Jurnal Ilmiah
VISI
Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PPTK PAUDNI) Vol. 11 No. 1 Juni 2016
ISSN 1907-9176
Hal 1 - 64
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian kepustakaan. Jurnal VISI diterbitkan pertama kali pada bulan Juni 2006. Susunan Redaksi: Penasehat Penanggung Jawab
:
Prof. Dr. Djaali, M.Pd
:
Dr. Sofia Hartati, M.Si
Ketua Penyunting
:
Prof. Dr. B. P. Sitepu, M.A.
Wakil Ketua Penyunting
:
Dr. Gantina Komala Sari, M.Psi.
Penyunting Pelaksana :
Retno Widyaningrum, S.Kom., M.M. Ika Lestari, S.Pd., M.Si
Mitra Bestari :
Prof. Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd (Teknologi Pendidikan - UNJ) Dr. Mubiar Agustin, M.Pd. (Pendidikan Anak Usia Dini - UPI) Dr. Asep Saepudin, M.Pd. (Pendidikan Luar Sekolah - UPI) Dr. Anan Sutisna, M.Pd (Pendidikan Luar Sekolah - UNJ)
Pelaksana Tata Usaha : Supraptiningsih, S.IP. Pelaksana Teknis : Mita Septiani, M.Pd
Alamat Redaksi: Gedung Daksinapati Lt.3, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Rawamangun Muka, Jakarta Timur 13220 Telp. (021) 47860970; Faks: (021) 4897535; HP: 081210663761 e-mail:
[email protected] http://journal.unj.ac.id/jurnalfip/index/visi
ISSN : 1907 – 9176
VISI PEMBINAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, NONFORMAL, DAN INFORMAL (PPTK-PAUDNI) Lembaga PAUD Di Lingkungan Perumahan Sebagai Upaya Penyebaran Akses dan Peningkatan Kualitas Pendidikan Early Childhood Education in The Housing Compound to Promote Access and Quality of Education Subijanto
1 - 12
Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun di Komunitas Lingkungan Pemulung Independance of 4 – 5 Years Old Children in The Garbage Collector Community Siti Rahma, Ade Dwi Utami, & Hapidin
13 - 21
Perilaku Sosial Anak Pekerja Batu Kali di Kampung Tapak Lebar Social Behaviour of The Children of River Stone Labour in Tapak Lebar Village Mansyur Romadon Putra
22 - 28
Meningkatkan Keterampilan Membaca Pemahaman Bahasa Inggris Melalui Metode SQ4R Improving English Reading Comprehension Skill by SQ4R Method Herlina
29 - 35
Hubungan Pelatihan Bercerita Terhadap Kemampuan Guru Dalam Bercerita di Taman Kanak-Kanak Correlation of Story Telling Training With Teacher’s Skill of Sotry Telling in Kindergarten Rahmah
36 - 40
Identifikasi Afeksi Paternal Pada Ayah Anak Usia Dini di Kota Kupang Identfication of Paternal Affection on The Father of Early Aged Child in Kupang City Fitriany Karunia Muh. Wangge, Friandry Windisany Thoomaszen, Beatriks Novianti KilingBunga, & Indra Yohanes Kiling
41 - 48
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keberdayaan Anggota Gabungan Kelompok Tani Pada Sekolah Lapang Influencing Factors on The Power of Farmer Group Members in Lapang School Lesi Oktiwanti
49 - 56
Peran Komunikasi Antarpribadi Dalam Keluarga Untuk Menumbuhkan Karakter Anak Usia Dini Role of Interpersonal Communication in The Family to Build The Character of Early Aged Child Meni Handayani
57 - 64
Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No.1, Juni 2016
PENGHARGAAN Atas kesediaan menjadi Mitra Bestari dalam penerbitan Jurnal Ilmiah Visi PPTK-PAUDNI Volume 11 No 1 Juni 2016 ini, Dewan Redaksi Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada: NAMA
PEKERJAAN/INSTANSI
KEAHLIAN
Dr. Asep Saepudin, M.Pd
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan Luar Sekolah
Dr. Mubiar Agustin, M.Pd
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan Anak Usia Dini
Dr. Syarif Sumantri, M.Pd
Dosen Universitas Negeri Jakarta
Pendidikan Dasar
Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI Terakreditasi oleh LIPI Nomor 621/AU2/P2MI-LIPI/03/2015 Masa Berlaku Akreditasi 2015 - 2018
PENGANTAR REDAKSI
Pendidikan memiliki posisi penting dan peran strategis di dalam upaya mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, tetapi juga berakhlak mulia, berkarakter, produktif, dan berdaya saing sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya sendiri dan orang lain. Lembagalembaga pendidikan juga diharapkan dapat menghasilkan calon-calon pemimpin yang dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, semua warga negara memiliki hak yang sama di dalam memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan termasuk warga negara yang masih berusia dini. Memberikan pendidikan yang tepat kepada anak sedini mungkin berdampak positif terhadap perkembangan kepribadian anak di kemudian hari. Oleh karena itu pemerintah dan masyarakat berusaha mengembangkan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Walaupun PAUD bukan menjadi pendidikan wajib, Pemerintah memberikan kesempatan kepada semua anak usia dini (AUD) mengenyam PAUD di berbagai bentuk lembaga seperti Bina Keluarga Balita (BKB), Posyandu, Kelompok Bermain (Play Group), Tempat Penitipan Anak (TPA), dan di jenjang pendidikan formal ada Taman Kanak-kanak (TK). Kebijakan pemerintah mendorong perkembangan lembaga PAUD sampai ke desa-desa. Di daerah perkotaan terlihat lembaga PAUD tumbuh di daerah lingkungan perumahan untuk mempermudah anak memperoleh layanan PAUD. Walaupun penyelenggaran lembaga PAUD memberikan dampak positif, ternyata masih ada berbagai masalah yang perlu diatasi. Penelitian yang dilakukan oleh Subijanto tentang “Keberadaan Lembaga PAUD di Lingkungan Perumahan sebagai Upaya Penyebaran Akses dan Peningkatan Kualitas Pendidikan” menunjukkan bahwa keberadaan lembaga PAUD di lingkungan perumahan belum merata padahal sangat diperlukan. Masih minimnya akses layanan PAUD membuat tidak semua anak dapat mengenyam PAUD sehingga menjadi tanggung jawab bersama untuk meningkatkan jumlah dan kualitas akses layanan PAUD. PAUD berupaya membentuk dan memupuk kemandirian AUD sebagai individu yang mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri, dan mengatur diri sendiri. Menumbuhkan sikap kemandirian sedini mungkin pada anak akan membuatnya penuh percaya diri dan mudah di dalam menentukan pilihan. Memang bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab lembaga PAUD menumbuhkan kemandirian pada diri anak karena orang tua dan lingkungan turut memiliki andil dalam membentuk kemandirian anak. Kemandirian sejak dini perlu dipupuk tidak terkecuali bagi komunitas lingkungan pemulung. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Siti Rahma, Ade Dwi Utami, dan Hapidin tentang “Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun di Komunitas Lingkungan Pemulung”. Kemandirian menjadi tanggung jawab tidak hanya oleh orang tua tetapi juga masyarakat di lingkungan. Anak yang mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya. Orang tua perlu membekali anak sejak dini untuk bisa melakukan kegiatannya sendiri tanpa harus mengandalkan orang tua. Kemandirian memang diperlukan dalam kehidupan seseorang, tetapi manusia juga harus memiliki keterampilan berinteraksi satu sama
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
lain. Oleh karena itu, sejak dini anak juga dibiasakan berprilaku baik dengan orang lain. Perilaku sosial AUD ditumbuhkan dalam bentuk kerja sama, tolong-menolong, berbagi simpati, empati dan saling membutuhkan satu sama lain. Anak sebagai anggota masyarakat nantinya diharapkan menjadi manusia yang berakhlak sehingga tujuan kegiatan pendidikan di lembaga PAUD dan lingkungan keluarga adalah menanamkan perilaku sosial sesuai dengan norma di masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Mansyur Romadon Putra tentang “Perilaku Sosial Anak Pekerja Batu Kali di Kampung Tapak Lebar” menunjukkan bahwa lingkungan sangat berperan di dalam menentukan perilaku sosial anak. Pendidikan dapat sebagai sarana di dalam memanusiakan manusia. Perilaku sosial anak Kampung Tapak dalam berinteraksi tidak mencerminkan etika dan kesopanan yang sesuai dengan budaya sopan santun sehingga perlu ada campur tangan dari pemerintah setempat di dalam menyelenggarakan PAUD atau memberikan pelatihan-pelatihan bagi orang tua anak untuk dapat mengendalikan perilaku sosial anak. Keterlibatan keluarga dalam mengembangkan kemampuan akademis dan perilaku sosial anak sangat dibutuhkan. Peran orangtua khususnya ibu pada anak usia di bawah 5 tahun sangat besar pengaruhnya. Orang tua harus tetap mengasuh dan mendidik anaknya agar dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik. Komunikasi antarpribadi antara orangtua dan anak menjadi penting untuk membentuk karakter anak sesuai dengan pola orangtuanya. Seperti kajian yang dilakukan oleh Meni Handayani tentang Peran Komunikasi Antarpribadi dalam Keluarga untuk Menumbuhkan Karakter AUD. Kedekatan antara orang tua dan anak dapat memupuk nilai-nilai yang perlu dianut oleh anak seperti nilai moral, kejujuran, agama kepada anak. Komunikasi menjadi saluran di dalam membentuk karakter. Perintah ataupun larangan tidak membelajarkan nilai-nilai afektif ke anak, melainkan contoh perilaku orang tua lah yang dianggap dapat menjadi teladan bagi anak di dalam bersikap. Nilai afektif merupakan hal yang mutlak diperlukan bagi anak sebagai bekal dewasa nanti untuk membentuk diri menjadi makhluk yang berakhlak. Sekaligus sebagai pewarisan nilainilai budaya dari leluhur. Mengakui kesalahan, kebersamaan di dalam keluarga, menghormati orang tua dapat dilakukan dengan pembiasaan di keluarga serta di masyarakat. Setelah anak menempuh PAUD, baru kemudian memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD). Di tingkat SD, anak diajarkan tentang kemampuan membaca, menulis, dan berhitung termasuk juga berbahasa Inggris sebagai pilihan untuk muatan lokal sekolah. Di SD, anak diajarkan keterampilan membaca pemahaman bahasa Inggris melalui metode pembelajaran SQ4R (Survey, Question, Read, Recite, Record and Review). Penelitian yang dilakukan oleh Herlina tentang “Meningkatkan Keterampilan Membaca Pemahaman Bahasa Inggris melalui Metode SQ4R” menemukan bahwa membaca pemahaman dengan metode SQ4R dapat meningkatkan keterampilan membaca pemahaman siswa kelas III SDS Labschool Setia Budi Jakarta Selatan. Tidak jauh berbeda di jenjang SD, di TK pun juga diajarkan kemampuan berbahasa meskipun masih terbatas pada bercerita. Bercerita merupakan salah satu bagian dari kemampuan berbicara untuk
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
membelajarkan anak mengungkapkan ide dan pikiran agar dipahami oleh orang lain. Untuk membuat anak mampu bercerita dengan baik, guru perlu diberikan pelatihan bercerita. Pelatihan bercerita diharapkan memiliki hubungan yang signifikan dengan kemampuan guru di dalam bercerita. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rahmah tentang “Hubungan Pelatihan Bercerita terhadap Kemampuan Guru dalam Bercerita di Taman Kanak-Kanak” menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Ibu dianggap merupakan pihak yang paling bertanggung jawab di dalam perkembangan anak, tugas ayah hanya sebagai pencari nafkah semata. Padahal, ayah juga memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan AUD. Sebuah penelitian mengenai “Identifikasi Afeksi Paternal pada Ayah dari Anak Usia Dini di Kota Kupang” oleh Fitriany Karunia Muh. Wangge, Friandry Windisany Thoomaszen, Beatriks Novianti Kiling-Bunga, dan Indra Yohanes Kiling membuktikan bahwa para ayah di kota Kupang telah menyadari tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam pengasuhan secara emosional. Rasa aman, terlindungi, dan tanggung jawab adalah hal-hal yang dapat dirasakan oleh seorang anak dari ayah. Waktu, interaksi, dan perhatian adalah yang dibutuhkan anak terutama dari ayah. Sifat maskulinitas pada diri ayah menjadi pembeda tersendiri dari pola asuh yang ditanamkan ibu. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lesi Oktiwanti tentang “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keberdayaan Anggota Gabungan Kelompok Tani Pada Sekolah Lapang” menjelaskan bahwa sumber daya, pengetahuan, keterampilan, serta peluang memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap keberdayaan anggota Gabungan Kelompok Tani. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan sangat dibutuhkan di semua jenjang usia, kelas, maupun kelompok. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memberikan kesempatan kepada AUD untuk memperoleh pendidikan agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia Indonesia yang unggul tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Akan tetapi, mereka juga diharapkan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia yang memiliki kepribadian yang tangguh dan andal. Besarnya harapan orangtua dan sebagian masyarakat atas PAUD membuat penyelenggaraan pendidikan di lembaga-lembaga PAUD kurang memperhatikan kebutuhan bermain anak. Mereka diarahkan pada proses kegiatan belajar seperti di lembaga pendidikan formal, padahal PAUD (TPA, KB,dan TK) tergolong pada pendidikan pra sekolah. Sejumlah lembaga PAUD menerjemahkan kurikulum secara keliru sehingga prinsip bermain sambil belajar diubah menjadi belajar sambil bermain. Anak sudah dituntut mampu membaca, menulis, dan berhitung yang semestinya masih pada taraf pengenalan huruf dan angka melalui berbagai jenis permainan yang menyenangkan anak. Proses pembelajaran yang diterapkan di lembaga PAUD yang mengarah pada tujuan kompetensi kognitif serta memperlakukan mereka sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil, dapat membuat anak merasa bosan, tidak senang, dan tertekan. Akan tetapi, faktanya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
proses pendidikan di PAUD menekankan pada pembelajaran, bukan permainan yang mendidik, karena masih banyak tenaga pendidik di lembaga PAUD tidak berlatar belakang pendidikan anak usia dini. Mereka juga kurang mampu memahami dan menerjemahkan kurikulum sebagaimana semestinya. Sementara itu, cukup banyak orang tua belum sepenuhnya memahami tujuan PAUD sehingga mereka mengharapkan lembaga PAUD dapat menjadikan anak mereka menjadi pintar/cerdas. Untuk memenuhi harapan orangtua ini, lembaga PAUD cenderung mengembangkan metode pembelajaran dan bukan metode permainan yang menyenangkan anak. Kesadaran orangtua bahwa pendidikan anak diawali dari tengah-tengah keluarga serta tanggung jawab orangtua atas pembentukan dan pengembangan karakter anak sangat menentukan masa depannya di kemudian hari. Berbagai hasil penelitian yang dimuat dalam edisi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan PAUD di Indonesia. Di samping itu, masalah, metode, dan hasil penelitian itu hendaknya dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitan lebih lanjut.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Penelitian
LEMBAGA PAUD DI LINGKUNGAN PERUMAHAN UNTUK PENYEBARAN AKSES DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN Subijanto e-mail:
[email protected] Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemendikbud Jalan Jenderal Sudirman, Senayan-Jakarta Pusat
Abstrak: Keberadaan lembaga PAUD di lingkungan perumahan sudah menjadi kebutuhan sebagai akses pemerataan layanan pendidikan pada anak usia dini (0-6 tahun). Hal ini merupakan salah satu kebijakan Kemendikbud sampai tahun 2014. Namun, hal tersebut belum dapat terwujud secara tuntas dan merata, khusunya di daerah lingkungan perumahan di perkotaan dan di pedesaan. Tujuan kajian kebijakan ini dimaksudkan untuk menelaah peningkatan akses layanan dan peningkatan kualitas PAUD. Metode kajian dilakukan dengan cara menganalisis dokumen terkait dengan legal formal dan berbagai sumber lainnya tentang PAUD. Hasil kajian menunjukkan bahwa (1) penyebaran lembaga PAUD di lingkungan perumahan belum merata, (2) keberadaan layanan PAUD sangat diperlukan oleh masyarakat di lingkungan perumahan, (3) peningkatan akses layanan PAUD di perumahan memberikan kesempatan pendidikan bagi semua anak usia dini dari berbagai strata status sosial ekonomi orangtua, dan (4) pembelajaran melalui pendekatan holistik integratif dapat meningkatkan akses dan kualitas layanan PAUD. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran dan perluasan akses PAUD belum merata dan belum didukung oleh pengembang perumahan serta pemerintah daerah setempat sehingga akses anak usia dini memperoleh pendidikan masih belum optimal Kata-kata Kunci: lembaga PAUD, pemerataan layanan pendidikan, lingkungan perumahan, perluasan akses, kualitas pendidikan.
EARLY CHILDHOOD EDUCATION IN THE HOUSING COMPOUND TO PROMOTE ACCESS AND QUALITY OF EDUCATION Abstract:The existence of Early Childhood Education (ECE) has become a need for equalizing the access to educational service for early age children (0-6 years old). This also became the policy of Ministry of Education and Culture up to 2014. However, the policy could not be implemented completely and equally, particularly in the housing compound in urban and rural areas. The purpose of this policy study is to review the improvement of service accessibility and ECE quality. This study applied document study on legal products and relevant document related to ECE. The result of the study indicates (1) The distribution of ECE in the housing compound is unequal, (2) ECE services are badly needed by the community in the housing compound, (3) improvement access to ECE services in the housing compound provides educational opportunity to all early aged children with different economic and social status background of their parents, and (4) instruction based on integrative holistic approach can improve the access and service quality of ECE. It can be concluded, the access to ECE is not well distributed and expanded yet and not well supported by developer and local government Keywords: Early Childhood Education, equalization of educational service, housing compound, access expansion, educational quality.
PENDAHULUAN Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut (Permendikbud, No 84/2014). Berdasarkan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
1
Lembaga PAUD di ...
pada hasil Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2014, telah ditetapkan program “Gerakan Nasional PAUD” dan “Persiapan WAJAR PAUD 4-6 Tahun” yang dijabarkan dalam tiga isu strategis sebagai berikut. Pertama, “perluasan dan peningkatkan akses layanan PAUD sampai ke pedesaan dengan keberpihakan pada daerah 3T (terluar, terpencil, dan tertinggal)”. Strategi ini dapat menunjang rencana aksi dan komitmen dalam upaya peningkatan anggaran penyelenggaraan PAUD melalui APBN yang didukung APBD I dan APBD II. Mengacu pada standar pelayanan minimal (SPM) PAUD, melalui perluasan akses, ditargetkan 80 persen desa/kelurahan di setiap kabupaten/kota memiliki program PAUD” dan 80 persen di setiap kabupaten/ kota memiliki PAUD; pendidikan keorangtuaan; serta 25 persen kecamatan di setiap kabupaten/ kota memiliki Taman Kanak-kanak (TK) Negeri. Kedua, “mutu dan relevansi”, menargetkan peningkatan kualitas gedung PAUD, tunjangan guru PAUD nonformal, dan pemberian apresiasi kepada desa “Ramah Anak”. Rencana strategis ini akan memberikan bantuan rehab ruang PAUD yang bersumber dari dana APBN dan APBD, bantuan pembangunan USB dan RKB, renovasi sarana dan prasarana PAUD nonformal, serta meningkatkan kesejahteraan PTK PAUD Nonformal. Sesuai dengan SPM PAUD, peningkatan mutu dan relevansi PAUD ditargetkan 50 persen TK minimal memiliki satu orang pendidik berijazah S1 pada setiap satuan PAUD minimal mencapai 30 persen. Ketiga, “tata kelola”, yaitu kebijakan pelaksanaan persiapan WAJAR PAUD umur 4-6 tahun. Rencana aksi ini diawali dengan menyusun naskah akademik WAJAR PAUD, termasuk peta jalan (road map) penuntasan PAUD; meningkatkan mutu PTK PAUD; pemenuhan standar sarana dan prasarana; serta advokasi persiapan implementasi Wajar PAUD umur 4-6 tahun (Kemendikbud, RNPK, 2014). Permasalahan keterbatasan akses layanan PAUD antara lain disebabkan oleh kurangnya kepedulian masyarakat dan pemda setempat terhadap eksistensi lembaga PAUD, masalah geografis, sosial, ekonomi, dan budaya, serta kebijakan-kebijakan pemerintah setempat yang dinilai kurang berpihak pada kebutuhan PAUD (Kemendikbud, 2014). Mengacu pada latar belakang, masalah yang
2
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
dirumuskan yaitu Sampai sejauhmana keberadaan lembaga PAUD sebagai upaya peningkatan dan perluasan akses layanan PAUD telah merambah ke perumahan masyarakat perkotaan dan pedesaan? Atas dasar permasalahan tersebut maka tujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis upaya peningkatan dan perluasan akses lembaga PAUD dan peningkatan kualitas pendidikan (PAUD) khususnya di komplek perumahan (kota) dan pedesaan pada umumnya. Manfaat hasil kajian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumbang saran atau bahan masukan para pemangku kepentingan pendidikan (stake holders) PAUD dalam upaya peningkatan perluasaan akses dan layanan PAUD di lingkungan perumahan perkotaan. Penyelenggaraan PAUD di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 28 ayat (1) sampai dengan ayat (5), disebutkan bahwa (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudlatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; dan (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan (UU No.20/ 2003). Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 61 dinyatakan bahwa (1) Pendidikan anak usia dini berfungsi untuk “membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya”, (2) Pendidikan anak usia dini bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap,
Lembaga PAUD di ...
kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan (PP No. 17/2010). Dalam konteks pengembangan intelektual anak, hasil penelitian Bloom (dalam Suyanto, 2004) mengemukakan bahwa “pengembangan intelektual anak sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50 % variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30 % berikutnya terjadi pada usia 8 tahun dan sisanya 20 % pada pertengahan atau akhir dasa warsa kedua”. Hasil penelitian Bloom, oleh para ahli disebutnya periode pengembangan masa anak-anak sebagai masa emas (gold ages). Pemerintah D.K.I Jaya, merupakan salah satu contoh bentuk kepedulian Pemerintah Provinsi DKI dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas layanan PAUD, Selama ini, belum semua warga kelas menengah ke bawah mampu membiayai pendidikan putra-putrinya di PAUD/ TK. Dalam rencana pembangunannya, Pemda D.K.I berencana akan melengkapi setiap rusunawa dengan berbagai fasilitas yang diperlukan lembaga PAUD. Dukungan ini semakin kuat manakala semakin banyaknya warga DKI yang direlokasi ke rusunawa. Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Gedung D.K.I, pihaknya telah mendirikan lembaga PAUD di beberapa rusunawa, seperti di Cipinang Besar Selatan, Marunda, Cakung Barat, Pinus Elok, dan Pulogebang. Sesuai rencana, PAUD akan didirikan di 20-25 lokasi rusunawa yang berlokasi di wilayah DKI Jakarta (Joanito De Saojoao dalam Suara Pembaruan, 2012). Semua rusunawa akan dilengkapi lembaga PAUD yang pembangunannya akan dilaksanakan secara bertahap dan pihaknya bekerjasama dengan pihak swasta melalui program corporate social responsibility (CSR). Lembaga PAUD, pada umumnya didirikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/ kota); keluarga (orang perseorangan) atau kelompok orang (organisasi sosial kemasyarakatan), pemerintah desa; dan badan hukum (yayasan) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Permendikbud No. 84/2014.
Ini berarti bahwa para pemangku kepentingan pendidikan memiliki peluang untuk berkontribusi mendirikan lembaga PAUD di lingkungan masingmasing. Namun faktanya gerakan satu desa satu PAUD belumlah menjadi kenyataan. Hal ini diasumsikan banyak faktor penyebabnya, antara lain pendiri/pengelola harus memiliki persayaratan yang unik untuk mengendalikan roda organisasi (lembaga PAUD, khususnya kompetensi manajerial/ pengelolaan PAUD) Penyelenggaraan PAUD harus mampu memberikan sentuhan atau rangsangan yang seimbang antara fungsi otak kiri dan otak kanan. Pembelajaran yang dapat mengendalikan memfungsikan kedua belahan otak secara harmonis banyak membantu anak berinisiatif mengatasi dirinya, meningkatkan prestasi belajar. Bagi penyelenggara PAUD, agar lebih memperhatikan dan mengembangkan kecerdasan otak anak secara aktif dengan melakukan antara lain senam otak (brain gym). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Indah Wulandari (2013) yang menyatakan bahwa “senam otak mampu mengembangkan kreativitas anak dan mampu meningkatkan daya konsentrasi serta menimbulkan kemandirian dan kematangan emosional anak”. Secara kelembagaan, keberadaan Direktorat PAUD mengindikasikan adanya komitmen Pemerintah di bidang PAUD sesuai dengan Surat Kepmenpan Nomor 81/M.PAN/3/2001 dan Surat Kepmendiknas Nomor 051/0/2001. Dalam rangka meningkatkan akses dan pelayanan PAUD, TK Negeri Pembina Tingkat Nasional, telah ditetapkan Kemdikbud sebagai pusat rujukan PAUD nasional sekaligus sebagai model bagi PAUD lainnya di daerah. Ditjen PAUDNI berencana mewujudkan sekurang-kurangnya di setiap provinsi memiliki satu TK rujukan tingkat nasional yang mengemban misi melaksanakan layanan PAUD secara holistikintegratif (layanan pendidikan, layanan gizi, layanan kesehatan, dan masalah pelindungan dari segala macam kekerasan psikis dan fisik anak). Dalam jangka panjang, Ditjen PAUD telah merencanakan pembangunan PAUD secara nasional (dimulai tahun 2011 s.d. tahun 2045). Peraturan Presiden No 60 Tahun 2013 mengatur penyelenggaraan PAUD holistikintegratif (PAUD-HI) dengan mengamanatkan bahwa program pengembangan anak usia dini
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
3
Lembaga PAUD di ...
hendaknya dilakukan secara holistik-integratif. Dalam operasionlnya, Ditjen PAUD telah melakukan peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru. Melalui program PAUD-HI, diharapkan mampu mengoptimalkan kecerdasan anak sesuai tahap tumbuh kembang anak, di samping memberikan kesiapan mengikuti pendidikan lebih lanjut, bermutu, merata dan berkeadilan. Dalam penyelenggaraaan PAUD-HI, anak berhak mendapatkan (1) pemahaman pemenuhan gizi seimbang perkembangan otak dan pertumbuhan fisik anak; (2) stimulasi psiko sosial dalam PAUD, agar kelak mampu menjadi anak yang adaptatif terhadap lingkungan sekitar; (3) pengasuhan yang terbaik; (4) perlindungan dan orang tua harus mendapatkan pemahaman pentingnya menghindari tekanan dalam bentuk verbal atau fisik dalam pola asuh; dan (5) akses bermain yang edukatif dan menyenangkan (Ditjen PAUDNI, 2013). Menurut data pokok pendidikan (DAPODIK) Kemendikbud, sampai tahun 2013, jumlah lembaga PAUD di Indonesia sebanyak 178.720, dengan rincian (a) 76.457 TK/TKLB, (b) 72.239 kelompok bermain, (c) 3.182 TPA, dan (d) 26.842 satuan PAUD sejenis (PDSP, 2013). Secara faktual, Pemerintah telah membangun PAUD sebanyak 50 unit terpadu dan merehabilitasi 100 PAUD terpadu di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan tersebut diharapkan dapat meringankan beban masyarakat yang kurang mampu di berbagai kabupaten/kota/ pedesaan. Selain itu, memberikan bantuan rintisan PAUD kepada 13.177 lembaga, pembangunan 260 ruang kelas baru (RKB), pemberian alat permainan edukatif (APE) bagi 2.000 lembaga PAUD, dan juga penguatan sarana pembelajaran 16.841 lembaga PAUD. Namun demikian, upaya tersebut belum merata sampai ke seluruh wilayah NKRI (PDSP, 2013). Bila kita cermati lebih lanjut, perbandingan antara jumlah anak usia dini dengan ketersediaan lembaga PAUD belum seimbang, artinya masih banyak anak yang belum terlayani oleh lembaga PAUD. Hal ini diperkuat Jalal (2004), bahwa dari sekitar 26,17 juta anak usia dini (0-6 tahun), yang terlayani pendidikan baru 7,16 juta (27,36 %). Dalam memperluas dan meningkatkan akses dan mutu PAUD, berbagai upaya percepatan telah dan sedang dilakukan. Fokus sasaran program ini yaitu untuk masyarakat yang kurang mampu, melalui
4
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
penyaluran Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) kepada 45.000 lembaga PAUD untuk disalurkan lebih dari 1,35 juta anak usia dini (Media ACDP Indonesia, 21 Oktober 2013). Berkaitan dengan konsep mutu pendidikan, penelitian yang dilakukan Conect (2005) di Amerika Serikat, telah divalidasi oleh The Center for Reseach on Educational Policy dari University of Memphis (dalam Suryana, 2014), menunjukkan adanya beberapa indikator terkait dengan kualitas pembelajaran (instructional quality indicators), yaitu (1) lingkungan fisik yang kaya dan merangsang; (2) iklim pembelajaran dalam kelas yang kondusif; (3) harapan yang jelas dan tinggi darai para peserta didik; (4) pembelajaran yang koheren dan terfokus; (5) wacana ilmiah yang merangsang pikiran; (6) belajar otentik; (7) asesmen diagnostik pembelajaran yang teratur; (8) membaca, menulis, dan berkarya sebagai kegiatan regular; (9) pemikiran matematis; dan (10) penggunaan teknologi (sederhana) secara efektif. Beberapa indikator pendekan pembelajaran meliputi (1) kesempatan belajar yang tersebar dan mudah dicapai dan diikuti; (2) isi pendidikan mudah dicerna; (3) kesempatan yang tersedia yang dapat diperoleh siapa saja pada setiap saat diperlukan; (4) pesan yang diberikan pada saat yang tepat; (5) keterandalan tinggi; (6) terutama karena kinerja lembaga dan lulusannya yang menonjol; dan (7) keanekaragaman sumber yang mudah dimanfaatkan untuk kepentingan belajar; dan (8) suasana yang akrab, hangat, dan menarik (Suryana, 2013). Pembelajaran yang efektif seringkali diukur dengan tercapainya tujuan, atau dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam mengelola pembelajaan atau “doing the right things”. Pengertian ini mengandung ciri sistematik, yaitu dilakukan secara teratur melalui tahapan perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan (Suryana, 2013). Adapun pembelajaran yang efisiensi dapat dimaknai sebagai kesepadanan antara waktu, biaya, dan tenaga yang digunakan dan hasil yang diperoleh atau mengerjakan sesuatu dengan benar. Pembelajaran yang efisien memiliki ciri-ciri (1) merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan model yang mengacu pada kepentingan anak; (2) kebutuhan dan kondisi anak; (3) pengorganisasian kegiatan
Lembaga PAUD di ...
belajar dan pembelajaran yang rapi (misalnya lingkungan yang kondusif; (4) pemanfaatan berbagai sumber daya dengan pembagian tugas seimbang; (5) pengembangan dan pemanfaatan aneka sumber belajar sesuai keperluan; (6) pemanfaatan sumber belajar bersama; (7) usaha inovatif yang merupakan penghematan biaya, seperti pembelajaran jarak-jauh, pembelajaran terbuka tanpa harus membangun gedung dan mengangkat tenaga pendidik yang digaji secara tetap; dan (8) mempertimbangkan berbagai faktor internal maupun eksternal (sistemik) untuk menyusun alternatif tindakan dan memilih tindakan yang paling menguntungkan (Suryana, 2013). Pembelajaran yang memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dan lebih banyak dikategorikan sebagai pembelajaran yang produktif. Produktivitas pada dasarnya merupakan keadaan atau proses yang memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dan lebih banyak. Produktivitas pembelajaran dapat mengandung makna (a) perubahan proses pembelajaran (dari menghafal dan mengingat ke menganalisis dan mencipta), (b) penambahan masukan dalam proses pembelajaran (dengan menggunakan berbagai macam sumber balajar), (c) peningkatan intensitas interaksi anak dengan sumber belajar atau gabungan ketiganya dalam kegiatan belajar-pembelajaran sehingga menghasilkan mutu yang lebih baik, (d) keikutsertaan dalam pendidikan yang lebih luas, dan (e) lulusan lebih banyak dan dihargai oleh masyarakat serta berkurangnya angka putus sekolah (Suryana, 2013).
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan peningkatan akses layanan dan mutu penyelenggaraan PAUD, antara lain dilakukan oleh Tompodung (1999) tentang “Efektivitas penyelenggaraan PAUD di Sulawesi Utara” mengungkapkan bahwa ada kecenderungan persepsi guru, kepala program PAUD dan orangtua memandang bahwa penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini bertujuan untuk menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan lanjutan (SD/ MI), sehingga anak dipersiapkan untuk dapat bisa membaca dan menulis (Tompodung, 1999 dalam Suharti, 2013). Selanjutnya, penelitian “Pola Asuh Anak Usia Dini di Kelompok Bermain Percontohan BPKB Ujung Pandang”, menyatakan bahwa proses pengasuhan anak di Kelompok Bermain Percontohan Darma Wanita BPKB Ujung Pandang cenderung menerapkan pada aturan yang berlaku, di mana pengasuh sesuai dengan keinginan anak dalam memilih jenis permainan, dan teman bermain. Di samping itu, dikemukakan ada kecenderungan pengasuhan memaksa akselerasi tempo perkembangan yang instan (Amliminudin, 2000., dalam Suharti, 2013). Hasil penelitian tentang “Manajemen Program PAUD (Studi Kasus Kelompok Bermain Auladuna Sawah Lebar Bengkulu), mengemukakan bahwa manajemen program PAUD memerlukan sumber daya dalam penyelenggaraan PAUD seperti kurikulum, tenaga pendidikan, anak didik, sarana dan prasarana pembelajaran dan keuangan (Ayu, 2004 dalam Suharti, 2013).
METODE PENELITIAN Kajian ini dilakukan di Jakarta, pada bulan Maret 2015. Jenis penelitian ini termasuk studi/ kajian kebijakan. Data dan informasi diperoleh dari data sekunder kemudian melakukan analisis berkaitan dengan dokumen Renstra PAUD dan dokumen lainnya yang relevan dengan kebijakan
PAUD (Peraturan Perundang-undangan, seperti Undang-Undang Sisdiknas No 20/2003; PP No. 17/2010; Permendikbud No. 84/2014; Permendikbud No.137/2014; berbagai hasil penelitian/Jurnal Ilmiah/ karya tulis ilmiah; skripsi/tesis; buku teks; dan dokumen resmi Kemendikbud terkait PAUD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Akses Pendidikan Anak Usia Dini Pemerataan dan perluasan akses layanan PAUD masih belum merata di seluruh wilayah NKRI, termasuk di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan terbelakang). Walaupun demikian, Kemendikbud telah berupaya meningkatkan pemerataan akses serta mutu PAUD sesuai dengan visi dan misi
Kemendiknas (2010) dalam Renstra (2010-2014). Namun, program tersebut belum tuntas dan merata, khususnya di daerah perumahan di mana di setiap pembangunan perumahan di kota dan di desa belum tersedia fasilitas umum (fasum) lembaga pelayanan PAUD. Pemerintah Pusat dan daerah dalam mempropagandakan “gerakan” satu desa
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
5
Lembaga PAUD di ...
satu PAUD belum semua kalangan masyarakat mampu menikmati wujud gerakan tersebut. Hasil studi Sardin (2010), terkait dengan perluasan akses dan mutu PAUD, menunjukkan bahwa rendahnya akses dan mutu layanan PAUD antara lain disebabkan (1) persepsi yang keliru dari orang tua tentang PAUD, (2) sebagian besar pengelola kelembagaan belum profesional, (3) sebagian besar tenaga pendidik sukarela dan belum profesional, dan (4) dukungan kebijakan tentang PAUD belum optimal. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan perlunya (1) terobosan program yang melibatkan orang tua dalam penyelenggaraan PAUD, (2) melakukan penataan dan akreditasi kelembagaan PAUD, (3) dukungan peningkatan kualifikasi dan kompetensi tenaga pedidik, dan (4) kerja sama dengan melibatkan perguruan tinggi untuk mengembangkan model-model layanan PAUD yang murah, mudah diakses, berbasis potensi lokal, dan bermutu. Pendirian lembaga PAUD dalam era otonomi daerah, didukung oleh hasil studi kasus di Kabupaten Kulon Progo yang dilakukan Tedjawati (2012) menunjukkan bahwa (1) perkembangan jumlah lembaga PAUD di Kabupaten Kulon Progo mengalami kemajuan yang pesat karena adanya dukungan Pemda (dinas pendidikan) yang menangani dan menjamin keberlangsungan program PAUD, (2) Pemda Kabupaten Kulon Progo telah berkontribusi dalam perencanaan dan pelaksancanaan PAUD terutama penyediaan dana yang bersumber dari APBD, dan (3) adanya dukungan dari mitra PAUD (Forum PAUD dan HIMPAUD) dan instansi lain yang terkait (Kemenag, Kepolisian, kader desa, dan PKK). Hasil studi tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan lembaga PAUD memerlukan partisipasi dan kontribusi (dana) dari seluruh komponen para pemangku kepentingan pendidikan (stake holders). Dengan kata lain, peningkatan pemerataan akses dan mutu PAUD akan dapat terwujud manakala seluruh lapisan masyarakat kota dan desa (termasuk daerah 3T) ikut bertanggung jawab dan dikemas dalam tujuan hanya untuk peningkatan kualitas generasi penerus bangsa. Selain itu, dalam hal pelakasanaan penyelenggaraan PAUD didukung hasil penelitian Hiryanto, dkk. (2013), menunjukkan bahwa “(1) penyelenggaraan PAUD dilihat dari 10 patokan program dikmas (peserta didik, tutor, pengelola/ 6
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
penyelenggara, program pembelajaran, kelompok belajar, sarana bermain, panti belajar, dana belajar, ragi belajar dan hasil belajar) sudah terlaksana dengan berbagai variasi; (2) Tingkat pencapaian mutu pendidikan anak usia dini dilihat dari Standar Minimal Manajemen (SMM), Standar Minimal Tenaga Kependidikan (SMTK) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM), memiliki variasi yang sangat beragam; dan (3) Faktor pendukung pencapaian mutu pendidikan anak usia dini mencakup meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini, gencarnya sosialiasi yang dilakukan oleh pemerintah”. Adapun faktor penghambat, antara lain (a) keterbatasan pendanaan, kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh pendidik terkait dengan pendidikan anak usia dini; (b) rendahnya partisipasi masyarakat di bidang PAUD, khususnya terhadap PAUD yang berada di pedesaan. Di satu sisi, patut dibanggakan kesadaran masyarakat/orangtua menyerahkan putra-putrinya di lembaga PAUD. Hal ini dapat diasumsikan adanya indikasi kesadaran akan kebutuhan pendidikan sehingga semakin meningkat akses PAUD di daerah perkotaan dan pedesaan. Namun, peningkatan jumlah PAUD belum diimbangi dengan peningkatan kualitas, sehingga diperlukan suatu standar PAUD untuk menata kelembagaan secara menyeluruh sekaligus menyongsong perwujudan standar penyelenggaraan PAUD. Di sisi lain, masih ada sekelompok masyarakat yang tidak mampu membiayai pendidikan putraputrinya melalui PAUD dikarenakan status sosial ekonomi yang kurang beruntung (kurang mampu) dan rendahnya pemahaman masyarakat (khususnya pedesaan) terhadap makna pentingnya PAUD bagi perkembangan anak. Oleh karena itu, masih diperlukan sosialisasi di berbagai tingkatan secara terus-menerus dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi yang ada, antara lain melalui komunitas Bina Keluarga Balita (BKB) dan Posyandu di tingkat desa/rukun warga. Selanjutnya, masih ada layanan PAUD di daerah perkotaan yang dinilai mahal, khususnya bagi orangtua yang kurang mampu. Kebijakan layanan pendidikan (PAUD) nampaknya belum sepenuhnya berpihak pada orangtua yang kondisi sosial ekonomi statusnya dalam kategori rendah (miskin). Sekalipun demikian, dalam upaya memberikan subsidi silang Pemerintah telah
Lembaga PAUD di ...
memberikan dana BOS PAUD dan para pemangku kepentingan pendidikan lainnya memberikan bantuan dana operasional. Nampaknya, dana BOS PAUD bantuan dari Pemerintah belum mencukupi namun setidaknya telah membantu dan operasional penyelenggaraan PAUD. Masalah keterbatasan dana operasional PA U D , h a s i l p e n e l i t i a n Te j a w a t i ( 2 0 1 3 ) mengindikasikan bahwa walaupun pendanaan pendidikan PAUD bersumber dari para pemangku kepentingan pendidikan (Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha/dunia industri serta lembaga penyelenggara PAUD sendiri), namun biaya operasional dirasakan belum mencukupi. Semua sumbangan itu tergantung dari kemampuan masing-masing pemberi dana (termasuk pemerintah) dan juga dana dari masyarakat dan dunia usaha/dunia industri (DUDI) sangat tergantung dari kemampuan ekonomi masyarakat dan kesediaan dari DUDI itu sendiri bervariasi. Adapun dana dari penyelenggara PAUD itu sendiri masih belum memadai dan sangat tergantung dari kemampuan ekonomi orangtua peserta didik. Biaya operasional PAUD, khsusunya bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu (prasejahtera) secara proporsional seyogyanya ditanggung bersama (subsidi silang) oleh pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, dan keluarga sesuai tingkat kemamapuan masing-masing. Artinya, semakin status sosial masyarakat mampu (segi ekonomi), maka peran pemerintah kabupaten/ kota semakin sedikit. Sebaliknya, bagi kalangan masyarakat yang kurang/tidak mampu, maka peran pemerintah kabupaten/kota semakin besar bahkan jika perlu menanggung seluruh biaya pendidikan yang diperlukan (misalnya melalui bantuan dana CSR dari DUDI atau menghimpun dana (suka dan rela) dari perorangan /masyarakat dermawan (philanthropist). Paling tidak, semestinya ada pembagian otoritas dalam pengelolaan PAUD, misalnya lembaga PAUD yang diselenggarakan oleh Pemerintah semata-mata hanya untuk keperluan pengembangan PAUD percontohan (sebagai model pembelajaran dan pengembangannya). Sejalan dengan kebijakan otonomi, daerah memiliki peran yang lebih banyak untuk merencanakan kebutuhan daerah dan kepentingan masyarakat termasuk pembangunan PAUD. Kewenangan Pemerintah Pusat terbatas pada
pengaturan kebijakan strategis yang berskala nasional, misalnya penetapan standar, pedoman, perencanaan makro, dan pengawasannya. Dengan demikian, pelaksanaan dan pengembangan PAUD sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah serta masyarakat. Ironisnya, masih cukup banyak orang tua yang berpandangan berbeda terhadap kebutuhan pendidikan anak, sehingga mendidik anak dipahami sebagai kewajiban orang tua bukan demi anak dan bahkan adakalanya untuk memuaskan ambisi/ prestis orang tua itu sendiri. Mengutip pendapat Kahlil Gibran, anak itu bagaikan anak panah, orang tua adalah busurnya, sehingga biarkanlah anak panah itu melesat menuju ke sasaran menurut kehendak yang memanah (anak). Oleh karena itu, tepat kiranya orangtua cukup berperan sebagai motivator dan fasilitator (Yermias, 2015). Bagi orang tua, khususnya para ibu rumah tangga, perlu diberikan motivasi agar tumbuh kesadaran dan memberikan pendidikan kepada anaknya sejak usia dini, selain pendidikan keluarga. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui organisasi sosial kemasyarakatan, khususnya organisasi kewanitaan yang ada di masyarakat, seperti majelis taklim ibu-ibu, ibu-ibu PKK, organisasi sosial kemasyarakatan lainnya (NU, Muhammadiyah, Persis, dan sebagainya). Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan ke setiap ibu rumah tangga untuk mendukung peningkatan akses PAUD nonformal. Gerakan program PAUD, semestinya secara serentak diadakan di setiap desa sehingga jargon satu desa satu PAUD akan lebih merakyat dan sukses. Melalui layanan PAUD akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa mendatang dan diharapkan dapat memutuskan mata rantai kemiskinan dan keterbelakangan (kebodohan). Masih banyak daerah 3 T di Indonesia yang belum tersentuh pendidikan, salah satu penyebabnya diasumsikan faktor geografis, masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat yang kurang terdidik (SDM) terhadap hakikat perlunya pendidikan. Di samping itu, pendistribusian pendirian lembaga layanan PAUD masih belum merata (Jalal, 2004). Hasil studi Saptaningtyas (2008) menyimpulkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara permintaan dan ketersediaan lembaga PAUD Nonformal di Kecamatan Jebres Kota Surakarta
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
7
Lembaga PAUD di ...
dikarenakan kurangnya sosialisasi dan kerjasama antara Pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, yang dibuktikan dengan tidak meratanya sebaran lembaga PAUD nonformal di Kecamatan Jebres. Sebanyak 97% anak usia dini belum terlayani PAUD nonformal. Selain itu, belum optimalnya peran organisasi di bidang PAUD nonformal dalam mendukung program PAUD. Dukungan Pemerintah Kota Surakarta di bidang PAUD nonformal berupa dana, ketenagaan serta sarana dan prasarana belum dapat mengakomodir besarnya kebutuhan masyarakat akan PAUD. Ditambah lagi dengan kondisi fisik sarana dan prasarana di Lembaga PAUD nonformal yang ada kurang memenuhi standar minimal pelayanan PAUD. Untuk menggalakkan kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD, peran Pemerintah sangatlah diperlukan sebagai acuan/motivator dalam pemberian akses layanan dan kualitas PAUD. Peran tersebut dapat berupa memberikan bantuan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidik (guru), sarana pembelajaran dan dana operasional. Sasaran program PAUD yang paling tepat yaitu orangtua (khususnya ibu) dan anggota keluarga lain, guru, anggota masyarakat peduli pendidikan dan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Sasaran awal di lapangan sebaiknya para orangtua yang mampu membaca dan menulis serta berhitung (calistung). Selain itu, pelaksanaan PAUD harus ditunjang oleh kondisi SDM setempat yang dinamis, pro aktif, dan berkarakter serta memiliki komitmen terhadap kemajuan pendidikan. Untuk menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat, diperlukan sosialisasi atau penyuluhan dan motivasi secara bertahap dan berkesinambungan sehingga gerakan membangun PAUD di berbagai daerah dapat berkembang sesuai dengan kebutuahn masyarakat setempat. Namun, belum semua daerah memiliki aparat yang secara khusus mampu menangani pembinaan PAUD. Di sisi lain, luasnya cakupan PAUD menuntut penanganan secara profesional oleh petugas khusus di bidang PAUD. Oleh karena itu, kekurangan tenaga PAUD perlu mendapat perhatian secara khusus bagi Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat peduli pendidikan untuk pemenuhan tenaga PAUD sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kemendiknas, 2013). Dalam uapaya mewujudkan target SDGs, 8
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Kemendikbud telah memberikan DAK BOP PAUD senilai Rp.600.000 per tahun untuk 190.158 lembaga PAUD. Selain itu, bantuan juga diberikan dalam wujud alat permainan edukatif (APE) melalui dana dekonsentrasi dan meningkatkan mutu guru dengan sistem diklat berjenjang. Upaya lain dalam mewujudkan PAUD berkualitas yaitu dengan penanaman budi pekerti pada anak sejak dini. Hal itu bisa ditempuh diantaranya melalui buku, lagu, dongeng maupun pedoman guru dan pengawasan penggunaan bahan pembelajaran.Dalam mencapai target tersebut, berbagai upaya telah mulai dilakukan diantaranya dengan dimulainya program Satu Desa Satu PAUD. Berdasarkan Dapodik PAUD 2016, Dalam kurun waktu hingga awal ini tercatat 72,9 persen atau 58.174 desa sudah memiliki PAUD yang terdiri dari 190.225 lembaga. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD hingga kini mencapai 70.10 persen sekalipun di beberapa daerah angka partisipasi tersebut masih di bawah rata-rata nasional. Capaian yang menggembirakan ini sekaligus menunjukan keberadaan PAUD telah menjadi sebuah gerakan masyarakat. Mutu Pendidikan Anak Usia Dini Dalam upaya mewujudkan peningkatan mutu pelayanan PAUD nonformal sangat diperlukan kesadaran dari pihak keluarga. Pemahaman dari orangtua akan pentingnya pendidikan bagi anakanak mereka pada usia dini (0-6 tahun) serta kompetensi manjerial penyelenggara lembaga PAUD sangat diperlukan. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa akan lebih banyak manfaatnya jika para orangtua memasukkan putra putrinya ke lembaga PAUD. Terkait dengan kemanfaatan lembaga PAUD, pemerataan akses pelayanan dan kualitas PAUD di komplek perumahan perlu ditingkatkan. Pemerintah kabupaten/kota dan para pengembang perumahan untuk memiliki komitmen terhadap keberadaan fasilitas umum (fasum) berupa bangunan PAUD beserta sarana dan prasarana pendukung yang dipersyaratkan dalam penyelenggaraan layanan PAUD. Perlunya meningkatkan kompetensi manajerial penyelenggara lembaga PAUD sangat essak dalam mewujudkan mutu layanan PAUD. Disadari bahwa mutu layanan PAUD yang tersebar di berbagai daerah masih cukup bervariasi oleh karena berbagai faktor infrastruktur layanan yang dimilikin masing-masing PAUD. Hal ini sejalan dengan studi Suharti, (2013) terkait dengan Manajemen PAUD, di mana dalam
Lembaga PAUD di ...
rangka meningkatkan mutu pembelajaran antara PAUD Terpadu Negeri Pembina dan PAUD Rabbi Roddiyah Kabupaten Rejang Lebong menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan kualitas layanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kompetensi manajerial pengelola PAUD Pembina dan PAUD Rabbi Rodiyyah Kabupaten Rejang Lebong memiliki perbedaan yang signifikan dalam memberikan layanan sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Analog dengan hasil studi ini, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah bersama para pemangku kepentingan pendidikan lainnya perlu menyusun dan menetapkan standar kompetensi manajerial minimal bagi pengelola PAUD. Oleh karena itu, masyarakat peduli pendidikan sebagai mitra pemerintah daerah, diharapkan dapat berpartisispasi dan berkontribusi dalam penyelenggaraan layanan PAUD (selain pendidikan keluarga) di lingkungan perumahan perkotaan maupun pinggiran kota dan bahkan sampai ke pedesaan (daerah 3T) sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing daerah. Bagi orangtua, khususnya para ibu rumah tangga perlu diberi motivasi agar tumbuh-kembang kesadaran untuk memberikan pendidikan kepada anaknya sejak usia dini. Pengetahuan tentang PAUD dapat dilakukan dengan cara penyuluhan dan sosialisasi maupun advokasi di berbagai tempat (Bina Keluarga Balita dan Posyandu) secara terjadwal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui organisasi sosial kemasyarakatan, khususnya organisasi kewanitaan yang ada di masyarakat, seperti majelis taklim ibu-ibu, ibu-ibu PKK, organisasi sosial kemasyarakatan lainnya (seperti NU, Muhammadiyah, dsb). Peran masyarakat peduli pendidikan (LSM) cukup positif, hal ini sejalan dengan hasil studi Prasetyoningtyas (2010) menunjukkan bahwa peran lembaga swadaya masyarakat dalam meningkatkan pendidikan anak usia dini di PAUD Tunas Kreatif Kelurahan Wonorejo Kecamatan Rungkut Surabaya telah terselenggara dengan baik. Hal itu terbukti dengan terlaksanannya seluruh peran LSM yaitu peran fasilitatif, peran edukasional, peran representasional, dan peran teknis oleh LMI (Lembaga Manajemen Infaq). Peran-peran tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk layanan, antara lain pemberian fasilitas berupa sarana dan prasarana serta pemberian motivasi,
pelaksanaan pelatihan yang diselenggarakan secara rutin, menggunakan media elektronik untuk mempromosikan mengenai PAUD Tunas Kreatif, dan pemberian bantuan dalam bentuk dana serta peralatan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam penyelenggaraan PAUD. Sekalipun ini merupakan salah satu hasil studi kasus, namun setidak-tidaknya masyarakat lainnya dapat melakukan “pengalaman baik” untuk dicontoh dan dikembangkan sesuai dengan potensi di daerahnya masing-masing.. Sasaran program PAUD yang paling tepat yaitu orangtua (khususnya ibu) dan anggota keluarga lain, guru, anggota masyarakat peduli pendidikan dan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Di satu sisi, belum semua daerah memiliki aparat yang secara khusus mampu menangani pembinaan PAUD. Di sisi lain, luasnya cakupan PAUD menuntut penanganan secara profesional oleh petugas khusus di bidang pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu, kekurangan tenaga PAUD perlu mendapat perhatian secara khusus bagi Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat peduli pendidikan untuk memfasilitasi pemenuhan Kebutuhan tenaga PAUD sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Pelayanan PAUD-HI belum dioptimalkan untuk mewujudkan perluasan akses dan peningkatan mutu layanan program PAUD, Pelayanan tersebut merupakan perpaduan dari berbagai jenis layanan PAUD mulai dari Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain, dan Taman Kanak-kanak (TK), sekaligus untuk meningkatkan kualitas layanan PAUD. Fokus sasaran program ini terutama diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu dan oleh karnanya perlu melakukan kerjasama dengan pihak DUDI secara intensif yang saling menguntungkan (dengan memberdayakan dana CSR (Coorporate Social Responsibility). Kajian ini berimplikasi terhadap salah satu program prioritas Renstra Kemendikbud tahun 2010-2014 terkait dengan peningkatan dan perluasan akses layanan PAUD. Selain itu, implikasi kajian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan/ pertimbangan .penyusunan penuntasan program PAUD yang dituangkan dalam Renstra Kemdikbud Tahun 2015-2019. Kajian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan otonomi daerah menyusun peraturan daerah (Perda/Perwali) tentang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
9
Lembaga PAUD di ...
kewajiban pengembang perumahan (developer) untuk memfasilitasi lembaga PAUD sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan (anak usia dini)
dengan memberdayakan keberadaan dana dari perusahaan (DUDI) yang kita kenal dengan dana CSR (corporate social responsibility).
PENUTUP
Kesimpulan Mengacu pada hasil kajian dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendirian lembaga PAUD di lingkungan perumahan belum merata, sehingga upaya peningkatan akses dan peningkatan kualitas PAUD belum sepenuhnya tercapai sesuai target Renstra Kemendikbud tahun 2010-2014. Hal ini ditengarai oleh masih adanya data yang menunjukkan: (a) 37% anak-anak usia 3-6 tahun belum mendapatkan layanan PAUD (diasumsikan termasuk anak usia dini yang berdomisili di daerah perumahan) dan sebagian lagi berada di daerah 3T; dan (b) slogan satu desa satu PAUD belum terjangkau oleh layanan PAUD. Kedua, Kemendikbud telah dan akan terus melakukan upaya peningkatan sarana dan prasarana PAUD berupa pembangunan dan rehabilitasi gedung PAUD dan penambahan alat permainan edukatif (APE) sehingga akses layanan PAUD meningkat ke seluruh pelosok daerah kota dan pedesaan. Ketiga, Kemdikbud telah memberi bantuan sarana belajar, peningkatan peran gugus PAUD, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, serta penyusunan kegiatan belajar mengacu pada standar PAUD, namun juga belum sepenuhunya terwujud. Keempat, Kemendikbud telah mengimplementasikan tiga misi pelaksanaan layanan PAUD secara holistik-integratif yang meliputi: (a) layanan pendidikan; (b) layanan gizi, layanan kesehatan; dan (c) masalah pelindungan dari segala macam kekerasan psikis dan fisik. Kelima, dalam upaya meningkatkan akses layanan PAUD, secara nasional Pemerintah telah membangun 50 unit PAUD terpadu dan merehabilitasi 100 PAUD terpadu di seluruh Indonesia. Selain itu, memberikan bantuan rintisan PAUD bagi lembaga PAUD, pembangunan 260 ruang kelas baru (RKB), pemberian alat permainan edukatif (APE) bagi 2.000 lembaga PAUD, dan penguatan sarana pembelajaran di 16.841 lembaga PAUD, serta memberi kesempatan kepada 9.000 guru untuk meningkatkan kualifikasi sesuai dengan
yang dipersyaratkan Undang-Undang Sisdiknas maupun Undang-Undang Guru dan Dosen (minimal Strata 1) dan memberikan sertifikasi kepada 10.000 guru PAUD sebagai bentuk pengakuan kompetensi dan peningkatan kesejahteraan. Kesemua rencana program dimaksud belum terselesaikan sampai saat ini sehingga perlu kesinambungan program peningkatan dan perluasan layanan akses PAUD sekaligus peningkatan mutu PAUD. Saran Atas dasar kesimpulan, maka disarankan sebagai berikut. Pertama, Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah kabupaten dan kota serta masyarakat (peduli pendidikan) secara sinergi membangun dan memfasilitasi keberadaan lembaga PAUD di komplek perumahan perkotaan maupun pinggiran kota dan bahkan sampai ke daerah 3T serta bekerjasama dan bersinergi dalam meningkatkan akses dan mutu pelayanan PAUD yang bermutu. Kedua, dalam upaya meningkatkan layanan PAUD yang bermutu, layanan PAUD-HI terus ditingkatkan dan dikembangkan sehingga perlu membangun TK percontohan di setiap provinsi/kabupaten/kota sebagai rujukan bagi lembaga PAUD yang ada di sekitarnya. Ketiga, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota menyusun “master plan” penuntasan pemenuhan UndangUndang Sisdiknas/UU Guru dan Dosen. Keempat, Pemerintah secara proporsional menetapkan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah serta dengan masyarakat terkait dalam pembangunan PAUD secara merata dan bermutu. Pemda setempat dapat diberi kewenangan untuk membangun lembaga PAUD di lingkungan perumahan dengan mewajibkan pemborong (developer) membangun gedung sebuah lembaga PAUD, dan Pemerintah Pusat menetapkan standar pembelajaran. Kelima, Pemerintah Pusat dan daerah memfasilitasi dana “sharing” untuk pembangunan sarana dan prasarana pembelajaran PAUD di lingkungan perumahan.
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan
10
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini. (2013). Layanan holistik-integratif. Jakarta:
Lembaga PAUD di ...
Kemdiknas Hiryanto, dkk. (2013). Pemetaan tingkat pencapaian mutu program pendidikan anak usia dini (PAUD) di propinsi DIY. Jurnal Penelitian PAUD, Yogyakarta: UNY, Jalal, F. (2004). Peran pendidikan non formal dalam pengembangan sumberdaya manusia indonesia yang cerdas dan bermutu. Makalah Sosialisasi Nasional Pendidikan Non Formal, disampaikan di Yogyakarta: UNY. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Rencana strategi kemendiknas tahun 2010-2014. Jakarta. Kemendiknas. Kementerian Pendidikan Nasional. (2013). Kebijakan direktorat jenderal PAUDNI. Jakarta: Dijen PAUDNI. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Hasil rembuk nasional kementerian pendidikan dan kebudayaan tahun 2014. Jakarta: Kemendikbud. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2010). Peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Jakarta: Kemendikbud. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Peraturan meneteri pendidikan dan kebudayaan nomor 137 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan anak usia dini. Jakarta: Kemendikbud. Media ACDP Indonesia. (2013). Paud holistikintegratif untuk perluasan akses dan peningkatan layanan pendidikan. Media Indonesia, 21 Oktober 2013, hlm. 4. Pusat Data dan Statistik Pendidikan. (2013). Statistik pendidikan. Jakarta: Setjen, Kemendikbud. Kemendikbud. (2014). Peraturan meneteri pendidikan dan kebudayaan nomor 84 tahun 2014 tentang pendirian satuan pendidikan anak usia dini. Jakarta: Kemendikbud. Prasetyoningtyas, Y. T. (2010). Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD): studi di paud tunas kreatif kelurahan wonorejo kecamatan rungkut surabaya). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: FISIP UPN Saojoao, De. J. (2012). Setiap Rusunawa di Jakarta Akan Dilengkapi PAUD. Suara Pembaharuan, 10 Maret 2012. Sardin, S, (2010). Studi penyusunan perencanaan pengembangan pendidikan anak usia dini di
kota Bandung. ejournal.upi.edu/index.php/pls/ article/view/1209, 5 (2). Surat Keputusan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 81 /M.PAN/3/2001 tanggal 30 Maret 2001 dan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 051/0/2001 tanggal 19 April 2001 Kementerian Pendidikan Nasional tentang Komitmen Nasional Penyelenggaraan PAUD Saptaningtyas, H. D. (2008). Kajian kesesuaian antara permintaan dan penyediaan lembaga pendidikan anak usia dini jalur nonformal di kecamatan Jebres kota Surakarta. Tesis tidak diterbitkan, PPS. UNDIP. Suyanto. (2004). Pendidikan non formal dalam sistem pendidikan nasional sesuai undangundang nomor 20 tahun 2003. Makalah Sosialisasi Nasional Pendidikan Non Formal. Yogyakarta: UNY di akses dari http://www. google.com/url?sa=t&rct=j&q=jurnal%20 pendidikan%20anak% 20usia%20dini&sour ce=web&cd=3&cad=rja&sqi=2&ved=0CDM QFjAC&url=http://staff.uny.ac.id/sites/default pada tanggal 9 Mei 2015 Suharti, (2013). Manajemen pendidikan anak usia dini (paud) dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran (studi perbandingan pada paud terpadu negeri pembina dan paud rabbi roddiyah kabupaten Rejang Lebong. Tesis tidak diterbitkan. Bengkulu, PPS. Universitas Bengkulu. Suryana, D. (2013). Pendidikan anak usia dini (teori dan praktek pembelajaran). Padang: UNP Press. Suryana, D. (2014). Pendidikan anak usia dini dalam medanaan paud miennjaga mutu pelayan capaian perkembangan anak usia dini di sumatera barat. Makalah disampaikan pada Semiloka Forum Pendidikan Anak Usia Dini Sumatera Barat, pada tanggal 22 September 2014. Tejawati, J. M. (2012). Penyelenggaraan program pendidikan anak usia dini (paud) dalam rangka otonomi daerah: studi kasus di kabupaten Kulon Progo. Jurnal Penelitian Kebijakan Pendidikan, 5. (2). 233-237. Tejawati, J. M. (2013). Pendanaan pendidikan anak usia dini. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 19 (3). 353-361. Wulandari, I. (2013). Penerapan permainan senam
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
11
Lembaga PAUD di ...
otak (brain gym) dalam mengoptimalkan otak kanan anak usia dini. Jurnal Ilmiah PG-PAUD IKIP Veteran Semarang, 2 (2 ).
12
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Yermias, D. (2015). Membangun paud membangun masa depan SDM orang Papua. diakses dari http://www.majalahselangkah.com pada tanggal 1 Juni 2015.
Penelitian
KEMANDIRIAN ANAK USIA 5-6 TAHUN DI KOMUNITAS LINGKUNGAN PEMULUNG Siti Rahma, Ade Dwi Utami, & Hapidin e-mail:
[email protected] Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Negeri Jakarta Jalan Rawamangun Muka, Jakarta Timur
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran informasi dan data empiris mengenai kemandirian anak usia 5-6 tahun di komunitas lingkungan pemulung TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015 yang pengumpulan datanya dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu Miles dan Huberman. Pemeriksaan data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, dan triangulasi. Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian pada anak usia 5-6 tahun di komunitas lingkungan pemulung dibentuk oleh peran dan sikap orang tua serta peran lingkungan. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa anak yang mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya. Orang tua perlu membekali anak sejak dini untuk bisa melakukan kegiatannya sendiri tanpa harus mengandalkan orang tua. Kata-kata Kunci: kemandirian, anak usia dini, lingkungan pemulung.
INDEPENDANCE OF 4 – 5 YEARS OLD CHILDREN IN THE GARBAGE COLLECTOR COMMUNITY Abstract: The research aims at obtaining information and empirical data of independence of 5 -6 years old children in the community of garbage collectors TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi. Using qualitative method, the research was conducted in May and June 2015. The data was collected by observation, interview and document study to analyzed employing Miles and Huberman technique. Data was verified by prolonging observation and triangulation. Research findings showed that self-reliance of 5-6 years old children in the garbage collector community is built by the role and attitude of their parents and the environment. The research conclusion indicates independent children are not built by themselves. The parents should assist the children as early as possible to enable them to do their activities without depend themselves on their parents. Keywords: self-reliance, early age child, garbage collector community.
PENDAHULUAN
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT untuk setiap orang tua. Anak berhak memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Anak juga diyakini sebagai generasi penerus bangsa dalam kehidupannya, sehingga para orang tua wajib menjaga dan mendidik agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan perkembangannya. Pada usia dini, anak akan melalui tahapan perkembangan yang berbeda di setiap tahunnya. Tahapan perkembangan pada masa anak-anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan, anak adalah individu yang sangat unik dan mempunyai kebutuhan dalam mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.
Salah satu aspek perkembangan yang berkembang pada diri anak yaitu perkembangan psikososial. Perkembangan psikososial adalah perkembangan dari interaksi individu dan untuk memahami satu sama lain dari pengetahuan mereka dan untuk memahami diri mereka sendiri sebagai anggota masyarakat. Perkembangan Psikososial terdiri dari delapan tahapan. Salah satu tahap perkembangan psikososial yang berkembang pada anak adalah autonomy versus shame and doubt. Pada tahap ini, anak harus diberikan kepercayaan, sehingga anak akan berkembang menjadi lebih mandiri. Kemandirian pada anak usia dini harus diperkenalkan sedini mungkin. Mengenalkan dan mengajarkan kemandirian akan memberikan dampak
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
13
Kemandirian Anak Usia ...
positif bagi perkembangan diri anak. Dampak positif tersebut akan membantu diri anak ketika anak sudah beranjak dewasa. Anak tidak akan selalu bergantung dengan orang tua ketika dalam kehidupan sehariharinya. Selain itu, kemandirian pada anak berbeda dengan kemandirian orang dewasa dan remaja. Salah satu faktor yang berperan dalam menumbuhkan kemandirian pada anak yaitu lingkungan. Lingkungan seorang anak tentu akan berbeda dengan lingkungan pada anak lainnya. Lingkungan yang berbeda tersebut akan memberikan gambaran kemandirian tiap individu anak. Lingkungan serba ada akan memberikan kesempatan kepada anak dengan sebaik mungkin agar anak mampu mandiri. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan anak akan mampu mandiri dengan lingkungan tersebut. Lingkungan dengan keadaan serba keterbatasan, akan jauh berbeda kemandiriannya. Hal tersebut menjadikan individu anak harus mampu mandiri tanpa bergantung pada orang lain di sekitarnya. Salah satu lingkungan dengan kondisi keterbatasan adalah lingkungan pemulung. Lingkungan sekitar pemulung menjadikan anakanak di lingkungan tersebut menjadi lebih kuat dan berusaha untuk mandiri. Kehidupan anak di lingkungan pemulung membuat anak melakukan segala sesuatunya dengan sendiri, sehingga secara bertahap kemandirian akan terbentuk pada dirinya. Kemandirian yang telah terbentuk pada diri anak akan memiliki dampak positif bagi lingkungan sekitar. Anak jadi tidak selalu bergantung dengan orang tuanya, mampu melakukan kegiatannya sendiri sesuai kemampuannya, memiliki kesadaran yang terbentuk untuk tidak selalu mengandalkan orang tuanya saja ketika di rumah. Kemandirian pada anak usia dini yang berada di lingkungan pemulung dapat dilihat pada kenyataan sebagai berikut. Kemandirian terlihat pada anak di lingkungan pemulung. Salah seorang anak mengerjakan pekerjaan rumah tanpa bergantung kepada orang disekitarnya. Anak tersebut terbiasa merapikan tempat tidurnya tanpa disuruh oleh kedua orang tuanya. Hal ini dilakukan anak ketika orang tuanya terutama ibunya sedang tidak ada dirumah, dikarenakan ibunya sedang bekerja dengan mencari diantara gunungan sampah dan bapaknya sedang bekerja sebagai ojek. Pada lingkungan pemulung tersebut ditemukan juga kemandirian pada anak lainnya. Seorang anak bertanggung jawab terhadap 14
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
apa yang dilakukannya tanpa meminta bantuan dari orang sekitarnya atau meminta orang sekitar untuk melakukannya. Perbuatan yang tidak sengaja dilakukannya, membuat anak memiliki kemauan untuk membersihkannya. Anak tersebut menunjukkan kemampuan bagaimana cara mengatasi rumusan yang tidak sengaja dilakukannya. Kemandirian secara umum dimaknai sebagai individu yang mampu melakukan segala sesuatu sendiri. Santrock (2008) menyatakan bahwa, “the term autonomy generally connotes self-direction and independence”. Artinya, istilah otonomi pada umumnya mempelajari tentang arah diri dan kemandirian. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa, otonomi seseorang mengarahkan dirinya ke arah individualitas untuk berusaha mandiri. Individu anak yang menunjukkan kemandiriannya merupakan suatu proses ke arah yang lebih baik. Dodge dan Colker (2002) menyatakan bahwa, “autonomy, or independence, is acting with will and control”. Dapat diartikan, otonomi atau kemandirian adalah berprilaku baik dan terkontrol. Hal ini karena kemandirian bukan perilaku yang bersifat negatif untuk anak. Dalam hal ini, kemandirian yang berkembang pada anak akan membantu anak menjadi pribadi yang tidak bergantung dengan orang lain disekitarnya. Kemandirian juga berasal dari kata mandiri yang artinya keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Familia (2006) menyatakan bahwa kemandirian dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memikirkan, merasakan, serta melakukan sesuatu sendiri atau tidak tergantung pada orang lain. Hal ini berarti, bahwa individu yang mandiri selalu memikirkan sesuatu sendiri dan melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa bergantung dari apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Dalam mencapai kemandirian tentu membutuhkan suatu proses yang tidak mudah dicapai begitu saja pada anak. Nilsen (2004) mengatakan bahwa, “autonomy, the process of governing oneself and providing for one’s own needs, is the goal of childhood”. Dapat diartikan bahwa otonomi, proses yang mengatur diri sendiri, dan menyediakan untuk kebutuhan sendiri, hal tersebut adalah tujuan masa kecil. Dalam hal ini, kemandirian bukan suatu yang instan bagi anak, akan tetapi suatu proses pada diri anak ketahap individu yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan dirinya. Hal ini membimbing anak untuk
Kemandirian Anak Usia ...
tidak bergantung dengan orang lain disekitarnya. Anak yang belajar mandiri menjadikan dirinya merasa yakin akan sesuatu yang dikerjakannya. Familia (2006:31) menjelaskan bahwa, dengan kebiasaan mandiri yang diajarkan sejak dini, anak akan terbantu untuk memiliki rasa percaya diri dalam menginginkan dan memutuskan sesuatu bagi dirinya sejak dini. Anak yang mandiri berarti orang tuanya telah membimbing anak untuk mampu melakukannya sendiri dan hal tersebut menjadikan anak lebih percaya diri dalam melakukan sesuatu bagi dirinya. Kemandirian membuat anak berkembang menjadi individuyang tidak selalu mengandalkan orang lain dan berkembang ketahap kedewasaan sesuai usianya. Yamin & Sanan (2010) menyatakan bahwa, pada faktanya semua usaha untuk membuat anak menjadi mandiri sangatlah penting agar anak dapat mencapai tahapan kedewasaan sesuai dengan usianya. Hal ini dimaksud, bahwa setiap orang tua akan berusaha membuat anaknya menjadi pribadi yang mandiri, agar dapat mencapai kemandirian pada diri anak. Konsep kemandirian terbentuk diberbagai bidang aspek perkembangan, Mena dan Eyer (2001) mengemukakan bahwa, “the necessary capabilities lie in three separate domains - the physical (control), the cognitive (understanding), and the emotional (willingness)”. Dapat diartikan, kemampuan yang diperlukanterletak padatiga domain yang terpisah fisik (kontrol), kognitif (pemahaman), dan emosional (kemauan). Ketiga domain tersebut pasti akan berproses pada individu anak yang mandiri. Aktivitas yang dilakukan tentu berdasarkan atas kendali atau kontrol dari dirinya, pemahaman anak terhadap masalah yang dihadapinya, dan kemauan dari diri sendiri dalam melakukan sesuatu. Kemandirian juga terbentuk pada aspek perkembangan emosi dengan ditunjukkan ketika anak melepaskan ketergantungannya pada orang tua.lebih lanjut Santrock (2008) menyatakan bahwa, “one aspect of autonomy that is especially important is emotional autonomy, the capacity to relinquish childlike dependencies on parents”. Salah satu aspek otonomi yang sangat penting adalah emosional otonomi, dimana kapasitas pada anak kecil untuk melepaskan dependensi pada orang tua. Hal ini berarti, anak yang berusaha ingin mandiri, berusaha melepaskan ketergantungannya pada orang tua untuk menjadi lebih mandiri, sehingga hal ini akan memacu emosi anak terhadap keinginannya tersebut.
Setiap individu yang mandiri tentu akan terlihat dari dirinya. Hal tersebut akan menunjukkan ciri-ciri kemandirian seseorang. Green (2013) mengemukakan bahwa, “a child’s growing independence is demonstrated through the manipulation of physical objects and spaces, providing a child with a sense of individuality”. Kemandirian seorang anak tumbuh ditunjukkan melalui manipulasi benda-benda fisik dan ruang, memberikan anak dengan rasa individualitas. Artinya, individu anak yang mandiri memerlukan ruang khusus untuk dirinya. Hal ini dikarenakan anak yang sudah mulai mandiri, membutuhkan privasi untuk dirinya.Individualitas tersebut selalu dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kemandirian pada dirinya. Individu yang mandiri termasuk ke dalam ciri individu yang dapat mengaktualisasikan dirinya. Feist, dkk., (2013) mengemukakan bahwa, “self-actualizing people are autonomous and depend on themselves for growth even though at some time in their past they had to have received love and security from others”. Orang-orang yang mengaktualisasi diri merupakan orang-orang yang mandiri dan bergantung pada diri mereka sendiri untuk bertumbuh walaupun di masa lalunya mereka pernah menerima cinta dan rasa aman dari orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang mandiri mampu mengaktualisasikan dirinya dengan tidak bergantung dengan orang lain disekitarnya Individu yang mandiri akan memiliki kekuatan untuk melakukan kegiatannya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. Mena dan Eyer (2001:81) mengemukakan bahwa, “they discover the power they possess, and they push toward independence”.Mereka menemukan kekuatan yang dimiliki, dan mereka mendorong menuju kemandirian. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa, individu anak yang memiliki kekuatan dan keberanian, akan mengarahkan anak pada proses kemandirian. Kemandirian yang terbentuk pada anak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda-beda. Asrori dalam Yamin dan Sanan (2010) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah: (1) keturunan, (2) pola asuh orang tua, (3) sistem pendidikan di sekolah, dan (4) sistem kehidupan di masyarakat. Individu anak yang mandiri juga dapat dibentuk dari sebuah lingkungan. Erikson dalam Trawick-Smith (2003) menyatakan bahwa, “Erikson has proposed that creating environments in which children can become independent in thought and
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
15
Kemandirian Anak Usia ...
action will contribute to a sense of autonomy”. Dapat diartikan, Erikson telah mengusulkan bahwa menciptakan lingkungan di mana anak-anak dapat menjadi mandiri dalam berpikir dan bertindak akan memberikan kontribusi untuk rasa otonomi. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa, lingkungan turut memberikan pengaruh terhadap kemandirian anak, karena dengan lingkungan tempat tinggal anak tentu akan membentuk proses berpikir sehingga menjadikan anak mandiri. Kemandirian seorang anak juga tidak hanya dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan. Nilsen (2004) menambahkan bahwa “caregivers still need to be protective and restrictive while allowing the child opportunities to begin to be more independent”. Dapat diartikan, pengasuh perlu melindungi dan untuk sementara memungkinkan memberikan kesempatan kepada anak untuk mulai independen. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa, pengasuh juga memberikan pengaruh kepada anak dalam proses kemandirian. Apabila anak diasuh oleh pengasuh dan pengasuh memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, maka kemungkinan anak akan mulai berusaha sendiri sesuai kemampuan yang dimilikinya. Kemandirian secara umum dapat dilakukan oleh anak yang sudah mulai memasuki tahap autonomy. Papalia, Olds, dan Feldman (2009:233) menyatakan bahwa autonomy versus shame and doubt Erikson’s second stage in psychosocial development, in which children achieve a balance between self-determination and control by others. Kemandirian vs rasa malu dan ragu-ragu, tahap kedua dalam perkembangan psikososial Erikson, dimana anak-anak baru mencapai keseimbangan dirinya untuk menentukan nasib sendiri dan kontrol dari orang lain. Hal ini berarti, kepercayaan yang telah diterimanya telah berkembang ke arah kemandirian, di mana anak dapat menentukan keputusannya sendiri dengan tetap terkontrol dari orang disekitarnya. Dalam perkembangan personal-sosial, anak usia 6 tahun juga menunjukkan kemandiriannya.
Piaget dalam Allen dan Marotz (2010) menyatakan bahwa, anak sudah menjadi lebih tidak bergantung pada orang tuanya karena lingkaran pertemanannya semakin luas, masih membutuhkan kedekatan dan pengasuhan, namun mempunyai dorongan untuk melepaskan diri dan “tumbuh menjadi dewasa”. Artinya, pada usia ini anak sudah mampu mandiri dengan tidak bergantung pada orang tuanya, walaupun anak masih membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya, bukan berarti anak pada usia ini belum mandiri. Kemandirian anak juga berkembang pada aspek perkembangan kognitif. Hal ini dapat diketahui dari karakteristik kemandirian pada anak usia prasekolah yang dinyatakan oleh McDevitt dan Ormrod. Lebih lanjut McDevitt dan Ormrod menyatakan bahwa “with their growing independence, preschoolers begin to get their own ideas about the activities they want to pursue; for example, they may undertake simple art projects, make houses and roadways in the sandbox, or play “house” with other children”. Dapat diartikan, mereka tumbuh dengan kemandirian, anak-anak prasekolah mulai mendapatkan ide mereka sendiri mengenai kegiatan yang mereka ingin kerjakan; misalnya, mereka dapat melakukan proyek seni sederhana, membangun rumah dan jalan raya di kotak pasir, atau bermain “rumah” dengan anak lainnya. Berarti, pada usia ini anak sudah mulai menggunakan pikirannya untuk kegiatan yang disukainya Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kemandian pada anak perlu dikembangkan sejak dini. Dengan demikian, rumusan penelitian ini adalah bagaimana kemandirian anak usia 5-6 tahun di komunitas lingkungan pemulung TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran informasi dan data empiris mengenai kemandirian anak usia 5-6 tahun di komunitas lingkungan pemulung TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan aktivitas sosial dengan melihat, memahami, mendalami suatu fenomena dalam konteks sosial yang sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Dalam mengkaji fenomena yang tampak menggunakan penelitian
16
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
kualitatif fenomenologi. Hal ini dimana fenomenologi merupakan penelitian untuk menggali, mengkaji, mendalami, serta mendeskripsikan suatu fenomena yang terjadi dengan melakukan interaksi dengan subjek ataupun sumber informan yang akan diteliti. Penelitian ini dilaksanakan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sumur
Kemandirian Anak Usia ...
Batu, Bantar Gebang, Bekasi yang beralamat di Jl. Pangkalan 2, Bantar Gebang, Bekasi. Waktu penelitian dilaksanakan pada tahun ajaran 20152016, yaitu pada bulan Mei-Juni 2015. Pada bulan tersebut, kegiatan anak masih berjalan efektif saat di sekolah dan masih memungkinkan peneliti untuk meneliti dan memperoleh data ketika selesai pulang sekolah. Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia 5-6 tahun di lokasi TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi. Adapun data yang dikumpulkan meliputi: (a) tanggung jawab, (b) inisiatif, (c) kemampuan bersosialisasi, dan (d) pengendalian emosi. Keempat data tersebut bersumber dari anak dan orangtua. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Peneliti memilih teknik observasi partisipan, karena peneliti ingin menjalin hubungan yang lebih baik antara peneliti dengan subjek ataupun informan secara mendalam guna untuk mengetahui kemandirian pada anak. Peneliti berpartisipasi langsung dalam kegiatan sehari-hari yang akan dilakukan anak. Hal yang diamati oleh peneliti antara lain aktivitas sehari-hari di rumah yang menunjukkan kemandiriannya di komunitas lingkungan pemulung TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi. Untuk wawancara, peneliti menggunakan wawancara tidak terstruktur agar anak dan informan tidak akan terkesan seperti diwawancarai, namun pengambilan data tetap akan disesuaikan dengan pedoman catatan wawancara yang telah dibuat. Topik wawancara yang akan diajukan dalam penelitian antara lain: rutinitas sehari-hari yang dilakukan anak, cara dan tujuan mendidik anak, harapan terhadap diri anak, bentuk dukungan yang diberikan kepada anak, memberlakukan peraturan atau tidak ketika di rumah,
peran orang tua ketika anak berbuat kesalahan. Peneliti juga menggunakan teknik dokumentasi dalam melakukan penelitian guna untuk mendapatkan data yang otentik dan akurat. Peneliti mendokumentasikan aktivitas keseharian anak ketika di rumah. Analisis data dalam penelitian kualitatif ini menggunakan teknik analisis Miles dan Huberman seperti yang tersaji pada gambar 1. Data Collection
Data Reduction
Data Display
Conclusion Drawing
Gambar 1. Model analisis Interaktif Miles dan Huberma Berdasarkan gambar 1, teknik analisis Miles dan Huberman meliputi (a) reduksi data, (b) display data, dan verifikasi data. Hubungan antar tiap komponen analisis data Miles dan Huberman, yaitu proses analisis data kualitatif dilakukan secara bersamaan dan terusmenerus sehingga datanya jenuh. Kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi informasi baru yang diperoleh dari hasil catatan lapangan, catatan wawancara, dan catatan dokumentasi selama penelitian. Sedangkan untuk teknik keabsahan yang digunakan yaitu perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketengunan, dan triangulasi. Hal ini untuk meningkatkan derajat kepercayaan terhadap data penelitian, guna untuk mengetahui data yang sudah didapat benar atau salah dan untuk lebih cermat lagi saat melakukan analisis data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data kualitatif menunjukkan bahwa kecenderungan pola kemandirian yang tampak pada anak adalah mandiri dalam melakukan aktivitas kesehariannya di rumah. Kemandirian anak yang ditunjukkan terlihat ketika anak menunjukkan keinginan dan kemauannya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus disuruh terlebih dahulu, sehingga anak menunjukkan inisiatif terhadap situasi yang mendorong dirinya untuk melakukannya. Inisiatif yang ditunjukkan juga terlihat ketika anak memiliki keinginan dan kemauan untuk membantu orang tuanya ketika di rumah. Anak membantu
orang tua bukan atas perintah, tetapi anak mau dan ingin membantu orang tuanya sendiri. Inisiatif yang terbentuk pada anak berdasarkan ajaran dan didikan dari orang tua untuk bisa melakukan apa-apa sendiri. Cara orang tua tersebut sebagai proses bagi diri anak untuk terbiasa melakukan kegiatannya sendiri. Orang tua selalu mengajarkan terlebih dahulu kepada anak guna untuk menumbuhkan kesadaran pada diri anak untuk tidak selalu bergantung dengan orang tuanya. Orang tua juga tidak memanjakan anak-anaknya ketika di rumah. Berikut analisis data berdasarkan catatan wawancara dengan orang tua anak.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
17
Kemandirian Anak Usia ...
Didikan (CWOAM.1 , JW.13 , K.1). Kalau saya mendidik anak-anak saya harus bisa melakukan apa-apa sendiri, kaya mandi ge, makan (CWOAM.1 , JW.13 , K.2). Tapi si diperintahkan dulu sama orang tuanya, terus anak-anak melakukannya (CWOAM.1 , JW.13 , K.3). Besok-besokkannya mereka udah biasalah buat ini itu melakukan kegiatan yang bermanfaat (CWOAM.1 , JW.13 , K.4). Ya kita mah ngajarinnya juga biar bocah tuh biar ada pikirannya gitu, jangan segala ngandelin orang tua, ngambil nasi nyuruh orang tua, ambil lap nyuruh orang tua, ya jangan kaya gitu pingin kita mah (CWOCP.1 , JW.26 , K.4). Pertama-tama saya ajarin begitu si, terus mungkin udah kebiasaan tau kalau misalnya yak abis makan diberesin, ya pokoknya saya ga manjain anakanak saya (CWOAM.1 , JW.13 , K.6). Jadi inisiatifnya sendiri, jadi pernah diolah (CWOAM.1 , JW.13 , K.7). Kita tuh ngedidik anak gimana supaya anaknya ada kerajinan, keterampilan (CWOAM.1 , JW.13 , K.12). Kalau misal dirumah ga bereslah, kaya tempat tidur pada kotor ya disapuin, ya bagaimana jalan baiknya lah (CWOAM.1 , JW.14 , K.4). Kesimpulannya si ya, sebenernya apa-apa mereka tuh bukan dari anak sendiri, tapi dari arahan, didikan, saran, ajaran orang tua (CWOAM.1 , JW.14 , K.7). Intinya si “anak-anak saya harus bisa sendiri” (CWOAM.1 , JW.14 , K.12). Tanggung jawab merupakan salah satu bentuk kemandirian yang ditunjukkan ketika anak diperintahkan atau diamanahkan oleh orang tua untuk membantunya dan anak mau melaksanakan perintah tersebut. Tanggung jawab juga ditunjukkan ketika anak mau bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Hal ini ditunjukkan ketika anak mau merapikan pakaian sekolah yang telah selesai dikenakannya. Tanggung jawab yang terbentuk pada anak karena anak diajarkan untuk bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Orang tua juga selalu membiasakan untuk memberitahukan apabila ada pekerjaan rumah yang diberikan ibu guru saat di sekolah, segera dikerjakan. Anak juga diajarkan untuk selalu bertanggung jawab pada dirinya sendiri ketika bermain atau kegiatan lainnya. Orang tua juga menyatakan bahwa, dengan menyuruh anaknya melaksanakan perintah orang tuanya guna untuk menjadikan anak mandiri.Hal ini karena orang tua memandang jarak untuk dimintai tolong tidak terlalu jauh. Kita mendidik anak-anak ketika pulang sekolah, bajunya jangan asal geletak aja dimana mana, tetapi harus dibereskan (CWOAM.1 , JW.14 , K.2). Kalau ada pekerjaan rumah dari sekolahnya, ya dikerjain 18
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
pr nya (CWOAM.1 , JW.14 , K.3). Tapi kan cuma hanya sekedar dari sini kesitu, tolong ambilin kalau adenya pipis, ya dia mau si, mau ambilin, gitu doang (CWOCP.1 , JW.12 , K.4). Ya kan ibaratnya supaya anak kita mandiri lah, terus fokus sama pelajaran (CWOCP.1 , JW.12 , K.5). Kemandirian yang ditunjukkan anak yaitu kemampuan bersosialisasi, dimana anak berinteraksi dengan teman-temannya. Anak mudah menyesuaikan diri, beradaptasi dengan teman-teman, sehingga anak tidak pernah malu untuk berinteraksi dengan mengajak teman-temannya bermain bersama. Kemampuan bersosialisasi juga terlihat ketika anak berinteraksi dengan peneliti yang baru dikenalinya. Anak mudah menyesuaikan diri, beradaptasi dengan orang baru yang ditemuinya. Anak tidak malu dan selalu mengajak peneliti untuk bermain bersamanya. Kemandirian yang terbentuk pada anak karena anak diajarkan untuk tidak malu dengan orang lain. Anak juga diajarkan untuk selalu menghargai orang lain serta tidak usah takut ketika bertemu dengan orang yang baru dikenalinya. Orang tua juga mengajarkan kepada anak untuk berani beradaptasi dengan orang lain. Anak diberi kebebasan untuk bermain, tetapi harus dalam tempat dan waktunya. Dapat dimaksudkan bahwa ketika anak bermain, jangan jauh-jauh, sebab agar mudah dipantau oleh orang tua. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil catatan wawancara dengan orang tua anak sebagai berikut. Kalau saya memang ga ngajarin mereka buat malu (CWOAM.1 , JW.15 , K.1). Kalau ada orang ya ditanya “ada perlu apa”, “tujuannya apa dan sama siapa”, kan gitu harus ditanya (CWOAM.1 , JW.15 , K.2). Saya juga mengajarkan, kalau ada tamu, hargai (CWOAM.1 , JW.15 , K.3). Kalau kita ga hargai, nanti kita dianggapnya sombong (CWOAM.1 , JW.15 , K.4). Saya juga berpesan, kalau ada orang lain, hadapin dan jangan takut (CWOAM.1 , JW.15 , K.7). Jangan malu-malu lah sama temen, kan kalau malu-malu, buat bergaul sama siapa aja lama kenalnya (CWOCP.1 , JW.28 , K.2). Kita ajarin mentalnya juga gitu, mental untuk keberanian melakukan apapun sendiri, untuk beradaptasi dengan seseorang (CWOCP.1 , JW.12 , K.14). Bilamana ada apa-apa, ya jangan suka mengadu-ngadu gitu lah sama mama atau bapaknya (CWOCP.1 , JW.12 , K.15). Maksudnya, kebebasan anak ya kita beri, cuma ada tempat dan waktunya gitu, yang tepat gitu (CWOCP.1 , JW.13 , K.6). Dimana tempat untuk bermain, bukannya main dikebon-kebon (CWOCP.1 , JW.13 , K.7). Orang tua harus paham
Kemandirian Anak Usia ...
lah semestinya anak ini main apa (CWOCP.1 , JW.13 , K.8). Semakin kesana semakin berat (CWOCP.1 , JW.13 , K.9). Ibaratnya bilamana ada orang tua kita ada urusan apa-apa, supaya dia beradaptasi gitu (CWOCP.1 , JW.13 , K.10). Kemandirian yang ditunjukkan juga terlihat ketika anak hendak melakukan kegiatannya sendiri dengan pengendalian emosi yang ditunjukkannya. Pengendalian emosi tersebut berkaitan ketika anak memiliki kemauan untuk melakukan sesuatu dan anak melakukan dengan caranya sendiri tanpa bergantung dengan orang tua. Dalam hal ini, dengan menggunakan caranya sendiri, anak harus bisa mengendalikan emosinya. Pengendalian emosi yang ditunjukkan anak dikarenakan anak menyadari bahwa dirinya tidak bergantung dengan orang tua, sehingga anak harus bisa mengendalikan emosinya sendiri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membahayakan dirinya. Orang tua selalu mengingatkan kepada anaknya untuk selalu berhati-hati ketika anak sedang ingin melakukan sesuatu. Hal ini karena orang tua tidak setiap waktu memantau atau mendampingi anak-anaknya. Ajaran dan didikan tersebut selalu menjadi bekal bagi anak untuk tetap berhati-hati.
Kita disini juga kasih didikan, kalau mau apa-apa, harus hati-hati, soalnya kan kita ga selalu ngawasin mereka (CWOAM.1 , JW.16 , K.3). Kalau anak ga diajarin, anak mana mungkin bisa sih tanpa orang tua (CWOAM.1 , JW.16 , K.4).Kan kita ngajarin Cindy biar apa-apa sendiri, jangan selalu ngandelin orang tua (CWOCP.1 , JW.29 , K.3). Kita ge juga bilang harus hati-hati kalau lagi ngapa-ngapain (CWOCP.1 , JW.29 , K.4). Soalnya kan kita ga setiap waktu mantau Cindy kalau lagi main atau apa ge dan sendiri (CWOCP.1 , JW.29 , K.5). Tetanggatetangganya juga ga pernah ngelarang Cindy buat ini itu (CWOCP.1 , JW.21 , K.5). Maksudnya hem gini, kalo Cindy lagi mau metik cerry, tetangga yang liat ga pernah ngelarang buat naik, karena yang penting Cindy nya mah hati-hati aja ge (CWOCP.1 , JW.21 , K.6). Disini mah juga tetangganya ga ngatur atau ngelarang juga (CWOCP.1 , JW.30 , K.2). Tapi yang penting Cindy nya hati-hati (CWOCP.1 , JW.30 , K.3). Gambar 2 berikut merupakan bagan temuan penelitian yang didapat berdasarkan hasil pengamatan di komunitas lingkungan pemulung TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi.
1. Anak memiliki keinginan dan kemauan untuk menyelesaikan masalah tanpa harus disuruh terlebih dahulu 2. Anak tidak bergantung dengan orang sekitar dan selalu melakukannya sendiri 3. Anak suka membantu orang tua tanpa disuruh
1. Anak melaksanakan perintah orang tua dan melakukannya sendiri 2. Anak bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan merapikan pakaian sekolahnya 3. Anak selalu melakukannya sendiri
1. Anak mudah menyesuaikan diri, mudah beradaptasi dengan teman dan orang lain yang baru ditemuinya, sehingga tidak malu untuk mengajak bermain bersama
Inisiatif
Tanggung Jawab
Kemampuan Berinteraksi
Peran Orang Tua 1. Orang tua memberikan pemahaman mental untuk berani melakukan kegiatan apapun sendiri. 2. Orang tua memberikan pemahaman kepada anak untuk berani beradaptasi dengan orang lain. 3. Orang tua memberikan penjelasan kepada anak bahwa suatu saat nanti anak tidak selamanya dengan orang tua. 4. Orang tua memberikan pemahaman kepada anak tentang kondisi lingkungan yang ditempatinya dengan kondisi keterbatasan
Pembentukan Kemandirian
Sikap Orang Tua 1. Orang tua tidak selalu membantu anak ketika sedang beraktivitas 2. Orang tua selalu memberikan dukungan kepada anak ketika anak hendak melakukan kegiatannya sendiri 3. Orang tua tidak memanjakan anak
1. Anak tetap tenang dan berhati-hati dalam melakukan kegiatannya sendiri 2. Anak tidak bergantung dengan orang sekitar
Pengendalian Emosi
Peran Lingkungan 1. Lingkungan memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya 2. Lingkungan memberikan kebebasan pada anak untuk berhubungan dengan orang sekitar
Gambar 2. Bagan temuan penelitian Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
19
Kemandirian Anak Usia ...
Berdasarkan penjabaran pada gambar 2, dapat dideskripsikan bahwa kemandirian anak di komunitas lingkungan pemulung yaitu menunjukkan inisiatifnya ketika memiliki keinginan dan kemauan dalam menyelesaikan masalah dan membantu orang tuanya, mau bertanggung jawab melaksanakan perintah orang tua dan bertanggung jawab pada diri sendiri, bersosialisasi dengan siapa saja dengan mengajak bermain bersama, serta mampu mengendalikan emosi ketika melakukan sesuatu sendiri dengan caranya sendiri. Hal yang utama dari semuanya yaitu anak selalu melakukannya sendiri tanpa bergantung dengan siapapun. Anak dari keluarga yang tinggal di lingkungan pemulung TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi khususnya keluarga dari subjek penelitian mendidik anak untuk menjadikan anak-anaknya mandiri. Cara mendidik orang tua di rumah
akan membentuk pribadi pada anak untuk tidak bergantung dengan siapapun. Dalam hal ini, orang tua berharap kelak nanti anak bisa mandiri tanpa orang tua di sampingnya.Maka dari itu, setiap harinya orang tua tidak pernah melayani anak ataupun membantu anak selagi anak itu bisa melakukannya sendiri.Orang tua selalu mengingatkan kepada anak untuk berhati-hati ketika melakukan sesuatu sendiri, baik ketika anak di rumah ataupun di luar rumah yang dapat membahayakan ataupun tidak. Keluarga dari subjek penelitian juga tidak melarang anak untuk bermain dengan siapa saja. Anak selalu diajarkan hidup prihatin dengan kondisi yang ada.Anak tidak banyak menuntut dan meminta kepada orang tuanya.Keinginan orang tua tetap nomer satu yaitu anak-anaknya sekolah dengan benar dan sungguh-sungguh serta menjadi anak yang mandiri.
PENUTUP
Kesimpulan Kemandirian anak usia 5-6 tahun di TPST Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi menunjukkan kemandiriannya dalam pola yang berbeda-beda setiap harinya. Anak menunjukkan kemandiriannya ketika di rumah.Mereka tidak pernah meminta orang tua atau orang disekitar untuk membantunya. Anak menunjukkan inisatifnya ketika berkaitan dengan keinginan dan kemauan untuk menyelesaikan masalahnya tanpa harus disuruh terlebih dahulu dan tidak bergantung dengan orang tua.Inisiatif juga ditunjukkan ketika anak ingin membantu orang tuanya ketika di rumah dan hal tersebut berdasarkan atas kemauan dan keinginan anak membantu orang tuanya. Keragaman lain dari kemandirian yang ditemukan yaitu tanggung jawab. Tanggung jawab yang ditunjukkan berkaitan dengan perintah yang diberikan orang tua dan anak melaksanakan perintah tersebut.Tanggung jawab juga ditunjukkan ketika anak mau bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan mau merapikan pakaian sekolahnya tanpa harus bergantung dengan orang tua untuk membereskannya. Keragaman lain dari kemandirian adalah kemampuan bersosialisasi. Anak menunjukkan dirinya mudah beradaptasi, mudah menyesuaikan diri dengan teman-teman dan orang lain yang baru ditemuinya. Hal ini menjadikan anak tidak malu untuk selalu mengajak teman-teman dan peneliti
20
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
untuk bermain bersama dengan dirinya. Keragaman lain dari kemandirian adalah pengendalian emosi. Pengendalian emosi berkaitan dan ditunjukkan ketika anak ingin melakukan sesuatu dan anak melakukan dengan caranya sendiri tanpa harus bergantung dengan orang tuanya.Ketika melakukan dengan caranya sendiri, anak tetap berhati-hati melakukannya.Hal ini karena anak tidak setiap waktu dipantau oleh orang tua. Pola-pola yang ditunjukkan pada anak merupakan kemandirian yang dimiliki anak di komunitas lingkungan pemulung.Kemandirian tersebut tentu tidak terbentuk dengan sendiri pada diri anak.Dalam hal ini, peran dan sikap orang tua turut memberikan pengaruh terhadap perkembangan kemandirian anak sejak dini.Orang tua selalu memberikan pemahaman kepada anak untuk berani melakukan kegiatan apapun sendiri. Orang tua juga memberikan penjelasan kepada anak bahwa suatu saat nanti anak tidak selamanya akan hidup dengan orang tua, sehingga orang tua sejak dini membiasakan anak untuk melakukan kegiatannya sendiri. Pembentukkan kemandirian itu juga bukan hanya dari peran orang tua saja, tetapi sikap orang tua kepada anak juga turut memberikan pengaruh. Sikap orang tua tidak memanjakan anaknya dan selalu mendukung anak-anaknya untuk lebih mandiri. Pembentukan kemandirian pada anak juga dapat dibentuk dari lingkungan.Lingkungan memberikan
Kemandirian Anak Usia ...
kebebasan pada anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya tanpa dibatasi dan lingkungan memberikan
kebebasan pada anak untuk berhubungan dengan orang sekitar.
DAFTAR PUSTAKA Allen, K. Eileen & Lynn. (2010). Profil perkembangan anak. Jakarta: Indeks. Dodge, Diane Trister & Laura J. Colker. (2002). The creative curriculum for early childhood (third edition). Amerika: Teaching Strategies. Familia, Tim Pustaka. (2006). Membuat prioritas melatih anak mandiri. Yogyakarta: Kanisius. Feist, J., dkk. (2013). Theories of personality (eighth edition). New York: McGraw Hill. Feldman, R. S. (2000). Understanding psychology (fourth edition). New York: McGraw Hill. Green, C. “A sense of autonomy in young children’s special places”, International Journal for Early Childhood Encironment Education, 1 (1), 8-31.2013. http://www.naaee.net/sites/default/ files/publications/IJECEE/6.%20IJECEE%20 First%20Issue%20Research%20Study%20 Sense%20of%20Autonomy%20FINAL.pdf. (Diunduh 27 Februari 2015 – 14:20).
McDevitt, T. M., & Ormrod, J.E. (2002). Child development and education. New York: Pearson Education. Mena, J. G., & Eyer, D.W. (2001). Infants, toddlers, and caregivers (fifth edition). New York: Mayfield Publishing Company. Nilsen, B. A. (2004). Week by week: documenting the development of young children, third edition. New York: Thomson. Papalia, D.E., dkk. (2009). A child’s world: infancy through adolescence, eleventh edition. New York: McGraw-Hill. Santrock, J. W. 2008. Adolescence (twelfth edition). New York: McGraw-Hill. Smith, J. T. (2003). Early childhood development: a multicultural perspective, third edition. New York: Pearson Education. Yamin, M., & Sanan, J. S. (2010). Panduan pendidikan anak usia dini (PAUD). Jakarta: Gaung Persada.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
21
Penelitian
PERILAKU SOSIAL ANAK PEKERJA BATU KALI DI KAMPUNG TAPAK LEBAR Mansyur Romadon Putra e-mail:
[email protected] STKIP-PGRI Lubuklinggau Jl. Mayor Toha Kota Lubuklinggau - Sumatera Selatan
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mencermati perilaku sosial anak di kampung Tapak Lebar dengan situasi sosial yang primitif berada di pinggiran sungai. Subjek Penelitian anak usia 5-6 tahun yang berjumlah 3 orang anak. Adapun waktu penelitian dilakukan selama 8 bulan sejak Januari 2015 hingga Agustus 2015 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi etnografi. Analisis data yang digunakan yaitu model Spradley. Data penelitian ini diperoleh dari observasi, dokumentasi, dan pembuatan catatan lapangan.Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa : Perilaku sosial anak kampung Tapak Lebar dalam berinteraksi tidak mencerminkan etika dan kesopanan yang sesuai dengan budaya sopan santun. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan agar diadakan sosialisasi oleh pemerintahan setempat terutama dalam mengantisipasi dan menanggulangi perilaku sosial anak pinggiran sungai dengan mendirikan lembaga pendidikan untuk anak-anak. Kata-kata Kunci : anak , perilaku sosial, budaya.
SOCIAL BEHAVIOUR OF THE CHILDREN OF RIVER STONE LABOUR IN TAPAK LEBAR VILLAGE Abstract: the purpose of this study is to describe the social behavior of the children of river stone labour in Tapak Lebar village in a primitive social condition along the river bank. As the research subjects, the research involved three children of 5-6 years old. The research was conducted for 8 (eight) months starting from January through August 2015. The research belonged to qualitative research and was classified as an ethnography research. The data was collected by observation, document study, field notes to be analyzed employing Spradley model. The research findings indicate the social behavior of the children in Tapak Lebar village in interacting each other do not reflect etiquette and politeness suitable to polite culture. It is recommended that the local government implement socialization program to anticipate and to prevent the social behavior of the river bank children by establishing educational institutions for them. Keywords: child, social behavior, culture.
PENDAHULUAN Usia dini merupakan masa keemasan bagi setiap individu, masa ini sangat penting karena merupakan masa yang menentukan perkembangan selanjutnya. Usia dini merupakan waktu dimana bermuaranya semua aspek perkembangan, setiap individu berawal dari kelahiran kemudian tumbuh dan berkembang menjadi individu dewasa, pertumbuhan dan perkembangan tersebut dimulai dari awal kehidupan. Menurut Frobel “anak usia dini diibaratkan seperti tunas tumbuh-tumbuhan, masih memerlukan pemeliharaan dan perhatian sepenuhnya dari si juru tanam” (Direktorat PAUD 2013). Dalam arti bahwa anak diusianya yang dini merupakan masa fundamental yang masih perlu diarahkan. 22
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
John Locke menyatakan bahwa anakanak diibaratkannya seperti “papan kosong” ia menyatakan bahwa pengalaman masa kanak-kanak sangat menentukan karakteristik seseorang ketika dewasa (Suntrock, 2007). Hal ini sejalan dengan pendapat Frobel tentang anak usia dini merupakan individu dimana peletakan pondasi awal yang menentukan perkembangan selanjutnya. Anak usia dini menurut NationalAssociation for The Education of Young Children adalah individu dengan rantang usia antara 0 sampai 8 tahun. Pada tahap ini perkembangan anak sangat maksimal, di usia keemasannya otak anak berkembang 80%, masa usia dini sangat menentukan perkembangan kedepan, perkembangan anak tersebut dipengaruhi
Perilaku Sosial Anak ...
oleh beberapa faktor, baik faktor genetis, maupun faktor lingkungan. Usia lahir sampai 8 tahun mengalami masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, pada masa keemasan ini merupakan masa kritis dalam tahapan kehidupan manusia, yang akan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Setiap anak atau individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi terutama bagi anak usia dini agar perkembangannya baik maka kebutuhannya harus diperhatikan selain kebutuhan makan dan minum yang sehat dan bergizi anak juga membutuhkan kebutuhan lain seperti kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan bereksplorasi, dan kebutuhan akan waktu bermain untuk mengaktualisasikan dirinya. Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Maslow mengemukakan tentang hierarki kebutuhan manusia bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri (Dodge, 1992) Kebutuhan tersebut tersusun pertahap membentuk hierarki, kebutuhan terakhir aktualisasi diri akan terpenuhi apabila kebutuhankebutuhan sebelumnya telah terpenuhi. Hierarki kebutuhan manusia mengatur kebutuhan dasar dalam lima tingkatan prioritas. Tingkatan yang paling dasar, atau yang pertama meliputi kebutuhan fisiologis seperti: udara, air dan makanan. Tingkatan yang kedua meliputi kebutuhan keselamatan dan keamanan, yang melibatkan keamanan fisik dan psikologis. Tingkatan yang ketiga mencakup kebutuhan cinta dan rasa memiliki, termasuk persahabatan, hubungan sosial dan cinta seksual. Tingkatan yang keempat meliputi kebutuhan rasa berharga dan harga diri, yang melibatkan percaya diri, merasa berguna, penerimaan dan kepuasan diri. Tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri (Papalia, 1991) Dengan mengetahui konsep kebutuhan menurut Maslow, kita perlu memahami bahwa manusia senantiasa berkembang, sehingga dapat mencapai potensi diri yang maksimal. Kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi tidak akan terpenuhi dengan baik sampai kebutuhan dibawahnya terpenuhi. Jika kebutuhan dasar pada
tiap tingkatan tidak terpenuhi, pada akhirnya akan muncul sesuatu kondisi patologis. Setiap orang mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan setiap kebutuhan tersebut dimodifikasi sesuai dengan budaya masing-masing. Setiap orang memenuhi kebutuhan dasarnya menurut prioritas. Dalam hal ini individu memenuhi kebutuhannya berdasarkan tingkatan kebutuhan yang diperlukan. Menurut Marrison teori anak adalah pernyataan prinsip dan gagasan yang mencoba menjelaskan kejadian dan bagaimana hal-hal terjadi yaitu mempelajari pendidikan anak usia dini (Morisson, 2012). Masa usia dini (golden Age) hanya akan datang sekali yakni pada rentang usia 0-8 dan tidak dapat diulangi, masa ini juga sangat menentukan pengembangan kualitas manusia. Benyamin S. Bloom, Keith Osborn, dan Burton L, White, mengemukakan bahwa sekitar 50% kapasitas kecerdasan seseorang telah selesai terbentuk saat anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada rentang usia 4 hingga 8 tahun, dan 20% sisanya pada rentang usia 8 hingga 18 tahun. Ini artinya, kecerdasan yang terbentuk pada rentang 4 tahun pertama sama besarnya dengan peningkatan kecerdasan pada rentang usia 14 tahun hingga berikutnya. Pada usia 6 tahun perkembangan kecerdasan anak telah mencapai 70% (Kerangka Besar Pembangunan PAUD, 2011) Huttenlocher menekankan pentingya masa usia dini dalam mengoptimalkan perkembangan otak anak (Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011). Oleh sebab itu, masa usia dini adalah saat yang paling penting dimana perkembangan anak akan menentukan perkembangan dimasa mendatang. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah individu yang berada pada rentang usia 0-8 tahun dimana bermuaranya seluruh aspek perkembangan kognitif, fisik, dan sosial emosional yang berpengaruh terhadap perkembangannya ke depan. Pentingnya masa usia dini sebagai pondasi awal yang menentukan perkembangan berikutnya merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan individu yang baik, baik secara fisik maupun psikis. Agar pertumbuhan individu berkembang optimal maka perlu diberikan stimulasi. Syarief berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak saat dini bahkan sejak dalam rahim hingga usia 6 tahun sangat menentukan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
23
Perilaku Sosial Anak ...
derajat kesehatan, intelegensi, kematangan emosional, dan produktivitas manusia pada tahap berikutnya. Perkembangan anak usia dini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya dipengaruhi oleh genetik dan faktor lingkungan, pengaruh genetik didukung oleh situasi budaya di mana individu tinggal menentukan pola perkembangan dari setiap individu. Pada penelitian ini budaya yang sangat kental serta genetik yang secara turun-temurun menjadi faktor yang paling dominan, terutama dalam perilaku sosial anak. Dalam aktivitas keseharian anak indikasi-indikasi perilaku dalam kehidupan sosial tercermin dari etika budaya ketika berinteraksi, situasi sosial memberi pengaruh besar terhadap perkembangan perilaku sosial anak. Perilaku sosial merupakan aktivitas yang berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara, ketika anak berhubungan dengan orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupannya yang dapat membantu pembentukan kepribadiannya. Sejak kecil anak telah belajar berperilaku sesuai dengan harapan orang-orang disekitarnya, yaitu dengan ibu, ayah, dan saudaranya. Kehidupan sosial tidak dapat dipisahkan dari interaksi antarindividu, interaksi yang terjalin merupakan tindakan berupa perilaku. Perilaku yang terjadi biasanya merupakan tindakan sehari-hari di kehidupan anak. Apa yang dipelajari anak dari lingkungan keluarganya turut mempengaruhi pembentukan perilaku sosialnya Perkembangan sosial berhubungan dengan perilaku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan lingkungannya. Perkembangan sosial diperoleh anak melalui kematangan dan kesempatan belajar dari berbagai stimulus dari lingkungannya, perkembangan sosial mengikuti pola tertentu, yang sama pada semua anak dari kelompok budaya tertentu. Menurut Hurlock pada usia 5-6 merupakan usia berkelompok, anak tidak lagi puas bermain sendiri di rumah atau dengan saudara-saudara kandung atau melakukan aktivitas dengan anggota keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasakan kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya (Hurlock, 1992). Hal ini menandakan bahwa sosial anak sudah mulai meluas dan berkembang dari usia sebelumnya, apabila 24
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
pada usia sebelumnnya anak hanya berinteraksi dengan orang tua dan anggota keluarga, di usia 5-6 tahun anak sudah memiliki teman sebaya. Menurut Suntrock proses sosial emosi melibatkan perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan emosi, dan perubahan dalam kepribadian. Yakni perilaku sosial emosi dipengaruhi oleh stimulus seperti senyuman seorang bayi karena sentuhan ibunya, serangan seorang anak laki-laki pada teman bermainnya. Menurut Mulyasa, Perilaku sosial atau non sosial yang dibina pada awal masa kanak-kanak akan sangat menentukan kepribadiannya, baik melalui pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, berupa hubungan dengan anggota keluarga atau dengan orang-orang diluar keluargaa (Santrock, 2007). Hal ini menyatakan bahwa pengalaman memeiliki peranan penting dan memiliki pengaruh terhadan perilaku sosial seseorang. Hubungan antar individu menjadi dasar pengertian sosial. Menurut Drisscol and Nagel, sosial context is as a member of a group (Santrock, 2007) Hal ini berarti bahwa secara kontekstual pengertian sosial adalah anggota yang berhubungan dalam sebuah kelompok. Selain itu hubungan tersebut menimbulkan kencenderungan kecenderungan dan impuls yang berhubungan dengan kelompok yang terorganisir lainnya. Jadi, pengertian sosial berkaitan dengan hubungan yang saling berkaitan antarindividu dan membentuk jalinan kuat dalam sebuah kelompok. Secara mendalam, hubungan antarindividu yang saling berkaitan satu sama lain membutuhkan sebuah keahlian. Schickedanz menjelaskan social development is the child ability to think about a situation from another pearson’s point of view understand what causes that person to behave in acertain way and how children actually behave toward another and toward adults in their lives (Santrock, 2007). Menurut pendapat tersebut dapat diartikan bahwa perkembangan sosial adalah kemampuan seorang anak untuk berpikir tentang sebuah situasi dalam memahami sudut pandang orang lain, hal apa saja yang dilakukan oleh seseorang pada beberapa cara tertentu dan bagaimana anak seharusnya bertindak dengan beberapa orang dan dengan orang dewasa di kehidupan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan sosial pada anak muncul ketika
Perilaku Sosial Anak ...
anak sudah mulai merasakan keberadaan orang sekitar di dalam kehidupannya. Dengan begitu anak tidak sekedar memandang dari sudut pandang diri sendiri, namun memiliki kepedulian kepada orang disekitarnya. Perkembangan sosial anak ditandai dimana anak mulai memahami keberadaan orang sekitar. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Brooker and Broadbent bahwa perkembangan sosial merupakan learning through the child’s own exploration of the environment, learning through interaction with peers and siblings dan learning with adult support and guidance (Santrock, 2007). Pernyataan ini menunjukkan bahwa perkembangan sosial meliputi tiga kemampuan dasar untuk belajar berekplorasi dari lingkungannya, belajar berinteraksi dengan teman sebaya dan belajar sesuai dengan tuntutan sosial yang ada dari orang dewasa. Kemampuan berperilaku sosial pada perkembangan sosial anak melalui serangkaian proses secara sadar yang dialami setiap anak. Hal serupa diungkapkan oleh Gordon dan Browne menyatakan bahwa social development of a child reflects the standards and values of her family and of her society, where the cild begins to learnacceptable or appropriate behaviors at birth and continues to learn behavior patterns through her relationships with other, adapting these behaviors to her unique personality (Driscoll, 2005) Hal tersebut menerangkan bahwa perkembangan sosial merupakan kesadaran seorang anak untuk memahami nilai-nilai yang berada dalam keluarga dan masyarakat. Anak mulai mempelajari atau menyesuaikan sikap pada saat awal kehidupan dan berlanjut untuk mempelajari pola perilaku dalam berhubungan dengan orang lain. Interaksi tersebut melalui sebuah proses adaptasi dengan perilaku-perilaku unik. Pernyataan tersebut menandakan bahwa perkembangan sosial adalah usaha sadar yang dilakukan dalam memahami nilainilai yang ada melalui serangkaian proses. Proses ini menitikberatkan pada adaptasi seseorang dalam memahami perilaku-perilaku unik akan menciptakan sebuah hubungan antarindividu. Bandura menyatakan bahwa “Behavior can influence person/ cognitive factors and vice versa. The person’s cognitive activities can influence the environment, the environment can change the person’s cognition, and so on” (Santrock, 2007) Hal ini menyatakan bahwa perilaku dapat
mempengaruhi seseorang, ada korelasi antara perilaku seseorang dengan lingkungan, baik kognitif terhadap lingkungan, maupun sebaliknya hingga seterusnya. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah tempat dimana anak berada, oleh karena itu perolehan kemampuan berprilaku sosial tersebut melibatkan komponen keluarga, sekolah dan masyarakat. Erickson menyatakan dalam teori psikososialnya bahwa motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan suatu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain (Santrock, 2007). Teori ini menjelaskan bahwa hakikatnya individu memiliki sifat interaksi yang merupakan kebutuhan dari setiap individu. Karena pada dasarnya tanpa berinteraksi individu tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehingga tidak dapat mempertahankan kehidupannya tanpa bersosialisasi, karena kebutuhan dapat terpenuhi adanya interaksi yang terjadi. Pavlov menyatakan bahwa perilaku didasari dari pola kebiasaan, hal ini ia buktikan dari risetnya di awal tahun 1900an, dari hasil riset tersebut membuktikan bahwa pola kebiasaan memberi pengaruh besar terhadap perilaku. Kebiasaankebiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan merupakan bentuk dari perilaku. Adapun pola perilaku sosial anak usia 5-6 tahun yaitu Kerja sama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, perilaku kelekatan (attachment behavior), dan berkelompok (Hurlock, 2007) Perilaku-perilaku yang demikian biasanya muncul sejak individu berada diusia kanak-kanak. Dari beberapa pendapat teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku sosial adalah tindakan interaksi antarindividu dalam membangun hubungan yang saling berkaitan, dan perilaku sosial individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang paling dominan adalah faktor lingkungan atau budaya di mana individu itu berada, berdampak pada pola kebiasaan yang lama-lama menjadi ciri khas suatu perilaku dari individu tersebut. Masa usia dini merupakan tahapan awal dimana bermuaranya semua perkembangan, tidak hanya kemampuan intelektual yang dikembangkan tetapi perilaku juga tidak kalah pentingnya untuk mengimbangi perkembangan individu sebagai bekal
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
25
Perilaku Sosial Anak ...
di masa mendatang, atas dasar pertimbangan hal tersebut dan berdasarkan kenyataan di lapangan daerah penelitian bahwa banyak sekali anakanak yang berperilaku anarkis dalam berinteraksi, berdasarkan survey pra-observasi awal ditemui aktivitas kekerasan yang dilakukan anak, selain itu berdasarkan data dari kelurahan setempat bahwa angka anak yang tidak bersekolah lumayan banyak, hal ini membuat peneliti ingin mencermati bagaimana perekembangan perilaku sosial anak di daerah tersebut serta hal lain yang berkaitan dengan perilaku anak yang ditemukan dilapangan. Adapaun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana perilaku sosial anak pekerja batu kali usia 5-6 tahun di kampung Tapak Lebar. Manfaat penelitian ini secara teoretis dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan jumlah
referensi ilmiah berkaitan dengan anak usia dini yang tinggal di daerah perkampungan dengan ciri keunikan pada komunitas tertentu sedangkan secara praktis bagi pengambil kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada lembaga setempat terutama pemerintah untuk lebih memperhatikan kehidupan anak usia dini yang tinggal di perkampungan Tapak Lebar, bagi masyarakat Kampung Tapak Lebar hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan refleksi dan dapat memberikan gambaran secara kognitif kepada masyarakat yang tinggal di sekitar sungai kelingi tentang pentingnya masa anak usia dini, bagi Peneliti hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan mengenai Anak Usia Dini yang tinggal di pinggir sungai Kelingi kampung Tapak Lebar.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Tempat penelitian yaitu di wilayah kelurahan Tapak Lebar, tepatnya di pinggiran sungai kelingi, kecamatan Lubuklinggau Barat II, Sumatera selatan. Waktu penelitian dilakuan sejak awal januari 2015 hingga Agustus 2015 (8 bulan) Untuk mencermati perilaku sosial tersebut dipilih anak sebagai sumber data atas dasar pertimbangan tertentu, yaitu dengan pertimbangan sumber penelitian mampu menjawab hal-hal yang akan peneliti amati, selain itu didukung oleh informasi yang didapat dari informan, adapun subjek penelitiannya adalah anak dalam rentang usia 5-6 tahun sebanyak 3 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan mengumpulkan berbagai dokumen terkait dengan pengasuhan, wawancara dilakukan dengan informan dan subjek penelitian dengan pendekatan wawancara tidak terstruktur dan pendekatan informal, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Sumber-sumber data dari penelitian ini antara lain:
Masyarakat budaya, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, masyarakat setempat dan budaya masyarakat kampung Tapak Lebar. Subjek penelitiannya adalah anak usia 5-6 tahun. Prosedur penelitian ini secara garis besar dilakukan melalui empat tahapan kegiatan, yaitu (1) tahap pra-lapangan, (2) pelaksanaan, (3) analisis data, dan (4) diakhiri dengan penulisan laporan. Analisis data yang digunakan adalah analisis data model Spradley, analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan (studi pendahuluan) ketika di lapangan dan ketika selesai di lapangan, untuk keakuratan data juga divalidasi dengan triangulasi dari berbagai sumber data. Adapun tahapan yang dilakukan pada saat analisis mengacu pada model Spradley yang terdiri dari dua belas tahap, yaitu: (1) memilih situasi sosial, (2) melaksanakan observasi partisipan, (3) mencatata hasil observasi dan wawancara, (4) melakukan observasi deskriptif, (5) melakukan analisis domain, (6) melakukan observasi terfokus, (7) melaksanakan analisis taksonomi, (8) melakukan observasi terseleksi, (9) melakukan analsis, (10) melakukan analisis tema, (11) temuan budaya, dan (12) menuliskan laporan kualitatif (Sugiono, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan yang telah dilakukan peneliti melalui analisis data dan triangulasi bahwa perilaku sosial anak dalam interaksi sehari-hari menunjukan indikasi-indikasi perilaku
26
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
yang cenderung “aktif” yaitu ditunjukan dari pola komunikasi dan tindakan yang di lakukan anak dalam kehidupan sehari-hari, beberapa faktor penyebab yaitu budaya setempat dan kurangnya
Perilaku Sosial Anak ...
pendidikan yang diterima oleh masyarakat setempat terutama bagi anak-anak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas anak usia dini terutama dalam rentang usia 5-6 tahun tidak bersekolah yang berdampak pada perilaku yang cenderung kurang sopan ketika berperilaku dalam berinteraksi sosial dikehidupan sehari-hari. Akibatnya perilaku yang cenderung kasar sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak setempat. Perilaku yang terbentuk pada anak usia dini di kampung Tapak Lebar selain dipengaruhi lingkungan tempat domisili atau budaya setempat yang mayoritas penduduknya tidak mengenyam pendidikan sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Bandura (Suntrock, 2007:50) bahwa “Behavior can influence person/ cognitive factors and vice versa. The person’s cognitive activities can influence the environment, the environment can change the person’s cognition, and so on”. Hal ini menyatakan bahwa perilaku dapat mempengaruhi seseorang, ada korelasi antara perilaku seseorang dengan lingkungan, baik kognitif terhadap lingkungan, maupun sebaliknya hingga seterusnya. Dalam segala rutinitas tentunya tidak lepas dari interaksi, interaksi yang terjadi merupakan aplikasi dari perilaku sosial. Dalam hal sosial masyarakat kampung tapak lebar merupakan masyarakat yang memiliki solidaritas kemasyarakatan yang sama seperti masyarakat pada umumnya, hanya saja perilaku sosial anak-anaknya tidak mencerminkan budaya saling bantu, terutama dalam hal pekerjaan. Namun hal ini sangat beralasan karena anak tersebut berlomba-lomba untuk mengumpulkan batu. Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini,mengenai pengasuhan dan kehidupan anak usia dini pada suatu masyarakat tertentu. Masayo Uji, Ayuko Sakamoto, Keichiro Adachi, Toshinori Kitamura pada penelitiannya The Impact Of Authoritative, authotarian, and permisive parenting Styles on Children’s later mental Helth in Japan: Focusing on parent and child gender. Pada penelitian ini melihat efek dari gaya pola pengasuhan otoriter, otoritarian, dan permisif terhadap kesehatan mental anak, perbedaan dengan penelitian yang dilakukan yaitu penelitian di kampung tapak lebar melihat pola pengasuhan, perilaku sosial dan motorik anak. Betty Rintoul, Judy Thorne, Ina Wallace, Margaret Mobley, Jennife Goldman Fraser,
Heather Luckey dalam penelitiannya Personal Characteristics and parentel behavior (Ebsco, 2012). Kesamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama mengkaji tentang perilaku anak, sementara perbedaannya, yaitu untuk meilhat karakter kepribadaian dan perilaku pengasuhannya, sementara peneiltian yang dilakukan melihat perilaku sosial pengasuhan yang diterapakan. Ozcan Dagdemir dan Hakan Acaroglu, pada penelitiannya yang berjudul The Effects of Globalization on Child Labor in Developing Countries. Keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama tentang pekerja anak, perbedaannya adalah penelitian tersebut merupakan pekerja anak berdasarkan efek dari globalisasi sementara penelitian dilakukan adalah anak yang diperjakan berdasarkan latar belakang situasi peradaban setempat. Tayyaba Zarif, Aiz-un-Nisa, Aijaz Ahmed, Mubashir Mirza dalam peneltiannya Understanding Reasons Of Child Labour In A Developing Economy: A Qualitative Study Of Karachi, Pakistan. Adapun keterkaitan dengan penelitian ini yaitu sama-sama tentang anak yang dipekerjakan perbedaanya adalah penelitian tersebut berorientasi pada alasan anak dipekerjakan dan perekonomian sedangkan penelitian ini pada kehidupan anak yang dipekerjakan dan perilaku sosialnya. Kartika Rinakit Adhe, pada penelitiannya di desa Bojonegoro meneliti mengenai budaya kehidupan masyarakat samin dalam menanamkan karakter kejujuran kepada Anak Usia Dini, membahas tentang bagaimana penanaman dan pembiasaan karakter yang diterapkan oleh masyarakat tersebut, adapun judul tesisnya adalah “Ajaran Masyarakat Samin Pada Penanaman dan Pembiasaan Karakter” (Adhe, 2014) Keterkaitan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang kehidupan pada sekelompok masyarakat tertentu dengan keunikan-keunikan tersendiri yang menjadi ciri khas populasi penduduk yang menjadi subjek penelitian, selain itu menggunakan jenis penelitian yang sama. Bedanya penelitian tersebut lebih mengarah pada karakter sementara penelitian ini mengarah pada perilaku sosial, dan keterampilan motorik. Dalam penelitian lainnya, Amanah Rahma Ningtias juga melakukan jenis penelitian yang sama dan mengkaji tentang karakter anak usia dini yang tinggal di daerah pesisir pantai. Penelitiannya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
27
Perilaku Sosial Anak ...
berjudul “Karakter anak usia dini yang tinggal di daerah pesisir pantai”. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang pola
kehidupan anak usia dini pada suatu komunitas daerah tertentu, dengan pola perilaku tertentu yang menciri khaskan keunikan.
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan dan dikaitkan dengan teori yang sudah ada, maka ditarik kesimpulan bahwa perilaku sosial anak di kampung Tapak Lebar dipengaruhi oleh kebiasaan dan budaya daerah setempat. Pola kebiasaan perilaku hidup keras yang tercermin dari interaksi masyarakat terutama bagi anak-anak. Secara garis besar bahwa lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam mempengaruhi perilaku sosial anak dalam berinteraksi di kehidupan sehari-hari.
Saran
Dari temuan dan informasi hasil penelitian, maka peneliti mengajukan beberapa rekomendasi kepada berbagai pihak. Bagi orang tua, membudayakan perilaku yang baik dengan bertuturkata yang bagus serta menjadi contoh yang pantas ditiru oleh anak-anak, bagi penentu kebijakan diharapakan mengadakan sosialisasi pada masyarakat tentang pentingnya masa usia dini sebagai pondasi awal dalam mengarahkan anak pada perilaku sosial yang baik dan bagi masyarakat meningkatkan kesadaran tentang pentingya masa usia dini sebagai pondasi perkembangan anak di usia selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Adhe, K. (2015). Ajaran masyarakat Samin pada penanaman dan pembiasaan karakter. Tesis tidak di terbitkan. Jakarta: PPs UNJ. Depdikbud. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia. Jakarta: Depdikbud Driscoll, A., et, al. (2005). Early childhood education birth- 8. United States of America : Pearson Education. Direktorat Pembinaan PAUD. (2013). Kerangka besar pembangunan PAUD Indonesia periode 2011-2025. Jakarta: Kemendikbud Dodge, D.T.,& Colker, L. J. (1992). The creative curriculum for early childhood. Washington DC: Teaching Strategies Inc. Hurlock. (2007). Perkembangan anak jilid 1 (penerjemah: Meitasari Tjandrasa). Jakarta: Erlangga Hurlock. (1992). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (penerjemah: Istiwidiyanti & Soedjarwo).
28
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Jakarta: Erlangga. Morrison. (2012). Dasar-dasar pendidikan anak usia dini edisi ke lima (penerjemah: Suci Romadhon). Jakarta:Indeks. Mulyasa. (2012). Manajemen PAUD. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ningtias, A. (2015). Karakter anak usia dini yang tinggal di daerah pesisir pantai. Tesis tidak diterbitkan Jakarta: PPs UNJ Papalia. (1990). A child’s world infancy through adolescenc. New York: McGRAW-HILL Santrock (2007). Children ninth edition. New York: McGraw Hill Santrock. (2007). Perkembangan anak. Alih bahasa Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti Jakarta. Erlangga. Shickedanz, et.al. (2001). Understanding children and adoelescents. Boston: A Pearson Education Company.
Penelitian
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN BAHASA INGGRIS MELALUI METODE SQ4R Herlina e-mail:
[email protected] PGSD Universitas Negeri Jakarta
Jalan Rawamangun Muka Jakarta Timur Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai peningkatan keterampilan membaca pemahaman bahasa Inggris melalui metode SQ4R siswa kelas III SDS Labschool Setiabudi Jakarta Selatan. Subjek penelitian adalah siswa kelas III pada semester II tahun ajaran 2014/2015. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan model Kemmis dan Mc. Taggart yang dilaksanakan dengan tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian dengan menggunakan metode SQ4R menunjukkan data yang diperoleh dari tes evaluasi membaca pemahaman siswa yang mendapat skor ≥ 75 pada siklus I 55,55% dan pada siklus II diperoleh 83,33%. Sedangkan pemantau aktifitas guru dan siswa pada siklus I pertemuan pertama 55% dan pertemuan kedua 70% sedangkan siklus II pertemuan pertama 85% dan pertemuan kedua 90%. Dengan demikian membaca pemahaman dengan metode SQ4R dapat meningkatkan keterampilan membaca pemahaman siswa kelas III SDS Labschool Setia Budi Jakarta Selatan. Kata-kata kunci: keterampilan membaca, pemahaman bahasa inggris, SQ4R.
IMPROVING ENGLISH READING COMPREHENSION SKILL BY SQ4R METHOD Abstract: This research aims at obtaining data on improving English reading comprehension skill in Grade III, Labschool Primary School, Setiabudi, South Jakarta. The research subjects were the students of Grade III in the second semester of 2014/2015 school academic year. The research model used Kemmis and Mc. Taggard model covering planning, implementation, observation, and reflection. The data of reading comprehension evaluation showed that in the first cycle 55.5 % of the students gained >75 and in the second cycle 83.33 % of them gained >75. While based on the monitoring data, the activities of the teacher and the students were 55 % in the first meeting of the cycle I and increased to 85 % in the first meeting of the cycle II. Therefore, SQ4R method can improve English reading comprehension skill of the Grade III students in Labschool Primary School, Setiabudi, South Jakarta. Keywords: reading skill, English comprehension, SQ4R.
PENDAHULUAN Keterampilan membaca sangat penting dalam kehidupan manusia. Keterampilan membaca tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan formal yaitu sekolah, yang dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar keterampilan membaca memerlukan suatu proses pembelajaran yang baik dan maksimal. Dikatakan demikian karena sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan formal yang pertama dalam dunia pendidikan yang menjadi dasar atau landasan untuk menentukan keberhasilan seseorang ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Membaca pemahaman merupakan salah satu aspek yang menjadi tujuan utama dari pengajaran membaca di sekolah dasar. Membaca pemahaman adalah dasar untuk memahami berbagai bidang studi. Begitupun dalam bahasa Inggris, untuk memahaminya diperlukan keterampilan membaca dengan baik, seseorang tidak dapat memahami apa yang orang lain maksudkan dalam tulisannya. Pembelajaran bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sukar karena bahasa Inggris bukan bahasa Ibu atau bahasa nasional yang digunakan sehari-hari, hal ini menyebabkan kebosanan. Kondisi tersebut
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
29
Memingkatkan Keterampilan Membaca ...
berimplikasi pada rendahnya tingkat penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran bahasa Inggris. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, guru lebih sering menggunakan pendekatan belajar konvensioanal, pendekatan yang berpusat pada guru bukan pendekatan yang berpusat pada siswa. Siswa kurang mendapat kesempatan mempraktekan ilmu yang didapat, sehingga siswa mengalami kesulitan mempraktekannya dengan benar. Guru lebih sering mempraktekan secara klasikal daripada individual. Dalam pembelajaran bahasa Inggris ada banyak cara untuk melatih siswa yang tidak terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupannya sehari-hari agar tertarik dan mau belajar bahasa Inggris. Ada beberapa metode pelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris kegiatan membaca adalah SQ4R (Survey, Question, Read, Recite, Record, dan Review), Speed Reading, Aloud Reading. SQ4R merupakan metode yang dapat membantu siswa memahami bahan bacaan dalam pelajaran bahasa Inggris. Keterampilan membaca pemahaman adalah sebuah proses interaktif yang melibatkan pembaca, bacaan dan konteks. Keterampilan ini melibatkan kemampuan untuk memperoleh makna dari teks tertulis seperti yang dinyatakan oleh Silliman dan Wilkinson (2007) “Reading comprehension is generally defined as the ability to acquire meaning from written text”. Melalui proses membaca pemahaman (reading comprehension), para pembaca mendapatkan pemahaman dari teks yang dibacanya yang berkaitan dengan informasi maupun kosakata baru. Adapun keterampilan yang bersifat pemahaman adalah proses penangkapan makna dari kata atau dari kalimat yang dibaca. Keterampilan ini berada pada urutan yang lebih tinggi. Aspeknya mencakup: memahami pengertian sederhana; memahami signifikan atau makna (maksud dan tujuan pengarang reaksi pembaca); evaluasi atau penilaian isi; serta kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam keterampilan pemahaman, aktivitas yang paling tepat adalah membaca dalam hati. Salah satu aspek keterampilan berbahasa yaitu keterampilan membaca yang didasari oleh kemampuan membaca, mampu membaca tidak berarti secara otomatis terampil membaca. Menurut 30
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Juel dalam Bastino (2007) membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Membaca merupakan keterampilan untuk membuat suatu penafsiran terhadap bahan yang dibaca. Menurut Crawley dan Mountain, membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolingualistik, dan metakognitif. Sebagai proses visual membaca merupakan proses menerjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam katakata lisan, sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis dan pemahaman kreatif. Pengenalan kata bisa berupa aktivitas membaca kata-kata dengan menggunakan kamus. Jadi membaca yaitu suatu proses berpikir yang kompleks atau rumit, yang melibatkan banyak hal tidak hanya sekedar tulisan atau lisan karena juga melibatkan sikap, pikiran dan pengalaman untuk memusatkan perhatian pada setiap bacaan. Hafner dan Jolly (2007) menyatakan bahwa pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti, memahami, untuk menyerap dengan akal. Pemahaman dibagi ke dalam tiga kategori yaitu pemahaman harfiah, penafsiran, dan reaksi kritis. Tujuannya agar pembaca dapat memahami isi teks bacaan. Carlson berpendapat bahwa kecepatan dan pemahaman memiliki korelasi atas bahanbahan bacaan yang sulit dapat diabaikan. Carlson menemukan bahwa, pada tingkat kecerdasan tinggi, para pembaca cepat ternyata paling baik dalam memahami bacaan. Pembaca lambat seringkali merasa yakin bahwa pembaca cepat lebih rendah tingkat pemahamannya. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian, karena pembaca cepat melihat deretan kata-kata sebagai bagian dari keseluruhan kalimat atau paragraf, tidak terpisah agar dimengerti isi dan maknanya, mereka melihat kata-kata yang ada dalam konteks keseluruhan kalimat, mereka membaca dengan cepat dan sekaligus berkonsentrasi pada isi bacaan. McLaughlin dan Allen (2007), prinsip-prinsip membaca yang didasarkan pada penelitian yang paling mempengaruhi pemahaman membaca adalah sebagai berikut: (1) pemahaman merupakan proses konstruktivitas sosial, (2) keseimbangan kemahiraksaraan adalah kerangka kerja kurikulum yang membantu perkembangan pemahaman, (3)
Meningkatkan Keterampilan Membaca ...
guru membaca yang professional mempengaruhi belajar siswa, (4) pembaca yang baik memegang peranan yang strategis dan berperan aktif dalam proses membaca, (5) membaca hendaknya terjadi dalam konteks yang bermakna, (6) siswa menemukan manfaat membaca yang berasal dari berbagai teks pada berbagai tingkat kelas, (7) perkembangan kosakata dan pembelajaran mempengaruhi pemahaman membaca, (8) pengikutsertaan adalah suatu faktor kunci pada proses pemahaman, (9) strategi dan keterampilan membaca bisa diajarkan, serta (10) asesmen yang dinamis menginformasikan pembelajaran membaca pemahaman. Dalam perkembangan bahasa, Piaget dalam Cox (1999:h.50) menyatakan bahwa “language development is an aspect of general cognitive development”. Menurutnya, perkembangan bahasa adalah sebuah aspek dari keseluruhan perkembangan kognitif. Bahasa juga mempengaruhi tingkat kognitif siswa. Pada rentang usia ini siswa dapat menggunakan bahasa secara simbolik, mengerti konsep, penggunaan bahasa secara fleksibel dan artikulasi yang mulai terdengar secara benar. Finochiaro dalam Tarigan reading adalah bringing meaning to and getting meaning from printed or written material, memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung di dalam bacaan. Terlihat jelas bahwa membaca adalah proses yang bersangkutan dengan bahasa. Oleh karenanya, anak haruslah dibantu untuk menanggapi atau member respon terhadap lambang-lambang visual menggambarkan tanda auditori yang sama yang telah mereka pelajari. Salah satu teknik membaca yang cukup sering digunakan adalah teknik Survey, Question, Read, Recite, dan Review (SQ4R). SQ4R adalah suatu teknik membaca untuk menemukan ideide pokok dan pendukungnya serta membantu mengingat agar tahan lebih lama melalui lima
langkah kegiatan, yaitu survey, question, read, recite, and review. Menurut Laksono dkk (2007: h.18) karakteristik metode SQ4R adalah: (1) sebelum membaca, pembaca menyurvei terlebih dahulu judul buku, nama pengarang, rangkuman, dan daftar pustaka; (2) merumuskan beberapa pertanyaan untuk diri sendiri tentang bacaan tersebut yang diharapkan jawabannya ada dalam buku itu; (3) dengan bekal pertanyaan-pertanyaan tadi, pembaca memulai kegiatan membaca; (4) untuk mengetahui penguasaan terhadap bacaan, setelah membaca, pembaca melakukan kegiatan mengutarakan kembali isi bacaan dengan kata-kata sendiri; dan (5) kegiatan membaca dengan metode SQ4R diakhiri dengan kegiatan meninjau kembali atau mengulang kembali apa yang sudah dibaca. Langkah-langkah dalam menerapkan teknik survei adalah sebagai berikut. Pertama, sebelum membaca (pree reading), pergunakan bab survei untuk mengaktifkan pengetahuan terdahulu anda (prior knowledge) terhadap subjek bacaan yang akan anda baca. Cobalah mengingat kembali apa yang telah anda ketahui tentang subjek bacaan untuk mengantisipasi ide pokok dari bab tersebut. Pergunakanlah juga survei untuk memprediksi pola pikir dominan sang penulis. Lakukan survei untuk mengantisipasi bagian yang mana dari bab tersebut yang paling sulit atau paling menantang untuk dipelajari. Kedua, selama kegiatan membaca (while reading) pergunakan survei sebagai panduan untuk menentukan apa yang penting anda pelajari. Garis bawahi, atau tandai informasi-informasi kunci yang telah identifikasi dalam survei. Ketiga, setelah membaca (after reading), pergunakan survei untuk memonitor keefektifan membaca anda. Dalam hal ini teslah kemampuan anda untuk mengingat kembali informasi-informasi kunci. Jika hasil tes tidak memuaskan segera tinjau kembali materimateri yang anda tidak mampu ingat.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action reasearch) dengan menggunakan siklus (putaran spiral) yang mengacu pada model Kemmis dan Mc.Taggart yang terdiri dari empat komponen, yaitu: Perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (obervating), dan refleksi (reflection). Model Kemmis dan Mc.Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar
yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin. Komponen tindakan dengan pengamatan dijadikan satu kesatuan. Disatukannya kedua komponen tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa antara penerapan tindakan dan pengamatan merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
31
Permasalahan
Permasalahan baru hasil refleksi
Apabila permasalahan belum terselesaikan
Perencanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I
Refleksi I
Pengamatan/ pengumpulan data
Perencanaan Tindakan II
Perencanaan Tindakan II
Refleksi II
Pengamatan/ pengumpulan data
Dilanjutkan ke siklus berikutnya
Gambar 1. Grafik desain tindakan kelas menurut Kemmis dan McTaggart Penelitian dilakukan pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 di SDS Labschool
PGSD Setiabudi. Teknik pengumpulan data digunakan untuk mendapatkan data penelitian adalah dengan cara sebagai berikut. Pertama, melalui observasi langsung dengan menggunakan lembar pengamatan untuk pengambilan data proses pembelajaran dengan menggunakan metode Survey, Question, Read, Recite, Record, dan Review. Observasi yang digunakan adalah Observasi langsung yang dilaksanakan mulai dari awal kegiatan sampai akhir kegiatan. Kedua, catatan lapangan untuk mencatat setiap tindakan baik siswa maupun guru, baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif. Ketiga, dokumentasi berupa foto-foto selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Keempat, teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu teknik tes untuk melihat seberapa besar peningkatan kemampuan peserta didik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan (Planning) Terdapat dua belas kegiatan di dalam perencanaan. Pertama, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dengan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan dipelajari. Kedua, menentukan kompetensi yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. Ketiga, mengembangkan skenario pembelajaran. Keempat, melaksanakan tugas rutin guru (mengkondisikan kelas). Kelima, melalui tahap Survey, guru membimbing siswa dalam mengamati teks/bahan bacaan bergambar yang ditulis dalam bahasa Inggris dan membahas kosakata yang baru terdapat dalam teks yang diamati. Keenam, melalui tahap Question, guru membimbing siswa untuk memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tentang teks yang oleh siswa yang telah disiapkan oleh guru sebelumnya sebagai prediksi pemahaman membaca mereka. Ketujuh, melalui tahap Read, guru membimbing siswa dalam melakukan tahap membaca. Dalam tahap ini guru terlebih dahulu memberikan model cara membaca bahan bacaan dalam bahasa Inggris dengan pelafalan yang benar dan setelahnya memfasilitasi siswa untuk membaca dalam hati untuk pemahaman. Kedelapan, melalui tahap Recite, guru membimbing siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Kesembilan, melalui tahap Record, guru membimbing siswa dalam menandai atau menggaris bawahi jawaban dalam teks/bahan
32
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
bacaan. Kesepuluh, melalui tahap Review, guru membimbing siswa menyampaikan/membacakan jawaban-jawaban mereka. Kesebelas, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonfirmasi kemampuan mereka dalam menggunakan teknik SQ4R untuk membaca pemahaman yang sudah dipelajari dengan mengerjakan tugas/LKS secara mandiri. Keduabelas, memberikan tindak lanjut (pengayaan,penugasan atau pekerjaan rumah). Media yang digunakan selama kegiatan berlangsung yaitu flashcards yang berisi gambar-gambar tentang bacaan, teks/ bacaan, dan LKS. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Tahap pelaksanaan tindakan ini merupakan tahap realisasi dari tahap perencanaan yang telah disusun dan disepakati bersama kolabolator. Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman melalui metode SQ4R di kelas III Labschool Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan. Pelaksanaan tindakan dilakukan selama 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 2 pertemuan. Setiap pertemuan dilakukan selama 2 jam pelajaran (2 x 35 menit). Adapun pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan jadwal pelajaran yang sudah ada. Pengamatan Tindakan (Observing) Dalam proses pengamatan pengamat mempunyai dua tugas yaitu: (1) mengamati proses tindakan pembelajaran yang dilakukan oleh guru apakah sudah sesuai dengan perencanaan
tindakan yang dibuat atau belum, dan (2) melakukan pengamatan terhadap seberapa besar peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa. Setelah menggunakan metode SQ4R pengamatan dilakukan dengan cara pengamat menyimak proses tindakan pembelajaran yang dilakukan oleh subjek penelitian mulai dari persiapan hingga akhir proses tindakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian harus disimak secara teliti dan harus dicatat agar tidak terjadi kekeliruan dalam pelaporan hasil pengamatan. Catatan yang dimaksud disini adalah catatan lapangan yang berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh rangkaian kegiatan tindakan pembelajaran secara lengkap. Selain membuat catatan lapangan berupa data hasil pengamatan secara tertulis, pengamat juga membuat dokumentasi berupa foto yang diambil melalui kamera. Tujuan dari pembuatan dokumentasi berupa foto yaitu agar setiap kegiatan yang dilakukan dalam tindakan dapat ditampilkan dan disajikan dengan jelas dan nyata. Foto ini digunakan sebagai data pelengkap dari data catatan lapangan. Semua data atau dokumentasi hasil pengamatan baik kegiatan atau proses pembelajaran maupun peningkatan kemampuan peserta didik dijadikan sebagai acuan untuk melakukan tindakan pada siklus ke II. Refleksi Tindakan (Reflecting) Setelah tindakan perbaikan selesai dilakukan, maka kegiatan selanjutnya adalah refleksi tindakan. Refleksi tindakan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dan teman sejawat atau kolabolator dalam rangka mengulas secara kritis dengan cara mendiskusikan perubahan yang terjadi setelah dilakukan tindakan perbaikan. Perubahan disini meliputi proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan kemampuan membaca pemahaman peserta didik. Kegiatan yang dilakukan dalam refleksi tindakan ini yaitu analisis data dan interpretasi data yang diperoleh dalam penelitian tindakan. Refleksi tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana ketercapaian proses tindakan pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti, selain itu, refleksi tindakan juga bertujuan untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi sehingga proses tindakan pembelajaran belum berhasil. Dalam rangka mengumpulkan data tentang kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal maka peneliti membuat kisi-kisi instrumen
kemampuan membaca pemahaman yang diberikan kepada peserta didik setelah proses tindakan pembelajaran selesai dilaksanakan pada setiap siklusnya.Kisi-kisI untuk mengukur variabel kemampuan membaca pemahaman disajikan pada bagian ini: Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data dari hasil tindakan siklus I dan siklus II terlihat adanya peningkatan dari semua data yang diambil. Kekurangan-kekurangan yang terjadi dan teramati pada siklus I seperti siswa masih kurang aktif dan kurang berani untuk mengajukan pendapat atau pernyataan selama proses pembelajaran, siswa kurang teliti dalam mengerjakan tugas, konsentrasi siswa masih kurang, serta guru yang kurang mengelaborasi kemampuan siswa dalam mengaplikasikan metode SQ4R sehingga kurang member pendalaman pada siswa yang membutuhkan penjelasan dan latihan lebih, telah dapat teratasi pada siklus II. Pada siklus II secara keseluruhan terlihat para siswa siap dan sangat terlibat aktif dalam melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan metode SQ4R. Peneliti juga melakukan persiapan yang matang sehingga dapat melaksanakan pembelajaran dan membimbing siswa dalam melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan metode SQ4R dengan baik. Semua membuat siklus II dapat mencapai target penelitian. Secara detail data yang diperoleh, kita akan menemukan bahwa hasil tes membaca pemahaman (reading comprehension test) pada siklus I menunjukan baru 10 orang siswa dari total 18 orang siswa atau sekitar 55,55% yang mendapat skor tesmembaca pemahaman ≥ 75. Sedangkan pada siklus II telah terjadi peningkatan tes membaca pemahaman yang signifikan sebesar 27,78% sehingga jumlah siswa yang mendapatkan skor membaca pemahaman ≥ 75 bertambah menjadi 15 orang atau sekitar 83,33%. Adapun data pemantau aktivitas guru dan siswa dengan metode SQ4R pada siklus I pertemuan 1 dan 2 di Labschool Setiabudi Jakarta Selatan mendapatkan persentase sebesar 55% dan 70% dari 20 pernyataan dalam instrumen pemantau aktivitas guru dan siswa. Sedangkan pada siklus II pada pertemuan 1 dan 2 telah persentase sebesar 85% menjadi 90%. Pada Siklus I dan siklus II terjadi peningkatan sebesar 35%.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
33
Dengan demikian, maka maka dapat dikatakan membaca pemahaman melalui metode SQ4R telah meningkat. Peningkatan ini menunjukan bahwa
identifikasi dan terhadap temuan-temuan masalah yang terjadi pada setiap siklus telah ditemukan pemecahannya dan menunjukan hasil yang optimal.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan deskripsi dan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa: Keterampilan membaca pemahaman siswa kelas III Labschool Kec. Setiabudi Jakarta Selatan dengan menggunakan metode SQ4R menunjukan peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa, dengan nilai ratarata pada siklus I 68,33 menjadi 83,61 pada siklus II. Penggunaan metode SQ4R dalam pembelajaran bahsa Inggris khusunya pada aspek membaca memudahkan siswa memahami isi bacaan. Secara keseluruhan pembelajaran membaca pemahaman melalui metode SQ4R dapat memberi dampak yang lebih besar terhadap hasil pembelajaran membaca pemahaman, oleh karena itu pembelajaran dengan menggunakan metode SQ4R layak digunakan di Sekolah Dasar. Metode SQ4R dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya pada aspek membaca dapat membuat siswa untuk berpikir secara sistematis sesuai langkah-langkah metode SQ4R dan dengan mudah mampu memahami isi bacaan. Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru akan lebih efektif jika guru dapat memilih dan menggunakan metode, pendekatan, atau model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa maupun bidang studi yang diajarkan. Metode SQ4R ini dapat diterapkan bila dalam pembelajaran bahasa Inggris, guru mengalami kesulitan pada proses pembelajaran, di mana
hasil belajar membaca pemahaman siswa rendah. Strategi pembelajaran ini dapat memberikan dampak positif pada siswa antara lain siswa yang tadinya tidak menyukai kegiatan membaca menjadi suka, siswa yang tadinya tidak memahami bacaan yang dibacanya menjadi paham aka nisi bacaan. Dalam menjawab pertanyaan siswa mencoba untuk mengingat teks bacaannya. Pemanfaatan metode SQ4R dalam proses pembelajaran dapat mendorong siswa untuk belajar secara aktif, menyenangkan untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik lagi. Kondisi belajar seperti ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris. Keuntungan yang diperoleh dari model pembelajaran yaitu jika metode pembelajajan SQ4R ini dapat diimplementasikan secara utuh maka hasil belajar siswa bukan hanya sekedar hafalan namun berupa pengetahuan, pemahaman konsep-konsep yang didapat selama proses belajar sehingga proses pembelajaran bermakna bagi siswa. Saran Berdasarkan penjabaran di atas, maka sebaliknya para guru menggunakan metode SQ4R sebagai salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan meningkatkan keterampilan membaca pemahaman siswa. Dengan demikian, diharapkan penerapan metode SQ4R dapat dilaksanakan dengan baik sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Ahuja, P. (2004). Membaca secara efektif dan efesien. Bandung: PT.Kiblat buku utama. Arikunto,S., dkk.(2009). Penelitian tindak kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Bastiono. (2007). Pembinaan minat baca. Jakarta: Universitas Terbuka. Cox, C. (1999). Teaching language art : a students with language approach.Classroom. USA: Allyn and Bacon. Dimyati.,& Mudjiono. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Farida. (2010). Upaya peningkatan membaca pemahaman anak kelas iii sekolah dasar (usia 7-8 tahun) melalui kegiatan. Disertasi: tidak diterbitkan. Jakarta. 34
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Hopkins, D. (1993). A teacher guide to classroom research. Buckingham: Open University Press Kusuma, W., & Dedi, D. (2010). Mengenal penelitian tindakan kelas. Jakarta: Indeks. Laksono, K., dkk. (2007). Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbukas. Putrawan, M.,& Akbar, M. (2000). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Rahim, F. (2005). Pengajaran membaca sekolah dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Rahmah, Siti, Anggun. (2011). Peningkatan kemampuan membaca pemahaman melalui metode mind map pada siswa kelas IV SDN Tugu Utara Jakarta Utara. Jakarta. 2
Silliman, E.R.,& Wilkinson, L.C. (2007). Language and literacy learning in schools. New York: The Guildford Press. Soedaeso. (2010). Speed reading sistem membaca cepat dan efektif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suyitno. (1986). Teknik pengajaran apersepsi puisi dan kemampuan berbahasa. Yogyakarta:
Yudhistira. Tarigan, H. G. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, H. G. (1985). Menyimak Sebagian Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wina, S. (2009). Penelitian tindakan kelas. Bandung: Kencana Perdana Media Group.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
35
Penelitian
HUBUNGAN PELATIHAN BERCERITA TERHADAP KEMAMPUAN GURU DALAM BERCERITA DI TAMAN KANAK-KANAK Rahmah e-mail:
[email protected] STKIP Aisyiyah Riau JL. Angkasa, No. 12 Pekanbaru, Riau
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak. Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif. Subjek pada penelitian ini adalah guru di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru yang berjumlah 37 orang. Teknik pengumpulan data dengan cara menggunakan lembaran angket. Hasil penelitian menunjukkan t hitung lebih besar dari t tabel, maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Kemudian dalam melakukan uji reabilitas pada tiap variabel, diperoleh hasil yaitu, pada Variabel X (Pelatihan Bercerita), didapat hasil lebih besar maka semua data yang dianalisis dengan metode Alpha adalah Reliabel. Pada Variabel Y (Kemampuan Guru dalam Bercerita) didapat hasil lebih besar maka semua data yang dianalisis dengan metode Alpha adalah Reliabel. Kata-kata Kunci: pelatihan bercerita, kemampuan guru dalam bercerita, taman kanak-kanak.
CORRELATION OF STORY TELLING TRAINING WITH TEACHER’S SKILL OF SOTRY TELLING IN KINDERGARTEN Abstract: The purpose of this research is to discover the correlation of story telling training with the teacher’s story telling skill in Kindergarten. Applying quantitative paradigm, this research used the 37 teachers of the Kindergartens in Simpang Tiga Subdistrict, Pekanbaru, as the subjects. The data were collected by distributing questionnairer. The results showed, t counted was higher than t table, so Ho was rejected meaning that there is a significant correlation between story telling training with the teacher’s story telling skill in Kindergartens in Simpang Tiga Sub-district, Pekanbaru. Then the result of reliability test of each variable showed variable X (story telling training) is higher indicating all data analyzed with Alpha method was reliable. The result for variable Y (teacher’s story telling skill) was higher indicating all data analyzed with Alpha method was reliable. Keywords: story telling training, teacher’s storytelling skill, kindergarten.
PENDAHULUAN Kegiatan pelatihan guru pada dasarnya merupakan suatu bagian yang integral dari managemen dalam bidang ketenagaan di sekolah dan merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pelatihan ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhankebutuhan guru, atau meningkatkan kemampuan guru, serta memperbaiki kekurangan-kekurangan guru dalam mengajar sehingga dengan mengikuti pelatihan guru mampu memenuhi kebutuhankebutuhannya, meningkatkan kemampuan
36
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
mengajar, serta memperbaiki dari kekurangan guru dalam mengajar, dan membuat guru lebih terampil dalam mengajar serta dapat meningkatkan kinerja. Pelatihan ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah, pihak luar sekolah, yaitu dinas-dinas terkait, lembaga-lembaga pengembangan keterampilan mengajar guru, serta organisasi-organisasi yang persatuan guru, memiliki tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan keahlian, kemampuan atau skill para guru dalam mengajar. Pelatihan ini dapat dimanfaatkan para guru untuk mengembangkan berbagai macam kemampuannya. Salah satunya guru mengikuti pelatihan bercerita agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam
Hubungan Pelatihan Bercerita ...
bercerita. Karena pada Pendidikan Anak Usia Dini, murid sangat menyukai cerita dan dongeng. Hanya saja tidak semua guru memiliki kemampuan dalam bercerita. Banyak yang menganggap bercerita merupakan salah satu teknik kuno dalam proses pembelajaran abad modern ini. Banyak guru yang pada saat membaca cerita tidak menghayati cerita tersebut, hal ini bisa dilihat dari cara guru membaca dengan nada suara yang datar-datar saja, tidak ada intonasi maupun perubahan mimik wajah. Guru yang sudah mengikuti pelatihan bercerita, menunjukkan banyak perubahan besar dalam kemampuannya bercerita pada anak. Guru menjadi lebih terpancing untuk lebih baik dalam bercerita, dan mengembangkan kemampuan berceritanya, serta lebih bersemangat dalam bekerja. Hal ini dikarenakan guru setelah mengikuti pelatihan bercerita, seperti mendapatkan “suntikan” semangat baru, yang merubah pola pikir yang sederhana menjadi lebih kompleks, terutama mengenai kemampuan guru dalam bercerita. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah yang diteliti adalah apakah terdapat pengaruh pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak SeKecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Pelatihan merupakan bagian dari investasi SDM (human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan kinerja pegawai (Payaman dalam Mangkunegara, 2005). Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja. Pelatihan juga diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera. Pelatihan (training) merupakan sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi. Pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan. Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya (Ivancevich, 2008) Pendapat lain mengemukakan bahwa pelatihan adalah proses mengajarkan karyawan
baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka (Dessler, 2009). Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam dunia kerja. Karyawan, baik yang baru ataupun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya tuntutan pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja, strategi, dan lain sebagainya. Terdapat beberapa manfaat penyelenggaraan program pelatihan baik untuk sekolah maupun untuk guru. Manfaat penyelenggaraan program pelatihan untuk sekolah, antara lain: (a) meningkatkan produktivitas kerja sekolah sebagai keseluruhan, (b) terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan, (c) terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat, (d) meningkatnya semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi, (e) mendorong sikap keterbukaan manajemen melalui penerapan gaya manajerial yang partisipatif, (f) memperlancar jalannya komunikasi yang efektif, (g) penyelesaian konflik secara fungsional (Siagian, 2007). Pendekatan yang sistematis dalam pelatihan meliputi empat tahap. Pertama, mengenali kebutuhan-kebutuhan. Pada tahap ini, dilakukan peninjauan pada kebutuhan-kebutuhan apa yang diinginkan. Kebutuhan-kebutuhan ini bisa saja berupa kekurangan-kekurangan guru dalam mengajar, atau hal-hal apa saja yang ingin dikembangkan guru sebagai keahlian atau skill. Kedua, merencanakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Kemudian setelah mengenali kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka, direncanakanlah hal-hal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Merancang cara apa yang akan dilakukan, agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi. Ketiga, pelaksanaan.Setelah membuat rancangan, maka rancangan tersebut direalisasikan dalam wujud nyata. Dari kebutuhan yang ingin kita penuhi, maka dirancanglah sebuah kegiatan yang kemudian dilaksanakan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan. Keempat, evaluasi. Setelah melaksanakan pemenuuhan kebutuhan, dilakukan evaluasi. Menilai apakah pelaksanaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Serta melihat apakah pelaksanaan itu bisa berjalan sesuai yang diinginkan atau tidak (Cowling, 2002: 112). Selanjutnya, cerita merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
37
Hubungan Pelatihan Bercerita ...
kenikmatan tersendiri. Akan menyenangkan bagi anak-anak maupun orang dewasa, jika pengarang, pendongeng, dan penyimaknya sama-sama baik. Cerita adalah salah satu bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca. Metode bercerita adalah salah satu cara menyampaikan informasi dalam proses pembelajaran, khususnya pada anak usia dini (Nurbiana, 2007). Di Taman Kanak-kanak metode bercerita adalah salah satu metode pengembangan bahasa yang dapat mengembangkan beberapa aspek fisik maupun psikis anak usia dini sesuai dengan perkembangannya. Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan (Moeslichatoen, 2004). Cerita yang dibawakan guru harus menarik, dan mengundang perhatian anak dan tidak lepas dari tujuan pendidikan bagi anak TK. Pendapat lain mengungkapkan bahwa bercerita adalah metode yang sangat baik dalam pendidikan (Latif, 2012). Pada umumnya, cerita disukai oleh jiwa manusia karena memiliki pengaruh yang menakjubkan untuk dapat menarik perhatian pendengar dan membuat seseorang bisa mengingat kejadian-kejadian dalam sebuah kisah dengan cepat. Beberapa manfaat dan tujuan bercerita, adalah sebagai berikut: (a) dapat menanamkan nilainilai kejujuran, keberanian, kesetiaan, keramahan, ketulusan, dan sikap-sikap positif lain dalam kehidupan anak pada lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah; (b) memberikan pengetahuan sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan pada anak; (c) melatih anak dalam mendengarkan; (d) mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor anak; (e) serta mampu mengembangkan daya imajinatif anak (Moeslichatoen, 2004).
Bercerita juga bertujuan memberi pengalaman belajar agar anak memperoleh penguasaan isi cerita yang disampaikan lebih baik. Melalui bercerita anak menyerap pesan-pesan yang diturkan melalui kegiatan bercerita. Penuturan cerita yang sarat informasi atau nilai-nilai itu dihayati anak dan ditetapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa teknik-teknik yang dilakukan dalam bercerita adalah sebagai berikut. Pertama, posisi atau tempat ketika bercerita. Bercerita harus di tempat yang tepat sehingga semua audiens dapat melihat dengan jelas. Tempat yang tepat disesuaikan dengan kondisi acara, termasuk penempatan audiensnya. Kedua, suara harus lantang dan jelas (tidak perlu berteriak) agar dapat didengar oleh semua anak atau audiens lainnya dengan jelas. Ketiga, penguasaan materi cerita. Untuk menyajikan cerita yang baik, maka harus betul-betul menguasai materi cerita sehingga tahu kapan harus menekankan kata-kata tertentu atau memperlihatkan mimik muka tertentu. Keempat, penjiwaan. Kelima, mengetahui kapan saatnya memperbesar atau memperkecil suara harus dapat menjiwai isi ceritanya sehingga jika itu tercapai, maka mudah sekali menirukan suara-suara tertentu. Keenam, gerakan. Dalam bercerita, tubuh dan anggota tubuh juga bergerak agar cerita menjadi menarik. Tunjukkan gerakan yang sesuai dengan cerita (Latif, 2012). Selain itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh guru pada saat bercerita, yaitu: (a) memilih cerita, (b) persiapan sebelum masuk kelas, dan (c) perhatikan posisi duduk anak (Majid, 2008). Berkenaan dengan masalah yang diteliti, maka dirumuskan hipotesis penelitiannya adalah terdapat Pengaruh pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanakkanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode kuantitatif. Penelitian dilakukan di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru pada bulan Februari hingga Maret 2016. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 105 orang guru, sedangkan yang dijadikan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut yaitu sebanyak 37
38
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
orang guru. Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan angket yang bertujuan untuk memperoleh data mengenai Hubungan Pelatihan Bercerita terhadap Kemampuan Guru dalam Bercerita di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Analisis data bersifat kuantitatif/ statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2010).
Hubungan Pelatihan Bercerita ...
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari variabel pelatihan bercerita memberikan kontribusi terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru sebesar 45,4 % dan sisanya 54,6 % ditentukan oleh variabel lain. Jadi pelatihan bercerita yang diikuti oleh guru, mampu mempengaruhi kemampuan guru dalam bercerita. Selebihnya kemampuan guru dalam bercerita dipengaruhi oleh, pengalaman, bakat, kreativitas serta keaktifan guru dalam mencari informasi baik dari media cetak, media elektronik, maupun internet dalam meningkatkan kemampuan guru dalam bercerita pada anak selama proses pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan t hitung lebih besar dari t tabel, atau 4,97 > 1,697, maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak SeKecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Pengaruh pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita ini tergolong kuat, artinya pelatihan bercerita mendukung kompetensi (kemampuan) guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak seKecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Pelatihan bercerita yang diikuti oleh guru merubah cara pandang atau pola pikir guru dalam bercerita. Memberi masukan yang positif bagaimana cara yang baik bagi guru pada saat bercerita pada anak, sehingga dapat menarik minat anak mendengarkan cerita guru, bahkan dapat membuat anak larut dalam cerita yang dibacakan oleh guru. Pembahasan Setelah melakukan penelitian langsung di lapangan, berdasarkan judul penelitian yaitu, hubungan pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak SeKecamatan Simpang Tiga Pekanbaru, didapatkanlah hasil bahwa, ternyata t hitung lebih besar dari t tabel, atau 4,97 > 1,697, maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara pelatihan bercerita
terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Kemudian dalam melakukan uji reabilitas pada tiap variabel, diperoleh hasil yaitu, pada Variabel X (Pelatihan Bercerita), didapat hasil lebih besar dari maka semua data yang dianalisis dengan metode Alpha adalah Reliabel. Pada Variabel Y (Kemampuan Guru dalam Bercerita) didapat hasil lebih besar dari maka semua data yang dianalisis dengan metode Alpha adalah Reliabel. Dengan seringnya guru mengikuti pelatihan bercerita, dapat meningkatkan kemampuan guru dalam bercerita. Hal ini pun ditegaskan oleh Soetjipto (2007: 230), mengatakan peningkatan kemampuan guru dalam bercerita ini akan lebih berhasil apabila dilakukan oleh guru dengan kemampuan dan usaha mereka sendiri. Pelatihan memberikan bantuan kepada guru dalam merencanakan dan melaksanakan peningkatan profesional mereka dengan memanfaatkan sumber yang tersedia. Dalam meningkatkan kemampuan guru dalam bercerita, dapat diikut sertakan pada pelatihan-pelatihan yang menunjang pengembangan kemampuan tersebut. Pelatihan itu bisa dilaksanakan oleh sekolah itu sendiri, atau bisa juga mengikut sertakan guru pada pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi terkait, yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, atau oleh sekolah-sekolah yang mengadakan pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan guru dalam bercerita. Setelah mengikuti pelatihan bercerita, guru dapat merasakan manfaat dari pelatihan tersebut, yaitu guru menjadi lebih kreatif dalam membuat cerita yang akan diceritakan pada anak, guru lebih bervariasi dalam memilih media yang digunakan dalam bercerita, guru juga sudah bisa menerapkan penggunaan intonasi sesuai dengan tokoh yang diceritakannya dalam bercerita, yang bisa menimbulkan minat anak dalam mendengarkan cerita yang dibacakan oleh guru.
PENUTUP Keseimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan serta melalui proses analisa data, maka dapat disimpulkan, pengaruh pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di Taman
Kanak-kanak Se-Kecamatan Bukitraya Pekanbaru, didapatkanlah hasil bahwa, ternyata t hitung lebih besar dari t tabel, atau 4,97 > 1,697, maka Ho ditolak, artinya ada pengaruh yang signifikan antara pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
39
Hubungan Pelatihan Bercerita ...
di Taman Kanak-kanak Se-Kecamatan Simpang Tiga Pekanbaru. Kemudian dalam melakukan uji reabilitas pada tiap variabel, diperoleh hasil yaitu, pada variabel X (Pelatihan Bercerita), didapat hasil lebih besar dari maka semua data yang dianalisis dengan metode Alpha adalah reliabel. Pada variabel Y (Kemampuan Guru dalam Bercerita) didapat hasil lebih besar dari maka semua data yang dianalisis dengan metode Alpha adalah Reliabel. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilaksanakan oleh peneliti dengan menitikberatkan kepada pengaruh pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di taman
kanak-kanak se-Kecamatan Bukitraya Pekanbaru, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, untuk kepala sekolah agar dapat lebih sering mengikutsertakan guru dalam pelatihan-pelatihan bercerita yang diadakan baik oleh dinas pendidikan maupun oleh pihak swasta yang mampu mendukung kemampuan guru dalam bercerita. Kedua, untuk guru agar bisa memanfaatkan ilmu yang diperolehnya saat mengikuti pelatihan bercerita dan di gunakan dalam meningkatkan kemampuannya dalam bercerita di dalam kelas. Ketiga, peneliti selanjutnya agar dapat meneruskan penelitian tentang hubungan pelatihan bercerita terhadap kemampuan guru dalam bercerita di taman kanak-kanak dengan lebih efektif dan optimal.
DAFTAR PUSTAKA Akdon. (2005). Aplikasi statistika dan metode penelitian untuk administrasi & manajemen. Bandung: Dewa Ruchi. Cowling, A. (2002). The essence of personnel management an industrial relation (terjemahan). Yogyakarta: ANDI. Dessler, G. (2009). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Index. Ivancevich, J. (2008). Perilaku dan manajemen organisasi. Jakarta: Erlangga. Latif, M. A. (2012). The miracle of story telling. Jakarta: Zikrul. Majid, A. A. A. (2008). Mendidik dengan cerita. Bandung: Rosdakarya. Mangkunegara, A. P. (2005). Evaluasi kinerja sdm. Bandung: Refika Aditama.
40
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Mathis, R.L.,& Jackson, J. H. (2002). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Salemba Empat. Moeslichatoen. (2004). Metode pengajaran di taman kanak-kanak. Jakarta: Rineka Cipta. Nurbiana, D. (2007). Metode pengembangan bahasa. Jakarta : Universitas Terbuka. Siagian, S. (2007). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Sudijono, A. (2004). Pengantar statistik pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Soetjipto. (2007). Profesi keguruan. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Penelitian
IDENTIFIKASI AFEKSI PATERNAL PADA AYAH DARI ANAK USIA DINI DI KOTA KUPANG Fitriany Karunia Muh. Wangge, 2Friandry Windisany Thoomaszen, 3 Beatriks Novianti Kiling-Bunga & 4Indra Yohanes Kiling 1 e-mail:
[email protected] 1,3 Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Nusa Cendana 2 Konseling Pastoral Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang 4 Institute of Resource Governance and Social Change 1
Jl. Adisucipto Penfui, Nusa Tenggara Timur
Abstrak: Ayah yang melakukan pengasuhan secara emosional atau afeksi paternal yang baik pada anak usia dini memiliki beragam dampak positif. Hal ini diduga belum diterapkan sepenuhnya oleh para ayah di Indonesia Timur, khususnya Kota Kupang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana afeksi paternal serta kaitannya dengan faktor-faktor demografik. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 158 sampel di Kota Kupang yang masing-masing memiliki karakteristik sebagai seorang ayah yang mempunyai anak usia berkisar nol sampai dengan delapan tahun. Teknik dalam penentuan sampel menggunakan teknik insidental sampling. Penelitian yang dilakukan dari November 2015 sampai dengan Maret 2016 ini kuesioner yang terdiri atas 10 item pernyataan. Data penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa para ayah di Kota Kupang memiliki afeksi paternal yang tinggi. Hal ini dilihat dari hasil sebaran data yang menggambarkan bahwa dari 158 sampel afeksi paternal berada pada kategori tinggi. Ini membuktikan bahwa para ayah di kota Kupang telah menyadari tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam pengasuhan secara emosional. Selain itu hasil penelitian ini menemukan beberapa pola dari afeksi paternal ketika ditinjau dari beberapa faktor demografik. Temuan positif ini perlu ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan terkait di Kota Kupang untuk terus menguji kebenaran terkait pengasuhan ayah serta mendorong dan meningkatkan kapasitas ayah dalam melakukan pengasuhan. Peneliti selanjutnya dapat menggali secara kualitatif untuk memahami pola ayah dalam mengasuh dari sisi emosional, ini akan membantu menjelaskan proses dan makna dibalik interaksi pengasuhan ayah dan anak usia dini. Kata-kata Kunci: Keterlibatan ayah, pengasuhan, afeksi paternal, anak usia dini.
IDENTFICATION OF PATERNAL AFFECTION ON THE FATHER OF EARLY AGED CHILD IN KUPANG CITY Abstract: The father parenting an early aged child with emotion or good paternal affection has various positive effects. However, presumably the fathers in Eastern Indonesia has not implemented it well. This research aims at discovering paternal affection and its relations with demographic factors. Samples used in this research totaled 158 fathers each of which had a child of 0 – 8 years old. The samples were determined by employing incidental sampling technique. The research conducted as from November 2015 through March 2016 used questioner with 10 statement items. The collected data was analyzed with descriptive statistics. The findings showed that the fathers in Kupang City had high paternal affection supporting by the fact that 158 samples of paternal affection were categorized high. The finding proves, the fathers in Kupang City fully realize their important involvement in emotional parenting. The research also discovered several patterns of paternal affection based on the some demographic factors. The positive research findings should be followed up by concerned parties in Kupang City. They also should verify the findings and motivate as well as improve the fathers’ capacity in emotional parenting. This action will assist to clarify the process and the meaning behind the interaction between father’s parenting and early aged child. Keywords: father’s involvement, parenting, paternal affection, early aged child
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
41
Identifikasi Afeksi Paternal ...
PENDAHULUAN
Keluarga sebagai satuan unit sosial terkecil merupakan lingkungan pendidikan yang paling utama dan pertama. Keluarga juga merupakan kelompok pertama yang menjadi tempat untuk meletakkan dasar kepribadian (Hasan, 2011). Selain itu, keluarga merupakan lingkungan yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan anak. Hal ini dikarenakan anak adalah anugerah Tuhan kepada orangtua, anak mendapatkan pendidikan pertama dari orangtua, serta orangtualah yang mengetahui karakter anaknya (Graha, 2007, dalam Amini, 2015). Dalam memberikan pendidikan, orangtua selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai cara yang dilakukan, mulai dari mengasuh anak sejak bayi dan balita, hingga memilihkan sekolah untuk anak. Berkaitan dengan hal tersebut untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan anak kedua orangtua harus saling bekerja sama melibatkan diri. Pentingnya keterlibatan orangtua antara lain dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1976) (dalam Morrison, 2008) menyatakan bahwa tanpa keterlibatan keluarga dalam hal ini kedua orangtua, intervensi program pendidikan anak usia dini akan melemah. Untuk itu diperlukan keterlibatan kedua orangtua dalam pendidikan anak mulai dari mengasuh hingga memilihkan sekolah dan lain-lain. Pada era modernisasi ini, pengasuhan yang awalnya lebih identik dengan tanggung jawab seorang ibu kini juga merupakan tanggung jawab seorang ayah. Hal ini didukung dengan banyaknya jumlah ibu yang bekerja maka cenderung tugas pengasuhan anak diserahkan kepada ayah (Ernawati, 2009). Walaupun cara pengasuhan yang dilakukan ayah berbeda dengan ibu, namun ayah juga memiliki peran dalam pengasuhan yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak, yaitu: (1) Ayah mengajarkan/mendorong kebebasan, secara umum ayah cenderung kurang protektif, mendorong eksplorasi dan pengambilan risiko, serta merupakan model perilaku agresif ataupun asertif; (2) Ayah meluaskan pandangan anak, ayah mengenalkan dunia luar melalui pekerjaan mereka; (3) Ayah merupakan pendisiplin yang tegas, hanya memberi sedikit permakluman dan cenderung menuntut banyak dari anak-anak mereka untuk tiap tahapnya; dan (4) Ayah adalah model bagi anak laki-laki (Grimm-Wassil, 1994, 42
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
dalam Wahyuningrum, 2011). Pada dasarnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan diartikan sebagai seberapa besar usaha yang dilakukan oleh seorang ayah dalam berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan serta berdoa bagi anaknya. Anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi (Palkovitz, 2002). Adapun dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan diukur dengan (Fox & Bruce, 2001): (1) responsivity; sejauh mana ayah menggunakan kehangatan, kasih sayang, dan sikap suportif; (2) harshness; sejauh mana ayah menggunakan sikap galak, menghukum, dan pendekatan inkonsistem; (3) behavioral engagement; sejauh mana ayah terlibat aktif dengan anak; dan (4) affective involvement; sejauh mana ayah menginginkan dan menyanyangi anak. Berkaitan dengan dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan, pada penelitian ini penulis akan membahas secara khusus tentang affective involvement atau dapat disebut dengan paternal affection (afeksi paternal). Selain pemahaman afeksi paternal menurut Fox dan Bruce (2001) di atas, afeksi paternal diartikan oleh Palkovitz (2002) sebagai salah satu dari 14 kategori keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang berkaitan dengan memberikan kasih sayang dan sentuhan emosi. Dari kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa afeksi paternal merupakan dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara emosional yang berkaitan dengan menginginkan, memberikan kasih sayang dan sentuhan emosi. Adapun contoh perilaku dari afeksi paternal yaitu: (1) Kebiasaan ayah mengecup anak saat berangkat ataupun pulang kerja, (2) Ayah yang selalu memberikan kado yang bermanfaat saat anak ulang tahun, (3) Ayah yang selalu menenangkan anak dengan pelukan saat anak merasa takut, dan (4) Ayah yang selalu berbincangbincang dengan anak sekedar menanyakan keadaanya, dan lain sebagainya. Penelitian menunjukkan dampak pengasuhan ayah yang baik pada kemampuan bahasa dan kognitif anak usia dini (Shannon dkk., 2002; Ryan, Martin & Brooks-Gunn, 2006). Penelitian lain menemukan bahwa pengasuhan yang sensitif
Identifikasi Afeksi Paternal ...
terhadap perilaku anak memiliki hubungan dengan kemampuan kognitif, perialku serta sosioemosional yang lebih optimal (Mesman, Van Ijzendoorn, & Bakermans-Kranenburg, 2012). Dari hasil penelitian di atas jelas menggambarkan tentang dampak-dampak positif yang terjadi jika ayah terlibat dalam pengasuhan anak secara emosional. Namun, pada kenyataanya berdasarkan pengamatan penulis di Kota Kupang masih banyak para ayah yang berasumsi bahwa sesungguhnya pengasuhan anak merupakan tugas ibu sedangkan ayah bertugas mencari nafkah. Selain itu, masih banyak pula para ayah yang enggan menunjukkan sisi emosionalnya pada anak misalnya mencium, membelai, memeluk, bahkan berbincang-bincang dengan anak hanya sekedar menanyakan kabar atau keadaannya. Hal ini memperlihatkan indikasi perbedaan antara hasil penelitian yang mayoritas dilakukan di negara maju dengan keadaan yang berada di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan adanya asumsi di atas maka akan berdampak buruk bagi kehidupan anak dimana anak akan memiliki masalah seperti identitas yang
tidak lengkap; rasa ketakutan yang tidak teratasi; kemarahan yang tidak terkendali; depresi yang tidak terdiagnosa; perjuangan melawan rasa kesepian; kesalahpahaman seksualitas dan identitas yang terganggu; kegagalan dalam hal keterampilan memecahkan masalah (Oliver, 1995, dalam Elia, 2000). Berdasarkan fenomena-fenomena di atas serta didukung dengan minimnya literatur-literatur atau penelitian yang membahas secara khusus tentang afeksi paternal maka penulis bertujuan untuk meneliti secara deskriptif sejauh mana keterlibatan ayah di Kota Kupang dalam pengasuhan secara emosional. Memahami kualitas afeksi paternal dapat menolong untuk merencanakan upaya prevensi kekerasan kepada anak maupun perdagangan anak dalam rangka mendukung Kota Kupang sebagai kota layak anak. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi titik tolak bagi peneliti lain untuk melanjutkan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan metode lain demi memahami lebih lanjut pengasuhan ayah terhadap anak usia dini.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Metode penelitian ini digunakan untuk mendapatkan gambaran ketelibatan ayah dalam pengasuhan secara emosional. Populasi penelitian ini adalah para ayah yang berada di kota Kupang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling insidental yang mana penentuan sampel berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel jika cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010). Sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 158 sampel yang masingmasing memiliki karakteristik sebagai seorang ayah yang memiliki anak berusia diantara 0-8 tahun. Waktu penelitian adalah dari November 2015 sampai dengan Maret 2016. Penelitian ini menggunakan instrumen skala Likert berupa kuesioner tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara emosional yang disusun untuk memperoleh data demografik (pendidikan ayah, pekerjaan ayah, suku ayah, umur ayah, umur anak, urutan lahir anak) dan juga untuk mengukur afeksi paternal. Adapun item-item kuesioner berupa 10 pernyataan yang akan mengungkapkan tentang afeksi paternal yaitu: (1) saya berbincang-bincang
dengan anak sekedar menanyakan keadaannya, (2) saya menenangkan anak saat bersedih sambil membelainya, (3) saya memberikan hadiah yang bermanfaat saat anak ulang tahun,(4) ketika bermain bersama anak saya selalu memeluknya dengan erat, (5) saya memberikan contoh perilaku yang baik kepada anak, (6) saya memberikan kecupan kepada anak saat bertemu dan berpisah, (7) saya menegur dengan lembut ketika anak melakukan kesalahan, (8) sebelum berpergian saya selalu melambaikan tangan kepada anak, (9) saya mengetahui setiap hal yang anak inginkan, dan (10) saya menggendong anak saat bertemu. Pengukuran item kuesioner tersebut menggunakan skala likert dengan pilihan jawaban: (1) sangat sesuai, (2) sesuai, (3) jarang, (4) tidak sesuai, (5) sangat tidak sesuai. Untuk melakukan analisis data, pada penelitian ini menggunakan teknik statistik deskriptif yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum/ generalisasi (Sugiyono, 2010). Pendapat serupa menyebutkan bahwa analisis statistik deskriptif merupakan teknik olah data
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
43
Identifikasi Afeksi Paternal ...
dengan teknik dan rumus statistik deskriptif untuk menggambarkan keadaan suatu obyek atau variabel
tertentu sehingga dapat diperoleh kesimpulan umum (Agung, dalam Wahyuni, Asri & Suniasih, 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Setelah melakukan pengolahan data dengan tabulasi silang berdasarkan isian data demografik beserta isian pada item-item kuesioner, hasil penelitian akan dijabarkan dalam empat buah tabel. Dapat dilihat di tabel 1 bahwa dari 158 partisipan penelitian, sebanyak 32,91% memiliki tingkat afeksi paternal tinggi, sedangkan 31,01% peserta lainnya memiliki tingkat afeksi paternal yang sangat tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa para ayah di Kota Kupang menunjukkan kemampuan pengasuhan anak dari sisi emosional yang tinggi dan sangat tinggi.
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa dari 158 partisipan jumlah partisipan tertinggi yakni setengahnya berada pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas dan terendah berada pada tingkat pendidikan strata 3 sebesar 0,63%. Dilihat dari kategori afeksi paternal, meski mayoritas baru mengenyam tingkat pendidikan setingkat sekolah menengah atas, namun ayah di Kota Kupang telah menunjukkan kemampuan mengasuh anak secara emosional dengan baik dan sangat baik. Selanjutnya, dari 158 orang partisipan, jumlah partisipan terbanyak bekerja sebagai wiraswasta dengan jumlah 55 orang (34,8%) dan terendah bekerja sebagai pensiunan PNS, TNI dan petani masing-masing sebanyak 2 orang. Dilihat dari kategori afeksi paternal, memiliki proporsi terbesar ketiga dengan 19,6%, semua ayah dengan pekerjaan swasta memiliki tingkat afeksi paternal dari rendah ke sangat tinggi. Tidak ada ayah pekerja swasta yang memiliki tingkat afeksi paternal yang rendah dan sangat rendah, berbeda dengan ayah pegawai negeri swasta dan ayah wiraswasta, masih ada yang memiliki afeksi paternal rendah dan sangat rendah. Angka tersebut ditambah dengan fakta bahwa proporsi terbesar pada ayah pekerja swasta yakni 15 orang ada di tingkat sangat tinggi, menunjukkan bahwa rata-rata ayah pekerja swasta memiliki kualitas afeksi paternal yang sangat baik. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil data hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 1. Afeksi Paternal Dilihat dari Tingkat Pendidikan Ayah Pendidikan
K
SD
SMP
SMA
DIII
S1
S3
4
5
24
3
13
0
ST
Jml
%
49
31,01
T
1
3
28
3
17
0
52
32,91
S
4
7
17
1
6
1
36
22,80
R
2
2
7
0
2
0
13
8,22
SR
1
0
3
0
4
0
8
5,06 100
Jml
12
17
79
7
42
1
158
%
7,59
10,75
50
4.43
26,58
0,63
100
Keterangan K : Kategori ST : Sangat Tinggi T : Tinggi S : Sedang R : Rendah SR : Sangat Rendah
Tabel 2. Afeksi Paternal Dilihat dari Pekerjaan Ayah Pekerjaan Kategori
Swasta
PNS
Wiraswasta
Supir
Guru
POLRI
Buruh
Petani
Nelayan
TNI
Pensiunan PNS
Jml
%
Sangat Tinggi
15
8
13
0
1
4
4
1
2
0
1
49
31,01
Tinggi
11
12
20
1
1
3
2
0
1
1
0
52
32,91
Sedang
5
7
14
4
0
2
1
0
1
1
1
36
22,80
Rendah
0
1
6
0
1
1
1
1
2
0
0
13
8,22
Sangat Rendah
0
4
2
0
0
0
1
0
1
0
0
8
5,06 100
Jml %
31
32
55
5
3
10
9
2
7
2
2
158
19,6
20,25
34,8
3,16
1,89
6,3
5,69
1,26
4,43
1,3
1,3
100
Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa dari 158 partisipan jumlah partisipan terbanyak merupakan suku Timor 65 orang dan terendah berada pada suku Sumbawa dan Semau
44
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
masing-masing satu orang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa penelitian dilakukan di Kota Kupang yang berada di dataran Timor. Sebaran data memperlihatkan bahwa jumlah ayah dengan
Identifikasi Afeksi Paternal ...
suku Flores memiliki kualitas afeksi paternal yang seimbang pada tingkat tinggi dan sangat tinggi (12 partisipan). Ini memperlihatkan kecenderungan bahwa ayah suku Flores memiliki afeksi paternal
yang berkisar pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Selengkapnya, data hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Afeksi Paternal Dilihat dari Suku Ayah Pekerjaan
Kategori
Jml
%
2
49
31,01
1
2
52
32,91
0
0
0
36
22,80
0
2
0
13
8,22
Al
Tm
Rt
Fl
Sm
Sb
Se
Bm
Bt
Bg
Tl
Jw
Am
Sangat Tinggi
5
20
4
12
1
0
0
1
0
1
2
2
Tinggi
2
24
5
12
1
0
1
1
2
1
0
Sedang
3
15
8
7
1
1
0
0
0
0
Rendah
2
5
0
1
1
0
0
0
1
1
Sangat Rendah Jml %
Keterangan: Al: Alor Se: Semau
4
1
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
0
8
5,06
16
65
17
33
4
1
1
2
3
4
2
6
4
158
100
10,1
41,1
10,7
20,8
2,5
0,6
0,6
1,2
1,8
2,5
1,2
3,7
2,5
100
Tm: Timor Bm: Bima
Rt: Rote Bt: Batak
Fl: Flores Bg: Bugis
Sm: Sumba Tl:Timor Leste
Hasil penelitian mengenai afeksi paternal dilihat dari urutan lahir anak dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Afeksi Paternal Dilihat dari Urutan Lahir Anak Kategori
Urutan Anak
Jml
%
10
49
31,01
17
16
52
32,91
10
15
4
36
22,80
1
10
0
13
8,22
1
0
7
0
8
5,06
Jml
33
33
62
30
158
100
%
7,59
10,75
50
4.43
100
Sulung
Tengah
Bungsu
Tunggal
Sangat Tinggi
13
13
13
Tinggi
10
9
Sedang
7
Rendah
2
Sangat Rendah
Ketika mencermati Tabel 4 di atas, terlihat bahwa dari 158 partisipan, jumlah terbanyak memiliki anak usia dini urutan bungsu 62 orang. Sisa ayah yang lain memiliki anak usia dini dengan urutan sulung, tengah dan tunggal tersebar dengan cukup merata dengan jumlah masing-masing 33 orang, 33 orang dan 30 orang. Karena sebaran jumlah partisipan terbilang merata, maka bisa disimpulkan bahwa ayah dengan anak usia dini pada urutan sulung dan tengah (39,39%) secara proposi lebih besar memiliki tingkat afeksi paternal yang sangat tinggi dibanding dengan ayah dengan anak usia dini pada urutan bungsu (20,96%) dan tunggal (30%). Pembahasan Pada dasarnya keterlibatan ayah dalam
Sb: Sumbawa Jw: Jawa
Am: Ambon
pengasuhan diartikan sebagai seberapa besar usaha yang dilakukan oleh seorang ayah dalam berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, memikirkan serta berdoa bagi anaknya. Anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya, akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi (Palkovitz, 2002). Salah satu bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan yaitu afeksi paternal. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dibahas bahwa afeksi paternal para ayah yang ada di Kota Kupang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil sebaran data yang diperoleh bahwa dari 158 partisipan rerata afeksi paternal berada pada kategori tinggi. Lebih lanjut, rerata kedua berada pada tingkat sangat tinggi. Ini membuktikan bahwa ayah-ayah di Kota Kupang sebagian besar sudah mengetahui betapa pentingnya mengasuh anak usia dini dari sisi emosional dalam masa tumbuh kembang anak, serta mampu menerapkannya dalam keluarga masing-masing. Temuan ini bertolak belakang dengan anggapan nasional, mengingat belum lama ini Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia menyatakan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam kondisi darurat kekerasan anak (Timor Express, 2015). Selain itu juga kajian lain juga menyebutkan bahwa di daerah lain di NTT seperti di Sumba Timur, kejadian kekerasan kepada anak masih rawan dan kerap terjadi, terutama pada anak yang secara struktur sosial kurang menguntungkan (Kiling & Bunga, 2014a; Kiling & Bunga, 2014b). Orangtua
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
45
Identifikasi Afeksi Paternal ...
yang memiliki afeksi paternal tinggi seharusnya akan menjauhi pola asuh keras seperti pemberian hukuman fisik yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan pada anak. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karena penelitian ini dilakukan di Kota Kupang yang adalah ibukota provinsi, di mana akses informasi serta taraf ekonomi dan pendidikan notabene cenderung lebih baik dibanding daerah non ibukota provinsi. Selain itu pula, tentu ada faktor social desirability yang dapat mempengaruhi orangtua untuk mengisi kuesioner dengan jawaban yang lebih diterima di lingkungan sosial. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengecek kembali hasil penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan juga beberapa pola hasil tabulasi silang dari faktorfaktor demografik terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Walaupun lebih banyak memiliki tingkat pendidikan sekolah menengah atas, ayah di Kota Kupang menunjukkan pemahaman serta kemampuan untuk mengasuh anak usia dininya dari sisi emosional sang anak. Pada dasarnya, orangtua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memahami perkembangan jiwa anak dan memberikan pengarahan akhlak yang baik (Willis, 1994, dalam Awik, 2004). Apalagi tingkat pendidikan menengah atau sekolah menengah atas merupakan tingkat pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan dan sosial budaya (Ihsan, 2001). Dengan demikian, jika ayah-ayah yang berada pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas memiliki afeksi paternal yang tinggi maka sepatutnya ayah yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah menengah atas akan memiliki tingkat afeksi paternal yang sama atau bahkan lebih tinggi. Hal ini dikonfirmasi oleh data yang menunjukkan bahwa ayah dengan pendidikan strata 1 lebih banyak (40,47%) memiliki tingkat afeksi paternal yang tinggi. Selain pendidikan, penelitian ini juga melihat pola yang muncul dari afeksi paternal dan faktor pekerjaan dari ayah. Pekerjaan adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia untuk menghasilkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Untuk para ayah pekerjaan adalah aktivitas utama mereka dalam keluarga. Penelitian pada orangtua anak usia dini dengan disabilitas di Kota Kupang menyebutkan bahwa pekerjaan orangtua berpengaruh pada rasa 46
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
kepercayaan diri sang anak (Dolu, Bunga & Kiling, 2014). Meskipun banyak waktu yang terpakai dalam pekerjaan, hal ini bukan suatu halangan bagi para ayah di Kota Kupang untuk ikut berpartisipasi dalam pengasuhan anak. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ayah-ayah yang bekerja khususnya bekerja sebagai pegawai swasta memiliki kualitas afeksi paternal yang sangat baik. Meski pekerjaan sebagai swasta memiliki tingkat kesulitan serta jam kerja yang beragam, penelitian ini menunjukkan bahwa ayah yang bekerja swasta mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini sangat dibutuhkan karena peran orangtua sangat dibutuhkan dalam perkembangan anak usia dini seperti misal dalam aspek komunikasi (Ita, Bunga & Kiling, 2014). Penelitian selanjutnya dapat secara lebih dalam mengeksplorasi pola asuh yang dilakukan oleh ayah pegawai swasta yang memiliki anak usia dini. Dari hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa selain pendidikan dan pekerjaan ternyata afiliasi pada suku tertentu menunjukkan pola yang menarik secara statistik. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa para ayah yang bersuku Flores memiliki afeksi paternal yang berkisar pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Pola seperti ini tidak ditemukan pada suku lain, memperlihatkan bahwa ayah dari anak usia dini bersuku Flores memiliki kecenderungan untuk lebih memahami pengasuhan secara emosional yang baik untuk anaknya. Apakah hasil ini memiliki kaitan dengan fakta bahwa mayoritas masyarakat suku Flores beragama Katolik, atau secara topografi memiliki tanah yang lebih subur dibanding pulau lain di NTT (Badan Pusat Statistik, 2015) perlu dibuktikan dengan lanjutan dengan desain penelitian yang berbeda. Selanjutnya selain suku, urutan lahir anak juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya afeksi paternal pada ayah di Kota Kupang. Urutan lahir dalam penelitian ini dikategorikan menjadi empat bagian yaitu anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak tunggal. Sesuai dengan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa afeksi paternal sangat tinggi lebih banyak ditemukan pada ayah yang memiliki anak usia dini dengan urutan sulung dan tengah. Menurut Alfred Adler (dalam Wulanningrum, 2009) urutan lahir dalam keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan anak selanjutnya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak
Identifikasi Afeksi Paternal ...
fenomena yang mengatakan bahwa anak sulung diasosiasikan sebagai anak yang cepat dewasa, berwibawa dan lain lain. Sedangkan anak bungsu diasosiasikan sebagai anak yang manja, tidak tegas serta lemah lembut. Anak tengah dan anak tunggal juga diasosiasikan sebagai anak yang manja dan sebagainya (Gunarsa, 2007, dalam Wulanningrum, 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak sulung dan tengah cenderung lebih banyak memperoleh pengasuhan emosi yang baik oleh ayah mereka. Hal tersebut bisa disebabkan oleh karena ayah sebagai orangtua masih dalam fase bulan madu sebagai orangtua baru bersama anak sulung dan anak tengah mereka. Asumsi tersebut
tentu perlu ditanggapi dengan penelitian lebih lanjut di masa depan. Penelitian ini menemukan beragam pola yang muncul dari data demografik serta kualitas afeksi internal pada ayah dari anak usia dini di Kota Kupang. Keterbatasan dari penelitian ini salah satunya seperti yang sudah disebutkan adalah terkait dengan social desirability yang membuat hasil dari penelitian belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Langkah untuk mereduksi kecenderungan untuk memilih jawaban yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya perlu diterapkan pada penelitian serupa di masa depan demi meningkatkan kualitas penelitian secara keseluruhan.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa afeksi paternal para ayah di kota Kupang, NTT tergolong baik. Hal ini didukung dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa dari 158 partisipan lebih dari setengah yakni sekitar 63, 92% memiliki tingkat afeksi paternal yang tinggi dan sangat tinggi. Ayah dengan tingkat pendidikan SMA, bekerja sebagai pegawai swasta, bersuku Flores serta memiliki anak usia dini dengan urutan sulung dan tengah secara umum memiliki afeksi paternal yang baik. Riset lanjutan dibutuhkan untuk mengecek kebenaran penelitian ini karena bertolak belakang dengan keadaan NTT secara umum yang masih rawan dengan kejadian kekerasan kepada anak. Selain itu, kajian lanjutan juga dibutuhkan demi
menguji beberapa pola yang telah didiskusikan di pembahasan penelitian. Saran Adapun saran dari penelitian yang telah dilakukan untuk para ayah, diharapkan penelitian ini dapat menjadi motivasi untuk melibatkan diri dalam mengasuh anak untuk membantu mengembangkan perkembangan anak yang lebih baik. Serta bagi para peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber atau referensi bagi penelitiannya, terlebih khusus disarankan untuk menguji dengan pendekatan kualitatif proses interaksi ayah dan anak usia dini dalam pengasuhan sehingga dapat diketahui kebenaran dari hasil penelitian termasuk pola-pola yang muncul dari faktor demografik dan afeksi paternal.
DAFTAR PUSTAKA Amini, M. (2015). Profil keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak usia TK. Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI, 10(1), 9-20. Awik, H. (2004). Pengaruh tingkat pendidikan dan pola asuh orangtua terhadap prestasi anak. Jurnal Pendidikan, 3(3), 267-276. Badan Pusat Statistik (2015). Nusa Tenggara Timur dalam angka 2014. Kupang: Badan Pusat Statistik. Dolu, E. R. Y., Bunga, B. N., Kiling, I. Y. (2014). Gambaran penerimaan orangtua anak usia dini berkebutuhan khusus di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Vokasi, 13(2), 45-49. Ernawati, M. (2009). Model keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Artikel Ilmiah. Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negri.
Elia, H. (2000). Peran ayah dalam mendidik anak. VERITAS: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 1(1), 105-113. Fox, G. L., & Bruce, C. (2001). Conditional fatherhood: Identity theory and parental investment theory as alternative sources of explanation of fathering. Journal of Marriage and Family, 63, 394-403. Hasan, M. (2011). Pendidikan anak usia dini. Yogyakarta: DIVA Press Ihsan, F. (2001). Dasar-dasar kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta Ita, K. N., Bunga, B. N., Kiling, I. Y. (2014). Gambaran komunikasi anak usia dini tunagrahita di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Vokasi, 13(1), 59-63. Kiling, I. Y., & Bunga, B. N. (2014a). Urgensi positive
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
47
Identifikasi Afeksi Paternal ...
parenting di Sumba Timur. In Taufiqurrahman, A. Puspitacandri, H. Khotimah, & U. Manara (Eds.), Proceeding Seminar Nasional dan Call for Paper Ketahanan Keluarga sebagai Aset Bangsa: Family, Marriage, Parenting. “Pengelolaan Mutu Keluarga dan Perkawinan untuk Persiapan Generasi Muda Berkualitas” (pp. 836-848). Malang: Unmer Press. Kiling, I. Y., & Bunga, B. N. (2014b). Kompleksitas kekerasan kepada anak perempuan kasta Ata di Sumba Timur. In P. Satwiko, & D. Listiorini (Eds.), Proceeding Senanti 2014 (pp. 63-67). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mesman, J., Van Ijzendoorn, M. H., & BakermansKranenburg, M. J. (2012). Unequal in opportunity, equal in process: Parental sensitivity promotes positive child development in ethnic minority families. Child Development Perspectives, 6, 239-250. Morrison, G. S. (2008). Fundamentals of early childhood education, 5th ed. New Jersey: Pearson Education. Palkovitz, R. (2002). Involved fathering and child development: Advancing our understanding of good fathering. In C. S. Tamis-LeMonda & N. Cabrera (Eds.), Handbook of father involvement: Multidisciplinary perspectives. New Jersey: Lawrene Erlbaum Associates. Ryan, R. M., Martin, A., & Brooks-Gunn, J. (2006). Is one good parent good enough? Patterns of mother and father parenting and child cognitive outcomes at 24 and 36 months. Parenting: Science and Practice, 6, 211-228. Shannon, C., Tamis-LeMonda, C., London, K.,
48
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
& Cabrera, N. (2002). Beyond rough and tumble: Low-income fathers’ interactions and children’s cognitive development at 24 months. Parenting: Science and Practice, 2, 77-104. Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta Timor Express. (2015). Komnas PA: NTT darurat kekerasan anak. Diakses 8 Maret 2016 dari http://www.timorexpress. com/20150724110356/-komnas-pa-nttdarurat-kekerasan-anak Wahyuni, N. N. R., Asri, I. G. A. A. S., & Suniasih, N. W. (2014). Penerapan metode demonstrasi dengan lingkungan sebagai sumber belajar untuk meningkatkan keterampilan motorik halus anak. E-journal PG-PAUD Universitas Pendidikan Ganesha, 2(1). Wahyuningrum, E. (2011). Peran ayah (fathering) pada pengasuhan anak usia dini (sebuah kajian teoritis). Psikowacana, 10 (1&2), 1-19. Wulanningrum, D. N. (2009). Hubungan antara urutan kelahiran dalam keluarga dengan kecerdasan emosional pada remaja di SMA Muhammadiyah 1 Klaten. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tidak diterbitkan
Penelitian
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEBERDAYAAN ANGGOTA GABUNGAN KELOMPOK TANI PADA SEKOLAH LAPANG Lesi Oktiwanti e-mail:
[email protected] Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jl. Siliwangi 24 Tasikmalaya, Jawa Barat
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menganalisis pengaruh sumber daya, pengetahuan dan keterampilan, peluang terhadap keberdayaan anggota Gapoktan; serta menggambarkan dan menganalisis faktor yang paling berpengaruh terhadap keberdayaan anggota Gapoktan. Penelitian ini dilakukan di Gapoktan Subur Mukti, Desa Cikalong Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung pada tahun 2010 dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Data dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner kepada 78 orang sampel dan dianalisis dengan analisis jalur. Hasil penelitian menyatakan bahwa sumber daya, pengetahuan dan keterampilan, dan peluang memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap keberdayaan. Hasil analisis menyebutkan bahwa sumber daya memiliki pengaruh sebesar 0,158, pengetahuan dan keterampilan memiliki pengaruh paling besar 0,434, dan variabel peluang memiliki pengaruh sebesar 0,14. Sehingga secara keseluruhan faktor-faktor independen tersebut memiliki pengaruh sebesar 0,732 terhadap variabel dependen. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya meneliti mengenai pengaruh ‘kekuatan dalam’ (power within) terhadap keberdayaan. Kata-kata Kunci: keberdayaan, keterampilan, kelompok tani, sumber daya, peluang, pengetahuan.
INFLUENCING FACTORS ON THE POWER OF FARMER GROUP MEMBERS IN LAPANG SCHOOL Abstract: The purpose of this research is to describe and analyze the effects of resource, knowledge and skill opportunity for the power of Gapoktan members as well as to describe and analyze the factors mostly influencing the power of Gapokan members. The research was conducted in Gapoktan Subur Murni, Cikalong Village, Cimaung Sub-district, Bandung District, in 2010 applying quantitative descriptive method. The data were collected by distributing questionnairer to 78 samples and analyzed using path analysis. The research result indicate resource, knowledge and skill, and opportunity possess positive and significant effects to power. The analysis result stated resource has effect of 0.258, knowledge and skill of 0.434 (the highest), and opportunity of 0.14. Over all the independent variables possess the effect of 0.732 to dependent variable. For further research, it is recommended to search the effect of ‘power within’ to empowerment. Keywords: power, skill, farmer group, resource, opportunity, knowledge.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara agraris, karenanya pertanian menjadi salah satu masalah pokok yang harus mendapatkan perhatian utama kebijakan pemerintah. Permasalahan pertanian di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kecenderungan manusia yang menggunakan prinsip ekonomi koboy dalam arti menggunakan sumber daya secara berlebihan seakan menutup mata dengan kenyataan bahwa sumber daya alam kita terbatas dan bisa rusak. Seperti halnya dengan eksploitasi tanah subur secara besar-besaran yang baik untuk
pertanian, malah digunakan untuk pemukiman, pabrik-pabrik, gedung dan sejenisnya. Pada akhirnya lahan pertanian beralih pada lereng gunung dan menebang habis pegunungan yang pada umumnya tidak memiliki unsur hara tanah yang baik untuk pertanian. Bukan hanya masalah sumber daya, petani di Indonesia pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mengetahui pengelolaan pertanian yang benar. Kamil (2009) menjelaskan bahwa “masyarakat pada umumnya bukanlah students by profession, tetapi mayoritas buruh, petani, pengrajin, tukang,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
49
Faktor-faktor yang ...
nelayan, pengusaha kecil, ibu rumah tangga dan pegawai lain yang kurang bahkan tidak memiliki akses terhadap informasi”. Oleh karena itu, pendidikan dan pemberdayaan memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan belajar masyarakat khususnya petani. Pada hakikatnya, pemberdayaan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kedudukan individu dalam masyarakat. Suharto (2006) menyebutkan bahwa secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Kekuasaan yang sering dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Namun kekuasaan di sini tidak diartikan sebagai kekuasaan semata, tetapi juga kekuatan, kemampuan, atau potensi yang ada dalam diri orang yang diberdayakan. Pemberdayaan masyarakat juga dapat diartikan menyiapkan kepada masyarakat dengan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa depan mereka, serta berpartisipasi dan mempengaruhi Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Pearson dalam Heryanto yang menyatakan bahwa konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Selain itu Solomon dalam Hikmat menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya bahwa ketidakberdayaan dalam individu dan kelompok sosial dianggap sebagai ketidakmampuan untuk mengatur emosi, skill (keahlian dan keterampilan), pengetahuan (knowledge) dan sumber-sumber material lainnya dalam tatanan nilai-nilai sosial. (Hikmat, 2004) Dilihat dari karakteristik masyarakat di atas, pendidikan nonformal dipandang lebih tepat digunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat karena pendekatan pendidikan nonformal didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan cara menggali dan menggunakan apa yang ada di masyarakat untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan kearah kemandirian (Kindervatter, 1979). Oleh karena itu, berbicara pendidikan nonformal sangat 50
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
erat kaitannya dengan proses pemberdayaan masyarakat. Pendidikan nonformal yang berasaskan pendidikan sepanjang hayat berorientasi pada terjadinya proses perubahan sikap dan perilaku warga belajar ke arah mendewasa (maturing person). Menurut Sudjana (2004), orang mendewasa adalah orang yang senantiasa mengembangkan potensi diri dan berupaya mencapai kepuasan diri dalam kehidupan yang baik dan bermakna bagi dirinya dan lingkungannya. Salah satu pendekatan pemberdayaan melalui pendidikan nonformal adalah melalui pendekatan kelompok. Coombs dalam Kamil (2009) menjelaskan bahwa pendekatan kelompok dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal akan lebih efektif dalam proses pembelajaran atau transfer pengetahuan dan keterampilan. Wilson dalam Smith (2004) memandang penggunaan kerja kelompok membawa perubahan nilai-nilai individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dia berpendapat bahwa kerja kelompok adalah proses melalui mana kehidupan kelompok dipengaruhi oleh seorang pekerja yang diarahkan proses menuju tercapainya tujuan sosial yang dikandung dalam filsafat demokratis. Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal dengan pendekatan kelompok atau social group work untuk mengatasi permasalahan di atas adalah program pemerintah dalam pembangunan pertanian dan pedesaan melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Pembentukan dan pengembangan Gapoktan dibentuk di setiap desa dengan menggunakan prinsip kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan. Di awal 1990-an Gapoktan sesungguhnya telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk untuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang
Faktor-Faktor yang ...
jelas (Departemen Pertanian dalam Syahyuti, 2007). Kelembagaan pertanian tersebut meliputi “kelembagaan penyuluhan, kelompok tani, Gapoktan, koperasi tani, penangkar benih, pengusaha benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, dan lainlain. Salah satu Gapoktan yang telah berkembang adalah Gapoktan Subur Mukti yang terletak di Desa Cikalong Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung. Gapoktan yang berdiri pada tanggal 8 Februari 2008 ini awalnya merupakan kelompok tani yang melakukan diskusi mengenai permasalahanpermasalahan pertaniannya. Pada tahun 2009 hingga sekarang mereka diberikan pelatihan yang merupakan program pemerintah untuk meningkatkan pemahaman para petani dalam pengelolaan pertanian yang dikenal dengan sekolah lapangan. Gapoktan Subur Mukti yang mulanya sebagai kelompok tani (poktan), sekarang memiliki lima poktan binaan, yaitu Poktan Subur Mukti yang berada di Kampung Babakan Saputra, Kewirausahaan Wanita Tani (KWT) Subur Mukti di Palasari, KWT Mekar Mulya, Poktan Harapan Mulya di Palasari, dan Poktan Sedap Malam di Cikalong. Dengan potensi lingkungan daerah yang berbeda namun komoditas yang berbeda Poktan tersebut bergabung untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam kemampuan teknis pertanian, sharing pengalaman untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan baik melalui agen penyuluh pendamping pertanian maupun antarpoktan. Selain itu, kelompok tani tersebut juga mengembangkan penguatan-penguatan baik dari segi permodalan, penyediaan pupuk, penyediaan pakan dan
pengembangan kemitraan untuk meningkatkan posisi tawar petani. Bahkan, untuk menguatkan perekonomian Gapoktan tersebut, mereka mengintegrasikan pengelolaan pertanian dengan peternakan yang mereka miliki, misalnya dengan pembuatan pupuk kandang, pakan ternak dan bokasi. Dari segi hasil pertaniannya, melalui KWT yang dimiliki mereka juga mengembangkan produksi olahan makanan khas dan unik salah satunya sorgun dan dendeng daun ketela pohon. Gapoktan Subur Mukti merupakan salah satu Gapoktan Mandiri dan terbaik di Kabupaten Bandung. Sejatinya, dalam suatu social group work sebagai wahana pemberdayaan dan pembelajaran, masyarakat khususnya para petani yang mengikuti Gapoktan tersebut juga akan berdaya dan mandiri. Berdaya dengan pengetahuan dan keterampilan yang didapat untuk memanfaatkan sumber daya dilingkungannya dan memanfatkan informasi peluang-peluang usaha, karena memberdayakan suatu kelompok berarti juga memberdayakan individu. Oleh karena untuk membuktikan pengaruh dari sumber daya yang dimiliki anggota petani, pengetahuan dan keterampilan, dan peluang terhadap keberdayaan anggota kelompok Gapoktan, maka peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberdayaan Anggota Gabungan Kelompok Tani”. Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Apakah keberdayaan anggota gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) Subur Mukti di Desa Cikalong Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh sumber daya, pengetahuan dan keterampilan, serta peluang?
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada program Sekolah Lapang Gapoktan Subur Mukti yang terletak di Desa Cikalong Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung pada bulan April sampai dengan September 2010. Populasi penelitian ini sebanyak 100 orang dan sampel sebanyak 78 orang yang diambil melalui simple random sampling dengan tingkat kepercayaan 95%. Alat pengumpul data
penelitian ini adalah menggunakan angket. Teknik analisis data hasil penelitian ini menggunakan analisis jalur untuk mengetahui besar koefisien jalur pengaruh variabel sumber daya (X1), pengetahuan dan keterampilan (X2) dan peluang (X3) terhadap keberdayaan (Y), selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui pengujian kebermaknaan setiap kooefisien jalur yang telah dihitung (theory trimming), serta menguji perbedaan besarnya koefisien jalur dalam sebuah substruktur.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
51
Faktor-faktor yang ...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Diagram jalur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberdayaan Seperti yang telah digambarkan dalam hasil penelitian di atas, dapat diketahui teori yang menyebutkan bahwa sumber daya, pengetahuan dan keterampilan, serta peluang memiliki pengaruh terhadap keberdayaan anggota masyarakat. Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisis jalur independen (variabel sumber daya, variabel pengetahuan dan keterampilan dan variabel peluang) tersebut memiliki pengaruh yang kuat dengan koefisien determinasi sebesar 0,732 atau 73,2% terhadap variabel dependen (variabel keberdayaan), serta 0,268 atau 26,8% dari variabel lain yang tidak diteliti. Variabel pengetahuan dan keterampilan memiliki pengaruh total paling besar yakni sebesar 0,434 diikuti oleh variabel sumber daya dan terakhir variabel peluang. Sedangkan pengaruh tidak langsung dari variabel sumber daya, pengetahuan dan keterampilan serta peluang terhadap keberdayaan, pengaruh terbesar ditempati oleh variabel sumber daya melalui pengetahuan dan keterampilan, dimensi pengetahuan dan keterampilan melalui peluang dan pengaruh terkecil adalah sumber daya melalui peluang. Dari hasil penelitian, pengaruh variabel lain yang tidak diteliti adalah power within atau psychological power yang memang berpengaruh terhadap keberdayaan, seperti yang diungkapkan oleh Solomon dalam Harry Hikmat (2004) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya bahwa ketidakberdayaan dalam individu dan kelompok sosial dianggap sebagai ketidakmampuan untuk mengatur emosi, 52
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
skill (keahlian dan keterampilan), pengetahuan (knowledge), dan sumber-sumber material lainnya dalam tatanan nilai-nilai sosial. Pemberdayaan jika dilihat dari sebuah proses, dibagi ke dalam empat tingkat kekuasaan: (a) power over (kekuasaan atas), (b) power to (kekuasaan untuk), (c) power with (kekuasaan dengan), dan (d) power within (kekuatan dalam). Gagasan kekuasaan mengacu pada kesadaran diri, harga diri, identitas dan ketegasan (know how tobe) (Commision on Woman and Development, 2007). Hal ini mengacu pada bagaimana individu, melalui analisis-diri dan kekuatan internal, dapat mempengaruhi kehidupan mereka dan membuat perubahan. Selain itu, menurut Jhon Friedman yang mengatakan bahwa kekuatan dalam masyarakat terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu sosial, politik dan psikologi. Masing masing variabel sumber daya memiliki pengaruh sebesar 0,158, pengetahuan dan keterampilan memiliki pengaruh sebesar 0,434, peluang memiliki pengaruh sebesar 0,14. Penelitian ini memiliki koefisien residu sebesar 0,518 yang menunjukan ada variabel lain yang mempengaruhi variabel Y (keberdayaan) dan belum teridentifikasi oleh teori, koefisien residu juga menunjukkan kekeliruan pengukuran. Jika dilihat secara terpisah pengaruh antar variabel dalam arti X1 atau sumber daya terhadap Y atau keberdayaan, X2 pengetahuan dan keterampilan terhadap Y atau keberdayaan dan X3 peluang terhadap keberdayaan menunjukan pengaruh yang rendah, pengetahuan dan keterampilan yang memiliki skor paling tinggi pun tidak mencapai 50 % dari keseluruhan, yakni hanya mencapai 43,4 %, apalagi pengaruh sumber daya dan peluang. Namun, jika faktor-faktor tersebut digabungkan, maka akan menghasilkan pengaruh yang besar terhadap keberdayaan. Artinya, petani atau anggota Gapoktan Subur Mukti belum dikatakan berdaya jika hanya memiliki salah satu faktor. Sebagai contoh, jika petani memiliki sumber daya yang memadai namun ia tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan atau akses terhadap informasi, dan tidak memiliki peluang untuk usaha pertaniannya maka ia akan memiliki keberdayaan yang rendah karena pengaruh sumber daya hanya 15,8 %. Jika petani hanya memiliki peluang usaha, namun tidak memiliki sumber daya yang memadai dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan maka ia tidak dapat memanfaatkan peluang usaha
Faktor-Faktor yang ...
dengan baik apalagi tidak memiliki sumber daya misalnya kepemilikan tanah merupakan aspek penting dalam pertanian, maka ia belum dapat berdaya. Sama halnya dengan pengetahuan dan keterampilan, jika petani hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan namun tidak memiliki akses terhadap peluang dan tidak memiliki sumber daya yang mendukung dan memadai maka ia tidak dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dengan efektif. Gambar 2 berikut adalah grafik persentase pengaruh tiap variabel X1,X2 dan X3 atau sumber daya, pengetahuan dan keterampilan, serta peluang terhadap keberdayaan.
Gambar 2. Persentase determinasi masingmasing variabel independen penelitian Masing-masing variabel juga memiliki keterkaitan atau hubungan satu sama lain: Variabel sumber daya dan variabel pengetahuan memiliki hubungan/ koefisien korelasi yang kuat yaitu sebesar 0,661, hal ini menunjukkan bahwa jika anggota Gapoktan Subur Mukti menggunakan berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, mendapatkan informasi atau pengetahuan dan keterampilan dari berbagai media, penyuluh pertanian, pendamping, dan teman sebaya, inovatif, dan senang berdiskusi maka dengan pengetahuan dan keterampilan tersebut ia akan dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai keberdayaan. Variabel sumber daya dan variabel peluang memiliki hubungan yang sedang dengan koefisien korelasi sebesar 0,511, sedangkan variabel pengetahuan dan peluang memiliki hubungan/ korelasi yang sedang pula yakni sebesar 0,527. Variabel sumber daya yang meliputi ketersediaan dukungan keluarga dan sosial, infrastruktur sosial ekonomi, alam, dan infrastruktur
fisik anggota Gapoktan memiliki rata-rata sebesar 36,256. 15 dari skor keseluruhan 45 atau 19,23 % memiliki sumber daya yang rendah, 48 orang atau sekitar 61,54 % memiliki sumber daya yang sedang, dan 15 orang atau 19,23% anggota Gapoktan memiliki sumber daya yang tinggi. Dikatakan memiliki sumber daya yang tinggi, sedang atau rendah, itu dilihat dari besar atau kecilnya dukungan dari keluarga, teman atau kelompok, dan pemerintah; memadai atau tidaknya sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati, dan ketersediaan dukungan dari pelayanan sosial. Faktor kedua yang berpengaruh terhadap keberdayaan gabungan kelompok tani adalah sumber daya. Kelompok masyarakat dengan pemilikan faktor produksi atau sumber daya produktivitas rendah, menghasilkan tingkat kesejahteraan rendah (Kartasasmita,1996). Salah satu sumber daya utama seorang petani adalah kepemilikan tanah. Secara keseluruhan lebih dari 60% anggota Gapoktan memiliki tanah milik pribadi. Dari hasil observasi, sumber daya alam di Gapoktan Subur Mukti dapat dikatakan memadai karena masih merupakan daerah yang subur dengan air yang berlimpah. Lingkungan sekitar Gapoktan memiliki infrasruktur sosial ekonomi dan fisik yang sangat memadai sehingga sumber daya juga memiliki pengaruh terhadap produktivitas pertanian. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki anggota Gapoktan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki bahkan kotoran/ sampah hasil produksi akan bermanfaat jika dikelola dengan baik. Setiap poktan dengan komoditas padi masing-masing memiliki 1 kerbau untuk membajak sawahnya. Kotoran kerbau tersebut mereka olah menjadi pupuk organik yang berguna untuk pertanian mereka tanpa menggunakan pupuk kimia. Hasil perkebunan pun sebagian tidak dijual secara langsung tapi mereka olah menjadi panganan yang unik dan bernilai ekonomi yang tinggi. Variabel pengetahuan dan keterampilan yang meliputi tingkat pendidikan, pemanfaatan media cetak dan media elektronik, berdiskusi dengan penyuluh, dan saling membantu dalam memecahkan masalah usaha dengan teman sebaya atau kelompok anggota Gapoktan memiliki rata-rata 27,32 dari skor keseluruhan 36. Anggota Gapoktan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang rendah sekitar 13 orang atau 16,67%, dan anggota yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sedang sekitar 52 orang atau 66,67%, dan anggota
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
53
Faktor-faktor yang ...
yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi adalah 13 orang atau 16,67%. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa faktor yang paling berpengaruh pada keberdayaan anggota Gapoktan Subur Mukti adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh anggota. Seperti yang dikemukakan oleh Trecker (1948) social group work adalah suatu proses dan metode melalui individu dalam kelompok dalam pengaturan lembaga sosial dibantu oleh seorang pekerja untuk menghubungkan dirinya dengan orang lain dan memberikan pengalaman pertumbuhan kesempatan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas. Dalam kerja kelompok sosial, kelompok itu sendiri yang digunakan oleh individu dengan bantuan pekerja, sebagai alat utama perubahan kepribadian, pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai social group work, Gapoktan Subur Mukti memfasilitasi anggota di setiap poktan untuk berbagi pengetahuan, pengalaman sekitar pertanian dan peluang-peluang, serta keterampilan teknis. Bersama penyuluh dan fasilitator dari gapoktan anggota diberikan pengetahuan dan keterampilan baik secara teori maupun praktik mengenai pengelolaan pertanian dari mulai memilih bibit unggul, meneliti anakan, pengairan, pengolahan tanah, pengendalian hama, pemberian pupuk organik sampai pada penanganan pascapanen dan pengolahan hasil panen. Menghimpun minat dan keahlian yang tersedia di masyarakat lalu membuatnya dapat dimanfaatkan dan diakses secara luas, dapat menjadi aktivitas pembangunan berharga; tindakan untuk menghimpun sumber daya yang ada dapat merangsang minat dan keterlibatan masyarakat (Jim Ife, 2008). Dari hasil wawancara kepada delapan orang anggota Gapoktan petani padi dewasa, produktivitas padi mereka meningkat sebanyak 22%. Petani yang sebelumnya tidak memiliki takaran atau aturan yang benar mengenai pengelolaan pertanian dan perkebunan, dengan pengelolaan yang efektif dan efisien akan menghasilkan produktivitas pertanian yang efektif dan efisien pula. Tidak hanya fasilitator dan penyuluh yang memberikan pengetahuan dan keterampilan, anggota petani juga ikut mengemukakan pengalaman hasil praktiknya. Walaupun dari hasil observasi petani wanita (anggota) kurang berperan dalam pembelajaran dalam arti mengemukakan pengalaman, ide, dan 54
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
masukan tapi semua anggota sangat antusias mendengarkan dengan seksama pembelajaran yang diberikan. Selain anggota diberi pemahaman mengenai pengelolaan pertanian, bersama penyuluh mereka juga belajar mengenai pengorganisasian poktan dan administrasi yang tertib. Tidak ada diskriminasi gender dalam Gapoktan Subur Mukti ini, semua anggota memiliki kesempatan untuk mengikuti pembelajaran, ikut dalam kepengurusan atau penngelolaan. Variabel peluang yang meliputi peluang dari pemerintah pusat, peluang dari informasi penyuluh dalam kegiatan Gapoktan, dan peluang dari saudara serta rekan anggota Gapoktan Subur Mukti memiliki rata-rata 18,76 dari skor keseluruhan 24. Anggota Gapoktan tidak memiliki peluang yang rendah, karena sebanyak 41 orang atau 52,56% memiliki peluang yang sedang dan 37 orang atau 47,44% memiliki peluang yang tinggi. Variabel ketiga yang memiliki pengaruh terhadap keberdayaan anggota Gapoktan Subur Mukti adalah peluang. Intervensi pengembangan manusia (human development) adalah dalam upaya meningkatkan kemampuan manusia agar memiliki jangkauan pilihannya secara lebih luas. Jangkauan pilihan tersebut bermacam-macam dan berubah sesuai dengan keadaan dan waktu. Terdapat tiga pilihan yang bersifat pokok, yakni (a) memiliki kemampuan untuk menempuh hidup dengan harapan hidup yang panjang dan sehat, (b) memiliki kesempatan dan kemampuan untuk memperoleh pendidikan agar dapat menanggapi kemajuan zaman, serta (c) memperoleh kesempatan akses dalam mengusahakan sumber-sumber untuk menaikan tingkat kehidupan (Hikmat, 2004) Dari hasil wawancara terhadap pengurus dan Penyuluh, anggota Gapoktan diberikan informasiinformasi peluang usaha. Seperti informasi harga, pasar, promosi, kemitraan, sumber pendanaan, dan usaha baru. Dari sekian banyak informasi tersebut, yang kurang termanfaatkan adalah informasi pasar baik pasar input maupun pasar output. Dalam arti hanya hasil perkebunan dan olahan makanan saja yang memanfaatkan informasi pasar output, sedangkan hasil pertanian padi kurang dapat dipasarkan karena tanah yang produksinya pun terbatas, sehingga masih menjadi konsumsi rumah tangga/ keluarga belum menjadi agribisnis. Sedangkan untuk variabel keberdayaan dengan sub variabel kekuasaan dalam keluarga,
Faktor-Faktor yang ...
dan luasnya partisipasi dan kemampuan mengakses pelayanan sosial anggota Gapoktan Subur Mukti memiliki rata-rata 40,03 dari skor keseluruhan sebesar 51. Maksudnya, jika anggota Gapoktan Subur Mukti memiliki kemampuan dalam mempengaruhi dan berkontribusi dalam keluarga, sderta dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan di dalam kelompok dan lingkungannya maka keberdayaan dari anggota Gapoktan Subur Mukti dikatakan tinggi dan sebaliknya jika semua aspek tersebut rendah maka keberdayaannyapun akan rendah. Anggota Gapoktan yang memiliki keberdayaan yang rendah sekitar 12 orang atau 15,38%, anggota yang memiliki keberdayaan yang sedang sekitar 49 orang atau 62,82%, dan anggota yang memiliki keberdayaan yang tinggi adalah 17 orang atau 21,8%. Indikator keberdayaan menurut Jim Ife adalah peningkatan kapasitas dalam kehidupannya
dan partisipasi dalam masyarakatnya. Anggota Gapoktan memiliki kapasitas dalam pengambilan keputusan keluarga, ikut serta dalam pengelolaan ekonomi keluarga tidak hanya kepala keluarga tetapi pasangannya. Dan berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat dengan cara ikut serta dalam pengambilan keputusan, ikut serta mengelola dan mengambil bagian dalam kepengurusan program sebagai bentuk kepercayaan diri dan tanggung jawab. Dilihat dari segi partisipasi anggota dalam Gapoktan, tidak ada diskriminasi gender, dalam arti semua anggota baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama sebagai anggota. Bahkan banyak yang anggota perempuan yang mengikuti kepengurusan kegiatan dan ikut andil dalam pengambilan keputusan serta ikut serta dalam mengawasi, mengelola sampai pada mengevaluasi kegiatan yang ada di Gapoktan Subur Mukti.
PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian dengan populasi sebesar 100 orang dan sampel sebesar 78 orang dan tingkat kepercayaan 95% menyatakan bahwa sumber daya, pengetahuan dan keterampilan, dan peluang memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap keberdayaan. Dari hasil analisis menggunakan analisis jalur membuktikan bahwa sumber daya memiliki pengaruh sebesar 0,158, pengetahuan dan keterampilan memiliki pengaruh sebesar 0,434, dan variabel pengetahuan memiliki pengaruh sebesar 0,14. Sehingga secara keseluruhan faktorfaktor independen tersebut memiliki pengaruh sebesar 0,732 terhadap variabel dependen. Dari hasil pengujian analisis jalur tersebut dapat diketahui bahwa secara terpisah antara variabel independen sumber daya, pengetahuan dan keterampilan serta peluang akan memiliki pengaruh yang rendah terhadap keberdayaan, namun jika digabungkan secara keseluruhan maka variabel independen tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap keberdayaan. Variabel pengetahuan dan keterampilan memiliki pengaruh sebesar 0,434 terhadap keberdayaan anggota Gapoktan Subur Mukti. Dalam penelitian ini terdapat variabel residu yang menunjukkan bahwa terdapat variabel lain yang berpengaruh terhadap keberdayaan, belum teridentifikasi oleh teori, koefisien residu juga
menunjukkan kekeliruan pengukuran. Dari hasil penelitian dan hasil pengolahan dari berbagai sumber, variabel residu tersebut menyangkut faktor usia dan power within atau psychological power misalnya kesadaran diri, harga diri, identitas dan ketegasan (know how tobe), kemampuan mengatur emosi, dan lain-lain. Saran Untuk pihak Gapoktan Subur Mukti, kepengurusan Gapoktan akan lebih baik memiliki kepengurusan tersendiri dari Poktan Subur Mukti sehingga tidak terjadi kepengurusan ganda; untuk meningkatkan rasa solidaritas antarpoktan binaan, sebaiknya ada pertemuan rutin antarpoktan; selanjutnya untuk perwakilan pelatihan yang diselenggarakan pemerintah akan lebih baik jika ketua didampingi oleh salah satu pengurus poktan secara bergantian, sehingga masing-masing pengurus poktan memiliki pengalaman langsung dalam mengikuti pelatihan dan kemitraan dengan Gapoktan lain. Bagi penyuluh pendamping pertanian, dalam pembelajaran akan lebih baik jika moderator diserahkan kepada anggota Gapoktan secara bergantian terutama wanita, sehingga keberanian mengungkapkan pendapat terlatih. Untuk menciptakan anggota Gapoktan yang swadaya, maka penyuluh akan lebih baik menggali peluangpeluang yang ada di lingkungan masyarakat itu sendiri, sehingga anggota Gapoktan tidak tergantung
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
55
Faktor-faktor yang ...
pada lingkungan luar khususnya pemerintah. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya meneliti
mengenai pengaruh usia, power within atau psycological power terhadap keberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA Chanan, G. (2009). Evaluating empowerment reconciling indicators with local experience. National empowerment partnership shoutwest foundation. [Online]. Tersedia: http://siteresources. worldbank.org/INTEMPOWERMENT/ Resources/486312-1095094954594/draft2. pdf. [28 Juli 2010]. Commision on Woman and Development. (2007). The women empowerment approach. [Online]. Tersedia: http://www.atol.be/docs/publ/ gender/women_empowerment_approach_ CVO.pdf [28 Juli 2010]. Friedmann,J. (1992). Empowerment: The politics of alternative development. Cambridge: Balckwell. Hikmat, H. (2004). Strategi pemberdayaan masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Ife, J.(1995). Community development: Creating community alternatives vision analysis & practise (third ed.). Sydney: Addison Wesley Longman Australia Pty Ltd. Ife, J.,& Tesoriero F. (2006). Community development: community based alternatives in an age of globalisation. Franches Forest NSW 2086: Pearson Education Australia Pty Ltd. Kamil,M. (2009). Pendidikan nonformal: pengembangan melalui pusat kegiatan belajar masyarakat (pkbm) di Indonesia (sebuah pembelajaran dari kominkan Jepang). Bandung: Alfabeta. Kindervatter, S. (1979). Nonformal education as an empowering process. Massachusetts: Center for Internasional Education University of Massachusetts.
56
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Laverack, G. (2001). An Identification and Interpretation of The Organizational Aspect of Community Empowerment. Oxford University Press and Community Development Journal. [Online]. Tersedia: http://www.bridge.ids. ac.uk/reports/re40c.pdf. [26 Agustus 2010]. Mehchy, Z.,& Kabbani, N. (2007). Conceptualising community empowerment. [Online]. Tersedia: http://www.syriatrust.org/site/images/files/ CommunityEmpowerment070606.pdf [26 Agustus 2010]. Prayitno, B. (2009). Mengenal metode social group work dalam praktik pekerjaan sosial.[Online]. Tersedia: http://rumbai.depsos.go.id/modules. php?name=News&file=article&sid=9 [5 Oktober 2010]. Setiawan, I. (2008). “Menyoal Pemberdayaan”. Pikiran Rakyat. [19 September 2008]. Smith, M. K. (2004). Gertrude Wilson And Social Group Work. The Encyclopedia of Informal Education. http://www.infed.org/thinkers/ wilson.htm. [11 Oktober 2010]. Sudjana, D. (2004). Pendidikan nonformal. Bandung: Falah Production. Suharto, E. (2006). Membangun masyarakat memberdayakan rakyat. Bandung: Refika Aditama. Syahyuti. (2010). Kebijakan pengembangan gabungan kelompok tani (gapoktan) sebagai kelembagaan ekonomi di perdesaan. [Online]. Tersedia: http://icnie.org/2010/05/kebijakanpengembangan-gabungan-kelompok-tanigapoktan-sebagai-kelembagaan-ekonomi-diperdesaan/ [19 Juli 2010]. Trecker, H. (1948). Social group work: Principles and practices. New York: Woman’s Press.
Opini
PERAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM KELUARGA UNTUK MENUMBUHKAN KARAKTER ANAK USIA DINI Meni Handayani e-mail:
[email protected] Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud Jalan Jenderal Sudirman, Senayan
Abstrak: Keterlibatan keluarga dalam mengembangkan kemampuan akademis dan perilaku sosial anak sangat dibutuhkan. Peran orangtua khususnya ibu pada anak usia di bawah 5 tahun sangat besar pengaruhnya. Orang tua harus tetap mengasuh dan mendidik anaknya agar dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik. Komunikasi antarpribadi antara orangtua dan anak menjadi penting untuk membentuk karakter anak sesuai dengan pola orangtuanya. Karakter anak terbentuk dari keluarga, terutama dari bagaimana orangtua menyampaikan nilai-nilai moral, kejujuran, agama kepada anak melalui komunikasi yang baik. Orangtua tidak hanya menyampaikan melalui kata-kata, tetapi juga memberi teladan dalam tingkah laku. Strategi mencari informasi dari orangtua diperoleh dari pengamatan dan pengungkapan diri anak. Penting juga mendengarkan ungkapan perasaaan anak ke orangtua. Karakter yang terbentuk dari bawaan karena latar belakang budaya sang anak dibentuk dari keluarga dan masyarakat. Jadi, anak bisa berkembang sesuai dengan karakter akar budayanya. Pendidikan yang bersifat universal dapat dibuat seragam namun budaya adi luhur yang bersifat kearifan lokal sudah selayaknya untuk dipelihara, misalnya kebersamaan dalam keluarga, rasa malu bila melanggar norma yang berlaku, dan takut jika berbuat salah. Kata-kata Kunci: komunikasi antarpribadi, pendidikan karakter, karakter anak usia dini.
THE ROLE OF INTERPERSONAL COMMUNICATION IN FAMILY TO GROWING UP THE EARLY FHILDHOOD CHARACTERS Abstract: The involvement of family in developing academic competence and social behavior is badly needed. The role of parents particularly mother on the child of under 5 years old is very influential. The parents should keep parenting and educating their child to enable him/her socialize and communicate well. Interpersonal communication between the parents and the child is important to build the child’s character suitable to the parents’ style. The child’s character is established from the family, particularly how the parents transfer moral value, honesty, and religion to the child through good communication. The parents do not do it just by words but by behavioral modelling. The strategy of seeking information from the parents is achieved by observation and expression of the child. It is important to listen to the child’s expression. Inner character resulted from the child’s cultural background is developed from the family and community. Thus, the child can develop based on the character of his/her cultural roots. Universal education can be conducted in uniform but the culture based on local wisdom should be maintained, such as togetherness in the family, being ashamed of breaking the existing values, and being afraid of doing the wrong things. Keywords: interpersonal communication, character education, character of early aged child.
PENDAHULUAN Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi seorang anak untuk tumbuh, belajar dan berkembang. Anak pada usia dini bebas untuk mengeksplorasikan berbagai rasa ingin tahu yang ada dalam pikirannya, dengan bantuan dari lingkungan dan orang tua. Pada usia tersebut bentuk komunikasi mendapat peran yang sentral, artinya keluarga sangat diharapkan peran sertanya sebagai model untuk ditiru oleh anak.
Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003) fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan menyosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Komunikasi antarpribadi menurut Miller dan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
57
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
Steinberg (1975), berkembang dari prediksi hubungan komunikasi non-antarpribadi yang didasari pada data kultural dan data sosiologis kepada prediksi hubungan yang berdasarkan data psikologis. Dalam komunikasi antarpribadi partisipan melepaskan atribut-atribut pribadi dimana masing-masing mencoba berusaha untuk mengerti satu sama lain sebagai individu yang menyangkut keinginan, kebutuhan dan nilai pribadi masing-masing, sehingga hubungan dapat berkembang lebih akrab. Seorang anak yang masih berusia dini belum dapat mengungkapkan perasaannya dengan bahasa yang jelas ketika mereka ditinggal oleh Bapak mereka. Trauma yang anak rasakan lebih diungkapkan dengan bahasa tubuh, seperti sakit atau cengeng. Peran ibu pada anak usia di bawah 5 tahun sangat besar pengaruhnya. Orang tua harus tetap mengasuh dan mendidik anaknya agar dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik. Komunikasi antarpribadi antara orangtua dan anak menjadi penting untuk membentuk karakter anak sesuai dengan pola orangtuanya. Carol Seefeld & Nita Barbour (1986) mengelompokkan perkembangan anak usia dini dalam kategori: (a) bayi (infancy) lahir sampai 1 tahun, (b) toddler 1-3 tahun, (c) prasekolah 3 - 4 tahun, (d) kelas awal Sekolah Dasar 5 – 6 tahu, dan (e) kelas lanjut Sekolah Dasar 7 – 8 tahun. Tahap dari lahir sampai sebelum anak memasuki usia sekolah atau awal sekolah disebut anak usia dini. Periode dari mulai akhir tahun pertama di dalam kehidupan anak sampai dengan anak berusia 5 tahun, kemajuan yang dicapai anak dalam perkembangan sosial dan kognitif cukup pesat (Monks, Knoers, Haditono 1994). Ini menunjukkan bahwa di usia 1- 5 tahun terjadi banyak pertumbuhan kemampuan anak. Anak usia prasekolah umumnya memiliki rasa ingin tahu yang besar, dengan mengajukan pertanyaan terus-menerus. Komunikasi antarpribadi yang dijalankan dalam suatu keluarga akan membentuk karakter anak usia dini sampai kelak dewasa. Dalam tulisan ini mengupas bentuk komunikasi antarpribadi yang biasanya terjadi secara wajar namun tidak dirasakan oleh seseorang bahwa komunikasi tersebut akan membentuk karakter anaknya ketika dewasa. Untuk itu perlu dijabarkan agar dapat menjadi perhatian bagi keluarga dalam mendidik anak-anak dari usia dini. Komunikasi antarpribadi merupakan salah satu bentuk komunikasi antar dua orang atau lebih. 58
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Bentuk komunikasi ini biasa terjadi antarteman, kekasih, suami dan isteri atau orangtua dengan anaknya. Untuk lebih jelasnya perlu diketahui pengertian tentang komunikasi antarpribadi dan hal yang berkaitan dan pengertian keluarga serta anak usia dini. Komunikasi antarpribadi menurut Joseph a Devito (2001) dalam karyanya The Interpersonal Communication Book, menginventarisir berbagai definisi komunikasi antarpribadi dari para ahli teori komunikasi dan secara alami mengklasifikasikannya dalam dua pembagian; definisi berdasarkan hubungan diadik dan pengembangan (development). Dilihat dari sisi hubungan diadik, komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung antar dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas, seperti layaknya hubungan anak dan ayah, pramuniaga dengan pelanggannya dan komunikasi yang berlangsung dalam suatu wawancara. Sementara itu jika dilihat dari sisi pengembangan suatu hubungan, komunikasi antarpribadi diartikan sebagai bentuk ideal terakhir dari perkembangan suatu hubungan komunikasi nonantarpribadi (Devito, 2001). Kecerdasan interpersonal atau antarpribadi termasuk dalam kecerdasan jamak. Lazear (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan yang digunakan untuk berkomunikasi secara verbal dan nonverbal serta kemampuan yang digunakan untuk melihat perbedaan “mood”, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain dengan diri sendiri. Selanjutnya, dalam komunikasi antarpribadi terdapat reduksi ketidakpastian. Untuk mengetahui apa yang diinginkan dan dirasakan oleh anaknya, maka orang tua berusaha untuk mencari informasi. Usaha mencari informasi yang dilakukan orang tua untuk mereduksi ketidakpastian karena ketidaktahuan orangtua membuat dirinya menjadi bingung apa yang harus dilakukan. Menurut Berger (1975) proses reduksi ketidakpastian ada dua. Pertama, proses eksplanasi sebagai atribusi yang retroaktif, yaitu proses yang menginterprestasikan arti tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam suatu hubungan tertentu dan menyiapkan informasi atas dasar interpretasi tersebut untuk dijadikan dasar bagi suatu interaksi di masa mendatang. Kedua, prediksi sebagai atribusi yang proaktif, yaitu memformulasikan atau mendefinisikan pilihan-pilihan perilaku dimana tersedia respon
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
secara luas dan beragam bagi individu-individu yang berinteraksi, jadi mitra bicara sudah menyiapkan formula untuk mengantisipasi perilakunya. Untuk mengurangi ketidakpastian hubungan antara orang tua dan anak biasanya orang tua bertanya langsung kepada sang anak untuk mencari informasi yang sebenarnya atau dengan pengungkapan diri (self disclosure) dari orang tua dan anak. Dalam komunikasi antarpribadi pengungkapan diri (self disclosure) digunakan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan informasi dari orang lain agar kita dapat mempelajari bagaimana perasaan dan pikiran orang lain. Sekali seseorang terlibat self disclosure, berarti juga bahwa orang lain akan membuka informasi personalnya. Hal ini diketahui sebagai norma timbal balik. Dalam hubungan antarpribadi yang berkembang, saling mengungkapkan diri cenderung bersifat timbal balik dan membuat suasana menjadi lebih akrab dari waktu ke waktu. Pengungkapan diri biasanya terjadi di antara dua orang (dyads). Pengungkapan diri terjadi dalam hal sebagai berikut. Pertama, Individu biasanya selektif memilih orang kepada siapa ia mengungkapkan sesuatu mengenai dirinya. Kedua, sahabat yang kita percaya, yang kecil kemungkinan untuk berkhianat. Biasanya laki-laki mengungkapkan dirinya kepada orang yang dia percaya. Perempuan mengungkapkan dirinya kepada orang yang dia merasa simpatik. Ketiga, dalam berinteraksi antara dua orang dalam pengungkapan diri biasanya bersifat simetris. Terjadi keseimbangan antara dua partisipan. Tidak mungkin yang satu bercerita tentang dirinya sedangkan yang lain menampung. Orang biasanya mau mengungkapkan sesuatu kalau dia merasa aman. Keempat, pengungkapan diri menjadi konteks hubungan sosial yang positif, jadi tidak mungkin terjadi pada hubungan sosial yang negatif dimana orang saling mencurigai (Jourard, 1959). Self disclosure yang dilakukan secara tepat bisa menaikkan kesehatan fisik dan mental. Johnson, (1981: dalam Borchers: 2000 : dalam www. Mentalhelp. Net) menyatakan bahwa orang yang melakukan self disclosure lebih self content, lebih adaptif dan kompeten, lebih terbuka, lebih percaya dan mempunyai pandangan yang lebih positif terhadap orang lain daripada orang yang tidak melakukan self disclosure. Namun demikian self disclosure juga memiliki efek yang kurang baik terhadap seseorang. Untuk menjalin suatu komunikasi antarpribadi
yang efektif, self disclosure selayaknya juga dibarengi dengan menerapkan sikap mendengarkan karena dengan mendengarkan, kita memberikan perhatian, memahami, mengevaluasi suatu stimuli yang kita terima (O’Hair, Friedrich, Wieman dan Wieman, 1997). Terdapat resiko dimana orang yang mendengarkan informasi mungkin tidak akan memberikan respon yang menyenangkan terhadap informasi tersebut (Borchers: 2000: dalam www. mentalhelp.net). Self disclosure tidak secara otomatis mengarah pada impresi yang menyenangkan. Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi departemen kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Apabila keluarga gagal, untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Pendidikan keluarga merupakan upaya pemerintah untuk memberdayakan keluarga agar memiliki akses, dan kontrol terhadap berbagai sumber daya termasuk sumber daya ekonomi dan partisipasi lebih besar dalam pembangunan karakter bangsa. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung bahwa keterlibatan keluarga atau orang tua dalam mengembangkan kemampuan akademis anak dan perlilaku sosial anak sangat dibutuhkan. Penelitianpenelitian itu juga memperlihatkan bahwa sekolah dengan metode yang efektif kebanyakan mulai menyadari pentingnya melibatkan orangtua dalam proses akademis di sekolah (Hornby, Garry, 2011). Terdapat syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi yaitu maternal bonding, rasa aman dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding atau kelekatan psikologis dengan ibunya merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
59
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
dia dewasa. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengekslorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif. Tugas utama pendidikan yaitu membangun karakter (character building) seorang anak, dan hal itu dimulai dari sebuah keluarga. Karakter merupakan standar-standar batin yang terimplementasi dalam
berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilainilai tersebut dan terwujud di dalam perilaku. Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara berbeda. Bangsa Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam. Masing-masing budaya memiliki nilai-nilai adi luhur. Transfer nilai-nilai adi luhur yang memiliki karakter baik kepada anak-anak terjadi dalam keluarga. Keragaman budaya merupakan aset bangsa Indonesia yang dapat diambil kearifan lokalnya yang nantinya akan membentuk karakter anak. Penyerapan nilai-nilai budaya yang terjadi mulai dari bayi yang ada di dalam kandungan sudah mulai merasakan perilaku ibunya. Bahkan persiapan mengajar anak untuk berkarakter sudah dilakukan ketika anak masih dalam kandungan. Pendidikan karakter anak tersebut yang dilakukan oleh orangtua dari berbagai macam budaya ini akan menjadi cikal bakal anak yang menghormati orang tua, bersikap santun, jujur, berbahasa halus dan berbudi perkerti yang baik. Modal dasar anak yang sudah berkarakter baik yang dididik dari keluarga baik dan sejahtera akan mempermudah dunia pendidikan mencetak anak-anak yang berkualitas.
PEMBAHASAN
Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan karakter di tengah keluarga. Ketika mayoritas karakter bangsa kuat, positif dan tangguh bisa dipastikan keunggulan dan kemajuan sebuah bangsa merupakan buah yang dapat dirasakan oleh seluruh warga bangsa. Karakter anak terbentuk dari keluarga, terutama dari bagaimana orangtua menyampaikan nilai-nilai moral, kejujuran, agama kepada anak. Penyampaian nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan tentunya dilakukan dengan cara komunikasi yang baik. Orangtua tidak hanya menyampaikan melalui kata-kata tetapi juga memberikan teladan dalam tingkah laku dan juga berusaha mendengarkan apa yang sebenarnya apa yang ada dalam diri anak. Strategi Memperoleh Informasi dalam Usaha Mereduksi Ketidakpastian dalam Berkomunikasi Strategi interaktif merupakan strategi yang baik digunakan orang tua dalam berkomunikasi dengan anaknya. Strategi ini melibatkan interaksi langsung antara orang yang mengamati dalam hal ini orang tua dan target dalam hal ini anak. Strategi
60
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
ini tidak hanya dipakai pada interaksi awal saja tetapi juga pada tahap yang sudah akrab untuk membina hubungan yang harmonis. Dalam kasus interaksi ibu dan anak-anaknya, umumnya menggunakan strategi pencarian informasi yang interaktif sifatnya. Pencari informasi merangkap pula sebagai pengamat partisipan (participant observer). Strategi ini tidak hanya dipakai pada interaksi awal saja tetapi juga pada tahap terjadi eskalasi hubungan yang akrab. Orang tua juga mencari informasi tentang anaknya untuk mendapatkan formula yang tepat mengatasi anaknya di masa datang. Menurut Berger (1975) proses interaktif reduksi ketidakpastian ada dua. Pertama, proses eksplanasi sebagai atribusi yang retroaktif, yaitu proses yang menginterprestasikan arti tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam suatu hubungan tertentu dan menyiapkan informasi atas dasar interpretasi tersebut untuk dijadikan dasar bagi suatu interaksi di masa mendatang. Kedua, prediksi sebagai atribusi yang proaktif, yaitu memformulasikan atau mendefinisikan pilihan-pilihan
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
perilaku dimana tersedia respon secara luas dan beragam bagi individu-individu yang berinteraksi, jadi mitra bicara sudah menyiapkan formula untuk mengantisipasi perilakunya. Orang tua terutama ibu mempunyai cara tersendiri dalam mencari informasi namun, secara umum para ibu mengamati perilaku anaknya sejak mereka lahir. Pencarian informasi oleh ibu dilakukan dengan strategi interaktif. Pencari informasi merangkap sebagai pengamat yang terlibat. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak-anak diinterpretasikan oleh ibu yang kemudian disiapkan sebagai bahan informasi. Pengalaman interaksi yang sudah dilakukan antara orang tua dan anaknya dapat dijadikan dasar menyiapkan formula untuk mengantisipasi perilaku. Jika anak mereka tidak mau makan, maka ibunya juga berusaha mencari informasi kepada anak mengapa tidak mau makan. Perilaku mencari informasi ibu terhadap anak merupakan usaha mereduksi ketidakpastian ibu agar dapat mencari solusi untuk mengatasi keadaan jika anaknya tidak mau makan. Salah satu strategi yang digunakan dalam strategi interaktif untuk usaha pencarian informasi dari pihak lain adalah pengungkapan diri (self disclosure). Berkaitan dengan pencarian informasi, pengungkapan diri (self disclosure) adalah cara yang paling sering digunakan orang tua kepada anaknya atau sebaliknya. Self disclosure adalah cara untuk memperoleh informasi tentang orang lain, dengan begitu kita dapat mempelajari bagaimana perasaan dan pikiran orang lain. Sekali seseorang terlibat self disclosure, berarti juga bahwa orang lain akan membuka informasi personalnya. Hal ini diketahui sebagai norma timbal balik. Dalam hubungan antarpribadi yang berkembang, saling mengungkapkan diri cenderung bersifat timbal balik dan membuat suasana menjadi lebih akrab dari waktu ke waktu (Jourard:1959). Orang tua memiliki strategi yang berbeda dalam memberi penjelasan terhadap anak-anak tentang apa yang terjadi dalam keluarga maupun tentang suatu keadaan dalam arti mengajarkan kejujuran. Pengungkapan tentang keadaan seperti pekerjaan bapak, pekerjaan ibunya, siapa kakek dan nenek, diungkapkan secara jelas kepada anak-anak dilakukan oleh ibu sebagai strategi agar anak-anak dapat mengerti keadaan yang sebenarnya. Informasi dari pengungkapan keadaan diri orang tua tentu diperlukan oleh anak-anak agar
mereka tidak merasa ada hal yang disembunyikan dan akan menjadi masalah di kemudian hari. Ibu sebagai orang tua merupakan faktor penting dalam mendidik anak, karena perempuan mempunyai peran stratergis dalam menanamkan nilai-nilai moralitas yang membekali pertumbuhan karakter anak. Self disclosure yang dilakukan secara tepat bisa menaikkan kesehatan fisik dan mental. Johnson, (1981: dalam Borchers: 2000 : dalam www.mentalhelp.net) menyatakan bahwa orang yang melakukan self disclosure lebih self content, lebih adaptif dan kompeten, lebih terbuka, lebih percaya dan mempunyai pandangan yang lebih positif terhadap orang lain daripada orang yang tidak melakukan self disclosure. Namun demikian self disclosure juga memiliki efek yang kurang baik terhadap seseorang. Anak usia dini yang masih berumur antara 2 – 5 tahun, belum paham mengapa seseorang meninggal atau harus berpisah (cerai). Berdasarkan penelitian Meni Handayani, terdapat kasus pada dua orang anak usia dini kakak dan adik. Pada saat Bapaknya meninggal sang kakak berumur 5 tahun dan adiknya berumur 2 tahun. “Ayah kenapa ma? Ayah sudah gak ada “jawab mamanya…” mendengar hal tersebut anak menjadi bingung karena kenyataannya Bapaknya masih ada terbaring di hadapannya. Setelah Ibu menjelaskan kalau Bapaknya sudah meninggal dan tidak bisa bangun lagi, maka sang anak menjadi ketakutan. Reaksi anak terhadap keterbukaan Ibu adalah anak menjadi sakit panas beberapa hari (2005). Jika kenyataan tentang kematian dalam hal ini kematian seorang Bapak tidak diberitahukan secara terbuka pada saat yang tepat maka anak juga akan merasa bingung mencari sosok Bapaknya yang biasanya selalu berada disisinya. Rasa kehilangan yang tidak jelas pada sang anak mengakibatkan anak selalu menunggu dan anak menjadi sering menangis tanpa sebab yang jelas. Oleh karena itu, self disclosure yang dilakukan secara tepat antara orangtua tunggal dan anak dapat memberikan ketenangan batin pada keduanya. Untuk menjalin suatu komunikasi antarpribadi yang efektif antara orangtua dan anak maka self disclosure juga diikuti dengan menerapkan sikap mendengarkan karena mendengarkan dapat berarti memberikan perhatian, memahami, mengevaluasi suatu stimuli yang kita terima. Artinya dalam mendidik anak berkaitan dengan komunikasi, penting
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
61
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
sekali mendengarkan perasaan, karena apa yang dirasakan oleh orang lain, jauh lebih bermakna dan mempengaruhi apa yang dilakukannya daripada yang dipikirkan. Di sini ada hubungan yang saling, anak mengungkapkan perasaannya dan orangtua mendengarkan, begitu pula sebaliknya. Pendidikan yang dapat diambil dari komunikasi antarpribadi ini adalah saling menghargai, jujur, terbuka tapi pada orang yang tepat dan dapat dipercaya. Hasil dari komunikasi tersebut adalah rasa bahagia, percaya diri dan menempatkan keluarga sebagai tempat mencari solusi dalam menyelesaikan masalah. Hal ini dapat menghindarkan anak dari pemecahan solusi yang tidak tepat dan salah bergaul yang arahnya kepada pemakaian obat terlarang dan pelarian ke arah negatif seperti nakal yang berlebihan untuk mencari perhatian. Selain komunikasi verbal, juga terdapat komunikasi yang bersifat nonverbal seperti mengelus dan memeluk. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibunya yang sangat perhatian pada anaknya yang berusia di bawah enam bulan (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong dan berbicara pada anaknya) akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengksplorasi lingkungan dan menjadikannya anak yang kreatif (Direktorat Dikmas, 2011). Strategi Komunikasi dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Keterlibatan orangtua/keluarga terhadap pengasuhan anak yang komprehensif dijelaskan oleh Apstein (2001) dalam Patmonodewo, bahwa ada 6 (enam) tipe keterlibatan dalam pengasuhan dan pendidikan anak, yaitu melibatkan unsur(1) pengasuhan, (2) komunikasi, (3) sukarela, (4) belajar di rumah, (5) pengambilan keputusan, dan (6) bekerjasama dengan masyarakat. Dalam hal komunikasi maka tujuannya adalah merancang bentuk yang efektif komunikasi antarkeluarga dengan tempat dimana anak mengikuti kegiatan pendidikan /pengasuhan. Terdapat Paterns of Communicative Control (PCC) atau pola kontrol komunikasi yang merupakan suatu cara tersendiri dalam beraksi terhadap sesuatu yang ia terima dari komunikator lainnya (Miller & 62
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
Steinberg, 1975). Pola kontrol komunikasi ini dapat digunakan sebagai strategi untuk pencapaian keinginan. Terdapat lima pola dalam kontrol komunikasi yaitu: (1) dangling carrot atau teknik pemberian imbalan yang bertujuan untuk mengubah tingkatan atau arah perilaku seseorang; (2) hanging sword atau strategi menghukum; (3) catalyst technique, yaitu suatu teknik di mana sumber menyarankan penerima untuk bekerjasama yaitu bersikap dalam suatu cara tertentu demi kepentingannya sendiri. Strategi ini digunakan agar individu berkelakuan dalam rangka memperkuat diri (self reinforcing) tanpa langsung memberi hadiah atau menghukumnya; (4) siamese twin strategy, yaitu suatu strategi yang dapat dijalankan pada dua orang yang memang sudah memiliki hubungan dekat dan saling memiliki ketergantungan dan memiliki kekuasaan yang sama dengan cara saling menghargai atau bahkan salah satunya dapat mengambil keuntungan dari yang lain karena menyadari bahwa keterikatan hubungan itu sangat tinggi; dan (5) fairyland strategy, yaitu cenderung mengabaikan respon yang tidak diinginkan dengan memberinya suatu arti positif, dengan kata lain strategi ini menghasilkan suatu kontrol ilusi daripada kontrol yang nyata. Ada perbedaan antara mengajar dan mendidik. Mengajar itu menyangkut proses penyampaian ilmu pengetahuan, sedangkan mendidik menyangkut proses pembentukan manusia secara keseluruhan (Drost, 1998). Mengajar menjadi tugas sekolah sedangkan mendidik menjadi kewajiban orantu tua dan masyarkat di dalam komunitas. Menurut Drost bahwa pembentukan watak anak merupakan bagian pendidikan yang tidak boleh diserahkan orangtua kepada instansi lain. Seharusnya pemeran utama di dalam pendidikan adalah orangtua. Kecenderungan orang tua saat ini sibuk mengurusi pekerjaan sehingga pendidikan untuk anak diserahkan kepada asisten rumah tangga. Sekolah menjadi tempat satu-satunya untuk mendidik anak sehingga sekolah merasa berat bila diserahkan untuk mendidik anak sepenuhnya. Peran mendidik seharusnya dipegang oleh orangtua, baru kemudian pendidikan di sekolah menegaskan, memperkuat dan meluruskan pendidikan yang sudah terbentuk di rumah. Pembentukan Karakter Karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
hasil dari proses. Dengan demikian pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika rasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya, sehingga ia dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan. Tujuan pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter adalah kebebasan dan otentisitas individu agar menjadi pribadi yang mampu mengembangkan tanggung jawab moral integral dalam membangun harmoni kehidupan bersama serta berbangsa dan bernegara. Terdapat enam jenis karakter yang dapat dibentuk, yaitu: (1) trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas, jujur dan loyal; (2) fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain; (3) caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi lingkungan sekitas; (4) respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain; (5) citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar; serta (6) responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggungjawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin (Chrisiana, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Heni (2011), karakter tidak dapat tumbuh sendiri tanpa pembinaan dan mentor yang berperan mengarahkan serta memberi contoh yang baik dan karakter tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui proses, dibentuk dan ditumbuhkembangkan. Karakter yang terbentuk dari bawaan karena latar belakang budaya sang anak dibentuk dari keluarga dan masyarakat, maka harusnya masyarakat diberi kesempatan untuk memiliki pendidikan apa yang dibutuhkan, bukan pendidikan nasional yang di homogenkan. Jadi, anak bisa berkembang sesuai
dengan karakter akar budayanya. Pendidikan yang bersifat universal dapat dibuat seragam dalam pendidikan namun budaya adi luhur yang bersifat kearifan lokal sudah selayaknya untuk dipelihara, misalnya kebersamaan dalam keluarga, rasa malu bila melanggar norma yang berlaku, takut jika berbuat salah dan mencintai keluarga besar. Orang tua dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar dari kecil akan mengajarkan nilainilai budaya yang luhur yang didapatkan dari ayah ibunya kepada anak-anaknya. Begitu terus-menerus nilai-nilai adi luhur diturunkan secara turun-temurun. Setiap komunitas pada dasarnya menjalankan pendidikan dalam rangka keberlangsungan komunitas tersebut. Pendidikan komunitas bertujuan mengembangkan tata cara dan karakter komunitas tersebut (Aant, 2015). Pendidikan komunitas yang cikal bakalnya ada dalam keluarga, tidak harus berupa institusi yang formal, justru peran utamanya ada pada keluarga. Usia yang paling cepat menangkap dan meniru semua sikap dan perilaku serta nilai-nilai keluhuran ditanamkan sejak anak ada dalam kandungan sampai usia masih dini. Karakter anak dapat terbentuk dari pasangan ayah dan ibu yang berkarakter pula. Pendidikan mulai dari ayah dan ibu menikah sudah siap menjadi orang tua yang kelak memiliki anak yang diasuh sesuai dengan akar budaya ayah ibunya. Seperti halnya yang disampaikan oleh Idris bahwa ada beberapa cara yang dilakukan oleh keluarga dalam membangun karakter anak antara lain membangun kejujuran, penanaman nilai-nilai agama, keikhlasan beribadah, beraktivitas, peduli sesama, dan kebersamaan. Selain memperkuat pendidikan dalam keluarga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melakukan kerjasama dengan media televisi untuk mengurangi siaran yang dapat memperlemah moral, kejujuran atau toleransi antar sesama (2014). Karakter dapat ditumbuhkan sejak anak usia dini. Penanaman dan penumbuhan karakter paling efektif melalui proses komunikasi dan teladan dari orangtua kepada anaknya.
PENUTUP Penyampaian pesan dengan cara berkomunikasi antara orangtua dan anak usia dini penting dilakukan untuk membentuk karakternya setelah dewasa. Cara bicara, menyampaikan informasi, mencari tahu apa yang diinginkan anak,
mencari tahu apa yang dirasakan anak perlu dilakukan dengan berkomunikasi agar ditemukan formula yan cocok untuk tindakan selanjutnya. Berkomunikasi juga memerlukan strategi untuk mencapai apa yang kita inginkan. Jika selama ini orangtua berkomunikasi,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
63
Peran Komunikasi Antarpribadi ...
dengan cara tidak sengaja juga menanamkan karakter melalui komunikasi tersebut. Setelah tahu bahwa komunikasi antarpribadi merupakan proses dalam menanamkan karakter kepada anak usia dini, maka segala bentuk komunikasi orangtua dan anak perlu direncanakan agar sesuai dengan yang diharapkan dalam mencapai tujuan membentuk karakter anak. Komunikasi antarpribadi tidak hanya dilakukan dengan kata-kata untuk menanamkan kejujuran, nilai moral dan agama tetapi juga dalam bentuk perilaku atau teladan serta tindakan yang menunjukkan kasih sayang
kepada anak seperti mengelus, menggendong dan menepuk untuk memberikan motivasi kepada anak. Karakter yang terbentuk dari bawaan karena latar belakang budaya sang anak dibentuk dari keluarga. Jadi, anak bisa berkembang sesuai dengan karakter akar budayanya. Pendidikan yang bersifat universal dapat dibuat seragam dalam pendidikan namun budaya adi luhur yang bersifat kearifan lokal sudah selayaknya untuk dipelihara, misalnya kebersamaan dalam keluarga, rasa malu bila melanggar norma yang berlaku, takut jika berbuat salah dan mencintai keluarga besar.
DAFTAR PUSTAKA Subhansyah, A. (2015). Komunitas bawa cara, sekolah bawa tata, antropologi pendidikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Seefeld, C., & Barbour, N. (1986). Early childhood education: An introduction. Merril Publishing company: Toronto. Chrisiana, W. (2005). Upaya penerapan pendidikan karakter bagi mahasiswa (studi kasus di jurusan teknik industri uk petra). Jurnal Teknik Indurstri Vol.7, No.1, Juni 2005: 83-90 Handayani, M. (2005). Interaksi komunikasi keluarga orang tua tunggal dalam konteks komunikasi antarpribadi (Studi kasus orang tua tunggal ibu yang memiliki anak usia dini di DKI Jakarta). Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan Waluyo, H. (2011). Pendidikan karakter: Apa, dan bagaimana implementasinya di satuan pendidikan. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Volume 4 tahun ke-2. April. Halaman 501. Hornby, G. (2011). Parental involvment in childhood
64
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 1, Juni 2016
education, spreanger and he. Christchurch: University of Canterbury. Noor, I.H.M. (2014). Reduksi nilai moral, budaya dan agama terhadap implementasi pendidikan karakter di sekolah. Volume 9 No.2 Desember 2014. Halaman 154. Jourard, S.M. (1959). Self-disclosure and orther cathexis. Journal of Abnormal and Social Psychology. Megawangi, R. (2003). Pendidikan karakter untuk membangun masyarakat madani. Depok: IPPK Indonesia Heritage Foundation. Miller, G.R.,& Steinberg, M. (1975). Between people a new analysis of interpersonal communication. Chicago: Science Research Associater. Patmonodewo, M. (2010). Pengembangan pendidikan anak usia dini jalur informal melalui pendidikan keluarga. Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini Vol.9, No.2, Juni. Monk., F.J., Knoers, A.M.P.,& Haditono, S.R. (1994). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. O’Hair, Friederich, Wieman.,& Wieman (1997). Competent communication. New York: St. Martin’s Press Inc.
PETUNJUK PENULISAN 1. Persyaratan Naskah
Naskah yang dikirimkan kepada editor dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang merupakan gagasan/karya tulis asli, belum pernah diterbitkan, tidak sedang dipertimbangkan untuk dimuat di media, jurnal, atau majalah lain baik nasional maupun internasional, dan belum pernah dikirim ke media cetak lain. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak mengandung unsur plagiarisme atau pelanggaran etika akademik lainnya. Setiap pelanggaran sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
2. Ragam Naskah
Naskah dapat berupa hasil hasil penelitian, kajian kepustakaan/literatur, kajian empiris, studi kasus, evaluasi, kajian kebijakan, isu-isu mutakhir pendidikan, atau resensi buku. Naskah dapat berupa pengembangan dari skripsi, tesis, disertasi, atau penelitian lain.
3. Stuktur Naskah
a. Judul: Menggambarkan isi naskah yang disajikan secara singkat dan padat, tidak terlalu spesifik/ sempit, tetapi juga tidak terlalu umum, dengan panjang paling banyak 14 kata. b. Identitas Penulis: Nama penulis ditulis secara lengkap, tanpa gelar, alamat e-mail, serta nama dan institusi/ lembaga. Apabila penulis naskah lebih dari satu orang, alamat email yang dicantumkan adalah alamat penulis utama yang disebutkan pada urutan terdepan nama penulis. c. Abstrak: bersifat informatif berisi latar belakang, masalah, tujuan, metode, tempat dan waktu penelitian, hasil dan saran. Abstrak ditulis secara singkat tanpa memuat rumus/ perhitungan statistik, dengan panjang antara 150-250 kata dan disusun dalam satu paragraf, serta dilengkapi dengan paling sedikit tiga kata kunci yang merupakan konsep penting dalam naskah. Judul dan abstrak ditulis dalam versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. d. Pendahuluan: berisi latar belakang dan rumusan masalah, manfaat penelitian, serta kajian pustaka/ teori tanpa menggunakan subjudul. Isi pendahuluan tidak melebihi 20% dari keseluruhan tulisan. e. Metode Penelitian: berisi jenis, tempat dan waktu, serta prosedur penelitian (sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data). f. Hasil dan Pembahasan: mencakup hasil/ data kualitatif dan/atau kuantitatif yang diikuti dengan pembahasan serta implikasi. g. Penutup: terdiri atas (a) kesimpulan temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan, dan (b) saran. Kesimpulan dan saran disajikan dalam bentuk paragraf. i. Perujukan dan Pengutipan: menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Contoh: (Sitepu, 2014) h. Daftar Pustaka: hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Jumlah pustaka yang diacu untuk hasil penelitian paling sedikit 10 pustaka dan untuk hasil kajian paling sedikit 25 pustaka. Contoh penulisan daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini, diurutkan secara alfabetis dan kronologis: Buku: Januszewski, A.,& Molenda, M. (2008). Educational technology: A definition with commentary. New York: Routledge. Newby, T. J., et.al. (2010). Educational technology for teaching and learning (4th ed). London: Pearson Buku elektronik: Niemann, S., Greenstein, D., & David, D. (2004). Helping children who are deaf: Family and community support for children who do not hear well. Diakses dari http://www.hesperian.org/ publications_download_deaf.php Buku kumpulan artikel: Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). (2002). Menulis artikel untuk jurnal ilmiah (edisi ke-4, cetakan ke-1). Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Russel, T. (1998). An alternative conception: representing representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (Eds.), Children’s Informal Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge. Artikel dalam jurnal atau majalah: Sadid, A. (2014). Model desa terpadu PAUDNI mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Jurnal VISI PPTK-PAUDNI, 9 (1), 56-67.
Artikel dalam koran elektronik: Maruli, A. (November, 2013). Pemerintah alokasikan Rp 2,40 triliun untuk paud nonformal dan informal. Antaranews.com. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/405210/pemerintahalokasikan-rp-240-triliun-untuk-paud-nonformal-dan-informal pada tanggal 10 Desember 2013. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Wanita kelas bawah lebih mandiri. (2010, 22 April). Kompas, p. 3 Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1978). Pedoman penulisan laporan penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: PT Armas Duta Jaya. Buku terjemahan: Zainu, M. (2010). Solusi pendidikan anak masa kini. (Syarif Hade, penterjemah). Jakarta: Mustaqiim Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Septiani, M. (2015). Pengalaman pusat kegiatan belajar masyarakat dalam memfasilitasi masyarakat Jakarta Utara belajar sepanjang hayat: Sebuah studi fenomenologi di Jakarta Utara. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: PPS UNJ. Internet (artikel dalam jurnal online): Johns, E., & Mewhort, D. (2009). Test sequence priming in recognition memory. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory and Cognition, 35, 1162-1174. doi: 10.1037/a0016372
4. Fisik Naskah
Naskah diketik dengan format A4, menggunakan jenis huruf Arial ukuran 10 point dengan spasi 1,5. Panjang naskah berkisar antara 4000-10.000 kata yang diserahkan kepada editor dalam bentuk soft copy (CD) dan hard copy/ print out. Tabel diberi nomor secara berurut dan diberikan judul secara singkat, diletakan di atas tabel dan diketik menggunakan huruf kapital pada setiap awal kata. Gambar, termasuk grafik, bagan, diagram, peta, foto, atau sketsa diberikan nomor secara berurut dengan penjelasan dan diletakan di bawah gambar. Berikut ini adalah contoh penulisan tabel dan gambar.
Tabel 1. Persentase Mahasiswa Yang Memiliki Peralatan TIK No
Peralatan TIK
Persen (%)
1
Komputer pribadi (PC)
11.8
2
Laptop
32.2
3
Tablet
7.5
4
iPod touch
1.5
5
Telepon
10.3
6
Handphone
36.7
Gambar 1. Persentase mahasiswa yang memiliki peralatan TIK
5. Penyerahan Naskah.
Naskah dalam bentuk hard copy dan compact disk (CD) dikirim ke Redaksi Jurnal VISI PPTK PAUDNI UNJ, Kampus A UNJ Gd. Daksinapati, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur, 13220. Soft copy naskah dapat dikirim ke E-mail:
[email protected]. Editor hanya menerima dan mempertimbangkan naskah yang memenuhi syarat seperti yang tertera di atas. Penulis tidak dikenakan biaya submisi dan Redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan kepada penulis naskah yang tidak dimuat.
6. Telaahan Naskah
Naskah yang dinyatakan lolos dari seleksi pendahuluan dikirimkan kepada satu atau dua orang blind reviewer (penelaah tidak tahu nama penulis dan sebaliknya) untuk ditelaah kemungkinan penerbitannya. Penulis berkewajiban memperbaiki (bila perlu) naskah sesuai dengan saran penelaah sebagai syarat untuk penerbitan sebuah artikel.