JAWABAN PEMERINTAH ATAS PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI DPR RI TERHADAP RUU TENTANG APBN 2015 BESERTA NOTA KEUANGANNYA
Rapat Paripurna DPR RI, 21 Agustus 2014 REPUBLIK INDONESIA
Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat, Hadirin yang berbahagia, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada sang pencipta, karena atas limpahan rahmat dan karunia Allah S.W.T, Tuhan Yang Maha Esa, kita diberikan kesehatan dan kekuatan untuk dapat melaksanakan tugas kenegaraan dalam rangka tanggapan Pemerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi atas RUU APBN 2015 beserta Nota Keuangannya. Selanjutnya, perkenankanlah kami, atas nama Pemerintah, menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua fraksi di DPR RI atas seluruh pandangan dan masukan terhadap berbagai substansi yang tertuang dalam RUU tentang APBN Tahun 2015 beserta Nota Keuangannya, yang telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2014 yang lalu. Semua itu, tentunya menjadi masukan bagi Pemerintah, serta menjadi bahan dalam proses pembahasan lebih lanjut mengenai RUU tentang APBN Tahun 2015. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat, Dapat kami sampaikan bahwa, seperti dilakukan dalam proses transisi pemerintahan pada periode sebelumnya, RAPBN tahun 2015 yang disusun oleh Pemerintah sekarang masih bersifat baseline, yang substansi utamanya diarahkan untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan kesinambungan program pembangunan nasional. Hal ini disebabkan oleh Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2015 disusun oleh pemerintahan yang mengemban amanah sampai dengan Oktober 2014, agar roda pemerintahan dan pembangunan dapat stabil berjalan di awal Pemerintah baru hasil Pemilu tahun 2014. Selain itu, baseline budget juga didasarkan pada penyusunan besaran pendapatan dan belanja negara, serta pembiayaan anggaran yang tidak banyak mengalami perubahan kebijakan, guna memberikan ruang gerak pada pemerintah baru untuk menambahkan insiatif atau kebijakan baru yang sejalan dengan rencana kerja yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan. Harus diakui bahwa, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan fiskal saat ini dan ke depan adalah ruang gerak fiskal (fiscal space) yang belum memadai, karena harus diutamakan belanja yang wajib disediakan oleh 1
Pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi dan kebijakan, seperti subsidi, bunga utang, belanja pegawai, dan transfer ke daerah. Di samping itu, dalam RAPBN tahun 2015 ini juga, Pemerintah harus mulai memenuhi alokasi dana desa secara bertahap sesuai ketentuan peraturan perundangan. Dengan posisi baseline budget tersebut, maka menurut kami, Pemerintah baru hasil Pemilu tahun 2014 mempunyai ruang gerak dan inisiatif yang lebih banyak untuk melakukan perubahan terhadap hasil penetapan RAPBN 2015 pada periode sekarang. Insiatif dan kebijakan baru dapat sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah baru pada awal tahun 2015, baik penyesuaian besaran-besaran dalam APBN 2015, maupun penambahan program-program baru yang menjadi visi-misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Dengan mengambil ruang gerak dan insiatif yang lebih luas pada awal tahun 2015, Pemerintah baru dapat mulai memasukkan program-program baru visi-misi Presiden dan Wakil Presiden tepilih yang akan dituangkan dalam RPJMN 2015-2019, serta diimplementasikan dalam perubahan APBN tahun 2015, yang dapat dilakukan sejak awal tahun 2015. Dengan strategi tersebut, kami yakin langkah tersebut akan lebih efektif, dan Pemerintah sekarang dapat mengantarkan proses transisi kepemerintahan menjadi lebih seimbang dan nyata. Sejalan dengan Rencana Pembangunan jangka Panjang, RAPBN tahun 2015 disusun dengan mengacu pada RKP tahun 2015 yang disusun berdasarkan tema “Melanjutkan Reformasi Pembangunan bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan”. Indikator ekonomi makro tahun 2015 yang dipakai sebagai dasar penyusunan RAPBN tahun 2015 diperhitungkan dengan outlook ekonomi tahun 2014 serta proyeksi kondisi perekonomian di tahun 2015. Menurut kami, langkahlangkah kebijakan dan inisiatif baru yang dilakukan diakhir tahun 2014 serta awal tahun 2015 akan dapat merubah proyeksi indikator ekonomi makro yang akan ditetapkan dalam APBN Tahun 2015. Demikian juga sasaran target pendapatan Negara, alokasi belanja Negara, serta Defisit APBN Tahun 2015 dimungkinkan untuk dilakukan perubahan di awal tahun 2015 sehingga menampung langkah kebijakan Pemerintahan ke depan. Dalam proposal RAPBN tahun 2015, Pemerintah telah menyampaikan target pendapatan Negara, baik dari Perpajakan maupun bukan pajak secara lebih realistis dengan ditopang langkah-langkah kebijakan pendukungnya. Di sisi Perpajakan, penggalian potensi perpajakan terus dilakukan, terutama dari sektorsektor yang strategis dan bernilai ekonomi, sejalan dengan langkah ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Perbaikan-perbaikan administrasi perpajakan juga terus dilakukan, dengan didukung penambahan sumber daya manusia yang berkualitas. Di bidang PNBP, optimalisasi PNBP dari Sumber Daya Alam terus 2
dilakukan dengan tetap menjaga ketahanan SDA untuk generasi mendatang. Perbaikan regulasi juga dilakukan di bidang PNBP, baik Undang-undang maupun peraturan di bawahnya yang ditujukan untuk memperbaiki pengelolaan PNBP serta meningkatkan sumber penerimaan ke depan. Di bidang belanja Negara, dalam RAPBN tahun 2015 dijaga untuk dapat mempertahankan program-program pembangunan yang sudah berjalan dengan baik, kelancaran kegiatan pemerintahan, serta kesinambungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Namun seperti yang kami sampaikan di atas, kami menilai masih terbuka ruang gerak yang dapat diambil pemerintah baru pada awal tahun 2015 untuk melakukan perubahan dan tambahan kebijakan dan alokasi anggaran baru, baik melalui belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat, Kini, perkenankanlah kami menyampaikan tanggapan sebagian terhadap berbagai hal yang telah disampaikan oleh para juru bicara masing-masing fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu anggota yang terhormat Sdr. H. Heriyanto, SE, M.M mewakili Fraksi Partai Demokrat; Sdr. Drs. Roem Kono mewakili Fraksi Partai Golongan Karya; Sdr. Sayed Muhammad Muliady, SH mewakili Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Sdr. Ir. H. Yudi Widiana Adia, M.Si mewakili Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; Sdr. Ir. A. Riski Sadig mewakili Fraksi Partai Amanat Nasional; Sdr. Capt. H. Epyardi Asda, M.Mar mewakili Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; Sdri. Hj. Chusnunia Chalim, M.Si mewakili Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; Sdr. Ir. Sadar Subagyo mewakili Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya; dan Sdr. Ir. Nurdin Tampubolon mewakili Partai Hati Nurani Rakyat. Perlu kami sampaikan bahwa tanggapan lengkap Pemerintah terhadap Pemandangan Umum DPR-RI akan kami sampaikan dalam lampiran, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tanggapan yang kami sampaikan ini. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Gerindra, terkait pertumbuhan ekonomi tahun 2015, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah perlu menjaga laju pertumbuhan ekonomi pada batas-batas yang tidak menimbulkan tekanan yang mengancam stabilitas ekonomi. Dengan demikian, pertumbuhan 5,6 persen merupakan tingkat pertumbuhan yang cukup realistis dan konservatif dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada, baik
3
eksternal maupun internal serta dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi sebagai landasan yang solid bagi terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan. Dari sisi eksternal, berdasarkan World Economic Outlook 2014, kinerja ekonomi global memang diperkirakan mengalami perbaikan, khususnya di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Namun, masih terdapat risiko yang perlu diwaspadai, yaitu: (1) terkait kinerja ekonomi Tiongkok sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, yang selanjutnya akan berpotensi menjadi kendala dalam mendorong laju pertumbuhan ekspor Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi; (2) perkembangan harga komoditas internasional yang cukup fluktuatif dengan tren yang masih menunjukkan pelemahan; (3) implikasi berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat seiring dengan penguatan kinerja perekonomiannya; Dari sisi internal, kebijakan menjaga stabilitas ekonomi domestik saat ini menjadi fokus dari kebijakan ekonomi makro, khususnya dalam rangka memperbaiki posisi keseimbangan eksternal Indonesia, yakni neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit dalam beberapa tahun terakhir yang imbasnya juga pada pergerakan nilai tukar Rupiah. Oleh karena itu, stance kebijakan makro Indonesia baik fiskal maupun moneter cenderung lebih konservatif dan berhatihati (prudent). Stabilitas ekonomi mutlak perlu dijaga, mengingat hal tersebut akan memberikan landasan yang solid serta menjadi prasyarat (necessary condition) bagi pertumbuhan yang berimbang dan berkelanjutan (balanced and sustainable growth). Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai tax ratio Indonesia yang masih belum optimal, sehingga diharapkan dapat ditingkatkan pada level 13-16 persen, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah menyadari bahwa potensi penerimaan perpajakan di Indonesia masih cukup besar. Untuk itu Pemerintah sependapat dengan anggota Dewan Yang Terhormat untuk melakukan upaya-upaya optimalisasi penerimaan perpajakan yang dapat mendorong meningkatnya tax ratio Indonesia. Dari tahun ke tahun, Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan dengan melakukan berbagai kebijakan, terutama melalui perluasan basis pajak dan perbaikan administrasi perpajakan. Sementara itu, terkait dengan besaran tax ratio sebesar 12,32 persen yang diajukan Pemerintah dalam RAPBN Tahun 2015, kami berpendapat bahwa penyusunan angka tersebut telah mempertimbangkan dengan kemampuan dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Dengan mempertimbangkan adanya 4
tekanan yang cukup kuat pada sektor-sektor tertentu pada tahun 2015, kami berpendapat bahwa target penerimaan perpajakan pada tahun 2015 dirasa sudah cukup optimal. Ke depan, Pemerintah akan tetap berupaya untuk meningkatkan penerimaan perpajakan sehingga angka tax ratio dapat ditingkatkan secara berkesinambungan. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai pemenuhan anggaran kesehatan sebesar minimal 5 persen dari APBN di luar gaji, dapat dijelaskan bahwa Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan anggaran kesehatan dan terus meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran secara lebih fokus dan tepat sasaran. Jumlah anggaran kesehatan dalam RAPBN tahun 2015 adalah sebesar Rp68,1 triliun, yang tidak hanya dialokasikan melalui Kementerian Kesehatan, namun juga pada kegiatan lain di bidang kesehatan, diantaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Askes PNS dan tunjangan kesehatan Veteran, serta DAK. Pemanfaatan anggaran kesehatan tersebut digunakan untuk mendorong upaya optimalisasi pembangunan kesehatan dalam mencapai target-target yang ditetapkan, serta meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui pendekatan preventif dan kuratif. Sementara itu, Pemerintah akan melanjutkan dan meningkatkan kualitas pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan, termasuk kewajiban terhadap penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) agar kebijakan anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapatkan prioritas yang tinggi, besaran iuran PBI agar perlu dikaji ulang agar layak dan memadai, serta persiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah menyadari dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama untuk masyarakat miskin dan tidak mampu melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berbagai upaya yang telah dan akan terus dilakukan pemerintah diantaranya adalah dengan meningkatkan jumlah fasilitas layanan kesehatan untuk peserta PBI dengan menambah jumlah 5
Puskesmas dan ruang rawat inap kelas III di rumah sakit-rumah sakit pemerintah, termasuk di daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar yang berpenduduk, serta memperluas jaringan pelayanan kesehatan JKN dengan rumah sakit-rumah sakit swasta. Hal ini perlu dilakukan agar ketersediaan fasilitas kesehatan untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu tersebut dapat mencukupi. Selanjutnya, terkait dengan besaran premi PBI JKN, Pemerintah juga tetap memperhatikan kesesuaian antara anggaran yang disediakan dengan layanan yang diberikan. Dalam RAPBN 2015, alokasi anggaran untuk PBI JKN sebesar Rp19,9 triliun bagi 86,4 juta jiwa PBI peserta JKN cukup memadai dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap ketahanan fiskal, khususnya untuk RAPBN tahun 2015 dan keseimbangan dengan besaran iuran jaminan kesehatan bagi non PBI agar tidak menjadi masalah sosial dalam penerapannya. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyesuaian anggaran PBI tersebut apabila alokasi anggaran yang disediakan dipandang masih belum memadai untuk pemberian pelayanan kesehatan yang optimal. Namun demikian, penyesuaian besaran premi PBI harus dilakukan setelah dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Selanjutnya, terkait dengan mulai beroperasinya BPJS ketenagakerjaan pada bulan Juli tahun 2015 dapat pula kami sampaikan penjelasan sebagai berikut. Pada tanggal 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan 4 program, yaitu: (1) jaminan kecelakaan kerja (JKK); (2) jaminan hari tua (JHT); (3) jaminan pensiun (JP); dan (4) jaminan kematian (JKM) yang dulunya diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Saat ini, PT Jamsostek telah berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan PT Jamsostek telah dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan, serta semua pegawainya menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan. Keempat program tersebut akan diselenggarakan bagi seluruh pekerja, yang dilaksanakan secara bertahap. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Mengenai strategi dan kebijakan pelaksanaan anggaran, Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, bahwa kebijakan yang bersifat ekspansif harus diimbangi dengan optimalisasi penyerapan anggaran, sehingga memberikan dampak multiplier yang tinggi bagi perekonomian nasional. Permasalahan penyerapan ini juga disampaikan Fraksi PAN dan Fraksi PKB. Pemerintah sepenuhnya menyadari permasalahan penyerapan anggaran yang belum optimal dan pola penyerapan yang cenderung tinggi di akhir tahun, menyebabkan efektivitas dan 6
daya dorong belanja dalam APBN terhadap perekonomian menjadi tidak maksimal. Sebagaimana kita ketahui bersama, selama ini kebijakan belanja ekspansif telah dilakukan dalam batas-batas yang aman, termasuk di tahun 2015 dengan defisit anggaran direncanakan sebesar 2,32 persen dari PDB. Di sisi lain, realisasi penyerapan anggaran belanja Pemerintah Pusat dalam tiga tahun terakhir relatif berfluktuasi, berkisar 95 persen hingga 97,3 persen terhadap pagu di APBNP. Permasalahan penyerapan anggaran disebabkan oleh berbagai aspek, baik struktural, institusional, maupun kultural, dimana upaya percepatannya perlu dibarengi dengan perbaikan tata kelola belanja negara. Untuk itu, masalahmasalah penyerapan anggaran tersebut telah secara bertahap diatasi antara lain melalui perbaikan: (1) aspek regulasi di bidang pelaksanaan anggaran, agar tercipta penyerapan anggaran yang optimal dan tidak cenderung menumpuk di akhir tahun; (2) aspek kelembagaan, melalui pembinaan, sosialisasi dan bimbingan atas tata cara pengelolaan keuangan kepada seluruh satker di lingkup K/L; dan (3) aspek inovasi, terkait perbaikan kualitas belanja melalui inisiatif spending review, dimana fokus belanja diarahkan pada pengukuran-pengukuran efisiensi dan efektivitas belanja yang dilakukan oleh masing-masing satker. Selain itu, untuk mengoptimalkan tingkat realisasi penyerapan anggaran pada K/L, Pemerintah telah dan akan mengambil beberapa langkah strategis, baik melalui pendekatan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran maupun melalui upaya mengurangi jalur birokrasi. Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh tersebut, di antaranya adalah dengan (a) membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA); (b) mengupayakan percepatan implementasi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; dan (c) melaksanakan reward and punishment melalui pemberian penghargaan bagi K/L yang dapat mengoptimalkan anggarannya, dan pemotongan anggaran bagi K/L yang kinerja anggarannya tidak tercapai dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan dampak APBN terhadap perekonomian khususnya sektor riil dapat dirasakan, sehingga fungsi APBN khususnya belanja Negara bukan hanya tercermin dalam fungsi alokasi namun juga fungsi stabilitasi dan distribusi. Terkait dengan penurunan tingkat kemiskinan, fungsi distribusi belanja terus ditingkatkan melalui perbaikan kebijakan belanja yang difokuskan kepada masyarakat miskin seperti subsidi dan bantuan sosial. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Pemerintah sependapat dengan pandangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan
7
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menghendaki agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran. Pada prinsipnya penyediaan anggaran subsidi dalam RAPBN 2015 diarahkan untuk mempertahankan kesejahteraan rakyat, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasar dengan menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Sampai saat ini, Pemerintah masih konsisten untuk mengalokasikan subsidi, khususnya untuk rakyat miskin dan petani yang memang layak dan tepat menerimanya. Sejalan dengan itu, Pemerintah akan berupaya mengendalikan subsidi secara bertahap, antara lain melalui penataan ulang sistem penyaluran subsidi agar makin adil dan tepat sasaran melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan. Dalam rangka mengendalikan belanja subsidi energi, Pemerintah telah mengupayakan dan menyempurnakan berbagai kebijakan khususnya yang terkait dengan subsidi BBM dan subsidi listrik antara lain melalui: (i) penyesuaian harga BBM bersubsidi; (ii) peningkatan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, antara lain melalui pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas, sektor perkebunan dan pertambangan; (iii) kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati dan pemakaian bahan bakar gas untuk transportasi terus ditingkatkan baik dari sisi regulasi maupun aspek teknis; (iv) peningkatan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi bekerjasama dengan pemerintah daerah dan aparat hukum yang berwenang, serta penggunaan teknologi tertentu untuk meningkatkan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi; dan, (v) penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan pada berbagai kelompok tarif tertentu secara bertahap sehingga lebih tepat sasaran. Sementara itu, untuk subsidi non energi terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan antara lain: (i) subsidi pangan (subsidi raskin) ada pengaturan kembali jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) berdasarkan basis data terpadu yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), (ii) subsidi pupuk dengan penyempurnaan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan (iii) subsidi benih yang dialokasikan berdasarkan Daftar Usulan Pembeli Benih Bersubsidi (DUPBB). Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Menjawab pertanyaan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Gerindra berkaitan dengan alokasi Dana Desa yang belum memadai dan perlu ditingkatkan dalam RAPBN 2015. Perkembangan desentralisasi fiskal yang dinamis telah menjadikan desa menjadi berkembang dalam berbagai bentuk, sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Kondisi tersebut
8
diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Atas dasar itu, pada tahun 2014 Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menetapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU tersebut antara lain ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Sesuai ketentuan pasal 72 Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN, atau Dana Desa, bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke desa ditentukan 10 persen dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. Berkaitan dengan hal tersebut, Dana Desa yang mulai dialokasikan dalam RAPBN tahun 2015 sebagai tahun pertama dan tahun transisi, dilakukan selain dengan mempertimbangkan kemampuan APBN dan kemampuan fiskal nasional, juga mempertimbangkan kesiapan kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, serta kesiapan desa dalam melaksanakan penggunaan dana desa. Untuk itu, pada tahap awal. Dana Desa dialokasikan sebesar Rp9,1 triliun, yang bersumber dari realokasi anggaran PNPM dari beberapa kementerian negara/lembaga. Pengalihan anggaran PNPM ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa selama ini program tersebut cukup efektif untuk meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, dengan melibatkan masyarakat desa dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, serta didukung dengan pola pendampingan teknis pelaksanaan kegiatan dari kementerian negara/lembaga teknis yang terkait. Selain itu, dalam tahun 2015 juga diperlukan adanya dana pendukung pada kementerian negara/lembaga teknis untuk melakukan pendampingan kepada perangkat desa dalam melakukan perencanaan, penganggaran program dan kegiatan, serta pengelolaan keuangan desa. Selain Dana Desa yang bersumber dari APBN, setiap desa juga mendapat alokasi dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota berupa: (a) Bagi hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Kabupaten/Kota paling sedikit 10 persen; (b) Alokasi Dana Desa (ADD) paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus; dan (c) Bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Dapat kami sampaikan juga bahwa, pendapatan desa juga bersumber dari: (a) pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; (b)
9
hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan (c) lain-lain pendapatan Desa yang sah. Dengan demikian, secara keseluruhan sumber dana yang tersedia untuk desa baik dari APBN dan APBD, relatif memadai setiap tahunnya untuk melaksanakan kewenangan desa. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat Terhadap pandangan Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kebijakan defisit anggaran, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Kebijakan defisit anggaran pada RAPBN tahun 2015 diarahkan untuk memperkuat stimulus fiskal dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan dengan tetap mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal diantaranya, (1) mengendalikan defisit sesuai ketentuan UU, (2) pengendalian rasio utang terhadap PDB, dan (3) mengendalikan risiko fiskal dalam batas aman. Selanjutnya, untuk menjaga kesinambungan fiskal jangka menengah, Pemerintah konsisten untuk menjaga defisit kumulatif APBN dan APBD di bawah ambang batas 3 persen terhadap PDB, agar Indonesia dapat terhindar dari krisis utang seperti yang melanda beberapa negara Uni Eropa sebagai akibat kekurang disiplinan dalam pengelolaan fiskalnya. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera untuk lebih memprioritaskan penerbitan sukuk negara dengan underlying proyek (project based sukuk), Pemerintah sependapat dengan pandangan tersebut. Untuk itu, pada RAPBN tahun 2015 akan memanfaatkan instrumen project based sukuk sebesar Rp7,5 triliun, antara lain untuk membiayai pembangunan jalan di beberapa propinsi/kabupaten/kota, pembangunan proyek Railway Electrification and Double-Double Tracking of Java Main Line Project Phase I, serta pembangunan revitalisasi asrama haji, kantor urusan agama (KUA), dan perguruan tinggi Islam negeri. Untuk tahun mendatang, Pemerintah berusaha agar pendanaan proyek melalui project based sukuk dapat semakin meningkat. Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat, Demikianlah tanggapan Pemerintah atas Pemandangan Umum DPR RI berkenaan dengan RUU tentang APBN Tahun 2015 beserta Nota Keuangannya. Akhirnya, atas nama Pemerintah, kami menyambut baik persetujuan Anggota Dewan yang terhormat untuk membahas RUU APBN 2015 beserta
10
Nota Keuangannya dalam tahap berikutnya. Atas dasar prinsip kemitraan dan tanggung jawab bersama dalam mengemban amanat rakyat, maka kami percaya bahwa kewajiban konstitusional yang diamanatkan kepada Pemerintah dan Dewan ini dapat diselesaikan secara tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Kita berdoa kepada Allah S.W.T, Tuhan Yang Maha Esa, agar kita senantiasa diberi kekuatan dan kemampuan dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas dan tanggung jawab kepada negara ini. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, Agustus 2014 A.N. PEMERINTAH MENTERI KEUANGAN
MUHAMAD CHATIB BASRI
11
LAMPIRAN
A. PEREKONOMIAN GLOBAL DASAR EKONOMI MAKRO
DAN
DOMESTIK,
SERTA
ASUMSI
Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrat mengenai ruang gerak fiskal bagi pemerintahan baru, kiranya dapat kami sampaikan bahwa strategi yang ditempuh dalam perumusan kebijakan fiskal diarahkan untuk memperkuat stimulus fiskal guna mendorong upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus perbaikan pemerataan hasil-hasil pembangunan nasional agar memenuhi aspek keadilan dengan tetap mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal. Secara umum formulasi kebijakan fiskal dalam tahun 2015 bersifat baseline mengingat tahun 2015 merupakan tahun transisi kepemerintahan sehingga lebih difokuskan untuk memperhitungkan kebutuhan pokok dan menjaga terselenggaranya pelayanan publik secara optimal.Belanja wajib tahun 2015 memang harus diakui masih cukup besar. Belanja wajib tersebut mencakup antara lain belanja pegawai, anggaran pendidikan, pembayaran bunga utang, subsidi, dan transfer ke daerah. Tahun 2015 merupakan momentum untuk melakukan reformasi sektor fiskal.Dengan strategi tersebut, hal itu diyakini dapat memberikan ruang gerak/fleksibilitas yang memadai kepada Pemerintah baru dalam mengimplementasikan platform-nya. Terkait dengan pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai daya saing perkonomian, kiranya dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara di kancah perekonomian global, antara lain institusi, infrastruktur, ekonomi makro, pendidikan, efisiensi pasar barang, pasar tenaga kerja, dan teknologi. Meskipun peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah beberapa negara Asia, tetapi kenaikan peringkat di tahun ini cukup signifikan. Peringkat daya saing Indonesia (World Economic Forum) meningkat 12 poin, dari peringkat 50 pada tahun 2012-2013 menjadi peringkat 38 pada tahun 2013-2014, yang merupakan peningkatan tertinggi selama ini. Daya saing Indonesia kini lebih tinggi dari rata-rata daya saing negara-negara kategori ‘efficiency-driven economy’, atau negara dengan pendapatan perkapita US$3.000-US$8.999. Selain itu, perspektif dan minat investor asing terhadap kegiatan investasi di Indonesia juga cukup baik. Pada tahun 2013, pertumbuhan investasi langsung di Indonesia mencapai 27,3 persen. Tingginya minat investasi di Indonesia juga tercermin pada beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga internasional.Japan Bank for International Cooperation (JBIC) pada akhir tahun 2013 mengeluarkan hasil suvei yang menempatkan Indonesia sebagai peringkat pertama tujuan investasi bagi perusahaan asal Jepang. Selain itu, The Economist melansir data yang menyebutkan bahwa pada tahun 2013, Indonesia merupakan negara tujuan investasi ketiga terbaik setelah Tiongkok dan India. Hal tersebut,
-L.1-
tentunya menggambarkan progres yang semakin baik dari kinerja perekonomian Indonesia, dan harus dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan dengan dukungan kelembagaan, infrastruktur, dan sumber daya manusia, terutama di masa persaingan yang semakin ketat dengan kondisi perekonomian global yang belum sepenuhnya pulih. Kami mengucapkan terima kasih atas pandangan dan masukan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Pemerintah sependapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat seharusnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang selain tercermin dari peningkatan pendapatan, juga terlihat dari penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Pada prinsipnya, Pemerintah merumuskan target tingkat pengangguran dan kemiskinan dalam dimensi jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek sebagaimana tertuang dalam RPJPN, RPJMN, dan RKP. Sementara itu, berbagai faktor dan pertimbangan yang digunakan Pemerintah dalam menentukan target pengangguran dan kemiskinan di antaranya dinamika perekonomian, baik global maupun domestik, kinerja pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi ekonomi, serta dinamika pembangunan nasional, khususnya dari sisi ketersediaan sumbersumber pembiayaan pembangunan nasional. Selama ini, Pemerintah cenderung mengambil sikap moderat dalam menentukan target pengangguran dan kemiskinan agar lebih realistis. Namun, Pemerintah selama ini terus berupaya melakukan berbagai terobosan kebijakan dan langkah-langkah inovatif dalam rangka menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Berbagai upaya kebijakan dan langkah Pemerintah terbukti telah berhasil menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan dalam sepuluh tahun terakhir secara konsisten dan berkesinambungan. Pada tahun 2005 misalnya, tingkat pengangguran terbuka masih sebesar 11,24 persen dan terus menurun secara konsisten menjadi 6,25 persen pada tahun 2013. Pada bulan Februari 2014, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) kembali turun menjadi 5,71 persen. Sejalan dengan penurunan TPT, tingkat kemiskinan juga cenderung terus turun. Pada tahun 2005, tingkat kemiskinan masih sebesar 15,97 persen (35,10 juta orang) dan pada 2013 turun menjadi 11,46 persen (17,92 juta orang). Data kemiskinan per Maret 2014 tercatat kembali turun menjadi 11,25 persen (28,28 juta orang). Pada tahun 2015, Pemerintah akan berupaya menurunkan tingkat pengangguran dan angka kemiskinan melalui berbagai program dan kebijakan strategis. Kebijakan
-L.2-
dalam rangka penurunan pengangguran di antaranya berupa peningkatan belanja modal dalam APBN, penguatan proyek pembangunan yang bersifat padat karya, dukungan untuk penciptaan industri kreatif dan pemberdayaan masyarakat, serta percepatan pembangunan infrastruktur dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sementara itu, berbagai program dan langkah untuk menurunkan angka kemiskinan di antaranya adalah penguatan alokasi belanja produktif untuk penanggulangan kemiskinan, pemberian subsidi, bantuan sosial, program perlindungan sosial, program pemberdayaan masyarakat, dukungan keuangan untuk masyarakat berpenghasilan rendah baik dalam bentuk dana penjaminan kredit/pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi, serta dukungan bantuan tunai bersyarat. Selain itu, dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan, Pemerintah sejak tahun 2011 juga telah mensinergikan dua strategi pembangunan utama yaitu Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). Pemerintah pada tahun 2015 juga mulai memberlakukan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai upaya konkret untuk lebih memberdayakan desa dalam pembangunan nasional, sekaligus mempercepat penurunan kemiskinan di pedesaan, mengingat konsentrasi kemiskinan berada di perdesaan. Pemerintah sejak 1 Januari 2014 juga mulai mengimplementasikan program perlindungan sosial melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kesehatan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat bawah. Sementara itu, SJSN Program Ketenagakerajaan yang menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun, dan jaminan hari tua ditargetkan mulai beroperasi paling lambat pertengahan tahun 2015. Terkait dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan, pada tahun 2015 Pemerintah akan melakukan berbagai kebijakan seperti perluasan akses dalam rangka pemenuhan hak dasar masyarakat, seperti akses kesehatan, pendidikan, perumahan, listrik, air, dan perluasan infrastruktur dasar untuk penguatan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, untuk menurunkan ketimpangan antarwilayah, Pemerintah akan melakukan berbagai cara seperti pengembangan kawasan strategis sebagai pusat pertumbuhan ekonomi seperti kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet), kawasan ekonomi khusus, dan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas,serta penguatan pembangunan infrastruktur khususnya terkait komunikasi dan transportasi, termasuk penguatan infrastruktur untuk peningkatan konektivitas dan pelayanan masyarakat dan penyempurnaan kebijakan dalam alokasi dana transfer ke daerah.
-L.3-
Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Gerindra, terkait pertumbuhan ekonomi tahun 2015, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah perlu menjaga laju pertumbuhan ekonomi pada batas-batas yang tidak menimbulkan tekanan yang mengancam stabilitas ekonomi. Dengan demikian, pertumbuhan 5,6 persen merupakan tingkat pertumbuhan yang cukup realistis dan konservatif dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada, baik eksternal maupun internal serta dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi sebagai landasan yang solid bagi terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan. Dari sisi eksternal, berdasarkan World Economic Outlook 2014, kinerja ekonomi global memang diperkirakan mengalami perbaikan, khususnya di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Namun, masih terdapat risiko yang perlu diwaspadai, terutama terkait kinerja ekonomi Tiongkok yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Saat ini, porsi ekspor Indonesia ke Tiongkok sekitar 13 persen dari total ekspor ke seluruh dunia. Dalam dua tahun terakhir, kinerja ekspor Indonesia ke Tiongkok dalam tren yang menurun, bahkan pada Semester I 2014, nilai ekspor kita ke Tiongkok tumbuh negatif sekitar 11 persen (ytd). Perkembangan harga komoditas internasional yang cukup fluktuatif dengan tren yang masih menunjukkan pelemahan belakangan ini juga merupakan risiko lain yang perlu diwaspadai terkait prospek kinerja ekspor Indonesia. Selain itu, kondisi global yang masih perlu diwaspadai adalah implikasi berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat seiring dengan penguatan kinerja perekonomiannya. Setelah kebijakan tapering off di tahun 2015, the Fed diperkirakan akan mendorong peningkatan suku bunga Fed Fund Rate. Kebijakan tersebut diperkirakan akan menyebabkan capital reversal dari emerging markets ke Amerika Serikat. Hal tersebut akan menyebabkan tekanan likuiditas, yang pada gilirannya dapat mengganggu kinerja ekonomi di emerging markets tersebut. Pada gilirannya, perbaikan pertumbuhan ekonomi dan permintaan global secara relatif masih akan tertahan. Lebih jauh lagi, risiko tekanan ekonomi dunia dan mitra dagang utama masih merupakan faktor kendala dalam mendorong laju pertumbuhan ekspor Indonesia ke tingkat yang tinggi. Dari sisi internal, harus dipahami pula bahwa kebijakan menjaga stabilitas ekonomi domestik saat ini menjadi fokus dari kebijakan ekonomi makro, khususnya dalam rangka memperbaiki posisi keseimbangan eksternal Indonesia, yakni neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit dalam beberapa tahun terakhir yang imbasnya juga pada pergerakan nilai tukar Rupiah. Harus diakui pula bahwa dalam
-L.4-
jangka pendek, demand management merupakan pilihan yang terbaik mengingat perbaikan di sisi supply membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.Oleh karena itu,stance kebijakan makro Indonesia baik fiskal maupun moneter cenderung lebih konservatif dan berhati-hati (prudent). Stabilitas ekonomi mutlak perlu dijaga, mengingat hal tersebut akan memberikan landasan yang solid serta menjadi prasyarat (necessary condition) bagi pertumbuhan yang berimbang dan berkelanjutan (balanced and sustainable growth). Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Gerindra terkait dengan asumsi nilai tukar rupiah, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah sependapat bahwa volatilitas nilai rupiah perlu dijaga agar bergerak pada level yang stabil sehingga dapat mendukung dan mendorong stabilitas perekonomian nasional dan menjaga daya saing ekonomi Indonesia. Pergerakan nilai tukar rupiah ke depan masih akan dipengaruhi oleh beberapa faktor fundamental dan non-fundamental, antara lain: (1) kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat mengurangi stimulus ekonomi (tapering off) serta potensi meningkatnya suku bunga acuan the Fed yang akan mendorong terjadinya arus modal keluar (flight to quality) sehingga memberikan dampak pada tajamnya fluktuasi mata uang dunia terhadap dolar AS, termasuk Rupiah; (2) kekhawatiran investor terhadap perkembangan ekonomi yang melanda negaranegara emerging markets terutama di Tiongkok, Brazil, dan India (BRICS) telah berdampak pada aktivitas transaksi perekonomian di pasar internasional; dan (3) gejolak harga minyak dunia yang diakibatkan gejolak geopolitik beberapa negara produsen seperti di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Tengah, serta Amerika Selatan berpotensi menimbulkan dampak lanjutan terhadap risiko volatilitas nilai tukar rupiah dan meningkatnya laju inflasi. Pemerintah juga akan melanjutkan program dan kebijakan ekonomi dalam rangka menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan neraca transaksi berjalan serta menjaga pencapaian dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, antara lain melalui kebijakan: (1) perbaikan defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar antara lain melalui kebijakan untuk mendorong ekspor, mengurangi impor (terutama impor migas), serta pengembangan sumber energi alternatif; (2) kebijakan untuk menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, menjaga gejolak harga dan mengendalikan laju inflasi, antara lain dengan penerapan kebijakan harga referensi untuk menggantikan sistem kuota; dan -L.5-
(3) kebijakan meningkatkan investasi, melanjutkan percepatan renegosiasi kontrak karya pertambangan, serta mempercepat pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur strategis. Untuk menjaga nilai tukar rupiah pada level yang stabil, Pemerintah terus meningkatkan sinergi dan koordinasi dengan Bank Indonesia sebagai langkah antisipasi dalam menjaga volatilitas nilai tukar rupiah. Penguatan kebijakan, baik mikro maupun makro prudensial terhadap arus modal asing yang masuk, ditujukan untuk mengurangi risiko pembalikan modal asing (sudden capital reversal) dan menjaga agar pergerakan nilai tukar rupiah tetap sejalan dengan pergerakan mata uang di kawasan Asia. Melalui sinergi dan harmonisasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil diharapkan dapat tercipta iklim yang kondusif untuk mengantisipasi krisis pada sektor keuangan, menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, mengendalikan laju inflasi, dan menjaga stabilitas pasar keuangan nasional. Selain itu, upaya pendalaman pasar keuangan (financial deepening) serta penguatan akses ke sektor keuangan (financial inclusion) akan terus dilaksanakan guna memperkuat basis perekonomian nasional serta mendorong upaya peningkatan alternatif sumber pembiayaan nasional. Meskipun berpotensi mengalami tekanan, nilai tukar rupiah diperkiraan masih akan bergerak pada level fundamental saat ini, dengan pergerakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun 2015 pada kisaran Rp11.900 per dolar AS. Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan besaran asumsi laju inflasi tahun 2015 sebesar 4,4 persen serta permasalahan inflasi dan potensi tekanan kenaikan inflasi yang bersumber dari gejolak harga bahan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada prinsipnya, Pemerintah sependapat bahwa target pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus disertai dengan upaya menjaga agar laju inflasi berada pada level yang rendah dan stabil. Laju inflasi yang rendah dan stabil memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan stabilitas perekonomian nasional, serta mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dalam jangka panjang, laju inflasi nasional yang rendah dan stabil dapat mendorong perekonomian nasional untuk konvergen dengan negara-negara di kawasan, sehingga ke depan diharapkan agar perekonomian nasional dapat lebih kompetitif. Berdasarkan data historis, perkembangan laju inflasi nasional beberapa tahun terakhir tidak dapat dilepaskan dari pengaruh fluktuasi harga komoditas bahan pangan dan energi yang terjadi di pasar internasional. Transmisi tersebut didorong
-L.6-
oleh perkembangan harga komoditas energi di pasar internasional yang semakin meningkat. Peningkatan harga komoditas energi tersebut pada gilirannya mendorong peningkatan harga komoditas bahan pangan, mengingat inovasi teknologi diarahkan untuk mengkonversi komoditas bahan pangan sebagai sumber energi alternatif (bio-fuel). Pada kondisi yang lain, peningkatan produksi bahan pangan belum dapat memenuhi peningkatan jumlah permintaan, sehingga menimbulkan kesenjangan (output gap). Kesenjangan tersebut seringkali juga diperparah oleh gangguan produksi yang disebabkan karena beberapa kendala alamiah seperti bencana alam, perubahan iklim, dan faktor di luar kendali manusia lainnya. Guna mendukung komitmen untuk mengendalikan laju inflasi yang didorong oleh gejolak harga bahan pangan, beberapa kebijakan Pemerintah antara lain: (1) penyediaan alokasi anggaran serta percepatan pelaksanaan program pembangunan dalam upaya untuk meningkatkan produksi dan pasokan bahan pangan serta pembangunan infrastruktur guna mendukung interkoneksi wilayah dalam rangka memperlancar kelancaran arus distribusi bahan kebutuhan pokok masyarakat; (2) peningkatan produktivitas pertanian melalui peningkatan sarana dan prasarana produksi, inisiatif dan riset pengembangan, komunikasi dan informasi iklim, pendampingan dan penyuluhan petani, serta pengendalian terpadu hama/organisme pengganggu tanaman (OPT); (3) pemberdayaan peran aktif lembaga penyangga pangan nasional dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, serta bekerja sama dengan BUMN, BUMD, dan sektor swasta melalui skema pelaksanaan corporate social responsibility (CSR) di daerah; (4) penegakan aturan guna mencegah/mengurangi upaya konversi lahan beririgasi teknis dari peruntukan pertanian ke non-pertanian serta percepatan upaya pencetakan lahan sawah baru di beberapa daerah, seperti di wilayah Maluku, Papua, Sumatra dan Kalimantan; (5) peningkatan kerja sama dengan aparat penegak hukum, Polri dan Kejaksaan Agung, untuk menindak dan menjatuhkan sanksi yang tegas terhadap aksi spekulasi dan penimbunan barang yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu sistem distribusi nasional; (6) penyediaan layanan informasi harga pangan yang terintegrasi sehingga mengurangi potensi asymmetric information sehingga masyarakat dapat mengetahui secara pasti tentang perkembangan harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok sehingga dapat menahan ekspektasi harga yang berlebihan di masyarakat;
-L.7-
(7) diseminasi kebijakan dan edukasi kepada masyarakat dalam rangka pengendalian ekspektasi inflasi masyarakat, serta menetapkan sasaran inflasi dalam rangka inflation targeting framework (ITF) guna mengendalikan inflasi masyarakat dalam jangka menengah; (8) pelaksanaan kerja sama regional dan bilateral dalam rangka pengembangan dan peningkatan bahan pangan (antara lain melalui Inisiatif Cadangan Beras ASEAN+3/ASEAN+3 Emergency Rice Reserve-APTERR). Terkait dengan sinergi kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil, dapat dijelaskan bahwa Pemerintah dan BI terus berupaya untuk meningkatkan koordinasi dalam mengendalikan inflasi, baik di tingkat pusat maupun daerah (TPI dan Pokjanas TPID). Melalui sinergi kebijakan tersebut diharapkan agar pengendalian inflasi menjadi lebih efektif dan diarahkan untuk dapat mengatasi kendala struktural yang ada. Semakin meningkatnya kesadaran dan peran aktif daerah dalam pengendalian inflasi, serta ketegasan dalam mengambil langkah-langkah strategis mengendalikan kenaikan harga-harga barang dan jasa serta menjaga ketersediaan pasokan bahan pangan, juga diharapkan membantu pengendalian laju inflasi nasional. Dengan memperhatikan perkembangan laju inflasi beberapa tahun terakhir dan semakin stabilnya perkembangan harga komoditas bahan pangan dan energi, serta relatif terbatasnya kebijakan di bidang harga (administered prices) maka laju inflasi tahun 2015 diperkirakan sebesar 4,4 persen, mendekati titik tengah rentang sasaran inflasi yang ditetapkan, 4 persen ± 1 persen. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Hanura terkait dengan asumsi suku bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan pandangan Dewan yang terhormat bahwa semakin tinggi asumsi suku bunga SPN 3 bulan akan berpengaruh pada semakin meningkatnya beban bunga yang harus ditanggung oleh Pemerintah. Namun, perlu kami sampaikan juga bahwa besarnya tingkat suku bunga SPN 3 bulan lebih ditentukan oleh kondisi pasar seperti yang tercermin dalam besarnya permintaan dan penawaran pada saat proses pelelangan. Selain itu, persepsi pasar terkait fundamental perekonomian Indonesia juga cukup menentukan besaran suku bunga SPN 3 bulan tersebut. Hingga Agustus 2014, realisasi rata rata tingkat suku bunga SPN 3 bulan tahun 2014 mencapai 5,7 persen. Dengan memperhatikan bahwa pada tahun 2015 diperkirakan masih akan terdapat tekanan yang bersumber dari risiko meningkatnya suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat, diperkirakan masih akan terjadi peningkatan tingkat suku bunga obligasi domestik di tahun yang akan datang.
-L.8-
Meskipun demikian, Pemerintah akan terus bekerja sama dengan otoritas moneter terutama dalam menjaga persepsi positif pasar melalui berbagai upaya menjaga stabilitas dan perbaikan fundamental ekonomi. Upaya pendalaman pasar keuangan melalui berbagai strategi kebijakan seperti financial inclusion dan financial deepening diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan sumber pembiayaan dalam negeri dan selanjutnya menjadi insentif penurunan suku bunga dalam negeri. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, rata-rata suku bunga SPN 3 bulan pada tahun 2015 diperkirakan akan berada pada kisaran 6,2 persen. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terkait dengan harga minyak mentah (ICP) dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah sepakat asumsi harga minyak mentah harus didasarkan pada hasil analisis dan mempertimbangkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi fluktuasi harga minyak mentah dunia. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam menentukan asumsi harga minyak mentah RAPBN 2015, Pemerintah telah mempertimbangkan berbagai variabel fundamental, sebagai berikut: (a) penawaran dan permintaan minyak mentah (faktor fundamental harga), dengan melihat perkembangan pasokan minyak mentah dari negara-negara OPEC (Timur Tengah), Amerika Selatan, Amerika, Rusia dan sekitarnya, dan kawasan Laut Utara serta permintaan minyak mentah dari negara-negara OECD dan non-OECD; (b) kondisi ekonomi global dengan memperhatikan perkembangan pertumbuhan ekonomi di Amerika dan negara-negara Eropa; dan (c) kondisi geopolitik dengan mempertimbangkan kondisi negara-negara produsen minyak yang sedang dilanda konflik keamanan (peperangan) seperti Suriah dan Iran. Selain faktor-faktor fundamental dan non-fundamental tersebut, hal lain yang harus diperhatikan adalah kemungkinan adanya spekulasi harga minyak yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin memperoleh keuntungan, mengingat minyak mentah merupakan komoditi ekonomi yang sangat “liquid” dan strategis dalam perekonomian. Untuk itu, mekanisme lindung nilai dipandang sebagai salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk meminimalkan dampak fluktuasi harga minyak mentah internasional terhadap harga minyak mentah Indonesia. Namun, strategi lindung nilai terhadap harga ICP masih perlu dikaji dari sisi biaya dan manfaat, payung hukum dan akuntabilitas apabila kebijakan lindung nilai tersebut menimbulkan kerugian. Selanjutnya, Pemerintah terus mencermati dinamika pergerakan harga minyak dunia dan kecenderungannya ke depan, serta mempertimbangkan perkiraan harga minyak oleh berbagai lembaga/institusi internasional.Dengan demikian, asumsi
-L.9-
harga minyak mentah Indonesia tahun 2015 sebesar US$105 per barel dinilai cukup realistis. Sehubungan dengan pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terkait lifting minyak mentah dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah sepakat target lifting minyak mentah tahun 2015 harus dihitung secara realistis dan perlu dilakukan upaya serius untuk mencapai target tersebut. Usulan target lifting minyak mentah sebesar 845 ribu barel per hari dalam RAPBN tahun 2015 telah mempertimbangkan dan memperhitungkan potensipotensi serta kendala dalam operasional produksi. Pemerintah akan serius dan bekerja keras untuk mempercepat berproduksinya lapangan Cepu. Pada tahun 2015, dari lapangan Cepu diperkirakan akan terdapat tambahan produksi minyak mentah sebesar 165 MBOPD. Pemerintah juga secara kontinyu akan menjalankan program dan penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan-lapangan existing untuk mengoptimalkan tingkat produksi dari lapangan-lapangan minyak tersebut. Beberapa pilot project dalam implementasi EOR telah dilakukan pada lapangan migas PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), PT Pertamina EP, dan PT Medco E&P Indonesia. Teknologi EOR yang digunakan untuk mempertahankan laju produksi lapangan migas tersebut meliputi penggunaan chemical compound (senyawa kimia/surfactant), water injection, dan steam injection. Selain upaya-upaya teknis, Pemerintah juga akan secara konsisten dan terpadu menyempurnakan kebijakan dan regulasi di sektor kegiatan usaha hulu migas untuk memberikan kepastian hukum dan memperbaiki iklim investasi yang lebih kondusif guna mendorong investasi di sektor migas. Dengan masuknya investasi di sektor migas, diharapkan dapat lebih meningkatkan kegiatan survei (seismik) dan eksplorasi migas untuk menemukan cadangan-cadangan migas yang baru.Salah satu regulasi yang sedang disiapkan penyempurnaannya oleh Pemerintah adalah masukan pasal-pasal dalam revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pemerintah juga sependapat dengan anggota Dewan mengenai perlunya dilakukan audit kinerja terhadap SKK Migas dan kontraktor migas. Pada tahun 2014, Pemerintah telah meminta BPKP untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu terhadap SKK Migas terkait dengan lifting dan cost recovery. Selain itu, Pemerintah juga berpandangan bahwa pengawasan terhadap produksi dan lifting perlu dilakukan secara manual dengan menempatkan pengawas di lapangan maupun pengawasan menggunakan sistem informasi online. Dengan demikian diharapkan kebocoran produksi dan lifting dapat dideteksi secara dini dan diambil langkahlangkah antisipasi secara cepat dan tepat. Untuk itu, Pemerintah bersama SKK
-L.10-
Migas saat ini sedang membangun mengembangkan sistem informasi migas yang terintegrasi untuk memonitor produksi dan lifting migas nasional secara real time. Menanggapi pendapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai lifting gas bumi, kiranya dapat dijelaskan bahwa Pemerintah juga sangat menaruh perhatian terhadap peningkatan produksi gas sebagai salah satu sumber energi alternatif dan sumber penerimaan negara. Mengingat produksi minyak bumi yang cenderung menurun, kegiatan hulu minyak dan gas bumi Indonesia telah mengalami transformasi dari era minyak menuju era gas. Hasil eksplorasi lapangan-lapangan migas pada tahun-tahun terakhir lebih banyak menemukan cadangan gas bumi. Secara kumulatif, tren penurunan produksi minyak terkompensasi dengan peningkatan produksi gas bumi yang dilakukan dengan memperhatikan terjaminnya kebutuhan gas dalam negeri yang semakin meningkat. Peningkatan penggunaan gas dalam negeri merupakan prioritas kebijakan Pemerintah terutama untuk bahan baku pupuk, pembangkit listrik, industri dan masyarakat lainnya dalam rangka mendukung penguatan perekonomian nasional secara keseluruhan. Dalam rangka meningkatkan produksi gas nasional, Pemerintah akan berupaya secara serius dan maksimal untuk mempercepat realisasi produksi pada beberapa lapangan gas baru seperti South Mahakam 3 dan Bekapai Redevelopment Phase 2B pada tahun 2015. Pemerintah sependapat bahwa produksi gas nasional tidak hanya semata-mata untuk penerimaan negara dengan diekspor, tetapi tetap harus memperhitungkan pemenuhan kebutuhan domestik bagi industri, PT. PLN, dan rumah tangga. Pemerintah telah dan sedang mengupayakan agar produksi gas yang saat ini diekspor dapat dialihkan untuk kebutuhan dalam negeri. Selain itu, untuk memperkuat supply bagi kebutuhan gas di dalam negeri, produksi yang dihasilkan dari lapangan-lapangan gas yang baru akan digunakan untuk memasok kebutuhan gas domestik. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Golkar terkait neraca perdagangan, kiranya dapat kami sampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir kondisi neraca perdagangan mengalami tekanan yang bersumber pada defisit neraca migas, khususnya akibat peningkatan kebutuhan dalam negeri untuk mendukung aktivitas ekonomi dan konsumsi. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan kapasitas produksi migas dalam negeri mengalami penurunan produktivitas akibat usia yang semakin tua. Meski demikian, kinerja neraca perdagangan nonmigas masih mencatat surplus. Di samping itu, tekanan neraca perdagangan pada saat ini juga dipengaruhi oleh dampak pelemahan ekonomi global. Akibat pelemahan ekonomi global dan permintaan dunia, surplus pada neraca nonmigas semakin menyusut dan tidak
-L.11-
mampu menutupi defisit neraca migas. Perkembangan kinerja neraca migas juga tidak dapat lepas dari karakteristik ekspor Indonesia yang masih didominasi produk primer (bahan tambang dan hasil pertanian) yang relatif bernilai tambah rendah dan rentan pada perubahan harga. Di samping itu, kapasitas produksi nasional yang masih terbatas saat ini perlu terus ditingkatkan. Dengan pertimbangan faktor-faktor tersebut, Pemerintah akan terus menjalankan beberapa strategi dasar, yaitu terus meningkatkan kapasitas produksi nasional ke depan, mengarahkan perekonomian pada sektor-sektor yang lebih produktif dan bernilai tambah tinggi, dan pada saat yang sama terus menjaga stabilitas ekonomi, baik dari sisi inflasi, maupun dari sisi nilai tukar. Di sisi ekspor, Pemerintah akan mendorong peningkatan ekspor untuk produk non-migas yang bernilai tambah tinggi serta mendorong ekspor jasa yang lebih kompetitif di pasar internasional. Strategi tersebut juga diimbangi dengan arah kebijakan pembangunan industri yang mampu mengurangi ketergantungan pada produk-produk impor melalui substitusi dengan produk dalam negeri, termasuk impor bahan baku dan barang modal. Di samping itu, peningkatan efektivitas pengamanan perdagangan, lebih diarahkan untuk mendorong efisiensi dan daya saing sisi produksi, serta tidak menyebabkan timbulnya rente ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dunia yang secara umum diperkirakan akan meningkat di tahun 2015 juga memberi harapan positif bagi membaiknya kinerja ekspor domestik. B. PENDAPATAN NEGARA Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait kebijakan perluasan basis pajak dan perluasan wajib pajak orang pribadi (WP OP) dapat disampaikan bahwa Pemerintah sependapat dengan anggota Dewan yang terhormat untuk terus melanjutkan kebijakan perluasan basis pajak, mengingat masih besarnya potensi pajak dalam perekonomian. Dalam tahun 2015, Pemerintah akan melakukan kebijakan perluasan basis pajak melalui perbaikan regulasi, penggalian potensi pajak berdasarkan sektor usaha, dan penggalian potensi pajak WP OP. Penyempurnaan peraturan perpajakan dilakukan agar Pemerintah dapat menyesuaikan peraturan perpajakan dengan perkembangan perekonomian terkini sehingga diharapkan akan tercipta objek-objek pajak baru sebagai penyumbang penerimaan perpajakan. Selanjutnya, dalam rangka melakukan penggalian potensi pajak berdasarkan sektor usaha, Pemerintah akan mengintensifkan penggalian pada sektor-sektor ekonomi nontradable (misalnya sektor properti, jasa keuangan, dan perdagangan) dan sektor-sektor di bidang
-L.12-
sumber daya alam dan perkebunan. Selain itu, Pemerintah akan menggali potensi pajak secara langsung dari beberapa transaksi ekonomi strategis melalui pengembangan sistem online dengan institusi yang mengadministrasikan transaksi ekonomi strategis tersebut. Khusus untuk WP OP, Pemerintah akan melakukan upaya perluasan basis pajak melalui ekstensifikasi WP OP berpendapatan tinggi dan menengah ke atas dengan memperhatikan sektor ekonomi dan perkembangan wilayah yang potensial. Upaya perluasan basis pajak tersebut akan didukung oleh peningkatan infrastruktur administrasi perpajakan serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM. Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan mampu memperluas basis perpajakan nasional sehingga mampu meningkatkan penerimaan pajak. Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera bahwa rencana penerimaan perpajakan pada tahun 2015 masih belum memperlihatkan upaya maksimal (extra effort) karena hanya tumbuh sebesar pertumbuhan alamiahnya, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut. Penerimaan perpajakan pada RAPBN 2015 ditargetkan mencapai Rp1.370,8 triliun, meningkat Rp124,7 triliun atau 10,0 persen bila dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan pada APBNP tahun 2014. Penetapan target penerimaan perpajakan didasarkan pada perkembangan perekonomian tahun 2014 dan proyeksi perekonomian tahun 2015. Melambatnya perekonomian nasional pada semester I tahun 2014 dan pertumbuhan PDB yang relatif moderat pada tahun 2015 yang dipengaruhi menurunnya kegiatan ekspor impor serta relatif rendahnya harga komoditas akan berdampak terhadap target pertumbuhan penerimaan perpajakan. Namun, Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan melalui langkah-langkah kebijakan ekstensifikasi, intensifikasi dan penggalian potensi. Sekilas angka pertumbuhan tersebut memang hanya sebesar angka pertumbuhan alamiahnya, sehingga belum mencerminkan adanya upaya maksimal dalam penghimpunan pajak. Namun, apabila dicermati lebih jauh dengan mempertimbangkan struktur PDB Indonesia yang masih didominasi oleh sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), maka pertumbuhan penerimaan perpajakan pada tahun 2015 masih tergolong cukup tinggi. Hal tersebut mengingat sektor UMKM yang memberikan kontribusi sekitar 59 persen terhadap total PDB Indonesia (data tahun 2012), masih didominasi oleh sektor informal yang masih sulit terjangkau oleh sistem perpajakan Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa penggalian potensi penerimaan perpajakan pada sektor informal menjadi suatu tantangan dalam upaya meningkatkan penerimaan perpajakan pada tahun-tahun mendatang. Untuk itu, Pemerintah akan tetap melakukan berbagai langkah kebijakan untuk memperbaiki sistem perpajakan, baik dari sisi administrasi maupun regulasi, agar dapat menjangkau sektor informal.
-L.13-
Salah satu langkah yang ditempuh adalah mengoptimalkan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan tersebut mempermudah pemajakan bagi sektor informal dan usaha kecil, dengan jalan menerapkan pajak yang sifatnya final dengan tarif 1 persen bagi wajib pajak dengan omzet tertentu. Terlepas dari permasalahan belum terjangkaunya sektor informal dalam sistem perpajakan Indonesia, Pemerintah menyadari bahwa potensi penerimaan perpajakan masih sangat besar untuk digali. Untuk itu, Pemerintah mengharapkan dukungan sepenuhnya dari anggota Dewan yang terhormat dan seluruh elemen masyarakat, agar langkah-langkah kebijakan optimalisasi penerimaan perpajakan dapat dilakukan secara maksimal. Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai pembebanan PPnBM antara konsumen berpenghasilan tinggi dan rendah, serta mengenai ekstensifikasi objek PPnBM dimaksimalkan pengenaannya kepada masyarakat berpenghasilan tinggi, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan anggota Dewan yang terhormat untuk lebih mengoptimalkan instrumen PPnBM dalam rangka memperoleh keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dan yang berpenghasilan rendah. Untuk mendukung hal tersebut, Pemerintah telah melakukan evaluasi terhadap kebijakan PPnBM dengan mengeluarkan barang yang sudah dianggap tidak mewah, meningkatkan tarif, dan memperluas cakupan barang yang dianggap mewah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.011/2014 yang menetapkan kenaikan tarif PPnBM kendaraan bermotor yang tergolong mewah (sedan/station wagon 3.000 cc untuk motor bakar cetus api dan 2.500 cc untuk motor bakar nyala kompresi) dari 75 persen menjadi 125 persen mulai 17 April 2014. Selain itu, Pemerintah juga sependapat dengan pernyataan anggota Dewan yang terhormat bahwa ekstensifikasi perlu dilakukan untuk menambah jenis barang yang dikenai PPnBM. Pertimbangan yang digunakan untuk menambah objek PPnBM yang baru antara lain adalah barang tersebut hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan sebagian besar merupakan produk impor. Efektivitas pengenaan PPnBM juga harus ditingkatkan untuk mengurangi penyelundupan. Pemberian label/stiker seperti yang sudah digunakan untuk pemungutan cukai dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pemungutan PPnBM.
-L.14-
Menanggapi pertanyaaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat mengenai penghapusan mafia perpajakan, meningkatkan tax compliance, menurunkan tingkat tax evasion, mengantisipasi kebocoran penerimaan perpajakan, dan fungsi kontrol pengawasan internal dalam pengelolaan keuangan negara, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah terus berupaya melakukan extra effort, di antaranya melalui pemberantasan mafia perpajakan, dengan melakukan: (a) sistem whistle blowing yang efektif; (b) melakukan rotasi yang menyeluruh bagi tenaga fungsional pemeriksa pajak guna mencegah terjadinya penyimpangan; (c) memperbaiki kualitas pemeriksaan untuk mengurangi jumlah sengketa pajak; (d) meningkatkan peran Komite Pengawas Perpajakan guna meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap kepatuhan internal; serta (e) melakukan pengujian kepatuhan internal secara tematik. Selain itu, Pemerintah terus menerus melakukan pengawasan internal untuk meningkatkan kedisiplinan dan kepatuhan aparat terhadap kode etik pelaksanaan tugas. Pegawai pajak yang melanggar kode etik tersebut akan dikenakan sanksi moral dan atau hukuman disiplin yang mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu, dalam upaya meningkatkan tax compliance, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah di antaranya dengan meningkatkan pengawasan terhadap kepatuhan WP dalam menyampaikan SPT Tahunan PPh, termasuk dengan pemberian himbauan terhadap WP yang belum menyampaikan SPT tahunan PPh, serta memberikan bimbingan/konsultasi. Langkah lainnya yang dilakukan adalah melalui peningkatan pengawasan pembayaran masa, pengawasan dan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, benchmarking, pengawasan WP sektor tertentu yang potensial, serta pemanfaatan pertukaran data (feeding) antar unit terkait. Sementara itu, dalam upaya menurunkan tingkat tax evasion melalui transfer pricing, Pemerintah telah melakukan beberapa langkah di antaranya melalui: (a) pembentukan unit khusus yang melakukan penanganan transfer pricing; (b) pemberian diklat khusus mengenai transfer pricing kepada para pemeriksa, account representative, Kepala KPP Madya, KPP Khusus, dan Large Tax Office (LTO); (c) peningkatan kuantitas penanganan transfer pricing melalui pemberian kewajiban kepada setiap KPP di lingkungan Kanwil DJP WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus transfer pricing minimal 4 WP setiap KPP, serta mewajibkan setiap Kanwil DJP yang berada di wilayah Jakarta untuk melakukan pemeriksaan simultan terhadap perusahaan-perusahaan yang berada di bawah satu
-L.15-
grup, minimal 1 grup untuk setiap Kanwil; (d) peningkatan kualitas penanganan transfer pricing yang dilakukan dalam bentuk pemberian bimbingan kepada setiap level penanganan masalah transfer pricing, yaitu di tingkatan analisis risiko, pemeriksaan, keberatan dan banding, serta penyediaan sarana pendukung dalam penanganan transfer pricing (pengadaan database pembanding dan industrial report dari perusahaan penyedia commercial database); dan (e) melakukan penyempurnaan format SPT terkait pelaporan transaksi afiliasi, sehingga WP lebih transparan dalam melaporkan transaksi afiliasinya. Dalam upaya mengantisipasi kebocoran, Pemerintah telah mengambil kebijakan teknis yaitu: (a) mengoptimalkan mekanisme whistle blowing system dalam rangka mengefektifkan pengawasan internal, dan (b) memaksimalkan peran unit pengawasan kepatuhan internal DJP. Terkait fungsi kontrol pengawasan internal dalam pengelolaan keuangan negara, Pemerintah akan terus melakukan upaya peningkatan kontrol dan pengawasan internal dalam rangka meminimalkan kebocoran dan meningkatkan penerimaan negara, baik dari sektor pajak maupun non pajak. Upaya tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi aspek-aspek pengendalian intern yang masih lemah untuk selanjutnya diperbaiki oleh setiap manjemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan penerimaan negara. Selain itu, Pemerintah juga terus mengintensifkan pengawasan intern melalui audit kepatuhan dan audit kinerja oleh aparat pengawasan intern masing-masing kementerian negara/lembaga, terutama pada proses bisnis yang rawan terhadap kebocoran. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, aparat pengawasan internal Pemerintah telah membentuk asosiasi profesi dalam bidang pengawasan intern Pemerintah. Melalui asosiasi tersebut Pemerintah berharap gerak langkah pengawasan intern akan lebih professional dan seragam dalam menjalankan peran untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai langkah-langkah terobosan optimalisasi perpajakan dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan anggota Dewan yang terhormat untuk melakukan langkahlangkah terobosan optimalisasi penerimaan perpajakan. Terkait hal tersebut, Pemerintah telah dan akan melakukan langkah-langkah optimalisasi perpajakan antara lain dengan: (a) meningkatkan penggalian potensi pajak wajib pajak orang pribadi (WP OP) dengan sasaran orang pribadi golongan pendapatan tinggi dan menengah atas; (b) mengintensifkan penggalian sektor ekonomi non-tradable (misalnya properti, jasa keuangan, dan perdagangan) serta kegiatan ekonomi di bidang sumber daya alam dan perkebunan; (c) menyempurnakan sistem
-L.16-
administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan WP dengan mengembangkan sistem administrasi berbasis IT seperti e-filing untuk SPT PPh dan e-invoice untuk PPN; (d) menggali potensi pajak secara langsung dari beberapa transaksi ekonomi strategis melalui pengembangan sistem online dengan institusi yang mengadministrasikan transaksi ekonomi strategis tersebut; (e) meningkatkan efektivitas pemeriksaan dan penagihan melalui pemeriksaan yang berorientasi pada pemeriksaan khusus bagi WP strategis dan implementasi model compliance risk management (CRM); (f) meningkatkan sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam pelaksanaan law enforcement di bidang perpajakan; (g) memperbaiki regulasi yang memperluas basis pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak; dan (h) meningkatkan infrastruktur administrasi perpajakan dan kualitas serta kuantitas SDM. Sementara itu, di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah akan melakukan kebijakan antara lain: (a) menggalakkan pemberitahuan dini lewat skema pranotifikasi; (b) mendorong peralihan pengiriman pemberitahuan impor barang (PIB) dan dokumen pelengkap pabean impor secara tunggal (single submission); (c) mengembangkan sistem layanan dan pengawasan yang berjenjang dan terotomasi berdasarkan manajemen risiko terpusat di kawasan berikat; (d) meluncurkan integrated monitoring room untuk pengawasan kawasan berikat di dua belas kantor pelayanan; (e) meningkatkan akurasi penetapan nilai pabean, klasifikasi barang, dan pemeriksaan fisik; (f) meningkatkan konfirmasi surat keterangan asal dalam rangka skema free trade area; (g) meningkatkan akurasi penelitian jumlah dan jenis barang ekspor; (h) meningkatkan pengawasan modus antar pulau dan modus switching jenis barang ekspor; (i) optimalisasi operasi pengawasan terpadu, patroli laut, dan patroli darat; serta (j) melakukan joint audit dengan Direktorat Jenderal Pajak; (k) mendesain risk engine cukai terintegrasi yang handal, meliputi penentuan fokus strategis dan area risiko, identifikasi risiko pada tiap area risiko, menganalisis dan memprediksi risiko, dan formulasi risk engine; (l) mendesain database cukai terpusat, melalui identifikasi data untuk manajemen risiko, memilih data untuk disimpan di database, mengembangkan pemetaan data, formulasi mekanisme update, dan otomasi database; dan (m) penyesuaian besaran tarif cukai. Menjawab pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kenaikan target pendapatan dari bagian laba BUMN tahun 2015 yang hanya sebesar Rp1 triliun dari APBNP 2014 dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Kenaikan target pendapatan bagian laba BUMN 2015 pada dasarnya sudah mempertimbangkan segala potensi yang mungkin diusahakan oleh BUMN. Kenaikan tersebut sudah cukup memadai mengingat kondisi perekonomian nasional dan
-L.17-
global yang diperkirakan di tahun 2015 masih menunjukkan perkembangan kurang baik. Di samping itu, penetapan target penerimaan negara dari dividen BUMN juga dilakukan berdasarkan langkah-langkah optimalisasi penerimaan dengan tetap memperhatikan kebutuhan pendanaan perusahaan. Dalam hal ini, penentuan dividen dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan BUMN dalam mendanai investasi yang menguntungkan dalam rangka menjaga keberlangsungan usaha. Hal tersebut juga diharapkan dalam jangka menengah akan memberikan dampak peningkatan keuntungan yang akan menyumbangkan dividen yang lebih besar di tahun-tahun berikutnya. Peningkatan laba BUMN tersebut juga sudah memperhitungkan extra effort sebagai berikut: a. Adanya investasi yang dilakukan BUMN untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing BUMN dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. b. Dalam rangka penerapan Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System (Basel III), Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dimana Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum atau Capital Adequacy Ratio (CAR) ditetapkan 8% s.d 14%, sesuai dengan profil risikonya. Dengan demikian BUMN Perbankan perlu meningkatkan permodalannya agar tetap dapat melakukan ekspansi kredit. c. Harga pasar komoditas sektor pertambangan dan perkebunan sedang mengalami penurunan sehingga mempengaruhi besaran laba usaha BUMN Pertambangan dan Perkebunan. d. Beberapa BUMN yang labanya cukup signifikan namun tidak ditargetkan menyetorkan dividen antara lain: (a) PT PLN dengan proyeksi meraih laba bersih namun masih mengalami akumulasi kerugian akibat rugi selisih kurs pada tahun 2013; dan (b) PT Taspen, terkait dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Terhadap target laba BUMN dalam RAPBN 2015 sebesar Rp41 triliun, akan diupayakan pemenuhannya dengan cara meningkatkan pay-out-ratio pada BUMN yang memiliki tingkat likuiditas yang baik dengan tetap mempertimbangkan aspek kebutuhan investasi BUMN.
-L.18-
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah juga terus berupaya untuk melakukan pembenahan dan restrukturisasi BUMN secara efektif dan berkelanjutan dan mengarahkannya menjadi korporasi modern dan world class company. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, telah melaksanakan pembenahan dan restrukturisasi BUMN. Arah kebijakan utama terkait dengan pembenahan dan restrukturisasi BUMN adalah rightsizing. Rightsizing adalah kebijakan untuk melakukan restrukturisasi BUMN menuju jumlah yang ideal berdasarkan 2 prinsip utama yaitu (a) perlu tidaknya kepemilikan negara mayoritas dipertahankan pada BUMN tertentu dan (b) jenis tindakan yang akan dilakukan. Skenario pelaksanaan rightsizing BUMN tahun 2012—2014 adalah rightsizing sektor kertas, percetakan, dan penerbitan, sektor perkebunan, sektor kehutanan, sektor pertambangan, sektor farmasi, sektor pengerukan, dan sektor aneka industri sehingga jumlah BUMN pada akhir tahun 2012 menjadi sekitar 116 BUMN. Pada tahun 2013, akan dilakukan rightsizing pada sektor kebandarudaraan, sektor angkutan darat dan kereta api, sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor energi, sektor konstruksi dan konsultan konstruksi, sektor logistik, dan sektor jasa penilai sehingga jumlah BUMN akan menjadi sekitar 105 BUMN. Selanjutnya, pada tahun 2014, akan dilakukan rightsizing pada sektor pertahanan, sektor industri berbasis teknologi, sektor dok dan perkapalan, sektor baja dan konstruksi baja, sektor asuransi, dan sektor konstruksi sehingga jumlah BUMN pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan menjadi sekitar 95 BUMN. Sehubungan dengan pandangan umum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan optimalisasi PNBP SDA Non Migas serta pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terkait dengan PNBP SDA Perikanan, dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah terus melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan PNBP SDA, baik migas maupun nonmigas. Optimalisasi PNBP SDA nonmigas dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: PNBP SDA Pertambangan Mineral dan Batu Bara 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP SDA Pertambangan Mineral dan Batubara dilakukan melalui: Review PP No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian ESDM; Renegosiasi Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka mengatasi permasalahan pengelolaan PNBP Minerba. Hal tersebut merupakan hasil kajian Sistem Pengelolaan PNBP Minerba oleh KPK.
-L.19-
2. Meningkatkan pengawasan dengan melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Bayar. PNBP SDA Kehutanan Untuk optimalisasi penerimaan dari SDA kehutanan, Pemerintah tetap berkomitmen bahwa hal tersebut diupayakan dengan tidak mengganggu kelestarian hutan, sehingga upaya peningkatan penerimaan tidak dikaitkan dengan peningkatan produksi hasil hutan. Namun, peningkatan penerimaan diupayakan melalui (a) penerimaan dari jasa penggunaan kawasan hutan; (b) melakukan pengembangan sistem penatausahaan hasil hutan (PUHH) berbasis teknologi informasi (TI) yang dapat diakses di Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota serta para pemegang IUPHHK-HA-HT; dan (c) senantiasa melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi PNBP yang berasal dari sumber daya alam kehutanan melalui inventarisasi potensi jenis PNBP yang memungkinkan untuk dipungut serta melakukan review atas rasionalitas besaran tarif jenis PNBP sektor Kehutanan dengan mempertimbangkan faktor kelestarian alam. PNBP SDA Perikanan Upaya untuk meningkatkan penerimaan SDA perikanan akan terus dilakukan, namun dengan pertimbangan tetap menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan laut dan kedaulatan wilayah laut nasional. Perlu kami sampaikan pula bahwa, penerimaan dari SDA perikanan yang disetor ke APBN adalah PNBP yang dikenakan bukan kepada semua kapal tangkap ikan, tetapi hanya dikenakan kepada kapal diatas 30 gross tonnage (GT). Sementara itu, kapal-kapal tangkap ikan yang di bawah 30 GT menjadi wewenang pemerintah daerah. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh dalam rangka optimalisasi PNBP perikanan adalah (a) meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana pelayanan, serta peningkatan jaminan usaha sektor kelautan dan perikanan; (b) meningkatkan pelayanan dan penertiban perizinan usaha di bidang perikanan serta pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; (c) meningkatkan daya saing armada perikanan nasional; (d) melakukan penyesuaian harga patokan ikan (HPI) secara periodik sehingga sesuai dengan kondisi terkini; dan (e) terus melakukan reviu terhadap jenis dan tarif atas jenis PNBP untuk menampung potensi PNBP yang ada dan melakukan penyesuaian tarif PNBP dengan kondisi terkini dan mendorong kepastian bagi wajib bayar/pengguna jasa sektor kelautan dan perikanan. Sehubungan dengan pandangan anggota dewan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan cost recovery dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah serius untuk mengendalikan cost recovery
-L.20-
baik dari sisi penyempurnaan regulasi maupun dari sisi peningkatan pengawasan terhadap pembebanan biaya operasi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Migas, sehingga memberikan kejelasan dan ketegasan mengenai jenis biaya operasi yang dapat dibebankan sebagai cost recovery. Pengaturan mengenai pembebanan jenis biaya operasi tersebut juga memberikan kepastian mengenai perhitungan pajak penghasilan dari sektor migas. Pengendalian cost recovery juga terus dilakukan oleh SKK Migas selaku pelaksana dan pengawas kegiatan usaha hulu migas melalui monitoring dan evaluasi terhadap Work Program & Budget (WP&B) KKKS pada awal, pelaksanaan (current), dan post audit. Selain oleh SKK Migas, audit terhadap cost recovery juga dilakukan oleh auditor Pemerintah (BPKP dan DJP) dan auditor BPK RI dalam rangka menilai kepatuhan KKKS dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dan perhitungan penerimaan bagian negara dari sektor migas, yaitu PNBP migas dan PPh migas. Pemerintah menyadari bahwa pengendalian dan pengawasan terhadap cost recovery harus dilakukan secara konsisten dan terus menerus, seperti update negative list, dan peningkatan governance perusahaan. Namun, pengendalian dan pengawasan tersebut harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tidak memberikan dampak yang negatif terhadap investasi di sektor hulu migas. Penentuan besaran cost recovery memiliki sensitivitas terhadap investasi di sektor hulu migas karena dapat mempengaruhi pendanaan untuk kegiatan survei, eksplorasi, dan eksploitasi migas dalam rangka penemuan cadangan-cadangan baru dan pengembangan lapangan untuk peningkatan produksi migas di masa yang akan datang. Terkait dengan efisiensi cost recovery dapat kami jelaskan sebagai berikut. Dalam mengupayakan efisiensi cost recovery, Pemerintah tetap akan berpedoman pada peraturan yang ada yakni PP Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan PPh di Bidang Usaha Hulu Migas. Namun, Pemerintah juga tetap mempertimbangkan kondisi terkini sektor hulu migas. Saat ini, secara umum menghadapi kondisi natural declining dimana dibutuhkan biaya yang tinggi dalam menghasilkan produksi migas. Biaya-biaya untuk eksplorasi juga telah diberikan guna mendukung upaya peningkatan produksi dan meningkatkan efisiensi cost recovery, terutama melalui pembebasan bea masuk atas barang modal yang diimpor untuk mendukung kegiatan eksplorasi migas. Sementara itu, terhadap penurunan penerimaan negara dari sektor migas perlu menjadi perhatian semua stakeholder terkait agar segala hambatan, khususnya dalam upaya peningkatan
-L.21-
produksi, dapat diminimalisir dan diikuti dengan efisiensi produksi, serta penerapan transparansi dan tata kelola yang baik dalam industri migas. Pemerintah terus berkomitmen untuk mendorong peningkatan produksi migas melalui pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal. Kebijakan insentif fiskal dilakukan melalui pemberian fasilitas bebas bea impor dan PPN impor bagi barang modal untuk kegiatan eksplorasi hulu migas. Di samping itu, Pemerintah juga telah menerbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Mentah Nasional yang memberikan pedoman untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan kementerian negara/lembaga masing-masing untuk mencapai produksi minyak bumi nasional. Terkait penerimaan royalti, Pemerintah sependapat dengan pandangan anggota Dewan bahwa dibutuhkan pembenahan yang serius untuk meningkatkan PNBP. Pembenahan tersebut telah dan akan terus dilaksanakan guna memberikan manfaat yang optimal bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara. Upaya optimalisasi penerimaan dari SDA terutama dari penerimaan royalti batubara secara intensif terus dilakukan. Saat ini beberapa instansi terkait telah bekerjasama dengan aparat penegak hukum, baik Kepolisian maupun KPK untuk melakukan penagihan atas tunggakan pembayaan royalti beberapa pengusaha tambang. Upaya tersebut disamping akan menaikkan penerimaan dari PNBP SDA, juga akan meningkatkan penerimaan perpajakan atas kegiatan tambang. Terhadap pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menilai adanya penurunan penerimaan PNBP SDA tahun 2015 sebesar Rp5 triliun dari APBNP 2014 dapat kami sampaikan bahwa hal tersebut berkaitan dengan adanya penurunan penerimaan SDA gas sebagai akibat dari adanya perubahan alokasi pasokan gas dari ekspor ke domestik, yang telah menyebabkan lebih rendahnya gross revenue gas untuk tahun 2015 dibandingkan dengan gross revenue gas untuk tahun 2014. Selain itu, penurunan gross revenue juga disebabkan oleh adanya perbedaan harga gas yang cukup signifikan antara harga gas untuk tujuan ekspor sebesar rata-rata berkisar $13/MMBTU karena dipengaruhi oleh asumsi harga minyak mentah $105/barel dibandingkan dengan harga gas untuk tujuan domestik yang rata-rata mencapai $6/MMBTU. Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa agar penetapan ICP berdampak positif bagi penerimaan negara dapat kami sampaikan bahwa penetapan ICP saat ini didasarkan pada perkembangan terkini atas harga minyak mentah di pasaran internasional dan informasi terkait dengan proyeksi beberapa publikasi internasional. Proyeksi dari publikasi tersebut memperhitungkan beberapa -L.22-
variabel yang mempengaruhi perkembangan harga minyak mentah dunia ke depan. Variabel-variabel tersebut mencakup di antaranya supply-demand harga minyak mentah, kondisi geopolitis, dan kondisi perekonomian dunia. Selanjutnya, harga ICP yang ditetapkan dengan mempertimbangkan variabel-variabel tersebut, digunakan untuk memperhitungkan penerimaan dari kegiatan hulu migas. Sehubungan dengan pandangan umum dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait optimalisasi PNBP Lainnya, dapat kami sampaikan bahwa saat ini pemerintah telah menerapkan sistim informasi PNBP online (SIMPONI). Penerapan sistem ini tidak hanya mempermudah masyarakat dalam melakukan pembayaran PNBP, tetapi juga dapat dijadikan database PNBP yang dapat dipergunakan Pemerintah untuk mengidentifikasi dan memonitor para pembayar PNBP. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam rangka optimalisasi PNBP lainnya adalah sebagai berikut: 1. Intensifikasi PNBP • Menyempurnakan ketentuan perundangan pengelolaan PNBP, termasuk akan merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. • Melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholders agar PNBP dikelola sesuai peraturan perundangan yang berlaku. • Meminta K/L untuk menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara. • Melakukan penertiban sistem pengelolaan PNBP dengan membangun Sistem Informasi PNBP Online dalam rangka menciptakan sistem pengadministrasian penerimaan negara yang modern. • Meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan BPKP dalam pemeriksaan di bidang PNBP termasuk audit optimalisasi penerimaan negara. • Percepatan penyelesaian PP tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian Negara/Lembaga. • Penyederhanaan prosedur pelayanan PNBP oleh KL • Melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan PNBP pada K/L, untuk mengetahui masalah dan kemudian dicarikan solusi agar pengelolaan PNBP lebih optimal. 2. Ekstensifikasi PNBP • Meminta K/L yang belum mempunyai dasar hukum pemungutan tarif untuk segera mengusulkan PP tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP kepada Menteri Keuangan.
-L.23-
Meminta K/L yang sudah mempunyai PP tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP untuk menginventarisir kembali seluruh potensi jenis PNBP dan menempatkannya dalam PP • Mengevaluasi jenis dan besaran tarif atas jenis PNBP yang sudah tidak relevan. Menanggapi penyataan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pada dasarnya Pemerintah sepakat dengan pernyataan dari anggota Dewan bahwa review dan reformulasi tarif harus dilakukan untuk mengoptimalkan PNBP. Saat ini, Pemerintah sedang merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Revisi tersebut dilakukan untuk disesuaikan dengan perkembangan situasi aktual dan untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Pemerintah berpendapat revisi tersebut merupakan langkah yang paling tepat untuk mengharmonisasikan dan menyesuaikan regulasi PNBP serta dalam rangka mengantisipasi kebijakan PNBP ke depan. Di samping itu, Pemerintah juga akan terus mereviu dan menyempurnakan peraturan pemerintah di bidang PNBP untuk disesuaikan dengan perekembangan situasi terkini, sekaligus untuk menyempurnakan mekanisme penagihan, penyetoran, dan tertib administrasi PNBP. Saat ini revisi RUU PNBP tersebut telah dilaksanakan harmonisasi peraturan perundangan-undangan dan telah diserahkan kepada Sekretariat Negara untuk dimintakan paraf kepada pimpinan kementerian terkait. •
Terkait pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai optimalisasi pendapatan BLU dapat Pemerintah sampaikan bahwa pendapatan BLU pada tahun 2015 sebesar Rp22 triliun sudah mengalami kenaikan sebesar 1,4 triliun bila dibandingkan dengan target tahun 2014. Peningkatan target penerimaan BLU tahun 2015 tersebut antara lain dipengaruhi oleh perkiraan peningkatan volume layanan pada Satker BLU. Namun, apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2013, target penerimaan BLU 2015 tersebut mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan terdapat 7 Satker BLU Perguruan Tinggi Negeri yang berubah status menjadi badan hukum, sehingga target penerimaannya tidak diperhitungkan dalam target penerimaan BLU tahun 2015. Selain itu, mulai tahun 2013 Pemerintah melakukan kebijakan moratorium pembentukan Satker BLU baru dalam rangka mengevaluasi kebijakan pengelolaan BLU. Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai keseimbangan antara meningkatkan PNBP dengan ketahanan energi dapat kami sampaikan bahwa untuk kegiatan usaha terkait dengan komoditi energi, Pemerintah disamping berupaya untuk meningkatkan penerimaan juga mewajibkan adanya pemenuhan kewajiban kebutuhan dalam negeri melalui DMO (domestic market
-L.24-
obligation) dengan tujuan untuk memberikan jaminan supply pasar dalam negeri atas kebutuhan energi (minyak mentah, gas bumi, dan batubara). Pemerintah memahami bahwa peningkatan kegiatan eksploitasi sumber daya alam terutama yang sifat non renewable akan mengancam ketahanan energi pada masa mendatang. Untuk itu, memang perlu untuk dipertimbangkan adanya upaya untuk melakukan pembatasan terutama ekpor atas beberapa komoditi energi. Hal tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan terjaminya kebutuhan dalam negeri dan upaya untuk melindungi kelestarian lingkungan mengingat bahwa kegiatan eksplotasi di sektor energi terkait erat dengan kawasan hutan. C. BELANJA PEMERINTAH PUSAT Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai capaian program prioritas yang telah berhasil dicapai beserta tantangan dan hambatannya, Pemerintah dapat disampaikan penjelasan untuk beberapa bidang sebagai berikut. Pendidikan Nasional Hingga berakhirnya pelaksanaan RPJMN 2010-2014, Pemerintah telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan penduduk. Hal ini tercermin dari meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas, yang semula 7,7 tahun (2009) meningkat menjadi 8,1 tahun (2012). Selain itu, jumlah siswa untuk jenjang SD/MI/sederajat meningkat dari 30.542 ribu pada tahun 2009 menjadi 31.009 ribu pada tahun 2013. Namun demikian, upaya yang telah dilakukan belum sepenuhnya menghilangkan kesenjangan partisipasi pendidikan antarkelompok masyarakat. Selain itu, masih terdapat kesenjangan kualitas antar satuan pendidikan. Faktorfaktor yang menyebabkan kualitas masih rendah, antara lain adalah lingkungan dan budaya sekolah belum terbangun dengan baik, fasilitas pendidikan (laboratorium, perpustakaan) yang mendukung proses belajar mengajar yang berkualitas belum tersedia merata serta kompetensi guru pendidikan menengah yang masih belum mumpuni. Selanjutnya tingginya angka pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan lulusan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Oleh karena itu , tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan kemampuan kognitif, karakter, dan soft-skills lulusan, dan peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan lapangan pekerjaan.
-L.25-
Ketahanan Pangan Tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, dan berkembangnya kelas menengah, diperkirakan akan meningkatkan permintaan bahan pangan yang cukup besar dan beragam serta kualitas yang semakin tinggi. Sementara produksi pangan sebagian besar masih dilakukan oleh petani kecil dengan lahan olahan yang sempit dan kebutuhan non pertanian. Selanjutnya, ketersediaan pangan berpengaruh terhadap gejolak harga pangan dan inflasi, sementara inflasi mempengaruhi aksesibilitas pangan masyarakat. Hal ini diperparah oleh dampak iklim ekstrim serta bencana alam yang dialami oleh petani akan mempengaruhi ketersediaan pangan masyarakat. Untuk itu Pemerintah mengambil langkah strategi antara lain: (1) peningkatan produksi padi dan sumber pangan protein dari dalam negeri; (2) peningkatan kelancaran distribusi dan penguatan stok pangan dalam negeri; dan (3) perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat. Selain itu, usaha Pemerintah untuk mengahadapi tantangan stabilitas harga pangan antara lain dengan melakukan pemantauan perkembangan fluktuasi harga pangan pokok dan peningkatan peranan Perum Bulog serta pengaturan impor ekspor bahan pangan untuk stabilisasi harga pangan tanpa mengganggu produksi. Pertahanan Keamanan Pada tahun 2015, moderenisasi alutsista TNI merupakan salah satu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah. Hal ini berdampak meningkatnya daya penggentar militer Indonesia yang tercermin dari menurunnya intensitas upaya gangguan kewibawaan dan kedaulatan NKRI. Konsekuensi dari peningkatan kekuatan militer tersebut adalah penyediaan anggaran pemeliharaan dan perawatan alutsista yang harus dialokasikan pembiayaannya. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi Pemerintah. Selain itu, tantangan lain yang dihadapi Pemerintah adalah kesejahteraan prajurit TNI yang harus diperhatikan untuk meningkatkan profesionalisme prajurit TNI. Konsepsi kesejahteraan prajurit TNI dikelompokkan dalam empat komponen, yaitu pendapatan minimal, perumahan, kesehatan dan purna tugas. Kesehatan Salah satu program prioritas Pemerintah adalah pengembangan jaminan kesehatan nasional. Pada tahun 2013, penduduk yang tercakup dalam sistem jaminan kesehatan nasional diperkirakan mencapai 64,58 persen. Hal ini akan terus ditingkatkan dengan dilaksanakannya skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di bawah pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tantangan utama dari program ini adalah mengembangkan mekanisme peningkatan
-L.26-
kepesertaan khususnya non-penerima upah yang biasanya cukup sulit dilakukan tanpa insentif. Selain JKN, tantangan yang dihadapi Pemerintah dalam bidang kesehatan adalah terbatasnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier terutama pada daerah perdesaan, terpencil, sangat terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Selain itu kendala geografis juga menyebabkan keterbatasan akses pelayanan kesehatan di berbagai daerah. Oleh karena itu Pemerintah membentuk sistem kendali mutu dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan primer melalui pemenuhan standar pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya. Menanggapi masukan dari Fraksi Partai Hanura mengenai kebijakan yang mendukung percepatan pembangunan infrastruktur, pada dasarnya Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dan terus berusaha melakukan terobosan percepatan pembangunan infrastruktur dalam peningkatan kedaulatan pangan, ketahanan energi dan biaya logistik. Dalam periode RPJMN II, kebijakan umum tentang pangan, energi dan logistik pencapaian pembangunan infrastruktur irigasi dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional sampai dengan pertengahan tahun 2013 telah dilakukan peningkatan luas layanan jaringan irigasi seluas 858,4 ribu hektar, rehabilitasi jaringan irigasi seluas 3,2 juta hektar, serta operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat rata-rata pertahun seluas 1,8 juta hektar. Selain itu, juga telah dilakukan peningkatan/rehabilitasi jaringan rawa seluas 1,6 juta hektar serta operasi dan pemeliharaan jaringan rawa rata-rata pertahun seluas 642,8 ribu hektar. Sementara untuk mendukung ketahanan energi telah dilakukan kegiatan pembangunan antara lain: (1) pembangunan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga sebesar lebih dari 66 ribu sambungan rumah; (2) pembangunan infrastruktur gas untuk transportasi yang meliputi pembangunan 8 unit SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) di Palembang dan Surabaya, pembagian konverter kit sekitar 3.500 unit, dan rencana pengembangan mobile refueling unit (MRU) sebanyak 4 unit. Sementara itu kapasitas pembangkit listrik telah ditingkatkan sebesar 18.799 MW sehingga kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik nasional menjadi sebesar 46.428 MW pada tahun 2013, jaringan transmisi tenaga listrik telah ditambah sepanjang 7.302 km menjadi 38.896 km di tahun 2013, jaringan distribusi tenaga listrik ditingkatkan sepanjang 154.202 km menjadi 761.957 km pada tahun 2013. Pemerintah juga telah melakukan peningkatan anggaran yang difokuskan untuk infrastruktur konektivitas dan bidang-bidang lain. Pelaksanaan kegiatan di bidang konektivitas nasional diharapkan dapat menurunkan biaya logistik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing produksi dalam
-L.27-
negeri. Beberapa hasil yang telah dicapai sampai dengan tahun 2013 antara lain: meningkatnya kemantapan jalan nasional, pembangunan dan peningkatan kondisi jalur kereta api, pembangunan dan rehabilitasi bandara, serta pembangunan dan peningkatan pelabuhan. Selanjutnya, menanggapi pertanyaan mengenai infrastruktur, pada prinsipnya Pemerintah sepakat dengan pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan peningkatan alokasi belanja modal, khususnya belanja infrastruktur dalam mendorong perekonomian. Pemerintah sangat menyadari akan pentingnya peran infrastruktur tersebut. Namun, kemampuan keuangan negara dalam mewujudkan infrastruktur yang menjangkau seluruh wilayah dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat masih relatif terbatas, disamping kebijakan bahwa RAPBN tahun 2015 adalah baseline budget. Upaya perbaikan struktur dan postur keuangan terus diupayakan, antara lain dengan meningkatkan porsi belanja modal dan infrastruktur pemerintah, serta mendorong keterlibatan BUMN dan pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur (Skema Public Private PartnershipPPP). Pemerintah tetap secara konsisten terus berkomitmen untuk meningkatkan belanja produktif melalui belanja infrastruktur. Alokasi anggaran pada belanja modal antara lain akan difokuskan pada pembangunan infrastruktur yang mempunyai daya dorong kuat dan multiplier yang tinggi terhadap pertumbuhan dan aktivitas ekonomi seperti listrik, jalan, dan pelabuhan. Pembangunan infrastruktur antara lain untuk: pengembangan infrastruktur pada 6 (enam) koridor ekonomi berupa pembangunan infrastruktur dasar dan perbaikan kesejahteraan rakyat; pembangunan infrastruktur pertanian untuk mendukung pencapaian program ketahanan pangan; serta pembangunan infrastruktur energi dan komunikasi. Melalui kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur antar wilayah dengan memprioritaskan antara lain program domestic connectivity, ketahanan pangan dan energi. Pemerintah juga sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera untuk memprioritaskan dan mengalokasikan anggaran transportasi masal yang terintegrasi, terkoneksi dan user friendly untuk moda transportasi kereta api, angkutan laut dan udara, serta meningkatkan kinerja dalam pembangunan infrastruktur sektor transportasi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan terus berusaha meningkatkan pelayanan transportasi berbasis transportasi masal yang terintegrasi, terkoneksi, dan user friendly melalui kebijakan-kebijakan antara lain sebagai berikut:
-L.28-
a.
Penambahan kapasitas mass transit yaitu Bus Rapid Transit (BRT) di kota metropolitan dan kota-kota besar. b. Pengembangan dan pembangunan bandara baru dalam coverage area (jangkauan pelayanan) untuk mengatasi kepadatan arus penumpang. c. Sistem intra dan suprastruktur bandara termasuk IT dan control system bandara. d. Penambahan armada dalam negeri untuk mengangkut barang dalam negeri untuk ekspor dan impor e. Peremajaan kapal-kapal tua dengan scrapping/pembangunan kapal baru di galangan kapal Indonesia. f. Pembangunan 2 pelabuhan hub internasional pada sisi barat (Alki 1) dan sisi timur (Alki 3) : Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Bitung. g. Penambahan fasilitas perkeretaapian; jalur kereta api, gerbong lokomotif, gerbong kereta, gerbong barang, gerbong kereta kota. Mengenai masalah eksekusi atau penyerapan belanja modal yang rendah dapat disampaikan bahwa Pemerintah telah mengambil beberapa langkah strategis untuk mengoptimalkan tingkat realisasi penyerapan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga, dengan pendekatan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran dan mengurangi jalur birokrasi. Secara umum, permasalahan penyerapan ini antara lain dipengaruhi oleh: (1) kendala dalam proses pengadaan tanah; (2) kehati-hatian pejabat/pegawai yang terkait dalam pengelolaan keuangan atau kegiatan; dan (3) dokumen pelaksanaan anggaran yang tidak lengkap sehingga perlu proses revisi. Secara teknis, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya terobosan untuk percepatan peningkatan penyerapan anggaran dengan langkah-langkah yang meliputi antara lain: (1) penyempurnaan mekanisme pengadaan barang dan jasa; (2) penyempurnaan mekanisme pelaksanaan anggaran; (3) penyederhanaan prosedur revisi anggaran; (4) percepatan penagihan kegiatan proyek oleh pihak kontraktor; (5) penyederhanaan format DIPA untuk meningkatkan fleksibilitas bagi K/L dalam pelaksanaan anggaran; serta (6) pengintegrasian database RKA-KL dan DIPA sehingga mempercepat penerbitan DIPA. Dapat disampaikan pula, pendorong pertumbuhan (investasi pemerintah) bukan hanya tercermin dari anggaran belanja modal, mengingat terdapat bagian jenis belanja lainnya yang berkarakteristik modal, seperti: belanja barang yang diserahkan kepada masyarakat/pemerintah daerah, anggaran PNPM, serta investasi yang bersifat penanaman modal. Selanjutnya, pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
-L.29-
mengenai peningkatan pengalokasian belanja modal dalam rangka pembangunan infrastruktur pertanian. Dapat dijelaskan bahwa pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan pengalokasian belanja modal yang antara lain digunakan untuk: percepatan pencetakan sawah, peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan ditingkat usaha tani, perluasan areal hortikultura/perkebunan/peternakan, serta perluasan areal kedelai di lahan baru. Selain itu dalam rangka mendukung program ketahanan pangan dengan target surplus beras 10 juta ton per tahun, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum terus berupaya meningkatkan alokasi belanja modal untuk kegiatan pembangunan infrastruktur bidang pertanian melalui pembangunan/peningkatan jaringan irigasi, waduk, dan bangunan penampung air lainnya. Terkait dengan infrastruktur kelautan dalam kerangka industrial maritime chain yang komprehensif kiranya dapat dijelaskan bahwa Pemerintah mendukung pengembangan perekonomian berbasis bahari secara serius dan terintegrasi baik hulu maupun hilirnya yang mencakup industri perikanan, transportasi, pertambangan laut, industri produk olahan hasil laut, wisata bahari, riset maritim dan lainnya sehingga akan dapat menjadi pusat pertumbuhan baru yang potensial mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sejalan dengan hal tersebut, sesuai dengan RKP Tahun 2015 arah kebijakan dan strategi Pemerintah untuk mendukung pembangunan di bidang kelautan antara lain sebagai berikut: 1.
Pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama pulau-pulau kecil terluar/ terdepan. Arah kebijakan dan strategi yang akan dilakukan mencakup : (a) pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar, seperti listrik dan air bersih di pulau-pulau kecil terluar berpenduduk dan (b) mengembangkan kerjasama lintas instansi terkait/antar pemda setempat dalam mendukung eksistensi NKRI di pulaupulau terdepan/terdepan yang berpenduduk dan tidak berpenduduk; 2. Peningkatan tata kelola dan pengamanan wilayah juridiksi serta batas laut Indonesia. Arah kebijakan dan strategi difokuskan pada: (a) penyusunan Roadmap Pembangunan Kelautan dan Rencana Aksi Nasional Kelautan Indonesia 2015-2019 serta peningkatan koordinasi lintas instansi dalam pelaksanaan pembangunan kelautan; (b) penyelesaian tata batas laut yang belum tuntas dengan negara tetangga, melalui perundingan perbatasan; (c) penyelesaian pembakuan nama pulau-pulau ke PBB melalui identifikasi potensi, pemetaan dan penamaan pulau-pulau kecil; (d) memperkuat dan mengembangkan kerjasama regional maupun internasional dalam pengelolaan dan konservasi wilayah laut, seperti program Coral Triangle Initiative (CTI), Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan lainnya; serta (e) penyusunan -L.30-
zonasi wilayah pesisir di beberapa provinsi/kab/kota dan penyusunan peraturan terkait penataan ruang laut; 3. Peningkatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan pengendalian kegiatan ilegal. Arah kebijakan dan strategi difokuskan pada: (a) peningkatan sarana prasarana, cakupan pengawasan, jumlah hari operasi, dan peningkatan kapasitas kelembagaan pengawasan sumber daya kelautan; (b) peningkatan koordinasi lintas intansi dalam pengawasan wilayah laut dan pengamanan wilayah dari pemanfaatan sumber daya kelautan yang merusak; (c) mengintensifkan penegakan hukum dan pengendalian illegal fishing serta kegiatan yang merusak di laut; dan (d) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dari kegiatan yang merusak sumber daya laut; 4. Penguatan konektivitas laut dan industri maritim. Arah kebijakan dan strategi difokuskan pada: (a) pembangunan pelabuhan perintis dan prasarana pendukungnya dalam kerangka penguatan konektifitas dengan media laut; (b) penambahan armada dan moda transportasi perintis di wilayah-wilayah remote dan potensial; (c) penambahan rute dan frekuensi transportasi perintis; dan (d) penguatan kemampuan industri maritim; 5. Peningkatan pemanfaatan bioresources kelautan, pengelolaan pesisir dan konservasi perairan. Arah kebijakan dan strategi difokuskan pada: (a) menyempurnakan dan melengkapi sistem perijinan dan investasi di pulau-pulau kecil; (b) pembangunan sarana dan prasarana pendukung pengembangan ekonomi pulau kecil dan kawasan konservasi; (c) penyusunan tata ruang dan zonasi terutama di kawasan konservasi dan pulau-pulau yang akan dikembangkan, termasuk penataan zonasi yang tepat, sejalan dengan kepentingan pengembangan perikanan laut; (d) meningkatkan data dan informasi terkait dengan ketersediaan dan kondisi sumber daya kelautan lainnya seperti energi laut, keanekaraman hayati untuk pemanfaatan dalam skala ekonomi: (e) penambahan luasan kawasan konservasi; dan (f) rehabilitasi kawasan pesisir yang rusak, pengendalian bencana alam dan mitigasi dampak perubahan iklim, penanaman vegetasi pantai termasuk mangrove, peningkatan kesiapan dan ketahanan desa pesisir dalam menghadapi dampak bencana dan perubahan iklim, serta pengurangan pencemaran wilayah pesisir dan laut. Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai minimnya inovasi Pemerintah dalam mengatasi masalah ketertinggalan infrastruktur dibandingkan dengan negara lain, Pemerintah menyadari infrastruktur menjadi prasyarat pokok keunggulan ekonomi suatu negara. Laporan dari WEF (World Economic Forum) menilai bahwa daya saing infrastruktur Indonesia
-L.31-
menurun dari urutan 89 dari 125 negara pada tahun 2005 menjadi 96 dari 134 negara pada tahun 2009. Namun demikian, daya saing tersebut akhirnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi urutan 82 dari 148 negara pada tahun 2013. Kenaikan peringkat daya saing infrastruktur terutama disebabkan peningkatan yang cukup signifikan pada sektor transportasi dan telekomunikasi. Untuk infrastruktur jalan mengalami peningkatan dari urutan ke 105 pada tahun 2009 menjadi urutan ke 78 pada tahun 2013. Sedangkan pelabuhan dari urutan ke 104 pada tahun 2009 menjadi urutan ke 89 pada tahun 2013. Pada sektor telekomunikasi dari urutan ke 100 pada tahun 2009 menjadi urutan ke 62 pada tahun 2013. Perbaikan peringkat infrastruktur transportasi tersebut karena selama kurun waktu tersebut, pemerintah berusaha meningkatkan investasi untuk pembangunan transportasi. Sedangkan infrastruktur telekomunikasi lebih banyak didorong oleh dunia usaha yang sangat responsif terhadap deregulasi dan liberalisasi sektor telekomunikasi sehingga tidak banyak anggaran pemerintah yang dialokasikan. Salah satu kendala bagi pembangunan infrastruktur adalah masalah pendanaan. Terkait hal ini dapat disampaikan bahwa pendanaan pembangunan infrastruktur tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga dilakukan melalui skema pendanaan BUMN dan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Beberapa kebijakan akan dilakukan terkait dengan skema KPS di bidang infrastruktur untuk mengurangi celah pembiayaan infrastruktur yang tidak dapat tertutupi oleh anggaran Pemerintah, antara lain: (1) Pembukaan peluang usaha bagi badan usaha secara kompetitif, tidak diskriminatif, dan transparan; (2) Penyiapan proyek KPS bankable; (3) Peningkatan kapasitas dukungan viability gap fund (VGF) dan jaminan Pemerintah serta lembaga pembiayaan; dan (4) Penyederhanaan dan harmonisasi regulasi terkait penyediaan infrastruktur melalui skema KPS. Sebagai langkah lanjut, Pemerintah telah menawarkan banyak proyek-proyek infrastruktur untuk dapat dibiayai swasta melalui skema KPS. Pemerintah pun telah mengembangkan berbagai macam kebijakan guna mendukung pelaksanaan pembangunan infrastruktur dengan skema KPS dan memastikan implementasinya sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas dan kompetisi. Pemerintah juga telah memberikan dukungan terhadap skema KPS dalam bentuk dukungan fiskal dan/atau non fiskal, diantaranya adalah pemberian Jaminan Pemerintah yang diberikan dengan mekanisme “single window policy” melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Ke depan, untuk terus mendorong pembangunan infrastruktur, Pemerintah tetap konsisten dan terus meningkatkan komitmen dalam mendukung pengembangan
-L.32-
KPS di Indonesia dengan melakukan penguatan dan percepatan eksekusi proyek KPS, di antaranya melalui (1) Pemberian dukungan Pemerintah yang efektif dan efisien (Land Fund berupa Land Capping, Dana Bergulir Pengadaan Tanah dan Land Acquisition, Penyaluran dana infrastruktur melalui PT SMI dan PT IIF, Fasilitas penyiapan proyek melalui PT SMI dan PIP, serta VGF; (2) Pemberian jaminan Pemerintah yang tepat (memperkuat kapasitas penjaminan PT PII sebagai eksekutor “single window policy” dalam penjaminan infrastruktur); dan (3) Penguatan sinergi dan kapasitas kelembagaan. Menanggapi saran Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar dilakukan upaya peningkatan kinerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan dalam merealisasikan pembangunan berbagai infrastruktur, peningkatan kinerja Kementerian Perumahan Rakyat dalam penyediaan rumah rakyat, serta kebijakan terintegrasi antar semua stakeholder yang mengelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dapat disampaikan bahwa Pemerintah sependapat dengan saran tersebut. Untuk hal tersebut, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut. Terkait kinerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan, Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kinerja kedua kementerian tersebut dalam merealisasikan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang terdiri dari konektivitas, ketahanan energi, sumber daya air, perumahan dan permukiman, serta pengembangan kerjasama Pemerintah dan swasta, terus ditingkatkan untuk menunjang pembangunan di segala bidang. Arah kebijakan pembangunan infrastruktur pada tahun 2015 diprioritaskan pada: (1) memperkuat penguatan konektivitas nasional; (2) meningkatkan ketersedian infrastruktur pelayanan dasar termasuk ketersediaan hunian dan air bersih; serta (3) meningkatkan ketahanan air. Sementara itu, peningkatan kinerja Kementerian Perumahan Rakyat dalam penyediaan perumahan untuk rakyat, dilakukan melalui optimalisasi anggaran Rp4,6 triliun pada RAPBN 2015, untuk pelaksanaan program-program Kementerian Perumahan Rakyat. Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk melaksanakan program pengembangan perumahan dan kawasan permukiman. Dalam rangka penataan perumahan dan kawasan permukiman, sasaran umum yang ingin dicapai adalah meningkatnya layanan perumahan bagi seluruh penduduk, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Pada tahun 2015, angka backlog perumahan diharapkan dapat berkurang menjadi 11,5 juta rumah tangga. Selain itu, rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni juga diharapkan berkurang menjadi 3,26 juta rumah tangga. Secara spesifik, sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2015 antara lain:
-L.33-
1. Meningkatnya fasilitasi penyediaan hunian layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 20.000 unit. 2. Pembangunan Rusunawa untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 120 twin block. 3. Meningkatnya fasilitasi peningkatan kualitas hunian sebanyak 64.850 unit. Program Kementerian Perumahan Rakyat yang berkaitan langsung dengan penyediaan rumah untuk rakyat, dijabarkan dalam program pengembangan perumahan dan kawasan permukiman yaitu: 1. Pembangunan rumah layak huni melalui pasar formal maupun secara swadaya masyarakat, baik untuk pembangunan baru maupun peningkatan kualitas. 2. Pembangunan rumah susun (rusun) baik sewa maupun milik. 3. Pembangunan rumah khusus dan pasca bencana. Selanjutnya, kebijakan terintegrasi antar semua stakeholder yang mengelola TKI dilakukan dengan membangun kemitraan antara Pemerintah dan dunia usaha/industri. Lemahnya alur informasi dan komunikasi antara berbagai penyelenggara pelatihan, baik antar Pemerintah maupun antara swasta dengan industri, memerlukan koordinasi yang intensif. Selain itu, belum adanya lembaga yang mampu melakukan fungsi koordinasi penyelenggaraan pelatihan secara menyeluruh. Berkaitan dengan hal tersebut, program kemitraan merupakan program yang efektif dalam mencetak tenaga kerja kompeten sesuai dengan kebutuhan industri (demand driven). Melalui program kemitraan, calon pekerja yang memperoleh pelatihan dan lulus uji kompetensi, dapat langsung ditempatkan di perusahaan/industri. Kemitraan tersebut diharapkan dapat mendorong lembaga pelatihan Pemerintah dalam menyesuaikan standar yang ditetapkan oleh industri. Sementara itu, terkait perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, berbagai langkah strategis dilakukan melalui pencegahan deteksi dini dan langkah cepat tanggap perlindungan WNI di luar negeri. Upaya pencegahan yang dilakukan telah berhasil menurunkan jumlah kasus yang ditangani daripada tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2004-2013, dari 17.979 total kasus WNI, sebanyak 9.942 kasus atau 55.30 persen telah diselesaikan. Tantangan utama dalam ranah tersebut meliputi: (1) masih perlunya peningkatan keberpihakan diplomasi Indonesia terhadap perlindungan WNI/Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri; (2) pembagian tugas yang lebih jelas antar institusi terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI); (3) koordinasi antar pemangku kepentingan termasuk pelibatan aktor non Pemerintah; serta (4) upaya diplomasi untuk mendorong lahirnya perjanjian bilateral dengan -L.34-
negara penerima tenaga kerja Indonesia yang dapat menjadi payung perlindungan hukum guna menjamin hak-hak TKI di negara tujuan. Berkaitan dengan anggaran pendidikan, Pemerintah sependapat terhadap pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan agar peningkatan anggaran pendidikan harus mampu mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan dalam tahun 2015 akan diarahkan untuk mendukung prioritas pembangunan pendidikan, antara lain: Pertama, peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada kelompok miskin, anak-anak yang tinggal di wilayah perdesaan dan daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T), agar meningkatkan pemerataan kesempatan belajar. Kedua, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi terhadap dunia kerja. Ketiga, peningkatan akses pendidikan dengan pembangunan sekolah-sekolah satu atap terutama di daerah 3T dan daerah padat penduduk, serta rehabilitasi ruang kelas yang rusak, sehingga kualitas infrastruktur pendidikan meningkat. Keempat, peningkatan profesionalisme dan pembenahan distribusi guru dan tenaga kependidikan. Disamping itu, Pemerintah juga memberikan perhatian terhadap peningkatan pendidikan agama melalui peningkatan kemampuan guru, peningkatan kapasitas dan fasilitas penyelenggara pendidikan, serta pengembangan metodologi pembelajaran pendidikan agama yang efektif, sehingga dapat meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap ajaran agama dan nilai akhlak mulia serta budi pekerti. Dengan dukungan anggaran pendidikan yang semakin meningkat dan berbagai upaya yang ditempuh Pemerintah tersebut diharapkan dapat meningkatkan taraf pendidikan penduduk yang dicerminkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun keatas menjadi 8,37 tahun dan angka melek aksara kelompok usia yang sama menjadi 94,5 persen. Di samping itu, juga diharapkan target angka partisipasi murni (APM) SD/MI dapat mencapai sekitar 90,63 persen, APM SMP/MTs sekitar 80,79 persen, APM SMA/SMK/MA sekitar 58,18 persen, dan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi sekitar 29,68 persen. Selain itu, juga diharapkan target SMA/SMK yang memiliki sarana dan prasarana sesuai standar nasional pendidikan (SNP) masing-masing dapat mencapai sekitar 75 persen, jumlah guru yang berkualifikasi S1/D-IV masing-masing mencapai sekitar 1,0 juta guru SD, 504 ribu guru SMP dan 251 ribu guru SMA, serta jumlah dosen program sarjana yang berkualifikasi minimal S2 sekitar 150 ribu dosen dan dosen program pascasarjana yang berkualifikasi minimal S3 sekitar 29,5 ribu dosen.
-L.35-
Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai pemenuhan kekuatan dasar yang diperlukan (MEF), serta pemeliharaan dan perawatan alutsista kiranya dapat dijelaskan bahwa pembangunan pertahanan diarahkan dalam rangka mewujudkan kekuatan pokok pertahanan militer, melalui rancangan pemenuhan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) yang dibangun dalam 3 (tiga) Renstra yaitu dari 2010-2024. Sesuai dengan Renstra tersebut, fokus pembangunan pertahanan negara diarahkan untuk mewujudkan standar penangkalan melalui peningkatan profesionalisme sumber daya manusia dilengkapi dengan Alutsista TNI yang modern dan berbasis produksi dalam negeri. Pembangunan pertahanan negara merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dibiayai dari APBN. Alokasi anggaran Kementerian Pertahanan tahun 20102015 secara nominal mengalami kenaikan dari sebesar Rp42,9 triliun dalam APBNP tahun 2010 menjadi sebesar Rp95,0 triliun dalam RAPBN tahun 2015, dimana anggaran untuk pemenuhan pendanaan percepatan MEF tahap I (2010-2014) mencapai Rp57,0 triliun. Upaya pemenuhan kekuatan pertahanan minimal (MEF) yang didukung industri pertahanan nasional telah berhasil mendatangkan dan membangun sejumlah alutsista TNI yang modern dan memiliki daya penggentar tinggi. Peran industri pertahanan nasional juga terlihat semakin nyata dalam pemenuhan sebagian kebutuhan MEF seperti pesawat udara CN 295, CN 235 Maritime Patrol Aircraft, berbagai helikopter, berbagai persenjataan, dan panser Anoa. Pada tahun 2015, sejumlah peralatan modern akan mewarnai alat utama sistem senjata berteknologi tinggi seperti kapal selam dimana pembangunan kapal selam ketiga sudah dapat dilakukan di Indonesia dan seluruhnya dilakukan oleh tenaga-tenaga Indonesia. Pada posisi ini, daya penggentar militer Indonesia meningkat cukup signifikan dan semakin diperhitungkan oleh kekuatan militer asing. Indikasinya adalah dalam beberapa tahun terakhir, upaya-upaya gangguan kewibawaan dan kedaulatan NKRI semakin menurun intensitasnya. Konsekuensi dari peningkatan kekuatan militer tersebut adalah penyediaan anggaran pemeliharaan dan perawatan alutsistanya. Selain itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan turut mewarnai langkah-langkah kebijakan pemenuhan Alutsista TNI. Industri pertahanan nasional kedepannya akan lebih diberdayakan baik melalui inisiatif pengembangan mandiri maupun program kerja sama transfer of technology dengan negara lain. Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura mengenai anggaran sektor pertanian, kelautan dan
-L.36-
perikanan untuk mencapai ketahanan pangan kiranya dapat dijelaskan bahwa alokasi anggaran Kementerian Pertanian dalam kurun waktu 2010-2015 terus meningkat, yaitu dari Rp8,9 triliun dalam APBNP 2010 menjadi Rp15,8 triliun dalam RAPBN tahun 2015. Demikian pula untuk sektor kelautan dan perikanan. Anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam kurun waktu 2010-2015 terus mengalami peningkatan yaitu dari Rp3,4 triliun dalam APBNP 2010 menjadi Rp6,4 triliun dalam RAPBN 2015. Sektor pertanian masih tetap memegang peran yang strategis sebagai penggerak perekonomian nasional yang didukung dengan telah disusunnya dokumen strategi induk pembangunan pertanian (SIPP) periode 2014-2045 sebagai bagian dari pelaksanaan amanat konstitusi untuk mewujudkan Indonesia yang Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. SIPP tersebut merupakan kesinambungan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Terkait dengan swasembada pangan, dalam tahun 2010-2014 strategi dan kebijakan pembangunan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada, yaitu diarahkan untuk memenuhi pencapaian produksi komoditas utama seperti beras, jagung, kedelai, gula dan daging dimana target swasembada beras berkelanjutan diubah menjadi surplus beras. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan tersebut merupakan salah satu peran strategis sektor pertanian dan merupakan tugas yang tidak ringan, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah. Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian dan memiliki peran strategis melalui kontribusi yang nyata pada pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan. Dalam membangun pertanian, anggaran Pemerintah yang terbatas harus dimanfaatkan secara tepat sasaran guna menggerakkan partisipasi masyarakat dan swasta. Selain itu perlu dilakukan refocusing dan efisiensi anggaran ke arah kegiatan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional, pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Mengingat rencana kerja tahun 2015 merupakan estafet pelaksanaan pembangunan pertanian pada RPJMN 2010-2014 serta merupakan tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-2019, maka rancangan program, kegiatan dan penganggaran tahun 2015 diarahkan untuk menyelesaikan dan melanjutkan kegiatan 2014, menjawab isu-isu terkini 2015 dan meletakkan kerangka dasar program dan kegiatan sampai
-L.37-
tahun 2019. Jumlah alokasi anggaran yang relatif tidak meningkat tajam tersebut karena tahun 2015 ini adalah baseline budget. Untuk itu, anggaran Kementerian Pertanian tahun 2015 dikonsentrasikan pada kegiatan-kegiatan yang menjadi faktor pengungkit bagi pencapaian sasaran pembangunan nasional. Pembangunan pertanian akan fokus pada pengembangan komoditas di lokasi kawasan andalan. Pendekatan kawasan dibangun dengan mengembangkan kawasan yang sudah ada maupun mengembangkan kawasan baru. Pengembangan kawasan diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan secara terpadu dan multiyears. Pendekatan kawasan ini juga dilakukan dalam rangka mendukung koridor pengembangan ekonomi Indonesia (KPEI) yaitu pengembangan sentra kelapa sawit dan karet di koridor Sumatera dan koridor Kalimantan, industry pangan di koridor pulau Jawa, sentra padi, singkong, jagung dan kakao di koridor Sulawesi, sentra jagung di koridor Bali-Nusa Tenggara serta sentra pangan dan perkebunan di koridor Papua-Maluku. Selama lima tahun ke depan, dalam membangun pertanian di Indonesia, Kementerian Pertanian mencanangkan empat sasaran strategis yaitu: (1) peningkatan ketahanan pangan; (2) pengembangan ekspor dan substitusi impor produk pertanian; (3) pengembangan penyediaan bahan baku bio industri dan bio energi; dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) agar kebijakan anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapatkan prioritas yang tinggi, besaran iuran PBI agar perlu dikaji ulang agar layak dan memadai, serta persiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah menyadari dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat terutama untuk masyarakat miskin dan tidak mampu melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berbagai upaya yang telah dan akan terus dilakukan Pemerintah diantaranya adalah dengan meningkatkan jumlah fasilitas layanan kesehatan untuk peserta PBI dengan menambah jumlah Puskesmas dan ruang rawat inap kelas III di rumah sakit-rumah sakit Pemerintah, termasuk di daerah perbatasan dan pulaupulau kecil terluar yang berpenduduk, serta memperluas jaringan pelayanan kesehatan JKN dengan rumah sakit-rumah sakit swasta. Hal ini perlu dilakukan agar ketersediaan fasilitas kesehatan (supply side) untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu tersebut dapat mencukupi.
-L.38-
Selanjutnya, terkait dengan besaran premi PBI peserta JKN, Pemerintah juga tetap memperhatikan kesesuaian antara anggaran yang disediakan dengan layanan yang diberikan. Dalam RAPBN 2015, alokasi anggaran untuk PBI JKN sebesar Rp 19,9 triliun bagi 86,4 juta jiwa PBI peserta JKN cukup memadai dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap ketahanan fiskal, khususnya untuk RAPBN 2015 dan keseimbangan dengan besaran iuran jaminan kesehatan bagi non PBI agar tidak menjadi masalah sosial dalam penerapannya. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyesuaian anggaran PBI tersebut apabila alokasi anggaran yang disediakan dipandang masih belum memadai untuk pemberian pelayanan kesehatan yang optimal. Namun demikian, penyesuaian besaran iuran PBI harus dilakukan setelah dilakukan evaluasi secara menyeluruh sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan kebutuhan untuk memperbaiki penyelenggaraan program jaminan kesehatan itu sendiri. Melalui evaluasi menyeluruh ini, akan diketahui apakah iuran PBI dan bahkan iuran kelompok peserta yang lain sudah memadai. Selain hal tersebut, Pemerintah juga terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan SJSN Kesehatan, baik terhadap fasilitas kesehatan (Puskesmas, Klinik Kesehatan dan lain sebagainya) maupun Rumah Sakit Pemerintah. Selanjutnya, terkait dengan mulai beroperasinya BPJS ketenagakerjaan pada bulan Juli tahun 2015 dapat pula kami sampaikan penjelasan sebagai berikut. Pada tanggal 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan 4 program, yaitu: (1) jaminan kecelakaan kerja (JKK); (2) jaminan hari tua (JHT); (3) jaminan pensiun (JP); dan (4) jaminan kematian (JKM) yang dulunya diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Saat ini, PT Jamsostek telah berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan PT Jamsostek telah dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan, serta semua pegawainya menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan. Keempat program tersebut akan diselenggarakan bagi seluruh pekerja, yang dilaksanakan secara bertahap. Kepesertaan wajib dalam program tersebut akan meliputi peserta penerima upah, baik pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara maupun bukan penyelenggara negara, serta peserta bukan penerima upah, seperti antara lain pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri. Dengan berdirinya BPJS Ketenagakerjaan tersebut, Pemerintah sebagai pemberi kerja juga berkewajiban untuk mendaftarkan seluruh pegawainya (Penerima Penghasilan dari Pemerintah) sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu,
-L.39-
dalam RAPBN tahun 2015, Pemerintah telah mengalokasikan cadangan anggaran untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan hari tua (JHT) bagi penerima penghasilan dari Pemerintah. Selain itu, pada tahun 2013 Pemerintah juga telah melakukan Penyertaan Modal Negara kepada kedua Badan penyelenggara program jaminan sosial tersebut yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masing-masing sebesar Rp500,0 miliar sebagai modal awal berdirinya kedua lembaga tersebut. Dengan demikian, secara kelembagaan, BPJS Ketenagakerjaan telah siap untuk memulai dilaksanakannya ke empat program jaminan sosial tersebut di atas. Mengenai strategi dan kebijakan pelaksanaan anggaran, Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, bahwa kebijakan yang bersifat ekspansif harus diimbangi dengan optimalisasi penyerapan anggaran, sehingga memberikan dampak multiplier yang positif bagi perekonomian nasional. Pemerintah sepenuhnya menyadari permasalahan penyerapan anggaran yang tidak optimal dan pola penyerapan yang cenderung besar di akhir tahun, menyebabkan efektivitas dan daya dorong belanja dalam APBN terhadap perekonomian menjadi tidak maksimal. Sebagaimana kita ketahui bersama, selama ini kebijakan belanja eskpansif telah diterapkan, meskipun tetap dalam batas yang aman, sebagaimana tahun 2015, direncanakan defisit sebesar 2,32 % dari PDB. Namun, realisasi penyerapan anggaran belanja Pemerintah Pusat dalam tiga tahun terakhir relatif berfluktuasi, antara 94,5% sampai dengan 97,3% dari APBNP nya. Pemerintah menyadari permasalahan penyerapan sebagai salah satu permasalahan utama dalam pelaksanaan anggaran. Berbagai upaya terus dilakukan oleh Pemerintah untuk mendorong tingkat penyerapan yang optimal. Upaya tersebut dilakukan secara komprehensif mulai dari aspek regulasi dan perhatian terhadap aspek implementasi, antara lain : 1. Penggunaan Sistem Perbendaharan dan Anggaran Negara (SPAN) dalam pelaksanaan APBN. 2. Melakukan monitoring dan evaluasi secara sistematis terhadap rencana penyerapan anggaran. 3. Meningkatkan sinergi antara pengelola keuangan K/L (perencanaan, pelaksanaaan, dan pertanggungjawaban anggaran ). 4. Meningkatkan koordinasi dengan stakeholder (K/L, LKPP, dan Kementerian Keuangan) 5. Mengoptimalkan peran perencanaan dalam eksekusi belanja melalui sistem monitoring dan evaluasi yang dapat dijadikan alat untuk monitoring dan evaluasi penyerapan anggaran.
-L.40-
6. Pelaksanaan proses pengadaan yang dilakukan sebelum tahun anggaran dimulai (pre-procurement), dimana pelelangan pengadaan barang/ jasa yang dilaksanakan sebelum tahun anggaran dimulai setelah RKA-K/L disetujui oleh DPR. 7. Penyempurnaan sistem pengadaan antara lain melalui peningkatan penggunaan e-procurement dan penambahan unit layanan pengadaan di masing-masing instansi 8. Menyempurnakan berbagai kebijakan di bidang pembayaran agar lebih cepat, mudah namun tetap mempertimbangkan akuntabilitas. 9. Dilakukan penajaman monev dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan anggaran per triwulan dan dilakukan per K/L dengan fokus permasalahan yang spesifik terjadi di K/L tersebut. Selanjutnya, terkait pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Demokrat mengenai permasalahan penyerapan anggaran belanja, dapat disampaikan bahwa permasalahan penyerapan anggaran disebabkan oleh berbagai aspek struktural, institutional, dan kultural yang perlu dibarengi dengan perbaikan tata kelola belanja negara. Masalah-masalah penyerapan anggaran secara menyeluruh telah secara bertahap diatasi antara lain melalui: (1) aspek regulasi, di bidang pelaksanaan anggaran, agar tercipta penyerapan anggaran yang optimal dan tidak cenderung menumpuk di akhir tahun, melalui penetapan norma waktu penyelesaian tagihan, batas minimal Uang Persediaan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan sebagainya sebagaimana yang tertuang dalam PMK No. 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan APBN, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap, dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-22/PB/2013 tentang Ketentuan Lebih Lanjut Pelaksanaan Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap; (2) aspek kelembagaan, melalui pembinaan, sosialisasi dan bimbingan atas tata cara pengelolaan keuangan kepada seluruh satker di lingkup Kementerian Negara/Lembaga sehingga kapasitas kelembagaan dapat mendukung tercapainya target anggaran; (3) aspek inovasi, terkait perbaikan kualitas belanja melalui inisiatif spending review, dimana fokus belanja diarahkan pada pengukuran-pengukuran efisiensi dan efektivitas belanja yang dilakukan oleh masing-masing satker. Melalui upaya pada ketiga aspek tersebut diharapkan dampak APBN terhadap perekonomian khususnya sektor riil dapat dirasakan, sehingga fungsi APBN bukan hanya tercermin dalam fungsi alokasi namun juga fungsi stabilitasi dan distribusi.
-L.41-
Terkait dengan penurunan tingkat kemiskinan, fungsi distribusi APBN terus ditingkatkan melalui perbaikan regulasi di bidang perpajakan dan perbaikan kebijakan belanja yang difokuskan kepada masyarakat miskin seperti subsidi dan bantuan sosial. Dengan demikian diharapkan belanja negara linier dengan upaya penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Selain itu, untuk mengoptimalkan tingkat realisasi penyerapan anggaran pada K/L, Pemerintah telah dan akan mengambil beberapa langkah strategis, baik melalui pendekatan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran maupun melalui upaya mengurangi jalur birokrasi. Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh tersebut, di antaranya adalah dengan: a. Membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) yang terdiri dari unsur UKP4, Kementerian Keuangan, dan BPKP, yang bertugas untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta pengawasan atas penyerapan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga dan Daerah. b. Melaksanakan rapat koordinasi triwulanan antara Kementerian Keuangan dan K/L yang bertujuan untuk melakukan evaluasi atas penyerapan anggaran dan memberikan solusi atas hambatan-hambatan yang ada dalam penyerapan anggaran. c. Mengupayakan percepatan implementasi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012, Perpres Nomor 71 Tahun 2012, dan PMK Nomor 13/PMK.02/2013 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan terkait pengadaan tanah dalam proses pembangunan. d. Mensosialisasikan kepada K/L untuk menyusun rencana penyerapan anggaran (disbursement plan) yang sistematis. e. Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan dan penganggarannya, baik yang dilakukan oleh K/L maupun pemerintah daerah, sehingga dapat menghindari revisi anggaran/kegiatan yang dalam prakteknya membutuhkan waktu yang tentu saja dapat mempengaruhi realisasi penyerapan anggaran. f. Mempercepat proses pembayaran terhadap pekerjaan yang telah selesai/termin yang telah terpenuhi dengan mengimplementasikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010 tentang Penyelesaian Tagihan atas Beban APBN pada Satuan Kerja. g. Melaksanakan spending review dengan tujuan untuk me-review kualitas belanja dari sisi efisiensi dan efektivitas, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas belanja negara, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. h. Mendorong K/L dan pemerintah daerah untuk segera mengimplementasikan sistem pengendalian intern Pemerintah (SPIP) sesuai dengan PP Nomor 60 tahun
-L.42-
2008 tentang SPIP, serta melakukan identifikasi dan penilaian terhadap risiko atas setiap kegiatan sehingga risiko yang timbul dapat dihindari atau diminimalkan. Terkait dengan pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai sistem penganggaran terintegrasi, dapat disampaikan bahwa pada tahun 2014 Pemerintah melakukan melakukan evaluasi atas perubahan proses bisnis penganggaran dan perbaikan atas proses penyusunan RKA-K/L melalui penerbitan PMK Nomor 136/PMK.02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Dengan adanya PMK tersebut, Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) K/L memiliki peran besar untuk memperkuat governance dan akuntabilitas atas proses perencanaan pada masing-masing unit kerja di lingkungannya. Adapun tujuan pengaturan tersebut antara lain: (1) standardisasi format dan dokumen yang digunakan dalam penyusunan RKA-K/L, dokumen penelaahan, lembar persetujuan Komisi DPR, dan dokumen hasil penelaahan RKA-K/L, dan (2) penyesuaian proses bisnis berkaitan dengan proses validasi, penelaahan RKA-K/L (antara tatap muka dan on-line), proses persetujuan (approval), dan penetapan DHP RKA-K/L. Selain itu, dapat disampaikan bahwa dalam rangka penyederhanaan proses penelaahan RKA-K/L, telah dikembangkan penelaahan RKA-K/L secara on-line dan penerapannya dilaksanakan secara bertahap. Untuk TA 2015, telah ditetapkan sebanyak 43 K/L yang akan melaksanakan penelaahan RKA-K/L secara online. Disamping itu, saat ini Pemerintah sedang melaksanakan piloting Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), yakni sistem yang mengintegrasikan sistem perbendaharaan dan anggaran negara sampai dengan pertanggungjawabannya. Implementasi Integrated Financial Management System dimaksud akan segera dilakukan secara penuh. SPAN bukan saja mengintegrasikan keseluruhan fase keuangan negara mulai dari penganggaran, pencairan dan pertanggungjawaban, namun juga telah menyederhanakan proses bisnis sehingga lebih efisien, cepat, transparan dan akuntabel. Data dapat diambil secara cepat, namun valid dengan sistem informasi yang terintegrasi. Penyederhanaan proses bisnis dapat mendorong percepatan pelaksanaan anggaran yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan tingkat penyerapan anggaran. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan APBN. Kedua peraturan tersebut telah mengatur sistem pengelolaan keuangan negara yang sangat sederhana, fleksibel namun tetap mengedepankan akuntabilitas dan governance yang baik.
-L.43-
Pemerintah terus mendorong K/L untuk melaksanakan langkah-langkah strategis dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran, diantaranya: 1. Proses pelelangan pengadaan barang/ jasa yang dilaksanakan sebelum tahun anggaran dimulai setelah RKA-K/L disetujui oleh DPR. 2. Identifikasi dan perencanaan pengadaan barang/jasa di awal tahun anggaran untuk memastikan agar pembayaran kegiatan dimaksud tidak menumpuk di akhir tahun anggaran. 3. Percepatan pengadaan barang/jasa yang bernilai s.d. 200 juta karena dilakukan dengan penunjukan langsung, sesuai dengan Perpres 70 tahun 2012. 4. Percepatan pengadaan barang/jasa yang bernilai 200 juta s.d. 5 milyar karena dilakukan dengan lelang sederhana, sesuai dengan Perpres 70 tahun 2012. Menanggapi pandangan Partai Persatuan Pembangunan mengenai realisasi penyerapan anggaran dan upaya penghematan anggaran , dapat disampaikan bahwa realisasi penyerapan anggaran belanja Pemerintah Pusat relatif berfluktuasi. Upaya Pemerintah untuk memaksimalkan penyerapan anggaran dilakukan melalui pemberian penghargaan bagi K/L yang dapat mengoptimalkan anggarannya. Bagi K/L seperti ini, Pemerintah memberikan penghargaan berupa tambahan alokasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2012 tentang pemberian Penghargaan Pengenaan Sanksi atas Pelaksanaan Belanja Kementerian/Negara. Terkait pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai realokasi program belanja K/L, Pemerintah menyadari bahwa ruang gerak fiskal untuk menunjang pelaksanaan berbagai program pembangunan masih relatif terbatas, sebagai konsekuensi dari masih tingginya proporsi belanja yang bersifat wajib (terutama subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang) dan adanya pengkaplingan anggaran belanja oleh peraturan perundang-undangan untuk bidangbidang tertentu. Pada tahun 2015, proporsi untuk subsidi dan pembayaran bunga utang sendiri direncanakan masing-masing sebesar 31,4 persen dan 11,2 persen dari total belanja Pemerintah Pusat yang sebesar Rp1.379,9 triliun. Namun demikian, Pemerintah telah mempertimbangkan ruang gerak bagi pemerintahan baru untuk melaksanakan program-program kerja yang direncanakan. Hal ini dapat dilihat dalam penyusunan anggaran belanja K/L tahun 2015, dimana Pemerintah menggunakan pendekatan antara lain: (1) bersifat baseline budget, yaitu hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, tingkat output (service delivery) yang sama dengan tahun anggaran 2014, dan tetap mengacu pada Rencana Kerja Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), sehingga diharapkan memberi ruang gerak bagi pemerintahan baru
-L.44-
hasil Pemilu 2014, untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan platform yang direncanakan; (2) menampung anggaran program/kegiatan/output prioritas nasional yang bersifat baseline; serta (3) meningkatkan penajaman kualitas belanja K/L dari sisi efektifitas dan efisiensi alokasi, termasuk penyempurnaan rumusan kinerja (outcome, output, dan indikator kinerja). Review dan realokasi program sangat dimungkinkan untuk menciptakan ruang fiskal baru, melalui refocusing dan mengurangi belanja-belanja yang kurang produktif. Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Hanura mengenai perlunya meningkatkan efisiensi di dalam pengeluaran belanja negara terutama yang berasal dari belanja rutin pegawai yang setiap tahun mengalami kenaikan. Dapat kami sampaikan bahwa belanja pegawai merupakan jenis belanja mengikat (nondiscretionary spending), yang wajib disediakan anggarannya oleh pemerintah sebagai tanggung jawab pemberi kerja. Belanja pegawai tersebut terutama digunakan untuk belanja gaji dan tunjangan serta kontribusi sosial bagi PNS dan pensiunan. Oleh karena itu, belanja pegawai merupakan belanja yang bersifat strategis guna menunjang kelangsungan kegiatan pemerintahan, dan menjamin kelangsungan pelayanan publik bagi masyarakat. Peningkatan belanja pegawai dari tahun ke tahun, utamanya disebabkan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui reformasi birokrasi dan tatakelola pemerintahan. Salah satu fokus utama pelaksanaannya adalah melalui peningkatan profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yang penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum, dan transparan. Disamping itu, peningkatan alokasi belanja pegawai juga disebabkan oleh dampak kenaikan belanja pensiun yang setiap tahun semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penerima pensiun. Pemerintah sependapat dengan Anggota Dewan bahwa anggaran belanja pegawai harus optimal dan efisien. Untuk itu, dalam rangka efisiensi anggaran belanja pegawai, Pemerintah sedang melakukan penataan kembali jumlah kebutuhan PNS yang tepat (rightsizing) berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. Untuk itu, sistem seleksi rekrutmen CPNS akan dilakukan dengan menggunakan sistem computer assisted test (CAT) secara terpusat dengan bekerjasama dengan konsorsium perguruan tinggi negeri (PTN) serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan, dengan lebih obyektif, transparan dan bebas, dalam upaya menjaring pegawai yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu, terkait program-program yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi dapat kami sampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja
-L.45-
negara (quality of spending) dengan lebih memperhatikan efisiensi, dan ketepatan alokasi, serta memperhitungkan pengaruhnya terhadap perekonomian melalui: Pertama, mengedepankan alokasi belanja yang mendukung pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth), menciptakan kesempatan kerja (pro job), mengentaskan kemiskinan (pro poor), dan mendukung pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan ramah lingkungan (pro environment). Kedua, mengurangi pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif, dengan antara lain membatasi belanja barang (biaya perjalanan dinas, kegiatan rapat kerja, workshop, seminar, dan kegiatan yang sejenis), serta menekan biaya kegiatan pendukung pencapaian sasaran suatu program (biaya manajemen, monitoring, sosialisasi, safeguarding). Ketiga, merancang ulang (redesign) kebijakan subsidi, diantaranya dengan merubah sistem subsidi dari subsidi harga menjadi subsidi yang lebih tepat sasaran (targeted subsidy), mempertajam sasaran penerima subsidi melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan, serta menata ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, dan makin tepat sasaran. Keempat, menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending, yaitu kewajiban pengeluaran yang ditetapkan (“dikunci”) dalam suatu peraturan perundang-undangan yang tidak diamanatkan dalam konstitusi dan bertentangan dengan kaidah pengelolaan keuangan negara. Kelima, memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi, diantaranya melalui penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, pelaksanaan kontrak kinerja, peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dalam rangka menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif, serta pemberian remunerasi yang layak. Keenam, menerapkan sistem reward dan punishment dalam pelaksanaan anggaran secara konsisten, antara lain dengan memberikan penghargaan bagi K/L dan daerah yang dapat mencapai sasaran yang ditetapkan dengan biaya yang lebih hemat untuk pencapaian sasaran program yang lebih besar dan sebaliknya, memberi sanksi bagi K/L dan atau daerah yang tidak mampu mencapai sasaran yang sudah ditetapkan tanpa alasan yang dapat dipertangungjawabkan. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar Belanja Pemerintah Pusat didesain lebih progresif untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional, dapat kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah telah berupaya meningkatkan komponen belanja yang mempunyai dampak multiplier yang lebih
-L.46-
besar pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, antara lain melalui pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing pelaku usaha, yang pada gilirannya akan menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia. Selama ini, kebijakan perencanaan anggaran belanja Pemerintah Pusat dirancang untuk menjaga keseimbangan antara upaya untuk meningkatkan peranannya dalam memberikan stimulasi pada pertumbuhan ekonomi dengan upaya untuk tetap menjaga stabilitas, dan memperkuat fundamental ekonomi makro. Meskipun defisit anggaran relatif rendah, namun ekspansi dan stimulasi terhadap perekonomian tetap dapat dilakukan Pemerintah melalui peningkatan kualitas belanja dengan memfokuskan pada belanja yang produktif. Kemudian, terkait dengan anggaran fungsi pelayanan umum yang harus dibenahi secara serius agar lebih efisien dan memberikan dampak kepada masyrakat secara luas, dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah telah dan terus akan melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja negara (quality of spending) sekaligus untuk membuka ruang fiskal baru, ditempuh antara lain dengan lebih memperhatikan efisiensi, dan ketepatan alokasi, serta memperhitungkan pengaruhnya terhadap perekonomian. Dalam rangka meningkatkan kualitas belanja (quality of spending) tersebut, serta merekonstruksi komposisi belanja, maka akan dilanjutkan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: (1) mengedepankan alokasi belanja untuk pembangunan infrastruktur; (2) implementasi flat policy bagi belanja operasional; (3) merancang ulang (redesign) kebijakan subsidi; (4) menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending; (5) memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi; dan (6) menerapkan sistem reward dan punishment dalam pengalokasian anggaran secara konsisten. Menanggapai pernyataan dari Fraksi PDI-P dan Fraksi PKS agar pembiayaan atas kegiatan SKK Migas dilakukan melalui mekanisme APBN, bersama ini dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut. Sumber pembiayaan kegiatan operasional SKK Migas sampai dengan saat ini (tahun 2014) didanai dengan menggunakan sebagian PNBP hasil penerimaan atas pungutan jasa dalam kegiatan hulu migas secara langsung (off budget), dan jika terdapat kelebihan penerimaannya maka kelebihan tersebut disetorkan ke kas negara. Namun, untuk tahun 2015 dan seterusnya guna menjaga governance dan akuntabilitas sebagaimana rekomendasi BPK, maka penggunaan dana PNBP tersebut perlu dicatatkan terlebih dahulu dalam mekanisme APBN (on budget). Untuk hal tersebut, perlu dilakukan revisi atas peraturan perundangan tentang migas. Selanjutnya, dapat disampaikan bahwa
-L.47-
untuk pembiayaan kegiatan operasional SKK Migas tahun 2015, telah dicadangkan dalam RAPBN 2015 yang menjadi bagian dari belanja pemerintah pusat. Sehubungan dengan pertanyaan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai Pembayaran Bunga Utang, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut. Pembayaran Bunga Utang merupakan konsekuensi yang harus dipenuhi oleh Pemerintah sebagai akibat dari pengadaan/penerbitan utang yang baru ataupun utang yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam RAPBN 2015, Pembayaran Bunga Utang direncanakan sebesar Rp154,0 triliun. Meskipun Pembayaran Bunga Utang secara nominal terlihat meningkat, akan tetapi secara rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap alokasi belanja Pemerintah Pusat mengalami kecenderungan penurunan yang terlihat dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dari sebesar 12,67 persen terhadap realisasi APBNP tahun 2010 menjadi 11,2 persen terhadap RAPBN tahun 2015. Penurunan rasio tersebut utamanya disebabkan oleh pengelolaan utang yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian (prudent), termasuk ketepatan waktu dan ketepatan jumlah pembayaran kewajiban/bunga utang, penerbitan SBN dengan pemilihan tenor pendek. Di samping itu, perbaikan rating Indonesia dari level Ba1 menjadi Baa3 dengan outlook stable pada tahun 2013 menunjukkan kepercayaan pasar akan prospek perekonomian Indonesia yang lebih baik dan penurunan imbal hasil (yield) penerbitan SBN yang cukup signifikan. Pemerintah berupaya mengendalikan beban bunga utang antara lain melalui restrukturisasi utang (debt switching dan buyback SBN yang memiliki tingkat kupon yang tinggi yang ditujukan untuk mengurangi jumlah biaya yang akan ditanggung Pemerintah), pemilihan seri dan waktu yang tepat dalam melakukan penarikan/penerbitan utang, dan mengutamakan pembiayaan luar negeri dari kreditur multilateral dan bilateral yang berbunga relatif rendah. Dapat pula disampaikan bahwa Pembayaran Bunga Utang setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh penyesuaian yang harus dilakukan terkait dengan jadwal Pembayaran Bunga Utang dan realisasi asumsi makro ekonomi yang mempengaruhinya, seperti nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing utamanya dolar AS dan tingkat bunga referensi yang digunakan. Terkait dengan penerbitan SBN neto, hal tersebut dalam jangka pendek sangat ditentukan oleh kesepakatan penetapan besaran defisit antara DPR RI dengan Pemerintah, dan ketersediaan sumber-sumber pembiayaan nonutang. Oleh karena itu, sepanjang DPR RI dan Pemerintah menyepakati pembiayaan utang untuk menutup defisit APBN dan asumsi ekonomi makro yang mempengaruhi berfluktuasi, maka Pembayaran Bunga Utang akan ikut mengalami perubahan.
-L.48-
Berkaitan dengan pertanyaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai penyelesaian obligasi rekapitalisasi, dapat dijelaskan sebagai berikut. Penerbitan obligasi rekap adalah kebijakan yang dilakukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional saat krisis keuangan melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997. Penerbitan obligasi rekap kepada bank rekap dilakukan untuk menyehatkan kondisi permodalan perbankan. Sebagai gantinya, Pemerintah memperoleh aset dan kepemilikan (ekuitas) pada bank rekap. Aset dan ekuitas tersebut saat itu dikelola oleh BPPN dan sebagian telah dijual untuk menambah penerimaan APBN. Dasar hukum penerbitan Surat Utang atau Obligasi Negara dalam rangka Program Rekapitulasi Bank Umum adalah Peraturan Pemerintah nomor 84 tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1998 dan berlaku surut sejak tanggal 9 Desember 1998 (PP 84/1998). Dalam pasal 7 PP dimaksud memuat bahwa pembiayaan atas penyertaan modal Negara pada Bank Umum dalam rangka program Rekapitulasi Bank Umum dibebankan kepada APBN. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 8 PP 84/1998 disebutkan bahwa dalam rangka pembiayaan atas penyertaan modal Negara pada Bank Umum, Menteri Keuangan berwenang menerbitkan Surat Utang. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN, dalam ketentuan peralihan Pasal 20 disebutkan bahwa Surat Utang atau Obligasi Negara yang diterbitkan berdasarkan PP No. 84 Tahun 1998 dinyatakan sah dan tetap berlaku sampai dengan saat jatuh tempo. Konsekuensi dari ketentuan dimaksud adalah berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok SUN pada saat jatuh tempo. Perlu disampaikan pula bahwa, obligasi yang dulunya merupakan Obligasi Rekap kini telah dimiliki tidak hanya oleh Bank dan/atau Institusi penerima Obligasi Rekap saja. Mengingat pemegang “Obligasi Rekap” pada saat ini tidak hanya bank/institusi penerima Obligasi rekap saja, maka upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan Obligasi Rekap dimaksud diharapkan tidak menimbulkan market disruption di pasar keuangan (market friendly). Adapun upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan Pemerintah untuk mengurangi Obligasi Rekap tersebut antara lain program penukaran Obligasi (debt switch) maupun pelunasan sebelum jatuh tempo (cash buyback) yang dilakukan sekaligus dalam rangka peningkatan likuiditas SUN. Penyelesaian yang bersifat sepihak dan tidak market friendly akan menimbulkan market disruption dan dapat merusak reputasi Pemerintah di pasar keuangan, terutama kepercayaan investor pada kredibilitas Indonesia. Hal ini dapat berimbas
-L.49-
pada sulitnya Pemerintah untuk mengakses kembali pendanaan di pasar keuangan. Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah untuk menjaga risiko reputasi ini. Berkenaan dengan pertanyaan dari Fraksi Partai Amanat Nasional maupun Fraksi Partai Gerindra mengenai keterbatasan ruang fiskal, dapat kami sampaikan sebagai berikut. Sebagaimana diketahui, Pembayaran Bunga Utang timbul sebagai akibat dari pengadaan/ penerbitan utang yang baru ataupun utang yang telah dilakukan Pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya yang dipergunakan untuk menutup defisit APBN dengan besaran pembiayaan yang disepakati antara DPR RI dengan Pemerintah. Adapun utang yang diterbitkan dapat bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai upaya mengurangi beban APBN baik pada saat ini maupun pada masa mendatang, Pemerintah senantiasa mengutamakan sumber pembiayaan nonutang untuk menutup defisit, diantaranya: penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan hasil pengelolaan asset. Namun demikian, seiring dengan semakin terbatasnya sumber pembiayaan nonutang, maka kekurangan pembiayaan defisit akan ditutup melalui sumber-sumber pembiayaan dari utang. Pemilihan sumber pembiayaan dari utang dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan senantiasa mempertimbangkan biaya, risiko dan kapasitas fiskal Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi pertimbangan Pemerintah adalah bahwa Pembayaran Bunga Utang masih dalam batas kemampuan ekonomi, akuntabel dan senantiasa diupayakan untuk tidak menimbulkan tekanan yang berlebihan terhadap APBN. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Gerindra mengenai defisit anggaran RAPBN 2015 yang akan dibiayai dengan pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri dan pembiayaan luar negeri, sementara hutang tersebut habis dibakar di jalanan hanya untuk menutup subsidi BBM, Pemerintah sependapat dengan pandangan anggota Dewan bahwa Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi secara tuntas terhadap pola subsidi energi sehingga di masa yang akan datang tidak akan lagi membebani APBN. Hal ini sesuai dengan roadmap arah kebijakan subsidi jangka menengah yang ingin mengurangi beban subsidi dan lebih mengarahkan pada subsidi yang lebih tepat sasaran, antara lain dengan: (i) upaya diversifikasi energi dan konversi dari BBM ke energi lainnya yang tersedia di Indonesia; (ii) pengendalian impor BBM harus menjadi prioritas serta pengelolaan energi secara berkesinambungan; dan (iii) pengurangan subsidi energi secara bertahap. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai tingginya alokasi subsidi energi dalam RAPBN 2015, Pemerintah sependapat dengan
-L.50-
pandangan anggota Dewan bahwa Pemerintah perlu melakukan pengendalian anggaran subsidi energi, baik subsidi BBM maupun subsidi listrik. Persoalan mendasar dalam subsidi energi dipengaruhi oleh faktor eksternal yang sulit dikendalikan, yaitu harga minyak internasional dan nilai tukar rupiah. Faktor eksternal tersebut cenderung bergejolak seiring dengan volatilitas harga minyak internasional dan perubahan kurs. Perubahan harga minyak dan kurs tersebut akan meningkatkan anggaran belanja subsidi yang cukup signifikan sehingga berpotensi membebani APBN. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah telah berupaya untuk mengendalikan subsidi BBM yang diarahkan bukan hanya untuk meminimalisasi risiko fiskal tetapi juga diharapkan agar mampu mendorong munculnya pengembangan energi alternatif, konservasi lingkungan, meminimalisasi pelebaran defisit current account serta terpenuhinya aspek keadilan. Beberapa kebijakan yang telah ditempuh antara lain melalui program konversi, pembatasan, penyesuaian harga, serta upaya pengembangan energi alternatif antara lain: panas bumi, bio etanol, tenaga surya, dan air. Dalam tahun 2015 Pemerintah akan melakukan beberapa kebijakan untuk mengendalikan anggaran subsidi BBM antara lain: (i) meningkatkan efisiensi anggaran subsidi BBM dengan alokasi yang lebih tepat sasaran; (ii) mengurangi penggunaan konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap; (iii) melanjutkan pengendalian BBM bersubsidi (Permen ESDM No. 1/2013); (iv) melanjutkan program konversi BBM ke BBG terutama untuk angkutan umum di kota-kota besar; (v) mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) antara lain melalui konversi biofuel dan gas; (vi) meningkatkan dan mengembangkan pembangunan jaringan gas kota untuk rumah tangga; (vii) meningkatkan pemakaian bahan bakar nabati (BBN); (viii) meningkatkan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi antara lain melalui penggunaan teknologi (a.l. RFID /Radio Frequency Identification); dan (ix) meningkatkan peranan Pemda dalam pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi; serta (x) mengendalikan subsidi dalam rangka menjaga ketahanan fiskal. Sementara itu terkait pengendalian subsidi listrik, dalam tahun 2015 Pemerintah akan melakukan berbagai kebijakan, yakni: (i) meningkatkan efisiensi anggaran subsidi listrik dan ketepatan target sasaran; (ii) meningkatkan rasio elektrifikasi; (iii) menurunkan susut jaringan; (iv) menurunkan komposisi pemakaian BBM dalam pembangkit tenaga listrik; (v) meningkatkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga panas Bumi (PLTP); (vi) meningkatkan pemakaian gas dan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mengurangi BBM; (vii) mengembangkan energi tenaga
-L.51-
surya khususnya di pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara lain dan mensubstitusi PLTD di daerah-daerah terisolasi; (viii) melakukan pengawasan terhadap kegiatan investasi pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan; dan (ix) melakukan transisi formulasi perhitungan subsidi listrik, dari cost plus margin menjadi performance based regulatory untuk meningkatkan akuntabilitas pemberian subsidi dan efisiensi PT PLN (Persero). Dengan berbagai kebijakan tersebut, anggaran subsidi energi diharapkan dapat dikendalikan pada tingkat yang aman sehingga APBN lebih terjaga dan sustainable. Pemerintah sependapat dengan pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menghendaki agar Pemerintah ke depan harus serius merealisasikan program ketahanan dan kedaulatan pangan dengan alokasi anggaran yang memadai. Dalam RAPBN 2015, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi pupuk sebesar Rp35,7 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi Rp14,7 triliun bila dibandingkan pagunya dalam APBNP tahun 2014 sebesar Rp21,0 triliun. Penyediaan anggaran subsidi pupuk tersebut ditujukan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional dan membantu petani mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau. Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kuota subsidi energi, diversifikasi energi, dan kebijakan subsidi BBM terkait supply-side management dan demand-side management, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah berupaya agar anggaran subsidi energi dapat dikendalikan pada kondisi yang manageable melalui efisiensi anggaran subsidi dan diversifikasi energi melalui pengembangan energi baru terbarukan (misalnya: Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Bahan Bakar Gas (BBG)). Pemerintah menyadari bahwa pola subsidi BBM yang ada pada saat ini, masih perlu terus disempurnakan agar subsidi BBM lebih dapat dinikmati oleh masyarakat yang kurang mampu. Untuk itu, dari sisi supply, volume konsumsi BBM bersubsidi perlu dikendalikan dan dikurangi secara bertahap. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah dan sedang melakukan beberapa upaya agar volume konsumsi BBM bersubsidi dapat dikurangi, antara lain dengan mengurangi volume minyak tanah bersubsidi melalui program konversi minyak tanah (mitan) bersubsidi ke LPG tabung 3 Kg. Program konversi mitan ke LPG tabung 3 Kg, di satu sisi, dapat lebih tepat sasaran karena dapat dinikmati oleh masyarakat kurang mampu, di sisi lain juga menghasilkan penghematan atas beban belanja subsidi. Di samping itu, Pemerintah juga melakukan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013, antara lain melarang kendaraan dinas, sektor perkebunan, dan sektor pertambangan
-L.52-
menggunakan BBM bersubsidi. Pemerintah terus berusaha agar Permen ESDM tersebut dapat berjalan efektif sehingga volume konsumsi BBM bersubsidi yang disalurkan ke masyarakat dapat lebih tepat sasaran dan tepat jumlah. Sementara itu, kebijakan lain yang akan ditempuh oleh Pemerintah untuk menurunkan volume konsumsi BBM bersubsidi adalah dengan mengoptimalkan penggunaan energi alternatif untuk menggantikan BBM, seperti bahan bakar nabati (BBN), batubara, dan panas bumi. Dari demand-side management, Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor, baik kendaraan pribadi, transportasi umum, dan layanan umum mempunyai implikasi negatif terhadap belanja subsidi BBM. Untuk itu, Pemerintah masih melakukan review pengendalian volume BBM bersubsidi melalui pengaturan jenis kategori kendaraan yang menggunakan BBM bersubsidi, dan wilayah (lokasi geografis) secara bertahap. Dengan pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi dari supply-side management dan demand-side management ini, Pemerintah berharap volume konsumsi BBM bersubsidi dapat diturunkan, dan beban belanja subsidi energi dapat dikurangi. Pemerintah juga sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai pengamanan pasokan gas untuk PT PLN (Persero), meningkatkan efisiensi subsidi listrik, dan menurunkan losses jaringan transmisi dan distribusi nasional. Kebijakan tersebut telah dan akan terus dilakukan Pemerintah dalam rangka mengendalikan anggaran subsidi listrik. Pemerintah sependapat dengan pandangan dari Fraksi PDI Perjuangan, FraksiPartai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menghendaki agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran. Pada prinsipnya penyediaan anggaran subsidi dalam RAPBN 2015 diarahkan untuk mempertahankan kesejahteraan rakyat, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasar dengan menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Sampai saat ini, Pemerintah masih konsisten untuk mengalokasikan subsidi, khususnya untuk rakyat miskin dan petani yang memang layak dan tepat menerimanya. Sejalan dengan itu, Pemerintah akan berupaya mengendalikan subsidi secara bertahap, antara lain melalui penataan ulang sistem penyaluran subsidi agar makin adil dan tepat sasaran melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan. Dalam rangka mengendalikan belanja subsidi energi, Pemerintah telah mengupayakan dan menyempurnakan berbagai kebijakan khususnya yang terkait
-L.53-
dengan subsidi BBM dan subsidi listrik antara lain melalui: (i) penyesuaian harga BBM bersubsidi; (ii) peningkatan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, antara lain melalui pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas, sektor perkebunan dan pertambangan; (iii) kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati dan pemakaian bahan bakar gas untuk transportasi terus ditingkatkan baik dari sisi regulasi maupun aspek teknis; (iv) peningkatan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi bekerjasama dengan pemerintah daerah dan aparat hukum yang berwenang, serta penggunaan teknologi tertentu untuk meningkatkan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi; dan, (v) penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan pada berbagai kelompok tarif tertentu secara bertahap sehingga lebih tepat sasaran. Sementara itu, untuk subsidi non energi terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan antara lain: (i) subsidi pangan (subsidi raskin) ada pengaturan kembali jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) berdasarkan basis data terpadu yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), (ii) subsidi pupuk dengan penyempurnaan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan (iii) subsidi benih yang dialokasikan berdasarkan Daftar Usulan Pembeli Benih Bersubsidi (DUPBB).
D. DESENTRALISASI DAERAH
FISKAL
DAN
PENGELOLAAN
KEUANGAN
Menjawab pertanyaan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, berkaitan dengan masih kecil/rendahnya dan persentase yang ideal antara belanja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dan perlunya dukungan akurasi data dan penetapan alokasi dan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa secara tepat waktu, dapat disampaikan sebagai berikut. Kebijakan dana transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta keputusan bersama antara Pemerintah dengan DPR RI. Di samping itu, pengalokasian besaran transfer ke daerah juga dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dan pencapaian target-target dan prioritas nasional. Kami dapat memahami keinginan yang terhormat anggota DPR RI untuk meningkatkan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah. Namun, dengan anggaran yang tersedia, untuk melaksanakan
-L.54-
hal tersebut masih memerlukan pertimbangan mengingat masih adanya kebutuhan untuk jenis belanja lainnya baik untuk mendanai belanja pegawai/barang/jasa/modal kementerian negara/lembaga. Di tengah kondisi infrastruktur masih memerlukan perbaikan, Pemerintah masih merasa perlu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk hal ini. Selain itu, pengeluaran belanja subsidi untuk masyarakat dan kelompok tertentu serta pembayaran bunga utang juga memerlukan dana yang relatif besar. Dalam rangka penyusunan RAPBN TA 2015, Pemerintah tetap berupaya untuk menjaga keseimbangan pendanaan antara Belanja Pemerintah Pusat dengan Belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa secara nominal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika Anggaran Transfer ke Daerah pada tahun 2010 masih sebesar Rp344,7 triliun, maka pada tahun 2015 meningkat sekitar 86 persen menjadi Rp640,0 triliun. Dari jumlah alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa tersebut, sebesar 79,6 persen merupakan alokasi Dana Perimbangan yang meliputi DAU, DAK, dan DBH, sedangkan sisanya sebesar 20,4 persen merupakan alokasi Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, Dana Transfer Lainnya, serta Dana Desa. Sementara itu, upaya untuk menyelenggarakan pengelolaan keuangan yang semakin baik dilakukan secara simultan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Dari sisi Pemerintah Pusat, agar diperoleh data yang akurat untuk perhitungan Transfer ke Daerah, dilakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam penyediaan data. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, maka dalam rangka penyaluran Dana Transfer ke Daerah, Pemerintah telah memperbaiki pola penyaluran Dana Transfer ke Daerah, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183/PMK.07/2013 tentang Pelaksanaan Penyaluran dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Berdasarkan PMK tersebut, maka penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah dilakukan dengan pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. PMK tersebut juga telah mengatur bahwa penyaluran jenis Anggaran Transfer ke Daerah dilakukan secara periodik dengan jadwal dan besaran penyaluran yang ditentukan, serta persyaratan yang harus dipenuhi oleh Daerah terkait dengan penggunaan dan penyerapan dana Transfer di Daerah. Dari sisi Pemerintah Daerah, penyelesaian perda APBD secara tepat waktu akan membantu penyalurannya. Dorongan agar Perda APBD tepat waktu telah dikaitkan dengan mekanisme penyaluran DAK, dimana Pemerintah menetapkan bahwa penyaluran DAK Tahap I hanya diberikan kepada daerah yang telah menyelesaikan Perda APBD.
-L.55-
Kemudian, untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah melakukan perbaikan sistem penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang didukung dengan perbaikan kapasitas SDM Pemerintah Daerah. Perbaikan sistem tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan, seperti penyempurnaan standar akuntansi pemerintah dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa. Sementara itu, untuk meningkatkan kapasitas SDM di daerah baik hard competence maupun soft competence dilakukan bimbingan teknis, sosialisasi, dan pola pelatihan bagi pengelola keuangan daerah melalui Kursus Keuangan Daerah (KKD) dan Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan Daerah (KKDK) bekerja sama dengan perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia, STAN, Universitas Andalas, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Sam Ratulangi, dan Universitas Hasanuddin. Menjawab pertanyaan Fraksi Keadilan Sejahtera, berkaitan dengan harus adanya upaya-upaya sistematis agar peningkatan Transfer ke Daerah tidak hanya habis untuk belanja pegawai dan belanja untuk birokrasi lainnya, dapat disampaikan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera bahwa perlu ada upaya-upaya sistematis agar peningkatan transfer daerah tidak hanya habis untuk belanja pegawai dan belanja untuk birokrasi lainnya. Kebijakan dalam penghitungan DAU 2015 dilakukan dengan memberikan porsi pagu Celah Fiskal (CF) yang lebih besar dalam perhitungan DAU atau dengan kata lain melakukan pembatasan (pegging) pagu Alokasi Dasar (AD) terhadap pagu DAU nasional. Porsi AD terhadap pagu DAU nasional diupayakan kurang dari 50% terhadap belanja gaji PNSD, hal ini sejalan dengan prinsip hard budget constraint. Selain itu Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah, yaitu moratorium penerimaan PNS dan meniadakan Alokasi Dasar dalam formula perhitungan DAU dalam rancangan revisi UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan penghilangan alokasi dasar tersebut, pengalokasian DAU tidak lagi dikaitkan secara langsung dengan belanja PNSD. Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ke DAK, dapat kami sampaikan bahwa proses pengalihan kegiatan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke kegiatan DAK yang sejalan dengan pengaturan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 108 Ayat (1) dan (2), secara bertahap sudah dilakukan sejak tahun 2008.
-L.56-
Pengalihan bagian anggaran K/L yang membiayai urusan daerah ke DAK sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 yang mencapai Rp6,5 triliun. Pada Tahun 2008 anggaran yang dialihkan berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp1,7 triliun, Kementerian Kesehatan Rp0,5 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp2,0 triliun, serta BKKBN dan Kementerian Kehutanan masing-masing Rp0,1 triliun. Selanjutnya pada tahun 2009 dialihkan anggaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal masing-masing Rp1,0 triliun, Rp0,05 triliun, dan Rp0,09 triliun. Pada tahun 2010 juga dialihkan bagian anggaran dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementarian Pembangunan Daerah Tertinggal, masing-masing sebesar Rp0,275 triliun, Rp0,2 triliun, dan Rp0,1 triliun. Sementara itu pada tahun 2013 juga dialihkan anggaran dari Kementerian Pertanian sebesar Rp0,417 triliun ke DAK. Pada proses pengalihan untuk tahun anggaran 2014, Pemerintah telah melakukan identifikasi pada berbagai anggaran dekonsentrasi/tugas pembantuan yang masih mendanai urusan Daerah pada 33 K/L. Dari hasil identifikasi tersebut tidak ada lagi anggaran dekonsentrasi/tugas pembantuan yang dialihkan menjadi DAK karena sebagian besar anggaran dekonsentrasi/tugas pembantuan sudah tidak lagi mendanai urusan daerah. Selain pengalihan anggaran K/L yang membiayai urusan daerah ke DAK, juga dialihkan bagian anggaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD sejak tahun 2009, Dana Tunjangan Profesi Guru PNSD sejak tahun 2010, dan Bantuan Operasional Sekolah sejak tahun 2011. Beberapa kendala yang dihadapi terkait dengan pengalihan dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke DAK adalah sebagai berikut: a. Aturan Pembagian urusan yang dianggap kurang jelas (PP No. 38/2007) bagi Kementerian Negara/Lembaga dan DPR Komisi terkait serta pemangku kepentingan lainnya. b. Adanya kekhawatiran beberapa pihak akan kurang efektifnya pengalihan karena adanya indikasi Pemerintah Daerah tidak menjalankan program kerja sesuai rencana yang menjadi target/prioritas KL serta menjadi prioritas nasional, dimana hal tersebut terkait dengan kontrak kinerja Kementerian Negara/lembaga yang bersangkutan. c. Adanya kewajiban cost sharing pada DAK yang kemungkinan memberatkan kas daerah (APBD). d. Selain itu peraturan perundangan yang mengatur bahwa DAK merupakan kegiatan “fisik” juga menjadi penghambat pengalihan dana dekonsentrasi karena sebagian dana dekonsentrasi bersifat “non fisik”.
-L.57-
Selanjutnya, untuk menjaga agar tidak ada lagi urusan-urusan daerah yang masih didanai oleh K/L melalui mekanisme dekonsentrasi/tugas pembantuan, maka saat ini Pemerintah telah mengajukan RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai pengganti UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam RUU tersebut diatur larangan dan pemberian sanksi kepada K/L yang masih mendanai urusan daerah. Dengan penerapan sanksi tersebut diharapkan proses pengalihan tersebut berjalan lebih efektif. Menjawab pertanyaan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Gerindra berkaitan dengan alokasi Dana Desa yang sangat tidak memadai dan perlu ditingkatkan dalam RAPBN 2015, serta implementasi pelaksanaan Dana Desa bisa dilakukan secara baik dan agar tidak terjadi penyimpangan dimana Dana Desa tersebut ditujukan untuk dapat mendorong kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat desa pada umumnya. Perkembangan desentralisasi fiskal yang dinamis telah menjadikan desa menjadi berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Kondisi tersebut diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Atas dasar itu, pada tahun 2014 Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menetapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU tersebut antara lain ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Dapat kami sampaikan bahwa, alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN merupakan belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yg peruntukannya langsung ke desa ditentukan 10% dari dan diluar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. Berkaitan dengan hal tersebut, Dana Desa mulai dialokasian dalam RAPBN Tahun Anggaran 2015 sebagai tahun pertama dan tahun transisi pengalokasian dengan mempertimbangkan kemampuan APBN dan kesesuaian belanja Kementerian Negara/Lembaga yang berbasis desa dengan tetap memperhatikan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program yang direalokasikan. Alokasi Dana Desa yang bersumber dari RAPBN dalam tahun 2015 adalah sebesar Rp9,1 triliun.
-L.58-
Dalam tahap awal masa transisi pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, alokasi Dana Desa sebesar Rp9,1 triliun merupakan pola PNPM Mandiri yang berasal dari pengalihan Program/Kegiatan K/L dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pekerjaan Umum, dimana dokumen yang digunakan dalam proses identifikasi tersebut adalah dokumen Kesepakatan Tiga Pihak dan Renja K/L TA 2015, karena pada tahap Pagu Indikatif belum terdapat dokumen RKA-K/L. Pengalihan anggaran PNPM Mandiri tersebut, dilakukan dengan pertimbangan bahwa selama ini program tersebut cukup efektif untuk meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, dengan melibatkan masyarakat desa dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, serta didukung dengan pola pendampingan teknis pelaksanaan kegiatan dari K/L teknis terkait. Untuk itu pelaksanaan Dana Desa dalam RAPBN 2015 akan mengadopsi pola PNPM Mandiri tersebut. Dalam RAPBN 2015 juga diperlukan adanya dana pendukung pada K/L teknis terkait untuk melakukan pendampingan kepada perangkat desa dalam melakukan perencanaan, penganggaran program dan kegiatan, dan pengelolaan keuangan desa, termasuk pelaksanaan pelaporan kegiatan. Diharapkan apabila perangkat desa dan masyarakat desa sudah mempunyai kesiapan yang memadai, baik dari sisi pengelolaan keuangan dan kegiatan yang mencakup aspek perencanaan, penganggaran program/kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pelaporan dan pertanggungjawaban, maupun dari sisi kelembagaan, alokasi Dana Desa dapat dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan fiskal nasional sehingga dapat memenuhi amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain Dana Desa yang bersumber dari APBN, setiap desa juga mendapat alokasi dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota berupa: a). Bagian hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Kabupaten/Kota paling sedikit 10%; b). Alokasi Dana Desa (ADD) paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus; dan c). Bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Dapat kami sampaikan juga bahwa, Dana Desa juga bersumber dari; a) pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; b) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan c) lainlain pendapatan Desa yang sah. Dengan demikian, secara keseluruhan sumber dana yang tersedia untuk desa baik dari APBN dan APBD, relatif memadai setiap tahunnya untuk melaksanakan kewenangan desa. Dalam rangka implementasi pelaksanaan Dana Desa agar bisa dilakukan secara baik dan tidak terjadi penyimpangan dan sesuai dengan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah telah menerbitkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah, yaitu: a) PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
-L.59-
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur antara lain: pembentukan/penggabungan desa, kewenangan desa, penghasilan kepala dan perangkat desa, pengelolaan keuangan dan kekayaan desa; dan b) PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, yang berisi tentang proses penganggaran dana Desa dalam APBN; proses penghitungan alokasi dana Desa oleh Pemerintah dan kabupaten/kota; proses penyaluran dana Desa terkait mekanisme penyalurannya; proses pelaporan dari kabupaten/kota kepada Pemerintah dan Desa kepada kabupaten/kota; dan proses monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan Dana Desa. Saat ini, Pemerintah juga sedang menyiapkan Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai pedoman pelaksanaan dari 2 (dua) Peraturan Pemerintah tersebut. Peraturan Menteri Keuangan akan mengatur mengenai tata cara penganggaran, pengalokasian, penyaluran, penggunaan, serta pemantauan dan evaluasi Dana Desa, sedangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri antara lain akan mengatur mengenai pengelolaan keuangan desa, baik bersumber dari APBN, APBD maupun sumber pendapatan desa lainnya. Untuk memastikan agar pelaksanaan Dana Desa dapat berjalan dengan baik, Kementerian Dalam Negeri akan menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa, K/L teknis akan menyusun pedoman umum dengan mengacu pada priorotas penggunaan Dana Desa, dan Bupati/Walikota membuat pedoman teknis tentang kegiatan yang didanai dari Dana Desa. Di samping itu, kementerian negara/lembaga terkait akan melakukan program pendampingan guna memastikan pelaksanaan Dana Desa tepat target dan sasaran. Dengan telah diterbitkannya 2 (dua) Peraturan Pemerintah serta penyusunan rancangan Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud, diharapkan implementasi pelaksanaan Dana Desa bisa dilakukan secara baik dan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga dapat mendorong potensi dan kemandirian desa, serta meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat kesejahteraan masyarakat desa pada umumnya. E. PEMBIAYAAN DEFISIT ANGGARAN, PENGELOLAAN UTANG, DAN RISIKO FISKAL Terkait dengan permintaan dari Fraksi Partai Golongan Karya yang meminta ketegasan Pemerintah agar berupaya dalam penyelesaian segala bentuk dan jenis piutang terutama yang telah jatuh tempo kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah selama ini telah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menyelesaikan piutang negara yang telah jatuh tempo. Sebagai contoh, dalam rangka penyelesaian Piutang Negara yang berasal dari Naskah Perjanjian Penerusan
-L.60-
Pinjaman (NPPP)/Subsidiary Loan Agreement (SLA) dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI), Pemerintah telah melakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Penagihan Penagihan dilakukan sebulan sebelum jatuh tempo dengan melakukan rekonsiliasi bersama terlebih dahulu terkait jumlah kewajiban pokok dan kewajiban yang jatuh tempo. Apabila tidak dibayar maka akan dikenakan denda keterlambatan. Khusus untuk pinjaman daerah yang perjanjian pinjamannya telah mencantumkan sanksi DAU/DBH, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 47/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah melalui Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil, maka akan dilakukan pemotongan DAU/DBH apabila terjadi tunggakan sampai dua kali jatuh tempo. 2. Penyelesaian Piutang Negara Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah dan dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan PT, optimalisasi penyelesaian piutang negara dapat dilakukan melalui: a. penjadwalan kembali pembayaran utang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos‐ongkos lainnya; b. perubahan persyaratan utang; dan/atau c. penghapusan. Selanjutnya Pemerintah juga telah menerbitkan beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mengatur lebih lanjut skema penyelesaian piutang negara kepada: 1) BUMN/PT
: PMK 17/PMK.05/2007 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas;
2) Pemerintah Daerah : PMK 153/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah pada Pemerintah Daerah;
-L.61-
3) PDAM
: PMK 120/PMK.05/2008 sebagaimana telah diganti dengan PMK 114/PMK.05/2013 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah pada Perusahaan Daerah Air Minum.
Dalam rangka optimalisasi penyelesaian piutang negara pada BUMN melalui mekanisme restrukturisasi, Kementerian Keuangan telah melakukan langkahlangkah berikut: 1) Bersama dengan Kementerian BUMN membuat MoU dengan ruang lingkup: a. Percepatan penyelesaian piutang negara dalam bentuk: - Peningkatan kerjasama tim penyelesaian piutang negara pada BUMN; - Pertukaran informasi kondisi bisnis dan keuangan BUMN; - Tindak lanjut penyelesaian piutang negara pada BUMN; - Penyusunan kebijakan/peraturan yang diperlukan. b. Melakukan kerjasama dengan pihak lain, antara lain: Lembaga Auditor Pemeriksa (BPKP), Kejaksaan, BPK, dll. c. Melakukan perencanaan, monitoring, dan evaluasi. d. Melakukan penilaian kinerja dan Key Performance Index (KPI) yang akan dimonitor oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham. 2) Untuk menjaga governance dan mitigasi risiko terhadap pilihan skema restrukturisasi, dilakukan penilaian oleh pihak independen. 3. Konversi Piutang Negara menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.05/2007 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas, pengalihan piutang menjadi Penyertaan Modal Pemerintah dilakukan melalui Peraturan Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. 4. Konversi Utang menjadi Investasi (debt swap to investment) pada Pemerintah Daerah dan PDAM Terhadap tunggakan non pokok Pemerintah Daerah dan PDAM diberlakukan debt swap to investment, yaitu mewajibkan pemerintah daerah membangun
-L.62-
infrastruktur senilai tunggakan non pokok yang dihapus tersebut. Jenis infrastruktur yang diperkenankan adalah infrastruktur di bidang pendidikan, kesehatan, jalan dan irigasi, dan air. 5. Penyerahan kepada PUPN Sebagaimana yang telah diatur dalam PP Nomor 14 Tahun 2005 maka apabila telah dilakukan optimalisasi penagihan dan piutang tersebut tidak dapat diselesaikan maka piutang Negara dapat diserahkan kepada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) untuk dilakukan penagihan atau bahkan penyitaan. Terkait penyelesaian piutang negara pada PDAM sebagai tindak lanjut PMK 114/PMK.05/2012 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah pada PDAM, telah diserahkan ke PUPN penyelesaian atas utang 28 PDAM yang tidak masuk dalam program restrukturisasi. Selanjutnya terkait dengan penyelesaian piutang yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dapat disampaikan bahwa penyelesaian Piutang Negara yang dilakukan oleh Pemerintah dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. PUPN dalam melaksanakan penyelesaian Piutang Negara dapat melakukan 2 (dua) cara, yaitu cara eksekusi dan non eksekusi. Adapun yang termasuk dalam cara eksekusi adalah melalui mekanisme penyitaan dan pelelangan atas barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dari Penanggung Hutang (debitor)/Penjamin Hutang, sedangkan yang termasuk ke dalam cara non eksekusi adalah melalui mekanisme penebusan barang jaminan milik Penjamin Hutang, penjualan barang jaminan milik Penanggung Hutang (debitur) di luar lelang, dan pemberian keringanan hutang. Dalam rangka mempercepat penyelesaian Piutang Negara tersebut, perlu adanya crash program/percepatan penyelesaian Piutang Negara khususnya piutang terhadap Penanggung Hutang/debitor UMKM yang memungkinkan adanya pemberiaan keringanan hutang kepada debitur tersebut. Untuk melakukan crash program tersebut telah dirumuskan Pasal 27 Rancangan Undang-Undang APBN Tahun 2015 untuk menjadi dasar hukum. Berkenaan dengan permintaan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa agar Pemerintah berhati-hati dan cermat dalam memilih komposisi pembiayaan yang dilakukan, dan permintaan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai perlunya mengurangi peranan utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran dapat kami jelaskan sebagai berikut. Sejalan dengan ditempuhnya kebijakan yang ekspansif pada tahun 2015, maka akan berdampak terjadinya defisit anggaran. Kebijakan defisit merupakan representasi dari kebijakan ekspansif pemerintah -L.63-
dalam rangka menstimulasi perekonomian untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pengurangan pengangguran dan kemiskinan yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut esensi kebijakan defisit merupakan solusi untuk tetap menjaga agar peran APBN sebagai instrumen fiskal untuk menstimulasi perekonomian dapat berfungsi secara optimal ditengah keterbatasan anggaran (budget constrains). Sejalan dengan hal tersebut maka diperlukan pembiayaan untuk menutup defisit anggaran namun dalam pengadaan sumber pembiayaan tetap dikelola secara prudent dan senantiasa mempertimbangkan kesinambungan fiskal. Kebijakan umum pembiayaan utang akan ditempuh oleh Pemerintah pada tahun 2015 antara lain: (i) pengendalian rasio utang terhadap PDB; (ii) mengutamakan pembiayaan utang yang bersumber dari dalam negeri; (iii) mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui penerbitan sukuk yang berbasis proyek; (iv) memanfaatakan pinjaman luar negeri secara selektif, terutama untuk bidang infrastruktur dan energi, dan mempertahankan kebijakan negative net flow; (v) mengoptimalkan peran serta masyarakat (financial inclusion) dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik, (vi) melakukan pengelolaan utang secara aktif dalam kerangka asset liabilities management (ALM). Sementara itu pokok-pokok kebijakan umum pembiayaan non utang antara lain : (i) penggunaan SAL sebagai sumber pembiayaan dan fiscal buffer untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis, (ii) pengalokasian PMN kepada BUMN untuk percepatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan kapasitas usaha BUMN, (iii) pengalokasian dana PMN kepada organisasi/ lembaga keuangan internasional dan badan usaha lain yang ditujukan untuk memenuhi kewajiban Indonesia sebagai anggota dan mempertahankan persentase kepemilikan modal, (iv) pengalokasian dana bergulir untuk penyediaan fasilitas pembiayaan dalam rangka memenuhi ketersediaan rumuah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan untuk memberikan stimulus bagi KUMKM berupa penguatan modal, (v) melanjutkan program dana pengembangan pendidikan nasional. Dalam rangka mengantisipasi volatilitas perkembangan pasar SBN dalam negeri dan faktor risiko sewaktu-waktu terjadinya sudden reversal secara tiba-tiba, Pemerintah sudah melakukan upaya-upaya preventif antara lain: (i) meningkatkan fleksibilitas dalam rangka mengantisipasi terjadinya sudden reversal antara lain dengan pengembangan instrumen protokol pengelolaan krisis (crisis management protocol–CMP); (ii) meningkatkan fleksibilitas penggunaan SAL sebagai fiscal buffer untuk menstabilisasi pasar SBN melalui pencantuman dalam UU APBN sehingga mempunyai landasan hukum yang kuat; (iii) mengendalikan kerentanan fiskal dalam batas yang terkendali (fiscal vulnerability) antara lain DSR, Debt Ratio terhadap
-L.64-
pendapatan dalam negeri, menjaga komposisi utang dalam batas aman; dan (iv) memprioritaskan pengembangan pasar perdana SBN domestik, pengembangan pasar sekunder SBN, serta pengembangan instrumen SBN. Sementara itu untuk mengahadapi faktor risiko dari luar maka Pemerintah mengupayakan antara lain: (a) mengendalikan pinjaman luar negeri melalui kebijakan negative net flow secara konsisten; (b) komitmen pinjaman kegiatan (project loan) baru diarahkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan energi serta membiayai pembelian barang yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dalam rangka alih teknologi; dan (c) meningkatkan kualitas persiapan kegiatan dan pengadaan pinjaman luar negeri. Terkait pemenuhan pembiayaan utang yang bersumber dari domestik, kiranya dapat dijelaskan bahwa Pemerintah sependapat dengan pendapat dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam mendukung kebijakan tersebut adalah mengupayakan agar porsi pembiayaan utang dari dalam negeri lebih dominan dari waktu ke waktu. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong upaya pencapaian kemandirian bangsa dengan mengoptimalkan potensi dalam negeri, dan untuk meningkatkan pengelolaan makro ekonomi yang sehat dengan memaksimalkan partisipasi investor dalam negeri, termasuk untuk mendorong program financial inclusion. Mengenai pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan pemanfaatan instrumen sukuk negara untuk membiayai proyek-proyek pemerintah serta untuk meningkatkan country ownership kiranya dapat dijelaskan bahwa sukuk berbasis proyek atau sukuk proyek dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pertama, sukuk yang diterbitkan dengan menggunakan DIPA proyek sebagai underlying asset atau project underlying; dan kedua, sukuk yang diterbitkan untuk mendanai proyek baru dalam APBN atau project financing. Pemerintah telah mulai menerbitkan sukuk dengan skema underlying project pada tahun 2012. Untuk tahun 2013, Pemerintah telah menerbitkan SBSN berbasis proyek (project financing sukuk) sebesar Rp800 miliar untuk membiayai proyek infrastruktur transportasi, yakni proyek pembangunan jalur ganda (double track) Lintas Cirebon–Kroya.Untuk tahun 2014, jumlah penerbitan SBSN berbasis proyek meningkat menjadi Rp1.571,0 miliar yang digunakan untuk membiayai kelanjutan pembangunan jalur ganda (double track) lintas Cirebon–Kroya sebesar Rp745,0 miliar, pembangunan railway electrification and double-double tracking of Java main line project sebesar Rp626,0 miliar, dan untuk proyek revitalisasi asrama haji sebesar Rp200,0 miliar. Untuk tahun 2015, Pemerintah merencanakan untuk menerbitkan SBSN berbasis proyek sebesar Rp7.459,8 miliar untuk membiayai berbagai proyek pembangunan di
-L.65-
tiga kementerian yaitu Kementerian Pekerjaan Umum Rp3.535,3 miliar, Kementerian Perhubungan Rp2.924,5 miliar, dan Kementerian Agama Rp1.000,0 miliar. Sementara itu, terkait dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai penyelesaiaan obligasi rekap dapat dijelaskan sebagai berikut. Penerbitan obligasi rekap adalah kebijakan yang dilakukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional saat krisis keuangan melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997. Penerbitan obligasi rekap kepada bank rekap dilakukan untuk menyehatkan kondisi permodalan perbankan. Sebagai gantinya, Pemerintah memperoleh aset dari dan kepemilikan (ekuitas) pada bank rekap. Aset dan ekuitas tersebut saat itu dikelola oleh BPPN dan sebagian telah dijual untuk menambah penerimaan APBN. Dasar hukum penerbitan Surat Utang atau Obligasi Negara dalam rangka Program Rekapitulasi Bank Umum adalah Peraturan Pemerintah nomor 84 tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1998 dan berlaku surut sejak tanggal 9 Desember 1998 (PP 84/1998). Dalam pasal 7 PP dimaksud memuat bahwa pembiayaan atas penyertaan modal Negara pada Bank Umum dalam rangka program Rekapitulasi Bank Umum dibebankan kepada APBN. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 8 PP 84/1998 disebutkan bahwa dalam rangka pembiayaan atas penyertaan modal Negara pada Bank Umum, Menteri Keuangan berwenang menerbitkan Surat Utang. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN, dalam ketentuan peralihan Pasal 20 disebutkan bahwa Surat Utang atau Obligasi Negara yang diterbitkan berdasarkan PP No. 84 Tahun 1998 dinyatakan sah dan tetap berlaku sampai dengan saat jatuh tempo. Konsekuensi dari ketentuan dimaksud adalah berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok SUN pada saat jatuh tempo. Dengan demikian, pembayaran bunga dan pokok obligasi rekap tetap dilakukan oleh Pemerintah hingga jatuh tempo agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu obligasi rekap merupakan bagian dari SBN yang dapat diperdagangkan sehingga saat ini telah dimiliki oleh berbagai investor. Oleh karena itu, penyelesaian beban akibat outstanding obligasi rekap yang masih ada perlu memperhatikan dampaknya agar tidak menyebabkan default atas utang Pemerintah. Penyelesaian yang bersifat sepihak dan tidak market friendly akan menimbulkan market disruption dan dapat merusak reputasi Pemerintah di pasar keuangan, terutama kepercayaan investor pada kredibilitas Indonesia. Hal ini dapat berimbas pada sulitnya Pemerintah untuk mengakses kembali pendanaan di pasar keuangan. Oleh karena itu penting bagi Pemerintah untuk menjaga risiko reputasi ini. Adapun
-L.66-
upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan Pemerintah untuk mengurangi Obligasi Rekap tersebut antara lain program penukaran Obligasi (debt switch) maupun pelunasan sebelum jatuh tempo (cash buyback) yang dilakukan sekaligus dalam rangka peningkatan likuiditas SUN. Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang meminta agar Pemerintah menjaga kesinambungan pembiayaan dalam negeri dan mengoptimalkan hasil pengelolaan aset dan investasi serta piutang-piutang negara yang bermasalah agar dapat menjadi penerimaan negara. Pemerintah senantiasa berupaya agar porsi pembiayaan dalam negeri lebih dominan dari waktu ke waktu. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong upaya pencapaian kemandirian bangsa dengan mengoptimalkan potensi dalam negeri, dan dalam rangka meningkatkan pengelolaan makro ekonomi yang sehat dengan memaksimalkan partisipasi investor dalam negeri. Selain itu Pemerintah juga telah berupaya untuk melakukan optimalisasi sumbersumber pembiayaan dalam negeri, antara lain: (1) Hasil Pengelolaan Aset, melalui optimalisasi pengelolaan aset yang ada sesuai dengan kebijakan pengelolaan aset yang berlaku saat ini sekaligus secara simultan mengupayakan berbagai penyelesaian yang ada melalui koordinasi dengan pihak-pihak terkait khususnya Badan Pertanahan Nasional, serta penyusunan ketentuan pengelolaan aset yang baru dalam rangka mengakomodir perkembangan yang ada, (2) Piutang Negara yang berasal dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP)/Subsidiary Loan Agreement (SLA) dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI), melalui penagihan, penyelesaian piutang negara, konversi piutang negara menjadi PMN BUMN, konversi utang menjadi investasi pada Pemerintah Daerah dan PDAM, dan penyerahan pengurusan piutang kepada PUPN, (3) Piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya melalui PUPN, melalui mekanisme penyitaan dan pelelangan atas barang jaminan, penebusan barang jaminan milik penjamin hutang, penjualan barang jaminan milik penanggung hutang di luar lelang, dan pemberian keringanan hutang. Terkait pandangan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat yang tidak menyetujui terhadap penetapan defisit pada setiap penyusunan postur APBN termasuk RAPBN 2015, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara, APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Dalam menyusun RAPBN setiap tahun, Pemerintah selalu berupaya untuk mengoptimalkan pendapatan dan meningkatkan efisiensi di dalam pengeluaran negara, termasuk belanja pegawai. Namun, Pemerintah menyadari bahwa kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
-L.67-
lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara sehingga timbul defisit RAPBN yang tidak bisa dihindari. Serangkaian langkah kebijakan yang dilakukan Pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara antara lain: (1) kebijakan perpajakan melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan, ekstensifikasi, dan intensifikasi perpajakan, serta penggalian potensi penerimaan perpajakan secara sektoral; (2) kebijakan di bidang kepabeanan dilakukan antara lain dengan menggalakkan pemberitahuan dini lewat skema pranotifikasi, mendorong peralihan pengiriman pemberitahuan impor barang, dan dokumen pelengkap pabean impor secara tunggal; (3) kebijakan di bidang cukai lebih diarahkan kepada manajemen risiko dan perbaikan sistem; serta (4) kebijakan di bidang PNBP akan ditempuh melalui optimalisasi penerimaan SDA migas melalui peningkatan produksi migas dan pencapaian target lifting migas. Sementara itu, terkait efisiensi belanja negara, terutama belanja pegawai dapat kami sampaikan bahwa belanja pegawai merupakan jenis belanja mengikat (nondiscretionary spending), yang bersifat strategis guna menunjang kelangsungan kegiatan pemerintahan, dan menjamin kelangsungan pelayanan publik bagi masyarakat. Peningkatan belanja pegawai dari tahun ke tahun, utamanya disebabkan adanya upaya Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui reformasi birokrasi dan tatakelola pemerintahan. Salah satu fokus utama pelaksanaannya adalah melalui peningkatan profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yang penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum, dan transparan. Disamping itu, peningkatan alokasi belanja pegawai juga disebabkan oleh dampak kenaikan belanja pensiun yang setiap tahun semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penerima pensiun. Pemerintah sependapat dengan Anggota Dewan bahwa anggaran belanja pegawai harus optimal dan efisien. Untuk itu, dalam rangka efisiensi anggaran belanja pegawai, Pemerintah sedang melakukan penataan kembali jumlah kebutuhan PNS yang tepat (rightsizing) berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. Untuk itu, sistem seleksi rekrutmen CPNS akan dilakukan dengan menggunakan sistem computer assisted test (CAT) secara terpusat dengan bekerjasama dengan konsorsium perguruan tinggi negeri (PTN) serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan, dengan lebih obyektif, transparan dan bebas, dalam upaya menjaring pegawai yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu, terkait program-program yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi dapat kami sampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja negara (quality of spending) dengan lebih memperhatikan efisiensi, dan ketepatan alokasi, serta memperhitungkan pengaruhnya terhadap perekonomian.
-L.68-