KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN PERMUKIMAN DI KOTA SALATIGA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP PERUMUSAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERMUKIMAN
Oleh: Drs. DARU PURNOMO,M.Si. Dr. Ir LASMONO TRI SUNARYANTO,M.Sc. Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M.M. KUSTADI,S.H. Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIMANJUNTAK,M.Si. SETO HERWANDITO,S.Pd, M.I.Kom
PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERMUKIMAN (PK2P) FISKOM -UKSW 2014
KATA PENGANTAR Ketersediaan perumahan yang cukup, layak huni, tertata dan memenuhi standar kebutuhan yang telah dipersyaratkan, merupakan permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh setiap Pemerintahan Daerah.
Selain mendukung upaya penyediaan jumlah rumah dan
lingkungan permukiman yang cukup, Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk mengatur dan mengarahkan perkembangan pertumbuhan perumahan dan permukiman di masyarakat, sehingga dapat terarah dan tertata di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan perutukannya seperti yang telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW). Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang teratur dan indah. Kami, dari Pusat kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi, merasa bangga karena dipercaya oleh DPRD Kota Salatiga untuk mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun kajian ini dapat memperoleh dukungan dari semua pihak yang terkait dengan permasalahan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga dan hasilnya dapat menjadi masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan permukiman mendatang. Laporan Pendahuluan ini kami susun sebagai wujud kesiapan kami untuk mengerjakan kegiatan kajian ini. Kiranya semua yang kita lakukan dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.
Salatiga, Awal Desember 2014 Tim Penyusun
DATIAR ISI KATA PENGANTAR
i ii
DAFTAR ISI BAB I.
PENDAHULUAN
I .1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang Identifikasi Masalah Maksud dan Tujuan Metode
I 5
7 8
II. KAJIAN TEORI DAII PRAKTIK EMPIRIS
BAB 2.1. 2.2.
Perumahan dan Permukiman Persyaratan Lokasi Permukiman
)7
Faktor-fal*or yang Mempengaruhi perkembangan pennukiman Penggunaan Sistem Informasi Geografi s dalanperencanaan Perumahan dan Pennukiman.
2.4.
28 28
29 33 36
IIL EVALUASI
BAB
DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG. UNDANGAN TERKAIT Pembangunan perumahan dan permukiman Kota salatiga .... perumahan dan permukiman $epilatan Pembangruran
3.1. 3.2.
5"914*
J.J.
3.4.
BAB
1
Rencana Detail Tata Ruang Kota
rv.
T,ANDASAN FILOSOFIS,
soslolocls
Gambman Umtrm Kota Salatiga... ............ 4.2. Analisis Kependudukan 4.3. Aspek Lahan danEkonomi. 4.5. Aspek Ekonomi Dalam Dunia perrnukiman 4.6. Determinan Permukiman: Analisis Ekonomi 4. 1.
BABY.
5.1.
5.2.
PENUTUP Kesimpulan Saran
DAFTAR PUSTAKA
39 45 47 53
DAN yuRrDrs.
1s
6l 84
94 97 106
ll1 111 111
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Ketersediaan perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (I) yang menyatakan bahwa: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak Sejalan dengan hal itu, perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang keberadaan dan ketersediaannya wajib dipenuhi. Sebagai satu kebutuhan dasar manusia, ketersediaan perumahan dan permukiman yang memenuhi syarat juga mempunyai peran sangat strategis sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, serta merupakan pengejawantahan jati diri. Oleh karena itu, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Semakin meningkatnya laju perkembangan jumlah penduduk dan fenomena urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar juga mengakibatkan semakin meningkatnya kebutuhan
akan
ruang
kota,
seperti
fasilitas
perumahan
dan
permukiman.
Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun pedesaan pada hakekatnya dilaksanakan untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan pedesaan yang layak huni (livible), aman, nyaman, damai dan sejahtera serta berkelanjutan. Pemerintah wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial. Pemerintah perlu lebih 1
berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dankawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakatsehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalamwujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosialbudaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persoalan perumahan dan permukiman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamikayang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.Selain itu juga dipahami bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah
bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman. Secara menyeluruh, ruang lingkup perumahan dan kawasan permukiman yang dikandung dalam undang-undang tersebut adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat. Pengembangan permukiman ini meliputi berbagai hal, seperti pengembangan prasarana dan sarana dasar, pengembangan permukiman yang terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, proses penyelenggaraan lahan, pengembangan ekonomi kota, serta penciptaan sosial budaya di perkotaan. Sejalan dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan Permenpera 7 Tahun 2013, batasan perumahan sampai kawasan permukiman adalah sebagai berikut: 2
Gambar 1. Pengertian dan Batasan Perumahan dan Kawasan Permukiman
Menurut Besset dan Short (1980) lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu:
Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi, hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.
Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
Shells (tempat),
dimana
mansia
sebagai
individu
maupun
kelompok
melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.
Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarya suatu permukiman terdiri
dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai bagian dari lingkungan permukiman tersebut.
Agar supaya isi (manusianya) yang
tinggal dalam wadah (perumahan dan permukimannya) dapat mewujudkan jatidirinya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat, maka dalam penentuan lokasi suatu 3
permukiman, perlu adanya kriteria atau persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi sebagai lokasi permukiman yang sehat. Kriteria tersebut antara lain: 1. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial. 2. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air beracun, dsb). 3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan individu dan masyarakat penghuni. 4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan. 5. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gambaran umum penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman di Kota Salatiga sejalan dengan pesat perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perumahan, diluar kemampuan pemerintah, sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan dan pusat kota. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan untuk pemukiman juga semakin meningkat, sedangkan jumlah lahan jika dilihat secara administratif jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk yang status ekonominya lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah membangun sejumlah pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman kumuh (slum area) yang dibangun di daerah tepi sungai. Selain itu meningkatnya permintaan terhadap lahan permukiman ini selanjutnya juga akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang semakin meningkat. Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah pencerminan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesandand Kiefer, 1997). 4
Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi permukiman. Kondisi keberadaan perumahan dan pemukiman di Kota Salatiga, sejalan dengan pesat perkembangan jumlah penduduk, mengakibatkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perumahan diluar kemampuan pemerintah. Sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan dan pusat kota. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan untuk pemukiman juga semakin meningkat. Di sisi lain jumlah lahan, jika dilihat secara administratif, jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk yang status ekonominya lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah membangun sejumlah pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman kumuh (slum area). Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah. Kecenderungan makin tingginya angka backlog yang terjadi akibat adanya kesenjangan selisih antara permintaan dan penawaran rumah kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sangatlah memprihatinkan. Hal ini terjadi karena sejumlah kriteria hambatan sebagai berikut: 1. Hambatan fisik berupa keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan, selain karena harganya yang cenderung mahal dan juga prosedur pembebasan yang belum kondusif untuk pengembangan perumahan bagi MBR. 2. Hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bisa ditunjuk pada belum leluasanya pengurusan sertifikasi hak milik rumah MBR dan juga ketidakkonsistenan UU Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan terkait. 3. Hambatan organisasi, dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersial yang dapat mengeliminasi hak MBR. 4. Hambatan
politik
berupa
masih
kurangnya
komitmen
Pemda
dalam
merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR. 5
5. Hambatan distributif, dimana akses MBR terhadap pasar perumahan masih sangat terbatas akibat kecenderungan harga naik dan daya beli mereka tetap rendah bahkan tidak berdaya sama sekali. 6. Hambatan dana. Berbagai skema pembiayaan perumahan yang diluncurkan melalui kebijakan selama ini belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha membuka akses MBR untuk memiliki rumah. 7. Hambatan SDM, dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat belum menjiwai roh dari perumahan untuk rakyat, khususnya perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sejalan dengan kondisi dan harapan tersebut kegiatan kajian ini dilaksanakan. Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman ini, dilaksanakan dengan berdasarkan: 1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. 2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD; 4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pemerintahan
Pembagian Urusan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah; Sehubungan dengan hal tersebut, maka DPRD Kota Salatiga membutuhkan adanya dukungan dari tenaga Ahli/Pakar yang mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap kegiatan penyusunan Raperda-raperda tersebut di atas yang berasal dari Akademisi, dengan asumsi mempunyai kajian yang lebih empiris, teoritis, yuridis, filosofis dan sosiologis, agar nantinya dapat diperoleh suatu produk hukum yang baik.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
1) Maksud :
Pelaksanaan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan 6
Strategis Permukiman, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil kajian mengenai kondisi permukiman dan perumahan di Kota Salatiga dengan segala permasalahannya, dan perumusan kebijakan dalam rangka menyelesaikan permasalahan permukiman tersebut.
2) Tujuan :
1. Melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan dinamikanya; 2. Menyusun bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga. 3. Menyusun rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.
1.3. SASARAN DAN RUANG LINGKUP
Secara umum, sasaran kegiatan adalah tersusunnya Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman sesuai kondisi dan kebutuhan Daerah secara objektif di lapangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan secara lebih khusus, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah: 1. Tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan dinamikanya; 2. Tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga. 3. Tersusunnya rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.
7
Sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman meliputi : 1. Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD); 2. Penyusunan Laporan Pendahuluan; 3. Penyusunan dan Penyampaian Laporan Akhir dan Produk Akhir Kegiatan.
1.4. DASAR HUKUM
Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman ini, dilaksanakan dengan berdasarkan: 1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. 2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD; 4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pemerintahan
Pembagian Urusan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
1.5. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
1.5.1. Tahapan Penelitian Dalam
melaksanakan
Kegiatan
Kajian
Kebijakan
Daerah
tentang
Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman, tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: a) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Pengumpulan data promer dan sekunder dilaksanakan untuk memperoleh berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan kondisi, keberadaan dan pelaksanaan kegiatan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Data primer dan sekunder yang akan dikumpulkan antara lain meliputi: jumlah dan proyeksi 8
penduduk Kota Salatiga, keberadaan dan kondisi lahan yang ada, keberadaan dan kondisi perumahan dan permukiman yang selama ini sudah berkembang dan/atau dikembangkan, serta keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang perumahan dan permikiman yang ada di Kota Salatiga. b) Focus Group Discussion (FGD) FGD dilaksanakan guna mengumpulkan informasi langsung dari para pihak (stakeholders) yang berkaitan dengan masalah perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Bagaimanakah pendapat, permasalahan dan harapan para pihak tersebut tentang keberadaan dan permasalhan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga yang mereka geluti selama ini. c) Pengolahan dan Analisis Data Kegiatan pengolahan dan analisis data akan dilaksanakan dengan menggunakan statistik deskriptif, yakni hanya mendeskripsikan fenomena yang ada, serta melakukan proyeksi atas kondisi yang akan dihadapi di masa mendatang. Analisis data juga akan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga pembacaan hasilnya akan lebih mudah dilakukan. Seluruh
tahapan
kegiatan
kajian
tersebut
akan
dilaksanakan
dengan
menggunakan metodologi sebagai berikut : a) Metode survey data Survey Data terutama akan dilaksanakan untuk mengumpulkan Data Primer yang antara lain berkaitan dengan: a. Identifikasi permasalahan mengenai permukiman di kota Salatiga; b. Identifikasi kebijakan yang telah ada; c. Wawancara secara langsung dan penyebaran kuesioner kepada pihak-pihak yang terkait (stakeholder) didalamnya. d. Survey Data Sekunder e. Kajian kepustakaan; f. Data dari dinas terkait dan instansi terkait; g. Legal base line/inventarisasi perundang-undangan terkait. b) Teknik Pengumpulan Data Teknis pengumpulan data dalam Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dilakukan dengan beberapa cara :
9
a. Studi dokumentasi;
meliputi identifikasi, inventarisasi dan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan Kota Salatiga, Propinsi
Jawa
Tengah dan nasional serta berbagai teori, hasil penelitian, jurnal yang berkenaan dengan materi Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman. b. Focus Group Discussion;
merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
anggota DPRD, Pimpinan SKPD para pemangku kepentingan, PA, PPTK dan Tim Koordinasi
untuk mengidentifikasi problematika dan harapan
berkenaan dengan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman penyusunan. c. Wawancara; dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang dianggap memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai tentang topik Naskah Akademik dan Raperda, baik di lingkungan DPRD, SKPD dan lembaga non pemerintah (perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll). c) Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion) Diskusi terfokus akan dilakukan pada setiap tahapan pekerjaan, bahan diskusi diserahkan kepada Pengguna Jasa dalam waktu 3 (tiga) hari kalender sebelum pelaksanaan diskusi, sehingga PA, PPTK dan Tim Koordinasi dapat mempelajari terlebih dahulu. Laporan yang disampaikan untuk diskusi disajikan dalam 2 (dua) tahap diskusi yaitu: a. Diskusi 1 Diskusi ini dilakukan untuk membahas Laporan Pendahuluan dihadiri PPTK, dan Pihak penyedia jasa (konsultan), diharapkan dalam diskusi ini didapatkan kesepakatan-kesepakatan mengenai latar belakang, kebijakan daerah, kerangka pikir sistematika, jenis data dan cara mendapatkan data, metodologi dan analisa kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan, jadwal kegiatan. b. Diskusi 2 Diskusi ini membahas Draft Laporan Akhir dihadiri PA/KPA, PPTK dan Penyedia Jasa (konsultan) untuk mendapatkan saran masukan untuk penyempurnaan materi dalam rangka penyusunan Laporan Akhir dan Produk Akhir. 10
Gambar 2. Metode Pemanfaatan SIG
11
1.5.2. Tahap Analisis Data
1.
Analisis Pola dan Sebaran Permukiman Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman
beberapa tahun terakhir dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkanlereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya.
2.
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk beberapa
periode (antar 2 titik waktu), yaitu antar peta penggunaan lahan tahun pertama dengan kedua,kemudian antara tahun kedua dengan ketiga, dan antara tahun ketiga dengan keempat.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan petaperkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahunpertama sampai tahun keempat. Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadappeta zonasi jalan, peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untukmengetahui pola perkembangan permukiman multi tahun tersebut berdasarkanelevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas.
Gambar 3. Metode Penggunaan SIG (Overlay)
12
1.5.3. Teknik Analisis Data Beberapa teknik/metode analisis yang digunakan dalam penyusunan kegiatan kajian permukiman di Kota Salatiga ini antara lain: 1. Analisis Kependudukan Analisis kependudukan merupakan analisis untuk mengetahui perkembangan penduduk dan komposisi penduduk sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebutuhan sarana dan prasarana, dan kebutuhan ruang, termasuk dalam perencanaan program perumahan dan permukiman. Tujuan: mengetahui kondisi penduduk dilihat dari kuantitas dan kualitasnya sehingga dapat diketahui potensi sumber daya manusianya dalam mendukung pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Metode : h Proyeksi dan Pertumbuhan Penduduk
Proyeksi penduduk adalah perhitungan (kalkulasi) yang menunjukkan keadaan fertilitas, mortalitas, dan migrasi di masa yang akan datang. Proyeksi penduduk akan dihitung dengan menggunakan model perhitungan, diantaranya dengan menggunakan Model Pertumbuhan Geometris. Model Pertumbuhan Geometris Model Pertumbuhan Geometris adalah perhitungan pertumbuhan penduduk menggunakan dasar bunga (bunga majemuk). Rumus yang digunakan adalah: Pn = Po ( 1 + r )n
Dimana:
Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n (jiwa) Po = jumlah penduduk awal (jiwa) r
= tingkat pertumbuhan penduduk ( % )
n = jumlah tahun pada periode tertentu / selisih tahun h Tingkat Kepadatan Penduduk
Tingkat kepadatan penduduk menunjukkan kualitas lingkungan permukiman, semakin padat penduduk pada suatu wilayah mengakibatkan semakin besar tekanan terhadap sumber daya dan daya dukung fisik lingkungan yang ada pada wilayah tersebut, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan prasarana sarana. 13
Jumlah Penduduk X 100 % Luas Wilayah
2. Analisis karakteristik perumahan dan permukiman Analisis karakteristik perumahan dan permukiman merupakan analisis dengan mengidentifikasi karakteristik perumahan dan permukiman, yang dilihat baik dari karakteristik bangunan, status kepemilikan, arsitektur dan pola permukiman. Selain itu juga untuk mengidentifikasi kawasan permukiman berdasarkan tingkat kepadatan, kekumuhan, pola pembangunan, dan sebagainya. Tujuan : mengetahui kondisi perumahan dan permukiman sehingga dapat diketahui tingkat kualitas perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Metode : h Tingkat Kualitas Struktur Bangunan
Kualitas struktur bangunan terkait dengan kebutuhan minimal keamanan dan keselamatan bangunan, khususnya rumah tinggal. Tingkat kualitas struktur bangunan dinilai berdasarkan persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak memenuhi persyaratan pondasi, dinding, atap, serta lantai suatu bangunan rumah tinggal yang sehat. Jumlah Bangunan Rumah dg Struktur Tidak Layak X 100 % Jumlah Keseluruhan Bangunan Rumah
h Tingkat Kepadatan Bangunan
Tingkat kepadatan bangunan adalah jumlah unit rumah per satuan luas (ha) dalam suatu lingkungan permukiman. Semakin tinggi tingkat kepadatan bangunan maka lingkungan permukiman akan semakin kumuh akibat keterbatasan lahan yang tersedia. Jumlah Bangunan Rumah Luas Wilayah (ha)
14
h Kebutuhan Rumah Total:
Ada 4 aspek yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan kebutuhan rumah diantaranya yaitu: aspek kekurangan jumlah rumah, aspek pertumbuhan jumlah penduduk, aspek rumah tidak layak huni, dan aspek permukiman kumuh. Penghitungan Kekurangan Jumlah Rumah Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan Merupakan suatu perhitungan kekurangan jumlah rumah atau backlog yang dilihat dari status kepemilikan bangunan. Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah rumah dari jumlah KK yang ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara spesifik menurut status kepemilikan rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah, sedangkan rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas, bebas sewa, rumah milik orang tua/famili, dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang belum memiliki rumah.
Backlog =
Jumlah keluarga – Jumlah rumah
h Tingkat Kesehatan dan Kenyamanan Bangunan
Tingkat kesehatan dan kenyamanan bangunan tempat tinggal akan terkait dengan 3 aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan dalam suatu lingkungan permukiman. Jumlah Bangunan Rumah Tidak Sehat dan Aman X 100 % Jumlah Keseluruhan Rumah
h Tingkat Penggunaan Luas Lantai Bangunan
Tingkat penggunaan luas lantai bangunan adalah luas ruang yang dipergunakan untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya setiap orang. Mengacu pada pedoman rumah sehat, bahwa rumah kumuh mempunyai luas lantai kurang dari 9 meter persegi tiap orang. Oleh karena itu, semakin kecil penggunaan luas bangunannya maka mengindikasikan lingkungan permukiman tersebut semakin kumuh. Teknik penilaiannya adalah membandingkan luas bangunan rumah dengan jumlah penghuni rumah. Jumlah Bangunan Rumah Jumlah Penghuni Rumah
15
3.
Analisis penyediaan dan kebutuhan perumahan Analisis
penyediaan
perumahan
merupakan
analisis
yang
dilakukan
dengan
mengidentifikasi kemampuan penyediaan rumah melalui jenis-jenis pola penyediaan, seperti real estate, masyarakat secara swadaya, instansi sektoral, perumnas dan sebagainya. Dengan demikian akan diketahui proporsi atau kontribusi peran masing-masing stakeholder dan perkembangan (trend) kemampuannya.
Tujuan : mengevaluasi penyediaan (ketersediaan) rumah bagi masyarakat hingga saat ini, selain itu dengan mengetahui peran stakeholder penyedia terkait melalui preferensinya akan dapat diprediksi alokasi lahan bagi pembangunan perumahan 5 hingga 10 tahun mendatang.
Metode : Kualitatif deskriptif, dimana melalui masukan yang diperoleh dari stakeholder terkait seperti REI, perumnas, instansi, dan sebagainya akan dapat diketahui prosentase penyediaan oleh masing-masing pihak dalam mencari lokasi pengembangan perumahan Analisis kebutuhan rumah (sebagai tempat tinggal) didasarkan pada asumsi-asumsi dasar antara lain: jumlah penghuni (tingkat hunian) rata-rata tiap satu unit rumah, jumlah ratarata KK per unit dan sebagainya.
Tujuan : mengetahui tingkat hunian rumah dan kekurangan rumah (backlog) di Kota Salatiga. Metode : h Tingkat Hunian : Banyaknya KK dalam Suatu Wilayah Jumlah Bangunan Rumah
Semakin tinggi angka perbandingan KK dengan bangunan rumah ini menunjukkan semakin banyak jumlah anggota keluarga, yang pada gilirannya berpengaruh pada kebutuhan sarana pelayanan yang semakin besar. 4.
Penghitungan kebutuhan rumah berdasarkan pertumbuhan penduduk Merupakan suatu perhitungan kebutuhan rumah yang didasari oleh adanya faktor pertumbuhan jumlah penduduk. Perhitungan ini untuk mengetahui tambahan rumah rata16
rata per tahun yang nantinya dapat dipakai untuk memprediksikan jumlah rumah pada tahun mendatang.
Proses : a) Menghitung jumlah kepala keluarga (KK) selama kurun waktu 5 tahun terakhir sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan rumah. koefisien dasar tingkat hunian ideal atau penurunan yang diinginkan (misal dari 4,5 jiwa/ unit menjadi 4 jiwa/unit). Dalam perhitungan kebutuhan rumah ini, koefisien hunian ditetapkan sebesar 4 jiwa/unit. (Bambang Panudju, 1999). Jumlah KK pada tahun xn: Jumlah penduduk 4
b) Dengan asumsi 1 rumah = 1 KK, maka jumlah KK sama dengan jumlah kebutuhan rumah pada tahun tersebut. c) Lakukan perhitungan yang sama untuk tahun-tahun yang lain, kemudian hitung rataratanya. Kebutuhan rumah rata-rata pertahun : X1 + x2 + x3 + x4 + x5 5
5.
Perhitungan Kebutuhan Rumah Total Kebutuhan Rumah Total = Jumlah backlog + Jumlah kebutuhan rumah akibat faktor pertumbuhan jumlah penduduk + Jumlah permukiman tidak layak huni + jumlah permukiman kumuh. h Segmentasi Kebutuhan Rumah
Untuk menetapkan segmentasi kebutuhan rumah digunakan standar tingkat kesejahteraan. Menurut BPS, pengelompokkan tingkat kesejahteraan penduduk dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok keluarga prasejahtera, kelompok keluarga sejahtera I. Dari kedua kelompok keluarga diatas maka selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok keluarga yaitu kelompok keluarga miskin dan rawan miskin, keluarga berpenghasilan 17
rendah, dan keluarga berpenghasilan menengah-atas. Dalam identifikasi kebutuhan rumah ini variabel-variabel yang mendasari pengelompokkan tersebut antara lain: a) Kelompok keluarga miskin dan rawan miskin h Kondisi rumahnya tidak layak huni, dengan lantai dari tanah h Mempunyai penghasilan dibawah rata-rata/UMR
b) Kelompok keluarga berpenghasilan rendah h Kondisi rumah layak huni, dengan lantai bukan dari tanah h Mempunyai penghasilan yang diasumsikan dapat digunakan untuk mengangsur
kredit rumah h Mempunyai rumah dengan tipe bangunan rumah antara 21 – 36 h Mempunyai
penghasilan
maksimum
diperkirakan
antara
Rp.900.000,00-
Rp.1.500.000,00. h Proses Perhitungan
a) Mengitung persentase jumlah keluarga tiap-tiap kelompok keluarga dengan cara membagi jumlah keluarga tiap kelompok dengan jumlah total keluarga dikalikan 100%. Dengan catatan: h Keluarga Prasejahtera masuk dalam kategori Keluarga Miskin dan Rawan Miskin h Keluarga Sejahtera I dan II masuk dalam kategori Keluarga Berpenghasilan
Rendah b) Menghitung segmentasi kebutuhan rumah berdasarkan tingkat penangananya yaitu yang memerlukan pembangunan baru dan yang perlu peningkatan, tetapi sebelumnya terlebih dahulu menghitung jumlah persentasenya terhadap jumlah kebutuhan rumah total. Perlu menjadi catatan jumlah kekurangan jumlah rumah/backlog dan kebutuhan rumah akibat pertumbuhan jumlah penduduk dianggap sebagai yang memerlukan pembangunan rumah baru. Sedangkan rumah yang tidak layak huni dan jumlah permukiman kumuh dianggap sebagai jumlah rumah yang memerlukan peningkatan kualitas. c) Menghitung kebutuhan rumah dengan mengalikan persentase tiap kelompok kelurga dengan jumlah total kebutuhan rumah dari hasil perhitungan sebelumnya. h Rumus
a) Menghitung persentase tiap kelompok keluarga - Persentase kelompok keluarga miskin dan rawan miskin = (Jumlah keluarga prasejahtera/Jumlah keluarga) x 100%
18
- Persentase kelompok keluarga berpenghasilan rendah = (Jumlah keluarga sejahtera I dan sejahtera II/Jumlah keluarga) x 100% b) Menghitung persentase berdasarkan penanganan - % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru = (Jumlah backlog dan jumlah kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk / jumlah kebutuhan rumah total) x 100% - % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas = (Jumlah rumah tidak layak huni dan jumlah rumah yang berada di lingkungan permukiman kumuh / jumlah kebutuhan rumah total) x 100% c) Menghitung kebutuhan rumah tiap kelompok keluarga h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga miskin dan rawan miskin
-
Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru
-
Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan rendah
-
Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru
-
Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan menengah-
atas -
Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru
-
Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas.
19
6.
Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman merupakan analisis overlay dari berbagai kriteria pengembangan permukiman, baik fisik, ekonomi, sosial dan kebijakan. Dari berbagai kriteria yang dikembangkan, dalam analisis ini pertimbangan aspek fisik seperti kemiringan lahan, struktur tanah (geologi), sistem drainase alami, ketersediaan air tanah dan sebagainya, akan menjadi pertimbangan utama. Tujuan : mengetahui dimana alokasi kawasan fungsi lindung, kawasan aman untuk permukiman (direkomendasikan) dan kawasan yang kurang diprioritaskan (ada kendalakendala yang harus diatasi terlebih dahulu), serta kawasan larangan pengembangan permukiman karena pertimbangan keamanan dan lain sebagainya. Metode : kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait yang mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tingkat Kekumuhan yang dikeluarkan oleh Dirjen Perumahan dan Permukiman Tahun 2002, yakni: - Status Legalitas Tanah Status legalitas tanah adalah perbandingan jumlah rumah yang dibangun di atas tanah/lahan yang diperuntukkan bukan sebagai perumahan dibandingkan dengan yang dibangun pada tanah yang diperuntukkan bagi perumahan, sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). - Status Penguasaan Bangunan Status penguasaan bangunan adalah status pemilikan dan penggunaan bangunan. Status penguasaan bangunan dapat berupa hak milik, hak guna, dan hak pakai. - Frekuensi Bencana Banjir Frekuensi bencana banjir adalah banyaknya kejadian banjir pada suatu lingkungan permukiman. Biasanya disebabkan tidak tersedianya atau kurang terpeliharanya prasarana drainase ataupun tempat pembuangan akhir. Semakin sering terjadi bencana banjir pada suatu lingkungan permukiman, tingkat kerawanan bencana terhadap penyakit di lingkungan tersebut semakin tinggi. - Frekuensi Bencana Tanah Longsor Frekuensi bencana tanah longsor adalah banyaknya kejadian tanah longsor pada suatu lingkungan permukiman, akibat penempatan bangunan pada daerah patahan dan longsoran. Semakin sering terjadi
bencana tanah longsor pada
suatu lingkungan
permukiman dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kerawanan bagi kelangsungan hidup penduduknya, dan secara fisik membutuhkan penanganan yang cukup mahal.
20
7.
Analisis kecenderungan arah perkembangan permukiman Analisis kecenderungan perkembangan permukiman merupakan analisis spasial yang mengintegrasikan pertambahan rumah dengan penggunaan lahan. Tujuan : mengetahui lokasi-lokasi yang berkembang lebih cepat dalam hal pembangunan perumahan dan permukiman Metode: kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi arah (kecenderungan) perkembangan permukiman antara lain: a.
Ketersediaan jaringan jalan dan pola sirkulasi (lalu lintas) regional. Semakin tinggi aksesibilitas (ketersediaan jalan, besarnya arus lalu lintas dan berada diantara 2 simpul kegiatan) akan semakin mudah suatu kawasan perumahan baru untuk berkembang.
b.
Kemudahan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang permukiman seperti air bersih, drainase (bebas genangan), serta pengelolaan sampah. Ketersediaan jalan akan memacu kemudahan penyediaan listrik dan telepon. Sehingga kawasan yang telah terakses jaringan PSD akan lebih cepat berkembang menjadi permukiman baru.
c.
Status lahan yang akan memudahkan pengalihfungsian lahan, yang umumnya dari non permukiman menjadi permukiman.
d.
Arahan tata ruang wilayah dan kota yang akan mendorong secara administratif (perijinan) dan legalisasi kegiatan pengembangan permukiman. Pengembangan kegiatan industri, perdagangan dan jasa dan kegiatan pelayanan sosial akan memicu tumbuhnya permukiman di sekitarnya.
8.
Analisis permasalahan perumahan dan permukiman Analisis prioritas permasalahan perumahan permukiman merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan dari berbagai permasalahan perumahan dan permukiman yang muncul sebagai akibat perkembangan penduduk dan perkembangan wilayah. Tujuan : mengidentifikasi potensi, permasalahan, peluang dan ancaman yang ada dalam bidang perumahan dan permukiman di Kota Salatiga Metode : Untuk mengidentifikasi permasalahan perumahan dan permukiman digunakan analisis deskripsi kualitatif berdasarkan data-data yang telah dihimpun hasil survei primer dan sekunder. Dalam analisis ini pertimbangannya meliputi beberapa aspek, diantaranya: aspek kependudukan,
tata
ruang
dan
pengembangan
wilayah,
pertanahan,
prasarana,
pembiayaan, kelembagaan, peran serta masyarakat, dan peraturan perundang-undangan. 21
Permasalahan perumahan dan permukiman (yang merupakan hasil kesimpulan sementara tentang kondisi yang telah dan sedang berkembang) yang perlu segera ditangani adalah: 1) Permasalahan yang mendesak dan apabila tidak diatasi menimbulkan dampak yang sangat meluas, adalah: a.
Pemberian perijinan lokasi permukiman baru yang tidak sesuai dengan tata ruang
b.
Pemberian perijijnan yang melebihi daya dukung lingkungan atau melebihi kebutuhan yang berkembang
c.
Pertumbuhan kawasan permukiman kumuh yang sangat cepat
2) Permasalahan yang perlu diantisipasi melalui berbagai kebijakan dan pengaturan, untuk mencegah dampak negatif apabila tidak diatasi seperti: a. Review terhadap peruntukan perumahan dan permukiman terutama pada kawasan yang berkembang tidak terkendali menjadi kawasan permukiman. b. Penetapan fungsi dan peruntukan kawasan non perumahan yang berkembang menjadi kawasan perumahan atau sebaliknya. c. Penetapan negative list terhadap kawasan yang terlarang untuk diubah menjadi kawasan permukiman dll. d. Penetapan daya dukung lahan yang mengalami degradasi fisik dan lingkungan. 3) Daftar masalah lain yang perlu ditangani namun dapat diselenggarakan secara bertahap. Terhadap masalah seperti ini, perlu dipilah menjadi: a. Masalah yang dapat diselesaikan melalui/menjadi urusan sektor b. Masalah yang perlu diselesaikan sebagai urusan umum c. Urusan yang perlu dipecahkan secara terkoordinasi melalui forum lokal/kota. 9. Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Perumahan 1) Analisis Kebutuhan Sarana Perumahan Salah satu bentuk analisis yang akan dilakukan adalah mengkaji kebutuhan sarana dan prasarana perumahan. Data-data primer dan sekunder yang telah didapatkan, disesuaikan dengan standar rencana kebutuhan fasilitas yang kemudian disesuaikan dengan arah pengembangan perkiraan di Kota Salatiga. Analisis yang dilakukan dengan metoda diskriptif kualitatif dan kuantitatif. 2) Analisis Kebutuhan Prasarana Perumahan Di dalam pelaksanaan pekerjaan ini dibutuhkan beberapa metodologi untuk menganalisis, termasuk menghitung dan merencanakan sistem jaringan dari komponen-komponen PSDPU. Metodologi tersebut akan dikaitkan dengan berbagai prosedur dan standar yang berlaku dan digunakan di Indonesia. Termasuk proses dan standar yang digunakan di dalam 22
lingkungan
Departemen
Pekerjaan
Umum,
dan
Departemen
Permukiman
dan
Pengembangan Wilayah. 3) Analisis Pemilihan Lokasi Konsep pemilihan lokasi harus disesuaikan dengan asas kesesuaian dan keberlanjutan (sustainability) dan kesempatan (opportunities). Untuk lebih jelasnya, pemilihan lokasi permasalahan perumahan dan permukiman disini harus mengacu pada : - Kebutuhan dari masyarakat Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada suatu lokasi harus dapat diidentifikasi, agar lokasi yang dipilih tidak salah sasaran. -
Kecenderungan perkembangan Yang perlu diperhatian adalah adanya kecenderungan bahwa masalah yang ada pada suatu wilayah, apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak yang meluas. Disini unsur prediksi diperlukan, sehingga masalah yang perlu diatasi
telah
diprioritasnya berdasarkan kemendasakannya. -
Pertimbangan lingkungan Setelah kebutuhan masyarakat diketahui dan prioritas masalah diperoleh, yang terakhir harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan. Dalam arti disini bukan hanya lingkungan secara fisik namun juga lingkungan organisasi.
Lingkungan fisik perlu diperhatikan, karena lokasi terpilih nantinya merupakan tempat/wadah pengelolaan dan penanganan masalah yang dihadapi. Sehingga unsur sumber daya sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran tujuan tersebut. Sedangkan lingkungan organisasi termasuk didalmnya adalah: kesesuaian rencana penanganan dengan peruntukan lokasinya, keterlibatan aktor yang berperan secara aktif serta bagaimana kondisi pendukung lainnya. 4) Analisis Pembiayaan Pembangunan Perumahan Analisis pembiayaan pembangunan perumahan merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk mengenali dan menggali sumber-sumber pendanaan potensial yang dapat dijadikan sumber pembiayaan perumahan. Tentunya analisis pembiayaan perumahan ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kota Salatiga. Ada tiga aspek penting pembiayaan permukiman yaitu sumber dana, aksebilitas dan sasaran (target group). Perumusan kebijaksanaan pembiayaan permukiman diarahkan guna mengatasi permasalahan tidak terjangkaunya harga rumah oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan ditujukan guna menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat menjangkau dan menikmati hasil-hasil pembangunan 23
perumahan. Analisis ini nantinya diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan pembiayaan permukiman di Kota Salatiga baik bagi masyarakat yang di kota maupun di daerah yang masih bercirikan perdesaan. Hal lainnya yang harus dijawab adalah memasukkan pembiayaan permukiman sektor non-formal ke dalam sistem pembiayaan formal yang didukung pendapatan, hubungan atau kemitraan yang harmonis antara pemerintah, swasta dan masyarakat. 5) Analisis Kelembagaan Pembangunan Perumahan Analisis kelembagaan pembangunan perumahan merupakan analisis yang tujuannya untuk mengembangkan fungsi dan kapasitas lembaga yang ada dalam mendukung pembangunan perumahan. Pengembangan sistem kelembagaan harus bersifat komprehensif dan sinergis yaitu mencakup semua aktor, dan sektor yang terkait dengan bidang perumahan. Dengan melakukan analisis kelembagaan ini diharapkan akan tersusun tatalaksana penyelenggara pembangunan perumahan yang baik, sehingga nantinya peran dan kapasitas masyarakat akan semakin meningkat dalam menjawab tantangan dan isu serta permasalahan dalam penyelenggaraan
perumahan
dan
permukiman
yang
mengedepankan
strategi
pemberdayaan masyarakat.
1.6. JADWAL PELAKSANAAN Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman
dalam Jangka Waktu 30 (tiga puluh) hari
kalender (atau sekitar 5 minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: No 1
Kegiatan Persiapan
(SPMK,
Mgg-1
Mgg-2
Mgg-3
Mgg-4
Mgg-5
penyu-
sunan kues dsb) 2
Pengumpulan data
3
FGD tahap 1
25-27 Nov
4
Pengolahan dan Analisa Data
5
Penulisan Laporan
6
FGD tahap 2
7
Perbaikan Laporan Akhir
8
Penyerahan Laporan Akhir
2-4 Des 15 Des
24
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 2.1. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam masyarakat Indonesia, perumahan beserta prasarana pendukungnya merupakan pencerminan dari jati diri manusia, baik secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan serta keserasian dengan lingkungan sekitarnya. Perumahan dan permukiman juga mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa,sehingga perlu dibina dan dikembangkan demi kelangsungan serta peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan permukiman selain berfungsi sebagai wadah pengembangan sumber daya manusia dan pengejawantahan dari lingkungan sosial yang tertib, juga merupakan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri perumahan sebagai penyedia lapangan kerja serta pendorong pembentukan modal yang besar. Melalui peningkatan serta pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan produktivitas, berperan serta secara aktif dalam pembangunan, dan mampu meningkatkan pemupukan modal bagi pembangunan selanjutnya. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menyebutkan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian
dan
tempat
kegiatan
yang
mendukung
perikehidupan
dan
penghidupan.Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman semakin menegaskan bahwa perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagiandari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan,yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitasumum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yanglayak huni dan terjangkau.Yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau”adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunandan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatanpenghuninya, yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisanmasyarakat. Sementara, sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, yang dimaksud dengan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunianyang 25
terdiri atas lebih dari satu satuan perumahanyang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah bagian dari
kawasanpermukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuanPermukiman, dan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkunganhidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasanperkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagailingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dantempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi,teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkunganyang memenuhi persyaratan tata ruang, kesesuaian hak atas tanahdan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umumyang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Dalam upaya penetapan lokasi dan penyediaan perumahan dan permukiman yanglayak huni, sehat dan produktif ini peran pemerintah menjadi sangat penting. Pemerintah wajib berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya pemberdayaan masyarakat serta pelaku kunci lainnya bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman, memfasilitasi dan mendorong terciptanya iklim yang kondusif didalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman serta mengoptimalkan pandayagunaan sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
2.2. PERSYARATAN LOKASI PERMUKIMAN Salah satu faktor utama yang akan sangat berpengaruh dalam penyediaan perumahan dan permukiman adalah masalah lokasi. Penetapan suatu lokasi pembangunan lingkungan hunian barusebagaimana dimaksud dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Permukiman pada pasal 66 ayat (5) adalah menjadi kewenangan dari bupati/walikota.Penetapan lokasi pembangunan lingkungan hunian barusebagaimana dimaksud pada ayat (5) tersebut dilakukanberdasarkan hasil studi kelayakan; a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan; b. rencana penyediaan tanah; dan c. analisis mengenai dampak lalu lintas danlingkungan Menurut Joseph De Chiara dalam Standar Perencanaan Tapak (1994), kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi/tapak untuk perumahan apabila ingin dicapai pembangunan dan pemeliharaan yang sehat, antara lain:
26
A. Sifat Khas Fisis Tapak yang Penting
1.
Kondisi tanah dan bawah tanah. Kondisi bawah tanah dan harus sesuai dengan untuk pekerjaan galian dan persiapan, peletakan jaringan utilitas serta pelandaian dan penanaman, memberikan daya dukung yang baik untuk penghematan konstruksi bangunan yang akan dibangun. Untuk menghemat konstruksi, sebaiknya lapisan bawa tanah tidak mengandung batuan keras atau rintangan lain untk efisiensi galian utilitas pondasi atau kolong bangunan.
2.
Air tanah dan drainase Muka air tanah yang relatif rendah untuk untuk melingdungi bangunan dari genangan pada kolong bangunan dan gangguan air selokan, tidak adanya rawa, dan kelandaian lereng yang cukup memungkinkan penyaluran curah hujan permukaan normal dan kelancaran aliran air selokan.
3.
Keterbebasan dari banjir permukaan Daerah pembangunan harus terbebas dari bahaya banjir permukaan yang disebabkan oleh sungai, danau atau air pasang.
4.
Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan Lahan tidak boleh terlalu curam demi kebaikan kelandaian dalam kaitannya dengan kostruksi hunian. Tapak bangunan tidak boleh mempunyai ketinggian melebihi kemampuan jangkuan air untuk keperluan rumah tangga dan penangulangan kebakaran.
5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi Topografi harus memungkinkan pencapaian yang baik oleh kendaraan maupun pejalan kaki, ke dan di dalam tapak. Topografi juga harus memungkinkan pelandaian yang sesuai dengan standar yang ada. 6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka Lahan untuk halaman pribadi, tempat bermain dan taman lingkungan harus memungkinkan pelandaian dan pembangunan yang sesuai dengan spesifikasi. 7. Keterbatasan dari bahaya kecelakaan topografi Daerah yang akan dibangun hendaknya bebas dari kondisi topografi yang dapat menyebabkan kecelakaan, seperti galian, lubang yang menganga, dan garis pantai yang berbahaya.
27
B. Ketersediaan Pelayanan Saniter dan Perlindungan 1. Persediaan air dan pembuangan air selokan saniter Sistem persediaan air dan pembuangan harus dipandang sebagai pelayanan saniter jangka panjang dan bukan hanya sekedar instalasi fisis. Penyetujuan dini dari pihak berwenang dibidang kesehatan merupakan prasyarat untuk pembuatan fasilitas pembuangan air kotor pada tapak dan untuk usulan pengembangan jaringan air maupun selokan yang akan melayani tapak tersebut. 2. Pembuangan sampah Apabila pelayanan sampah kota dapat diadakan, maka pemilihan tapak yang menyangkut hal ini tidak akan menemui masala. Tetapi kebutuhan fasilitas pengolahan sampah pada tapak atau di sekitas tapak untuk penguburan, pembakaran dan proses kimiawi memerlukan upaya penelaahan untuk pengalaman. Masalah yang utama adalah pemisahan lahan untuk pembuangan, penghindaran bau-bauan yang disebar oleh angin serta penggunaan metode pembuangan untuk mencegah bersarangnya tikus dan pembiakan serangga. 3. Listrik, bahan bakar dan komunikasi Listrik sangat penting untuk setiap rumah, tetapi karena pelayanan listrik biasanya dapat diperluas untuk suatu pembangunan dan dapat dibangkitkan apabila diperlukan maka listrik jarang menimbulkanmaslah dalam pemilihan tapak. Gas tidak dianggap sebagai utilitas yang penting. Apabila keperluan gas berada di luar jangkauan jaringan pelayanan, maka tabung gas bertekanan tinggi yang mudah diangkut dapat digunakan. Pelayanan telepon, seperti listrik dapat diperluas untuk tapak yang memerlukannya. 4. Pengamanan oleh polisi dan penyelamat kebakaran Kelayakan perlindungan oleh polisi tidak begitu terpengaruh oleh lokasi, tetapi seperti halnya perlindungan terhadap kebakaran, apabila letak tempatnya terisolir maka segi pembiayaan harus diperhitungkan. C. Keterbatasan Dari Bahaya dan Gangguan Setempat 1. Bahaya kecelakaan Bahaya utama kecelakaan utama adalah tabarakan dengan kendaraan bermotor lainnya, bahaya api dan ledakan, jatuh, dan tenggelam. Penyebab tabrakan adalah lalu lintas jalan dan jalan kereta api serta musibah pendaratan pesawat terbang di dekat jalur pendaratan. 2. Kebisingan dan getaran Kebisingan yang berlebihan, kadang-kadang disertai getaran biasanya dihasilkan oleh jalan kereta api, bandar udara, lalu lintas, industri berat, peluit kapal, dan sebagainya.
28
Perumahan tidak boleh terletak pada tapak yang terus menerus dilanda kebisingan yang tidak terkendali, terutama di malam hari. 3. Bau-bauan, asap dan debu. Sumber bau-bauan yang tidak sedap biasanya adalah: − Pabrik, industri, terutama rumah potong hewan, penyamakan kulit dan pabrik yang menghasilkan produk dari binatang; industri karet, kimia dan pupuk, pewarnaan atau pencucian tekstil; pabrik kertas, sabun dan cat; dan pabrik gas. − Tempat pembuangan sampah, terutama apabila proses pemusnahan melibatkan pembakaran. − Sungai yang dikotori air selokan, atau instalasi pengolahan tinja yang tidak berjalan dengan sempurna. − Peternakan, terutama babi dan kambing, terutama apabila dipelihara secara berdesakdesakan dan dalam keadaan kotor. − Asap lalu lintas kendaraan bermotor dan kereta api dengan bahan bakar batubara. Sumber asap dan debu yang sering dijumpai adalah industri, jalur kereta api, tempat pembuangan dan kebakaran sampah. Debu juga berasal dari lahan terbuka seperti lahan kosong, perkebunan yang tidak ditanami, tempat rekreasi yang tak terurus dan daerah berdebu yang luas. (Dirangkum dari: Joseph De Chiara; Lee E. Koppelman. Standar Perencanaan Tapak. 1994. Hal: 91-95)
2.3. KRITERIA LOKASI DAN PERSYARATAN BAGGI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pengembangan permukiman pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang secara mendasar sangat berpengaruh terhadap kehidupan seharihari dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan permukiman selain menyediakan rumah untuk tempat tinggal, juga bertujuan untuk menciptakan iklim kehidupan yang sehat secara lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menjamin kualitas kehidupan bagi semua orang. Penggunaan lahan untuk permukiman merupakan penggunaan lahan tunggal terbesar di kota manapun (Koppelman dan De Chiara J, 1994). Menurut UU no 4 tahun 1992 tentang permukiman dan perumahan pasal 1, fungsi kawasan permukiman adalah sebagai berikut:
Selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat
29
awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga, dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
Selain berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk mengembangkan kehidupan dan penghidupan keluarga, perumahan juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelenggarakan kegiatan bermasyarakat dalam lingkup terbatas.
Penataan ruang dan kelengkapan prasarana dan sarana lingkungan dan sebagainya, dimaksudkan agar lingkungan tersebut akan merupakan lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur serta dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. Permukiman yang dimaksud dalam undang-undang ini mempunyai lingkup tertentu
yaitu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja terbatas untuk mendukung peri kehidupan dan penghidupan sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
2.4. PERSYARATAN LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Untuk mewujudkan suatu lingkungan perumahan yang mampu meningkatkan taraf hidup penghuninya perlu penyediaan prasarana dan sarana penunjang. Prasarana lingkungan perumahan umumnya terdiri atas jalan, air bersih, listrik, drainase dan persampahan. Sedangkan sarana lingkungan meliputi dua hal yakni fasilitas sosial (tempat ibadah, lapangan olah raga, gedung pertemuan) dan pelayanan sosial (sekolah, klinik/puskesmas/rumah sakit) (Budiharjo, 1991). Pembangunan dan pengembangan kawasan lingkungan perumahan pada dasarnya memiliki dua fungsi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu fungsi pasif dalam artian penyediaan sarana dan prasarana fisik, serta fungsi aktif yakni penciptaan lingkungan yang sesuai dengan kehidupan penghuni (Budiharjo, 1991). Kedua fungsi ini lebih lanjut dijabarkan dalam suatu pedoman pokok perumahan atau Habitat Bill of Rights yang mengemukakan pedoman menyangkut lingkungan permukiman dan bangunan perumahan. Dalam pedoman mengenai lingkungan permukiman disebutkan:
Fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan budaya masyarakat setempat;
Lingkungan permukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang sebanding dengan ukuran/luas lingkungan serta jumlah penghuni;
Pada lingkungan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah sedapat mungkin tersedia pula wadah kegiatan yang dapat menambah penghasilan;
Taman, ruang terbuka/penghijauan harus tersedia cukup; 30
Perencanaan tata letak permukiman harus memanfaatkan bentuk topografis dan karakteristik alami site setempat;
Jalan masuk lingkungan terdapat pemisahan antara lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki, serta sedapat mungkin diteduhi dengan pepohonan;
Lingkungan permukiman harus menunjang terjadinya kontak sosial dan menciptakan identitas dari segenap penghuni.
Sedangkan hal-hal yang tertera dalam pedoman untuk bangunan perumahan, antara lain:
Ukuran unit rumah dan pekarangan diperhitungkan atas dasar jumlah anggota keluarga dan kemungkinan pertambahan jumlah penghuni;
Setiap rumah selayaknya memiliki taman tersendiri;
Batas pemilikan rumah/pekarangan harus cukup jelas dibedakan dari daerah publik;
Setiap rumah harus terbuka ke kedua arah agar dapat sirkulasi udara silang dan pencahayaan silang;
Interior dan eksterior rumah selayaknya mencerminkan nilai-nilai dan tata cara penghuninya;
Setiap unit rumah memiliki fasilitas mandi cuci sendiri yang memenuhi persyaratan kesehatan. (Budiharjo, 1991).
2.5. KRITERIA LOKASI PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Yang dimaksud dengan kriteria lokasi adalah kriteria umum yang dipersyaratkan untuk suatu kawasan dapat disebut dan atau dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman. Tidak setiap kawasan ekonomis dapat dikembangkan sebagai kawasan perumahan, dan tidak setiap kawasan fungsional yang tidak produktif layak dikembangkan menjadi kawasan perumahan dan permukiman. Untuk itu, berbagai standart teknis pembangunan perumahan dan permukiman yang ada tetap dapat dijadikan acuan dan pegangan sepanjang tidak bertentangan dengan visi, misi, dan kebijakan nasional. Secara umum, terdapat dua kriteria yang perlu dijadikan pegangan dalam menetapkan suatu kawasan agar dapat dikembangkan menjadi kawasan perumahan dan permukiman. 1. Kriteria Umum Hal yang prinsip dalam penetapan suatu kawasan perumahan dan permukiman adalah dalam RTRW, kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai daerah dengan peruntukan perumahan dan permukiman. Kawasan perumahan dan permukiman dapat dikembangkan pada lokasi yang memenuhi kriteria berikut: 31
a. Tercantum dalam RUTR Kota/Kabupaten sebagai daerah perumahan (baik yang telah ada ataupun masih memerlukan proses dan yang dicadangkan khusus untuk keperluan tersebut). b. Secara geografis lokasinya mudah diakses, dalam arti terkait dengan rencana investasi dan pengembangan sarana dan prasarana primer yang berskala kota, terlayani atau dalam rencana terlayani oleh sarana angkutan umum. c. Memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah, khususnya masyarakat, dalam arti:
Menunjang ketersediaan rumah layak dan terjangkau.
Dukungan atau menjadi bagian integral dari pengembangan kawasan fungsional lain (kawasan industri, kawasan wisata, dll).
Luasan minimalnya mendukung terlaksananya pola hunian berimbang (membentuk lingkungan sosial yang harmonis antar strata).
Tidak mengganggu keseimbangan dan fungsi ekologis dan upaya pelestarian sumber daya alam lainnya.
Skala kegiatannya dapat memberikan/ membuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat yang membutuhkan.
2. Kriteria Khusus Kriteria khusus ini merupakan penjabaran lanjut dari kriteria umum, yang dapat dikaitkan dengan pengembangan melalui program dan kegiatan khusus, antara lain: a. Kawasan Permukiman Baru Pembangunan kawasan permukiman baru diartikan sebagai kawasan permukiman yang dibangun pada lahan yang disiapkan secara khusus untuk itu. Pengembangannya mensyaratkan antara lain: 1. Tidak berada pada lokasi yang rawan bencana rutin maupun dapat diprediksi terjadi (longsor, banjir, genangan menetap atau rawan kerusuhan sosial). 2. Mempunyai sumber air baku yang memadai (kualitas dan kuantitas) atau terhubungkan dengan layanan jaringan air bersih, pematusan dan sanitasi berskala kota. 3. Terletak pada hamparan dengan luasan yang memadai, sebagaimana tertuang dalam Intruksi MENEG AGRARIA No.5/ Tahun 1998 tentang pemberian izin lokasi dalam rangka penataan/ penguasaan tanah skala besar, yang antara lain memuat penguasaan lahan maksimum oleh perusahaan pengembang sebagai berikut:
Antara 200-400 Ha per propinsi untuk satu pengembang atau konsorsium.
4000 Ha untuk seluruh Indonesia (bila terletak dalam satu hamparan). 32
b. Untuk pengembangan kawasan permukiman di daerah pedesaan, harus terkait dengan : 1. Upaya antisipasi tumbuh dan bekembangnya kota-kota kecil yang berada pada lokasi geografis dan strategis. 2. Mendukung pengembangan ibu kota kecamatan sebagai pusat pelayanan primer. 3. Upaya menggulirkan kegiatan berkehidupan dan penghidupan pada desa-desa terisolasi, kawasan permukiman perbatasan atau desa potensial yang belum tergarap. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, lokasi yang sesuai untuk pengembangan dan pembangunan perumahan minimal harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
Lokasi perumahan harus berada pada daerah yang peruntukannya dapat dikembangkan sebagai lingkungan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku atau di daerah yang ditunjuk dengan sah oleh pemerintah setempat bila belum ada rencana tata ruang yang diberlakukan.
Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan perumahan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan.
Bebas dari pencemaran air, udara dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang ditimbulkan dari sumber daya buatan manusia maupun sumber daya alam.
Dapat menjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan individu dan masyarakat penghuni.
Mempunyai kondisi yang bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%, sehingga dapat dibuat sistem saluran pembuangan air hujan dan fungsi jalan setempat yang baik serta memiliki daya dukung yang cukup untuk memungkinkan dibangun perumahan.
Menjamin adanya kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memperoleh lokasi yang sesuai sebagai kawasan perumahan memerlukan seleksi dan analisis terhadap kondisi fisik kawasan (Chiara & Koppelman, 1989).
Sedangkan menurut Bourne (1982) dalam penentuan lokasi perumahan yang diinginkan penghuni berkaitan dengan kemampuan ekonomi, keuntungan lokasi dan kualitas lingkungan fisik.
Kemampuan biaya, dapat dilihat dari pengeluaran yang diperuntukkan bagi penyediaan tempat tinggal.
Keuntungan lokasi, dilihat dari faktor aksesibilitas dan jarak dari pusat kota. Aksesibilitas terutama faktor angkutan umum menyebabkan pergerakan penduduk lebih mudah. Bagi 33
golongan berpendapatan rendah maka faktor kedekatan jarak dengan pusat kota menjadi preferensi utama, sedangkan bagi golongan masyarakat menengah ke atas jarak kedekatan lokasi tidak menjadi permasalahan.
Kualitas lingkungan, setiap hunian dalam suatu perumahan merupakan tempat kita melepaskan diri dari luar, dari tekanan dan ketegangan dan dari kegiatan rutin. Oleh karena itu diperlukan suatu hunian yang nyaman dan damai sebagai elemen pendukung terhadap konsep ini. Dari pengertian ini diturunkan faktor ketersediaan sarana prasarana dan bebas banjir.
Menurut Chapin dalam perencanaan guna lahan kawasan perumahan, pada prinsipnya lokasi pembangunan perumahan memiliki beberapa kriteria, antara lain:
Kawasan perumahan harus didukung dengan kelengkapan sarana prasarana, utilitas, dan fasilitas umum bagi penghuni.
Kawasan permukiman dan perumahan harus dialokasikan sehingga memiliki kemudahan pencapaian ke pusat-pusat kegiatan.
Kawasan perumahan dialokasikan di kawasan yang memiliki kapasitas fasilitas pelayanan lingkungan yang memadai agar pembangunan lebih efisien yaitu dengan memperluas fasilitas pelayanan yang sudah ada.
Kawasan perumahan perlu dibangun dengan tingkat kepadatan ruang yang direncanakan sehingga dapat mencegah timbulnya pergerakan yang berlebihan dan mengurangi kemacetan.
Selain itu dalam memilih lokasi permukiman, juga perlu mempertimbangkan potensi struktural dan lokasi lahan permukiman (Charter dalam Sai’dah, 2002). Pertimbangan tersebut ditekankan pada faktor-faktor sebagai berikut:
Kondisi akses lokasi permukiman ke lokasi kegiatan lain.
Besarnya biaya untuk perjalanan aktivitas harian.
Harga lahan yang lebih murah atau menjangkau kemampuan masyarakat.
Kondisi dan kelengkapan fasilitas umum.
Arsitektur rumah yang baik dan modern
Kondisi sosial lingkungan yang dapat diterima.
Jarak permukiman ke lokasi tempat kerja.
Jarak permukiman ke pusat kota atau pusat aktivitas.
Menurut Drabkin (1997), selain itu juga ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan lokasi secara individu yang berbeda satu sama lain yaitu:
Aksesibilitas 34
Aksesibilitas ini terdiri atas kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota.
Lingkungan Lingkungan dalam hal ini terdiri atas lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi dan lingkungan yang nyaman.
Peluang kerja yang tersedia Peluang kerja dalam hal ini yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya.
Tingkat pelayanan Dalam hal ini lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.
Menurut Hidayat dalam Supriyanto (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan perumahan oleh konsumen, yaitu: 1. Kelompok faktor kenyamanan, terdiri atas tersedianya air bersih yang mencukupi, udara yang sejuk segar bebas dari pencemaran, ada jaminan keamanan, bebas banjir, jauh dari sumber bencana alam. 2. Kelompok faktor internal, terdiri dari; harga rumah yang murah, luas lahan, lebar jalan, kualitas bangunan. 3. Kelompok faktor tujuan terdiri dari menikmati rumah, untuk spekulasi, untuk investasi. 4. Kelompok faktor sosialisasi terdiri dari penghargaan sesama penghuni, untuk kebanggaan/prestise, dekat dengan/ada teman sejawat 5. Kelompok faktor fasilitas, terdiri dari ada gedung pertemuan, dekat dengan/ada taman, kolam renang, tempat ibadah dan lapangan tenis. 6. Kelompok faktor pendidikan terdiri dari dekat TK, SD, SMP, SMA, dan kampus. 7. Kelompok faktor kesehatan, terdiri dari dekat dengan dokter, puskesmas, rumah sakit. 8. Kelompok faktor aksesibilitas, terdiri dari tersedia alat transportasi umum, keadaan lalu lintas yang lancar menuju lokasi perumahan 9. Kelompok faktor eksternal, terdiri dari dekat dengan bandar udara, pusat kota, museum, kebun binatang, tempat kerja, pasar, pantai wisata, dll. 10. Kelompok faktor topografi terdiri dari topografi yang berbukit-bukit dan datar/rata. Sementara itu, menurut Budihardjo (1998) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi perumahan dibagi menjadi empat segi antara lain: 1. Segi teknis pelaksanaanya : Mudah mengerjakannya, tidak banyak pekerjaan cut and fill Bukan daerah banjir, daerah gempa, daerah angin ribut dan daerah rayap 35
Mudah dicapai tanpa hambatan yang berarti Tanahnya baik sehingga baik untuk konstruksi bangunan Mudah mendapatkan sumber air bersih, listrik, pembuangan air limbah/kotor/hujan dan
lain-lain Mudah mendapatkan bahan-bahan bangunan Mudah mendapatkan tenaga-tenaga pekerja dan lain-lain.
2. Segi tata guna tanah : Tanah yang secara ekonomis sudah susah untuk dikembangkan secara produktif Tidak merusak lingkungan Mempertahankan tanah yang berfungsi sebagai reservoir air tanah, penampung air
hujan dan penahan air laut. 3. Segi kesehatan : Lokasi jauh dari lokasi pabrik-pabrik yang dapat mendatangkan polusi misalnya debu
pabrik, buangan sampah-sampah dan limbah pabrik. Lokasi tidak terganggu oleh kebisingan Lokasi mudah untuk mendapatkan air minum, listrik, sekolah, puskesmas, dan lain-lain
kebutuhan keluarga. Lokasi mudah dicapai dari tempat kerja para penghuni
4. Segi politis dan ekonomis Menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekelilingnya Menjadi contoh bagi masyarakat sekeliling untuk membangun rumah dan lingkungan
yang sehat Mudah penjualannya karena lokasi disukai calon pembeli dan menguntungkan
pengembang Dari kriteria di atas dapat disederhanakan menjadi 3 faktor berikut ini: Kemampuan fisik lahan, meliputi kemiringan, erosi, keefektifan tanah dan ada tidaknya
genangan. Penggunaan lahan yang ada, meliputi ketersediaan lahan, fungsi lahan eksisting dan
harga lahan. Potensi lokasi, meliputi kelengkapan sarana/fasilitas dan jaringan utilitas, kemudahan
aksesibilitas atau rute angkutan umum, kedekatan dengan pusat kegiatan/aktivitas atau jarak ke pusat kota/kecamatan. Menurut Koppelman dan De Chiarra, 1994 lokasi perumahan seharusnya memiliki sistem jalan yang sesuai dengan persyaratan sirkulasi dari rencana tata ruang kota. Hal ini memberikan 36
pencapaian maksimum kepada semua bagian kota dan menjamin koordinasi yang baik dengan rencana perubahan sirkulasi di kemudian hari. 3. Persyaratan Dasar Kawasan Perumahan Persyaratan dasar tersebut meliputi: -
Aksesibilitas, yaitu kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan yang terwujud dalam bentuk jalan dan transportasi;
-
Kompabilitas, merupakan keserasian dan keterpaduan antar kawasan yang menjadi lingkungannya;
-
Fleksibilitas, yaitu kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;
-
Ekologi, adalah keterpaduan antara tatanan kegiatan alam yang mewadahinya (DPU, 1987).
2.6.
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
PERKEMBANGAN
PERMUKIMAN Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat hidup manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, faktor keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat(Sumber: “Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, Nomor 12.April 1994). Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain: letak geografis, kependudukan, sarana dan prasarana, ekonomi dan keterjangkauan daya beli, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan, dan peran serta masyarakat(Sumber : Siswono, dkk).
1. Faktor geografi Letak
geografis
suatu
permukiman
sangat
menentukan
keberhasilan
pembangunan suatu kawasan. Permukiman yang letaknya terpencil dan sulit dijangkau akan sangat lambat untuk berkembang. Topografi suatu kawasan juga berpengaruh, jika topografi kawasan tersebut tidak datar maka akan sulit bagi daerah tersebut untuk 37
berkembang. Lingkungan alam dapat mempengaruhi kondisi permukiman, sehingga menambah kenyamanan penghuni permukiman.
2. Faktor Kependudukan Perkembangan penduduk yang tinggi, merupakan permasalahan yang memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan permukiman. Jumlah penduduk yang besar merupakan sumber daya dan potensi bagi pembangunan, apabila dapat diarahkan menjadi manusia pembangunan yang efektif dan efisien. Tetapi sebaliknya, jumlah penduduk yang besar itu akan merupakan beban dan dapat menimbulkan permasalahan bila tidak diarahkan dengan baik. Disamping itu, penyebaran penduduk secara demografis yang tidak merata, merupakan permasalahan lain berpengaruh terhadap pembangunan perumahan.
3. Faktor Kelembagaan Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah perangkat kelembagaan yang berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan, dan pelaksanaan baik sektor pemerintah maupun sektor swasta, baik di pusat maupun di daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan suatu sistem terpadu. Menurut UU No. 5 Tahun 1979, Pemda memegang peranan dan mempunyai posisi strategis dalam pelaksanaan pembangunan perumahan. Namun unsur-unsur perumahan di Tingkat Daerah yang melaksanakan program khusus untuk koordinasi, baik dalam koordinasi vertikal maupun horisontal dalam pembangunan perumahan, masih perlu dimantapkan dalam mempersiapkan aparaturnya.Termasuk didalamnya adalah kebijaksanaan yang mengatur kawasan permukiman, keberadaan lembaga-lembaga desa, misalnya LKMD, Karang Taruna, Kelompok wanita dan sebagainya.
4. Faktor Swadaya dan Peran Serta Masyarakat Dalam rangka membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, menengah, tidak tetap, perlu dikembangkan pembangunan perumahan secara swadaya masyarakat yang dilakukan oleh berbagai organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap serta amat rendah dan tidak berkemampuan tersebut mampu membangun rumahnya sendiri dengan proses bertahap, yakni mula-mula dengan bahan bangunan bekas atau sederhana, kemudian 38
lambat laun diperbaiki dengan bangunan permanen bahkan ada pula beberapa rumah yang sudah bertingkat. Faktor swadaya dan peran serta masyarakat atau aspek sosial tersebut juga meliputi kehidupan sosial masyarakat, kehidupan bertetangga, gotong royong dan pekerjaan bersama lainnya.
5. Sosial dan Budaya Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan faktorfaktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri penghuninya.
6. Ekonomi dan Keterjangkauan Daya Beli Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan perkembangan permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di suatu daerah. Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.
7. Sarana dan Prasarana Kelengkapan sarana dan prasarana dari suatu perumahan dan permukiman dapat mempengaruhi perkembangan permukiman di suatu wilayah. Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai dapat memudahkan penduduknya untuk beraktivitas sehari-hari. Semakin lengkap sarana dan prasarana yang tersedia maka semakin banyak pula orang yang berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.
8. Pertanahan Kenaikan harga lahan sebagai akibat penyediaan kelangkaan lahan untuk permukiman, menyebabkan timbulnya kawasan kumuh (slum dan squatter). 39
9. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
dapat
meningkatkan
perkembangan perumahan dan permukiman. Dengan diciptakannya teknologi-teknologi baru dalam bidang jasa konstruksi dan bahan bangunan maka membuat pembangunan suatu rumah akan semakin cepat dan dapat menghemat waktu. Sehingga semakin banyak pula orang-orang yang ingin membangun rumahnya. Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman.
2.7. PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Perkembangan ilmu geografi yang memanfaatkan kemampuan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) telah semakin berkembang melalui pengembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti pemetaan lahan, pemetaan kawasan permukiman dan sebagainya. Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini. Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah (wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi.Dengankemajuan teknologi yang demikian pesat, GIS berfungsi sebagai alat kajian yang utama dalamanalisis keruangan secara komprehensif. Bahkan sebagian pakarmenyatakan bahwa SIG akan menjadi potensial kajian geografi (Agnew et al.1996).Dengan keterlibatan seperti itu jelaslah bahwa GIS sebagai alat bantu ilmuGeografi sangat efektif dalam melakukan analisis geografis karena memangdapat memadukan berbagai unsur dalam geografi, baik fisik, sosial, ekonomimaupun budaya. Salah
satu
keunggulan
utama
dari
SIG
adalah
kemampuannya
untuk
mentransformasikan data riil rupa bumi kedalam berbagai lapis peta (layers) yang saling bisa
40
ditumpangtindihkan (overlay) sesuai dengan yang diinginkan. Gambar berikut menunjukkan konsep dasar SIG dan contoh penggunaannya. Gambar 3. Konsep Dasar
SIG
Dalam Keppres No. 5 tahun 1989 tentang pedoman penyusunan tata ruang di daerah, kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukkan bagi permukiman dengan kriteria ketersediaan air terjamin, kesesuaian lahan dengan masukan teknologi dan lokasi berkaitan dengan kawasan hunian yang telah adadan berkembang. Semakin bertambahnya jumlah permukiman di Indonesia seperti tersebut di atas, mendorong untuk dilakukannya studi mengenai pola sebaran dan perkembangan permukiman yang mengakibatkan bertambahnya suatu penggunaan lahan untuk permukiman yang diikuti dengan berkurangnya suatu penggunaan lahan lainnya pada kurun waktu tertentu,sehingga untuk mengetahui perubahan lahan di suatu daerah diperlukan minimum dua data pada daerah yang sama dengan kurun waktu yang berbeda. Pola penggunaan lahan banyak dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industry (Kazaz, 2001 dalam Arifiyanto, 2005).Perubahan penggunaan lahan dari lahan non pertanian (permukiman) bersifat tidak dapat balik, karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar. Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data-data penginderaan jauh (remote sensing data) seperti citra satelit,radar dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penutupan atau penggunaan lahan
41
(Arifiyanto, 2005). Untuk memenuhi kebutuhan inilah maka Sistem Informasi Geografis (SIG) akan dapat dimanfaaatkan secara maksimal. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berdasar komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup pemasukan, manajemen data (peyimpanan data dan pemanggilandata), manipulasi dan analisis dan pengembangan produk serta pencetakan (Aronoff, 1989). Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja.
42
BAB III ASPEK SOSIO DEMOGRAFIS, EKONOMI, TATA RUANG DAN YURIDIS PEMBANGUNAN PERMUKIMAN KOTA SALATIGA 3.1. GAMBARAN UMUM KOTA SALATIGA Kota Salatiga terletak di Jawa Tengah bagian tengah tepatnya di tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang, berjarak ± 54 km ke arah selatan dari Kota Semarang, tepatnya pada posisi 110 º 27’ 56,81" - 110º 32’ 4,84” Bujur Timur dan 7º 17’ 4,14” - 7º 23’ 23,25” Lintang Selatan. Secara geografis, letak Kota Salatiga cukup strategis karena berada pada jalur transportasi darat utama Jakarta – Semarang – Solo – Surabaya dan terletak diantara dua kota pusat pengembangan yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Ditinjau dari sudut morfologinya, maka letak Kota Salatiga karena berada di pedalaman kaki Gunung Gajahmungkur, Gunung Telomoyo dan Gunung Rong yang mempunyai hawa sejuk. Kota Salatiga secara administratif termasuk dalam bagian dari Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Secara sepintas tampak bahwa, wilayah Kota Salatiga terletak diantara 0070 17’ dan 0070 17’ 23” Lintang Selatan serta 1100 27’ 56.81” dan 1100 32’ 4.64” Bujur Timur. Secara administrasi Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 22 kelurahan dengan luas wilayah 5.678.109 Ha, dan berbatasan dengan: 1. Sebelah Utara - Kecamatan Pabelan : Kelurahan Pabelan, Kelurahan Bejatan - Kecamatan Tuntang : Kelurahan Kesongo, Kelurahan Watu Agung 2. Sebelah Timur - Kecamatan Pabelan : Kelurahan Ujung-ujung, Kelurahan Sukoharjo dan Kelurahan Glawan - Kecamatan Tengaran : Kelurahan Bener, Kelurahan Tegal Waton, dan Kelurahan Nyamat 3. Sebelah Selatan - Kecamatan Getasan : Kelurahan Sumogawe, Kelurahan Samirono, dan Kelurahan Jetak - Kecamatan Tengaran : Kelurahan Patemon, Kelurahan Karang Duren 4. Sebelah Barat - Kecamatan Tuntang : Kelurahan Candirejo, Kelurahan Jombor, Kelurahan Sraten, dan Kelurahan Gedongan 43
- Kecamatan Getasan : Kelurahan Polobogo
3.1.1. Kondisi Fisik Alam Tinjauan kondisi fisik alam Kota Salatiga meliputi Topografi, Geologi, Hidrologi dan Hidrogeologi, Klimatologi serta klasifikasi tanah. 3.1.1.1. Topografi Dilihat dari letak topografinya Kota Salatiga, terletak pada ketinggian lebih kurang 455 – 800 meter dpl (dari permukaan laut), berarti kota Salatiga termasuk dalam kawasan budidaya yang potensial (ketinggian antara 0 – 1000 dpl, menurut Keppres No. 32/1990). Wilayah Kota Salatiga setelah mengalami perluasan menjadi 3 kategori, yaitu: -
Daerah bergelombang, ± 65% dari luas wilayah yang meliputi Kelurahan Sidorejo Lor, Salatiga, Kutowinangun, Gedongan, Ledok, Dukuh, Bugel, Kumpulrejo, dan Kelurahan Kauman Kidul.
-
Daerah miring, ± 25% dari luas wilayah meliputi Kelurahan Tegalrejo, Mangunsari, Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah, dan Kelurahan Sidorejo Lor.
-
Daerah yang relatif datar, ± 10% dari luas wilayah yang berada di Kelurahan Kalicacing, Kelurahan Noborejo, Kalibening dan Kelurahan Blotongan.
Sedangkan ditinjau dari kelerengan tanahnya, kelerengan tanah terbagi menjadi 6 kategori, yaitu: 1. 2% - 5%, Luas keseluruhan 1.847,26 ha sebagian besar terdapat di kelurahan Tegalrejo, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Noborejo, Kelurahan Kalibening dan Kelurahan Tingkir Tengah, Kelurahan Pulutan. 2. 5% - 8%, Luas Keseluruhan 2.393,10 ha sebagian besar terdapat di Kelurahan Kalicacing, Kelurahan
Gendongan,
Kelurahan
Tegalrejo,
Kelurahan
Kumpulrejo,
Kelurahan
Kecandran, Kelurahan Tingkir Lor, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kauman Kidul dan Kelurahan Kalibening. 3. 8% - 15%, Luas Keseluruhan 1.098,64 ha sebagian besar terdapat di Kelurahan Ledok, Kelurahan Salatiga, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Sidorejo Lor, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kauman Kidul, Kelurahan Blotongan. 4. 15% - 25%, Luas keseluruhan 216,31 ha sebagian besar di Kelurahan Bugel dan Kelurahan Blotongan.
44
5. 25% -40%, luas keseluruhan 213,37 ha sebagian besar di Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Bugel, Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kauman Kidul dan Kelurahan Sidorejo Kidul. 6. > 40%, luas keseluruhan 131,30 ha sebagian besar di Kelurahan Bugel dan sebagian kecil di Kelurahan Sidorejo Kidul, Blotongan dan keseluruhan Kutowinangun. Dari data kelerengan diatas dapat dilihat kawasan Budidaya dan Lindung, yakni pada kelerengan 2% - 15 % ideal untuk Kawasan Permukiman, sedangkan untuk kelerengan 15% 25% dapat pula dipergunakan untuk Permukiman dengan persyaratan teknis yang lebih rinci. Untuk kelerengan > 40%, berdasarkan Keppres No. 32/1990 merupakan Kawasan Lindung/Konservasi. Jika disimpulkan sebagian besar wilayah Kota Salatiga potensial untuk digunakan sebagai Permukiman, dan hanya sebagian kecil yang dijadikan sebagai Kawasan Lindung/Koservasi. Sedangkan untuk kawasan disepanjang aliran sungai, dibagian kiri dan kanan dapat dijadikan sebagai Kawasan Lindung/Konservasi dengan jarak minimum 15 meter, dan untuk mata air dengan radius jari-jari ± 200 m. Secara makro, diwilayah Kota Salatiga sebagian besar tidak terjadi genangan. Untuk kelerengan 25% - > 40 % genangan yang terjadi hanya sebagian kecil berada di Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Kauman Kidul, Kelurahan Bugel dan Kelurahan Blotongan. Berdasarkan penjelasan pada Keppres No. 32/1990 bahwa salah satu kriteria Kawasan Lindung adalah mempunyai kelerengan > 40 %. Hal ini tidak berlaku pada sebagian kecil kawasan yang ada di Kelurahan Sidorejo Kidul, Bugel dan Blotongan yang mempunyai tingkat erosi ringan. Maka pada kawasan tersebut tetap masuk dalam kriteria Kawasan Budidaya dengan persyaratan tertentu. Kondisi kelerengan tersebut diatas sesuai dengan Peta 3.1.
3.1.1.2. Geologi Geologi merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan potensi sumberdaya tanah. Jenis lahan di Kota Salatiga dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a. Lahan Latosol Coklat Bahan induknya terdiri dari tufa vulkanis intermedier, tekstur remah dan konsegtasinya gembur, produktivitas lahan sedang sampai tinggi. Jenis lahan ini terdapat di sebagian besar wilayah Kota Salatiga dan ini sangat baik ditanami padi, palawija, sayur-sayuran, buahbuahan, cengkih dan lain-lain.
45
b. Lahan Latosol Coklat Tua Bahan dasarnya terdiri dari tufa vulkanis intermedier, tekstur lahannya remah dan konsegtasinya gembur sekali. Lahan ini terdapat di bagian ujung utara kota, sekitar pegunungan Payung Rong. Lahan ini cocok sekali ditanami kopi, teh, coklat, padi, pisang, cengkih, dan tanaman campuran.
3.1.1.3. Hidrologi dan Hidrogeologi Wilayah Kota Salatiga memiliki 4 buah mata air yang mengalir di beberapa kecamatan dan kelurahan yang ada. Keempat mata air tersebut sedikit banyak menjadi sumber air yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Mata air-mata air tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mata air Kalitaman yang mengalir ke Utara dengan kapasitas 150 liter per detik, yang berfungsi sebagai irigasi persawahan di pemandian dan rekreasi. 2. Mata air Kalisombo yang mengalir ke arah Utara dengan kapasitas 50 liter per detik, yang dimanfaatkan sebagai sumber air minum dan mengaliri areal persawahan di wilayah Semarang dan Kota Salatiga 3. Mata air Benoyo yang mengalir kearah barat dengan kapasitas 50 liter per detik yang berfungsi sebagai irigasi persawahan di wilayah Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga serta sebagai penggelontoran drainase Kota. Mata air ini dianggap tidak sehat. 4. Mata air Senjoyo yang mengalir ke arah Utara dengan kapasitas ± 1.000 liter per detik, terletak di wilayah Kota Salatiga yang dimanfaatkan untuk air minum Utama Kota Salatiga. Jumlah sumber air yang cukup banyak di Kota Salatiga akan dapat meningkatkan konservasi tata air, sehingga kondisi ini akan menjadi kendala dalam pengembangan wilayah Permukiman selain juga dapat sebagai potensi. Adapun kali-kali yang mengalir di wilayah Kota Salatiga yaitu: Kali Ngaglik, Kali Banjaran, Kali Kalisombo, yang kesemuanya bermuara pada Kali Tuntang. Air tanah di wilayah Kota Salatiga rata-rata pada ketinggian 10 – 20 m. Kota Salatiga termasuk dalam area “Ground Reservoir” atau daerah pengumpulan air tanah, dimana asal air tanah yang mengalir dari daerah tangkapan air Gunung Merbabu di sebelah Selatan dan Gunung Ungaran di sebelah Barat. Maka persediaan air tanah dirasa sudah cukup termasuk air permukaan yang dapat diperoleh dari kali-kali yang mengalir di wilayah Kota Salatiga dan sekitarnya, selain dipergunakan untuk kepentingan irigasi, sebagian dapat diolah untuk air minum Kota Salatiga di masa mendatang.
46
3.1.1.4. Klimatologi Kota Salatiga mempunyai iklim yang bersifat tropis, dengan musim hujan dan kemarau yang bergantian setiap setengah tahun sekali dengan temperatur rata-rata yang dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: •
240 – 260 C
•
200 – 220 C
•
220 – 240 C
•
dan dibawah 200 C
Kota Salatiga mempunyai iklim yang bersifat tropis dengan temperatur antara 20 derajat – 26 derajat. Menurut data yang tertuang dalam Kota Salatiga Dalam Angka 2005 menunjukkan bahwa jumlah curah hujan 2.308 mm dengan jumlah hari hujan 146 hari dan rata-rata curah hujan 16 mm/hari. Tabel III - 1. Curah Hujan dan Hari Hujan Kota Salatiga Tahun 2014 NO
BULAN
CURAH
HARI
RATA-RATA
HUJAN
HUJAN
HUJAN/HARI
1.
Januari
210
13
16
2.
Februari
262
20
13
3.
Maret
244
19
13
4.
April
339
18
19
5.
Mei
68
5
14
6.
Juni
18
10
8
7.
Juli
82
6
14
8.
Agustus
44
5
9
9.
September
145
7
21
10.
Oktober
330
11
30
11.
Nopember
141
9
16
12.
Desember
365
23
16
JUMLAH
2.308
146
16
Sumber: Kota Salatiga dalam Angka 2014
Tingginya intensitas jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan di Kota Salatiga, sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam hal pengelolaan jaringan drainase dan perlindungan terhadap kawasan hijau. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadi bencana banjir dan tanah longsor, serta terjadinya genangan air di Kota Salatiga. 3.1.2. Penggunaan Lahan Dari luas wilayah Kota Salatiga sebesar 5.678.110 Ha, pola penggunaan lahannya terdiri atas 803.590 Ha digunakan untuk lahan sawah dan 4.678,777 Ha bukan lahan sawah. 47
(Kota Salatiga dalam Angka, 2014), untuk lebih jelasnya mengenai penggunaan lahan eksisting Kota Salatiga dapat dilihat pada Peta 3.2. Penggunaan Lahan Kota Salatiga Eksisting. A. Tanah Sawah Tanah sawah dengan irigasi teknis seluas 373.973 Ha, irigasi setengah teknis seluas 125.934 Ha, irigasi sederhana seluas 138.514 Ha, dan sawah tadah hujan seluas 165.169 Ha. Ditinjau dari luas tanah sawah di tiap kecamatan, diketahui bahwa tanah sawah terluas adalah di Kecamatan Sidorejo (391.543 Ha), diikuti oleh Kecamatan Tingkir (316.442 Ha), Kecamatan Sidomukti (64.920 Ha) dan Kecamatan Argomulyo (30.685 Ha). B. Tanah Kering Penggunaan tanah kering di Kota Salatiga seluas 4.678.777 ha terdiri dari: pekarangan 3.033,043 ha, tegal/kebun 1.645,940 dan lahan lainnya 195.743 ha. Ditinjau dari luas tanah kering di tiap kecamatan, diketahui bahwa tanah kering terluas adalah Kecamatan Argomulyo (1.748.026 ha), sedangkan luas tanah kering paling kecil adalah Kecamatan Tingkir (702.527 ha). Tabel III - 2. Pola Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014 PENGGUNAAN LAHAN ( Ha ) NO
A
KELURAHAN
KEC.
LAHAN
LAHAN KERING
LAHAN
TOTAL
SAWAH
PEKARANGAN
TEGALAN
LAINNYA
391,542
889,543
287,264
56,371
1.624,720
SIDOREJO 1
Blotongan
77,836
159,000
166,964
20,000
423,800
2
Sidorejo Lor
33,485
146,880
72,935
18,300
271,600
3
Salatiga
21,574
173,162
2,492
4,772
202,000
4
Bugel
49,284
228,509
12,883
3,694
294,370
5
Kauman Kidul
76,127
86,813
28,810
4,100
195,850
6
Pulutan
133,236
95,179
3,180
5,505
237,100
B
KEC.
316,442
525,185
177,892
35,535
1.055,054
45,625
192,762
47,780
7,583
293,750
0,000
66,584
0,000
2,316
68,900
TINGKIR 1
Kutowinangun
2
Gendongan
3
Sidorejo Kidul
84,472
93,639
86,328
13,061
277,500
4
Kalibening
57,038
39,312
0,177
3,276
99,803
5
Tingkir Lor
75,992
79,230
17,455
4,623
177,300
6
Tingkir Tengah
53,315
53,658
26,152
4,676
137,801
C
KEC.
30,685
974,246
774,117
73,644
1.852,692
ARGOMULYO
48
PENGGUNAAN LAHAN ( Ha ) NO
KELURAHAN
LAHAN KERING
LAHAN
LAHAN
TOTAL
SAWAH
PEKARANGAN
TEGALAN
LAINNYA
2,635
100,867
223,626
5,073
332,201
13,270
128,976
34,787
10,297
187,330
1
Noborejo
2
Ledok
3
Tegalrejo
0,000
135,423
43,001
10,006
188,430
4
Kumpulrejo
0,000
412,088
209,942
7,000
629,030
5
Randuacir
0,000
125,557
222,994
29,050
377,601
6
Cebongan
14,780
71,335
39,767
12,218
138,100
D
KEC.
64,920
644,069
406,668
30,193
1.145,850
31,712
175,397
184,064
8,027
399,200
3,516
205,677
158,369
9,588
377,150
SIDOMUKTI 1
Kecandran
2
Dukuh
3
Mangunsari
29,692
186,861
64,235
9,982
290,770
4
Kalicacing
0,000
76,134
0,000
2,596
78,730
803,589
3.033,043
1.645,941
195,743
5.678,109
Jumlah Total
Sumber: Kota Salatiga dalam Angka, 2014
Gambar 3.1. Diagram Penggunaan Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
Tegal 2 8 .9 9 %
L a in n y a 3 .4 5 %
S a w a h T e k n is 8 .8 0 %
Sawah P. non T e k n is 5 .3 5 %
P e k a ra n g a n 5 3 .4 1 %
Sumber: Hasil Olahan Data, 2014
Penggunaan lahan di suatu wilayah atau Kota senantiasa berubah secara dinamis setiap tahunnya. Hal tersebut secara umum dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan penduduk. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan penduduk tersebut mempengaruhi fungsi, luasan dan penggunaan lahan yang tersedia. Status kepemilikan tanah tersebut dapat dilihat pada Peta 3.3. 49
Kondisi tersebut juga terjadi di wilayah Kota Salatiga. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang ada di wilayah Kota Salatiga, terjadi konversi lahan dari sawah menjadi pekarangan dan dari tegalan menjadi pekarangan. Konversi lahan sawah menjadi pekarangan yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah lahan sawah yang memiliki sistem irigasi permanen atau sudah baik. Pada tahun 2003-2005 konversi lahan sawah menjadi pekarangan secara total adalah seluas 17.450 m2. Konversi tersebut terjadi khususnya hampir di semua wilayah Kecamatan Sidorejo. Untuk konversi lahan dari tegalan menjadi pekarangan secara total seluas 70.753 m2. kelurahan yang memiliki jumlah konversi lahan dari tegalan menjadi pekarangan terluas adalah Kelurahan Dukuh seluas 51.641 ha, kemudian untuk Kelurahan Sidorejo seluas 9.564 ha, Kelurahan Kutowinangun seluas 16.931 ha, Kelurahan Tegalrejo seluas 35.813 ha. Perubahan penggunaan tanah/lahan menjadi pekarangan ini menunjukkan bahwa di Kota Salatiga ada indikasi penambahan jumlah rumah atau dengan kata lain kebutuhan akan perumahan ini semakin bertambah. Untuk lebih detilnya dapat dilihat pada Tabel III – 3.
Tabel III - 3. Konversi Lahan Kota Salatiga Tahun 2011-2013 Dari Tegalan menjadi pekarangan
Dari Sawah menjadi pekarangan
Kelurahan 2011
2012
2013
2010
2011
2012
2013
18.519
25.825
15.539
3.802
23.805
0
15.635
902
9.886
2.720
-
7.086
0
5.859
2. Sidorejo Lor
6.139
3.908
0
-
12.315
0
8.589
3. Salatiga
6.039
0
1.293
-
4.404
0
486
774
1.099
0
-
0
0
901
5. Kauman Kidul
2.273
6.370
5.053
-
0
0
0
6. Pulutan
2.392
4.562
6.479
-
2.245
0
0
B. Kec. Tingkir
11.740
4.690
0.360
9.819
13.340
22.840
0.840
1. Kutowinangun
4.250
0
0
-
11.310
1.970
0.390
2. Gendongan
0
0
0
-
0
0
0
3. Sidorejo Kidul
0
3.430
0.170
-
2.030
7.010
0.020
4. Kalibening
6.170
0
0.190
-
0
0
0
5. Tingkir Lor
0
0
0
-
0
4.110
0
1.320
1.230
0
-
0
9.750
0.430
400
0
0
26.588
19.844
24.521
14.483
0
0
0
-
0
4.307
0
400
0
0
-
6.102
6.095
0
A. Kec. Sidorejo 1. Blotongan
4. Bugel
6. Tingkir Tengah D. Kec. Argomulyo 1. Noborejo 2. Ledok
50
Dari Tegalan menjadi pekarangan
Dari Sawah menjadi pekarangan
Kelurahan 2011
2012
2013
2010
2011
2012
2013
3. Tegalrejo
0
0
0
-
8.208
7.337
5.086
4. Kumpulrejo
0
0
0
-
3.973
1.541
7.896
5. Randuacir
0
0
0
-
1.561
4.127
1.499
6. Cebongan
0
0
0
-
0
1.114
0
365
7.145
3.231
34.007
17.740
22.241
41.398
1. Kecandran
-
4.905
-
-
3.067
-
2. Dukuh
-
-
0.616
16.561
16.308
34.518
3. Mangunsari
-
2.240
2.615
1.179
2.866
6.880
4. Kalicacing
-
-
-
-
-
-
31.040
37.666
18.770, 36
69.523
84.461
71.516,84
E. Kec. Sidomukti
Jumlah
74.216
Sumber: Kota Salatiga dalam angka, 2005 Kec Sidomukti tahun 2011, angka dari tiap Kelurahan tidak tersedia
Perubahan status desa menjadi kelurahan berpengaruh juga terhadap tanah bengkok. Tanah eks bengkok/eks bondo desa ini menjadi aset Pemerintah Kota Salatiga. Luas tanah ini kurang lebih 4.066.048 m2. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel III – 4 berikut ini.
Tabel III - 4. Tanah Bengkok di Wilayah Kota Salatiga
Kelurahan
Dipergunakan
Dlm Wil.
Luar Wil.
Kelurahan
Kelurahan
(m²)
(m²)
Untuk Sarana & Prasarana
Tanah Negara Untuk Makam
Jumlah
(m²)
(m²)
A. Sidorejo
701.082
312.504
76.450
25.101
1.115.137
1. Blotongan
123.667
118.587
0
0
242.254
40.437
34.046
56.810
0
131.293
0
159.871
0
4.920
164.791
4. Bugel
118.488
0
0
0
118.488
5. Kauman Kidul
221.530
0
2.300
15.581
239.411
6. Pulutan
196.960
0
17.340
4.600
218.900
B. Tingkir
660.660
107.876
36.780
38.434
843.750
98.583
102.366
5.960
17.070
223.979
0
0
3.080
1.500
4.580
3. Sidorejo Kidul
244.175
0
24.840
0
269.015
4. Kalibening
116.475
0
0
4.000
120.475
2. Sidorejo Lor 3. Salatiga
1. Kutowinangun 2. Gendongan
51
Kelurahan
5. Tingkir Lor
Dipergunakan
Dlm Wil.
Luar Wil.
Kelurahan
Kelurahan
(m²)
(m²)
Untuk Sarana & Prasarana
Tanah Negara Untuk Makam
Jumlah
(m²)
(m²)
102.158
0
2.900
15.864
120.922
99.269
5.510
0
0
104.779
1.109.608
172.943
129.419
25.650
1.437.630
329.159
91.229
9.300
10.400
440.088
68.350
29.753
26.050
2.500
126.653
4.250
4.751
44.150
4.500
57.651
4. Kumpulrejo
361.075
0
11.680
5.800
378.555
5. Randuacir
249.073
2.000
10.500
2.450
264.023
6. Cebongan
97.711
45.210
27.739
0
170.660
D. Sidomukti
380.574
112.740
155.717
20.500
669.531
1. Kecandran
290.246
0
18.394
0
308.640
2. Dukuh
57.533
57.370
33.250
7.000
155.153
3. Mangunsari
32.795
30.070
102.910
8.500
174.275
4. Kalicacing
0
25.300
1.163
5.000
31.463
Jumlah
2,851,934
706,063
398,366
109,685
4,066,048
6. Tingkir Tengah C. Argomulyo 1. Noborejo 2. Ledok 3. Tegalrejo
Sumber: Kota Salatiga dalam angka, 2005
3.1.3 Aspek Sosio Demografis Permukiman
3.1.3.1. Aspek Sosio-Filosofis Permukiman Dilihat dari aspek filosofis, keanekaragaman pola persebaran permukiman di suatu wilayah adalah sebagai wujud dari persebaran penduduk yang dipengaruhi oleh pola-pola perilaku baik perorangan, kelompok, maupun lembaga (Chapin, 1965). Model Chapin menjelaskan bagaimana rangkaian tindakan dan pengaruh nilai-nilai yang ada pada individu, kelompok, maupun lembaga dapat menimbulkan perubahan pola permukiman di suatu wilayah.
52
Gambar 3.2 Model Chapin Rangkaian Tindakan & Pengaruh Nilai-Nilai yang Menimbulkan Perubahan Pola Permukiman Cycle of Human Behaviour
values Economic ends
Social ends
Experiencing Needs and wants
Deciding and acting
Planning alternatives
Defining goals
Individu maupun kelompok masyarakat selalu mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap penggunaan setiap jengkal lahan. Perilaku manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang hidup di dalam persepsi pada setiap individu ataupun kelompok, semuanya itu tercermin di dalam suatu siklus yang dapat dibedakan dalam 4 fase, yaitu; a. Fase merumuskan kebutuhan (need) dan keinginan (experiencing needs and wants) b. Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” and “wants” tersebut (defining goals) c. Fase membuat alternative perencanaan (planning alternatives) d. Fase memutuskan memilih perencanaan yang dianggap paling sesuai dan melaksanakan tindakan (deciding and acting) Baik disadari atau tidak disadari, secara eksplisit atau implisit, pola perumahan dan permukiman akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang pada individu, kelompok masyarakat, ataupun badan-badan swasta maupun pemerintah. Hal ini juga terjadi di kota Salatiga, dimana pola perumahan dan permukiman dapat diamati dari system-sistem kegiatan yang saling bertaut antara berbagai pihak (lembaga, perorangan, kelompok) yang tercermin dalam proses imbal daya yang berulang-ulang dan terjadi secara terus menerus (mempola) dan didalamnya terdapat pergerakan penduduk saja, barang saja, informasi saja atau gabungan dari elemen-elemen terseut, inilah yang membentuk pola keruangan suatu kota. 53
3.1.3.2. Aspek Kependudukan Permukiman Aspek kependudukan yang dibahas meliputi jumlah dan kepadatan penduduk serta komposis dari penduduk tersebut menurut jenis kelamin, mata pencaharian serta agama atau kepercayan. Karakter kependudukan tersebut erat kaitannya dengan penyediaan perumahan dan permukiman serta sarana dan prasarana serta fasilitas yang akan dikembangkan atau dibangun di dalam kawasan perumahan dan permukiman yang akan direncanakan. 3.1.3.2.a Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Tabel III - 5. Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014
Dari tabel dan data diatas dapat dilihat bahwa penduduk Kota Salatiga pada tahun 2009 berjumlah 170.024 jiwa dan pada umumnya mengalami peningkatan tiap tahun, akan tetapi pada tahun 2013 mencapai angka 178.594 jiwa. Artinya ada lonjakan jumlah penduduk sebesar 4720 jiwa.. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh angka kelahiran dan kematian serta migrasi. Sedangkan kelurahan-kelurahan yang ada di Salatiga, pada umumnya semua mengalami kenaikan, hanya ada enam kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk, empat kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk sedang dan dua kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang tinggi.
54
Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah Kel Kauman Kidul (Kec Sidorejo), Kel Kutowinangun, Kel Gendongan dan Kel Tingkir Lor (Kec Tingkir), Kel Ledok dan Kel Kumpulrejo (Kec Argomulyo). Kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk sedang adalah Kel Sidorejolor (Kec Sidorejo), Kel Tingkir Tengah (Kec Tingkir), Kel Randuacir dan Kel Cebongan (Kec Argomulyo). Sedangkan kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kel Dukuh dan Kel Mangunsari (Kec Sidomukti). Jumlah penduduk Kota Salatiga Tahun 2013 yaitu 178.594 jiwa dengan luas wilayah 5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dengan Kepadatan per Km² mencapai 3.145. Jumlah penduduk tertinggi di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo sebesar 54.074 jiwa dengan kepadatan per Km² 3.328 dengan luas kecamatan 16,247 Km², kemudian Kecamatan Argomulyo 42.133 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.274 per Km² dengan luas 18,526 Km² , Kecamatan Tingkir sebesar 41.723 jiwa dengan kepadatan penduduk per Km² sebesar 3.355 jiwa dengan luas sebesar 10,549 Km², dan jumlah penduduk terendah di Kota Salatiga yaitu di kecamatan Sidomukti yaitu sebesar 40.664 jiwa dengan kepadatan 3.549 jiwa per Km² dengan luas 11.459 Km². Sedangkan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidorejo yaitu di Kelurahan Salatiga yaitu sebesar 17.130 jiwa dengan kepadatan 8.480 dengan luas 2,020 Km² dan terendah terdapat di Kelurahan Bugel yaitu sebesar 2.886 jiwa dengan kepadatan 980 Km² dengan luas 2,944 Km². Kemudian di Kecamatan Argomulyo jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Tegalrejo yaitu sebesar 10.409 dengan kepadatan penduduk 5.525 per Km² dengan luas 1,884 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Cebongan sebesar 4.443 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.217 dan luas 1,381 Km². Kecamatan Tingkir jumlah penduduk tertinggi di Kelurahan Kutowinangun sebesar 19.961 jiwa dengan kepadatan penduduk 6,794 per Km² dan luas 2,938 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Kalibening sebesar 1.845 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.852 dan luas 9,96 Km². Jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidomukti yaitu di Kelurahan Mangunsari sebesar 16.380 jiwa dengan luas 2.908 Km² dan kepadatan penduduk 5,633 sedangkan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Kecandran sebesar 5.319 jiwa dengan luas 3,992 Km² dan kepadatan penduduk 1,322. Apabila menggunakan patokan angka kepadatan penduduk, yaitu kategori Sangat Tinggi (> 6004/ km2), kategori kepadatan tinggi (4.003 – 6.003/ Km2), Kategori kepadatan Sedang (2.002 – 4.002 / Km2) dan kategori Kepadatan rendah (< 2.002 / km2), maka hanya ada lima kelurahan yang dikategorikan sangat tinggi. Pertama yaitu Kelurahan Kalicacing dengan 55
angka kepadatan mencapai 8.776, hal ini terjadi karena lokasi tersebut memiliki wilayah yang tidak luas, akan tetapi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut sangatlah banyak atau terlalu banyak (overcrowded), sehingga menjadikan angka kepadatannya sangat tinggi. Lokasi Kelurahan Kalicacing merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota yaitu Salatiga, sehingga akses jalan, perekonomian, toko, transportasi sangat mendudukung untuk ditinggali. Kedua adalah Kelurahan Salatiga dengan angka kepadatan penduduk mencapai 8.480 jiwa/ Km2 dikatakan sangat tinggi karena lokasi ini merupakan pusat kota, jadi banyaknya toko, akses jalan, fasilitas publik menjadi magnet bagi penduduk untuk tinggal di lokasi tersebut. Ketiga adalah Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan, kedua kelurahan ini merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota Salatiga, dekatnya akses untuk ke fasilitas publik, akses jalan, dekat dengan pusat perekonomian menjadikan kedua kelurahan ini banyak ditinggali. Selain itu ada dua kelurahan yang jumlah penduduknya meningkat drastis, yaitu Kelurahan Dukuh dan Mangunsari (Kec Sidomukti), hal ini disebabkan adanya JB atau Jalan Baru (Jalan Lingkar Selatan) menjadikan daerah di sekeliling jalan tersebut menjadi berkembang. Fakta yang terjadi adalah semenjak Jalan Baru tersebut selesai dibuat maka banyak pembangunan dilakukan, seperti pertokoan, ruko, rumah penduduk, perumahan, dan sekolah-sekolah, serta harga tanah atau rumah di pusat kota yaitu Salatiga sudah terlampau mahal menjadikan masyarakat bergeser untuk mencari lokasi yang harga tanah atau rumah masih murah dan akses jalan atau transportasi mudah, hal inilah yang menjadikan jumlah penduduk di dua kelurahan tersebut meningkat.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar Peta Tabel III-2 dan III-6 berikut ini. Trend perkembangan penduduk Kota Salatiga yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik dari aspek kuantitas maupus aktifitasnya, berimplikasi terhadap permintaan akan ruang yang semakin meningkat pula, hal ini tercermin pada distribusi tingkat kepadatan yang semakin tinggi pada berbagai wilayah kota Salatiga.
56
Tabel III - 6. Jumlah Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009-2013 2009
N
2010
2011
2012
2013
Jml
Kepadatan
Jml
Kepadatan
Jml
Kepadatan
Jml
Kepadatan
Jml
Kepadatan
Penddk
per Km²
Penddk
per Km²
Penddk
per Km²
Penddk
per Km²
Penddk
per Km²
A Kec. Sidorejo
49.683
3,058
50.024
3,079
52.357
3,223
52.688
3,243
54.074
3,328
1
Blotongan
10.367
2,446
10.599
2,501
11.642
2,747
11.822
2,790
11.592
2,735
2
Sidorejo Lor
12.622
4,647
12.697
4,675
14.407
5,304
14.440
5,317
14.914
5,491
3
Salatiga
16.385
8,111
16.298
8, 068
`16.111
7,976
16.004
7,923
17.130
8,480
4
Bugel
2.823
.959
2.844
966
2.824
959
2.844
966
2.886
980
4
Kauman Kidul
3.777
1,929
3.864
1,973
3.643
1,861
3.778
1,930
3.639
1,858
5
Pulutan
3.709
1,564
3.722
1,570
3.730
1,573
3.800
1,603
3.913
1,650
B Kec. Tingkir
41.952
3,977
39.978
3,987
40.562
3,811
41.150
3,830
41.723
3,955
1
Kutowinangun
20.518
6,984
19.187
6,967
19.447
6,645
19.707
6,482
19.961
6.794
2
Gendongan
5.373
7,798
4.961
7,676
5.022
7,010
5.083
6,961
5.142
7.463
3
Sidorejo Kidul
5.239
1,888
5.417
1,952
5.216
1,984
5.306
2,008
5.398
1,945
4
Kalibening
1.642
1,649
1.762
1,648
1.790
1,784
1.817
1,767
1.845
1.825
5
Tingkir Lor
4.758
2,684
4.209
2,698
4.273
2,405
4.338
2,418
4.401
2,428
6
TingkirTengah
4.422
3,209
4.733
3,233
4.814
3,509
4.897
3,539
4.976
3,611
C
Kec. Argomulyo
41.816
2,257
40.212
2,302
40.853
2,210
41.500
2,244
42.133
2,274
1
Noborejo
5.068
1,526
5.074
1,527
5.158
1,553
5.243
1,578
5.326
1,603
2
Ledok
10.578
1,682
9.486
5,065
9.630
5,141
9.774
5,218
9.915
5,294
3
Tegalrejo
10.351
5,494
9.915
5,263
10.079
5,349
10.246
5,438
10.409
5,525
4
Kumpulrejo
7.236
3,864
6.581
1,047
6.682
1,062
6.785
1,079
6.887
1,095
5
Randuacir
4.580
1,213
4.904
1,299
4.988
1,321
5.071
1,343
5.153
1,365
6
Cebongan
4.001
2,897
4.252
3,079
4.316
3,125
4.381
3,172
4.443
3,217
D Kec. Sidomukti
36.573
3,912
36.611
3,195
38.975
3,401
39.208
3,422
40.664
3,549
o
Kelurahan
1
Kecandran
4.959
1,242
4.958
1,242
5.150
1,290
5.245
1,314
5.319
1,322
2
Dukuh
9.786
2,594
10.001
2,651
11.736
3,111
11.892
3,153
12.058
3,194
3
Mangunsari
14.968
5,147
14.894
5,122
15.678
5,391
15.770
5,423
16.380
5,633
4
Kalicacing
6.860
8,717
6.758
8,587
6.411
8,146
6.301
8,006
6.907
8,776
170.024
2,994
171,327
3,017
172.485
3,038
173.874
3,062
178.594
3,145
Jumlah Total
Sumber: Salatiga Dalam Angka , 2014
57
Gambar 3.3 Peta Kepadatan Penduduk Kota Salatiga 2014
58
Gambar 3.4 Peta Pola Ruang Kota Salatiga Tahun 2014
59
3.1.3.2.b Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Komposisi jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kota Salatiga secara umum menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk lakilaki. Hal tersebut selalu terjadi sesuai dengan perkembangan yang ada dari tahun ke tahun mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. pada tahun 2014, rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 95,86 , ini berarti bahwa untuk setiap 95,86 penduduk laki-laki sebanding dengan 100 penduduk perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel III-7. Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014 serta Gambar 3.2. Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014. Tabel III - 7. Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013 PENDUDUK NO
KELURAHAN LAKI-LAKI
A
Kec. Sidorejo
26.184
1
Pulutan
1983
2
Blotongan
5.170
3
Sidorejo Lor
7.160
4
Salatiga
5
Bugel
6
PEREMPUAN 27.890
TOTAL
RASIO JENIS KELAMIN
54.074
93,88
1930
3.913
102,75
5.882
11.592
97.08
7.754
14.914
92,34
8,161
8.969
17.130
90,66
1.418
1.468
2.886
96,59
Kauman Kidul
1,752
1,887
3,639
92,85
B
Kec. Tingkir
20.421
21.302
41.723
95,86
1
Tingkir tengah
2,447
2,449
4,976
97,92
2
Tingkir Lor
2,104
2,297
4,401
91,59
3
Kalibening
958
887
1,845
108,00
4
Sidorejo Kidul
2,687
2,711
5,398
99,11
5
Kutowinangun
9,691
10,270
19,961
94,36
6
Gendongan
2,504
2,638
5,142
94,92
C
Kec. Argomulyo
20.729
21.404
42.133
96,85
1
Noborejo
2,597
2,729
5,326
95,16
2
Cebongan
2,177
2,266
4,433
96,07
3
Randuacir
2,556
2,597
5,153
98,42
4
Ledok
4,779
5,136
9,915
93,05
5
Tegalrejo
5,192
5,217
10,409
99,52
6
Kumpulrejo
3,428
3,459
6,887
99,10
D
Kec. Sidomukti
20.009
20.655
40.664
96,87
1
Kecandran
2,700
2,619
5,319
103,09
2
Dukuh
5,963
6,095
12,058
97,83
3
Mangunsari
8,113
8,267
16,380
98,14
4
Kalicacing
3,233
3,674
6,907
88,00
Jumlah
60
2013
87.343
91.251
178.594
95,72
2012
85.299
88.575
173.874
96,20
2011
84.621
87.864
172.485
96,31
2010
84.807
86.520
171.327
98,02
2009
84.078
85.946
170.024
97,83
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014
Yang cukup menarik dari tabel di atas adalah pada kelurahan-kelurahan tertentu seperti kelurahan Pulutan, Kelurahan Kalibening, dan Kelurahan kecandran, memiliki sex rasio dimana jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Hal itu dapat dimungkinkan karena ke 3 wilayah tersebut diduga sebagai kantong-kantong dimana kaum perempuan melakukan migrasi untuk bekerja baik di dalam satu negara maupun di luar negeri.
Gambar 3.5 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014.
Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin 2014
91.251
87.343 Laki‐Laki Perempuan
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
Penduduk Kota Salatiga relatif terdistribusi secara merata di seluruh wilayah. Umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di daerah pusat kota dan sub urban dibandingkan di wilayah peripheri. Secara rata-rata, kepadatan penduduk kota salatiga tercatat sebesar 3,2745 jiwa/Km2 (kategori tingkat kepadatan sedang). Untuk mengetahui tingkat konsentrasi penduduk di Kota Salatiga dapat digunakan dengan perhitungan tingkat kepadatan penduduk aritmatik (KPA), yaitu jumlah penduduk yang menempati 1 Km² atau dengan penghitungan jumlah penduduk dibagi luas wilayah (Km2). Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel III – 8. Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2013. Dari tabel diatas dan penghitungan mengenai tingkat kepadatan penduduk 61
diperoleh hasil ada delapan kelurahan yang padat penduduk dengan luas lahan kelurahan yang tidak sebanding, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga (Kec Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan (Kec Tingkir), Kelurahan Ledok dan Kelurahan Tegalrejo (Kec Argomulyo) serta Kelurahan Mangunsari dan Kelurahan Kalicacing (Kec Sidomukti)
3.1.3.2.c Penduduk Menurut Mata Pencaharian Jumlah penduduk Kota Salatiga pada tahun 2013 sebesar 178.594 jiwa jiwa, penduduk Kota Salatiga rata-rata memiliki pekerjaan baik pegawai negeri maupun pegawai swasta atau mungkin berwiraswasta sendiri. Penduduk yang bermata pencaharian paling tinggi adalah buruh industri di Kota Salatiga yaitu sebesar 16.415 jiwa, kemudian banyak juga yang menjadi buruh bangunan yaitu sebesar 26.780 jiwa. Penduduk Kota Salatiga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, dalam data monografi kelurahan tercatat sebesar 10.143 jiwa. Kemudian penduduk Kota Salatiga yang bekerja sebagai buruh bangunan yaitu sebesar 9.944 jiwa dan yang bermata pencaharian sebagai PNS/ABRI atau POLRI sebesar 9.111 jiwa. Apabila dilihat dari jumlah penduduk menurut mata pencaharian, penduduk Kota Salatiga memiliki tingkat pendapatan yang cukup beragam. Mata pencaharian penduduk tersebut hubungannya dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka semakin tinggi pula kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di Tabel III – 4. dan Gambar 3.5 Jenis dan ragam matapencaharian berimplikasi terhadap terjadinya stratifikasi social pada masyarakat kota Salatiga. Stratifikasi social masyarakat merupakan salah satu pembentuk struktur ruang dan pola keruangan (pola perumahan dan permukiman). Hal ini nampak jelas pada perumahan unit besar dengan beragam tipe rumah yang berbeda-beda dan mencerminkan strata social masyarakat yang mendiaminya; di sisi lain pertumbuhan perumahan dan permukiman yang berbentuk cluster lebih mencerminkan homogenitas strata social.
62
Tabel III - 8 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Salatiga Tahun 2014 MATA PENCAHARIAN NO.
KELURAHAN
A
Kec. Sidorejo
B
Kec. Tingkir
C D
Petani
Buruh
Sendiri
Tani
Pengusaha
Buruh Industri
Buruh
Pedagang
Bangunan
Transportasi
PNS/ABRI/ POLRI
Pensiunan
Lain-lain
Jumlah
1078
2210
1786
7563
3608
3972
1885
3349
2720
13.929
42.100
197
304
3061
5650
2351
1440
402
1224
827
18.520
33.976
Kec. Argomulyo
1578
480
2251
6815
559
109
320
1634
617
10.516
29.919
Kec. Sidomukti
731
1602
1085
6752
3621
4423
2397
2904
1522
14.317
39.354
3.584
4.596
8.183
26.780
10.143
9.944
5.004
9.111
5.686
57.282
145.349
Jumlah Total
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014
Gambar 3.6 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Salatiga Tahun 2014
3.584
4.596
8.183
57.282
26.780
10.143 5.686
9.111
5.004
9.944
Petani Sendiri Buruh Tani Pengusaha Buruh Industri Pedagang Buruh Bangunan Transportasi PNS/ABRI/POLRI Pensiunan Lain‐lain
Sumber: Kota Salatiga Dalam Angka, 2014
63
3.2. ANALISIS KEPENDUDUKAN Sektor kependudukan yang akan dianalisis dalam pembahasan berikut meliputi pertumbuhan dan proyeksi jumlah penduduk serta jumlah dan persebaran rumah. Analisis tersebut mendasari penentuan penyediaan rumah dalam kawasan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.
3.2.1. Pertumbuhan dan Proyeksi Jumlah Penduduk Perencanaan pembangunan suatu daerah khususnya adalah pembangunan perumahan dan permukiman, kependudukan adalah aspek yang sangat penting. Secara umum aspek kependudukan yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan rencana tata ruang adalah struktur penduduk serta pertumbuhan pertahun dari penduduk tersebut. Pertumbuhan penduduk per kelurahan di Kota Salatiga dari tahun 2010-2014 memiliki pola kecenderungan yang cukup unik. Di tahun 2010 ada beberapa Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk, sehingga pertumbuhan penduduknya mencapai negatif. Pertumbuhan penduduk rata-rata di wilayah Kota Salatiga dapat dilihat pada Tabel III - 9 Pola pertumbuhan yang demikian dapat dipengaruhi oleh banyaknya angka kematian dan kelahiran serta angka migrasi penduduk. Untuk Kota Salatiga, pengaruh angka migrasi penduduk cukup besar. Hal tersebut salah satunya disebabkan adanya aktivitas pendidikan di Kota Salatiga, dalam hal ini adanya Sekolah Tinggi Lanjutan Atas dan Universitas atau Perguruan Tinggi di Kota Salatiga cukup diminati oleh pelajar dari luar daerah bahkan luar pulau Jawa yang status tinggalnya hanya sementara. Kondisi inilah yang menjadikan suatu wilayah kelurahan terkadang dari tahun ke tahun kepadatan penduduknya tinggi, di tahun berikutnya terkadang rendah. Kondisi kepadatan tinggi dikarenakan anak muda yang mengenyam pendidikan di kota Salatiga masuk atau menempuh kuliah, pada saat anak tersebut lulus maka kecenderungannya akan mencari pekerjaan di luar kota, sehingga tingkat kepadatan penduduk di suatu lokasi/ kelurahan menjadi turun. Berdasarkan dari kondisi tersebut, dapat dihitung rata-rata pertumbuhan dari Kota Salatiga secara umum, yaitu sebesar 4,28% pertahunnya. Apabila ditinjau lagi pola pertumbuhan yang terjadi di Kota Salatiga yang dihitung per kelurahan, serta rata-ratanya dapat dikatakan bahwa prosentase pertumbuhan penduduk tersebut terlalu tinggi. Oleh karena itu, dalam penghitungan proyeksi penduduk yang dilakukan menggunakan pertumbuhan penduduk Kota Salatiga secara keseluruhan yang tercantum dalam RTRW
64
Kota Salatiga, yaitu sebesar 2,48 %. Untuk proyeksi penduduk tersebut digunakan metode proyeksi bunga berganda. Untuk hasil perhitungan proyeksi tersebut dapat dilihat pada Tabel III – 9. Kota Salatiga merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan penduduk terbesar (2,71 %) ke 3 dari seluruh kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2013, sedangkan pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Tengah sendiri hanya sebesar 0,89 %. Trend pertumbuhan penduduk ini sebagai akibat dari Total Fertility Rate (TFR) Kota Salatiga yang tinggi yaitu sebesar 2,5 % diatas standar nasional 2,1 %. Jika tidak ada pengendalian yang serius di bidang kependudukan maka diproyeksikan pada tahun 2015 penduduk Kota Salatiga sebesar 185.627 jiwa, dan pada tahun 2020 akan menjadi 20.4375 jiwa. Pertumbuhan penduduk ini akan berimplikasi terhadap kebutuhan akan ruang untuk perumahan yang dari tahun ke tahun juga akan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari tabel III-9, distribusi kebutuhan rumah (asumsi 1 rumah untuk 1 KK) di wilayah salatiga tertinggi ada di wilayah kecamatan Sidorejo dan terendah di wilayah Kecamatan Tingkir. Dari hasil data tabel III-9 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga atau KK Kota Salatiga ditahun 2014 adalah: Kec Sidorejo sebanyak 17.694 KK, Kec Tingkir sebanyak 15.284 KK, Kec Argomulyo sebanyak 15.427 KK, Kec Sidomukti sebanyak 13.993 KK. Jika menggunakan asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK serta menggunakan proyeksi KK untuk tahun 2020, maka kebutuhan rumah hingga tahun 2020 adalah sebagai berikut: Lokasi Kec Sidorejo di tahun 2020 membutuhkan rumah sebanyak 14436,82, Kec Tingkir di tahun 2020 membutuhkan rumah sebanyak 10859,71, Kec Argomulyo membutuhkan rumah sebanyak 11062,06, Kec Sidomukti membutuhkan rumah sebanyak 11051 dan total jumlah rumah yang dibutuhkan Kota Salatiga di tahun 2020 sebanyak 47383,04 dengan asumsi jumlah penduduk di tahun 2020 sebesar 204.375.
65
Tabel III - 9 Pertumbuhan dan Proyeksi Penduduk Kota Salatiga NO
KELURAHAN
2010 JUMLAH
r (%)
2011 JUMLAH
r (%)
2012 JUMLAH
r (%)
2013
Rerata
PROYEKSI
PROYEKSI
JUMLAH
Pertumb
2015
2020
r (%)
Proyeksi KK 2013
2015
Rerata Kebutuhan rumah 2020
hingga 2020
uhan (%) A
Kec. Sidorejo
50.024
0,69
52.357
4,66
52.688
0,63
54.074
2,63
2,15
56.424
62744
13518,5
14106
15686
14436,82
1
Blotongan
10.599
2,24
11.642
9,84
11.822
1,55
11.592
‐1,95
12.096
13451
2898
3024
3362,6
3094,863
2
Sidorejo Lor
12.697
0,59
14.407
13,47
14.440
0,23
14.914
3,28
15.562
17305
3728,5
3890,5
4326,3
3981,78
3
Salatiga
16.298
‐0,53
16.111
‐1,15
16.004
‐0,66
17.130
7,04
17.875
19876
4282,5
4468,6
4969,1
4573,413
4
Bugel
2.844
0,74
2.824
‐0,70
2.844
0,71
2.886
1,48
3.011
3349
721,5
752,86
837,18
770,512
4
Kauman Kidul
3.864
2,30
3.643
‐5,72
3.778
3,71
3.639
‐3,68
3.797
4222
909,75
949,29
1055,6
971,55
5
Pulutan
3.722
0,35
3.730
0,21
3.800
1,88
3.913
2,97
4.083
4540
978,25
1020,8
1135,1
1044,703
B
Kec. Tingkir
42.054
0,24
40.206
‐4,39
40.398
0,48
41.723
3,28
1,33
42.840
45753
10430,8
10710
11438
10859,71
1
Kutowinangun
19.187
‐6,49
18.995
‐1,00
19.041
0,24
19.961
4,83
20.495
21889
4990,25
5123,9
5472,3
5195,473
2
Gendongan
4.961
‐7,67
4.830
‐2,64
4.770
‐1,24
5.142
7,80
5.280
5639
1285,5
1319,9
1409,7
1338,366
3
Sidorejo Kidul
5.417
3,40
5.505
1,62
5.261
‐4,43
5.398
2,60
5.543
5919
1349,5
1385,6
1479,9
1404,998
4
Kalibening
1.762
7,31
1.777
0,85
1.770
‐0,39
1.845
4,24
1.894
2023
461,25
473,6
505,81
480,2188
5
Tingkir Lor
4.209
‐11,54
4.264
1,31
4.263
‐0,02
4.401
3,24
4.519
4826
1100,25
1129,7
1206,5
1145,498
6
Tingkir Tengah
4.733
7,03
4.835
2,16
4.933
2,03
4.976
0,87
5.109
5457
1244
1277,3
1364,2
1295,159
C
Kec. Argomulyo
42.638
1,97
40.947
‐3,97
41.580
1,55
42.133
1,33
1,61
43.501
47111
10533,3
10875
11778
11062,06
1
Noborejo
5.074
0,12
5.327
4,99
5.450
2,31
5.326
‐2,28
5.499
5955
1331,5
1374,7
1488,8
1398,347
2
Ledok
9.486
‐10,32
9.366
‐1,27
9.305
‐0,65
9.915
6,56
10.237
11086
2478,75
2559,2
2771,6
2603,194
3
Tegalrejo
9.915
‐4,21
10.336
4,25
10.799
4,48
10.409
‐3,61
10.747
11639
2602,25
2686,7
2909,7
2732,894
4
Kumpulrejo
6.581
‐9,05
6.679
1,49
6.728
0,73
6.887
2,36
7.111
7701
1721,75
1777,6
1925,2
1808,189
5
Randuacir
4.904
7,07
4.966
1,26
4.999
0,66
5.153
3,08
5.320
5762
1288,25
1330,1
1440,5
1352,926
6
Cebongan
4.252
6,27
4.273
0,49
4.299
0,61
4.443
3,35
4.587
4968
1110,75
1146,8
1242
1166,514
D
Kec. Sidomukti
36.611
0,10
38.975
6,46
39.208
0,60
40.664
3,71
2,72
42.906
49042
10166
10727
12260
11051
1
Kecandran
4.958
‐0,02
5.203
4,94
5.245
0,81
5.319
1,41
5.612
6415
1329,75
1403,1
1603,7
1445,511
2
Dukuh
10.001
2,20
11.817
18,16
11.892
0,63
12.058
1,40
12.723
14542
3014,5
3180,7
3635,6
3276,927
3
Mangunsari
14.894
‐0,49
15.751
5,75
15.770
0,12
16.380
3,87
17.283
19755
4095
4320,8
4938,7
4451,49
4
Kalicacing
6.758
‐1,49
6.343
‐6,14
6.301
‐0,66
6.907
9,62
7.288
8330
1726,75
1822
2082,5
1877,072
171.327
1,09
172.485
1,06
173.874
0,81
178.594
2,71
1,95
185.627
204375 44648,5
46407
51094
47383,04
Jumlah Total
Sumber: Hasil olahan data 2014
Tabel III - 10 Jumlah dan Kondisi Rumah Kota Salatiga Tahun 2014 N
KELURAHAN
O
2014 TIPE A
JUMLAH
TIPE B
TIPE C
2014 (%) TIPE A
TOTAL
TIPE B
TIPE
(%)
C A
Kec. Sidorejo
7.807
563
303
8.673
90,0
6,5
3,5
1
Blotongan
2.427
37
75
2.539
95,6
1,5
3,0
2
Sidorejo Lor
700
167
11
878
79,7
19,0
1,3
3
Salatiga
2.991
115
61
3.167
94,4
3,6
1,9
4
Bugel
454
22
52
528
86,0
4,2
9,8
4
Kauman Kidul
739
95
61
895
82,6
10,6
6,8
5
Pulutan
496
127
43
666
74,5
19,1
6,5
B
Kec. Tingkir
8.281
1.406
293
9.980
83,0
14,1
2,9
1
Kutowinangun 4.390
711
45
5.146
85,3
13,8
0,9
2
Gendongan
1.403
35
35
1.473
95,2
2,4
2,4
3
Sidorejo Kidul
833
255
50
1.138
73,2
22,4
4,4
4
Kalibening
194
45
34
273
71,1
16,5
12,5
5
Tingkir Lor
720
181
99
1.000
72,0
18,1
9,9
6
Tingkir Tengah 741
179
30
950
78,0
18,8
3,2
C
Kec.
9.098
760
630
10.488
86,7
7,2
6,0
22,5
25,8
27,1
Argomulyo 1
Noborejo
1.203
38
106
1.347
89,3
2,8
7,9
2
Ledok
2.407
27
30
2.462
97,7
1,1
1,2
3
Tegalrejo
1.818
133
48
1.999
90,9
6,7
2,4
4
Kumpulrejo
937
230
346
1.513
61,9
15,2
22,9
5
Randuacir
834
265
68
1.167
71,5
22,7
5,8
6
Cebongan
1.902
67
32
2..000
95,1
3,4
1,6
D
Kec.
7.881
677
933
9.491
83,0
7,1
9,8
24,6
Sidomukti 1
Kecandran
876
179
52
1.107
79,1
16,2
4,7
2
Dukuh
2.415
298
113
2.826
85,5
10,5
4,0
3
Mangunsari
2.896
65
712
3.673
78,8
1,8
19,4
4
Kalicacing
1.694
135
56
1.885
89,9
7,2
3,0
33.067
3.406
2.159
18.632
85,6
8,8
5,6
85,6
8,8
5,6
100,0
100,0
Jumlah Total (%)
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
67
Gambar 3.7 Diagram Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014
100% 80% 60% Kec Sidomukti Kec Argomulyo Kec Tingkir Kec Sidorejo
40% 20% 0% ‐20% ‐40% ‐60% 2010 2011 2012 2013
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
3.2.2. Jumlah dan Persebaran Rumah Jumlah dan persebaran rumah ini akan membicarakan tentang jumlah rumah dilihat berdasarkan permanensi bangunan, status kepemilikan, rumah layak huni dan tidak layak huni dan backlog. A.
Tingkat Permanensi Bangunan Secara umum kondisi rumah masyarakat Kota Salatiga sudah merupakan bangunan
permanen (49%). Sisanya merupakan bangunan semi permanen (31%) dan temporer sebanyak 20%.
68
Gambar 3.8 Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
KONDISI LAHAN
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
69
Gambar 3.9 Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
Jumlah dan Kondisi Rumah
Tipe A: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas >= 70 m2 Tipe B: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas < 70 m2 Tipe C: Atap, dinding, lantai dr bahan alami dan tdk permanen, luas < 40 m2
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
. B. Tingkat Kelayakan Rumah layak huni merupakan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis, sosial, serta penataan ruangan yang akrab dan harmonis. Rumah layak huni dan rumah tidak layak huni dilihat berdasarkan kondisi fisiknya rumahnya seperti dilihat dari kondisi atap, kondisi lantai, penghawaan, pencahayaan, air bersih, air kotor, dan fasum dan fasos. Rumah layak huni adalah rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis sosial serta penataan ruangan yang
70
akrab dan harmonis. Di dalam menciptakan rumah layak huni, harus mempertimbangkan halhal sebagai berikut : 1. Kesehatan: -
Lokasi rumah yang layak dipandang dari segi lokasi (tidak terkena banjir, tidak lembab, dll)
-
Memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti penerangan dan penghawaan
2. Keamanan: -
Konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis
-
Pemilihan bahan bangunan yang tepat sesuai fungsi dan kondisi lokal.
3. Keindahan dan Kenyamanan: -
Bentuk arsitektur yang sesuai dengan lingkungan - Penataan ruangan dan penentuan besaran ruangan yang optimal dan sesuai dengan persyaratan.
4. Jaminan hukum: - Pemilihan dan pembangunan rumah diatas tanah yang tidak bertentangan dengan hukum (tanah yang legal). - Ijin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5. Pemeliharaan bangunan rumah: - Secara rutin dibersihkan - Memperbaiki setiap kerusakan yang sekecil apapun, agar tidak terjadi kerusakan yang tidak teratasi.
C. Backlog Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah rumah dari jumlah KK yang ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara spesifik menurut status kepemilikan rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah, sedangkan rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas, bebas sewa, rumah milik orang tua/famili, dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang belum memiliki rumah. Backlog di Kota Salatiga menunjukkan terdapat kelebihan rumah sebesar 3.043 unit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan rumah di Kota Salatiga ada yang menjadi rumah investasi, pemiliknya bukan merupakan penduduk Kota Salatiga, atau rumah tersebut tidak ditempati. Jumlah backlog tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.10.
71
Gambar 3.10 Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014
Backlog Selisih antara Jumlah Seharusnya tersedia dengan jumlah tersedia Jumlah Penduduk 2012 = 186.087 jiwa Jumlah Keluarga (KK) 2012 = 57.783 kk Asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK Kebutuhan Rumah
= 57.783 rumah
Jumlah rumah
= 38.632 rumah
Backlog
= 19.151 rumah
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
Gambar 3.11 Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014
Rumah Tidak Layak Huni
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
72
3.3. ANALISIS KEBUTUHAN RUANG KAWASAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Peninjauan tentang kebutuhan ruang untuk pengembangan kawasan perumahan dan permukiman ini meliputi dua maksud, yaitu kebutuhan ruang untuk pembangunan perumahan dan permukiman baru serta peningkatan kualitas dan kondisi perumahan dan permukiman yang sudah ada. Berdasarkan kebutuhan ruang untuk pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman tersebut maka ditentukan arahan pengembangan termasuk dalam hal ini adalah pengalokasian lokasi ruang, penghitungan ketersediaan lahan yang ada serta tinjauan terhadap kemampuan wilayah untuk menampung kawasan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. 3.3.1. Arah Pengembangan Perumahan dan Permukiman Dalam
mengkaji
kecenderungan
perkembangan
ada
beberapa
aspek
yang
mempengaruhinya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan perumahan dan permukiman (seperti halnya yang mempengaruhi perkembangan kota/ desa) yaitu faktor: -
Pelaku (manusia)
-
Kegiatan/ aktivitas
-
Penghubung Selain ketiga faktor utama diatas ada beberapa faktor penting pula yang mempengaruhi
perkembangan perumahan dan permukiman yaitu faktor fisik alam (kondisi geografis, Klimatologis, Hidrologis, Geologi dan Topografi serta kemiringan lahan).
A. Kecenderungan Perkembangan Fisik Perkembangan pusat kota suatu wilayah tidak lain akibat adanya pertumbuhan modal dan pertumbuhan sumber daya di wilayah tersebut. Semakin intensifnya perkembangan keduanya mendorong pertumbuhan sektor-sektor pendukung lainnya. Di pusat kota terdapat kemudahan-kemudahan untuk memenuhi kebutuhan manusia hal ini semakin kuat daya tariknya mengundang manusia (migrasi) dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Akibat munculnya aktivitas tersebut mendorong para pendatang tersebut membangun areal permukiman. Namun dengan semakin luasnya perkembangan sektor perdagangan dan jasa di pusat kota tersebut dan seiring dengan semakin mahalnya harga lahan maka terjadi perubahan kecenderungan pemanfaatan lahan kota. Dengan sedikit mengadopsi teori Von Thunen tentang pola penggunaan lahan yang didasarkan pada jarak. Kecenderungan perkembangan di wilayah studi bahwa pada pusat kota mempunyai harga lahan yang tinggi sehingga mempunyai spesifikasi pemanfaatan yang lebih
73
tinggi tingkat ekonomisnya, seperti perdagangan dan jasa yang mempunyai jangkauan pelayanan tingkat regional. Atas dasar itulah mengapa di pusat kota harga lahan semakin tinggi, dan ini tidak menguntungkan apabila lahan di pusat kota diperuntukkan sebagai permukiman. Akibatnya banyak muncul permukiman-permukiman baru di daerah pinggiran yang mempunyai harga lahan relatif murah. Kecenderungan perkembangan fisik di Kota Salatiga, pada hakekatnya tercermin dari bentuk struktur keruangan wilayah yang terbentuk karena posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Kota Salatiga secara umum dan garis besar, pola kecenderungan perkembangan fisik perumahan dan permukimannya mengikuti kondisi prasarana khususnya kondisi jalur jalan dan kondisi fisik alam yang ada. Arah perkembangan tersebut yaitu mengikuti arah dan pola jalur jalan regional, khususnya yaitu sepanjang jalur Semarang – Solo. Salatiga - Ambarawa. Arah perkembangan yang mengikuti jalur Semarang – Solo tersebut didorong oleh intensitas dan pola aktivitas yang sangat tinggi di sepanjang jalur jalan tersebut. Kawasan perumahan dan permukiman tersebut dimulai dari Kelurahan Blotongan sampai dengan Kelurahan Cebongan. Kawasan permukiman dan perumahan tersebut semakin memadat sampai pada pusat Kota dan mengalami penyebaran menuju ke arah barat Kota Salatiga. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kelerengan di bagian barat Kota Salatiga yang relatif berkisar antara 2-15% atau dapat dikatakan memiliki topografi yang relatif datar. Kecenderungan perkembangan yang tercermin dari perubahan fisik menunjukkan adanya perembetan meloncat dan memanjang. Pada perkembangan selanjutnya bentuk pola linier tidak menerus/ meloncat ini akan tumbuh menjadi pola struktur keruangan yang kompak secara menerus atau sering disebut sebagai Ribbon City atau linier menerus. Seperti halnya kota atau desa pada umumnya, disetiap persimpangan jalan, aktivitas yang berkembang lebih beragam tidak hanya perumahan dan permukiman, tetapi berkembang aktivitas lain yang mengarah pada kegiatan perdagangan dan jasa, disertai keberagaman jenis fasilitas. Setiap simpul atau persimpangan jalan menunjukkan adanya pola pertumbuhan perumahan dan permukiman yang konsentrik namun tidak menerus, atau dengan kata lain menunjukkan pola keruangan yang tidak kompak dan meloncat. Bentuk perkembangan tidak kompak/ meloncat pada pola konsentrik pada akhirnya sama juga seperti pola linier diatas, akan membentuk stuktur keruangan yang kompak dengan bentuk bintang atau gurita, hingga akhirnya membentuk pola yang benar-benar kompak yaitu konsentri menerus atau radial konsentrik yang menerus.
74
B. Kecenderungan Perkembangan Non Fisik Kecenderungan perkembangan secara non fisik dapat dilihat melalui pola pemilikan dan nilai tanah. Batas-batas area tanah, status pemilikan tanah dan nilai tanah seringkali menjadi problem pembangunan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Status tanah dibedakan menurut penguasaannya terdiri dari tanah negara, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan tanah adat. Tanah milik dapat berbentuk hak milik (sertifikat), hak milik yayasan, dan hak milik adat. Pemberian sertifikat hak baru dan konversi tanah dari tahun ke tahun cenderung meningkat, berbeda dengan sertifikat peralihan hak dan penggantian yang dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Banyaknya konversi tanah menunjukkan semakin banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi untuk permukiman dan tempat kegiatan penduduk. Dampak yang timbul dari semakin banyaknya tanah konversi ini tentunya akan mengurangi
luasan
lahan
pertanian.
Apabila
tidak
dikendalikan
dan
diarahkan
perkembangannya akan berdampak pada menurunnya produksi dari sektor pertanian dan timbulnya permukiman-permukiman sporadis di beberapa tempat. Sehubungan dengan masalah tersebut maka perlu ditingkatkan upaya dan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian baik yang dilakukan pemilik lahan maupun oknum-oknum tertentu tanpa izin, yaitu dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: -
Tidak menutup saluran-saluran yang mengairi sawah beririgasi teknis milik mereka
-
Tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian tanah kering.
-
Tidak menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan. Bagi yang telah merubah tanah beririgasi teknis miliknya menjadi tanah tegalan/tanah
kering tanpa izin dalam rangka menghindari larangan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan tanah non pertanian, agar mengembalikannya menjadi tanah sawah beririgasi teknis seperti semula. Sesuai dengan surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Basional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No. 5335/MK/1994 tanggal 29 september 1994 tentang penyusunan RTRW, kiranya perlu memberikan petunjuk-petunjuk kepada para Bupati/Walikota agar meninjau kembali dan merevisi RTRW dengan tidak memperuntukkan tanah beririgasi teknis bagi penggunaan tanah non pertanian.
75
Sementara itu nilai tanah juga memegang peranan dalam beberapa aspek kegiatan pembangunan. Selain tata letak dan potensi tanah yang menjadi tolak ukur harga/nilai tanah, faktor rencana peruntukan lahan sering merangsang naiknya nilai tanah yang bersangkutan. Tanah yang berada di pusat kota serta yang mempunyai letak Kestrategisan suatu lokasi jelas akan berpengaruh terhadap nilai tanah, yaitu nilai lahan akan semakin mahal seiring dengan semakin dekatnya letak tanah tersebut dengan pusat kota (CBD), begitupun sebaliknya.
C. Arahan Kesesuaian dengan RTRW Arahan Tata Ruang Wilayah dan Kota akan berdampak pada kemudahan perijinan dan legalisasi pengembangan suatu kawasan. Arahan fungsi kawasan sebagai kawasan industri, perdagangan dan jasa serta pelayanan sosial biasanya memicu munculnya kawasan perumahan dan permukiman di sekitarnya. Kawasan perindustrian diarahkan di Kelurahan Noborejo, Randuacir, Cebongan dan Kalibening. Sedangkan untuk Kota Salatiga bagian Utara dan Timur, yaitu kelurahan-kelurahan di Kecamatan Sidorejo dan Tingkir diarahkan untuk menjadi kawasan permukiman, pertanian dan kebun campur. Namun apabila dilihat dari penggunaan lahan eksisting, sebagian besar digunakan selain sudah menjadi kawasan permukiman dan perumahan (yang cukup padat di Kecamatan Sidorejo), juga digunakan sebagai sawah irigasi dan kebun campur. Penggunaan lahan tersebut cukup sulit untuk dikonversi menjadi kawasan perumahan dan permukiman. Untuk kawasan perdagangan dan jasa diarahkan di kawasan pusat Kota. Hal tersebut akan lebih memicu pertumbuhan perumahan dan permukiman. Sehingga perlu adanya penanganan dan pengendalian pertumbuhan perumahan dan permukiman tersebut. Misalnya dengan alokasi pembangunan perumahan dan permukiman di kelurahan lain atau dapat juga dilakukan dengan ekstensifikasi pola pemanfaatan lahan yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan. Berdasarkan dari analisis di atas arah kecenderungan perkembangan perumahan dan permukiman Kota Salatiga jika dilihat dari pola persebaran permukiman diprioritaskan di lokasi tegalan, yaitu Kelurahan Noborejo, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan Kecandran. Sedangkan untuk perkebunan campuran diarahkan untuk permukiman agrowisata (sesuai RTRW) yang berlokasi di Kelurahan Kecandran, Kelurahan Dukuh, Kelurahan Kumpulrejo dan sebagian Mangunsari, Tegalrejo. Untuk permukiman perkotaan dikembangkan dengan kepadatan rendah (Kelurahan Sidorejo Lor, Tegalrejo, dan Kalibening), dan kepadatan sedang (Kelurahan Salatiga, Kutowinangun, Mangunsari, dan Gendongan). Untuk arah Kecenderungan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Peta 3.13. Analisis
76
Kecenderungan Perkembangan Arah Perkembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kota Salatiga. 3.3.2. Alokasi Ruang Kawasan Perumahan dan Permukiman Pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga disebabkan dari beberapa faktor yang akhirnya membutuhkan ruang yang tidak sedikit dalam melakukan aktivitasnya. Dalam penentuan pengalokasian ruang bagi pemenuhan kebutuhan rumah, terlebih dahulu ditentukan jumlah kebutuhan rumah di Kota Salatiga. Penentuan kebutuhan rumah sampai dengan tahun 2016 menggunakan 4 alternatif, yaitu: dihitung dari pertumbuhan penduduk alami, pertumbuhan penduduk + backlog, pertumbuhan penduduk + backlog + pendatang, serta pertumbuhan penduduk + pendatang. Berdasarkan dari 4 alternatif tersebut jumlah penduduk sampai dengan tahun perencanaan yang paling banyak adalah alternatif terakhir, yaitu pertumbuhan penduduk + pendatang. Hal ini menjadi dasar pertimbangan tim teknis pada sidang Laporan Antara untuk menyepakati alternatif tersebut. Dalam penentuan tersebut menyertakan pendatang karena Kota Salatiga sarat akan penduduk pendatang. Penduduk tersebut kebanyakan adalah para mahasiswa yang menuntut ilmu untuk tingkatan SLTA dan Perguruan Tinggi atau Akademi. Selanjutnya untuk dasar perhitungan luasan kapling yang digunakan untuk perhitungan adalah : -
Menggunakan kebijakan berimbang 1:3:6 (1 rumah mewah = 600 m2, 3 rumah sedang/menengah = 400 m2, 6 rumah sederhana/kecil = 200m2) yang bersumber pada RTRW Kota Salatiga.
-
Building Coverage/BC rumah tinggal sesuai dengan standar PU tahun 1983 adalah sebesar 40-50 %, luasan lahan yang boleh dibangun dan tidak boleh dibangun. Dalam perhitungan BC distudi ini digunakan sebesar 40 % karena lahan yang tersedia cukup terbatas.
77
Tabel III - 11 Proyeksi Kebutuhan Rumah Kota Salatiga Tahun 2016 JUMLAH No
KELURAHAN
RUMAH 2005
PROYEKSI JML PENDUDUK 2016
PREDIKSI
KOEFISIEN
PENDATANG
HUNIAN
2016
IDEAL
PROYEKSI JML RUMAH 2016
SEGMENTASI KEBUTUHAN KEBUTUHAN
KEBUTUHAN
RUMAH
RUMAH
2006-2016
PERTAHUN
RUMAH (Unit) BESAR
SEDANG
KECIL
10%
30%
60%
A
Kec. Sidorejo
10678
56106
2640
4,0
14027
16667
1667
1667
5000
10000
1
Blotongan
2485
12233
576
4,0
3058
3634
363
363
1090
2180
2
Sidorejo Lor
3642
15151
713
4,0
3788
4501
450
450
1350
2700
3
Salatiga
2247
18045
849
4,0
4511
5360
536
536
1608
3216
4
Bugel
548
2874
135
4,0
718
854
85
85
256
512
5
Kauman Kidul
1012
3846
181
4,0
962
1143
114
114
343
686
6
Pulutan
744
3958
186
4,0
990
1176
118
118
353
706
B
Kec. Tingkir
8043
47019
2213
4,0
11755
13968
1397
1397
4190
8381
1
Kutowinangun
4044
23277
1095
4,0
5819
6915
691
691
2074
4149
2
Gendongan
1465
6884
324
4,0
1721
2045
204
204
613
1227
3
Sidorejo Kidul
988
5245
247
4,0
1311
1558
156
156
467
935
4
Kalibening
342
1932
91
4,0
483
574
57
57
172
344
5
Tingkir Lor
699
5272
248
4,0
1318
1566
157
157
470
940
6
Tingkir Tengah
505
4408
207
4,0
1102
1310
131
131
393
786
C
Kec. Argomulyo
8587
45343
2134
4,0
11336
13470
1347
1347
4041
8082
1
Noborejo
1545
5651
266
4,0
1413
1679
168
168
504
1007
2
Ledok
1750
10862
511
4,0
2715
3227
323
323
968
1936
3
Tegalrejo
1735
11114
523
4,0
2779
3302
330
330
990
1981
4
Kumpulrejo
1539
7485
352
4,0
1871
2224
222
222
667
1334
5
Randuacir
1049
5069
239
4,0
1267
1506
151
151
452
903
6
Cebongan
969
5163
243
4,0
1291
1534
153
153
460
920
78
JUMLAH No
KELURAHAN
RUMAH 2005
PROYEKSI JML PENDUDUK
PREDIKSI
KOEFISIEN
PENDATANG
HUNIAN
2016
IDEAL
2016
PROYEKSI JML
SEGMENTASI KEBUTUHAN KEBUTUHAN
KEBUTUHAN
RUMAH
RUMAH
2006-2016
PERTAHUN
RUMAH 2016
RUMAH (Unit) BESAR
SEDANG
KECIL
10%
30%
60%
D
Kec. Sidomukti
7612
42914
2020
4,0
10729
12748
1275
1275
3824
7649
1
Kecandran
1024
5281
249
4,0
1320
1569
157
157
471
941
2
Dukuh
2126
11283
531
4,0
2821
3352
335
335
1005
2011
3
Mangunsari
2820
17631
830
4,0
4408
5237
524
524
1571
3142
4
Kalicacing
1642
8720
410
4,0
2180
2590
259
259
777
1554
JUMLAH
34920
191383
9006
4,0
47846
56852
5685
5685
17056
34111
Sumber: Hasil Analisis, 2006
Tabel III - 12 Luasan Kebutuhan Lahan Rumah Berdasarkan Tipe Rumah Kota Salatiga Tahun 2016 KEBUTUHAN NO
KELURAHAN
BESAR
SEDANG
KECIL
RUMAH 20062016
TOTAL (m2) 10%
600 (m2)
30%
400 (m2)
60%
200 (m2)
16.667
1.667
1.000.016,77
5.000
2.000.033,54
10.000
2.000.033,54
5.000.083,84
Blotongan
3.634
363
218.026,63
1.090
436.053,26
2.180
436.053,26
1.090.133,15
2
Sidorejo Lor
4.501
450
270.039,20
1.350
540.078,40
2.700
540.078,40
1.350.196,01
3
Salatiga
5.360
536
321.625,60
1.608
643.251,20
3.216
643.251,20
1.608.128,01
4
Bugel
854
85
51.218,34
256
102.436,68
512
102.436,68
256.091,70
5
Kauman Kidul
1.143
114
68.555,86
343
137.111,73
686
137.111,73
342.779,32
6
Pulutan
1.176
118
70.551,13
353
141.102,26
706
141.102,26
352.755,66
B
Kec. Tingkir
13.968
1.397
838.051,36
4.190
1.676.102,72
8.381
1.676.102,72
4.190.256,81
A
Kec. Sidorejo
1
79
KEBUTUHAN NO
KELURAHAN
BESAR
SEDANG
KECIL
RUMAH 20062016
TOTAL (m2) 10%
600 (m2)
30%
400 (m2)
60%
200 (m2)
1
Kutowinangun
6.915
691
414.880,17
2.074
829.760,34
4.149
829.760,34
2.074.400,86
2
Gendongan
2.045
204
122.699,30
613
245.398,61
1.227
245.398,61
613.496,52
3
Sidorejo Kidul
1.558
156
93.487,03
467
186.974,06
935
186.974,06
467.435,15
4
Kalibening
574
57
34.442,59
172
68.885,18
344
68.885,18
172.212,95
5
Tingkir Lor
1.566
157
93.971,32
470
187.942,64
940
187.942,64
469.856,59
6
Tingkir Tengah
1.310
131
78.570,95
393
157.141,89
786
157.141,89
392.854,74
C
Kec. Argomulyo
13.470
1.347
808.180,45
4.041
1.616.360,91
8.082
1.616.360,91
4.040.902,27
1
Noborejo
1.679
168
100.712,61
504
201.425,22
1.007
201.425,22
503.563,06
2
Ledok
3.227
323
193.599,12
968
387.198,25
1.936
387.198,25
967.995,62
3
Tegalrejo
3.302
330
198.093,32
990
396.186,64
1.981
396.186,64
990.466,60
4
Kumpulrejo
2.224
222
133.411,76
667
266.823,53
1.334
266.823,53
667.058,82
5
Randuacir
1.506
151
90.348,84
452
180.697,68
903
180.697,68
451.744,20
6
Cebongan
1.534
153
92.014,79
460
184.029,59
920
184.029,59
460.073,96
D
Kec. Sidomukti
12.748
1.275
764.885,07
3.824
1.529.770,14
7.649
1.529.770,14
3.824.425,36
1
Kecandran
1.569
157
94.126,29
471
188.252,58
941
188.252,58
470.631,45
2
Dukuh
3.352
335
201.095,91
1.005
402.191,82
2.011
402.191,82
1.005.479,54
3
Mangunsari
5.237
524
314.245,05
1.571
628.490,09
3.142
628.490,09
1.571.225,23
4
Kalicacing
2.590
259
155.417,83
777
310.835,66
1.554
310.835,66
777.089,14
JUMLAH
56.852
5.685
3.411.133,66
17.056
6.822.267,31
34.111
6.822.267,31
17.055.668,28
Sumber: Hasil Analisis, 2006
80
Gambar 3.11 Alih Fungsi Lahan Permukiman Kota Salatiga Tahun 2014
Alih Fungsi Lahan Untuk Permukiman di Kota Kecamatan Lahan Sawah menjadi Lahan Lahan Tegalan menjadi Lahan Salatiga Pekarangan/Permukiman Pekarangan/Permukiman Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo Total
2010 2.005 16.166 12.113 11.327 41.611
2011 400 11.756 365 18.519 31.040
2012 0 4.696 7.145 25.825 37.666
2010 26.588 9.819 34.007 3.802 74.216
2011 19.844 13.347 17.740 18.592 69.523
Sumber Data: Salatiga Dalam Angka 2013
Penggunaan Lahan di Salatiga (2013) 1. Pekarangan/Permukiman : 3.083.514 Ha 2. Tegalan: 1.611.622 Ha 3. Sawah Irigasi Teknis: 491.330 Ha 4. Sawah Non Irigasi Teknis 295.698 Ha 5. Penggunaan Lainnya: 195 948
MENUNJUKKAN PENGGUNAAN UNTUK PEKARANGAN/PERMUKIMAN ADALAH YANG TERBESAR
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
3.3.3. Intensitas Kepadatan Bangunan Kawasan Perumahan dan Permukiman Intensitas kepadatan bangunan kawasan perumahan dan permukiman di Kota Kota Salatiga secara umum dapat dikatakan tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar 307 unit/Ha. Namun kepadatan yang terjadi cenderung mengelompok di suatu wilayah, di kelurahan-kelurahan tertentu yang memiliki kondisi representatif sebagai kawasan perumahan dan permukiman. Kelurahan-kelurahan tersebut antara lain adalah Kelurahan Kutowinangun, Gendongan, Kalicacing, Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kelurahan-kelurahan tersebut terletak di sepanjang jalur jalan regional Semarang – Solo, dengan 81
2012 24.521 13.894 22.241 23.805 84.461
topografi relatif datar dan kelerengan < 25%, yang sangat potensial untuk menjadi wilayah kawasan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Dari kondisi kepadatan yang ada tersebut, maka untuk wilayah-wilayah kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan >1.000 unit/Ha seperti Kelurahan Kutowinangun, Gendongan, Kalicacing, Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga, sudah kurang potensial untuk menjadi lokasi bagi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman. Apabila melihat dari tingkat kepadatan rumah yang rendah, Kelurahan Randuacir, Kecandran, Pulutan dan Bugel merupakan kelurahan yang cukup potensial sebagai lokasi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman. Namun apabila meninjau guna lahan Kota Salatiga, di wilayah Keluahan Bugel dan Kecandran terdapat sawah irigasi yang merupakan kawasan budidaya dan tidak boleh dikonversi menjadi kawasan perumahan dan permukiman, sehingga pengembangannya terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat melihat pada gambar 3.12 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga. Gambar 3.12 Peta Rencana Tata Ruang dan Kesesuaian Pemukiman Kota Salatiga
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga
Peta Kesesuaian Pemukiman Di Kota Salatiga
82
Gambar 3.13 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga
Sumber: Pemerintah Kota Salatiga 2014
83
3.3.4. Pengaturan Sawah Lestari Pengembangan penggunaan lahan saat ini di beberapa wilayah yang ada di Jawa Tengah, temasuk dalam hal ini adalah Kota Salatiga, mulai mengarah pada upaya untuk mempertahankan lahan sawah yang saat ini sudah mulai banyak berubah fungsi. Perubahan fungsi lahan sawah tersebut antara lain menuju ke arah lahan terbangun terutama untuk kawasan perumahan dan permukiman. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengaturan kembali untuk mencegah konversi lahan tersebut supaya tidak mengganggu keseimbangan penggunaan lahan yang ada. Salah satu upaya yang dilakukan adalahdengan pengaturan lahan sawah menjadi sawah lestari. Termasuk di Kota salatiga, dalam analisis RP4D Kota Salatiga ini tetap memperhatikan pengaturan lahan yang ditetapkan menjadi sawah lestari. Denan memperhatikan lahan sawah lestari ini, makadalam arahan pengembangan lahan yang akan dijadikan kawasan perumahan dan permukiman dilakukanengan tidak merubah lahan yang ditetapkan menjadi lahan sawah lestari. Untuk sawah yang tidak pat dikonversi adalah sawah yang memiliki sistem irigasi teknis atau memiliki sumebr air yang cukup serta memiliki tingkat produkstifitas lebih dari 65 % dari lahan sawah tersebut. Gambar 3.14 Penggunaan Lahan dan Lahan Sawah Kota Salatiga
Penggunaan Lahan di Kota Salatiga
Lahan Sawah di Kota Salatiga
84
Gambar 3.15 Sawah Berkelanjutan Kota Salatiga
Sumber: Pemerintah Kota Salatiga 2014
85
3.3.5. Daya Tampung Kawasan Perumahan dan Permukiman Daya tampung permukiman di Kota salatiga sesuai dengan lahan yang tersedia, sehingga rencana daya tampungnya natara proyeksi jumlah kebutuhan rumah dan ketersediaan lahan yang ada. RP4D yang merupakan penjabaran daerah kuning (permukiman) dari RTRW, maka dalam rencana selau mengacu rencana yang ada, untuk itu daya tampung RP4D ini tidak lepas dari daya tampung yang ada di RTRW.
Tabel III – 13. Kondisi dan Rencana Kebutuhan Rumah Tahun Perencanaan antara RP4D dan RTRW RTRW No
URAIAN
1.
Jumlah Penduduk (jiwa)
2.
Penduduk pendatang (jiwa)
3.
Jumlah Rumah (unit)
4.
Luas Kapling (Ha)
5.
Luas Permukiman (Ha)
Eksisting
Rencana
2002
2013
144.649
158.652
RP4D Selisih 14.003
Eksisting
Rencana
2005
2016
176.090
191.383
Selisih 24.299
9.006 31.568
31.730
162
34.920
952,000
47.846
12.926
1.705,57
3.000,253
2.015,91
984,343
3.033,040
4.263,925
1.327,47
3.000,253
3.911,418
911,165
3.033,040
4.401,534
1.368,494
Luas Permukiman + sarana 6.
prasarana Sumber: Hasil Analisis, 2006
Perbedaan tahun perencanaan antara RTRW (2013) dan RP4D (2016) selisih 3 tahun, namun tidak banyak selisih jumlah penduduk tahun prediksinya dan bukan masalah yang berarti. RTRW tidak mempertimbangkan jumlah penduduk pendatang, padahal jumlah pendatang 5 tahun terakhir terus meningkat, sedangkan di RP4D pendatang diproyeksikan sampai tahun 2016 sebanyak 9.006 jiwa dengan pertumbuhan 0,19 %. Perbedaan yang sangat besar adalah kebutuhan lahan untuk permukiman. Luas lahan yang dibutuhkan oleh RTRW sebesar 952 Ha untuk prediksi luas kapling yang dihitung berdasarkan hanya pertumbuhan penduduk dan tidak dikurangi jumlah penduduk eksisting dengan perhitungan kapling kecil : sedang : besar (100 : 400 : 600). Sedangkan di RP4D, prediksi jumlah penduduk ditambah pendatang dan dikurangi jumlah penduduk eksisting. Jumlah lahan yang 86
dibutuhkan lebih besar RP4D, sedangkan total luas lahan yang digunakan untuk permukiman di RTRW antara eksisting (3.000,253 ha) dengan rencana (2.015,91 ha) lebih besar eksisting. Dengan demikian untuk RP4D penggunaan lahan untuk permukiman masih mengikuti RTRW, namun ada beberapa strategi yang dilakukan untuk memecahkan perbedaan tersebut. Dari luasan lahan potensial yang tersedia tersebut masih dibagi lagi ke dalam beberapa prosentase pembagian peruntukan pembangunan. Pembagian prosentase peruntukan lahan tersebut adalah 90% sebagai kawasan permukiman dan 10% sebagai ruang publik. Dari 90% tersebut masih dibagi lagi untuk pengalokasian pembangunan fasilitas sebesar 20% dan prasarana sebesar 20%. Dengan kata lain bahwa lahan yang dipergunakan untuk pembangunan rumah adalah sebesar 60% atau sekitar 1.245 ha. Sedangkan jika dilihat dari potensi lahan kering yang dimiliki oleh Kota Salatiga, ada beberapa kelurahan yang masih memiliki luasan lahan kering yang cukup besar, yaitu di Kelurahan Kumpulrejo (622.030 ha), Kelurahan Kecandran (359.461 ha), Kelurahan Blotongan (325.954 ha) dan Kelurahan Bugel (241.392 ha). Beberapa alternatif pengalokasian luasan daya tampung yang tersedia dengan kebutuhan akan pembangunan dan pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga adalah sebagai berikut: -
Mengoptimalkan lahan permukiman perkotaan yang masih memiliki kepadatan rendah, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor, Kelurahan Tegalrejo, Kelurahan Kalibening, sedangkan untuk kepadatan sedang, yaitu Kelurahan Salatiga, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Mangunsari, dan Kelurahan Gendongan.
-
Lokasi pembangunan baru diprioritaskan untuk kelurahan yang memiliki tegalan, dengan persyaratan: tidak rawan bencana, memiliki kelerengan 2% 15%, memiliki kelengkapan fasilitas sosial dan umum, adanya sumber air, serta kesesuaian arahan lahan dengan RTRW, yaitu Kelurahan Noborejo, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo, dan Kelurahan Kecandran.
-
Untuk pusat kota dengan kepadatan > 1000 unit/Ha, dibangun secara vertikal, yaitu Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kalicacing, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Sidorejo Lor, dan Kelurahan Salatiga.
87
-
Meminimalkan luasan kapling yang telah ditentukan di RTRW menjadi lebih kecil, yaitu di lokasi Kelurahan Kalicacing, Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Sidorejo Lor, dan Kelurahan Salatiga.
-
Besarnya BC (building coverage) dibedakan antara di pusat kota dengan yang berada di pinggiran kota.
3.4. ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BARU Dalam upaya memenuhi kebutuhan perumahan Kota Salatiga dari pertumbuhan penduduk alami dan pendatang dibutuhkan 47.846 unit sampai dengan tahun 2016, membutuhkan aktor-aktor pembangunan dalam hal ini adalah pemerintah, swasta dan masyarakat. Pembangunan baru yang dilakukan secara formal oleh pemerintah dan swasta/pengembang perumahan harus dilakukan koordinasi atau kerjasama dalam pembangunan perumahan skala besar. Pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya bagi penduduk berpenghasilan tinggi membutuhkan pengaturan
dan
pengendalian,
sedangkan
untuk
menengah
ke
bawah
membutuhkan bantuan dari pemerintah. Pengembangan permukiman baru harus memperhatikan: •
Jumlah dan luasan penduduk yang tertampung,
•
Lokasi – lokasi pengembangan,
•
Pendekatan pembangunan skala besar swadaya.
3.4.1. Pembangunan Skala Besar Penyediaan pembangunan perumahan sampai dengan tahun perencanaan membutuhkan
suatu
kawasan
yang
luas,
terutama
untuk
masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Kawasan ini pertama kali harus dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana
88
lingkungan. Sedangkan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari Kasiba ataupun berdiri sendiri. Lingkungan ini juga telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang. Penyiapan Lokasi Kasiba oleh Pemerintah Daerah, harus memperhatikan beberapa persyaratan umum seperti tersebut di atas, namun selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sesuai dengan PP No. 80 Tahun 1999, yaitu: -
Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam satu Kasiba sekurangkurangnya 3000 unit rumah dan sebanyak-banyaknya adalah 10.000 unit rumah.
-
Lokasi tersebut telah dilayani jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan;
-
Lokasi tersebut, telah dilayani fasilitas sosial, fasilitas umum dan fasilitas ekonomi setingkat kecamatan. Lokasi pembangunan permukiman untuk skala besar di Kota Salatiga ada
beberapa potensi rencana. Lokasi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan seperti pada Gambar 3.8. Potensi Lokasi untuk Pengembangan Kasiba/Lisiba
3.4.2. Pembangunan Swadaya Masyarakat Pembangunan swadaya yang dilakukan masyarakat di Kota Salatiga, dapat dilihat dari tingkat golongan masyarakatnya. Biasanya untuk masyarakat golongan atas, mereka membangun permukiman kurang mengindahkan peraturan yang ada, sehingga perlu adanya pengaturan dan penertiban pembangunan perumahan dari pemerintah yang tegas. Khususnya untuk perumahan yang ada dipusat Kota Salatiga, seperti yang ada di Kelurahan Salatiga dan Sidorejo Lor, sebagian besar perumahan yang di kelurahan tersebut memiliki KDB yang > 100 % dan dengan kepadatan tinggi, sehingga karakteristik pusat kota Salatiga tertutup oleh pembangunan rumah yang tidak terkendali. Sedangkan untuk pembangunan swadaya yang dilakukan masyarakat untuk golongan menengah rendah, seperti di Kelurahan Kecandran, Tingkir Lor dan Kauman Kidul, perlu membutuhkan bantuan dari pemerintah. Bantuan tersebut dapat berupa pinjaman dari koperasi dan kemudahan dalam peminjaman kredit untuk pembangunan rumah sangat 89
sederhana mandiri. Atau dapat dilakukan oleh pemerintah dengan pembangunan perumahan sangat sederhana yang diberikan kepada masyarakat menengah rendah, dan untuk mendapatkan dapat melalui angsuran. Untuk Kota Salatiga, jumlah penduduk yang memiliki tingkat pendapatan menengah rendah adalah sekitar 9.134 KK. Apabila dihitung dari keseluruhan jumlah KK, yaitu 31.877, maka prosentase penduduk yang memiliki tingkat pendapatan menengah rendah adalah sekitar 28%. Ini merupakan jumlah yang relatif sedikit. Sedangkan sisanya yaitu penduduk dengan tingkat pendapatan menengah ke atas akan memiliki kemampuan untuk membangun kawasan perumahan dan permukiman mereka secara swadaya. Gambar 3.16. Potensi Lokasi untuk Pengembangan Kasiba/Lisiba Kota Salatiga
• Kepadatan 82 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman • Dilalui rencana jalan Lingkar • Dekat dengan jalan Tol • Kawasan disekitarnya sudah mulai berkembang kapling-kapling perumahan • Tersedia sumber air sumur • Memiliki view Gn. Sindoro-Sumbing • Arah pengembangan sebagai kawasan lindung
A
• Kepadatan 61 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman • Dekat dengan rencana jalan Lingkar • Kawasan permukiman perdesaan bercirikan agro • Sumber air langka
B C
• Kepadatan 46 jiwa/Ha • Memiliki lahan kosong yang dapat dikembangkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman • Dilalui rencana jalan Lingkar • Dekat dengan jalan arteri Semarang - Solo • Kawasan disekitarnya sudah mulai banyak dikembangkan sebagai Kasiba/Lisiba • Sumber air terbatas
Sumber: Analisis Penyusun, 2006
90
3.5. ASPEK EKONOMI DALAM DUNIA PERMUKIMAN
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Jadi, permukiman adalah suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar. Dalam kasus permukiman di Salatiga pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, pertumbuhan pemukiman terus berkembang pesat. Pertumbuhan permukiman ini juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan perumahan dan pertumbuhan perumahan ini akibat meningkatnya jumlah rumah yang dibangun. Jika ada masyarakat yang membangun rumah, akan diikuti oleh pembangunan rumah berikutnya sehingga menjadi kumpulan rumah atau perumahan. Dengan ada perumahan yang terus bertambah maka akan ada masyarakat yang bertempat tinggal, bertumbuh dan berkembang, yang sering disebut dengan permukiman. Dengan tumbuhnya permukiman, kemudian akan menjadi daya tarik orang lain untuk membangun rumah di permukiman tersebut. Gambar 3.17. Siklus Perkembangan Permukiman
Rumah
Perumahan
Permukiman
91
Disatu sisi, pertumbuhan permukiman ini sangat baik dari sisi ekonomi namun disisi lain bisa menimbulkan masalah jika pertumbuhannya tidak terkendali, terencana dan teratur. Untuk pengendalian dan pembangunan permukiman, kita perlu mengenali faktor determinan pertumbuhan permukiman itu sendiri. Dengan mengenali faktor determinan tersebut, Pemerintah Daerah bisa membuat intervensi melalui instrumen-instrumen pembangunan baik itu regulasi, insentif dan fasilitasi.
3.5.1. Beberapa Definisi 3.5.1.1. Pengertian Rumah Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Menurut John F.C Turner, 1972, dalam bukunya Freedom To Build mengatakan, “Rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman, dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan penghuni terhadap rumah”. Menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat, 1991: 432), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Jadi, selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah merupakan tempat awal pengembangan kehidupan. Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan dan permukiman menyebutkan bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungannya maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukimannya. (Sumber: 92
Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )
3.5.1.2 Pengertian Perumahan Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (pasal 1 ayat 2). Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )
3.5.1.3. Pengertian Permukiman Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3). Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Jadi, pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar.
3.5.2. Faktor Determinan Pertumbuhan Permukiman Untuk mengetahui faktor determinan dari pertumbuhan permukiman, bisa didekati antara lain dari dua teori yaitu terori permintaan dan teori penawaran.
93
Teori Permintaan. Manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas, sedangkan pendapatan yang ada selalu terbatas. Dengan demikian manusia perlu melakukan pilihan terhadap alternatif berbagai kebutuhannya (Soeharjoto, 1998). Dalam teori ekonomi, konsumen adalah mereka yang membeli dan mengkonsumsi sebagian besar barang konsumsi dan jasa. Pakar ekonomi mengasumsikan bahwa setiap konsumen secara konsisten berusaha memperoleh kepuasan maksimum atau kesejahteraan atau utilitas sedangkan sumber daya yang ada yang terbatas. Akibatnya, tidak semua kebutuhan konsumen dapat terpenuhi (Lipsey, 1995). Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya. Secara sederhana, permintaan dapat diartikan sebagai jumlah barang yang dibeli konsumen pada berbagai tingkat harga, waktu, dan tempat tertentu. Menurut Lipsey (1995), jumlah yang diminta adalah jumlah komoditi total yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Banyaknya komoditi yang akan dibeli konsumen dipengaruhi oleh faktor harga komoditi itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera distribusi pendapatan di antara rumah tangga, dan besarnya populasi. Menurut Arief (1996), fungsi permintaan terhadap barang yang diproduksi suatu perusahaan, misalnya barang X1, dapat diformulasikan sebagai berikut: X1 = f (P1, P2, P3, …, Pn, Y, A, á) dimana permintaan terhadap barang X1 ditentukan oleh: 1.
Harga barang itu sendiri (P1)
2.
Harga barang sejenis atau yang berkaitan dengan X1, (P2, P3, …, Pn)
3.
Daya beli konsumen atau pihak-pihak lain yang meminta barang X1, yang tercermin dalam tingkat pendapatan (Y)
4.
Biaya iklan untuk mempromosikan barang X1 (A)
5.
Faktor-faktor lain (á) yang akan ditentukan dari waktu ke waktu
Mankiw (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan individu adalah harga, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan, selera, dan ekspektasi tentang keadaan dimasa yang akan datang. Begitu juga menurut Sukirno (2002), beberapa faktor penting yang mempengaruhi permintaan diantaranya adalah:
94
1.
Harga barang itu sendiri. Dalam analisis ekonomi, dianggap bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh barang itu sendiri, dan dimisalkan faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan (ceteris paribus). Dalam hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan atas barang tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang, semakin sedikit permintaan atas barang tersebut
2.
Harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut, yang meliputi tiga jenis barang yaitu barang pengganti, barang pelengkap dan barang yang tidak memiliki kaitan sama sekali (netral)
3.
Pendapatan
rumah
tangga
dan
pendapatan
rata-rata
masyarakat,
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak permintaan
terhadap
berbagai
jenis
barang.
Perubahan
terhadap
pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap berbagai jenis barang 4.
Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat. Jika pendapatan sebagian masyarakat meningkat atau sebagian lainnya mengalami penurunan, maka jenis barang yang diminta juga akan berubah
5.
Cita rasa/selera masyarakat. Jika selera masyarakat terhadap suatu jenis barang berubah, maka permintaan terhadap barang tersebut juga akan berubah
6.
Jumlah penduduk, dalam hal ini tidak dengan sendirinya menyebabkan pertambahan permintaan. Biasanya pertambahan penduduk diikuti dengan perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan
7.
Ramalan mengenai keadaan dimasa yang akan datang. Jika ramalan keadaan dimasa datang menunjukkan harga-harga meningkat, maka konsumen akan membeli lebih banyak pada saat ini untuk menghemat pengeluaran.
Hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya tersebut disajikan pada kurva permintaan yang memiliki slope negatif. Kurva permintaan digambarkan dengan asumsi bahwa setiap faktor, kecuali harga komoditi itu sendiri diasumsikan konstan. Perubahan pada setiap variabel yang sebelumnya dianggap konstan akan menggeserkan kurva permintaan itu ke posisi 95
yang baru. Pergeseran kurva permintaan disebabkan oleh perubahan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan permintaan kecuali harga barang itu sendiri. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan kurva permintaan bergeser ke kanan (D1) yang menunujukkan terjadinya peningkatan permintaan akan suatu komoditi dalam setiap tingkat harga yang memungkinkan. Perubahan dalam distribusi pendapatan akan membawa dua pengaruh. Bagi mereka yang memperoleh tambahan pendapatan akan menggeser ke kanan kurvakurva permintaan untuk komoditi yang dibeli (D1), sedangkan bagi mereka yang berkurang pendapatannya akan menggeser ke kiri kurva-kurva permintaan (D2). Kenaikan harga barang substitusi juga akan membuat kurva permintaan bergeser ke kanan (D1), sebaliknya kenaikan harga barang komplementer akan mengakibatkan kurva permintaan bergeser ke kiri (D2) sehingga jumlah komoditi yang diminta pada setiap tingkat harga akan lebih menurun. Selain hal-hal tersebut di atas, kenaikan jumlah penduduk juga akan mengakibatkan pergeseran ke kanan kurva-kurva permintaan (D1) yang menunjukkan bahwa akan lebih banyak produk yang dibeli pada setiap tingkat harga. Selera masyarakat juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keinginan untuk membeli berbagai produk. Oleh karena itu, setiap perusahaan yang memasarkan produk-produk konsumsi perlu dan harus mengkaji mengenai preferensi konsumennya yang cenderung akan terus berubah. Dengan demikian, diharapkan produk yang dihasilkannya dapat memenuhi selera konsumen dan dapat meningkatakan tingkat permintaan terhadap produknya. Teori Penawaran. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah barang tersebut akan diatwarkan oleh penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga barang, maka semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002). Secara umum, jumlah barang yang ditawarkan tergantung dari banyaknya barang yang dapat dihasilkan oleh suatu unit produksi. Untuk itu, perlu dipertimbangkan juga peranan faktor-faktor produksi terhadap banyaknya output yang dihasilkan. Semakin banyak output yang dihasilkan maka semakin banyak pula jumlah barang yang ditawarkan. Jumlah output dapat diperkirakan dengan menghitung biaya produksi, misalnya dengan menggunakan fungsi Cobb-Doglas:
96
Q = Ká Lâ di mana: Q = output riil K = modal L = tenaga buruh Mankiw (2003) menyatakan faktor yang menetukan penawaran adalah harga, harga input, teknologi dan ekspektasi. Sedangkan menurut Sukirno (2002), selain faktor biaya produksi, keinginan penjual untuk menawarkan barangnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Harga barang itu sendiri 2. Harga barang-barang lain yang berkaitan 3. Tujuan operasi perusahaan tersebut 4. Tingkat teknologi yang digunakan
Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi berkembangnya permukiman. Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat hidup manusia, sehingga banyak aspek yang dapat mempengaruhinya.
Jika
diperhatikan dengan seksama, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, faktor keterjangkauan daya beli,
faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan permukiman dan perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat. Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain: 1. Letak geografis, 2. Kependudukan, 3. Sarana dan prasarana, 4. Ekonomi dan 5. Keterjangkauan daya beli, 6. Sosial budaya,
97
7. Ilmu pengetahuan dan teknologi, 8. Kelembagaan, dan 9. Peran serta masyarakat
3.5.3. Faktor Sosial dan Budaya Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri penghuninya. Sebagai contoh permukiman masyarakat Bali di luar Propinsi Bali. Perumahan mereka menyatu dan membentuk permukiman masyarakat Bali. Dengan adanya permukiman Bali, akan menarik orang Bali lainnya untuk datang dan membangun rumah di permukiman tersebut.
3.5.4. Faktor Ekonomi Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat
perekonomian
perkembangan
suatu
permukiman.
daerah Tingkat
yang
tinggi
dapat
meningkatkan
perekonomian
suatu
daerah
akan
mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal ini
akan
meningkatkan
perkembangan
permukiman
di
suatu
daerah.
Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.
3.6. DETERMINAN PERMUKIMAN: ANALISIS EKONOMI 1. Harga rumah 2. Pendapatan Masyarakat 3. Tingkat Bunga & Fasilitas pendanaan 4. Lokasi 5. Jumlah Penduduk 98
6. Pertumbuhan kota/wilayah 7. Kegiatan investasi 8. Pertumbuhan usaha 9. Kebutuhan tempat tinggal 10. Kebijakan pemerintah 11. Harga Rumah
Untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan waktu yang cukup lama, umumnya kurang dari setahun, maka untuk pembangunan perumahan secara masal tentunya diperlukan waktu lebih dari itu. Dengan jangka waktu pembangunan perumahan yang cukup lama, maka pada setiap waktu stok perumahan diasumsikan tetap, dimana terdapat stok perumahan yang telah tertentu (fixed) yang tidak dapat disesuaikan dengan cepat sebagai tanggapan terhadap perubahan perubahan harga. Komponen harga rumah pada keseimbangan merupakan titik pertemuan antara permintaan dan penawaran. Perubahannya dapat diukur dengan menggunakan indikator inflasi sektor perumahan. Jika harga rumah terus mengalami kenaikan, maka permintaan dari masyarakat akan menurun. Sebaliknya, kenaikan harga rumah merupakan suatu rangsangan bagi pihak pengembang untuk membangun perumahan.
3.6.1. Pendapatan atau Daya Beli Masyarakat Nicolson (1999) mengemukakan bahwa jika pendapatan bertambah maka secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan akan bertambah, sehingga jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002). Sedangkan Soeharjoto (1998) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan per kapita, maka pembelian perumahan akan bertambah. Berdasarkan konsep engel, semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin tinggi pula porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan non-makanan. Jika pendapatan per kapita masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang digunakan untuk membeli rumah atau membayar cicilan KPR lebih besar.
99
3.6.2. Tingkat Bunga Semakin tinggi tingkat suku bunga kredit, maka semakin besar cicilan kredit yang harus dibayarkan oleh nasabah. Tingkat suku bunga berbeda tergantung tingkat kepercayaaan kredit dari si peminjam, jangka waktu pinjaman dan bebagai aspek perjanjian lainnya antara peminjam dengan pemberi pinjaman (Dornbusch et. al., 2004). Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan mengurangi permintaan agregat untuk setiap tingkat pendapatan, karena disamping menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, tingkat suku bunga yang lebih tinggi juga akan mengurangi keinginan untuk baik untuk konsumsi maupun berinvestasi.
3.6.3. Lokasi Perumahan Dalam menetapkan pemilihan suatu rumah sebagai tempat untuk tinggal atau bernaung dari segala kondisi tidaklah mudah, terutama dalam pemilihan suatu rumah didalam kawasan perumahan. Banyak pertimbangan yang akan dihitung dan banyak aspek yang akan mempengaruhi penetapan lokasi perumahan Baik atau tidaknya pemilihan lokasi perumahan akan terkait dengan beberapa pihak yang menjadi tim atau organisasi pembentukan suatu perumahan. Beberapa pihak yang terlibat dan motivasi pemilihan lokasi untuk perumahan adalah:
3.6.4. Jumlah Penduduk Komponen faktor lain yang ditentukan dari waktu ke waktu untuk permintaan perumahan adalah Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar yang potensial dalam memasarkan suatu produk. Kenaikan pada tingkat pertumbuhan populasi akan menyebabkan kebutuhan perumahan menjadi semakin besar. Biasanya pertambahan penduduk juga diikuti dengan perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan akan rumah-perumahan yang pada akhirnya akan menumbuhkan permukiman.
100
3.6.5. Pertumbuhan Kota/Wilayah Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pergerakan tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut. Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan rumah baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah meningkat akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman yang lama maupun yang baru. Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan permukiman.
3.6.6. Kegiatan Investasi Ada dua hal yang terkait dengan kegiatan investasi ini yaitu kegiatan investasi rumah dan kegiatan investasi secara umum, tidak hanya rumah. Dari makna yang pertama dimana orang berinvestasi pada rumah, maka permintaan akan rumah meningkat untuk jadi barang investasi. Dengan pertumbuhan kota dan penduduk, berbagai asset menjadi lebih bernilai dari sebelummnya. Banyak orang kemudian tertarik untuk membeli rumah baik untuk ditempati, disewakan maupun untuk dijual kembali.Kondisi inilah yang menyebabkan perubahan dan pergerakan permukiman, masyarakat memiliki motif untuk investasi kemudian developer atau dirinya sendiri kemudian membangun rumah dan perumahan yang akhirnya akan membentuk investasi.
3.6.7. Pertumbuhan Usaha Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan usaha sangat mempengaruhi pertumbuhan permukiman. Usaha yang semakin bertumbuh, menyebabkan banyak permintaan material, asset dan tenaga kerja. Dengan peningkatan dan pertumbuhan usaha, banyak orang yang kemudian tinggal disuatu wilayah dimana usaha itu berada. Akibatnya permintaan perumahan meningkat dan kemudian permukiman juga tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, jika disuatu daerah pertumbuhan
101
usahanya pesat, maka akan diikuti oleh pertumbuhan rumah-perumahan yang akhirnya akan menumbuhkan permukiman.
3.6.8. Kebutuhan Tempat Tinggal Pertumbuhan permukiman disisi yang lain memang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal. Dengan bertambanya usia, kemudian menikah dan memiliki anak menyebabkan orang tersebut akan membutuhkan tempat tinggal. Kebutuhan tempat tinggal ini terjadi karena pertumbuhan keluarga, dari ikut orang tua, kemudian menikah dan memiliki anak, mulai dari satu, dua dan seterusnya. Kondisi ini terus bertumbuh seiring dengan waktu Dengan
pertumbuhan
keluarga,
akan
menyebabkan
seseorang
membutuhkan rumah, kemudian akan terbentuk perumahan dan akhirnya akan terbentuk permukiman secara alamiah akibat kebutuhan rumah.
3.6.9. Kebijakan Pemerintah Disadari
atau
tidak,
kebijakan
pemerintah
sangat
menentukan
pertumbuhan dan perkembangan permukiman. Ini artinya, permukiman akan dibuat seperti apa, Pemerintah bisa melakukannya melalui penerapan kebijakan permukiman. Itu artinya kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan permukiman. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perubahan permukiman adalah: 1.
Kebijakan permukiman sendiri
2.
Kebijakan moneter dan fiscal
3.
Kebijakan pembangunan ekonomi
4.
Kebijakan ini kemudian tali temali dengan kebutuhan masyarakat akan perumahan dengan berbagai motif, membentuk dan atau meniadakan permukiman
Secara keseluruhan dapati disimpulkan bahwa faktor determinan pertumbuhan permukiman bisa dikelompokkan pada 3 bagian penting yaitu faktor individu, faktor usaha/bisnis dan faktor pemerintah.
102
Gambar 3.18. Driver Utama Pertumbuhan Permukiman
103
BAB V PEl{UTUP
5.1. Kesimpulan Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukifiun
yaitu lereng, posisi jalur patahan, kekuatan batuan, kembang kerut tanah,
sistem
drainase, daya dukung tanah, kedalaman air tanah, bahaya erosi, bahaya longsor, dan bahaya
banjir. Faktor dominan yang menjadi
penghambat utama dalam penentuan
kawasan pefitrukiman adalah, lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya longsor, bahaya erosi, dan jaftu patahan. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan
tentang arah pengembangan kawasan
/
lokasi penelitian agar tercapai penggunaan
lahan yang optimal sesuai dengan tidak mengurangi nilai kesehatan dan kenyamanau lingkungan tssebut yaitu
:
a) Ditiqiau dari Fungsi Lahan. Sedapat mungkin
disesuaikan dengan Tata
Bangunan dan Lingkungan khusus kawasan perrrukiman yang diarahkan ke fungsi utama kota.
b) Penetapan Sarana dan Prasarana Lingkungan Pemrukiman Kota. c) Perlu perbaikan Sarana dan Prasarana Lingkungan Perrnukiman
yang terdapat
dalam lokasi studi penelitian ini.
d)
Memanfaatkau bangunan-bangunan yang ada serta perbaikan infrastruktur dasaryang diperlukan.
5.2 Saran Disarankan kepada Pemerintah Kota Salatiga untuk dapat membuat perangkat
aturan
-
aturan dalam membangun rumah tinggal serta aturar
penggunaan
silara dan
-
i
aturan dalam
prasama lingkungan yang ada. Untuk penge,mbangan fisik
lingkungan permukiman seharusnya dapat memperhatikan kebututran lingkungan yang
meliputi:
a)
Sarana Lingkungan Permukiman. Sarana lingkungan merupakan pelayanan
umun bagi kebutuhan maqyarakat maka diharapkan pemerintah
daerah
setempat untuk dapat rnerevitalisasi sarana tersebut misalnya kebutuhan 111
arealparkir pada lokasi
ini yang mempertimbangkan
faktor
peretrcanaan
lingkungan bahwa 0,16 m2 / penduduk.
b) Prasarana Lingkungan Perrnukiman c) Pe,ngembangan sektor transportasi perlu dilakukan dalam raogka untuk menciptaklau fungsi dan hirarki jaringan jalan.
d) Pengembangan jalan lokal sekunder yang berfimgsi sebagai si*ulasi pejalatr
kaki dalam lingkungan pennukimaa tersebut. Dimeusi jatan ymg
akan
direnovasi disesuaikan dengan standar perencanaan misalnya derrgrn jal*n setapak mempunyai lebar 2 meter sebesar
3 meter
kecepatan20
-
3 meter, sedangkan jalan
um*
kendaraan
- 4 meter dan jalan kolektore dengan lebar 7 meter de"F"
Km ljem..
e) Pengembangan se}tor persampahan diharapkan dapat dibuatkau
Tps
- Tps
ssuai dengan kebutuhan dan jrrml6h Unit rumah yang ada agar dapat t€r@ta lingkungan pemrukiman yang sehat. Pengembangan sistem drainase meqiadi salah satu yang penting unhrk di
renovasi atau dibangun baru karena hal ini bila tidak menjadi prioritas maka pada musin penghujan baq,ir tidak dapat dihindari dalam lokasi
ini
ttz
DATTAR PUSTAI(A Ahmad, N. (1999). Manajemen Perkotaan (Aktor,Organisasi dan Pengelolaan Daerah Perkotaan di Indonesia). Yogyakarta: Cetakan Pertama, Pustaka Lingkaran Bangsa,.
Ambmdi, Badan
u. M.
dan s. Prihawantoro. 2002. Pengembanganwilayah dan otonomi Daerah. Jakarta:BPPT
Stadff Nasional, 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan Di Perkotaan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. ISSN: 2357-0606 Jurnal Perencanaan Wilayah I Vot.t I No.t I funi ZOt+
Ghalib, R.2005. Ekonomi Regional. Banduug: Pustaka Rarnadhan.
Hamid, dkk.(ed.). 2002. Kawasan Perbatasan Kalimantan Permasalahan dan Konsep Pengembangan. Jakarta: BpKTpW-BppT.
Bilivson. 2004. Struktur Ruang Sebagai Arahan Pengembangan Ekonomi Wilayah Kabupaten Barito Selatan. Tesis, MppWK. Univ. Diponogoro, Semarang.
Dirjen Penaaan Ruang - Dep. Kimpraswil. Sinkronisasi Pe,nataan Ruang Dengan Pembangunan Perumahan Dan permukiman, Makalah pada Orientasi Wartawan Bidang Properti Dan Konstruksi, Bandung 17
Mei 2002. Pemerintah Kota Kendari Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2000 - 2010. Pemda Kota Kendari, 2000.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PrtJM/2009 Tentang pedoman Penyusuuan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, 2009. Soetomo, s. 2009. urbanisasi dan Morfologi. Yogyakarta: Graha lknu. Tarigan, Rabinson.2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Atsara.
113