108 Kabupaten Tangerang. KawasanTotal luas kawasan Jabodetabek 6.665,05 km2 dan luas secara terinci dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas Wilayah Kawasan Jabodetabek Menurut Wilayah Administrasi
No
Kota/Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9
DKI Jakarta Kabupaten Bogor Kota Bogor Kota Depok Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Kabupaten Bekasi Kota Bekasi Jumlah
Luas 2
Km 66.156 294.264 11.218 20.326 109.142 16.387 14.822 113.368 20.822 666.505
% 9,93 44,15 1,68 3,05 16,38 2,46 2,22 17,01 3,12 100,00
Sumber : Hasil Analisa
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah menjadi kota terdinamis di Indonesia.
Hegemoninya telah mempengaruhi perkembangan daerah-daerah
lainnya, terutama daerah sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Interaksi diantara kelima kawasan tersebut berlangsung secara aktif,
sebagaimana layaknya dalam sebuah sel hidup terdapat sinkronisasi antara inti sel dengan organel-organelnya. Secara riil wujud dari interaksi tersebut berupa perjalanan dari masyarakat di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) menuju Jakarta.
Aktifitas perjalanan menuju Jakarta tersebut umumnya
dilakukan dengan cara menglaju, yaitu menjadi penduduk aktif Jakarta di siang hari, namun secara formal kependudukan dan tempat tinggal tetap di Bodetabek. Perjalanan para penglaju ini mengakibatkan kemacetan lalu lintas pada setiap pintu masuk Jakarta di pagi dan sore hari. Jumlah penglaju ini diperkirakan lebih dari 3 juta jiwa setiap harinya. Intensitas interaksi kelima kota tersebut menyebabkan kelimanya secara gabungan disebut sebagai kawasan JakartaBogor-Depok-Tangerang-Bekasi atau disingkat dengan Jabodetabek. Suatu kenyataan bahwa Jabotabek telah menjadi salah satu pusat industri dan jasa terbesar di Indonesia. Jabodetabek menjadi salah satu tumpuan harapan para pencari kerja. Sementara itu secara administratif, wilayah Botabek telah
109 berkembang dari 3 wilayah menjadi 9 wilayah yang memiliki otonomi sendiri. Sebagai sebuah wilayah otonom (UU No. 22 tahun 1999) kabupaten/kota tersebut perlu menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) semaksimal mungkin. Namun demikian, upaya tersebut dapat berdampak buruk terhadap ekologi wilayah hilirnya, yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dan bencana alam. 4.2.
Kondisi Fisik Lahan
4.2.1. Klimatologi Cuaca dan iklim adalah proses interaktif alami (kimia, biologis dan fisis) di alam, khususnya di atmosfer. Hal ini terjadi karena adanya sumber energi, yaitu Matahari dan gerakan rotasi bumi pada poros (kurang 24 jam) serta revolusi Bumi mengelilingi Matahari. Dalam peristiwa ini, pendekatan fisis lebih dominan daripada kimia dan biologis. Cuaca sebagai kondisi udara sesaat dan iklim sebagai kondisi udara rata-rata dalam kurun waktu tertentu merupakan hasil interaksi proses fisis. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu.
Dalam skala waktu
perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Houghton and Filho, 1995). Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tanaman, oleh karena itu iklim merupakan salah satu data yang sangat diperlukan dalam perencanaan wilayah terutama keperluan pertanian. Iklim terutama curah hujan sangat berperan dalam menentukan besar kecilnya aliran permukaan dan erosi, yang pada gilirannya akan menentukan besar debit sungai. Curah hujan juga dimanfaatkan untum memprediksi neraca air sehingga dapat diperoleh jumlah ketersediaan air,
110 Tabel 7. Sebaran Besar Curah Hujan untuk Kawasan Jabodetabek
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Curah Hujan Kurang dari 1500 mm/thn 1500-2000 mm/thn 2000-2500 mm/thn 2500-3000 mm/thn 3000-3500 mm/thn 3500-4000 mm/thn 4000-4500 mm/thn 4500-5000 mm/thn Lebih dari 5000 mm/thn Jumlah
Luas Hektar 52.832 177.918 117.311 91.240 73.518 69.006 16.196 36.317 32.167 666.505
% 7,93 26,69 17,60 13,69 11,03 10,35 2,43 5,45 4,83 100,00
Sumber : Hasil Analisa dengan GIS
Sumber: Hasil digitasi Tim P4W
Gambar 11. Peta Sebaran Besar Curah Hujan untuk Kawasan Jabodetabek.
Dari analisis peta sebaran curah hujan di Jabodetabek pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa hujan tahunan berkisar antara 1500 - 5000 mm per tahun. Daerah DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi dengan curah hujan kurang dari 3000 mm per tahun, sedangkan untuk daerah Bogor dengan curah hujan lebih dari 3000 mm
111 per tahun. Dari data tersebut menunjukan bahwa curah hujan makin tinggi ke arah selatan atau pengunungan. Hal ini dapat dimungkinkan di DKI Jakarta tidak terjadi hujan, tetapi air sungai meluap dan terjadi banjir.
Oleh karena itu dalam
perencanaan sangat penting mempertahankan daerah selatan dengan penutup lahan berupa hutan atau tanaman tahunan.
4.2.2. Morfologi dan Topografi Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 maka Jakarta, Tangerang dan Bekasi termasuk satuan morfologi dataran pantai dan kipas gunung api Bogor.
Dataran pantai yang dicirikan oleh
permukaannya yang nisbi datar dengan ketinggian antara 0 – 15 m di atas permukaan laut. Dataran ini termasuk dataran rendah Jakarta. Sedangkan kipas gunungapi bogor yang menyebar dari selatan ke utara dengan Bogor sebagai puncaknya.
Satuan ini ditempati oleh rempah-rempah gunung api berupa tuf,
konglomerat dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat, berwarna merah kecoklatan. Morfologi kawasan Jabodetabek dibagi menjadi tiga kategori bentuk lahan, yang disesuaikan dengan kondisi ekosistemnya.
Ketiga bentuk lahan
tersebut adalah kawasan pesisir pantai di bagian utara, kawasan dataran di bagian tengah, dan kawasan perbukitan sampai pegunungan di bagian selatan. Ketinggian lahan memiliki kisaran yang sangat bervariasi pada bagian selatan.
Kawasan yang termasuk ke dalam klasifikasi Pesisir Pantai yang
memiliki kriteria topografi yang landai dan elevasi rendah dengan ketinggian antara 0 - 25 meter dpl. Kawasan ini berada di sepanjang Pantai Utara kawasan Jabodetabek, yang meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, DKI Jakarta, dan Kabupaten Bekasi. Kawasan dataran adalah kawasan yang memiliki ketinggian antara 25 - 200 meter dpl dan memiliki topografi bergelombang, yang meliputi Kota Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Tangerang; sedangkan kawasan perbukitan adalah suatu kawasan dengan ketinggian di atas 200 meter dpl dengan topografi berbukit/bergunung, yang meliputi Kota dan Kabupaten Bogor.
112 Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) bahwa kawasan Jabodetabek terletak pada ketinggian antara 0 hingga 1500 m dpl, dengan bentuk wilayah berupa dataran lembah sungai dan perbukitan/pegununganan. Kondisi kelerengan terdiri dari lereng datar hingga curam. Dari analisa peta RBI diperoleh sebaran kelerengan seperti disajikan pada Tabel 7 dan gambar 12.
Tabel 7. Kelas Kemiringan Lereng Kawasan Jabodetabek
No 1 2 3 4 5
Kelas Lerang 0-8% 8 - 15 % 15 - 40 % Lebih 40 % Sungai/Badan Air Jumlah
Luas Hektar 414.099 88.508 75.797 81.132 6.969 666.505
% 62,13 13,28 11,37 12,17 1,05 100,00
Sumber : Hasil Analisa denngan GIS
Sumber: RBI dari Bakosurtanal
Gambar 12. Sebaran Kemiringan Lereng Kawasan Jabodetabek
113 Kondisi kelerengan kawasan Jabodetabek adalah sekitar 62,13 % dari total luas lahan atau sekitar 424.099 Ha berada pada kelerengan datar (0 – 8 %). Berikutnya sekitar 13,28 % dari total luas lahan atau sekitar 88.508 Ha pada kelas lereng 8 – 15%, 11,37 % dari total luas lahan atau sekitar 75.797 Ha pada kelas lereng 15 – 40% dan 12,17 % dari lahan atau sekitar 81.132 Ha pada kelas lereng lebih dari 40 %. Berdasarkan kelerengan kawasan Jabodetabek maka sebagian besar akan diklasifikasikan pada kelas I – III di bagian utara, sedangkan kelas VI – VIII yaitu dengan lereng berkisar 40 % atau lebih menempati kawasan Jabodetabek di bagian selatan.
4.2.3. Geologi Berdasarkan peta geologi lembar Bogor oleh Effendi (1986) yang dikorelasikan dengan peta geologi lembar Jakarta oleh Turkandi (1992) dapat dikelompokan secara sederhana menjadi 3 satuan batuan, yaitu : batuan sedimen tersier, batuan vulkanik dan terobosan dan batuan endapan permukaan. Wilayah Jabodetabek termasuk ke dalam 2 zona fisiografi, yakni zona Bogor, menempati wilayah Bogor yang dicirikan oleh adanya antiklinorium dengan arah barat-timur dan wilayah Sukabumi merupakan kelanjutan dari zona Bandung yang dicirikan oleh adanya tinggian yang terdiri dari sedimen tua menyembul di antara endapan vulkanik. Batas kedua zona tesebut di lapangan tidak terlalu jelas karena tertutup oleh endapan gunung api Kuarter. Batuan tertua menempati initi antiklin yang secara berurutan ditutupi oleh batuan yang lebih muda yang tersingkap pada bagian sayap antiklin di bagian utara dan selatan.
Geologi daerah Jakarta
seluruhnya terbentuk oleh batuan sedimen yang berumur Miosen Awal-Plistosen, batuan vulkanik dan endapan permukaan yang berumur sekarang.
4.2.3.1. Endapan Permukaan a. Satuan Batu Pasir Tufan dan Konglomerat/Kipas Aluvium (Qav) Tuf halus berlapis, tuf konglomerat berselang-seling dengan tuf pasiran dan batu apung. Tuf halus, kelabu muda, berlapis tipis, pejal, merupakan bagian bawah
114 dari satuan ini. Tebal yang tersingkap sekitar 2 m. Sebagian lapisannya memperlihatkan perairan sejajar. Tuf Konglomeratan, putih kekuningan, kemas terbuka, pemilihan buruk, membundar tanggung-membundar sempurna, berbutir 1-3 cm, tersusun oleh andesit dan kuarsa, matrik tuf halus, tebal kira-kira 1,5 m. Tuf pasiran, kelabu muda, pemilihan buruk, berbutir halus-kasar, membundar tanggung-membundar, bersusunan andesitan, bersisipan selang-seling dengan tuf konglomeratan. Tuf batu apung, kuning kecoklatan, kemerahan, mengandung konkresi besi (2-3 cm) dan fragmen batu apung, membundar tanggung sampai membundar, garis tengah 3-5 cm dan kerikil kuarsa yang bundar, menindih langsung tuf konglomeratan, tebal sekitar 3 m. Satuan ini membentuk morfologi kipas dengan pola aliran ”dischotomic”. Pengendapanya diduga pada lingkungan darat, bahan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran Tinggi Bogor. Umur satuan ini diduga Pleistosen Akhir atau lebih muda. Tebal satuan ini diduga sekitar 300 m. Satuan ini terlempar sangat luas, dari selatan ke utara. Di selatan pada lembar Bogor membentuk kipas aluvium (Qa), sedangkan pada lembar Karawang merupakan satuan Konglomerat dan Batu Pasir Tufan (Qav).
Sumber: Peta Geologi lembar Bogor dan Jakarta Skala 1 : 250.000
Gambar 13. Sebaran Formasi Geologi Kawasan Jabodetabek.
115
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tabel 9. Sebaran Formasi Geologi Kawasan Jabodetabek . Luas Formasi Geologi Hektar 181.845 Alluvium 8.988 Miocene Volcanic 4.108 Miocene, Batu Gamping 86.255 Miocene, Sedimentary Facies 13.182 Old Volcanic Materials 23.503 Pleicone, Sedimentary Facies 236.172 Pleistocene Volcanic Facies 1.578 Pleistocene, Sedimentary Facies 110.874 Young Volcanic Materials Jumlah 666.505
% 27,28 1,35 0,62 12,94 1,98 3,53 35,43 0,24 16,64 100,00
Sumber : Hasil Analisa
b. Endapan Pematang Pantai (Qbr) Terdiri dari pasir halus-kasar, warna kelabu tua dan terpilah bagus. Sebarannya berarah timur-barat searah dengan bentuk pasir sekarang. Kenampakan di lapangan sangat sulit dikenal karena sudah tertutup oleh pemukiman. Namun masih tampak pada foto udara, yaitu berupa tanggul dengan morfologi menggelombang. Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena endapan angin yang membentuk onggokan pasir (sand dune).
c. Aluvium (Qa) Terdiri dari lempung pasir, kerikil , kerakal dan bongkahan. Endapan ini meliputi endapan pantai sekarang, endapan sungai dan rawa. Sebaran satuan ini terlampar di sepanjang pantai utara dan di sepanjang lembah sungai besar. Endapan ini menyebar luas ke arah timur pada lembar Karawang yang terdiri dari endapan sungai muda (Qa), endapan dataran banjir (Qaf) dan endapan batu dangkal (Qac).
4.2.3.2. Batuan Sedimen a. Formasi Klapanunggal Terdiri dari batu gamping koral dengan sisipan batu gamping pasiran, napal, batu pasir kuarsa glokonitan dan batu pasir hijau. Batu gamping koral, tersusun dari cangkang moluska dan koral, makin ke atas berubah menjadi batu
116 gamping pasiran, pejal, berlapis, kelabu muda, tebal 20-50 cm, kemiringan 200 dengan arah jurus timur laut-barat daya. Setempat mempunyai retakan dengan kemiringan 50-600 ke arah timur laut. Batu gamping pasiran, kelabu kekuningan, glokonitan, mengandung moluska, foraminifora dan koral, berlapis baik dengan tebal 5-20 cm, kemiringan 20-500, setempat sampai 700 dengan arah jurus timur laut-barat daya. Batu gamping ini berselingan dengan napal dan batu pasir hijau. Beberapa sayatan sisipnya menunjukkan bahwa batu ini mengandung glokonit, moluska, foraminifera, echinodermata dan bahan rombakan berupa kuarsa berhablur tunggal atau banyak, felspar, fragmen batuan andesitan dan granitan, hornblenda, biotit, piroksen, epidot, turnalin dan magnetit yang tersemen oleh sparit dan matrik mikrit. Napal, kelabu, tidak berlapis dan lunak mengandung foraminifera, moluska, berhablur priti, berselingan dengan batu gamping pasiran, tebal 40-200 m. Batu pasir kuarsa glakoinitan, kelabu kehijauan, banyak mengandung kuarsa, berbutir halus hingga sedang, membundar tanggung-bundar, terpilih baik, tebal 40-80 cm, menyisip dengan batu lempung. Berdasarkan bentuk sebaran dan umurnya, formasi ini menjemari dengan kelapanunggal. Nama Formasi Jatiluhur pertamakali diusulkan oleh Effendi (1986) dan menerus ke lembar Karawang dan lembar Bogor.
b. Formasi Bojongmanik (Tmb) Terdiri dari perselingan batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping.
Batu pasir, kelabu kehijauan, berbutir halus-sedang, membundar
tanggung-membundar, terpilih baik, tersusun oleh kuarsa dan banyak glokonit tebal 40-80 cm. Batu lempung, kelabu kebiruan, berlapis baik, berstruktur perairan, agak padat, tebal berkisar antara 10-30 cm. Secara umum formasi ini menunjukkan perlapisan bagus dengan struktur sedimen lapis bersusun, simpang siur dan struktur perairan, yang menunjukkan sedimen ini diendapkan dalam lingkungan air yang berarus. Pada lembar Bogor, Formasi Bojongmanik (Tmb) ini tertindih oleh tuf dan breksi (Tmtb), sedangkan pada lembar Jakarta tuf dan Breksi merupakan bagian dari Formasi Bojongmanik (Tmb).
117 c. Formasi Genteng (Tpg) Terdiri dari tuf batu apung, batu pasir tufan, breksi, andesit, konglomerat dan sisipan lempung tufan. Tuf batu apung warna putih sampai kelabu, berbutir halus hingga kasar, bersifat asam hingga menengah, berlapis baik, mengandung batu apung, kaca gunung api, kuarsa, mika, hornblenda, dan pecahan batuan, tebal batuan sekitar 90 cm, setempat bersisipan tipis tuf debu dan kayu terkesikkan. Batu pasir tufan, kelabu hingga kebiruan, berbutir sedang hingga kasar, mengandung glokonit, kuarsa dan kayu terkesikkan yang melimpah, berstruktur silang siur, tebal lapisan sampai puluhan meter.
Breksi andesit, berstruktur
perlapisan bersusun, berbutir pasir kasar hingga kerakal, menyudut tanggung hingga membundar tanggung, berkomponen andesit basal, batu apung, kuarsa dan gunung api, tebal lapisan dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa tuf dan batu pasir terutama di bagian alasnya. Konglomerat, kelabu tua, agak mampat, berbutir pasir kasar hingga kerakal, membundar hingga membundar tanggung, berlapis baik, berkomponen andesit, kuarsa, batu apung, felspar, batu pasir dengan masa dasar tuf pasiran, berstruktur lapis bersusun, tebal lapisan antara 15-60 cm, terutama pada bagian bawah formasi. Lempung tufan, berwarna kelabu kehijauan, lunak, tebal sekitar 5-10 cm, sebagai sisipan dalam batu pasir. Di dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan stratigrafinya yang menindih tak selaras Formasi Bojongmanik dan ditindih secara selaras Formasi Serpong, maka formasi ini diduga berumur Pliosen awal-pliosen tengah. Nama satuan ini didasarkan persamaan litologi dan penyebarannya di lembar Serang, dengan lokasi tipe di Desa Genteng, sebelah selatan Rangkasbitung, Banten. Nama lain adalah ”Genteng Lagen” (Anonimous, 1938 dalam effendi, 1986) atau ”Genteng Bed” (Van Bemmelen, 1949 dalam effendi, 1986).
d. Formasi Serpong (Tpss) Tersusun oleh perselingan konglomerat, batu pasir, batu lanau, batu lempung dengan sisa tanaman, konglomerat batu apung dan tuf batu apung. Konglomerat, hitam kebiruan, terdiri dari beraneka ragam komponen, yaitu andesit, basal, dan batu gamping. Pada umumnya mengisi bagian yang tererosi pada batuan
118 yang lebih tua (Formasi Bojongmanik). Di bagian atas, konglomerat ini mengandung batu apung yang berukuran lebih kecil dari (3 - 5 cm) dengan matrik pasir tufan. Batu pasir, kelabu kehijauan, halus-sedang, membundar tanggungmembundar baik, pemilihan sedang, sebagian berstruktur silang siur, tebal lapisan 60-200 cm, berselang seling dengan konglomerat. Batu lanau, kelabu kehitaman, berstruktur perairan, mengandung banyak sisa tanaman seperti daun, batang dan tunggul pohon, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 50-300 cm. Batu lempung, kelabu kehitaman, pejal dan berstruktur perairan, mengandung sisa tanaman dan bekas galian binatang, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 30-100 cm. Konglomerat batu apung, putih kekuningan, komponen terdiri dari batu apung andesitan, pemilihan baik, berukuran 3-5 cm, matrik tufan kelabu cerah, berselang seling dengan tuf batu apung. Tuf batu apung, putih, berbutir kasar, pemilihan jelek, membundar tanggung hingga membundar, tersusun dari pasir kasar (lapili) bersusunan andesitan, berstruktur silang siur, semakin ke atas semakin halus dan menjadi tuf halus yang berstruktur perairan, setempat bersisipan pasir hitam. Kemiringan batuan 5-100 dengan arah jurus timur laut-barat daya. Dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih secara tidak selaras Formasi Bojongmanik dan Formasi Genteng, dan ditindih secara selaras oleh batuan vulkanik muda. Diduga Formasi Serpong berumur Pliosen Akhir. Berdasarkan kenampakan batuan, struktur sedimen dan bentuk sebarannya yang di sepanjang sungai, maka formasi ini diduga diendapkan pada sungai tua yang berpola menganyam dan bertanggul (levee), dan sebagian di endapkan pada lingkungan rawa. Tebal lapisan ini sekitar 100 m, sebaran Formasi ini di sepanjang Sungai Cisadane, Sungai Cikeas, Sungai Cileungsi, di Kampung Bodonglio dan Depok.
4.2.3.3. Batuan Gunung Api a. Tuf Banten (QTvb) Terdiri dari tuf, batu apung, breksi dan batu pasir tufan. Tuf kaca, berwarna kelabu, terdiri dari masa dasar kaca, berkomponen felspar, mineral mafik dan
119 sedikit kuarsa, bersusunan andesit dan umumnya mengandung batu apung. Tuf tua, berwarna kelabu gelap, terutama terdiri dari kepingan andesit dan batu apung serta dengan sedikit felspar dengan tuf halus sebagai masa dasar. Tuf hablur, berwarna kelabu putih, tersusun dari felspar, mika, minera, mafik, kaca dan sedikit kepingan andesit serta batu apung.
Breksi batu apung, kelabu kecoklatan,
komponennya menyudut-membundar tanggung, terpilah buruk, kemas agak terbuka dan padu, berukuran 10 cm terdiri dari batu apung, andesit, obsidian dan kaca gunung api. Batu pasir tufan, berwarna putih kelabu, berbutir menengah sampai kasar, agak padat, mengandung batu apung, setempat terdapat sisa tumbuhan, umumnya menmunjukkan perlapisan silang siur. Dijumpai beberapa sisipan tuf batu apung dengan tebal 10-15 cm dan andesit dengan massa dasar tuf berbutir halus. Di dalam satuan ini tidak dijumpai fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih secara tidak selaras Formasi Genteng dan Formasi Serpong, dan ditindih secara selaras oleh batuan gunung api muda, satuan ini diduga berumur Plistosen Awal-Tengah, dan diendapkan dalam lingkungan darat sampai daerah pasang surut. Sebaran satuan ini terutama di bagian barat-laut Lembar, meliputi daerah Tanerang, Bojonglopang, Cipondoh dan Pasir Gadeng. Tebalnya diduga sekitar puluhan meter. Satuan ini merupakan lanjutan dari Tuf Banten dan Lembar Serang.
b. Endapan Gunung Api Muda (Qv) Breksi, lahar, lava bantal, dan tuf breksi berselingan dengan tuf pasir atau tuf halus. Breksi, kelabu kehitaman padat berkomponen andesit berukuran 1-15 cm, menyudut-membundar tanggung, terpilah buruk dengan masa dasar batu pasir kasar bersusunan andesitan. Lahar, kelabu kehitaman, padat, struktur kasar, aliran, permukaan kasar, komponen menyudut-membundar tanggung, terpilah buruk. Lava, berstruktur bantal, kelabu kehitaman, berhablur halus-sedang, porfiritik dengan piroksen dan olivin sebagai fenokris, dan masa dasar dari plagioklas, di beberapa tempat berstruktur berongga (Amigdaloidal) yang diisi oleh kalsit.
120 Tuf Breksi, kelabu-coklat, sebaran komponen 0,5-20 cm, tidak merata, terpilah buruk, kemas agak terbuka, komponen dari andesit, batu apung, gelas atau pasir gunung api dan mineral terang, tebalnya beberapa meter. Batuan gunung api ini diduga plistosen dan diendapkan dalam lingkungan darat, diperkirakan dari sumber Gunung Sudamanik. Di lembar Bogor (Effendi, 1986), satuan ini disebut sebagai vulkanik tua tak terurai (Qvu). Tebal lapisan beberapa puluh sampai ratusan meter. Sebarannya di sekitar Sungai Cipangaur dan Sungai Cimanceuri. Adanya lava berstruktur bantal menunjukkan bahwa lava ini tidak jauh dari sumbernya dan diendapkan dalam lingkungan air. Endapan gunung api muda ini menyebar ke Lembar Bogor sebagai aliran lava (Qv) dan batuan Gunung Api tua tak dipisahkan (Qvu).
c. Andesit Sudamanik (Qvas) Terdiri dari andesit. Andesit kelabu kehitaman, padat, porfiritik dengan piroksen, hornblenda dan plagioklas sebagai fenokris dan bermassa dasar felsfar. Di beberapa tempat berstruktur meniang atau ”sheeting”. Batuan ini membentuk kerucut tumpul di Gunung Sudamanik dan kerucut kecil-kecil di sekitarnya. Diduga bahwa kerucut ini merupakan sumbat gunung api (”volcanic neck”) atau “parasiticone” dari Gunung Sudamanik. Umur batuan ini diduga sama dengan atau lebih muda dari endapan gunung api (Qv), yaitu Plistosen.
4.2.4. Hidrologi Dalam perencanaan suatu areal, informasi mengenai kondisi hidrologi sangat diperlukan. Pola drainase di pegunungan/perbukitan umumnya dendritik, sedangkan di dataran rendah sungai ini bermeander. Secara garis besar dijumpai 2 sistem perairan alami yaitu perairan hulu (hinterland drainage) dan perairan pantai (seawater drainage). Masing-masing sistem mempunyai karakteristik yang khas, baik ditinjau dari daerah asal, kualitas air, maupun pola drainasenya. Keadaan hidrologi umumnya berkaitan erat dengan keadaan fisiografi daerah ini dan berpengaruh langsung terhadap sumberdaya lahan dan potensinya. Sistem hidrologi di Jabodetabek terdiri atas :
121 1.
Air permukaan, yaitu diartikan sebagai air yang mengalir atau muncul di permukaan. Aliran air permukaan yang terdapat di wilayah ini berupa aliran sungai Ciliwung, Cisadane, Cikeas, Angke dan sungai Pesanggrahan. Ada juga saluran-saluran alam yang dialiri air sepanjang tahun sebagai penampung drainase lokal. Saluran semacam ini cenderung meluap pada musim hujan sehingga daerah hilir akan terjadi banjir.
2.
Air Tanah, air tanah di wilayah Jabodetabek secara kualitas dalam kondisi cukup baik, hal ini menyebabkan banyak penduduk yang masih menggunakannya sebagai air bersih. Air tanah dangkal, debit air tanah berkisar antara 3 – 10 liter/detik/km². Air tanah ini cenderung diambil secara berlebihan di sepanjang jalan-jalan utama terutama oleh industri/pabrik.
4.2.5 Jenis Tanah Secara umum penyebaran dan sifat-sifat tanah berkaitan erat dengan keadaan landformnya. Hal ini terjadi karena hubungannya dengan proses genetis dan sifat batuan atau bahan induk
serta pengaruh sifat fisik lingkungan.
Landform sebagai komponen lahan
dan tanah sebagai elemennya sangat
tergantung pada faktor-faktor tersebut. Dilihat dari data jenis tanah berdasarkan keadaan geologi, di wilayah Jabodertabek sebagian besar terdiri dari batuan endapan hasil gunung api muda dengan jenis batuan kipas aluvium dan aluvium/aluvial. Sedangkan dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di Jabodetabek berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan cocok untuk pertanian/ perkebunan. Jenis tanah yang sangat sesuai dengan kegiatan pertanian tersebut makin lama makin berubah penggunaannya untuk kegiatan lainnya yang bersifat non-pertanian. Secara Umum, keragaman jenis tanah di kawasan Jabodetabek sangat tinggi. Hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor lereng, batuan induk, dan iklim yang bervariasi. Pada daerah sekitar bagian selatan, jenis tanah didominasi oleh kompleks tanah Latosol Merah-Kuning dan Latosol Coklat yang merupakan pengaruh dari hasil erupsi gunung api, baik kompleks Gede-Pangrango maupun Salak.
122
Sumber:Hasil digitasi Tim P4W
Gambar 14. Sebaran Jenis Tanah di Kawasan Jabodetabek
Tabel 10 Sebaran Jenis Tanah di Kawasan Jabodetabek No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Tanah
Aluvial kelabu tua Andosol Asosiasi andosol dan regosol Asosiasi hidromorf kelabu& planosol Asosiasi kelabu tua & aluvial coklat kekelabuan Asosiasi kelabu tua & gley humus rendah Asosiasi latosol coklat, regosol Asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan Asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan & laterit Asosiasi podzolik kuning dan hidromorf kelabu Grumusol Kompleks latosol merah kekuningan,latosol coklat, podzolik Kompleks podzolik merah kekuningan,podzolik kuning & regosol Latosol merah Podzolik kuning Podzolik merah Regosol coklat Renzina Jumlah Sumber : Hasil Analisa dengan GIS
Luas Hektar % 54.798 8,22 11.684 1,75 8.640 1,30 9.057 1,36 58.096 8,72 11.155 1,67 4.179 0,63 101.753 15,27 120.373 18,06 33.382 5,01 12.992 1,95 97.904 14,69 11.391 1,71 65.826 9,88 47.434 7,12 7.814 1,17 1 0,00 10.027 1,50 666.505 100,00
123 Wilayah pesisir pantai Jakarta secara umum terbentuk oleh jenis tanah yang sangat terpengaruh oleh aktivitas air, seperti Gley Humus, sehingga warna tanah cenderung kelabu. Pesisir pantai Bekasi umumnya dibentuk oleh asosiasi tanah Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu. Pantai Tangerang banyak memiliki sungai yang cukup besar, sehingga akan dijumpai jenis tanah Aluvial Kelabu Tua. Beberapa tempat dijumpai jenis tanah lain, seperti: kompleks Podsolik Merah-Kuning (terutama pada daerah Citeureup-Gunung Putri), Grumusol (sekitar Cariu-Jonggol), dan Podsolik Merah. Pada bagian dataran, tanah yang sering dijumpai adalah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan, dan Laterit. Asosiasi ini menempati daerah yang paling luas pada bagian dataran. Sementara bagian dataran rendah didominasi oleh jenis tanah Latosol Merah yang mencakup sebagian besar wilayah DKI Jakarta. 4.2.6. Penutupan Lahan
Penutupan lahan kawasan Jabodetabek berdasarkan interpretasi citra satelit TM7 path 122 Row 64 dan 65 pada tahun 2009 sebagian besar adalah lahan terbangun dapat berupa permukiman, perkantoran, jasa dan industr yaitu seluas 237.267,91 Ha atau 35,60 % dari 666.505 Ha. Sawah seluas 74.528,68 Ha (11,18 %), Kebun campuran 112.350,45 Ha (16,86 %), Tegalan seluas 92.385,91 ha atau 13,86 % dan hutan 57.468,81 ha (8,62 %). Perincian penggunaan lahan terlihat pada Tabel 11 dan sebarannya pada Gambar 15. Tabel 11. Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Penggunaan Lahan Badan air Bangunan Hutan Kebun Campuran Ladang/Lahan Kering Rumput Sawah Semak Jumlah
Sumber : Hasil Analisa dengan GIS
Luas Hektar 13.188,58 237.267,91 57.468,81 112.350,45 92.385,91 74.528,68 79.314,66 666.505
% 1,98 35,60 8,62 16,86 13,86 11,18 11,90 100
124
Sumber: Hasil interpretasi cita TM7 tahun 2009
Gambar 15. Sebaran Penggunaan Tana Kawasan Jabodetabek tahun 2009 4.2.7. Sarana Transportasi berupa Jalan Transportasi adalah pergerakan orang/barang dari satu lokasi ke lokasi lain, artinya peningkatan layanan transportasi adalah peningkatan kelancaran (cepat, aman, nyaman) pergerakan orang/barang dibandingkan dengan kelancaran arus lalu lintas kendaraan (kosong). Transportasi bukan merupakan suatu tujuan akhir, melainkan turunan dari permintaan, misalnya pergerakan untuk tujuan kerja, rekreasi, pengumpulan bahan baku, distribusi barang produk, dan lain-lain. Pergerakan orang/barang antar lokasi tersebut dalam skala lokal sampai global, misalnya pergerakan antar pusat kegiatan dalam suatu kota sampai pergerakan antarnegara. Selama fasilitas/layanan ”door-to-door” dari lokasi asal ke lokasi tujuan belum terwujud sebagai satu sistem yang lengkap, maka fasilitas dan layanan transportasi belum berfungsi secara baik.
Sebaliknya, fasilitas dan layanan
transportasi mengecil perannya bila berbagai tujuan pergerakan orang/barang (untuk belanja, bekerja) telah terpenuhi dalam satu lokasi. Untuk skala metropolitan, tujuan akhir dari transportasi adalah terpenuhinya permintaan pergerakan orang/barang dalam rangka menunjang kesejahteraan
125 masyarakat metropolitan terkait, yakni untuk menuju terwujudnya metropolitan yang nyaman sebagai tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat rekreasi. Selanjutnya, bagaimana transportasi dapat menunjang terwujudnya suatu wilayah metropolitan yang sejahtera tergantung dari karakteristik wilayah terkait. Untuk menuju pemukiman atau tempat tinggal, maka jaringan jalan darat merupakan sarana transportasi paling utama adalah jalan. Jaringan jalan utama dapat dilihat seperti gambar 16. Jaringan terdiri dari jalan tol yaitu tol dalam kota Jakarta (lingkar dalam dan lingkar luar), tol Jakarta – Merak, tol Jakarta – Cikampek – Bandung, tol Jakarta – Bogor, serta jalan-jalan arteri yang menghubungkan antar wilayah dalam kawasan Jabodetabek.
Namun demikian
jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan yang ada, komposisi kendaraan yang lalu lalang di Jakarta juga tidak seimbang. Dari jumlah itu, kendaraan pribadi mencapai lebih dari 90 persen, mulai dari sepeda motor, mobil berumur tua, hingga mobil-mobil mewah. lahan yang dibutuhkan sepanjang 12.800 kilometer. Jumlah ini tidak akan bisa tertampung pada ruas jalan yang tersedia. Selain itu, setiap hari terdapat kendaraan yang masuk dari daerah-daerah sekitar Jakarta yang berjumlah lebih dari 1,2 juta.
Sumber:Ditjend Penataan Ruang (2005)
Gambar 16. Jaringan Jalan Kawasan Jabodetabek
126 4.3.
Penduduk dan Ketenagakerjaan
4.3.1. Jumlah Penduduk Penduduk Jabodetabek pada tahun 2009 berjumlah 26.121.671 jiwa dengan komposisi 9.223.000 jiwa penduduk DKI Jakarta, kemudian Kabupaten Bogor 4.477.344 jiwa, Kota Bogor 946.204 jiwa, Kabupaten Tangerang 2.565.279 jiwa, Kota Tangerang 1.652.590 jiwa, Kota tangerang selatan 1.108.943 jiwa, kabupaten Bekasi 2.274.842 jiwa, Kota bekasi 2.336.489 jiwa dan Kota Depok sebanyak 1.536.359 jiwa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12 Berdasarkan data pada Tabel di bawah pertambahan penduduk pada tahun 2002- 2006 mencapai 1.522.785 jiwa kemudian pada tahun 2006 -2009 menurun. Kabupaten Tangerang pada tahun 2006 – 2009 pertumbuhan penduduk menjadi negatif karena pada tahun tersebut terjadi pemekaran yaitu Kota Tangerang Selatan. Dilihat dari tren yang ada, maka angka pertumbuhan penduduk rata-rata mencapai 3,82 % per tahun, dimana pada tahun 2002 – 2006 angka pertumbuhannya mencapai 3,57 % untuk DKI Jakarta dan 3,39 % untuk Jabodetabek, sedangkan pada tahun 2006 – 2009 angka pertumbuhannya mencapai 3,39 % untuk DKI Jakarta dan 0,66 % untuk Jabodetabek.
Tabel 12. Sebaran Penduduk Jabodetabek pada Tahun 2002, 2006 dan 2009 (Jiwa) No
Tahun
Wilayah
Pertambahan
2002
2006
2009
1 DKI Jakarta
7.456.931
8.979.716
9.223.000
1.522.785
243.284
2 Kab Bogor
3.871.288
4.215.436
4.477.344
344.148
261.908
3 Kota Bogor
748.353
879.138
946.204
130.785
67.066
4 Kab Tangerang
2.525.385
3.117.141
2.565.279
591.756
(551.862)
5 Kota Tangerang
898.221
1.329.289
1.652.590
431.068
323.301
6 Kota Tangerang Selatan
2002-2006
1.108.943
2006-2009
1.108.943
7 Kab Bekasi
1.556.278
2.054.795
2.274.842
498.517
220.047
8 Kota Bekasi
1.483.054
1.726.435
2.336.489
243.381
610.054
9 Kota Depok
953.121
1.420.480
1.536.980
467.359
116.500
19.492.631
23.722.430
26.121.671
Jumlah
Sumber : BPS dan Hasil Analisa
127 4.3.2. Kepadatan Penduduk Dengan luas Jabodetabek kurang lebih sebesar 6.665,05 Km2, kepadatan penduduk di Jabodetabek pada tahun 2009 rata-rata mencapai 3.919,20 orang/Km2 dengan perincian 13.941,29 jiwa/km2 untuk DKI Jakarta, kemudian Kabupaten Bogor 1.521,54 jiwa/Km2, Kota Bogor 8.434,69 jiwa/Km2, Kabupaten Tangerang 2.350,40 jiwa/Km2, Kota Tangerang jiwa/Km2, Kota Tangerang Selatan 7.481,74 jiwa/Km2, Kabupaten Bekasi 2.006,60 jiwa/Km2, Kota Bekasi 11.221,25 jiwa/Km2 dan Kota Depok sebanyak 7.561,65 jiwa/Km2. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Kepadatan Penduduk Jabodetabek Tahun 2002, 2006 dan 2009 No
Kota/Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9
DKI Jakarta Kabupaten Bogor Kota Bogor Kota Depok Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Kabupaten Bekasi Kota Bekasi
Jumlah Sumber : BPS dan Hasil Analisa
Luas 2
(Km ) 661,56 2.942,64 112,18 203,26 1.091,42 163,87 148,22 1.133,68 208,22 6.665,05
2002 11.271,74 1.315,58 6.671,00 4.689,17 2.313,85 5.481,30 1.372,77 7.122,53 2.924,60
Tahun (Jiwa) 2006 13.573,55 1.432,54 7.836,85 6.988,49 2.856,04 8.111,85 1.812,50 8.291,40 3.559,23
2009 13.941,29 1.521,54 8.434,69 7.561,65 2.350,40 10.084,76 7.481,74 2.006,60 11.221,25 3.919,20
4.3.3 Ketenagakerjaan Penduduk yang bekerja di DKI Jakarta setiap tahunnya terus mengalami perkembangan yang meningkat dimana pada tahun 2002 sebanyak 2.377.268 sedangkan tahun 2009 sebanyak 4.118.390 jiwa. Penduduk yang bukan angkatan kerja mulai tahun 2002 sampai dengan 2009 hampir stabil dimana pada tahun 2009 sebanyak 2.351.354 jiwa. Angka pengangguran di DKI Jakarta pada tahun 2009 mencapai 6,8%. Pencari pekerjaan di DKI Jakarta pada tahun 2002 sebanyak 285.384 jiwa dan pada tahun 2009 sebanyak 569.337 jiwa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14
128 Tabel 14. Perkembangan Jumlah Ketenagakejaan di DKI Jakarta Tahun 2002 – 2009 (Jiwa)
2002
Bekerja (Jiwa) 2.377.268
Mencari Pekerjaan (Jiwa) 285.384
Bukan Angkatan Kerja (Jiwa) 2.458.280
2003
2.298.477
581.592
2.489.013
2004
3.497.359
602.741
2.520.129
2005
3.565.331
615.917
2.447.567
2006
3.531.799
590.022
2.449.913
2007
3.842.944
552.380
2.371.599
2008
4.191.966
580.511
2.176.604
2009
4.118.390
569.337
2.351.354
Tahun
Sumber : BPS 2002 – 2009
Tabel 15. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di DKI Jakarta pada Tahun 2002 – 2009 (Jiwa) No
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1
Pertanian
13.808
17.232
20.655
19.651
22.543
25.434
19.171
17.747
2
Pertambangan dan penggalian Industri dan pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan
10.457
9.997
9.536
2.953
9.410
4.091
12.742
11.853
643.677
686.877
730.076
698.782
556.086
585.427
712.079
627.961
12.823
13.516
14.208
9.072
12.733
11.058
15.077
10.599
130.956
138.330
145.704
174.426
162.717
159.462
171.112
164.607
Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan dan jasa persewaaan dan jasa persh Jasa-jasa
1.215.143
1.229.673
1.244.202
1.391.304
1.404.854
1.386.020
1.401.775
1.555.412
283.471
297.044
310.616
326.539
295.724
320.577
340.988
408.373
183.008
199.686
216.363
172.938
233.238
219.709
306.896
289.772
774.183
790.091
805.999
769.666
834.494
831.250
1.075.136
1.100.632
Jumlah
3.267.526
3.382.443
3.497.359
3.565.331
3.531.799
3.543.028
4.054.976
4.186.956
3 4 5 6
7
8
9
Sektor
2002
2003
Sumber : BPS tahun 2002 – 2009.
Jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama (sektor) di DKI Jakarta pada tahun 2002 – 2009 setiap tahunnya meningkat. Pada tahun 2009, sektor Perdagangan,
129 hotel dan restoran menyerap tenaga kerja paling tinggi yaitu 1.555.412 orang kemudian sektor jasa 1.100.632 orang dan sektor industri dan perdagangan sebanyak 627.961 orang. Sebaran Jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama dapat dilihat pada Tabel 15. 4.4. Kondisi ekonomi Struktur perekonomian dapat dilihat dari komposisi PDRB suatu wilayah yang merupakan suatu indikator pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, wilayah yang diteliti adalah Indonesia yang terdiri dari DKI Jakarta, Bodetabek, dan Sisa Indonesia. DKI Jakarta didominasi oleh sektor tersier yaitu sektor bank dan lembaga keuangan lainnya yang sangat kuat yaitu sebesar 75.09%, serta sektor jasa hiburan dan rekreasi sebesar 53.85% dari total nasional. Jika dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yang hanya 0.03% serta jumlah penduduk sebesar 4.14% dari total Indonesia, maka sektor-sektor tersebut mendominasi di DKI Jakarta, dengan kata lain DKI Jakarta merupakan pusat dari sektor-sektor tersebut. Wilayah Bodetabek didominasi oleh sektor sekunder yaitu sektor listrik, gas, dan air minum sebesar 17.56%, serta sektor industri sebesar 17.22% dari total nasional. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah Bodetabek yang hanya sebesar 0.32% serta jumlah penduduk sebesar 6.93% dari total Indonesia maka dapat dilihat bahwa sektor- sektor tersebut sangat mendominasi di Bodetabek. Sementara itu perekonomian diluar DKI Jakarta dan Bodetabek, yaitu Rest of Indonesia masih didominasi oleh sektor primer yaitu sektor tanaman perkebunan sebesar 99.81%, serta sektor kehutanan sebesar 99.97% dari total nasional. Dibandingkan dengan keadaan nasional kegiatan ekonomi di DKI Jakarta dan Bodetabek sudah lebih dahulu bergeser dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier. Adanya perbedaan intensitas kegiatan ekonomi secara sektoral,
menunjukkan
adanya perbedaan struktur kegiatan
produksi.
Hal
ini berimplikasi pada perbedaan dalam penggunaan input produksi, teknologi produksi dan keahlian sumberdaya manusia.
Untuk selanjutnya berimplikasi
pada pola hubungan ekonomi antar wilayah yang menentukan keterkaitan ekonomi secara sektoral maupun spasial antar wilayah.
130 Dilihat tersebar
dari
proporsi
luas
wilayah
dan
jumlah
penduduk
yang
di Indonesia, serta perbedaan sektor-sektor yang dominan di setiap
wilayah, maka terlihat jelas bahwa di Indonesia telah terjadi ketimpangan pembangunan. Pembangunan yang berkembang hanya di wilayah Jabodetabek, khususnya DKI Jakarta, dengan ciri sektor yang dominan adalah sektor tersier dan sekunder. Sedangkan wilayah Rest of Indonesia masih didominasi oleh sektor primer.
Apabila ketimpangan yang ada tidak diperbaiki, akan mengakibatkan
kesenjangan yang semakin lebar sehingga banyaknya penduduk bermigrasi ke DKI Jakarta yang merupakan pusat pembangunan di Indonesia yang cukup berkembang. Tabel 16.
Kontribusi Output dan Input di Masing-masing Wilayah di Indonesia, 2009 (dalam Persen)
No
Input/Output
DKI Jakarta
Bodetabek
Rest of Indonesia
Indonesia
1
DKI Jakarta
85,10
0,58
14,32
100,00
2
Bodetabek
4,18
78,67
17,15
100,00
3
Rest of Indonesia
8,09
2,28
89,64
100,00
Sumber : Hasil analisa table IRIO tahun 2002 yang di update tahun 2009 dengan RAS
Berdasarkan hasil analisis input output interregional Tahun 2009, kontribusi input dan output di DKI Jakarta, Bodetabek, serta Sisa Indonesia dapat ditunjukkan bahwa keterkaitan yang ada di Indonesia sangat lemah. Pemanfaatan output untuk wilayah lainnya, di DKI Jakarta sebesar 85,10 %, Bodetabek sebesar 78,67 %, serta Sisa Indonesia sebesar 89,64 % terhadap total output nasional. Output DKI Jakarta yang digunakan untuk aktivitas (input) di Bodetabek adalah 0,58 % dan di sisa Indonesia sebesar 14,32 % terhadap total output nasional. Sedangkan output Bodeabek yang digunakan untuk aktivitas (input) di DKI Jakarta sebesar 4,18 % dan di sisa Indonesia sebesar 17,15 % terhadap total output nasional. Output di sisa Indonesia yang digunakan untuk aktivitas (input) di DKI Jakarta adalah 8,09 % dan di Bodetabek sebesar 2,28 % terhadap total output nasional.
131 Tabel 17 Permintaan Antara dan Akhir serta Output di Masing-masing Wilayah di Indonesia (Juta Rupiah)
No
Wilayah DKI Jakarta Bodetabek Sisa Indonesia
1 2 3
Jumlah Permintaan Antara
2002 Jumlah Permintaan Akhir
Jumlah Permintaan Antara
2009 Jumlah Permintaan Akhir
167.362.693
271.565.864
438.928.557
263.439.083
595.482.421
858.921.504
123.120.938
123.362.413
246.483.351
193.799.863
151.380.337
345.180.200
1.092.690.238
1.588.239.727
2.680.929.965
1.719.961.055
2.891.000.000
4.610.961.055
Output
Output
Sumber : Hasil analisa table IRIO tahun 2002 yang di update tahun 2009 dengan RAS
Distribusi permintaan akhir dapat dilihat pada Tabel 1 7 .
Untuk DKI
Jakarta, kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 33,20 persen, konsumsi pemerintah sebesar 3,23 persen, investasi sebesar 21,03 persen, serta ekspor luar negeri sebesar 41,52 persen
terhadap
permintaan
akhir
nasional.
Sedangkan di Bodetabek, kontribusi konsumsi rumah anggaran sebesar 22,71 persen, konsumsi pemerintah sebesar 1.98 persen, investasi sebesar 8,39 persen, serta ekspor luar negeri sebesar 10,08 persen terhadap permintaan akhir nasional. Tabel 18 Distribusi Permintaan Akhir terhadap Total Permintaan Akhir (%) No
Permintaan Akhir
DKI Jakarta
Bodetabek
Sisa Indonesia
Total
1 2
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah
33,20 3,23
22,71 1,98
43,20 6,78
40,71 6,00
3
Investasi
21,03
8,39
17,64
17,81
4 5
Perubahan Stok Ekspor Luar Negeri
57,45 41,53
33,09 10,08
67,62 32,24
64,52 32,84
Jumlah Permintaan Akhir
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber : Hasil analisa data BPS tahun 2009
Berdasarkan total final demand nasional, proporsi konsumsi rumah tangga di DKI Jakarta sebesar 13,35 persen terhadap total konsumsi rumah tangga nasional.
Proporsi konsumsi pemerintah di DKI Jakarta sebesar 8,81persen
terhadap total konsumsi pemerintah nasional.
Untuk penyerapan investasi di
DKI Jakarta sebesar 19,32 persen terhadap penyerapan investasi nasional. Hal ini terlihat sangat mencolok sekali apabila dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta hanya 0.03% dari total luas wilayah Indonesia.
Sedangkan
proporsi konsumsi rumah tangga di Bodetabek sebesar 2,32 persen terhadap total konsumsi rumah tangga nasional. Proporsi konsumsi pemerintah di
132 Bodetabek sebesar 1,38 persen terhadap Untuk penyerapan investasi di Bodetabek penyerapan investasi nasional.
total konsumsi pemerintah nasional. sebesar
1,98
persen
terhadap
Begitu pula dengan Bodetabek, luas wilayah
Bodetabek hanya 0.32% dari total luas wilayah Indonesia. Tabel 19 Distribusi Permintaan Akhir di Masing-Masing Wilayah (%) No 1 2 3 4 5
Permintaan Akhir
DKI Jakarta
Bodetabek
Sisa Indonesia
Total
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Perubahan Stok Ekspor Luar Negeri
13,35 8,81 19,32 14,58 20,70
2,32 1,38 1,96 2,13 1,28
84,33 89,82 78,71 83,29 78,02
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Jumlah Permintaan Akhir
16,37
4,16
79,47
100,00
Sumber: Hasil Analisis data BPS tahun 2009.
Pada Tabel 19 disajikan nilai sumbangan kelima sektor besar tersebut pada perekonomian DKI Jakarta secara berurutan adalah sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, industri, perdagangan, usaha bangunan dan jasa perusahaan, serta bangunan. Lima sektor produksi terbesar di Bodetabek secara berurutan adalah sektor industri, perdagangan, listrik dan air minum, bangunan, serta restoran dan hotel.
4.5. Kelembagaan Kawasan metropolitan atau metropolis sebagai kawasan fungsional yang bersifat metropolitan memerlukan perhatian khusus dari sisi pengelolaannya. Oleh karena sifat fungsional perkotaannya yang lintas batas wewenang administratif, maka pengelolaan tidak dapat dilakukan secara legal formal oleh tiap-tiap daerah otonom pemegang kekuasaan otoritas administratif, khususnya dalam penataan ruang, tanpa menimbulkan eksternalitas ke daerah lainnya. Jika yang terdorong adalah eksternalitas positif, tentunya tidak akan banyak timbul persoalan di antara tiap-tiap daerah, dan juga di antara masyarakat dalam lingkup kawasan metropolitan tersebut. Sayangnya, justru berbagai eksternalitas yang negatif yang seringkali muncul ke permukaan, sebagai implikasi dari tuntutan layanan fasilitas, utilitas,
133 serta infrastruktur yang bersifat makro – lintas daerah, lintas fungsi, dan lintas dampak. Oleh karena itulah muncul usaha untuk menginternalisasi berbagai eksternalitas penataan ruang yang timbul dari kebutuhan penyediaan pelayanan jasa dan produk yang bersifat “inter-local public goods/services” kedalam pembentukan suatu institusi kawasan secara lebih luas. Tingkat kebutuhan akan institusi ini akan hampir sama besarnya dengan tingkat kebutuhan kita atas ada/ tersedia dan berfungsinya infrastuktur, fasilitas, dan utilitas dasar makro untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupan penduduk kawasan metropolitan itu sendiri. Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari kawasan perkotaan dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan sebagai kawasan metropolitan yang perlu
dikelola
secara
khusus dalam berbagai rancangan peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan yang jelas batas dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan dalam mengelola suatu kawasan metropolitan akan tergantung kepada: Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti didukung oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola metropolitan; Kedua, aturan hukum yang lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan applicable. Penegakan hukum mesti dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara jujur dan bersih.
134 Meskipun masyarakat yang tinggal di berbagai kawasan metropolitan di seluruh dunia sepakat membutuhkan suatu bentuk kelembagaan dan lembaga formal untuk menjamin terselenggaranya dan/ atau terpenuhinya standar tingkat layanan makro yang dibutuhkannya, tetapi dapat dipastikan tidak ada bentuk kelembagaan dan/ atau lembaga metropolitan yang persis sama di dunia ini. Hal yang paling dekat diketemukan adalah kemiripan saja antara satu dengan lainnya dalam beberapa aspek sehingga kemudian dijadikan alat pengklasifikasian untuk mengelompokkan bentuk atau format lembaga- lembaga metropolitan tersebut. Derasnya pembangunan Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara, menyebabkan terjadinya peluapan (spillover) perkembangan kota ke wilayah di sekitarnya, sehingga terjadilah berbagai alih fungsi peruntukan di kota-kota sekitar Jakarta. Sementara itu, belum ada perencanaan terpadu di kawasan sekitar Jakarta, yang didasarkan kepada satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi. Sehingga, diperlukan pemahaman untuk mengelola bersama dalam kerangka kerjasama antardaerah yang telah ditetapkan mekanisme dan sistemnya oleh peraturan yang berlaku. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta Kabupaten dan Kota di Bodetabekjur harus duduk bersama dan menyamakan persepsi serta tujuan bersama mengenai pentingnya Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional ini. Ego dan kepentingan-kepentingan kedaerahan yang berbenturan dengan Peraturan ini, harus dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar. Perpres nomor 54/2008 bukan untuk kepentingan satu wilayah saja, melainkan kepentingan bersama daerah di Wilayah Jabodetabekjur dan kepentingan nasional pada umumnya. Kota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pusat segala jenis kegiatan baik ekonomi, hiburan, pendidikan, kesehatan serta jasa merupakan gerbang utama penghubung dengan dunia internasional di era globalisasi ini. Kenyataan tersebut memberikan konsekuensi agar Jakarta mengembangkan diri baik secara fisik maupun cakupan pelayanan. Pengembangan Kota Jakarta berdampak terhadap Kabupaten dan Kota di sekitarnya baik yang berbatasan langsung maupun tidak. Berangkat dari latar belakang diatas maka pada tahun 1976 Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat sepakat untuk
135 melaksanakan kerjasama antar wilayah yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Kerjasama ini ditandai dengan didirikannya Badan Kerjasama Pembangunan Jabotabek. Seiring dengan isu otonomi daerah yang diikuti dengan munculnya daerah-daerah administrasi baru (seperti terbentuknya Provinsi Banten) maka badan kerjasama tersebut berganti nama menjadi Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur yang dikenal saat ini. Namun, 30 tahun sejak didirikan, BKSP Jabodetabekjur belum memperlihatkan keefektifannya. Hal ini terbukti dengan tidak tercapainya tujuan awal didirikannya BKSP Jabodetabekjur yang ditunjukkan dengan makin parahnya persoalanpersoalan bersama di kawasan ini. Persoalan kawasan Jabodetabekjur diantaranya, bencana banjir tahunan, berkurangnya ruang terbuka hijau, meningkatnya permukiman kumuh di perkotaan merupakan sebagian dari setumpuk persoalan yang belum dapat diselesaikan oleh BKSP Jabodetabekjur. Diasumsikan, belum terwujudnya tujuan BKSP Jabodetabekjur dapat disebabkan oleh ketidakpatuhan BKSP Jabodetabekjur dalam melaksanakan tugas pokoknya Pada Pemerintah daerah yang bekerjasama, badan ini melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) masalah seluruh aspek Jabotabek. Pada hubungan dengan Pemerintah Pusat, badan ini menjadi representasi daerah yang bekerjasama dalam melakukan konsultasi kepada Pemerintah Pusat mengenai seluruh aspek pembangunan Jabodetabekjur. Kemudian berbagai peraturan penataan kawasan Jabodetabek telah dibuat. Pola dan struktur ruang Jabodetabek beberapa kali telah berubah dan yang terakhir berupa Perpres no 54 tahun 2008, yang banyak mengacu pada undang-undang tata ruang. Perpres nomor 54/2008, secara jelas mengatur dan mendorong keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan.
Selanjutnya untuk mengkoordinasikan kebijakan kerjasama
antardaerah serta melaksanakan pembinaan yang terkait dengan kepentingan lintas Provinsi/Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan dan/atau difasilitasi oleh badan kerjasama antardaerah. Untuk menterpadukan pemanfaatan ruang yang optimal di kawasan Jabodetabekjur yang terdiri dari 3 Pemerintah Provinsi dan 8 Kabupaten/Kota, Pemerintah daerah perlu melakukan kerjasama dimulai dari proses perencanaan,
136 pelaksanaan dan pengendalian pembangunan serta pemanfaatan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Ini perlu, agar para pelaku pembangunan memiliki sudut pandang yang sama terhadap permasalahan yang ada dan menetapkan skala prioritas pembangunan yang setara. Manajemen tata ruang Jabodetabekjur yang terpadu harus dapat diwujudkan, agar masalah-masalah pelik Kawasan Jabodetabekjur, seperti banjir, penyediaan air bersih, permukiman, penanganan sampah, penataan transportasi, perekonomian, sosial budaya dan lain-lain, dapat diatasi bersama. Apalagi kerjasama antardaerah di wilayah Jabotabek sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1976. Namun dengan semakin berkembangnya pembangunan, kelembagaan kerjasama antardaerah yang ada, dirasakan kurang optimal.
V. ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KETERSEDIAAN LAHAN 5.1. Pola Perubahan Penggunaan Lahan Penelitian ini menganalisa perubahan sebaran penutupan lahan di wilayah Jabodetabek.
Dengan melihat peta penutupan lahan wilayah Jabodetabek dari
tujuh titik tahun yaitu, tahun 1972, 1983, 1992, 2000, 2002, 2005 dan tahun 2009 (Gambar 1) sudah dapat terlihat bagaimana sebaran penutupan lahan di wilayah Jabodetabek tersebut. Penutupan lahan Kawasan Jabodetabek pada tahun 1972 didominasi oleh sawah, kebun campuran, dan ladang yang mendominasi hampir di seluruh wilayah Jabodetabek. Pada tahun 1983, penutupan lahan yang ada pada wilayah Jabodetabek mulai terlihat perubahannya dimana lahan terbangun telah menyebar ke bagian timur, barat, dan selatan Jakarta tetapi penyebaran ruang terbangun ini belum terlalu memberikan pengaruh terhadap penutupan lahan yang lain. Lahan terbangun Kota Bogor, Kota Bekasi Bekasi dan Kota Tangerang sudah mulai tampak bercak kecil-kecil dalam peta. Perubahan penutupan lahan mulai tampak jelas terlihat pada tahun 1992. Semakin bertambahnya lahan terbangun di wilayah Jabodetabek ini menunjukkan semakin bertambahnya jumlah penduduk di wilayah tersebut. Tabel 20. Persentase Luas Tutupan Lahan terhadap Luas Total Jabodetabek Tahun 2002 - 2009 No
Tutupan Lahan
PersentasePersen Luas thd Total Luas Jabodetabek 1972
1983
1992
2000
2002
2005
2009
1
Badan air
1,37
1,59
2,02
2,08
2,08
2,19
1,98
2
Bangunan
2,25
8,88
11,23
25,47
26,06
28,58
35,60
3
Hutan
11,87
11,19
10,65
10,39
9,47
5,99
8,62
4
Kebun Campuran
31,07
26,80
32,08
25,19
26,61
27,84
16,86
5
Ladang/Lahan Kering
22,69
16,82
11,49
13,83
11,20
6,13
13,86
6
Rumput
6,51
5,95
5,55
4,26
-
4,29
-
7
Sawah
9,22
11,92
16,55
11,91
11,68
12,04
11,18
8
Semak
15,03
16,84
10,42
6,86
12,90
12,95
11,90
Jumlah
100
100
100
100
100
100
100
Sumber : Tahun 1972 – 2005 (Rustiadi dan Tim P4W, 2007) sedangkan 2009 hasil interpretasi citra TM 7
Pada tahun 2000 - 2005, penutupan lahan untuk sawah dan ladang yang pada tahun sebelumnya mendominasi, kini telah tergantikan fungsinya oleh ruang
138
terbangun yang semakin menyebar. Pada peta penutupan lahan Jabodetabek tahun 2000 dapat terlihat warna hijau yang identik dengan sawah dan kebun campuran semakin berkurang dan dominasinya tergantikan oleh ruang terbangun yang luasnya semakin bertambah.
Persentase lahan terbangun terhadap luas
Jabodetabek dari tahun 1972 yang 2,25% terus meningkat dan pada tahun 2009 telah mencapai 35,6% atau seluas 237.267,91Ha. Perincian perubahan penggunaan lahan kawasan Jabodetabek dapat dilihat pada Tabel 20. Semakin luas lahan terbangun di Kawasan jabodetabek menunjukkan jumlah penduduk yang semakin bertambah.
Pada tahun 1972 jumlah penduduk
Jabodetabek 8.629.076 jiwa dengan lahan yang terbangun seluas 14.767 ha, dan pada tahun 2009 jumlah penduduk Jabodetabek 26.121.671 jiwa dengan luas lahan yang terbangun seluas 237.268 Ha. Perinciannya dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Jumlah Penduduk dengan Luas Lahan Terbangun di Kawasan Jabodetabek.
1972
Jumlah Penduduk (Jiwa) 8.629.076
Luas lahan Terbangun (Ha) 14.767
2
1983
12.959.254
58.227
3
1992
17.111.391
73.506
4
2000
19.200.327
164.265
5
2002
19.492.631
173.702
6
2005
23.722.430
187.138
7
2009
26.121.671
237.268
No
Tahun
1
Sumber : Hasil Analisa data BPS dan GIS
Jika jumlah penduduk sebagai variabel bebas dan luas lahan terbangun sebagai variabel terikat, maka keduanya dapat diperoleh hubungan berupa persamaan regresi yaitu Y = - 105.308,53 + 12,94 X dengan r = 0,957 dan r2 = 0,916 Dimana X : jumlah penduduk (ribuan jiwa) Y : Luas lahan terbangun (Ha)
139
Dari persamaan tersebut dapat artikan bahwa bila terdapat kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1.000 jiwa maka akan terjadi kenaikan luas lahan terbangun seluas 12,94 Ha di Jabodetabek atau setiap kenaikan jumlah penduduk 1 orang maka akan terjadi kenaikan luas` lahan terbangun seluas 129,4 m2. Pola perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun mulai tahun 1972 – 2009 dengan pola mengikuti makin meluasnya kota Jakarta yaitu keliling lahan terbangun DKI Jakarta makin besar. Kemudian lahan terbangun makin besar mengikuti tempat yang telah dibangunnya sarana transportasi yang memadai baik melalui kereta maupun jalan tol, arteri atau jalan lingkar Jakarta. Hal ini senada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa pada tahun 2000 dan 2005, peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dipengaruhi oleh aksesibilitas yang baik dan tingkat kemiskinan yang rendah Penurunan luas penggunaan lahan hutan dan kebun campuran dipengaruhi oleh peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dan sawah.
Sedangkan
penurunan luas penggunaan lahan sawah dipengaruhi oleh peningkatan luas penggunaan lahan ruang terbangun dan kebun campuran (Wulandhana et al. 2007). Pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan periode 1983 – 2001 pada setiap koridor memiliki kecenderungan semakin meningkat dimana koridor Jakarta Bekasi mempunyai percepatan yang paling tinggi kemudian Jakarta – Tangerang dan yang paling rendah adalah koridor Jakarta – Bogor. Faktor yang paling besar pengaruhnya perubahan penggunaan lahan perkotaan untuk koridor Jakarta – Bogor adalah panjang jalan, koridor Jakarta – Tangerang adalah jumlah rumah dan koridor Jakarta – Bekasi adalah jumlah industri (Hidayat, 2004). Lahan yang paling besar peluangnya untuk berubah menjadi urban adalah lahan yang dahulunya digunakan sebagai pertanian lahan kering. Semakin luas pertanian lahan kering maka semakin besar peluangnya untuk berubah menjadi urban (Carolita,. 2005). Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil mengalami perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya peningkatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur telah mendorong pertumbuhan wilayah di sekitarnya sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan seperti
140
sekarang. Saat ini kawasan metropolitan Jabodetabekjur tidak dapat dipandang sebagai suatu unit yang berdiri sendiri, akan tetapi terus memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah yang terintegrasi Kota-kota di kawasan Jabodetabek telah mengalami perubahan struktur tata ruang yang ditandai oleh perubahan fungsi lahan dari semula wilayah pertanian menjadi wilayah pemukiman, industri, jasa dan perdagangan. Bersamaan dengan itu juga terjadi perkembangan fasilitas pelayanan publik dan jaringan transportasi yang sangat pesat. Adapun perubahan struktur sosial ekonomi ditandai dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan investasi di sektor industri, jasa dan perdagangan, serta perubahan sosial budaya agraris menjadi budaya industri dan bisnis. Seiring dengan perubahan struktural sosial ekonomi, dampak sosial negatif juga terjadi dengan semakin tingginya kemiskinan, tindak kriminal, kejahatan seksual, dan prostitusi. Beberapa kota di kawasan Jabodetabek telah mengalami beberapa kali perubahan struktur administrasi dan pengelolaan pembangunan, dari mulai kewedanaan, kabupaten, kota administratif sampai akhirnya dikukuhkan menjadi kota. Transformasi
spasial
di Kawasan Jabodetabek
ditunjukkan
dengan
perubahan fungsi kota menjadi kota pemukiman penduduk, padatnya kompleks perumahan, meluasnya sentra ekonomi, perubahan modus transportasi, perubahan fungsi lahan pertanian ke non pertanian dan perubahan fungsi sebagai kawasan penyeimbang menjadi buffer zones bagi DKI Jakarta. Bersamaan dengan proses transformasi spasial tersebut, muncul wilayah centre dan periphery, yang secara makro direfleksikan dengan pesatnya perkembangan wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah pusat dan kota sekitarnya (Bogor, Bekasi dan Tangerang) sebagai wilayah pinggiran, dan secara mikro direfleksikan dengan pesatnya perkembangan pemukiman penduduk Jakarta ke Bodetabek dan tergesernya pemukiman penduduk asli ke desa pinggiran. Penduduk asli diantaranya dapat dikategorikan sebagai komunitas marginal, karena kalah bersaing dalam sistem ekonomi DKI Jakarta yang berkembang pesat, sulit beradaptasi terhadap
perubahan
struktural
kota,
mengalami
141
keterbatasan keterampilan, semakin miskin, berada di daerah kumuh, diantaranya telah melakukan penyimpangan perilaku, melakukan tindak kejahatan dan terlibat dalam prostitusi. Beberapa kelompok komunitas diantaranya bertahan hidup di pinggiran kompleks-kompleks perumahan, yang selanjutnya disebut sebagai komunitas lokal. Karakteristik komunitas lokal yang dapat diidentifikasi yaitu banyak penduduk asli yang tinggal sebelum dibangun kompleks perumahan, bekerja pada sektor informal dan tidak tetap, berpenghasilan subsistence level, mempunyai tanggungan keluarga yang banyak, tinggal dalam rumah yang sempit dan tidak layak huni, berada dalam lingkungan kumuh dan status tanahnya ilegal, tidak tercatat dalam regristasi penduduk, sulit akses terhadap pelayanan sosial dasar dan anak-anaknya rawan putus sekolah, menjadi anak jalanan, menjadi anak yang dilacurkan dan mengalami gizi buruk.
5.2. Daya Dukung Lahan Membangun suatu wilayah pada hakikatnya merupakan upaya untuk memberi nilai tambah terhadap kualitas kehidupan. Proses pemberian nilai tambah terhadap kualitas kehidupan dilakukan dengan memperhatikan internalitas dan eksternalitas suatu wilayah.
Internalitas diantaranya meliputi kondisi fisik
wilayah, potensi sumber daya (alam, manusia, dan buatan), serta kondisi sosial ekonomi dan lingkungan hidup, sedang eksternalitas yang perlu diperhatikan diantaranya adalah situasi geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. Pemahaman terhadap kondisi fisik wilayah, kelestarian sumber daya alam, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan dukungan sumber daya buatan, serta pemahaman terhadap eksternalitas suatu wilayah, menjadi kunci keberhasilan perencanaan pembangunan. Hal ini mengindikasikan pentingnya merencanakan pembangunan melalui perspektif yang lebih luas dan tidak sekedar administratif parsial atau sektoral saja. Untuk itu pendekatan kewilayahan atau spasial dalam pelaksanaan penataan ruang, memegang peranan yang vital dalam perencanaan pembangunan.
142
Daya dukung lahan (Land Carrying Capacity) dinilai menurut ambang batas kesanggupan lahan sebagai suatu ekosistem menahan keruntuhan akibat penggunaan.
Daya dukung lahan ditentukan oleh banyak faktor baik biofisik
maupun sosial-ekonomi-budaya yang saling mempengaruhi.
Daya dukung
tergantung pada persentasi lahan yang dapat digunakan untuk peruntukan tertentu yang berkelanjutan dan lestari, persentasi lahan ditentukan oleh kesesuaian lahan untuk peruntukan tertentu. Konsep daya dukung harus merujuk pada aras (level) penggunaan lahan yang akan dipelihara secara sinambung pada mutu lingkungan tertentu dalam suatu tujuan pengelolaan tertentu yang ditetapkan dengan mengingat biaya pemeliharaan mutu sumberdaya yang akan mendatangkan kepuasan pengguna sumberdaya. Daya dukung lahan merupakan gabungan kemampuan dan kesesuaian 1. Ditaksir berdasarkan batas ketahanan suatu ekosistem dalam menghadapi dampak penggunaan yang bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan manfaatnya yang masih dapat mendatangkan kepuasan kepada pemakainya 2. Bergantung pada imbangan kemampuan lahan yang dijadikan tolok ukur dengan latar belakang keperluan dan kepentingan yang dipilih. Ada daya dukung
ekologi,
ekonomi,
fasilitas,
rekreasi,
estetika,
psikologi,
keterlanjutan fungsi, dsb. 3. Kelayakan lahan menurut pertimbangan kemampuan dan kesesuaian.
5.2.1. Satuan Peta Tanah Satuan peta tanah (SPT) merupakan satuan peta terkecil yang mempunyai nilai homogenitas tertinggi, baik dalam sifat fisik dan kimia tanah maupun sifat lingkungannya.
Oleh karena itu satuan peta tanah akan mencerminkan
karakteristik lahan dan lingkungannya dari suatu wilayah yang dapat digunakan dalam memprediksi tingkat kelayakan lahan tersebut untuk suatu penggunaan tertentu. Penyusunan satuan peta tanah didasarkan atas faktor macam tanah, bahan induk, fisiografi, bentuk wilayah, sebaran butir, kedalaman efektif, drainase, serta sifat kimia tanah yang akan mempengaruhi status dan keseimbangan unsur hara
143
dalam tanah. Kawasan Jabodetabek terbagi dalam 20 SPT, diskripsi satuan peta tanah (SPT) di kawasan jabodetabek dapat dilihat pada Tabel 22 dan sebarannya dapat dilihat pada Gambar 17.
Tabel 22. Diskripsi Satuan Peta Tanah Kawasan Jabodetabek Diskripsi No
SPT Lereng
Jenis Tanah
Formasi Geologi
Curah Hujan (mm/tahun)
Luas (Ha)
1
SPT 1
0-8%
asosiasi kelabu tua & aluvial coklat kekelabuan
Alluvium
1500-4000
43.990
2
SPT 2
8-15%
aluvial kelabu tua
miocene,sedimentary facies
2000-3000
1.745
3
SPT 3
15-40%
asosiasi kelabu tua & aluvial coklat kekelabuan
2500-3000
218
4
SPT 4
0-8%
asosiasi andosol dan regosol
miocene,sedimentary facies
1500-4000
13.854
5
SPT 5
0-8%
asosiasi kelabu tua & gley humus rendah
Alluvium
1500-2000
1.745
6
SPT 6
0-15%
Andosol
old volcanic materials
2000-4000
2.727
7
SPT 7
15-40%
old volcanic materials
2000-5000
3.845
8
SPT 8
lebih 40%
old volcanic materials
2000-5000
3.436
9
SPT 9
0-15%
asosiasi andosol dan regosol asosiasi andosol dan regosol asosiasi latosol merah,latosol coklat kemerahan
miocene,sedimentary facies
2000-5000
462.564
10
SPT 10
8-40%
asosiasi latosol merah,latosol coklat kemerahan & laterit
miocene,sedimentary facies
1500-4000
58.853
11
SPT 11
lebih 40%
asosiasi latosol merah,latosol coklat kemerahan & laterit
young volcanic materials
1500-5000
20.781
12
SPT 12
0-15%
kompleks podzolik merah kekuningan,podzolik kuning & regosol
miocene,sedimentary facies
1500-5000
19.963
13
SPT 13
15-40%
kompleks podzolik merah kekuningan,podzolik kuning & regosol
miocene,sedimentary facies
1500-5000
19.936
14
SPT 14
lebih 40%
kompleks podzolik merah kekuningan,podzolik kuning & regosol
miocene,sedimentary facies
2000-5000
2.727
15
SPT 15
0-15%
Grumusol
2000-4500
1.609
16
SPT 16
15-40%
Grumusol
2000-4500
4.882
17
SPT 17
lebih 40%
Grumusol
2000-4500
873
18
SPT 18
8-15%
Renzina
miocene,sedimentary facies miocene,sedimentary facies miocene,sedimentary facies young volcanic materials
2000-4500
109
19
SPT 19
15-40%
Renzina
young volcanic materials
3500-4500
1.527
20
SPT 20
lebih 40%
Renzina
young volcanic materials
3500-5000
1.118
Sumber : Hasil Analisa dengan GIS
144
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Gambar 17. Sebaran Satuan Peta Tanah (SPT) Kawasan Jabodetabek
5.2.2. Arahan Pemanfaatan Air Baku Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia maupun mahkluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Sejalan dengan pertambahan dan perkembangan penduduk serta industri, maka kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan akan air ini tidak diimbangi oleh jumlah air yang tersedia, karena sumberdaya air di dunia ini tidak akan pernah bertambah jumlahnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya sumbersumber air yang telah ada perlu dijaga dan dilestarikan. Apabila memungkinkan ditingkatkan ketersediaannya meskipun memerlukan jangka waktu yang panjang. Pertumbuhan penduduk dan aktvitas pembangunan yang tinggi, serta adanya eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan berlebihan, memberikan peringatan kepada kita untuk menyusun suatu strategi yang lebih baik dalam mengelola sumberdaya alam air. Strategi ini harus diproyeksikan terhadap matra waktu berjangka pendek dan berjangka panjang. Peningkatan jumlah penduduk cenderung meningkatkan permintaan akan sumber daya air, dilain pihak yang
145
terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumber daya yang keberadaannya semakin tak berketentuan Sumber air yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku dalam perencanaan tata ruang kawasan Jabodetabek khususnya Bodetabekdiasumsikan cukup tersedia karena kawasan ini mempunyai curah hujan yang tinggi dengan sungai dan situ yang cukup banyak sedangkan untuk DKI Jakarta potensi air sebesar 33.669.317 m3/hari, bi la setiap orang memerlukan air 190 l/hari, maka daya tampung 14.588.752 jiwa. Indonesia sebagai negara tropis sebagian besar wilayahnya mempunyai curah hujan yang cukup tinggi yaitu 4000 mm/tahun, namun pada beberapa daerah memilki curah hujan yang cukup rendah yaitu 800 mm/tahun. Meskipun potensi curah hujan cukup tingi, namun pada kenyataannya besarnya aliran mantap (base flow) yang terjadi secara kontinyu setiap tahun, hanya sekitar 25 – 30% dari aliran permukaan total. Berdasarkan perhitungan curah hujan tersebut, ketersediaan air di Indonesia adalah 3.279 milyar m3 per tahun sedang jumlah kebutuhan air adalah 88,5 milyar m3 per tahun. Jika dinyatakan dalam nilai Indeks Ketersediaan Air (IKA) untuk jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa pada tahun 1999, maka IKA Indonesia adalah sebesar 14.000 m3/kapita/tahun.
Dengan laju pertumbuhan
penduduk yang demikian pesat (sekitar 2,5% per tahun), nilai IKA bisa turun secara drastis mencapai ambang toleransi sebesar 1000 m3/kapita/tahun. Sementara itu, pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan akan memacu
pertumbuhan
sektor-sektor
lainnya
(termasuk
sektor
industri).
Pertumbuhan tersebut memerlukan tersedianya air tawar dalam jumlah yang cukup besar, baik untuk irigasi, untuk mencukupi kebutuhan hidup, pembangkit listrik, kebutuhan industri, dan lain-lain, sedangkan ketersediaan sumberdaya air relatif tetap. Pertumbuhan industri yang kurang terencana akan menghasilkan buangan air limbah ke sungai, sehingga dikhawatirkan tingkat pencemaran air terutama di sungai-sungai utama akan meningkat bila upaya pengendaliannya tidak memadai. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan melalui perambahan kawasan hutan, perluasan kawasan budidaya, dan permukiman serta industri dapat merusak ekosistem dan kesetimbangan daur/siklus lingkungan, termasuk diantaranya siklus hidrologi.
146
5.2.3. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi lahan yang dilakukan dengan metode faktor penghambat. Dengan metode ini setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamanya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas; penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya. Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943 dalam Arsyad, 1999). Menurut sistem ini lahan dikelompokan dalam tiga kategori umum yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau Satuan pengelompokan (management unit).
Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas
faktor penghambat.
Jadi kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang
memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum. Tanah dikelompokan dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII. Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan setahun), rumput untuk pakan ternak, padang rumput atau hutan. Tanah pada Kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberap hal tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam lahan Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. Kelas Kemampuan Lahan di kawasan Jabodetabek adalah sebagai berikut :
Kelas Kemampuan I Lahan kawasan Jabodetabek kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I digunakan untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan
147
tanaman pertanian pada umumnya), dan tanaman rumput serta pemukiman (lahan terbangun).
Kelas Kemampuan II Lahan kawasan Jabodetabek kelas kemampuan II diusahakan untuk pertanian tanaman semusim dan pemukiman (lahan terbangun). Dengan tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara. Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II diantaranya adalah (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %) dan (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang,
Kelas Kemampuan III Lahan kawasan jabodetabek dalam kelas III digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, dan kebun campuran serta pemukiman (lahan terbangun). Hambatan atau ancaman kerusakan diantaranya adalah (1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, dan (3) hambatan iklim yang agak besar.
Kelas kemampuan IV Lahan kawasan Jabodetabek dalam kelas IV digunakan untuk tanaman semusim dan kebun campuran, rumput, dan hutan.
Lahan ini jika
digunakan untuk tanaman semusim sebaiknya dikelola dengan hati-hati dan melakukan tindakan konservasi, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV siantaranya adalah: (1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) tanahnya dangkal dan/atau (4) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.
Kelas Kemampuan V Lahan kawasan Jabodetabek kelas V tidak terancam erosi atau terletak pada topografi datar akan tetapi mempunyai hambatan lain antara tergenang air,
148
selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan).
Kelas Kemampuan VII Lahan kawasan Jabodetabek kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian,
Jika digunakan unuk tanaman pertanian harus dibuat teras
bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konservasi tanah. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan yaitu ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.
Kelas kemampuan VIII Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian dan sebaiknya dengan penutup lahan berupa hutan sebagai kawasan lindung. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII yaitu terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%)
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Gambar 18. Sebaran Kelas Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek
149
Tabel 23. Kelas Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek
No
Kelas Kemampuan Lahan
Luas (Ha)
%
10.157,39
1,52
1
Badan Air
2
Kelas I
119.860,85
17,98
3
Kelas II
44.689,33
6,71
4
Kelas III
386.197,41
57,94
5
Kelas IV
35.235,81
5,29
6
Kelas V
4.968,46
0,75
7
Kelas VII
5.989,01
0,90
8
Kelas VIII
59.406,72
8,91
666.505,00
100,00
Jumlah Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
5.2.4. Kesesuaian Lahan Pada dasarnya kajian mengenai kesesuaian lahan merupakan penilaian lahan terhadap kemampuan lahan atau daya dukung lahan terhadap pengembangan penggunaan lahan tertentu (pertanian maupun non pertanian). Suatu satuan lahan dapat dikatakan sesuai untuk pengembangan kegiatan tersentu bila kegiatan atau penggunaan lahan yang dikembangkan tersebut memiliki produktivitas optimal dengan input yang minimal. Penilaian kesesuaian lahan ini akan menjadi dasar utama dalam menentukan struktur tata ruang, terutama dalam menentukan struktur kawasan lindung dan kawasan budidaya. Disamping harus diidentifikasi formasi area yang sesuai untuk pengembangan penggunaan perkebunan kelapa sawit, dalam studi ini tercakup pula identifikasi daerah-daerah yang seharusnya tidak dikembangkan karena memiliki kendala-kendala
dan
faktor
pembatas
tertentu
yang
merugikan
bahkan
membahayakan apabila dikembangkan. Daerah-daerah seperti ini nantinya akan direkomendasikan
sebagai
kawasan
lindung/konservasi
yang tidak
dapat
dibudidayakan atau dapat dibudidayakan namun dengan persyaratan dan ketentuan khusus dalam pengembangannya.
150
Tabel 24. Kelas kesesuaian Lahan Kawasan Jabodetabek No
Kelas Kesesuaian Lahan 1 2 3 4
S1 S2 S3 Tidak Sesuai (N) Jumlah
Luas (Ha) Pertanian Pemukiman 155.580 298.528 50.234 90.165 402.001 209.613 58.690 68.199 666.505 666.505
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Hasil penilaian kesesuaian lahan kawasan Jabodetabek pada penggunaan lahan untuk pemukiman dan pertanian.
Kesesuaian lahan untuk pertanian
kawasan Jabodetabek S1 seluas 155.580 ha, S2 seluas 50.234 ha, S3 seluas 402.001 ha dan tidak sesuai seluas 58690 ha sedangkan untuk lahan pemukiman atau terbangun dengan kelas S1 seluas 298.528 ha, S2 seluas 90.165 ha, S3 seluas 209.613 ha dan tidak sesuai seluas 68.199 ha. Secara tarinci dapat dilihat pada tabel 24 dan sebarannya pada Gambar 19.
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Gambar 19.
Sebaran Kelas Kesesuaian Lahan untuk Pertanian dan Pemukiman Kawasan Jabodetabek
151
5.2.5. Perkiraan Daya Tampung Lahan Untuk menghitung daya tampung lahan, maka dari luas`lahan total Kawasan jabodetabek hdaerah lindung harus dikeluarkan lebih daulu kawasan lindung yaitu terdiri dari lahan yang termasuk kawasan lindung berdasarkan ketetapan dari kementrian kehutanan, lereng di atas 40 %, sempadan sungai, sempadan pantai dan situ atau mata air. Perkiraan jumlah penduduk yang bisa ditampung di wilayah dan/atau kawasan, dengan pengertian masih dalam batas kemampuan lahan. Daya tampung berdasarkan ketersediaan air, kapasitas air yang bisa dimanfaatkan, dengan kebutuhan air perorang perharinya disesuaikan dengan jumlah penduduk yang ada saat ini diasumsikan cukup tersedia. Sedangkan daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan dengan asumsi masing-masing arahan rasio tersebut dipenuhi maksimum, dan dengan anggapan luas lahan yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup (30% untuk fasilitas dan 20% untuk jaringan jalan serta utilitas lainnya). Kemudian dengan asumsi 1 KK yang terdiri dari 5 orang memerlukan lahan seluas 100 m2. Luas` kawasan budidaya yaitu total luas kawasan jabodetabek dikurangi kawasan lindung sehingga luasnya adalah 666.505 – 602.235 = 62.270 ha (9,64%). Maka dapat diperoleh daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan ini yaitu 150.558.760 jiwa untuk kawasan Jabodetabek atau untuk DKI Jakarta 14.947.948 jiwa. Lebih dari angka daya tampung tersebut maka harus dilakukan pengembangan vertikal/bertingkat.
5.3. Penilaian Inkonsistensi Lahan Untuk menganalisa kesesuaian penggunaan lahan saat ini (tahun 2009) dengan kemampuan lahan, kesesuaian lahan dan Pola dan struktur tata ruang berdasarkan Perpres No 54 tahun 2008 maka dilakukan overly melalui GIS antara peta-peta tersebut.
5.3.1. Inkonsisten terhadap Kemampuan Lahan Hasil menunjukkan bahwa terdapat lahan yang tidak konsisten terhadap kemampuan lahan terutama lahan terbangun.
Lahan terbangun yang tidak
konsisten pada zone larangan yaitu pada kelas V sampai dengan VIII seluas 19.812
152
Ha atau 2,97 % dari total luas Kawasan Jabodetabek sedangkan lahan pertanian yang tidak konsisten seluas 36.548 ha atau 5,48 % dari total luas kawasan Jabodetabek. Tabel 25. Penggunaan Lahan pada Saat ini yang Tidak Konsisten terhadap Kemampuan Lahan Kawasan Jabodetabek No
Penggunaan Lahan
1 2
Pertanian Lahan terbangun Jumlah
Luas (Ha)
%
36.548 19.812 56.360
5,48 2,97 8,46
Keterangan : Nilai % adalah terhadap luas total lahan Jabodetabek
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
5.3.2. Inkonsisten terhadap Kesesuaian Lahan Hasil menunjukkan bahwa terdapat lahan yang tidak konsisten terhadap kesesuaian lahan terutama lahan terbangun. Lahan terbangun yang tidak konsisten pada zone larangan yaitu pada kelas N (tidak sesuai permanen) seluas 22.459 Ha atau 3,37 % dari total luas Kawasan Jabodetabek sedangkan lahan pertanian yang tidak konsisten seluas 8.358 ha atau 1,25 % dari total luas kawasan Jabodetabek.
Tabel 26. Penggunaan Lahan pada Saat ini yang Tidak Konsisten terhadap Kesesuaian Lahan Kawasan Jabodetabek
No
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
%
1
Pertanian
22.459
3,37
2
Lahan terbangun
8.358
1,25
Jumlah
38.835
5,83
Keterangan : Nilai % adalah terhadap luas total lahan Jabodetabek
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
5.3.3. Kesesuaian Penggunaan Lahan Terbangun dengan Tata Ruang Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
153
Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu maka ditetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat dan berfungsi sebagai pedoman bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam penyelenggaraan penataan ruang secara terpadu di Kawasan Jabodetabekpunjur, melalui kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008, kawasan Jabodetabek terbagi dalam beberapa zone yaitu (1) Zona N1 diarahkan untuk konservasi air dan tanah dalam rangka: a.
mencegah abrasi, erosi, amblesan, bencana banjir, dan sedimentasi;
b.
menjaga fungsi hidrologi tanah untuk menjamin ketersediaan unsure hara tanah, air tanah, dan air permukaan; dan
c.
mencegah dan/atau mengurangi dampak akibat bencana alam geologi.
(2) Zona N2 diarahkan untuk: a.
konservasi budaya;
b.
perlindungan keanekaragaman biota, tipe ekosistem, serta gejala dan keunikan alam untuk kepentingan perlindungan plasma nutfah, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan; dan
c.
pengembangan kegiatan pendidikan dan penelitian, rekreasi dan pariwisata ekologis bagi peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya, dan perlindungan dari pencemaran.
(3) Zona B1 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan gedung dengan intensitas tinggi, baik vertikal maupun horizontal. (4) Zona B2 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang
154
mempunyai daya dukung lingkungan sedang dan tingkat pelayanan prasarana dan sarana sedang. (5) Zona B3 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah, tingkat pelayanan prasarana dan sarana rendah, dan (6) Zona B4 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah tetapi subur dan merupakan kawasan resapan air, serta merupakan areal pertanian lahan basah bukan irigasi teknis dan pertanian lahan kering. (7) Zona B5 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai
kesesuaian
lingkungan untuk
budi
daya
pertanian dan
mempunyai jaringan irigasi teknis. (9) Zona B6 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah dengan kesesuaian untuk budi daya dan KLB yang disesuaikan dengan Peraturan Daerah. (10) Zona B7 merupakan zona yang berdekatan dengan Zona N1 pantai dengan karakteristik memiliki daya dukung lingkungan rendah, rawan intrusi air laut, rawan abrasi, dengan kesesuaian untuk budi daya dan KLB yang disesuaikan dengan Peraturan Daerah.
Tabel 27. Sebaran Zone Tata Ruang Kawasan Jabodetabek Berdasarkan Perpres No 54Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Zone B1 B2 B3 B4 B4/HP B5 B6 B7 B7/HP N1 N2 Jumlah
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Luas Ha 156.170 103.646 87.482 152.709 34.465 67.622 2.722 394 4.352 16.109 40.834 666.505
% 23,43 15,55 13,13 22,91 5,17 10,15 0,41 0,06 0,65 2,42 6,13 100
155
Sebaran zone-zone tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 dan perinciannya dapat dilihat pada Tabel 27. Zone B1 dengan sebaran yang paling luas yang terletak di DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok dan Kota Bogor. Zone B1 paling luas dengan total sebesar 156.170 Ha kemudian diikuti zone B4 yaitu seluas 152.709 Ha, Zone konservasi atau zone N terletak di daerah selatan berupa bukit sampai pegunungan dengan luas 16.709 ha untuk zone N1 dan 40.834 ha untuk zone N2.
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Gambar 20. Pola dan Struktur tata Ruang kawasan Jabodetabek berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 Untuk menganalisa kesesuaian penggunaan lahan saat ini (tahun 2009) dengan peta Pola dan struktur tata ruang berdasarkan Perpres No 54 tahun 2008 maka dilakukan overly melalui GIS antara kedua peta tersebut. Hasil menunjukkan bahwa terdapat ketidak sesuaian terutama lahan terbangun. Lahan terbangun yang tidak sesuai pada zone larangan yaitu pada Zone N1 dan N2 serta pada HP seluas 2.158 Ha atau 0,32 % dari total luas Kawasan Jabodetabek. Kemudian lahan terbangun juga telah menepati zone dalam kondisi waspada yaitu dengan intensitas
156
rendah, oleh karena itu perlu dipertahankan. Perinciannya dapat dilihat pada Tabel 28 dan sebarannya dapat dilihat pada gambar 21.
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Gambar 21.
Sebaran Pengguaan Lahan Terbangun Saat Ini yang Tidak Sesuai dengan Perpres No 54 Tahun 2008.
Tabel 28. Sebaran Pengguaan Lahan Terbangun Saat Ini yang Tidak Sesuai dengan Alokasi pada Perpres No 54 Tahun 2008 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lahan Terbangun pada Zone B3 B4 B4/HP B5 B6 B7 B7/HP N1 N2 Jumlah
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Zone Larangan % thd luas Ha Jabodetabek
1.210
223 289 436 2.158
Zone Intensitas Rendah % thd luas Ha Jabodetabek 39.932 5,99 19.541 2,93
0,18
0,03 0,04 0,07 0,32
8.326 636 190
1,25 0,10 0,03
68.625
10,30
157
5.4. Ketersediaan Lahan Berdasarkan hasil overlay peta kesesuaian lahan, penggunaan lahan saat ini (tahun 2009), kawasan lindung dan peta pola dan struktur perpres nomor 54 tahun 2008, maka diperoleh lahan yang tersedia untuk lahan terbangun di kawasan Jabodetabek.
Sebaran lahan tersedia hasil overlay disajikan pada Gambar 22,
sedangkan perinciannya dapat dilihat pada Tabel 29.
Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
Gambar 22. Hasil Overly Lahan Tersedia Kawasan Jabodetabek Tabel 29. Lahan Tersedia Untuk Lahan Terbangun Kawasan Jabodetabek Lahan Tersedia Untuk Lahan Terbangun Persen dari Total Luas Luas (Ha) Jabodetabek(%) 8.736 4,31
No
Zone
1
B1
2
B2
57.392
8,61
3
B3
42.895
6,44
4
Bp
1.977
0,30
131.001
19,65
Jumlah Sumber : Hasil analsisa dengan GIS
158
Lahan yang tersedia untuk perubahan penggunaan lahan terbangun di kawasan Jabodetabek seluas 131.001 ha yaitu pada Zone B1 seluas 8.736 ha, B2 seluas 57.392 ha, B3 seluas 42.895 ha dan Bp seluas 1.977 ha.
5.5. Ikhtisar Jumlah penduduk kawasan Jabodetabek khususnya di DKI Jakarta yang semakin meningkat maka luas lahan terbangun di Kawasan jabodetabek yang terus meningkat. Berdasarkan hitungan regresi kedua variabel tersebut maka bila terdapat kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1.000 jiwa maka akan terjadi kenaikan luas lahan terbangun seluas 12,94 Ha di Jabodetabek atau setiap kenaikan jumlah penduduk 1 orang maka akan terjadi kenaikan luas` lahan terbangun seluas 129,4 m2. Pola perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun mulai tahun 1972 – 2009 dengan pola mengikuti makin meluasnya kota Jakarta yaitu keliling lahan terbangun DKI Jakarta makin besar dan memanjang ke arah Kota Bekasi, Kota Tangerang dan Kota Bogor. Kemudian lahan terbangun makin besar mengikuti tempat yang telah dibangunnya sarana transportasi yang memadai baik melalui kereta maupun jalan tol, arteri atau jalan lingkar Jakarta. Penggunaan lahan tahun 2009 terdapat lahan yang tidak konsisten terutama lahan terbangun terhadap kemampuan lahan seluas 19.812 ha (2,97 %), kesesuaian lahan seluas 8.358 ha (1,25 %) dan Perpres No 54 tahun 2008 dimana lahan terbangun yang tidak sesuai pada zone larangan yaitu pada Zone N1 dan N2 serta pada HP seluas 2.158 ha atau 0,32 % dari total luas Jabodetabek. Sedangkan lahan yang tersedia untuk perubahan penggunaan lahan terbangun di kawasan Jabodetabek seluas 131.001 ha.
VI. KETERKAITAN ANTAR SEKTOR ANTAR WILAYAH
Struktur perekonomian yang ada di wilayah Indonesia sangat beragam, terutama untuk wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek, yang sudah menuju kearah tersier dan sekunder. Sedangkan untuk wilayah sisa Indonesia masih sangat didominasi oleh sektor primer. Hal tersebut mengakibatkan terjadi ketimpangan antar wilayah di Indonesia. Salah satu keunggulan analisis dengan model IRIO adalah dapat digunakan untuk mengetahui berapa jauh tingkat ketekaitan antar sektor produksi. Keterkaitan antar sektor menunjukan adanya tingkat keterkaitan teknis antar unsur aktif. Analisis keterkaitan merupakan bagian yang penting dalam analisis input output suatu wilayah karena analisis ini merupakan dasar analisis selanjutnya seperti analisis daya penyebaran, derajat kepekaan, serta analisis multiplier. Analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lain dalam hal penggunaan input maupun pemanfaatan output. Selain itu, analisis ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu sektor dalam pembentukan output wilayah dilihat dari pemanfaatan output maupun penggunaan input. Secara sederhana, dari hasil analisis input output interregional Tahun 2009, kontribusi input dan output di DKI Jakarta, Bodetabek, serta Sisa Indonesia dapat ditunjukkan bahwa keterkaitan yang ada di Indonesia sangat lemah. Pemanfaatn output untuk wilayah lainnya, di DKI Jakarta sebesar 74,09 %, Bodetabek sebesar 73,57 %, serta Sisa Indonesia sebesar 94,38 % terhadap total output nasional.
Tabel 30. Kontribusi Output Dan Input Di Masing-Masing Wilayah Di Indonesia, 2009 (Dalam Persen) No
Input/Output
1
DKI Jakarta
DKI Jakarta 74,09
0,77
Rest of Indonesia 25,14
2
Bodetabek
2,95
73,57
23,48
100,00
3
Rest of Indonesia
4,11
1,52
94,38
100,00
Bodetabek
Indonesia 100,00
Sumber : Hasil analisa tabel IRIO tahun 2002 yang di update tahun 2009 dengan RAS