Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 2
Juli 2014
ISSN 2337-7771 E-ISSN 2337-7992
Berkala Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kehutanan
DAFTAR ISI PEMECAHAN DORMANSI DAN PERKECAMBAHAN ASAM KURANJI (Dialium indum L.) SECARA MEKANIS DAN KIMIAWI Bakti Nur Ismuhajaroh
82-87
PENGGUNAAN KAYU BAKAR SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DI MAMBERAMO HULU, PAPUA Agustina Y.S. Arobaya, Maria J. Sadsoeitoeboen & Freddy Pattiselanno
88-93
KERAGAMAN JENIS SATWA BURUNG BERDASARKAN KETINGGIAN TEMPAT PADA HUTAN DESA RAMBATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU Anthonia Tuhumury, dan L. Latupapua
94-106
KONDISI DAN POTENSI WISATA ALAM DI WILAYAH GUNUNG SAWAL KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT Dian Diniyati
107-118
PERSEPSI WISATAWAN DAN MASYARAKAT TERHADAP WISATA ALAM DI AREAL HUTAN PENDIDIKAN UNLAM MANDIANGIN, KALIMANTAN SELATAN Khairun Nisa, Hamdani Fauzi, dan Abrani
119-126
REKONSTRUKSI MODEL PENYULUHAN PERTANIAN DAN KEHUTANAN BERBASIS PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU [STUDI KASUS DI TIGA DESA DI WILAYAH KABUPATEN MALANG] Sugiyanto
127-137
STRATEGI PENGEMBANGAN GETAH JELUTUNG SEBAGAI HHBK UNGGULAN Marinus Kristiadi Harun
138-145
ESTIMASI JUMLAH KARBON VEGETASI YANG HILANG AKIBAT KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM TROPIS Ajun Junaedi
146-151
SIFAT FISIKA MEKANIKA PAPAN PARTIKEL DARI PELEPAH NIPAH (Nyfa fruticans Wurmb) DAN SERBUK GERGAJI DENGAN PEREKAT UREA FORMALDEHYDE Noor Mirad Sari, Violet Burhanuddin, Diana Ulfah, Lusyiani, & Rosidah
152-162
EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN UJI KLON JATI PADA UMUR 10 TAHUN DI WONOGIRI, JAWA TENGAH Hamdan Adma Adinugraha dan S. Pudjiono
163-169
MODEL ARSITEKTUR POHON JENIS BINTANGUR (Calophyllum inophyllum L.) DI TAMAN HUTAN RAKYAT (TAHURA) SULTAN ADAM Dina Naemah, Payung D., Zairin Noor, M, Yuniarti
170-175
USAHA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DAN NILAI TAMBAH KERAJINAN PURUN Magdalena Yoesran, Gunawansyah, Arfa Agustina R
176-188
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para penelaah yang telah berkenan menjadi Mitra Bestari pada Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 2 yaitu: Prof. Dr. Drs. Adi Santoso,M.Si (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kemenhut) Prof.Dr.Ir. Wahyu Andayani,M.Sc (Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada) Prof.Dr.Hj.Nina Mindawati,M.S (Puslitbang Produktivitas Hutan, Kementerian Kehutanan RI) Prof. Dr. Ir. Syukur Umar, DESS (Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako) Prof. Dr. Ir. Baharuddin Mappangaja, M.Sc. (Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin) Prof.Dr.Ir.H.M.Ruslan,M.S (Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat) Dr.Ir. Satria Astana, M.Sc (Puslitbang Perubaha nIklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI) Dr. Ir. Kusumo Nugroho, MS (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian) Prof. Dr.Ir.Totok Mardikanto (Universitas Sebelas Maret Surakarta) Prof.Dr.Ir.Sipon Muladi (Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman) Prof. Dr. Ir, Djamal Sanusi (Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin) Dr. Sc. Agr. Yusran, S.P., M.P (Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako)
KATA PENGANTAR
Sifat fisika mekanika papan partikel dari
Salam Rimbawan, Jurnal Hutan Tropis Volume 2 Nomor 2 Edisi Juli 2014 kali ini menyajikan 12 buah artikel ilmiah hasil penelitian kehutanan. Bakti Nur Ismuhajaroh meneliti pemecahan dormansi dan pertumbuhan kecambah Asam kuranji secara mekanis dengan pengapelasan dan kimiawi dengan perendaman asam sulfat (H2SO4). Agustina Y.S. Arobaya, Maria J. Sadsoeitoeboen &
Freddy
Pattiselanno
meneliti
penggunaan
kayu bakar sebagai sumber energi alternatif di Mamberamo Hulu, Papua. Keragaman jenis satwa burung berdasarkan ketinggian tempat pada hutan desa Rambatu Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku diteliti oleh Anthonia Tuhumury, dan L. Latupapua. Dian Diniyati meneliti Kondisi Dan Potensi Wisata Alam Di Wilayah Gunung Sawal Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sementara itu Khairun Nisa dkk meneliti persepsi wisatawan dan masyarakat terhadap wisata alam di areal hutan pendidikan Unlam Mandiangin, Kalimantan Selatan. Model penyuluhan berbasis pengelolaan DAS terpadu dengan pendekatan embedded case study research seperti yang dilaksanakan oleh program FEATI. Program FEATI (Farmer Empowerment Throught Agricultural Technology and Information) diteliti oleh Sugiyanto. Marinus Kristiadi Harun menganalisis aspek sosial-ekonomi
pengembangan
getah
jelutung
sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan Provinsi Kalimantan Tengah. Ajun Junaedi membuat estimasi jumlah karbon vegetasi yang hilang akibat kegiatan pemanenan kayu di Hutan Alam Tropis. Jumlah karbon yang hilang pada vegetasi tingkat pohon lebih tinggi (78,38%) dibandingkan tingkat tiang, pancang dan semai.
pelepah nipah (nyfa fruticans wurmb) dan serbuk gergaji dengan perekat urea formaldehyde diteliti oleh Noor Mirad Sari dkk. Hamdan Adma Adinugraha dan S. Pudjiono melakukan Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Uji Klon Jati Pada Umur 10 Tahun Di Wonogiri, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase hidup tanaman bervariasi 20-84%, ratarata tinggi pohon 12,38 m, dbh 18,54 cm, tinggi batang bebas cabang 4,22 m, skor bentuk batang 2,38 dan taksiran volume pohon
0,258 m3.
Dina Naemah dkk meneliti model arsitektur pohon jenis Bintangur (calophyllum inophyllum l.) yang diketahui deskripsi mengenai unit arsitektur tampak batang pokok tumbuh monopodial dan orthotropik. Percabangan tumbuh orthotropik. Buah terletak di samping batang atau di ketiak daun yang di sebut bunga axial (flos axillaris atau flos lateralis). Bentuk daun pada pohon Bintangur
berbentuk
jorong (ovalis atau elipticus). Pohon dengan sifatsifat tumbuh seperti ini sama dengan kriteria dari model arsitektur Rauh. Magdalena
Yoesran
dkk
meneliti
usaha
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah kerajinan purun Semoga hasil penelitian tersebut dapat menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca untuk dikembangkan di kemudian hari. Selamat Membaca. Banjarbaru, Juli 2014 Redaksi,
Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 2
Juli 2014
ISSN 2337-7771 E-ISSN 2337-7992
STRATEGI PENGEMBANGAN GETAH JELUTUNG SEBAGAI HHBK UNGGULAN The Development Strategy of Jelutung’s Latex as Superior Non Timber Forest Product Marinus Kristiadi Harun Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Jl. A. Yani Km. 28,7 Banjarbaru Kalimantan Selatan
ABSTRACT.The aim of this research was to analyze the socio-economic development of jelutung’s latex as superior Non-Timber Forest Products (NTFPs). In the social aspect, the parameters under study include the potential of jelutung’s latex for superior NTFPs as Minister of Forestry Regulation No. P.21/Menhut-II/2009. In the economic aspect, the parameters under study include marketing margins of jelutung’s latex and financial analysis of developed jelutung’s latex with agroforestry systems. The method used in this study is a Focus Group Discussion (FGD) and key informant interviews. The analysis results on the social aspect show that in line with the superior non timber forest product criteria and indicators stated in Permenhut RI No. P.21/Menhut-II/2009 jelutung’s latex is categorized as a provincial superior NTFP with Superior Total Value (STV) of 72.62. The economic aspect shows that the marketing margin of jelutung latex is still inefficient as its value is > 50%. The financial analysis results show that jelutung forest is feasible to be developed both in the monocultural and agroforestry patterns. NPV, BCR and IRR of jelutung with agroforestry pattern were 69,799,338; 8.68 and 29% respectively. Institutional system is proposed to overcome these obstacles is Colaborative Economics System (CES) that supported by farmer groups. Keywords: jelutung’s latex, Superior NTFP, colaborative economic system. ABSTRAK. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis aspek sosial-ekonomi pengembangan getah jelutung sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan. Pada aspek sosial, parameter yang diteliti mencakup potensi getah jelutung sebagai HHBK unggulan sesuai Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.21/Menhut-II/2009. Pada aspek ekonomi, parameter yang diteliti mencakup margin pemasaran getah jelutung dan analisis finansial pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri. Metode yang pada penelitian ini adalah Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan informan kunci. Hasil analisis aspek sosial menunjukkan bahwa menurut kriteria dan indikator HHBK Unggulan maka getah jelutung termasuk HHBK Unggulan Provinsi dengan Total Nilai Unggulan (TNU) sebesar 72,62. Pada aspek ekonomi diketahui bahwa margin pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah belum efisien karena nilainya masih > 50%. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa hutan tanaman jelutung layak untuk dikembangkan baik secara monokultur maupun pola agroforestri. Nilai NPV, BCR dan IRR untuk agroforestri jelutung berturut-turut adalah 69.799.338; 8,68 dan 29%. Strategi pengembangan komoditas getah jelutung menuju kategori yang lebih tinggi (HHBK Unggulan Nasional) perlu dilakukan dengan menjawab tantangan untuk kriteria dan indikator bernilai rendah. Hal ini memerlukan adanya suatu kelembagaan yang membumi. Sistem kelembagaan yang diusulkan untuk mengatasi kendala tersebut adalah Sistem Kebersaman Ekonomi (SKE) yang didukung oleh kelompok tani pengembang komoditas getah jelutung yang berkategori kelompok lestari. Kata kunci: getah jelutung, HHBK unggulan, sistem kebersamaan ekonomi. Penulis untuk korespondensi, surel:
[email protected]
138
Marinus Kristiadi Harun: Strategi Pengembangan Getah Jelutung ...: 138-145
PENDAHULUAN
FGD adalah para pihak terkait dari unsur-unsur
Lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikuatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya luasan lahan gambut terdegradasi yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004). Kondisi tersebut perlu segera dipulihkan dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi dan penghijauan). Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan upaya tersebut adalah pemilihan jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan ekologi. Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F). Jelutung rawa mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, serta mempunyai hasil ganda (getah dan kayu) (Bastoni dan Lukman, 2004). Aspek silvikultur jelutung rawa mulai dari teknik perbanyakan (generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman sampai dengan teknik pemeliharaan telah diketahui (Daryono, 2000). Pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah relatif mudah. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis aspek sosial ekonomi pengembangan getah jelutung sebagai HHBK Unggulan berdasarkan kriteria
dan
indikator
dari
Peraturan
Menteri
Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009.
pemerintahan, akademisi, praktisi, LSM setempat dan petani. Jumlah peserta 30 orang dengan pertimbangan ukuran kelompok tersebut cukup ideal dan efektif untuk menggali informasi dan wahana untuk saling tukar pengalaman. Pengolahan dan analisis data yang bersifat kuantitatif
yang
dikumpulkan
dari
lapangan
dilakukan dengan menggunakan metoda Statistik Non Parametrik (description scoring). Data disusun dalam tabulasi dari tiap daerah penghasil getah jelutung selanjutnya pengolahan data dilakukan dengan tahapan berikut. Pertama, kuantifikasi data pengukuran tiap indikator untuk tiap kriteria dalam data katagorik dan dinyatakan dalam 3 (tiga) selang nilai. Nilai 3 mencerminkan nilai katagori tinggi, 2 menunjukan nilai katagori sedang dan nilai 1 menunjukkan katagori rendah dalam menentukan tingkat
keunggulan.
Kedua,
scoring
yakni
pemberian nilai tiap indikator dengan nilai 3, 2 dan 1 sesuai dengan ukuran standar yang ditetapkan. Ketiga, penghitungan Nilai Indikator Tertimbang (NIT). NIT suatu kriteria (NITk) adalah hasil bagi antara bobot suatu kriteria (Bk) dengan jumlah indikator pada kriteria tersebut (JIk) dikali dengan jumlah hasil pembagian antara nilai indikator dengan nilai indikator maksimal (dalam hal ini 3) yang ada dalam kriteria bersangkutan. Keempat, perhitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai indikator tertimbang dari semua kriteria. TNU = NIT ekonomi + NIT Biofisik + NIT Kelembagaan + NIT Sosial + NIT Teknologi. Kelima, penetapan Nilai Unggulan. Berdasarkan Total Nilai Unggulan (TNU)
METODE PENELITIAN
jenis HHBK dikelompokan ke dalam tiga kelas Nilai
Penelitian ini dilakukan di Kota Palangkaraya
Unggulan (NU) sebagai berikut: (a) nilai unggulan
dan Kota Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah pada
1, yakni jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai
bulan Januari – Februari Tahun 2011. Parameter
TNU antara 78 – 100, (b) nilai unggulan 2, yakni
yang digunakan untuk menganalisis aspek sosial
jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU
ekonomi pengembangan jelutung rawa adalah
antara 54 – 77, (c) nilai unggulan 3, yakni jenis
kriteria HHBK Unggulan menurut Permenhut Nomor
komoditas HHBK yang memiliki nilai TNU antara 30
P.21/Menhut-II/2009
Metode
– 53. Keenam, penetapan Jenis HHBK Unggulan
yang digunakan pada penelitian ini adalah FGD
dilakukan berdasarkan besarnya skor Nilai Unggulan
dan wawancara dengan informan kunci. Peserta
dan mempertimbangkan frekuensi penyebaran
(Dephut,
2009).
139
Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 2, Edisi Juli 2014 jenis komoditas tersebut di wilayah Indonesia.
pengusaha di tingkat harga terendah sebesar 70
Selanjutnya Jenis HHBK Unggulan dikelompokkan
% dan di tingkat harga tertinggi sebesar 76%. Basri
dalam 4 kelas; HHBK Unggulan Nasional, HHBK
(2001) menyatakan bahwa pemasaran dikatakan
Unggulan Provinsi, HHBK Unggulan Kabupaten
efisien jika margin pemasaran < 50%. Berdasarkan
dan HHBK Bukan Unggulan. Penentuan sebagai
ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa
berikut: (a) unggulan nasional, yakni jenis HHBK
margin pemasaran getah jelutung di Provinsi
yang termasuk NU 1 dan tersebar minimal di 5
Kalimantan Tengah belum efisien. Keuntungan
provinsi, (b) unggulan provinsi, yakni jenis HHBK
bersih dari usaha getah jelutung mulai dari yang
yang termasuk NU 1 yang tersebar kurang dari 5
terbesar berturut-turut berada di tangan pengusaha,
provinsi dan atau NU 2 yang tersebar minimal di
penyadap dan pengumpul. Perbedaan keuntungan
2 kabupaten, (c) unggulan kabupaten, yakni jenis
bersih antara pengusaha dengan penyadap dan
komoditas HHBK yang termasuk minimal dalam
pengumpul juga sangat menyolok. Sementara itu
NU2 dan (d) tidak unggul, yakni jenis komoditas
keuntungan bersih antara penyadap dan pengumpul
HHBK yang termasuk dalam NU3.
relatif tidak jauh berbeda. Hal ini karena salah satu asumsi yang digunakan dalam perhitungan, tenaga
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
analisis
terhadap
kondisi
yang dikeluarkan penyadap tidak diperhitungkan. existing
pengelolaan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah seperti tersaji pada Tabel 1. Sebagai sebuah komoditi perdagangan, getah jelutung dipasarkan melalui saluran pemasaran. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran getah jelutung di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas petani penyadap getah jelutung dari pohon-pohon di hutan (peramu getah jelutung), pengepul tingkat desa dan perusahaan, yakni: PT. Sumber Alam Sejahtera (PT. SAS) dan PT. Sampit. Jalur distribusi pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah seperti Gambar 1. Margin pemasaran dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi pemasaran getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah. Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat perusahaan pengumpul (dalam hal ini PT. SAS dan PT. Sampit) dengan harga di tingkat penyadap (peramu). Nilai marjin pemasaran untuk setiap pelaku pasar disajikan pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa marjin pemasaran sangat mencolok antara pengusaha dengan penyadap maupun pengusaha dengan pengumpul. Perbedaan harga antara penyadap dan pengusaha di tingkat harga terendah sebesar 76,67% dan di tingkat harga tertinggi sebesar 82%. Perbedaaan harga antara pengumpul dan
140
Tanaman jelutung yang dianalisis kelayakan finansialnya dalam penelitian ini difokuskan pada tegakan monokultur jelutung dan agroforestri pola mixed cropping dengan komponen tanaman jelutung rawa, karet dan padi (ditanam pada tahun pertama sampai ketiga). Hal ini mengingat pola tersebut banyak dikembangkan oleh petani. Analisis finansial dilakukan dengan melakukan analisis terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari usaha budidaya tanaman jelutung rawa selama masa produksinya. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial usaha budidaya jelutung rawa adalah: (a) lahan yang diperuntukkan bagi usaha budidaya jelutung rawa pada penelitian ini adalah lahan gambut terlantar milik petani sendiri, sehingga di dalam analisis tidak memperhitungkan sewa lahan. Biaya lahan yang diperhitungkan hanya nilai pajak (PBB) yang harus dikeluarkan oleh pemilik setiap tahunnya, (b) waktu sadap jelutung rawa menggunakan interval waktu 7 hari, sehingga setiap pohon disadap sebanyak 4 kali dalam sebulan atau 48 kali dalam satu tahun, (c) masa perhitungan analisis merupakan masa produksi (daur) tanaman jelutung selama 30 tahun, (d) satu HOK adalah satu hari orang kerja dengan upah Rp 60.000,- per hari, (e) suku bunga yang digunakan 12%, (f) potensi getah jelutung dalam 1 tahun memiliki pola sebagai berikut: saat musim berbunga selama 3 bulan, produksi getah
Marinus Kristiadi Harun: Strategi Pengembangan Getah Jelutung ...: 138-145 per pohon jelutung pada umur 10 tahun mencapai 75
1. Potensi tanaman
gram per pohon. Sedangkan pada 9 bulan di luar musim bunga produksi getah per pohon jelutung pada umur 10 tahun mencapai 150 gram/pohon. Produksi getah ini setiap 2 tahun mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 80%, (g) potensi getah karet dapat dipanen saat berumur 7 tahun, (h) potensi kayu jelutung di akhir daur diperkirakan diameternya mencapai 40 cm dengan tinggi bebas cabang 12 m, dengan volume kayu sebesar 0,84 m3, (i) harga getah jelutung Rp 6.000,- per kg dan harga getah karet Rp 10.000,- per kg, (j) harga kayu pohon jelutung berdiri sebesar Rp 450.000,- per m3. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat usaha budidaya jelutung rawa pola monokultur dan pola agroforestri diperoleh nilai NPV, BCR dan IRR seperti pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut maka diketahui bahwa usaha budidaya jelutung rawa layak untuk dikembangkan baik secara monokultur maupun mixed cropping. Pola mixed cropping jelutung-karet lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pola monokultur jelutung.
Tabel 1. Matrik kriteria dan indikator penilaian getah jelutung sebagai komoditas HHBK Unggulan
menurut
Permenhut
Nomor
P.21/Menhut-II/2009. Table 1. Matrix assessment criteria and indicators as a commodity sap jelutung Featured NTFPs according Permenhut P.21/MenhutII/2009 number. Kriteria
Ekonomi (Bobot 35%)
Indikator 1. Nilai perdagangan ekspor 2. Nilai perdagangan lokal 3. Lingkup pemasaran 4. P otensi pasar internasional 5. M ata rantai pemasaran 6. Cakupan pengusahaan 7. Investasi usaha
Standar Tinggi (nilai ekspor per tahun ≥ $ 1 juta) Tinggi (nilai perdagangan per tahun > Rp 1 milyar) Internasional, nasional dan lokal Tinggi (diminta oleh > 3 negara) Sedang (melibatkan masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM, dan pemerintah). Meliputi industri hulu dan tengah. Sedikit (<5 badan usaha yang sudah berinvestasi dan belum ada pengusaha besar).
2. Penyebaran Biofisik dan lingkungan (Bobot 15%)
3. Status konservasi 4. Budidaya 5. Aksesibilitas ke sumber HHBK
Sub Total Rendah (persentase jumlah pohon per hektar < 40 % dari kondisi normal). Kurang merata (terdapat di <1/3 wilayah bersangkutan) Tidak terdaftar di CITES Appendix Produksi HHBK < 40% hasil budidaya Dapat dijangkau moda transportasi darat dan atau air tidak sepanjang tahun Sub Total
1. Jumlah Banyak Kelompok (Terdapat > 5 kelompok usaha usaha produsen/koperasi produsen/ komoditi bersangkutan) koperasi 2. Asosiasi Rendah Kelompok (hanya terdapat Kelompok Usaha Tani). 3. Aturan tentang Terdapat aturan dari komoditi pejabat setingkat Eselon I, bersangkutan Gubernur atau Bupati. Kelembagaan 4. Peran Institusi Tinggi (Bobot 20%) (ada dukungan dari berbagai institusi seperti Pemda, UPT, dan LSM) 5. Standar komoditi Belum ada standar baku bersangkutan 6. Sarana/ fasilitas pengembangan Sarana pengembangan komoditi bertaraf lokal bersangkutan Sub Total Sosial 1. Pelibatan Melibatkan sebagian (Bobot 15%) masyarakat masyarakat lokal (5%< prosentase yang terlibat < 20%) 2. Kepemilikan Masyarakat lokal bermitra Usaha dengan pengusaha Sub Total 1. Teknologi Teknologi telah budidaya sepenuhnya dikuasai. Teknologi 2. Teknologi (Bobot 15%) Teknologi pengolahan pengolahan hasil belum dikuasai. hasil Sub Total Total Nilai
18 1 1 3 1 2 8 3
1 2
3
1
1 11 2 3 5 3 1 4 46
Nilai 3 3 3 3 2 2 2
141
Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 2, Edisi Juli 2014
Gambar 1. Jalur distribusi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah Figure 1. Jelutung sap distribution channels in the province of Central Kalimantan Tabel 2. Marjin pemasaran dan keuntungan getah jelutung sebanyak 1 ton untuk setiap pelaku pasar dengan tingkat harga terendah dan tertinggi
Pada Tabel 3 terlihat bahwa tanaman jelutung pola monokultur memberikan keuntungan sebesar 29.933.289,52 dalam luasan 1 ha. Nilai ini berbeda
Table 2. Marketing margins and profits jelutung’s latex per 1 ton for each market players with the lowest price and the highest level Pelaku Usaha
Harga Total Total Marjin Keuntungan (Rp/ Biaya Pendapatan Pemasaran Bersih (Rp/ kg) (Rp/ton) (Rp/ton) Ton) Untuk tingkat harga terendah Penyadap 3.500 1.500.000 3.500.000 11.500 2.000.000 (76,67%) Pengumpul 5.000 750.000 1.500.000 10.500 750.000 (70%) Pengusaha 15.000 1.000.000 10.000.000 9.000.000 Untuk tingkat harga tertinggi Penyadap 4.000 1.500.000 4.000.000 20.500 2.500.000 (82%) Pengumpul 6.000 750.000 2.000.000 19.000 1.250.000 (76%) Pengusaha 25.000 1.000.000 19.000.000 18.000.000
dengan hasil penelitian sejenis oleh Karyono (2008) yang memperoleh nilai pendapatan usaha jelutung mencapai Rp 134.481.000,- per ha. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan asumsi yang digunakan. Pada penelitian tersebut digunakan asumsi volume kayu per ha mencapai 588 m3 dan asumsi getah jelutung umur 8 – 12 tahun mencapai 3 kg/bulan/pohon, umur 13 – 30 tahun mencapai 5 kg/bulan/pohon. Analisis finansial oleh Budiningsih dan Ardhana (2011) menghasilkan nilai pendapatan usaha budidaya jelutung rawa pola monokultur sebesar Rp 21.055.063,- dan pola mixed cropping jelutung rawa-karet sebesar Rp 59.693.845,- per ha. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan
Tabel 3. Analisis finansial usaha budidaya jelutung
suku bunga, jumlah produksi kayu turun. Rekapitulasi
rawa seluas 1 ha dengan nilai NPV, BCR
analisis sensitivitas terhadap analisis finansial usaha
dan IRR pada suku bunga 12%.
budidaya jelutung rawa seperti pada Tabel 4.
Table 3. Financial analysis of jelutung cultivation of 1 ha with NPV, BCR and IRR at 12% interest rate Pola Tanam Monokultur jelutung Mixed cropping jelutung-karet
142
NPV 29.933.289,52 69.799.338,00
BCR 7,88 8,68
IRR 20% 29%
Marinus Kristiadi Harun: Strategi Pengembangan Getah Jelutung ...: 138-145 Tabel 4. Rekapitulasi analisis sensitivitas kelayakan usaha budidaya jelutung rawa Table 4. Recapitulation
sensitivity
sederhana seperti pada Gambar 2. Hal tersebut dapat
analysis
on
feasibility jelutung cultivation Pola tanam
Harga getah Harga kayu karet turun 50% turun 50% Mixed cropping jelutung rawa-karet NPV 35.965.115,00 68.717.893 IRR 23% 29% BCR 6,04 8,28 Monokultur jelutung rawa NPV 29.433.289,52 27.747.869,96 IRR 20% 20% BCR 7,88 6,97
Analisis
sensitivitas
Suku bunga 20% 18.041.160 29% 8,68 664.828,11 20% 7,88
dilakukan
terhadap
perubahan suku bunga serta perubahan pada harga kayu dan getah karet (turun 50%). Berdasarkan analisis sensitivitas tersebut diketahui bahwa usaha budidaya tanaman jelutung rawa baik pada pola campuran dengan karet maupun monokultur cukup kuat terhadap baik perubahan harga getah karet (turun 50%) maupun perubahan harga kayu jelutung rawa (turun 50%). Pada tingkat suku bunga 20% usaha budidaya jelutung rawa baik pola campuran jelutung-karet maupun pola monokultur jelutung masih layak untuk diusahakan. Strategi jelutung
pengembangan
kedepan,
komoditas
berdasarkan
hasil
getah analisis
ketentuan penetapan jenis HHBK unggulan menurut Permenhut
Nomor
P.21/Menhut-II/2009
perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan indikator pada setiap kriteria yang bernilai rendah (nilai 1 dan nilai 2). Identifikasi masalah pengembangan komoditas getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya tersaji pada Tabel 5. Pengembangan komoditas getah jelutung kedepan memerlukan adanya partisipasi petani dan kelembagaan yang membumi. Kelembagaan yang dibangun harus mampu mengatasi permasalahan pengembangan komoditas getah jelutung di lapangan. Strategi
yang
ditawarkan
jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah secara
sebagai
diaplikasikan jika kondisi berikut dapat terpenuhi: (a) adanya kelompok tani pengembang komoditas getah jelutung yang partisipatif dan (b) membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), yakni suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan tersebut diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masingmasing pihak karena kebersamaan yang paling kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing pihak, maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak bertahan lama. Hal lain yang juga penting dalam mendukung suksesnya pengembangan komoditas getah jelutung adalah adanya kemitraan. Kemitraan yang kuat akan membangun kebersamaan yang kuat pula. Kemitraan yang dilakukan mencakup aspek SDM, kelembagaan, budidaya dan keuangan berdasarkan akumulasi asset, modal, ketrampilan, gagasan, kebutuhan
dan
komitmen
petani.
Kemitraan
dilakukan dengan strategi kapasitas individu petani dikembangkan dalam kesatuan ekonomi (kelompok produktif), kelompok produktif menciptakan wadah kebersamaan ekonomi, misalnya Forum Koordinasi Manajemen Kebun (FKMK) dan seluruh kelompok produktif bekerjasama dalam wadah Koperasi Primer. Hasil akhirnya diharapkan terwujud petani yang profesional, kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi, produktivitas kebun tinggi, sistem keuangan kelompok transparan dan hubungan kerjasama yang harmonis.
solusi
permasalahan pengembangan komoditas getah
143
Jurnal Hutan Tropis Volume 2 No. 2, Edisi Juli 2014 Tabel 5. Identifikasi masalah pengembangan getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah dan solusinya Table 5. Identification of development problems sap jelutung in the province of Central Kalimantan and the solution PRIORITAS SOLUSI
PENANGGUNG JAWAB
Penunjukan kawasan konservasi jelutung
Dinas Kehutanan, Bappeda, BPN
Colaborative Management
Dinas Kehutanan, BKSDA
Perambahan, Faktor yang terus mengancam keberadaan hutan rawa kebakaran hutan gambut yang menjadi habitat tumbuhan jelutung. dan tebangan liar
Pencegahan kebakarah hutan dan lahan gambut; penegakan hukum
Dinas Kehutanan, Manggala Agni, Masyarakat peduli Api.
Perijinan pemanfaatan getah jelutung
Perlu Perda yang secara khusus Dinas Kehutanan mengatur tentang perijinan pemanfaat getah jelutung
MASALAH
KONDISI EXISTING
Aspek kawasan Alih fungsi Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai penghasil terbesar kawasan menjadi getah jelutung dihadapkan pada konversi lahan menjadi peruntukan lain perkebunan sawit. Proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya menyebabkan kerusakan pada habitat jelutung alam. Kebijakan pemanfaatan di kawasan lindung
Sampai dengan tahun 2009 pemanfaatan getah jelutung dalam kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau masih diberikan ijin, akan tetapi mulai tahun 2010 akan terus dikurangi sehingga perlu dicarikan alternatif bagi masyarakat peramu getah jelutung di wilayah tersebut.
Belum semua daerah penghasil getah jelutung mengatur hal ini karena hasil getah yang masih dianggap kecil/sedikit
Aspek pemasaran Perluasan tujuan Tujuan ekspor masih terbatas ke negara Jepang. Perluasan eksport manfaat getah dan jaminan kelestarian diharapkan dapat memperluas pemasaran.
Alternatif pasar selain Jepang, seperti negara-negara eropa, amerika, Cina.
Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Industri.
Adanya bahan alternatif
Minyak jagung dapat sebagai subtitusi getah jelutung dengan produk berupa bubble gum.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kontiyuitas pasokan bahan baku
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian.
Pemanfaatan yang masih terbatas
Pemanfaatan getah jelutung saat ini dominan hanya sebagai bahan baku permen karet.
Penelitian alternatif pemanfaatan getah jelutung selain sebagai bahan baku permen karet.
Badan Litbang Kehutanan, Dinas Perindustrian, Dinas Kehutanan
Arus informasi budidaya dan pemasaran
Perlu fasilitasi penyediaan dan penyaluran informasi mengenai budidaya dan pengolahan getah jelutung.
Pusat Informasi Pengembangan komoditas getah jelutung.
Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian.
Bantuan permodalan dalam penyadapan
Bantuan permodalan yang ada baru pada level pengumpul yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia di Kota Palangkaraya
Lembaga Keuangan Mikro
Dinas Koperasi, PNPM Mandiri, Perbankan
Penelitian Pemuliaan jenis jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Palangkaraya, Dinas Kehutanan.
Selang Salah satu karakteristik jenis jelutung dalam menghasilkan penyadapan 7-15 getah hari
Penelitian teknik penyadapan getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Palangkaraya, Dinas Kehutanan.
Pembinaan dan penetapan kualitas
Standar Mutu getah jelutung
Badan Litbang Kehutanan, Universitas Palangkaraya, Dinas Kehutanan.
Aspek budidaya Umur sadap yang Diperlukan pemuliaan jenis yang dapat menghasilkan panjang tanaman berkualitas, yaitu menghasilkan getah yang banyak dengan umur sadap yang relatif lebih cepat. Aspek pengolahan dan kualitas
Belum tersosialisasikan dengan baik mengenai penanganan pasca panen dan kualitas getah yang baik.
Gambar 2 Faktor-faktor yang diperlukan dalam pengembangan getah jelutung sebagai HHBK Unggulan Figure 2. Factors required in the development of jelutung’s latex as Superior NTFPs
144
Marinus Kristiadi Harun: Strategi Pengembangan Getah Jelutung ...: 138-145
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan
ketentuan
penetapan
jenis
HHBK unggulan menurut Permenhut Nomor P.21/ Menhut-II/2009, maka pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa getah jelutung dikategorikan sebagai HHBK Unggulan Provinsi. Hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan getah jelutung adalah pembangunan kelembagaan pengelolaan getah jelutung yang membumi melalui sistem kebersamaan ekonomi yang dijalankan oleh kelompok tani berkategori kelompok lestari. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan perlunya pengembangan lembaga keuangan mikro yang mampu membantu permodalan kelompok tani untuk membudidayakan jelutung.
Budiningsih, K. dan Ardhana, A. 2011. Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010. RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Analisis ekonomi dan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Banjarbaru. Januari 2011. 44 halaman. Karyono, O.K. dan Tati. 2008. Peluang Usaha Budidaya Jelutung (Dyera costulata) pada Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Majalah Kehutanan Indonesia (MKI) Edisi II/2008. Jakarta. Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani [Editor]. Kesiapan
DAFTAR PUSTAKA Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.). Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan Selatan. 25 halaman. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/MenhutII/2009 tentang Kriteria Dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Teknologi
untuk
Mendukung
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp 1 – 14.
Basri, H.M. 2001. Analisis margin pemasaran industri gula aren produksi pengrajin gula aren di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Jurnal Kalimantan Scientiae 58 Th. XIX: 55 – 71. Bastoni
dan A.H. Lukman. 2004. Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Jelutung Pada lahan Rawa Sumatera. Prosiding Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian dengan Tema Menuju Pembangunan Hutan Tanaman Produktivitas Tinggi dan Ramah Lingkungan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Yogyakarta. Halaman 85 – 97.
145