Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir Serra Delvira Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Bir dibuat melalui serangkaian proses produksi yang meliputi tahap malting dan mashing, fermentasi oleh ragi, dan pemisahan ragi dan kontaminan dari produk bir. Tahap fermentasi bir menghasilkan bir hijau yang masih belum siap dikonsumsi karena masih mengandung partikel-partikel tersuspensi, kurang terkarbonasi, kurang memiliki rasa dan aroma bir yang khas, dan tidak stabil secara fisik, aroma, dan biologis. Oleh sebab itu, proses hilir yang meliputi maturasi bir, klarifikasi bir, stabilisasi bir, dan karbonasi perlu dilakukan. Maturasi bir meliputi fermentasi sekunder dan penyimpanan dalam lingkungan bertemperatur rendah. Klarifikasi bir bertujuan menghilangkan senyawa-senyawa penyebab timbulnya kabut pada bir hijau. Klarifikasi bir dapat menggunakan metode sedimentasi, penambahan fining agents, filtrasi, sentrifugasi, maupun dengan teknologi ultrasonik. Proses sedimentasi bertujuan mengendapkan partikel-partikel padat tersuspensi dengan memanfaatkan gaya gravitasi selama rentang waktu tertentu. Penggunaan fining agents bertujuan memperbesar diameter partikel dengan membentuk flok-flok dengan sel ragi. Proses filtrasi dapat dilakukan secara konvensional dengan menggunakan filter aid tanah diatom ataupun secara modern dengan mikrofiltrasi crossflow. Sedangkan, stabilisasi bir dilakukan agar bir yang telah diklarifikasi memiliki stabilitas aroma, biologis, dan fisik terhadap kabut. Stabilisasi bir bertujuan mengurangi kadar protein dan polifenol pada bir. Kata kunci: bir hijau, maturasi bir, klarifikasi bir, stabilisasi bir
1.
Pendahuluan
Proses fermentasi bir meliputi beberapa tahap, yaitu malting dan mashing, fermentasi oleh ragi, dan penghilangan ragi dan senyawa kontaminan lainnya. Malting dan mashing adalah proses pemecahan polisakarida pada substrat menjadi oligosakarida dengan menggunakan enzim di rumah kecambah. Fermentasi dilakukan dalam kondisi anaerob oleh ragi, serta menghasilkan etanol dan gas karbondioksida [1]. Setelah fermentasi, bir yang dihasilkan masih belum siap dikonsumsi karena masih mengandung partikel-partikel tersuspensi, kurang terkarbonasi, kurang memiliki rasa dan aroma bir yang khas, dan tidak stabil secara fisik, aroma, dan biologis. Bir yang dihasilkan dari proses fermentasi tersebut
dinamakan sebagai bir hijau (green beer) [2]. Dengan adanya proses hilir, bir hijau dipoles lebih lanjut untuk menjadi produk akhir yang siap dikonsumsi. Proses hilir pada pembuatan bir meliputi maturasi bir, klarifikasi bir, stabilisasi bir, dan karbonasi (bila diperlukan) [3]. Proses hilir ini adalah tahap yang paling memakan waktu pada brewing. Biaya alat-alat yang digunakan dalam proses hilir ini juga memakan 25% dari total modal yang dikeluarkan dalam proses pembuatan bir [4]. Ada tiga jenis ragi yang digunakan pada fermentasi bir, yaitu ragi ale, ragi lager, dan ragi wild. Ragi ale termasuk top-fermenting, yaitu ragi yang melakukan fermentasi pada
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
temperatur tinggi dan cenderung memproduksi ester lebih banyak. Ragi lager termasuk bottom-fermenting, yaitu ragi yang melakukan fermentasi pada temperatur lebih rendah dan memproduksi rasa bir yang lebih “gurih”. Sementara itu, ragi wild memproduksi banyak senyawa-senyawa yang khas dan aroma yang lebih asam [5]. 2. Maturasi Bir Maturasi bir meliputi fermentasi sekunder dan penyimpanan dalam lingkungan bertemperatur rendah (cold storage). Fermentasi sekunder memanfaatkan ekstrak sisa yang masih dapat difermentasi dengan laju fermentasi yang lebih rendah daripada fermentasi primer, yaitu fermentasi yang menghasilkan bir hijau. Fermentasi sekunder dijalankan pada temperatur rendah dengan jumlah ragi yang lebih sedikit. Fermentasi sekunder dapat berupa lagering, kraeusening, produksi cask-conditioned beers, atau produksi bottle-conditioned beers. Untuk menghasilkan cask-conditioned beers, sisa ragi dari fermentasi primer yang berupa 2 juta sel ragi/mL cairan bir ditambahkan suatu gula (biasanya sukrosa terhidrolisis yang disebut gula invert) dan fining agent (biasanya isinglass). Umumnya, suatu jenis bunga bernama hop juga ditambahkan untuk memberikan aroma yang berasal dari minyak esensial hop. Selain itu, zat-zat yang ditambahkan lagi adalah karamel atau ekstrak malt yang telah dipanggang untuk memberi warna dan kalsium metabisulfit untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Cask kemudian ditutup dan dibiarkan selama beberapa hari untuk “dikondisikan”. Setelah selesai, cask akan mengandung bir yang telah dikondisikan, ragi, dan bunga hop yang mengapung. Produksi bottle-conditioned beer terjadi melalui proses yang sama, namun penambahan bahan harus dilakukan
secara bulk, kemudian baru dimasukkan ke dalam botol [6]. Proses fermentasi sekunder krausening tidak memerlukan tambahan gula sebagai substrat. Namun, zat yang ditambahkan adalah krausen yang berjumlah 10% volume cairan bir hasil fermentasi primer. Bir disimpan di tangki horizontal besar selama 1-3 minggu di temperatur 8C. Tangki dibiarkan terbuka pada hari pertama agar gas membebaskan aroma sulfur dan zat-zat volatil. Kemudian tangki ditutup untuk menahan gas karbondioksida untuk proses karbonasi bir. Lagering memiliki proses yang kurang lebih sama dengan fermentasi krausen, namun gula yang digunakan berasal dari wort atau cairan bir hasil fermentasi itu sendiri [6]. Sementara itu, maturasi bir dengan cold storage kini lebih marak digunakan karena alat-alat untuk refrigerasi, karbonasi, dan filtrasi sudah berteknologi tinggi. Bir hijau yang melewati proses cold storage akan bebas dari ragi secara kasat mata karena temperatur fermentasi yang lebih tinggi dan diacetyl rest. Pada temperatur rendah, aktivitas ragi menjadi minimal sehingga kandungan CO2 yang dihasilkan ragi dari proses fermentasi pada bir akan menjadi sedikit (walaupun kelarutan gas pada cairan di temperatur rendah meningkat). Aroma bir pun juga tidak akan berubah banyak. Temperatur rendah akan meminimalisir kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme dan perubahan karakter bir. Cold storage ini adalah cara yang sangat efektif dalam chill proofing atau proses penghilangan kabut (haze) pada bir yang disebabkan oleh kandungan polipeptida dan polifenol. Namun, tidak semua polipeptida dan polifenol dapat hilang dengan perlakuan cold storage. Selain itu, bila shelf life (rentang waktu bir untuk dapat disimpan sebelum bir menjadi tidak layak dikonsumsi) yang diinginkan sangat lama, perlakuan
2
3
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
tambahan perlu dilakukan. Perlakuan tambahan ini meliputi proses-proses pada klarifikasi bir dan stabilisasi bir [7]. 3. Klarifikasi bir Klarifikasi bir bertujuan menghilangkan kabut (haze) pada bir hijau. Kabut ini terbentuk dari sel ragi, partikel-partikel koloid dari kompleks protein-tannin, dan zatzat tidak terlarut lainnya yang tersisa dari proses fermentasi. Protein yang kaya prolin berikatan secara nonkovalen dengan polifenol menghasilkan partikel aktif kabut. Ukuran partikel aktif kabut bergantung kepada jumlah polifenol, pH, dan konten alkohol pada bir. Untuk menghilangkan kabut, metode yang dapat dilakukan adalah: (1) sedimentasi, (2) penggunaan fining agents, (3) filtrasi, dan (4) sentrifugasi [8].
Bila penulis menggunakan asumsi yaitu partikel padatan yang ingin diendapkan berbentuk bola, maka persamaan (1) menjadi 4𝑔(𝑠 −)𝑑
𝑣=[
(2)
Bila penulis juga menggunakan asumsi bahwa aliran fluida pada kecepatan pengendapan tersebut adalah laminer, maka penulis dapat melakukan substitusi
𝐶𝐷 =
24 𝑅𝑒
(3)
ke dalam persamaan (2) sehingga persamaan yang diperoleh adalah
𝑣=
3.1. Sedimentasi
3𝐶𝐷
0,5
]
𝑔(𝑠 −)𝑑 2 18
(4)
Proses sedimentasi pada klarifikasi bir bertujuan menyebabkan partikel-partikel padat tersuspensi mengendap dengan memanfaatkan gaya gravitasi selama rentang waktu tertentu. Proses sedimentasi ini mengikuti Hukum Stokes, di mana semakin besar ukuran partikel, semakin besar juga laju sedimentasi [9].
Dari persamaan (4), kita dapat memperkirakan waktu pengendapan yang dibutuhkan untuk memisahkan partikel padatan dari tangki fermentasi. Data-data yang dibutuhkan adalah densitas partikel padatan, densitas cairan, diameter partikel padatan, dan viskositas cairan [10]. Data diameter partikel padatan dapat diperkirakan melalui Tabel 1.
Pada proses sedimentasi, partikel mengendap dengan nilai percepatan tertentu hingga gaya hambat (drag force) sama dengan gaya dorong (driving force). Saat gaya hambat sama dengan gaya dorong, kecepatan pengendapan (settling velocity) menjadi konstan. Kecepatan pengendapan pada saat ini disebut sebagai kecepatan terminal (terminal velocity). Nilai kecepatan pengendapan ini dapat dihitung melalui persamaan (1).
Tabel 1. Diameter Umum Zat Padatan (Morris, 1984) Zat Diameter (m) Zat koloid 0,1 Bakteri 1 Ragi 2,8 Lumpur 10 Pasir halus 100
2𝑔(𝑠 −)𝑉
𝑣=[
𝐶𝐷 𝐴
0,5
]
(1)
Gambar 1 mengilustrasikan waktu pengendapan dari berbagai ukuran partikel padatan berbentuk bola pada bir. Data-data yang digunakan adalah densitas partikel sebesar 1.984 kg/m3, densitas cairan sebesar
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
Waktu pengendapan (hari)
1012 kg/m3, viskositas cairan sebesar 1,51 x 10-3 kg/m.s, dan percepatan gravitasi sebesar 9,81 m/s2.
100000
mempercepat proses sedimentasi. Tetapi karena variasi nilai densitas cairan terhadap temperatur sangat kecil, cara ini tidak berpengaruh banyak terhadap waktu pengendapan [11]. 3.2. Penggunaan fining agents
1000 10 0.1 0.001 0.01
1
100
Ukuran partikel (µm)
Gambar 1. Waktu Pengendapan yang Dibutuhkan untuk Mengendap Sebanyak 1 Meter (Morris, 1984)
Seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 1, zat koloid membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengendap, yaitu sekitar 7000 hari. Oleh sebab itu, proses sedimentasi ini membutuhkan cara-cara untuk mempercepat waktu pengendapannya. Cara-cara ini dapat dilihat dari persamaan kecepatan pengendapan pada Persamaan (4) [10]. Cara-cara mempercepat waktu pengendapan adalah meningkatkan diameter partikel padatan, meningkatkan perbedaan densitas antara padatan dan cairan, dan mengurangi viskositas cairan. Diameter partikel padatan dapat diperbesar dengan membentuk flokflok dari partikel yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan fining agents maupun proses sentrifugasi. Peningkatan perbedaan densitas antara padatan dan cairan sulit dilakukan karena densitas partikel padatan cenderung bernilai konstan. Namun, nilai densitas cairan umumnya menurun seiring dengan meningkatnya temperatur. Oleh sebab itu secara teoritis, kita dapat meningkatkan temperatur proses untuk
Peningkatan diameter partikel padatan pada klarifikasi bir dapat dilakukan dengan penggunaan fining agents atau metode sentrifugasi. Fining agents memiliki muatan netto positif karena struktur kimianya sehingga dapat berinteraksi dengan sel ragi yang bermuatan negatif. Akibatnya, flokflok lebih mudah terbentuk dan dapat diendapkan dari cairan bir. Penghilangan flok-flok ini menambah stabilitas fisik dari bir. Namun, penggunaan fining agents meningkatkan volume bawah tangki, biaya pembersihan, dan volume bir yang hilang karena ikut terlarut pada flok-flok [8]. Fining agents yang umum digunakan adalah isinglass, gelatin, asam tannin, silikat dan silika gel, tanah liat, ovalbumin, gluten gandum, karbon aktif, kalium kaseinat, dan polivinilpolipirolidon (PVPP). Isinglass adalah substansi bergelatin yang didapat dari membran internal kandung kemih ikan. Komponen terbesar isinglass adalah kolagen yang memiliki muatan positif bila didispersikan dalam bir. Rantai samping kolagen akan menarik sel ragi yang bermuatan negatif sehingga menghasilkan kompleks kolagen-ragi. Kompleks ini akan membentuk flok-flok yang kemudian akan mengendap sehingga dapat dipisahkan dari bir. Efektivitas isinglass dalam membantu proses sedimentasi ragi bergantung kepada jenis ragi. Isinglass khususnya tidak direkomendasikan untuk jenis ragi lager atau ragi bottom-fermented [12]. Karena isinglass diperoleh dari ikan, ada kekhawatiran bahwa isinglass tidak cocok untuk orang-orang yang mempunyai alergi
4
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
terhadap ikan. Padahal menurut European Food Safety Authority (EFSA), isinglass tidak akan menimbulkan reaksi alergi pada orang-orang yang alergi terhadap ikan. Namun banyak orang yang masih menghindari meminum bir yang diklarifikasi menggunakan isinglass. Selain isinglass, fining agents yang juga sedang dikembangkan adalah kolagen avian dan ekstrak kacang polong. Keduanya memiliki efek klarifikasi yang bagus pada percobaan klarifikasi bir pada skala laboratorium. Selain itu, keduanya menghasilkan bir dengan aroma yang kurang lebih sama seperti bir yang diklarifikasi dengan isinglass [9]. Selain itu, fining agents dapat juga berasal dari pektin tumbuhan. Pektin tumbuhan dapat diisolasi dari berbagai jenis tanaman. Semua jenis pektin tumbuhan memiliki kandungan dasar asam poligalakturonat, namun bervariasi di derajat esterifikasi gugus asidik, derajat percabangan (degree of branching), dan berat molekul. Bir yang diklarifikasi dengan pektin memiliki kualitas yang cukup bagus, seperti saat diklarifikasi dengan isinglass. Klarifikasi dengan pektin paling baik dilakukan pada jenis bir lager [13]. 3.3. Filtrasi Filtrasi bertujuan menghilangkan partikelpartikel tersuspensi yang menyebabkan kabut pada bir. Partikel-partikel ini berada pada rentang ukuran 0,5-4 m. Ukuran partikel ini penting untuk menyesuaikan parameter filtrasi yang digunakan, contohnya adalah pori membran filtrasi [14]. Mekanisme filtrasi dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu surface filtration, depth filtration melalui rintangan mekanis bagi partikel, dan depth filtration melalui adsorpsi partikel. Surface filtration berarti partikel dipisahkan
berdasarkan ukuran pori karena partikel berukuran lebih besar dari pori pada medium. Sementara itu pada depth filtration, partikel dilewatkan pada matriks filtrasi. Partikel-partikel ini dapat terpisah secara mekanis di pori atau terabsorpsi pada pemukaan internal pori di medium filtrasi [8]. Filtrasi dapat dilakukan pada dua atau lebih tahap setelah fermentasi berlangsung. Tahap pertama filtrasi bertujuan menghilangkan sel ragi dalam jumlah besar dan materi tersuspensi. Tahap pertama ini umumnya disebut filtrasi primer atau pra-filtrasi. Tahap kedua filtrasi bertujuan menghasilkan bir yang jernih. Tahap ini umumnya disebut sebagai filtrasi sekunder atau filtrasi final [8]. Metode filtrasi bir yang paling populer adalah dengan menggunakan filter aid. Metode filtrasi ini juga disebut sebagai metode klarifikasi bir secara konvensional karena hanya menggunakan filter press atau pressure vessel filter dengan filter aid. Filter aid yang umum digunakan adalah tanah diatom [8]. Mekanisme yang terjadi terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan ikatan hidrogen antara gugus karboksil protein dan gugus hidroksil tanah diatom. Tahap kedua adalah absorspi molekul protein dalam pori tanah diatom yang berukuran 4-8 m. Jumlah tanah diatom yang digunakan pada filtrasi bergantung kepada kualitas bir hijau yang dihasilkan, teknologi yang digunakan, jenis agen penstabilisasi yang digunakan, dan shelf life yang diinginkan pada bir. Walaupun tanah diatom bekerja cukup efektif, tanah diatom cenderung dihindari karena menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan. Masalah kesehatan yang dapat timbul akibat kontak dengan debu tanah diatom adalah kanker paru-paru dan penyakit pernapasan lainnya. Sedangkan,
5
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
masalah lingkungan yang dapat timbul adalah limbah yang meningkat jumlahnya karena lumpur tanah diatom. Oleh sebab itu, dosis tanah diatom yang digunakan diusahakan berada dalam jumlah kecil. Salah satu cara mengurangi dosis tanah diatom adalah dengan menginisiasi stabilisasi koloidal saat pendidihan wort. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan zat kaaragenan pada tahap pendidihan wort. Bir yang dihasilkan dengan penambahan kaaragenan memiliki kandungan kabut yang lebih sedikit daripada yang tanpa ditambahkan kaaragenan. Dengan demikian, pada proses filtrasi, tanah diatom dapat digunakan dalam jumlah yang lebih sedikit [15].
blocking), dan penutupan pori internal (internal blocking). Laju permeat hasil filtrasi dapat berkurang bila terjadi minimal satu dari keempat hal tersebut. Semakin tinggi tekanan yang terdapat di antara membran, semakin tinggi laju permeat yang dihasilkan [17].
Gambar 3. Mekanisme fouling pada membran: (a) penutupan pori; (b) penutupan pori parsial; (c) pembentukan cake; (d) penutupan pori internal (Oliveira, et al, 2011) Gambar 2. Struktur kaaragenan (Ward, Brewers Supply Group)
Teknologi klarifikasi bir yang lebih baru adalah menggunakan mikrofiltrasi secara crossflow karena menghilangkan kebutuhan akan filter aid. Jenis sistem crossflow microfiltration (CFMF) yang secara komersial digunakan untuk klarifikasi bir adalah membran hidrofilik polyethersulphone (PES), hollow-fibre (Norit and Pall), dan modul lembaran (Alfa Laval) [16]. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya fouling yang dapat menyebabkan laju dan stabilitas filtrasi yang lebih rendah. Fouling dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penutupan pori (pore blocking), pembentukan cake (cake formation), penutupan pori parsial (partial pore
Namun, proses filtrasi cross-flow ini tidak ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena metode cross-flow: (1) memerlukan daya listrik yang lebih besar sehingga emisi gas karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil banyak dihasilkan, (2) memerlukan air yang banyak untuk pembersihannya, dan (3) membutuhkan enzim dan agen pengoksidasi dalam pembersihannya yang berpotensi menjadi limbah [18]. Di samping kelemahan-kelemahannya, metode filtrasi juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu (1) menghasilkan bir yang memiliki daya tahan yang lebih besar, (2) menghemat pemakaian fining agents, waktu, sumber daya manusia, dan alat-alat yang dibutuhkan saat tahap klarifikasi bir, dan (3) menghasilkan bir yang umumnya telah
6
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
terklarifikasi dengan baik hingga residu yang paling kecil [19]. Sebenarnya, proses filtrasi sendiri kurang disukai pada proses pembuatan bir. Hal ini disebabkan karena filtrasi dapat menghilangkan sebagian senyawa penghasil aroma dan warna khas dari bir. Selain itu, filtrasi juga meningkatkan laju oksidasi bir karena meningkatkan waktu kontak bir dengan udara daripada bir yang tidak difiltrasi [20]. 3.4. Sentrifugasi Sentrifugasi merupakan metode yang populer digunakan untuk mengurangi konten ragi pada bir. Sentrifugasi dapat dilakukan tanpa atau dengan fining agents. Brewers yang sedang mengembangkan pengondisian dingin dipercepat (accelerated cold conditioning) pada bir banyak menggunakan sentrifugasi karena dapat lebih mengontrol jumlah ragi pada bir dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk maturasi dan klarifikasi [21]. Selain itu, proses klarifikasi dan stabilisasi bir dapat menggunakan teknologi sonik atau ultrasonik. Alat yang digunakan dapat berupa generator ultrasonik udara-jet. Penggunakan metode ini tidak memerlukan perlakuan khusus di rejim kavitasi. Oleh sebab itu, gelembung kavitasi akan membawa gelembung-gelembung yang dihasilkan oleh generator udara-jet. Pada proses ini, klarifikasi terjadi karena adanya gelombang ultrasonik dan gelembung udara yang dihasilkan oleh generator udara-jet. Proses klarifikasi menghasilkan bir paling baik bila teknologi ultrasonik diterapkan dan larutan clarifier ditambahkan, contohnya adalah Bentonite dan silika gel [22].
4. Stabilisasi bir Stabilisasi bir dilakukan agar bir yang telah diklarifikasi memiliki stabilitas aroma, stabilitas mikrobiologis, dan stabilitas fisik. 4.1. Stabilitas aroma Aroma yang dimiliki bir bergantung kepada bahan baku, proses, dan ragi yang digunakan. Senyawa-senyawa yang diproduksi ragi pada saat fermentasi memiliki pengaruh yang paling besar pada aroma bir. Senyawa-senyawa tersebut adalah alkohol, ester, asam organik, senyawa karbonil, dan senyawa yang mengandung sulfur. Etil alkohol adalah senyawa alkohol yang paling banyak terdapat pada bir dan menyumbang pengaruh paling besar terhadap aroma bir [23]. Reaksi kimia terus terjadi walaupun bir telah dikemas. Bila reaksi kimia yang terjadi adalah reaksi oksidasi, kemungkinan besar aroma bir akan berubah. Aroma yang tidak sedap disebabkan oleh oksidasi alkohol dan aldehida oleh melanoidin. Asetaldehid digunakan sebagai penanda terjadinya kerusakan aroma yang menyebabkan aroma “basi” pada bir. Konsentrasi asetaldehid meningkat seiring dengan meningkatnya waktu penyimpanan, konsentrasi oksigen awal, dan temperatur penyimpanan [8]. Karena ragi merupakan mikroba aerob, ketika ragi dihilangkan dari cairan bir hijau, oksigen pada tangki memiliki potensial untuk mengoksidasi. Oleh sebab itu, stabilitas aroma bir dapat ditingkatkan dengan menghilangkan kandungan oksigen dari bir setelah ragi dipisahkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penambahan zat antioksidan ke dalam bir, seperti sulfur dioksida dan asam askorbat [8].
7
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
4.2. Stabilitas biologis Beberapa spesies pada genus bakteri (contohnya Lactobacillus dan Pediococcus) dan ragi (contohnya Saccharomyces dan Hansensula) dapat merusak aroma bir dengan memproduksi senyawa yang menghasilkan aroma yang tidak diinginkan. Mikroorganisme juga dapat tumbuh membentuk kabut seiring volumenya bertambah. Stabilitas biologis dapat dijaga dengan pasteurisasi, namun proses ini membutuhkan pemanasan sehingga meningkatkan kemungkinan perubahan aroma karena oksidasi. Selain itu, filtrasi juga dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan mikroorganisme yang tersisa pada bir [8]. 4.3. Stabilitas fisik Kabut yang terjadi secara fisik dibagi menjadi dua tipe, yaitu kabut dingin (chill haze) dan kabut permanen (permanent haze). Kabut dingin adalah kabut yang timbul ketika bir didinginkan, namun akan larut kembali dengan pemanasan. Sedangkan, kabut permanen adalah kabut yang tidak akan larut di kondisi apapun. Bir yang memiliki kabut permanen akan selalu keruh dan bahkan dapat mengandung sedimen [8]. Ilustrasi kabut dingin dan kabut permanen dapat dilihat pada Gambar 4. Kabut pada bir umumnya disebabkan karena interaksi antara polipeptida dan polifenol. Mengurangi kadar polipeptida atau polifenol dapat meningkatkan stabilitas fisik bir. Senyawa yang dapat ditambahkan untuk meningkatkan stabilitas fisik bir disebut sebagai chillproofing agents. Tiga senyawa yang umum digunakan adalah enzim proteolitik, polivinilpolipirolidon (PVPP), dan adsorben yang berbasis silika. Enzim proteotilik yang dapat digunakan contohnya adalah papain, yaitu enzim yang diperoleh dari pohon Carica papaya [8].
Gambar 4. Ilustrasi kabut dingin dan kabut permanen pada bir (Briggs, et al, 2006)
Penambahan enzim hidrolitik papain dapat disertai dengan penambahan senyawa titanium (IV) oksida hidrat agar papain tidak larut dalam air. Pada percobaan, ternyata senyawa titanium (IV) oksida hidrat juga berperan baik sebagai chillproofing agent. Pengurangan senyawa-senyawa penyebab kabut ditunjukkan dengan nilai absorbansi pada bir yang berkurang. Titanium (IV) oksida hidrat dilaporkan sebagai adsorben yang bagus untuk senyawa peptida, enzim/protein, karbohidrat, antibiotik, dan sel-sel mikroba. Kemampuannya berikatan dengan protein berasal dari pembentukan ikatan logam-ligan antara titanium (IV) dengan gugus hidroksil dari residu L-tirosil dan gugus fungsional lainnya pada protein.
8
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
Setelah ditambahkan, senyawa titanium oksida hidrat dipisahkan dengan metode sentrifugasi [24]. Enzim proteolitik juga dapat berupa enzim protease yang diperoleh dari ragi Saccharomyces cerevisiae. Enzim protease ini dapat menurunkan konsentrasi protein pada bir. Namun, jumlah enzim protease yang disekresi oleh ragi ini tidaklah cukup untuk dijadikan agen chill proofing yang komersial. Oleh sebab itu, rekayasa genetik diperlukan untuk menghasilkan DNA rekombinan ragi yang mensekresi enzim protease dalam volume yang lebih besar [25]. Selain enzim proteolitik, penambahan asam tanin juga dapat mengurangi konsentrasi protein dengan melakukan presipitasi pada kompleks protein-tanin. Presipitat kemudian difiltrasi dari bir [8]. Untuk menghilangkan polifenol, adsorpsi dengan PVPP (polyclar) dan adsorpsi dengan komposit PVPP-Si atau resin dapat dilakukan. Adsorpsi dengan PVPP dilakukan dengan pembentukan ikatan hidrogen antara donor proton dari polifenol dan gugus karbonil dari PVPP [26]. Jumlah PVPP yang digunakan dan waktu yang dibutuhkan untuk perlakuan bergantung kepada konsentrasi fenol yang ada, temperatur, dan shelf life yang diinginkan. Adsorben juga dapat digunakan untuk menghilangkan komponen berprotein atau berfenolik dari kabut [27].
5. Karbonasi Adanya gas karbon dioksida pada bir memberikan suatu sensasi tajam tertentu yang disebabkan oleh gas asam yang dihasilkan. Gas karbon dioksida dihasilkan pada fermentasi primer dan fermentasi sekunder. Selain itu, gas karbon dioksida
dapat ditambahkan ke bir melalui proses karbonasi [28]. Pada akhir fermentasi primer, konsentrasi karbon dioksida pada bir dapat bervariasi dari 2-5 g/L. Pada fermentasi sekunder, konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Jumlah karbon dioksida yang dapat larut dalam bir bergantung kepada temperatur dan tekanan operasi. Kelarutan karbon dioksida pada bir berbanding lurus dengan besarnya tekanan dan berbanding terbalik dengan besarnya temperatur [29]. Karbon dioksida yang awalnya terlarut dalam bir memiliki interaksi intermolekuler yang lemah dengan cairan pada bir. Ketika bir berada pada temperatur lebih tinggi, partikel-partikel kabon dioksida akan memiliki energi kinetik lebih tinggi sehingga partikel dapat bergerak lebih leluasa dan tumbukan lebih sering terjadi. Tumbukan yang terjadi ini memecah ikatan intermolekuler antara molekul karbon dioksida dan cairan bir. Karena itu, gas karbondioksida menjadi kurang larut pada cairan bir [30]. Sebuah sistem kontrol dibutuhkan untuk menjaga agar konsentrasi karbon dioksida konstan dalam bir [26]. 6. Kesimpulan Karena bir yang dihasilkan dari tahap fermentasi bir masih belum siap dikonsumsi, proses hilir yang meliputi maturasi bir, klarifikasi bir, stabilisasi bir, dan karbonasi perlu dilakukan. Maturasi bir meliputi fermentasi sekunder dan penyimpanan dalam lingkungan bertemperatur rendah. Klarifikasi bir bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa penyebab timbulnya kabut pada bir hijau. Klarifikasi bir dapat menggunakan metode sedimentasi, penambahan fining agents, proses filtrasi, sentrifugasi, maupun dengan teknologi ultrasonik. Proses sedimentasi bertujuan mengendapkan partikel-partikel padat tersuspensi dengan memanfaatkan gaya
9
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
gravitasi selama rentang waktu tertentu. Penambahan fining agents bertujuan memperbesar diameter partikel dengan membentuk flok-flok dengan sel ragi. Sedangkan, stabilisasi bir dilakukan agar bir yang telah diklarifikasi memiliki stabilitas aroma, biologis, dan fisik terhadap kabut. Stabilisasi bir bertujuan mengurangi kadar protein dan polifenol pada bir. Daftar Notasi v kecepatan pengendapan [m/s] g percepatan gravitasi [9,8 m/s2] s densitas partikel [kg/m3] densitas cairan [kg/m3] V volume partikel [m3] A luas daerah yang diproyeksikan ke arah gerakan [m2] CD koefisien hambat d diameter partikel [m] viskositas dinamis cairan [kg/m.s] Re bilangan Reynolds
Daftar Pustaka [1] Bokulich, N. A., dan Bamforth, C. W., The Microbiology of Malting and Brewing, Microbiology and Molecular Biology Reviews (2013) 77(2), 157-172. [2] Lodolo, E. J., et al, The yeast Saccharomyces cerevisiae – the main character in beer brewing, Federation of European Microbiological Societies Yeast Res 8 (2008) 1018–1036. [3] Cahill, G., Optimisation of Brewery Yeast Management: A Study Incorporating Image Analysis, PhD dissertation, Dublin City University, Dublin, 1999. [4] Hornsey, I., Brewing, Second Edition, RSC Publishing, 2013, 202-221. [5] Oppelt, S., The Science of Brewing Beer, Boston University. [6] Lewis, M. J., dan Young, T. W., Brewing, Aspen Publishers, Inc., 2001, 339-342. [7] Priest, F. G., dan Stewart, G. G., Handbook of Brewing, Second Edition, CRC Press, Taylor and Francis Group, 2006, 86-88. [8] Hardwick, A. W., Handbook of brewing, Marcel Dekker, Inc., 1995.
[9] Walker, S. L., Camarena, M. C. D., dan Freeman, G., Alternatives to Isinglass for Beer Clarification, J. Inst. Brew (2007) 113(4), 347– 354. [10] The Brewer International Technical Summary, "Sedimentation – Liquid/Solid Separation in the Brewing Process" (2002). [11] The Practical Brewer, MBAA, 1977. [12] Canadian Vintners Association, Guidance for The Fining of Wine and The Labelling of Fined Wines (2012). [13] Duan, D., et al, The use of pectin-based finings in commercial-scale beer making, Fosters Group Ltd, 4 Southampton Crescent, Abbotsford, 3067, Australia (2006). [14] Morris, T. M., Particle Size Analysis of Beer Solids Using a Coulter Counter, Journal of The Institute of Brewing (1984) 90 (3), 162-166. [15] Poreda, A., Zdaniewicz, M., Sterczynska M., dan Puchalski, C., Effects of Wort Clarifying by using Carrageenan on Diatomaceous Earth Dosage for Beer Filtration, Czech J. Food Sci. (2015) 33, 392–397. [16] Cimini, A., Marconi O., dan Moresi M., Rough Beer Clarification by Crossflow Microfiltration in Combination with Enzymatic and/or Centrifugal Pretreatments, The Italian Association of Chemical Engineering Online (2013) 32, 1729-1734. [17] Oliveria, R. C., dan Barros, S. T. D., Beer Clarification with Polysulfone Membrane and Study on Fouling Mechanism, Brazilian Archives of Biology And Technology (2011) 54(6), 13351342. [18] Leeder, G., Weigand, T., dan Zuber, J., Kieselguhr vs Cross-Flow Filtration: Economical and Ecological Aspects, VLB Berlin, 2011 International Brewing Conference Bangkok (2011). [19] European Beer Guide, Brewing Operations, 767-768. [20] Viessman, W. and Hammer, M., Water Supply and Pollution Control, 4th ed, 1985. [21] Campbell, S. L., The Continuous Brewing of Beer, DB Breweries Ltd. [22] Balan, V., Graur, I., Balan, G. M., The Sonic Tecnology in The Beer Industry, SISOM 2012 and Session of the Commission of Acoustics (2012) 351-357. [23] Virkajarvi, I., Feasibility of continuous main fermentation of beer using immobilized yeast,
10
Serra Delvira, Proses Hilir dalam Proses Produksi Bir, 2015, 1-11
Technical Research Centre of Finland (2001) 1215. [24] Kennedy, J. F., Pike, V. W., dan Barker, S. A., A study of the beer chill-proofing behaviour of a water-insoluble papain conjugate of hydrous titanium(IV) oxide-use of hydrous titanium(IV) oxide as a novel chill-proofing agent, Enzyme Microb. Technol. (1980) 2, 126-132. [25] Sturley, S. L., dan Young, T. W., Chill Proofing by A Strain of Saccharomyces Cerevisiae Secreting Proteolytic Enzymes, J. Inst. Brew. (1988) 94, 133-137. [26] Rehmanji, M., Gopal, C., dan Mola, A., Beer Stabilization Technology – Clearly a Matter of Choice, Master Brewers Association of the Americas (2005) 42(4), 332-338. [27] Ward, I. L., Wort and Beer Clarification Manual, Brewers Supply Group. [28] Briggs, D. E., et al, Brewing: Science and Practice, CRC Press, Woodhead Publishing Limited, 2006, 555-560. [29] Meheen, D., Velas, M., dan Tomczyk, J., Carbonation Demystified: Carbonation Basics, Natural Carbonation and the CO2 Supply, Brewers Association Technical Committee. [30] Tran, et al, Effect of Changes in Temperature and the Handling of Beer on Amount of Carbon Dioxide Released When Poured (2014).
11