Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
PELAKSANAAN MANAJEMEN SUMBERDAYA AIRTANAH METODE SUMUR RESAPAN UNTUK KONSERVASI AIRTANAH PADA AKIFER DANGKAL (SHALLOW AQUIFER) DI WILAYAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA Bambang Sutedjo HS, Isrofah Isnaeni Nugroho
ABSTRACT Development of physical build progress at DKI Jakarta area is increase pass by increase all the sector to make changes fungtion of landform like than forest fungtion, farms fungtion make real estate area, hotels and industries area. And than recharge area to decrease that is all, maked to changes of hydrology cycle is that decrease water rainfall to infiltrated to increase of runoff water. Hydrology and some factor to affected groundwater static water level at the shallow aquifer and value of infiltration capacity, and rainfall at The DKI Jakarta area, to make total artificial recharge to be needed of conservation methode at shallow aquifer. Lower plain of Jakarta Coastal added at North part of West Java, with has spread from West part of Java to East following North Coastal from West Java until Cirebon City, with wide plus minus 40 Km. In the regional North Coatal plain added with some high area and sub – basin. Jakarta area is a part sedimentation sub – basin and they call of Ciputat sub – basin, the West part this basin bodered by Tangerang High, at the East part by Rengasdengklok High and at the South part gradational to Bogor Antikinorium. Generally of DKI Jakarta area has to investigation by Soekardi (1985(, Nippon Koei et. Al (Cisadane River Basin Development Feassibility / CRBDFS, 1987), with to make differeanted of Jakarta Groundwater Basin to four part that is Coastal area are North of Tangerang – Jakarta – Bekasi, , Terraces area at the central art basin, the Tertiary bedrock with small production and volcano slope area of Salak and Pangrango. Thickness of Quartenary sediment in the Central Basin to interpretative than 250 meters until 300 meters, and less thickness to South West – South – South East from Jakarta about 25 meters to 50 meters (Warsito, 1985), because closed by contack with Tertisru sediments. From the analysis are finally of infiltration capacity (after balanced point) at the DKI Jakarta area is variatiun. Finally of infiltration capacity is lower value (0,01 Cm/ minutes) they are at the location two, three, four, and the higher (1,98 Cm / minutes) at the location 71. Perbandingan of smaller value and higher value is 198. In the geography position higher value at the South part, and smaller value at the North part.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
1. LATAR BELAKANG Air merupakan salah satu sumber daya alam yang ada di bumi, merupakan sumber daya alam yang bisa terbarukan (Renewable) dan berperan sangat vital didalam pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan, termasuk didalamnya keperluan penunjang kehidupan mahluk hidup di dunia (termasuk manusia terutama). Air yang berada di wilayah jenuh di bawah permukaan tanah di lingkungan akademik disebut airtanah. Sedangkan untuk lingkungan birokrat pemerintahan di Indonesia, sesuai dengan Kepmen ESDM No. 1451 Tahun 2000, disebut sebagai air bawah tanah. Saat ini kebutuhan akan airtanah semakin meningkat selaras dengan bertambahnya waktu dan meningkatnya pertumbuhan penduduk serta pesatnya kemajuan teknologi, sehingga airtanah menjadi barang yang bernilai ekonomis dan dapat diperdagangkan. Mengingat peranan airtanah yang semakin strategis maka pengambilan airtanah harus memperhatikan kesinambungan dan kelestariannya sehingga perlu adanya pengelolaan pengambilan airtanah. Perkembangan pembangunan Wilayah DKI Jakarta yang terus meningkat seiring dengan lajunya pembangunan dalam segala sektor maka akan terjadi alih fungsi lahan seperti dari fungsi hutan, perkebunan, dan persawahan menjadi kawasan permukiman, perdagangan, perhotelan atau kawasan industri. Dengan demikian daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan (recharge area) akan berkurang luasnya. Dari sisi hidrologi, hal demikian akan menimbulkan perubahan siklus hidrologi yaitu berkurangnya air hujan yang meresap ke dalam tanah sehingga meningkatkan limpasan air permukaan. Penyediaan air bersih untuk permukiman, industri, dan kebutuhan sehari–hari masyarakat sudah menjadi masalah besar untuk Wilayah DKI Jakarta karena keterbatasan PDAM yang hanya dapat melayani ± 40% kebutuhan air bersih untuk Wilayah DKI. Maka sebagian besar (± 60%) penduduk Jakarta memenuhi kebutuhan air bersih dengan mengambil dari airtanah, akan tetapi kondisi airtanah dalam (deep groundwater) pada saat ini sudah cukup memprihatinkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini terungkap dari hasil para peneliti terdahulu yang menyatakan bahwa muka airtanah terus menurun dari tahun ke tahun di Wilayah DKI Jakarta akibat dari pengambilan airtanah yang tidak terkontrol sehingga berpengaruh terhadap kondisi muka airtanah dangkal (shallow groundwater). Airtanah yang terdapat dalam akifer dapat diperbaharui (renewable) namun proses pengisian akifer oleh air hujan memerlukan waktu yang cukup lama dengan pelaksanaan majemen dan system kontrol yang akurat. Hal ini ditambah dengan perubahan fungsi lahan yang mengakibatkan berkurangnya daerah resapan airtanah. Berdasarkan kenyataan ini perlu adanya penanganan lebih lanjut dengan cara konservasi untuk menjamin ketersediaan airtanah dan pemanfaatannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kuantitas dan kualitas dari airtanah. Dalam konservasi airtanah hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai jumlah resapan air terutama air hujan yang masuk ke dalam lapisan batuan penyimpan air (aquifer). Dengan mengetahui jumlah resapan air maka akan dapat diketahui volume airtanah angbtersimpan dalam akifer (volume storage), sehingga dapat ditentukan jumlah airtanah yang dapat diambil tanpa merusak lingkungan Pengambilan airtanah yang berlebihan akan
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
mengakibatkan dampak negatif yang berupa penurunan muka airtanah, intrusi air laut dan amblesan tanah (subsidence). Suatu upaya konservasi airtanah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengisian airtanah ke dalam akifer salah satunya melalui teknologi sumur resapan. Sumur resapan yang akan diisi oleh air hujan sebagai bahan bakunya, akan memiliki kapasitas penampungan yang sangat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan dan luas atap bangunan, sedangkan pengosongan sangat tergantung kepada kelulusan akifer. Konservasi airtanah dengan membuat sumur resapan merupakan salah satu pilihan yang tepat digunakan di Wilayah DKI Jakarta saat ini, terutama ditujukan untuk akifer dangkal. Karena dapat dimasyarakatkan dengan mudah, dan tidak memerlukan lahan yang luas. Keberadaan sumur resapan otomatis akan meningkatkan muka airtanah pada akifer dangkal ((shallow groundwater). Dari data hidrogeologi dan berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi muka airtanah pada akifer dangkal, serta nilai laju resapan dan curah hujan di Wilayah DKI Jakarta, maka dapat ditentukan jumlah sumur resapan yang dibutuhkan sebagai salah satu metode konservasi airtanah pada akifer dangkal (shallo aquifer). Hal ini terutama ditujukan untuk sistem konservasi volume airtanahnya, sehingga dapat ditentukan kuantitas volume pengambilan dengan tetap mempertahankan keseimbangan antara volme water discharge dengan water recharge. Sehingga keseimbangan alaminya tetap bertahan, otomatis sifat renewable dari airtanahnya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Konotasi selanjutnya bahwa silkus hidrologi yang terdapat di Wilayah DKI Jakarta tetap berlangsung secara alamiah.
2. 2.1.
HIDROGEOLOGI WILAYAH DKI JAKARTA. Iklim
Wilayah DKI Jakarta memiliki iklim tropis, dimana perbedaan suhu antara siang 0 0 dan malam hari tidak mencolok, kisaran temperaturnya adalah antara 25 – 32 0 0 C, dengan suhu rata – rata tahunan antara 25,5 – 27,2 C. Kelembaban udara sangat tinggi, berkisar antara 77% (88,30). Curah hujan tahunan berkisar antara 1762 mm – 2195 mm/tahun (IWACO, 1994). Potensi evapotranspirasi berkisar antara 4,4 – 5,5 mm/hari (BMG, 1973), dengan rata – rata pertahun sebesar 1200 mm – 1600 mm (Arifun, 1991). Kecepatan angin berdasarkan data BMG (1973) berkisar antara 1,9 – 2,6 knot, dengan pancaran sinar matahari 60% - 69%. Mengacu pada DGTL (1996), yang merujuk kepada penelitian yang telah dilakukan IWACO (1994) dan Arifun (1991), diperkirakan jumlah air hujan yang meresap dan mengalir dipermukaan sekitar 25 – 30 % dari curah hujan tahunan. Secara umum hidrogeologi Wilayah DKI Jakarta telah diselidiki oleh Soekardi (1986) dan kemudian oleh Nippon Koei et al (Cisadane River Basin Development Feasibility / CRBDFS, (1987) dengan membagi Cekungan Airtanah Jakarta menjadi empat bagian, yaitu : wilayah dataran pantai meliputi Utara Tangerang – Jakarta – Bekasi, wilayah undak/terrace menempati bagian tengah cekungan, wilayah batuan dasar Tersier kedap air/produktif kecil dan wilayah lereng gunungapi Salak dan Pangrango.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Wilayah dataran pantai dan undak / terrace, merupakan daerah dengan aliran airtanah pada akifer melalui ruang antar butir, debit sumur umumnya 5 liter/detik, terkadang bisa mencapai lebih dari 5 liter/detik terutama terdapat di Wilayah DKI Jakarta. Wilayah lereng gunungapi Salak dan Pangrango, merupakan daerah dengan aliran pada akifer melalui celahan dan ruang antar butir, debit sumur umumnya kurang dari 5 liter/detik. Sedangkan wilayah batuan dasar Tersier kedap air atau akifer dengan produktif kecil. 2.2.
Cekungan Airtanah Jakarta
Pengertian cekungan airtanah adalah endapan batuan yang mempunyai lapisan akifer dan mampu menghasilkan airtanah yang dibatasi oleh endapan kedap air (impermeable) baik pada bagian tepi ataupun bawahnya. Penamaan cekungan airtanah di Wilayah DKI ada;ah wilayah yang dibentuk oleh endapan Kuarter, hal ini pertama kali dikemukakan oleh Koesoemadinata (1963) dengan nama Cekungan Artosis Jakarta Gambar ).. Kemudian Soekardi dan Purbohadiwidjojo (1975) menyebutnya sebagai Cekungan Artosis yang merupakan sebagian dari Cekungan Artosis di Jawa Barat Utara. Patty (1978) (dalam Hehanusa, 1986) menamakannya Cekungan Jakarta. Soenarto dan Widjaja (1985) menyebutnya dengan nama Cekungan Airtanah Jakarta dan Runtiarko (1993) menamakannya Cekungan Jakarta. Kemudian Maathuis (1996) kembali menyebutnya Cekungan Airtanah Jakarta, dan untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut Cekungan Airtanah Jakarta. Batas cekungan dapat ditentukan dengan menggunakan peta geologi dan data pemboran yang berada di sekitar Dataran Jakarta. Koesoemadinata (1963) menarik batas cekungan bagian Barat mulai dari Parungpanjang – Curug – Tangerang terus ke Utara, dibagian Timur mulai dari G. Kromong – Jatiwangi – Indramayu dan terus ke Utara. Soekardi dan Purbohadiwidjojo (1975) menarik batas mulai dari Tangerang –Parung – Depok dan terus ke arah Cikarang dibagian Timur, sedangkan Maathuis (1996) menarik garis batas cekungan mulai dari Kamal – Pedongkelan – Serpong – S.Cisadane – Bogor – Cibinong – Cileungsi – Bekasi hingga muara Bekasi. Penarikan garis batas cekungan dibagian Selatan didasarkan pada adanya kontak endapan Kuarter dengan singkapan batuan sedimen Tersier. Ketebalan endapan Kuarter dalam Cekungan Airtanah Jakarta diduga lebih dari 250 meter dibagian tengah cekungan dan makin menipis ke arah batas cekungan (Koesoemadinata, 1963) sedangkan Soekardi dan Purbohadiwidjojo (1975) menafsirkan antara 250 meter hingga 300 meter dan makin tipis ke arah Baratdaya –Selatan - Tengara dari Jakarta antara 25 hingga 50 meter (Warsito, 1985) karena mendekati kontak dengan singkapan batuan sedimen Tersier. 2.3.
Kelompok Akifer di Wilayah Cekungan Jakarta
Koesoemadinata (1963) pertama kali mengemukakan adanya pengelompokkan lapisan akifer pada kedalaman 40 hingga 60 meter, 80 hingga 130 meter dan seterusnya, kemudian Soekardi dan Purbohadiwidjojo (1975) mengelompokkan akifer Cekungan Airtanah Jakarta menjadi empat, yaitu : 0 – 60 meter airtanah bukan artois, 60 – 150 meter, 150 – 225 meter dan lebih dari 225 meter adalah airtanah artois. Pengelompokkan ini dikoreksi kembali oleh Soekardi (1982, dalam Soekardi 1986) menjadi tiga bagian yaitu : Akifer tak tertekan (unconfined aquifer), Akifer
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
ini terdapat pada kedalaman 0 – 40 meter, akifer tertekan atas (confined aquifer), akifer ini terdapat pada kedalaman 40 – 140 meter, akifer tertekan bawah (confined aquifer), akifer ini terdapat pada kedalaman 140 – 250 meter. Sedangkan Dinas Pertambangan DKI Jakarta dan P3G (1995) mengajukan sistem pengelompokkan akifer yang terbaru berdasarkan siklus pengendapan menjadi 8 sistem akifer, yaitu :
Sebaran pembentuk akifer I, sebagai siklus pengendapan pertama. Sebaran pembentuk akifer II, sebagai siklus pengendapan kedua. Sebaran pembentuk akifer III, sebagai siklus pengendapan ketiga. Sebaran pembentuk akifer IV, sebagai siklus pengendapan keempat. Sebaran pembentuk akifer V, sebagai siklus pengendapan kelima. Sebaran pembentuk akifer VI, sebagai siklus pengendapan keenam. Sebaran pembentuk akifer VII, sebagai siklus pengendapan ketujuh. Sebaran pembentuk akifer VIII, sebagai siklus pengendapan terakhir (Resen).
Adapun kolom hidrostratigrafi Cekungan Airtanah Jakarta adalah sebagai berikut
Gambar 1. Hidrostratigrafi Cekungan Airtanah Jakarta (Fachri, 2002)
2.4.
Arah Aliran Airtanah
Secara umum airtanah mengalir dari Selatan ke Utara dengan landaian hidrolika yang bergradasi makin kecil. Airtanah mengalir dari daerah yang lebih tinggi menuju ke daerah yang lebih rendah. Aliran airtanah dikenal dengan Hidrolika dalam media porous, karena airtanah mengalir di antara atau di sela-sela butiran tanah yang sekaligus sebagai media. Ditinjau dari kondisi geomorfologi daerah Selatan mempunyai elevasi yang lebih tinggi sehingga pada kondisi alamiah
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
daerah ini berfungsi sebagai daerah resapan (recharge area), sedangkan daerah Utara berfungsi sebagai daerah luahan (discharge area).
Gambar 2. Sistem Richarge – Discharge Alamiah Wilayah DKI Jakarta (Soefner, dkk., 1986)
2.5.
Muka Airtanah Wilayah DKI Jakarta
Muka airtanah Cekungan Jakarta terus mengalami perubahan sesuai dengan waktu, hasil studi (Ditjen Geologi Tata Lingkungan & Dinas Pertambangan DKI Jakarta, 1994) menunjukkan kedudukan muka airtanah untuk akifer :
Akifer Airtanah Tak Tertekan Atas (< 40 meter) Akifer Airtanah Tak Tertekan pada tahun 1956 mempunyai kedudukan muka airtanah alami sekitar 5 meter (dpl) yang kemudian turun menjadi 2,49 meter dibawah permukaan laut pada tahun 1992. Pada tahun 1994 muka airtanah mengalami penurunan terdalam yang mencapai 3,48 – 3,50 meter dibawah permukaan laut.
Akifer Airtanah Tertekan Atas (40 – 140 meter) Mempunyai kedudukan muka airtanah alami pada tahun 1995 antara 1 – 10 meter diatas permukaan air laut dan mengalami penurunan muka airtanah kembali pada tahun 1992 menjadi 18,64 – 35,50 meter (bml), kemudian pada tahun 1994 muka airtanah kembali turun menjadi 31,78 – 56,90 m (bml).
Akifer Airtanah Tertekan Bawah (>140 meter) Tahun 1995 mempunyai kedudukan muka airtanah alami sekitar 2 meter (dpl), yang kemudian mengalami penurunan menjadi 22,0 – 33,90 meter (bml). Selama tahun 1994 terus terjadi penurunan muka airtanah menjadi 40,0 – 51,40 meter (bml).
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
2.6.
Mandala Airtanah
Mandala airtanah Wilayah DKI Jakarta termasuk dalam airtanah dataran. Berdasarkan jenis aliran airtanah dalam akifer Wilayah DKI Jakarta (DGTL dan Disbang DKI, 1994) akifer di Wilayah DKI Jakarta dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu : 1) Akifer dengan aliran melalui antar butir. Penyebarannya akifer pada daerah pantai, kipas alluvial, dan kaki gunungapi. 2) Akifer dengan penyebaran melalui celah dan ruang antar butir. Penyebarannya pada kaki gunungapi berlapis 3) Akifer dengan aliran melalui rekahan, kekar, saluran celah rongga 4) Akifer (bercelah atau sarang) produktivitas kecil dan daerah airtanah langka 3.
INFILTRASI
Infiltrasi adalah perjalanan air masuk ke dalam tanah / batuan sedangkan perkolasi merupakan proses kelanjutan perjalanan air tersebut ke tanah / batuan yang lebih dalam, dengan kata lain infiltrasi adalah perjalanan air ke dalam tanah sebagai akibat dari gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah keadaan jenuh pada lapisan tanah bagian atas terlampaui, sebagian dari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi, laju maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi, kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah / batuan dalam menyerap untuk melembabkan tanah / batuan. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan. Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitas curah hujan, yaitu milimeter / jam (mm/jam). 3.1.
Sumur Resapan
Suatu upaya konservasi airtanah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengisisan airtanah ke dalam akifer melalui pembuatan sumur resapan. Sumur resapan akan dapat memberikan dampak yang sangat positif terhadap peningkatan jumlah airtanah apabila tanah penutup bersifat impermeable dan cukup tebal, dan sumur resapan itu menembus seluruh lapisan kedap atau semikedap. Sumur resapan air bakunya berasal dari air hujan, sehingga akan memiliki kapasitas penampungan yang sangat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan dan luas tutupan lahan ataupun bangunan, sedangkan pengosongan air didalam sumur resapan sangat tergantung kepada kelulusan akifernya. Manfaat dari sumur resapan antara lain : 1) Dapat menambah meningkatkan permukaan airtanah (khususnya airtanah dangkal). 2) Menambah potensi airtanah. 3) Mengurangi genangan banjir. 4) Melestarikan dan menyelamatkan sumber daya air untuk jangka panjang.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Gambar 3. Dampak dari kenaikan muka airtanah akibat dari sumur resapan.
Dengan memasyarakatkan sumur resapan, maka akan diperoleh peningkatan ketersediaan airtanah pada sistem akifer dangkal yang berasal dari fungsi resapan sebagai imbuhan vertikal di bagian Utara dan aliran horizontal di bagian Selatan menuju daerah pengambilan airtanah di Utara yang cukup intensif. 3.2.
Evaluasi Sumur Resapan
Perhitungan kebutuhan sumur dilakukan untuk setiap zona resapan di Wilayah DKI Jakarta dan setiap sub-zona di zona resapan sangat rendah. Data yang digunakan untuk perhitungan ini meliputi : 1) Data curah hujan Data curah hujan yang digunakan dalam penelitian adalah curah hujan maksimum dan intensitas hujan. Curah hujan maksimum berkisar antara 56 – 113 mm, sedangkan lama hujan harian berkisar 4 – 5 jam (Disbang DKI & Dit. GTL, 1996) 2) Luas drainase Luas drainase yang dimaksud adalah luas lahan yang tidak mampu meresapkan air hujan secara langsung sehingga terjadi limpasan air permukaan. Data yang digunakan meliputi luas tutupan lahan (A), yaitu 10 %, 20 %, 30 %, serta 40 % dari total luas setiap zona resapan dan luas sub zona pada zona resapan sangat rendah. 3) Permeabilitas batuan Nilai permeabilitas tanah (K) ditentukan dari nilai laju resapan akhir rata– rata pada setiap zona resapan dan sub-zona resapan yang sangat rendah. 4) Faktor geometri (F) dan jari – jari sumur (R) Nilai F merupakan keliling dari penampang sumur berbentuk lingkaran dengan R = 0,5 m yang telah ditentukan sesuai dengan standar dari SNI (Standar Nasional Indonesia).
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
3.3.
Pembagian Zonasi dan Sub-Zona Daerah Resapan
Pembagian zonasi berdasarkan atas nilai dari laju resapan (infiltrasi) dari tiap sumur, pembagian zonasi tersebut antara lain : Tabel 1. Pembagian zonasi daerah resapan No
Zonasi
Nilai (cm/mnt)
1
Sangat Tinggi
> 150
2
Tinggi
1.25 – 1.50
3
Agak Tinggi
1.00 – 1.25
4
Sedang
0.75 – 1.00
5
Rendah
1.50 – 1.75
6
Sangat Rendah
<0.50
Tabel 2. Pembagian sub-zona resapan pada zonasi sangat rendah No
Sub-zona
Nilai (cm/mnt)
1
Sub-zona A
0.4 – 0.5
2
Sub-zona B
0.3 – 0.4
3
Sub-zona C
0.2 – 0.3
4
Sub-zona D
0.1 – 0.2
5
Sub-zona E
<0.1
3.4.
Pembagian Wilayah Berdasarkan Zonasi Daerah Resapan
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa laju resapan akhir (sudah mencapai titik keseimbangan) di Wilayah DKI Jakarta sangat bervariasi. Laju resapan akhir yang terendah (0.01 cm/mnt) terdapat pada lokasi : dua, tiga serta empat ; sedang yang tertinggi (1.98 cm/mnt) terdapat pada lokasi 71. Perbandingan nilai tertinggi dan terendah adalah 198. Secara geografis nilai tertinggi terdapat di bagian Selatan, sedang nilai terendah terdapat di bagian Utara. Berdasarkan sebaran nilai laju resapan akhir, maka Wilayah DKI Jakarta dapat dibagi dalam enam zonasi daerah resapan, yaitu : I.
Sangat Tinggi (> 150 cm/mnt), meliputi Wilayah Kebagusan, Tanjung Barat, Lenteng Agung.
II.
Tinggi (1.25 – 1.50 cm/mnt), meliputi Wilayah Kebagusan, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Baru.
III.
Agak Tinggi (1.00 – 1.25 cm/mnt), meliputi Wilayah Ragunan, Pasar Minggu, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Baru.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
IV.
Sedang (0.75 – 1.00 cm/mnt), meliputi Wilayah Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Baru, Ragunan, Pasar Minggu, Tanjung Barat, Cijantung, Kalisari, Bangka, Kalibata, Cipete Utara, Pela Mampang, Duren Tiga, Cipete Selatan, Senayan, Semanan.
V.
Rendah ( 1.50 – 1.75 cm/mnt), meliputi Wilayah Cipedak, Ciganjur, Ragunan, Tanjung Barat, Cijantung, Kalisari, Pekayon, Kelapa Dua Wetan, Cibubur, Ciracas, Cipayung, Ceger, Makasar, Kramat jati, Rawa Jati, Cililitan, Pejaten Barat, Cipete Selatan, Gandaria Utara, Tegal Parang, Bendungan Hilir, Kebon Kacang, Pulo, Duren Tiga, Cawang, Pondok Bambu, Duren sawit, Penggilingan, Meruya Utara, Meruya Selatan, Kembangan Timur, Kembangan Barat, Kembangan Timur, Kedoya Selatan, Semanan, Rawa Buaya.
VI.
Sangat Rendah (<0.50 cm/mnt), meliputi Wilayah Jagakarsa, Pejaten Timur, Tanjung Barat, Makasar, Cililtan, Cawang, Duren Sawit, Penggilingan, Klender, Cipinang, Cipinang Muara, Cipinang Melayu, Cipinang Timur, Bidara Cina, Kebon Baru, Cikoko, Pengadean, Pancoran, Mampang Prapatan, Kuningan Timur, Karet, Sunter Agung, Setia Budi, Gandaria, Kramat, Maruya Selatan, Rawa Buaya, Sunter Jaya, Pademangan Timur, Pademangan Barat, Gunung Sahari, Rorotan, Cijantung, Ciracas, Kebon Pala, Pegangsaan, Utan Kayu Utara, Utan Kayu Selatan, Rawa Sari, Johar Baru, Kebon Sirih, Kebon Kacang, Grogol Utara, Grogol Selatan, Pondok Pinang, Gandaria Selatan, Semper Timur, Semper Barat, Lagoa, Papanggo, Pondok Labu, Pejaten Timur, Susukan, Bambu Apus, Cilangkap, Munjul, Lebak Bulus, Cilandak Barat, Bintaro, Kebayoran Lama Selatan, Kebayoran Lama Utara, Cipuler, Kota Bambu Selatan, Gambir, Senen, Tanah Tinggi, Bungur, Tangki, Kali Baru, Tanjung Priok, Marunda, Cilincing, Rawa Badak, Kalideres, Kedaung Kali Angke, Srengseng, Halim Perdana Kusuma, Pondok Kelapa, Cipinang Besar Utara, Tebet Barat, Menteng Dalem, Rawamangun, Jatipadang, Bale Kambang, Kampung Tengah, Gedong, Rambutan, Taman Mini Indonesia Indah, Pondok Rangon, Rawa Teratai, Jatinegara, Pulogadung, Jatinegara Kaum, Pisangan Baru, Kebon Maggis, Mangga Dua, Kampung Melayu, Menteng Atas, Bukit Duri, Cempaka Putih Barat, Kelapa Gading Timur, Pegangsaan Dua, Sukapura, Sumur Batu, Cempaka Putih Barat, Glodog, Mangga Besar, Pasar Baru, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Petukangan Selatan, Tanjung Duren, Tomang, Jelambar Baru, Kapuk, Cengkareng Timur, Cengkareng, Petukangan Utara, Kalapa Dua, Suka Rumit Utara, Angke, Kemanggisan, Petojo, Ancol, Penjaringan.
Zona resapan sangat rendah mempunyai luas paling tinggi diantara zona resapan lainnya. Untuk itu pada zona ini dilakukan zonasi menjadi lima subzona, yaitu : 1) Sub zona A (0.4 – 0.5 cm/mnt), meliputi Wilayah : Jagakarsa, Pejaten Timur, Tanjung Barat, Ceger, Cipayung, Cibubur, Batu Ampar, Pinang Ranti, Makasar, Cililitan, Cawang, Duren Sawit, Penggilingan, Klender, Cipinang, Bidara Cina, Kebon Baru, Cikoko, Pengadean, Pancoran, Mampang Prapatan, Kuningan Timur, Karet, Setia Budi, Gandaria,
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Kramat, Meruya Selatan, Rawa Buaya, Sunter Agung, Sunter Jaya, Pademangan Timur, Gunung Sahari, Rorotan. 2) Sub zona B (0.3 – 0.4 cm/mnt), meliputi Wilayah : Jagakarsa, Pejaten Timur, Cijantung, Ciracas, Ceger, Cipayung, Munjul, Pinang Ranti, Batu Ampar, Makasar, Kebon Pala, Cawang, Cipinang Melayu, Duren Sawit, Penggilingan, Klender, Cipinang Muara, Bidara Cina, Kebon Baru, Pancoran, Kuningan Timur, Karet, Pegangsaan, Utan Kayu Utara, Rawa Sari, Johar Baru, Kramat, Kebon Sirih, Kebon Kacang, Grogol Utara, Pondok Pinang, Gandaria Selatan, Rorotan, Semper Timur, Lagoa, Sungai Bambu, Sunter Jaya, Utan Panjang, Kemayoran, Gunung Sahari, Pademangan Timur, Papanggo, Meruya Selatan, Rawa Buaya. 3) Sub zona C (0.2 – 0.3 cm/mnt), meliputi Wilayah : Pondok Labu, Cilandak Timur, Pejaten Timur, Susukan, Bambu Apus, Cilangkap, Munjul, Lebak Bulus, Cilandak Barat, Gandaria Selatan, Pondok Pinang, Bintaro, Kebayoran Lama Selatan, Kebayoran Lama Utara, Cipuler, Grogol Utara, Kota Bambu Selatan, Gambir, Senen, Tanah Tinggi, Bungur, Tangki, Pademangan Barat, Papanggo, Kalibata, Tanjung Priok, Marunda, Cilincing, Rawa Badak, Semper Barat, Kalideres, Kedaung Kali Angke, Srengseng, Halim Perdana Kusuma, Tebet Barat, Menteng Dalem, Kemayoran Timur, Utan Kayu Selatan, Rawamangun. 4) Sub zona D (0.1 – 0.2 cm/mnt), meliputi Wilayah : Pondok Labu, Cilandak, Jatipadang, Balekambang, Pejaten Timur, Kampung Tengah, Gedong, Rambutan, Susukan, Taman Mini Indonesia Indah, Bambu Apus, Cilangkap, Pondok Rangon, Halim Perdana Kusuma, Kebon Pala, Pondok Kelapa, Rawa Teratai, Jatinegara, Pulogadung, Jatinegara Kaum, Cipinang, Pisangan Baru, Kebon Manggis, Mangga Dua, Kampung Melayu, Menteng Atas, Bukit Duri, Cempaka Putih Barat, Kelapa Gading Timur, Pegangsaan Dua, Sukapura, Semper Barat, Sumur Batu, Cempaka Putih Barat, Marunda, Tanjung Priok, Glodog, Pademangan Barat, Mangga Dua, Mangga Besar, Pasar Baru, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Grogol Utara, Grogol Selatan, Cipuler, Petukangan Selatan, Srengseng, Kebon Jeruk, Tanjung Duren, Tomang, Jelambar Baru, Kapuk, Cengkareng Timur, Cengkareng. 5) Sub zona E (<0.1 cm/mnt), meliputi Wilayah : Petukangan Utara, Kelapa Dua, Suka Rumit Utara, Palmerah, Kebon Jeruk, Kemanggisan, Angke, Petojo, Ancol, Penjaringan, Tanjung Priok.
REFERENSI Bemmelen, van, R.W, (1949), The Geologi of Indonesia, Martinus Nijhoff, The Hague, Netherland. Disbang DKI Jakarta dan P3G, (1995) Pemetaan Sebaran AkiferDKI Jakarta, (tidak dipublikasikan) Fetter, C. W. (1994), Applied Hydrogeology, 3rd ed., Macmillan College Publishing Company.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Freeze, R. A. & J. A. Cherry (1979), Groundwater, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. IWACO & WASECO, (1987), Groundwater Resources Survey in West Java, Kab. Bekasi, Vol. I, Ministry of Foreign Affairs, Netherlands-Ministry of Publik Works, Indonesia, Jakarta. nd
Jumikis R. A. (1983), Rock Mechanics, 2 University of New Jersey, USA.
ed., Professor Emeritus of Rutgers,
Maathuis, H., (1996), Development of Groundwater Management Strategic in Coastal Region of Jakarta, Indonesia, Final Report, BPPT & IDRC, Jakarta, Final Report. Murtianto, E,. (1994), Peta Hidrogeologi Lembar Jakarta Skala 1:100.000, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Bandung. Soefner, B,. (1986), Jakarta Groundwater Study 1983 – 1985, Final Report German Hidrogeologycal Advisory Group in Indonesia, CTA 40 and Directorate of Environmental Geology, Bandung. Soekardi, R. & M. M. Purbohadiwidjoyo, (1975), Cekungan Artois Jakarta (The Jakarta Artesian Basin). Geologi Indonesia, V. 2, N. 1. Suwijanto, (1997), Geologi Daerah Dataran Jakarta dan Sekitarnya, Teluk Jakarta, LON – LIPI, Jakarta (Laporan Terbuka). Tood (1959), Groundwater Hydrology, John Willey & Sons, New York USA. Turkandi, T., D.A Sidarto, Agustyanto & M.M Purbo Hadiwidjojo, (1992), Peta Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, Puslitbang Geologi, Ditjend. Geologi dan Sumberdaya Mineral, Dept. Pertambangan dan Energi, Bandung.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 1, Januari 2009