Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 02 No. 06 Jun 2013
(81– 90)
ISSN : 2303-3959
Pengaruh Kedalaman Kolektor yang Berbeda Terhadap Kepadatan dan Pertumbuhan Spat Kerang Mabe (Pteria penguin) dengan Metode Vertikolektor di Perairan Palabusa Kota Bau-Bau The Effect of Depth Collector on Density and Growth of Pearl Oyster Spats (Pteria penguin) Using Vertikolektor Method in Palabusa, Baubau Suyad,*) Rahmad Sofyan Patadjai,**) dan Yusnaini,***) Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 email:
[email protected]*
[email protected]**
[email protected]***
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedalaman kolektor yang berbeda terhadap pelekatan, pertumbuhan dan morfologi Kerang Mabe dengan menggunakan metode vertikolektor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2011 di perairan Palabusa Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 Perlakuan dan 6 ulangan. Parameter yang diamati adalah pengaruh pelekatan dan pertumbuhan terhadap kedalaman. Kedalaman kolektor A 0,5 m, Kolektor B kedalaman 2,5 m, Kolektor C kedalaman 4,5 m, Kolektor D kedalaman 6,5 m, Kolektor E kedalaman 8,5 m. Data pelekatan dan pertumbuhan masing-masing dianalisis ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan Uji Tukey HSD. Nilai rata-rata pelekatan spat Kerang Mabe menunjukkan bahwa kolektor C lebih banyak ditempeli oleh spat Kerang Mabe yaitu 289,17 spat, kemudian Kolektor D (187,5 spat), disusul Kolektor B (166,83 spat), serta kolektor E (139 spat), dan yang terendah Kolektor A (100,67 spat). Pertumbuhan cangkang tertinggi ada pada kedalaman kolektor A yakni 5.22 cm, kemudian perlakuan E 4.67 cm, perlakuan B 4.28 cm, perlakuan D 3.47 cm serta yang terendah adalah perlakuan C 3.03 cm. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran parameter kualitas air dan hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kualitas air masih berada dalam kisaran toleransi untuk penangkapan spat Pteria penguin. Kata Kunci : Kerang Mabe, Pteria penguin, kedalaman, kepadatan, pertumbuhan, metode vertikolektor
Abstract The purpose of this study was to determine depth of the settlement of different collectors, growth and shell morphology of Pteria penguin using vertikolektor method. The research was conducted from May-July 2011 in Palabusa, Baubau, Southeast Sulawesi. It used Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 6 replications. Variables measured were effect of sattlement and growth on water depth. Collector depth of A, B, C, D, and E was 0,5 m, 2,5 m, 4,5 m, 6,5 m and 8,5 m respectively. Attachment and growth was analyzed using NOVA followed by Tukey HSD test. The average of Pteria penguin spat attachment showed that collector depth of C had more attachment than the others. It had 289.17 of Pteria penguin spat attachment, more than collector of A (100,67 spats), B (166,83 spats), D (187.5 spats), and E (139 spats). Growth of shell length showed that the highest was in collector of A reaching 5.22 cm, then followed by collector of E (4.67 cm), B (4.28 cm), D (3.47 cm), and C (3.03 cm). Water quality parameters indicated that it was still in tolerance range for catching of Pteria penguin spats. Keywords : Shellfish Mabe, Pteria penguin, depth, density, growth, vertikolektor method
Pendahuluan Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu diantara propinsi di Indonesia yang memiliki potensi yang cukup besar dengan adanya potensi yang cukup besar diperlukan adanya pendayagunaan lautan secara bijaksana, sehingga pada masa mendatang akan nampak hasil dari pengelolaan sumber Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
daya alam yang berasal dari laut dapat bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu upaya pendayagunaan potensi wilayah bahari di indonesia ini dengan pengembangan usaha budidaya berbagai organisme perairan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Berbagai jenis organisme sudah dibudidayakan seperti ikan, rumput laut, 81
kerang-kerangan dan sebagainya. Salah satu jenis organisme yang sudah dibudidayakan adalah mabe selain memproduksi mutiara setengah bundar atau blister juga dagingnya merupakan bahan makanan yang enak rasanya dan cangkangnya merupakan bahan baku kerajinan dari kulit Kerang Mabe (Hamzah, et. al 2009). Prospek yang baik dalam pembudidayaan menjadikan kebutuhan pasar dan konsumen akan mabe terus meningkat. Dilain pihak tuntutan penyediaan akan spat dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan berkesinambungan, serta kebutuhan informasi dan teknologi budidaya semakin mendesak. Pengadaan restocking yang bagus dan berkualitas sangat dibutuhkan (Winanto, 2004). Ketersediaan spat yang masih terbatas menjadikan pembudidaya mencari berbagai alternatif penyediaan spat tidak hanya secara buatan, dari hatchrey tetapi dengan menggunakan peralatan yang murah dan sederhana seperti genteng asbes (kolektor). Pengumpulan benih dengan menggunakan spat kolektor lebih efisien bila dibandingkan pencarian langsung di alam. Beberapa keunggulan kolektor yaitu benih yang menempel pada kolektor mudah dalam perawatan dan pemanenanya, benih yang ada tersedia dalam satu wadah, pemanenan dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Metode yang umum digunakan dalam menangkap benih mutiara yaitu kolektor tancap, metode rak, dan kolektor gantung dengan menggunakan pelampung (Sudradjat, 2008). Budidaya kekerangan memiliki prospek pengembangan dan pemasaran yang cukup baik, ditinjau dari segi hasil produksinya sebagai komoditi ekspor maupun sebagai komoditi yang dipasarkan dalam negeri (Sutaman, 2006). Dewasa ini budidaya kekerangan penghasil mutiara sangat mahal banyak dikembangkan dibeberapa daerah di Indonesia. Terutama diperairan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Dalam usaha budidaya Kerang Mabe, pengumpulan spat merupakan kegiatan yang menentukan sekali sehubungan dengan penyediaan benih yang cukup untuk pembesaran. Besar kecil benih yang terkumpul, bergantung pada jenis substrat
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
bahan dasar guna penempelan spat Kerang Mabe. Di perairan sekitar kabupaten buton dan muna tepatnya didesa lagasa, nelayan mengumpulkan spat mabe dan memudidayakan sampai ukuran lebar 12 cm dengan lama pemeliharaan sekitar 8 -10 bulan (Hamzah, et. al 2009). Berdasarkan dari uraian diatas dilakukan penelitian mengenai pengaruh kedalaman kolektor dan pertumbuhan spat Kerang Mabe dengan menggunakan metode vertikolektor. Untuk mengupayakan produksi Kerang Mabe melalui usaha budidaya, maka diperlukan pengetahuan tentang sifat biologi antara lain : makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan, tingkah laku, distribusi dan habitat serta hama dan penyakit. Sebelumnya pernah diadakan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Hamzah et. al (2009), mengenai pengaruh kedalaman yang berbeda tehadap pertumbuhan Kerang Mabe. Ada beberapa hal yang belum diteliti yaitu pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Kerang Mabe, pengaruh periode bulan terhadap pertumbuhan Kerang Mabe, sehubungan dengan hal tersebut diatas maka penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh beberapa kedalaman kolektor yang berbeda terhadap kepadatan dan pertumbuhan spat Kerang Mabe dengan menggunakan metode vertikolektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kedalaman kolektor yang berbeda terhadap pelekatan, pertumbuhan dan morfologi spat Kerang Mabe dengan menggunakan metode vertikolektor. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumber informasi bagi nelayan mengenai kedalaman kolektor yang berbeda terhadap kepadatan dan pertumbuhan benih/spat Kerang Mabe, dalam rangka memanfaatkan sumberdaya hayati perairan dan yang utama pelestarian Kerang Mabe. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2011, yang bertempat di wilayah perairan Kelurahan Palabusa, Kec. Lealea, Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara, (Gambar 1.)
82
Lokasi Penelitian
Gambar 1. Lokasi penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rakit ukuran 5 x 10 m2, perahu, pemberat, termometer, secchi disc, hand refractometer, stop watch, layangan arus, tali, jangkar sorong, dan kolektor (asbes). Penentuan lokasi pemasangan kolektor akan dilakukan setelah mengambil contoh air dengan jaring plankton kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop. Burayak tiram yang berukuran panjang 0,25-0,50 mm dapat dikenali pada umbonya yang miring. Lantu (2009), menyatakan bahwa beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi pemasangan kolektor yaitu lokasi harus
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
terlindung dari angin kencang dan gelombang besar, serta kedalaman perairan. Tahap persiapan meliputi: pembuatan kolektor spat bahannya asbes tersebut digantung secara vertikal pada tali ris. Panjang tali gantung yaitu 8,5 m dengan panjang tali utama 6 m. Ukuran dari tiap jenis kolektor yaitu berukuran 40 x 50 cm2. Jarak antara kolektor satu dengan yang lainya yaitu 50 cm dari permukaan air dan pada urutan berikutnya ke bawah yaitu 2 m. Jarak antara tali ris yaitu 1 m dan tiap 3 tali ris terdapat satu jangkar. Setiap bentangan tali ris berisi 5 kolektor jadi jumlah semua untuk 5 perlakuan dan 6 ulangan yaitu 30 kolektor.
83
Spat kolektor yang telah disiapkan dipasang pada rakit dengan kedalaman dari badan air A 0,5 m, B 2,5 m, C 4,5 m, D 6,5 m, dan E 8,5 m. Setiap kolektor diberi pemberat berupa batu dengan berat berkisar antara 200-300 g, Pelampung
0,5 m
dengan jarak antar kolektor yaitu 1 m. Tata letak pemasangan kolektor pada rakit dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai ilustrasi percobaan dapat dilihat sebagai berikut.
Kolektor
Tali utama
6 m
8,5 m
2m
s
40 x 50 cm
Pemberat
1 m
Gambar 2. Konstruksi metode kolektor gantung Selama penelitian akan dilakukan pemeliharaan dengan cara pembersihan kolektor dari organisme penempel seperti lumut. Pembersihan akan dilakukan 1 kali 2 minggu dengan menggunakan sikat dan pisau kecil. Untuk memperoleh data pertumbuhan (panjang cangkang) spat Kerang Mabe maka akan dilakukan pengukuran panjang cangkang spat yang menempel pada kolektor. Spat yang diukur yaitu spat yang menempel lebih awal pada kolektor, selanjutnya spat yang diukur tersebut akan diberi tanda. Setiap spat yang diberi tanda tersebut akan diukur panjang
cangkangnya setiap 2 minggu. Data pelekatan spat akan dihitung diakhir penelitian. Data kecepatan pelekatan spat akan diamati setelah satu minggu pemasangan kolektor. Pengamatan dilakukan setelah terlebih dahulu kolektor dilepaskan dari tempat penggantungan. Pengamatan terhadap morofologi spat dilakukan diakhir penelitian, sedangkan data kualitas air dilakukan pula pengukuran (meliputi suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan arus).
Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian No 1 2 3 4
Parameter Kecepatan arus Salinitas Kecerahan Suhu
Alat Layangan arus Hand refractometer Sechi dish Thermometer
Penghitungan pelekatan spat akan dilakukan setiap 2 minggu sekali, jadi dalam 2 bulan penelitian akan dilakukan 5 kali penghitungan. Untuk menghitung pertumbuhan spat Kerang Mabe maka akan digunakan rumus yaitu : G = Lt – Lo Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Pengukuran Setiap 2 minggu Setiap 2 minggu Satu kali Setiap 2 minggu
dimana : G = Pertumbuhan mutlak rata-rata; Lt = Panjang akhir organisme pada akhir penelitian; Lo = Panjang awal organisme pada awal penelitian . Pengamatan morfologi spat meliputi warna spat, dan bentuk cangkang. Pengukuran parameter kualitas air meliputi suhu, salinitas, kecerahan, dan kecepatan arus. 84
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 5 perlakuan dan 6 ulangan yaitu sebagai berikut : Perlakuan A : kedalaman kolektor 0.5 m; Perlakuan B : kedalaman kolektor 2.5 m; Perlakuan C : kedalaman kolektor 4.5 m; Perlakuan D : kedalaman kolektor 6.5 m; Perlakuan E : kedalaman kolektor 8.5 m. Model linear yang digunakan dalam Rancangam Acak Lengkap menurut Gasperz (1991) adalah sebagai berikut : Yij = μ + τi + εij
dimana : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i yang memperoleh ke-j; μ = Nilai tengah (mean); εij = Pengaruh galat percobaan ke-j yang memperoleh ke-i; τi = Pengaruh perlakuan ke-i. Hasil Selama masa penelitian dari lima perlakuan kedalaman kolektor yang berbeda yaitu kedalaman kolektor A (0,5 m), B (2,5 m), C (4,5 m), D (6,5 m), dan E (8,5 m) terjadi pelekatan spat Kerang Mabe. Data pelekatan spat dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Data pelekatan spat Kerang Mabe selama penelitian Perlakuan A (0,5 m) B (2,5 m) C (4,5 m) D (6,5 m) E (8,5 m)
Rata-rata 100,67a 166,83b 289,17c 187,5d 139e
Berdasarkan tabel di atas, dapat Selama masa penelitian dari lima diketahui bahwa nilai rata-rata pelekatan spat perlakuan kedalaman kolektor yang berbeda menunjukkan bahwa kedalaman 4,5 m lebih yaitu kedalaman kolektor A (0,5 m), B (2,5 m), banyak ditempeli oleh spat Kerang Mabe yaitu C (4,5 m), D (6,5 m), dan E (8,5 m) terjadi 289,17 spat, kemudian kedalaman 6,5 m pertumbuhan spat Kerang Mabe. Data (187,5 spat), disusul kedalaman 2,5 m (166,83 pertumbuhan spat dapat dilihat pada tabel spat), serta kedalaman 8,5 m (139 spat), dan berikut : yang terendah kedalaman 0,5 m (100,67 spat). Tabel 3. Data pertumbuhan spat Kerang Mabe selama penelitian Perlakuan A (0,5 m) B (2,5 m) C (4,5 m) D (6,5 m) E (8,5 m)
Rata-rata 5,217a 4,283b 3,033c 3,467d 4,667e
Pertumbuhan rata-rata panjang cangkang. Kerang Mabe memiiki sepasang cangkang tertinggi yaitu pada kedalaman 0,5 m kulit cangkang yang tidak sama bentuknya, 5.17 cm, kemudian kedalaman 8,5 m 4.667 kulit sebelah kanan agak pipih, sedangkan cm, disusul kedalaman 2,5 m 4.283 cm, dan sebelah kiri agak cembung. Hasil pengamatan kedalaman 6,5 m 3.467 cm serta yang terendah terhadap parameter kualitas air selama kedalaman 4,5 m 3.033 cm. penelitian yaitu suhu 28,12 0C, kecepatan arus Hasil pengamatan terhadap morfologi 25,18 perairan cm/detik, kecerahan 6.6 m, spat yang meliputi warna dan bentuk sedangkan salinitas 32,05 (ppt). Tabel 4. Nilai rata-rata kualitas air selama penelitian No. 1 2 3 4
Parameter Suhu Kecepatan Arus Kecerahan Salinitas
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Satuan 0 C cm/S meter (ppt)
Rata-rata 28.12 25.18 6.6 32,05
85
Pembahasan Selama penelitian rata-rata pelekatan spat yang tertinggi yaitu pada kedalaman 4,5 m. Banyaknya jumlah spat yang melekat pada kedalaman 4,5 m diduga Kerang Mabe (P.penguin) memiliki kesukaan yang sama dengan (P.maxima) dalam kedalaman kolektor untuk pelekatan spat hal ini seperti yang
dinyatakan oleh Winanto et. al (2009). Bahwa (P.maxima) kedalaman kolektor yang ideal untuk melakukan penangkapan benih dialam yaitu 4 sampai 6 meter sedangkan diatas 6 meter kurang baik. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar. 4.
400 350
c
Pelektan/individu
300 250 200
d
b
e
150
a
100 50 0 A (0,5 M)
B (2,5 M)
C (4,5 M)
D (6,5 M)
E (8,5 M)
Perlakuan
Gambar 4. Histogram rata-rata pelekatan spat Kerang Mabe (P.penguin). Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa kedalaman 0,5 m berbeda nyata terhadap perlakuan kedalaman 2,5 m, kedalaman 4,5 m, kedalaman 6,5 m, dan kedalaman 8,5 m. kedalaman 2,5 m berbeda nyata dengan perlakuan kedalaman 4,5 m, kedalaman 6,5 m, dan kedalaman 8,5 m. Kedalaman 4,5 m berbeda nyata dengan perlakuan kedalaman 6,5 m, dan kedalaman 8,5 m. Hasil uji ANOVA dengan nilai sig 0,01 ≤, menunjukan bahwa kedalaman kolektor memberikan respon yang berbeda terhadap pelekatan spat Kerang Mabe dengan (sig 0,000). Dilanjutkan dengan Uji LSD yaitu pada kedalaman 0,5 m berbeda nyata dengan semua kedalaman lainnya. Kedalaman 2,5 m berbeda nyata dengan kedalaman 4,5 m (sig 0,000), kedalaman 6,5 m (sig. 0,000), dan perlakuan kedalaman 8,5 m (sig. 0,000). Sedangkan kedalaman 4,5 m berbeda nyata dengan kedalaman 6,5 m (sig. 0,000), dan kedalaman 8,5 m (sig. 0,000), Kedalaman 6,5 m, berbeda nyata dengan kedalaman 8,5 m (sig. 0,000). Kerang Mabe pada stadia larva kemudian akan berubah menjadi velinger yang Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
ditandai dengan mulai tumbuhnya organ pencernaan. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya velum, pada stadia ini biasanya larva sangat sensitif terhadap cahaya dan banyak melayang-layang di permukaan air, kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki dan berakhirlah stadia planktonik menjadi spat. Spat yang telah memiliki velum dan kaki disebut padivelinger, pada stadia ini spat mulai aktif mencari substrat untuk menempel sampai dewasa. Winanto et. al (2009) menyatakan bahwa pada stadia spat Kerang Mabe bersifat fototaksis negatif. Pada kedalaman 4,5 m masih banyak tersedia plankton sebagai makanan salalu satu faktor yang menunjang untuk ketersediaan makanan yaitu nutrient, oksigen dan cahaya untuk melakukan fotosintesis bagi fitoplankton. Marin et. al (2000) menyatakan bahwa kemelimpahan plankton sebagai makanan alami berada pada kedalaman 3-5 m. Selain faktor makanan, salah satu penyebab kedalaman 4,5 m lebih baik yaitu dikarenakan pada kedalaman ini kondisinya lebih gelap dibanding kedalaman diatasnya, 86
dan kondisi ini sangat disukai oleh spat, karena spat Kerang Mabe bersifat fototaksis negatif (tidak menyukai cahaya). Sedangkan perairan yang lebih dalam ketersediaan makanan dalam hal ini fitoplankton akan berkurang karena cahaya yang masuk pada kedalaman tersebut sedikit sehingga untuk kebutuhan fotosintesis sangat kurang bahkan tidak cukup. Rendahnya pelekatan spat pada kedalaman 0,5 m. Larva kerang yang baru menetas hidup sebagai planktonik dan bergerak bebas dengan menggunakan velum yang mengandung cillia sederhana. Larva Kerang Mabe hidup planktonis biasa hidup menempel sampai berukuran 2-3 cm. Setelah ukuran tersebut spat akan lepas ke dasar perairan dan akan menempel pada substrat sampai dewasa (Sarifin, 2008). Jika telah
masuk masa menempel spat belum menemukan substrat belum menemukan substrat yang cocok untuk melakukan penempelan, maka spat tersebut akan mati. Hasil penelitian rata-rata panjang cangkang spat Kerang Mabe yang baik yaitu pada kedalaman 0,5 m dikarenakan jumlah individu spat yang menempel pada perlakuan tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan yang lain, sehingga persaingan makanan dan ruang menjadi berkurang dengan demikian maka pertumbuhanya menjadi maksimal. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup spat kerang mutiara dipengaruhi oleh suhu dan ketersedian makanan (Hamzah, 2009). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar. 5.
Pertumbuhan (cm/individu)
7 6
a
5
e b
4
d
c
3 2 1 0 A (0,5 M)
B (2,5 M)
C (4,5 M)
D (6,5 M)
E (8,5 M)
Perlakuan
Gambar 5. Histogram rata-rata pertumbuhan spat Kerang Mabe. Berdasarkan Gambar 6. menunjukkan kedalaman 0,5 m berbeda nyata terhadap perlakuan kedalaman 2,5 m, kedalaman 4,5 m, kedalaman 6,5 m, dan kedalaman 8,5 m. Kedalaman 2,5 m berbeda nyata dengan perlakuan kedalaman 4,5 m, kedalaman 6,5 m, dan kedalaman 8,5 m. Kedalaman 4,5 m berbeda nyata dengan perlakuan kedalaman 6,5 m, dan kedalaman 8,5 m. Hasil uji ANOVA dengan nilai sig. ≤ 0,01 menunjukkan bahwa kedalaman kolektor memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan spat Kerang Mabe dengan (sig 0,000) dan dilanjutkan Uji LSD yaitu pada kedalaman 0,5 m berbeda nyata dengan semua kedalaman lainnya. Kedalaman 2,5 m berbeda Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
nyata dengan kedalaman 4,5 m (sig 0,000), kedalaman 6,5 m (sig. 0,000), dan perlakuan kedalaman 8,5 m (sig. 0,002). Sedangkan. kedalaman 4,5 m berbeda nyata dengan kedalaman 6,5 m (sig. 0,001), dan kedalaman 8,5 m (sig. 0,000). Kedalaman 6,5 m, berbeda nyata dengan kedalaman 8,5 m (sig. 0,000). Pattiasina (2002), bahwa benih alam Kerang Mabe biasanya banyak terdapat selama bulan November sampai April. Bila waktu tersebut dihubungkan dengan waktu pelaksanaan penelitian maka diduga bahwa kerang juga mengadakan pemijahan pada bulan april, sehingga didapatkan adanya spat yang menempel pada bulan Mei. Telur yang sudah dibuahi akan berkembang terus 2 sampai 87
3 minggu baru berbentuk spat dan siap melekat dengan ukuran panjang 0,3 sampai 0,5 mm (Tarwiyah, 2001). Pertumbuhan panjang cangkang merupakan perubahan panjang tubuh pada periode tertentu selama penelitian (Affendi and Kassem, 2012). Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat nilai rataan pertumbahan panjang cangkang pada masing-masing perlakuan menunjukan hasil yang bervariasi seiring bertambahnya umur dan ukuran Kerang Mabe. Pengaruh tersebut diduga akibat kompetensi ruang dan makanan. Peluang untuk mendapatkan makanan lebih banyak dapat terjadi pada kepadatan individu yang sedikit, kompetensi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan Kerang Mabe. Pertumbuhan pada bivalvi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu suplai makan, ruang, serta faktor lingkungan antara lain suhu, salinitas, dan pH (Pattiasina, 2002). Pertumbuhan dipengaruhi juga oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur, sifat genetik, jenis kelamin dan ketahan terhadap penyakit, sedangkan faktor eksternal meliputi ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan perairan (Sutaman, 2006). Pertumbuhan Kerang Mabe yang didapatkan pada penelitian ini lebih besar bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dimana pada penelitian ini pertumbuhan tertinggi 5.22 cm, sedangkan pada penelitian Lebata and Primavera (2001), pertumbuhan tertinggi yaitu 10,95 mm atau 1,95 cm. Rendahnya pertumbuhan pada kedalaman 4,5 m, karena banyaknya spat yang melekat pada kolektor tersebut sehingga persaingan ruang dan makanan juga tinggi sehingga menghambat pertumbuhannya. Pertumbuhan kerang mutiara disebabkan oleh banyaknya spat dan organisme penyaing seperti teritip Balanus sp atau sifat-sifat kerang itu sendiri (Hadfield, et. al 2004). Dalam penelitian ini pengukuran panjang cangkang yaitu dari anterior keposterior (APM). Pengukuran cangkang spat kerang mutiara mempunyai perbandingan 2 yaitu dorsal-ventral (DVM), dan anteriorposterior (APM) (Kriva, 2008). Perbandingan ini memberikan bentuk kerang mutiara yang lebih panjang pada bagian dorsal. Winanto (2004), menyatakan bahwa bentuk cangkang jenis Pteria ditandai dengan sayap posterior yang lebih panjang dibanding sayap anterior. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Cangkang berbentuk bujur telur yang agak miring. Telinga sebelah belakang berkembang menyerupai sayap. Engsel belakangnya memilki 1-2 gigi (tonjolan) kecil. Sudut engsel menonjol dan tampak jelas. Permukaan bagian luar cangkang kasar bersisik. Lebar cangkang lebih dari tingginya. Cangkangnya berwarna hitam, bagian nonnacrea pada cangkang sebelah dalam relative besar (Sudradjat, 2008) Dari hasil penelitian ini morfologi spat bentuk, ukuran, warna dan cangkang menunjukan keseragaman yakni semua spat normal sesuai dengan merfologi spat Kerang Mabe pada umumnya dan tidak saling melekati antara satu dengan yang lain. Ditinjau dari segi morfologi spat yang menempel pada spat kolektor menunjukan beberapa variasi warna yaitu hitam muda dan hitam tua yang merupakan warna aslinya, dan ditumbuhi oleh lumut dan tiram-tiram yang berukuran kecil. Selama stadia larva, kerang mutiara bersifat planktonik dan pergerakanya dengan cilia pada velum yang lemah, sehingga banyak dipengaruhi oleh arah arus (Winanto, 2004). Rata-rata kecepatan arus di lokasi penelitian yaitu 25,18 cm/s. (Sudradjat, 2008) menyatakan bahwa secara umum kerang mutiara menyukai daerah dengan kecepatan arus berkisar antara 20-40 cm/s. Suhu sebagai pengatur proses alam dilingkungan akuatik, berpengaruh langsung maupun tidak langsung dalam kombinasinya dengan unsure pokok air lainya. Suhu mempengaruhi fungsi fisiologis pada organisme, penyebab kematian, pengatur fotosintesa, respirasi, metabolismee, pertumbuhan dan reproduksi (Taena, 2001). Suhu rata-rata perairan selama penelitian yaitu 28,4 oC, ini merupakan kisaran suhu yang ideal bagi pertumbuhan spat Kerang Mabe. Pada suhu yang demikian (28,4 oC) proses metabolisme dapat berlangsung sepanjang hari, hal ini didukung oleh Winanto (2004), yang menyatakan bahwa pertumbuhan Kerang Mabe menunjukan kisaran suhu yang berbeda-beda. Kecerahan perairan menunjukan sampai sedalam mana cahaya sinar dapat masuk kedalam perairan. Nilai kecerahan perairan ditentukan oleh banyak sedikitnya partikel yang melayang dalam air. Jika kecerahan di perairan rendah maka jumlah partikel yang melayang dalam air tinggi. Partikel ini dapat berupa padatan atau plankton. Dengan 88
banyaknya partikel ini maka cahaya matahari yang masuk keperairan menjadi terhambat menembus sampai kedalaman yang lebih dalam. Kecerahan rata-rata perairan selama penelitian yaitu 6,6 m. Kecerahan ini masih layak untuk kegiatan budidaya kerang mutiara. Umumnya kerang mutiara menyukai kondisi perairan dengan kecerahan 4,5-6,5 m (Gokoglu, 2006). Kecerahan air berpengaruh terhadap fungsi dan dan struktur invertebrate dalam air. Lama penyinaran akan berpengaruh terhadap proses pembukaan dan penutupan cangkang mutiara. Cangkang mutiara akan terbuka sedikit jika ada cahaya dan terbuka lebar jika suasana gelap. Proses penutupan dan pembukaan cangkang Kerang Mabe dipengaruhi oleh kondisi gelap dan terangnya suatu perairan (Chang, et. al 2008). Salinitas perairan terbuka biasanya berkisar antara 32 sampai 37,5 ppt. Perbedaan-perbedaan mencerminkan pengaruh lokal dari penguapan, hujan, peleburan es, atau masuknya air (Soria, et. al 2007). Kisaran ratarata salinitas di lokasi penelitian yaitu 31,72 ppt ini merupakan kisaran salinitas yang cukup ideal untuk melakukan kegiatan budidaya kerang mutiara. Kerang mutiara dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas 20-50 ppt, selanjutnya Minaur menambahkan bahwa salinitas yang disukai spat kerang mutiara yaitu berkisar antara 32-35 ppt. Kondisi perairan yang seperti ini baik untuk pertumbuhannya (Pattiasina, 2002). Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa kedalaman kolektor memberi respon yang berbeda terhadap pelekatan dan pertumbuhan spat Kerang Mabe, tetapi kedalaman kolektor tidak mempengaruhi morfologi spat Kerang Mabe. Pelekatan tertinggi pada kedalaman 4,5 m yaitu 287,17 spat, dan terendah pada perlakuan kedalaman 0,5 m yaitu 100,67 spat. Pertumbuhan panjang cangkang tertinggi dalam penelitian ini pada kedalaman 0,5 m yaitu 5,22 cm dan terendah pada kedalaman 4,5 m yaitu 3,03 cm. Persantunan Berdasarkan simpulan hasil penelitian, dapat disampaikan saran sebagai masukan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
sumberdaya perairan, untuk lokasi penangkapan benih Kerang Mabe (P. penguin) kedalaman kolektor yang baik untuk penangkapan spat yaitu dengan kedalaman 4,5 m. Sebagai bahan pembanding serta referensi untuk penelitian lanjutan dalam pengembangan budidaya Kerang Mabe dimasa mendatang. Daftar Pustaka Affendi, Y.A., Kassem, K. Hoeksema, B. 2012. Semporna Marine Ecological Expedition. WWF-Malaysia, NCB Naturalis, Universiti Malaysia Sabah. Kota Kinabalu Malaysia. 277 hal. Chang K.H., Obayashi Y., Shime M. 2008. Attached Microalgae Contribute To Planktonic Food Webs In Bays With Fish and Pearl Oyster Farms. Marine Ecology Progress Series 353:107–113. Gasperz, V. 1991. Ekonometrika Terapan. Penerbit Tarsito. Bandung. 97 hal. Gokoglu, N. 2006. Seasonal Variations In Proximate and Elemental Composition Of Pearl Oyster (Pinctada maxima), (Leach, 1814). Journal of The Science of Food and Agriculture 86: 2161– 2165. Hadfield AJ., Anderson DT. 2004. Reproductive Cycles of The Bivalve Mollusks (Anadara trapezia) (Delhayes), (Venerupis crenata) Lamarck and (anomia descripta) Iredale In The Sydney Region. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, 39 (5) : 649 – 660. Hamzah, M.,S., Bisman, N. 2009. Studi Pertumbuahan dan Kelangsungan Hidup Anakan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Pada Kedalaman Berbeda Di Teluk Kapontori, Pulau Buton. E-Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 1, No.2. 32 hal. Lantu, S. 2009. Studi Perkembangan Larva Tiram Mutiara (pinctada maxima). Manado. Pacific Journal, Vol. 1 (4) : 521 – 523. Lebata MJHL., Primavera. 2001. Gill Structure, Anatomy and Habitat of (Anodontia edentula) : Evidence of Endosymbiosis. Journal of Shellfish Research, 20. (3) : 1273 – 1278.
89
Marin F., Paul Corstjens P., Gaulejac B., Jong EV., Westbroek P. 2000. Mucins and Molluscan Calcification Molecular Characterization of Mucoperlin, a Novel Mucin-like Protein from the Nacreous Shell Layer of the Fan Mussel Pinna Nobilis (Bivalvia, Pteriomorphia). The journal of biological chemistry 275 (27) : 20667–20675. Pattiasina, B.J. 2002. Hubungan Faktor Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Dengan Pertumbuhan Tiram Mutiara (Pteria penguin) (Roeding) Pada Habitat Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. Fakultas Perikanan. UNPAT. Ambon. 78 hal Paul, S. 2008. Pearl Oyster Information Bulletin. Secretariat of the Pacific Community, Marine Resources Division, BP D5, 98848, Noumea Cedex, New Caledonia. 40 hal. Sarifin., Wildan., Aprisanto Dwi L. 2008. Teknik Pembenihan dan Pendederan Tiram Mutiara (Pinctada maxima) Sebagai Pendukung Peningkatan Produksi Mutiara. Balai Budidaya Laut Lombok. NTB. 37 hal. Soria G., Merino G., Von Brand E. 2007. Effect of Increasing Salinity on
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Physiological Response in Juvenile Scallop Agropecten Purpuratus at Two Rearing Temperatures. Journal Aquaculture 70 (1) : 451-463. Sudradjat, A. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Penebar Swadaya. Jakarta. 116 hal Sutaman. 2006. Teknik Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara. Kanisius. Yogyakarta. 93 hal. Taena, M. 2001. Studi Kualitas Air dan Pertumbuhan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Pada Kedalaman Pemeliharaan Berbeda. Thesis Pascasarjana Universitas Hasanudin. Makassar. 147 hal. Tarwiyah. 2001. Teknik Budidaya Laut Tiram Mutiara Di Indonesia. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. 39 hal. Winanto, T. 2004. Latihan Budidaya Laut Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Lampung. 23 Hal. Winanto, T., Dedi S., Ridwan, A., Harpasis S. Sanusi. 2009. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Jurnal Biologi Indonesia. Vol. 6, no.1. 19 hal.
90