Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAYA TARIK DTW MICE KOTA MEDAN OLEH : DEWI COMALA SARI, S.E., M.SI.
Industri MICE adalah industri yang dewasa ini berkembang dan menjadi andalan untuk meningkatkan daya tarik wisatawan dan investor di kota-kota besar di dunia. 5 negara di dunia yang menjadi top 5 daerah tujuan wisata (DTW) MICE 2013 adalah, USA, Jerman, Spanyol, Inggris dan Prancis. Sementara bila dilihat lebih spesifik dari kategori kota-kota terdepan di bisnis MICE dunia, top 5 DTW MICE ditempat oleh, Vienna, Paris, Barcelona, Berlin, dan Singapore. Dalam percaturan MICE internasional, Indonesia masih hanya memiliki 2 kota refresentatif MICE, yakni Bali (masuk dalam top 50 kota) dan Jakarta (masuk dalam kategori top 100 kota). Sementara posisi Kota Medan, sebagai DTW MICE masih belum masuk dalam radar ICCA (The International Conference and Convention Association’s). Kendati demikian, sejak tahun 2011 lalu Kota Medan Medan oleh pemerintah Indonesia telah ditetapkan sebagai kota metropolitan baru sekaligus sebagai salah satu dari 10 kota utama sebagai tujuan wisata MICE di Indonesia. Penetapan ini menegaskan semakin penting dan strategisnya posisi Kota Medan dalam perpektif pembangunan dan pengembangan infrastruktur. Metropolitan dapat diartikan sebagai pusat populasi besar yang terdiri atas satu metropolis besar dan daerah sekitarnya, atau beberapa kota sentral yang saling bertetangga dengan daerah sekitarnya. Satu kota besar atau lebih dapat berperan sebagi hub-nya, Kota Medan misalnya, sejak lama menjadi hub bagi kotakota penting lainnya di Sumatera Utara, seperti Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo atau lebih dikenal dengan Mebidangro (Sitepu, 2013).
Seiring dengan ditetapkannya Kota Medan sebagai kota metropolitan strategis, Kota Medan juga menjadi penggerak utama bagi pengembangan usaha dan industri MICE di kawasan barat Indonesia. Kota Medan diharapkan menjadi pendamping MICE destination lainnya seperti Bali, Jakarta, Manado, Makasar dan lain-lain. Apalagi bila ditinjau dari sisi capaian PDRB Kota Medan juga didominasi oleh sektor terkait MICE yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran, dimana kontribusi sektor ini pada tahun 2012
mencapai 26% dari PDRB Kota Medan, terbesar dari 9 sektor yang ada.
Pertimbangan penting lain yang menguatkan potensi Kota Medan sebagai kota MICE adalah keberadaan posisi Kota Medan yang strategis, sebagai salah satu pusat perdagangan baik regional maupun internasional. Kota Medan dapat dikatakan sebagai pintu gerbang wilayah barat Indonesia yang menjadi salah satu pilihan utama para wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Danau Toba, Bukit Lawang, Berastagi dan Pulau Nias, sebagai 4 (empat) destinasi wisata yang sudah sangat dikenal di mancanegara. Pada Tahun 2012 tidak kurang dari 160 ribu orang wisatawan mancanegara datang ke Kota Medan dan tahun 2011 jumlahnya diperkirakan tidak kurang dari 150 ribu orang. Angka ini terus bergerak postif dari tahuntahun sebelumnya. Bila dilihat dari variasi kebangsaan jumlah wisatawan yang berasal dari negara-negara ASEAN untuk kurun waktu 2006 hingga 2012 cenderung lebih dominan, terutama dari Malaysia, Singapura, dan Thailand yang menempati urutan pertama. Disusul wisatawan dari Eropa dan Asia masing-masing sebesar 15% dan 10%. Dilihat dari lamanya menginap wisatawan mancanegara di hotel bintang dan melati yang berada di Kota Medan, rata-rata menginap selama 1,5 hari. Angka ini menunjukkan bahwa Kota Medan masih hanya sebatas pintu masuk bagi wisatawan mancanegara ke daerah wisata yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Lantas bagaimanakah agar posisi Kota Medan di sektor MICE ke depannya dapat berkembang menjadi andalan?
Untuk mendapatkan jawabannya, perlu dianalisis sejumlah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sebuah kota agar dipilih menjadi DTW MICE. Menurut Sitepu (2012), untuk mempersiapkan Kota Medan sebagai DTW MICE, harus memperoleh dukungan dari segenap komponen, ada antara lain: 1) kebijakan pemerintah, 2) kesiapan sarana transportasi, 3) ketersediaan convention center, hotel, restoran, objek wisata, 4) dukungan asosiasi terkait MICE, dan 5) dukungan SDM (layanan). Warta Export (2011) mengemukakan, faktor penentu dalam memilih kota sebagai Destinasi MICE antara lain ditentukan oleh:
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016 a) Keamanan. Semua konsumen MICE mengingin kan adanya jaminan keamanan, baik dari pemerintah maupun oleh penyelenggara. Dalam setiap event internasional perlu adanya fasilitas pengamanan yang ketat khususnya di venue dan akomodasi. Selain itu tempat yang menjadi bagian pendukung kegiatan juga harus dijaga keamaannya misalnya di bandara dan tempat hiburan malam selama acara berlangsung. b) Harga. Harga yang bersaing dengan fasilitas yang lengkap menjadi salah satu kriteria bagi para konsumen MICE dalam menentukan daerah tujuan kegiatannya. Fasilitas hiburan yang memadai serta fasilitas pendukung di luar kegiatan utama menjadi nilai tambah suatu daerah dalam menarik konsumen MICE. c) Kemudahan akses. Daerah destinasi MICE membutuhkan fasilitas aksesibilitas dan transfer baik dari darat, laut maupun udara. Transportasi yang mudah aman, efisien dan bebas hambatan mempermudah para konsumen MICE dalam menjangkau kawasan tersebut. d) Fasilitas terpelihara. Fasilitas yang terjaga dengan baik pada venue pelaksanaan MICE akan membuat konsumen MICE nyaman untuk tinggal lebih lama. Berbagai fasilitas yang disediakan pada venue dengan standar internasional, resort kelas dunia dan tempat hiburan yang menarik. e) Infrastruktur. Dalam penyelenggaraan event internasional, dibutuhkan fasilitas infrastruktur langsung seperti venue meeting dan konvensi yang berstandar internasional dengan jumlah kapasitas yang memadai serta terintegrasi dengan hotel dan tempat hiburan. Infrastruktur pendukung bagi para konsumen untuk menuju ke venue penyelenggaraan sangat penting. Selain mudah untuk di akses, infrastruktur berstandar internasional sangat diperlukan diantaranya, bandara yang mampu menampung pesawat besar dan adanya jalur langsung ke kota internasional. f) Atraksi waktu senggang. Program hiburan selama penyelenggaraan kegiatan menjadi daya tarik tersendiri bagi para konsumen MICE. Untuk menghilangkan kejenuhan mengikuti acara, pada umumnya diselingi dengan kegiatan hiburan, diantaranya pertunjukan seni dan budaya maupun mengunjungi objek wisata. g) Bahasa. Untuk mempermudah para konsumen MICE dalam mengikuti agenda
kegiatannya, maka perlu adanya tourism hospitality dan MICE staff yang bisa berbahasa asing. Tergantung dengan asal konsumen MICE tersebut. Penyedia jasa MICE sudah seharusnya menyediakan profesional yang mampu berbahasa asing.
Sedangkan instrument yang lebih kompleks, dikemukakan oleh Crouch & Ritchie (1998) dalam Crouch & Louviere (2004), dimana faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan menetapkan DTW MICE antara lain dipengaruhi oleh:
Pertama, variabel aksesibilitas. Variabel ini meliputi 1) aspek biaya, 2) waktu, 3) peluang, 4) frekwensi, 5) kenyamanan dan hambatan yang dimiliki suatu kota. Untuk aspek biaya dapat dianalisis bagaimana biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Salah satu komponen biaya yang terpenting misalnya adalah biaya transportasi. Untuk aspek waktu, variabel aksesibility ini akan memperhatikan bagaimana waktu tempuh atau jarak perjalan antara lokasi kegiatan, berikut dengan besaran biayanya. Opportunity cost dari waktu yang diperlukan juga menjadi pertimbangan, dalam hal ini para wisatawan kerap membandingkan opportunity cost antar satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Frekuensi koneksi menuju ke lokasi/venue dengan berbagai moda alternatif yang tersedia juga menjadi pertimbangan. Selain itu faktor kenyamanan penjadwalan koneksi atau transportasi menuju ke destinasi serta hambatan dalam melakukan perjalanan seperti visa dan bea cukai.
Variabel Kedua adalah variabel dukungan lokal. Sejumlah hal yang menjadi aspek pertimbangan wisatawan MICE untuk berkunjung ke suatu daerah, atau pertimbangan EO, PCO dalam menetapkan daerah sebagai venue adalah, mempertimbangkan; 1) tingkat dukungan yang ditawarkan oleh asosiasi lokal, 2) ketersediaan convention center dengan dukungan tingkat perencanaan, 3) dukungan logistik dan dukungan promosi yang ditawarkan. Selain itu 4) aspek tingkat subsidi yang ditawarkan oleh suatu destinasi (kota) untuk membiayai penyelenggaraan event melalui 5) pemberian potongan harga dan subsidi pun menjadi pertimbangan penilaian. Ketiga, kegiatan tambahan meliputi aspek ketersediaan 1) pusat hiburan (ketersediaan restaurant, bars, teater, pusat hiburan malam, dll), 2) pusat perbelanjaan (meliputi
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016 ketersediaan; mal, department store besar, harga yang rendah, dll, 3)ketersediaan/ kondisi wisata lokal (arsitektur lokal, museum, monumen, objek wisata, taman, peninggalan bersejarah, tour lokal, dll), 4) ketersediaan pusat rekreasi (pusat olahraga dan kegiatan baik sebagai penonton maupun sebagai peserta) serta 5) kemungkinan akan peluang profesional (apakah dalam rangka mengunjungi klien lokal, negosiasi, transaksi bisnis, membuat kesepakatan kontrak, dll).
Sedangkan variabel keempat, fasilitas akomodasi dan main event meliputi; aspek 1) ketersediaan (apakah fasilitas akomodasi tersedia guna menunjang pelaksanaan MICE), 2) kapasitas (jumlah kamar yang tersedia), 3) biaya (biaya akomodasi yang sesuai), 4) layanan (persepsi terhadap standar layanan), 5) keamanan (sejauh mana tingkat keamanannya), 6) kapasitas (kemampuan suatu lokasi dalam menyediakan fasilitas dengan ukuran yang sesuai kebutuhan), 7) layout ( kesesuaian tata letak fasilitas dan denah lantai), 8) biaya rapat (biaya ruang pertemuan yang diperlukan), 9) fasilitas ambience (kemampuan suatu lokasi dalam menciptakan suasana dan lingkungan yang sesuai, 10) layanan (persepsi terhadap standar layanan), 11) keamanan (sejauh mana suatu lokasi dapat menyediakan ruang pertemuan yang aman) dan 12) ketersediaan (apakah fasilitas rapat tersebut tersedia saat dibutuhkan). Kelima, variabel ketersediaan informasi meliputi; 1) pengalaman (apakah lokasi MICE tersebut telah mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan di masa lalu, 2) reputasi (bagaimana reputasi daerah tujuan tersebut diantara perencana pertemuan lainnya) dan 3) pemasaran (baik atau tidaknya efektivitas kegiatan pemasaran destinasi).
Keenam, varibel keadaan lokasi yang meliputi aspek; 1) iklim (keadaan iklim di daerah tujuan), 2) setting ( daya tarik lingkungan destinasi), 3) infrastruktur (kesesuaian dan standar infrastruktur lokal), keramahtamahan (sejauh mana daerah tuan rumah dan masyarakat lokal unggul dalam menjamu atau menyambut pengunjung. Adapun variabel ketujuh adalah variabel tambahan. Variabel ini meliputi: 1) tingkat risiko (kemungkinan terjadinya aksi unjuk rasa, bencana alam, boikot dan berbagai keadaan merugikan lainnya yang dapat
mengganggu kelancaran suatu kegiatan), 2) profitabilitas (tingkat di mana suatu lokasi dapat menghasilkan keuntungan maupun kerugian dalam penyelenggaraan MICE), 3) promosi asosiasi: apakah lokasi yang telah ditentukan dapat meningkatkan kredibilitas penyelenggara dan meningkatkan keanggotaan, 4) novelty (sejauh mana suatu lokasi merepresentasikan lokasi yang baru untuk penyelenggaraan MICE berikutnya). Masing-masing pendekatan di atas tentu memiliki kelebihan dan kekurangan yang menarik untuk diperdebatkan. Paper ini lebih lanjut ingin memperbandingkan hasil penelitian dengan menggunakan ketiga pendekatan di atas dengan melakukan tiga seri survey persepsi terhadap daya tarik Kota Medan sebagai DTW MICE.
Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Responden pada penelitian ini adalah pelaku usaha (EO/PCO/PEO) MICE dipilih berdasarkan pengambilan sampel secara purposive random sampling. Adapun jumlah sample adalah 20 pelaku usaha di bidang MICE di Kota Medan. Analisis data dilakukan dengan mengolah data primer kualitatif menjadi kuantitatif dengan menggunakan skoring dan skala pengukuran rating (peringkat) nilai terendah 1 dan nilai tertinggi 7. Teknik analisis skoring yakni pemberian skor terhadap jawaban responden untuk memperoleh data kuantitatif yang diperlukan. Hasil Penelitian Dengan menggunakan faktor-faktor yang digunakan Sitepu (2012), maka tigkat daya tarik Kota Medan sebagai DTW MICE, dalam persepsi responden adalah: Tabel 1. Faktor-Faktor Daya Tarik DTW MICE Kota Medan Versi Sitepu (2012) No 1 2 3 4 5
Variabel Dukungan pemerintah Dukungan transportasi Ketersedian convention centre, hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain Dukungan asosiasi terkait MICE Dukungan SDM terkait Rerata
Sumber : data penelitian diolah
Nilai 4.0 4.2 4.7 4.5 3.8 4.24
Berdasarkan Tabel 1. Diketahui, dari 5 parameter yang digunakan untuk mengukur
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016 daya tarik Kota Medan sebagai DTW MICE, parameter ketersediaan fasilitas convention center, hotel, restoran, objek wisata dan lainlain memiliki nilai tertinggi sebesar 4.7, diikuti oleh dukungan assosiasi terkait MICE dengan nilai 4.5, dukungan transportasi 4.0 dan dukungan pemerintah sebesar 4.0. Bila dengan menggunakan instrumen yang dikemukakan Warta Ekspor maka daya saing Kota Medan sebagai DTW MICE adalah sebagai berikut: Tabel 2. Faktor-Faktor Daya Tarik DTW MICE Kota Medan Versi Warta Ekspor
No 1 2 3 4 5 6
Dimensi Keamanan Harga Kemudahan Akses Fasilitas Terpelihara Infrastruktur Atraksi Waktu Senggang Rerata Sumber : data penelitian diolah
Nilai 4.0 4.7 4.3 4.2 4.3 3.8 4.21
Berdasarkan Tabel 2. Diketahui, dari 6 parameter (Warta Ekspor) yang digunakan untuk mengukur daya tarik Kota Medan sebagai DTW MICE, harga adalah parameter dengan nilai tertinggi (4.7), diikuti kemudahan akses (4.5) dan infrastruktur (4.3). Adapun parameter yang memiliki nilai terendah adalah faktor keamanan (4.0) dan ketersediaan atraksi waktu senggang yang dianggap masih terlalu sedikit (3.8).
Sementara bila dengan menggunakan instrumen yang dikemukakan Crouch & Ritchie (1998) dalam Crouch & Louviere (2004), maka daya saing Kota Medan sebagai DTW MICE adalah: Tabel 3. Faktor-Faktor Daya Tarik DTW MICE Kota Medan Versi Crouch & Ritchie No 1 2 3
Dimensi Aksesibilitas Dukungan Lokal Fasilitas Akomodasi dan Main Event 4 Ketersediaan lnformasi 5 Keadaan lokasi 6 Faktor-faktor tambahan (resiko, profit, novelty) Rerata Sumber : data penelitian diolah
Nilai 4.4 4.5 4.6 4.2 4.0 4.0
4.28
Berdasarkan Tabel 3. diketahui, dari 6 parameter Versi Crouch & Ritchie ketersediaan fasilitas akomodasi dan main event adalah parameter dengan nilai tertinggi (4.6), diikuti dukungan lokal (4.5) dan aksesibilitas (4.4). Adapun parameter yang memiliki nilai terendah adalah faktor keadaan lokasi (4.0) dan faktor-faktor tambahan (resiko, profit dan novelty) sebesar (4.0).
Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil penelitian, dari 3 metode yang diterapan; bahwa hal utama yang menjadi daya tarik Kota Medan sebagai DTW MICE menurut persepsi responden adalah ketersediaan fasilitas pelaksanaan event-event MICE dan dukungan lokal dan dukungan asosiasi terkait dengan industri MICE. 2. Sementara parameter yang masih memiliki nilai rendah yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana meningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang MICE, dibutuhkannya kegiatan-kegiatan kreatif dan menarik untuk mengisi ketersediaan waktu senggang dan keadaan lokasi (iklim, setting dan kesesuaian infrastruktur) 3. Bila masing-masing instrumen penelitian tersebut dirata-ratakan, maka model Crouch & Ritchie memiliki rata-rata tertinggi sebesar 4,28. 4. Jika penelitan ini akan dikembangkan, disarankan untuk menggunakan teknik lain seperti pemberian/pembobotan variabel dan dilakukan dengan membandingkan antar beberapa daerah yang memiliki karakteristik yang sama atau memiliki tingkat daya tarik dan daya saing yang sama. Dartar Pustaka Avraham, Eli & Ketter, E. 2008. Media Strategies For Marketing Places In Crisis. Elsevier Inc. Bappeda Kota Medan. 2011. Grand Design Pengembangan MICE Kota Medan.
Crouch, G. dan Louviere, J. 2004. Convention Site Selection: Determinants Of Destination Choice In The Australian Domestic Conventions Sector. Australia. CRC for
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016 Sustainable Tourism. http://www.crctourism.com.au/wms/upl oad/resources/bookshop/crouch33011_ conventionsites.pdf.
DitjenPen, 2011. Potensi Industri MICE Indonesia. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.
ICCA. 2013. Statistics Report 2002-2012– International Association Meetings Market. http://www.iccaworld.com/dcps/doc.cf m?docid=1520
Moilanen, dkk. 2009. How to Brand Nations,Cities, and Destination : A Planning Book for Place Branding. Palgrave Macmillan Sitepu, Edy Sahputra. 2012. Tinjauan Tentang Konsep Pengembangan Industri MICE Kota Medan. Jurnal Ekbis. UNWTO. 2012. MICE Industry: An Asia Pacific Perspective. World Tourism Organization. Spain.