JST Kesehatan, April 2017, Vol. 7 No. 2 : 185 – 190
ISSN 2252-5416
PREVALENSI RETINOPATI DIABETIK YANG MENGANCAM PENGLIHATAN DAN TIDAK TERDIAGNOSA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO The Prevalence of Undiagnosed Sight Threatening Diabetic Retinopathy in dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Nursyamsi,1 Habibah S. Muhiddin,2 A. Muhammad Ichsan 3 1
Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (email:
[email protected]) 2 Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (email:
[email protected]) 3 Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (email:
[email protected])
ABSTRAK Saat ini Diabetes Mellitus (DM) merupakan ancaman endemik global. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka prevalensi penderita Retinopati Diabetik (RD) yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosis di RSWS tahun 2016. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di RSUP Wahidin Sudirohusodo selama 3 bulan. Sampel sebanyak tujuh puluh tiga pasien Diabetes Mellitus (132 mata). Data diperoleh dari hasil pemeriksaan oftalmologi dan foto fundus berwarna yang dilakukan grading dengan menggunakan Scottish Diabetic Retinopathy Grading System, serta data sekunder dari catatan rekam medik pasien yang bersangkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi penderita RD dan STDR yang tidak terdiagnosis di RSUP Wahidin Sudirohusodo sebesar 71,11% dan 68,42 % secara berurutan dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara karakteristik pasien secara umum dengan kejadian retinopati diabetik. Faktor-faktor penyebab terjadinya Retinopati Diabetik yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosa dan antara lain ketatnya kriteria rujukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), ketersediaan layanan spesialistik khususnya mata di daerah dan lokasi tempat tinggal pasien dari RSUP Wahidin Sudirohusodo Kata kunci: Retinopati diabetik, Scottish Diabetic Retinopathy Grading System
ABSTRACT Diabetes mellitus is now global endemic threat. This study aimed to determine the prevalence of patients with Diabetic Retinopathy (RD) sight-threatening and undiagnosed in RSWS 2016. The research is descriptive research which was conducted at Dr Wahidin Sudirohusodo hospital for 3 months on seventy-three patients with Diabetes Mellitus (132 eyes). The data were obtained from the results of ophthalmologic examination and colour fundus photograph which was grading by using Scottish Diabetic Retinopathy Grading System, as well as secondary data from patient medical record is concerned. The results showed that the prevalence of diabetic retinopathy and undiagnosed sight threatening diabetic retinopathy at Dr Wahidin Sudirohusodo hospital amounted to 71.11% and 68.42% respectively and there are no correlation statistically significant between the general characteristics of patients with the incidence of diabetic retinopathy. Factors that causes undiagnosed Sight Threatening Diabetic Retinopathy are strict referral criteria in firstlevel health facilities (FKTP), lack of speciality services in particular ophtalmology in the districts area and the location of the patient's living area from Dr Wahidin Sudirohusodo hospital Keywords: Diabetic retinopathy, Scottish Diabetic Retinopathy Grading System
185
Nursyamsi
ISSN 2252-5416
Berdasarkan hasil surveilans PTM (Penyakit Tidak Menular) berbasis rumah sakit di Sulawesi Selatan pada tahun 2009, diperoleh informasi bahwa lima urutan PTM terbanyak ditemukan pada rumah sakit sentinel, yaitu kecelakaan lalu lintas (29,48%), hipertensi (20,87%), asma (7,43%), kekerasan (5,67%), dan diabetes mellitus (6,65%). Seiring bertambahnya penderita DM, prevalensi RD ikut meningkat, begitu juga risiko kebutaan yang diakibatkannya. Data dari The DiabCare Asia 2008 Study, menunjukkan 42% penderita DM di Indonesia mengalami komplikasi RD (Soegondo et al., 2010). Angka tersebut berbeda di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Paulus & Gariano (2009), yang dilakukan di layanan primer daerah urban Jakarta pada pasien geriatri, mendapatkan prevalensi DR sebesar 28%. Penelitian lain oleh Handayani & Tandra (2010), mendapatkan prevalensi RD pada klinik mata di Surabaya sebanyak 17,2%. Kebutaan akibat RD menjadi masalah kesehatan yang diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat. Masalah utama dalam penanganan RD adalah keterlambatan diagnosis karena sebagian besar penderita pada tahap awal tidak mengalami gangguan penglihatan. Berbagai penelitian dari berbagai belahan dunia, baik yang berbasis populasi atau rumah sakit melaporkan angka prevalensi RD dan STDR cukup tinggi, begitu juga dengan kasus yang tidak terdiagnosis sebelumnya. Data RISKESDAS tahun 2013, menunjukkan bahwa RD merupakan komplikasi terbanyak ke-2 yaitu sebesar 33,40% yang didapatkan pada penderita diabetes yang dirawat di RSCM tahun 2011. Data ini kurang lebih sama dengan prevalensi RD secara global yaitu sekitar 34,6% (Yau et al., 2012). Di Makassar sendiri, penelitian tentang prevalensi RD terutama yang mengancam kebutaan dan tidak terdiagnosis belum pernah dilakukan. Tingginya angka prevalensi RD dan STDR yang tidak terdiagnosis bahkan pada penelitian berbasis populasi sebelumnya, mengindikasikan perlunya evaluasi sejauh mana pelayanan kesehatan mata terhadap penderita diabetes,khususnya skrining RD. Berdasarkan hal
PENDAHULUAN Saat ini Diabetes Mellitus (DM) merupakan ancaman endemik global. Bukan saja sebagai penyebab kematian, namun juga sebagai penyebab terjadinya penyakit lain akibat komplikasi yang ditimbulkannya. Diperkirakan di tahun 2014 sekitar 422 juta penduduk dunia menderita diabetes dibandingkan tahun 1980 yang masih sekitar 108 juta jiwa. Prevalensi global meningkat sejak tahun 1980 dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi dewasa (World Health Organisation, 2016). Istilah “ Diabetes Mellitus” menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan penyebab yang multipel, yang memiliki karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Efek dari DM meliputi kerusakan, disfungsi dan kegagalan multipel organ dalam jangka panjang (World Health Organisation, 2016). Survei Rapid Assesment of Avoidable Blindness (RAAB) + DR yang dilakukan di Suriname pada tahun 2013 melaporkan dari total 2.806 individu yang berusia > 50 tahun yang diperiksa, didapatkan prevalensi diabetes sebesar 24,6%, 21,6% diantaranya menderita makulopati dan 8% menderita sight threatening diabetic retinopathy (STDR). Dari keseluruhan sampel yang menderita diabetes 34,2% tidak pernah menjalani pemeriksaan mata atau skrining RD, dan 13% menjalani skrining RD > 24 bulan yang lalu (Minderhoud et al., 2015). Penelitian population based terbaru di Singapura, Singapore Epidemiology of Eye Diseases (SEED) study, yang mengumpulkan sampel dari 3 kelompok etnik, Cina, Melayu dan India yang bermukim di Singapura dan berusia diantara 40-80 tahun melaporkan dari total 10.033 sampel populasi, 2376 (23,7%) orang menderita DM, dan 805 (33,9%) orang diantaranya menderita RD. Penelitian ini juga memaparkan dari 805 sampel yang menderita RD, 671 (83,3%) kasus tidak terdiagnosis dan diantara 212 kasus Vision-Threatening DR (VTDR) 59 (27,3%) kasus tidak terdiagnosis pada pemeriksaan sebelumnya sehingga penelitian ini merekomendasikan strategi skrining yang lebih baik untuk mengurangi angka kebutaan akibat diabetes (Huang et al., 2014).
186
Retinopati diabetik, Scottish Diabetic Retinopathy Grading System
tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka prevalensi penderita Retinopati Diabetik (RD) yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosis di RSWS tahun 2016.
ISSN 2252-5416
HASIL Telah dilakukan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui angka prevalensi penderita Retinopati Diabetik (RD) yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosis di RSWS tahun 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Lokasi penelitian dilakukan Di RS Wahidin Sudirohusodo. Penelitian dilakukan selama 3 bulan sejak bulan September 2016 sampai dengan November 2016. Selama kurun waktu tersebut diperoleh subjek penelitian sebanyak 132 mata yang terdiri dari 73 sampel yang terdiri dari 38 laki-laki (52%) dan 35 perempuan (48%) yang diperoleh secara purposive sampling. Prevalensi subjek dengan RD dan non RD didapatkan dari 73 subyek yang diteliti prevalensi RD sebesar 61,64% dan subjek yang non RD sebesar 38,36%. Prevalensi subjek yang sudah terdiagnosa RD dan tidak terdiagnosa RD didapatkan dari 45 subyek yang diteliti prevalensi RD yang tidak terdiagnosa sebesar 71,11% dan subjek yang tidak terdiagnosa RD sebesar 28,89%. Berdasarkan penelitian menunjukkan STDR yang tidak terdiagnosa, dan STDR yang sudah terdiagnosa didapatkan dari 19 subyek yang diteliti prevalensi STDR yang tidak terdiagnosa sebesar 68,42% dan subjek yang tidak terdiagnosa RD sebesar 31,58% (Tabel 1).
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lokasi penelitian dilakukan Di RS Wahidin Sudirohusodo. Penelitian dilakukan selama 3 bulan sejak bulan September 2016 sampai dengan November 2016. Desain dan Variabel Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain potong lintang (cross-sectional). Variabel penelitian terdiri atas: variabel bebas (hiperglikemi), dan variabel tergantung (prevalensi retinopati diabetik). Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di poliklinik endokrin RS Wahidin Sudirohusodo periode September sampai dengan November 2016. Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi sehingga seluruh populasi juga merupakan sampel. Metode Pengumpulan Data Semua responden akan diberikan informed consent mengenai penelitian dan diminta kesediaannya untuk mengikuti penelitian. Dilakukan pengisian data diri responden dan kuesioner. Dilakukan pengukuran tajam penglihatan dengan menggunakan Snellen Chart. Dilakukan pengukuran tekanan bola mata dengan menggunakan tonometer Schiotz. Dilakukan pelebaran pupil untuk dilakukan pemeriksaan fundus, jika tekanan bola mata normal. Hasil pemeriksaan diisi pada form dan disimpan dalam bentuk digital. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh akan dikelompokkan sesuai dengan tujuan dan jenis data, kemudian akan dilakukan analisis melalui komputer dengan menggunakan program SPSS edisi 22.
Tabel 1. Prevalensi RD yang sudah Terdiagnosa, dan Tidak Terdiagnosa Tidak terdiagnosa RD 32 71,11% RD : Retinopati Diabetik
Sudah terdiagnosa RD 12 28,89%
Total 45 100
RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan FKTP menunjukkan bahwa sebagian besar subjek RD yang tidak terdiagnosa memilih tempat berobat pertama kali pada dokter keluarga yaitu sebanya 57,85, begitu juga untuk subjek yang terdiagnosa RD sebagian besar memilih tempat berobat pertama kali pada dokter keluarga yaitu sebanyak 22,2%. Tidak ada perbedaan sebaran untuk subjek dengan RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan FKTP (p>0,05) (Tabel 2).
187
Nursyamsi
ISSN 2252-5416
Tabel 2. RD yang Berdasarkan FKTP
N 26 4 3 33
Tidak
RD yang tidak terdiagnosa Ya Tidak % N % 57,8 10 22,2 8,9 2 4,4 6,7 0 0 73,3 12 26,7
DOKEL PKM KLINIK TOTAL RD : Retinopati Diabetik FKTP adalah Fasilitas kesehatan tingkat pertama FKTP
Terdiagnosa
Total N 36 6 3 45
% 80 13,3 6,7 100
berdomisili di luar kota Makassar dalam provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 37,8%, sedangkan untuk subjek RD yang terdiagnosa sebagian besar juga berdomisili di luar Kota Makassar dalam Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 15,6%. Hasil uji chi-square menunjukkan tidak ada perbedaan sebaran pada penderita RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan tempat tinggal saat ini (p>0,05) (Tabel 5).
p
0,535
RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan FKRTL menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dengan RD yang tidak terdiagnosa berobat pada rumah sakit tipe C yaitu sebanyak 35,6%, sedangkan untuk yang subjek RD yang terdiagnosa sebagian besar berobat pada rumah sakit tipe C yaitu sebanyak 25%. Tidak ada perbedaan sebaran untuk subjek dengan RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan rumah sakit tempat berobat (p>0,05) (Tabel 3). Tabel 3. RD yang Berdasarkan FKRTL N 15 16 2 33
Tidak
RD yang tidak terdiagnosa Ya Tidak % N % 33,3 3 6,7 35,6 9 20 4,4 0 0 73,3 12 26,7
B C D TOTAL RD : Retinopati Diabetik FKTL adalah Fasilitas kesehatan tingkat lanjut FKRTL
Tabel 5. RD yang Tidak Berdasarkan Tempat Tinggal
KOTA MAKASSAR DALAM PROVINSI SULSEL LUAR PROVINSI SULSEL TOTAL RD : Retinopati Diabetik TEMPAT TINGGAL SAAT INI
Total
p
% 40 55,6 4,4 100
0,251
RD yang tidak terdiagnosa Berdasarkan Tingkat Ekonomi menunjukkan bahwa sebagian besar subjek RD yang tidak terdiagnosa memiliki tingkat ekonomi yang tinggi yaitu sebanyak 53,3% dan untuk subjek RD yang terdiagnosa paling banyak juga pada tingkat kemampuan ekonomi tinggi yaitu sebanyak 13,3%. Tidak ada perbedaan sebaran subjek RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan tingkat kemampuan ekonomi (p>0,05) (Tabel 4). Tabel 4. RD yang Tidak Berdasarkan Tingkat Ekonomi
TINGKAT KEMAMPUAN EKONOMI
RENDAH SEDANG TINGGI TOTAL RD : Retinopati Diabetik
RD yang tidak terdiagnosa Ya Tidak N % N % 3 6,7 3 6,7 6 13,3 3 6,7 24 53,3 6 13,3 33 73,3 32 26,7
Terdiagnosa
Total N 6 9 30 45
% 13,3 20 66,7 100
Total N 13
% 28,9
17
37,8
7
15,6
24
53,3
5
11,1
3
6,7
8
17,8
33
73,3
12
26,7
45
100
p
0,496
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi penderita RD dan STDR yang tidak terdiagnosis di RSUP Wahidin Sudirohusodo sebesar 71,11% dan 68,42 % secara berurutan dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara karakteristik pasien secara umum dengan kejadian retinopati diabetik. Faktor-faktor penyebab terjadinya Retinopati Diabetik yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosa antara lain ketatnya kriteria rujukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), ketersediaan layanan spesialistik khususnya mata di daerah dan lokasi tempat tinggal pasien dari RSUP Wahidin Sudirohusodo. Berbagai laporan penelitian dari seluruh belahan dunia telah menunjukkan peningkatan prevalensi STDR baik pada pasien DM tipe 1 maupun tipe 2. Perbedaan prevalensi RD mungkin disebabkan oleh perbedaan tingkat kerentanan dan faktor risiko antara kelompok. Faktor sosial ekonomi termasuk tingkat dan akses terhadap perawatan diabetes, serta kerentanan genetik, cenderung mempengaruhi perbedaan dalam tingkat dan keparahan RD antara kelompokkelompok etnis (Cheung et al., 2010, Antonetti et al., 2012). Penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh Yau et al (2012), memberikan informasi mengenai perkiraan global prevalensi RD dan derajatnya (PDR, DME) dengan menggunakan data individual dari studi berbasis populasi di
Terdiagnosa
N 18 25 2 45
RD yang tidak terdiagnosa Ya Tidak % N % 24,4 2 11,1
N 11
Terdiagnosa
p
0,278
RD yang tidak terdiagnosa berdasarkan Tempat Tinggal menunjukkan bahwa sebagian besar subjek RD yang tidak terdiagnosa
188
Retinopati diabetik, Scottish Diabetic Retinopathy Grading System
seluruh dunia. Data dikumpulkan dari 22.896 individu dari 35 penelitian di Amerika Serikat, Australia, Eropa, dan Asia. Dari jumlah tersebut, 52% perempuan, 44,4% Kaukasia, 30,9% , Asia, 13,9% Hispanik, dan 8,9% Afrika Amerika. Usia rata-rata adalah 58,1 tahun (kisaran 3-97), dengan durasi DM 7,9 tahun. Data prevalensi RD yang didapatkan pada penelitian ini (61,64%) hampir dua kali lebih besar dibandingkan data RISKESDAS 2013 (33,40 %) dan data prevalensi RD secara global yaitu sekitar 34,6% (Yau et al., 2012). Demikian juga data dari Singapore Epidemiology of Eye Diseases (SEED) Study (33,9%), begitu juga pada kasus STDR yang tidak terdiagnosis didapatkan prevalensi tiga kali lipat (68,42%) dengan SEED Study (27,3%) (Huang et al., 2014). Hasil prevalensi yang berbeda dan lebih besar disebakan oleh penelitian yang dilakukan merupakan hospital based population sehingga populasi yang dijadikan sampel penelitian adalah populasi yang berisiko (penderita DM) dan menyebabkan prevalensi pada penelitian ini dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan penelitian berbasis komunitas. Hasil penelitian UKPDS 50 mengevaluasi faktor risiko yang berhubungan dengan insiden dan perkembangan RD dan menyimpulkan bahwa pada pasien yang sudah menderita RD, usia yang lebih tua secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan RD. Bertolak belakang dengan temuan tersebut hasil penelitian Wong et al (2008), yang meneliti data retinopati dari 624 pasien DM tipe 2 dengan durasi 20 -30 tahun yang dianalisis dengan melakukan stratifikasi menurut usia onset diabetes dan kontrol glikemik mendapatkan adanya pengaruh kejadian RD dengan pasien DM tipe II yang lebih muda. Hal ini semakin mendukung pentingnya menunda perkembangan diabetes dan menyiratkan perlunya target metabolisme yang lebih ketat pada individu muda. Sebuah analisis dari 120.000 pasien dengan DM tipe II di Jerman / Austria menunjukkan bahwa perempuan yang lebih tua atau obesitas secara signifikan lebih sering menderita RD (Awa et al., 2012). Yau et al (2012), memperkirakan prevalensi RD derajat apapun dan STDR adalah serupa pada pria dan wanita. Serupa dengan itu Harris et al (2013), juga
ISSN 2252-5416
tidak menemukan hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap perkembangan RD. Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) merupakan tempat dimana masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan perorangan non spesialistik pertama kali, pemilihannya berdasarkan keinginan sendiri dengan mempertimbangkan letak domisili masingmasing. Sebaran RD dan STDR yang tidak terdiagnosa berdasarkan FKTP paling banyak berobat ke dokter keluarga sebesar 57,8% dan 22,2% secara berurutan. Hal ini berarti dokter keluarga merupakan FKTP yang paling banyak memberikan rujukan pada subjek dengan diagnosis tersebut. Menurut Undang-Undang SJSN, sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis, sehingga dokter keluarga harus menjadi gate keeper yang memberikan pelayanan preventif, promotif dan kuratif. Fungsi sebagai gate keeper ini membuat dokter keluarga sangat ketat dalam memberikan rujukan, sehingga pasien yang dirujuk pada FKTL adalah pasien dengan berbagai komplikasi, seperti komplikasi RD pada penderita DM Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 21 Ayat 1, salah satu manfaat pelayanan promotif preventif meliputi penyuluhan kesehatan perorangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, diharapkan fungsi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tidak hanya sebagai tempat berobat, namun juga sebagai tempat masyarakat memperoleh edukasi kesehatan sebelum sakit. Sebaran RD dan STDR yang tidak terdiagnosa berdasarkan lokasi tempat tinggal paling banyak pada lokasi luar kota Makassar dalam propinsi Sulawesi Selatan sebesar 37,8% dan 15,6% secara berurutan. Jarak tempuh yang cukup jauh membuat pasien tidak segera berobat, sehingga komplikasi yang ditimbulkan oleh DM khususnya RD, terdiagnosis pada tahapan yang sudah lanjut. Berdasarkan penelitian ini didapatkan prevalensi retinopati diabetik yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosa dan cukup besar. Hal ini kemungkinan karena penelitian ini berbasis rumah sakit sehingga populasi yang dijadikan sampel penelitian adalah populasi yang
189
Nursyamsi
ISSN 2252-5416
berisiko (penderita DM) dan menyebabkan prevalensi pada penelitian ini dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan penelitian berbasis komunitas. Faktor yang menyebabkan terlambatnya diagnosis RD antara lain karena ketatnya kriteria rujukan di FKTP, ketersediaan layanan spesialistik khususnya mata di daerah dan lokasi tempat tinggal pasien terhadap RS yang memberikan layanan paripurna terhadap kasus DM termasuk komplikasi yang ditimbulkannya.
DAFTAR PUSTAKA Antonetti et al. (2012). Diabetic Retinopathy: Seeing Beyond Glucose-Induced Microvascular Disease. Diabetes. 55: 2401-2411. Awa et al. (2012). Type 2 Diabetes FromPediatric to Geriatric Age: Analysis of Gender and Obesity Among 120,183 Patients from the German/Austrian DPV Database. Eur J Endocrinol. 167: 245-54. Cheung et al. (2010). Diabeticretinopathy. Lancet. 376(9735): 124-136. Handayani & Tandra. (2010). Pattern of Type 2 Diabetes Mellitus in Surabaya, Indonesia. Endocrine Abstracts. 22:P308. Harris et al. (2013). Predicting Development of Proliferative Diabetic Retinopathy. Diabetes Care. 36(6): 1562-1568. Huang et al. (2014). Prevalence and Determinants of Undiagnosed Diabetic Retinopathy and Vision-Threatening Retinopathy in a Multiethnic Asian cohort: the Singapore Epidemiology of Eye Diseases (SEED) Study. Br J Ophthalmol. Minderhoud et al. (2015). Diabetes and Diabetic Retinopathy in People Aged 50 Years and Older in the Republic of Suriname. Bjophthalmol. Paulus & Gariano. (2009). Diabetic Retinopathy: A Growing concern in an Aging Population. Geriatrics. 64(2): 16-26.
Soegondo et al. (2010). The DiabCare Asia 2008 Study - Outcomes on Control and Complications of Type 2 Diabetic Patients in Indonesia. Med J Indon. 19(4):235-43. Wong et al. (2008). Timing Is Everything: Age of Onset Influences Long-Term Retinopathy Risk in Type 2 Diabetes, Independent of Traditional Risk Factors. Diabetes Care. 31:1985-1990. World Health Organisation. (2016). Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia. Report of WHO/IDF Consultation. Yau et al. (2012). Global Prevalence and Major Risk Factors of Diabetic Retinopathy. Diabetes Care. 35: 556-564.
KESIMPULAN DAN SARAN Peneliti menyimpulkan bahwa prevalensi penderita Retinopati Diabetik yang mengancam penglihatan dan tidak terdiagnosa di RSUP Wahidin Sudirohusodo sebesar 68,42%. Jumlah penderita Retinopati Diabetik yang mengancam penglihatan dan sudah terdiagnosa adalah 6 subjek (31,58%). Jumlah penderita Retinopati Diabetik yang tidak terdiagnosa adalah 32 orang (71,11%). Jumlah penderita Retinopati Diabetik yang sudah terdiagnosa adalah 13 orang (28,89%). Faktor penyebab terjadinya STDR yang tidak terdiagnosa antara lain karena ketatnya kriteria rujukan di FKTP, kelengkapan infrastruktur, ketersediaan layanan, spesialistik khususnya mata di daerah dan lokasi tempat tinggal pasien terhadap RSUP Wahidin Sudirohusodo. Peneliti menyarankan agar Skrining Retinopati Diabetik di RSUP Wahidin Sudirohusodo sebaiknya dilakukan lebih rutin dan berkesinambungan mempertimbangkan tingginya prevalensi RD dan STDR. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai di poliklinik endokrin untuk skrining retinopati diabetik agar waktu dapat diefektifkan dan mengurangi penolakan untuk skrining karena alasan waktu dan ketidaknyamanan penderita DM. Mengadakan pelatihan untuk dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama, terutama dokter keluarga cara melakukan skrining RD. Menganjurkan pelaksanaan skrining retinopati diabetik di fasilitas kesehatan primer agar penurunan tajam penglihatan akibat perkembangan dan progresivitas RD dapat dicegah. Membuat layanan terpadu dari berbagai bidang keilmuan untuk pemeriksaan penderita DM secara lebih komprehensif.
190