Jurnal Ilmiah
VISI
Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PPTK PAUDNI) Vol. 11 No. 2 Desember 2016
ISSN 1907-9176
Hal 65 - 158
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian kepustakaan. Jurnal VISI diterbitkan pertama kali pada bulan Juni 2006. Susunan Redaksi: Penasehat Penanggung Jawab
:
Prof. Dr. Djaali, M.Pd
:
Dr. Sofia Hartati, M.Si
Ketua Penyunting
:
Prof. Dr. B. P. Sitepu, M.A.
Wakil Ketua Penyunting
:
Dr. Gantina Komala Sari, M.Psi.
Penyunting Pelaksana :
Retno Widyaningrum, S.Kom., M.M. Ika Lestari, S.Pd., M.Si
Mitra Bestari :
Prof. Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd (Teknologi Pendidikan - UNJ) Dr. Mubiar Agustin, M.Pd. (Pendidikan Anak Usia Dini - UPI) Dr. Asep Saepudin, M.Pd. (Pendidikan Luar Sekolah - UPI) Dr. Anan Sutisna, M.Pd (Pendidikan Luar Sekolah - UNJ)
Pelaksana Tata Usaha : Supraptiningsih, S.IP. Pelaksana Teknis : Mita Septiani, M.Pd
Alamat Redaksi: Gedung Daksinapati Lt.3, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Rawamangun Muka, Jakarta Timur 13220 Telp. (021) 47860970; Faks: (021) 4897535; HP: 08111078887 e-mail:
[email protected] http://journal.unj.ac.id/jurnalfip/index/visi
ISSN : 1907 – 9176
VISI PEMBINAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, NONFORMAL, DAN INFORMAL (PPTK-PAUDNI) Penguatan Manajemen Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Dalam Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Nonformal Strengthening The Management of Community Learning Center to Improve The Sevice Quality of Non-Formal Education Asep Saepudin, Ade Sadikin,& Iip Saripah
65 - 72
Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Melalui Permainan Tradisional “Sikodoka” Bagi Anak Usia Dini Berlatar Belakang Tuna Grahita Improving Gross Motor Skills Through Traditional Game “Sikodoka” in Early Childhood With Intellectual Disability Mientje Ratoe Oedjoe & Beatriks Novianti Bunga
73 - 80
Dampak Pelatihan Keterampilan Hidup Montir Otomotif Terhadap Kesempatan Kerja dan Pendapatan Warga Belajar The Impact of Life Skill Training for Automotive Mechanic in Employment Opportunity and Learners’ Income Dayat Hidayat
81 - 98
Pembentukan Karakter Anak Melalui Permainan Tradisional “Cim-Ciman” Child Character Building Through Traditional Game “Cim-Ciman” Fauzi
99 - 110
Rekonstruksi Kecakapan Sosial Guru Dalam Pengembangan Berbicara Anak Usia Dini Teacher Social Skills Reconstruction in Improving Early Childhood Speaking Ability Gian Fitria Anggraini & Ari Sofia
111 - 120
Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku Dengan Teknik Latihan Asertif Untuk Mengatasi Tindakan Kekerasan Pada Anak The Effectiveness of Cognitive-Behavior Counselling With Assertive Technique to Address Child Abuse Mubiar Agustin, Ipah Saripah,& Asep Deni Gustiana
121 - 130
Pemerolehan Bahasa Anak: Kajian Aspek Fonologi Pada Anak Usia 2 - 2,5 Tahun Child Language Acquisition: The Phonological Study of 2-2.5 Years Old Children Prima Gusti Yanti
131 - 142
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kesetaraan Curriculum Development of Equality Education Sutjipto
143 - 158
Indeks Penulis Indeks Subjek Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No.1, Juni 2016
PENGHARGAAN Atas kesediaan menjadi Mitra Bestari dalam penerbitan Jurnal Ilmiah Visi PPTK-PAUDNI Volume 11 No 2 Desember 2016 ini, Dewan Redaksi Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada: NAMA
PEKERJAAN/INSTANSI
KEAHLIAN
Dr. Asep Saepudin, M.Pd
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan Luar Sekolah
Dr. Mubiar Agustin, M.Pd
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan Anak Usia Dini
Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI Terakreditasi oleh LIPI Nomor 621/AU2/P2MI-LIPI/03/2015 Masa Berlaku Akreditasi 2015 - 2018
PENGANTAR REDAKSI
Kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan antara lain oleh pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan dialami oleh seluruh masyarakatnya. Semakin maju dan merata pendidikan baik secara kuantitas dan kualitas di suatu negara semakin cerdas dan beradab pula kehidupan bangsanya. Cita-cita mewujudkan masyarakat adil, makmur, damai, sejahtera secara lahir dan batin akan terwujud apabila setiap anggota masyarakat adalah terdidik dengan baik. Pentingnya pendidikan itu juga disadari oleh pendiri bangsa dan negara Indonesia sehingga dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan antara lain bahwa salah satu tujuan kemerdekaan Nagara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang kemudian diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia yang mengacu pada Pasal 31 UUD 1945 itu memberikan kesempatan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kemampuan fisik dan intelektualnya secara merata tanpa membedakan usia, suku, ras, agama, maupun golongan. Dengan perkataan lain tidak ada diskriminasi dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Adalah Pemerintah Indonesia dan masyarakat yang bertugas dan bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana pendidikan sehingga kesempatan memperoleh pendidikan itu tersedia secara merata dan berkeadilan. Keterbatasan kemampuan Pemerintah menyediakan sarana, prasarana, dan tenaga pendidik dan kependidikan sehingga Program Wajib Belajar diselenggarakan secara bertahap, mulai dari Program Wajar Dikdas 6 tahun (1985) menjadi Program Wajar Dikdas 9 tahun (1995). Program Wajar itu dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan pendidikan nonformal dengan tetap menjaga standar mutu pendidikan sehingga lulusan satuan/lembaga pendidikan dari kedua jalur itu adalah setara. Pendidikan jalur nonformal memberikan kesempatan yang lebih luas kepada semua anggota masyarakat menempuh pendidikan sesuai dengan waktu, tempat, usia, dan kebutuhan mereka. Di samping itu, pendidikan jalur nonformal juga mendorong dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk belajar sepanjang hayat sedini mungkin sampai usia lanjut. Penyelenggaraan pendidikan nonformal juga merupakan upaya mendekatkan lembaga pendidikan ke tengah-tengah masyarakat. Melalui pendidikan Paket A, B, dan C serta berbagai jenis pendidikan usia dini serta kursus keterampilan, masyarakat dapat belajar meningkatkan keterampilan hidupnya sehingga lebih berkualitas. Berbagai kegiatan pendidikan nonformal juga mendorong pertumbuhan minat dan kebiasaan belajar masyarakat sehingga belajar itu menjadi salah satu budaya masyarakat sebagai ciri mayarakat belajar, terdidik, dan beradab. Belajar sepanjang hayat akan terwujud apabila masyarakat memiliki keterampilan belajar yang seharusnya diperoleh di setiap lembaga pendidikan. Keterampilan belajar yang dimaksud adalah kemampuan mengenali apa yang perlu dipelajari, memahami bagaimana cara mempelajarinya, serta mengetahui sumber belajar yang sesuai. Semakin tinggi keterampilan belajar yang dimiliki, semakin giat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
seseorang belajar serta semakin dinamis dan berkualitas kehidupannya. Program Pendidikan Untuk Semua (PUS) memiliki target yang harus dicapai pada tahun 2015 lalu yang mencakup pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan kecakapan hidup, pemberantasan buta aksara, pengarusutamaan gender, dan peningkatan mutu pendidikan. Hal ini membuka kesempatan bagi semua warga negara Indonesia memenuhi hak-hak pendidikannya serta ikut merasakan pendidikan alternatif di samping pendidikan jalur formal. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) lahir sebagai jawaban berbagai permasalahan bagi pihak-pihak yang belum terpenuhi hak pendidikannya. Masih tingginya angka buta aksara, jumlah masyarakat miskin di Indonesia dan angka putus sekolah menjadi persoalan bagi sektor nonformal yang diharapkan dapat terbantu dengan hadirnya PKBM. Oleh karena itu, PKBM membutuhkan manajemen yang baik dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan nonformal. Penelitian yang dilakukan oleh Asep Saepudin, Ade Sadikin dan Iip Saripah berjudul “Penguatan Manajemen Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dalam Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Nonformal” mengembangkan model konseptual layanan PKBM. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya keterlibatan aktif, tanggapan positif, serta terjadinya peningkatan kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga model konseptual ini dapat menjadi rujukan bagi PKBM lainnya. Pemberian kesempatan pendidikan yang merata dan luas diharapkan dapat memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan nonformal sebaiknya diberikan pelatihan yang bersifat keterampilan hidup sehingga dapat memberikan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan. Pelatihan keterampilan hidup pada dasarnya diadakan untuk memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya pelatihan ini, masyarakat dapat membuka lapangan kerja sekaligus memiliki keterampilan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Salah satunya pelatihan di bidang montir otomotif seperti yang ada di dalam penelitian berjudul “Dampak Pelatihan Keterampilan Hidup (Life Skills) Montir Otomotif terhadap Kesempatan Kerja dan Pendapatan Warga Belajar” oleh Dayat Hidayat. Hasil penelitian ini menunjukkan, pelatihan keterampilan di bidang otomotif dan sikap kewirausahaan telah membuat warga belajar dapat mandiri serta mengurangi terjadinya pengangguran sehingga meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di Kabupaten Karawang. Pemenuhan hak pendidikan tidak hanya bagi warga masyarakat yang buta aksara maupun yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan. Orang dengan berkebutuhan khusus juga mendapatkan layanan pendidikan. Tunagrahita merupakan salah satu dari golongan yang berkebutuhan khusus. Tunagrahita merupakan keadaan keterbelakangan mental yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Pada sebagian anak, ada yang sampai mengalami keterhambatan perkembangan fisik. Untuk itu, perlu dilatih kemampuan motorik kasar anak melalui permainan tradisional yang dapat menyenangkan bagi anak. Salah satu permainan tradisional yang dapat dilatihkan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
yaitu Sikodoka atau Engklek. Penelitian yang dilakukan oleh Mientje Ratoe Oedjoe dan Beatriks Novianti Bunga berjudul “Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Melalui Permainan Tradisional ‘Sikodoka’ Bagi Anak Usia Dini Berlatar Belakang Tuna Grahita” menunjukkan peningkatan kemampuan motoric kasar anak tunagrahita melalui permainan tradisional. Permainan tradisional lainnya yang dapat dimainkan oleh anak yaitu Cim-Ciman. Permainan tradisional Cim-Ciman berasal dari Banyumas yang beberapa bagiannya mirip dengan permainan petak umpet. Permainan ini mampu menstimulasi perkembangan secara holistik-integratif, menanamkan nilai-nilai budaya dan membangun karakter. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fauzi berjudul “Pembentukan Karakter Anak melalui Permainan Tradisional CimCiman” menunjukkan manfaat permainan tradisional bagi pembentukan karakter anak sehingga perlu terus dilakukan rekonstruksi dan revitalisasi permainan tradisional sehingga dapat dijadikan permainan yang menarik minat anak Indonesia. Penanaman karakter pada diri anak terutama anak usia dini juga perlu dibarengi dengan kecakapan sosial guru karena interaksi sosial merupakan pondasi awal bagi anak usia dini untuk belajar bersosialisasi dan mengenal lingkungan di sekitarnya baik rumah maupun masyarakat. Anak usia dini masih memiliki perkembangan bahasa yang terbatas sehingga guru sebaiknya mampu memahami tahapan perkembangan anak. Guru PAUD adalah pihak yang dapat menjadi fasilitator dalam meningkatkan kemampuan bahasa oral serta mengurangi hambatan yang ditemui anak ketika belajar berbahasa. Penelitian yang dilakukan oleh Gian Fitria Anggraini dan Ari Sofia berjudul “Rekonstruksi Kecakapan Sosial Guru dalam Pengembangan Berbicara Anak Usia Dini”. Hasil penelitian menjelaskan bahwa semakin tinggi kualitas interaksi sosial yang terjadi antara anak dan guru dibarengi dengan tingginya interaksi sosial. Kecakapan sosial yang dimiliki oleh guru dapat mempengaruhi pola interaksi yang nantinya akan sangat membantu pengembangan potensi dan keterampilan anak usia dini. Kualitas interaksi sosial yang baik antara anak dan guru dapat menghindari terjadinya kekerasan dalam lingkungan anak. Tindakan kekerasan (bullying) telah terjadi di taman kanak-kanak. Bentuk kekerasan yang timbul di TK yaitu berupa barang/mainan direbut dan diikuti dengan dipukul pada bagian anggota tubuh. Hal ini termasuk ke dalam kekerasan ketika anak yang mainannya direbut merasa teraniaya dan kemudian menjadi korban. Selain itu, kekerasan juga dapat timbul dalam dimensi verbal Tindak kekerasan yang sering terjadi adalah dijuluki dan dicela oleh anak lain. Kekerasan lainnya dalam dimensi relasional, anak TK sering ditertawakan (diejek) oleh anak lain dan diacuhkan saat bermain. Penanganan bentuk kekerasan yang terjadi di anak TK dengan menerapkan program konseling kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mubiar Agustin, Ipah Saripah, dan Asep Deni Gustiana berjudul “Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku dengan Teknik Latihan Asertif Untuk Mengatasi Tindakan Kekerasan pada Anak”. Hasil penelitian menemukan latihan asertif efektif dalam mengatasi tindakan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
kekerasan pada anak karena membelajarkan anak untuk berani mengungkapkan perasaan, keyakinan, dan pemikiran secara terbuka, serta mempertahankan hal-hal pribadi. Untuk dapat mengungkapkan perasaan dan pendapat, anak perlu menguasai bahasa dengan baik. Hal ini dapat mulai dilatih dari usia 2 – 2,5 tahun. Pada usia ini, anak dapat mulai belajar fonologi. Pemerolehan bunyi bahasa pada anak-anak berlangsung secara berurutan, yakni dari bunyi yang mudah ke sukar. Penelitian berjudul “Pemerolehan Bahasa Anak: Kajian Aspek Fonologi Pada Anak Usia 2 - 2,5 Tahun” yang dilakukan oleh Prima Gusti Yanti memaparkan pemerolehan fonologi anak masih belum lengkap karena belum menguasai bunyi getar [r]. Selain itu, pemerolehan fonologi juga dipengaruhi oleh stimulus dari keluarga atau lingkungan. Penelitian merupakan serangkaian kegiatan untuk menemukan kebenaran untuk menjelaskan fenomena yang ada, memecahkan masalah, serta memprediksi kejadian yang terjadi pada waktu yang akan datang. Penelitian merupakan pendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, penelitian perlu dikembangkan termasuk dalam pendidikan nonformal. Berbagai masalah yang menarik dan perlu dilakukan untuk meningkatan kuantitas dan kulitas pendidikan nonformal. Nilai utama hasil penelitian adalah pemanfaatannya lebih lanjut. Laporan penelitian perlu disebarluaskan melalui berbagai kesempatan dan publikasi ilmiah, bukan hanya semata-mata sebagai dokumen untuk pertanggungjawaban dana penelitian. Penyebarluasan hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang relevan atau mengembangkan berbagai program pendidikan termasuk dalam pendidikan nonformal. Penelitian-penelitian yang ada dalam jurnal Visi PTK-PAUDNI edisi Desember 2016 ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan masukan keilmuan dalam bidang PAUDNI. Hasil-hasil penelitian itu hendaknya juga dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitian lebih lanjut atau sebagai bahan perbandingan.***
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
PENGUATAN MANAJEMEN PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN NONFORMAL Asep Saepudin, Ade Sadikin,& Iip Saripah e-mail:
[email protected] PLS FIP Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan model konseptual layanan PKBM, (2) melakukan validasi model konseptual layanan PKBM, dan (3) menganalisis implementasi model layanan PKBM. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini terdiri atas: studi dokumentasi, studi literatur, wawancara, dan kelompok diskusi terfokus (FGD). Subjek penelitiannya adalah pengelola dan tutor, serta peserta didik PKBM yang berada di wilayah Bandung Raya yang dilakukan pada April – September 2015. Hasil penelitian berupa (1) model konseptual yang dikembangkan terdiri atas, rasionalisasi, asumsi, tujuan, komponen, indikator, dan prosedur model; (2) validasi model dilakukan dengan menggunakan dua cara yakni diskusi dengan teman sejawat (peer group) dan penilaian para ahli (expert judgement); serta (3) implementasi model dideskripsikan dalam kegiatan pembelajaran di PKBM. Langkah-langkah pembelajaran sebagai komponen model adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian dalam pembelajaran. Kesimpulan model yang dikembangkan menunjukkan hasil yang efektif, dengan indikator (a) adanya keterlibatan aktif dan tanggapan positif warga masyarakat terhadap kegiatan pembelajaran, serta (b) hasil belajar warga msyarakat menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kata-kata Kunci: penguatan manajemen, PKBM, mutu layanan, pendidikan nonformal.
STRENGTHENING THE MANAGEMENT OF COMMUNITY LEARNING CENTER TO IMPROVE THE SEVICE QUALITY OF NON-FORMAL EDUCATION Abstract: The purposes of this research are (a) to describe service conceptual model of Community Learning Center (CLC), (b) to validate the service conceptual model of CLC, and (c) to analyze the implementation of the service conceptual model of CLC. The research employed qualitative approach and descriptive method. The data were collected by using document study, literature review, interview, and Focus Group Discussion as from April through September 2015. The subjects of the study included administrators, tutors, and CLC participants in Bandung Raya area. The research resulted in (a) the developed conceptual model consisting of rationalization, assumption, objectives, components, indicators, and procedure model; (b) the model validation used peer group and expert judgement techniques; and model implementation described in instructional activities in CLC. Instructional steps as the model components are planning process, organizing, implementation, and evaluation in instruction. The conclusion of the developed model indicates effective results with the indicators: (a) the active participation and respond of the community for instructional activities and (b) the learning achievement of the community shows the improvement in knowledge, attitude, and skills. Keywords: strengthening management, Community Learning Center, nonformal education.
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan percepatan perubahan di segala bidang, yang mempengaruhi sendi-
sendi kehidupan manusia. Menyikapi perubahan perkembangan dunia yang semakin mengglobal, UNESCO menerapkan empat pilar belajar, yaitu
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
65
Penguatan Manajemen Pusat ...
learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Pada learning to know terkandung makna bagaimana belajar, learning to do mengandung dimensi kecakapan hidup manusia, learning to live together mengandung dimensi kehidupan multikultural, dan learning to be mengandung makna belajar untuk mengenal jati diri, kemampuan dan kelemahan serta kompetensi yang dikuasai untuk membangun kehidupan yang utuh secara terus-menerus. Penerapan empat pilar belajar UNESCO (2005), yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be, melahirkan konsep revolusi belajar. Model pembelajaran modern, yaitu melatih para peserta didik untuk menjadi sumber belajar, mengubah model belajar pasif (passive learning) menjadi belajar aktif (active learning), mengubah model berpikir fakta (factual thinking) menjadi berpikir kritik (critical thinking), dari kurang aktif memberi respons menjadi proaktif memberi respons, dari berpikir abstrak menjadi autentik. Perubahan ini, menempatkan peranan pendidikan nonformal dalam posisi yang strategis. Menurut Sihombing (1999:12) pendidikan luar sekolah bukan hanya sebagai lembaga pendidikan dalam masyarakat tetapi juga merupakan program strategis yang responsif dalam menanggulangi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Berdasarkan alur pemikiran di atas, implementasi program belajar dalam PKBM merupakan pendekatan pendidikan (educational approach) pada jalur pendidikan nonformal yang didasarkan kepada konvergensi kebutuhan belajar (learning needs) dengan sumber belajar (learning resourch) dalam masyarakat, yang membentuk suatu sistem belajar. Sebagai suatu sistem belajar PKBM dibangun atas lima komponen berikut: (1) kebutuhan belajar, (2) sumber belajar, (3) program pembelajaran, (4) kelompok belajar/wadah pembelajaran, dan (5) fasilitator kegiatan belajar. Terminologi yang berkaitan dengan PKBM yaitu: Pusat, bermakna pemusatan manajemen, bukan dalam pengertian pemusatan berbagai program layanan PKBM pada satu tempat. Pemusatan manajemen penyelenggaraan PKBM, terutama dalam hal pemecahan masalah dan pendayagunaan sumberdaya. Kegiatan belajar, setiap program atau kegiatan layanan PKBM diselenggarakan dalam setting pembelajaran sehingga proses dan hasil program dan kegiatan layanan yang diikuti 66
dan diperoleh warga sasaran program harus berdampak kepada perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Masyarakat, merupakan sasaran utama dan sasaran akhir dari setiap program/ kegiatan layanan yang dirancang oleh PKBM. Pada sisi lain masyarakat juga merupakan sasaran utama dan sasaran akhir dari fasilitasi dan pendampingan yang dilakukan oleh pihak luar. Menurut Hikmat, H., (2001:23), fasilitasi dan atau pendampingan dari pihak luar masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan PKBM diorientasikan kepada penguatan kemampuan masyarakat berperan aktif: (1) sebagai penyelenggara atas upaya pemenuhan kebutuhan pembelajarannya; (2) dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut dengan upaya peningkatan taraf hidup dan kehidupannya; dan (3) sebagai penggagas serta penggerak bagi dirinya sendiri maupun masyarakat lain di lingkungan sekitarnya. Mengingat karakteristik dan trend permasalahan pendidikan nonformal saat ini mengarah kepada penanganan kebutuhan nyata masyarakat, maka orientasi program PKBM sebagai satuan pendidikan nonformal diproyeksikan pada pendidikan masyarakat dengan pendekatan Community Based Education (CBE). Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:31) Community Based Education menekankan pentingnya pemahaman masyarakat, karakteristiknya, kebutuhannya, kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya. Dalam implementasinya CBE merupakan metode yang menekankan pada cara pemecahan masalah oleh masyarakat, dengan memanfaatkan potensi lingkungan (to help people to help them self). Community Base Education, dikembangkan bersandar kepada beberapa konsepsi sebagai berikut: Pendidikan sepanjang hayat, Pendidikan kritis yang menekankan perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang ada, serta partisipasi dalam setiap kegiatan, Andragogi, dan Learning Organization. Berdasarkan data empiris, PKBM di wilayah Bandung Raya merupakan PKBM yang telah teruji mampu meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu. Program pendidikan yang diselenggarakan PKBM umumnya adalah program pendidikan kesetaraan paket A, paket B, dan paket C. Program pendidikan anak usia dini, program pendidikan life skill (kursus keterampilan), dan pendidikan masyarakat lainnya yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuahan dan potensi lingkungan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penguatan Manajemen Pusat ...
masarakat sekitar. Namun demikian, PKBM di wilayah Bandung Raya rata-rata belum sepenuhnya menyelengaraan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Hal ini dikarenakan belum seluruhnya PKBM memiliki kelayakan dilihat dari aspek manajemen penyelenggaraan, standarisasi dan ketertiban administrasi dan kelayakan fisik lembaga sebagai penyelenggara pendidikan. Sejalan dengan uraian di atas, pada sisi lain, upaya untuk mengembangkan pendidikan nasional baik melalui jalur pendidikan formal maupun pendidikan nonformal terus ditingkatkan secara berkelanjutan sebagai implementasi dari komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, serta Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003. Kebijakan tentang optimalisasi pendidikan nonformal juga dperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1991 tentang pendidkan luar sekolah. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila PKBM sebagai salah satu satuan pendidikan nonformal mendapat perhatian lebih dan untuk terus diperkuat sebagai lemaga pendidikan yang telah teruji mampu memberdayakan masyarakat melalui berbagai program pendidikan sesuai kebutuhan masyarakat. Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian ini dalam rangka untuk penguatan manajemen PKBM di wilayah Bandung Raya. Harapan besar manfaat dari penelitian ini adalah mampu mengungkap secara empiris terhadap ragam pengelolaan PKBM, standar minimal penyelenggaraan PKBM, dan upaya merumuskan desain konseptual layanan PKBM bermutu yang dibutuhkan masyarakat khsusnya di wilayah Bandung Raya. Peneltian ini mengusung kajian teori yang relevan dengan tema penelitian yakni berkenaan dengan: (1) konsep pendidikan luar sekolah, (2) konsep, tujuan, prinsip, karakteristik, program, standar minimal, serta pengembangan evaluasi PKBM. Konsep pendidikan luar sekolah sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan komplek. Secara teoretis, Sudjana dalam Saepudian (2015:95) mendefinisikan pendidikan luar sekolah sebagai kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem
persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Konsep PKBM sebagai satuan pendidikan luar sekolah mengemuka sejak awal tahun 1990 an, yang dipopulerkan lewat suatu pertemuan para pimpinan negara di dunia. Dalam studinya Jajat S. Ardiwinata (2014: 100) menjelaskan bahwa dalam deklarasi Dunia tentang Education For All (EFA), di Jomtien, Thailand tahun 1990, hampir 155 negara menggagas adanya Community Learning Centre (CLC) sebagai cikal bakal munculnya istilah PKBM di Indonesia. Sihombing dan Gutama (2000:34) memaparkan PKBM adalah sebuah lembaga pendidikan yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat serta diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan belajar kepada seluruh lapisan masyarakat agar mampu membangun dirinya secara mandiri sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itulah, PKBM berperan sebagai tempat pembelajaran masyarakat terhadap berbagai pengetahuan atau keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana dan potensi yang ada di sekitar lingkungannya (desa, kota), agar masyarakat memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup dan prestasi belajar masyarakat. Berkenaan dengan itu, masyarakat berprestasi adalah masyarakat yang mau belajar. Laila Hayati (2011:181) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak pernah melakukan kegiatan belajar. Tujuan penting dalam pengembangan PKBM menurut Sihombing dan Gutama (2000: 36) adalah pertama, memberdayakan masyarakat agar mampu mandiri (berdaya). Kedua, meningkatkan kualitas hidup masyarakat baik dari segi sosial maupun ekonomi. Ketiga, meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya sehingga mampu memecahkan permasalahan tersebut. Sihombing (1999) menyebutkan bahwa tujuan pelembagaan PKBM adalah untuk menggali, menumbuhkan, mengembangkan, dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di masyarakat itu sendiri. Dalam arti memberdayakan seluruh potensi dan fasilitas pendidikan yang ada di desa sebagai upaya membelajarkan masyarakat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
67
Penguatan Manajemen Pusat ...
yang diarahkan untuk mendukung pengentasan kemiskinan, dengan prinsip pengembangan dalam rangka mewujudkan demokrasi bidang pendidikan. Tujuan lain dari penyelenggaraan program pendidikan di PKBM adalah untuk meningkatkan kompetensi warga masyarakat sehingga memiliki keterampilan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi selama hidupnya. Kompetensi dimaksud hanya akan diperoleh lewat proses belajar yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Menurut Oos M. Anwas (2011:193), kompetensi adalah kemampuan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan didukung oleh sikapnya yang dituntut dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Ini berarti hanya masyarakat yang mau belajar yang akan memiliki kompetensi. Salah satu sarana peningkatan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat adalah melalui belajar pada satuan pendidikan PKBM. Menurut Sihombing. (1999:12) beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan menyusun program PKBM antara lain adalah: a) program yang dikembangkan PKBM harus meluas sehingga warga belajar memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan pengalaman tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang berkaitan dengan etika, estetika, logika dan kinestetika pada saat pembelajaran; b) program harus memiliki prinsip keseimbangan (balanced) dimana setiap kompetensi yang dikembangkan dalam program PKBM harus dicapai melalui alokasi waktu yang cukup untuk sebuah proses pembelajaran yang efektif; c) program yang dikembangkan PKBM harus relevan karena setiap program terkait dengan penyiapan warga belajar untuk meningkatkan mutu kehidupan melalui kesempatan, pengalaman, dan latihan dalam berperan dan bersikap secara bertanggung jawab dalam mewujudkan kedewasaan berpikirnya, d) program yang dikembangkan PKBM harus mampu mengedepankan konsep perbedaan (differentiated), prinsip ini merupakan upaya pelayanan individual dimana warga belajar harus memahami: apa yang perlu dipelajari; bagaimana berpikir, bagaimana belajar, dan berbuat untuk mengembangkan potensi dan kebutuhan dirinya masing-masing secara optimal. Dalam upaya untuk menjalankan prinsip PKBM sehingga selaras dengan kepentingan dan 68
kemampuan masyarakat, maka perlu dikembangkan standar minimal manajemen penyelenggaraan PKBM yang berbasis masyarakat (community based). Tujuan dikembangkannya standar minimal PKBM Standar & Prosedur Penyelenggaraan PKBM (Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, 2015:3) adalah: (a) PKBM yang telah terbentuk dapat menyelaraskan dan menyesuaikan proses penyelenggaraannya dengan segenap potensi dan sumber daya disekitarnya dan sekaligus memberikan wawasan terhadap kepentingan pembangunan yang lebih luas; dan (b) Dapat dijadikan salah satu alat fasilitasi aparat pemerintah dalam pembentukan PKBM oleh masyarakat. Lingkup Standar Minimal PKBM diukur berdasarkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005. Kedelapan aspek tersebut yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar lulusan, (4) standar pendidik, (5) standar sarana prasarana, (6) standar pengelola, (7) standar penilaian, (8) standar pembiayaan (Pedoman Evaluasi Dikmas, 2014:3). Merujuk kepada fungsi utama dan pendukung PKBM, paling tidak ada empat bidang kegiatan yang perlu dikelola oleh Pengelola PKBM. Bidang kegiatan tersebut adalah: pertama, Pendidikan, meliputi kegiatan pembimbingan atau penyuluhan, pengajaran dan pelatihan. Kedua, Pelayanan informasi, meliputi kegiatan: (1) Menghimpun informasi dari PKBM, masyarakat sekitar, dan lembaga luar, (2) Memberikan layanan informasi kepada masyarakat sekitas dan lembaga luar. Ketiga, Jaringan informasi dan kemitraan, meliputi kegiatan: (1) Mengembangkan jaringan informasi dan kemitraan dengan lembaga yang ada di dalam maupun di luar masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan di PKBM maupun di lembaga mitra. (2) Memelihara jaringan yang telah terbina, dan Keempat, Pembinaan tenaga kependidikan PKBM, meliputi kegiatan: meningkatkan kualitas kinerja tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, nara sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun atas fasilitasi dari luar. Berkenaan dengan standar minimal penyelenggaraan PKBM, dalam buku Standar & Prosedur Penyelenggaraan PKBM (2015:3) ditegaskan bahwa berdasarkan fungsi PKBM yang terbagi atas standar manajemen dan standar fisik (sarana dan prasarana), meliputi: pertama, Standar minimal manajemen, menguraikan kegiatan minimal
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penguatan Manajemen Pusat ...
yang perlu dilakukan oleh pengelola PKBM agar fungsi PKBM dapat dilaksanakan. Kegiatan-kegiatan pengelolaannya diuraikan berdasarkan tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian, dan penilaian. Kedua, Standar minimal sarana fisik, menguraikan sarana dan prasarana penunjang minimal yang perlu disiapkan oleh pengelola untuk digunakan dalam pengelolaan kegiatan PKBM.
Berdasarkan paparan di atas, penyelenggaraan pendidikan dan PKBM sebagai wadah untuk peningkatan seluruh lapisan anggota masyarakat melalui jalur pendididkan nonformal diperkirakan belum seluruhnya dapat memenuhi harapan sebagai bagian dari pendidikan berbasis masyarakat, karena faktor penunjang maupun kemampuan internal yang belum memadai.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, sehubungan penelitian ini mengungkap tentang fenomena empirik saat ini (Sugiyono, 2011:3). Subjek penelitian yang dijadikan sumber data utama adalah unsur pengelola PKBM, dan unsur Dinas Pendidikan di wilayah Bandung Raya yakni di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Masing-masing wilayah diwakili oleh empat PKBM. Pada masing-masing Kabupaten/Kota ditentukan sampelnya 1 (satu) satuan PKBM berdasarkan wilayah yakni: bagian utara, bagian selatan, bagian barat dan bagian timur. Agar penelitian dapat terfokus dan dilakukan secara mendalam maka yang menjadi subjek penelitian/informan dibatasi jumlahnya dengan pertimbangan informan tersebut memiliki informasi yang dibutuhkan peneliti, dalam hal ini peneliti menggunakan purpose sampling dalam teknik pengambilan sampling. Sebagaimana yang disebutkan Sugiyono (2012:301) bahwa “Purpose Sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu”. Dengan demikian, dari setiap satuan PKBM, dietetapkan ada satu orang pengelola, satu orang unsur sumber belajar/instruktur, dan dua orang warga masyarakat
sebagai peserta didik sehingga jumlah informan primer penelitian 12 orang yaitu 3 orang pengelola PKBM dan 3 orang unsur sumber belajar dan 6 warga masyarakat. Variabel penelitian yang diekplorasi dari subjek penelitian adalah: (1) desain model pengelolaan lembaga PKBM, (2) deskripsi validasi model, dan (3) implementasi model penguatan manajemen PKBM. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi dan angket. Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: (1) reduksi data (data reduction), (2) penyajian data (data display), dan (3) kesimpulan (conclusion drawing/verification). Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan, yakni pada bulan April – September 2015. Langkah-langkah penelitian adalah hal penting yang perlu ditetapkan oleh peneliti. Menurut suharsimi Arikunto (2010:25) dalam kegiatan penelitian sekurang-kurangnya peneliti harus menyusun tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu: (a) tahap persiapan (pra lapangan), (b) tahap pekerjaan lapangan (pengumpulan data), (c) tahap analisis data, dan (d) tahap pelaporan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Desain Model Penguatan Manajemen PKBM di Wilayah Bandung Raya. Model konseptual yang dikembangkan terdiri atas, rasionalisasi, asumsi, tujuan, komponen, indikator, dan prosedur model. Keenam aspek tersebut diuraikan sebagai berikut. Pertama, rasionalisasi pengembangan model adalah didasari pemikiran bahwa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan satuan pendidikan luar sekolah yang memliki peran sangat penting dalam pendidikan di masyarakat, terutama di wilayah Bandung Raya. Hal tersebut
terbukti dari: (1) animo masyarakat untuk mengikuti pendidikan pada lembaga PKBM sangat tinggi, (2) PKBM telah berhasil menjadi lembaga pendidikan alternatif, yakni sebagai pelengkap (suplemen), pengganti (substitusi) dan penambah (komplemen) pendidikan formal sangat efektif. Pada sisi lain, satuan pendidikan PKBM dalam perkembangannya menghadapi berbagai hambatan terkait dengan kinerja program-program yang dijalankan di dalamnya, diantaranya mutu layanan dan ketersediaan sarana prasarana, pada sebagian besar PKBM selain belum merata juga kondisi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
69
Penguatan Manajemen Pusat ...
nya masih relatif kuirang baik sehingga standar mutu PKBM di berbagai wilayah perlu ditingkatkan sebagaimana mestinya. Untuk terjadinya peningkatan produktivitas dan terpenuhinya mutu layanan PKBM, maka diperlukan penataan mutu dan pengelolaan PKBM khususnya di wilayah Bandung Raya melalui intervensi penerapan model penguatan manajemen PKBM dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat Kedua, asumsi pengembangan model (1) pengelola PKBM di satu sisi memiliki potensi dan peluang yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan PKBM, dan di sisi lain dihadapkan pada berbagai kendala dalam mengembangkan PKBM yakni keterbatasan fasilitas dan kemampuan pengembangan PKBM. Untuk itu pengelola PKBM diharapkan memiliki kompetensi pengelolaan dalam melakukan kegiatan discovery terutama berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya serta mencoba memperbaiki kekurangan yang dialaminya. Ketiga, tujuan pengembangan model ini adalah menawarkan sebuah model penguatan manajemen PKBM bagi pengelola, dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan kepada masyarakat, yang diorientasikan pada penguatan kompetensi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Keempat, komponen model berkaitan dengan prinsip pengelolaan yang dikembangkan dengan mempertimbangkan: (1) sasaran, (2) bahan belajar, dan (3) sumber belajar. Untuk mengembangkan model dirancang seperangkat instrumen yang melengkapi model, yakni: (1) instrumen proses eksploratif dalam mengidentifikasi kebutuhan konstruksi model sebagai landasan pokok merumuskan rancangan model, (2) instrumen proses implementatif model. Sedangkan unsur program model terdiri dari: (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan, dan (4) penilaian. Kelima, indikator model antaralian: (1) Tumbuhya kesadaran bagi pengelola PKBM (2) Adanya keterlibatan aktif antar pengelola program pendidikan, pendidik dan peserta didik (warga belajar) yang secara bersama-sama merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran sesuai permasalahan dan kebutuhan belajarnya, (3) Meningkatnya mutu layanan pendidikan pada 70
satuan PKBM sesuai standar nasional pendidikan. Keenam, prosedur implementasi model penguatan manajemen PKBM ditempuh melalui empat tahap kegiatan, yakni perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian (evaluasi). 2. Validasi Model Penguatan Manajemen PKBM di Wilayah Bandung Raya Dalam upaya menghasilkan model penguatan manajemen PKBM yang efektif, dilakukan pengujian kelayakan model yang telah dikonseptualisasikan (model hipotetik) sebelum diimplementasikan. Kegiatan uji kelayakan model dilakukan melalui dua tahap yakni tahap analisis kualitas model dan tahap penilaian para ahli (expert judgement). Pertama, tahap analisis model dilakukan dengan cara mengkaji terhadap isi (content) dan keterkaitan dari setiap aspek model. Analisis terhadap model dilakukan oleh peneliti dan didiskusikan dengan teman sejawat. Kegiatan analisis model ini dilakukan secara sistematik, untuk melihat kelayakan model penguatan manajemen PKBM sebagai suatu kesatuan yang utuh, saling berhubungan satu aspek dengan aspek lainnya. Tujuan akhir pada tahap ini adalah selain untuk melihat apakah isi model telah memadai, juga apakah hubungan antar aspek yang dikembangkan telah tepat. Kedua, tahap penilaian para ahli (expert judgement) dilakukan dengan cara konsultasi dengan para ahli kurikulum pendidikan, ahli komunikasi, dan praktisi PKBM. Para ahli yang dilibatkan dalam penilaian model adalah yang memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan model penguatan manajemen PKBM. Proses penilaian para ahli dilakukan dengan menggunakan teknik respon terinci, dimana peneliti menyampaikan konsep model penguatan manajemen PKBM disertai instrumen yang terintegrasi dalam suatu format kepada para ahli yang telah ditetapkan. Para ahli tinggal mengisi pendapatnya pada kolom yang telah disediakan pada format isian. 3. Implementasi Model Penguatan Manajemen PKBM di Wilayah Bandung Raya Implementasi model dideskripsikan dalam kegiatan pembelajaran di PKBM. Langkah-langkah pembelajaran sebagai komponen model adalah (a) proses perencanaan, (b) pengorganisasian, (c) pelaksanaan, dan (d) penilaian dalam pembelajaran.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penguatan Manajemen Pusat ...
Pertama, tahap perencanaan merupakan kegiatan awal yang dilakukan oleh pengelola sebelum melaksanakan seluruh kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, pada tahap ini pengelola PKBM selayaknya melakukan perencanaan pembelajaran secara matang dan sistematik. Perencanaan pembelajaran dalam pelaksanaan melibatkan bnayak pihak, teruatama yang terkait dengan kebutuhan dan dampak dari penerapan model ini. Kegiatan perencanan dilakukan melalui empat kegiatan, yakni: (a) identifikasi umum kebutuhan belajar, (b) menetapkan kebutuhan belajar berdasarkan porsi terbanyak, (c) identifikasi sumber belajar, dan (d) identifikasi mitra kerjasama. Kegiatan identifikasi kebutuhan belajar (learning needs) dilakukan terhadap informan awal yang dipandang memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam memberikan informasi untuk mendapatkan gambaran umum tentang kebutuhan belajar. Kedua, tahap pengorganisasian diarahkan untuk merumuskan perencanaan pembelajaran berkenaan dengan: (a) tujuan pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan umum yaitu peningkatan kemampuan pengetahuan dan keterampilan warga masyarakat dalam meningkatkan kemampuan diri; (b) materi pembelajaran yang diarahkan pada materimateri yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam meningkatkan kemampuan diri warga masyarakat; (c) metode dan teknik pembelajaran yang disesuaikan dengan jenis materi
yang dipelajari, apakah menunutut teknik ceramah, diskusi, penugasan atau simulasi; serta (d) media/ alat pembelajaran yang disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari. Ketiga, tahap pelaksanaan merupakan kegiatan pembelajaran diarahkan dalam suasana atau iklim kegiatan yang interaktif, demokratis dan partisipatif. Sumber belajar yang memiliki kesempatan luas untuk menjadi manager sehingga terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan dari dirinya atau pihak lain kepada warga masyarakat sebagai peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Baik secara sendiri atau melibatkan pihak lain, pendamping atau sumber belajar melakukan kegiatan yang diarahkan untuk membantu atau mendampingi terjadinya proses belajar warga masyarakat. Sumber belajar diupayakan untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan warga masayarakat dalam meningkatkan kemampauan diri sesuai kebutuhannya. Tahap evaluasi dilakukan untuk mengobservasi atau pengamatan terhadap beberapa aspek yang menjadi ukuran dari hasil beajar yang dilakukan oleh warga masyrakat sebagai warga belajar atau peserta didik. Hasil yang diperoleh menunjukan peningkatan nilai skor rata-rata pretest dan post test peserta didik. Selain itu, evaluasi terhadap pengelola relatif menunjukkan respon dan penilaian yang baik dari peserta didik.
PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, model konseptual yang dikembangkan terdiri atas, rasionalisasi, asumsi, tujuan, komponen, indikator, dan prosedur model. Kedua, validasi model dilakukan dengan menggunakan dua cara yakni diskusi dengan teman sejawat (peer group) dan penilaian para ahli (expert judgement). Ketiga, implementasi model dideskripsikan dalam kegiatan pembelajaran di PKBM. Langkah-langkah pembelajaran sebagai komponen model adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian dalam pembelajaran. Kesimpulan model yang dikembangkan menunjukkan hasil yang efektif, dengan indikator: (a) adanya keterlibatan aktif dan tanggapan positif warga masyarakat terhadap kegiatan pembelajaran, dan (b)
hasil belajar warga msyarakat menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan Saran Saran untuk pengelola yaitu: Pertama, pengelola PKBM disarankan untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi lingkungan di sekitar PKBM untuk meningkatkan kualitas layanan pembelajaran. Kedua, meningkatkan jalinan kemitraan dengan perusahaan (user) yang ada di wilayah PKBM, terutama untuk kepentingan: (a) penyempurnakan kurikulum PKBM yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan sehingga lulusan PKBM dapat diserap sebagai tenaga kerja pada perusahaan yang berada di lingkungan PKBM, (b) koordinasi dengan pemerintah setempat, membahas tentang pengajuan dana corporate social responsibility (CSR) kepada perusahaan untuk digunakan seoptimal mungkin bagi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
71
Penguatan Manajemen Pusat ...
pengembangan PKBM. Saran untuk Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota yaitu: (a) melakukan pembinaan yang intensif, sehingga masalah yang dihadapi oleh pengelola PKBM dapat segera diatasi, terutama dalam hal kesulitan informasi pengajuan dana bantuan, pengadaan media belajar, dan pengadaan sarana
pembelajaran; (b) mendorong dan memfasilitasi pengelola PKBM dalam mengajukan akreditasi lembaga sehingga produktifitas dan kinerja PKBM semakin baik; serta (c) memfasilitasi pembentukan Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang bermanfaat bagi peserta didik yang akan mengajukan uji kompetensi.
DAFTAR PUSTAKA Anwas, O. M. (2011). Strategi pemanfaatan media pembelajaran dalam meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian. Jurnal Teknodik, Vol. XV No. 2, Desember 2011. Jakarta: Pustekom Kemdikbud. Ardiwinata, J. S. (2014). Peran forum PKBM dalam meningkatkan mutu pengelolaan program paudni di provinsi Jawa Tengah dan DIY. Jurnal Pedagogia, Vol. 1 No. 2, Desember 2014. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Jalal, F.,& Supriadi, D. (2001). Pengembangan CBE dalam lapangan pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Hikmat, H. (2001). Strategi pemberdayaan masyarakat. Bandung: Humaniora Utama. Hayati, L. (2011). Penerapan pendekatan pemecahan masalah melalui belajar dalam kelompok kecil untuk meningkatkan prestasi belajar pada mata kuliah teori peluang. Jurnal Teknodik, Vol. XVI. No. 2 Juni 2012. Jakarta: Pustekom Kemdikbud Saepudin, A. (2015). Efektifitas pelatihan dan efikasi diri dalam meningkatkan perilaku
72
berwirausaha pada masyarakat transisi. Jurnal Mimbar (Sosial dan Pembangunan), Vol. 31 No. 1. Juni 2015. Bandung: P2U LPPM UNISBA Sudjana, D. (2001). Pendidikan nonformal, wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung, azas. Bandung : Falah Production. Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi (mixed methode). Bandung : Alfabeta. Sihombing.,& Gutama (2000). PKBM dalam perspektif pendidikan luar sekolah. Jakarta: Depdiknas. Sihombing. (1999). Pendidikan luar sekolah. Jakarta: depdiknas. Kemendikbud. Standar & prosedur penyelenggaraan PKBM tahun 2015. Jakarta: Kementerian pendidikan dan kebudayan. Kemendikbud. Peraturan pemerintah No.73 Tahun 1991 tentang pendidikan luar sekolah Kemendikbud. Peraturan pemetintah No.19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Undang-undang no. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. UNESCO. (2005). International eksploratif paper. Jakarta: Depdiknas
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK KASAR MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL “SIKODOKA” BAGI ANAK USIA DINI BERLATAR BELAKANG TUNA GRAHITA Mientje Ratoe Oedjoe & Beatriks Novianti Bunga e-mail:
[email protected] Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Nusa Tenggara Timur
Abstrak: Perkembangan fisik pada sebagian anak tunagrahita mengalami keterhambatan. Keterhambatan fisik ini mengakibatkan masalah pada keterampilan geraknya. Karenanya membutuhkan praktik-praktik yang dapat mengembangkan kemampuan fisik motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Metode penelitian menggunakan penelitian tindakan kelas yang dilalui dalam dua siklus dengan empat kali pertemuan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 di SLBN Kelapa Lima Kota Kupang. Partisipan penelitian sebanyak tiga orang yang berusia dini yaitu tujuh sampai dengan sembilan tahun. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi serta tes. Indikator peningkatan kemampuan fisik motorik dilihat berdasarkan kemampuan melompat satu kaki, melompat dua kaki, menjaga keseimbangan tubuh saat memungut “era”, melempar “era” tepat dalam kotak, serta kemampuan menggenggam “era” dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan fisik motorik kasar anak usia tuna grahita dengan peningkatan rerata dari pra siklus 38% meningkat 23 % menjadi 61% di siklus 1. Dari siklus I ke siklus 2 meningkat lagi 43% sehingga kondisi setelah pelaksanaan siklus 2 adalah 95%. Berdasarkan hasil evaluasi maka direkomendasikan kepada guru agar peka terhadap kondisi anak yang mudah terbagi konsentrasi, menggunakan sistem hadiah untuk menarik perhatian anak, harus lebih sering memuji, membuat variasi tepukan untuk mengembalikan konsentrasi anak, mengurangi aktivitas-aktivitas yang memicu perilaku ramai muncul, menggunakan bahasa yang sederhana, pemenggalan kalimat yang jelas dan tidak panjang, mengulang-ulang permainan karena anak tunagrahita mudah lupa. Kata Kunci: tunagrahita, permainan tradisional Sikodoka, motorik kasar, anak usia dini
IMPROVING GROSS MOTOR SKILLS THROUGH TRADITIONAL GAME “SIKODOKA” IN EARLY CHILDHOOD WITH INTELLECTUAL DISABILITY Abstract: Physical development in some children with intellectual disability could be delayed. This physical delays can trouble their movement skills. Therefore these children need practices that could improve their gross motoric skills. This research aimed to try out Sikodoka game in order to improve gross motor skills in young children with intellectual disability. Method used was class action research conducted in two cycles and four meetings. Research participants were three young children aged seven to nine years old. The research was conducted in August 2016 taking palce in Kelapa Lima Special Needs School, Kupang. Data collection techniques used were observation and test. Gross motor skills indicators were jumping with one foot skill, jumping with both feet, keeping body balance while collecting “era”, tossing “era” correctly inside the square, and grasping “era” skillfully. Results showed that there was improvement in gross motor skills with mean improvement from pre-cycle 38% increased 23% to 61% in cycle 1. From cycle 1 to cycle 2 improved again 43% making the condition after cycle 2 was 95%. According to the evaluation, recommendations to teachers are to be sensitive to children’s condition that are easy to be divided in their focus, using reward system to attract children’s attention, need to compliment more, uses clapping variations to recover children’s focus, reducing activities that could trigger loud activities, using simple languages, dividing sentences that are clear and not long, and reprating games because children with intellectual disability are easy to forget. Keywords: intellectual disability, Sikodoka traditional game, gross motor, young children
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
73
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
PENDAHULUAN Perkembangan fisik pada sebagian anak tunagrahita mengalami keterhambatan. Keterhambatan fisik ini mengakibatkan masalah pada keterampilan geraknya (Utari & Indahwati, 2015). Menurut Delphie (2007), anak tunagrahita pada umumnya mempunyai kelemahan pada segi keterampilan gerak, fisik yang kurang sehat, koordinasi gerak, kurangnya perasaan dirinya terhadap situasi dan keadaan sekelilingnya, dan kurang keterampilan gross motor (motorik kasar) dan fine motor (motorik halus). Anak usia dini tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas jasmani/gerak dasar seperti berlari, melompat, meloncat dan juga kurang dapat atau masih kesulitan melakukan gerakan manipulasi sebuah benda (melempar, menangkap). Mereka dapat mengikuti aktivitas bermain tetapi dengan arahan yang sederhana (Auxter, Pyfer, Huettig, dalam Ardiyanto & Sukoco, 2014). Karenanya membutuhkan praktik-praktik yang dapat mengembangkan kemampuan fisik motorik. Bermain merupakan salah satu cara yang ideal terkait praktik tersebut. Bermain, sama halnya dengan belajar, adalah hidup dan pekerjaan anak (Samuelsson & Clarsson, 2008). Terlepas apakah anak tersebut bermasalah atau tidak, normal ataupun kebutuhan khusus. Bermain memiliki fungsi sebagai jendela ke dalam jiwa anak dan merupakan aktivitas favorit anak dan dianggap sebagai kendaraan terbaik untuk memfasilitasi perkembangan anak. Bermain sebagai tempat ekspresi diri, komunikasi, perkembangan hubungan dengan orang lain dan perkembangan kapasitas diri baik untuk anak pada umumnya maupun pada anak berkebutuhan khusus (Luby, 2006). Kajian Odom dan Wolery (2003) menyebutkan bahwa anak usia dini dengan disabilitas termasuk tunagrahita akan belajar banyak melalui bermain dan mengobservasi lingkungan mereka. Sudah banyak penelitian-penelitian yang menjelaskan mengenai manfaat media permainan dalam proses pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus tunagrahita. Penelitian yang dilakukan oleh Sekarwati dan Riyanto (2015) yakni penelitian tindakan kelas (PTK) untuk melihat kemampuan motorik halus anak tunagrahita dan apakah dapat berkembang ketika anak diberi permainan maze matching sebagai tindakannya. Hasil peneltian
74
menunjukkan bahwa ada perubahan anak ketika menggenggam, memindahkan barang, menjumput benda dengan jarinya. Penelitian lain berjudul media pembelajaran interaktif keterampilan membatik untuk anak tunagrahita ringan pada sekolah luar biasa di semarang yang dilakukan oleh Fitriana (2013). Hasil penelitian memperlihatkan membatik adalah media yang menyenangkan dan mudah serta dapat diterapkan sebagai media pembelajaran bagi anak tunagrahita dan juga dapat mengembangkan kemampuan fisik motorik anak tunagrahita. Salah satu permainan yang perlu dieksplorasi adalah permainan tradisional. Permainan tradisional juga merupakan media yang tidak kalah fungsinya dengan permainan edukatif lainnya. Ardiyanto dan Sukoco (2014) dalam penelitiannya menggunakan delapan permainan tradisional sebagai model yang dikembangkan yaitu permainan, yaitu (1) balap sarung, (2) lempar karet, (3) dorong ban, (4) engkling, (5) pukul balon, (6) layang-layang, (7) lompat tali, dan (8) pesawat terbang. Delapan permainan ini telah diujicoba dan dianggap layak untuk diijadikan model pengembangan motorik kasar bagi anak tunagrahita. Uji coba skala kecil model dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunas Kasih Turi dan uji coba skala besar di SLB Tunas Kasih Donoharjo. Permainan engklek (Asih, 2014) dilakukan untuk melihat bagaimana manfaatnya bagi perkembangan motorik kasar anak tunagrahita. Hasil menunjukkan bahwa permainan engklek dapat bermanfaat bagi perkembangan melompat anak tunagrahita. Penelitian terbaru tahun 2015 mengenai engklek dilakukan oleh Sari (2015) tentang peningkatan kemampuan pengenalan bilangan bagi anak tunagrahita sedang di SLB Payahkumbuh, kelas DIII menemukan bahwa ketika kotak-kotak dalam engklek tersebut diberi angka, maka terjadi peningkatan pengenalan angka bagi anak tunagrahita sedang. Penelitian lain dari Alfiza dkk. (2014) membahas permainan lompat tali dan mencoba melakukan PTK untuk mencari tahu apakah ada peningkatan kemampuan motorik kasar anak tuna grahita dalam hal ini melompat bagi anak kelas II (umur 11 tahun) dengan tunagrahita ringan di Painan. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan bermain lompat tali dapat melatih kemampuan melompat anak tuna grahita menjadi lebih baik.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
Penelitian-penelitian yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa bermain memiliki peran yang penting dalam mengembangkan kemampuan anak tunagrahita, termasuk di dalammnya adalah permainan tradisional. Permainan-permainan ini juga memberi kontribusi besar terutama pengembangan motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Sayangnya karena beberapa keterbatasan, penggunaan media bermain ini sering terlupakan, apalagi dalam pembelajaran bagi anak usia dini dengan kebutuhan khusus tunagrahita. Hasil penelitian Ratoe Oedjoe & Bunga (2015) menemukan minimnya penggunaan media pembelajaran di SLB di Kota Kupang. Mereka cenderung menerapkan pendekatan secara individual yang menekankan kepada pendampingan secara personal untuk meningkatkan kemampuan anak usia dini tunagrahita. Penggunaan media dalam proses pembelajaran pun kurang variatif hanya media klasik seperti kartu angka dan kartu huruf. Jika ada media dari alam, itu terbatas untuk membantu guru di dalam kelas. Media itu seperti batu, kelereng, daun, dan lidi. Pemanfaatan permainan kurang dilaksanakan walaupun secara teoretis paham akan pentingnya bermain yang bervariasi bagi pengembangan kemampuan anak, terutama anak tunagrahita. Anak-anak cenderung dibiarkan bermain sendiri tanpa pengawasan dan itu hanya dilakukan saat istirahat. Permainan anak sendiri pun hanya berupa bermain kejar-kejaran di lapangan sekolah. Tidak ada permainan tradisional yang dipakai dalam pembelajaran. Sebenarnya ada banyak jenis permainan tradisional yang ada di Kupang atau Nusa Tenggara Timur secara umum. Permainan Sikodoka adalah salah satunya. Sikodoka (dalam bahasa Jawa engklek) adalah permainan tradisional yang cara bermainnya dengan melompati kotak-kotak yang digambar di tanah. Ada tiga jenis Sikodoka yang sering dimainkan anak, yaitu Sikodoka kotak, Sikodoka salib dan Sikodoka dua kaki. Permainan ini menggunakan alat bantu batu ceper yang disebut “era”. Anak harus memilih era yang tepat, yang ceper dan bulat dan tidak licin karena era akan dibuang ke dalam kotak-kotak. Kemudian anak harus melompati semua kotak-kotak tersebut dan kemudian mengambil era yang dibuang tadi. Permainan dilakukan paling sedikit dua orang. Permainan ini memiliki banyak manfaat. Mulai dari pemilihan era saja sudah mengajar anak untuk
mengenal perbedaan bentuk batu, menggambar kotak-kotak, dan melompat. Berdasarkan hasil riset, permainan ini teruji mampu meningkatkan kemampuan akademis di bidang matematika -pengenalan angka dan motorik kasar- yaitu melompat. Permainan ini dapat dimodifikasi lebih sederhana agar sesuai dengan karakteristik perkembangan anak tunagrahita ringan seperti kotak-kotaknya akan ditulisi angka 1-10, kotakkotaknya dibatasi jumlahnya paling banyak 10 dapat pula lebih sedikit, dan aturannya dapat dibuat lebih sederhana seperti apabila jatuh, harus berganti dengan lawan. Agar anak tunagrahita senang dan belajar, guru dapat memberinya penguatan berupa pujian ataupun sepotong kue. Permainan Sikodoka sangat sederhana dimainkan. Untuk bisa bermain, setiap anak harus menyiapkan “era”. Era ini bisa berupa batu ceper, pecahan keramik atau genteng. Anak cukup melompat menggunakan satu kaki di setiap kotakkotak yang telah digambarkan sebelumnya di tanah. Era dilempar ke salah satu kotak yang tergambar di tanah, kotak yang ada eranya tidak boleh diinjak/ ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus melompat ke kotak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi kotak-kotak yang ada. Saat melemparkannya tidak boleh melebihi kotak yang telah disediakan jika melebihi maka dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain selanjutnya. Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu melemparkan era dengan cara membelakangi engkleknya, jika pas pada petak yang dikehendaki maka petak itu akan menjadi “rumah”nya, artinya dikotak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak kotak tersebut dengan dua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak kotak itu selama permainan. Peserta yang memiliki “rumah” paling banyak adalah pemenangnya. Pemainan ini sangat seru karena biasanya paling sering kesalahan yang dilakukan adalah saat melempar era tapi tidak pas dikotaknya atau meleset dari tempatnya. Manfaat yang diperoleh dari permainan Sikodoka ini antara lain (a) kemampuan fisik anak menjadi kuat karena dalam permainan engklek ini anak diharuskan untuk melompat-lompat, (b) mengasah kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dan mengajarkan kebersamaan, dan (c) dapat mentaati aturan-aturan permainan yang telah. Berdasar latar belakang tersebut maka peneliti melakukan perbaikan pembelajaran dengan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
75
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
menggunakan tindakan permainan tradisional untuk memperbaiki pembelajaran anak usia dini tunagrahita di SLB. Tindakan permainan tradisional yang akan diberi adalah permainan Sikodoka. Permainan tradisional Sikodoka diharapkan mampu
membantu meningkatkan kemampuan fisik anak terutama motorik kasar. Penelitian ini diharapkan mampu mendorong guru untuk menerapkan praktikpraktik yang teruji secara ilmiah untuk membantu perkembangan anak didiknya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas. Kelas yang menjadi sasaran penelitian adalah kelas 1 Sekolah Dasar karena tidak ada kelas PAUD untuk anak berkebutuhan khusus. Selain itu juga kelas 1 SD terdapat murid yang masih dikategorikan usia dini yaitu 7-9 tahun. Partisipan penelitian adalah anak kelas 1 SD berjumlah tiga orang, dua orang perempuan (E berumur 9 tahun, W berumur 6 tahun) dan 1 orang laki-laki (R berusia 8 tahun). Tempat penelitian dilakukan di SLBN Kelapa Lima Kota Kupang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2016. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan tes. Observasi dilakukan terhadap proses pembelajaran, juga perilaku yang muncul saat pembelajaran sedangkan tes dilakukan di akhir setiap siklus. Instrumen penilaian tes adalah kemampuan fisik motorik kasarnya, yaitu melompat dua kaki,
melompat menggunakan 1 kaki, melempar “era” masuk dalam kotak sambil menjaga keseimbangan tubuh dan kemampuan menggenggam “era”. Penelitian ini dilalui dalam dua siklus dengan jumlah pertemuan sebanyak empat pertemuan. Siklus pertama, hari pertama dilakukan permainan dan hari kedua dilakukan tes. Begitu juga dengan siklus dua. Setiap siklus dilalui dalam empat tahapan yaitu: (1) persiapan: menyiapkan RPPH, diskusi dengan guru, menyiapkan alat dan bahan bermain Sikodoka; (2) pelaksanaan: guru menerapkan tahapan bermain Sikodoka; (3) observasi: observasi dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan, perilaku yang muncul saat bermain serta observasi terhadap peningkatan kemampuan motorik halus. Penilaian terhadap kemampuan ini dilakukan melalui tes; dan (4) refleksi: refleksi ini dilakukan untuk memberikan motivasi untuk terus bersemangat mengikuti pembelajaran yang menyenangkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Pra Siklus Proses pengambilan data penelitian dimulai dengan proses pra siklus. Pada pra siklus ini akan dilihat sejauh mana kemampuan fisik motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Dalam pra siklus ini peneliti melakukan simulasi motorik kasar dengan bermain gerak dan lagu “Jalan-jalan”. Dalam lagu ini, anak harus melakukan aktivitas motorik seperti berjalan, melompat satu kaki, melompat dua kaki, gerakan melempar, menggenggam, dan keseimbangan tubuh. Simulasi ini dilakukan agar peneliti mendapat gambaran mengenai kondisi fisik motorik anak. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh tingkat kemampuan fisik motorik anak usia dini tunagrahita masih rendah dengan nilai rerata kemampuan anak sebesar 0,38 (38%). Untuk aktivitas mengajar dan pemanfaatan metode, didasarkan kepada hasil penelitian terdahulu peneliti bahwa pemanfaatan media dalam pembelajaran sangat minim termasuk pemanfaatan permainan tradisional. Simulasi ini dilakukan oleh guru kelas dan peneliti hanya 76
mengobservasi. Untuk lebih jelasnya, hasil tes pra siklus tersaji pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Tes Pra Siklus
E
A
B
C
D
E
Total
2
1
1
1
2
7
R
3
1
2
1
3
10
W
1
1
1
1
2
6
Jumlah Total
23
Rerata
0.38
Siklus I Pada pertemuan pertama, guru kelas memperkenalkan tim peneliti kepada anak-anak lalu mengabsen dan mengajak untuk berdoa. Selanjutnya, guru menyerahkan sepenuhnya pembelajaran kepada tim. Guru bertindak sebagai observer untuk melihat keberlangsungan proses. Kemudian dilakukan perkenalan bersama anakanak. Untuk perkenalan, guru melakukan pendekatan dengan gerak dan lagu. Gerak dan lagu “jalan-jalan”
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
diulang kembali dan lagu “kalau kau suka hati”. Gerak dan lagu ini dilakukan untuk mencairkan suasana karena pada pertemuan pertama, anak masih menunjukkan perilaku malu-malu dan diam pasif, enggan mengikuti perintah serta gerak dari lagu yang dinyanyikan. Ini dikarenakan, anak baru pertama kali bertemu dengan tim peneliti. Setelah terlihat perilaku aktif, maka peneliti melanjutkan ke kegiatan inti yaitu perkenalan permainan Sikodoka kepada anak. Dimulai dengan membuat pola yang sudah disiapkan di atas karpet dan menjelaskan tentang aturan lalu memberi contoh bagaimana memainkannya. Kemudian, mengajak anak untuk melakukan aktivitas seperti melompat. Pada aktivitas inti juga anak masih terlihat pasif dan mudah berganti konsentrasi, mereka tertarik dengan hal lain di dalam kelas, menolak bermain, serta berlari-lari dalam kelas. Guru sendiri mengalami kesulitan dalam mengajak anak untuk memainkan permainan Sikodoka. Hal ini disebabkan karena beberapa hal yaitu anak masih belum kenal dan akrab dengan tim, bahasa yang digunakan tim untuk menerangkan tahapan bermain masih kompleks dan sulit dipahami anak, peneliti masih bingung mengatasi perilaku anak yang mudah berganti fokus. Untuk memotivasi anak agar terlibat dan menikmati pembelajaran, peneliti mengajarkan tepukan motivasi yaitu Tepuk Bisa. Setelah ketiga anak berhasil mencontoh permainan Sikodoka, peneliti mengakhirinya dengan Tepuk Hore dan pemberian bros bintang lalu di akhiri dengan berdoa. Berdasarkan hasil catatan pengamat ada beberapa catatan perbaikan untuk pertemuan kedua yaitu guru harus membagi perhatian kepada semua anak, harus memuji sesering mungkin, serta menggunakan bahasa yang sederhana dan singkat. Pertemuan kedua dilakukan pada keesokan harinya. Guru langsung menyerahkan proses pembelajaran kepada tim peneliti. Hari kedua dimulai dengan doa dan menyanyi untuk mencairkan suasana. Lalu tim melakukan sedikit tanya jawab untuk mengetahui apakah mereka mengingat aktivitas pada pertemuan pertama. Anak yang berani menjawab akan diberi bros bintang. Anak terlihat bingung saat dilakukan tanya jawab. Peneliti harus memberi contoh dan menunjukkan gambar sebagai kisi-kisi aktivitas pada pertemuan pertama. Anak mampu mengingat kembali walaupun tidak tepat. Setelah tanya jawab, anak diajak bermain Sikodoka. Tetapi kali ini anak harus memainkan
sendiri. Siapa yang berhasil melompat mengelilingi kotak-kotak seperti yang dicontohkan, akan diberi sebuah bintang. Setiap anak diberi kesempatan dua kali bermain. Berdasarkan hasil catatan observasi terhadap proses pembelajaran, perilaku malu-malu anak berkurang, justru anak semakin ramai, berteriakberteriak, melompat-lompat kegirangan, masih berlari-lari jika bukan giliran bermainnya, dan mudah berganti fokus. Peneliti sendiri menyederhanakan bahasa yang dipakai dan juga lebih sering memuji anak, lebih banyak menggunakan variasi tepukan untuk mengembalikan fokus anak. Di akhir sesi dilakukan tes untuk melihat apakah ada peningkatan kemampuan anak dalam hal melompat satu kaki, melompat dua kaki, serta menjaga keseimbangan tubuh saat memungut, melempar dan menggenggam. Berdasarkan hasil tes diperoleh diperoleh rerata kemampuan fisik motorik anak usia dini tunagrahita sebesar 0.61 atau 61%. Angka ini belum memenuhi kriteria ketuntasan pembelajaran. Untuk itu pelaksanaan siklus dilanjutkan ke siklus kedua. Berdasarkan hasil catatan observasi maka dilakukan perbaikan pembelajaran melompat satu kaki, menjaga keseimbangan tubuh dan melempar karena ketiga indikator ini yang tidak mengalami banyak peningkatan. Perbaikan lain adalah menyempurnakan RPP berdasarkan masukan pada pelaksanaan siklus I, mempersiapkan hadiah, kali ini diganti berupa makanan biskuit gandum, dan memindahkan permainan keluar kelas yang sepi. Untuk lebih jelasnya, hasil tes siklus 1 tersaji pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Tes Siklus I
E
A
B
C
D
E
Total
3
3
2
3
3
14
R
3
3
2
2
3
13
W
2
2
2
2
2
10
Jumlah Total
37
Rerata
0.61
Siklus II Siklus II dilakukan seminggu setelah siklus I dengan jumlah pertemuan sebanyak dua kali. Pada siklus II akan difokuskan pada latihan keseimbangan dan melempar. Permainan dilakukan di luar kelas di sebuah lapangan yang tidak banyak dilalui anak-
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
77
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
anak lain. Pada pertemuan pertama, kegiatan dimulai dengan doa dan mencairkan suasana dengan menyanyi. Awalnya anak masih malumalu, tetapi setelah menyanyi, anak mulai akrab kembali dengan tim peneliti. Kegiatan inti dimulai dengan penjelasan aturan bermain yaitu siapa yang mampu menyelesaikan satu putaran permainan tanpa diulang akan diberi hadiah berupa biskuit gandum dan siapa yang paling banyak mendapatkan “rumah” adalah pemenangnya. Kemudian anakanak kembali diperkenalkan alat bermain berupa era dan bentuk Sikodoka juga cara bermain. Hal ini dilakukan agar anak usia dini tunagrahita mengingat kembali permainan Sikodoka. Setelah itu, permainan dilakukan. Saat bermain, anak tampak kegirangan senang dan beberapa kali melompat-lompat dan juga berlari-lari. Anak kelihatan sudah mengetahui permainan Sikodoka tetapi masih belum memahami aturan bermain. Siklus diakhiri dengan pemberian hadiah biskuit bagi yang berhasil dan doa selesai. Berdasarkan hasil catatan observasi proses kegiatan, terdapat beberapa hal untuk diperbaiki pada pertemuan kedua yaitu mengurangi kegiatankegiatan yang menstimulus perilaku senang berlebihan seperti variasi tepukan “hore” atau memberi motivasi dengan tepuk tangan karena anak terpicu untuk kegirangan berlebihan dengan tepuk tangan yang ramai. Pertemuan kedua diawali dengan doa dan dilakukan tes. Tes ini untuk melihat peningkatan kemampuan fisik motorik kasar anak usia dini tunagrahita setelah dilakukan siklus II. Tes yang dilakukan berupa tes kemampuan melompat satu kaki, melompat dua kaki, melempar, menggenggam, dan menjaga keseimbangan tubuh. Hasil tes menunjukkan rerata nilai tes pada siklus dua 0.95 atau 95%. Ini berarti ada terjadi peningkatan sebesar 0.34 atau 34% dari siklus I. Untuk lebih jelasnya, hasil tes siklus 1 tersaji pada tabel 3. Tabel 2. Hasil Tes Siklus II A
B
C
D
E
Total
E
4
3
3
3
4
17
R
4
3
3
2
4
16
W
3
3
2
2
4
14
Jumlah Total
57
Rerata
0.95
Berdasarkan hasil pelaksanaan siklus maka 78
dapat dilihat dinamika peningkatan kemampuan fisik motorik kasar anak usia dini dengan tunagrahita ringan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik peningkatan kemampuan motorik kasar AUD dengan tunagrahita ringan Hasil penilaian terhadap fisik motorik kasar anak tunagrahita dilihat dari beberapa lima indikator yaitu kemampuan melompat dua kaki, kemampuan melompat satu kaki, kemampuan menjaga keseimbangan, kemampuan melempar, dan kemampuan menggenggam. Hasil simulasi yang dilakukan pada pra siklus untuk melihat kemampuan awal anak usia dini tunagrahita menunjukkan tingkat kemampuan fisik motorik kasar anak masih rendah, dengan rerata nilai 0.38. Dengan pelaksanaan tindakan permainan tradisional Sikidoka maka terjadi peningkatan rerata menjadi 0.61. Karena belum mencapai 75 % maka berdasarkan hasil evaluasi maka tindakan diulangi lagi pada siklus II. Terjadi peningkatan kemampuan setelah pelaksanaan tindakan diulangi lagi pada siklus II. Rerata capaian kemampuan fisik motorik kasar anak meningkat menjadi 0.95. Angka ini menunjukkan bahwa kemampuan ketiga anak usia dini tunagrahita sudah memenuhi standar kompetensi yang diharapkan yaitu 75%. Artinya, juga bahwa kemampuan melompat dengan dua kaki, kemampuan dengan menggunakan satu kaki, kemampuan menjaga keseimbangan, kemampuan melempar dan menggenggam anak sudah sesuai tahapan perkembangan. Peningkatan kemampuan fisik motorik kasar anak ini dapat dicapai karena pelaksanaan tindakan permainan tradisional Sikidoka yang dimainkan sesuai kondisi kebutuhan khusus anak, seperti aturan main yang disederhanakan, perintah pelaksanaan permainan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
yang singkat dan jelas, serta pemberian motivasi seperti pujian terus menerus, durasi waktu bermain yang tidak panjang, Hasil penelitian di atas mempertegas hasilhasil penelitian sebelumnya. Penelitian serupa tentang pemanfaatan permainan tradisional untuk meningkatkan kemampuan lokomotor anak tunagrahita. Kemampuan gerak lokomotor anak tunagrahita meningkat secara signifikan setelah diberi permainan tradisional memindahkan barang dan engkleng gunung (Utari & Nanik, 2015). Permainan sikidoka ternyata juga mempengaruhi perkembangan lain selain perkembangan motorik maupun gerak lokomotor anak usia dini tuna grahita. Penelitian Sari (2015) menunjukkan peningkatan kemampuan mengenal bilangan yang signifikan pada anak tunagrahita ketika menggunakan permainan engklek atau sikodoka ini. Permainan ini dimodifikasi dengan memberi angka di tiap kotak yang ada. Dari hasil-hasil penelitian di atas dan hasil penelitian ini
terungkap juga bahwa peningkatan kemampuan anak tunagrahita dapat terjadi dikarenakan beberapa hal yaitu penyederhanaan permainan tradisional yang ingin dimainkan, penggunaan bahasa sederhana dan singkat, mengulang-ngulang permainan beberapa kali dan selalu memberi motivasi pada saat anak malu-malu dan tak mampu, serta memberi reward saat anak berhasil. Selain memperkuat hasil penelitian sebelumnya, penelitian ini memberikan eviden baru mengenai penerapan permainan tradisional untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Kebutuhan perkembangan anak usia dini yang berbeda dengan anak yang lebih tua diharapkan dapat difasilitasi dengan permainan tradisional Sikodoka seperti sudah dibuktikan di penelitian ini. Langkah selanjutnya adalah mentransfer pengetahuan ini untuk diterapkan di kegiatan sekolah maupun di rumah untuk memaksimalkan aplikasi ilmu.
PENUTUP
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional Sikodoka efektif dalam meningkatkan kemampuan motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Eviden baru dalam konteks anak usia dini tunagrahita ini bisa bermanfaat untuk kegiatan sekolah maupun di rumah demi menunjang perkembangan anak. Eviden ini juga seharusnya bisa meyakinkan para praktisi perkembangan dan pendidikan anak untuk beralih dari metode-metode konvensional dalam belajar dan memanfaatkan permainan tradisional untuk anak usia dini. Diseminasi hasil lebih lanjut serta sosialisasi dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut. Saran Adapun beberapa hal yang direkomendasikan antara lain adalah bagi guru merencanakan permainan tradisional sebagai media dalam pembelajaran anak
tunagrahita apalagi anak usia dini. Selain itu orangtua juga perlu mempertimbangkan untuk mendorong anak bermain tradisional di kehidupan bermain sehari-hari anak. Permainan Sikodoka dapat menjadi salah satu alternatif aktivitas anak untuk menstimulus kemampuan motorik kasar anak. Agar permainan dapat berjalan dengan baik, perlu disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak tunagrahita. Guru dan orangtua perlu memperhatikan aturan mainnya, harus dibuat lebih mudah dan singkat agar dapat dipahami anak usia dini tunagrahita. Guru dan orangtua juga harus menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas serta perlu menyiapkan hadiah baik berupa pujian, tos ataupun sepotong biskuit (biskuit gandum). Diseminasi yang konsisten mengenai hasil penelitian ini dan hasil penelitian serupa diperlukan untuk mendukung perubahan di perilaku masyarakat dan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Alfiza, Y., Martias, Z., Fatmawati. (2014). Meningkatkan keterampilan melompat melalui permainan tradisional lompat tali bagi anak tunagrahita ringan kelas II di SDLB 35 Painan. E-JUPEKhu, 3 (1), 299-307. Ardiyanto, A & Sukoco, P. (2014). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Permainan Tradisional Untuk Meningkatkan Kemampuan
Motorik Kasar Anak Tunagrahita Ringan. Jurnal Keolahragaan, (2) 2. 119-129. Asih L.S. (2014). Pengaruh Permainan Tradisional Engklek Terhadap Kemampuan Motorik Kasar Melompat Anak Tunagrahita Ringan (Single Subject Research (SSR). Pada Siswa Slb Bina Sejahtera ). Skripsi. Tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI Http://Repository.Upi.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
79
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
Edu/12357/1/S_Plb_1004924_Title.Pdf Delphie, B. (2006). Pembelajaran anak tunagrahita. Bandung: Refika Aditama. Fitriana S.S.E. (2013). Media pembelajaran interaktif ketrampilan membatik untuk anak tunagrahita ringan pada SLBN Semarang. Diakses dari Eprints.Dinus.Ac.Id/12475/1/Jurnal_12486. Pdf. Luby, J. L. (2006). Handbook of preschool mental health. New York: The Guilford Press. Odom, S. L., & Wolery, M. (2003). A unified theory of practice in early intervention/early childhood special education: Evidence based practices. The Journal of Special Education. (37) 3, 164-173. Ratoe Oedjoe, M & Bunga, N.B. (2015). Model of East Nusa Tenggara traditional games as a learning mediafor young children with mental retardation. 6th International Conference on Teaching, Education and Learning (ICTEL) Singapore. Nov 15-16. 69-70. Sari, S. (2015). Efektivitas permainan engklek untuk mengenal bilangan bagi anak tunagrahita sedang X DIII C1 SLB C Payakumbuh. E-JUPEKhu. (4) 1. 162-173. Diakses dari Http://Ejournal.Unp.Ac.Id/Index.Php/Jupekhu/ Article/Download/4632/3671. Samuelsson, I.P & Carlsson M.A., (2008). The
80
playing learning child : Towards a pedagogy of early childhood, Scandinavian Journal of Education Research. (52) 6, 623-641. doi: 10.1080/00313830802497265. Sekarwati, D. A., & Riyanto, E. (2015). Permainan maze matching board untuk mengembangkan kemampuan motorik halus anak tunagrahita. Artikel. Diambil dari www. ejournal.unesa. ac.id/article/6069/15/article.pdf Permatasari F.D. (2014). Peningkatan kemampuan konsentrasi pada pembelajaran seni tari untuk anak tunagrahita di SLB Negeri 1 Sleman berbasis permainan tradisional. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: UNY. Utari, U.Y & Indahwati, N. (2015). Upaya meningkatkan gerak dasar lokomotor anak tunagrahita ringan melalui permainan tradisional. Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. (03) 2, 279 – 282. Diambil dari http://ejournal.unesa. ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-jasmani/ issue/archive Utari, Y. I & Nanik I. (2015). Upaya meningkatkan gerak dasar lokomotor anak tunagrahita ringan melalui permainan tradisional. Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. (03) 02, 279 – 282. Diambil dari Http://Ejournal.Unesa. Ac.Id/Index.Php/Jurnal-Pendidikan-Jasmani/ Issue/Archive
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
DAMPAK PELATIHAN KETERAMPILAN HIDUP (LIFE SKILLS) MONTIR OTOMOTIF TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN WARGA BELAJAR Dayat Hidayat e-mail :
[email protected] Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Universitas Singaperbangsa Karawang Jalan HS. Ronggowaluyo, Telukjambe Timur, Karawang – Jawa Barat, 41362
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat, yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni tahun 2013 di PKBM Cepat Tepat Karawang. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Subjek yang diteliti yaitu enam orang yang terdiri dari empat orang warga belajar, satu orang pengurus, dan satu orang sumber belajar atau pelatih. Analisis data menggunakan model interaktif, melalui tahapan: (a) koleksi data (data collection), (b) reduksi data (data reductionaI), (c) penyajian data (data display), dan (d) penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion/verifying). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan pelatihan life skills montir otomotif dimulai dengan analisis kebutuhan belajar calon warga belajar dan daya dukung yang tersedia di PKBM. Pelaksanaan pelatihan berlangsung dengan baik dengan melibatkan seluruh komponen pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif. Hasil pelatihan juga menunjukkan peningkatan keterampilan di bidang otomotif dan sikap kewirausahaan warga belajar secara mandiri. Dampak program pelatihan life skills menunjukkan peningkatan perolehan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar untuk membuka bengkel sendiri atau di bengkel-bengkel otomotif dan perusahaan industri di Kabupaten Karawang. Kata-kata Kunci: pelatihan keterampilan hidup, kesempatan kerja, pendapatan warga belajar
THE IMPACT OF LIFE SKILL TRAINING FOR AUTOMOTIVE MECHANIC IN EMPLOYMENT OPPORTUNITY AND LEARNERS’ INCOME Abstract: The purpose of this study was to analyze the implementation of life skills for automotive mechanic in CLC Cepat Tepat, which includes the steps of planning, implementation and assessment to improve employment and learners income. The approach used in this study is qualitative case study method. The data collection techniques through observation, interviews and documentation study. Subjects are six people consisting of four learners, one of organizer, and one of learning resources or trainers. Analysis of data used an interactive model, through the following steps: collection of data, reduction of data, display of data, and conclusion or verification. The results showed that the implementation of life skills training for automotive mechanic started by the analysis of learning needs of learners and carrying capacity which available in the CLC. Life skill training program for automotive mechanic is going well by involving all components of life skills. The results showed that the implementation of life skill training are skill enhancing in the areas of automotive and entrepreneurial attitudes of learners independently. The impact of life skills training program showed an increasing of getting chance to have job and learners’ income to open his own workshop or others automotive ones and automotive industry companies in Karawang. Keywords: life skills training, employment, learners’ income
PENDAHULUAN Seorang pakar pendidikan nonformal Ivan Illich menyarankan untuk mengadakan revolusi belajar dalam masyarakat untuk mendorong
perubahan budaya. Ia menyatakan bahwa upaya untuk mengadakan perubahan yang tambal sulam terhadap komponen dan proses belajar dalam
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
81
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
pendidikan sekolah yang ada sekarang ini tidak akan menjamin tumbuhnya masyarakat baru yang dapat memecahkan dengan segera masalah-masalah yang dihadapinya. Untuk mengadakan revolusi belajar itu dianjurkan perubahan secara menyeluruh dalam sistem pendidikan yang ada sekarang dengan menyelenggarakan jaringan-jaringan belajar (learning webs) di masyarakat. Program jaringan belajar ini mencakup pertukaran keterampilan dan keahlian, dan mempertemukan peserta didik yang memiliki kebutuhan belajar dengan sumber belajar yang tepat untuk melayaninya. Salah satu program pendidikan nonformal yang diintegrasikan dengan pendidikan formal atau secara utuh program pendidikan nonformal saja yang saat ini sedang dikembangkan adalah pendidikan keterampilan hidup (life skills). Bertitik tolak dari masalah tersebut di atas, dilakukan konsolidasi agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan hidup (life skills). Pendidikan keterampilan hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan keterampilan hidup (life skills) merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Artinya peserta didik yang telah mengikuti pendidikan keterampilan hidup (life skills) memiliki keterampilan tertentu yang dapat digunakan sebagai keahlian untuk meningkatkan pendapatan ekonomi kehidupannya sesuai dengan minat, bakat, kemampuan, dan sumber daya yang tersedia di lingkungannya. Pendidikan keterampilan hidup (life skills) adalah program pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup, yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal keterampilan hidup tersebut diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan. Untuk dapat mewujudkan pendidikan keterampilan hidup (life skills), perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education) yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik semata atau vokasional semata, 82
tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktikkannya untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, secara umum pendidikan keterampilan hidup (life skills) bertujuan untuk mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik untuk menghadapi peranannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan keterampilan hidup (life skills) bertujuan untuk: (a) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, (b) memberikan kesempatan kepada lembaga pendidikan nonformal untuk mengembangkan pelatihan yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad-based education), dan (c) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan masyarakat, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis masyarakat (community based management). Pendidikan keterampilan hidup (life skills) jalur pendidikan nonformal bertujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap warga belajar di bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga memiliki bekal kemampuan untuk bekerja yang dapat mendatangkan penghasilan yang layak guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Program pendidikan keterampilan hidup (life skills) bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik agar (a) memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja baik bekerja secara mandiri (wirausaha) dan/ atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/ jasa dengan penghasilan yang semakin layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; (b) memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karya-karya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global; (c) memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya; (d) memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dalam rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat. Pendidikan keterampilan hidup (life skills) bermanfaat bagi peserta didik sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat dan warga negara. Jika hal itu
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
berhasil, maka faktor ketergantungan (dependency factor) akibat banyaknya pengangguran dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat. Sebagai suatu konsep, pendidikan keterampilan hidup tentu terbuka dan memang akan terus berkembang. Rumusan tujuan pelatihan keterampilan hidup (life skills) disusun sebagai pedoman utama dalam merancang seluruh kegiatan pelatihan, memilih dan menetapkan aktivitas pembelajaran dalam pelatihan, menyeleksi calon peserta pelatihan, dan menghindari hal-hal yang tidak realistis serta berdampak negatif dalam pelatihan. Tujuan pelatihan memiliki fungsi sebagai berikut : (a) sebagai tolok ukur penilaian, dalam arti bahwa pelatihan dinilai berhasil apabila tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai sebagaimana diharapkan, (b) sebagai pemberi arah bagi semua unsur/ komponen pelatihan, khususnya pelatih dan peserta pelatihan, (c) sebagai acuan tentang standar/kriteria untuk merancang kurikulum pelatihan, dan (d) sebagai media komunikasi bagi pelatih (Sudjana, 2007). Dengan demikian, dalam merumuskan tujuan pelatihan, setiap pengurus atau pelaksana pelatihan harus memahami fungsi tujuan pelatihan tersebut sehingga pelatihan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Tujuan pelatihan dapat dijadikan dasar dalam menguraikan persyaratan pekerjaan, memilih metode, media, dan sistem organisasi, mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta pelatihan pada sat pelatihan berakhir, menumbuhkan motivasi peserta pelatihan untuk terus belajar, menggambarkan proses belajar yang lebih efisien dan efektif, menyusun standar alat evaluasi hasil belajar yang ajeg (valid) dan dapat dipercaya (reliable). Tujuan pelatihan membantu penilai dan pelatih dalam mengetahui hasil yang seharusnya diperoleh dalam pelatihan, serta mengetahui dampak pelatihan bagi para lulusan bagi kemajuan dirinya, peningkatan kinerja pada lembaga dimana lulusan bertugas, pembelajaran orang lain dan/atau pengaruhnya bagi masyarakat yang menjadi layanan lulusan program pelatihan. Dengan demikian, tujuan pelatihan adalah gambaran perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta pelatihan setelah mengkuti pelatihan. Tujuan ini dipandang sebagai tolok ukur yang akurat pencapaian hasil pelatihan. Selain peningkatan keterampilan melalui
kegiatan pelatihan, faktor yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan sikap perilaku kewirausahaan warga belajar sehingga dapat bekerja secara mandiri. Kewirausahaan adalah applying creativity and innovation to slove the problem and to exploit opportunities that people face everyday. Kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan upaya memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreatifitas, inovasi dan keberanian menghadapi risiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Kreativitas diartikan sebagai kemampuan mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara baru untuk memecahkan persoalan dan menghadapi peluang (creativity is the ability to develop new ideas and discover new ways of looking at problem and opportunities) (Zimmerer, 1996). Selanjutnya, Drucker (1994) berpendapat bahwa kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different thing). Bahkan, enterpreneurship secara sederhana sering juga diartikan sebagai prinsip atau kemampuan wirausaha. Kewirausahaan adalah ability to create the new and different, suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pada saat kondisi perekonomian negara kita masih belum menentu dan daya beli masyarakat sepertinya cenderung stagnan, karena pengaruh dari krisis ekonomi dan bahkan krisis multidimensial yang berkepanjangan, tetapi kenyataannya keinginan masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor tidak pernah surut, terbukti dengan meningkatnya angka penjualan dari berbagai merk motor dan mobil, bahkan sekarang ini telah muncul puluhan merk-merk motor dan mobil baru yang memperebutkan pasar otomotif di negara Indonesia. Selain itu, kini di kabupaten Karawang, khususnya di Karawang bagian selatan telah berdiri ratusan perusahaan atau pabrik-pabrik yang bergerak di berbagai sektor produksi dan tentunya industri tersebut memerlukan teknisi-teknisi di bidang otomotif yang handal dengan jumlah cukup banyak. Dengan memperhatikan kondisi masyarakat di Kabupaten Karawang yang telah berkembang menjadi kawasan industri besar, tenaga-tenaga kerja yang mempunyai keterampilan serta keahlian di bidang otomotif keberadaanya sangat diperlukan.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
83
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Dengan meningkatnya kendaraan otomotif di kabupaten Karawang, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam perbengkelan tumbuh dengan pesat. Dampak dari berdirinya industri-industri di Karawang, tentu saja memerlukan tenaga kerja yang banyak pula. Tetapi permasalahannya sekarang kesempatan kerja ini sulit didapatkan oleh masyarakat Karawang sendiri, mereka kalah bersaing dengan tenaga-tenaga kerja yang berasal dari luar Karawang. Untuk memenangkan persaingan dalam memasuki pasar kerja di bidang industri yang ada di Karawang, maka sumber daya manusia Karawang sendiri perlu ditingkatkan. Mereka harus memiliki keterampilan atau keahlian tertentu sebagaimana yang dipersyaratkan oleh perusahaan-perusahaan atau pasar kerja. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Cepat Tepat Karawang yang memiliki salah satu program unggulan di bidang pelatihan otomotif merasa tergerak mempersiapkan calon tenaga kerja di bidang otomotif agar diterima di perusahaan atau membuka bengkel otomotif sendiri. PKBM Cepat Tepat menyelenggarakan pelatihan keterampilan montir otomotif yang bertujuan untuk membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan warga belajar untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui peningkatan taraf hidup di bidang ekonomi. Pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang selain didukung oleh berbagai program pelayanan pendidikan nonformal, di dalamnya menggunakan pendekatan mastery learning (belajar tuntas) dan sistem insentif dengan pengendalian dan pembinaan yang sistematik. Pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif ini perlu dikaji dan lebih dikaji secara cermat keunikannya sebagai salah satu model PNF yang memiliki prospek yang baik di masa yang akan datang. Program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat berusaha untuk menjembatani permasalahan yang dihadapi antara sektor industri dan calon tenaga kerja (masyarakat pencari kerja). Dimana saat ini sektor industri mempunyai kebutuhan akan tenaga kerja yang mempunyai keahlian khusus, sedangkan di lain pihak masyarakat pencari kerja, sumber daya manusianya belum sesuai dengan harapan sektor industri. Program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang diselenggarakan untuk mendidik masyarakat usia 84
produktif, terutama warga Karawang yang tergolong miskin dan tidak mempunyai pekerjaan, agar mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang otomotif. Setelah selesai diharapkan dapat bekerja di berbagai sektor industri atau bekerja secara mandiri di bidang perbengkelan otomotif untuk meningkatkan taraf hidupnya. Tujuan pelatihan keterampilan montir otomotif memberikan kerangka acuan dalam penyampaian materi pelatihan baik teori, praktik maupun implementasinya. Tujuan pelatihan disusun untuk meningkatkan efektivitas, produktivitas dan efisiensi proses pelatihan di lembaga pendidikan yang melaksanakan pelatihan. Meningkatkan kualitas hasil pelatihan ditandai oleh semakin banyaknya pencapaian komponen tujuan pelatihan dan semakin tingginya nilai pragmatis materi yang dapat diimplementasikan oleh stakeholders, khususnya peserta pelatihan. Tujuan pelatihan keterampilan montir otomotif merupakan dasar bagi penentuan langkah-langkah kegiatan dalam mengembangkan komponen dan proses pelatihan itu sendiri. Tujuan pelatihan tersebut merupakan inti dalam sistem pelatihan. Tujuan pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat yang dirancang dengan jelas akan mempermudah kegiatan untuk mencapainya karena pelatih dapat melakukan komunikasi yang efektif terhadap peserta pelatihan sehingga terjadi proses pelatihan dengan baik. Tujuan pelatihan yang dirumuskan dengan baik akan memberikan arah untuk menetapkan cara-cara praktis dan objektif dalam menentukan fakta, prinsip, konsep, dan kemampuan khusus sebagai bahan pembelajaran dalam pelatihan termasuk penentuan jenis dan jumlah bahan pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan tujuan pelatihan. Mengacu kepada kondisi yang telah dikemukakan di atas, pelatihan keterampilan montir otomotif yang bertujuan untuk membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan warga belajar untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui peningkatan taraf hidup di bidang ekonomi. Pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang selain didukung oleh berbagai program pelayanan pendidikan nonformal, di dalamnya menggunakan pendekatan mastery learning (belajar tuntas). Terdapat 50 peserta pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
setelah mengikuti pelatihan, sebanyak 60% akan disalurkan untuk bekerja di sektor industri dan bengkel-bengkel yang berada di Karawang dan sekitarnya. Sebanyak 40% difasilitasi untuk membuka usaha sendiri di bidang perbengkelan, yaitu usaha bengkel mobil dan motor. Target yang diharapkan setelah warga belajar mengikuti pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang adalah minimal mampu memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil atau besar yang dialami oleh mesin otomotif serta dapat merangkai kembali garda yang terurai, merakit kabel kabel kelistrikan yang ada pada mesin otomotif, dan memasang lampu pada kendaraan otomotif serta
keterampilan las listrik dan las karbit. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif terhadap kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat Karawang? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menganalisis data tentang perencanaan, pelaksanaan, penilaian, hasil dan dampak pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif terhadap kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat Karawang.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian ini ditulis dengan istilah-istilah “teknis” penelitian yang bersumber dari bahasa penelitian kualitatif (Schwandt, 2007 dalam Cresswell, 2013). Alasan penggunaan pendekatan kualitatif adalah karena lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan, dan menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden, lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2010). Penelitian ini bertujuan menganalisis informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, partisipan, dan lokasi penelitian tentang dampak pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat Karawang. Penelitian tentang pelatihan keterampilan montir otomotif dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni tahun 2013 di PKBM Cepat Tepat Karawang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Metode ini merupakan suatu penelitian kualitatif yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok dan situasi (Emzir, 2010). Metode penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran kasus secara detail, analisis tema atau pokok bahasan, dan interpretasi peneliti atau penegasan kasus. Interpretasi ini dapat disebut “pelajaran yang dipelajari” (Guba & Lincolin, 1989 dalam Milan J.M. & Schumacher, 1997). Dalam
penelitian ini, dianalisis tentang perencanaan, pelaksanaan, penilaian, hasil dan dampak pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat Karawang. Sebagai sumber informasi, subjek dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling yang terdiri data dari satu orang pengelola, satu orang tutor dan tiga orang warga belajar pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang. Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) orientasi untuk mendapatkan informasi tentang apa yang penting untuk ditemukan, (2) eksplorasi untuk menentukan sesuatu secara terfokus, dan (3) member check untuk mengecek temuan menurut prosedur dan memperoleh laporan akhir (Nasution, 1992). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang ditunjang pula data kuantitatif. Instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumentasi sebagai sumber data triangulasi yang dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk melacak atau membuktikan kebenaran data yang dikumpulkan untuk dianalisis pelatihan keterampilan life skills montir otomotif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat Karawang. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model interaktif. Tahap-tahap model ini yaitu: (a) koleksi data (data collection), (b) reduksi data (data reductionaI), (c)
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
85
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
penyajian data (data display), dan (d) penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion/verifying). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Komponen analisis data model interaktif menurut Milles M. B. & Huberman A.M. (1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan Pelatihan Keterampilan Hidup (Life Skills) Montir Otomotif Berdasarkan hasil wawancara dan studi dokumentasi yang diperoleh dari pengurus PKBM Cepat Tepat diperoleh informasi bahwa pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif telah dilaksanakan sesuai dengan pedoman pengurusan program pendidikan keterampilan hidup (life skills) program PNF. Perencanaan program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang dimulai dengan analisis kebutuhan belajar calon warga belajar dan kondisi lingkungan yang disesuaikan dengan daya dukung yang tersedia di PKBM Cepat Tepat tersebut. Maksudnya alasan yang mendasari ketua PKBM Cepat Tepat merencanakan untuk menyelenggarakan program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif disebabkan karena sekarang ini di kabupaten Karawang, khususnya di bagian selatan telah banyak berdiri ratusan perusahaan atau pabrik-pabrik yang bergerak di bidang industri. Berbagai perusahaan industri tersebut memerlukan teknisi-teknisi di bidang otomotif handal dengan jumlah yang cukup besar. Memperhatikan kondisi tersebut, maka keberadaan tenaga-tenaga kerja yang mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang otomotif sangat diperlukan. Selain itu, meningkatnya kendaraan otomotif maka perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perbengkelan banyak didirikan. Berasumsi pada kondisi tersebut di atas, maka PKBM Cepat Tepat Karawang yang telah berpengalaman di bidang otomotif tergerak untuk mempersiapkan calon tenaga kerja di bidang otomotif agar diterima di perusahaan yang bergerak di bidang 86
industri atau dapat membuka bengkel otomotif secara mandiri yang sekarang ini keberadaannya sangat dibutuhkan. Proses perencanaan pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat dimulai dengan rekrutmen sumber belajar atau instruktur yang memiliki kualifikasi atau keahlian di bidang otomotif. Rekrutmen sumber belajar ini dilakukan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program life skills yang mensyaratkan bahwa pengurus program life skills harus lebih dulu memiliki tenaga pendidik/sumber belajar yang ahli di bidangnya. Setelah itu, pengurus PKBM Cepat Tepat melakukan rekrutmen warga belajar yang tergolong ke dalam usia produktif (16 - 44 tahun), berasal dari keluarga miskin dan sedang menganggur/belum memiliki pekerjaan. Tingkat pendidikan calon warga belajar mulai dari lulusan SD/MI sampai dengan DO SLTA. Persyaratan calon warga belajar tersebut sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program life skills, yaitu (a) belum memiliki keterampilan, (b) menganggur atau tidak memiliki pekerjaan, (c) berusia antara 16 – 44 tahun, (d) putus sekolah, (e) pendidikan maksimal SLTA/Sederajat, dan (f) sanggup mengikuti ketentuan pelatihan yang telah ditetapkan oleh pengurus. Pengurus PKBM Cepat Tepat Karawang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten selanjutnya menyusun kurikulum pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif yang meliputi (a) tujuan pelatihan, (b) materi pelatihan, (c) pendekatan, metode dan teknik pelatihan yang digunakan, (d) alokasi waktu, (e) evaluasi, dan (f) kriteria keberhasilan yang akan dicapai. Pada dasarnya, tujuan pelatihan keterampilan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang seseuai dengan tujuan pengurusan program PNF secara umum seperti yang dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah bab II pasal 2 ayat 2, bahwa “tujuan pendidikan luar sekolah adalah membina warga belajar agar memiliki pengetahuan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan ke tingkat dan/atau jenjang yang lebih tinggi”. Tujuan program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang adalah membina warga belajar agar memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif dan sikap kewirausahaan yang diperlukan untuk mengembangkan usaha, sehingga menjadi sarana peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar. Pelatihan dapat didefinisikan sebagai pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, skill/keterampilan dan sikap) agar mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981:12). Pelatihan merupakan bagian integral dari proses penguatan kelembagaan dalam mempersiapkan pelaku pembangunan (stakeholders) agar mampu berpartisipasi dalam pengelolaan program pembangunan. Kebutuhan suatu model pelatihan yang memberikan suatu pandangan menyeluruh tentang pelatihan menjadi sangat krusial dalam rangka meningkatkan kapasitas lembaga dan sumber daya manusia serta memberikan definisi pelatihan yang ditekankan pada tempat dilaksanakannya pelatihan. Mereka mendefinisikan pelatihan sebagai usaha sistematis untuk menguasai keterampilan, peraturan, konsep ataupun cara berperilaku yang berdampak pada peningkatan kinerja. Misalnya, untuk pelatihan jabatan kerja, setting pelatihan diusahakan semirip mungkin dengan lingkungan kerja yang sebenarnya (Goldstein dan Gressner (1988) dalam Kamil, 2007). Sebagai bagian dari proses pendidikan, pelatihan dilaksanakan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Perencanaan merupakan suatu proses yang terorganisir dan berkesinambungan dari pengidentifikasian unsur-unsur dan aspek-aspek suatu organisasi untuk penentuan keadaan sekarang dari unsur-unsur dan aspek-aspek tersebut serta
interaksinya, memproyeksikan unsur-unsur dan aspek-aspek tersebut untuk periode waktu tertentu, serta perumusan dan pemrograman rangkaian tindakan dan rencana untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan adalah suatu kebijakan untuk menggali dan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi atau sosio-kultural tertentu. Karena itu, perencanaan merupakan fungsi awal dari keseluruhan kegiatan pengelolaan dan merupakan proses sistematis untuk pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilaksanakan, mengapa dilaksanakan, tujuan yang ingin dicapai, waktu yang dibutuhkan, bagaimana proses pelaksanaannnya, daya dukung apa yang tersedia, serta berbagai resiko dan kemungkinan hambatan yang akan dihadapi. Pada hakikatnya, perencanaan merupakan usaha sadar, terorganisasi, dan terus menerus dilakukan untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif tindakan guna mencapai tujuan (Waterson, 1965 dalam Sudjana. D. 2004: 61). Selanjutnya, Schaffer (1970) dalam Sudjana (2004) mengemukakan “Apabila perencanaan dibicarakan, maka kegiatan ini tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut dimulai dari dengan perumusan tujuan, kebijaksanaan, dan sasaran secara luas, yang kemudian berkembang pada tahapan penerapan tujuan dan kebijaksanaan itu dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk dilaksanakan.” Yehezkel Dror dalam Sudjana (2004) mengemukakan ”Planning is process of prepraring a set of dicision for action in the future directed at achieving goals by preferable means”. Perencanaan adalah proses untuk mempersiapkan seperangkat keputusan tentang kegiatan-kegiatan pada masa yang akan datang dengan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan melalui penggunaan sarana yang tersedia. Demikian pula Friedman dalam Sudjana, D. (2004) mengemukakan ”Planning is a process by which a scientific and technical knowledge is joined to organized action”. Perencanaan adalah proses menggabungkan pengetahuan ilmiah dan teknik ke dalam kegiatan yang diorganisasi. Dengan demikian, perencanaan merupakan kegiatan awal keseluruhan proses kegiatan suatu organisasi atau lembaga. Termasuk misalnya perencanaan proses pelatihan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
87
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga pendidikan. Pada prinsipnya, perencanaan memiliki fungsi: (a) untuk mengurangi adanya hambatan-hambatan dan pemborosan sehingga semua yang tercakup di dalamnya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin, (b) sebagai pelayanan yang berupa prosedur di dalam proses pencapaian tujuan, dan (c) sebagai penyeimbang daripada komponen-komponen yang terlibat di dalamnya. Perencanaan merupakan bagian awal dari manajemen. Perencanaan merupakan faktor yang sangat mendasar dan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pelatihan. Tanpa adanya perencanaan yang jelas dan terukur kita tidak akan mengetahui dengan pasti, apakah proses pelatihan yang dilaksanakan berhasil atau tidak. Perencanaan pelatihan yang menyeluruh mengandung efektivitas dan efisiensi sistem dan proses, yang mencerminkan komponen-komponen yang secara sistematis saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Komponen-komponen tersebut meliputi: (a) alasan mengapa pelatihan dilaksanakan, (b) tujuan pelatihan yang akan dicapai, (c) tindakan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pelatihan tersebut, (d) daya dukung yang tersedia, baik manusia maupun nonmanusia, (e) bagaimana proses pelatihan tersebut dilaksanakan, dan (f) waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pelatihan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perencanaan pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang untuk mencapai tujuan pelatihan yang telah ditetapkan. Disebut sistematis karena perencanaan itu digunakan dengan menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut mencakup proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi. Pentingnya aspek perencanaan dalam pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Sutisna dan Trisnamansyah (2010) yang menyatakan bahwa tahap perencanaan pelatihan, dilakukan melalui identifikasi kebutuhan belajar. Hasil identifikasi adalah berupa materi pelatihan yang berdimensi. Pertama, yang pengetahuan meliputi: (a) pemahaman karakteristik warga belajar, (b) penguasaan konsep dan landasan pendidikan, 88
(c) pemahaman perencanaan pembelajaran, (d) pelaksanaan pembelajaran beserta metode dan teknik, dan (e) evaluasi dalam pembelajaran. Kebutuhan materi dalam dimensi keterampilan, meliputi: (a) penyusunan program pembelajaran dan silabus, (b) penyusunan persiapan pelaksanaan pembelajaran, (c) pelaksanaan pembelajaran, dan (d) evaluasi pembelajaran. Kedua, identifikasi peserta pelatihan. Ketiga, identifikasi sumber belajar sebagai fasilitator. Keempat, identifikasi bahan ajar yang digunakan, yaitu bahan ajar yang dikemas sendiri oleh narasumber/peneliti dan bersifat praktis dalam pelatihan. Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan bahwa perencanaan pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat dilaksanakan melalui tahapan identifikasi kebutuhan belajar, peserta pelatihan, dan materi sesuai dengan perkembangan bidang otomotif yang semakin pesat di Kabupaten Karawang. Pelaksanaan Pelatihan Keterampilan Hidup (Life Skills) Montir Otomotif Pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkan budaya belajar sebagai bagian dari aktivitas belajar sendiri sehingga tercipta warga belajar yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif serta sikap kewirausahaan yang mendukung pengembangan usaha warga belajar yang berdampak pada peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan kehidupannya. Untuk mencapai tujuan pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat diciptakan kondisi pelatihan yang memungkinkan warga belajar dapat belajar secara optimal dan instruktur bergairah untuk memberikan materi pelatihan. Dalam pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang melibatkan beberapa komponen pelatihan sebagai berikut. Pertama, masukan sarana (instrumental input) yang meliputi keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinan bagi seseorang atau kelompok dapat melakukan kegiatan belajar. Masukan sarana yang terlibat dalam proses pelatihan program life skills montir otomotif di PKBM Cepat Tepat meliputi: (a) kurikulum yang berisi materi pelatihan otomotif yang bertujuan untuk memberi bekal pengetahuan dan keterampilan di bidang motor bensin, suspensi,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
kelistrikan, dan keselamatan kerja, dan memberi kemampuan kewirausahaan seperti sikap percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, berani dan mampu mengambil resiko, sikap kepepimpinan, keorisinilan, serta berorientasi ke masa depan untuk memasuki dunia kerja atau berusaha secara mandiri membuka lapangan kerja; (b) pendekatan yang digunakan adalah partisipatif. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pelatihan. Pada pendekatan ini, sumber belajar berfungsi untuk memfasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan pelatihan montir otomotif; (c) metode yang digunakan dalam pelatihan program life skills montir otomotif ini adalah kelompok. Warga belajar dibagi dalam kelompok besar (50 orang) ketika memperoleh materi teori otomotif dan kewirausahaan dan kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang pada saat mempraktekkan materi pelatihan yang diberikan sumber belajar, dan (d) Teknik pelatihan yang digunakan dalam pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif, antara lain ceramah, tanya jawab, demontrasi, penugasan (drill), kerja kelompok, dan praktik lapangan. Media yang digunakan adalah buku-buku sumber otomotif, OHP, gambar dan alat peraga. Kedua, masukan mentah (raw input), yaitu peserta didik (warga belajar) dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya. Warga belajar program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat adalah 50 orang warga belajar yang memiliki karateristik: (a) belum memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif; (b) menganggur atau tidak memiliki pekerjaan tetap (miskin), lemah dalam investasi dan menabung; (c) berusia antara 26 – 44 tahun; (d) putus sekolah (DO SD/SLTP/SLTA); (e) berpendidikan maksimal SLTA; dan (f) sanggup mengikuti ketentuan pelatihan yang telah ditetapkan pengurus. Ketiga, masukan lingkungan (environmental input) yaitu faktor lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya proses pelatihan life skills montir otomotif yang meliputi (a) kondisi lingkungan keluarga yang mendorong warga belajar aktif mengikuti proses pelatihan montir otomotif, dan (b) kondisi lingkungan belajar seperti ruangan, media belajar, dan iklim belajar yang mendukung proses pelatihan montir otomotif. Keempat, proses pelatihan yang menyangkut
interaksi antara masukan sarana, terutama pendidik dengan masukan mentah, yaitu warga belajar program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif. Proses pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif ini terdiri atas: (a) kegiatan belajar-membelajarkan, bimbingan dan pelatihan yang dilakukan oleh sumber belajar dengan melibatkan komponen masukan sarana, masukan mentah, dan masukan lingkungan; serta (b) penilaian pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang yang dilaksanakan masing-masing sumber belajar di akhir pemberian materi pelatihan baik teori maupun praktek. Penilaian secara menyeluruh proses pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif dilakukan oleh pihak pengurus yang bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten. Penilaian program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif yang difokuskan pada proses pelatihan selama kegiatan berlangsung, yang meliputi kemampuan sumber belajar dalam menyampaikan materi, kemampuan warga belajar menerima pengetahuan otomotif, sikap kewirausahaan dan keterampilan mempraktekkan materi. Dengan demikian, aspek yang dievaluasi dalam pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang ini meliputi (a) penilaian kognitif, (b) afektif, dan (c) psikomotor. Kelima, keluaran (output) yaitu kuantitas lulusan dan kualitas perubahan tingkah laku yang didapat melalui proses pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif. Perubahan tingkah laku ini mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang mereka perlukan. Standar kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dimiliki oleh warga belajar program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif tersebut yaitu: (a) warga belajar minimal mampu memperbaiki kerusakankerusakan kecil atau besar yang dialami oleh mesin otomotif serta dapat merangkai kembali garda yang terurai, merakit kabel-kabel kelistrikan yang ada pada mesin otomotif, dan memasang lampu-lampu pada kendaraan otomotif serta keterampilan las listrik juga las karbit; (b) dapat melakukan pemeliharaan kendaraan harian secara berkala; (c) dapat mengatasi dan memperbaiki kerusakan secara sederhana; (d) dapat melakukan bongkar pasang mesin mobil atau motor; (e) dapat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
89
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
menggunakan alat-alat ukur yang diperlukan dalam pekerjaan yang bersangkutan; (f) mengerti akan persyaratan keselamatan kerja dalam melakukan pekerjaan; dan (g) memiliki sikap kewirausahaan dalam mengembangkan pekerjaannya. Keenam, masukan lain (other input) adalah daya dukung lain yang memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan yang telah dimiliki untuk kemajuan kehidupannya setelah mengikuti proses pelatihan montir otomotif, meliputi: (a) dana yang diberikan kepada pengurus untuk menyelenggarakan program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat, (b) kondisi lapangan kerja yang mendukung lulusan setelah mengikuti proses pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif, dan (c) kemitraan yang mendukung lulusan dapat segera bekerja setelah mengikuti proses pelatihan montir otomotif. Ketujuh, pengaruh atau dampak (impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai oleh warga belajar setelah mengikuti program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang. Dampak yang diharapkan setelah warga belajar mengikuti proses pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Tepat Karawang ini adalah: (a) perubahan taraf hidup yang ditandai dengan perolehan kesempatan pekerjaan atau berwirausaha di bidang otomotif sebagai montir, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan, dan penampilan diri, dan (b) kegiatan membelajarkan orang lain atau mengikutsertakan orang lain dalam memanfaatkan hasil yang telah dimiliki. Sebagai proses, pelatihan merupakan suatu kegiatan berlangsungnya kegiatan belajar. Kegiatan belajar termasuk pelatihan, pertama-tama dimulai dari diri seseorang sehingga orang itu melakukan proses belajar. Belajar merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah laku. Penyesuaian tingkah laku yang terwujud karena belajar, bukan akibat langsung dari pertumbuhan orang yang belajar itu. Ia melakukan kegiatan belajar dengan menyesuaikan tingkah lakunya dalam upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Secara etimologi, pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training” dalam bahasa Inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah “train”, yang berarti: (1) memberi pelajaran dan praktik (give 90
teaching and practice), (2) menjadikan berkembang dalam arah yang dikehendaki (cause to grow in a required direction), (3) persiapan (preparation), dan (4) praktik (practice). Noe, Hollenbeck, Gerhart and Wright (2003:251) mengemukakan bahwa training is a planned effort to facilitate the learning of job-related knowledge, skills, and behavior by employe. Artinya, pelatihan merupakan suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh pegawai. Pelatihan formal yang direncanakan secara matang dan mempunyai suatu format pelatihan yang terstruktur. Dalam meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia, berbagai pelatihan banyak dilaksanakan dalam masyarakat atau dalam dunia kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatankegiatan pelatihan ini sangat populer dan mudah dilakukan karena menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan dan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah. Meskipun demikian dalam banyak kasus pula pelaksanaan pelatihan ini tidak jarang dipadukan atau saling melengkapi dengan pendidikan formal. Ditinjau dari filsafat ilmunya, bahwa fenomena kehadiran program pelatihan dapat memunculkan tiga pertanyaan: (a) dari segi ontologis, apakah yang dimaksud pelatihan, (b) dari segi axiologis, apakah sesungguhnya manfaat pelatihan, dan (c) dari segi epistimologis, bagaimana cara mengkaji dan mengembangkan pelatihan?. Lebih khusus lagi, dari sudut pandang pendidikan, berkembangnya program pelatihan dapat mengundang beberapa pertanyaan antara lain (a) apakah perbedaan antara pendidikan dan pelatihan, (b) di manakah posisi pelatihan dan pendidikan apabila keduanya saling berkaitan (Sudjana, 2007). Secara ontologis, pengertian pelatihan telah dirumuskan oleh para ahli, yaitu “Training is a process used by organizations to meet their goals. It is called into operation when a discrepancy is perceived between the current situation and a preferred state of affairs. The trainer’s role is to facilitate trainee’s movement from the status qou toward the ideal” (Friedman dan Yarbrough, 1985 dalam Sudjana, 2007). Berkaitan dengan proses pelatihan, Sudjana (2004) memberikan formula pembelajaran (termasuk kegiatan pelatihan) yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Pb = f P (m S x y z). “Pembelajaran
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
adalah fungsi (f) untuk membelajarkan (m) peserta didik (S) terhadap materi pelatihan (x) untuk mencapai hasil belajar (y) yang menimbulkan pengaruh belajar (z)”. Berdasarkan rumus formula pembelajaran tersebut dapat diketahui bahwa fungsi pembelajaran adalah untuk membantu, membimbing, melatih, memelihara, merawat, menumbuhkan, mendorong, membentuk, meluruskan, menilai, dan mengembangkan kemampuan peserta didik, baik pengetahuan, keterampilan serta sikap yang menimbulkan pengaruh positif bagi hidup dan penghidupan peserta didik. Pelaksanaan suatu kegiatan pembelajaran, termasuk pelatihan merupakan proses transformasi pengetahuan, sikap dan keterampilan dari sumber belajar kepada warga belajar. Pelaksanaan pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang tidak terlepas dari kurikulum yang telah ditetapkan, yang meliputi tujuan pelatihan yaitu memberikan pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif serta sikap kewirausahaan yang mendukung pengembangan usaha warga belajar. Secara epistimologis, kajian tentang pelatihan dapat dilihat dalam pengembangan sistem, model dan pengelolaan pelatihan. Dari segi sistem dapat dipahami bahwa pada umumnya pelatihan memiliki masukan (input), proses dan keluaran (output) (Sudjana, 2007). Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang merupakan proses interaksi edukatif antara warga belajar dengan komponen-komponen pembelajaran lainnya, seperti masukan sarana, masukan lingkungan, dan masukan lain. Oleh karena pelatihan merupakan satuan pendidikan luar sekolah maka sesuai dengan sistem pendidikannya, pelatihan memiliki unsur-unsur yang terdiri atas komponen, proses, dan tujuan. Komponen pelatihan mencakup masukan lingkungan (environmental input), masukan sarana (instrumental input), masukan mentah, (raw input), dan masukan lain (other input). Proses (processes) pelatihan merupakan interaksi pembelajaran antara masukan sarana, terutama pelatih, dengan masukan mentah yaitu peserta pelatihan. Tujuan pelatihan terdiri atas tujuan pembelajaran antara keluaran (output), dan tujuan pembelajaran akhir yaitu pengaruh (outcome). Pengaruh berkaitan dengan
menfaat atau kegunaan pelatihan yang telah diikuti peserta pelatihan bagi dirinya, lembaga, masyarakat, dan lain sebagainya. Singkatnya, program pelatihan akan berhubungan erat dengan unsur-unsur pelatihan yang disusun secara sistemik, yaitu memuat komponen, proses dan tujuan pelatihan. Proses pelatihan yang berlangsung melibatkan tujuh komponen. Pertama, masukan sarana (instrumental input) meliputi keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinan bagi seseorang atau kelompok dapat melakukan kegiatan belajar. Kedua, masukan mentah (raw input) yaitu peserta didik (warga belajar) dengan berbagai karakteristiknya yang dimilikinya. Ketiga, masukan lingkungan (environmental input), yaitu faktor lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya program pendidikan. Keempat, proses yang menyangkut interaksi antara masukan sarana, terutama pendidik dengan masukan mentah, yaitu peserta didik (warga belajar). Kelima, keluaran (output), yaitu kuantitas lulusan yang disertai dengan kualitas perubahan tingkah laku yang didapat melalui kegiatan belajarmembelajarkan. Keenam, masukan lain (other input) adalah daya dukung lain yang memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan yang telah dimiliki untuk kemajuan kehidupannya. Ketujuh, pengaruh (impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dan lulusan (Sudjana, 2004) . Tujuan pelatihan lebih mengenalkan tingkah laku baru atau mengubah tingkah laku yang ada sehingga tercipta tingkah laku yang baru (Nadler, 1982). Pelatihan dirancang untuk memperbaiki performa peserta didik. Pelatihan cenderung tertuju pada tujuan-tujuan yang spesifik seperti menjalankan mesin dan mengikuti aturan-aturan baru (Glaser, 1962) . Pelatihan jenis apapun sebenarnya tertuju pada dua sasaran, yaitu partisipasi dan organisasi. Melalui pelatihan, diharapkan terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan yang sebenarnya merupakan anggota suatu organisasi. Perbaikan organisasi itu sendiri agar menjadi lebih efektif. Apabila pelatihan tertuju pada karyawan perusahaan atau pabrik, tujuan pelatihan adalah agar individu karyawan tersebut menjadi lebih baik pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya, selanjutnya perusahaan/pabrik menjadi lebih baik pula, misalnya lebih produktif. Pada pelatihan kader organisasi, misalnya, pelatihan bertujuan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
91
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
memperbaiki kecakapan kader dan selanjutnya diharapkan organisasinya lebih efektif dalam melaksanakan program-programnya dan mencapai tujuannya. Untuk jelasnya, dapat dilihat diagram pada gambar 2 berikut ini
Partisipasi
Training
Tingkah laku partisipan yang lebih baik
Perbaikan training
Feedback
Organisasi
Institusi
Organisasi yang lebih efektif
Perbaikan organisasi
Gambar 2. Diagram proses pelatihan (Marzuki, 2009) Pada Gambar 2, dikemukakan bahwa pelatihan merupakan variabel antara untuk mengubah variabel bebas partisipan dan organisasi menjadi sesuatu yang lebih baik, yaitu kemampuan individu dan keefektifan organisasi. Dale S. Beach (1975) dalam Kamil, M. (2007:10) mengemukakan, “The objective of training is to achieve a change inthe behavior of those trained” (tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh perubahan dalam tingkah laku mereka yang dilatih). Sementara itu dari pengertian pelatihan yang dikemukakan Flippo, E.B. (1994) secara lebih rinci tampak bahwa tujuan pelatihan adalah untuk menigkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang. Keberhasilan suatu program pelatihan lebih banyak dinilai dari segi sejauhmana perubahan perilaku yang diharapkan terjadi pada peserta didik atau lulusan pelatihan sebagai hasil dari proses pelatihan. Keberhasilan pelatihan pada umumnya dalam tujuan pelatihan itu sendiri. Tujuan pelatihan tidak hanya utuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan juga untuk mengembangkan bakat. Marzuki, S. (2009:12) mengemukakan ada tiga tujuan pokok pelatihan, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan organisasi, (2) memperoleh pengertian dan pemahaman yang lengkap tentang pekerjaan dengan standar dan kecepatan yang telah ditetapkan dan dalam keadaan yang normal serta aman, dan 92
(3) membantu para pemimpin organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Selanjutnya Sudjana, D. (2007: 104) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan pada dasarnya adalah suatu sebagai pernyataan yang menguraikan suatu perubahan yang diusulkan akan terjadi pada diri peserta pelatihan, yaitu perubahan setelah peserta pelatihan menyelesaikan pengalaman belajarnya dalam pelatihan. Lebih lengkap tujuan pelatihan dapat diberi arti sebagai suatu rumusan tentang hasil yaitu keluaran (output) dan dampak (outcome) yang ingin dicapai oleh pelatihan. Mengacu pada pengertian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan pelatihan adalah gambaran tentang perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta pelatihan setelah mengkuti pelatihan. Tujuan ini dipandang sebagai tolok ukur yang akurat untuk pencapaian hasil suatu pelatihan. Tujuan dapat berbentuk verbal (lisan) dan.atau nonverbal (tulisan). Tujuan secara tertulis secara jelas lebih baik dan mudah dipahami oleh peserta pelatihan dibandingkan dengan tujuan lisan. Hasil Pelatihan Keterampilan Hidup (Life skills) Montir Otomotif Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan terhadap empat orang lulusan pelatihan pendidikan keterampilan (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang diperoleh informasi bahwa mereka telah memiliki pengetahuan di bidang otomotif dan sikap kewirausahaan, serta telah memiliki keterampilan untuk memperbaiki kendaraan bermotor. Dalam kaitan dengan pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang, perubahan disposisi atau kemampuan yang telah diperoleh warga belajar adalah perubahan pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif dan sikap kewirausahaan untuk mengembangkan usaha di bidang otomotif. Secara rinci hasil pelatihan yang telah diperoleh warga belajar setelah mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang, baik yang berkaitan dengan perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan, gambaran dari seorang responden yang mengemukakan: Saya setelah mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang telah memiliki pengetahuan tentang motor bensin, suspensi yang meliputi seperti chasis otomotif, badan otomotif, kerja bangku, pemeliharaan dan perbaikan gangguan, ilmu bahan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
dan perkakas, serta gambar teknik, kelistrikan, keselamatan kerja, dan ilmu kewirausahaan yang berkaitan dengan kepercayaan diri, sikap berorientasi pada tugas dan hasil, berani mengambil risiko dalam mengembangkan usaha, sikap kepemimpinan, dan sikap kreatif. Saya percaya dapat mengembangkan usaha di bidang perbengkelan. Saya yakin bahwa keterampilan otomotif yang dimilikinya dapat dijadikan mata pencaharian yang menjanjikan. Sebagai seorang montir motor, saya kini sudah berani membuka bengkel sendiri walaupun dalam skala kecil. Saya selalu tekun, teliti, dan sabar pada saat bekerja agar kendaraan bermotor yang diperbaikinya tidak membahayakan konsumennya. saya selalu berusaha untuk bersikap ramah dan jujur kepada konsumennya. Saya selalu bekerja dengan keras, inovatif dan kreatif dalam mengembangkan keterampilannya di bidang bengkel otomotif. Pekerjaan ini dijalani dengan rasa senang, karena dia merasa yakin bahwa usaha bengkelnya dapat berkembang karena berlokasi di jalan protokol yang banyak dilalui kendaraan
bermotor jalur Karawang – Bekasi. Saya sudah terampil menurunkan dan menaikan mesin motor dari kendaraan, bongkar pasang kepala silinder berbagai tipe motor, bongkar pasang piston, bongkar pasang mekanisme katup, bongkar pasang pada sistem pendingin, bongkar pasang pompa bensin mekanik dan sistem listrik, bongkar pasang karburator berbagai tipe motor, melepas dan memasang kembali tangki bahan bakar, bongkar pasang manipol atau exhaust, bongkar pasang poros engkol, bongkar pasang pompa minyak pelumas dan saringan kendaraan motor. Selain itu, saya sudah terampil dalam memeriksa baterai, bongkar pasang dinamo, bongkar pasang motor stater, bongkar pasang distributor, memeriksa dan memasang busi motir, memasang sistem penerangan dan sistem perlengkapan kendaraan motor. Dari hasil analisis data menunjukkan hasil pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang berdasarkan ranah kognitif, afektif, dan keterampilannya, dapat diuraikan pada gambar 3 berikut.
Gambar 3. Perubahan hasil belajar sebelum dan setelah mengikuti pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang (Sumber: Hasil Analisis Data) Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
93
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Dari gambaran hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat diketahui bahwa pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang, telah memberikan dampak terhadap perubahan kehidupan warga belajar. Warga belajar mengalami peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif dan mengalami perkembangan sikap kewirausahaan yang bermanfaat dalam mengembangkan usaha di bidang perbengkelan. Hasil pelatihan merupakan kriteria keberhasilan atau target yang telah dicapai dalam suatu proses pembelajaran. Hasil pembelajaran merupakan produk penyesuaian tingkah yang diperoleh warga belajar. Travers, J. (1972) dalam Sudjana, D. (2004) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang menghasilkan penyesuaian tingkah laku. Belajar sebagai hasil adalah akibat wajar dari proses, atau proses menyebabkan hasil. Seperti telah dikemukakan di atas tentang pengertian pelatihan, Dearden (1984) dalam Kamil, M. (2007:7), menyatakan pula bahwa pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar mengajar dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu atau efisiensi kerja. Sebagai hasil pelatihan, peserta diharapkan mampu merespon dengan tepat dan sesuai situasi tertentu. Seringkali pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja yang langsung berhubungan dengan situasinya. Dearden lebih memilih menggunakan konsep kompetensi (competences) dibandingkan kinerja (performance). Dia membatasi konsep tersebut untuk tujuan mempersiapkan peserta untuk bertindak berdasarkan situasi-situasi yang biasanya terjadi, serta menerapkannya pada saat melakukan tanggung jawab pekerjaan, baik beban kerja yang lebih kompleks maupun yang lebih sederhana. Berkaitan dengan pelatihan sebagai hasil, Bloom., B. (1965) dalam Sudjana, D. (2004: 99-102) menyusun klasifikasi tujuan pendidikan (taxonomy of educational objectives) yang meliputi tiga ketegori, yaitu: pertama, ranah kognitif yang mencakup pengetahuan (knowledge), pengertian (comprehension), penerapan (application), analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua, ranah afektif yang mencakup perubahan yang berhubungan minat, sikap, nilai-nilai, penghargaan dan penyesuaian diri. Ketiga, ranah keterampilan yang mencakup keterampilan produktif (productive skills), 94
keterampilan teknik (technical skills), keterampilan fisik (physical skills), keterampilan sosial (social skills), keterampilan pengelolaan (managerial skills), dan keterampilan intelek (intellectual skills). Berkaitan dengan hasil proses pembelajaran, termasuk kegiatan pelatihan yang memberi makna pada diri warga belajar, Sudjana, D. (2004 : 102) berpendapat sebagai sebagai berikut: “Belajar sebagai hasil bermakna sebagai suatu kemampuan yang dicapai seseorang setelah melalui kegiatan belajar atau sesudah mengalami belajar sebagai proses. Melalui kegiatan belajar sebagai proses, seseorang dapat berpikir, merasakan dan bertindak di dalam dan terhadap kehidupannya. Dengan demikian, belajar sebagai hasil adalah perubahan tingkah laku seseorang melalui proses belajar dan yang harus dan dapat digunakan untuk meningkatkan penampilan dirinya dalam hidup dan kehidupannya.” Dengan demikian, hasil pelatihan adalah perubahan tingkah laku seseorang melalui proses belajar dan yang harus dan dapat digunakan untuk meningkatkan penampilan dirinya dalam hidup dan kehidupannya. Secara umum, manfaat pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup (life skills) montir otomotif bagi warga belajar adalah memberikan bekal untuk menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi, warga masyarakat dan warga negara yang mandiri. Keberhasilan program life skills diharapkan meningkatkan kesempatan sehingga dapat mengurangi pengangguran, dan meningkatkan produktivitas kerja warga belajar untuk meningkatkan pendapatannya. Berkaitan dengan hasil pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang, menunjukkan sikap kewirausahaan yang mulai tumbuh dan berkembang. Kewirausahaan, menurut Winarto (2004:2-3) dikemukakan bahwa “Entrepreneurship (kewirausahaan) adalah suatu proses melakukan sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberi nilai tambah pada masyarakat.” Adapun Hisrich-Peters (1995:10) dalam Alma, B. (2007:26) mengemukakan bahwa “Enterpreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psyhic, and social risk, and receiving the resulting rewards of monetary and
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
personal satisfaction and independence”. Artinya, kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan). Selanjutnya, Suryana (2007:10) juga mengemukakan bahwa kewirausahaan merupakan terjemahan dari “entrepreneurship”, yang dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”, yaitu syaraf pusat perekonomian atau sebagai ‘tailbone of economy’, yaitu pengendali perekonomian suatu bangsa. Secara etimologi kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru (creative) dan sesuatu yang berbeda (innovative). Pengembangan model pendidikan kewirausahaan telah banyak dilaksanakan untuk meningkatkan kemandirian usaha warga belajar. Hasil penelitian pengembangan model pendidikan kewirausahaan dari Usman, H., Prasaja, L.D. dan Sunarta (2012) menyimpulkan bahwa (a) model pendidikan kewirausahaan meliputi sistem, struktur program pelatihan, komposisi antara teori dengan praktik, modul pelatihan, kriteria peserta, pelatih, metode, dan evaluasi pelatihan; (b) modul-modul hasil pengembangan model layak digunakan untuk pendidikan kewirausahaan guna mengurangi kemiskinan dan pengangguran; dan (c) program pendidikan kewirausaahaan terlaksana dengan sukses. Lebih lanjut, hasil penelitian Widodo, S. dan Nugroho T.R.D.A. (2014) menyimpulkan bahwa model pendidikan kewirausahaan bagi santri dilakukan untuk menumbuhkan dan meningkatkan karakteristik kewirausahaan santri. Model pendidikan kewirausahaan disusun berdasarkan baseline karakteristik jiwa kewirausahaan santri. Pendidikan kewirausahaan ditujukan pada tiga aspek, yaitu meningkatkan jiwa kewirausahaan, keahlian keterampilan teknis, dan manajemen wirausaha. Keterampilan teknis mengacu pada hasil studi potensi yang ada di sekitar pondok pesantren. Pada implementasinya, pendidikan kewirausahaan perlu juga mengakomodasi perkembangan teknologi. Salah satunya industri kreatif yang perkembangannya dari tahun ke tahun semakin pesat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian tentang pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang dalam meningkatkan
keterampilan warga belajar sesuai dengan perkembangan industri otomotif yang semakin pesat dari tahun ke tahun di Kabupaten Karawang. Dampak Pelatihan Keterampilan Hidup (Life Skills) Montir Otomotif Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa dampak yang diperoleh warga belajar setelah mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Karawang adalah terbukanya kesempatan yang memberi pengaruh terhadap peningkatan pendapatan warga belajar. Warga belajar sebelum mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif tidak memiliki pekerjaan. Kini warga belajar sudah memiliki pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan dan keterampilannya di bidang otomotif. Dampak yang telah dirasakan warga belajar setelah mengikuti program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat. Sebelum mengikuti program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif, warga belajar tidak memiliki penghasilan sehingga dalam memenuhi kebutuhan keluarganya masih dibantu oleh orangtua dan mertuanya. Setelah mengikuti program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif, kini warga belajar dapat membuka bengkel sendiri walaupun belum terlalu besar. Namun baginya, kondisi tersebut merupakan kesempatan kerja yang sangat menjanjikan untuk terus dikembangkan. Pada masa krisis ekonomi di mana setiap orang sangat sulit memperoleh pekerjaan, warga belajar merasa bangga dan senang karena telah memiliki kesempatan kerja yang cukup baik sebagai montir kendaraan bermotor yang didirikannya sendiri. Kini warga belajar tidak tidak lagi bergantung kepada orangtuanya untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Warga belajar memperoleh pendapatan dalam sehari biasanya kurang lebih antara 100.000 sampai dengan 200.000 rupiah. Walaupun penghasilannya tidak menentu, tetapi telah dapat memberi kesempatan kerja dan memperoleh pendapatan. Dari pendapatannya tersebut sebagian kecil ditabung untuk mengembangkan usaha bengkelnya menjadi lebih besar. Secara keseluruhan dampak peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar setelah mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Karawang secara umum digambarkan dalam tabel berikut ini.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
95
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Tabel 1. Analisis Data Kesempatan Kerja dan Peningkatan Pendapatan Warga Belajar Sebelum dan Setelah Mengikuti Pelatihan Keterampilan (Life Skills) Montir Otomotif No
Sebelum Mengikuti Pelatihan
Setelah Mengikuti Pelatihan
Jumlah Warga Belajar (orang)
Persentase (%)
1
Tidak bekerja dan tidak memiliki pendapatan
Bekerja dan memiliki pendapatan
38
76,00
2
Tidak bekerja dan tidak memiliki pendapatan
Belum bekerja dan belum memiliki pendapatan
12
24,00
50
100
Total Sumber: Hasil Penelitian
Dari data pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa warga belajar yang telah bekerja sebagai montir otomotif setelah mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang sebanyak 34 orang atau sebesar 72%. Dari profesi sebagai montir otomotif tersebut, mereka memperoleh pendapatan. Sisanya sebanyak 12 orang atau sebesar 24% belum bekerja dan belum memiliki pendapatan. Dampak merupakan pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik negatif positif terhadap kehidupan seseorang. Dampak positif yang diharapkan warga belajar setelah memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang adalah terbukanya kesempatan kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan kehidupannya. Sudjana (2004) mengemukakan bahwa dampak adalah merupakan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran pelatihan. Tujuan umum pelatihan pada dasarnya menjadi arahan utama bagi pengurus program dan merupakan tolok ukur keberhasilan program pelatihan itu. Tujuan tersebut biasanya dirumuskan secara umum, menyeluruh,
abstrak dan menggunakan kata kerja intransitif. Adapun tujuan khusus pada dasarnya dititikberatkan pada perubahan tingkah laku warga belajar yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta selama dan setelah mengikuti proses pelatihan. Tujuan khusus dinyatakan secara rinci, konkret, perubahan tingkah lakunya dapat diukur dan diobservasi, dan dirumuskan dengan menggunakan kata kerja transitif. Lebih lanjut, Sudjana (2004) mengemukakan bahwa pengaruh (impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dan lulusan setelah melakukan proses pelatihan. Pengaruh ini meliputi: (1) perubahan taraf hidup yang ditandai dengan perolehan pekerjaan, atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan, dan penampilan diri; (2) kegiatan membelajarkan orang lain atau mengikutsertakan orang lain dalam memanfaatkan hasil yang telah ia miliki, dan (3) peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat, baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda, dan dana.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, perencanaan pelatihan program life skills montir otomotif diawali dengan analisis kebutuhan lapangan pekerjaan calon warga belajar yang dilakukan oleh ketua pengurus PKBM Cepat Tepat. Langkah awal perencanaan pelatihan program life skills montir otomotif adalah rekuritmen sumber belajar yang ahli di bidang otomotif dan calon warga belajar tidak memiliki keterampilan dan belum bekerja (menganggur). Warga belajar 96
yang mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif berasal dari latar pendidikan yang berbeda. Dalam melakukan rekruitmen warga belajar, ketua pengurus melakukan kerja dengan beberapa instansi yang terkait seperti kepala desa/ lurah, ketua PKBM lainnya atau lulusan kursus montir otomotif PKBM Cepat Tepat Karawang. Selanjutnya, ketua PKBM dengan sumber belajar menyusun kurikulum pelatihan otomotif sebagai program utama dan kewirausahaan sebagai program pendukung. Kurikulum pelatihan montir otomotif bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya di bidang otomotif serta memiliki
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
sikap kewirausahaan untuk mengembangkan usahanya di bidang perbengkelan. Kedua, pelaksanaan program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang yang dilaksanakan selama 4 bulan berlangsung sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Proses pelatihan yang menggunakan pendekatan partisipatif, metode individual dan kelompok, serta teknik yang bervariasi dapat dilaksanakan dengan baik. Kondisi ini ditandai dengan tingginya minat dan motivasi sumber belajar dan warga belajar yang sangat kooperatif selama proses pelatihan berlangsung. Untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan warga belajar pengurus melakukan evaluasi, baik yang dilakukan oleh sumber belajar maupun pihak lain seperti Dinas Pendidikan Kabupaten dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang. Ketiga, program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Warga belajar yang mengikuti pelatihan montir otomotif menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif yang cukup baik. Demikian pula dengan pengetahuan dan sikap kewirausahaan yang diperoleh warga belajar menunjukkan adanya peningkatan, terutama mereka yang memiliki latar pendidikan SLTP dan SLTA. Kondisi ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan warga belajar dalam memperbaiki kendaraan bermotor dan menjaga keselamatan pada saat bekerja. Warga belajar yang telah bekerja, terutama di bengkel-bengkel otomotif menunjukkan kinerja yang cukup baik. Warga belajar lebih rajin, tekun, teliti, ulet, dan sabar menjalankan pekerjaannya sebagai montir otomotif. Keempat, dampak yang telah dirasakan oleh warga belajar setalah mengikuti program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang adalah meningkatkan kesempatan kerja, baik di bengkel-bengkel otomotif maupun di perusahaan-perusahaan industri. Sebelumnya warga belajar yang tidak bekerja (mengganggur), kini dapat bekerja sebagai montir motor dan mobil di beberapa bengkel otomotif. Meningkatkanya kesempatan kerja yang dimiliki warga belajar setelah mengikuti program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif tersebut memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan warga belajar yang sebelumnya
tidak memiliki penghasilan. Pendapatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selain itu, sebagian dari pendapatan yang telah diperoleh ditabung oleh mereka, baik untuk bekal melanjutkan pendidikan maupun mengembangkan usaha di bidang perbengkelan otomotif. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian tentang program pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang, berikut ini dikemukakan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pihak pengurus PKBM. Rekomendasi tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, dalam perencanaan pelatihan montir otomotif perlu diperhatikan kemampuan keterampilan awal warga belajar sehingga metode pelatihan yang digunakan lebih menekankan pada individual. Dengan metode individual ini, proses pelatihan montir otomotif dapat lebih memperhatikan tahap-tahap pencapaian peningkatan kemampuan pengetahuan, sikap kewirausahaan dan keterampilam yang harus dikuasai warga belajar. Kedua, dalam pelaksanaan pelatihan montir otomotif, penggunaan metode, penentuan waktu dan tempat pelatihan disesuaikan dengan keragaman kebutuhan kemampuan warga belajar dan lokasi tempat tinggal warga belajar. Ketiga, dalam penilaian pelatihan montir otomotif, pengurus PKBM Cepat Tepat memberikan kesempatan belajar bagi warga belajar untuk menentukan sendiri peningkatan pengetahuan, sikap kewirausahaan dan keterampilannya di bidang otomotif sesuai dengan perkembangan teknologi otomotif yang berkembangn semakin pesat. Keempat, untuk memperoleh dampak pelatihan montir otomotif yang lebih maksimal, pengurus PKBM Cepat Tepat bekerjasama dengan pihak-pihak lain seperti bengkel-bengkel otomotif, perusahaan-perusahaan industri maupun instansi pemerintah maupun swasta sehingga dapat memperluas kesempatan kerja bagi lulusan yang belum bekerja. Warga belajar dapat membentuk kemitraan sebagai sarana perkumpulan untuk mendiskusikan dan bertukar pikiran pengalaman tentang perkembangan dan peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang mereka miliki di bidang otomotif. Kelima, selain itu, pengurus PKBM Cepat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
97
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Tepat membantu memberikan akses fasilitas permodalan bagi lulusan pelatihan montir otomotif yang ingin membuka bengkel otomotif secara mandiri. Dalam hal ini pengurus dapat memberikan
permodalan sendiri maupun menfasilitasi warga belajar yang ingin memperoleh bantuan permodalan dari pihak bank dengan jaminan dari pengurus PKBM.
DAFTAR PUSTAKA Alma, B. (2007). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta. Cresswell, J.W. (2013). Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Drucker, P. F. (1994). Innovation and entrepreneurship, practice and principle. New York: Harper Business. Emzir. (2010). Metodelogi penelitian kualitatif: Analisis data. Jakarta: Raja Grasindo. Flippo, E. B. (1994). Personal management. New York: McGraw Hill Book Company Inc. Glaser, R. (1962). Training research and education, (ed). Pittsbrugh: University of Pittsbrugh Press. Kamil, M. (2007). Model pendidikan dan pelatihan: Konsep dan aplikasi. Bandung: Alfabeta. Marzuki, S. (2009). Pendidikan dan pelatihan. Bandung: Alfabeta. Milles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Analisis data kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Milan, J. M., & Schumacher, S. (1997). Research in education. New York: Addison Wesley Longman. Inc. Nasution, S. (1992). Metode penelitian naturalistik kualitatif. Bandung: Tarsito. Nadler, L. (1982). Designing training programs: The critical events model. Philippines: AddisonWesley Publishing Company, Inc. Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright, (2003). Human resource management, international edition. New York: The McGraw-hill Companies, Inc. Robinson, K. P. (1981). A handbook of training management. London: Kogan Page Ltd.
98
Sudjana, D. (2004). Pendidikan nonformal, wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung, Azas. Bandung: Falah Production. Sudjana, D. (2004). Strategi kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan nonformal. Bandung: Falah Production. Sudjana, D. (2004). Manajemen program pendidikan, untuk pendidikan nonformal, dan pengembangan sumber daya manusia. Bandung: Falah Production. Sudjana, D. (2007). Sistem dan manajemen pelatihan: Teori dan praktek. Bandung: Falah Production. Sutisna, A.,& Trisnamansyah, S. (2010). Model pelatihan berbasis kinerja dalam meningkatkan kompetensi tutor pendidikan kesetaraan. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 29 (3), 365-378. Suryana. (2007). Kewirausahaan, pedoman praktis kiat dan proses menuju sukses. Jakarta: Salemba Empat. Usman, H., Prasaja, L.D.,& Sunarta. (2012). Model diklat kewirausahaan bagi remaja putus sekolah. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 31 (1), 55-66. Widodo, S.,& Nugroho. T.R.D.A. (2014). Model pendidikan kewirausahaan bagi santri untuk mengatasi pengangguran di pedesaan. Jurnal Mimbar. 30 (2), 171-179. Winarto, P. (2004). First step to be an entrepreneur. Jakarta: Alex Media Komputindo. Zimmerer, T.W.,& Scarborrough, N.M. (2008). Kewirausahaan dan manajemen usaha kecil. Jakarta : Salemba Empat.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pelatihan
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL CIM-CIMAN Fauzi e-mail:
[email protected] Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto Jl. Jend A. Yani No. 40A Purwokerto
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan merekonstruksi eksistensi permainan anak tradisional cim-ciman, serta untuk menemukan peran substantif permainan anak tradisional cimciman dalam perkembangan dan pembentukan karakter anak usia dini. Penelitian dilakukan pada tahun 2012 di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi terlibat, dengan bantuan lembar observasi sebagai acuan fokus pengamatan. Data dianalisis dengan teknik analisis kualitatif model Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permainan Cim-ciman dapat dipergunakan untuk (a) melatih dan menstimulasi perkembangan anak dalam beragam aspek secara holistik-integratif, baik aspek fisik motorik, bahasa, kognitif, sosial emosional, dan moral; (b) untuk menanamkan dan membentuk nilai-nilai budaya dan membangun karakter anak seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri, tanggungjawab, kepedulan sosial, kerja keras, semangat, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, dan musyawarah. Penelitian ini memberikan saran bahwa perlunya rekonstruksi dan revitalisasi permainan anak tradisional (dolanan anak) yang tersebar di seluruh nusantara dengan segala kekhasan budayanya untuk selanjutnya dijadikan sebagai menu pendidikan anak usia dini. Kata kunci: permainan tradisional, anak usia dini, Cim-Ciman, nilai, budaya, karakter.
CHILD CHARACTER BUILDING THROUGH TRADITIONAL GAME ‘CIM-CIMAN” Abstract: This research aimed in describing and reconstructing the existence of Cim-ciman as traditional child game, and also on founding the substance role of, in developing and constructing the character of child in early age. This research conducted in the district of Banyumas in Central Java and used qualitative research approach. Data collection used participation observation technique which is supported by observation sheet as observation focus standard. The data was analysed through Miles and Huberman model of qualitative analysis technique. The result showed that the game of Cim-ciman can be applied on practicing and stimulating child development in various aspect as holistic and integrative point of view, either motoric physical aspect, language, cognitive, social, emotional, and moral. Besides that, it can be used in growing and forming cultural values and constructing child character, for example, honesty, discipline, creativity, integrity, responsibility, social solidarity, hard work, spirit, achievement appreciation, friendship or communication, peace keeping, and dialogue. In this case, the reconstruction and revitalization of child traditional game (dolanan for child), that are spread in all parts of Indonesia with their cultural uniqueness, are needed, and then to be made as early education menu. Keywords: traditional game, early childhood, Cim-ciman, value, culture, character
PENDAHULUAN Arus besar globalisasi telah membawa pengaruh terjadinya pergeseran nilai hidup yang dianut oleh “warga bangsa”. Dengan bantuan media-media global, nilai-nilai dan budaya Barat
masuk dan menyatu dalam kehidupan bangsa Indonesia. Perlu disadari bahwa adopsi teori, nilai, dan budaya Barat yang dikembangkan berbasiskan pada akar budaya yang berbeda dengan yang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
99
Pembentukan Karakter Anak ...
dimiliki oleh bangsa Indonesia berdampak pada terjadinya krisis dan rusaknya karakter pada manusia Indonesia. Nilai-nilai yang berakar pada kepribadian dan jatidiri yang menjadi karakter unggul bangsa Indonesia semakin hilang. Praktek kehidupan kebangsaan yang terjadi cenderung tidak sesuai dengan budaya adiluhung yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Karakter dan budaya gotong royong, etos ketelatenan, keuletan, kebersamaan, kesantunan, toleransi, dan kejujuran mulai sirna dan menjadi barang langka yang semakin sulit ditemukan. Justru yang tumbuh subur budaya instan, individualisme, materialisme, konsumerisme, hedonisme, dan sikap intoleran. Kondisi krisis sebagaimana paparan di atas sejatinya menjadi cerminan adanya problem yang tengah melanda dunia pendidikan di Indonesia. Saat ini pendidikan sedang mengalami disorientasi sebagai akibat kuatnya hegemoni teori dan nilai budaya global (“Barat”) dalam dunia pendidikan. Watak dan wajah ke-Indonesia-an semakin sulit ditemukan dalam praktek pendidikan nasional. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, perlu ada upaya serius untuk mengembalikan pendidikan dengan semangat ke-Indonesiaan dengan segala keragamannya, tentu saja dengan tetap bervisi global (think globally, act locally). Mohammed ‘Abed Al-Jabiri (2003), seorang ilmuwan dari Maroko mengungkapkan bahwa perubahan harus berangkat dari dalam, dari tradisi sendiri, bukan dengan meminjam tradisi orang lain. Tawaran Al-Jabiri sebagai tawaran yang sangat menarik untuk direfleksikan dalam konteks kehidupan kebangsaan, sebagai bangsa yang kaya akan kebudayaan lokal dengan segala keunikan dan keragamannya. Tawaran Al-Jabiri di atas tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan pada suatu bangsa yang melandasi praktik pendidikannya untuk membangun sumber daya manusia (SDM). Membangun SDM yang bermartabat tentunya tidaklah harus menafikan keberadaan kearifan lokal, karena pendidikan yang kuat berakar pada pendidikan yang berangkat dari nilai kearifan lokal dan menjadikan lokalitas sebagai sumber pembangunan anak bangsa. Kebudayaan akan menentukan bangunan sosial suatu bangsa (Barker, 2004) sehingga pembentukan karakter suatu bangsa harus 100
bersumber dari nilai budaya masyarakatnya. Dengan demikian, pendidikan yang tidak dilandasi oleh kearifan lokal dapat mengakibatkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, generasi anak bangsa tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan akan uncul generasi masa depan yang tidak menyukai budayanya. Pengembangan pendidikan dalam rangka melahirkan generasi baru yang berbudaya ke-Indonesiaan dapat berhasil dengan optimal jika dilakukan semenjak anak usia dini dan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan karakteristik tumbuh kembang anak. Berbagai hasil kajian terkini menyatakan bahwa pendidikan yang diberikan pada anak semenjak usia dini sebagai periode sensitif dan usia emas akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi tumbuh dan berkembangnya anak di kemudian hari (Montessori, 2008). Pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), anak usia dini belajar dengan cara bermain. Dengan bermain, anak belajar dan dapat berkembang secara optimal seluruh aspek perkembangannya (Jeffree., McConkey., Hewson., 1995). Bermain menjadi sumber pendidikan yang sangat strategis bagi perkembangan anak usia dini (Sue and Flerr, 2003; Tedjasputra, 2001). Berbicara tentang bermain atau permainan bagi anak, di era globalisasi dewasa ini, dunia permainan anak dibanjiri oleh permainan-permainan yang tidak berakar pada budaya bangsa Indonesia. Permainan-permainan berbasiskan mesin elektronik menjadi permainan yang sangat akrab bagi anak. Sementara permainan-permainan yang asli tumbuh dan berkembang dari akar kultural masyarakat Indonesia terpinggirkan oleh permainan-permainan modern berbasis mesin dan diimpor dari negara lain. Permainan anak tradisional yang kaya akan nilai-nilai luhur budaya bangsa semakin tidak dikenal oleh anak-anak saat ini. Anak lebih akrab dan paham dengan game online, play station, dan game elektronik lainnya dibandingkan permainan gobagsodor, cublak-cublak suweng, engklek, gandon, jamuran, cim-ciman, umpetan, dan permainan anak tradisional lainnya. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam permainan anak tradisional menjadi tidak mampu berperan dalam pembentukan anak bangsa yang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
berbudaya dan berkarakter Indonesia sebagai akibat tidak dilestarikannya permainan tradisional pada anak. Diperlukan upaya revitalisasi dan rekonstruksi permainan anak tradisional yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Dunia pendidikan berkewajiban mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan anak tradisional melalui serangkaian aktivitas pendidikan. Penelitian ini mengkaji salah satu jenis permainan anak tradisional (dolanan anak) yang berkembang di Jawa dengan corak khas budaya
Banyumas yaitu Cim-Ciman. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian proses rekonstruksi dan revitalisasi permainan anak tradisional yang semakin tidak populer di tengah-tengah hegemoni permainan-permainan anak modern berbasis elektronik. Permainan anak tradisional merupakan aset sosial-budaya bangsa yang harus dilestarikan agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat tetap lestari dan berkontribusi secara optimal bagi terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah pada tahun 2012. Penelitian ini memakai pendekatan penelitian kualitatif. Jenis penelitiannya adalah studi kasus. Kajiannya diupayakan mendalam, berorientasi pada proses, studi di atas kasus tunggal, serta didasarkan pada asumsi adanya realitas dinamik (Moleong, 2000). Sumber data dalam penelitian ini adalah aktivitas bermain cim-ciman yang dilakukan komunitas anak-anak. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung (observasi partisipan) terhadap aktivitas bermain komunitas anak-anak yang usianya sebaya. Teknik observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang aktivitas anak dalam bermain cim-ciman serta untuk memperoleh gambaran nyata tentang perkembangan anak dalam keseluruhan aspek perkembangan dan aktualisasi nilai karakter pada anak-anak peserta permainan cim-ciman. Untuk memperoleh data terkait dengan dampak permainan bagi perkembangan dan pembentukan karakter anak dilakukan assesmen dengan teknik observasi terfokus dengan menggunakan instrumen lembar atau pedoman observasi. Dari empat peserta permainan, observasi difokuskan pada tiga anak yang memiliki usia hampir sama yaitu A (6 tahun), N (6 tahun), dan I (6,5 tahun). Kegiatan assesmen dengan teknik observasi dengan lembar observasi ditujukan terhadap dua sasaran. Pertama, diarahkan untuk melihat perkembangan anak dalam beragam aspek perkembangan yang meliputi aspek perkembangan fisik-motorik, perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan sosial emosional, dan perkembangan moral. Kedua,
untuk menilai tampilan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai budaya dan karakter mulia seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri, tanggung jawab, kepedulan sosial, kerja keras, semangat, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, dan musyawarah. Lembar observasi yang digunakan oleh penulis sebagai instrumen asessemen berisi 29 indikator yang diamati yaitu: tidak berbuat curang, menghargai pendapat teman, tertib terhadap aturan bermain, mentaati aturan dan kesepakatan permainan, sungguh-sungguh dalam bermain, memunculkan ide dan cara baru dalam bermain, tidak tergantung dengan teman, antusias dan tidak mudah menyerah, mengakui keberhasilan teman, mau berbicara dengan teman bermain, bekerjasama dengan teman, tidak menimbulkan konflik, membantu teman, melaksanakan tugas bermain dengan sungguh-sungguh, mengikuti musyawarah dengan tekun, dapat melakukan hompimpa dan atau pingsut dengan benar, lincah dan tangkas bergerak, berlari cepat dan terarah, dapat menata genteng tanpa bantuan teman, dapat menemukan tempat perembunyian pemain, dapat menembus pertahanan penjaga dok dengan merobohkan dok (tumpukan genteng), dapat menemukan tempat yang tepat untuk bersembunyi, paham medan/area lokasi permainan, menunjukkan sikap dan perasan senang dan gembira, menggunakan ungkapan bahasa yang tepat ketika bermain, dapat berhitung dengan benar ketika menjadi penjaga dok, ketika menjadi penjaga dok dapat menunjuk pemain sambil mengucapkan cim kearah pemain dengan tepat, mengajukan usul ketika terjadi musyawarah atau diskusi membuat aturan dan kesepakatan, terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah, konflik, atau perbedaan pendapat ketika bermain. Adapun
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
101
Pembentukan Karakter Anak ...
kategori assesmennya meliputi SL= selalu, KK= Kadang-Kadang; dan TP= Tidak Pernah. Teknik analisis data yang digunakan meliputi analisis data dengan analisis data secara kualitatif dan analisis data dengan teknik statistik deskriptif (Tim Program Pascasarjana, 2012). Analisis secara kualitatif (deskriptif kualitatif) digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari observasi lapangan terhadap aktivitas permainan dan fenomena perkembangan dan aktualisasi nilai
karakter anak. Proses pengolahan dan analisis data dilakukan dengan siklus interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman yakni memutar dan berulang-ulang sehingga datanya jenuh. Adapun aktivitasnya meliputi reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi (Sugiyono, 2009). Analisis data dengan statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis data hasil assesmen dengan lembar observasi dalam bentuk perhitungan persentase (%) dan disajikan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Permainan Tradisional Cim-Ciman Permainan Cim-Ciman ini merupakan salah satu jenis permainan tradisional anak yang populer di Banyumas. Kata Cim-Ciman merupakan padanan kata dhep-dhepan dan chep-chepan. Dhep = cim berarti adhu ngomong (berbicara berhadap hadapan), ketemu (Tim Penyusun Balai Bahasa, 2001). Pada permainan Cim-ciman, antara pemain dan penjaga dok bertemu dan pada saat bertemu mengucapkan kata cim. Permainan ini biasanya dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan dengan usia 5 hingga 12 tahun. Untuk setiap termin atau putaran permainan membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit, namun sangat tergantung kemampuan para pemain untuk menyelesaikan. Sementara itu, jumlah termin atau putaran sesuai kesepakatan bersama. Biasanya permainan disudahi jika diantara pemain ada yang sudah lelah, ada keperluan tiba-tiba, atau karena waktu sudah sore atau karena ada kegiatan lain yang harus dikerjakan, pada saat itulah permainan akan disudahi. Lama permainan ditetapkan berdasarkan kesepakatan seluruh anggota permainan. Permainan Cim-Ciman dapat dikategorikan sebagai permainan individu dan beregu. Pada kategori permainan individu masingmasing anak bermain secara mandiri untuk dirinya tidak tergantung pada kelompok atau regunya. Setiap anak bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, sehingga kalau pada saat dia harus menjadi yang pasang (penjaga dok) maka dia akan menjadi pemasang secara sendirian. Kategori ini biasanya dilakukan jika jumlah anak yang ikut bermain jumlahnya tidak banyak (3-10 anak). Kemenangan dan atau kekalahan bersifat individual. Pada kategori permainan beregu setiap anak bermain terikat dan bertanggungjawab
102
secara kolektif (terikat kelompok atau regunya). Permainan ini dapat dimainkan secara beregu jika jumlah pemain cukup banyak (misalnya 10 anak ke atas). Jumlah anak yang ikut bermain dibagi ke dalam beberapa regu sesuai kesepakatan sebelum bermain, misalnya 15 anak dibagi menjadi 5 regu sehingga setiap regu berjumlah 3 anak. Jadi setiap termin permainan akan ada satu regu dengan jumlah tiga anak yang akan menjadi penjaga dok, 4 regu lainnya menjadi pemain yang akan berkompetisi untuk merobohkan dok. Kemenangan dan atau kekalahan bersifat kelompok atau regu. Ada tiga tujuan bermain cim-ciman bagi anak. Pertama, untuk mengisi kegiatan pada waktu luang sehingga waktu yang dimiliki anak tidak terbuang secara percuma. Kedua, memperoleh kesenangan. Ketiga, dengan bermain anak belajar berbagai nilai-nilai hidup dan nilai-nilai budaya serta belajar mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya. Bermain Cim-Ciman bagi anak memiliki banyak manfaat, yaitu anak akan terlatih untuk berlaku jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, semangat, mau menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, kepedulian sosial, tanggung jawab, musyawarah. Di samping itu, permainan Cim-Ciman juga bermanfaat bagi perkembangan anak. Dengan bermain CimCiman, anak akan terlatih motorik kasar-halusnya. Dengan bergerak, ia akan memiliki otot-otot tubuh yang terbentuk secara baik dan lebih sehat. Anak juga terlatih sosial-emosionalnya melalui aktivitas sosialisasi, anak merasa senang karena ada teman bermainnya. Pada aspek kognisi anak belajar mengenal atau punya pengalaman mengenai objek-objek tertentu di lingkungannya melalui bermain Cim-Ciman. Anak juga belajar perbendaharaan kata, bahasa, dan berkomunikasi timbal balik. Makin usia bertambah, anak pun
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
tertarik memperhatikan sesuatu, memusatkan perhatian dan mengamati. Pada aspek moral, anak terlatih untuk mentaati aturan dan kesepakatan. Secara garis besar tahapan bermain CimCiman terbagi ke dalam tiga tahapan. Pertama, tahap persiapan. Pada tahap persiapan diawali dengan anak-anak berkumpul di suatu tempat yang lapang, biasanya di halaman rumah salah seorang anak peserta permainan atau di halaman sekolah. Untuk mengumpulkan anak dilakukan dengan dua cara, yaitu secara alamiah mereka datang ke tempat biasa bermain, dan adakalanya saling “nyamper” yaitu mendatangi anak-anak peserta bermain ke rumahnya dan mengajaknya untuk ikut bermain bersama. Kemudian anak-anak membuat aturan atau kesepakatan-kesepakatan tentang permainan yang akan dilakukan. Aturan yang dibicarakan biasanya tentang: siapa yang boleh ikut bermain, permainan secara individu atau beregu, area bermain termasuk jangkauan lokasi yang boleh untuk bersembunyi, dan lama permainan. Setelah aturan dibuat, anak-anak menyiapkan lokasi atau area bermain kemudian mencari atau mengumpulkan bahan. Bahan-bahan dibutuhkan antara lain pecahan genteng atau batu kecil untuk digunakan sebagai tumpukan dok, dan mencari kapur atau abu sisa pembakaran kayu di dapur. Langkah selanjutnya anak-anak membuat lingkaran di tengah halaman atau area permainan dengan kapur atau abu sisa pembakaran kayu dan menaruh pecahan genteng di tengah-tengah lingkaran. Kedua, tahap kegiatan bermain. Pada tahap kegiatan bermain Cim-Ciman, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. P e r m a i n a n p u t a r a n p e r t a m a , l a n g k a h langkahnya yaitu: a. Anak-anak peserta permainan melakukan hompimpa dan pingsut. Hompimpa dan pingsut dilakukan untuk menentukan siapa diantara peserta permainan yang menjadi penjaga dok I dan yang menjadi pemain yang bertugas ngumpet atau bersembunyi dan menyerang dok. Peserta yang kalah hompimpa dan pingsut akan menjadi penjaga dok. b. Penjaga dok menata pecahan genteng di tengah-tengah lingkaran. Pecahan genteng di tata secara bertumpuk ke atas sehingga akan menghasilkan tumpukan pecahan genteng yang disebut dok. Pada saat menata tumpukan genteng pemain lainnya menyaksikan dan
berdiri melingkari penjaga dok. c. Penjaga dog duduk berjongkok di samping dok sambil menelungkupkan wajah/kepala ke atas lutut dengan harapan tidak dapat melihat ke sekitarnya sambil berhitung biasanya 1 sampai 10 dilanjutkan mengucap wis durung (sudah belum), wis durung....diulang sampai berkali-kali, dan para pemain menjawab durung (belum) yang berarti para pemain masih belum bersembunyi. Jika para pemain sudah tidak ada jawaban, berarti para pemain sudah bersembunyi dan penjaga dok sudah boleh mulai mencari persembunyian para pemain. Untuk lebih jelasnya, gambar 1 berikut merupakan ilustrasi dari kegiatan tersebut.
Gambar 1. Penjaga dok sedang menutup wajah agar tidak tahu ke mana pemain bersumbunyi dan para pemain bersiap pergi ke tempat persembunyiannya d. Penjaga dok mencari pemain yang bersembunyi dengan tetap waspada jangan sampai doknya diserang atau dirobohkan oleh pemain dengan cara ditendang. e. Pemain yang bersembunyi berusaha mencari kelengahan penjaga dok untuk dapat menembus pertahanan penjaga dok. Pemain akan berusaha agar tidak ketahuan penjaga dok untuk meruntuhkan tumpukan genteng dengan cara ditendang dengan mengucapkan cim. f. Jika penjaga dok berhasil menemukan pemain di persembunyiannya, si penjaga dok dengan jari telunjuknya menunjuk kearah pemain tersebut dengan menyebut nama pemain kemudian berbalik arah lari kembali menuju dok untuk melangkahi dok sambil mengucap cim dan harus mendahului pemain yang juga lari ke arah dok
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
103
Pembentukan Karakter Anak ...
untuk merobohkan tumpukan genteng dengan menendang. Jika berhasil maka pemain yang telah ditemukan tadi kalah dan harus berganti menjadi penjaga dok, sebaliknya jika pemain yang mendahului merobohkan dok maka penjaga dok yang kalah. 2. Permainan putaran kedua, langkah-langkahnya yaitu: a. Setelah ada pemain yang kalah, maka permainan dilanjutkan ke putaran selanjutnya dengan petugas penjaga dok ganti pemain yang kalah tadi. Begitupun jika dok berhasil dirobohkan oleh salah seorang pemain, maka penjaga dok harus menjadi penjaga dok kembali dan permainan dilanjutkan ke putaran kedua. b. Untuk melanjutkan permainan ke putaran kedua, seluruh pemain harus kumpul kembali di sekitar dok untuk memulai permainan lagi dengan diawali oleh penjaga dok pada putaran kedua menata pecahan genteng dalam bentuk tumpukan kemudian penjaga dog duduk berjongkok di samping dok sambil menelungkupkan wajah/ kepala ke atas lutut sehingga tidak melihat ke sekitarnya sambil berhitung biasanya 1 sampai 10 dilanjutkan mengucap wis durung (sudah belum), wis durung,… dst dan para pemain menjawab durung (belum) yang berarti para pemain masih belum bersembunyi. Jika para pemain sudah tidak ada jawaban, berarti para pemain sudah bersembunyi dan penjaga dok sudah boleh mulai mencari persembunyian para pemain. c. Penjaga dok mencari pemain yang bersembunyi dengan tetap waspada jangan sampai doknya dirobohkan oleh pemain dengan cara ditendang. d. Pemain yang bersembunyi berusaha mencari kelengahan penjaga dok untuk dapat menembus pertahanan penjaga dok. Pemain akan berusaha agar tidak ketahuan penjaga dok untuk meruntuhkan tumpukan genteng dengan cara ditendang dengan mengucapkan cim. Jika penjaga dok berhasil menemukan pemain di persembunyiannya, si penjaga dok dengan jari telunjuknya menunjuk kearah pemain tersebut dengan menyebut nama pemain kemudian berbalik arah lari kembali menuju dok untuk melangkahi dok sambil mengucap cim dan harus mendahului pemain yang juga lari ke arah dok untuk merobohkan tumpukan genteng dengan
104
menendang. jika berhasil maka pemain yang telah ditemukan tadi kalah dan harus berganti menjadi penjaga dok, sebaliknya jika pemain yang mendahului merobohkan dok maka penjaga dok yang kalah. 3. Permainan putaran ketiga dan seterusnya yang dilakukan sebagaimana langkah atau alur permainan termin kedua. Ketiga, tahap akhir bermain. Tahap akhir bermain terbagi menjadi dua bagian yaitu tahap akhir pada setiap putaran permainan dan seluruh rangkaian bermain.Tahap akhir pada setiap putaran bermain berisi kegiatan: menetapkan penjaga dok termin berikutnya yang ditetapkan apakah dari pemain yang kalah atau penjaga dok lama yang dikalahkan oleh pemain, menetapkan pemenang dan menghitung jumlah point perolehan masingmasing pemain. Pemain yang menang adalah pemain yang dapat meroboh dok, sedangkan jumlah point kemenangan akan dihitung berapa kali merobohkan dok dikurangi berapa kali menjadi pengaja dok pada termin-termin yang telah dilalui. Selanjutnya tahap akhir seluruh putaran bermain berisi kegiatan: kesepakatan untuk mengakhiri permainan dengan membuat kesepakatan baru kapan akan bermain bersama kembali, menghitung jumlah point kemenangan masing-masing pemain dengan cara menghitung berapa kali dapat merobohkan dok dikurangi berapa kali menjadi penjaga dok dalam seluruh termin permainan, dan terakhir menetapkan pemain yang mendapat juara (sang pemenang) permainan. Dalam permainan Cim-Ciman, orang tua dapat berperan sebagai pengarah, pembimbing bagi anak, sekaligus membantu menyediakan peralatan yang dibutuhkan dalam permainan. Orang tua juga dapat berperan sebagai wasit atau penengah tatkala diantara pemain terjadi perselisihan pendapat atau percekcokan. Selain itu juga berperan sebagai pengawas ketika anak bermain. Bahkan pada kondisi tertentu orang tua dapat berperan sebagai teman bermain bagi anak. Teman sebaya juga dapat berperan sebagai partner bermain. Permainan ini dilakukan karena ada anak-anak yang sebaya berkumpul dan bersepakat untuk bermain Cim-Ciman bersama. Di samping itu, teman sebaya juga dapat berperan sebagai tutor sebaya (peer teaching) dengan cara mentransformasikan pengalaman-pengalamannya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
dalam bermain Cim-Ciman terutama bagi anak yang baru ikut bermain Cim-Ciman (pendatang baru). Biasanya pendatang baru adalah anak yang usianya relatif paling muda diantara pemain atau ada anak dari luar kampung/desa atau komunitas anak tersebut yang kebetulan ikut bermain. Aktualisasi Nilai-Nilai Karakter dalam Permainan Tradisional Cim-Ciman Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa permainan Cim-Ciman memiliki manfaat yang beragam bagai perkembangan anak. Untuk mengetahui pengaruh bermain bagi upaya stimulasi perkembangan anak, diperlukan adanya assesmen (penilaian) terhadap anak yang menjadi peserta permainan. Berdasarkan hasil observasi langsung pada saat anak-anak bermain Cim-Ciman, perkembangan aspek fisik-motorik setidaknya dapat dilihat melalui beberapa aktivitas anak mulai dari dapat melaksanakan hompimpa dan pingsut, bergerak dengan lincah dan tangkas ke sana dan kemari, berlari dengan cepat, dan dapat menata pecahan genteng menjadi tumpukan yang rapi. Aspek perkembangan kognitif diantaranya anak mampu memahami medan atau area permainan, dapat menemukan tempat persembunyian pemain, menunjuk nama pemain dengan tepat, dan dapat menemukan tempat yang tepat untuk bersembunyi. Untuk aspek bahasa terlihat ketika anak dapat menggunakan ungkapan bahasa dengan tepat untuk memanggil, menunjuk dan berkomunikasi dengan teman, serta mengajukan usul pada saat berunding untuk membuat aturan dan kesepakatan. Pada aspek sosial emosional terlihat anak menunjukan sikap dan perasaan senang dan gembira, terlibat aktif dalam perdebatan menyelesaikan konflik dan perbedaan pada saat bermain. Adapun perkembangan aspek moral ditunjukan oleh ketaatan anak-anak terhadap aturan permainan, dan tidak melakukan kecurangan. Selain perkembangan pada aspek-aspek di atas, berkembang pula budaya dan karakter jujur dengan tidak melakukan curang dalam bermain, nilai toleransi dengan berkembangnya kemampuan menghargai pendapat teman, budaya dan karakter disiplin diwujudkan dengan tertib dan taat terhadap aturan permainan, kerja keras diwujudkan dengan kesungguhan dan tidak mudah menyerah dalam bermain, berkembang pula kreativitasnya, mandiri
dengan tidak tergantung pada tema, berkembang sikap semangat dan antusias dalam melakukan sesuatu, bekerjasama dan komunikatif dengan teman, dan tanggung jawab yang tinggi dalam menyelesaikan tugas. Hasil assesmen menggunakan lembar observasi dengan 29 indikator disajikan dalam tabel 1 berikut. Tabel 1. Indikator Perkembangan Anak Kategori Nama
Selalu
Kadang-kadang
Tidak Pernah
f
%
f
%
f
%
A
20
69
7
24
2
7
N
22
76
7
24
0
0
I
24
83
5
17
0
0
Berdasarkan tabel 1 di atas, dari 29 item indikator diperoleh data: (a) untuk A, selalu 20 item (69%), kadang-kadang 7 item (24%) dan tidak pernah 2 (7%); (b) untuk N, selalu 22 item (76%), kadangkadang 7 item (24%) dan tidak pernah 0 (0%); dan (c) untuk I, selalu 24 item (83%), kadang kadang 5 item (17%) dan tidak pernah 0 (0%). Dengan demikian, diperoleh informasi bahwa baik A, N, dan I selama permainan Cim-ciman selalu menampilkan perilaku sebagaimana item-item indikator dalam tingkat yang tinggi yaitu di atas 75% item indikator selalu ditampilkan. Dengan kategorisasi: 0%-33% kategori rendah, 34% - 66% kategori sedang, dan 67% - 100% kategori tinggi. Hal ini mengandung makna bahwa permainan Cim-ciman dapat dipergunakan untuk melatih dan menstimulasi perkembangan anak dalam beragam aspek yaitu fisik motorik, bahasa, kognitif, sosial emosional, moral. Selain itu juga dapat dipergunakan untuk menanamkan nilai-nilai budaya dan membangun karakter seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri, tanggung jawab, kepedulian sosial, kerja keras, semangat, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, dan musyawarah. Tabel 2 berikut adalah nilai-nilai karakter yang diaktualisasikan melalui permainan tradisional CimCiman di Banyumas berdasarkan hasil observasi peneliti.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
105
Pembentukan Karakter Anak ...
Tabel 2. Nilai Karakter dan Deskripsi Perilaku yang Dilestarikan dengan Permainan Dolanan Anak Cim-ciman Nilai Karakter
Deskripsi
Kejujuran
Perilaku anak yang berupaya menjadi orang yang selalu dapat dipercaya dengan mengakui kekeliruan.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan pendapat di antara teman bermain.
Disiplin
Perilaku tertib dan patuh pada berbagai aturan dan kesepakatan dalam bermain bersama.
Kerja Keras
Perilaku dan sikap sungguh-sungguh dalam bermain agar menjadi pemenang.
Kreatif
Melakukan aktivitas bermain dengan teknik kreatif agar dapat memperoleh point.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mengandalkan bantuan atau pertolongan teman.
Semangat
Sikap dan tindakan antusias, sungguhsungguh dalam bermain dan tidak mudah menyerah.
Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan anak mengakui dan menghormati keberhasilan lawan main.
Bersahabat/ komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan pendapat teman, senang berbicara dengan teman bermain, dan kesediaan bekerja sama dengan teman.
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang selalui dapat membaut teman bermain merasa senang, dan menghindari konflik meskipun dalam suasana kompetisi.
Kepedulian sosial
Sikap dan tindakan saling membantu dan bekerjasama dalam bermain.
Tanggung jawab
Sikap dan perilaku penuh kesungguhan dalam melaksanakan keputusan sebagai tugas dan kewajibannya dalam permainan.
Musyawarah
Tindakan dalam mengambil keputusan dilakukan dengan cara bermusyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan bersama.
Karakter manusia akan terbangun dari proses pembudayaan nilai-nilai mulia dalam kehidupan (Lickona, 1992). Nilai-nilai tersebut sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Teori konstruktivis sosial Piaget dan Vigotsky menyatakan bahwa anak mengkonstruksi
106
dan membangun perilakunya sebagai hasil belajar dari pengalaman dalam aktivitas interaksi sosial (Morrison, 2012). Pengembangan pengetahuan dan perilaku anak terjadi dalam konteks hubungan sosial dengan orang dewasa dan teman sebaya. Melalui permainan bersama teman sebaya akan terbentuk sikap dan perilaku anak sebagai hasil konstruksi atas pengalaman dan interaksi sosialnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang. Melalui permainan Cim-ciman, anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Bermain memiliki peran penting dalam perkembangan anak pada hampir semua aspek perkembangan secara holistik-integratif, baik aspek fisik-motorik, bahasa, kognitif, sosial emosional, dan moral. Dalam permainan Cim-ciman, seluruh aspek perkembangan anak mendapatkan stimulasi melalui serangkaian aktivitas bermain yang dilakukan anak. Berikut adalah optimalisasi pada aspek-aspek perkembangan anak melalui permainan tradisional Cim-ciman. 1. Perkembangan Fisik Motorik Bermain Cim-ciman dapat mengembangkan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
kemampuan fisik motorik anak. Dalam bermain Cim-ciman, anak bergerak dan berlari secara bebas, lincah, dan energik sehingga mampu menstimulasi perkembangan fisik motoriknya, baik motorik kasar maupun motorik halus. Dalam permainan ini, anak dituntut untuk banyak bergerak dan berlari. Bergerak dan berlari menjadi salah satu unsur pokok dalam permainan ini. 2. Perkembangan Bahasa Bermain Cim-ciman dapat mengembangkan kemampuan anak dalam aspek bahasa. Dalam permainan ini bahasa digunakan untuk berkomunikasi dengan teman bermain atau sekedar untuk menyatakan pikirannya. Bahasa digunakan mulai dari awal bermain, dalam proses bermain sampai saat mengakhiri permainan. Pada awal permainan, bahasa digunakan untuk proses hompimpa, diskusi membuat kesepakatan dan aturan bermain. Sedangkan dalam proses bermain, bahasa digunakan pada saat penjaga dok (dok berupa tumpukan pecahan genteng atau bisa menggunakan batubatu kecil) dapat menemukan pemain di tempat persembunyiannya dengan menyebut nama sambil menunjuk jari ke arah pemain yang ditemukan serta mengucapkan cim dengan melompat di atas tumpukan batu kecil atau pecahan genteng, yang berarti pemain yang ditemukan tadi telah kalah dalam sesi permainan saat itu. Bagi pemain, bahasa dalam proses bermain digunakan pada saat mengucapkan cim sambil kakinya mendorong tumpukan pecahan genteng supaya roboh atau menendang tumpukan pecahan genteng atau tumpukan batu kerikil yang menandakan bahwa pemain tersebut menang dan penjaga dok harus kembali menata tumbukan genteng dan menjadi pemasang kembagi. Di samping itu, bahasa juga digunakan untuk berembuk, diskusi menyelesaikan permasalahan antar pemain dan pemain dengan penjaga dok ketika di tengah permainan terjadi perselisihan. Pada akhir permainan, bahasa digunakan untuk membuat kesepakatan bersama bahwa permainan diakhiri serta anak akan diskusi membuat kesepakan kapan akan bermain bersama kembali dan tempat dimana bermain akan dilaksanakan. Dengan proses seperti ini, aspek perkembangan bahasa dapat distimulasi perkembangannya.
3. Perkembangan Kognitif Bermain mengembangkan kemampuan kognitif. Bermain cim-ciman menyediakan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan objek.Anak memiliki kesempatan untuk menggunakan inderanya, seperti melihat, mendengarkan, menyentuh, menunjuk, menendang atau medorong dengan kaki. Dari proses seperti ini, anak memperoleh fakta-fakta, informasi dan pengalaman yang akan menjadi dasar untuk berpikir abstrak. Penelitian Hoorn (1993) menunjukkan bahwa bermain memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreativitas. 4. Perkembangan Moral Permainan Cim-ciman dilaksanakan dengan seperangkat aturan. Tanpa aturan maka permainan tidak akan berjalan dengan baik. Di mana setiap permainan memiliki aturan. Bermain Cim-ciman akan melatih anak dalam menyadari adanya aturan dan pentingnya mematuhi aturan. Hal ini merupakan tahap awal dari perkembangan moral. 5. Perkembangan Sosial Emosional Dalam bermain, anak berinteraksi dengan anak lain. Interaksi tersebut mengajarkan anak bagaimana merespon, memberi dan menerima, menolak atau setuju ide dan perilaku anak yang lain. Dengan demikian, akan mengurangi egoisme anak dan mengembangkan kemampuan sosial. Kemampuan interaksi dan komunikasi sosial anak menjadi dengan dibarengi berkembangnya aspek emosinya. Agar permainan anak tradisional ini dapat digunakan untuk mengoptimalkan perkembangan dan karakter anak, penting diantisipasi kemungkinan munculnya resiko atau dampak negatif yang ditimbulkan dari permainan anak berikut ini. 1. Waktu anak dihabiskan untuk fokus pada satu permainan Terlalu banyak waktu yang digunakan anak untuk bermain dan fokus pada satu permainan membuatnya merasa bosan, dan kelelahan. Dengan melakukan permainan yang berulang-ulang kegembiraan dan kesenangan yang ditimbulkan oleh bermain semakin lama semakin menghilang. Kebosanan, kejenuhan dan kelelahan akan membuat anak malas melakukan kegiatan lainnya di luar permainan ini, dan menjadikan kinerja anak menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, diperlukan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
107
Pembentukan Karakter Anak ...
ketanggapan para orang tua atau pengasuh anak untuk secara aktif mendampingi dan memberikan kontrol terhadap jumlah waktu yang digunakan anak dalam bermain. 2. Ketidakseimbangan antara bermain untuk sosialisasi dan bermain sendiri Dengan bermain bersama teman sebaya, anak dapat mengembangkan kemampuan personal dan penyesuaian dirinya. Anak dapat belajar bagaimana berinteraksi dengan anak lain. Tetapi bila anak terpaku pada kegiatan bermain bersama, dan kurang melibatkan diri pada kegiatan bermain sendiri, anak akan mengalami kesulitan untuk melakukannya bila memang diperlukan. Pada bermain sendiri bisa juga menyenangkan dan membawa dampak positif bagi perkembangan personal dan emosi anak. 3. Alat permainan yang dapat membahayakan keselamatan anak Permainan ini menggunakan alat yaitu pecahan genteng. Perlu dicermati bahwa sangat dimungkinkan ada aspek yang berbahaya dengan alat ini mengingat pecahan genteng mengandung unsur ketajaman yang dapat melukai kaki anak, karena untuk merobohkan dok yang berupa tumbukan genteng dalam permainan ini dilakukan dengan cara menendang dengan kaki telanjang. Oleh karena itu, agar hasilnya tidak
membahayakan anak perlu dicarikan alternatif alat atau media lain yang tidak berbahaya agar bisa lebih optimal hasilnya. 4. Ketidakseimbangan perhatian dan bimbingan orang tua atau orang dewasa Ditemukan dua fenomena yang cenderung kurang ideal terkait perhatian dan bimbingan yang seharusnya diberikan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya terhadap anak yang sedang bermain. Fenomena pertama, seringkali orangtua atau orang dewasa lainnya menganggap bahwa anak tahu secara langsung bagaimana bermain sehingga mereka tidak memberitahu cara memainkannya. Fenomena kedua, ada orangtua yang berpandangan anak tidak akan senang bermain bila tidak diajarkan bagaimana cara memainkannya. Kedua fenomena ini sangatlah merugikan anak, karena mempengaruhi rasa senang yang diperolehnya melalui bermain sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi dampak positif bagi anak. Anak yang terlalu sedikit atau tidak sama sekali mendapatkan bimbingan tentang cara bermain akan cepat bosan karena tidak paham cara bermain, sedangkan anak yang terlalu banyak mendapatkan instruksi akan menjadikan minim kreativitas, muncul sikap ketergantungan terhadap bantuan dan bimbingan orang lain.
PENUTUP Kesimpulan Permainan Cim-ciman dapat dipergunakan untuk melatih dan menstimulasi perkembangan anak dalam beragam aspek secara holistikintegratif; baik aspek fisik, motorik, bahasa, kognitif, sosial emosional, dan moral. Selain itu dapat dipergunakan untuk menanamkan dan membentuk nilai-nilai budaya dan membangun karakter anak seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri, tanggungjawab, kepedulian sosial, kerja keras, semangat, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, dan musyawarah. Oleh karena itu, orangtua dan para pendidik pendidikan anak usia dini dapat mengoptimalkan permainan tradisional khususnya Cim-ciman untuk perkembangan dan pembentukan karakter anak. Permainan ini dapat dipergunakan untuk evaluasi perkembangan dan karakter anak, karena di dalam kegiatan bermain ini, perilaku yang tampil lebih murni, alami, dan apa adanya tanpa dibuat-buat.
108
Saran
Berdasarkan urgensi temuan penelitian sebagaimana paparan di atas diperlukan kebijakan nasional untuk rekonstruksi dan revitalisasi permainan anak tradisional (dolanan anak) yang tersebar di seluruh nusantara dengan segala kekhasan budayanya, untuk selanjutnya dijadikan sebagai menu kurikulum pendidikan anak usia dini sebagai proses pewarisan dan pelestarian warisan budaya bangsa. Kepada para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk mengenalkan beragam permainan anak tradisional yang ada di daerahnya. Kepada pendidik lembaga pendidikan anak usia dini untuk secara aktif mengenalkan dan menjadikan permainan anak tradisional sebagai prioritas jenis permainan yang diajarkan dalam kegiatan belajar mengajar. Kepada para peneliti untuk melakukan kajian lanjutan terhadap permainan tradisional yang tersebar diberbagai daerah dalam berbagai perspektif dan ragam jenis penelitian.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
DAFTAR PUSTAKA Al-Jabiri, M. A. (2003). Kritik kontemporer atas filsafat Arab-Islam. (Moch. Nur Ichwan, penterjemah). Yogyakarta: Islamika. Barker, C. (2004). Cultural studies teori & praktik. (Nurhadi, penterjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Dockett, S., Flerr, M. (2003). Play and pedagogy in early childhood bending rules. Cambridge: Harvard University Press. Hurlock, E. B. (2007). Perkembangan anak, jilid 1. (Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti, penterjemah). Jakarta: Erlangga. Jeffree, D. M., McConkey, R., Hewson, S. (1995). Let me play. London: A Condor Book Souvenir Press. Keenan, T.,& Evans, S. (2009). An introduction to child development. London: Sage Foundations of Pasychology. Lickona, T. (1992). Educating for character how our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.
Mayles, J. R. (Ed.). (1995). The excellence of play. Backingham-Philadelphia: Open University Press. Moleong, L. J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Montessori, M. (2008). The absorbent mind pikiran yang mudah menyerap. (Dariyatno, penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Morisson, G. S. (2012). Dasar-dasar pendidikan anak usia dini. Suci Romadhona & Apri Widiastuti, penterjemah). Jakarta: Indeks. Sugiyono. (2009). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tedjasputra, M. S. (2001). Bermain, mainan, dan permainan. Jakarta: Grasindo. Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Tim Program Pascasarjana. (2012). Buku pedoman penulisan tesis dan disertasi PPS UNJ. Jakarta: PPs UNJ Press.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
109
Pembentukan Karakter Anak ...
110
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
REKONSTRUKSI KECAKAPAN SOSIAL GURU DALAM PENGEMBANGAN BERBICARA ANAK USIA DINI Gian Fitria Anggraini & Ari Sofia e-mail:
[email protected] PG-PAUD, Jurusan IP FKIP Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No. 1
Abstrak: Interaksi sosial merupakan pondasi awal bagi anak untuk belajar mengenal lingkungan di sekitarnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji pengaruh serta kontribusi kecakapan sosial yang dilihat melalui interaksi antara guru dan anak dalam pengembangan kemampuan bahasa, terutama berbicara usia dini. Penelitian ini dilakukan dari September sampai Oktober 2015. Metode penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif, dengan subjek penelitian 30 orang guru PAUD di Bandar Lampung. Pengambilan subjek dilakukan dengan teknik purposive sampling. Data diambil melalui angket dan di analisis dengan regresi linear sederhana. Hasil analisis menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,511, dengan nilai signifikansi 0,003. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara interaksi sosial terhadap pengembangan kemampuan bicara anak usia dini. Meskipun demikian kontribusi yang diberikan oleh interaksi sosial belum cukup memadai, dan hal ini menandakan perlunya suatu upaya untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas interaksi antara guru dan anak. Kata-kata Kunci: interaksi sosial, guru, kemampuan berbicara, literasi, anak usia dini.
TEACHER SOCIAL SKILLS RECONSTRUCTION IN IMPROVING EARLY CHILDHOOD SPEAKING ABILITY Abstract: Social interaction is an early foundation for children to learn recognizing their surrounding environment. This study aimed to examine the relationship and contribution of teacher social skill in interaction between children through language development, especially speaking in early ages. The research was conducted I Bandar Lampung as from September through October 2015. The research subjects were 30 early childhood teachers in Bandar Lampung, which was carried out through purposive sampling technique. The research method was conducted with a quantitative approaches-regression method. The data was collected through a questionnaire and was analyzed by using simple linear regression analysis. The results showed a regression coefficient between variables for 0,511, with a significance value of 0,003. Interaction performed deeply by teachers on children has a significant influence to the children’s speak development. Although the contribution has not been adequate, it indicates that the quality and quantity of interaction between teachers and children needs to be increased. Keywords: teacher social interaction, oral language, literacy, early childhood education.
PENDAHULUAN Melakukan interaksi dengan anak memiliki tantangan tersendiri, terutama bagi para guru yang belum mampu memahami perkembangan bahasa terutama berbicara pada anak usia dini secara utuh. Pembelajaran bahasa diawali dengan adanya proses bahasa lisan (oral language) antara anak dengan lingkungannya. Dimulai dengan membunyikan huruf, membaca kata dan kalimat hingga akhirnya dapat berbicara secara utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Niklas & Schneider (2013) bahwa perkembangan bahasa oral atau lisan merupakan pondasi utama bagi perkembangan literasi dan
peningkatan kemampuan membaca anak yang peningkatannya sangat ditentukan oleh pengaruh lingkungan. Perkembangan berbicara (oral language) merupakan landasan bagi perkembangan literasi dasar seperti bercakap - menyimak, membaca menulis, merasa - menggambarkan, dan berhitung - memperhitungkan (Fauziah, 2008). Kecakapan ini diperlukan untuk mempersiapkan anak-anak usia dini menempuh jenjang pendidikan selanjutnya, yang pada umumnya menuntut mereka untuk siap membaca, menulis dan berhitung.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
111
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Pentingnya pengembangan literasi sejak dini ini perlu didukung oleh keterlibatan orang dewasa di lingkungan sekitar anak, terutama dalam kemampuan berbicara (oral language). Anak membutuhkan suatu role model yang mampu memberikan contoh baik dari segi pengenalan maupun penggunaan huruf, bunyi, kata, angka, dan sebagainya (Vygostky, 1986). Kualitas membaca atau literasi anak-anak Indonesia masih berada pada urutan ke 29 dari 31 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Indonesia masih termasuk kategori negara yang pencapaian kegiatan literasinya di bawah 500, yaitu sebesar 428 atau 4,2 persen di bawah negara Saudi Arabia (Campbell, Kelly, Mullis, Martin, dan Sainsbury, 2001; Mullis et al, 2011). Hal ini menjadi dasar akan pentingnya penanaman serta pengembangan literasi sejak usia dini. Berbagai informasi mengenai pentingnya meningkatkan kemampuan berbahasa atau literasi dasar anak usia dini menjadi polemik tersendiri khususnya dalam pendidikan anak usia dini, karena pada usia ini, anak-anak belum boleh diajarkan membaca dan menulis secara formal. Sementara di sisi lain anak tersebut diharapkan sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung setelah lulus dari PAUD atau TK. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak yang memasuki usia sekolah dasar dengan penguasaan bahasa lisan serta pengetahuan akan kosakata yang kurang, sering mengalami kesulitan pada saat mereka belajar membaca (Hart & Risley 2000; Cohrssen, Niklas, & Tayler, 2016). Kesulitan dalam berbicara merupakan salah satu penghambat bagi penguasaan kosakata (Rohman, 2015). Hambatan ini tentunya secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam menguasai tingkat literasi dasar selanjutnya, baik itu membaca maupun menulis. Penelitian yang dilakukan oleh Scofield dan Behrend (2011) mencoba untuk melihat bagaimana kosakata atau bahasa anak dapat meningkat lewat atensi bersama antara guru dan siswa. Hasil penelitian menemukan bahwa strategi yang disusun oleh guru secara matang serta melibatkan proses interaksi sosial, dapat meningkatkan pembelajaran kosakata (word) pada anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Cohrssen et al. (2016) bahwa guru memiliki pengetahuan, dan anak akan belajar tentang suatu pengetahuan tersebut melalui 112
interaksi dengan gurunya. Melalui pertukaran informasi, pelibatan emosi serta atensi bersama pada suatu objek tertentu, secara tidak langsung akan mendorong anak untuk belajar suatu kata baru atau pembelajaran bahasa, terutama berbicara (oral language) secara keseluruhan. Guru PAUD merupakan fasilitator yang baik bagi anak untuk meningkatkan kemampuan bahasa oral serta mengurangi hambatan-hambatan yang ditemui oleh anak saat belajar berbahasa (Latif, dkk, 2013). Ketika seorang anak memasuki TK atau PAUD, biasanya mereka telah memperoleh banyak struktur bahasa dari bahasa pertama orang tua mereka masing-masing, di sinilah peran guru dalam mengakomodasi seluruh kemampuan siswa yang berbeda-beda sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa anak-anak. Kuantitas dan kualitas interaksi bahasa antara pendidik dan anakanak sangat mempengaruhi penguasaan kosakata pada anak. Selain itu, berbagai penelitian lain juga menyebutkan bahwa hubungan antara guru dan anak termasuk kemampuan atau kecakapan sosial guru dapat membantu meningkatkan kemampuan berbahasa, kognitif serta keterampilan sosial pada anak (Hart & Risley 2000; Denisenkova & Nisskaya, 2016). Kemampuan guru dalam menyediakan interaksi yang kaya, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran bahasa anak, menurut Bradley (2011) merupakan langkah yang hendaknya dilakukan dalam manajemen kelas seorang guru preschool atau PAUD. Tanpa adanya kualitas guru yang memadai untuk membantu anak meningkatkan bahasanya, maka pengembangan kemampuan dasar bahasa anak tidak akan optimal. Suryani (2013) dalam opininya terhadap permasalahan PAUD di Indonesia, menyatakan bahwa salah satu kendala yang ditemukan dalam pembangunan PAUD saat ini adalah belum terpenuhinya kualifikasi maupun kompetensi guru secara menyeluruh. Secara akademik, berdasarkan data dan statistik pendidikan Kemendikbud (2014), menunjukkan bahwa persentase guru PAUD yang memiliki ijazah kependidikan lebih tinggi dari S1 adalah sebesar 3,51 persen, sedangkan di bawah S1 sebesar 4,06 persen. Persentase ini menggambarkan bahwa masih banyak guru PAUD yang belum mencapai tingkat pendidikan S1. Seorang guru dituntut untuk memiliki seperangkat kemampuan yang dapat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
mengantarkannnya kepada kualitas kinerja agar mampu melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya dalam pengajaran maupun pendidikan (Latif, dkk, 2013) Harapannya adalah guru dapat menemukan cara atau strategi terbaik dalam pembelajaran. Oleh sebab itu, guru pun diharapkan untuk memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pengajarannya di sekolah. Spencer & Spencer (2011) menguraikan hakekat kompetensi sebagai berikut: “Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or situation”. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru, tentunya akan berbeda satu sama lain, tergantung pada karakter, pengalaman, serta kondisi dan latar belakang pendidikan masing-masing. Kualifikasi serta kompetensi yang harus dimiliki oleh guru PAUD, tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Salah satu kompetensi guru yang mencerminkan terjadinya interaksi diantara guru dan anak didik adalah kompetensi sosial. Kompetensi ini erat kaitannya dengan kemampuan guru baik dalam melakukan komunikasi sosial maupun individual (Latif, dkk, 2013). Pembelajaran di kelas tidak hanya terjadi melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian secara tersusun saja, namun juga melalui interaksi sosial (Hamalik, 2009). Guru dapat berkomunikasi secara langsung dengan anak didik. Komunikasi secara langsung juga merupakan suatu proses dimana didalamnya terdapat asimilasi nilai-nilai budaya (Fauziah, 2008). Interaksi dapat mendorong anak agar mau aktif berbicara, sehingga secara tidak langsung melalui interaksi anak dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Surya (2011) yang mengemukakan bahwa kompetensi sosial adalah
kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain serta menjalin hubungan yang baik dengan anak didiknya. Tugas guru untuk mengayomi, mendidik, membimbing, sebagaimana tertuang dalam kompetensi guru, baik secara profesional, sosial maupun pedagogik, sangat berperan terhadap perkembangan belajar anak. Berkaitan dengan tugas guru, maka potensi keterampilan guru yang baik, setidaknya juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan serta wawasan calon guru baik secara formal maupun informal (Latif, dkk, 2013). Guru yang teredukasi serta berwawasan, diharapkan memiliki kompetensi yang lebih baik. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi sosial yang berkaitan dengan kemampuan melakukan interaksi baik itu dalam kegiatan belajar mengajar, maupun interaksi secara individu dan kelompok kecil. Melalui interaksi yang kaya bahasa, guru diharapkan memiliki kedekatan hubungan (closeness) yang baik dengan anak (Vygotsky, 1986). Peran guru dalam meningkatkan kemampuan bahasa anak juga disebutkan oleh bukan hanya memberikan informasi mengenai konten atau “isi”, namun juga memberikan informasi tentang pembicara itu sendiri, bagaimana pembicara memandang pendengar (atau orang yang diajak berbicara) serta penggambaran atas bentuk hubungan mereka (relationship), yang saat ini kualitasnya masih jarang diperhatikan oleh guru (Halliday, 1993; Fernandez et al, 2015). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam peningkatan kemampuan literasi anak usia dini akan sangat tergantung pada stimulus, salah satunya melalui interaksi yang terjadi antara anak dengan orang dewasa, salah satunya dengan guru (Schunk, 2012). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi bagaimana pengaruh antara kecakapan sosial yang dilihat melalui interaksi guru dan anak, berdasarkan kompetensi sosial guru dalam meningkatkan pengembangan kemampuan berbicara usia dini.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode regresi linear sederhana untuk mencari pengaruh serta seberapa besar kontribusi antara kecakapan sosial guru PAUD dengan kemampuan pengembangan berbicara (oral language) anak usia dini. Subjek penelitian adalah guru PAUD di
Bandar Lampung yang berjumlah 30 orang guru. Pengambilan subjek dilakukan melalui teknik purposive sampling dengan karakteristik sebagai berikut: (1) berpendidikan minimal SMA; dan (2) Telah menjadi guru PAUD selama minimal 5 tahun. Penelitian dilaksanakan dari 01 September 2015 sampai 30 Oktober 2015 di Bandar Lampung.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
113
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Pengumpulan data dilakukan melalui instrumen berupa kuesioner yang diukur menggunakan skala likert. Kecakapan sosial dikembangkan dari kompetensi sosial guru PAUD berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Kompetensi sosial terdiri dari empat sub kompetensi yaitu (1) bersikap inklusif dan objektif, (2) berkomunikasi secara efektif dan empatik, (3) beradaptasi dalam keanekaragaman sosial budaya, dan (4) membangun komunikasi profesi. Pengembangan kemampuan berbicara (oral language) anak usia dini menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari pengembangan bahasa Hart dan Risley (2000), yang meliputi: (i) Kualitas interaksi antara anak dan yang membimbing. Kualitas ini berkaitan dengan kemampuan guru dalam memberikan kedalaman maupun penggalian komunikasi yang interaktif, dua arah dengan anak didik; (ii) Kuantitas antara anak dan yang membimbing. Hal ini berkaitan dengan frekuensi komunikasi yang dilakukan oleh guru dan anak didik; serta (iii) Perbedaan antara isi dan struktur bahasa yang didengar. Unsur yang terakhir berkaitan erat dengan kejelasan serta refleksi yang dilakukan guru pada setiap interaksi yang dilakukannya. Ketiga faktor ini akan berdampak pada bagaimana seorang guru dapat mendengar dan merespon, serta memotivasi anak untuk berbicara dan melakukan interaksi secara aktif. Instrumen kecakapan sosial guru dan pengembangan kemampuan berbicara anak usia dini masing-masing memiliki 48 dan 54 item pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan
lima alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), Ragu-Ragu (R), Kurang Sesuai (KS), dan Tidak Sesuai (TS). Skor untuk pertanyaan positif adalah 1 untuk tidak sesuai (TS), 2 untuk kurang sesuai (KS), 3 untuk ragu-ragu (R), 4 untuk sesuai (S), dan 5 untuk sangat sesuai (SS). Sedangkan untuk pertanyaan negatif jika jawaban guru adalah sangat sesuai (SS) diberi skor 1, sesuai (S) diberi skor 2, ragu-ragu (R) diberi skor 3, kurang sesuai (KS) diberi skor 4, dan tidak sesuai (TS) diberi skor 5. Setelah diperoleh data nilai kecakapan sosial dan nilai pengembangan berbicara anak kemudian dimasukkan ke dalam kategori. Adapun kategorisasi ini dihitung berdasarkan kelas interval. Instrumen kecakapan sosial guru dengan skor 178 ke atas dimasukkan ke dalam kategori tinggi dan skor di bawah 112 masuk ke dalam kategori rendah, sedangkan skor antara 113-177 masuk dalam kategori sedang. Instrumen kecakapan sosial guru telah reliabel dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,929. Sementara itu, untuk instrumen pengembangan berbicara anak usia dini dengan skor di bawah 126 masuk ke dalam kategori rendah dan skor antara 127-199 masuk dalam kategori sedang, sedangkan skor di atas 200 masuk ke dalam kategori tinggi. Instrumen ini telah reliabel dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.935. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik kecapakan sosial guru dan karakteristik pengembangan berbicara anak usis dini. (2) Analisis regresi linear sederhana untuk menganalisis pengaruh kecakapan sosial guru terhadap pengembangan berbicara anak usia dini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecakapan Sosial Guru Hasil capaian kecakapan sosial guru menunjukkan rata-rata kemampuan mencapai angka 199 tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran Kategori Kecakapan Sosial Guru PAUD No
Kategori
Total n
%
0
0
1
Rendah ( X<112)
2
Sedang (113-177)
2
6.45
3
Tinggi (X>178)
29
93.55
31
100.0
Total Rata-rata SD
114
Berdasarkan kategori kecakapan sosial guru, hampir sebagian besar (93.55%) guru memiliki kecakapan sosial yang tinggi. Sementara itu, tidak ada (0 %) guru yang memiliki kecakapan sosial yang rendah. Namun demikian, masih ada sebagian kecil (6.45%) guru yang memiiki tingkat kecakapan sosial yang sedang. Kemampuan Pengembangan Berbicara AUD Kemampuan pengembangan berbicara anak usia dini tersaji pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa kemampuan pengembangan berbicara AUD memilki rata-rata mencapai angka 216.74.
199.00 ± 16.205
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Tabel 2. Sebaran Kategori Pengembangan Kemampuan Berbicara (Oral Language) AUD. No
Total
Kategori
n
%
1
Rendah ( X<126)
0
0
2
Sedang (127-199)
4
12.903
3
Tinggi
27
87.097
31
100.0
(X>200) Total
Rata-rata ± SD
216.74 ± 19.993
Berdasarkan kategori kemampuan pengembangan berbicara AUD, hampir sebagian besar (87.1%) berada pada kategori tinggi. Sementara itu, sebagian kecil (12.9%) guru berada pada kategori sedang. Berdasarkan nilai presentase menunjukkan bahwa pengembangan berbicara hanya memiliki selisih kurang lebih 6 % dengan kecakapan sosial guru pada kategori tinggi maupun sedang. Namun, di antara kedua variabel sama-sama tidak ada (0%) guru yang berada pada kategori rendah. Hasil Uji Pengaruh Kecakapan Sosial Guru dengan Pengembangan Kemampuan Berbicara Hasil uji pengaruh kecakapan sosial guru dengan pengembangan kemampuan berbicara menunjukkan angka Adjusted R Square 0.236 yang berarti bahwa model tersebut menjelaskan 23.6 persen pengaruh kecakapan sosial guru terhadap kemampuan pengembangan berbicara anak usia dini, di mana kecakapan sosial guru berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas kemampuan pengembangan berbicara anak usia dini. Hal ini menandakan bahwa apabila terjadi peningkatan kualitas kecakapan sosial guru maka akan menyebabkan peningkatan kualitas kemampuan pengembangan berbicara anak usia dini. Hasil uji pengaruh kecakapan sosial guru dengan pengembangan kemampuan berbicara secara lengkap tersaji pada Tabel 3. Tabel 4. Koefisien Regresi Kecakapan Sosial Guru, Pengembangan Kemampuan Berbicara AUD Koefisien β Variabel Kecakapan Sosial Guru
Tidak terstandarisasi 0.631
Terstandarisasi
t
Sig
0.511
3.204
0.003
F
10.267***
R
0.551
Adjusted R square
0.236
Pembahasan Penelitian ini mengangkat pentingnya kecakapan sosial dimiliki oleh guru untuk meningkatkan kualitas interaksi yang dilakukannya terutama dalam pengembangan berbicara anak usia dini. Menurut Bradley dan Reinking (2011), seorang guru dapat mengembangkan hubungan atau interaksi dengan muridnya dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan pengembangan bahasa anak. Proses pemahaman anak terhadap suatu fenomena atau informasi baru dapat berjalan secara alami, seperti melalui kegiatan observasi atau eksperimen, eksplorasi dengan melihat, merasakan, menyentuh, meraba, melakukan, maupun kegiatan yang bersifat langsung lainnya (Vygotsky, 1986; Fauziah, 2008). Tidak hanya melalui pengalaman kegiatan yang dialaminya sendiri, pemahaman yang dimiliki oleh seorang anak juga muncul karena adanya proses belajar atau pembelajaran yang sengaja dilakukan oleh orang dewasa dilingkungannya (Fauziah, 2008). Pembelajaran yang dilakukan dengan sengaja inilah yang diharapkan mampu menambah wawasan serta pengalaman anak pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Oleh sebab itu, meskipun anak telah memiliki pemahaman awal atau dasar mengenai suatu fenomena, namun proses pembinaan maupun bimbingan tetap dibutuhkan untuk memperluas jangkauan cakrawala berpikir anak. Pada setiap titik perkembangan, anak-anak membutuhkan bantuan orang dewasa untuk membantunya dalam membentuk serta mengkonstruksi lingkungannya sendiri (Vygotsky, 1986; Fauziah, 2008; Musthafa, 2008). Pada tahap perkembangan kognitif anak yang salah satunya dikemukakan oleh Vygotsky (1986) disebutkan bahwa anak mengelola suatu informasi melalui proses akomodasi dan asimilasi, dimana kedua proses ini melibatkan suatu interaksi sosial yang memperkuat pembangunan suatu pengetahuan maupun pemahaman, yang disebut sebagai proses scaffolding atau perambatan. Proses scaffolding ini tentunya dapat terjadi dalam kegiatan pembelajaran di sekolah melalui peran guru (Musthafa, 2008). Berdasarkan pemahaman ini dapat kita simpulkan bahwa proses Scaffolding yang didalamnya termuat interaksi sosial, merupakan salah satu hal penting dalam mendukung kemampuan anak membangun
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
115
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
konstruksi atau landasan berpikir. Dengan kata lain, interaksi sosial yang dilakukan dalam pembelajaran berkontribusi terhadap proses pembentukan pemahaman anak. Vygotsky (1986) menyebutkan pentingnya pembelajaran yang berbasis budaya serta interaksi sosial, karena melalui interaksi inilah anak belajar mempersepsikan serta mengkonstruksi lingkungannya. Semakin sering anak diajak berinteraksi, maka intelektualitasnya akan semakin berkembang, dan inilah yang akan menjadi dasar berkembangnya keterampilan lain, seperti sosial dan juga bahasa (Johnston, 2004; Fauziah, 2008). Artinya, peran scaffolding atau interaksi sosial, tidak hanya dalam fungsi rekonstruksi kognitif saja, namun juga sebagai dasar berkembangnya keterampilan lain. Bradley dan Reinking (2011) menemukan bahwa pembelajaran literacy (keaksaraan) yang dilakukan melalui kegiatan pengayaan bahasa serta dengan melibatkan anak pada suatu lingkungan yang kaya bahasa akan membantu mereka meningkatkan perkembangan bahasanya, terutama menjelang usia lima tahun, karena masa usia ini adalah yang paling baik untuk mempersiapkan anak sebelum mereka belajar membaca. Salah satu peran guru yang tentunya dapat mendukung kemajuan belajar anak adalah dengan memberikannya suatu pengalaman belajar yang kaya dan sesuai dengan kebutuhan, oleh sebab itu guru pendidikan anak usia dini memiliki posisi yang baik dalam meningkatkan keterampilan berbahasa (Schwartz 1996; Hamre, Hatfield, Pianta, & Jamil, 2014). Pentingnya peran guru dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak banyak disebutkan dalam beberapa literatur, salah satu literatur menyebutkan bahwa bahasa tidak hanya mengandung konten atau “isi”, namun juga memberikan informasi tentang pembicara atau penyampai pesan itu sendiri, bagaimana pembicara memandang pendengar (atau orang yang diajak berbicara) serta penggambaran atas bentuk hubungan mereka (relationship) yang disebut sebagai dimensi ideasional dan internalisional (Halliday, 1993; Fernandez et al, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan, baik itu respon maupun ucapan verbal guru pada anak, secara tidak langsung dapat menggambarkan kualitas hubungan guru dan anak, serta secara signifikan akan memberi dampak pada kualitas percakapan mereka. 116
Kesinambungan antara peran guru dalam mendorong terciptanya lingkungan pembelajaran yang kaya akan interaksi, baik secara sosial maupun budaya serta keahlian yang dimiliki seorang guru dalam menciptakan kegiatan belajar yang interaktif, kaya akan sumber literasi, serta memahami perbedaan yang dimiliki oleh seorang anak, tentunya akan sangat membantu anak dalam memahami dan mengenal lingkungannya sendiri, serta mengenal bahasa lingkungannya (Fauziah, 2008; Musthafa, 2008). Hal ini juga ditekankan dalam penelitian Longobardi et al (2015) bahwa interaksi antara guru dan anak memiliki potensi dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak usia dini. Penelitian Scofield dan Bahrain (2011) juga menemukan hal yang sama, bahwa saat guru memiliki pengetahuan, maka anak akan belajar tentang suatu pengetahuan tersebut melalui interaksi dengan gurunya. Adanya pertukaran informasi melalui atensi bersama pada suatu objek tertentu, secara tidak langsung akan mendorong anak untuk belajar suatu kata baru atau pembelajaran bahasa secara keseluruhan (Scofield dan Behrend, 2011). Peran interaksi sosial guru tentunya tidak dapat dipisahkan, terutama dalam membangun dan menciptakan lingkungan belajar yang komunikatif, atraktif, dan merangsang anak untuk selalu ikut aktif dalam aktifitas yang dilakukan bersama. Berdasarkan hasil juga ditemukan bahwa, meskipun performa interaksi serta pengembangan kemampuan berbicara tergolong tinggi, namun tidak terlalu banyak kontribusi yang dapat diberikan oleh interaksi sosial guru terhadap pengembangan berbicara anak usia dini. Hal ini bisa menjadi indikator belum optimalnya peran guru terutama dalam mengembangkan kemampuan berbicara anak. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas interaksi sosial guru, salah satunya adalah pengalaman guru dalam melakukan interaksi yang berkualitas maupun yang mendalam pada aktifitas pembelajaran yang dilakukannya (Bradley dan Reinking, 2011). Kurangnya pengalaman ini tentunya selain karena faktor internal juga dapat disebabkan oleh terbatasnya faktor eksternal seperti penunjang yang dapat membantu guru dalam meningkatkan keterampilan sosial, misalnya pelatihan maupun pendidikan (Mulyasa, 2012). Latar belakang guru yang belum memadai secara akademik maupun profesional, juga sedikitnya mempengaruhi penguasaan kompetensi-kompetensi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
yang sejatinya dimiliki oleh guru, dan salah satunya adalah kompetensi sosial. Kualitas interaksi sosial akan berdampak pada proses pengalaman dan juga penukaran informasi yang terjadi dalam interaksi tersebut. Longobardi (2015) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa kualitas sosial, baik itu cara berkomunikasi maupun pendekatan interaksi yang dilakukan oleh seorang guru, akan sangat mempengaruhi kualitas pengalaman belajar bahasa yang akan dialami oleh seorang anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Greenstock, Louise, dan Wright (2011) mengemukakan bahwa konflik yang sering terjadi diantara guru mengenai penggunaan strategi pembelajaran bahasa adalah akibat adanya perbedaan pemikiran, kepercayaan serta motif para guru dan jika tidak terjadi kolaborasi yang seimbang antara para guru ini, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran bahasa anak. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas interaksi sosial dalam diri seorang guru juga akan ditentukan oleh persepsi, kualitas pribadi serta keaktifannya untuk bekerja sama dan saling memberikan refleksi serta penguatan dalam pengembangan bahasa anak (Barrat dan Rohl, 2000; Scott-Little et al., 2011). Kecakapan sosial yang dimiliki oleh guru berperan dalam kemampuannya mengembangkan potensi anak, baik itu dari segi pembelajaran maupun manajemen kelas, dan salah satunya adalah pengembangan kemampuan berbicara (Hamre, Hatfield, Pianta, & Jamil, 2014). Pengembangan kemampuan berbicara memiliki indikator sebagai berikut: (i) kualitas Interaksi antara anak didik dan guru; (ii) kuantitas Interaksi antara anak didik dan guru; (iii) perbedaan antara isi serta struktur bahasa yang didengar oleh anak (Hart dan Risley 2000). Kualitas interaksi akan saling mempengaruhi satu sama lain dengan kuantitas interaksi. Semakin sering seorang guru melakukan interaksi yang mendalam dengan anak, maka secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas kemampuan berbicara anak. Penelitian yang dilakukan oleh Oates et.al (2011), mengungkapkan bahwa saat anak belajar untuk ikut serta dalam aktifitas kelas dan juga saat guru mencoba untuk mengatur perilakunya dalam
kelas secara tidak langsung akan memunculkan kemampuan literacy pada anak secara bertahap. Artinya semakin sering guru dan anak terlibat dalam aktivitas atau kegiatan literasi maka kemampuan literasi anak akan semakin berkembang. Kualitas interaksi ini juga tentunya akan mempengaruhi konten atau isi dalam pembelajaran literasi, semakin tinggi kelihaian atau keterampilan serta pengalaman literasi dalam suatu kelas, maka kualitas bahan materi literasi yang terjadi pun akan semakin kaya (Whitebread, 2003). Salah satu pengayaan bahan materi literasi yang dapat mengayakan pengalaman literasi diungkapkan dalam penelitian Kim et al (2011) yang menyatakan bahwa joint book reading dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk mendiskusikan apa yang telah mereka baca dan merangkumnya lewat retelling. Kegiatan retelling (menceritakan kembali), secara tidak langsung dapat menambah wawasan dan pengalaman kelas dalam mendukung situasi literasi yang kaya akan makna. Hal ini membuktikan bahwa antara kualitas, kuantitas dan konten materi pengembangan bahasa anak usia dini saling berpengaruh dan berkaitan satu sama lain. Secara garis besar, dapat kita simpulkan bahwa, proses interaksi akan mempengaruhi proses pembentukan pengetahuan atau konstruksi lingkungan pada anak. Interaksi yang dilakukan oleh orang dewasa tentunya sangat berpengaruh terhadap pemaknaan bahasa lingkungan yang dibentuk anak. Semakin sering interaksi ini terjadi, maka akan tercipta kualitas, baik itu dari segi pendekatan secara sosial, maupun seacara konten, yang dapat mempengaruhi kualitas pengembangan bahasa anak. Kualitas interaksi tentunya juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti latar belakang budaya, sosial, sejarah, nilai-nilai, dan sebagainya (Fauziah, 2008). Pengalaman sosial pribadi guru akan mempengaruhi kualitas interaksi yang dilakukannya dengan anak usia dini. Oleh sebab itu, diperlukan pembinaan pada diri guru untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi atau kecapakan sosial sehingga kemampuan interaksi ini dapat digunakan secara maksimal dalam pengembangan bahasa ekspresif anak usia dini.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa, terdapat pengaruh yang signifikan dengan nilai R sebesar 0.511, antara
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
117
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
kecakapan sosial guru dengan pengembangan kemampuan berbicara (oral language) anak usia dini. Sementara itu gambaran umum kecakapan sosial dan pengembangan kemampuan berbicara anak mengarah pada kategori tinggi, meskipun demikian kontribusi kecakapan sosial guru terhadap pengembangan kemampuan berbicara anak usia dini hanya sebesar 23,6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman guru untuk melakukan interaksi dengan anak, terutama dalam mengembangkan kemampuan berbicara belum cukup memadai. Kualitas interaksi akan dipengaruhi oleh kuantitas interaksi. Semakin sering guru melakukan interaksi mendalam dengan anak, maka kualitas interaksi akan tercipta dengan maksimal (Vygostky, 1986). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak pengalaman guru dalam melakukan interaksi dengan anak, maka secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas interaksi itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian dapat kita tekankan bahwa kualitas interaksi sosial tentunya akan berdampak jika bukan hanya sekedar dipahami dan dimiliki saja oleh guru namun benar-benar dapat mempengaruhi proses pengembangan kemampuan berbicara anak usia dini secara utuh. Sementara itu, hasil penelitian ini masih memerlukan pendukung lain yang dapat dilakukan melalui pendekatan penelitian yang lebih mendalam untuk mengkaji dan menggambarkan interaksi sosial guru secara keseluruhan terutama dalam pengembangan bahasa. Selain itu latar belakang pendidikan responden serta usia juga menjadi salah satu perhatian dalam penelitian, karena setidaknya hal itu juga dapat mempengaruhi kontribusi kecakapan sosial terhadap pengembangan kemampuan berbicara anak usia dini. Penelitian ini setidaknya dapat memberikan gambaran secara umum bahwa kecakapan sosial yang dimiliki oleh guru dapat berpengaruh terhadap pola interaksi, yang nantinya akan sangat membantu dalam
pengembangan potensi dan keterampilan anak usia dini. Saran Adapun saran yang dapat diberikan pada guru PAUD terkait kecakapan sosial dalam melalukan interaksi dengan anak diantaranya adalah: (i) Guru dapat meluangkan waktu untuk terus melakukan interaksi dengan anak dalam berbagai kesempatan; (ii) Guru dapat memulai untuk melakukan interaksi yang lebih mendalam dengan anak didik; (iii) Guru dapat memulai untuk lebih peka dan merespon setiap apa yang anak katakan, dan menjadikannya sebagai anak tangga bagi penguasaan keterampilan anak yang lebih tinggi; (iv) Guru dapat mulai untuk menghargai setiap perbedaan yang ada pada diri anak; (v) Guru terus melakukan evaluasi secara berkesinambungan untuk melihat grafik perkembangan bahasa anak, serta untuk mengevaluasi kualitas dan konten pengembangan bahasa terutama keterampilan berbicara setiap anak. Bagi lembaga pendidikan anak usia dini, saran yang bisa diberikan adalah sebagai berikut: (i) pihak lembaga dapat membantu dengan melakukan observasi penilaian kinerja maupun kompetensi sosial guru PAUD terutama dalam melakukan interaksi sosial di setiap pembelajaran; (ii) pihak lembaga dapat membantu dengan memberikan masukan, melalui kegiatan yang hampir mirip dengan “lesson study” dimana setiap guru memiliki kesempatan untuk diberikan feedback terutama dalam keterampilannya melakukan interaksi mendalam dengan anak usia dini; (iii) pihak lembaga dapat membantu dengan memberikan pelatihan atau pengembangan diri yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi sosial guru PAUD agar secara tidak langsung pemahaman, wawasan, pengalaman, serta keterampilannya lebih berkembang dan tentunya dapat mendukung proses pembelajaran terutama pengembangan kemampuan berbicara (oral language) anak usia dini.
DAFTAR PUSTAKA Barratt., & Rohl. (2000). Literacy learning in the early years. Australia: Allen & Unwin. Bradley, B. A. M & Reinking, D. (2011). A formative experiment to enhance teacher-child language interactions in a preschool classroom. Journal of Early Childhood Literacy, 2011 11:362. doi: 10.1177/1468798411410802. 118
Campbell, Kelly, Mullis, Martin, & Sainsbury. (2001). Framework and spesifications for PIRLS assesment. USA: International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA). Denisenkova, N. S., & Nisskaya, A. K. (2016). The role of teacher-child interaction in promoting
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
peer communication. Psychology in Russia: State of the Art, 9(3), 173–187. https://doi. org/10.11621/pir.2016.0312. Fauziah, D. U. (2008). Keindahan belajar dalam perspektif pedagogi. Jakarta: Cindy Grafika. Fernandez. (2015). Teacher-child interaction training: A pilot study with random assignment. Behaviour Therapy, 46, 463-477. Greenstock, L., & Wright, J. (2011). Collaborative implementation working together when using graphic symbols. Journal Child Language Teaching and Therapy. 2011 27: 331. doi: 10.1177/0265659010396778 Halliday, M. A. K. (1993). Towards a language-based theory of learning. USA: Linguistics and Education Press. Hamalik. (2009). Strategi belajar mengajar berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru Albisnindo. Hamre, B., Hatfield, B., Pianta, R., & Jamil, F. (2014). Evidence for general and domain-specific elements of teacher-child interactions: associations with preschool children’s development. Child Development, 85(3), 1257–1274. https://doi.org/10.1111/ cdev.12184. Hart, B & Risley, T. (1995). Meaningful differences in the everyday experiences of young american children. Baltimore, MD: Paul H. Brookes. Johnston. (2004). Choice words: How our language affects children learning. US: Stanehouse Publisher. Kemendikbud. (2014). Statistik pendidikan anak usia dini. Jakarta: Setjen, Kemdikbud. Kim et al. (2011). The relationship between children’s spontaneous utterance during joint book reading and their feelings. Journal of Early Childhood Literacy, 2011 11: 402. doi: 10.1177/1468798411409301 Latif, dkk. (2013). Orientasi baru pendidikan anak usia dini: Teori dan aplikasi. Jakarta: Kencana. Levitt & Owl. (2013). Effects of literacy environmens on the reading attitudes, behaviours, and values of veteran teacher. Learning Environment Res Journal. New York: Spinger. Longobardi. (2015). Language and social competence in typically developing children and late talkers between 18 and 35 months aged. Early Child Development and Care Journal. doi: 10.1080/03004430.2015.1039529.
Mullis et al. (2011). PIRLS 2011 international result in reading. USA: TIMSS and PIRLS. Mulyasa. (2012). Manajemen PAUD. Bandung: Rosdakarya. Musthafa. (2008). Dari literasi dini ke literasi teknologi. Jakarta: New Concept English Education C. Oates et al. (2011). Effective behavior management in preschool classrooms and children’s task orientation: enhancing emergent literacy and language development. Journal of Early Childhood Research Quarterly. doi: 10.1016/j. ecresq.2011.02.003. Rohman. (2015). Perkembangan bahasa pada anak usia dini. Refika: Bandung. Schwartz et al. (1996). Examining the use of recommended language intervention practices in early childhood special education.Topics in Early Childhood Special Education 16(2): 251–273. Schunk. (2012). Learning theories: An educational perspective. Teori-teori pembelajaran: Perspektif pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Scofield, J & Behrend, D.A (2011). Clarifying the role of joint attention in early word learning. Journal of First Language. doi: 10.1177/0142723710395423. Scott-Little, C., La Paro, K. M., Thomason, A. C., Pianta, R. C., Hamre, B., Downer, J., Howes, C. (2011). Implementation of a course focused on language and literacy within teacher– child interactions: Instructor and student perspectives across three institutions of higher education. Journal of Early Childhood Teacher Education, 32(3), 200–224. https:// doi.org/10.1080/10901027.2011.594489 . Spencer, L.M & Spencer. (2011). Competence at work: Models for superior performance. USA: John Wiley & Sons. Inc. Surya, M. (2011). Psikologi pembelajaran dan pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya. Suryani. (2013). Pakar pendidikan usia dini UNJ seminar di Jombang. Diakses dari http:// www.lensaindonesia.com/2013/06/22/pakarpendidikan-usia-dini-unj-seminar-di-jombang. html pada tanggal 12 Maret 2016. Vygotsky, L. (1986). Thought and language. Cambridge, MA: MIT Press.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
119
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Whitebread, D. (2003). Teaching and learning in the early years. New York: Routledge.
120
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DENGAN TEKNIK LATIHAN ASERTIF UNTUK MENGATASI TINDAKAN KEKERASAN PADA ANAK Mubiar Agustin, Ipah Saripah,& Asep Deni Gustiana Email :
[email protected] PGPAUD Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40154 Jawa Barat
Abstrak: Penelitian ini beranjak dari masalah yang paling fundamental dalam kegiatan pendidikan anak usia dini khususnya di Taman Kanak-kanak (TK) yaitu masih banyaknya kesalahan perlakuan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran yang menjurus pada tindakan kekerasan. Penelitian bertujuan untuk menghasilkan konseling kognitif-perilaku dengan teknik pelatihan asertif yang tepat, teruji dan komprehensif untuk menangani tindakan kekerasan pada anak. Penelitian ini dilakukan pada tahun pelajaran 2015-2016 dengan menggunakan metode eksperimen quasi. Subjek dalam penelitian ini adalah anak kelompok B dari TK Al Muqoddasah Kab. Bandung. Hasil penelitian menunjukkan: (1) tindakan kekerasan di TK terjadi dalam berbagai bentuk mulai dari fisik, verbal, hingga relasional; (2) program konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindakan kekerasan dipandang layak untuk diujicobakan menurut para pakar; dan (3) terdapat pengaruh yang signifikan dari kegiatan konseling kognitif-perilaku dalam mengeliminir tindak kekerasan pada anak. Kata-kata Kunci: konseling kognitif-perilaku, teknik pelatihan asertif, tindakan kekerasan pada anak
THE EFFECTIVITY OF COGNITIVE-BEHAVIOR COUNSELLING WITH ASSERTIVE TECHNIQUE TO ADDRESS CHILD ABUSE Abstract: This research is based on the most fundamental problem in teaching young learners, especially in preschool, which is the tendency of the children’s behavior within each other in the learning process that leads to abuse. One of the offered solutions to address abuse is to provide preventive act through Cognitive-Behavior Counselling activities with Assertive Training Technique. The aim of this research is to conduct cognitive-behavior counselling activities with assertive training technique in way that is correct, tested and comprehensive to address child abuse. The research was conducted by applying quasi experimental method in the year of. 2015 – 2016 in Bandung District. The subject of the research was group B students of Al Muqoddasah Preschool Bandung District. The result shows that: (1) the forms of child abuse consist of physical, verbal and relational abuse; (2) cognitive-behavior counselling activities with assertive training technique to address abuse are considered appropriate to implement by experts; and (3) there is a significant impact of cognitive-behavior counselling activities in minimize child abuse. Keywords: cognitive-behavior counselling, assertive training technique, child abuse
PENDAHULUAN Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk mengespresikan diri secara bebas dengan diri, teman dan lingkungannya. Maka, tidak salah jika seorang penyair berkebangsaan Lebanon bernama Khalil Gibran menggambarkan anak seperti kupu-kupu yang bebas terbang ke sana ke mari tanpa ada yang menghalangi. Sayangnya, dunia anak yang penuh keceriaan tersebut terancam dengan maraknya aksi kekerasan. Anak-anak selalu menjadi korbannya.
Sudah tidak terhitung jumlah korban kekerasan pada anak ini. Berita yang dilansir dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan angka peningkatan tindakan kekerasan pada anak dari tahun ke tahun. Sebenarnya jika menggunakan kacamata psikologi, fenomena kekerasan ini sudah disampaikan oleh ahli psikologi, filsafat dan sosiologi kelahiran Frankfurt Main Jerman bernama Erich Fromm. Fromm menyebut istilah kekerasan dan anarkis
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
121
Efektivitas Konseling Kognitif ...
ini dengan sebutan nekrophilia (necrophilious character type), yaitu tipe orang yang tertarik dan berpenampilan pada segala bentuk kematian. Mereka senang berbicara penyiksaan, kematian dan penguburan. Lebih jauh, mereka sangat terikat dengan kekuatan dan kekuasaan. Mereka percaya pada satu cara menyelesaikan permasalahan, yaitu dengan kekerasan. Mereka umumnya rasialis, teroris, penghasut, tukang “jagal orang”, dan penyiksa orang yang tak berdosa. Nekrophilia merupakan perilaku yang berbahaya. Nekrophilia memperlihatkan perilaku destruktif dengan mengeksploitasi dan merusak orang lain atau benda-benda serta alam lingkungan (Budiraharjo.ed, 2001). Sangat dapat dimaklumi jika anak selalu menjadi korban kekerasan. Setidaknya ada dua faktor penyebab. Pertama, anak mudah dirayu, sehingga mudah diperdaya. Banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan karena mudah terperdaya dengan rayuan berupa pemberian makanan, uang ataupun diajak jalan-jalan. Kedua, anak adalah pribadi yang lemah sehingga selalu menjadi objek penderita tindak kekerasan. Banyak kasus kekerasan yang dialami anak disebabkan kelemahan ini, sehingga tidak sedikit anak yang mengalami kekerasan berakhir dengan tragis, kematian dan atau trauma akut. Berdasarkan hasil monitor dan evaluasi terhadap 1.026 responden anak di sembilan daerah di Indonesia, KPAI juga menemukan bahwa 87,6% anak pernah mengalami kekerasan di sekolah dalam berbagai bentuk. Kekerasan yang paling banyak dilakukan oleh teman sekelas (42%), guru (29,9%), dan teman lain kelas (28%). Hasil monitor dan evaluasi KPAI tersebut sejalan dengan hasil studi pendahuluan yang dilakukan Saripah (2006) terhadap 18 orang guru di 5 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 13 orang guru (72,22%) melihat adanya bullying di kelas dan sisanya sebanyak 5 orang guru (27,78%) mengaku tidak pernah melihat adanya bullying di kelas mereka. Sementara itu, guru yang menganggap bullying yang terjadi pada masa anak-anak sebagai hal yang wajar dan yang menganggap sebagai hal yang harus dihindari berjumlah sama yakni masing-masing 9 orang (50%). Tindakan kekerasan yang menjurus pada tindakan anarkis sekaligus kriminal khususnya pada anak tentu membutuhkan penanganan dan solusi yang tepat. Sebab bagi anak tindakan kekerasan 122
yang mereka alami mengakibatkan berbagai dampak negatif (di luar dampak yang paling parah, yaitu kematian). Dampak tersebut dapat berupa dampak jangka pendek, yaitu dampak yang muncul seketika itu juga ketika anak mengalami kekerasan. Seperti munculnya rasa takut yang berlebihan, menarik diri dari kehidupan sosial, bila kekerasan berupa kekerasan emosional, maka akan muncul rasa ketidaknyamanan (merasa tertekan batin), stres bahkan frustrasi dan bila kekerasan berupa fisik, maka anak akan merasa kesakitan. Dampak jangka panjang yaitu kondisi yang muncul dalam jangka waktu yang cukup lama setelah kejadian kekerasan atau bahkan dapat melekat selama hidupnya. Dampak jangka panjang ini dapat berupa: trauma terhadap hal-hal yang dirasakan berhubungan dengan kekerasan yang pernah dialaminya, perasaan curiga yang berlebihan (paranoid) pada orang-orang disekitarnya, antisosial, hilangnya kepercayaan diri, stres berat sampai dengan depresi, dan kecacatan fisik permanen, bila kekerasan dilakukan berlebihan (Cavanagh & Levitov, 2002). Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan yang berkembang di atas adalah dengan menerapkan program konseling kogntitif-perilaku dengan teknik latihan asertif. Latihan asertif sangat penting pada kasus tindakan kekerasan. Anak-anak yang mengalami tindakan kekerasan umumnya tidak mampu untuk asertif sehingga sangat wajar apabila mereka menjadi korban tindakan kekerasan. Kasandra (2003) menandaskan bahwa Konseling Kognitif-Perilaku dengan teknik Latihan Asertif cukup dapat dihandalkan dalam mengatasi permasalahan psikologi seseorang termasuk didalamnya permasalahan traumatik korban tindakan kekerasan. Manfaat program pelatihan asertif ini akan membantu anak untuk lebih terampil dan tegas dalam mengatasi bahaya tindakan kekerasan yang mungkin akan menimpa mereka. Konseling kognitif-perilaku didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat mempengaruhi emosi. Melalui konseling kognitif-perilaku, mahasiswa terlibat aktivitas dan berpartisipasi dalam latihan untuk diri mereka dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson & Ollendick, 1988). Teori kognitif-perilaku (Oemarjoedi, 2003) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Tujuan konseling kognitif-perilaku (Oemarjoedi, 2003) yaitu mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong siswa untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri siswa dan secara kuat mencoba menguranginya. Dalam proses terapi, beberapa ahli konseling kognitif perilaku berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh sebab itu, konseling kognitif-perilaku dalam pelaksanaannya lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. Konseling kognitif-perilaku tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup siswa dan mencoba membuat siswa menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif (Oemarjoedi, 2003) Metode perlakuan dalam konseling kognitifperilaku sering disebut dengan istilah teknik, prosedur, dan strategi. Konseling kognitif-perilaku memiliki banyak teknik yang diambil dari pendekatan perilaku dan kognitif yang diterapkan secara kombinatif. Menurut Laidlaw et al. (2003) beberapa teknik konseling kognitif-perilaku adalah latihan asertif, pemodelan, gladi perilaku, meditasi dan relaksasi, latihan praktik, kontrak perilaku, desentisisasi sistematik, pengelolaan diri, pemecahanan masalah, penghentian pikiran, restrukturisasi kognitif, dan pengelolaan stres. Rose and LeCroy (2004) menjelaskan bahwa strategi pokok intervensi perilaku kognitif adalah assertion training, cognitive restructuring, modeling, dan operant procedures. Selanjutnya, Mahoney & Arnkoff (2003) membagi teknik kongseling kognitif-perilaku ke dalam tiga kategori, yaitu: (a) restrukturisasi kognitif, mencakup terapi emotifrasional, pengajaran diri, dan terapi kognitif; (b) terapi keterampilan menangani situasi, meliputi pemodelan, tertutup, latihan pengelolaan kecemasan, dan
suntikan stres; dan (c) terapi pemecahan masalah; meliputi pemecahan masalah behavioral dan science personal. Matson & Ollendick (1988) prosedur CBT yang umum digunakan adalah ‘coping skills therapies, cognitive restructuring therapies, rational emotive therapies, problem-solving therapies, selfinctructional training, dan self-control procedure’. Semua prosedur ini memiliki perbedaan dalam tiga hal yaitu; aspek pengalaman kognitif (misalnya belief, expectations, coping self-statement, images, problem-solving cognitions), muatan intervensi (kognitif, afektif, perilaku, konsekuensi), dan strategi intervensi. Tindak kekerasan pada anak adalah perilaku salah baik dari orang tua, pengasuh, ataupun orang lain di sekitarnya dalam bentuk perlakuan kekerasan terhadap fisik dan mental yang termasuk di dalamnya adalah penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi, mengancam, serta hal buruk lainnya yang berpengaruh terhadap fisik dan mental anak (Tower, 2003). Dalam konteks dunia pendidikan, khususnya persekolahan, tindak kekerasan yang dilakukan oleh teman sebaya dikenal dengan sebutan bullying. Istilah bullying merujuk pada perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Olweus, 2005; Coloroso, 2006). Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying sebenarnya telah sangat meluas di dunia pendidikan tanpa terlalu disadari bentuk dan akibatnya. Telah sejak lama dunia pendidikan mengenal istilah perpeloncoan, gencetgencetan, pemalakan, penindasan, intimidasi, dan sebagainya. Persentase terbesar kejadian bullying berada pada lingkungan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (Gunawan, 2006). Olweus (2005) bahkan mengungkapkan: “Bullying behavior is evident even in preschool and the problem peaks in middle school.” Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa akhir-akhir ini perilaku bullying telah menjadi trend dan mulai ditiru oleh anak-anak yang lebih muda, seperti SMP, SD, maupun TK. Hasil studi Saripah (2006) terhadap 526 orang siswa SD di 5 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa bullying menjadi masalah terbesar yang dihadapi siswa SD dalam bidang sosial, yakni sebesar 42,59%. Sebanyak 224 orang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
123
Efektivitas Konseling Kognitif ...
siswa mengaku sering diganggu, diejek, dimintai uang dan dikucilkan oleh teman atau kakak kelasnya di sekolah. Sementara itu, siswa yang membentuk kelompok atau gang di sekolah mencapai 130 orang atau 24,71%. Tindak kekerasan pada anak dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan terentang dari yang terlihat secara fisik hingga ke bentuk perlakuan yang secara tidak disadari sebagai kekerasan. Secara umum, tindak kekerasan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni (a) kekerasan fisik, (b) verbal, dan (c) emosional atau yang dikenal juga dengan psychological maltreatment. Pertama, tindak kekerasan fisik. Termasuk jenis ini ialah mencubit, menjewer, menyentuh, meraba-raba atau memegang (dengan maksud pelecehan seksual), memukuli, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas, mendesak hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak serta menghancurkan, atau merebut barang-barang milik anak yang tertindas. Kedua, tindak kekerasan verbal. Tindakan ini berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi, kelompok maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa pelecehan seksual, teror, surat, e-mail atapun sms yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan lain-lain. Ketiga, tindak kekerasan emosional (pengabaian). Termasuk ke dalam tindakan ini adalah mengasingkan atau menolak seorang teman atau bahkan untuk merusak hubungan persahabatan. Tindak kekerasan emosional merupakan pelemahan harga diri si korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikapsikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif (melotot), lirikan mata, gerakan alis, anggukan kepala ke atas, helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang kasar. Tindakan kekerasan yang menjurus pada tindakan anarkis sekaligus kriminal khususnya pada anak tentu membutuhkan penanganan dan solusi yang tepat. Sebab bagi anak tindakan kekerasan yang mereka alami mengakibatkan berbagai dampak negatif (di luar dampak yang paling parah yaitu kematian). Dampak tersebut dapat berupa dampak jangka pendek, yaitu dampak yang muncul seketika 124
itu juga ketika anak mengalami kekerasan. Seperti munculnya rasa takut yang berlebihan, menarik diri dari kehidupan sosial, bila kekerasan berupa kekerasan emosional, maka akan muncul rasa ketidaknyamanan (merasa tertekan batin), stres bahkan frustrasi dan bila kekerasan berupa fisik, maka anak akan merasa kesakitan. Dampak jangka panjang yaitu kondisi yang muncul dalam jangka waktu yang cukup lama setelah kejadian kekerasan atau bahkan dapat melekat selama hidupnya. Dampak jangka panjang ini dapat berupa: trauma terhadap hal-hal yang dirasakan berhubungan dengan kekerasan yang pernah dialaminya, perasaan curiga yang berlebihan (paranoid) pada orang-orang di sekitarnya, antisosial, hilangnya kepercayaan diri, stres berat sampai dengan depresi, dan kecacatan fisik permanen, bila kekerasan dilakukan berlebihan (Cavanagh & Levitov, 2002). Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan yang berkembang di atas adalah dengan menerapkan program konseling kogntitif-perilaku dengan teknik latihan asertif. Latihan asertif sangat penting pada kasus tindakan kekerasan. Anak-anak yang mengalami tindakan kekerasan umumnya tidak mampu untuk asertif sehingga sangat wajar apabila mereka menjadi korban tindakan kekerasan. Oemarjoedi (2003) menandaskan bahwa Konseling Kognitif-Perilaku dengan teknik Latihan Asertif cukup dapat diandalkan dalam mengatasi permasalahan psikologi seseorang termasuk didalamnya permasalahan traumatik korban tindakan kekerasan. Manfaat program pelatihan asertif ini akan membantu anak untuk lebih terampil dan tegas dalam mengatasi bahaya tindakan kekerasan yang mungkin akan menimpa mereka. Teori kognitif-perilaku (Oemarjoedi, 2003) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Tujuan konseling kognitif-perilaku (Oemarjoedi, 2003) adalah mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong siswa untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri siswa dan secara kuat mencoba menguranginya.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode kuasi eksperimen. Kelompok kontrol dan eksperimen adalah anak-anak kelompok B pada TK Al Muqoddasah Kabupaten Bandung. Pengujian efektivitas konseling ini menggunakan Nonequivalent Control Groups Design, di mana tidak melakukan random dalam menentukan kelompok eksperimen dan kontrol. Tabel 1 berikut adalah desain penelitian uji keefektifan konseling kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif untuk menangani tindakan kekerasan pada kelompok eksperimen dan kontrol (nonequivalent control groups design) Tabel 1. Desain Penelitian Kelompok
Pretest
Perlakuan
Eksperimen
O1
X
Kontrol
O2
Postest O3 O4
Keterangan : O1 : pretes kelas eksperimen O2 : pretes kelas kontrol O3 : postes kelas eksperimen O4 : postes kelas kontrol X : pembelajaran kontekstual
Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia Taman Kanak-kanak pada kelompok B pada TK AlMuqoddasah I dan II Kab. Bandung Tahun Pelajaran 2015-2016 yang berjumlah 36 anak. Sesuai dengan tahap penelitian sebagaimana dikemukakan sebelumnya yang meliputi: (a) survei lapangan terhadap kondisi awal gejala dan jenis kekerasan yang cenderung dialami oleh anak Taman Kanak-kanak. Pada kegiatan ini instrumen yang digunakan adalah angket tentang area bentuk kekerasan; (b) uji coba pengembangan konseling kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif di Taman Kanak-kanak. Pada sesi ini instrumen yang digunakan adalah angket tentang rancangbangun konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan asertid yang bersifat hipotetik yang mencakup (1) rasional, (2) tujuan, (3) asumsi, (4) langkah-langkah kegiatan, (5) kompetensi guru, dan (6) evaluasi; dan (c) uji validasi program konseling kognitif perilaku dengan teknik hasil pengembangan. Instrumen yang digunakan pada tahap ini adalah angket tentang kecerdasan jamak anak dengan menggunakan metode eksperimen quasi saat menerapkan pre dan post test.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian a. Gambaran Umum Berdasarkan hasil angket terbimbing yang diberikan kepada anak usia Taman Kanak-kanak
pada kelompok B pada TK Al-Muqoddasah I dan II Kab. Bandung Tahun Pelajaran 2015-2016 diperoleh dambaran umum tindak kekerasan sebagaimana digambarkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Gambaran Umum Tindakan Kekerasan pada Anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung NO 1
2
3
DIMENSI Tindak Kekerasan Fisik
Tindak Kekerasan Verbal
Tindak Kekerasan Emosional
INDIKATOR
PERSENTASE (%)
Dicubit pada bagian anggota tubuh
12
Dipukul pada bagian anggota tubuh
31
Dicakar pada bagian muka
2
Ditendang pada bagian anggota tubuh
1
Diludahi dengan sengaja
0
Barang/mainan direbut
54
Dijuluki oleh anak lain
63
Dicela oleh anak lain
30
Dimarahi tanpa alasan yang jelas
5
Dituduh oleh anak lain
2
Dipelototi oleh anak lain
3
Diketawakan (diejek) oleh anak lain
78
Diabaikan saat berbicara
2
Diacuhkan saat bermain
13
Didorong oleh anak lain
4
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
125
Efektivitas Konseling Kognitif ...
b. Program Konseling Kogntif Perilaku dengan Teknik Latihan Asertif untuk Mengatasi Tindakan Kekerasan pada Anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung Berdasarkan hasil uji validasi kepada dua orang pakar Bimbingan dan Konseling Anak, program Konseling Kogntif Perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindakan kekerasan pada anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung dipandang layak untuk diujicobakan. Lebih lanjut, hasil uji validitas program disajikan pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Hasil Uji Validasi Program NO
ASPEK
KETERANGAN
1
Rasional
Memadai
2
Tujuan
Memadai
3
Asumsi
Memadai
4
Lamgkah-langkah
Memadai
5
Kompetensi Guru
Memadai
6
Evaluasi
Memadai
c. Efektivitas Program Konseling kogntif Perilaku dengan Teknik Latihan Asertif untuk Mengatasi Tindakan Kekerasan pada Anak di TK AlMuqoddasah Kab. Bandung Hasil uji efektivitas Program Konseling kogntif Perilaku dengan Teknik Latihan Asertif untuk Mengatasi Tindakan Kekerasan pada Anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung diperoleh dengan membandingkan antara pretes dan postes, sebagai berikut. a. Pretest Hasil U-Test untuk data pretest dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
SPSS. 17.0 dengan tujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan antara kelompok eksperimen dan kontrol pada saat pretes. Seperti yang telah dipaparkan di metode penelitian, bahwa teknik analisis data yang digunakan adalah U-Test atau Mann Whitney Test. Hipotesis Penelitian: Ho: μ_1 ≤ μ_2, Tidak terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak antara kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum perlakuan. Ha: μ_1 ≥ μ_2, Terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak antara kelas eksperimen dan kontrol sebelum perlakuan. Pengujian signifikansi perbedaan yaitu membandingkan antara sig. dengan (α = 0,05). Kriteria pengujiannya adalah: Terima Hipotesis nol jika sig. ≥ α (0.05) Tolak Hipotesis nol jika sig. ≤ α (0.05) Berdasarkan tabel 2 di atas, diketahui nilai sig. 0,886 > α (0.05) maka Ho diterima, artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak antara kelompok eksperimen dan kontrol pada saat pretest. b. Postest Setelah subjek diberikan perlakuan, maka dilakukan pengamatan kembali untuk memperoleh data hasil postest. Selanjutnya data hasil postest di olah menggunakan U-Test. Adapun hasil pengujian data postest dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Hasil Uji Beda Kelompok Eksperimen dan Kontrol Pada Saat Postest Test Statisticsb POSTES Mann-Whitney U Wilcoxon W
Tabel 2. Hasil Uji Beda Kelompok Eksperimen dan Kontrol Pada Saat Pretest
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Test Statistics
b
PRETEST Mann-Whitney U
157.500
Wilcoxon W
328.500
Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
-.143 .886 .888a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: TINDAK KEKERASAN
Data hasil pengamatan sebelum diberikan perlakuan selanjutnya diolah dengan menggunakan 126
Z
67.000 238.000 -3.022 .003 .002a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: KEKERASAN ANAK
Hipotesis Penelitian: Ho: μ_1 ≤ μ_2, Tidak terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah perlakuan. Ha: μ_1 ≥ μ_2, Terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak antara kelas eksperimen dan kontrol setelah perlakuan. Pengujian signifikansi perbedaan yaitu membandingkan antara sig. dengan (α = 0,05).
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
Kriteria pengujiannya adalah: Terima Hipotesis nol jika sig. ≥ α (0.05) Tolak Hipotesis nol jika sig. ≤ α (0.05) Berdasarkan tabel 3 di atas, diketahui nilai sig. 0,003 < α (0.05) maka Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak antara kelompok eksperimen dan kontrol pada saat postes atau setelah diberikan perlakuan. Selanjutnya untuk menentukan kelompok mana yang lebih efektif menerima perlakuan dalam mengeliminir tindak kekerasan yang dialami anak yakni dengan membandingkan nilai mean rank kelompok eksperimen dan kontrol. Perlakuan dikatakan lebih efektif apabila nilai mean rank-nya lebih besar. Adapun nilai mean rank hasil uji beda postes pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Nilai Mean Rank Kelompok Eksperimen dan Kontrol Pada Saat Postest
POSTEST
Kekerasan Anak
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Kel Eksperimen
18
23.78
428.00
Kel Kontrol
18
13.22
238.00
Total
36
Berdasarkan tabel 4 di atas, diketahui nilai mean rank kelompok eksperimen (23,78) > kontrol (13,22) artinya perlakuan yang diterima kelompok eksperimen lebih efektif dalam hal ini konseling kognitif-perilaku. Adapun gain tindak kekerasan anak antara kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Gain tindak kekerasan anak antara kelompok eksperimen dan kontrol Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan, tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk telah terjadi di
tingkat Taman Kanak-kanak. Fakta ini semakin mendukung pernyataan bahwa akhir-akhir ini perilaku bullying telah menjadi trend dan mulai ditiru oleh anakanak yang lebih muda, seperti SMP, SD, maupun TK. Olweus (2005) bahkan mengungkapkan: “Bullying behavior is evident even in preschool and the problem peaks in middle school.” Pada dimensi fisik, tampak bahwa tindakan kekerasan yang paling sering dialami oleh anak TK yaitu berupa barang/mainan direbut (54%) yang diikuti dengan dipukul pada bagian anggota tubuh (31%). Berebut barang/mainan seringkali dianggap sebagai kejadian yang biasa terjadi dan dilakukan oleh anak-anak dalam situasi yang normal. Peristiwa tersebut akan berubah menjadi tindakan kekerasan ketika salah seorang anak merasa menjadi tidak berdaya, lemah, teraniaya dan pada gilirannya dia akan menjadi korban. Coloroso (2006) menyatakan bahwa bullying merupakan perspektif korban yang melibatkan tindakan yang disengaja, berulang-ulang, serta ada ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dengan korban. Memukul merupakan bentuk agresif lain yang juga paling sering dilakukan oleh anak-anak terutama yang berusia dini. Dari sisi fisik, tindakan memukul ini paling mudah terlihat bentuk dan dampaknya. Selain berhubungan dengan ego, alasan anak untuk cenderung memukul temannya bisa disebabkan tidak adanya pilihan aktivitas lain yang terarah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Evans (1989, dalam Tattum, 1997) sebagai berikut: “Children with little to do during their playtime may resort to seeking adventure through various forms of illicit play – for example, fighting, teasing, and annoying other children.” Selanjutnya, pada dimensi tindak kekerasan verbal, anak TK paling sering dijuluki oleh anak lain (63%) dan dicela oleh anak lain (30%). Kedua bentuk perilaku ini merupakan bentuk penindasan yang paling umum digunakan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Coloroso (2006) bahkan melaporkan bahwa kekerasan verbal ini persentasenya mencapai 70% dari seluruh kasus penindasan. Dari ketiga bentuk tindak kekerasan, kekerasan verbal merupakan salah satu jenis penindasan yang paling mudah dilakukan dan kerap merupakan pintu masuk menuju ke kedua bentuk penindasan lainnya. Terakhir, pada dimensi tindak kekerasan relasional, anak TK melaporkan sering diketawakan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
127
Efektivitas Konseling Kognitif ...
(diejek) oleh anak lain (78%) serta diacuhkan saat bermain (13%). Tindak kekerasan relasional merupakan jenis yang paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengecualian, pengucilan, atau penghindaran (Coloroso, 2006). Ketiga dimensi tindak kekerasan tersebut pada umumnya terjadi di tempat bermain dan cenderung tanpa pengawasan guru. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tempat bermain dan lapangan sekolah merupakan tempat yang paling banyak menjadi lokasi terjadinya tindak kekerasan di sekolah (Coloroso, 2006; Tattum, 1997). Perilaku di taman bermain sendiri dapat ditinjau dari dua sudut pandang. Blatchford, 1993; Opies, 1969; Sluckin, 1981 (dalam Tattum, 1997) menyatakan dua sudut pandang tersebut sebagai perilaku “romantis” dan “bermasalah”. Perilaku romantis terjadi ketika anak-anak belajar sesuatu yang positif dan menikmati bermain di tempat bermain. Adapun perilaku bermasalah muncul ketika anak memperoleh hal yang menyakitkan dan memerlukan penanganan guru untuk mengatasinya. Tindak kekerasan termasuk ke dalam bentuk perilaku bermasalah yang muncul pada saat anak sedang bermain sehingga memerlukan penanganan yang salah satunya berupa latihan asertif. Hal ini sejalan dengan haasil penelitian Saripah (2010) yang menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban bullying (tindak kekerasan) perlu mendapatkan bantuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan asertif. Perilaku asertif sendiri, kendatipun merupakan sesuatu yang alamiah namun perlu diajarkan dan dikembangkan terlebih pada anak usia dini (Farida, 2003). Perilaku asertif menurut Stefan (2006) merupakan ketegasan dan keberanian menyampaikan pendapat yang meliputi tiga komponen dasar, yaitu: (1) kemampuan mengungkapkan perasaan, misalnya: untuk menerima dan mengungkapkan perasaan marah, hangat, seksual; (2) kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka, misalnya: mampu menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap teags, meskipun secara emosional sulit melakukan ini
bahkan sekalipun kita harus mengorbankan sesuatu; (3) kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi, tidak membiarkan orang lain mengganggu dan memanfaatkan kita. Orang yang asertif bukan orang yang suka terlalu menahan diri dan juga bukan pemalu, mereka bisa mengungkapkan perasaannya secara langsung tanpa bertindak agresif atau melecehkan. Dalam penelitian ini, perilaku asertif pada anak usia dini dilatihkan melalui model konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindakan kekerasan pada anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa model konseling kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif dapat mengurangi atau mengeliminasi tindak kekerasan pada anak. Hal ini terjadi karena anak yang biasa mengalami tindak kekerasan, setelah diberikan konseling kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif, berani mengutarakan kejadian yang diterimanya dan menanyakan alasan perbuatan tersebut kepada pelaku. Dengan demikian, dalam hal ini korban mencoba mengubah atau modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisis, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, pelaku diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Proses tersebut sejalan dengan tujuan konseling kognitifperilaku (Oemarjoedi, 2003) adalah mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Pada anak usia TK, proses perubahan pola pikir sangat perlu difasilitasi oleh guru. Dengan demikian, guru dituntut untuk menciptakan peluang yang memungkinkan siswa dapat terbuka menyampaikan segala perasaannya tanpa merasa takut ataupun malu. Guru diharapkan mampu menolong siswa untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri siswa dan secara kuat mencoba menguranginya. Melalui fasilitasi dari guru maka anak akan dapat berkembang menjadi anak yang memiliki kemampuan asertif dan bukan pasif ataupun agresif.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
128
kesimpulan sebagai berikut. Pertama, tindak kekerasan pada anak TK terjadi dalam berbagai
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
bentuk, baik berupa fisik, verbail, maupun relasional. Pada dimensi fisik, anak TK mengalami barang/ mainannya direbut oleh teman dan dipukul pada bagian anggota tubuh. Pada dimensi verbal, tindak kekerasan yang sering terjadi adalah dijuluki dan dicela oleh anak lain. Adapun pada dimensi relasional, anak TK sering diketawakan (diejek) oleh anak lain dan diacuhkan saat bermain. Kedua, berdasarkan hasil uji validasi, program konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindak kekerasan pada anak TK dipandang memadai dan layak untuk diujicobakan. Komponen program terdiri dari rasional, tujuan, asumsi, langkah-langkah kegiatan, kompetensi guru, dan evaluasi. Ketiga, program konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindak kekerasan pada anak TK terbukti efektif. Secara
kuantitatif, hal tersebut tampak dari hasil pretes dan postes yang menunjukkan perubahan signifikan. Adapun secara kualitatif tampak dari kemampuan anak untuk berani menyatakan keinginannya, menolak teman dengan cara-cara yang tepat serta mengekspresikan perasaan secara positif. Saran Rekomendasi penelitian ditujukan kepada pihak-pihak sebagai berikut. Pertama, bagi praktisi PAUD, yaitu berdasarkan hasil penelitian, diharapkan dapat dirumuskan model pembelajaran ataupun pedoman pembelajaran yang dapat mereduksi tindakan kekerasan pada anak. Kedua, bagi universitas diharapkan dapat mengembangkan berbagai pelatihan ataupun workshop dalam membantu lembaga persekolahan ataupun pemerintahan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan tindakan kekerasan pada anak.
DAFTAR PUSTAKA Budiharjo, P (ed). (1996). Mengenal teori kepribadian mutakhir. Kanisius. Yogyakarta. Cavanagh & Levitov. (2002). The counseling experience, a theoretical and practical approach. Waveland. Long Grove. Illinois. Coloroso, B. (2006). Penindas, tertindas, dan penonton: Resep memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka. Farida. (2006). Efektivitas pelatihan asertivitas untuk peningkatan kemampuan pemecahan masalah pada siswa. Yogyakarta: Psikologi UGM. Komite Perlindungan Anak Indonesia. (2015). Pelaku kekerasan anak tiap tahun meningkat. (Online). Tersedia: http://www.kpai.go.id. (3 Maret 2016). Oemarjoedi, K.A. (2003). Pendekatan cognitive
behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Penerbit Creative Media. Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Malde, MA: Blackwell Punlishers. Saripah, I. (2010). Model konseling kognitif perilaku untuk memanggulangi bullying siswa. Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. (tidak diterbitkan). Stefan, S. (2006). Menanamkan sikap asertif di sekolah (Online). http://www.indomedia.com/ poskup/2006/10/14/edisi14/opini.htm http:// groups.yahoo.com/group/pakguruonline/ message/2400. Tattum, D., et. al. (1997). Understanding and managing bullying. Oxford: Heinemann Educational Books.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
129
Efektivitas Konseling Kognitif ...
130
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK: KAJIAN ASPEK FONOLOGI PADA ANAK USIA 2 - 2,5 TAHUN Prima Gusti Yanti
[email protected] FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta Jl. Tanah Merdeka, Kp. Rambutan, Ciracas, Jakarta Timur
Abstrak: Penelitian ini bertujuan memaparkan pemerolehan bahasa anak usia 2--2.5 tahun dari aspek fonologi yang meliputi pemerolehan vokal, pemerolehan konsonan, dan faktor yang mempengaruhi pemerolehan fonologi tersebut. Penelitian dilakukan di Jakarta pada bulan Agustus-Februari 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data diperoleh dari seorang anak yang bernama TPM. Data artikel ini dikumpulkan melalui observasi, catatan harian, dan wawancara. Temuan dalam artikel ini memperlihatkan bahwa TPM telah menguasai fonem [a], [i], [u], [e], [o], [∂], [є], dan [Ο]. Fonem vokal itu dikuasainya pada usia 2 tahun 1 bulan. Vokal pertama yang dikuasainya adalah vokal [a], [i], dan [u], kemudian vokal depan [i], [e], [ε], lalu vokal belakang [u], [o], []כ, dan vokal tengah [∂],[a]. Bunyi vokal rangkap yang tidak bersifat diftong juga telah dikuasai pada usia 2 tahun 3 bulan, misalnya [au], [ai] dan [ue]. Akan tetapi, diftong asli [au] dan [ai] baru dikuasainya pada usia 2 tahun 6 bulan. Sementara itu, konsonan [p], [b], [t], [d], [s], [h], [c], [j], [m], [n], [ŋ], [l], [w], dan [y] dikuasainya dengan baik. Konsonan [t], [s], [c], [j], dan [ŋ] sudah muncul, tetapi masih berfluktuasi dengan bunyi lain. Bunyi hambat velar [g], [k] belum diucapkan secara tepat. Bunyi [k] baru dikuasai jika terletak pada tengah dan akhir kata. Bunyi frikatif [f] dan [v] dan bunyi getar [r] belum muncul dan dikuasainya. TPM melakukan pola substitusi untuk mengucapkan fonem-fonem yang belum dikuasainya, seperti fonem [f], [v], [z], dan [x]. Munculnya berbagai variasi dalam pemerolehan fonologi TPM sebagian besar disebabkan oleh belum sempurnanya alat ucap TPM. Penelitian masih terbuka untuk penelitian pemerolehan fonologi lebih lanjut karena pemerolehan bahasa TPM belum mencapai puncak. Namun dapat juga meneliti pemerolehan bahasa pada aspek bahasa lainnya. Kata-kata Kunci: pemerolehan bahasa, aspek fonologi, vocal, konsonan
CHILD LANGUAGE ACQUISITION : THE PHONOLOGICAL STUDY OF 2-2.5 YEARS OLD CHILDREN Abstrak: This article aims to explain child language acquisition 2--2.5 years of age phonological aspects which include the acquisition of vowels, consonants, and factors affecting the phonological acquisition. The research was conducted in Jakarta from August 2011 through February 2012 .The method used in this research was qualitative method with case study approach. Sources of data were obtained from TPM and these data were collected during six months of observation, diaries, and interviews. The findings in this article shows that TPM has mastered the phoneme [a], [i], [u], [e], [o], [∂], [є], and [Ο]. Vowel phonemes was mastered at the age of 2 years and 1 month. The first vowel that it controls is a vowel [a], [i] and [u], then the front vowel [i], [e], [ε], and then back vowel [u], [o], []כ, and vowel [∂], [a]. Double vowel sound that is not a diphthong also been mastered by the age of 2 years and 3 months, for example, [au], [ai] and [ue]. However, the original diphthong [au] and [ai] recently mastered at age 2 years and 6 months. Meanwhile, the consonant [p], [b], [t], [d], [s], [h], [c], [j], [m], [n], [ŋ], [l ], [w] and [y] mastered well. Consonant [t], [s], [c], [j] and [ŋ] has appeared, but still fluctuates with another sound. The sound resistor velar [g] and [k] are not pronounced properly. The sound [k] is mastered if located in the middle and end of words. Sound fricative [f] and [v] and trill [r] has not yet emerged and mastered. TPM perform substitution pattern to pronounce phonemes had not conquered, such as phonemes [f], [v], [z], and [x]. The appearance of a wide range of variation in her phonological acquisition largely is caused by the incomplete of her speech organ. Research is still open for further research the acquisition of phonology because language acquisition TPM has yet to reach the Summit. But it can also examine language acquisition on aspects of other languages Keywords: language acquisition, phonological aspects, vocal, consonants Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
131
Pemerolehan Bahasa Anak ...
PENDAHULUAN Pemerolehan bahasa (language acquisition) termasuk ke dalam ranah (domain) psikolinguistik, yaitu ilmu bahasa yang objeknya adalah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, perubahan bahasa, dan hal lain yang ada hubungannnya dengan aspekaspek tersebut. Pengetahuan bahasa bersangkut paut dengan masalah kognitif karena unsur bahasa yang diketahui dan dipahami sebenarnya berproses dalam otak. Pemakaian bahasa berkaitan dengan praktik pengetahuan bahasa, yaitu apa yang kita ketahui kita kemukakan dalam bentuk pemakaian bahasa. Sebagai bidang yang termasuk ke dalam ranah psikolinguistik, pemerolehan bahasa akhir-akhir ini berkembang secara cepat. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan pendangan tentang pengajaran dan pembelajaran bahasa, serta makin gencarnya konsep universal dalam pemerolehan bahasa. Pengajaran dan pembelajaran bahasa tidak hanya bertumpu pada pandangan bahwa bahasa itu adalah seperangkat kebiasaan sehingga penguasaannya harus melalui pembentukan kebiasaan tersebut, tetapi juga pada pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu diperoleh melalui pembentukan hipotesis berdasarkan masukan yang diterima pembelajar. Pemerolehan bahasa dapat berupa pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua atau ketiga. Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila kanak-kanak yang sejak semula tanpa bahasa kemudian memperoleh bahasa. Pemerolehan bahasa kedua terjadi apabila kanak-kanak atau orang dewasa yang telah menguasai bahasa pertama (bahasa ibunya), kemudian belajar bahasa kedua secara formal dan terencana. Pemerolehan bahasa pertama memiliki ciri kesinambungan dalam wujud suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang rumit. Kemampuan kanak-kanak untuk menerima bahasa sejalan dengan perkembangan biologis tubuhnya, khususnya yang berkaitan dengan bagian-bagian pengucapan. Itulah sebabnya perkembangan bahasa kanak-kanak yang satu dengan yang lainnya juga berbeda walaupun usianya sama. Hal yang manarik dalam perkembangan pemerolehan bahasa pada kanak-kanak adalah kecepatan pemerolehannya tidak sama, tetapi tahap-
132
tahapannya berlaku secara umum. Kajian tentang pemerolehan bahasa mencakupi antara lain pemerolehan fonologi, morfologi, sistaksis, dan semantik. Sebagai salah satu kajian pemerolehan bahasa, pemerolehan fonologi merupakan ranah penelitian yang penting karena dapat menentukan atau mempengaruhi teori-teoiri linguistik. Kajian-kajian fonologi yang membahas kerumitan, keteraturan, dan keterbatasan sistem bunyi umumnya dapat menjadi penyokong dan penentu teori-teori linguistik yang dihasilkan oleh pakarnya. Hal lain yang menjadikan ranah fonologi ini menarik untuk dikaji dalam pemerolehan bahasa kanak-kanak adalah karena pemunculan bunyi ini bersifat genetik. Dengan kata lain, munculnya suatu bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan kalender karena perkembangan biologi manusia tidak sama. Dengan demikian pemerolehan bahasa setiap anak pasti memiliki variasi. Berdasarkan uraian di atas tampaknya penelitian tentang pemerolehan bahasa perlu dilakukan lebih banyak dan lebih mendalam. Penelitian bahasa anak cukup banyak dilakukan peneliti lainnya, seperti penelitian pemerolehan bahasa anak yang dilakukan oleh Arfian Hikkmat Ramdan dari Pascasarjana Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitiannya terkait dengan pemerolehan aspek fonologis anak umur 3 tahun yang berinisial RA.Hasilnya bunyi frikatif [s] dan bunyi afrikat [c], bunyi afrikat berat [j], bunyi nasal alveopalatal [n], dan bunyi getar [r] belum dapat diucapkan sempurna. Bunyi diftong [a-u] dan [a-i] belum munculnya (https://www. academia.edu/8894228/). Selain itu, penelitian Kurniawan dari Universitas Mataram terhadap seorang anak berumur 2 tahun yang berinisial M diakses dari http://jlt-polinema.org/?p=843. Hasil penelitiannya menyatakan banyak bunyi bahasa M yang dilesapkan dan diubah. Selanjutnya penelitian Hakim Usman yang meneliti putrinya berinisial ZR berumur 4 tahun, tetapi yang dikaji adalah aspek sintaksis anak. Hasilnya bahwa dalam bertutur ZR sudah mengenal dialog, perkembangan fonologinya sudah berakhir, dan kalimat yang diujarkan ZR banyak berbentuk deklaratif (http://jlt-polinema.org/?p=848). Artikel ini membahas khususnya aspek fonologi TPM, anak penulis sendiri, pada usia
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan yang mencakupi pemerolehan vokal dan konsonan. Usia tersebut berada pada masa periode kritis (critical period) yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa, juga karena pada usia tersebut TPM sangat aktif berbicara dan selalu ingin tahu tentang sesuatu hal. Berdasarkan uraian di atas, artikel ini mendeskripsikan pemerolehan bahasa anak dilihat dari aspek fonologi atau sistem bunyi bahasa Indonesia. Masalah tersebut dibatasi pada hal-hal berikut: (a) bagaimana pemerolehan vokal pada anak usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan? (2) bagaimana pemerolehan konsonan pada anak usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan? (3) faktor apa yang mempengaruhi pemerolehan fonologi anak pada usia tersebut? Istilah pemerolehan (acquisition) berbeda dengan pembelajaran (learning). Krashen (1983: 1-2) mengatakan bahwa pemerolehan adalah proses ambang sadar yang identik dengan proses yang dilalui anak dalam memperoleh bahasa ibunya, pemeroleh bahasa biasanya tidak sadar bahwa ia tengah memperoleh bahasa, tetapi ia hanya sadar bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk komunikasi; sedangkan pembelajaran adalah proses sadar yang menghasilkan pengetahuan tentang bahasa. Pendapat yang hampir sama disampaikan Dardjowidjojo (2012: 225) yang mengatakan bahwa pemerolehan adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language), sedangkan pembelajaran merupakan proses dari orang yang belajar di dalam kelas dan diajar oleh seorang guru. S e m e n t a r a i t u , G a l i n k o ff ( 1 9 8 3 : 2 2 ) mengatakan bahwa ada dua pengertian yang perlu dipahami tentang pemerolehan bahasa. Pengertian pertama mengatakan bahwa pemerolehan bahasa mempunyai suatu permulaan yang tiba-tiba dan mendadak, sedangkan pengertian kedua mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pandangan yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Ellis (1985) yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa itu dilandasi oleh asumsi mengenai penguasaan bahasa yang bersifat bertahap (gradable) dan terkait unsur mengetahui (knowing).
Pandangan pakar di atas memperlihatkan bahwa pemerolehan bahasa merupakan proses yang berlangsung di dalam otak seseorang, terutama kanak-kanak, ketika dia memperolah bahasa pertamanya atau bahasa ibunya; sedangkan pembelajaran bahasa berkaitan dengan prosesproses yang terjadi pada waktu seseorang mempelajari bahasa kedua di lingkungan formal yang telah terencana. Pemerolehan bahasa pertama merupakan pemerolehan bahasa yang terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apapun sekarang baru mulai belajar bahasa untuk pertama kali (Klein, 1984: 6). Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performasi. Proses kompetensi merupakan proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara alamiah atau tanpa disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat terjadinya proses performansi yang terdiri atas proses pemahaman dan proses penghasilan. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi katakata atau kalimat yang didengar, sedangkan proses penghasilan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau mengahasilkan kata-kata atau kalimat. Sementara itu, Mukalel ( 2003) menyebutkan bahwa pemerolehan bahasa pertama adalah sekumpulan bahasa yang diperoleh anak sebelum usia sekolah. Pemerolehan bahasa pertama bersifat spontan, jarang dirancang dan direncanakan (Brown, 2007). Pemerolehan bahasa pertama terjadi secara alamiah. Ia menganggap bahwa biasanya pemerolehan bahasa pertama dikondisikan dengan memperkokoh hal yang bersifat primer seperti kebutuhan untuk mengkomunikasikan keinginan dan untuk membina hubungan afektif dengan orang tua. Jika dikaitkan dengan urutan pemerolehan, pengenalan anak dengan bahasa dapat terjadi melalui interaksi dengan orang tua, anggota keluarga lainnya, teman-teman sebaya di rumah atau di sekolah. Ketiga interaksi yang terjadi di dalam pemerolehan bahasa pertama itu kebanyakan terjadi secara alamiah Dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa pertama pada anak, Hamied (1989: 24-30), diilhami oleh Ellis, mengatakan bahwa usia, seks, kelas sosial, dan identitas etnis merupakan faktor sosial yang sangat berpengaruh. Lebih jauh ia menganggap bahwa faktor yang berpengaruh dalam
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
133
Pemerolehan Bahasa Anak ...
proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa pertama selain faktor eksternal juga faktor internal. Faktor eksternal meliputi faktor sosial dan faktor masukan atau interaksi; sedangkan faktor internal mancakupi faktor transfer, unsur kognitif, dan faktor semesta. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemerolehan bahasa pertama adalah suatu proses bagaimana anak memperoleh kemampuan bahasa ibunya secara alamiah sesuai dengan perkembangan kognitif, interaksi sosial, dan perkembangan linguistik anak itu sendiri. Pemerolehan fonologi merupakan salah satu bagian dari pemerolehan bahasa. Oleh karena itu, penelitian tentang pemerolehan fonologi tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian tentang pemerolehan bahasa yang lain (pemerolehan morfologi, sistaksis, dan semantik). Dale (1976:7) mengatakan bahwa ada dua faktor yang dapat diikuti jika kita ingin memahami perkembangan fonologi kanak-kanak. Pertama, kita dapat memusatkan perhatian pada sekumpulan bunyi-bunyi yang dipakai dan pada perkembangan perlahan-lahan dari kumpulan bunyibunyi. Kedua, kita dapat meneliti hubungan antara produksi ucapan si anak (representasi fonetiknya) dengan kata yang coba diucapkan si anak. Untuk kepentingan itulah, kita dapat merekam apa yang diucapkan si anak. Data yang diperoleh dari hasil rekaman ditranskripsikan, kemudian diamati dan dianalisis secara empiris. Lebih jauh Dale (1976:9) mengatakan bahwa jika seorang anak telah mengucapkan suatu kata dalam situasi komunikasi tertentu dan dapat dipahami oleh lingkungannya, maka disimpulkan bahwa anak tersebut telah menguasai bunyi bahasa tersebut. Sementara itu, Jakobson (1971: 8-20, dan dalam Dardjowidjojo, 2012) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa pada anak sejalan dengan konsep universal pemerolehan fonologi. Pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri dan diperoleh anak melalui suatu cara yang konsisten. Bunyi pertama yang dikuasai anak adalah kontras bunyi vokal dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal terdapat tiga vokal utama yang muncul terlebih dahulu, yaitu [i], [u], dan [a]. Sistem kontras seperti itu disebut sistem vokal minimal (minimal vokalic system) dan terdapat dalam semua bahasa. Artinya, dalam bahasa mana pun ketiga bunyi vokal tersebut pasti ada. Dalam hal bunyi konsonan kontras pertama yang muncul 134
adalah antara bunyi oral dengan bunyi nasal ([p-b], [m-n]) dan kemudian disusul oleh kontras antara bunyi bilabial dengan bunyi dental ([p], [t]). Sistem kontras seperti ini dinamakan sistem konsonantal minimal (minimal consonantal system). Lebih jauh Jacobson mengatakan bahwa hubungan antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain bersifat universal. Dengan demikian tampak bahwa pemerolehan bunyi-bunyi bahasa itu berlangsung secara berurutan. Vokal minimal akan diperoleh lebih awal daripada vokal-vokal lainnya; sedangkan konsonan hambat akan diperoleh lebih awal daripada konsonan frikatif, dan konsonan frikatif akan diperoleh lebih awal daripada afrikatif. Anak tidak mungkin dapat menguasai frikatif atau afrikat sebelum mereka menguasai konsonan hambat. Kontras antara bilabial [b] dengan dental [d] dikuasai lebih dahulu daripada antara bilabial [b] dengan velar [g] atau dental [d] dengan velar [g]. Kontras antara bilabial-dental [b-d] dikuasai sebelum frikatif [v-s]; bunyi hambat dan frikatif [b-d-v-s] dikuasai sebelum alveo-falatal [ts-dэ]. Hal itu sejalan dengan apa yang disampaikan Ingram (1999) yang menyatakan bahwa konsonan pertama yang dikuasai anak adalah [p], [t], [m], [n]. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bunyi bahasa pada kanakkanak berlangsung secara berurutan, yakni dari bunyi yang mudah ke bunyi yang sukar. Dalam pemerolehan fonologi, khususnya pemerolehan bunyi-bunyi, kanak-kanak mengikuti Kaidah Usaha Minimal (the Law of Least Efforts). Untuk mengetahui mudah atau sukarnya suatu bunyi, dasar yang digunakan adalah cara artikulasinya dan jumlah fitur distingtif yang ada pada masingmasing bunyi. Jika makin sukar artikulasi dan makin banyak fitur distingtifnya, makin belakangan bunyi itu dikuasai. Kent dan Miolo (dalam Dardjowidjono, 2012:268) mengatakan bahwa melalui saluran intrauterine anak telah terekspos pada bahasa ketika dia masih janin. Kata-kata ibunya yang dia dengar masuk ke janin secara biologis. Kata-kata tersebut mulai tertanam dan melekat pada anak sebelum dia dilahirkan. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa anak lebih dekat kepada ibunya darapada kepada ayahnya. Perkembangan bahasa anak yang dimulai sebelum dia dilahirkan itu sejalan dengan perkembangan pikiran, perasaan, sosial, dan lain-
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
lain. Oleh karena itu, bahasa anak pun telah memiliki fungsi komunikasi sebagaimana bahasa orang dewasa. Meskipun demikian, fungsi-sungsi bahasa itu masih sangat terbatas karena perkembangannya sangat bergantung pada kemampuan kognitif, usia, dan lingkungan. Bahasa anak memiliki beberapa tahapan. Bahasa anak pada tahap maraban pertama (pralinguistik I) ditandai dengan mendekur, menangis, atau menjerit. Tahap maraban kedua ditandai dengan letupan pola suku kata; tahap holofrastik (linguistik I) ditandai dengan ucapan-ucapan yang merupakan frasa atau kata-kata tertentu (biasanya pada anak usia 2 tahun). Tahap linguistik II ditandai dengan ucapan-ucapan dua kata. Tahapan linguistik III ditandai dengan perkembangan tata bahasa. Tahap liguistik IV ditandai dengan tata bahasa yang lebih rumit (menjelang dewasa). Sedangkan tahap kompetensi lengkap yang merupakan tahap akhir masa-masa kanak-kanak ditandai dengan struktur sintaksis yang mendekati bahasa ibunya (Tarigan, 1985:263-268). Sementara itu, Mackey (dalam Fishman, 1972) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa
pertama itu terjadi selama periode kritis (critical period), yaitu pada usia 2—12 tahun. Sehubungan dengan itu, ia menyusun kronologis perkembangan bahasa kanak-kanak. Pada usia 3 bulan, anak mulai mengenal suara manusia, ingatan sederhana mungkin sudah muncul, dan anak mulai tersenyum dan membuat suar-suar yang belum teratur. Pada usia 6 bulan anak sudah mulai bisa membedakan antara nada yang halus dan nada yang kasar, dan sudah mulai membuat vokal a...a...a. Pada usia 9 bulan, anak mulai bereaksi terhadap isyarat dan mulai mengucapkan bermacam-macam suara. Pada usia 12 bulan, anak bereaksi terhadap perintah dan gemar sekali membuat suara-suara. Pada usia 18 bulan, anak sudak mulai bisa mengikuti petunjuk, kosakatanya sudah mencapai dua puluhan, dan komunikasi dengan menggunakan bahasa sudah mulai tampak. Berdasarkan tahapan-tahapan pemerolehan bahasa tersebut tampaknya anak usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan yang menjadi subjek penelitian ini berada pada tahap keempat, yaitu tahap linguistik II.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Melalui metode kualitatif ini akan dideskripsikan pemerolehan dan perkembangan fonologi TPM pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan. Desain penelitian yang digunakan adalah longitudinal, yaitu dengan cara mengikuti perkembangan bahasa TPM dari suatu titik tertentu (2 tahun) sampai ke titik waktu yang lain (2 tahun 6 bulan). Sumber data utama penelitian ini adalah TPM pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan dan sumber data pendukung adalah orang tua TPM. Data ini dikumpulkan selama enam bulan melalui observasi, catatan harian, dan wawancara antara TPM dengan ayah dan bundanya, Bibi, Uni, dan Om. Hasil observasi dan wawancara
itu dicatat dan direkam. Data tersebut kemudian ditranskripsikan, lalu diamati dan dianalisis secara empiris. Selanjutnya data yang sudah diperoleh, diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. Jika si anak telah mengucapkan suatu kata dalam situasi komunikasi tertentu dan dipahami maknanya oleh lawan bicaranya, disimpulkan bahwa si anak telah menguasai bunyi bahasa tersebut. Selanjutnya data yang sudah diperoleh, diklasifikasikan berdasarkan kelompok pemerolehan fonologi dan dikaitkan dengan pandangan para ahli yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa mengikuti proses yang bertolak dari sesuatu yang mudah menuju ke yang lebih sukar, sehingga setiap anak pada dasarnya memperoleh elemen-elemen bahasa dengan mengikuti gradasi kesukaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan ini TPM tumbuh menjadi gadis cilik yang sehat, baik fisik maupun mental. Dalam kesehariannya selain berkomunikasi dengan orang tuanya, dia juga telah dapat berkomunikasi dengan orang lain,
seperti keluarga dari pihak ayahnya atau ibunya, tetangga, dan teman-teman seusianya. Selain itu, anak ini juga sering diajak ke tempat keluarga jika ada acara keluarga dan ke tempat bundanya mengajar, sehingga masukan perkembangan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
135
Pemerolehan Bahasa Anak ...
pemerolehan bahasanya cukup bervariasi. Pemerolehan Vokal Bunyi-bunyi vokal yang muncul berdasarkan pengamatan data yang diperoleh selama 6 bulan adalah sebagai berikut. Bunyi vokal [a] merupakan bunyi huruf pertama yang dikuasai TPM secara utuh. Bunyi tersebut muncul dan dilafalkan dengan jelas, baik yang terletak pada awal, tengah, maupun pada akhir kata. Bunyi vokal [a] di awal kata muncul seperti pada kata berikut. [a] [ada] ‘ada’ dan [Ayah] ‘Ayah’ Bunyi vokal [a] di tengah kata muncul seperti pada kata berikut. [a] [mana] ‘mana’ dan [Tatak] ‘Kakak’ Bunyi vokal [a] di akhir muncul pada kata berikut. [a] [apa] ‘apa’ dan [tsuka] ‘suka’ Bunyi vokal [i] muncul dan dilafalkan dengan jelas, baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir kata. Bunyi vokal [i] di awal kata muncul seperti pada kata berikut. [i] [itu] ‘itu’ dan [indomalet] ‘indomaret’ Bunyi vokal [i] di tengah kata muncul seperti pada kata berikut. [i] [bibi] ‘Bibi’ dan [sendili] ‘sendiri’ Bunyi vokal [i] di akhir kata muncul seperti pada kata berikut. [i] [beli] ‘beli’ dan [pelgi] ‘pergi’ Bunyi vokal [u] muncul dan dilafalkan dengan jelas, baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir kata. Bunyi vokal [u] di awal kata muncul seperti pada kata berikut. [u] [uni] ‘uni’ Bunyi vokal [u] di tengah kata muncul seperti pada kata berikut. [u] [butan] ‘bukan’ dan [buta] ‘buka’ Bunyi vokal [u] di akhir muncul seperti pada kata berikut. [u] [itu] ‘itu’ dan [mau] ‘mau’ Bunyi vokal [e] muncul dan dilafalkan dengan jelas, baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir kata. Bunyi vokal [e] di awal kata muncul seperti pada kata berikut. [e] [enam] ‘enam’ dan [emang] ‘memang’ Bunyi vokal [e] di tengah kata muncul seperti pada kata berikut. [e] [boneka] ‘boneka’ dan [dedek] ‘dedek/ adik’ Bunyi vokal [e] di akhir kata muncul seperti pada 136
kata berikut. [e] [e-e] ‘he-he’ Bunyi vokal [o] muncul dan dilafalkan dengan jelas, baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir kata. Bunyi vokal [o] di awal muncul pada kata berikut. [o] [om] ‘Om’ dan [oraη] ‘orang’ Bunyi vokal [o] di tengah kata muncul seperti pada kata berikut. [o] [bobok] ‘tidur’ dan [boneka] ‘boneka’ Bunyi vokal [o] di akhir muncul pada kata berikut. [o] [kado] ‘kado’ Bunyi vokal [∂ ] muncul dan dilafalkan dengan baik. Data yang diperoleh hanya pada suku pertama, seperti [∂ ] [b∂lum] ‘belum’ Bunyi vokal [ε] muncul dan dilafalkan dengan baik. Data yang diperoleh hanya pada suku terakhir, seperti [ε] [monεt] ‘monyet’ Bunyi vokal [ ]כmuncul dan dilafalkan dengan baik. Data yang diperoleh hanya pada suku terakhir, seperti [ ]כ [ijο] ‘hijau’ Bunyi vokal rangkap yang muncul adalah [au], [ai], [ue], dan [ua]. Bunyi vokal rangkap [au] muncul seperti pada kata berikut. [au] [tau] ‘tau’ dan [mau] ‘mau Bunyi vokal rangkap [ai] muncul seperti pada kata berikut. [ai] [naik] ‘naik’ dan [baik] ‘baik’ Bunyi vokal rangkap [ue] muncul seperti pada kata berikut. [ue] [kue] ‘kue’ Bunyi vokal rangkap [ue] muncul seperti pada kata berikut. [ua] [uaη] ‘uang’ Bunyi diftong yang muncul dilafalkan dengan vokal adalah [au] dan [ai]. Bunyi diftong [au] muncul seperti pada kata berikut. [au] [piso] ‘pisau’ Bunyi diftong [ai] muncul seperti pada kata berikut. [ai] [pake] ‘pake’ Berdasarkan uraian dan contoh data di atas dapat dikatakan bahwa TPM sudah menguasai semua vonem vokal bahasa Indonesia. Vokal [a], [i], [u], [e], dan [o] dilafalkan dengan baik meskipun terletak pada awal, tengah, atau akhir kata. Variasi alofonik untuk masing-masing bunyi sudah
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
ada, kecuali untuk [o] dan [e] yang merupakan wujud diftong [au] dan [ai]. Semua vokal bahasa Indonesia tersebut sudah dikuasai TPM pada saat berumur 2 tahun 1 bulan. Vokal pertama yang dikuasainya adalah vokal minimal, yaitu [a], [i], dan [u] sesuai yang dijabarkan oleh Dardjowidjojo, kemudian berkembang menguasai vokal depan [i], [e], [ε], vokal belakang [u], [o], []כ, dan vokal tengah [∂],[a]. Tampaknya variasi alofonik yang tidak begitu kentara dalam Bahasa Indonesia tidak menimbulkan masalah bagi TPM dalam melafalkan bunyi-bunyi vokal. Pada usia 2 tahun 3 bulan TPM telah mengusai urutan vokal yang tidak bersifat diftong seperti [a-i] pada baik. Deretan vokal [a-u] seperti pada bau, [e-a] seperti pada kecapaian, [i-a] seperti pada sialan, dan [i-i] seperti pada diikat juga dikuasainya pada usia tersebut. Akan tetapi, diftong asli [au] dan [ai] seperti pada kalau dan sungai baru dikuasai TPM pada usia 2 tahun 6 bulan; sedangkan diftong asli [כi] yang jarang kita temukan belum muncul dalam pelafalan TPM. Pemerolehan Konsonan Pemerolehan bunyi kosonan TPM pada usia 2 tahun 5 bulan ini tidak semudah dia memahami pemerolehan bunyi vokal. Bunyi letupan bilabial [p] dan [b] dilafalkan dengan jelas, baik yang terdapat di awal, di tengah, maupun di akhir kata seperti pada data berikut. [p] [peldi] ‘pergi’ dan [dapat] ‘dapat’ [b] [Bunda] ‘Bunda’ dan [bilu] ‘biru’ Bunyi nasal bilabial [m] dan lamino-alviolar [n] dilafalkan dengan jelas, baik yang terdapat di awal, di tengah, maupun di akhir kata seperti pada data berikut. [m] [mana] ‘ke mana’ dan [mau] ‘mau’, [lumah] ‘rumah’ [n] [boneta] ‘boneka’ dan [Bunda] ‘Bunda’ Bunyi hampiran bilabial [w] dan lamino palatal [y] dilafalkan dengan jelas, baik yang terdapat di awal, di tengah, maupun di akhir kata seperti pada data berikut. [w] [walna] ‘warna’ dan [awas] ‘awas’ [y] [Ayah] ‘Ayah’ Bunyi letupan lamino-alveolar [t] dan [d] dilafalkan dengan jelas, baik yang terdapat di awal, di tengah, maupun di akhir kata seperti pada data berikut. [t] [telus] ‘terus’ dan [nanti] ‘nanti’ [Adit] ‘Adit’ [d] [Dedek] ‘Dedek’ dan [Saudara]
‘Saudara’ Bunyi letupan dorso-velar [g] yang terletak di tengah dilafalkan dengan bunyi lamino-alviolar [d], tetapi jika bunyi terletak di awal dan akhir kata dilafalkan dengan baik seperti pada data berikut. [d] [om Adus] ‘om Agus’ dan [badus] ‘bagus’ [g] [gajah] ‘gajah’ Bunyi letupan dorso-velar [k] yang berposisi di awal atau di tengah kata dilafalkan dengan bunyi lamino-alveolar [t], tapi jika bunyi tersebut terletak di akhir kata dilafalkan [k] seperti pada data berikut. [t] [temali] ‘kemari’ dan [tuda] ‘kuda’ [tue] ‘kue’ [buta] ‘buka’ [matan] ‘makan’ dan [belataη] ‘belakang’ [k] [Tatak] ‘Kakak’ Pada usia 2 tahun 5 bulan bunyi [k] yang terletak di tengah sudah dilafalkan dengan benar, misalnya kakak dilafatkan [takak]. Bunyi afrikat palatal [c] jika terletak di awal kata dilafalkan dengan tepat, tetapi jika bunyi tersebut terletak di tengah dilafalkan dengan [t] seperti data berikut. [t] [cutup] ‘cukup’ dan [celita] ‘cerita’ [c] [kuting] ‘kucing’ Bunyi afrikat palatal [j] kadang-kadang dilafalkan dengan baik dan kadang-kadang dilafalkan hambat labiodental [d] seperti pada data berikut. [j] [juda] ‘juga’ dan [ijo] ‘hijau’ [d] [daηan] ‘jangan’ Bunyi frikatif lamino-alviolar [s] kadang-kadang dilafalkan dengan jelas dan kadang-kadang dilafalkan menjadi hambat labiodental [t], dan bunyi frikatif [z] dilafalkan [j] seperti pada data berikut. [s] [masih] ‘masih’ dan [tampus] ‘kampus’ [t] [tsuka] ‘suka’ dan [tekolah] ‘sekolah’ [j] [Jali] ‘Rozali’ Bunyi frikatif glotal [h] muncul jika pada akhir kata seperti pada data berikut. [h] [udah] ‘sudah’ dan [lumah] ‘rumah’ [melah] ‘merah’ dan [tuh] ‘tuh/itu’ [nih] ‘nih/ini’ Bunyi frikatif glotal [h] tidak muncul jika pada awal kata seperti pada data berikut. [itam] ‘hitam dan [ampil] ‘hampir’ [abis] ‘habis’ Bunyi nasal lamino-palatal [n?] dilafalkan menjadi nasal lamino-alveolar [n] seperti pada data berikut.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
137
Pemerolehan Bahasa Anak ...
[puna] ‘punya’ dan [nani] ‘nyanyi’ Bunyi nasal dorso-velar [ŋ] pada suku kata akhir diucapkan dengan jelas seperti pada data berikut. [ŋ] [waluŋ] ‘warung’ dan [kuniŋ] ‘kuning’ Bunyi getar [r] belum muncul. Oleh karena itu, bunyi tersebut dilafalkan dengan bunyi sampingan atau lateral [l] seperti pada data berikut. [balu] ‘baru’ dan [bilu] ‘biru’ [lumah]‘rumah’ Pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan ini tampaknya ada konsonan yang telah dikuasai TPM dengan baik dan dilafalkan dengan jelas; ada pula konsonan yang telah dikuasai tetapi masih berfluktuasi dengan bunyi lain dan bahkan ada bunyi yang sama sekali belum dikuasainya. Meskipun demikian, dalam mengucapkan fonemfonem tertentu hasil observasi memperlihatkan bahwa TPM sering melakukan pola substitusi. Pola substitusi yang muncul adalah sebagai berikut. Getar menjadi lateral, misalnya [rumah] → [lumah] [lari] → [lali] Alveopalatal nasal menjadi dental nasal, misalnya [ñañi ] → [nani] [ñapu] → [napu] Velar hambat berat menjadi bilabial hambat, misalnya [bagus] → [badus] [gatal] → [datal] Velar nasal pada awal dan tengah suku kata menjadi dental nasal, misalnya [buŋa] → [bunga] [ŋumpet] → [numpet] Labiodental frikatif ringan pada awal suku kata menjadi bilabial hambat ringan, misalnya [fanta] → [panta] Dental frikatif ringan pada awal suku kata menjadi dental stop ringan atau dental frikatif ringan, misalnya [sekolah] → [tetolah] [susu] → [tsutsu] Berdasarkan uraian dan contoh data di atas tampaknya TPM sudah menguasai bunyi konsonan [p], [b], [t], [d], [h], [m], [n], [l], [w], [y], [k], [s], [η] pada umur 2 tahun 1 bulan. Bunyi [k], [s], [η] hanya dikuasai TPM jika terletak pada akhir kata. Pada usia tersebut TPM belum menguasai bunyi velar hambat ringan (voiceless velar stop), [k], jika terletak pada tengah dan akhir kata. Bunyi tersebut baru dikuasai TPM setelah berusia 2 tahun 5 bulan. 138
Bunyi velar hambat berat (voice velar stop), [g], masih sering diucapkan dengan [d], terutama jika muncul pada tengah seperti Adus ‘Om Agus’, tetapi jika terletak di awal dilafalkan dengan [g] seperti gatal. Bunyi frikatif [s] pada awal kata masih sering diucapkan sebagai [t] atau [ts], tetapi pada akhir kata dilafalkan dengan frikatif [s]. Pada usia 2 tahun 6 bulan bunyi afrikatif ringan [c] telah dilafalkan dengan baik seperti pada coba, dan menjelang usia 2 tahun 6 bulan bunyi-bunyi tersebut semakin jelas dan dilafalkan dengan baik. Sampai usia 2 tahun 6 bulan ini tampaknya TPM belum dapat melafalkan gugus konsonan, kecuali [mb] dan [ηg] pada kata mbak dan nggak. Gugus konsonan tersebut semuanya dilafalkan dengan konsonan tunggal. Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Fonologi Hasil observasi memperlihatkan munculnya berbagai variasi dalam pemerolehan fonologi sebagian besar disebabkan oleh belum sempurnanya alat ucap TPM. Meskipun penulis telah mencoba memancing (reatrive) konsonan yang belum muncul dalam pelafalannya, TPM tetap tidak mampu mengucapkan konsonan tersebut. Hal itu tampaknya sejalan dengan pendapat Lenneberg yang menyatakan bahwa perkembangan bahasa anak mengikuti perkembangan biologis yang tidak dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat dipaksa atau dipacu untuk mengujarkan sesuatu bila kemampuan biologisnya belum memungkinkan. Sebaliknya, bila seorang anak secara biologis dapat mengujarkan sesuatu, dia tidak dapat pula dicegah untuk tidak melafalkannya. Faktor lain yang berpengaruh dalam pemerolehan fonologi TPM adalah stimulus dari keluarga atau lingkungan sekitarnya. Beberapa data yang berhasil penulis peroleh memperlihatkan bunyi-bunyi tertentu muncul melalui peniruan (immitative speech), seperti pelafalan diftong [au] dan [ai] pada kata kata kalau, kerbau, dan pakai yang belum muncul dilafalkan TPM dengan [kebo], [kalo], dan [pake]. Tidak atau belum munculnya diftong-diftong ini tampaknya tidak saja disebabkan oleh kesulitan artikulasi, tetapi juga karena masukan yang diterima TPM memang sering berupa monoftong. Penutur disekitar TPM dalam kesehariannya memang melafalkan bunyi-bunyi tersebut sebagai monoftong ([kebo], [kalo], dan [pake]) sehingga dapat dipahami jika TPM juga melafalkannya dengan bunyi-bunyi monoftong pula.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
Penguasaan bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang telah dicapai TPM pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan dapat dilihat pada bagan vokal dan konsonan berikut. Fonem yang telah dikuasai ditulis dengan huruf biasa, yang masih berfluktuasi ditulis dengan huruf miring, dan yang belum dikuasai ditulis di dalam tanda kurung. Gambar 1 berikut adalah bagan vokal.
Tabel 1. Penguasaan Bunyi Konsonan TPK Cara Artikulasi Hambat
LabioDental
P b
t d (f) (v)
Alveolar
AlveoPalatal
s (z)
Afrikatif
Velar
Glotal
(k) (g)
?
(x)
H
c j M
N
(ñ)
Lateral
L
Getar
(r)
Semi Vokal
Bagan pada gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa TPM telah menguasai fonem [a], [i], [u], [e], [o], [∂], [є], dan [ο]. Semua fonem vokal Bahasa Indonesia itu dikuasai TPM pada usia 2 tahun 1 bulan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah menguasai fonem vokal dengan baik. Artinya, orang tidak akan kesukaran memahami vokal mana yang dimaksud TPM. Vokal pertama yang dikuasainya adalah vokal minimal, yaitu [a], [i], dan [u], kemudian berkembang menguasai vokal depan [i], [e], [ε], vokal belakang [u], [o], []כ, dan vokal tengah [∂], [a]. Bunyi vokal rangkap yang tidak bersifat diftong juga telah dikuasai pada usia 2 tahun 3 bulan, misalnya [au] pada [tau] ‘tau’ dan [ai] pada [baik] ‘baik’; [ue] pada [kue] ‘kue’. Akan tetapi, diftong asli [au] dan [ai] baru dikuasai TPM pada usia 2 tahun 6 bulan; sedangkan diftong asli [כi] yang jarang kita temukan belum muncul dalam pelafalan TPM sehingga dilafalkan dengan [e], misalnya [ai] pada ‘pakai’ dilafalkan [pake]. Penguasaan bunyi konsonan TPM tampaknya tidak semudah penguasaan bunyi vokal. Ada bunyi konsonan yang telah dikuasainya; ada yang masih berfluktuasi dengan bunyi lain; dan bahkan ada bunyi (bunyi [r]) yang belum pernah dapat dia ucapkan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 1 berikut.
Bilabial
Frikatif
Nasal
Gambar 1. Bagan vokal
Daerah Artikulasi
W
y
Bagan konsonan di atas memperlihatkan bahwa fonem yang sudah dikuasai TPM dengan baik adalah [p], [b], [t], [d], [s], [h], [c], [j], [m], [n], [ŋ], [l], [w], dan [y]. Bunyi letupan bilabial [p] dan [b], bunyi nasal bilabial [m] dan lamino-alviolar [n], bunyi hampiran bilabial [w] dan lamino palatal [y], dan bunyi letupan lamino-alveolar [t] dan [d] dilafalkan dengan jelas. Konsonan yang sudah muncul tetapi masih berfluktuasi dengan bunyi lain adalah [t], [s], [c], [j], dan [ŋ]. Jika bunyi frikatif lamino-alviolar [s] terletak pada akhir kata, diucapkan TPM dengan jelas. Akan tetapi, jika bunyi tersebut terletak pada awal suku kata, sering diucapkan [t] atau [ts], misalnya [abis] pada [habis] ‘habis. Bunyi afrikatif berat [j] ada juga yang dilafalkan sebagai [d], misalnya [daηan] pada [jangan] ‘jangan’. Bunyi hambat velar [g] masih diucapkan sebagai hambat labiodental [d], dan hambat velar [k] dilafalkan dengan hambat labiodental [t], misalnya [badus] pada [bagus] ‘bagus’, [tamal] pada [kamar] ‘kamar’. Bunyi velar hambat ringan (voiceless velar stop), [k] baru dikuasai jika terletak pada tengah dan akhir kata pada berusia 2 tahun 5 bulan. Pada usia 2 tahun 5 bulan bunyi afrikatif ringan [c] telah dilafalkan dengan baik seperti pada coba, dan menjelang usia 2 tahun 6 bulan bunyi-bunyi tersebut semakin jelas dan dilafalkan dengan baik. Bunyi frikatif [f] dan [v] belum muncul dan dikuasai TPM dengan baik sehingga dilafalkan dengan [p] seperti [panta] pada [fanta] ‘fanta’ dan [pas] pada [vas] ‘vas bunga’. Bunyi frikatif [x] tidak ditemukan di dalam data sehingga dinggap belum muncul. Bunyi getar [r] yang belum muncul dilafalkan dengan bunyi lateral [l], misalnya [bilu] pada [biru] ‘biru’. Kemampuan TPM melafalkan fonem [f], [v], [z], dan [x] belum
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
139
Pemerolehan Bahasa Anak ...
kelihatan karena karena frekuensi penggunaannya dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. TPM melakukan pola substitusi untuk mengucapkan fonem-fonem tertentu. Penggantian pola yang muncul mengukiti pola kedekatan fonetik (phonetic
proximile), yaitu suatu bunyi diganti oleh bunyi lain yang secara fobetis berdekatan. Misalnya, bunyi getar menjadi lateral seperti [rumah] menjadi [lumah].
PENUTUP Kesimpulan Secara umum pemerolehan fonologi TPM mengikuti urutan yang sifatnya universal sesuai dengan teori pemerolehan bahasa. Konsep universal Jakobson (dalam Dardjowijojo, 2012: 238) ditemukan dalam pemerolehan fonologi TPM, baik dalam pemerolehan vokal maupun konsonan. Dalam hal bunyi vokal terdapat tiga vokal utama yang muncul terlebih dahulu, yaitu [i], [u], dan [a]. Sistem kontras seperti ini disebut sistem vokal minimal dan terdapat dalam semua bahasa. Dalam hal konsonan, hambat dikuasai sebelum frikatif, dan frikatif dikuasai sebelum afrikat. Bunyi nasal dimulai dari nasal bilabial [m], kemudian diikuti nasal velar [n]. Pemerolehan konsonan hambat dimulai dari bilabial ke alveolar, kemudian ke velar. Bunyi lateral [l] sudah dikuasai, sedangkan bunyi getar [r] belum. Bunyi likuid yang berupa lateral [l] muncul terlebih dahulu setelah bunyi hambat ringan, sedangkan bunyi [r] belum muncul karena diduga lebih sulit mengucapkannya. Hal itu memperlihatkan bahwa dalam pemerolehan fonologi juga mengikuti gradasi kesukaran fonologis.
Pemerolehan fonologi TPM sangat dipengaruhi (sejalan dengan) perkembangan biologisnya. Misalnya, karena kondisi alat ucap atau posisi lidahnya masih terbatas (belum lengkap) sehingga ia belum menguasai bunyi getar [r]. Selain itu, pemerolehan fonologi juga dipengaruhi oleh stimulus dari keluarga atau lingkungan. Misalnya disftong [au] dan [ai] pada kata [kalau] dan [pakai] dilafalkan TPM dengan [kalo] dan [pake]. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, terdapat beberapa saran. Pertama, pemerolehan bahasa anak selain factor fisik juga ditentukan oleh stimulus dari keluarga dan lingkungan. Oleh sebab itu, bagi orang tua yang ingin pemerolehan bahasa anaknya sesuai dengan perkembangan fisik, bahkan melampaui harus selalu diberi stimulus oleh orang tua dan lingkungan. Dengan demikian, pengaruh faktor eksternal berperan penting. Kedua, penelitian ini masih terbuka luas dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya, karena pemerolehan bahasa setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Selain itu, aspek penelitian pemerolehan bahasa anak juga beragam, yaitu dari aspek fonologi, sintaksis, morfologis, semantic, dan lain-lain
DAFTAR PUSTAKA Bomerman, Melissa.,& Lavinson, S. C. (2001). Language acquisition and conceptual development. New York: Cambridge University Prass. Brown, D.( 2007). Principles of learning and teaching. New Jersey: Printice Hand Reagent. Dale, P.S. (1976). Language development: Structure and fuction. New York. Holt, Rinehart, and Watson. Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik: Pengantar pemahaman bahasa manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ellis, R. (1985). Understanding second language acquisition. London: Axford University Press.
140
Flecher, Paul.,& Garmen, M. (1997). Language acquisition. New York: Cambridge University Press. Galinkoff, R. M. (1983). The transition from prelinguistik to linguistic communication. Millsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Association Publishers. Hamied, F. A. (1989). Keterpelajar(i)an dalam konteks pemerolehan bahasa. Dalam PELLBA 2. Jakarta: Penerbit Kanisius. Ingram. (1999). Phonological acquistion in the development (ed.) United Kongdom: Psycology Press. Jacobson, R. (1971). Studies on child language and
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
aphasia. The Hauge: Mouton Publishers. Kent, R.D.,& Miolo, G. (1995). Phonetic abilities in the first year of life. Dalam Fletcher dan Mac Whinney 1995. Klein. (1984). Learning to stress. Journal of Child Language 11: 375-93/191. Indiana University. Kurniawan. Studi kasus pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun hasil pernikahan pasangan beda daerah: Kajian fonologi (Fonetik Artikulatoris). Diakses tanggal 14 Okteber 2016. http://jltpolinema.org/?p=843 Krashen, S.,& T. Terrell, (1983). The natural approuch: Language acquistion in the classroom. Oxford: Pergemon.
Mukalel, J. C.( 2003). Psychology of language learning. New Delhi: Discovery Publishing House Pinker, S. (2004). Language acquisition. http://www. scs.soton.ac.uk/-harnad/Papers/Py104/Pinke. langaca.html. Ramdan, A. H. Pemerolehan fonologi umur 3 tahun. Diakses 14 Oktober 2016. https://www. academia.edu/8894228/ Tarigan, H. G. (1988). Pengajaran pemerolehan bahasa. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Usman, H. (2016). Studi pemerolehan bahasa anak usia 4 tahun. Diakses 14 Oktober 2016. http:// jlt-polinema.org/?p=848
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
141
Pemerolehan Bahasa Anak ...
142
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN KESETARAAN Sutjipto e-mail:
[email protected] Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Litbang, Kemdikbud Jl. Gunung Sahari Raya, Nomor 4A, Jakarta Pusat
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengungkap bagaimana pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum mendesain kurikulum pendidikan kesetaraan. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data utama dikumpulkan dengan kuesioner dan diskusi kelompok terpumpun. Teknik analisis data menggunakan statistika deskriptif, yaitu penggambaran data dengan pola deskripsi. Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 sampai dengan Juni 2016, dengan sampel pendidik dan tenaga kependidikan dari tiga pusat kegiatan belajar masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, pembuat kebijakan dan pengembang masih menempatkan bahwa mendesain dan mewujudkan kurikulum pendidikan kesetaraan belum menjadikan prioritas utama, tetapi menunggu pendidikan formal terlebih dahulu. Kedua, pembuat kebijakan dan pengembang belum menghadirkan penanda kebijakan konkret berkait aspek fundamental kompleksitas dan konteks realitas yang merepresentasikan kepentingan bersama warga bangsa yang terejawantahkan dalam kurikulum sebagai alat menapaki kehidupan. Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan belum membekali pengetahuan dan kompetensi sebagai prasyarat bekerja dan juga belum kuat mendorong sikap integritas, kerja keras, disiplin, gotong royong, kemandirian, nasionalisme serta keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Keempat, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan belum menggambarkan instrumen menghadapi masalah putus sekolah dan memecahkan masalah sosial-ekonomi yang diorientasikan pada kecakapan hidup guna memasuki kehidupan. Kata-kata kunci: kurikulum, kesetaraan, pengembangan
EQUALITY EDUCATION CURRICULUM DEVELOPMENT Abstract: The purpose of this research is to reveal how policy-makers and curriculum developers to design educational curriculum equality. This type of research is qualitative descriptive. The main data were collected by questionnaires and group discussions terpumpun. Data were analyzed using descriptive statistics, namely the depiction of the data with the pattern description. The study was conducted in November 2015 until June 2016, with a sample of teachers and education staff of three learning centers. The results showed. First, policy makers and developers are still putting that designing and realizing equality education curriculum has not made a top priority, but are waiting for formal education first. Second, policy makers and developers have not presenting concrete policy markers related complexity and context of the fundamental aspects of reality which represents the common interests of citizens of the nation that terejawantahkan in the curriculum as a tool tread life. Third, the design of educational curricula equality has not equip knowledge and competence as a prerequisite to work and also not strong attitudes toward integrity, hard work, discipline, mutual cooperation, independence, nationalism and specialized skills to solve the problem of life. Fourth, equal education curriculum design not describe the instruments to face the problem of dropouts and solve socio-economic problems oriented towards life skills in order to enter the life. Keywords: curriculum, equality, development
PENDAHULUAN Pada pertengahan tahun 2016 lalu memberi penguatan kegelisahan penulis selama ini, berkaitan dengan kebijakan pengembangan kurikulum antara
pendidikan formal dan pendidikan nonformal, khususnya untuk pendidikan kesetaraan yang masih terdapat perbedaan perlakuan, ditinjau dari
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
143
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
prosesnya. Terdapat tiga rentetan peristiwa yang menjadi rujukannya. Pertama, pada tahun 1999 seiring dengan telah tersusunnya potret Kurikulum 1994-hasil studi- dilakukanlah kajian dan analisis berbagai dokumen kurikulum (pendidikan formal) manca negara, kajian literatur, analisis regulasi, studi banding ke berbagai negara, dan diskusi dengan para ahli serta seminar digelar. Hasilnya, tersusunlah seperangkat kurikulum yang populer disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam proses penyusunannya, mulai tahun 2000/2001 KBK telah diimplementasikan secara terbatas melalui piloting (masyarakat menyebutnya “uji coba”). Bagaimana dengan pengembangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan ? Baru awal tahun 2003-an (empat tahun kemudian) pemikiran dan proses pengembangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan dimulai. Kedua, pada saat KBK ditata ulang, dan tahun 2005 keluar Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) (PP No. 19 Tahun 2005) maka konfigurasi kurikulum juga berubah. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa Pemerintah tidak akan mengeluarkan “kurikulum”, namun yang dikeluarkan adalah standarisasi. Sedangkan “kurikulum” akan diserahkan ke tingkat satuan pendidikan (sekolah), yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kemudian, pada tanggal 23 Juni tahun 2006 ditetapkanlah dua standar dan pelaksanaannya, yaitu: 1) Standar Isi (SI) untuk pendidikan formal (Permendiknas No. 22/2006), 2) Standar Kompetensi Lulusan (SKL) (Permendiknas No. 23/2006), dan 3) pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23 (Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 ). Setelah itu, pada tanggal 18 April 2007 (satu tahun kemudian) standar isi untuk program paket A, B, dan C diundangkan (Permendiknas No. 14/2007). Ketiga, pengembangan Kurikulum 2013 yang dimulai sekitar akhir tahun 2010-an dan telah diimplementasikan secara terbatas pada tahun 2013, bahkan pada akhir tahun 2014 hingga 2015 ini telah memasuki masa perubahan dan pemutakhiran. Kemudian, hasil pemutakhiran kurikulum tersebut telah diimplementasikan pula pada tahun ajaran 2016/2017. Sementara itu, pengembangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan dengan ide, perancangan, dan pendekatan yang sama hingga bulan Agustus 2016 belum ada kepastian. Dari tiga siklus pengembangan kurikulum pendidikan 144
tersebut dapat dimaknai bahwa terdapat beda perlakuan penggarapan oleh pembuat kebijakan antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pertanyaannya, apa mesti seperti itu perlakuan terhadap kepentingan peserta didik yang memiliki misi yang sama, yaitu untuk membangun peradaban bangsa?. Disadari sepenuhnya oleh penulis bahwa dalam waktu bersamaan, dan dengan sumber daya yang terbatas akan sulit mengerjakan suatu pekerjaan pengembangan kurikulum yang mencakup semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Kondisi seperti ini terkadang masih ditambah kerumitan oleh adanya “kemauan” pembuat kebijakan yang cenderung mendorong pengerjaaan pengembangan kurikulum untuk pendidikan formal dikerjakan terlebih dahulu daripada yang lainnya. Dengan demikian, pengembangan kurikulum untuk pendidikan lainnya, seperti nonformal cenderung dikerjakan berikutnya. Fenomena seperti itu akan semakin sulit diterobos manakala personal pembuat kebijakan juga memiliki kepekaan yang kurang terhadap modus pengembangan kurikulum jalur pendidikan nonformal, seperti layaknya kurikulum pendidikan kesetaraan. Berkait dengan itu, Chin, et al. (2014) dalam kajiannya tentang bagaimana secara psikologi sosial dan dinamika kelompok membantu dalam pengembangan kurikulum memberi gambaran, bahwa dinamika interpersonal pengembang di departemen pengembangan merupakan orangorang pertama yang menjadikan hambatan, dan biasanya paling sulit untuk diatasi. Hasil kajian ini memberi gambaran bahwa masalah prioritas kebijakan pengembangan kurikulum memang multikompleks, dan posisi latar belakang seseorang sangat mempengaruhi pengambilan sebuah keputusan. Padahal, ketika pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan untuk program paket (A, B, dan C) dijadikan sebuah strategi dalam ranah pengembangan dan pembangunan sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, maka pekerjaan tersebut menjadi sarat makna. Sarat makna karena pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan akan membawa misi, di antaranya harus meluas (broad) sehingga peserta didik memungkinkan memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan pengalaman dalam pembelajaran tentang beragam kompetensi yang mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
dan nilai yang berkaitan dengan kehidupan seperti membangun akhlak mulia, budi pekerti luhur, etika, estetika, kinestetika, logika, mandiri, kreatif, tanggung jawab, demokratis, sehat, dan cakap. Dalam kerangka pikir pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan seperti itu, ijazah atau setifikat sejatinya bukanlah hal yang penting. Keluaran dari pendidikan kesetaraan adalah dimilikinya sikap/kepribadian, wawasan, keterampilan dan/atau kompetensi untuk bisa melaksanakan tugas kehidupan sebagaimana diharapkan oleh orangtua/keluarga, masyarakat, negara, dan agama. Satu sisi, pengembangan kurikulum sebagaimana diungkap di atas yang masih sarat ketimpangan, pada sisi yang lain berkait dengan sosialisasi, persebaran, pendidikan dan pelatihan bagi guru/pendidik/tutor, pendampingan implementasi, maupun monitoring dan evaluasi juga tidak kalah senjangnya. Berikut gambaran dinamikanya. Pertama, pada era KBK, sekitar awal tahun 2000-an hingga tahun 2002 di mana KBK telah ditemukan ide, rancangan, struktur kurikulum, pendekatan pembelajaran, dan hasil belajar untuk jalur pendidikan formal, maka pada saat itu dapat dikatakan bahwa di seantero Nusantara saban hari tiada kegiatan lain selain sosialisasi KBK. Bentuk sosialisasi ada yang terstruktur oleh unit utama, ada dari dinas pendidikan provinsi, ada dari penerbit buku, ada dari organisasi profesi, bahkan ada pula dari perguruan tinggi. Kedua, setelah diundangkannya SI untuk pendidikan formal (sekolah) tidak sampai hitungan bulan, kegiatan sosialisasi, kegiatan penyebarluasan konsep, rancangan, dan implementasi standar tersebut tidak kalah hebohnya dengan KBK. Bahkan, Mendiknas Bambang Sudibyo (kala itu) sampai membentuk tim khusus untuk merancang standar materi sosialisasi secara nasional agar tidak terjadi bias informasi kebijakan. Penyebarluasan kurikulum pendidikan formal itu sangat masif, bergelombang, mencakup semua lini institusi, bahkan berlangsung hingga akhir tahun 2010-an. Bagaimana dengan hasil kurikulum pendidikan kesetaraan untuk program paket? Apakah terdapat kegiatan seperti itu? Misalnya, untuk sosialisasi, persebaran Permendiknas Nomor 14 Tahun 2007 tentang Standar Isi untuk Program Paket A, B, dan C. Jawabannya adalah ada, tetapi seadanya. Bahkan, dalam berbagai pertemuan dengan komunitas tutor (dalam bentuk sosialisasi), penulis
sering memperoleh pertanyaan, mengapa sosialisasi kurikulum untuk pendidikan kesetaraan sepertinya tidak ada? Mengapa dalam kegiatan sosialisasi di ibu kota provinsi hanya sekitar 4 orang yang diundang mewakili kabupaten/kota? Bagaimana pelaksana di lapangan menyikapi apa, mengapa, dan bagaimana konteks perancangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan? Ketiga, memasuki era Kurikulum 2013, bukan sekadar sosialisasi yang diluncurkan, tetapi lebih dari itu, bahkan pendidikan dan pelatihan bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah yang akan mengimplementasikan merupakan keharusan. Agenda pelatihan dirancang secara khusus, yaitu 72 jam pelajaran untuk tenaga kependidikan, dan 52 jam pelajaran untuk guru. Pelaksana pelatihan ditangani secara khusus, oleh unit utama, dan dilaksanakan secara berjenjang/bertingkat, menyasar sekolah sasaran, menyasar semua pemangku kepentingan pelaksana kurikulum, dan berlaku secara nasional dengan orang-orang yang terlibat sebagai instruktur dipilih secara nasional. Hal itu dilakukan karena pembuat kebijakan memberi penekanan bahwa guru dan kepala sekolah tidak boleh mengimplementasikan Kurikulum 2013 apabila belum mendapat pelatihan tentang ruh kurikulum tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa begitu “gegap gempitanya” persiapan pengimplementasian kurikulum tersebut. Dampaknya, di lapangan tak kalah hebohnya. Karena muncul beragam predikat, seperti kabupaten/ kota sasaran, sekolah sasaran, narasumber nasional, guru inti, guru sasaran, kabupaten/kota mandiri, dan sekolah mandiri. Belum lagi urusan dengan buku teks pelajaran. Begitu pula perlakuan terhadap hasil pemutakhiran Kurikulum 2013, yang diimplementasikan mulai tahun 2016, pola pelatihannya pun kepada guru juga dirancang lebih kurang sama, ada narasumber nasional, instruktur nasional, instrukur provinsi, instruktur kabupaten/kota, dan guru sasaran. Kebijakan yang menyertainya juga sama, yaitu guru dan kepala sekolah harus dilatih terlebih dahulu sebelum mengimplementasikan Kurikulum 2013, agar mereka paham. Pemahaman terhadap desain kurikulum oleh guru, diibaratkan bagai bayangan cermin dari praktik mengajar yang berkualitas (Hollins, 2011). Sementara itu, bagaimana perlakuan pembuat kebijakan kurikulum pendidikan kesetaraan untuk program paket A, B, dan C yang draft perancangannya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
145
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
juga berlabel Kurikulum 2013, tampaknya sepi dan senyap, bahkan nyaris tak terdengar. Dari tahun ke tahun (sejak 2013) tercermin sepinya agenda kegiatan, apakah itu proses pengembangan atau penyusunan konten mata pelajaran maupun kegiatan sosialisasi kebijakan, baik yang dirancang dan dilakukan oleh pusat maupun daerah. Padahal keberhasilan perancangan dan penyebarluasan kurikulum, merujuk hasil penelitian Bindler, et al. (2012) komponen penting dari keberhasilan pengembangan, implementasi, dan evaluasi program kurikulum, intervensi siswa sekolah menengah di Teen Makan dan Aktivitas Mentoring adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, menerapkan kurikulum yang memenuhi karakteristik kontekstual, dan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, evaluasi, dan memperbaiki program. Hasil studi ini memberi makna bahwa suatu kebijakan kurikulum manakala kurang dilakukan sosialisasi dan pelatihan kepada pengguna akan berdampak pada kurang dipahaminya ide, dan desain kurikulum secara menyeluruh. Berkait dengan itu, simpulan kajian Sutjipto (2016) lebih kurang juga sama, yaitu bahwa pelatihan pengimplementasian Kurikulum 2013 bagi guru merupakan perhelatan seni mengolah berbagai tujuan untuk menyelaraskan kebijakan yang diprogramkan melalui ajang berbagi guna mewujudkan pemahaman bersama yang ideal terhadap ide, rancangan, dan pengimplementasian kurikulum. Dua temuan ini menguatkan bahwa
pengimplementasian kurikulum akan diragukan keberhasilannya manakala tidak didahului dengan kegiatan sosialisasi dan pelatihan bagi calon penggunanya. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) bagaimana sebaiknya sikap pembuat kebijakan pengembangan kurikulum untuk program paket A, B, dan C bekerja dalam rangka mengembangkan rancangan sebagai wadah program-program yang terpadu dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat, dan 2) bagaimana sebaiknya gambaran perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan. Dengan permasalahan seperti itu, penulis mengungkapkan gagasan untuk mendorong pembuat kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan dengan tujuan menjadikan semangat yang dapat menumbuhkembangkan pengembang kurikulum menjadi ingin berkarya dengan pendekatan kesetaraan. Karya yang dapat diwujudkan karena ada panggilan dan manfaat tertentu bagi sebagian masyarakat sehingga pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum memiliki kesempatan memberikan kontribusi terbaik kepada mereka. Dalam arti, mampu mengembangkan kurikulum sesuai konteksnya, sekaligus memenuhi tanggung jawab sosial serta mampu membudayakan bukan hanya keteraturan nilai-nilai kerja untuk mengembangkan head knowledge tetapi praktik yang positif.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini mengadopsi pendapat dari Creswell (2014), yaitu penyelidikan yang mengeksplorasi masalah sosial atau manusia. Sampel penelitian didasarkan atas purposive sampling dengan penetapan sampel secara nonprobability sampel. Populasi dari penelitian adalah tutor/guru/pendidik Program Paket A, B, dan C di Kota Tangerang Selatan. Ada tiga lembaga pendidikan yang dijadikan sampel, yaitu: (1) PKBM Penerus Bangsa, Jl. Suka Mulya, Ciputat, Tangsel; (2) PKBM Ki Hajar Dewantara, Jl. Pendidikan, Ciputat, Tangsel; dan
(3) PKBM Insan Karya, JL. Haji Saleh, Pamulang, Tangsel. Dengan demikian, tutor/guru/pendidik yang ada pada ketiga lembaga pendidikan tersebut dijadikan sebagai responden. Data dikumpulkan menggunakan dua cara, yaitu: (1) kuesioner, dan (2) diskusi kelompok terpumpun. Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 sampai dengan Juni 2016. Sedangkan teknik analisis data menggunakan statistika deskriptif, yaitu penggambaran data dengan pola deskripsi atau telaah atau simpulan agar mudah dibaca dan bermakna.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari dua permasalahan yang diungkap pada pendahuluan, hal itu sekaligus juga menandakan 146
ada dua dimensi pengembangan kurikulum program paket A, B, dan C yang diteliti. Oleh karena itu, hasil dan pembahasan penelitian difokuskan pada dua
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
dimensi tersebut. a. Seperti Apa Sebaiknya Sikap Pembuat Kebijakan Pengembangan Kurikulum Data yang dihimpun, baik melalui kuesioner maupun diskusi kelompok terpumpun menunjukkan bahwa sebagian besar responden serta berbagai pemangku kepentingan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menghendaki agar pembuat kebijakan pengembangan kurikulum memiliki kearifan berpikir yang dibingkai bukan saja pendekatan “setara” tetapi juga berkelindan dengan pendidikan formal. Wujud rancangan kurikulum program paket A, B, dan C dimaksud tentunya yang mampu mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan akademik, sikap, dan keterampilan kejuruan yang bukan hanya setara, melainkan yang fungsional. Ranah kebijakan seperti itu, menurut sebagian besar responden hendaknya jangan hanya sebatas diwacanakan, tetapi direalisasikan, digerakkan. Artinya, ada semangat get things done yang disertai dengan kebijakan yang konkret, sementara dalam langkah kerjanya diperlukan adanya kemauan. Premis proses pengembangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan sebagaimana diungkap di atas, menurut sebagian besar responden karena selama ini dirasakan belum setara dengan pendidikan formal, bahkan cenderung mengekor. Hal tersebut menandakan bahwa sikap pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum terhadap program paket A, B, dan C masih lemah. Lemahnya kebijakan dalam menghasilkan dokumen kurikulum dapat merujuk contoh Kurikulum 2013. Hingga kini, proses pengembangan kurikulum untuk pendidikan formal tersebut apabila dihitung durasi waktunya, telah melewati masa empat tahun, sementara hingga saat ini (Oktober 2016) dokumen kurikulum pendidikan kesetaraan belum ada titik terang. Untuk itu, sebagian besar responden mengungkapkan, kemauan pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum menjadi hal paling mendesak diperbaiki. Dokumen kurikulum pendidikan kesetaraan yang belum berwujud menyebabkan pelaksana di satuan pendidikan PKBM menjadi kurang yakin dengan pembuat kebijakan. Dibutuhkan komitmen dan kerja sama dan peran serta dari semua pemangku kepentingan pembuat kebijakan, baik unsur manajerial kementerian maupun lembaga pengembang kurikulum, untuk menata pola pengembangan kurikulum ke depan.
Fakta yang terungkap ini tidak berlebihan, karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan (waktu itu) saat mengunjungi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ar-Ridho, Kenteng, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (26/02/2015) menyatakan bahwa pendidikan formal, nonformal dan informal harus mendapatkan perlakuan yang sama, dan tidak dibeda-bedakan (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3869). Ungkapan Mendikbud ini dapat dimaknai bahwa strategi pengembangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan mestinya tidak mendapat perlakuan diskriminasi, dan senjang, walau ada keterbatasan sumber daya dan kapasitas pemerintah dalam proses pengembangannya. Kehadiran pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum yang loyal pada kepentingan kurikulum pendidikan kesetaraan merupakan dambaan seluruh responden. Ke depan, menurut sebagian besar responden, bagaimana kesenjangan kebijakan pengembangan kurikulum pendidian kesetaraan selama ini bisa diminimalisasikan, bisa disetarakan dengan pendidikan formal, dan bisa dinomorsatukan sehingga dapat mendorong menjadi kebijakan strategis yang penting dan harus dilakukan pada proses pengembangan kurikulum untuk semua jalur pendidikan. Pandangan dan harapan responden seperti itu, paling tidak ada dua rasionalitas yang dapat disarikan. Pertama, bagaimana pemahaman terhadap kompleksitas pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan beserta komponenkomponen yang menyertainya dan multiplikasi identitas kebijakan dan relasi-relasi sosial kekuasaan di dalamnya perlu dimiliki masing-masing pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum. Kedua, bagaimana pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum menghadirkan penanda kebijakan yang mampu menjalin dan mengikat realitas konteks pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan dalam sebuah konsepsi yang bersifat multidimesi perlu dibiasakan dalam menyusun strategi kebijakan. Targetnya, pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan jangan selalu terpinggirkan. Dengan demikian, jargon seperti “Menjadikan kurikulum pendidikan kesetaraan sebagai bagian terpenting dari sistem pendidikan nasional” bukan sekadar slogan tetapi dibumikan. Untuk itulah, sebagian besar responden meminta agar pengembang kurikulum pendidikan kesetaraan memandang bukan masalah kesetaraan yang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
147
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
diinginkan, tetapi aspek fundamental proses pengembangan kurikulum yang dijadikan domain utamanya. Penanda kebijakan di sini menurut sebagian besar responden harulah penanda besar yang perlu dihadirkan untuk menjalin kepentingan bersama di antara bekerjanya pemangku kepentingan pengembang kurikulum pendidikan kesetaraan yang bernas untuk kepentingan publik. Kemampuan menghadirkan penanda besar, seperti pemberdayaan, kemandirian, kepentingan publik, literasi, kecakapan fungsional, vokasi, kompetensi abad 21, produktif, dan sejenisnya sehingga mampu menangkap dan merepresentasikan kepentingan bersama warga bangsa guna menggapai keahlian dan keterampilan yang menjadikan peserta didik sebagai bagian dari kehidupan publik yang sesuai alam mereka. Pola pemberdayaan yang mampu mengungkit sumber daya masyarakat pelaku pendidikan kesetaraan seperti itu, sejalan dengan hasil kajian Maitra dan Shama (2009) yang telah mengembangkan model kurikulum nonformal untuk peserta didik di pedesaan. Model yang telah dikembangkan bertujuan memungkinkan peserta didik dapat mengeksplorasi dan memahami sepenuhnya lingkungan alam mereka. Dengan demikian, maka peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya karena mereka akan belajar dan bekerja sebagai bagian dari masyarakat desa mereka. Strategi itulah yang menurut sebagian besar responden, yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh pendidikan formal. Temuan penyerta lain umumnya juga menunjukkan, agar pemahaman pentingnya kurikulum pendidikan kesetaraan harus dimiliki bukan hanya oleh praktisi tetapi juga terkoordinasinya gagasan pemangku kepentingan pendidikan di semua lini, termasuk pengembang kurikulum baik di pusat maupun di daerah serta di PKBM terkait. Selain itu, penataan pola pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan juga harus dilakukan oleh pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum dengan arah yang mampu dan bermanfaat untuk mengembangkan kualitas manusia Indonesia, yang berbudaya keindonesiaan. Di mana menurut sebagian besar responden, umumnya menyebut 148
sebagai manusia Pancasilais. Konteks koordinasi dan kolaborasi gagasan antarinstitusi pengembangan kurikulum menurut sebagian besar resonden amat penting. Penting, karena pengalaman sebagian besar responden menyatakan bahwa yang terjadi selama ini spirit itu antara ada dan tiada. Ada pada tataran slogan tetapi sepi pada ranah ekskusi aksi. Salah satu model koordinasi dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan sebagai pengelola, pembuat, dan memutuskan kebijakan, ditanggapi oleh sebagian besar responden adalah agar yang menggambarkan wujud peta semua ikatan yang relevan serta optimalisasi sumber daya yang tersedia secara terbuka menjadi koridor semangatnya. Pengelolaan sumber daya yang efisien menjadi penting, yang menurut kajian Amaya et al. (2016) merekomendasikan model optimasi integer, yaitu menemukan pasokan yang optimal dengan pola terbuka dan tertutup untuk memecahkan masalah sumber daya dalam pendidikan publik di Chili. Model ini dapat dimaknai dengan berbagai keterbatasan yang ada sumber daya didayagunakan secara efisiensi dan efektif untuk mencapai pengembangan kurikulum dengan pola keterbukaan dan memikirkan bagimana keberlangsungan penggaliannya dilakukan secara tertutup. Karena keberadaan sumber daya pendidikan bukan koridor pemikiran masyarakat pengggunanya. Dalam konteks belajar, seluruh responden umumnya menyatakan bahwa bagi masyarakat yang tidak bisa sekolah, yang karena tidak mampu, apa yang mereka pikirkan melalui pendidikan di PKBM adalah bagaimana dapat bekal kemampuan untuk hidup hari ini. Responden umumnya tidak begitu perhatian terhadap proses pengembangan kurikulum. Mereka tidak peduli apakah pengembangan kurikulum menghabiskan biaya banyak atau sedikit. Yang penting kurikulumnya segera ada dan bisa memberi bekal untuk kehidupan anak didiknya. Oleh karena itu, seluruh responden mengharap agar arah dan pendekatan pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan menuju pada mereka (warga belajar) belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya sekadar untuk belajar. Pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum perlu senantiasa mentransformasikan diri untuk mengembangkannya melalui pendekatan dan penerapan model-model pembelajaran yang dapat meningkatkan jiwa kewirausahaan bagi peserta
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
didik. Pendekatan perancangan kurikulum seperti itu, dapat merujuk hasil kajian Bull (2013) terhadap model Transformatif Belajar dengan melakukan Penanaman Pohon di Kenya Barat sebagai wujud pembelajaran berbasis pembangunan pendidikan berkelanjutan (ESD) menunjukkan, bahwa pengaturan pembelajaran secara nonformal dengan pendekatan mengintegrasikan kepala, tangan dan hati (HHH) efektif untuk menumbuhkembangkan ESD. Sejalan dengan fakta di atas, dua lembaga pendidikan nonformal, yakni Sanggar Anak Akar, Jakarta Timur, dan Sekolah Master, Depok bisa dijadikan rujukan bagaimana sejatinya kurikulum yang tepat bagi peserta didik yang mengikuti program pendidikan paket kesetaraan di PKBM. Manajemen Sanggar Anak Akar mendeskripsikan bahwa kurikulum untuk pendidikan yang dikelolanya sebagai pendidikan berbasis pengalaman. Begitu pula kurikulum pada Sekolah Master, memiliki karakteristik yang tak jauh berbeda dengan Sanggar Anak Akar, yaitu menerapkan kurikulum yang mereka sebut KBK (Kurikulum Berbasis Kebutuhan) (Kompas, 15/9/2016). Pengalaman dari dua lembaga pendidikan nonformal yang menginspirasi tersebut dapat dimaknai bahwa pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum pendidikan kesetaraan di Indonesia mesti memiliki kepekaan rasa bahwa kurikulum yang dihasilkan merupakan bagian dari solusi pembangunan identitas lokal mereka. Terkait dengan keselarasan konten kurikulum, hasil studi perbandingan terhadap Kurikulum Pendidikan Sosial di Hong Kong dan Singapura yang dilakukan oleh Tin-Yau Lo (2010) menunjukkan bahwa dalam menghadapi tantangan globalisasi, negara bangsa mencoba untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional atau nasional mereka dan identitas lokal sebagai semacam penyeimbang pengaruh dari globalisasi. Hasil penelitian ini dapat dimaknai bahwa kearifan lokal yang sarat dengan potensi sumber daya perlu diprogramkan secara sistematis oleh pembuat kebijakan dalam kurikulum PKBM. Program yang dirancang sistematis sekaligus menggambarkan pula bahwa kurikulum yang dihasilkan akan sarat makna, yang menurut Mukhadis (2013) adanya kebermanfaatan dan adanya tindak lanjut persebarannya. Sisi kemauan pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum untuk program paket A, B, dan C juga ditanggapi oleh seluruh responden secara
serius. Menilik perjalanan waktu pengembangan kurikulum, seluruh responden berdasarkan pengalaman sepakat bahwa proses pengembangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan ini selalu “mengekor” dengan pendidikan formal. Belum ada kemauan yang kuat untuk mengembangkan sendiri. Buktinya, menurut seluruh responden, selama ini belum pernah terjadi pengembangan kurikulum untuk PKBM (maksudnya program paket A, B, dan C) dikerjakan terlebih dahulu tanpa harus menunggu pendidikan formal selesai. Padahal, sebagai dokumen yang memuat jantungnya pendidikan, proses pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan menurut seluruh responden, dapat dilakukan bersama-sama atau malahan lebih dahulu. Dari itu semua menurut Solitander et al. (2012) yang penting bagaimana mereka dapat mengatasi hambatan strategis, struktural, dan kultural. Pembuat kebijakan perlu menyikapi hal itu, karena karakteristik peserta didik di PKBM di samping ingin memperadabkan dengan pewarisan sistem nilai, norma-norma, adat-istiadat dan kepercayaan melalui kurikulum sebagai proses enkulturasi dan sosialisasi sekaligus juga memberikan kecakapan hidup dalam bidang tertentu atau untuk menumbuhkan kemampuan memasuki dunia kerja. Oleh karena itu, ke depan seluruh responden berharap agar pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum PKBM mau merespon secara arif dan bijaksana pandangan dan harapan mereka dalam lintas nasional maupun internasional. Harapan seperti itu, sejalan dengan temuan Crisp (2015) bahwa pendidikan pekerjaan sosial mesti menggabungkan perspektif internasional dalam mempersiapkan lulusan untuk bekerja dalam konteks lintas-nasional. Untuk itu, direkomendasikan agar sekolah pekerja sosial di berbagai negara harus mengedepankan berkolaborasi dalam pengembangan kurikulum. Di samping beberapa temuan di atas, pendekatan kurikulum yang sarat dengan strategi pemberdayaan menurut semua respoden menjadi syaratnya, yaitu: 1) berfungsi untuk pembentukan identitas diri; 2) memiliki implikasi terhadap masalah yang dihadapi, seperti masalah diskolasi karena putus sekolah, putus harapan karena keterbatasan akses, dan pengembangan diri di luar lembaga pendidikan atau pembentukan komunitas publik. Dalam pengertian ini, pembuat kebijakan kurikulum pendidikan kesetaraan perlu merumuskan secara khusus pada penguasaan dan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
149
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
kapasitas mengenali perbedaan, menghadirkan diri, membangun relasi, menjalankan kelompok dan berorganisasi, dan memiliki tanggung jawab publik, yang semua itu kemudian dirumuskan dalam pengembangan kurikulum dan praktik pengajaran serta penyelenggaraan pendidikan di PKBM. Pelibatan pelaksana kurikulum di PKBM, menjadi harapan seluruh responden dalam keterlibatan mereka turut mengembangkan kurikulum. Menyusun kurikulum bagi tutor/guru/pendidik bisa memberikan manfaat ganda. Pertama, menyusun kurikulum mendorong guru/tutor memahami hakikat kurikulum ditinjau dari berbagai sudut pandang yang selama ini mereka kurang memahaminya. Dengan terlibat dalam penyusunan kurikulum pendidikan kesetaraan, mereka juga belajar merumuskan gagasan secara sistematis dalam bentuk desain kurikulum argumentatif, menerapkan sikap rasional dan objektif yang akan berguna bagi pebentukan sikap perancangan pembelajaran. Dengan begitu, guru/tutor akan berusaha mendalami ide, desain, dokumen, dan implementasi kurikulum. Kedua, sebagai pelaksana kurikulum, tutor/ guru/pendidik memiliki pengalaman dalam merancang sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran yang merupakan bentuk dari kurikulum. Tutor/guru/ pendidik tidak sekadar bisa menentukan kompetensi indikator, tujuan dan materi pembelajaran yang akan disampaikan, tetapi bahkan dapat menentukan pendekatan dan strategi apa yang tepat yang harus dikembangkan dan bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum tutor/guru/pendidik sepenuhnya dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi pendidikan kesetaraan, serta kebutuhan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum yang disusunnya lebih bermakna, baik bermakna bagi peserta didik sendiri ataupun bagi tutor/guru. b. Seperti Apa Sebaiknya Gambaran Perancangan Kurikulum Pendidikan Kesetaraan Dalam berbagai kesempatan pada saat diskusi kelompok terpumpun terungkap bahwa, telah menjadi kesepakatan seluruh responden adanya dua pilar penyangga pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan bagi warga negara-bangsa Indonesia. Bahkan, mereka telah bertekad untuk berpegang teguh pada filosofi dan tujuan pendidikan nasional pada pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dua pilar dimaksud hendaknya juga dimanfaatkan sebagai landasan 150
bergeraknya ide dalam mengembangkan kurikulum dan dalam melaksanakan penerapannya. Pilar yang dimaksud adalah Pancasila dan tujuan pendidikan nasional. Di samping itu, dua pilar hendaknya juga menjadi jiwa kurikulum, menjadi ruh kurikulum. Bukan sekadar untaian kata, terlebih dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan kompetisi. Karena itu, yang diperlukan pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum adalah landasan riil dan konkret sebagai misi yang dapat menghantarkan peserta didik dalam kompetisi menghadapi globalisasi. Pancasila dan tujuan pendidikan nasional, menurut seluruh responden memiliki peran sangat sentral dan menentukan bagi perjalanan bangsa. Kokohnya suatu bangsa selama ini, menurut responden karena bangsa Indonesia memiliki ikatan dasar sebagai penyangga bangunan pendidikan. Namun, menurut sebagian besar responden hal tersebut belum diwujudkan dalam kenyataan. Misalnya, pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum selama ini senantiasa menggaungkan perlunya melakukan perubahan yang mendasar tentang kurikulum pendidikan kesetaraan. Akan tetapi, fakta yang ditemukan bertolak belakang dengan yang diharapkan. Karena hanya terus diwacanakan, akibatnya perubahan besar kurikulum pendidikan kesetaraan itu tidak pernah ada. Bahkan, yang lebih menyedihkan menurut sebagian besar responden, akibat terlalu besarnya harapan untuk melakukan penataan kurikulum pendidikan kesetaraan, penataan kecil pun belum dilakukan, seperti kelengkapan buku untuk peserta didik. Dalam arti lain, rancangan kurikulum untuk pendidikan kesetaraan haruslah menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter, yang pancasilais, dan yang berbudaya Indonesia. Asumsi dasarnya, menurut seluruh responden adalah satuan pendidikan PKBM merupakan institusi yang cukup strategis guna menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu perilaku paling mendasar yang merupakan orientasi nilai (value orientation) bagi seluruh komunitas satuan pendidikan dalam kehidupan, baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan. Nilai luhur tersebut sekaligus dijadikan acuan seluruh komunitas satuan pendidikan untuk berpikir dan bertindak dalam rangka menapaki kehidupan, baik secara perorangan maupun kolektif. Nilai-nilai pendidikan karakter, pada frasa pendidikan mengarah pada pembentukan budaya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
satuan pendidikan PKBM, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua komunitas satuan pendidikan tersebut, dan masyarakat sekitar. Budaya satuan pendidikan PKBM yang terbentuk merupakan citra yang menggambarkan ciri khas, karakter atau watak dari komunitas satuan pendidikan di mata masyarakat. Nilai-nilai yang khas-baik, seperti tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan, yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan pada perilaku. Karakter yang dikehendaki secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa komunitas atau sekelompok orang pada satuan pendidikan dan sekitarnya. Dalam hal misi kurikulum, semua responden sepakat bahwa tidak ada bangsa maju, beradab, berbudaya, dan berdaya saing tinggi tanpa didukung pendidikan yang baik dan kurikulum yang visioner serta pengajaran dan pembelajaran sesuai kebutuhan masyarakat yang plural. Dengan begitu, semua responden mengharapkan ada tekanan agar rancangan kurikulum PKBM memberi bekal pengetahuan, sikap, keterampilan dan keahlian agar peserta didik mampu menjalankan kepentingan bersama di tengah lingkungan penuh kompetisi. Strategi seperti itu, menurut semua responden sekaligus dijadikan landasan yang kuat bagi praktik pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan sehingga peserta didik mampu mengatasi masalah pendidikan dan masalah sosial-ekonomi. Mengingat berbagai latar belakang yang dimiliki peserta didik yang mengenyam pendidikan di PKBM, yang umumnya dari kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi. Kurikulum pendidikan kesetaraan menurut sebagian besar responden memiliki misi dan orientasi khusus, yaitu: (1) menjadikan peserta didik memiliki kualitas kehidupan saat memasuki masyarakat, (2) berdaya dalam pengembangan diri dan lingkungan sekitar, dan (3) memiliki keterampilan khusus untuk memecahkan masalah hidup untuk memasuki kehidupan. Dengan demikian, kurikulum pendidikan kesetaraan yang dirancang selain berorientasi pada pemberdayaan peserta didik hendaknya pula sekaligus menjadi orientasi dan tujuan utama dari pendidikan kesetaraan itu sendiri. Jadi, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan hendaknya
diorientasikan pada penumbuhan kapasitas peserta didik untuk mengembangkan diri dan mengatasi masalah-masalah hidup yang dihadapi. Mengingat orientasi yang demikian itu, kurikulum pendidikan kesetaraan yang disusun diharapkan memiliki kepekaaan terhadap kebutuhan peserta didik karena memiliki ragam masalah ekonomi dan sosial. Perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan di sini, perlu dikontekstualisasikan pada potensi sumber daya yang ada dan secara praksis bisa diharapkan mengatasi masalah. Terutama sebagai bekal dasar di masyarakat, maka kurikulum tersebut bisa disusun dengan pendekatan keluwesan, dalam arti bervariasi sesuai konteks, sesuai kebutuhan, dan sesuai potensi sumber daya yang ada. Masalah-masalah umum yang dihadapi peserta didik di PKBM, menurut sebagian besar responden umumnya adalah masalah layanan, putus harapan, dan pencarian alternatif pendidikan di luar sekolah Hal ini, menurut sebagian besar responden membutuhkan pemecahan khusus dari kurikulum pendidikan kesetaraan yang hendak dikembangkan. Menghadapi ketiga permasalahan tersebut, maka rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan di samping memiliki asas fungsional juga mampu menggarap proses mental yang berupa cerapan indra, emosi, pemikiran sebagai fungsi dari organisme biologis yang berkelainan dalam penyesuaiannya terhadap lingkungan serta pengendalian lingkungannya yang pada gilirannya memberikan deskripsi terhadap kesadaran. Dengan kurikulum pendidikan kesetaraan seperti itu, fungsi mengembangkan diri kemampuan peserta didik di tengah masyarakat, dengan bekal sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki mereka mampu memecahkan masalah di tengah lingkungan yang terus berubah dan penuh kompetisi. Dari temuan kerangka pikir di atas, sebagian besar responden mengungkapkan bahwa konteks perancangan pengembangan kurikulum PKBM, paling tidak ada empat fokus yang perlu disiapkan oleh pembuat dan perancang kurikulum, yaitu: (1) sebagai landasan yang kuat bagi praktik pendidikan kesetaraan berdasar pada berbagai bidang kehidupan, sehingga peserta didik secara mandiri mampu mengatasi masalah dirinya secara sosial-ekonomi, (2) sebagai wadah bagi peserta didik karena menghadapi masalah putus sekolah dan kemampuannya memecahkan masalah sosialekonomi, (3) yang mampu memberikan wadah dan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
151
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
harapan baru bagi peserta didik karena masalah keterbatasan akses atau ketidaktercapainya memasuki pendidikan formal, dan 4) yang diorientasikan pada penciptaan untuk menumbuhkan kecakapan hidup untuk memasuki kehidupan. Pembahasan Dari temuan di atas bahwa Pancasila dan tujuan pendidikan nasional menjadi penyangga utama rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan adalah sangat tepat. Tepat mengingat pilar penyangga suatu bangunan kurikulum pendidikan harus memenuhi syarat, yakni di samping kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan misi pendidikan yang disangganya. Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang harus dijadikan orientasi pengembangan kurikulum, seperti keimanan, ketakwaan, kedamaian, keadilan, kesetaraan, keselarasan, keberadaban, kesatuan dan persatuan, mufakat, kebijaksanaan, dan kesejahteraan. Orientasi itu diharapkan tidak pudar walau keberadaan kurikulum pendidikan kesetaraan tersendat. Pancasila dinilai bukan saja memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini, tetapi juga relevan sebagai penggerak gagasan kurikulum. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan satuan pendidikan PKBM di seluruh Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga peserta didik dapat menerima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Peserta didik didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi kurikulum pendidikan kesetaraan dalam negara-bangsa yang pluralistik. Filosofi 152
tersebut menjadi sesuatu nilai yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehingga manusia Indonesia yang dikembangkan melalui kurikulum pendidikan kesetaraan haruslah: 1) manusia yang beragama dan menghormati agama orang lain; 2) cinta bangsa, tanah air, dan negara; 3) memiliki kepedulian untuk mengembangkan kehidupan kebangsaan, sosial dan ekonomi yang berkeadilan; 4) demokratis yang mampu menghargai pluralisme sosial dan budaya; 5) mampu berkontribusi untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang bermartabat dan saling menghargai; dan 6) membangun masyarakat yang berkeadilan sosial (Sutjipto, 2016). Sementara itu, praksis pendidikan kesetaraan mengharuskan secara konsisten berpijak pada tujuan pendidikan nasional, yakni “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian, ukuran mutu kurikulum pendidikan kesetaraan bukan hanya hal-hal berkait manusia Pancasilais sejati, melainkan dan terutama terwadahinya: (1) menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; (2) berkembangnya kemampuan peserta didik dan warga belajar; (3) meningkatnya mutu kehidupan warga negara yang terdidik; dan (4) meningkatnya martabat manusia Indonesia yang berpendidikan. Keempat fungsi tersebut saling terkait satu sama lainnya. Dengan menjadi manusia yang agamis, dan diiringi berkembangnya kemampuan secara potensial akan meningkatkan mutu kehidupan seseorang. Meningkatnya mutu kehidupan seseoraang dengan sendirinya akan meningkat pula harkat dan martabat seseorang. Sementara itu, pada aspek kontekstualisasi, menurut sebagian besar responden jika kurikulum pendidikan kesetaraan ingin menjadi bagian strategi yang melayani, yang dicintai, dan yang dicari masyarakat, maka baik pembuat kebijakan maupun pengembang kurikulum harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat (PKBM) dan kemudian diperkaya dengan sentuhansentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini sebagai kunci yang kemudian disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Tentu tak ada yang keliru dengan keinginan itu. Hanya saja menjadi kurang tepat kalau hal tersebut
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
menjadi satu-satunya jawaban untuk menyelesaikan persoalan kurikulum pendidikan kesetaraan secara keseluruhan. Padahal, banyak hal lain yang segera bisa dilakukan, misalnya hasil kajian Astin et al. (2015) yang mengungkapkan bahwa sebuah kurikulum inti untuk pengembangan profesional berkelanjutan dari perawat harus memilki fungsi sebagai “peta” yang mengidentifikasi tema kunci, dan sebagai “alat” untuk menginformasikan ketentuan pendidikan yang menjembatani kesenjangan antara pendidikan perawat awal dan praktik spesialis. Fungsi ‘peta’ kurikulum dan ‘alat’ kurikulum dengan delapan tema kunci dari ciri kurikulum inti yang disajikan bersama-sama dengan perlakuan sebagai proses pembangunan dalam pembelajaran. Kemudian, kedua koridor tersebut diperkaya dengan sentuhan iptek, baik skala lokal, nasional maupun global. Persentuhan sekaligus memberikan dasar pijakan kuat bagi peningkatan kesadaran dan pengakuan pembuat kebijakan kurikulum atas harga diri, martabat dan eksistensi, serta identitas diri peserta didik sebagai warga negara. Dengan segala kebebasan dan kesetaraan yang dimiliki peserta didik yang diwarnai eksklusi dan marginalisasi pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum seyogyanya berpikiran arif bahwa pengembangan kurikulum yang sungguh-sungguh saat ini menjadi kebutuhan dan tuntutan zaman yang sulit dihindari. Terlebih di tengah ketidakberdayaan yang mereka hadapi baik di luar PKBM maupun di lingkungan PKBM karena tidak semua warga belajar Indonesia cocok dengan pola kurikulum di sekolah formal. Hanya dengan pengembangan kurikulum yang sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat masa depan pembangunan sumber daya manusia yang cakap, cerdas, kreatif, dan kompeten seperti itu, yang harus disiapkan. Keempat fokus perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan tersebut senyampang dengan hasil penelitian Doabler et al. (2015) mampu mengungkap bukti awal bahwa dalam hal pengembangan kurikulum dan evaluasi matematika harus terkait dengan kelayakan, kegunaan, dan janji untuk meningkatkan prestasi siswa. Untuk itu, perbaikan dan pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan beserta dokumen pendukungnya, menurut sebagian besar responden, ke depan mesti dilakukan secara baik, terarah, dan sungguh-sungguh dengan sasaran empat fokus utama pada peningkatan mutu bekal kemampuan peserta didik. Dari uraian itu dapat disarikan,
konsep, isu, maupun agenda pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan patut dijawab secara multidimensional. Pemahaman menyeluruh oleh pembuat kebijakan terhadap konsep segala pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dipelajari peserta didik di satuan pendidikan penyelenggara program paket A, B, dan C adalah sebagai wahana berkembangnya segala potensi kemampuan yang dimilikinya menjadi pekerjaan utamanya. Ketiga alinea di atas sejalan dengan hasil penelitian Bat dan Fasoli (2013) memberi contoh rinci tentang bagaimana teori penelitian tindakan dapat meramu pendekatan inovatif untuk pendidikan dan pelatihan para pekerja Adat (pendidikan nonformal) anak usia dini di Northern Territory, Australia dalam mendesain perangkat kurikulum melalui pendekatan iteratif dan reflektif dengan pola pemberdayaan dan penentuan nasib sendiri sehingga menghasilkan cara yang baik terhadap persoalan pendidikan anak adat. Cara yang baik, menurut hasil penelitian tersebut dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, sistem nilai, seperti nilai keagamaan, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai politis perlu dipelihara dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan kesetaraan. Pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari birokrat pembuat kebijakan, praktisi, pengguna lulusan, ahli, hingga pemerhati pendidikan. Ketika pendidikan kesetaraan dijadikan sebagai sebuah strategi dalam pengembangan pembangunan sumber daya manusia, maka kurikulum pendidikan tersebut tampil sebagai wadah program-program yang handal dan terpadu dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Dengan pemikiran seperti itu, maka pelibatan berbagai komponen masyarakat diharapkan menghasilkan kurikulum pendidikan kesetaraan yang futuristik. Hanya dengan pengembangan kurikulum yang sesuai tuntutan zaman (tuntutan abad 21) dan kebutuhan masyarakat masa depan pembangunan sumber daya manusia yang cakap, cerdas, kreatif, dan kompeten yang harus disiapkan. Pemikiran semacam itu sejalan dengan hasil penelitian Spence dan McDonald (2015) mendukung anggapan, bahwa experiential learning (EL) kurikulum yang dikembangkan dengan komponen lateral secara baik (yang disebut akuisisi pengetahuan dan memperdalam kompetensi persepsi kinerja sebagai
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
153
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
subjek khusus) dan karier peserta didik dapat membantu memperkuat kesiapan mereka guna menjawab tantangan yang berhubungan dengan pekerjaan yang kompleks. Saat jenis pekerjaan yang ada sangat beragam, dan menuntut kompetensi yang beragam pula, seperti komunikasi, kolaborasi, kreativitas, inovatif, dan berpikir kritis diperlukan rancangan yang tegas. Untuk itu, pendidikan kesetaraan membutuhkan rancangan kurikulum yang menandai capaian tujuan tersebut. Hal ini amat dibutuhkan agar peserta didik tidak hanya memiliki kualitas pengetahuan dan kompetensi sebagai prasyarat bekerja tetapi lebih dari itu, seperti memiliki sikap integritas, kerja keras, disiplin, gotong royong, mandiri, nasionalisme, dan keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah kehidupan dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan serta masalah sosial lainnya. Dengan kerangka pikir ke arah pembentukan budi pekerti, kompetensi, etika, estetika, kinestetika, dan karakter maka peserta didik tamatan dari program paket akan dapat mengatasi dan mengawal berbagai keragaman sosial secara holistik dan juga meningkatkan mereka dengan nilai-nilai universal ke tingkat yang lebih baik. Kurikulum pendidikan kesetaraan yang dikembangkan juga harus mampu mengintervensi dan bersesuaian dengan penyiapan peserta didik untuk meningkatkan mutu kehidupan secara bertanggung jawab. Terhadap hal itu, Konantambigi, Meghani and Modi (2008) dalam penelitiannya mengungkapkan, bahwa intervensi dalam pendidikan nonformal, terutama bagi masyarakat yang kurang beruntung, dimulai dengan memobilisasi warga suku di distrik Betul, Madhya Pradesh guna memperjuangkan hak untuk hidup yang bermartabat dan memiliki kesempatan yang lebih luas pada kebutuhan pendidikan anak-anak mereka agar memiliki bukan hanya literasi dan belajar berhitung semata melainkan keterampilan yang lebih baik. Intervensi itu direncanakan melalui kurikulum dengan pendekatan partisipatif, humanistik dan mengubah pembelajaran ke konstruktivis yang dilakukan dengan pendekatan kontekstual dan berpusat pada peserta didik. Hasil dari penelaahan Konantambigi, Meghani and Modi tersebut mengindikasikan bahwa dalam pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan seyogianya pengembang memiliki kepekaan dan kemampuan mengidentifikasi dan mencatat 154
kebutuhan masyarakat, variasi minat mereka sehingga dapat memobilisasi sumber daya yang dapat berguna untuk dijadikan dasar pengembangan berbagai aktivitas pembangunan kehidupan masyarakat itu sendiri yang sesuai dengan kebutuhan konteks lokal. Untuk itu, pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan mesti dilakukan dengan peta jalan yang baik, terarah, dan sungguh-sungguh dengan fokus utama pada daya guna dan hasil guna sehingga pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan mutu peserta didik. Oleh karena itu, pada sisi yang lain, perlu juga mewadahi sistem nilai, seperti nilai Pancasila, nilai keagamaan, nilai keindonesiaaan, nilai gotong-royong, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai kinerja, nilai kemandirian, dan nilai politis yang perlu dipelihara dan dikuatkan dalam kurikulum. Sebuah kurikulum dengan pembentukan nilai moral dan kinerja, akan dapat mengatasi berbagai problem sosial dan juga meningkatkan masyarakat dengan kesiapan kerja yang lebih tinggi. Jadi, tujuan utama dari kurikulum penddikan kesetaraan selain pembentukan budi pekerti, kompetensi, etika, estetika, kinestetika, dan karakter adalah untuk memberikan bekal kepada peserta didik agar mampu menjalani kehidupan sehingga tidak menjadi beban orang lain. Oleh karena itu, arah dan pendekatan kurikulum pendidikan kesetaraan yang dirancang hendaknya menuju untuk kehidupan. Dengan begitu, peserta didik yang karena memiliki keterbatasan sehingga tidak bisa mengikuti pendidikan formal dapat didorong sekuat tenaga dan daya agar mereka menjadi bagian dari bangsa yang maju dan berkapasitas tinggi. Kapasitas peserta didik ditentukan bukan oleh kemampuan diri peserta didik semata, tetapi sebagai hasil dari kemampuan dalam mengubah keadaan atau lingkungan sekitar yang menghambat tumbuhkembang dirinya. Kemampuan peserta didik mengenali hambatan struktural dan fungsional dapat diatasinya melalui sistem kurikulum pendidikan kesetaraan berbasis kinerja dengan pembelajaran yang memberdayakan sehingga mereka menjadi lebih berdaya dalam menghadapi masalah dan menjawab tantangan hidup ketika masalah sosial-ekonomi menderanya saat memasuki arena masyarakat. Narasi itu, sejalan dengan kajian Zeichner (2012) terhadap pengembangan sistem pendidikan guru menuju praktik baik yang berbasis kinerja, dan juga yang tidak mengabaikan aspek penting dari
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
pembelajaran yang juga baik. Pandangan ini dapat dimaknai bahwa dengan bekal kemampuan kejuruan, peserta didik yang mengikuti program paket kesetaraan menjadi lebih kreatif dan produktif. Bekal kompetensi kejuruan (vokasi) seperti itu, sekaligus dapat menguatkan harga diri, martabat dan eksistensi, dan identitas diri peserta didik sebagai warga negara dengan segala kebebasan dan kekurangan yang dimiliki di tengah kompetisi yang mereka hadapi. Di samping itu, kurikulum pendidikan kesetaraan yang dikembangkan hendaknya memberikan dasar pijakan bagi peningkatan kesadaran dan pengakuan atas budaya literasi, seperti baca tulis hitung, informasi, sains, ekonomi, teknologi, keuangan, dan lain sebagainya. Rancangan kurikulum yang berorientasi pada pemecahan masalah ini, selanjutnya dikontektualisasikan pada lingkungan sekitar dan kebutuhan khusus yang dihadapi peserta didik. Dengan demikian, maka kurikulum tersebut dapat dijadikan sandaran dan memberikan bekal kepada peserta didik untuk menghadapi ketidakliteratenya dan melakukan pemberdayaan diri sesuai potensi sumber daya yang ada dan kapasitas yang dimilikinya. Karenanya, assesmen kebutuhan dan potensi sumber daya yang ada perlu dirumuskan sebagai pijakan dasar sehingga praktik pembelajaran yang mengetengahkan literasi dapat dijalankan sesuai kebutuhan dan tepat sasaran. Kurikulum adalah jantungnya pendidikan, contoh kasus: Pada tanggal 21 April 2008 (delapan tahun lalu) di Jakarta, penulis menghadiri pertemuan “Forum Kebijakan Selatan-Selatan tentang Belajar Sepanjang Hayat sebagai Kunci bagi Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan” (South-South Policy Forum on Lifelong Learning as the Key to Education for Sustainable Development), yang berlangsung tanggal 21 sampai dengan 23 April. Hadir dalam pertemuan sekitar 60 ahli pendidikan, perwakilan pemerintah serta lembaga masyarakat dari 18 negara di Asia dan Afrika. Tujuan utama pertemuan adalah untuk me-review konsep kurikulum dan pembelajaran sepanjang hayat pada pendidikan formal, nonformal, dan informal yang ada di masyarakat. Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa satu sisi pembahasan kurikulum menduduki kajian utama, namun pada sisi yang lain pembelajaran yang mengantarkan peserta didik menjadi berbudaya tak kalah pentingnya.
Bahkan terhadap hal itu, Kajian Borredon et al. (2011) untuk meningkatkan praktik pengajaran dan pembelajaran reflektif pada sekolah manajemen di Perancis merekomendasikan model pembelajaran lintas budaya. Begitu pula kemandirian peserta didik hendaknya juga dijadikan filosofi perancangan kurikulum. Kurikulum pendidikan kesetaraan hendaknya disusun karena berbagai sebab agar peserta didik menjadi lebih mandiri dalam memasuki kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum tersebut hendaknya disusun dengan memiliki karakteristik khusus yang diorientasikan pada upaya memecahkan masalah-masalah khusus yang dihadapi peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri. Selain itu, kurikulum tersebut juga diperlukan untuk mengatasi masalah keterbatasan akses, atau ketidakbisaan memasuki sekolah formal/ reguler karena adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh peserta didik. Lebih dari itu, perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan juga diperlukan sebagai upaya penciptaan ruang kreatif, atau arena sosial atau publik sebagai kompetensi pilihan untuk menumbuhkan kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, keterampilan khusus, kecakapan hidup khusus dan kemampuan memasuki dunia kerja. Kurikulum pendidikan kesetaraan apabila masih sebatas sesuai tuntutan dan kebutuhan zaman, memandirikan, vokasi, literasi, sesuai konteks lokal, dan bekal untuk menjalani kehidupan sebagaimana diungkap di atas, dianggap belum komplit. Kurikulum tersebut akan semakin bermakna apabila sekaligus menjadi orientasi dan tujuan utama dari pendidikan kesetaraan itu sendiri. Perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan hendaknya diorientasikan pada penumbuhan kapasitas peserta didik untuk mengembangkan diri dan mengatasi masalah-masalah hidup yang dihadapi. Mengingat orientasi yang demikian itu, kurikulum pendidikan kesetaraan yang disusun diharapkan memiliki kepekaaan terhadap kebutuhan peserta didik karena memiliki ragam masalah ekonomi dan sosial, dan konteks lingkungan sekitar. Perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan di sini perlu dikontekstualisasikan pada potensi sumber daya yang ada dan secara praksis bisa diharapkan mengatasi masalah. Terutama sebagai bekal dasar di masyarakat. Demikian pula, mengingat begitu bervariasi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
155
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
konteks permasalahan yang dimiliki peserta didik dan lingkungan yang ada, maka kurikulum tersebut bisa disusun dengan pendekatan keluwesan, dalam arti bervariasi sesuai konteks, sesuai kebutuhan, dan potensi sumber daya yang ada. Dengan demikian, kurikulum didesain bukan hanya berdasarkan how to survive dan menyesuaikan diri pada lingkungan, melainkan untuk belajar berpikir sedemikian rupa sehingga mampu menemukan hal-hal yang baru. Adanya penemuan baru, akan menguatkan citra bahwa ternyata tamatan PKBM bisa mencipta, itu yang sangat diharapkan. Dengan terungkitnya potensi secara optimal melalui pembelajaran, maka ada pembenaran bahwa pedagogis mendasarkan pada premis bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn), sehingga memiliki kemampuan luar biasa untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru (Semiawan, 1999). Untuk menjaga agar pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan berkualitas, terarah, dan tepat guna maksimal, kementerian hendaknya menyusun Rencana Induk Pengembangan Kurikulum 20202030. Peta jalan itu diharapkan diacu lembaga
pengembang kurikulum, seperti Puskurbuk terkait program pengembangan kurikulum masa depan. Konsistensi pelaksanaan peta jalan itu didasarkan atas analisis konteks permasalahan yang komprehensip. Hal ini diperlukan agar kurikulum pendidikan kesetaraan mampu menginspirasi dalam mengatasi permasalahan peserta didik. Program kurikulum pendidikan yang bermakna manakala berhasil mengentaskan setengah dari masalah mereka. Pemikiran semacaam itu, sejalan dengan hasil penelitian Kember, dkk. (2013) menemukan fakta bahwa masa transisi peserta didik agar berhasil masuk universitas harus melewati dua strategi pengalaman belajar. Pertama, mereka harus terkena masalah atau masalah dengan berbagai ragam posisi. Kedua, perlu ada keterlibatan secara aktif melalui kegiatan belajar dengan masalah atau isu yang dihadapinya. Dari temuan studi ini mengindikasikan bahwa kurikulum perlu dirancang berbasis masalah bagi peserta didik PKBM di mana pun mereka berada. Dengan demikian, asas keluwesan dari kurikulum pendidikan kesetaraan juga perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum.
PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas berhasil mengungkap beberapa simpulan penting. Pertama, pembuat kebijakan dan pengembang masih menempatkan bahwa mendesain dan mewujudkan kurikulum pendidikan kesetaraan belum menjadikan prioritas utama, tetapi menunggu pendidikan formal terlebih dahulu. Kedua, pembuat kebijakan dan pengembang belum menghadirkan penanda kebijakan konkret berkait aspek fundamental kompleksitas dan konteks realitas yang merepresentasikan kepentingan bersama warga bangsa yang terejawantahkan dalam kurikulum sebagai alat menapaki kehidupan. Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan belum membekali pengetahuan dan kompetensi sebagai prasyarat bekerja dan juga belum kuat mendorong sikap integritas, kerja keras, disiplin, gotong royong, kemandirian, nasionalisme serta keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Keempat, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan belum menggambarkan instrumen menghadapi masalah putus sekolah dan memecahkan 156
masalah sosial-ekonomi yang diorientasikan pada kecakapan hidup guna memasuki kehidupan. Saran Berdasarkan simpulan penelitian yang diungkapkan, berikut beberapa saran. Pertama, para pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum hendaknya menganut paradigma bahwa kompetensi lulusan program pendidikan kesetaraan tidak hanya sekadar sama derajatnya dengan kompetensi lulusan pendidikan formal sehingga kurikulumnya tinggal menyesuaiakan dari pendidikan formal, melainkan lebih dari itu, yaitu untuk kehidupan. Kedua, para pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum hendaknya menganut prinsip bahwa pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan secara tersendiri merupakan kerja yang menyuarakan masa depan warga bangsa. Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan hendaknya tidak hanya memiliki kualitas sikap, pengetahuan, dan kompetensi, tetapi juga menumbuhkan kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan hidup khusus sebagai bekal memasuki kehidupan. Keempat, kurikulum pendidikan kesetaraan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
yang dikembangkan hendaknya sarat muatan nilai karakter moral, nilai karakter kinerja, dan bekal
kecakapan abad-21 agar peserta didik mampu mengatasi berbagai problem kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA Amaya, J., Peeters, D., Uribe, P. dan Valenzuela, J. P. 2016. Optimization modeling for resource allocation in the chilean public education system. International Regional Science Review. April 2016; vol. 39, 2: pp. 155-176., first published on February 24, 2015. Astin, F., Carroll, D. L., Ruppar, T., Uchmanowicz, I., Hinterbuchner, L., Kletsiou, E., Serafin, A. dan Ketchell, A. 2015. A core curriculum for the continuing professional development of nurses: developed by the education committee on behalf of the council on cardiovascular nursing and allied professions of the ESC. European Journal of Cardiovascular Nursing, June 2015; vol. 14, 3: pp. 190-197., first published on February 23, 2015. Bat, M. dan Fasoli, L. 2013. Action research as a both-ways curriculum development approach: Supporting self-determination in the remote Indigenous child care workforce in the Northern Territory of Australia. Action Research, March 2013; vol. 11, 1: pp. 52-72., first published on February 4, 2013. Bindler, R. C., Goetz, S., Butkus, S. N., Power, Thomas G., Ullrich-French, S., dan Steele, M. 2012. The process of curriculum development and implementation for an adolescent health project in middle schools. The Journal of School Nursing, February 2012; vol. 28, 1: pp. 13-23., first published on October 12, 2011. Borredon, L., Deffayet, S., Baker, A. C. dan Kolb, D. 2011. Enhancing deep learning: lessons from the introduction of learning teams in management education in France. Journal of Management Education, June 2011; vol. 35, 3: pp. 324-350., first published on April 21, 2010. Bull, M. 2013. Transformative Sustainability Learning: Cultivating a Tree-Planting Ethos in Western Kenya, Journal of Education for Sustainable Development, March 2013; vol. 7, 1: pp. 5-21. Chin, J., May, M., Sullivan-Chin, H., dan Woodrick, K. 2014. How Can Social Psychology and Group Dynamics Assist in Curriculum Development?. Teaching Sociology, April 2014; vol. 42, 2: pp. 86-94., first published on February 6, 2014.
Creswell, John W. 2014. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 4th Edition. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. Crisp, B. R. 2015. The challenges in developing crossnational social work curricula, International Social Work, 0020872815574135, first published on May 6, 2015. Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tentang Standar Isi (SI) untuk Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Doabler, C. T., Clarke, B., Fien, H., Baker, S. K., Kosty, D. B. dan Cary, M. S. 2015. The science behind curriculum development and evaluation: Taking a design science approach
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
157
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
in the production of a tier 2 mathematics curriculum. Learning Disability Quarterly, May 2015; vol. 38, 2: pp. 97-111., first published on February 7, 2014. Harian Kompas. 15 September 2016. Pendidikan: Di Sekolah Nonformal, Akbar Merajut Cita-cita. 15 September 2016. Hal. 1. Hollins, E. R. (2011) Teacher preparation for quality teaching. Journal of Teacher Education September/October 2011 62: 395-407, doi:10.1177/0022487111409415. http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3869. Diunduh 4 Agustus 2015, pukul 10.30. Kember, D., Hong, C., dan Ho, Amaly. (2013). From model answers to multiple perspectives: Adapting study approaches to suit university study. Active Learning in Higher Education, March 2013; vol. 14, 1: pp. 23-35., first published on December 18, 2012. Konantambigi, R. M., Meghani, S., dan Modi A. (2008). Non-formal education in a tribal setting: Strategies for qualitative changes in children. Psychology & Developing Societies, January 2008; vol. 20, 1: pp. 65-98. Maitra, Krishna. dan Shama, Jyoti. (2009). Nonformal curriculum for out-of-school advanced learners. Gifted Education International, January 2009; vol. 25, 1: pp. 75-80. Mukhadis, A. (2013). Evaluasi program pembelajaran bidang teknologi: Terminologi, prosedur
158
pengembangan program dan instrumen. Malang: Bayumedia Publishing. Semiawan, C. R. (1999). Peningkatan kemampuan manusia sepanjang hayat seoptimal mungkin, cetakan pertama. Jakarta: Ditjen. Pendidikan Tinggi. Spence, K. K. dan McDonald, M. A. (2015). Assessing Vertical Development in Experiential Learning Curriculum, Journal of Experiential Education, September 2015; vol. 38, 3: pp. 296-312., first published on March 24, 2015. Solitander, N., Fougère, M., Sobczak, A. dan Herlin, H. (2012). We are the champions: organizational learning and change for responsible management education, Journal of Management Education, June 2012; vol. 36, 3: pp. 337-363., first published on December 28, 2011. Sutjipto. (2016). Pentingnya pelatihan kurikulum 2013 bagi guru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 1 Nomor 2, Agutus 2016. Tin-Yau Lo, J.(2010). The primary social education curricula in Hong Kong and Singapore: A comparative study. Research in Comparative and International Education, June 2010; vol. 5, 2: pp. 144-155. Zeichner, K. (2012). The turn once again toward practice-based teacher education , Journal of Teacher Education, November/December 2012; vol. 63, 5: pp. 376-382.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
INDEKS PENULIS JURNAL VISI VOLUME 11 TAHUN 2016 Agustin, Mubiar, 121 Anggraini, Gian Fitri, 111 Bunga, Beatriks Novianti, 73, 41 Fauzi, 99 Gustiana, Asep Deni, 121 Handayani, Meni, 57 Hapidin, 13 Herlina 29 Hidayat, Dayat, 81 Kiling, Indra Yohanes, 41 Oedjoe, Mientje Ratoe, 73 Oktiwanti, Lesi, 49
Putra, Mansyur Romadon, 22 Rahma, Siti, 13 Rahmah 36 Sadikin, Ade, 65 Saepudin, Asep, 65 Saripah, Iip, 65 Saripah, Ipah, 121 Sofia, Ari, 111 Subijanto, 1 Sutjipto Utami, Ade Dwi, 13 Yanti, Prima Gusti, 131
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
159
INDEKS SUBJEK JURNAL VISI VOLUME 11 TAHUN 2016 Afeksi paternal 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47 Anak usia dini 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 13, 14, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 37, 38, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 57, 58, 61, 63, 66, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 99, 100, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,118, 121, 128, Anak 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 31, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64 Budaya 2, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 46, 57, 60, 63, 64, 81, 88, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 108, 113, 114, 116, 117, Cim-Ciman 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108 Karakter 27, 42, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 107, 108, 113, 114 Karakter anak usia dini 27, 28, 57, 58 Keberdayaan 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56 Kelompok tani 49, 50, 51, 53 Kemampuan guru dalam bercerita 36, 37, 38, 39, 40 Kemandirian 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 50 Kesempatan kerja 81, 84, 85, 87, 88, 95, 96, 97 Keterampilan 18, 27, 29, 30, 31, 34, 36, 37, 43, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55 Keterampilan membaca 29, 30, 31, 34 Keterlibatan ayah 41, 42, 43, 45, 46 Komunikasi antarpribadi 57, 58, 59, 61, 62, 64 Kualitas pendidikan 1, 2 Lembaga PAUD 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10 Lingkungan pemulung 13, 14, 16, 17, 19, 20 Lingkungan perumahan 1, 2, 9, 10
Motorik kasar 73, 74, 75, 76, 78, 79, 102, 107 Mutu Layanan 65, 69, 70 Nilai 25, 68, 71, 76, 78, 84, 85, 94, 95, 96, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 108, 111, 114, 115, 126, 127 Pelatihan bercerita 36, 37, 38, 39, 40, Pelatihan keterampilan hidup 81, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97 Peluang 3, 49, 51, 52, 53, 54, 55 Pemahaman Bahasa Inggris 29 Pemerataan layanan pendidikan 1 Pendapatan warga belajar 81, 85, 87, 95, 96, 97 Pendidikan karakter 57, 60, 63 Pendidikan nonformal 2, 50, 65, 66, 67, 81, 82, 84 Pengasuhan 4, 5, 16, 26, 27, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 62 Pengetahuan 6, 9, 13, 26, 31, 34, 36, 38, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 62, 106, 112, 115, 116, 117 Penguatan manajemen 65, 67, 69, 70 Perilaku sosial 22, 24, 25, 26, 27, 28, 57 Perluasan akses 1, 2, 5, 6, 9 Permainan tradisional 73, 74, 75, 76, 78, 79, 99, 101, 102, 105, 106, 108 Permainan tradisional Sikodoka 73, 76, 79 PKBM 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98 SQ4R 29, 30, 31, 32, 33, 34 Sumber daya 5, 7, 37, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 59, 68, 82 Taman kanak-kanak 2, 9, 36, 37, 38, 39, 121, 125, 127 Tuna grahita 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79
PETUNJUK PENULISAN 1. Persyaratan Naskah
Naskah yang dikirimkan kepada editor dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang merupakan gagasan/karya tulis asli, belum pernah diterbitkan, tidak sedang dipertimbangkan untuk dimuat di media, jurnal, atau majalah lain baik nasional maupun internasional, dan belum pernah dikirim ke media cetak lain. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak mengandung unsur plagiarisme atau pelanggaran etika akademik lainnya. Setiap pelanggaran sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
2. Ragam Naskah
Naskah dapat berupa hasil hasil penelitian, kajian kepustakaan/literatur, kajian empiris, studi kasus, evaluasi, kajian kebijakan, isu-isu mutakhir pendidikan, atau resensi buku. Naskah dapat berupa pengembangan dari skripsi, tesis, disertasi, atau penelitian lain.
3. Stuktur Naskah
a. Judul: Menggambarkan isi naskah yang disajikan secara singkat dan padat, tidak terlalu spesifik/ sempit, tetapi juga tidak terlalu umum, dengan panjang paling banyak 14 kata. b. Identitas Penulis: Nama penulis ditulis secara lengkap, tanpa gelar, alamat e-mail, serta nama dan institusi/ lembaga. Apabila penulis naskah lebih dari satu orang, alamat email yang dicantumkan adalah alamat penulis utama yang disebutkan pada urutan terdepan nama penulis. c. Abstrak: bersifat informatif berisi latar belakang, masalah, tujuan, metode, tempat dan waktu penelitian, hasil dan saran. Abstrak ditulis secara singkat tanpa memuat rumus/ perhitungan statistik, dengan panjang antara 150-250 kata dan disusun dalam satu paragraf, serta dilengkapi dengan paling sedikit tiga kata kunci yang merupakan konsep penting dalam naskah. Judul dan abstrak ditulis dalam versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. d. Pendahuluan: berisi latar belakang dan rumusan masalah, manfaat penelitian, serta kajian pustaka/ teori tanpa menggunakan subjudul. Isi pendahuluan tidak melebihi 20% dari keseluruhan tulisan. e. Metode Penelitian: berisi jenis, tempat dan waktu, serta prosedur penelitian (sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data). f. Hasil dan Pembahasan: mencakup hasil/ data kualitatif dan/atau kuantitatif yang diikuti dengan pembahasan serta implikasi. g. Penutup: terdiri atas (a) kesimpulan temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan, dan (b) saran. Kesimpulan dan saran disajikan dalam bentuk paragraf. i. Perujukan dan Pengutipan: menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Contoh: (Sitepu, 2014) h. Daftar Pustaka: hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Jumlah pustaka yang diacu untuk hasil penelitian paling sedikit 10 pustaka dan untuk hasil kajian paling sedikit 25 pustaka. Contoh penulisan daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini, diurutkan secara alfabetis dan kronologis: Buku: Januszewski, A.,& Molenda, M. (2008). Educational technology: A definition with commentary. New York: Routledge. Newby, T. J., et.al. (2010). Educational technology for teaching and learning (4th ed). London: Pearson Buku elektronik: Niemann, S., Greenstein, D., & David, D. (2004). Helping children who are deaf: Family and community support for children who do not hear well. Diakses dari http://www.hesperian.org/ publications_download_deaf.php Buku kumpulan artikel: Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). (2002). Menulis artikel untuk jurnal ilmiah (edisi ke-4, cetakan ke-1). Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Russel, T. (1998). An alternative conception: representing representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds.), Children’s Informal Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge. Artikel dalam jurnal atau majalah: Sadid, A. (2014). Model desa terpadu PAUDNI mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Jurnal VISI PPTK-PAUDNI, 9 (1), 56-67.
Artikel dalam koran elektronik: Maruli, A. (November, 2013). Pemerintah alokasikan Rp 2,40 triliun untuk paud nonformal dan informal. Antaranews.com. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/405210/pemerintahalokasikan-rp-240-triliun-untuk-paud-nonformal-dan-informal pada tanggal 10 Desember 2013. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Wanita kelas bawah lebih mandiri. (2010, 22 April). Kompas, p. 3 Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1978). Pedoman penulisan laporan penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: PT Armas Duta Jaya. Buku terjemahan: Zainu, M. (2010). Solusi pendidikan anak masa kini. (Syarif Hade, penterjemah). Jakarta: Mustaqiim Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Septiani, M. (2015). Pengalaman pusat kegiatan belajar masyarakat dalam memfasilitasi masyarakat Jakarta Utara belajar sepanjang hayat: Sebuah studi fenomenologi di Jakarta Utara. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: PPS UNJ. Internet (artikel dalam jurnal online): Johns, E., & Mewhort, D. (2009). Test sequence priming in recognition memory. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory and Cognition, 35, 1162-1174. doi: 10.1037/a0016372
4. Fisik Naskah
Naskah diketik dengan format A4, menggunakan jenis huruf Arial ukuran 10 point dengan spasi 1,5. Panjang naskah berkisar antara 4000-10.000 kata yang diserahkan kepada editor dalam bentuk soft copy (CD) dan hard copy/ print out. Tabel diberi nomor secara berurut dan diberikan judul secara singkat, diletakan di atas tabel dan diketik menggunakan huruf kapital pada setiap awal kata. Gambar, termasuk grafik, bagan, diagram, peta, foto, atau sketsa diberikan nomor secara berurut dengan penjelasan dan diletakan di bawah gambar. Berikut ini adalah contoh penulisan tabel dan gambar.
Tabel 1. Persentase Mahasiswa Yang Memiliki Peralatan TIK No
Peralatan TIK
Persen (%)
1
Komputer pribadi (PC)
11.8
2
Laptop
32.2
3
Tablet
7.5
4
iPod touch
1.5
5
Telepon
10.3
6
Handphone
36.7
Gambar 1. Persentase mahasiswa yang memiliki peralatan TIK
5. Penyerahan Naskah.
Naskah dalam bentuk hard copy dan compact disk (CD) dikirim ke Redaksi Jurnal VISI PPTK PAUDNI UNJ, Kampus A UNJ Gd. Daksinapati, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur, 13220. Soft copy naskah dapat dikirim ke E-mail:
[email protected]. Editor hanya menerima dan mempertimbangkan naskah yang memenuhi syarat seperti yang tertera di atas. Penulis tidak dikenakan biaya submisi dan Redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan kepada penulis naskah yang tidak dimuat.
6. Telaahan Naskah
Naskah yang dinyatakan lolos dari seleksi pendahuluan dikirimkan kepada satu atau dua orang blind reviewer (penelaah tidak tahu nama penulis dan sebaliknya) untuk ditelaah kemungkinan penerbitannya. Penulis berkewajiban memperbaiki (bila perlu) naskah sesuai dengan saran penelaah sebagai syarat untuk penerbitan sebuah artikel.