V.
PENERAPAN SISTEM ERGONOMI DALAM PROSES PRODUKSI
A. General Induksi General Induksi merupakan suatu kegiatan pengenalan prinsip-prinsip yang dianut oleh toyota kepada karyawan baru, agar karyawan baru mempunyai pemahaman atau pemikiran yang sama dengan toyota. Pada kegiatan ini dikenalkan profil perusahaan, standarisasi kerja, dan TPS (Toyota Production System). Profil perusahaan berisi tentang perkembangan perusahaan toyota dari 1989-2003 dimana perusahaan ini dipecah menjadi dua bagian yaitu PT. TMMIN (Toyota Motor Manufacturing Indonesia) dan PT. TAM (Toyota Astra Motor), lokasi perusahaan yang terletak di Sunter dan Karawang, skema bisnis toyota, jaringan penjualan dan produk toyota. Pada profil perusahaan ini dijelaskan juga beberapa istilah-istilah di dalam toyota seperti Kaizen dan Genba Genchi Genbutsu. Kaizen yaitu memperbaiki operasi bisnis secara berkelanjutan dan selalu diarahkan untuk melakukuan inovasi dan evaluasi, sedangkan Genba Genchi Genbutsu adalah suatu kegiatan observasi untuk mencari fakta dengan cara melihat sendiri fakta tersebut, sehingga keputusan yang diambil benar-benar tepat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Standarisasi kerja adalah suatu metode kerja yang bertujuan agar bisa memproduksi seefisien mungkin dengan urutan kerja dan waktu melakukan pekerjaan itu benar-benar menjamin keselamatan dan kualitas. Seluruh pekerja toyota mempunyai kewajiban untuk mematuhi seluruh standar kerja yang ada, jika standar kerja ini tidak dipatuhi maka akan terjadi suatu kesalahan yang dapat merugikan pihak perusahaan dan pekerja itu sendiri. TPS (Toyota Production System) merupakan prinsip kerja toyota dalam melakukan standarisasi kerja. TPS ditopang oleh dua pilar yaitu Just in Time dan Jidouka. Just in Time yaitu menyediakan produksi hanya pada waktu yang diperlukan dan sejumlah yang diperlukan oleh pelanggan dan Jidouka adalah pengetahuan manusia yang diikutsertakan pada suatu mesin untuk menyatakan bagus atau tidak bagus suatu barang yang diproduksi, agar melanjutkan produksi
25
barang yang bagus dan berhenti jika ada barang yang tidak bagus, sehingga barang yang dihasilkan berkualitas baik bagus dan harganya murah. Kedua pilar ini menjadi acuan toyota dalam melakukan kegiatan produksinya. Pola hubungan antara TPS dan standarisasi kerja dapat dilihat pada Gambar 3.
Jidouka
Just in Time
TPS (Toyota Production System)
STANDARISASI KERJA Gambar 3. Pola hubungan TPS (Toyota Production System) dan standarisasi kerja. B. Observasi Observasi merupakan kegiatan di lapangan untuk mencari permasalahan yang terjadi, kemudian mengkaji masalah tersebut dan akhirnya menyelesaikan permasalahan dengan mengutamakan 4M (Mesin, Metode, Material dan Manusia). Permasalahan yang berhubungan dengan ergonomi ini menyebabkan para pekerja menjadi cidera otot maupun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang tidak ergonomis. Penyakit yang berkaitan dengan saraf dan otot yang diakibatkan oleh pekerjaan yang tidak ergonomis dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar. Dari gambar terlihat bahwa 2% pekerja di Packing Vanning Division Sunter 2 menderita penyakit low back pain. Salah satu penyebab penyakit ini adalah pekerjaan membungkuk. Sedangkan penyakit lainnya merupakan jenis penyakit biasa, seperti sakit kepala, migrain, dll. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan yang mendasar dari aspek ergonomi agar penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang tidak ergonomis dapat berkurang.
26
Gambar 4. Penyakit saraf dan otot (Poliklinik PT. TMMIN Sunter 2, 2009). Toyota menggunakan analisis 4M ini untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di lapangan. Analisis 4M adalah suatu perlengkapan Toyota untuk menyelesaikan suatu masalah dengan mendahulukan Mesin (peralatan), Metode kerja, Material (bahan), dan Manusia. Observasi dilakukan melalui beberapa proses kerja, proses kerja ini digunakan oleh Toyota untuk melakukan suatu perbaikan. Proses kerja tersebut adalah pemilihan tema, analisis kondisi yang ada, fish bone dan rencana penanggulangan. 1. Pemilihan Tema Pemilihan tema merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menjadi fokus pekerjaan yang akan dilakukan. Tema yang akan dibahas dalam tugas akhir ini adalah Aspek Ergonomi dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Tema itu merupakan usulan dan permintaan dari pihak manajemen sendiri yaitu SHE (Safety,
Health
and
Environment).
Divisi
SHE
secara
berkelanjutan
mengembangkan dan menerapkan ergonomi kerja kepada seluruh divisi yang ada di Toyota Motor Manufacturing Indonesia, karena SHE merasa permasalahan yang diakibatkan dari kesalahan kerja secara ergonomis cukup berbahaya dan tidak dapat dideteksi secara langsung. Divisi SHE sangat mendukung baik secara moril maupun materil untuk melakukan observasi yang berkaitan dengan ergonomika kerja yang ada di PT. TMMIN. Namun divisi SHE mengarahkan untuk berkonsentrasi pada satu divisi yaitu PVD (Packing Vanning Division). Karena seluruh pekerjaan di divisi PVD ini 90% dikerjakan secara manual, sehingga potensi cedera yang diakibatkan oleh pekerjaan yang tidak ergonomis sangat tinggi. PVD mempunyai dua lokasi, yaitu
27
PVD Sunter I dan PVD Sunter 2. Namun yang dikaji pada skripsi ini adalah PVD Sunter 2, ini merupakan pilihan dari management di bawah divisi SHE. 2. Pengamatan proses kerja PVD (Packing Vanning Division) merupakan salah satu divisi di PT. TMMIN yang bertugas untuk mengepak berbagai jenis part-part mobil untuk diekspor atau dikirim ke tempat lain untuk selanjutnya dilakukan proses berikutnya. PVD Sunter 2 mempunyai empat kegiatan produksi, antara lain: ASSY 998 L, ASSY D28D, Welding 998 L dan SPO/CPO, Pengamatan proses kerja dimulai dari alur proses yang ada di PVD Sunter 2 yang dapat dilihat pada Gambar 5. Alur proses di PVD Sunter 2 berawal dari penerimaan barang (receiving), meletakkan barang ke rak (supply), mengepak barang (production) dan yang terakhir pengangkutan (Vanning). Penerimaan barang merupakan proses awal yang dilakukan, pada proses ini barang-barang diturunkan dari mobil kontainer menggunakan garpu pengangkat (fork lift) dan disusun di dok-dok untuk diperiksa surat jalannya. Setelah barang sesuai dengan surat jalan maka barang tersebut siap untuk didistribusikan ke tempat masingmasing sesuai dengan pesanan untuk dilakukan proses lebih lanjut. Setelah barang didistribusikan ketempat yang sesuai, kemudian barang di supply berdasarkan kanban. Kanban merupakan suatu alat yang digunakan untuk menentukan part yang akan diambil dan alamat untuk kemudian ditempatkan di rak. Setelah itu barang masuk ke masing-masing area produksi (ASSY 998 L, ASSY D28D, Welding 998 L dan SPO/CPO). Proses produksi ASSY 998 L merupakan proses untuk mengepak part-part interior untuk jenis mobil Avanza yang meliputi proses belanja (shoping), mengambil barang (picking) dan penyusunan barang ke dalam kotak (case). Belanja merupakan kegiatan menaruh barang ke dalam rak minomigasi dengan menggunakan kanban sebagai acuan pekerja dalam meletakkan part. Setelah proses belanja, kemudian dilanjutkan dengan proses pengambilan part, proses pengambilan part merupakan proses mengambil part dari rak minomigasi, part tersebut dimasukkan ke dalam kardus yang berbentuk kotak dan di distrubusikan ke area stacking menggunakan ban berjalan (conveyor). Barang tersebut berhenti di area stacking, dan pekerja di area stacking mulai menyusun barang yang masuk 28
dari conveyor ke kotak besi (case). Setelah itu pekerja melakukan stacking berdasarkan stacking instruction, jika pekerjaan ini sudah selesai oprator menekan tombol untuk memanggil fork lift dan kotak besi (case) di bawa menuju kontainer, proses pengangkutan kotak besi (case) dari stacking menuju kontainer disebut vanning. ASSY D28D merupakan proses pengepakan barang untuk perlengkapan mobil terios, namun sangat disayangkan sekali proses ASSY D28D tidak berjalan. Karena negara tujuan ekspor yaitu Venezuela berhenti mengimpor perlengkapan assesoris mobil Terios. Welding
998
L
merupakan proses
pengepakan
part-part
untuk
perlengkapan mobil Avanza. Proses kerja di Welding 998 L anatara lain pengikatan part (Binding), menaruh dan mengambil part (Picking) dan pengepakan part ke dalam suatu kotak (Stacking). Binding merupakan kegitan mengikat part-part menjadi 1 lot, yang berisi 10 part setiap lot. Setiap 1 lot part di ikat dengan menggunakan berbagai jenis kawat. Picking merupakan kegiatan menaruh part ke rak minomigasi dan mengambil part-part dari rak minomigasi menuju stacking dengan menggunakan kanban sebagai acuan pekerja untuk melakukan kerja tersebut. Part yang ditaruh dan diambil mempunyai bentuk dan berat yang bermacam-macam. Part yang sudah diambil kemudian di taruh di dolly dan di dorong ke arah stacking. Setelah sampai di stacking, part-part dimasukkan ke dalam kotak yang terbuat dari besi (case). Beberapa part dimasukkan dengan menggunakan alat bantu berupa pengangkat (hoist) dan sisanya diangkat secara manual menggunakan tangan. SPO/CPO merupakan suatu kegiatan untuk mengepak part secara khusus dan pesanannya hanya di waktu-waktu tertentu saja. Part-part yang masuk ke dalam SPO/CPO tidak dapat diduga, terkadang pekerja dibagian ini sibuk sekali namun jika tidak ada pesanan pekerja mengerjakan pekerjaan yang lainnya.
29
Gambar 5. Alur proses produksi di PVD Sunter 2. Dari empat proses produksi yang ada di PVD Sunter 2, Welding 998 L mempunyai potensi bahaya kerja akibat pekerjaan yang tidak ergonomis paling besar, yang dihitung berdasarkan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS yang dibuat oleh mother plant Toyota yaitu Toyota Motor Corporation (TMC). Contoh perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS yang terkait dengan potensi bahaya ergonomi dapat dilihat pada Lampiran 3. Analisis potensi bahaya di Welding 998 L dilakukan berdasarkan proses kerja yaitu binding, picking dan stacking, setelah itu hasil tersebut diparetokan untuk mengetahui proses kerja yang mempunyai permasalahan kerja yang tidak ergonomis berdasarkan perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS. Hasil perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS di Welding 998 L dapat dilihat pada Gambar 6.
30
Masalah ergonomi di Welding 998 L Nilai risk point
3000 2053 2000 780
1000
376 0 Stacking
Picking
Binding
Proses Kerja
Gambar 6. Hasil perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS (Occupational Safety and Health Management System). Hasil perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS memperlihatkan bahwa stacking
mempunyai permasalahan ergonomi kerja
yang paling tinggi
dibandingkan dengan proses kerja lainnya. Oleh karena itu perhatian difokuskan pada masalah ergonomi di bagian stacking. Pekerjaan di bagian stacking meliputi beberapa proses kerja, yaitu persiapan, pengepakan part berat dengan menggunakan alat bantu berupa hoist, pengepakan part sedang dan kecil, dan yang terakhir adalah tahap penyelesaian. Permasalahan ergonomi disetiap proses kerja dihitung dengan menggunakan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS, dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 7.
Masalah ergonomi di Welding 998 L Nilai risk point
1000
930 745
500 171
136
33
0 Handling part sedang
Handling part kecil
Handling part besar
Persiapan Penyelesaian
Proses Kerja
Gambar 7. Hasil perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS (Occupational Safety and Health Management System).
31
Dengan menggunakan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS, dapat terlihat juga faktor pekerjaan yang tidak ergonomis, sehingga perhatian dapat difokuskan pada penyebab masalah ergonomi yang mengakibatkan nilai grafik menjadi tinggi. Faktor penyebab terjadinya potensi bahaya ergonomi kerja yang paling tinggi dapat dilihat pada Gambar 8.
Bahaya ergonomi kerja
Nilai risk point
1000
930 745
500 171
136
Berat material
Mengangkat tangan
0 Membungkuk
Tangan
Penyebab bahaya ergonomi
Gambar 8. Hasil perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS (Occupational Safety and Health Management System). Dari hasil perhitungan Evaluasi Risiko Kerja OSHMS terlihat bahwa membungkuk merupakan penyebab bahaya ergonomi kerja paling besar. Oleh karena itu perbaikan difokuskan untuk mengurangi pekerjaan membungkuk. Perbaikan dilakukan dengan mengutamakan perbaikan dari aspek mesin, metode kerja, matreial, dan manusia. Perbaikan dengan mengutamakan 4M (mesin, metode kerja, material, dan manusia) diharapkan dapat mengurangi pekerjaan membungkuk pada pekerja ketika melakukan pekerjaan mereka masing-masing. 3. Fish bone diagram Fish bone merupakan suatu cara untuk mencari akar suatu permasalahan dengan menggunakan analisis 4M (Mesin, Metode, Material dan Manusia), sehingga ditemukan akar permasalahnnya dan dapat dilakukan perbaikan dengan secepat-cepatnya. Hasil analisis fish bone pada permasalahan ergonomi di stacking (Welding 998 L) PVD Sunter 2 dapat dilihat pada Gambar 9.
32
Material Berat part tersebut 21.52 Kg
Mesin Dudukkan stacking terlalu rendah
Standar TMC 20 Kg Nomor part WB-08-BZ01100, terlalu berat untuk diangkat
pekerja membungkuk ketika melakukan pekerjaan
Permasalahan Pemasalahan ergonomi diergonomi stacking diA1, stacking Handling part sedang, proses kerja membungkuk
Pekerja selalu membungkuk ketika melakukan stacking Pekerja selalu membungkuk ketika mengambil dan meletakkan part
Operator belum pernah di training terkait dengan ergonomi kerja
Tidak ada panduan mengangkat benda yang benar di lembar standar kerja
Manusia
Metode
Pekerja tidak mengetahui cara mengangkat part yang benar
Gambar 9. Fish bone diagram permasalahan ergonomi di stacking. Fish bone menggambarkan akar pemasalahan yang ada di lapangan, sehingga perbaikan yang dilakukan mengacu pada hasil dari fish bone tersebut (Toyota Motor manufacturing Indonesia, 2000). 4. Rencana penanggulangan Rencana penanggulangan yang akan dilakukan berkaitan dengan mesin, metode kerja, material, dan manusia. a. Mesin Rencana penanggulangan yang akan dilakukan berkaitan dengan mesin yaitu meninggikan dudukan stacking yang sebelumnya 10 cm menjadi 35 cm. Peninggian dudukan stacking menjadi 35 cm didasarkan pada pengukuran antropometri para pekerja. Hal ini bertujuan agar pekerja tidak membungkuk ketika melakukan pekerjaan stacking. Gambar perbaikan dudukan stacking dapat dilihat pada Gambar 10. Sedangkan untuk gambar detail dari perbaikan dudukan stacking dapat dilihat pada Lampiran 10.
33
Gambar 10. Rencana perbaikan pada dudukan stacking. b. Metode Kerja Banyak dari pekerja yang bekerja dengan menggunakan tulang punggung sebagai tumpuan untuk mengangkat part. Jika dilihat dari sisi ergonomi mengangkat benda dengan menggunakan tulang punggung adalah prosedur kerja yang salah. Oleh karena itu perlu dilakukannya perbaikan dari sisi metode kerja. Metode mengangkat benda yang benar dapat dilihat pada Gambar 11. Seharusnya dalam mengangkat benda yang digunakan sebagai tumpuan adalah kaki bukan tulang belakang. Diharapkan pekerja dapat melakukan pekerjaannya secara benar dari sisi ergonomi, sehingga pekerja akan terbebas dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang tidak ergonomis. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang salah ketika mengangkat benda adalah Low Back Pain, Musculoskeletaldisorder, dll.
Gambar 11. Metode yang benar ketika mengangkat benda (Anonim, 2001).
34
c. Material Pada proses stacking ditemukan part yang melebihi standar Toyota. Standar toyota untuk benda yang diangkat secara manual adalah 20 Kg, namun part yang mempunyai kode 51563-BZ011-00 memiliki berat 21.52 Kg. Jenis part ini terlalu berat untuk diangka secara manual, jika dipaksakan diangkat secara manual maka tidak baik untuk pekerja itu sendiri, Jenis part ini dapat dilihat pada Gambar 12. Rencana perbaikan yang dilakukan adalah mengangkat part tersebut dengan menggunakan alat bantu berupa pengangkat (hoist). Dengan adanya perbaikan ini diharapkan pekerja dapat bekerja dengan aman dari sisi ergonomi dan pekerja terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan yang tidak ergonomis, yaitu Musculoskeletaldisorder dan Low Back Pain. Selain mengangkat part tersebut dengan alat bantu berupa hoist, prosedur kerja berupa EIS (Element Instruction Standard) juga harus diperbaiki. Sehingga prosedur kerja menjadi berubah, sebelumnya untuk jenis part ini tidak menggunakan alat bantu, sekarang menggunakan alat bantu. Contoh perubahan Element Instruction Standard (EIS) dapat dilihat pada Lampiran 16.
Gambar 12. Jenis part 51563-BZ011-00. d. Manusia Perbaikan dari manusiapun harus dilakukan, agar para pekerja mempunyai pengetahuan dan wawasan tentang ergonomi kerja, sehingga pekerja dapat mengaplikasikan teori ergonomi pada pekerjaannya. Perbaikan itu berupa pelatihan tentang ergonomika kerja dan aplikasi ilmu ergonomi yang berkaitan dengan mengangkat benda di industri. Sebagian
35
besar dari pekerja tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang ergonomi, sehingga banyak dari pekerja yang melakukan pekerjaan secara tidak ergonomis. Pekerjaan yang tidak ergonomis tersebut adalah membungkuk, yang menjadi akar permasalahan di stacking. Pekerja harus dilatih untuk bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah ergonomi, agar terhindar dari dampak buruk akibat pekerjaan yang tidak ergonomis. Pelatihan ini dilbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam ruangan dan di lapanagan, di dalam ruangan dijelaskan tentang teori ergonomi dan akibat yang akan dirasakan oleh pekerja jika tidak bekerja secara ergonomis, sedangkan di lapangan diajarkan aplikasi ilmu ergonomi yang dapat diterapkan berkaitan dengan mengangkat benda. Pelatihan yang dilakukan didalam ruangan dapat dilihat pada Gambar 13a, sedangkan pelatihan yang di lapangan dapat dilihat pada Gambar 13b.
Gambar 13 a. Pelatihan di dalam ruangan. Gambar 13 b. Pelatihan di lapangan. e. APD (Alat Pelindung Diri) Rencana perbaikan terakhir yang dilakukan adalah APD (Alat Pelindung Diri). Alat Pelindung diri ini berupa back support, yang sudah di uji cobakan selama satu bulan di Sunter 1. Alat Pelindung Diri ini mempunyai fungsi untuk menjaga tulang belakang agar tetap lurus ketika pekerja melakukan pekerjaan di stacking. Back support ini diharapkan dapat mengurangi bahaya ergonomi akibat dari pekerjaan yang tidak ergonomis, yang dilakukan oleh pekerja selama melakukan pekerjaannya sehari-hari. Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) ini dapat dilihat pada Gambar 14. 36
Gambar 14. Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) back support. C. Diskusi Diskusi merupakan kegiatan rutin yang dilakukan, diskusi ini dihadiri oleh pembimbing lapang dan manajer PVD. Diskusi ini dilakukan sebagai sarana untuk menuangkan ide-ide perbaikan dan meminta masukan-masukan dari pembimbing lapang dan manajer PVD terkait dengan perbaikan yang akan dilakukan di divisi PVD. Diskusi dilakukan setiap dua minggu, jadwal ini disusun agar tidak terjadi permasalahan komunikasi mengingat kesibukan pembimbing lapang dan manajer PVD. Diskusi ini sangat bermanfaat sekali, karena pemikiran-pemikiran karyawan-karyawan Toyota pun dituangkan didalam diskusi ini. Sehingga banyak sekali pelajaran yang dapat diperoleh dari diskusi ini.
37