ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN
Oleh:
Dhias Wicaksono C34104028
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Selama Proses Pengolahan pada Industri Tuna Loin adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009 Dhias Wicaksono NIM C34104028
RINGKASAN DHIAS WICAKSONO. C34104028. Asesmen Risiko Histamin Selama Proses Pengolahan pada Industri Tuna Loin (Dibawah bimbingan WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN). Industri tuna di Indonesia memiliki beberapa kendala yaitu persaingan ekspor ikan tuna yang semakin ketat, isu global keamanan pangan (food safety) dan isu lingkungan. FAO melalui Codex Alimentarius merekomendasikan melakukan risk analysis (risk assesment, risk management, dan risk communication) untuk mengendalikan bahaya keamanan pangan. Evaluasi risiko bahaya keamanan pangan di industri tuna diawali dengan menganalisis kelayakan dasar yang terdapat pada proses pengolahan tuna, dilanjutkan dengan melakukan asesmen risiko. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah memperkirakan risiko perkembangan histamin pada proses pengolahan ikan tuna loin di PT. X, Kawasan Industri Muara Baru, Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan pengolahan tuna loin di Muara Baru, Jakarta. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengamatan proses pengolahan tuna loin beku dan tahap analisis risiko bahaya histamin. Proses pengolahan tuna loin beku diamati berdasarkan tahap-tahapnya, kemudian digambarkan dalam bentuk diagram alir (flow chart). Asesmen risiko bahaya peningkatan kadar histamin dan kontaminasi mikroba dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat hazard identification, hazard characterization, exposure assessment dan risk characterization. Proses pengolahan dilakukan dengan waktu cukup cepat dan dalam kondisi dingin (0–10 oC). Penilaian kelayakan dasar terhadap unit pengolahan ikan (UPI) menunjukkan adanya beberapa penyimpangan, antara lain terdapat 11 penyimpangan minor, 6 penyimpangan mayor dan 4 penyimpangan serius. Berdasarkan penyimpangan tersebut, maka PT. X dikategorikan sebagai UPI dengan nilai kelayakan dasar C (cukup). Identifikasi bahaya (hazard identification) dalam bidang industri tuna pada penelitian ini, dilakukan terhadap bahaya histamin. Hasil penelitian penaksiran bahaya (exposure assesment) yang dilakukan menunjukkan rata-rata kadar histamin pada saat penerimaan bahan baku adalah sebesar 8,03 ppm, tahap pembentukan tuna loin adalah 9,16 ppm dan tahap pembungkusan produk adalah 9,18 ppm. Jumlah bakteri secara umum pada tahapan penerimaan bahan baku ratarata (log TPC) sebesar 4,58 (3,6x104 CFU/ml), pada tahapan pembentukan loin sebesar 5,33 (2,1x105 CFU/ml) dan pada tahap pembungkusan sebesar 5,88 (4,5x105 CFU/ml). Jumlah bakteri penghasil histamin pada tahapan penerimaan bahan baku rata-rata (log TPC) sebesar 3,51 (3,3x103 CFU/ml), pada tahapan pembentukan loin sebesar 3,65 (4,5x103 CFU/ml) dan pada tahap pembungkusan sebesar 4,29 (1,9x104 CFU/ml). Hasil karakterisasi bahaya dari tahap penerimaan bahan baku sampai proses pembungkusan menunjukkan bahwa produk tuna loin yang diproduksi masih aman untuk dikonsumsi. Hasil karakterisasi risiko menunjukkan bahwa ranking risiko bahaya histamin bagi penduduk Amerika Serikat masih tergolong dalam kategori sedang dengan perkiraan dari 290 juta penduduk Amerika Serikat jumlah penduduk yang dapat terkena bahaya adalah sebesar 24.400 jiwa.
ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Dhias Wicaksono C34104028
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN
Nama
: Dhias Wicaksono
Nomor Pokok
: C34104028
Menyetujui: Komisi Pembimbing,
Ir. Winarti Zahiruddin MS NIP. 130 422 706
Ir. Wini Trilaksani M.Sc NIP. 131 578 851
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “Asesmen Risiko Kadar Histamin selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini dengan penuh ketulusan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan, serta penjelasan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen penguji tamu, atas segala bimbingan, pengarahan, serta penjelasan yang telah diberikan kepada penulis. 3. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan Ibu Sri Hartati serta Bapak Malik serta seluruh pegawai yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 4. Bapak pimpinan PT. X dan Mas Aziz serta Mas Fajar serta seluruh karyawan PT. X yang telah mengizinkan dan memberikan bantuan kepada penulis selama melakukan penelitian. 5. Ibunda dan Ayahanda tercinta atas segala ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, ketegaran, jerih payah, pengorbanan, dan doanya, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. 6. Kakakku tersayang Mas Arief Kurniadi dan Mbak Nurhasanah serta adikku Putri Rahayuningtyas dan Dian Hapsari. Dan Bulik Ani dan Om Yadi atas segala dorongan, bantuan, dan doanya.
7. Teman-teman THP 41, Nuzul, Alim, Feri, Erlangga, Anim, Anang, Windy, Fahmi, Ubit, Nia, Andi, Ika, Ima, Vera, Bay, Dwi, Bobi, Ranti, Iis, Dila, Deslina dan teman-teman lainnya atas segala persaudaraan, keakraban, keceriaan, doa, serta cinta kasihnya. 8. Teman-teman THP 40 Juhli, Iqbal, Deden, Rama dan lain-lain. Temanteman THP 39, 42, 43, dan 44. Mas Zacky atas segala bantuan, persaudaraan, keceriaan, dan doanya. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih banyak atas bantuannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2009
Dhias Wicaksono
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Dhias Wicaksono, dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Agustus 1986, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Soedono dan Ibu Sri Dijati. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di TK. Pertiwi 1 Bogor sampai tahun 1992, kemudian pada tahun 1992 penulis melanjutkan di SDN Panaragan 2 Bogor dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis meneruskan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bogor sampai tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama kuliah penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai pengurus aktif pada periode 2006-2007, Fisheries Processing Club (FPC) THP sebagai manajer bagian operasional. Penulis juga aktif sebagai koordinator asisten mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan pada tahun 20072008 dan koordinator asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Limbah dan Hasil Samping pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif dalam bidang penulisan karya ilmiah. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Asesmen Risiko Kadar Histamin selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin dibimbing oleh ibu Ir. Wini Trilaksani MSc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin MS.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1.2 Tujuan ......................................................................................................
1 1 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 2.1 Ikan tuna ................................................................................................... 2.2 Tuna Loin ................................................................................................. 2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan ................................................................ 2.3.1 Pre-rigor ......................................................................................... 2.3.2 Rigor mortis .................................................................................... 2.3.3 Aktivitas enzim ............................................................................... 2.3.4 Aktivitas mikroba ............................................................................ 2.4 Histamin ................................................................................................... 2.5 Sanitasi dan Higiene ................................................................................. 2.6 Asesmen Risiko ........................................................................................
4 4 8 10 10 11 11 12 13 15 16
3. METODOLOGI ............................................................................................. 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 3.2 Metode Penelitian ..................................................................................... 3.2.1 Tahapan pengamatan proses pengolahan tuna loin ......................... 3.2.2 Tahap evaluasi risiko histamin ........................................................ 3.3 Prosedur Pengujian Sampel ...................................................................... 3.3.1 Kadar histamin ................................................................................ 3.3.2 Uji mikrobiologi (Total Plate Count) ............................................. 3.3.3 Uji mikrobiologi penghasil histamin ...............................................
20 20 20 20 20 22 23 23 24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 4.1 Tahapan Proses Produksi Tuna Loin ........................................................ 4.2 Penilaian Kelayakan Dasar Perusahaan ................................................... 4.3 Penilaian risiko bahaya histamin pada tahapan proses pengolahan .............................................................................................. 4.3.1 Hazard identification (identifikasi bahaya) ................................... 4.3.2 Exposure assesment (Penaksiran bahaya) ..................................... 4.3.2.1 Perkembangan kadar histamin produk selama proses pengolahan tuna loin ............................................. a. Kandungan histamin pada produk tuna loin PT. X. ...... b. Jumlah bakteri pada produk tuna loin PT. X. ............... c. Jumlah bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase) pada produk tuna loin PT. X. ..............
25 25 32 36 36 40 41 41 43 45
4.3.2.2 Informasi konsumsi ikan yang mengandung histamin ..... 47 4.3.3 Hazard characterization (Karakterisasi bahaya) ........................... 48 4.3.4 Risk characterization (Karakterisasi risiko) .................................. 50 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 54 5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 54 5.2 Saran ......................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 56 LAMPIRAN ....................................................................................................... 59
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006)......................................... 11 2. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut .................................. 15 3. Penilaian risiko secara semi kuantitatif dari bahaya histamin pada tuna loin bagi penduduk Amerika Serikat. .............................................. 51
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Ikan tuna Albacore (Thunnus alalunga) ............................................................ 5 2 Ikan tuna Madidihang (Thunnus albacore) ........................................................ 5 3 Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) ............................................................. 6 4 Ikan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) .......................................................
6
5 Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin...................................... 13 6 Diagram alur proses microbiological risk assessment .................................. 21 7 Diagram alur proses produksi tuna loin pada perusahaan PT. X .................. 25 8 Proses katabolisme histamin pada tubuh manusia ........................................ 39 9 Degradasi histidin menjadi urocanic acid dan amonia oleh HAL ................ 40 10 Grafik rata-rata kadar histamin selama proses pengolahan (ppm) ................ 41 11 Grafik rata-rata kadar histamin tuna loin PT. X selama bulan Agutus sampai Oktoberr 2008 dari analisis LPPMHP.................................. 42 12 Grafik rata-rata jumlah bakteri (log TPC) selama proses pengolahan .......... 43 13 (a) media Niven’s agar .................................................................................. 45 (b) media Niven’s agar dengan koloni bakteri penghasil histamin .............. 45 (c) koloni bakteri penghasil histamin pada media Niven’s agar .................. 45 14 Grafik rata-rata jumlah bakteri penghasil histamin (log TPC) dengan media Niven’s agar selama proses pengolahan ............................... 46 15 Grafik perbandingan rata-rata jumlah bakteri secara umum dengan bakteri penghasil histamin (log TPC) selama proses pengolahan................. 47
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Denah lokasi Unit Pengolahan Ikan (UPI) PT. X. .......................................... 60 2 Tabel penilaian kelayakan dasar unit pengolahan ikan (UPI) .......................... 61 3 Data hasil analisis kadar histamin dan TPC .................................................... 83 4 Gambar hasil analisis bakteri .......................................................................... 84 5 Gambar program analisis risk characterization (risk ranger) ........................ 87
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun
yang tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen Perikanan Tangkap 2007). Salah satu produk perikanan tangkap unggulan Indonesia adalah ikan tuna. Ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang potensial, terbesar kedua setelah udang (DKP 2005). Volume ekspor tuna pada periode 1999-2004 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,72 ton per tahun yakni dari 87.581 ton pada tahun 1999 menjadi 94.221 ton pada tahun 2004. Nilai ekspor tuna mengalami kenaikan rata-rata sebesar 5,56% per tahun, yaitu dari US$189.397 pada tahun 1999 menjadi US$243.937 pada tahun 2004 (DKP 2005). Produksi hasil tangkapan tuna yang semakin meningkat menyebabkan berkembangnya industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan sentra pendaratan tuna yaitu Muara Baru (Jakarta), Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Benoa (Bali) dan Bitung (Sulawesi Utara). Industri pengolahan yang dimaksud pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted), produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin), steak (frozen steak) dan produk dalam kaleng (canned tuna) (DKP 2005). Produk-produk itu sebagian besar diekspor ke manca negara dan hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan di dalam negeri. Industri tuna di Indonesia memiliki beberapa kendala yaitu persaingan ekspor ikan tuna yang semakin ketat, isu global keamanan pangan (food safety) dan isu lingkungan. Bulan Mei 2004, komisi kesehatan dan perlindungan konsumen Uni Eropa melarang ekspor sementara ikan tuna segar dari 16
perusahaan Indonesia, karena mengalami pembusukan atau kadar histamin yang melebihi batas standar yang ditetapkan (Anonim 2005). Kadar histamin dapat dijadikan indikasi mutu tuna dan histamin juga merupakan indikator standar keamanan pangan produk tersebut. Hal ini disebabkan kandungan histamin dapat menyebabkan efek keracunan. Keracunan histamin terjadi di seluruh dunia dan kemungkinan pada umumnya disebabkan oleh racun yang dihasilkan pada ikan. Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi yang menderita keracunan histamin (Sumner et al. 2004). Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase. Amina biogenik diproduksi pada jaringan ikan oleh bakteri dari famili Enterobacteriaceae, seperti Morganella, Klebsiella, dan Hafnia yang menghasilkan enzim histidin decarboxylase. Bakteri yang secara alami terdapat pada insang dan usus ikan akan menyebar
ke
seluruh
bagian
tubuh
selama
proses
penanganan
(Sumner et al. 2004). Kontaminasi bakteri pada penanganan hasil perikanan dapat terjadi mulai dari proses penangkapan, pengolahan, sampai dengan distribusi ke tangan konsumen. Kontaminasi dan aktivitas bakteri dapat dihambat dengan adanya usaha penanganan secara benar dengan memperhatikan sanitasi dan penerapan sistem penanganan pada suhu rendah. Sanitasi merupakan serangkaian proses yang dilakukan untuk menjaga kebersihan. Sanitasi dan higiene dalam perusahaan dituangkan dalam bentuk suatu standar sistem operasional. Perdagangan pangan internasinal menuntut jaminan keamanan pangan sehingga melahirkan standar internasional bagi komoditas produk pangan. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Risk Analysis merupakan standar sistem manajemen keamanan pangan yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commision (CAC) dan sarana untuk menerapkan konsep higiene dalam penanganan bahan pangan (Henrik et al. 2004). Risk analysis terdiri dari tiga komponen yaitu risk asessment, risk management, dan risk communication. Secara sederhana, risk assessment merupakan
pengukuran
risiko
dan
identifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Risk
management
merupakan
pengembangan
dan
implementasi strategi untuk mengontrol risiko tersebut, dan risk communication merupakan pertukaran informasi yang relevan dengan risiko dan hal-hal yang mendukungnya (Sumner et al. 2004). Industri tuna di Indonesia telah diwajibkan untuk menerapkan sistem HACCP, tetapi risk analysis belum banyak dilakukan. Risk analysis dapat dilakukan dengan menganalisis kelayakan dasar pada Unit Pengolahan Ikan (UPI), mengantisipasi permasalahan bahaya peningkatan kadar histamin akibat adanya kontaminasi bakteri penghasil histamin dan sanitasi yang kurang baik pada proses pengolahan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan memperkirakan risiko perkembangan histamin pada proses pengolahan ikan tuna loin di PT. X, kawasan Industri Muara Baru, Jakarta.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Tuna Tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar (Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, dan albacore), dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) yaitu marlins, sailfish, dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai “cakalang”, sedangkan “tongkol” umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynnus spp), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol). Potensi pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional mencapai 1.165.360 ton. Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dimasa mendatang bagi kepentingan pembangunan perikanan nasional (DKP 2005). Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Subkelas
: Actinopterygi
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Spesies
: Thunnus albacares Thunnus allalunga Thunnus maccoyii Thunnus obesus Thunnus tonggol
Menurut Tampubolon (1983) ikan tuna meliputi 13 jenis ikan tuna yang terdiri dari 7 jenis tuna besar (large tuna) dan 6 jenis tuna kecil (small tuna). Ketujuh jenis ikan tuna besar tersebut adalah: 1 Albacore (Thunnus alalunga) biasanya hidup di laut lepas dan berada di bawah thermocline (lapisan air yang perbedaannya suhunya mencolok). Panjang ikan bisa mencapai 137 cm, namun yang umum antara 40-100 cm.
Pemakan segala macam organisme, khususnya ikan, cumi-cumi, dan udang terdapat diperairan barat Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Sumbawa. Morfologi ikan tuna albacore dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan tuna Albacore (Thunnus alalunga) (BBPMHP 1999). 2 Madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacore), hidup dilaut lepas dan dekat dengan permukaan.
Panjang maksimum mencapai 195 cm, tetapi
umumnya antara 50-150 cm. Pemakan ikan, cumi-cumi, dan udang. Banyak terdapat diperairan selatan Makasar, utara Sulawesi, Laut Banda, dan utara Irian Jaya. Morfologi ikan tuna madidihang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ikan tuna Madidihang (Thunnus albacore) (BBPMHP 1999). 3 Tongkol atau litle tuna (Euthynnus affins) hidup diperairan dekat pantai yang mempunyai dasar karang. Panjang maksimum 100 cm, tetapi kebanyakan 50-60 cm. Jenis makanannya adalah dari jenis decapoda, cephalopoda, dan ikan-ikan kecil. Penyebaran hampir sama dengan cakalang.
4 Tuna mata besar atau big eye (Thunnus obesus) hidup diperairan laut lepas mulai dari permukaan sampai ke dalaman 250 cm. Panjang ikan tuna mata besar bisa mencapai 236 cm, namun yang umum antara 60-180 cm. Pemakan cumi-cumi dan udang. Banyak terdapat di perairan barat Sumatera, laut Banda, utara Sulawesi, dan utara Irian Jaya. Morfologi ikan tuna mata besar dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) (BBPMHP 1999). 5 Tuna sirip biru atau southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), hidup di perairan lepas pantai di bawah thermocline. Panjang maksimum 222 cm tetapi kebanyakan antara 40-180 cm. Pemakan binatang berkulit lunak seperti cumicumi, udang serta berbagai jenis ikan mackarel terdapat di perairan Samudera Hindia. Morfologi ikan tuna sirip biru dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Ikan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) (BBPMHP 1999). Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia, karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna
yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera tersebut. Beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial memiliki sumberdaya perikanan tuna yang besar. Kelompok tuna merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi atas kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari jenis ikan tuna mata besar (bigeye - Thunnus obesus), madidihang (yellowfin - Thunnus albacares), tuna albakora (albacore - Thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan (southern blue-fin - Thunnus maccoyii), dan tuna abu-abu (longtail tuna - Thunnus tonggol), sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (skipjack - Katsuwonus pelamis) (DKP 2003). Ikan tuna memiliki protein dengan asam amino yang lengkap. Pada ikan ini juga terdapat iodine dan 18 komponen mineral lainnya (Na, K, Ca, Mg, Fe, Zn, Cd, Co, Cr, Sr, As, Cu, Mn, Mo, Pb, Sn, Ni, dan Hg). Jenis asam lemak yang terdapat pada ikan ini adalah docosahexaenoic acid (DHA), eicosapentaenoic acid (EPA), asam palmitat (palmitoleic acid), arachidonic acid (ARA) dan asam oleat (oleic acid) (Anonim 2006).
2.2 Tuna Loin Tuna loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan (BSN 2006). Syarat mutu dan keamanan pangan tuna loin beku sesuai dengan SNI 01-4104.1-2006 dapat dilihat pada Tabel 1. Penanganan dan pengolahan ikan tuna loin menurut BSN (2006) melalui SNI 01-4104.3-2006 adalah sebagai berikut: 1 Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar) atau -18oC (untuk bahan baku tuna beku).
2 Penyiangan atau tanpa penyiangan Ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut, apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemara pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar) atau -18oC (untuk bahan baku tuna beku). 3 Pencucian Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar). 4 Pembuatan loin Pembuatan loin dilakukan sesuai dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar) atau -18oC (untuk bahan baku tuna beku). 5 Pengulitan dan perapihan Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar) atau -18oC (untuk bahan baku tuna beku). 6 Sortasi mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hatihati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar). 7 Pembungkusan (Wrapping) Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual yakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4oC (untuk bahan baku tuna segar). 8 Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal -18oC dalam waktu maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku tuna beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembekuan, lalu dibekukan dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai -18oC secara cepat. 9 Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18oC. 10 Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. 11 Pengemasan Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. 12 Pelabelan dan pemberian kode Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan dan tahun produksi; dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. 13 Penyimpanan Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25oC dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2oC. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
Tabel 1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006)
a b
c
d e
Jenis Uji Organoleptik, minimum Cemaran mikroba - ALT - Escheria coli - Salmonella - Vibrio cholerae Cemaran Kimia - Raksa (Hg) - Timbal (Pb) - Histamin - Kadmium (Cd) Fisika - Suhu pusat Parasit
Satuan Angka (1-9)
Persyaratan 7
Koloni/gram APM/gram APM/gram APM/gram
maksimal 5,0x105 maksimal <2 Negatif Negatif
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
maksimal 1 maksimal 0,4 maksimal 100 maksimal 0,5
o
C Ekor
maksimal - 18 maksimal 0
Sumber : BSN (2006) Keterangan: ALT : Angka Lempeng Total APM : Angka paling memungkinkan
2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan Kerusakan ikan diawali dengan terjadinya autolisis yang disebabkan oleh enzim yang berasal dari ikan itu sendiri, yang diikuti dengan kerusakan secara mikrobiologis, fisik, atau secara kimiawi. Kerusakan autolisis pada ikan dimulai segera setelah ikan mati (Huss 1986). Proses penurunan mutu ikan meliputi perubahan fisik, kimia, dan organoleptik dengan urutan mulai dari perubahan pra-rigormortis, rigormortis, aktifitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi. Semua perubahan ini akan mengarah ke pembusukan (Junianto 2003). 2.3.1 Pre-rigor Ikan yang telah mati akan secara cepat memasuki tahap pre-rigor, yang ditunjukkan dengan adanya glikolisis anaerobik dan penurunan adenosine triphosphate (ATP) dan creatine phosphate (Setiyono 2006). Pre-rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan.
Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Junianto 2003). 2.3.2 Rigor mortis Rigor-mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis. Fase rigor mortis ditandai dengan perubahan pH tubuh ikan menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula pH 6,9-7,2. Nilai pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein,
asam
laktat,
asam
fosfat,
TMAO,
dan
basa-basa
menguap
(Junianto 2003). Proses rigor-mortis berlangsung selama beberapa jam atau hari, tergantung spesies, ukuran ikan, cara penangkapan dan penanganan, suhu serta kondisi fisik ikan. Proses rigor-mortis ditandai dengan otot ikan yang mengejang dalam beberapa jam sehingga ikan menjadi kaku karena perubahan senyawa nukliotida akibat terhentinya pasokkan oksigen dan energi setelah ikan mati (Huss 1986). Tahap
rigor-mortis
merupakan
indikator
mutu
ikan
yang
perlu
dipertimbangkan untuk dikonsumsi. Tahap rigor-mortis ditandai dengan terjadinya proses autolisis dan pertumbuhan mikroba serta aktivias enzim setelah beberapa hari pada suhu sekitar 5oC (Setiyono 2006). 2.3.3 Aktivitas enzim Tahap autolisis dimulai dengan terjadinya pemecahan senyawa-senyawa penyusun ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil. Pemecahan penyusun jaringan ikan ini akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna (Huss 1986). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Enzim yang berperan dalan proses autolisis, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim
tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan (Junianto 2003). 2.3.4 Aktivitas mikroba Penelitian terhadap ikan yang ditangkap pada perairan yang terbebas dari polusi hanya mengandung sedikit mikroba pada permukaannya. Kebanyakan kontaminasi bakteri pada ikan adalah pada saat pendaratan ikan dan juga proses penanganan serta pada saat proses penyimpanan (Elinor et al. 1985 diacu dalam Alfred 1998). Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigor-mortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa pembusuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang terberat dan dianggap paling bertanggung jawab dalam pembusukan ikan, baik segar maupun olahan. Kerusakan mikrobiologis lain yang perlu diperhatikan adalah yang menyebabkan penyakit, keracunan, atau alergi pada konsumen walaupun ikan tidak mengalami pembusukan (Huss 1986). Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai ”busuk”. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium dan Streptococcus (Junianto 2003).
2.4 Histamin Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase (Sumner et al. 2004). Histamin merupakan salah satu grup dari komponen amina biogenik. Amina biogenik adalah komponen biologi aktif yang secara normal diproduksi melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas dan ada dalam berbagai makanan seperti ikan, produk dari ikan, daging merah, keju, dan makanan fermentasi. Keberadaan amina biogenik dalam makanan ini merupakan indikator makanan itu sudah busuk (Keer et al. 2002). ”Histidin bebas” yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungan histidin bebas dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg%. Ikan-ikan berdaging putih kandungan histidin bebasnya rendah dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg% setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 25oC (Keer et al. 2002). Ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap, dagingdaging putih yang memiliki kadar histamin yang tinggi. Daging merah lebih aman untuk dionsumsi manusia daripada daging putih bila dipandang dari segi histamin. Daging merah memiliki kandungan histamin yang rendah karena daging merah memiliki kandungan trimetil amina oksida (TMAO) yang tinggi, berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin (Winarno 1993). Perubahan struktur kimia dari histidin menjadi histamin dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002 )
Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri. Sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor (Winarno 1993). Amina biogenik diproduksi pada jaringan ikan oleh bakteri dari famili Enterobacteriaceae,
seperti
Morganella,
Klebsiella,
dan
Hafnia
yang
menghasilkan enzim histidin decarboxylase. Apabila telah diproduksi enzim decarboxylase, maka akan terus menerus dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu dingin hingga 4 oC. Produksi histamin akan semakin meningkat meskipun telah disimpan pada ruangan pendingin (Sumner et al. 2004). Bakteri utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan kandungan histamin pada ikan, yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Hafnia alvei (Taylor 1983). Keer et al (2002) menambahkan jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu Proteus morganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium perfringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang. Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku dan dapat bereaksi dengan sangat cepat setelah thawing. Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al. 2002). Jenis bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2. Hampir semua bakteri tersebut dari golongan gram negatif dan bersifat anaerobik fakultatif sehingga mempu tumbuh pada kondisi aerobik maupun anaerobik.
Tabel 2. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut Bakteri Hafnia sp. Klebsiella sp. Escherichia coli Clostridium sp. Lactobacillus sp. Enterobacter spp. Proteus sp.
Spesifikasi Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Hafnia alvei) Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Klebsiella pneumoniae) Gram-negatif, fakultatif anaerobik Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Clostridium perfringens) Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a) Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Enterobacter aerogenes) Gram-negatif, fakultatif anaerobik (Proteus morganii)
Sumber: Martin et al. (1982)
2.5 Sanitasi dan Higiene Pengertian sanitasi dalam industri pangan yaitu mencakup kebiasaan, sikap hidup, tindakan aseptik, dan bersih terhadap benda termasuk manusia yang akan kontak langsung dengan bahan pangan. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi pengendalian pencemaran, pembersihan dan tindakan aseptik yang merupakan rantai dalam produksi. Sanitasi yang baik dalam industri tidak hanya terletak pada kebersihan bahan baku, peralatan, ruangan dan pekerja tetapi juga dalam penanganan dan pembuangan limbah ( Deptan 1997). Standar higiene dalam suatu perusahaan umumnya dituangkan dalam Good Higiene Practices (GHP) atau Good Manufacturing Practices (GMP). Penerapan GMP digunakan sebagai pedoman untuk semua tindakan dengan memperhatikan kondisi dan ukuran yang diperlukan untuk menjamin keamanan selama proses pengolahan makanan. Penerapan GMP merupakan suatu konsep sistem modern untuk mengontrol keamanan makanan dari peralatan pengolahan dan pekerja dengan memperhatikan kondisi lingkungan yang mengacu pada sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) (Henrik et al. 2004). Sanitation standard operating procedures (SSOP) merupakan dokumen dari GMP untuk higiene dan sanitasi yang disertakan untuk mengatur dan mengontrol cara pengolahan yang baik. Perusahaan dapat memonitor kondisi dan penanganan untuk mengetahui kondisi dan penanganan yang tidak sehat pada waktu tertentu dan memelihara sanitasi dengan selalu mengontrolnya. Prosedur kontrol sanitasi ini telah terintegerasi ke dalam peraturan HACCP, namun tidak termasuk dalam program HACCP (Henrik et al. 2004).
2.6 Asesmen Risiko Asesmen risiko (risk assessment) merupakan karakterisasi dari potensi risiko yang mempengaruhi bahaya, termasuk menyangkut perkiraan besarnya risiko, efek dari keluaran atau hasil yang ada dan melibatkan suatu indikasi dari suatu ketidakpastian. Analisis risiko ini juga harus mencakup informasi mengenai faktor yang berkontribusi terhadap bahaya makanan (Forsythe dan Hayes 1998). Analisis risiko (risk analysis) merupakan suatu proses yang terdiri dari tiga komponen yaitu asesmen risiko (risk asessment), managemen risiko (risk management) dan komunikasi risiko (risk communication) (Sumner et al. 2004). Tiga komponen
risk analysis (risk assessment, risk management dan risk
communication) tidak sepenuhnya berbeda, tetapi saling melengkapi, karena pertukaran informasi dan data diantara semua subjek yang berpartisipasi dalam proses. Risk assessment dapat dikatakan sebagai suatu struktur ilmu berdasarkan proses untuk menduga kemungkinan dan keparahan risiko yang tidak pasti. Elemen utama dari risk assessment yaitu hazard identification, hazard characterization,
exposure
assessment
dan
risk
characterization
(Giacone dan Ferri 2005). Menurut Sumner et al. (2004) terdapat beberapa tipe dari risk assessment yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu qualitative risk assessment, semiquantitative risk assessment, dan quantitative risk assessment. Ketiga kategori tersebut menghasilkan informasi yang berguna dan pemilihan kategori bergantung pada kecepatan dan kompleksitas dari kebutuhan yang dinilai (assessment). Qualitative risk assessment, semi-quantitative risk assessment, dan quantitative risk assessment, dapat dijelaskan sebagai berikut: 2. Qualitative risk assessment Analisis bahaya atau risiko didasarkan pada data yang pembentukannya tidak cukup secara kuantitatif, namun dapat menggolongkan data atau kategori risiko tersebut secara deskriptif. Metode Risk assessment secara kualitatif ini sangat sederhana dan cepat untuk dilakukan, tetapi dilakukan secara subjektif, yang dapat mengurangi nilainya. Setiap dokumen rencana HACCP berisi qualitative risk assessment sederhana dalam lembar kerja HACCP
Setiap bahaya akan dikategorikan atau dimasukkan ke dalam tingkatan rendah, sedang dan tinggi untuk menganalisanya. Penilaian risiko ini didasarkan pada hubungan antara exposure assessment yang
di dalamnya terkait
kemungkinan dan kejadian yang timbul dengan karakterisasi dari bahaya dan efek yang timbul. 2 Semi-quantitative risk assessment Metode kualitatif dapat memperkirakan bahaya atau risiko yang ada dan menggolongkannya ke dalam level rendah, sedang, dan tinggi, sedangkan dalam risk assessment secara semi-kuantitatif, dapat dipadukan analisis kuantitatif dan kualitatif serta mengekspresikannya ke dalam bilangan numerik. Penggolongan (level rendah, sedang dan tinggi) tersebut dapat diekspresikan dalam angka-angka (numerik) sebelum data-data tersebut diolah lebih lanjut. Analisis ini merupakan gabungan dari analisis kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisa bahaya yang ada. 3 Quantitative risk assessment Analisis bahaya yang menunjukkan bilangan numerik dari risiko dan indikasi dari semua hal yang tidak diinginkan. Analisis bahaya kuantitatif ini telah digunakan untuk menganalisis konsumsi ikan asap di Swedia, dengan perkiraan jumlah yang terserang penyakit tiap tahun bervariasi antara 47 sampai 2800 dengan risiko yang tinggi. Quantitative risk assessment (QRA) digunakan untuk tujuan yang spesifik dan memberikan perkiraan risiko secara numerik
Menurut Sumner et al. (2004) Penggunaan risk assessment sangat penting dan sudah dikenal di berbagai negara. Selama beberapa tahun ini di dunia terjadi peningkatan risiko dalam hubungannya terhadap kemanan pangan secara umum dan keamanan dari produk-produk perikanan. Tahapan dalam melakukan risk assesment yaitu: 1 Hazard identification Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia dan fisika yang mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan dan mungkin ada pada makanan khusus atau kelompok dari berbagai makanan. Hazard identification dapat dikatakan sebagai langkah pertama dalam menganalisa risiko yang
merupakan proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada makanan tertentu, seperti misalnya bakteri pembentuk histamin yang ada pada ikan golongan scombroid. Identifikasi bahaya (hazard identification) merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-sumber bahaya 2 Hazard characterization Hazard characterization merupakan penelusuran mengenai efek merugikan bagi kesehatan yang disebabkan oleh histamin dan juga mengenai kadar histamin yang dapat menyebabkan bahaya bagi manusia. Risiko mikrobilogi dari bahaya mikrobiologi perhatiannya tertuju pada mikroorganime atau racun toksin dari mikroorganime tersebut. Ada dua faktor penting dalam hazard characterization yaitu pengertian dari efek bahaya (mikroorganisme atau toksinnya) juga dosis yang dapat diterima. 3 Exposure assessment Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari kemungkinan adanya agen kimia, biologi dan fisika yang masuk melalui makanan seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Dalam penjelasannya diperlukan data dalam dua area, yaitu ukuran konsumsi makanan yang memiliki potensi bahaya dan tingkatan kontaminasi dari mikroorganisme atau toksin pada saat konsumsi. Untuk mendapatkan data tersebut, kita harus mengetahui mikroorganisme atau toksin mulai dari persiapan sampai pengolahan dan memperkirakan perubahan yang masuk dari rantai bahaya secara keseluruhan. 4 Risk characterization Risk characterization merupakan proses dari penentuan perkiraan kualitatif dan kuantitatif yang mencakup ketidakpastian tentang kemungkinan kejadian dan kepelikan dari pengetahuan atau potensi yang merugikan bagi kesehatan dalam populasi
yang
ditentukan
berdasarkan
hazard
identification,
hazard
characterization dan exposure assessment.. Menurut Voysey dan Brown (2000) qualitative risk assessment merupakan teknik yang telah biasa digunakan untuk menilai suatu bahan kimia yang terkandung dalam makanan, tetapi teknik tersebut kurang efektif untuk menganalisis cemaran mikrobiologi dikarenakan beberapa hal, yaitu:
1 Risiko mikrobiologi bukan hanya dari satu penyebab saja, tetapi risiko kimia yang ditimbulkan dapat terakumulasi dari tiap perlakuan. 2 Respon yang diterima dari terinfeksinya patogen lebih bervariasi daripda hanya racun bahan kima. 3 tingkat racun dari komponen pada bahan makanan relatif stabil, sedangkan pertumbuhan bakteri akan semakin bertambah yang dapat menyebabkan efek pathogenik. 4 Mikroorganisme dapat beradaptasi dan dapat bekerja sama dengan mikroorganisme lain dan menghasilkan racun pada makanan.
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian “Asesmen Risiko Histamin Selama Proses Pengolahan pada Industri Tuna Loin” dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2008, bertempat di PT. X, kawasan Industri Muara Baru, Jakarta dan Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Pluit, Jakarta Utara.
3.2 Metode Penelitian Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengamatan proses pengolahan tuna loin beku dan tahap analisis risiko (risk assessment) bahaya histamin. 3.2.1 Tahapan pengamatan proses pengolahan tuna loin beku Proses pengolahan tuan loin beku diamati berdasarkan tahap-tahapnya, kemudian digambarkan dalam bentuk diagram alir (flow chart) tahapan proses produksi tuna loin beku. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah mikroba penghasil histamin diamati untuk menentukan tahapan yang berisiko terhadap peningkatan jumlah histamin dan bakteri penghasil histamin. Penentuan tahap-tahap tersebut dilakukan dengan cara melihat waktu, suhu, dan aktivitas penanganan dan pengolahan ikan pada masing-masing tahapan proses. 3.2.2 Tahap evaluasi risiko histamin Evaluasi risiko bahaya histamin dalam penelitian ini menggunakan konsep risk assessment berdasarkan Ross dan Sumner (2002). Risk assessment bahaya peningkatan kadar histamin dan kontaminasi mikroba yang dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat hazard identification, hazard characterization, exposure assessment dan risk characterization dari bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan peningkatan kadar histamin selama proses penerimaan bahan baku. Diagram alur evaluasi risiko mikroba penghasil histamin dapat dilihat pada Gambar 6.
Pernyataan maksud
Hazard identification Identifikasi agen yang dapat merugikan kesehatan
Exposure assessment Evaluasi tingkat penyerapan makanan yang mungkin terjadi
Hazard characterisation Evaluasi sumber merugikan yang berhubungan dengan bahaya yang terdapat dalam makanan. Termasuk dose-response assessment.
Risk characterisation Pendugaan efek merugikan yang mungkin terdapat dalam populasi, termasuk adanya ketidakpastian
Laporan resmi
Gambar 6. Diagram alur proses microbiological risk assessment (Komisi Eropa 1997 diacu dalam Voysey et al. 2000) a) Hazard identification Hazard identification merupakan proses pencarian dan identifikasi masalah khususnya keberadaan histamin dan mikroba penghasil histamin pada ikan tuna selama proses pengolahan ikan tuna loin. Hazard identification meliputi identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan histamin, peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin serta risiko histamin terhadap tubuh manusia. Identifikasi dilakukan dengan studi literatur dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan histamin dan bahayanya bagi tubuh serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan bakteri penghasil histamin.
b) Exposure assessment Exposure assessment bertujuan untuk mengevaluasi level histamin dan mikroorganisme yang terdapat pada tuna. Informasi mengenai level kandungan bakteri total, bakteri penghasil histamin dan kandungan histamin diperoleh dengan cara melakukan pengambilan sampel ikan tuna. Pengambilan sampel dilakukan pada proses penerimaan bahan baku, proses pembentukan tuna loin dan proses pembungkusan tuna loin untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Sampling dilakukan sebanyak tiga kali pada bulan September sampai November 2008. Tahap exposure assessment dilakukan pengambilan data sekunder dari hasil analisis histamin PT. X yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Pluit, Jakarta Utara. c) Hazard characterization Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif alami dari efek yang berhubungan dengan peningkatan dan bahaya histamin. Komponen paling penting dari langkah hazard characterization adalah penetapan dose respone. Dose respone merupakan kadar tertinggi histamin yang terdapat pada bahan baku (ikan tuna) yang dapat menyebabkan bahaya dalam tubuh manusia. Hazard characterization mengevaluasi besarnya kadar histamin yang mungkin dikonsumsi dari produk tuna loin yang mengandung histamin. d) Risk characterization Risk characterization merupakan perkiraan secara semi kuantitatif untuk menentukan
risiko
characterization
dan
histamin
berdasarkan
exposure
hazard
assessment.
Hasil
identification, keluaran
hazard
dari
risk
characterization ini adalah risk estimate atau perkiraan risiko yang dapat timbul dari peningkatan kadar histamin. Penilaian risk estimate menggunakan program risk ranger dari Ross dan Sumner (2002).
3.3 Prosedur Pengujian Sampel Analisis yang dilakukan meliputi kadar histamin, total plate count bahan baku ikan tuna, serta uji total mikroba penghasil histamin.
3.3.1 Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) •
Tahap ekstraksi Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan methanol
sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer (blender). Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam water bath pada suhu 60oC selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang sudah dalam keadaan suhu ruang dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dihomogenkan. Larutan sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. •
Tahap clean up Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut
dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan resin tidak kering dengan cara dibilas menggunakan aquades karena akan mempengaruhi daya kerja ion pada resin). Langkah terakhir adalah melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCL 1 N. •
Tahap pembentukan Masing-masing tabung reaksi dimasukkan sebanyak 10 ml HCL 0.1 N
kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Ditambahkan 3 ml NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan sebanyak 1 ml orto-ftalatdikarboksilaldehid (OPT), lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan 3 ml H3PO43 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm. 3.3.2 Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991) Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril,
kemudian dihancurkan hingga larutan homogen, dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukan dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya hingga pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari pengenceran 10-2 sampai 10-5 dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media nutrient agar (dengan suhu ruang, + 30.5oC) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 0.5 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata dan didiamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 32oC dan diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. 3.3.3 Uji total bakteri penghasil histamin (Niven 1981) Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan mengakibatkan perubahan warna pada media. Larutan niven agar disiapkan dengan cara mencampurkan semua bahan, yaitu 0,1 % trypton, 0,2 % yeast ekstrak, 0,1 % L-histidin, 0,1 % CaCO3, 2 % NaCl, 2,5 % agar, 0,01 % phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan diencerkan dengan aquades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan diatur pH 6-6,1 lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 2 jam. Sampel diencerkan sampai 10-4. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu niven agar cair (dengan suhu ruang, + 30.5oC) dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian diinkubasi pada suhu 35oC selama 48 jam. Dihitung jumlah koloni yang menghasilkan daerah (zona) berwarna merah muda (pink) dengan latar belakang jingga (orange).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tahapan Proses Produksi Tuna Loin PT. X merupakan perusahaan yang memproduksi tuna loin dengan tujuan ekspor, terutama Amerika Serikat. Bahan baku ikan tuna jenis yellowfin tuna dan bigeye tuna, berasal dari transit yang di kawasan industri Muara Baru, Jakarta dengan grade B, yang sudah dibuang isi perut dan insang. Tahapan pada proses pengolahan ikan tuna loin setelah sampai di perusahaan dapat dilihat pada Gambar 7. Penerimaan bahan baku Pencucian I Penyimpanan sementara Pencucian II Pembuangan kepala dan sirip Pembentukan loin pembuangan kulit (skinning), daging gelap, dan duri Penimbangan I Perapihan Pencucian III Pembungkusan Penimbangan II Pemvakuman Penyusunan
Pembekuan Penimbangan III Pengemasan dengan menggunakan master karton Penyimpanan
Gambar 7. Diagram alur proses produksi tuna loin pada perusahaan PT. X Keterangan :
= Awal proses dan proses akhir = Tahapan proses = Penghubung (konektor)
a. Penerimaan bahan baku di perusahaan Ikan tuna yang telah sampai pada bagian penerimaan dilakukan pemeriksaan mutu kembali oleh checker perusahaan untuk memastikan mutu ikan tuna yang akan diolah. Pemeriksaan mutu oleh checker dilakukan berdasarkan tekstur, warna dan bau (aroma) dari daging ikan tuna. Daging ikan tuna yang diperiksa diambil dengan menggunakan coring tube dari bagian dekat ekor dan dekat insang. Ikan yang diterima oleh perusahaan PT. X telah diketahui beratnya. Berat ikan telah ditimbang di tempat transit, yang diawasi oleh checker dari PT. X, sehingga PT. X tidak melakukan lagi penimbangan pada saat ikan sampai di tempat penerimaan bahan baku. Aktivitas penanganan yang menjadi titik kritis pada proses penerimaan bahan baku adalah perlakuan yang kurang baik pada bahan baku yang diterima. Pada saat membawa ikan ke tempat penyimpanan sementara atau ke dalam ruangan pendingin ikan di seret dengan menggunakan ganco. Jarak dari tempat penerimaan bahan baku tidak terlalu jauh dari tempat penyimpanan semetara, perlakuan tersebut sangat memungkinkan ikan tuna yang akan diolah menjadi rusak dan kontaminasi bakteri pada ikan menjadi lebih besar. Kerusakan pada ikan dapat dikurangi dengan menggunakan alat pengangkut yang lebih baik, salah satunya adalah dengan troli.
b. Pencucian I Pencucian I dilakukan pada saat ikan dimasukkan ke dalam ruang penerimaan. Pencucian I dimaksudkan untuk membersihkan kulit ikan dari kotoran yang menempel. Pencucian I dilakukan dengan menggunakan air mengalir yang dibasuh pada permukaan kulit ikan tanpa menggunakan spon pembersih. Proses pencucian dilakukan di atas lantai tempat penerimaan ikan. Air yang digunakan pada proses pencucian adalah air dingin dengan pasokan air standar yang dipergunakan di kawasan industri Muara Baru, Jakarta. Proses pencucian I dilakukan dalam waktu yang singkat kurang dari satu menit. Perlakuan yang kemungkinan dapat menyebabkan kemunduran mutu ikan dalam proses ini adalah pencucian yang hanya melewatkan air di permukaan kulit ikan tanpa dicuci dengan menggunakan spon. Proses pencucian yang dilakukan di lantai dapat menyebabkan kontaminasi mikrobiologi dan kotoran lain pada ikan. Proses pencucian yang dilakukan kurang menerapkan perlakuan dingin, sehingga dapat menyebabkan akumulasi kadar histamin yang semakin besar pada ikan. c. Penyimpanan sementara Penyimpanan sementara dilakukan untuk menunggu proses pengolahan lebih lanjut. Penyimpanan sementara bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan dengan cara menjaga suhu ikan agar tetap berada pada kisaran suhu 0–5oC. Proses ini dilakukan dengan cara memasukan ikan ke dalam bak penampungan besar berisi air yang ditambahkan dengan es curai dalam jumlah yang besar. Suhu pada bak tersebut diperkirakan kurang dari 0oC. Bak penampungan yang digunakan berukuran besar dengan volume 5x6x1,5 m. Ikan yang dimasukkan ke dalam bak penampungan tidak dilakukan penyusunan, di karenakan ukuran bak yang besar sehingga ikan yang dimasukkan tidak bertumpuk. Waktu penyimpanan sementara bergantung pada lamanya kesiapan dari proses pengolahan selanjutnya dan juga waktu kedatangan ikan. Ikan yang datang mendekati waktu istirahat akan dismpan dalam bak penyimpanan sampai waktu istirahat selesai dan proses pengolahan dilanjutkan kembali. Waktu istirahat karyawan diperusahaan adalah sekitar 30 menit dari pukul 12.00-12.30 WIB. Proses yang mungkin dapat meneyebabkan kemunduran mutu ikan dalam tahapan ini adalah tidak dilakukannya teknik first in first out (FIFO), sehingga
ikan yang lebih dulu masuk ke dalam bak penyimpanan kemungkinan tidak dikerjakan terlebih dahulu. Proses FIFO yang tidak diterapkan dapat meningkatkan kadar histamin dan mikroba, walaupun penanganan yang dilakukan sudah baik. Proses pemasukan ikan ke dalam bak penampungan yang kurang hatihati dapat menyebabkan kerusakan fisik pada ikan, sehingga mutunya akan menurun. d. Pencucian II Ikan yang telah melewati tahap penyimpanan sementara dikeluarkan dari bak, lalu diletakkan di atas meja. Pencucian II dilakukan di atas meja plastik yang permukaannya mudah dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir dan spon. Air yang digunakan untuk mencuci, merupakan air bersih dengan suhu dingin (4±1 oC). Pencucian II dilakukan dengan waktu yang singkat sekitar 0,5 menit. Pencucian II dilakukan dengan tujuan menghilangkan kotoran yang masih tersisa pada bagian permukaan kulit ikan setelah proses penyimpanan sementara pada bak penampungan. e. Pembuangan kepala dan sirip Pembuangan kepala dan sirip dilakukan untuk menghilangkan bagian tubuh ikan yang tidak dibutuhkan. Pembuangan kepala dan sirip dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau oleh pekerja pada meja yang permukaannya mudah dibersihkan. Kepala yang dibuang sampai dengan batas operkulum ikan, sedangkan sirip yang di buang adalah seluruh sirip ikan (sirip dorsal, pectoral, ventral, anal dan central). Pembuangan kepala dan sirip ikan dilakukan dalam waktu yang cukup cepat sekitar satu menit. Meja yang telah digunakan untuk pemotongan satu ekor ikan langsung dibersihkan dengan menggunakan air mengalir. f. Pembentukan loin Pembentukkan loin dilakukan secara manual oleh pekerja yang telah terlatih, dengan cara memfillet ikan dan memotong ikan. Pembentukan loin dimulai dengan membelah daging ikan menjadi dua bagian sepanjang bagian gurat sisi (linear lateralis, LL), lalu dilakukan pemotongan dari bagian perut yang disayat dengan menggunakan pisau sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung sampai pangkal ekor, sehingga didapatkan dua bagian daging yang
terlepas dari tulang. Sisi lainnya dilakukan proses yang sama, sehingga dari satu ekor ikan akan diperoleh empat loin. Tuna loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan (BSN 2006). Pembentukan tuna loin dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, kurang dari dua menit. Ikan yang telah dibentuk loin dicuci dengan menggunakan air bersih yang bersuhu dingin (4±1 oC), untuk membersihkan sisa potongan daging yang masih menempel. Meja yang telah digunakan dibersihkan dengan menggunakan air mengalir untuk mengurangi risiko kontaminasi pada produk loin. Kepala dan tulang ikan yang telah terpisah dari daging tidak langsung dibuang, tetapi diambil sisa-sisa dagingnya dengan menggunakan sendok, untuk dijual di pasar lokal. Pemisahan sisa-sisa daging dari tulang ikan dilakukan ditempat (meja) yang terpisah dari tempat pembentukan loin. Hal itu dimaksudkan agar proses produksi utama tidak terganggu dan risiko kontaminasi dapat ditekan. g. Pembuangan kulit (skinning), daging gelap, dan duri Pembuangan kulit (skinning) dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan spesifikasi. Pembuangan kulit dilakukan secara manual menggunakan pisau oleh pekerja. Produk loin yang telah dibentuk, kulit ikan disayat mulai dari ekor ke arah depan, sehingga bagian kulit terpisah dari daging. Pada tahapan ini juga dilakukan pemisahan daging gelap dan juga duriduri kecil yang masih menempel pada daging ikan. Pembuangan daging gelap dan duri dimaksudkan untuk memisahkan bagian yang tidak dibutuhkan. Pembuangan daging gelap dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau oleh pekerja. Proses pengerjaan pada tahapan ini dilakukan di atas meja dengan permukaan yang mudah dibersihkan. Keseluruhan proses pembuangan kulit (skinning), daging gelap, dan duri memakan waktu sekitar dua menit.
h. Penimbangan I Penimbangan I dilakukan untuk mengetahui berat produk loin yang dihasilkan. Proses penimbangan dilakukan secara manual dengan menggunakan timbangan digital, dengan bagian yang kontak dengan daging ikan terbuat dari logam dengan permukaan halus. Hasil penimbangan I dicatat dalam suatu formulir penimbangan. Hasil tersebut dapat digunakan untuk mengetahui rendemen daging ikan tuna. Setelah proses penimbangan selesai dilakukan permukaan timbangan dibasuh dengan menggunakan air, untuk memperkecil risiko kontaminasi. i. Perapihan Perapihan dilakukan untuk mendapatkan produk loin yang sesuai dengan spesifikasi. Proses perapihan dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau oleh pekerja. Perapihan dilakukan untuk membuang daging yang rusak, sisa-sisa daging gelap, sisa kulit, serta sisa duri atau tulang yang masih menempel pada produk. Proses perapihan daging ini berlangsung sekitar 0,5 menit. Daging yang telah selesai dirapikan dicuci menggunakan air bersih dengan suhu dingin dan dibersihkan dengan menggunakan spon, serta disemprot alkohol 70% dengan tujuan mengurangi risiko kontaminasi pada produk, terutama kontaminasi bakteri. j. Pencucian III Pencucian III merupakan pencucian terakhir yang dilakukan untuk membersihkan produk sebelum dilakukan pembungkusan. Pencucian III dilakukan untuk membersihkan daging yang telah berbentuk loin dengan menggunakan air bersih dengan suhu dingin (4±1 oC), tanpa menggunakan disinfektan. Pencucian yang dilakukan tanpa menggunakan disinfektan bertujuan agar tidak terjadi akumulasi bahan disinfektan dalam produk tuna loin. Pencucian dilakukan dengan waktu yang cepat, sekitar 5 detik. Setelah proses pencucian dengan menggunakan air, produk loin dikeringkan dengan menggunakan spon lalu disemprot dengan menggunakan alkohol 70% untuk memperkecil risiko kontaminasi dari bakteri (mikroorganisme). k. Pembungkusan Pembungkusan dilakukan untuk melindungi produk dari kontaminasi oleh lingkungan luar. Pembungkusan dilakukan secara manual dengan menggunakan plastik dengan waktu yang cukup singkat sekitar 3–5 detik.
l. Penimbangan II Penimbangan II dilakukan untuk mengetahui berat produk akhir tuna loin sebelum produk dibekukan. Pada proses ini timbangan yang digunakan adalah timbangan digital dan dilakukan secara manual oleh pekerja. Berat produk dicatat dan diberi label pada bungkus produk. m. Pemvakuman Pemvakuman dilakukan untuk membuat suasana hampa udara pada produk. Pemvakuman dilakukan menggunakan mesin vakum yang dioperasikan oleh pekerja. n. Penyusunan Penyusunan dilakukan agar produk mudah dibekukan. Penyusunan produk yang telah dibungkus dan divakum dalam keranjang plastik untuk dibekukan. Penyusunan ini dilakukan dengan waktu yang cepat sekitar 10 detik tiap keranjang. o. Pembekuan Pembekuan dilakukan untuk menghambat kebusukan dan penurunan mutu ikan agar kualitas daging ikan tetap terjaga. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan air blast freezer pada suhu -20 oC selama sekitar 8 jam. Ruang pembekuan memiliki luas yang cukup dan juga pengatur dan monitor suhu yang dapat dilihat dengan mudah. Pemeriksaan produk hasil pembekuan dilakukan oleh petugas quality control (QC). p. Penimbangan III Penimbangan III dilakukan untuk mengetahui berat loin setelah pembekuan dengan menggunakan timbangan digital. Penimbangan dilakukan secara manual untuk memperoleh berat akhir produk. q. Pengemasan dengan menggunakan master carton dan pelabelan Pengemasan dengan master carton dimaksudkan untuk melindungi produk dari kerusakan fisik selama proses distribusi. Pengemasan dilakukan secara manual oleh pekerja. Proses ini dilakukan pemberian label pada master carton. Pelabelan dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang spesifikasi produk. Pelabelan dilakukan dengan menuliskan informasi pada kemasan master carton. Proses pelabelan dilakukan langsung oleh petugas quality control (QC).
r. Penyimpanan Penyimpanan dilakukan untuk menunggu waktu ekspor atau pengiriman produk. Proses penyimpanan produk dilakukan pada suhu dibawah -18oC untuk mempertahankan mutu produk tersebut. Penyimpanan ini dilakukan dalam ruangan cold storage. Penyusunan produk dilakukan dengan rapi agar tidak terjadi kerusakan fisik pada produk.
4.2 Penilaian Kelayakan Dasar Perusahaan Penilaian kelayakan dasar dari perusahaan pengolahan ikan dilakukan berdasarkan daftar penilaian unit pengolahan ikan (UPI). Daftar penilaian unit pengolahan ikan (UPI) ini berdasarkan pada peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan nomor: PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang pedoman penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Dasar hukum penilaian kelayakan dasar perusahaan adalah peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: PER.01/MEN/2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: KEP.01/MEN/2007 tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dan proses produksi, pengolahan, dan distribusi. Berdasarkan penilaian dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), PT. X memperoleh sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) kategori B. Berdasarkan penilaian di lapangan PT. X mendapatkan SKP kategori C. Hasil penilaian penyimpangan yang terjadi pada unit pengolahan ikan (UPI) di PT. X adalah sebagai berikut: a. Penyimpangan minor Penyimpanagan minor yang ditemukan pada unit pengolahan ikan (UPI) pada PT. X sebanyak 11 penyimpangan. Penyimpangan tersebut antara lain adalah: 1
Lay out bangunan sudah baik namun penempatan ruang penyimpanan sementara (chilling room) yang agak terletak di dalam. Ikan yang diterima di bagian penerimaan bahan baku akan melewati bagian produksi atau pengolahan, begitu juga sebaliknya ikan yang dikeluarkan dari tempat penyimpanan sementara akan melewati bagian pengolahan untuk dilakukan
proses penyimpanan dalam bak (untuk segera dilakukan proses pengolahan). Hal tersebut dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari ikan segar kepada produk. 2
Penyimpanan dan penanganan sampah limbah sedikit kurang sesuai dengan persyaratan. Sampah padat yang dihasilkan langsung dibuang keluar dari unit pengolahan, tetapi tempat pembuangan sampah tersebut masih dekat dengan unit pengolahan. Hal tersebut dapat mengakibatkan terkontaminasinya ruang pengolahan.
3
Terdapat penonjolan pipa pada dinding ruang pengolahan. Penonjolan pipa tersebut
dapat
menyebabkan
akumulasi
kotoran,
sehingga
dapat
menyebabkan kemungkinan kontaminasi pada produk. Permukaan dinding ruang pengolahan harus halus dan datar (Henrik et al. 2004). 4
Pintu terbuat dari bahan yang tahan lama dan tahan korosi, tetapi tidak dapat menutup secara otomatis. Pintu yang tidak tertutup secara otomatis dapat menimbulkan bahaya kontaminasi silang dari tiap bagian. Pintu ruang pengolahan harus dapat ditutup secara otomatis dan tahan lama serta tahan karat yang terbuat dari logam dan permukaannya halus agar terhindar dari kontaminasi silang (Henrik et al 2004).
5 Tempat pencucian mempunyai satu pintu masuk dan keluar. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang dari karyawan. Terjadinya kontaminasi silang dapat menimbulkan kemungkinan kontaminasi pada peralatan dan akhirnya akan mengkontaminasi produk. 6
Peralatan tidak diberi tanda yang jelas untuk setiap area kerja yang berbeda. Peralatan yang tidak diberi tanda memungkinkan untuk digunakan pada area produksi lainnya. Penggunaan peralatan yang tidak spesifik digunakan dapat menyebabkan kontaminasi silang dari bagian/area lain.
7
Tempat untuk ikan segar pada PT. X dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi pada produk. Ikan yang diletakan di lantai dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi. Waktu penanganan ikan segar yang cepat membantu menekan kontaminasi pada produk.
8
Tempat ikan segar kurang dapat mampu mempertahankan ikan dalam kondisi yang higiene. Tempat ikan segar sering di lewati oleh pekerja sehingga kondisi pada tempat itu kurang terjaga secara higiene.
9
Penyimpanan produk dalam fasilitas pembeku kadang tidak dilakukan dengan metode first in first out (FIFO). Hal ini dikarenakan proses pengerjaan dilakukan secara cepat oleh pekerja, sehingga metode FIFO terkadang tidak dilakukan.
10 Tersedia ruang ganti bagi karyawan, tetapi ukuran dan jumlah ruang ganti tidak mencukupi. Ruang ganti yang tersedia sebanyak 4 ruangan, sedangkan dengan jumlah karyawan sebanyak 70 orang. 11
Tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan disinfektan, tetapi pengering yang digunakan bukanlah pengering sekali pakai. Pengering yang digunakan dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang antar pekerja.
b. Penyimpangan mayor Penyimpanagan mayor yang ditemukan pada unit pengolahan ikan (UPI) pada PT. X sebanyak 6 penyimpangan. Penyimpangan tersebut antara lain adalah: 1
Kemiringan lantai dapat menyebabkan air tergenang di beberapa bagian. Air yang tergenang pada area pengolahan produk dapat menjadi tempat akumulasi kotoran dan mejadi tempat pertumbuhan bakteri. Keberadaan air yang tergenang dapat menyebabkan kontaminasi pada produk.
2 Pasokan air pada unit pengolahan ikan disalurkan melalui pipa-pipa. Pipa-pipa air minum dan bukan air minum tidak diberi tanda. Penandaan yang jelas pada pipa-pipa air minum dan bukan air minum dapat mencegah kesalahan dalam pemakaian air dalam unit pengolahan. 3 Pengambilan sampel air yang digunakan pada unit pengolahan tidak dilakukan berdasarkan ketentuan. Pengambilan sampel air yang tidak tepat dapat menyebabkan kesalahan pada hasil pengujian sampel air. 4
Kandungan klorin dalam air dan metodologi untuk pemeriksaan kandungan klorin terkadang tidak dilakukan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Metode pemeriksaan kandungan klorin yang tidak tepat dapat menimbulkan kesalahan dalam hasil pengujian.
5
Tempat penyimpanan limbah tahan dari karat, tetapi tidak dilengkapi dengan tutup yang memadai. Penyimpanan limbah yang tidak dilakukan dengan benar akan dapat menyebabkan kontaminasi pada produk. Selain itu, limbah yang ditangani dengan tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran ke lingkungan sekitar.
6
Tempat penyimpanan limbah tidak dibersihkan secara benar. Pembersihan yang dilakukan secara tidak tepat dapat menimbulkan akumulasi kotoran pada tempat penyimpanan. Akumulasi kotoran yang terdapat dalam tempat penyimpanan limbah dapat menimbulkan kontaminasi pada produk.
c. Penyimpangan serius Penyimpangan serius yang ditemukan pada unit pengolahan ikan (UPI) pada PT. X sebanyak 4 penyimpangan. Penyimpangan tersebut antara lain adalah: 1 Pasokan air pada unit pengolahan tidak tersedia air dengan kualitas air minum. Air yang digunakan untuk melakukan pencucian ikan harus air dengan kualitas air minum. Proses pencucian dan penggunaan air yang berulang kali selama proses pengolahan dapat menimbulkan akumulasi kotoran dalam produk. Hal tersebut dikarenakan air yang bukan kualitas air minum dikhawatirkan masih banyak terdapat kotoran, sehingga dapat mengakibatkan terkontaminasinya produk. 2 PT. X tidak menyediakan sarana untuk analisis kimia dan mikrobiologi air termasuk polutan (logam berat, organochlorin). Analisis untuk adanya bahan kimia berbahaya dan mikrobiologi air, termasuk polutan tidak dilakukan oleh PT. X karena sarana analisis yang tidak tersedia. Hal itu menyebabkan kemungkinan produk dapat terkontaminasi dari air yang digunakan. Air yang digunakan pada PT. X adalah air yang disediakan dari pengelola kawasan industri Muara Baru, Jakarta. 3 Es dibuat dari air bukan dengan kualitas air minum. Air yang bukan merupakan kualitas air minum kemungkinan masih terdapat banyak kotoran. Es yang terbuat dari air bukan kualitas air minum akan mengakumulasi kotoran dari air, dan akhirnya kotoran dari es tersebut akan dapat mengkontaminasi produk. 4 Sarana untuk analisis kimia dan mikrobiologi yang tidak tersedia di PT. X, menyebabkan tidak dilakukan analisis kimia dan mikrobiologi es yang
digunakan. Penggunaan air dan es yang bersih diharuskan, untuk menghindari terjadinya kontaminasi. d. Penyimpangan kritis Penyimpangan kritis tidak ditemukan pada unit pengolahan ikan (UPI) pada PT. X.
4.3 Penilaian risiko bahaya histamin pada tahapan proses pengolahan Risk assessment merupakan karakterisasi dari potensial risiko yang mempengaruhi bahaya, termasuk menyangkut perkiraan besarnya risiko, efek dari keluaran atau hasil yang ada dan melibatkan suatu indikasi dari suatu ketidakpastian (Forsythe dan Hayes 1998). Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Sumner et al. 2004). Kandungan histamin yang tinggi pada ikan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, apabila di konsumsi oleh manusia. Ikan golongan scombroid umumnya memiliki kandungan histamin yang lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Kandungan histamin pada ikan dapat meningkat dengan cepat apabila penanganan tidak dilakukan dengan menggunakan metode C3Q (Carefull (hati-hati), Clean (bersih), Cold (dingin), and Quick (cepat)). Perkiraan risiko bahaya histamin yang timbul selama proses pengolahan tuna loin pada PT. X terhadap manusia dilakukan dengan risk assesment, dengan melihat hazard identification (identifikasi bahaya), exposure assesment (penaksiran bahaya), hazard characterization (karakterisasi bahaya), dan risk characterization (karakterisasi risiko).
4.3.1 Hazard identification (identifikasi bahaya) Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia dan fisika yang mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan dan mungkin ada pada makanan khusus atau kelompok dari berbagai makanan. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah pertama dalam menganalisa risiko yang merupakan proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada makanan tertentu, seperti misalnya bakteri pembentuk histamin yang ada pada ikan golongan scombroid. Sehingga identifikasi bahaya (hazard identification) merupakan
pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-sumber bahaya (Sumner et al. 2004). Identifikasi bahaya (hazard identification) dalam bidang industri tuna pada penelitian ini dilakukan terhadap bahaya histamin. Ikan tuna memiliki kandungan histidin bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya (Ababouch et al. 1985 diacu dalam Keer et al. 2002). Kasus keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal sebagai keracunan scombroid karena melibatkan ikan dari famili Scombroidei, yaitu tuna, bonito, tongkol, mackerel, dan seerfish. Jenis ikan tersebut mengandung histidin bebas dalam jumlah besar pada dagingnya, yang pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi histamin karena adanya aktivitas enzim histidine dekarboksilase dari bakteri yang mencemari ikan tersebut. Gejala keracunan histamin dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah ikan dikonsumsi. Gejalanya berupa muntah-muntah,
diare,
pembengkakan
pada
bibir,
kejang-kejang,
dan
kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini berlangsung kurang dari 12 jam dan dapat diobati dengan terapi antihistamin (Djaafar dan Rahayu 2007). Histidin bebas yang terdapat dalam jaringan tubuh ikan akan didekarboksilasi menjadi histamin oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase. Kadar histamin yang tinggi dalam produk tuna dapat menyebabkan efek keracunan pada manusia, sehingga kadar histamin merupakan salah satu syarat mutu produk tuna. Pembentukan histamin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kandungan histamin pada ikan, yaitu keberadaan bakteri histidin dekarboksilase, kandungan histidin bebas pada ikan, dan faktor lingkungan (suhu dan waktu penanganan) (Lehane dan Olley 1999). Selain itu peningkatan kadar histamin dalam tubuh ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan penangan sehingga akan menybabkan pertumbuhan bakteri yang akan merubah histidin bebas menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilase. Terdapat 3 bakteri utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan kandunga histamin pada ikan, yaitu: Proteus morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei (Taylor 1983). Bakteri
penghasil
histamin
lainnya
adalah
Raoultella
terrigena,
Microbacterium testaceum, Brevibacterium mcbrellneri, Micrococcus diversus,
Staphylococcus spp. dan Morganella morganii (Mangunwardoyo et al. 2007). Bakteri Raoultella terrigena dan Microbacterium testaceum belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai bakteri pembentuk histamin, akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Indriati et a.l (2006) diacu dalam Mangunwardoyo et al. (2007) membuktikan bahwa kedua bakteri tersebut mampu membentuk histamin. Menurut Mangunwardoyo et al. (2007) Enterobacter spp. menghasilkan kadar histamin yang tinggi (305,49 mg/100 ml) dibandingkan dengan M. morganii (92,49 mg/100 ml). Bakteri Enterobacter spp. merupakan bakteri kelompok Enterobacteriaceae yang memiliki kemampuan membentuk histamin dalam jumlah besar dan umum diketahui membentuk histamin pada ikan dan kultur cair. Beberapa jenis genus Enterobacter yang diketahui memiliki kemampuan membentuk histamin adalah: Enterobacter aerogenes, Enterobacter agglomerans, Enterobacter amnigenus, Enterobacter cloacae, dan Enterobacter intermedium (Mangunwardoyo et al. 2007). Peningkatan kadar histamin dalam produk perikanan dapat ditekan dengan cara penanganan yang benar dengan memperhatikan sanitasi lingkungan tempat pengolahan, sehingga pertumbuhan bakteri histidin dekarbksilase dapat dihambat. Penanganan produk perikanan yang baik juga harus dilakukan dengan suhu dingin. FDA menetapkan batas suhu untuk proses pembentukan histamin adalah di atas suhu 4,4 oC, sehingga proses penanganan hasrus dilakukan dibawah suhu tersebut. Keberadaan histamin dalam jumlah besar dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian bagi manusia yang mengkonsumsinya. Konsumsi makanan yang mengandung kadar histamin yang kecil akan memberikan efek yang kecil pula bagi tubuh manusia. Hal tersebut karena sistem intestinal tubuh manusia mengandung enzim DAO (diamine oxidase) dan HMT (histamin N-methyl transferase) dimana akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya, seperti: imidazoleacetic acid, methylhistamine, methylimidazole acetic acid, imidazoleacetic acid riboside, dan acethylhistamine. Kemampuan enzim DAO dan HMT di dalam tubuh manusia juga dapat dihambat oleh putresin dan kadaverin. Oleh karena itu konsumsi ikan tuna yang mengandung histamin dapat menyebabkan efek keracunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi
histamin secara murni (Lehane and Olley 1999). Proses katabolisme histamin pada tubuh manusia dengan adanya enzim DAO dan HMT dapat ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Proses katabolisme histamin pada tubuh manusia (Taylor 1986 diacu dalam Lehane and Olley 1999) Dalam tubuh ikan histidin tidak hanya diubah menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilasi, namun juga oleh reaksi histidin amonia lisase (HAL) menjadi urocanic acid dan amonia. Dalam kondisi yang sama, proses perubahan histidin menjadi histamin lebih sedikit daripada proses perubahan histidin menjadi urocanic acid dan amonia. Hal ini dikarenakan histidin amonia lisase (HAL) memiliki distribusi yang luas pada hampir semua bakteri (Lehane and Olley 1999). Degradasi (perubahan) histidin oleh HAL menjadi urocanic acid dan amonia dapat ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Degradasi histidin menjadi urocanic acid dan amonia oleh HAL (White et al. 1973 diacu dalam Lehane and Olley 1999) Kadar histamin dibawah 100 mg tidak dapat menimbulkan efek toksik, karena adanya mekanisme dari enzim diamine oxidase (DAO) dan histamin Nmethyl transferase (HMT) dalam tubuh manusia yang dapat menghancurkan histamin (Taylor 1986 diacu dalam Lehane and Olley 1999).
4.3.2 Exposure assesment (penaksiran bahaya) Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari kemungkinan adanya agen kimia, biologi, dan fisika yang masuk melalui makanan seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Dalam penjelasannya diperlukan data dalam dua area, yaitu ukuran konsumsi makanan yang memiliki potensi bahaya dan tingkatan kontaminasi dari mikroorganisme atau toksin pada saat konsumsi (Sumner et al. 2004). Exposure assesment pada penelitian ini merupakan proses untuk melihat dan memperkirakan tingkat bahaya histamin dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Exposure assesment dapat diketahui dari berbagai informasi mengenai perkembangan kadar histamin selama proses pengolahan tuna loin dan informasi tingkat konsumsi produk, serta keadaan masyarakat atau populasi yang mengkonsumsi produk tersebut.
4.3.2.1. Perkembangan kadar histamin produk selama proses pengolahan tuna loin. Kadar histamin pada produk ikan tuna merupakan salah satu syarat mutu produk. Kadar histamin yang terdapat dalam ikan dapat menunjukkan kualitas dari produk tersebut. Kadar histamin yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya keracunan bahkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya. Pada penelitian ini informasi kadar histamin dapat dilihat dari analisis kadar histamin yang terbentuk selama proses pengolahan ikan tuna loin di unit pengolahan ikan (UPI) PT. X. a. Kandungan histamin pada produk tuna loin PT. X. Hasil analisis kadar histamin menunjukkan bahwa rata-rata nilai kadar histamin mengalami peningkatan selama proses pengolahan. Berdasarkan data yang diperoleh rata-rata kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku adalah sebesar 8,03 ppm, tahap pembentukan tuna loin adalah 9,16 ppm, dan tahap pembungkusan produk adalah 9,18 ppm. Peningkatan rata-rata kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin di PT. X dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan data dari kadar histamin yang diperoleh, menunjukkan bahwa produk tuna loin yang diproduksi oleh PT. X masih layak untuk dikonsumsi. Batas
Kandungan Histamin (ppm)
histamin menurut SNI 01-4104-2006 adalah 100 ppm. 10
9,16
9,18
P2
P3
8,03 8
6
4 P1
Tahapan Proses Pengolahan
Keterangan : P1: Tahap penerimaan bahan P2: Tahap pembentukan loin P3: Tahap pembungkusan produk
Gambar 10. Grafik rata-rata kadar histamin selama proses pengolahan (ppm). Kadar histamin yang mengalami peningkatan pada proses pengolahan tuna loin pada PT. X ini dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang baik. Aktivitas pengolahan ikan dari semenjak ikan tiba di tempat penerimaan bahan
baku sampai ikan dibungkus untuk setiap 1 ekor ikan dibutuhkan waktu kurang dari 5 menit. Suhu penanganan ikan pada unit pengolahan ikan (UPI) adalah suhu ruang berpendingin udara (16±1 oC), sedangkan air yang digunakan untuk pencucian ikan bersuhu rendah (4±1 oC). Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan air blast freezer pada suhu -20 oC selama sekitar 8 jam. Berdasarkan analisis kadar histamin dari PT. X di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) (Gambar 11), diperoleh data rata-rata pada bulan Agustus 2008 menunjukan kadar histamin sebesar 5,26 ppm, pada bulan September 2008 sebesar 9,03 ppm dan pada bulan
Kadar Histam in (p p m )
Oktober sebesar 10,13 ppm. 12 10 8 6
9,03
10,13
September
Oktober
5,26
4 2 0 Agustus
Bulan
Gambar 11. Grafik rata-rata kadar histamin tuna loin PT. X selama bulan Agutus sampai Oktoberr 2008 dari analisis LPPMHP.
Tahapan proses yang dapat menjadi penyebab meningkatnya kadar histamin adalah pada proses penerimaan bahan baku. Pada saat membawa ikan ke tempat penyimpanan sementara atau ke dalam ruangan pendingin ikan di seret dengan menggunakan ganco. Hal tersebut sangat memungkinkan ikan tuna yang akan diolah menjadi rusak dan kontaminasi bakteri pada ikan menjadi lebih besar. Selain kontaminasi dari bakteri, ikan yang di seret akan mengalami kenaikan suhu karena adanya gesekan bagian tubuh ikan dengan lantai, sehingga kandungan histamin pada tubuh ikan akan semakin bertambah dengan adanya kenaikan suhu. Selain itu proses pencucian dengan air yang terkadang suhunya lebih dari 4oC. Kenaikan kadar histamin yang diakibatkan oleh kenaikan suhu, berkaitan dengan pertumbuhan jumlah bakteri histidin dekarboksilase dan juga kerja enzim histidin dekarboksilase yang telah terdapat pada ikan. Enzim decarboxylase akan
terus menerus menghasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu dingin hingga 4 oC. Produksi histamin akan semakin meningkat
meskipun
telah
disimpan
pada
ruangan
pendingin
(Sumner et al. 2004). b. Jumlah bakteri pada produk tuna loin PT. X. Faktor yang mendukung adanya peningkatan kadar histamin pada produk tuna loin, selain aktivitas penanganan pada proses pengolahan adalah jumlah bakteri pada produk. Analisis log TPC (Total Plate Count/Angka Lempeng Total) digunakan untuk mengetahui jumlah koloni mikroorganisme pada produk secara umum. Hasil analisis log TPC pada bakteri secara umum menunjukkan kenaikan jumlah mikroba selama proses pengolahan tuna loin (Gambar 12). Pada tahapan penerimaan bahan baku rata-rata jumlah bakteri (log TPC) adalah sebesar 4,58 (3,6x104 CFU/ml), pada tahapan pembentukan loin rata-rata sebesar 5,33 (2,1x105 CFU/ml), dan pada tahap pembungkusan rata-rata adalah sebesar 5,88 (4,5x105 CFU/ml). Jumlah bakteri tersebut masih dibawah angka lempeng total (ALT) yang dipersyaratkan oleh SNI 01-4104-2006 dengan persyaratan 5x105 CFU/ml atau apabila dalam log adalah sebesar 5,70. Berdasarkan data yang diperoleh maka, produk tuna loin yang diproduksi oleh PT. X memenuhi syarat.
Log TPC
6 5
5,33
5,66
4,56
4 3 2 P1
P2
P3
Tahapan Pros es Pe ngolahan
Keterangan : P1: Tahap penerimaan bahan P2: Tahap pembentukan loin P3: Tahap pembungkusan produk
Gambar 12. Grafik rata-rata jumlah bakteri (log TPC) selama proses pengolahan.
Hasil yang menunjukkan meningkatnya jumlah bakteri pada tahapan proses pengolahan menunjukkan adanya proses pengolahan yang kurang baik. Adanya peningkatan jumlah bakteri tersebut dapat dikarenakan adanya
kontaminasi bakteri dari lingkungan dan juga proses yang dilakukan dengan suhu yang tidak tepat. Proses penanganan yang dapat meningkatkan jumlah bakteri adalah proses penerimaan bahan baku, yang dilakukan secara kurang baik. Ikan yang diletakan di lantai dapat terkontaminasi bakteri dari lingkungan luar, dan juga penanganan dengan menggunakan suhu yang tidak tepat pada proses ini memungkinkan pertumbuhan jumlah bakteri pada ikan. Selama proses pengolahan, dilakukan pada suhu ruang yang dapat berakibat pada peningkatan jumlah bakteri. Namun proses pengerjaan yang dilakukan secara cepat dapat menekan pertumbuhan bakteri. Proses pembekuan dan penyimpanan sementara pada suhu dingin (<0 oC) dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat dalam ikan. Lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik dapat meningkatkan jumlah bakteri pada produk. Unit pengolahan ikan (UPI) yang kurang memenuhi standar sanitasi dapat meningkatkan jumlah bakteri pada produk. Disinfektan seperti klorin dapat menghambat perumbuhan bakteri. Klorin tidak digunakan untuk mencuci produk, karena penggunaan klorin dapat menimbulkan sifat toksik bagi manusia. Klorin hanya digunakan untuk membersihkan alas kaki apabila akan memasuki ruang unit pengolahan ikan (UPI).
c. Jumlah bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase) pada produk tuna loin PT. X. Keberadaan bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase) pada ikan merupakan penyebab terjadinya peningkatan kadar histamin pada ikan. Jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu Proteus morganii (bigeye, skipjack), Enterobacter aerogenes (skipjack), Clostridium perfringens (skipjack) (Keer et al. 2002). Analisis jumlah bakteri penghasil histidin dekarboksilase dilakukan dengan menghitung angka lempeng total (total plate count, TPC) pada bakteri yang ditumbuhkan secara spesifik menggunakan media Niven’s agar. Media Niven’s agar merupakan media spesifik untuk menumbuhkan bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase) denganwarna jingga (oranye) dan koloni bakteri
penghasil histamin berwarna putih kekuningan dengan wilayah berwarna merah muda di sekitarnya (Gambar 13).
(a)
(b)
(c)
Gambar 13. (a) media Niven’s agar, (b) media Niven’s agar dengan koloni bakteri penghasil histamin, (c) koloni bakteri penghasil histamin pada media Niven’s agar. Hasil analisis jumlah bakteri penghasil histamin dengan menggunakan Niven’s agar menunjukkan nilai yang semakin meningkat (Gambar 14). Pada tahapan penerimaan bahan baku rata-rata jumlah bakteri penghasil histamin (log TPC) adalah sebesar 3,51 (3,3x103 CFU/ml), pada tahapan pembentukan loin rata-rata sebesar 3,65 (4,5x103 CFU/ml), dan pada tahap pembungkusan rata-rata adalah sebesar 4,29 (1,9x104 CFU/ml). Jumlah bakteri penghasil histamin bukan merupakan syarat untuk menentukan mutu atau kualitas produk. Bakteri penghasil histamin dianalisis untuk melihat adanya risiko kenaikan kadar histamin pada produk. Bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase) akan dapat menimbulkan bahaya keracunan atau bahkan kematian apabila telah bekerja menghasilkan enzim histidin dekarboksilase, yang merubah asam amino histidin (histidin bebas) dalam tubuh ikan menjadi histamin.
Log TPC (Niven's agar)
5
4,29 4
3,65
3,51
3
2 P1
P2
P3
Tahapan Proses Pengolahan
Keterangan : P1: Tahap penerimaan bahan P2: Tahap pembentukan loin P3: Tahap pembungkusan produk
Gambar 14. Grafik rata-rata jumlah bakteri penghasil histamin (log TPC) dengan media Niven’s agar selama proses pengolahan. Produksi histamin oleh bakteri histidin dekarboksilase biasanya tidak berlangsung pada suhu kurang dari 5oC (Setiyono 2006). Penanganan yang baik pada saat proses pengolahan akan menghambat pertumbuhan bakteri penghasil histamin pada produk. Penanganan yang berlangsung pada PT. X dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin. Tahapan proses yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin diantaranya adalah tahapan penerimaan bahan baku, dimana ikan tidak ditangani secara baik. Proses pemotongan kepala dan sirip ikan juga dapat mengakibatkan kontaminasi pada daging ikan. Perbandingan jumlah bakteri secara umum dengan bakteri penghasil histamin dapat dilihat pada Gambar 15. Jumlah bakteri penghasil histamin lebih sedikit dibanding jumlah bakteri secara umum. Bakteri secara umum dan bakteri penghasil semakin meningkat selama tahap pengolahan tuna loin.
6
Log TPC
5 4
5,66
5,33 4,56
4,29 3,51
3,65 Bakteri umum
3 Bakteri penghasil histamin
2 1 0 P1
P2 P3 Tahapan Proses Pengolahan
Keterangan : P1: Tahap penerimaan bahan P2: Tahap pembentukan loin P3: Tahap pembungkusan produk
Gambar 15. Grafik perbandingan rata-rata jumlah bakteri secara umum dengan bakteri penghasil histamin (log TPC) selama proses pengolahan. Penggunaan suhu rendah (<10 oC) selama penyimpanan dan penanganan merupakan cara yang efektif untuk mengontrol pertumbuhan bakteri pembentuk histamin. Meskipun pada suhu 0 oC sampai 10 oC bakteri histamin jenis psikrofilik masih dapat tumbuh namun kadar histamin yang terbentuk sedikit (Taylor et al. 1991 diacu dalam Lehane and Olley 1999). Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al. 2002). 4.3.2.2 Informasi konsumsi ikan yang mengandung histamin PT. X merupakan salah satu perusahaan pengolahan ikan tuna yang memproduksi tuna loin dengan tujuan ekspor ke Amerika Serikat. Amerika serikat meupakan salah satu negara yang tingkat konsumsi tunanya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Konsumsi seafood di Amerika Serikat pada tahun 2005 adalah sebesar 16,2 pounds per kapita / tahun, dan meningkat pada tahun 2006 sebesar 16,5 pounds per kapita / tahun. Pada tahun 2006 juga diketahui bahwa konsumsi tuna di Amerika Serikat sebesar 2,9 pounds per kapita / tahun (National Oceanic and Atmospheric Administration
2007). Jumlah penduduk Amerika
Serikat pada tahun 2007 adalah sebanyak 302.503.635 jiwa (Anonim 2008).
Kasus keracunan histamin sudah banyak terjadi sejak tahun 1970, seperti misalnya di Jepang, Amerika Serikat, Australia, New Zealand, dan Inggris. Pada tahun 1980 sampai tahun 1997 kasus keracunan histamin menjadi masalah yang besar dan merata (Sours and Smith 1980 diacu dalam Lehane and Olley 1999). Selama tahun 1970 sampai 1974 telah terjadi 68 kasus keracunan makanan dan 45% diantaranya disebabkan karena proses keracunan histamin yang sebagian diantaranya karena mengkonsumsi ikan tuna dan mahi-mahi. Di Inggris, terjadi 100 kasus keracunan histamin pada rentang waktu tahun 1976 sampai 1982 akibat konsumsi ikan golongan scombroid. Di Jepang dari tahun 1970 sampai tahun 1980 terjadi 43 kasus keracunan histamin akibat konsumsi ikan golongan scombroid. Di Amerika Serikat sendiri, keracunan histamin dari tahun 1969 sampai 1979 terjadi 74 kasus akibat konsumsi ikan golongan scombroid (Taylor 1983). Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin. Kejadian keracunan histamin juga dilaporkan terjadi pada negara-negara Eropa, Asia, Kanada, Selandia Baru (New Zealand), dan Australia (Sumner et al. 2004). Pada periode tahun 1990- 2000, jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Amerika Serikat sebanyak 103 orang, pada periode tahun 1992 – 1999, jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Inggris Raya (UK) sebanyak 32 orang, dan pada periode tahun 1990–2000, jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Australia sebanyak 31 orang (Sumner et al. 2004).
4.3.3 Hazard characterization (karakterisasi bahaya) Hazard
characterization
merupakan
penelusuran
mengenai
efek
merugikan bagi kesehatan yang disebabkan oleh histamin dan juga mengenai kadar histamin yang dapat menyebabkan bahaya bagi manusia. Risiko mikrobilogi dari bahaya mikrobiologi perhatiannya tertuju pada mikroorganime atau racun toksin dari mikroorganime tersebut. Ada dua faktor penting dalam hazard characterization yaitu pengertian dari efek bahaya, juga dosis yang dapat diterima (Sumner et al 2004).
Hazard charcterization merupakan evaluasi secara kualitas dan kuantitas dari efek yang merugikan bagi kesehatan, khususnya bahaya histamin. Hazard characterization bertujuan untuk menceritakan peluang dan tingkat keparahan dosis bahaya yang dikonsumsi manusia. Penentuan hazard characteriation dari bahaya histamin akan dikaitkan dengan dose response dari histamin terhadap tubuh manusia. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada penelitian ini kadar histamin pada produk masih dibawah 10 ppm (1 mg/100 gram), apabila dikonsumsi oleh manusia diduga tidak menimbulkan efek keracunan. Asumsi konsumsi untuk produk tuna tersebut adalah 100 gram dan 250 gram. Konsumsi produk tuna sebanyak 100 gram, dari produk yang mengandung 10 ppm histamin akan memberikan dosis histamin ke tubuh sebesar 0,0154 mg/kg berat badan. Konsumsi produk tuna sebanyak 250 gram dari produk yang mengandung 10 ppm histamin akan memberikan dosis histamin ke tubuh sebesar 0,0385 mg/kg berat badan. Hasil tersebut dengan asumsi bahwa berat badan orang yang mengkonsumsi produk ikan tuna tersebut adalah 65 kg (rata-rata berat penduduk Amerika Serikat tahun 2002) (Longley 2009). Batas dosis histamin yang dapat memberikan efek keracunan adalah 67,5 mg/kg berat badan. Dosis histamin sebesar 3 mg/kg berat badan akan menyebabkan efek keracunan sedang, seperti sakit kepala, mual, demam dan
lain-lain (Motil et al. 1979 diacu dalam Lehane
dan Olley 1999). Amerika Serikat melalui United States-Food and Drugs Administration (US-FDA) telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu 20 mg per 100 g menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi (Lehane and Olley 1999). Tingkatan level histamin, yaitu aman konsumsi (kadar 10 mg/100 gram), kemungkinan toksik (10-50 mg/100 gram), berpeluang toksik (50-100 mg/100 gram), dan toksik (>100mg/100 gram) (Scoging 1998 diacu dalam Sumner et al. 2004). Pemerintah Australia dan New Zealand menetapkan batas dari kadar histamin adalah tidak boleh melebihi 20 mg/100 gram. Menurut
Shalaby 1996 diacu dalam Sumner et al. 2004 tingkatan level histamin adalah aman untuk dikonsumsi (<5 mg/100 gram), berpeluang toksik (5-20 mg/100 gram), kemingkinan toksik (20-100 mg/100 gram), dan toksik atau tidak aman untuk dikonsumsi (>100 mg /100 gram). Berdasarkan data di atas produk tuna loin yang diproduksi oleh PT. X merupakan produk yang aman untuk dikonsumsi, karena kadar histamin yang terdapat pada produk kurang dari 1 mg/100 gram (10 ppm).
4.3.4 Risk characterization (karakterisasi risiko) Risk characterization merupakan proses dari
penentuan perkiraan
kualitatif dan kuantitatif yang mencakup ketidakpastian tentang kemungkinan kejadian dan kepelikan dari pengetahuan atau potensi yang merugikan bagi kesehatan dalam populasi yang ditentukan berdasarkan Hazard identification, Hazard characterization dan Exposure assessment (Sumner et al. 2004). Proses penentuan ranking atau tingkat risiko ini dilakukan secara semikuantitatif menggunakan model perhitungan dari Ross et al. (2002). Prinsip analisis semikuantitatif ini adalah mengubah data kualitatif menjadi data kuantitatif. Kisaran ranking risiko dari yang terkecil sampai yang tertinggi digambarkan dengan menggunakan nilai 0 untuk, risiko bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap seluruh populasi tidak ada hingga 100 untuk, risiko bahaya yang dapat ditimbulkan kepada seluruh populasi akibat konsumsi produk yang mengandung bahaya tersebut (histamin). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa produk yang diolah di PT. X sebagian besar (hampir seluruh produk) di ekspr ke Amerika Serikat. Berdasarkan hal tersebut, analisis ranking risiko yang dilakukan adalah terhadap negara Amerika Serikat. Proses penentuan ranking risiko bahaya histamin di negara Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penilaian risiko secara semi kuantitatif dari bahaya histamin pada tuna loin bagi penduduk Amerika Serikat. No. Kriteria risiko dan keterangannya A. Tingkat keparahan dan populasi yang dapat terkena. 1. Tingkat keparahan dari bahaya Sedang (mild) 2. Persentase populasi yang dapat 100 % dari populasi (seluruh terkena bahaya histamin populasi dapat terkena bahaya histamin) B. Kemungkinan terkena dari makanan 3. Frekuensi konsumsi produk Beberapa kali dalam 1 tahun (a few times per year) 4. Proporsi populasi yang yang Sangat sedikit (5 %) mengkonsumsi produk 5. Ukuran populasi yang dapat 300.000.000 jiwa mengkonsumsi (Amerika Serikat) C. Kemungkinan dari makanan yang terdapat dosis yang dapat membahayakan 6. Peluang kontaminasi pada awal 1% (dalam frekuensi yang sangat proses pengolahan kecil) 7. Pengaruh proses pengolahan Meningkatkan jumlah histamin sebanyak 14%. 8. Potensi terkontaminasi setelah Minor (1%) proses pengolahan 9. Efektivitas kontrol setelah pasca Terkontrol proses pengolahan 10. Besar kenaikan kadar histamin 54 kali kenaikan kadar histamin. yang dapat menyebabkan keracunan pada rata-rata konsumen dari jumlah kadar histamin pada akhir proses. 11. Pengaruh preparasi (pemasakan) Proses pemasakan tidak dapat sebelum dikonsumsi mengurangi kandungan histamin. Kemungkinan terjadinya penyakit per 4,57 x 10-6 hari per konsumen yang dapat terkena bahaya dari total penduduk Prediksi total yang dapat terkena 24.200 290.000.000 (Amerika Serikat) bahaya dalam populasi 45 (sedang) Ranking risiko (0 – 100) Beradasarkan Tabel 3. dapat diketahui bahwa perkiraan ranking risiko bahaya histamin bagi penduduk Amerika Serikat masih tergolong dalam kategori sedang dengan nilai ranking risiko sebesar 45. Dari total penduduk Amerika Serikat sebesar 290.000.000 (290 juta) jiwa perkiraan jumlah penduduk yang
dapat terkena bahaya adalah sebesar 24.400 jiwa. Perkiraan risiko tersebut berdasarkan sejumlah asumsi, yaitu: 1 Jumlah penduduk yang mengkonsumsi tuna adalah 5 % dari total populasi. 2 Frekuensi konsumsi produk tuna adalah beberapa kali dalam 1 tahun. 3 Peluang kontaminasi pada bahan baku adalah 1 %. 4 Proses pengolahan mempengaruhi kenaikan jumlah kadar histamin sebesar 14 % (awal proses kadar histamin 8,03 ppm dan akhir proses menjadi 9,18 ppm). 5 Potensi terjadinya kontaminasi pada produk akhir 1 %. 6 Efektifitas kontrol pada produk akhir terkontrol, yang artinya hampir keseluruhan sistem bekerja dengan baik (kemungkinan dapat meningkatkan sebesar 3 kali). 7 Besar kenaikan kadar histamin yang dapat menyebabkan keracunan pada ratarata konsumen dari jumlah kadar histamin pada akhir proses adalah 54 kali. Besar kadar histamin pada akhir proses adalah 9,18 ppm, sedangkan kadar histamin yang dapat menyebabkan bahaya bagi konsumen adalah sebesar 500 ppm (50 mg/100 gram) (US-FDA 1996 diacu dalam Lehane and Olley 1999), hal itu berarti kenaikan sebesar 54 kali dari kadar histamin pada produk akhir dapat membahayakan bagi konsumen. 8 Proses pengolahan tidak dapat memberikan pengaruh berkurangnya bahaya yang ditimbulkan dari histamin. Histamin tidak dapat dihilangkan dengan berbagai proses pengolahan (Taylor 1983). Hasil yang diperoleh dari evaluasi risiko (risk assesment) perlu didiskusikan untuk dijadikan dasar pada risk management. Risk management merupakan suatu proses lanjutan dalam sistem risk analysis dari adanya suatu risk assesment mengenai kandungan histamin pada produk tuna loin. Tiga komponen Risk analys (risk assessment,risk management dan risk communication) tidak sepenuhnya berbeda, tetapi saling melengkapi, karena pertukaran informasi dan data
diantara
semua
subjek
yang
berpartisipasi
dalam
proses
(Giacone dan Ferri 2005). Risk management memerlukan partisipasi dari berbagai pihak yang terkait dalam masalah ini seperti pemerintah, peneliti, industri, konsumen, ahli kesehatan, dan lain-lain sehingga diperoleh risk management dari
masalah kandungan histamin pada produk tuna tersebut. Risk management dimaksudkan untuk mempertimbangkan hasil analisis bahaya dan faktor lain yang relevan dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen dan promosi perdagangan jika diperlukan, serta memilih pencegahan yang sesuai (Sumner et al. 2004).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Alur proses pengolahan tuna loin yang dilakukan di PT. X meliputi penerimaan bahan baku di perusahaan; pencucian I; penyimpanan sementara; pencucian II; pembuangan kepala dan sirip; pembentukan loin; pembuangan kulit (skinning), daging gelap, dan duri; penimbangan I; perapihan; pencucian III; pembungkusan; penimbangan II; pemvakuman; penyusunan; pembekuan; penimbangan III; pengemasan dengan menggunakan master carton dan pelabelan; dan Penyimpanan. Penilaian kelayakan dasar yang dilakukan pada unit pengolahan ikan (UPI) PT.
X menunjukkan adanya
beberapa
penyimpangan, antara lain
11
penyimpangan minor, 6 penyimpangan mayor, dan 4 penyimpangan serius. Berdasarkan penyimpangan tersebut, maka PT. X dikategorikan sebagai UPI dengan nilai kelayakan C (cukup). Identifikasi bahaya (hazard identification) kadar histamin yang tinggi dalam produk tuna dapat menyebabkan efek keracunan pada manusia, sehingga kadar histamin merupakan salah satu indikator mutu produk tuna. Hasil penelitian penaksiran bahaya (exposure assesment) menunjukkan rata-rata kadar histamin pada saat penerimaan bahan baku sebesar 8,03 ppm, tahap pembentukan tuna loin 9,16 ppm dan tahap pembungkusan produk 9,18 ppm. Jumlah bakteri secara umum pada tahapan penerimaan bahan baku rata-rata (log TPC) sebesar 4,58 (3,6x104 CFU/ml), tahap pembentukan loin sebesar 5,33 (2,1x105 CFU/ml) dan tahap pembungkusan sebesar 5,88 (4,5x105 CFU/ml). Jumlah bakteri penghasil histamin pada tahapan penerimaan bahan baku rata-rata (log TPC) sebesar 3,51 (3,3x103 CFU/ml), tahap pembentukan loin sebesar 3,65 (4,5x103 CFU/ml) dan tahap pembungkusan sebesar 4,29 (1,9x104 CFU/ml). Hasil analisis exposure assessment menunjukan produk tuna loin yang diproduksi oleh PT. X masih aman untuk dikonsumsi. Risk characterization menunjukkan bahwa ranking risiko bahaya histamin dari perusahaan ini bagi penduduk Amerika Serikat masih tergolong dalam kategori sedang dengan nilai ranking risiko sebesar 45. Perkiraan jumlah
penduduk yang dapat terkena bahaya adalah sebesar 24.400 jiwa dari total penduduk 300 juta jiwa.
5.2 Saran Perlu dilakukannya lebih banyak penelitian lanjutan mengenai risiko bahaya histamin dalam proses pengolahan maupun proses penangkapan dan proses distribusi produk tuna sampai ke tangan konsumen. Penelitian mengenai risiko bahaya histamin akan dapat mengetahui faktor penyebab larangan ekspor produk tuna Indonesia. Perluasan pasar ekspor tuna dari Indonesia dan juga adanya peningkatan kualitas dari perusahaan-perusahaan tuna di Indonesia dapat didukung dengan adanya penelitian mengenai analisis risiko bahaya pada industri tuna di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Alfred A. 1998. The Effect of Delayed Icing and Gutting on The Quality of Freshwater Arctic Charr (Salvelinus alpinus L.). Iceland: United Nation University-Fisheries Training Programe. Anonim. 2005. Kepastian pembukaan larangan ekspor ikan tuna september. Dalam www.tempo.com. ( 12 April 2008 ). Anonim. 2006. Chemical composition on bluefin tuna (thunnus thynnus (l.) ) from the strait of messina waters. Dalam http://cat.inist.fr. ( 12 April 2008 ). Anonim.
2008. General statistics about www.america.gov. (31 Januari 2008)
the
U.S.
population.
Dalam
BBPMHP, 1999. Kumpulan Standar Mutu Hasil Perikanan. Jakarta: Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. [Deptan] Departemen Pertanian. 1997. Kebersihan dan Sanitasi. Operasional Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan bidang kebersihan dan sanitasi. Jakarta: Proyek Pengembangan PP/PPI. Departemen Pertanian . [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tuna Loin Beku. Jakarta: BSN Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Djaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan dan pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian 26:2 Forsythe JS, Hayes PR. 1998. Food Higiene, Microbilogi, and HACCP. Gaithersburg: Chapman Hall. Aspen Publisher Inc. Giacone V, Ferri M. 2005. Microbilogical risk assessment and food safety: an update. Veterinary Research Communications 29:101–106 Henrik HH, Dilson M, Derrick S. 2004. A Guide Seafood Hygiene Management. Eurofish: the Norwegian Ministry of Fishers and Coastae Affair and the Swiss Import Promotion Programme.
Huss H.H.. 1986. Fresh fish quality and quality changes. Roma: FAO-DANIDA. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya Keer M, Paul L, Sylvia A .2002. Effect of Storage Condition on Histamin Formation in Fresh and Canned Tuna. Commision by Food Safety Unit. Dalam www.foodsafety.vic.gov.au. ( 12 April 2008 ) Lehane L, Olley J. 1999. Histamine (Scombroid) Fish Posioning a review in a risk-assessment framework. Canberra: National Office of Animal and Plant health. Longley R. 2009. Americans getting taller, bigger, and fatter. Dalam www.usgovernmentinfo.com. (31 Januari 2009) Mangunwardoyo W, Sophia RA, Heruwati ES. 2007. Seleksi dan pengujian aktivitas enzim l-histidine decarboxilase dari bakteri pembentuk histamin. Macara, Sains 11: 104-109. Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR. 1982. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. United States: AVI publishing company, Inc. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2007. Seafood consumption increas in 2006. Dalam http://www.noaa.gov. (20 November 2008) Niven CF, Jeffrey M.B, Corlett D.A. 1981. Differential Plating Medium for Quantitative Detection Histamine-Production Bacteria. Apllied and Enviromental Microbiology Ross T, Sumner J. 2002. A simple, spreadsheet-based, food safety risk assesment tool. International Journal of Food Microbiology 77: 39-53 Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1,2. Bogor : Binacipta. Setiyono IK. 2006. Factors affecting histamine level in Indonesian canned albacore tuna (Thunnus alalunga). [tesis]. Departemen of Marine Biotechnology. University of Tromse. Norway. Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish Industry. Roma: FAO. Suparno. 1992. Peti Pendingin Berinsulasi. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Taylor SL. 1983. Monograph on Histamin Poisoning Codex Alimentarius Commision. Roma: FAO. Tampubolon SM. 1983. Ikan Tuna dan Perdagangannya. Jakarta: Gaya Baru. Voysey PA, Brown M. 2000. Microbiological risk assessment; a new approach to food safety control. International journal of food microbiology 58 :173-179 Winarno FG. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar denah lokasi Unit Pegolahan Ikan (UPI) PT. X
Cold Storage (Ruang Pembekuan)
Ruang Pembuatan Es
Ruang Pencucian Alat Ruang Pengolahan Ruang Cuci Tangan Bak Penyimpanan Sementara
Ruang Pengolahan Ruang Chilling (Penyimpanan Sementara)
Bak Penyimpanan Sementara Tempat Penerimaan Bahan Baku
Ruang Loker karyawan
Toilet
Toilet
Toilet
Toilet
Ruang Pencucian Pakaian Karyawan Pos
Tempat Sampah
Lampiran 2. Tabel Penilaian Kelayakan Dasar Unit Pengolahan Ikan (UPI) JUMLAH PENYIMPANGAN
TINGKAT ( RATING ) Mn
My
Sr
Kr
0-6
0-5
0
0
B (Baik)
≥7
6 - 10
1-2
0
C (Cukup)
NA
≥ 11
3-4
0
D (Tidak lulus)
NA
NA
≥5
1
A (Baik sekali)
Catatan: *) jumlah penyimpangan My dan Sr tidak lebih dari 10 NA = Not Applicable
No
Aspek Yang Dinilai
1
Lay-out Design Arsitektur Area UPI memadai untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi saniter dan higienis Area UPI terdapat di daerah industri yang telah disetujui Area bersih terpisah dari area kotor Lay out dapat mencegah kontaminasi Lokasi dan Lingkungan Penyimpanan dan penanganan sampah, limbah dan peralatan sesuai persyaratan Sistem pembuangan air/saluran sesuai persyaratan Kontrol untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya tersedia Ruang Penerimaan Ruang penerimaan bersih
1.1
1.2
1.3 1.4 2 2.1
2.2
2.3
3 3.1
Dasar Hukum
OK
Mn
KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 2 idem
My
Sr
X
X
X
X
Kr
X
idem
X
idem KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 9
X
idem
X
KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 11
X
KEP.01/M
X
X
Keterangan
dan mudah diperbaiki.
3.2
3.3
3.4
3.5
4 4.1 4.1.1
4.1.2
4.1.3
Lantai, dinding, langitlangit terbuat dari bahan yang mudah dibesihkan Tersedia cukup air bersih yang sesuai dengan ketentuan Saluran pembuangan tepat dan bersih
Ruang penerimaan tertutup dari lingkungan luar Ruang Penanganan dan Pengolahan Lantai Lantai terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didesinfeksi Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak beracun, tidak menyerap, tidak licin, tidak retak. Kemiringan lantai sesuai tidak menyebabkan lantai tergenang
4.2 4.2.1
Dinding Permukaan bagian dalam kedap air dan tidak menyerap
4.2.2
Permukaan dinding halus, tanpa retak, celah atau lubang serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi Permukaan tahan lama dan kedap air
4.2.3
EN/ 2007, BAB V, B, 3 X idem SK Menkes 907/02 KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 9 KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 1.b
KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 3
X
X
X
KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 3
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
idem
idem
X
X
4.2.4
4.2.5
4.3 4.3.1
4.3.2
4.3.3
Bebas dari penonjolan dan seluruh pipa dan kabel ditutup dengan baik Pertemuan antara lantai dan dinding serta dinding dan dinding mudah dibersihkan Langit-langit / Ceilings Bebas dari retak dan celah
Permukaannya halus dan mudah dicuci dan berwarna terang untuk menjamin kebersihannya Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan
4.4 4.4.1
Pintu/doors Terbuat dari bahan yang tahan lama, dan tahan korosi serta menutup secara otomatis
4.4.2
Mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat Lampu menggunakan pelindung dan aman
4.4.3
4.5 4.5.1
Ventilasi/ventilation Ventilasi mencukupi
4.5.2
Memungkinkan untuk menyaring uap air. Penerangan
4.6
X
idem
X
X
X
X
idem
KEP.01/M EN/ 2007, BAB V, B, 3
X idem X
X
idem
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 12 idem
X
X
X
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 3 idem
X
X
X
X
X
4.6.1
4.6.2 4.7 4.7.1
4.7.2
4.7.3
4.7.4
4.7.5
4.7.6
5. 5.1
5.2
5.3
Penerangan ruang pengolahan dan ruang inspeksi memadai Lampu menggunakan pelindung dan aman Fasilitas Pencucian Tangan dan Desinfeksi Semua pintu masuk ke area pengolahan dilengkapi dengan bak cuci kaki dengan ukuran yang sesuai Bak cuci kaki menggunakan air bersih dan desinfektan Semua pintu masuk ke ruang pengolahan dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan desinfeksi yang cukup Kran air tidak dioperasikan dengan tangan Menggunakan sabun dan desinfektan yang disetujui Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan pengering sekali pakai Perlengkapan dan peralatan Terbuat dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didesinfeksi Selalu terjaga dalam kondisi yang bersih
5.4
Binatang pengganggu secara sistematis dicegah agar tidak bisa masuk ?
5.5
Pembasmi
tikus,
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 12
X
idem
X
X
X
X
idem
idem
X
idem
X
idem
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 6
X
X
X
X
idem idem KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 11 KEP.01/
X
X
X
X
X
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
5.14
5.15
pembasmi serangga, disenfektan dan racun lainnya tersimpan dalam lemari yang dapat di kunci Racun-racun tersebut dapat mengkontaminasi produk perikanan Alat-alat tersebut hanya digunakan utuk produk perikanan
MEN/ 2007, BAB V, B, 10 X idem
Jika tidak, apakah digunakan untuk hal lainnya Air digunakan hanya idem untuk tujuan yang telah ditetapkan Fasilitas dan peralatan KEP.01/ dibersihkan minimal satu MEN/ kali dalam satu hari 2007, BAB V, B, 8 Mempunyai tempat KEP.01/ pencucian alat yang MEN/ terpisah 2007, BAB V, B, 1, b Tempat pencuciaan idem mempunyai pintu masuk dan keluar yang terpisah Mempunyai saluran KEP.01/ pembuangan air yang MEN/ baik 2007, BAB V, B, 9 Peralatan diberi tanda KEP.01/ untuk setiap area kerja MEN/ yang berbeda 2007, BAB V, B, 7
Pencucian menggunakan
bahan
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 7 idem
KEP.01/ MEN/
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
kimia, desinfektan yang disetujui 5.16
6 6.1
6.1.1
6.1.2
6.2 6.2.1
6.2.2 6.3 6.3.1 6.3.2
6.3.3
Pencucian menggunakan bahan kimia, desinfektan yang disetujui Ruang Pendinginan, Es dan Gudang Beku Lantai
Lantai kedap air dan terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan didesinfeksi Kemiringan lantai sesuai tidak menyebabkan lantai tergenang Dinding Permukaannya halus, mudah dibersihkan dan didesinfeksi Permukaannya tahan lama dan kedap Langit - langit Bebas dari retak dan celah Permukaannya halus dan dapat dicuci dan berwarna terang untuk menjamin kebersihannya Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan
7
Tempat untuk Ikan Segar
7.1
Ikan terlindungi dari kontaminasi
2007, BAB V, B, 8 X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 3 idem
X
X
idem
X
X
idem
X
X
X
X
idem idem
X
X
idem
X
X
idem
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V,
X
X
C, 1. d 7.2
Mampu mempertahankan ikan dalam kondisi yang higiene ?
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 1. a
X
7.3
Air dapat mudah mengalir ke luar
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 1. d
X
8 8.1
8.2
8.3 8.4
9 9.1
9.2
9.3
9.4
X
Fasilitas Pendinginan X
Kapasitas pendinginan KEP.01/ memadai untuk MEN/ menjamin suhu produk 2007, pada suhu es meleleh BAB V, (melting ice) C, 2. a. 1 Bahan baku disimpan KEP.01/ secara benar dan diberi MEN/ es 2007, BAB V, D, 3 Wadah dan peralatan idem mudah dicuci Dilengkapi dengan alat KEP.01/ MEN/ pencatat suhu (untuk unit refrigerasi) 2007, BAB V, C, 2. d Fasilitas Pembekuan Kapasitas alat pembeku KEP.01/ dan gudang beku MEN/ 2007, memadai BAB V, C, 2. a Mampu menyimpan ikan idem dengan suhu ikan pada minimal – 18˚ C Dilengkapi dengan alat KEP.01/ pencatat suhu yang MEN/ mudah dibaca 2007, BAB V, C, 2. d Penyimpanan produk KEP.01/ menggunakan pallet MEN/
X
X
X X
X
X
X
X
X
untuk kontaminasi
9.5 9.6
9.7
9.8 10
10.1 10.2
11
mencegah 2007, BAB VIII, 2. 7.d
Penyimpanan produk dengan metoda FIFO Sensor suhu pada alat pencatat suhu tidak diletakkan di lokasi/area yang mempunyai suhu paling tinggi Dilengkapi tirai udara pada pintu masuk anteroom dan gudang beku
idem
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 2. d KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B.3 fasilitas idem
Mempunyai anteroom Fasilitas untuk Hidup
X
X
X
X
X
Ikan
Sediakan agar tingkat ketahanan hidupnya baik Tersedia air dengan kualitas yang sesuai dengan jumlah yang cukup Fasilitas Pengalengan
11.1
Menggunakan alat retort yang diizinkan dan telah dikalibrasi
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 5. a, 2
11.2
Tersedia bukti proses pemanasan Fasilitas Pengasapan
idem
12
X
12.1
Ruang terpisah
12.2 13
Ventilasi cukup Fasilitas Penggaraman
13.1
Tempat
pengasapan
penggaraman
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 5. c, 6. a idem
KEP.01/
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
terpisah dengan ruang proses lainnya
MEN/ 2007, BAB V, C, 5. c, 7. a
13.2
Sisa garam tidak menganggu drainase
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 5. c, 7. b
14
Pengawasan Binatang Pengerat (Pest control) Tersedia dengan jumlah yang cukup fasilitas pencegah binatang pengerat
14.1
14.2
Tersedia prosedur dan frequensi pest control serta bahan kimia yang disetujui
14.3
Tersedia peta penempatan perangkap dan umpan (verifikasi harus dilakukan)
14.4
Tersedia prosedur pembuangan binatang pengganggu yang mati Tersedia prosedur program pembersihan setelah fumigasi Adanya pemberian nomor dan penempatan penangkapan lalat
14.5
14.6
15 15.1
15.2
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 11 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 10 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 11 idem
X
X
Pasokan Air (Portable water) Tersedia air dengan Permenk kualitas air minum es 9072001 Pasokan dan tekanan air cukup
X
X
X
X
idem
idem
X
X
X
X
X
15.3
15.4
15.5
15.6
15.7
15.8
15.9
16 16.1
16.2
16.3
16.4 17
Adanya penandaan yang jelas antar pipa-pipa air minum dan bukan air minum Mempunyai peta distribusi air dengan outlet dan keran yang diberi nomor seri.
Tersedia dan dilakukan prosedur pengambilan sampel air sesuai SNI Tersedia sarana untuk analisis kimia dan mikrobiologi air termasuk polutan (logam berat, organochlorin) Kandungan khlorin (ppm) dalam air dan metodelogi untuk memeriksa kandungan khlorin sesuai yang dipersyaratkan (verifikasi kandungan khlorin harus dilakukan) Jumlah tangki penyimpanan air mencukupi Tersedia jadwal dan prosedur pembersihan tangki air Pembuatan dan Penggunaan Es Es dibuat dari air SNI 01bermutu air minum. 4872, …REV Es disimpan dalam tempat/ wadah yang didisain khusus untuk simpan es Tempat penyimpanan es bersih dan dipelihara baik Analisa mikrobiologi dan kimia es dilakukan Ruang Ganti, Kamar
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
17.1
17.2
17.3
17.4
17.5
17.6
17.7
17.8
17.9
Mandi dan Toilet Tersedia ruang dengan jumlah cukup
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 5. b. 3 idem Dinding dan lantai ruang ganti halus, kedap air dan mudah dibersihkan ganti yang
Tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Tersedia toilet dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan
X
X
X
X
idem
X
idem
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C, 5. b. 1, b Toilet dilengkapi dengan KEP.01/ sistem menyiram air MEN/ (water flushing system) 2007, dan masih berfungsi BAB V, C, 5. b. 3 Kran pada tempat cuci idem tangan tidak dioperasikan dengan tangan Tersedia sarana bak KEP.01/ cuci tangan dan penyuci MEN/ hama 2007, BAB V, B, 12 Tersedia loker untuk KEP.01/ menyimpan barang MEN/ karyawan 2007, BAB V,
X
X
X
X
X
X
X
17.10
18 18.1
18.2
19.3
18.4
18.5
Barang karyawan tidak disimpan diarea tempat penanganan pangan Kebersihan Karyawan Semua karyawan mengenakan pakaian yang sesuai dan bersih (jumlah pakaian seragam per karyawan dan frekuensi ganti pakaian di cek)
Karyawan mencuci dan mensucihamakan tangan sebelum mulai bekerja atau setiap waktu yang ditentukan Setiap karyawan mendapat pengecekan kesehatan dan dilakukan secara berkala (cek record dan verifikasi) Terdapat tanda-tanda yang jelas untuk pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya di ruang pengolahan dan tempat penyimpanan Pengecekan kesehatan karyawan dilakukan secara periodik
18.6
Pakaian kerja karyawan dicuci oleh UPI
18.7
Ada karyawan yang dapat mengkontaminasi produk ketika menangani ikan
B, 3 idem
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 15
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B, 13 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 14 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 13
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 14 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 15 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 13
X
X
X
X
X
X
X
X
X
18.8
Karyawan menggunakan tutup kepala yang dapat menutupi rambut secara keseluruhan
18.9
Luka ditutup dengan perban yang tahan air
18.10
Tersedia sarana pertolongan pertama
19 19.1
Penanganan Limbah Area pembuangan limbah terpisah
19.2
Tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup Tempat limbah dibersihkan secara benar Limbah di pindahkan minimal sekali dalam sehari Wadah dan tempat penyimpanan limbah segera dibersihkan setelah digunakan Tempat penyimpanan limbah dapat mengkontaminasi Pengemasan dan Pelabelan Pengemasam dilakukan pada kondisi yang higienis untuk menghindarkan kontaminasi
19.3
19.4
19.5
19.6
20 20.1
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 15 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 13 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B. 14
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, B.9 idem
X
idem
X
X
idem
X
X
idem
X
X
idem
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, D.1
X
X
X
X
20.2
20.3
Bahan pengemas yang kontak dengan produk tidak boleh memperburuk karakteristik secara organoleptik produk. Bahan pengemas yang kontak dengan produk tidak menularkan bahan berbahaya
20.4
Bahan pengemas yang tidak digunakan disimpan di tempat yang jauh dari area pengolahan dan terlindung dari debu dan kontaminasi
20.5
Kemasan ikan dan produk serta dokumendokumen yang menunjukkan nomor persetujuan (approval number) yang diberikan oleh Competent Authorithy diikuti oleh ringkasan atau deskripsi produk, jenis produk, tahun, bulan dan tanggal produksi Kemasan menunjukkan dalam kalimat jelas “Produk dari Indonesia”
20.6
21 21.1 21.1.1
Proses Penanganan dan Pengolahan (GMP) Tempat / Wadah Ikan terlindungi dari kontaminasi
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, D. 2. a
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, D. 2. b KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, D. 4
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, D. 5
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, D. 5.a
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V.C.14
X
X
21.1.2
21.1.3
21.1.4
21.1.5
21.2 21.2.1 21.2.2
21.2.2 21.2.3
21.2.4
21.2.5
21.2.6
21.2.7
Mampu mempertahankan ikan dalam kondisi yang higene Air dapat mudah mengalir ke luar
Tempat/wadah berisi produk tidak boleh ditumpuk sebelum dan sesudah pencucian Setelah pencucian wadah berisi produk ditiriskan 5 menit sebelum dibekukan Produk Segar/Bahan baku Temperatur air ≤ 3 °C (melting ice) Peralatan yang digunakan dalam keadaan bersih
Waktu pencucian tidak lebih dari 3 menit Produk yang tidak segera diproses, diberi es atau dimasukan kedalam pendingin Dilakukan peng-es-an kembali pada produk yang sudah di-es secara teratur Produk yang sudah di-es dikemas atau dimasukan kependingin Pembuangan isi perut dan kepala dilakukan dengan higienis
Setelah pembuangan isi perut dan kepala segera dilakukan pencucian
idem
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 1.d idem
X
X
X
idem
X
X
X KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 1.d
X
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 1.d Idem
X
X
X
X
Idem
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 1.b KEP.01/ MEN/ 2007,
X
X
X
X
X
21.2.8
21.2.9
21.2.10
21.2.11 21.2. 12
21.3 21.3.1
21.3.2
21.4 21.4.1
21.4.2
21.4.3 21.4.4 21.4.5
dengan air yang dipersyaratkan Pembuatan filet dan pemotongan dilakukan ditempat yang berbeda dengan pembuangan isi perut dan kepala Proses pemfiletan dan pemotongan dapat menyebabkan kontaminasi pada filet? Adannya penundaan dalam proses pembuatan filet atau steak Filet dan steak segera dibekukan Jeroan dan bagian lain yang tak dibutuhkan cepat dipisahkan dari produk Penyimpanan Produk Hasil Perikanan Beku Suhu tercatat pada alat pencatat
Catatan tersimpan selama produk tersebut ada Pelelehan Produk Pelelehan dilakukan dengan higienis
Terdapat resiko kontaminasi selama pelelehan Air lelehan mengalir dengan baik Suhu dari produk beku sesuai Produk yang dilelehkan untuk tujuan dijual diberi label dengan baik
BAB V, C. 1.c KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 1.b
X
X
X
X
idem
X
X
idem
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 1.c
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 2.d idem
X
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 3.a idem
X
X
X
X
idem
X
X
idem
X
X
idem
X
X
21.5 21.5.1
21.5.2 21.5.3 21.5.4
21.6 21.6.1
21.6.2
21.6.3
Perlakuan lainnya Pengendalian bakteri dengan perlakuan yang sesuai (untuk udang rebus atau kekerangan)
Pencatatan suhu akurat , disimpan, dan disahkan Pengendalian parameter idem bahaya (PH, Aw,...) Pencatatan yang idem tersedia minimal validitas produk Produk Kaleng Parameter retorting KEP.01/ divalidasi dan diawasi MEN/ 2007, BAB V, C.5.a.2 Kaleng dan pouch KEP.01/ diawasi keadaannya MEN/ 2007, BAB V, C. 5.c Uji inkubasi 37oC – 35oC KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 5.a. 4
21.6.4
Verifikasi uji mikrobilogi secara rutin
21.6.5
Verifikasi terhadap lipatan kaleng
21.6.6
Keutuhan kaleng atau pouch diawasi
21.7
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C.4.c idem
Penggaraman Ikan
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 5.a. 5 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 5.b KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 5. c
X
X X X
X
X
X
X
X
21.7.1
Mutu garam diawasi dan disimpan dengan baik
21.7.2
Garam tidak digunakan kembali dan hanya digunakan sekali pakai Wadah penggaraman dicuci dan didisinfeksi sebelum dan sesudah digunakan
21.7.3
21.8 21.8.1
Ikan Asap Bahan/material pengasapan disimpan dengan baik dan terpisah dari bahan baku
21.8.2
Tidak menghasilkan asap yang beracun atau berbahaya
21.8.3
Tidak menggunakan kayu yang telah dicat/dilem Ikan asap segera didinginkan sebelum dikemas
21.8.4
21.9 21.9.1
21.9.2
21.9.3
Udang dan Kekerangan Rebus Perebusan dilanjutkan dengan pendinginan hingga mencapai suhu titik leleh es Air yang digunakan untuk pendinginan adalah air layak minum atau CSW Proses pengupasan dilakukan secara
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 7.b idem
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 7.d
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 6.b KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 6.c idem
X
X
X
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 6.d
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 8.a idem
X
KEP.01/ MEN/
X
X
X
X
higienis
21.9.4
Gunakan metode pembekuan cepat untuk membekukan produk yang telah direbus
21.9.5
Perebusan dilakukan dengan baik di ruangan yang bersih
21.9.6
Hasil uji mikrobiologi diverifikasi secara reguler
21.10 21.10.1
21.10.2 21.10.3
Ikan lumat (minced fish) Bebas dari benda asing (tulang, duri, kulit dll)
Ikan yang telah disiangi dicuci bersih Setelah difillet, ikan segera diproses lebih lanjut
21.10.4
Mesin penghancur daging ikan (meatbone separator) dicuci minimal setiap 2 jam
21.10.5
Daging lumat (minced fish) segera dibekukan atau diproses lebih lanjut
21.11
Hal yang berhubungan dengan Parasit Ikan diperiksa secara visual untuk mengetahui ada tidaknya parasit
21.11.1
2007, BAB V, C. 8.b KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 8.a KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 8 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 8.c
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 9.a idem
X
X
X
X
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 9.c KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 9.b KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 9.c
X
KEP.01/ MEN/ 2007,
X
X
X
X
X
X
21.11.2
Ikan atau bagian dari ikan yang terinfeksi berat sudah dipsahkan dari rantai distribusi
21.11.3
Pengawasan terhadap parasit harus mengacu kepada peraturan 93/140/EEC Ikan yang akan dikonsumsi mentah dan pengasapan dingin sudah diberikan perlakuan pembekuan (T < -20oC minimal 24 jam) Pelaku usaha pemverifikasi cara pembekuan yang diterapkan Ada pernyataan tentang identifikasi produk beku yang mengandung parasit dari dari mana parasit tersebut berasal Prosedur dan Monitoring Program GMP menetapkan waktu dan temperatur pada masing-masing tahapan Waktu dan temperatur pada setiap tahapan dimonitor Waktu dan temperatur mampu menjamin keamanan produk Implementasi HACCP Modifikasi Dokumen HACCP tidak dimutakhirkan dan tidak divalidasi
21.11.4
21.11.5
21.11.6
21.12 21.12.1
21.12.2
21.12.3
21.13 21.13.1 21.13.1.1
21.13.1.2
Modifikasi dikomunikasikan
tidak atau
BAB V, C. 10.a idem
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, C. 10.b
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, E. 1 KEP.01/ MEN/
X
X
X
X
disetujui
2007, BAB V, E. 2 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, E. 1 KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, E. 1
21.13.1.3
Modifikasi parameter kritis tidak disetujui
21.13.1.4
Tidak ada untuk teknisi
21.13.2 21.13.2.1
Catatan Catatan dimutakhirkan
21.13.2.2
Catatan dipalsukan/tidak dapat dipercaya Dokumen dipalsukan idem Catatan tidak tersedia idem Rencana manajemen Tindakan pencegahan idem tidak diikuti Prosedur monitoring KEP.01/ tidak diikuti MEN/ 2007, BAB V, E. 2 Tindakan perbaikan idem tidak dilakukan atau tidak diikuti Verifikasi internal Verifikasi monitoring KEP.01/ GMP,SSOP, CCP MEN/ dilakukan seperti yang 2007, direncanakan BAB V, E. 2
21.13.2.3 21.13.2.4 21.13.3 21.13.3.1 21.13.3.2
21.13.3.3
21.13.4 21.13.4.1
21.13.4.2
21.13.4.3
pelatihan
tidak
Audit internal dilakukan seperti yang direncanakan Kaji ulang dilakukan seperti yang
KEP.01/ MEN/ 2007, BAB V, E. 2 idem
idem
idem
X
X
X
X
X
X
X X
X X
X X
X
direncanakan TOTAL HASIL PENILAIAN 1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE) a. Minor
……………………
(……………….)
b. Mayor
……………………
(……………….)
c. Serius
……………………
(……………….)
d. Kritis
……………………
(……………….)
2. TINGKAT (GRADE) NILAI
1. A (Baik Sekali) 2. B (Baik) 3. C (Cukup) 4. D (Gagal)
Keterangan : •
Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil penilaian terhadap Fisik, SSOP, GMP, HACCP/PMMT tidak terdapat kriteria Serius & Kritis serta minor maks 6 dan mayor maks. 5. Dengan Grade A, UPI dapat melakukan ekspor ke negara Uni Eropa.
•
Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian terhadap Fisik, SSOP, GMP, HACCP/PMMT terdapat kriteria Serius max 2. Dengan Grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara yang menerapkan HACCP/PMMT kecuali ke Uni Eropa.
•
Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian terhadap Fisik, SSOP, GMP, HACCP/PMMT , terdapat kriteria Serius > 2 tetapi maks 4 dengan catatan total Mayor + Serius tidak lebih dari 10. Dengan Grade C, UPI dapat ekspor hanya ke negara yang tidak menerapkan HACCP/PMMT.
•
Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Kadar Histamin dan TPC
Data Hasil Analisis Histamin Kadar histamin (ppm) 1
2
3
Rata-rata (ppm)
8,51
7,84
7,75
8,03
8,84
9,83
8,82
9,16
10,17
8,17
9,2
9,18
Tahapan Proses Pengolahan Penerimaan bahan baku Pembentukan tuna loin Pembungkusan produk
Data Hasil Analisis Histamin PT. X di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Kadar histamin (ppm)
Bulan 1
2
3
Rata-rata (ppm)
Agustus 11,26352
1,509025
3,004889
5,259144
8,436482
11,10521
9,197281
9,579658
9,461412
9,461412
11,46024
10,12769
September Oktober
Data Hasil Analisis Jumlah Bakteri (log TPC) Log TPC 1
2
3
Rata-rata (log TPC)
4,623
4,48
4,59
4,56
5,597
4,77
5,61
5,33
5,602
5,61
5,77
5,66
Tahapan Proses Pengolahan Penerimaan bahan baku Pembentukan tuna loin Pembungkusan produk
Data Hasil Analisis Jumlah Bakteri Penghasil Histamin (log TPC) Log TPC 1
2
3
Rata-rata (log TPC)
3,903
3,342
3,301
3,52
3,748
3,724
3,477
3,65
4,58
4,58
3,708
4,29
Tahapan Proses Pengolahan Penerimaan bahan baku Pembentukan tuna loin Pembungkusan produk
Lampiran 4. Gambar Hasil Analisis Bakteri Gambar Analisis Bakteri
Gambar hasil analisis bakteri penghasil histamin (media Niven agar)
Lampiran 5. Gambar program analisis risk characterization (risk ranger)