
Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam derajat putih
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 4 1.235,597 308,89 Galat 5 1,9738 0,395 Total 9 1.237,5708 Keterangan : F tab (0,05) = 5,19 dan F tab (0,01) = 11,39 ** = sangat berbeda nyata (p<0,01)
Lampiran 3 Uji Lanjut Tukey derajat putih Perlakuan A0 A1 A2 A3 A4 K
Rata-rata 10.16 10.45 13,92 14,88 22,64 22.85
Superskrip a a b c d d
F Hit 782**
83
Lampiran 4 Uji pembeda warna nugget daging merah tuna Panelis
K (kontrol)
A0 (0 %)
A1 (0,25 %)
A2 (0,50 %)
A3 (0,75 %)
A4 (1 %)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 rata-rata sd n sg s1 -s2 s1 -s3 s1 -s4 s1 -s5 s1 -s6 thit t0,05
0 1 0 2 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0.5 0.607 17
4 6 5 3 5 3 3 6 6 6 4 5 6 4 6 6 2 4.7 1.318 17 1.009 0.346
3 5 1 6 3 2 4 5 5 6 4 3 5 4 5 6 2 4.1 1.474 17 1.111
3 5 3 5 2 3 3 5 5 6 3 3 4 4 3 6 3 3.9 1.182 17 0.921
3 4 3 1 3 3 3 4 5 6 3 3 3 3 3 5 1 3.3 1.225 17 1.014
2 0 0 1 1 1 2 1 1 1 0 0 2 1 0 1 1 0.9 0.676 17 0.617
0.381 0.316 0.348
2.037
-12.923 *
-10.030 *
-11.548 *
-8.966 *
0.212 -6.671 tn
Kesimpulan : Warna nugget pada
perlakuan A4 tidak berbeda dengan kontrol,
sedangkan perlakuan A0, A1, A2, dan A3 berbeda.
84
Lampiran 5 Uji pembeda aroma nugget daging merah tuna Panelis
K (kontrol)
A0 (0 %)
A1 (0,25 %)
A2 (0,50 %)
A3 (0,75 %)
A4 (1 %)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 rata-rata sd n sg s1 -s2 s1 -s3 s1 -s4 s1 -s5 s1 -s6 thit t0,05
2 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 3 1 1 0.7 0,824 17
1 1 1 1 3 2 1 3 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1,5 0,776 17 0,896 0,307
1 2 2 1 1 1 2 2 2 1 0 1 1 1 1 1 1 1,2 0,546 17 0,856
1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1,2 0,424 17 0,769
1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1,2 0,424 17 0,778
1 0 0 1 1 2 1 1 2 0 1 0 1 2 2 1 1 1,0 0,686 17 0,859
0,294 0,264 0,267
2,037
-2,297 *
-2,002 tn
-1,784 tn
-1,984 tn
0,294 -0,799 tn
Kesimpulan : Aroma nugget pada Perlakuan A1, A2, A3 dan A4 tidak berbeda dengan kontrol, sedangkan A0 berbeda.
85
Lampiran 6 Uji pembeda rasa nugget daging merah tuna Panelis
K (kontrol)
A0 (0 %)
A1 (0,25 %)
A2 (0,50 %)
A3 (0,75 %)
A4 (1 %)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 rata-rata sd n sg s1 -s2 s1 -s3 s1 -s4 s1 -s5 s1 -s6 thit t0,05
1 0 1 0 0 3 0 1 1 0 0 0 1 2 0 2 1 0.8 0.876 17
2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1.2 0.424 17 0.689 0.236
1 1 2 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1.2 0.546 17 0.730
1 3 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1.2 0.546 17 0.730
2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 1 1.2 0.424 17 0.689
0 1 1 1 0 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1.1 0.582 17 0.744
0.250 0.250 0.236
2.037
-1.993 tn
-1.879 tn
-1.879 tn
-1.993 tn
0.255 -1.383 tn
Kesimpulan : Rasa nugget pada semua perlakuan A0, A1, A2, A3 dan A4 tidak berbeda dengan kontrol.
86
Lampiran 7 Uji pembeda tekstur nugget daging merah tuna Panelis
K (kontrol)
A0 (0 %)
A1 (0,25 %)
A2 (0,50 %)
A3 (0,75 %)
A4 (1 %)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 rata-rata sd n sg s1 -s2 s1 -s3 s1 -s4 s1 -s5 s1 -s6 thit t0,05
1 1 0 1 2 0 0 1 3 0 0 1 1 0 0 0 1 0.7 0.824 17
1 2 3 3 1 3 2 1 5 4 2 3 0 3 4 5 4 2.7 1.404 17 1.151 0.395
3 4 3 4 5 3 3 3 4 3 3 4 3 4 1 5 2 3.4 0.967 17 0.898
2 3 5 1 3 1 1 2 4 5 3 1 4 4 3 4 2 2.8 1.339 17 1.111
0 3 1 2 4 1 3 4 4 2 1 2 1 3 3 4 3 2.4 1.239 17 1.052
2 2 1 1 3 3 1 1 2 4 2 1 1 2 3 3 2 2,0 0.907 17 0.867
0.308 0.381 0.361
2.037
-5.065 *
-8.595 *
-5.555 *
-4.726 *
0.297 -4.354 *
Kesimpulan : Tekstur nugget pada semua perlakuan A0, A1, A2, A3 dan A4 berbeda dengan kontrol
87
Lampiran 8 Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget terhadap TiO 2
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 4 0,046 0,0115 Galat 15 5,12 0,34 Total 19 5,166 Keterangan : F tab (0,05) = 3,06 dan F tab (0,01) = 4,89 tn = tidak berbeda
F hitung 0,03tn
Lampiran 9 Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 5 745,4 149,1 Galat 6 18,49 3,08 Total 11 763,89 Keterangan : F tab (0,05) = 4,39 dan F tab (0,01) = 8,75 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 10 Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar protein nugget
Perlakuan B2 B1 B0 DP2 DP1 DP0
Rerata 34,46 37,94 42,00 45,50 50,90 57,96
Superskrip a ab bc c d e
F hitung 48,41**
88
Lampiran 11 Hasil analisis sidik ragam kadar lemak nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 5 955,50 191,1 Galat 6 3,39 0,57 Total 11 998,89 Keterangan : F tab (0,05) = 4,39 dan F tab (0,01) = 8,75 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 335,3**
Lampiran 12 Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar lemak nugget Perlakuan DP2 DP1 DP0 B2 B1 B0
Rerata 13,80 16,20 18,00 22,86 30,39 40,00
Superskrip a b b c d e
Lampiran 13 Hasil analisis sidik ragam kadar air nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 5 89,15 17,83 Galat 6 7,63 1,27 Total 11 96,78 Keterangan : F tab (0,05) = 4,39 dan F tab (0,01) = 8,75 ** = sangat berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 14 Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar air nugget
Perlakuan B2 B1 B0 DP2 DP1 DP0
Rerata 67,50 68,90 70,50 72,50 73,47 75,50
Superskrip a ab b bc cd d
F hitung 14,04**
89
Lampiran 15 Hasil analisis sidik ragam kadar abu nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 5 19,35 3,87 Galat 6 0,80 0,13 Total 11 20,15 Keterangan : F tab (0,05) = 4,39 dan F tab (0,01) = 8,75 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 29,77**
Lampiran 16 Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar abu nugget
Perlakuan B2 B1 B0 DP2 DP1 DP0
Rerata 4,00 4,20 4,50 6,20 6,80 7,10
Superskrip a a a b b b
Lampiran 17 Hasil analisis sidik ragam pH nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 3 0,245 0,082 Galat 4 0,13 0,033 Total 7 0,375 Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 tn = tidak berbeda nyata (P>0,05)
F hitung 2,48tn
90
Lampiran 18 Hasil analisis sidik ragam TVN nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 3 39,375 13,125 Galat 4 0,54 0,135 Total 7 39,915 Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 97,22**
Lampiran 19 Hasil uji beda Tukey rata-rata TVN nugget
Perlakuan B0 B1 B2 DP
Rata-rata 7,1 7,4 7,7 12,5
Superskrip a a a b
Lampiran 20 Hasil analisis sidik ragam TPC nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 3 0,036 0,012 Galat 4 115,100 28,775 Total 7 115,136 Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 tn = tidak berbeda nyata (P>0,05)
F hitung 0,0004tn
91
Lampiran 21 Hasil analisis sidik ragam Bilangan Peroksida nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 3 24,445 8,148 Galat 4 1,249 0,312 Total 7 25,694 Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 26,20**
Lampiran 22 Hasil uji beda Tukey rata-rata Bilangan Peroksida nugget
Perlakuan B0 DP B1 B2
Rata-rata 3,77 4,81 6,67 8,33
Superskrip a b c d
Lampiran 23 Hasil analisis sidik ragam TBA nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 3 0,0678 0,0226 Galat 4 0,0104 0,0026 Total 7 0,0782 Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 * = berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 24 Hasil uji beda Tukey rata-rata TBA nugget
Perlakuan DP B0 B1 B2
Rata-rata 0,34 0,38 0,40 0,58
Superskrip a a a b
F hitung 8,68*
92
Lampiran 25 Hasil analisis sidik ragam Nilai Histamin nugget
Sumber Derajat bebas JK KT keragaman Perlakuan 3 117,84 39,28 Galat 4 5,78 1,445 Total 7 123,62 Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 * = berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 27,18**
Lampiran 26 Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Histamin nugget
Perlakuan DP B0 B1 B2
Rata-rata 15,60 16,20 20,20 25,20
Superskrip a a b c
Lampiran 27 Hasil analisis sidik ragam pertambahan berat badan tikus
Sumber Derajat JK KT keragaman bebas Perlakuan 5 39127,1 7852,42 Galat 24 2599,2 108,30 Total 29 41726,3 Keterangan : F tab (0,05) = 2,62 dan F tab (0,01) = 3,90 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 72,51**
Lampiran 28 Hasil uji beda Tukey rata-rata pertambahan berat badan tikus
Perlakuan Non Protein Kasein (A) B2 B1 B0 DP
Rata-rata -8,4 53,8 82 88,8 89,6 94,8
Superskrip a b c cd cd d
93
Lampiran 29 Hasil analisis sidik ragam efisiensi ransum tikus
Sumber Derajat JK KT keragaman bebas Perlakuan 5 4706,3 941,26 Galat 24 290,3 12,10 Total 29 4996,6 Keterangan : F tab (0,05) = 2,62 dan F tab (0,01) = 3,90 ** = sangat berbeda nyata (P<0.01)
F hitung 77,79**
Lampiran 30 Hasil uji beda Tukey rata-rata efisiensi ransum tikus
Perlakuan Non Protein Kasein (A) B1 B0 B2 DP
Rata-rata -5,41 23,37 27,97 28,35 28,71 30,22
Superskrip a b c c c c
Lampiran 31 Hasil analisis sidik ragam konsumsi ransum tikus
Sumber Derajat JK KT keragaman bebas Perlakuan 5 109729,9 21946 Galat 24 23844,4 993,52 Total 29 133574,3 Keterangan : F tab (0,05) = 2,62 dan F tab (0,01) = 3,90 ** = sangat berbeda nyata (P<0.01)
Lampiran 32 Hasil uji beda Tukey rata-rata konsumsi ransum tikus Perlakuan Non Protein Kasein (A) B2 B0 B1 DP
Rata-rata 153,6 231,4 285,8 313,4 316,4 321,2
Superskrip a b c cd cd d
F hitung 22,09**
94
Lampiran 33 Hasil analisis sidik ragam Daya Cerna (DC) sejati tikus
Sumber Derajat JK KT keragaman bebas Perlakuan 4 9,707 2,426 Galat 21 8,409 0,400 Total 25 1,116 Keterangan : F tab (0,05) = 2,84 dan F tab (0,01) = 4,41 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)
F hitung 6.06**
Lampiran 34 Hasil uji beda Tukey rata-rata Daya Cerna (DC) sejati tikus
Perlakuan Kasein (A) B1 B0 B2 DP
rata-rata 97,610 98,069 98,481 96,813 98,458
superskrip ab bc c a c
Lampiran 35 Hasil analisis sidik ragam Nilai Biologis (NB) tikus
Sumber Derajat JK KT keragaman bebas Perlakuan 4 184,425 46,106 Galat 21 233,861 11,136 Total 25 418,286 Keterangan : F tab (0,05) = 2,84 dan F tab (0,01) = 4,41 * = berbeda nyata (P<0,05)
F hitung
Lampiran 36 Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Biologis (NB) tikus
Perlakuan Kasein (A) B1 B0 B2 DP
rata-rata 97,610 93,105 92,080 96,813 92,993
superskrip b a a ab a
4.14*
95
Lampiran 37 Hasil analisis sidik ragam Nilai Protein Utilization (NPU) tikus
Sumber Derajat JK KT keragaman bebas Perlakuan 4 146,761 36,690 Galat 21 197,597 9,409 Total 25 344,358 Keterangan : F tab (0,05) = 2,84 dan F tab (0,01) = 4,41 * = berbeda nyata (P<0,05)
F hitung 3,90*
Lampiran 38 Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Protein Utilization (NPU) tikus
Perlakuan Kasein (A) B1 B0 B2 DP
rata-rata 96,823 91,292 90,683 95,083 91,535
superskrip b a a ab a
96
Lampiran 39 Hasil perhitungan daya cerna, nilai biologis dan Net Protein Utilization pada tikus
Perlakuan
Jumlah konsumsi makan (g)
Kasein-1 Kasein-2 Kasein-3 Kasein-4 Kasein-5 rata-rata DP-1 DP-2 DP-3 DP-4 DP-5 rata-rata B0-1 B0-2 B0-3 B0-4 B0-5 rata-rata B1-1 B1-2 B1-3 B1-4 B1-5 rata-rata B2-1 B2-2 B2-3 B2-4 B2-5 rata-rata
83.5 74.8 77.4 108.9 74.6 83.84 100.1 134.1 138.3 138.9 135 129.28 130.4 134.9 98.0 146.4 111.7 124.28 120.2 109.3 126.8 107.6 115.3 115.84 95.9 116.6 105.8 120.0 131.2 113.9
Jumlah protein intake (g) 8.35 7.48 7.74 10.89 7.46 8.384 10.01 13.41 13.83 13.89 13.5 12.928 13.04 13.49 9.80 14.64 11.17 12.428 12.02 10.93 12.68 10.76 11.53 11.584 9.59 11.66 10.58 12.00 13.12 11.39
Jumlah Jumlah N urine N feses (%) (g) 0.013 0.008 0.020 0.003 0.016 0.012 0.061 0.088 0.282 0.158 0.142 0.146 0.189 0.178 0.246 0.169 0.078 0.172 0.147 0.149 0.222 0.138 0.145 0.160 0.022 0.077 0.056 0.116 0.094 0.073
0.176 0.250 0.191 0.188 0.180 0.197 0.274 0.225 0.123 0.176 0.163 0.192 0.284 0.198 0.173 0.144 0.142 0.188 0.338 0.157 0.294 0.122 0.234 0.229 0.295 0.396 0.465 0.299 0.348 0.361
DC (%)
NB
NPU
97.913 96.681 97.555 98.290 97.610 97.610 97.280 98.335 99.123 98.745 98.805 98.458 97.835 98.545 98.252 99.028 98.744 98.481 97.202 98.579 97.695 98.882 97.985 98.069 96.941 96.619 95.621 97.523 97.361 96.813
99.107 99.571 98.637 99.854 98.799 99.194 97.763 97.062 83.188 93.474 93.479 92.993 94.866 93.278 85.346 91.888 95.024 92.080 96.364 91.222 94.011 89.339 94.587 93.105 96.942 96.619 95.621 97.523 97.361 96.813
97.039 96.266 96.225 98.146 96.438 96.823 95.104 95.446 82.459 92.301 92.363 91.535 92.813 91.921 83.854 90.995 93.831 90.683 93.668 89.926 91.844 88.34 92.681 91.292 96.185 95.001 94.529 94.352 95.347 95.083