JST Kesehatan, Januari 2012, Vol.2 No.1 : 9 – 17
ISSN 2252-5416
PERAN HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN (hs-CRP) SEBAGAI PENANDA INFLAMASI, INDEKS MASSA TUBUH, & LINGKAR PINGGANG TERHADAP DERAJAT PREMENSTRUAL SYNDROME PADA WANITA USIA SUBUR The Role Of High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-crp Levels as a Inflammatory Marker, Body Mass Index, and Waist Circumference with the Degree of Premenstrualsyndrome in Women of Reproductive Age Anastasia A.Basir1,Uleng Bahrun2 , Irfan Idris3 1
Fisiologi Biomedik, Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin 2 Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin 3 Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin
ABSTRAK Premenstrual syndrome (PMS) muncul sebelum menstruasi yang mempengaruhi gaya hidup atau aktivitas dan berakhir pada saat terjadinya menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran obesitas dan high sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) sebagai penanda inflamasi dengan derajat premenstrual syndrome. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional study menggunakan teknik purposive sampling untuk mendapatkan sampel sebanyak 30 orang wanita usia reproduksi. Data dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian menunjukan bahwa kadar hs-CRP beresiko, 5 kali (IK : 1,039 – 28,533) terjadi premenstrual syndrome. Demikian halnya dengan indeks massa tubuh yang beresiko 21 kali (IK : 2,155 – 204,614) terjadi premenstrual syndrome, sedangkan untuk ukuran lingkar pinggang yang beresiko 5 kali (IK : 1,039 – 28,533) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar hs-CRP, indeks massa tubuh, dan ukuran lingkar pinggang, beresiko untuk terjadi premenstrual syndrome. Kata kunci : kadar high sensitivity C-Reactive Protein Obesitas, premenstrual syndrome
ABSTRACT Premenstrual Syndrome ( PMS) emerge before menstruating and end until the menstruating that influencing life style or activity. This research is conducted to know the role obesity hs-CRP level, with the degree of premenstrual syndrome. This research is executed with a cross sectional study use the purposive sampling technique to get the sampel as much 30 people of age woman reproduce . Data analysed by using test of regresi logistics. The study showed that respondents with levels of hsCRP, 5 time at risk (CI: 1,039 – 28,533) premenstrual syndrome occurs. Likewise with of bmi 21 risk times (CI: 2,155 – 204,614) occurs premenstrual syndrome. Likewise with of waist circumference 5 risk times (CI: 1,039 – 28,533) occurs premenstrual syndrome. It can be concluded that the respondents with hsCRP levels, bmi and waist circumference status, are at risk for PMS occur. Keywords :high sensitivity C-Reactive Protein level,obesity, premenstrual syndrome.
9
Anastasia A. Basir
ISSN 2252-5416
pada wanita ras lainnya, sedangkan jika dilihat dari segi usia prevalensi PMS pada wanita yang berusia 35-44 tahun adalah 4,5%, wanita yang berusia dibawah 35 tahun (9,4%) dan prevalensi yang paling tinggi adalah pada wanita yang berusia 25-34 tahun (10,7%). Wanita yang berpendapatan kurang dari $ 20.000 pertahun lebih banyak mengalami PMS (8,4%) dari pada wanita yang berpenghasilan > $ 20.000 pertahun (6,5%)( (Deuster, 1999). Selain itu juga menurut Resi, (2008) bahwa ada keterkaitan antara premenstrual syndrome dengan karakteristik usia produktif pada wanita. Pada siklus menstruasi normal, pada tahap folikuler, hormon FSH yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis di otak akan mengalir melalui darah menuju ovarium. Hormon ini kemudian akan merangsang pembentukan folikel – folikel dan kemudian mematangkannya, memproduksi ovum dari oogonium, serta merangsang folikel yang telah matang (folikel de graaf) untuk memproduksi hormon estrogen. Folikel yang telah matang kemudian akan pecah dengan diikuti dengan keluarnya ovum (ovulasi) yang disebabkan karena salah satunya dari pengaruh hormon prostaglandin F2α. Setelah ovum dilepaskan dari folikel de graaf, maka folikel ini kemudian akan mengalami kekosongan. Darah akan segera mengisinya dan folikel ini dinamakan corpus rubrum. Kemudian sel – sel granulosa dan theca yang mengelilingi folikel memperbanyak diri dan menggantikan posisi darah yang mengental di dalam kantung – kantung folikel. Sel – sel ini berwarna kuning dan dipenuhi dengan zat lemak. Akhirnya folikel ini mengalami pembesaran akibat cairan yang memadatinya serta mengubah bentuk dan strukturnya menjadi corpus luteum. Corpus luteum ini akan terus mengalami pembesaran atau inflamasi sampai mengalami regresi dan akhirnya pada hari ke – 14 akan mengalami atrofi menjadi corpus albicans sehingga produksi progesteron akan
PENDAHULUAN Wanita mulai dari usia remaja hingga dewasa normalnya akan mengalami periode menstruasi atau haid dalam perjalanan hidupnya, yaitu pengeluaran darah yang terjadi secara periodik melalui vagina yang berasal dari dinding rahim wanita. Keluarnya darah tersebut disebabkan karena sel telur tidak dibuahi sehingga terjadi peluruhan lapisan dalam rahim yang banyak mengandung pembuluh darah. Sebelum fase menstruasi, seringkali seorang wanita mengalami premenstrual syndrome. Premenstrual syndrome merupakan gangguan siklus yang umum terjadi pada wanita muda dan pertengahan, ditandai dengan gejala fisik dan emosional yang konsisten, terjadi selama fase luteal pada siklus menstruasi (Saryono, 2009). Berdasarkan hasil penelitian American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) di Sri Lanak, melaporkan bahwa gejala premenstrual syndrome dialami sekitar 65,7% remaja putri. Hasil studi lain yang dilakukan di Iran bahwa ditemukan sekitar 98,2% mahasiswi yang berumur 18-27 tahun mengalami paling sedikit 1 gejala premenstrual syndrome derajat ringan atau sedang. Keseluruhan bukti menyatakan bahwa premenstrual syndrome adalah sebuah bentuk gangguan yang umum dialami oleh remaja di Asia (Mahin, 2011). Dalam suatu penelitian pada tahun 1994 yang berjudul Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome yang melibatkan 874 wanita di Virginia menunjukkan 8,3% dari wanita tersebut mengalami PMS, dari penelitian tersebut terungkap bahwa wanita yang mengalami PMS 2,9 kali lebih sering memeriksakan diri dibandingkan dengan wanita tanpa PMS. Wanita yang lebih muda, wanita dari ras kulit hitam dan wanita dengan siklus menstruasi yang lebih panjang lebih sering mengalami PMS. Prevalensi PMS adalah 10,4% pada wanita kulit hitam, 7,4% pada wanita kulit putih dan 4,3% 10
Kadar high sensitivity C-Reactive Protein Obesitas, premenstrual syndrome
menurun sehingga terjadi menstruasi atau haid Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat – zat mikrobiologik. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk menetralisir dan membasmi agen – agen yang berbahaya pada tempat cedera. Berbagai macam rangsangan inflamasi termasuk Reactive Oxygen Spesies (ROS) dapat mengaktivasi pelepasan interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), dan Tumor Necrosis Factor tipe α (TNFα) yang kemudian merangsang pelepasan CReactive Protein yang diproduksi dan disintesis dihati. C-Reactive Protein merupakan protein fase akut yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut. Peningkatan sintesis CReactive Protein akan meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CReactive Protein yang tinggi menunjukkan infeksi yang persisten (Bratawijaya, K.G., 2004) Penanda inflamasi yang dianggap terbaik saat ini adalah high sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) karena bersifat stabil, ketersediaan assay untuk pemeriksaan laboratorium mudah, dan ada standardisasi dari WHO, serta hs-CRP dapat mendeteksi inflamasi sampai tingkatan terendah (low grade inflammation). Obesitas merupakan keadaan dimana terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebih sehingga berat badan seseorang jauh diatas normal dan dapat membahayakan kesehatan. Obesitas dapat diketahui dengan menggunakan dua metode yaitu dengan pengukuran indeks massa tubuh, dan pengukuran lingkar pinggang. Berdasarkan hasil penelitian, mengenai hubungan hs-CRP pada siklus menstruasi, dijelaskan bahwa konsentrasi CRP berubah secara signifikan selama siklus menstruasi (Blum et al, 2005). Pada penelitian yang lain, ditemukan terdapat peningkatan resiko pada wanita
ISSN 2252-5416
dengan IMT rendah untuk mengalami premenstrual syndrome (Hirata et al, 2002). Oleh karena itu, mengingat pentingnya kadar hs-CRP selama siklus menstruasi serta pentingnya pengendalian IMT maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein, IMT, dan ukuran lingkar pinggang dengan derajat premenstrual syndrome. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Makassar. Desain penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan desain cross sectional study. Populasi dan sampel Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang meliputi semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia reproduksi (14 - 30 tahun) yang memiliki siklus menstruasi teratur. Sampel sebanyak 30 orang yang dilih secara sampling purposive, terdiri dari 15 orang yang memiliki IMT normal, dan 15 orang yang memiliki IMT obesitas yang menandatangani informed consent. Metode pengumpulan dan analisa data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Penentuan derajat premenstrual syndrome menggunakan Diagnostic and Statistical Manual of Mental DisordersFourth Edition-Text Revision (DSM-IVTR), pengukuran IMT dan Lingkar pinggang diukur dengan menggunakan meteran dan pengukur tinggi badan. Karakteristik sampel diolah dengan menggunakan bantuan komputer.untuk menilai hubungan tingkat kecemasan dan status marital dengan derajat premenstrual syndrome digunakan analisis “uji regresi logistik”
11
Anastasia A. Basir
ISSN 2252-5416
memiliki kadar hs-CRP ≥1, 70% responden yang PMS berat. Berdasarkan indeks massa tubuh dari 8 responden yang memiliki IMT normal 30% yang PMS berat. Sedangkan dari 15 orang responden dengan IMT obesitas, 70 % yang PMS berat. Berdasarkan ukuran lingkar pinggang dari 6 responden yang memiliki ukuran lingkar pinggang normal 30% yang PMS berat. Sedangkan dari 14 orang responden dengan ukuran lingkar pinggang obesitas, 70 % yang PMS berat. Dari tabel tersebut juga menunjukkan bahwa kadar hs-CRP 5 kali (IK : 1,039 – 28,533) beresiko untuk terjadi PMS, indeks massa tubuh 21 kali (IK : 2,155 – 204,614) beresiko untuk terjadi PMS. Sedangkan ukuran lingkar pinggang 5 kali (IK : 1,039 – 28,533) beresiko untuk terjadi PMS Tabel 3 memperlihatkan peran kadar hs-CRP, indeks massa tubuh, dan ukuran lingkar pinggang terhadap terjadinya premenstrual syndrome. Pada tabel memperlihatkan bahwa yang paling berperan dalam menyebabkan terjadinya premenstrual syndrome adalah kadar hsCRP dengan nilai Exp(B) tertinggi yaitu 4,278 (IK : 0,544 – 33, 624), kemudian diikuti dengan nilai Exp (B) pada indeks massa tubuh yaitu 1,066, dan 0,000 untuk nilai Exp(B) untuk ukuran lingkar pinggang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik sampel Tabel 1 memperlihatkan karakteristik umur, memperlihatkan umur minimal adalah 17 tahun, dan umur maksiimal pada sampel 30 tahun, dengan nilai mean±std.deviasi adalah 22,67±2,880. Pada karakteristik kadar hs-CRP, memperlihatkan kadar hs-CRP minimal adalah 0,14 mg/L, dan kadar hsCRP maksiimal pada sampel 8,12 mg/L, dengan nilai mean±std.deviasi adalah 1,69±1,91. Pada karakteristik nilai IMT, memperlihatkan nilai IMT minimal adalah 18,5, dan nilai IMT maksimal pada sampel 34,7, dengan nilai mean±std.deviasi adalah 24,11±3,855. Pada karakteristik ukuran lingkar pinggang, memperlihatkan ukuran lingkar pinggang minimal adalah 62 cm dan ukuran lingkar pinggang maksimal pada sampel 99 cm, dengan nilai mean±std.deviasi adalah 81,60±8,861. Pada karakteristik derajat premenstrual syndrome, memperlihatkan nilai skor derajat premenstrual syndrome minimal adalah 4 , dan nilai skor derajat premenstrual syndrome maksimal pada sampel 31, dengan nilai mean±std.deviasi adalah 22,23±7,938. Tabel 2 memperlihatkan data bahwa 7 responden yang memiliki kadar hsCRP < 1, 70% yang mengalami PMS ringan. Sedangkan 14 responden yang
Tabel 1. Deskriptif Variabel Responden Variabel Umur (tahun) hs-CRP (mg/dL) IMT (kg/m2) Lingkar pinggang (cm) Skor Derajat Premenstrual syndrome
N 30 30 30 30 30
Min 17 0,14 18,5 62 4
12
Max 30 8,12 34,77 99 31
Mean 22,67 1,69 24,11 81,60 22,23
Std. Deviasi 3,880 1,909 3,855 8,861 7,938
ISSN 2252-5416
Kadar high sensitivity C-Reactive Protein Obesitas, premenstrual syndrome
Tabel 2. Hubungan umur, kadar hs-CRP, Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan derajat premenstrual syndrome
Umur 14 – 24 (tahun) 25 – 34 Kadar <1 Hs-CRP ≥1 (mg/dL) IMT Normal (kg/m2) Obes Lingkar Normal pinggang Obes (cm) Total
Derajat premenstrual syndrome Ringan Berat n % n % 6 60 11 55 4 40 9 45 7 70 6 30 3 30 14 70
OR (IK 95%)
OR = 1,227 ( .388 – 7,153) OR = 5,444 (1,039 – 28,533)
9 1 7 3
90 10 70 30
6 14 6 14
30 70 30 70
OR = 21,000 (2,155 – 204,614)
10
33,3
20
66,7
OR = 5,444 (1,039 – 28,533)
Tabel 3. Peran kadar hs-CRP, Indeks Massa Tubuh, lingkar pinggang, dengan premenstrual syndrome Variabel
hs-CRP (mg/dL) IMT (kg/m2) Lingkar Pinggang (cm) Constanta
B
S.E.
Wald
1.454
1.052
1,910
1
.167
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper 4.278 .544 33.624
23.090
2.842
.000
1
.999
1.066
.000
-
20.240
2.842
1.910
1
.999
.000
.000
-
-5.266
2.462
4.574
1
.032
.005
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat adanya hubungan antara tingkat kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan derajat premenstrual syndrome pada wanita usia subur dengan nilai OR = 5,444 (1,039 – 28,533). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Puder,J.J (2006) bahwa terdapat hubungan antara kadar high sensitivity CReactive Protein pada wanita usia muda. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Capuron (2011) bahwa terdapat korelasi positif antara Hs-CRP dengan kecemasan dan depresi, apabila kadar Hs-CRP
df
Sig.
Exp(B)
tinggi, dapat diprediksi bahwa tingkat kecemasan dan depresi pun meningkat. Pada siklus menstruasi normal, ditandai oleh tingginya kadar FSH dan rendahnya kadar LH, estradiol, dan progesteron. Kadar FSH yang tinggi ini diperlukan untuk menstimulasi pertumbuhan folikel – folikel ovarium, sintesis estradiol oleh folikel, dan proliferasi endometrium. Seiring berlangsungnya proses maturasi folikel dominan pada fase folikel akhir, kadar estradiol meningkat tajam. Peningkatan kadar estradiol inilah yang memicu
13
Anastasia A. Basir
ISSN 2252-5416
lonjakan LH pada pertengahan siklus menstruasi. Lonjakan LH ini akan menginduksi proses ovulasi, yang menandai berakhirnya fase proliferasi. Fase berikutnya adalah fase luteal yang ditandai dengan terbentuknya korpus luteum dibawah pengaruh LH. Sepanjang fase luteal kadar LH dan FSH akan terus turun ke titik terendah . Jika tidak terjadi fertilisasi, korpus luteum akan mengalami degenerasi sehingga kadar estradiol dan progesteron yang dihasilkan pun akan menurun secara drastis. Pada siklus menstruasi normal, pada fase luteal, terjadi penurunan kadar estradiol, apabila terjadi peningkatan estradiol sedikit saja pada fase luteal, maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya premenstrual syndrome. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wunder et al (2006) bahwa peningkatan kadar estrogen dapat menstimulasi produksi hsCRP di hati. Pada penelitian lain Blum (2005) menjelaskan bahwa konsentrasi hs-CRP dapat berubah secara signifikan selama siklus menstruasi. Konsentrasi akan meningkat pada fase folikel awal dan berkorelasi negatif dengan konsentrasi estrogen (estrogen E2). Distudi yang lain menurut Jilma (1997) terdapat korelasi yang signifikan antara peningkatan kadar hs-CRP pada siklus pertengahan dan peningkatan progesteron selama siklus petengahan dan pada fase luteal. Dalam tabel 2 terlihat bahwa responden yang memiliki kadar hs-CRP yang tinggi dan mengalami derajat premenstrual syndrome ringan sebanyak 3 responden (30%) sedangkan responden yang memiliki kadar hs-CRP ringan dan mengalami derajat premenstrual syndrome berat sebanyak 6 responden (30%). Kadar hs-CRP merupakan faktor dominan atau utama pada premenstrual syndrome. Hal ini dapat terlihat dari tabel 3 tentang peran masing-masing kadar hsCRP, indeks massa tubuh, dan ukuran lingkar pinggang terhadap derajat premenstrual syndrome yang dinilai dari
nilai Exp(B) sebesar secara berturut-turut 4,278; 1,066 dan 0,000 Penelitian Lee et al (2006) yang mendapatkan hubungan bermakna yang mendapatkan hubungan bermakna antara indeks massa tubuh yang tinggi dengan premenstrual syndrome. Harlow et al (2009), Rowland et al (2009) juga mendapatkan hubungan bermakna antara tingginya indeks massa tubuh dan perpanjangan siklus menstruasi. Gangguan menstruasi juga dapat terjadi pada wanita dengan indeks massa tubuh rendah, seperti yang didapatkan oleh Hirata et al (2009) yaitu adanya peningkatan resiko pada wanita dengan indeks massa tubuh rendah untuk mengalami nyeri menstruasi. IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan indikator terbaik untuk obesitas. Perempuan dengan berat badan berlebihan, memiliki empat sampai lima kali lebih sering terjadi gangguan fungsi ovarium. Menunjukkan aktivitas kelenjar suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron, androstenadion, serta peningkatan rasio estron atau estradiol. Serta ditemukan pula penurunan kadar sex hormone binding globuline (SHBG) serum. Sintesis hormon steroid ovarium dimulai dari perkembangan folikel ovarium, folicle stimulatting hormone (FSH) akan merangsang perkembangan folikel primordial yang selanjutnya akan membentuk hormon steroid. Sumber pembuatan hormon steroid adalah kolestrol yang berasal dari makanan yang dibawa oleh low density lipoprotein (LDL) dalam pembuluh darah, kolestrol yang dibuat oleh sel – sel endokrin, dan kolesterol yang disimpan oleh sel – sel endokrin (Ramadhy, 2011). Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa ada hubungan antara lingkar pinggang dengan derajat premenstrual syndrome pada wanita usia subur dengan nilai OR = 5,444 (1,039 – 28,533), lebih kecil apabila dibandingkan denga nilai OR pada hubungan nilai IMT dengan 14
Kadar high sensitivity C-Reactive Protein Obesitas, premenstrual syndrome
derajat premenstrual syndrome yaitu OR = 21,000 (2,155 – 204,614). Menurut teori, yang seharusnya lebih berperan pada terjadinya premenstrual syndrome adalah ukuran lingkar pinggang. Hal ini disebabkan karena pada karakteristik sampel, penelitian ini hanya mengambil range umur antara 17 – 30 tahun, mengakibatkan pada range umur yang demikian distribusi lemak masih terjadi secara menyeluruh. Secara teori dijelaskan bahwa pengukuran lingkar pinggang juga sebagai pertanda kuantitas lemak di perifer . Lingkar pinggang merupakan pengukuran distribusi lemak abdominal yang berhubungan erat dengan indeks massa tubuh (Bell et al., 2001). Semakin banyak distribusi lemak dalam tubuh, menyebabkan kadar lemak yang menjadi sumber pembuatan estrogen menjadi faktor penyebab premenstrual syndrome yang dapat diketahui melalui pengukuran lingkar pinggang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fasli J et al (2008) menunjukkan terdapat hubungan positif antara lingkar pinggang dengan kadar lemak (trigliserida, HDL kolesterol). Lemak intraabdominal dan lemak subkutan abdominal memiliki arti penting dibandingkan dengan lemak subkutan yang ada di bokong dan ektremitas bawah. Hal ini mungkin berkaitan dengan fakta yang menyatakan bahwa adiposit intraabdominal lebih bersifat lipolitik aktif dibandingkan dengan yang berasal dari simpanan lain. Riset yang dilakukan oleh Flier (2005), di Universitas Birminghan, Inggris membuktikan bahwa sel lemak di sekitar pinggang merupakan sel-sel aktif berlebih yang dapat mengacaukan stabilitas insulin dan meningkatkan tekanan darah dan kolesterol dalam darah. Penelitian yang dilakukan Natasya (2007) menjelaskan bahwa sel lemak dapat menghasilkan sitokin-sitokin yang memiliki efek seperti organ endokrin. Beberapa diantaranya yaitu : leptin, adiponektin, interleukin-6, resistin dan TNF-α. Selain itu, Interleukin 6 (IL – 6) juga akan menginduksi
ISSN 2252-5416
produksi protein inflamasi dari hati seperti C-Reactive Protein (De Maat, 2001). Menurut Natasya (2007) menjelaskan bahwa interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak. Peningkatan kadar interleukin – 6 dipengaruhi oleh ukuran sel lemak. Efek pro-inflamasi yang dimiliki oleh dapat dihubungkan dengan resistensi insulin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Koenig (1999) menjelaskan bahwa pada keadaan obese, adiposit akan mensekresi TNFα yang akan menstimulasi preadiposit kemudian akan mengeluarkan Monosit Kemoatractant Protein – 1 (MCP – 1) sehingga terjadi peningkatan makrofag pada jaringan adiposa. Dengan keberadaan makrofag pada jaringan adiposa dan menjadi aktif, maka makrofag tersebut akan menghasilkan berbagai sitokin, diantaranya leptin, resitin, interleukin 6, PAI – 1, dan angiotensinogen. Menurut Natasya (2007) menjelaskan bahwa resistin merupakan hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak. Resistin diperkirakan berperan dalam obesitas dan diabetes tetapi patogenesisnya belum diketahui sampai saat ini. Kadar leptin dalam serum berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin pada sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Hipotalamus merupakan tempat yang penting bagi kerja leptin sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran energi serta memiliki peran dalam beberapa aksis neuroendokrin. Efek yang menonjol dari leptin yaitu menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan sensitivitas insulin. Perempuan dengan kadar lemak berlebihan, 4 -5 kali lebih sering terjadi gangguan fungsi ovarium. Pada perempuan gemuk terjadi kelebihan androgen dan kelebihan estrogen terutama estron. Pada perempuan gemuk didapatkan keadaan hormonal sebagai 15
Anastasia A. Basir
ISSN 2252-5416
berikut : produksi androgen suprarenal meningkat, peningkatan pengeluaran 17ketosteroid dan 17-hidroksisteroid, kadar plasma testosteron meningkat, kadar plasma androstenadion meningkat, rasio estron/estradiol 2,5, kadar sex hormon binding globulin (SHBG) rendah (Baziad, 2003). Sintesis hormon steroid dimulai dari perkembangan folikel ovarium, hormon folikel stimulating hormon (FSH) akan merangsang perkembangan folikel primordial yang selanjutnya akan membentuk hormon steroid. Hormon steroin dibentuk oleh kolesterol yang berasal dari diet yang berasal dari low density lipoprotein (LDL) dalam pembuluh darah. (Herslagh A, 1998). Apabila kadar kolesterol dalam tubuh yang ditandai dengan ukuran lingkar pinggang dapat menyebabkan rendahnya kadar hormon steroid termasuk kadar estrogen progesteron sebagai penyebab munculnya premenstrual syndrome, demikian juga sebaliknya. Obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity) yang ditentukan oleh ukuran lingkar pinggang. Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya timbunan lemak tubuh pada daerah gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut “gynoid obesity”. Tipe obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (Bergman et al., 2001). Termasuk adanya kejadian premenstrual syndrome.
:1,039 – 28,533) Dengan demikian, wanita usia reproduksi, diharapkan dapat mengetahui adanya hubungan kadar hsCRP dengan derajat premenstrual syndrome. Kepada peneliti berikutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian dengan membandingkan responden dengan usia dibawah 40 tahun, dan yang berusia diatas 40 tahun, yang mungkin diabaikan pada penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Baziad, A. (2003). Estrogen dan Progesteron dalam Endokrinologi Ginekologi. Edisi 2. Media Aesculapius UI: Jakarta, hlm. 3566. Bell, Ge K., Popkin B.M. (2001). Weight gain and its predictors in Chinese adults. Int Jnationed Metabolism Disorder. 25:1079-1086. Bergman,Van.C., Mittelman, S.D. (2001) Central Role of Adipocytes in Metabolic Syndrome. J.Investig.Med. Blum.C.A., (2005). Low grade inflamattion and estimates of insulin resistance during the menstrual cycle in lean and overweight women (Online) (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1 5797950, diakses 7 Februari 2012) Bratawijaya, K.G., (2006). Imunologi Dasar. Edisi 6. FK-UI: Jakarta. Capuron,L., Poitou,C., Machaux-Tholliez D. et al. (2010). Relationship between adiposity, emotional status and eating behaviour in obese women: role in inflammation. 41 (7):1517 – 28. De Maat MP & Kulft C. (2001). Determinants of C-Reactive Protein Concentration in Blood. Italian Heart Journal. 189-195 Deuster et., al. (1999). Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome (Online), (http://www.archfammed.com, Diakses 20 Maret 2012)
KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan kadar hs-CRP dengan derajat premenstrual syndrome dan 5 kali (1,039 – 28,533) beresiko untuk terjadi PMS. Selain itu, indeks massa tubuh juga berhubungan dengan derajat premenstrual syndrome dan 21 kali (IK :2,155 – 204,614) untuk terjadi premenstrual syndrome. Sedangkan ukuran lingkar pinggang juga berhubungan dengan derajat premenstrual syndrome dan 5 kali (IK 16
Kadar high sensitivity C-Reactive Protein Obesitas, premenstrual syndrome
Elizabeth R, Bertone. (2010). Adiposity and the Development of Premenstrual Syndrome. Journal Of Women’s Healath. Mary Ann Liebert, Inc. Fasli Jalal, et al. (2008). Lingkar Pinggang, Kadar Glukosa Darah, Trigliserida dan Tekanan Darah pada Etnis Minang di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Media Medika Indonesiana. Flier, J. S. (2005). Obesity. 15th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, page 479. Harlow,S.D., Matanoski G.M. (2009). The Associator Between Weight Physical Activity and Stress and Variation in The Leght of The Menstrual Cycle.Am.J.Epid. 133(1): 38 – 49 Herslagh and Peterson. (1998). Obstetry and Gynecologyc. New York: The McGraw-Hill Companies, page 391. Hirata, M., Kumabe, K., Inoue Y. (2009). Relationship between the frequency of menstrual pain and bodyweight in female adolescents. Nippom Koshu Eishei Zaschi. 49 (6) : 516 – 24. Jilma.B., Dirnberger E., Loscher I., Rumplmayr A., Hildebrandt J., Eichler HG., Kapiotis S., & Wegner OF. (1997). Menstrual Cycle-Associated Changed In Blood Levels of Interleukin – 6, alpha 1 acid glycoprotein, and CReactive Protein. Journal of Clinical Medicine. Page: 69 – 75. Koenig W., Sund, M., Frochlich M. et al (1999). C-Reactive Protein a sensitive marker of inflammation, predicts future risk of coronary
ISSN 2252-5416
heart disease in initially healthy middle aged men. 99: 237 - 42 Lee,L.K., Chen, P.C.Y., Lee,K., Kaur,J., (2009). Menstruation among adolescent girls in Malaysia : a cross sectional schooll survey. Singapore. Med.J. 47 (10): 869 Mahin Delara, (2011). Health related quality of life among adolescents with premenstrual disorders: a cross sectional study. Depratment of Health Education, Medical School, Tarbiat Modares University,Tehran, Iran. Natasya N. (2007). Resistensi Insulin pada Obesitas Sentral. BIK Biomed Vol. 3 No. 3 FK Universitas Sam Ratolangi Menado Puder,J.J., Blum,C.A., Mueler, B., et al (2006). Menstrual cycle symptoms are associated with changes in low – grade inflammation. 36 (1) : 58 – 64. Ramadhy, A.S. (2011). Biologi Reproduksi. PT. Refika Aditama. Bandung. Page : 79. Rowland, A.S., Baird, D.D., Long,S., Wegienka, G., Harlow, S.D., Alavanja M. (2009). Influence of Medical Condition and Lifestyle Factors On the Menstrual Cycle. 13(6): 668 – 74. Wunder, D.M., Yared, M., Bersinger,N.A., Widmer, D., Kretshmer R., (2006). Serum Leptin And C-Reactive Protein Levels In The Physiological Spontaneuous Menstrual Cycle In Reproductive Age Women. European Journal of Endocrinology.155. 137 – 142.
17