IV. METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri dari kerangka teori, kerangka pemikiran, model analisis deskriptif dari struktur, perilaku dan kinerja (Structure, Conduct and Performance) merupakan gabungan alur berfikir
rezim new-strukturalis
dari Carlton and Perlof, (2001) dan model Martin, (1993), kemudian penulis membuat rekonstruksi model untuk menjelaskan perkembangan pasar minyak sawit dan produk sawit Malaysia, bab ini juga berisi tentang metode penelitian serta deskripsi data.
4.1. Kerangka Teori 4.1.1. Analisis SCP Analisis Struktur sebagai bagian dari komponen analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja (SCP), menekankan pengembangan pasar menurut kerangka pemikiran Bain dan Mason (1959), Koeh (1980), Martin, (1993), Carlton and Perlof (2002). Penelitian ini melakukan modifikasi model dengan menggabung model Carlton and Perlof (2001) dan Martin, (1993) sesuai realita pengembangan industri sawit di Malaysia tahun 1960-2008. Menurut Martin, (1993), kerangka pemikiran teori organisasi industri terus berkembang dengan pandangan bahwa terdapat hubungan kausal yang sederhana dalam model linear yang saling pengaruh mempengaruhi antara struktur, perilaku dan kinerja menurut aliran New-Harvard Tradition. Bagian dari komponen model yaitu struktur dan perilaku, keduanya ditentukan secara spesifik oleh sebagian keadaan dasar yaitu keadaan
102
permintaan dan pengembangan teknologi.
Struktur melalui strategi
(Strategic Behavior) mempengaruhi perilaku, perilaku juga mempengaruhi struktur dan keduanya baik struktur maupun perilaku saling berhubungan untuk menentukan kinerja perusahaan. Dalam kasus industri minyak sawit dan industri produk sawit Malaysia, antara struktur dan perilaku terdapat modifikasi model yaitu gabungan model Carlton and Perlof, (2001), dan model dari Martin, (1993), yaitu adanya peranan pemerintah Malaysia melalui Badan Pengelola Minyak
Sawit
Malaysia
(MPOB)
dan
Kementerian
Komoditi
Perindustrian Perkebunan Malaysia dalam mengatur strategi.
dan Lihat
Gambar 15. Untuk menjelaskan komponen dari modifikasi model Martin, (1993), penulis melakukan improvisasi berpedoman pada penjelasan komponen model Carlton dan Perlof (2000), lihat Gambar 5 bab 3. Menurut pemikiran dan pengalaman bisnis yang ada (Main Stream), mengasumsikan bahwa setiap struktur pasar cenderung mempengaruhi bagaimana perusahaan bertingkah laku dan bagaimana kinerja yang diperoleh perusahaan tersebut. 4.1.2.
Model SCP Penelitian ini membahas secara deskriptif jumlah pembeli dan
jumlah penjual minyak kelapa sawit dan produk industri sawit Malaysia, tingkat konsentrasi penjualan minyak sawit empat perusahaan terbesar (CR4), hambatan masuk pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, diferensiasi produk, diversivikasi pasar, peranan pemerintah dalam
103
menuntun dan menetapkan struktur pasar (structure) industri kelapa sawit Malaysia. Selain itu juga membahas upaya pemerintah dan perusahaan swasta baik nyata maupun tidak nyata melakukan promosi, riset dan pengembangan, penetapan harga, pilihan produk, kolusi, merjer dan sistem kontrak dari sisi perilaku (conduct). Bahasan berikutnya adalah kinerja yang diukur dengan areal kebun, produksi, kinerja ekspor, cadangan, perkembangan impor, nilai ekspor,
harga produk, rendemen efisiensi alokasi, kualitas produk
periode 2006-2008 (performance). Penelitian deskriptif ini memakai kerangka alur berfikir menurut Gambar 6. bagan SCP modifikasi Martin, (2003). 4.1.2.1.
Deskriptif Struktur
Secara sederhana, untuk mendeskripsikan struktur pasar (structure) digunakan dua ukuran yaitu; pertama, dengan konsentrasi industri CR4, dikatakan tinggi jika nilai konsentrasi penjualan dari empat perusahaan terbesar melebihi 70 persen dari total penjualan atau menggunakan jumlah kuadratik dari prosentase penjualan empat atau delapan besar perusahaan (market share) dalam industri untuk menggambarkan struktur perusahaan (structure), jika tidak memungkinkan digunakan nilai Indeks HerfindahlHirsschman (HHI). Indeks Herfindahl-Hirsschman (HHI), model ini diturunkan dari teori Cournot tentang pasar oligopoli yang terdiri dari n perusahaan yang identik menghasilkan produk yang homogen (homogeneous product).
Masing-
104
masing perusahaan memilih sejumlah output untuk memaksimumkan keuntungannya dengan rumus,
πi dimana
m
= p(Q)q i - mq i
adalah marginal tetap atau biaya rata-rata variabel dari
masing-masing perusahaan, dan p adalah harga, sedangkan fungsi total output adalah,
Q = nq i . Diasumsikan perusahaan memakai model
Cournot, menurut syarat kondisi pertama (first order condition) optimalisasi yaitu, turunan pertama q i sama dengan nol, dimana pendapatan marginal (MR) sama dengan biaya marginal (MC) :
MR = p + q i p' = m = MC ……………………………. 1) Dimana p' adalah turunan dari harga p dengan Q, jika disusun kembali persamaan 1) dapat ditulis manjadi : L = p - m = - p'Q P p
qi = - si Q ∈
Dimana L disebut juga dengan Indeks Lerner,
= - 1 ……………… 2) n∈ s i = q i /Q = 1/n adalah
bahagian output perusahaan i dan 1/∈ = (p'Q)/p adalah kebalikan dari elastisitas permintaan.
Karena semua perusahaan identik, maka
persamaan 2) berlaku bagi semua perusahaan dalam industri. Sesuai studi Cowling dan Waterson, (1976), menunjukkan,
rata-rata harga
dikurang biaya marginal (price-cost margin) didapat nilai tertimbang,
∑ Si p - m = - ∑ si2 I i p ∈
= - HHI ……………………… 3)
∈
105
HHI adalah indeks Herfindahl-Hirschman. Dimana HHI dibagi dengan nilai absolut elastisitas permintaan pasar sama dengan rata-rata tertimbang dari harga dikurang biaya marginal (price-cost marginal) perusahaan.
Atau
dapat juga ditulis dengan pendekatan penerimaan (revenues) : R = p (Q; Z)Q, penerimaan marginal (MR) dapat didefinisikan : MR (8) = p + 8 p Q Q, …………………………… 4) Dimana 8 adalah parameter yang diestimasi dan dapat digunakan untuk mengukur kekuatan pasar (market power) dan
PQ = ∗p/∗Q.
Jika
industrinya monopoli, 8 = 1 dan MR (1) efektif diukur dengan : p + p Q Q, jika perusahaan bertindak sebagai penerima harga (price takers), 8 = 0 dan MR (0) sama dengan harga. Jika perusahaan bersifat oligopolistik atau persaingan monopolistik maka nilai 8 berada antara 0
dan 1.
Untuk
mencapai kondisi optimal maka MR (8) = MC. Hasilnya adalah, 8 diukur dari perbedaan antara harga dan biaya marginal. Maka didapat suatu nilai menurut teori ekonomi mikro disebut dengan indeks Lerner yaitu : L = p - MC = - 8 P Q Q = - 8 , …………………… P p ∈
5)
Dimana ∈ adalah elastisitas permintaan pasar. Pendekatan ini persis sama dengan pembagian pada persamaan 3) yang tergantung pada jumlah perusahaan,
pembagian pangsa pasar (market share), yaitu, indeks
Herfindahl-Hirschman (HHI).
106
4.1.2.2. Deskriptif Perilaku Pasar (Conduct) Analisis deskripsi perilaku pasar (conduct), dijelaskan sesuai teori perilaku pelaku pasar dan adanya kemungkinan pemerintah dan perusahaan
swasta
Malaysia
melakukan
promosi,
pengembangan, pilihan produk, diskriminasi harga,
riset
dan
potongan harga,
jaminan kualitas, taktik legal, kolusi, merger dan sistem kontrak, strategis menghadapi pesaing seperti; strategi kerja sama (cooperative strategy), strategi tidak bekerjsama (non-cooperative strategy), integrasi vertikal, dan restriksi vertikal pada industri minyak sawit dan produk industri kelapa sawit Malaysia dan sebagainya. 4.1.2.3. Deskriptif Kinerja (Performance) Untuk mengukur kinerja pasar baik secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan keuntungan perusahaan atau hubungan antara harga dengan biaya biasanya digunakan : pertama, tingkat pengembalian modal (rate of return-ROR), yaitu keuntungan per mata uang yang diinvestasikkan.
Kedua,
harga dikurangi biaya marginal atau harga
dikurangi biaya rata-rata. 1).
Analisis Pengembalian Modal (Return of Invesment- ROI) Tingkat pengembalian modal (Return of Invesment-ROI),
adalah
ukuran seberapa banyak perolehan uang dari invetasi yang ditanamkan. Untuk mengukur (Return of Invesment-ROI) dengan tepat adalah pekerjaan sulit, untuk itu perlu adanya kesepakatan-kesepakatan.
107
Hubungan
antara
ROI
dan
keuntungan
ekonomi,
dimana
keuntungan ekonomi adalah hasil pengurangan penerimaan dengan biaya oportunitas (opportunity cost) dan bukan biaya menurut akunting. Perbedaan yang jelas antara keuntungan ekonomi dengan keuntungan akunting adalah, keuntungan ekonomi sama dengan penerimaan dikurang biaya tenaga kerja dan biaya material sedangkan keuntungan akunting adalah
pemerimaan
dikurang
biaya
sesuai
kaedah
akuntansi.
Keuntungan ekonomi dapat ditulis sebagai,
πI = dimana
πI
R - biaya tenaga kerja - biaya material - biaya modal
adalah keuntungan ekonomi, R adalah penerimaan dikurang
biaya tenaga kerja, biaya bahan baku (matrial) dan biaya modal sebagai biaya rental modal menurut waktu dari jumlah modal yang dipakai. Nilai modal dapat dirumuskan sebagai p k K, dimana p k adalah harga rental modal dan K adalah jumlah modal yang dipakai. Jika sewa modal adalah (r + ∗), kemudian keuntungan dapat ditulis,
πI =
R - biaya tenaga kerja - biaya material - (r + ∗) p k K ….. 6)
Pada pasar persaingan, maka keuntungan ekonomi sama dengan nol,
πI = 0
diperoleh nilai ROR sebagai, r dari persamaan 6), r = R - biaya tenaga kerja - biaya material - ∗ p k K pk K
dengan demikian tingkat pengembalian modal (rate of return-ROR), adalah pendapatan bersih dibagi nilai aset,
atau pendapatan bersih adalah
108
penerimaan dikurang dengan biaya tenaga kerja, dikurang biaya material, dikurang dengan penyusutan. Dalam melakukan analisa organisasi industri terdapat empat cara untuk mengamati hubungan atau keterkaitan antara struktur, perilaku dan kinerja. Keempat cara tersebut terdiri dari Hasibuan,(1993); pertama, hanya memperhatikan hubungan antara struktur dengan kinerja tanpa terlalu memperhatikan perilaku, kedua, menelaah kaitan antara struktur dengan perilaku, kemudian mengamati kinerja industri. Ketiga, menelaah hubungan antara kinerja dan perilaku, kemudian mengaitkannya dengan struktur. Keempat, tidak mengamati kinerja sama sekali karena dianggap sudah terjawab dari menelaah hubungan antara perilaku dan struktur. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan studi literatur, analisa deskriptif dan menggunakan model ekonometrika. Berdasarkan kerangka pikir SCP, maka model yang digunakan adalah model yang menggambarkan hubungan antara kinerja suatu industri dengan struktur industri itu sendiri dan membahas tentang strategi secara lebih luas. Orang yang pertama kali mengadakan penelitian tentang hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja dalam bentuk empiris adalah Joe. S. Bain (1956). Bain membuktikan hal tersebut dengan menggunakan limit price model. Hipotesis yang dibuat Bain adalah : 1. Konsentrasi menimbulkan kolusi 2. Kolusi akan menciptakan keuntungan jika hambatan masuk tinggi 3. Efek ini akan terasa pada perusahaan-perusahaan besar
109
Model ekonometrika yang digunakan untuk menguji hipotesa dalam disertasi ini adalah model yang pernah digunakan oleh domowitz,(1986), hubbard dan peterson, (1986), yang merupakan pengembangan dari apa yang telah disampaikan oleh Joe. S. Bain, (1956), dalam karyanya yang berjudul “Barriers to New Entry”. Modelnya adalah sebagai berikut : PCM = α + β 1 CR4+β 2 K + β 3 GD S Di mana : PCM
= Price-Cost Margin
CR4
= Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar
K/S
= Capital-Sales Ratio
GD
= Geographic Dispersion (penyebaran geografi)
Kemudian Domowitz, (1986), mengembangkan model ini dengan menambahkan variabel advertising-sales ratio (A/S) untuk menggantikan variabel penyebaran geografi dan rasio capital-output (K/Q) sebagai variabel penyesuaian untuk rasio kapital penjualan. Sehingga persamaan di atas menjadi : PCM = α + β 1 CR4 it +β 2 (K/Q) it + β 3 (A/S) it + ε it Di mana : PCM = Price-Cost Margin CR4 = Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar K/Q
= Capital-Output Ratio
110
A/S
= Advertising-Sales Ratio
i
= Industri
t
= Periode Waktu
4.2.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan
model
diatas,
dalam
disertasi
ini
dilakukan
penyesuaian model guna mempermudah analisis yang dilakukan dan menyesuaikan dengan data yang dimiliki. Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan menggantikan variabel rasio capital-output (K/Q) dengan MES atau Minimum Economic of Scale. Hal ini dilakukan karena rasio capital output digunakan sebagai variabel indikator hambatan masuk. Sedangkan, menurut teori ekonomi industri, indikator hambatan masuk industri dapat diukur dengan menggunakan variabel
MES. Setelah itu,
penulis juga menambahkan harga CPO internasional PCPOINT, harga minyak RBD dan diferensiasi CPODIFF sebagai variabel tambahan untuk analisa makro dengan variabel pertumbuhan permintaan CPO yang digunakan sebagai penyesuaian data dan model pada korelasi berikutnya. Selain itu, KURS, sehingga setelah penyesuaian tersebut model yang digunakan dalam penulisan ini menjadi :
PCM = α + β 1 CR4 it +β 2 (MES) it + β 3 (PCPOINT) it + β 4 (PRBDD) it + β 5 (CPODIFF) + β 6 (DGROW) + β 7 (KURS) + ε it
Di mana : PCM
= Price-Cost Margin
111
CR4
= Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar
MES
= Minimum Effieciency of Scale
PCPOINT = Harga CPO Internasional PRBDD
= Harga Minyak RBD Domestik
CPODIFF = Diferensiasi Produk CPO KURS
= Nilai tukar Dolar Amerika terhadap Ringgit Malaysia
ε
= Error
i
= Industri atau perusahaan (i = 1,2,...,N)
t
= Periode Waktu (t = 1,2,...,T)
Berdasarkan hipotesis yang dibuat penulis sebelumnya maka nilai koefisien β 1 sampai β 7 dihipotesakan lebih besar dari nol. Metode yang digunakan dalam pengujian model ini adalah dengan mencari koefisien korelasi antar variabel untuk melihat interaksinya. Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu kerangka analisa yang dipakai dalam melakukan analisa organisasi industri. Paradigma tersebut digunakan untuk menjelaskan hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja suatu industri dalam pasar. Ada beberapa pandangan mengenai metodologi SCP, salah satunya adalah pandangan tradisional yang juga disebut dengan pandangan strukturalis. Pandangan ini menyatakan bahwa suatu struktur pasar dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu tingkat konsentrasi dan faktor eksternal yaitu tingkat hambatan masuk (Entry Barriers). Selain itu, struktur juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya seperti, tingkat permintaan dan
kebijakan
pemerintah.
Struktur
tersebut
kemudian
akan
112
mempengaruhi
perilaku
yang
terbentuk
yang
kemudian
akan
mempengaruhi kinerja industri tersebut. 4.2.1. Analisis Deskriptif dari Struktur, Perilaku dan Kinerja 4.2.1.1. Struktur Struktur sering diartikan sebagai bentuk atau susunan komponen pada suatu bentuk. Dalam konteks ekonomi, struktur merupakan sifat permintaan dan penawaran barang dan jasa yang dipengaruhi oleh jenis barang yang dihasilkan, jumlah dan ukuran distribusi penjual (perusahaan), jumlah pembeli dan penjual, regulasi, tingkat hambatan masuk, diferensiasi produk, dan sebagainya dalam suatu industri (Scherer, 1980). Struktur juga dapat menggambarkan tingkat kekuatan pasar melalui tingkat
konsentrasinya.
Semakin
tinggi
tingkat
konsentrasinya
menandakan struktur pasar yang mendekati monopoli. Seperti yang telah dijelaskan dalam teori ekonomi, struktur pasar monopoli memiliki kekuatan pasar yang tinggi. Oleh sebab itu, tingkat konsentrasi yang tinggi menggambarkan semakin tingginya kekuatan pasar. Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan kinerja di dalam pasar (Koch, 2000). Struktur pasar merupakan bahasan penting untuk mengetahui perilaku dan kinerja suatu industri. Struktur pasar merupakan atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Elemen struktur pasar adalah pangsa pasar (market share), konsentrasi (concentration) dan hambatan masuk (barriers to entry).
113
Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi hambatan masuk dalam suatu industri. 4.2.1.2. Konsentrasi Konsentrasi merupakan jumlah dan ukuran distribusi perusahaan. Kecil dan besarnya perusahaan mempengaruhi peningkatan konsentrasi penjual. Terdapat dua alasan pembenaran yang sering digunakan dalam menjelaskan hubungan positif antara konsentrasi penjual dan kekuatan pasar, (Church dan Ware, 2000), yaitu : 1.
Meningkatnya derajat konsentrasi akan meningkatkan kemampuan penjual untuk mengatasi persaingan dan mengkoordinasikan perilaku harga.
2.
Teori oligopoli pun mengatakan adanya hubungan positif antara kekuatan pasar dan konsentrasi penjual. Joe S. Bain, (1956), mengemukakan tiga hipotesanya mengenai
hubungan tingkat konsentrasi terhadap profit, yaitu : 1.
Konsentrasi menimbulkan kolusi
2.
Kolusi akan menciptakan profit jika hambatan masuk tinggi
3.
Efek ini terjadi pada perusahaan-perusahaan besar Tingkat konsentrasi dapat dihitung dengan berbagai cara, dua
diantaranya adalah dengan rasio konsentrasi atau consentration ratio (CR) dan Herfindhal-Hirschman Index (HHI). 4.2.1.3. Rasio Konsentrasi
114
Rasio konsentrasi merupakan cara yang umum dalam menjelaskan struktur industri Utton, (1970). Rasio konsentrasi merupakan jumlah pangsa
pasar
dari
perusahaan
m
terbesar.
Contohnya,
CR 4
menggambarkan rasio konsentrasi dari empat perusahaan terbesar. Semakin
tinggi
tingkat
konsentrasi,
maka
struktur
akan
semakin
terkonsentrasi atau dengan kata lain semakin mengarah ke monopoli. Adapun mekanisme perhitungannya adalah sebagai berikut. m
CR m =
Σ
Si
i
Di mana : CR m = Rasio konsentrasi m perusahaan terbesar Si
= Pangsa pasar perusahaan i
Dari perhitungan di atas, dapat kita ketahui bahwa perhitungan rasio konsentrasi adalah dengan menggabungkan pangsa pasar sejumlah perusahaan yang terdapat dalam suatu industri. Adapun perhitungan pangsa pasar suatu perusahaan dapat dilakukan dengan cara berikut : m
Si =
Σ i=
Xi Xi
Di mana : Si
= Pangsa pasar
m
= Jumlah pemain dalam pasar
Xi
= Output atau value added aset perusahaan i
115
Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa dalam menghitung pangsa pasar dapat dilakukan dengan cara membagi jumlah output yang dihasilkan perusahaan i dengan jumlah output yang dihasilkan dalam suatu industri dimana perusahaan itu bergerak. Namun, dalam perhitungan dengan metode CR ini, memiliki beberapa kelemahan, seperti : 1. CR mengabaikan tingkat peran perdagangan internasional (EksporImpor) dalam kaitan dengan persaingan. Padahal barang impor merupakan saingan yang cukup kuat untuk produk domestik. 2. CR tidak memberikan informasi mengenai masuknya pesaing ke dalam industri 3. CR dihitung berdasarkan konsentrasi nasional dengan mengabaikan konsentrasi regional dan internasional. 4. CR tidak menjelaskan distribusi perusahaan secara menyeluruh 5. CR tidak memberikan informasi tentang perubahan posisi dan rangking perusahaan yang ada dalam industri, mengabaikan tingkat persaingan diantara perusahaan-perusahaan di pasar tersebut. Namun, banyak pengamat ekonomi dalam studi organisasi industri sepakat bahwa rasio konsentrasi merupakan indeks dari struktur pasar. Sering dihipotesakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar pula kemungkinan adanya kekuatan pasar di dalam industri tersebut. Kondisi ini juga menunjukkan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kolusi. 4.2.1.4. Herfindhal-Hirschman Index
116
Selain dengan CR, tingkat konsentrasi juga dapat dihitung dengan menggunakan HHI. Berbeda dengan CR, dalam HHI semua perusahaan dimasukkan dalam perhitungan tingkat konsentrasi suatu industri. Dengan kata lain, Herfindhal-Hirschman Index (HHI) merupakan penjumlahan kuadrat sederhana dari pangsa pasar untuk semua perusahaan dalam suatu industri. Adapun mekanisme perhitungannya adalah : HHI = Σ S i 2 Di mana : m
= Jumlah seluruh perusahaan dalam suatu industri
Si
= Pangsa pasar HHI bernilai antara 0 sampai 1. Semakin mendekati satu, maka
struktur industri akan semakin terkonsentrasi. 4.2.1.5.
Hambatan Masuk
Hambatan masuk merupakan kondisi di mana terdapat halanganhalangan untuk masuk dan atau untuk keluar suatu industri. Jika tidak terdapat halangan untuk masuk atau keluar, maka akan sulit bagi perusahaan yang sudah berdiri untuk mempertahankan harga di atas biaya marginal dan mendapatkan keuntungan, (Church dan Ware, 2000). Terdapat dua bentuk hambatan masuk, yaitu Economic Entry Barrier atau natural dan Non-Economic Entry Barrier atau artifisial. Maksud dari natural adalah hambatan masuk yang dapat dijelaskan dengan teori ekonomi, sedangkan artifisial adalah hambatan yang tidak dapat dijelaskan
117
dengan teori ekonomi, namun dengan teori lain seperti teori politik, sosial budaya, dan lain-lain di luar teori ekonomi. Economic Entry Barriers dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Economic of Scale, Absolute Cost Advantage/Capital Requirement, dan Differentiated Product. Sedangkan Non-Economic Entry Barrier terdiri dari peraturan pemerintah dalam proses pembangunan, hak paten, dan lisensi.
4.2.1.5. Skala Ekonomi Skala ekonomi (Economics Of Scale) merupakan keadaan dimana perusahaan dapat menghasilkan jumlah output yang banyak dengan biaya yang lebih murah. Dengan kata lain, jika suatu perusahaan menambah jumlah produksi, maka biaya akan menurun, sehingga biaya produksi per unit akan lebih murah. Jika yang berlaku sebaliknya, dimana jika Average Cost (AC) lebih kecil dari
Marginal Cost (MC)
maka kondisi tersebut
dikatakan sebagai diseconomies of scale. Sedangkan, jika biaya rata-rata sama dengan biaya marginal maka kondisi tersebut dikatakan constant return to scale atau mencapai MES (Minimum Efficiency of Scale). Dapat dikatakan jika MES semakin besar, maka hambatan masuk industri juga akan menjadi besar karena entry cost yang tinggi bagi pemain baru. Bila suatu perusahaan memiliki skala ekonomis, biaya rata-rata akan
turun
ketika
output
meningkat.
Secara
sederhana
dapat
digambarkan dalam bentuk matematis, dengan mengasumsikan C sebagai Constant Marginal Cost, dan F sebagai Biaya Tetap. Maka persamaan yang diperoleh adalah sebagai berikut :
118
C (q) = F + Cq Di mana biaya rata-rata adalah : AC(q) = C + F q Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa AC (Average Cost) menurun seiring peningkatan output. Memproduksi dengan skala besar akan mengakibatkan biaya tetap yang besar akan menekan AC dan membuat AC mendekati MC. Jika F kecil maka penurunan AC seiring peningkatan output tidak begitu besar. Namun, jika F besar, AC akan menurun lebih cepat seiring peningkatan output. Oleh karena itu, skala ekonomis akan lebih berperan jika biaya tetap yang besar. Dalam teori ekonomi mikro, skala ekonomis bila dilihat dengan FC (Functional Coefficient), yaitu :
FC = AC = 1 + F MC Cq
Jika FC lebih besar dari satu, maka AC akan lebih besar daripada MC, dan ini dikatakan sebagai skala ekonomis. Sebaliknya, jika FC lebih kecil dari satu, mengakibatkan AC naik seiring peningkatan output, maka dapat disebut sebagai skala non-ekonomis. Sedangkan, jika FC sama dengan satu, menandakan bahwa AC sama dengan MC, dan ini dikatakan sebagai skala konstan, di mana AC berada di titik terendah. Para ekonom sering menyebutkan kondisi tersebut sebagai MES (Minimum Efficiency of
119
Scale). Economies of Scale dapat juga ditunjukkan melalui kurva biaya (AC) dalam jangka panjang seperti Gambar 9. Kurva ini dapat memberikan penjelasan adanya hambatan masuk dalam pasar. Bandingkan antara pendatang baru (Entranct) dengan pemain lama (Incumbant). Pemain lama lebih memiliki keuntungan dibandingkan dengan pemain baru. Hal tersebut terjadi karena pemain lama sudah terlebih dahulu berada di pasar. Ini menandakan mereka lebih memiliki banyak pengalaman dalam melakukan produksi. Cost
Q1 Q2
LAC
AC1 AC2
Min AC Quantity MES
Gambar 9. Kurva Skala Ekonomi Dalam gambar di atas, Incumbant dapat diilustrasikan dengan AC 2 . Dengan mengasumsikan bahwa AC berbuhungan dengan harga, maka perubahan AC tercermin pada perubahan harga. Jika AC menurun, maka harga juga akan turun. Bagi pemain baru, mereka akan berfikir untuk memasuki pasar ini. Jika mereka ingin bersaing dengan pemain lama, maka pemain baru harus berusaha untuk memproduksi barangnya pada level Q 2 . Sedangkan, pemain lama untuk memasuki level produksi ini
120
butuh melewati suatu proses pembelajaran, seperti melewati Q 1 terlebih dahulu. Untuk pemain baru, mereka baru dapat memproduksi pada level AC 1 , sehingga harga yang ditawarkan mereka akhirnya menjadi mahal dengan tingkat produksi yang lebih sedikit. Hal ini dapat mendatangkan kerugian bagi pemain baru. Akhirnya, pemain baru akan cenderung tidak memasuki pasar. Hal inilah yang dinamakan hambatan masuk. 4.2.1.6. Diferensiasi Produk Pada model kompetisi yang sederhana, produk yang dijual oleh para produsen merupakan barang yang terstandardisasi. Namun, dalam kehidupan nyata, produk tidak hanya itu-itu saja melainkan akan mengalami
perkembangan
sehingga
produk
tersebut
menjadi
terdiferensiasi. Semakin terdiferensiasi produk dalam suatu perusahaan, akan semakin tinggi kekuatan yang dimiliki perusahaan tersebut dalam mengontrol harga. Oleh sebab itu varian yang banyak dapat juga menghambat masuknya pesaing baru. Penyebab munculnya varian ini adalah brand image yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau suatu pemain preferensi konsumen yang berbeda-beda sehingga barang yang diminta bukan merupakan barang homogen. Semakin banyak varian yang dapat diciptakan, semakin besar peluang bagi perusahaan tersebut untuk memenuhi preferensi konsumen. Akibatnya, perusahaan tersebut dapat menguasai pangsa pasar dan membuat pesaing baru yang masuk sulit untuk menyaingi perusahaan yang sudah ada terlebih dahulu dalam pasar.
121
Penyebab pesaing baru mengalami hambatan untuk memasuki pasar adalah faktor biaya dan faktor publikasi kepada masyarakat. Semakin banyak varian yang diciptakan maka semakin besar pula biaya yang dibutuhkan dalam penyediaan varian tersebut. Selain itu, sebelum varian tersebut dikonsumsi oleh konsumen, produsen perlu melakukan publikasi terhadap varian tersebut kepada masyarakat. Pada umumnya publikasi yang sering dilakukan adalah melalui Advertising. Advertising ini merupakan Sunk Cost, yaitu biaya yang telah dikeluarkan tidak dapat di ditarik atau recovered lagi. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat diferensiasi maka semakin tinggi hambatan masuknya.
4.2.1.7. Capital Requirement atau Absolute Cos Advantage Jika pemain lama memiliki keunggulan biaya secara absolut, maka mustahil bagi pemain baru berkompetisi harga dengan menawarkan harga kompetitif. Satu hal yang penting dalam keunggulan biaya absolut adalah diperlukannya sunk capital investment, yaitu modal investasi pra-operasi perusahaan yang sangat besar. Semakin tinggi modal yang dikeluarkan untuk memasuki pasar, maka akan semakin enggan pesaing baru memasuki pasar.
4.2.2. Perilaku Paradigma SCP tradisional menyatakan bahwa struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi. Pandangan ini meyakini bahwa tingkat
122
konsentrasi yang tinggi akan mendorong perusahaan melakukan kolusi yang pada gilirannya akan menunjukkan kinerja yang dicapai. Menurut paradigma ini, perusahaan-perusahaan yang melakukan kartel akan menjadikan perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut memiliki keuntungan yang di atas normal. Dengan kata lain, paradigma ini meyakini bahwa pasar akan berfungsi dengan baik jika terjadi persaingan didalamnya. Sebaliknya, kinerja akan menjadi buruk jika dalam pasar perusahaan-perusahaan melakukan kolusi. Perilaku dapat diartikan sebagai pola tanggapan dan penyesuaian berbagai perusahaan yang terdapat dalam suatu industri untuk mencapai tujuannya dan menghadapi persaingan. Perilaku dapat terlihat dalam bagaimana
perusahaan
menentukan
harga
jual,
promosi
produk,
koordinasi kegiatan dalam pasar (berkolusi, kartel dan merger) dan penelitian dan pengembangan (R&D). Menurut Hasibuan, (1993), perilaku didefinisikan sebagai pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Industri yang satu dengan industri yang lain memiliki perbedaan perilaku, salah satu penyebabnya adalah struktur yang dimiliki oleh industri tersebut. Perilaku terlihat menarik untuk dibahas jika suatu perusahaan berada pada suatu industri yang terdapat dalam struktur pasar yang tidak sempurna. Struktur pasar yang sempurna menyebabkan perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga pasar. 4.2.2.1. Perilaku Harga
123
Perilaku harga dapat diukur dengan menggunakan indeks lerner sebagai berikut. L = P – MC P Di mana : P
= Harga
MC = Biaya marginal
4.2.2.2.
Persaingan dan Kolusi
Menurut pandangan strukturalis, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi. Pandangan ini juga meyakini bahwa tingkat konsentrasi yang tinggi memungkinkan adanya praktek kolusi yang pada akhirnya akan menunjukkan kinerja yang dihasilkan akibat perilaku ini. Menurut paradigma ini,
pasar akan berfungsi dengan baik,
jika didalamnya
terdapat persaingan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kolusi dapat membuat kinerja suatu perusahaan menjadi buruk. Terkadang, tanpa dorongan untuk bersaing, membuat kualitas pelayanan menjadi buruk. Harga dan tingkat kualitas tidak terlalu diperhatikan, yang menjadi perhatian adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Sebagai akibatnya, dengan harga yang tinggi mengakibatkan industri tersebut mendapatkan keuntungan diatas normal. Perilaku perusahaan dalam perusahaan pasar dapat terlihat melalui sikap kooperatif dan non-kooperatif. Perusahaan yang bersikap nonkooperatif akan bertindak atas diri sendiri tanpa melakukan perjanjian
124
secara eksplisit atau implisit terhadap perusahaan lain. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya perang harga. Sedangkan perusahaan yang bersikap kooperatif lebih memilih untuk meminimalkan persaingan melalui perjanjian yang disepakati bersama atau lebih dikenal dengan istilah kolusi. Istilah ini menunjukkan suatu situasi dimana perusahaan atau lebih bekerja sama menentukan harga atau output, membagi pasar di antara mereka, atau membuat bisnis lain secara bersama-sama. Sesungguhnya oligopolis yang berkolusi dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan bersamanya dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, mereka akan menghasilkan output dan tingkat harga yang cenderung bersifat monopoli. Begitu juga dengan tingkat keuntungan yang dirasakan, juga mengarah kepada keuntungan monopoli. Meskipun banyak oligopolis yang gembira karena mendapatkan keuntungan yang besar, dalam kenyataannya akan menghadapi rintanganrintangan yang menghalangi kolusi yang efektif. Rintangan pertama adalah kolusi merupakan hal yang ilegal. Kedua, kemungkinan terjadinya kecurangan di antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kolusi. Di saat perusahaan menemukan peluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka semakin tinggi hasrat mereka untuk melanggar perjanjian yang telah disepakati. Salah satu bentuk kecurangan yang sering terjadi adalah dengan memproduksi jumlah output di luar kuota yang terdapat dalam kesepakatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keuntungan yang lebih besar merupakan insentif utama bagi perusahaan yang berada dalam
125
pasar oligopoli untuk melakukan kolusi dan menghindari persaingan. Mereka akan berkolusi jika mereka berada pada kondisi yang lebih baik dibandingkan jika mereka menentukan harga sendiri-sendiri. Terlebih lagi jika mereka menganggap bahwa ketergantungan mereka terhadap pesaing merupakan hambatan mereka untuk menentukan harga sendiri. Pada sisi lain, ada perusahaan yang menganggap faktor saling ketergantungan ini dapat dijadikan senjata untuk melakukan kompetisi dan membuat pesaingnya keluar dari pasar. Istilah kolusi menunjukkan suatu keadaan di mana dua atau lebih perusahaan bersama-sama menentukan harga atau output mereka atau membentuk suatu kesepakatan dalam melakukan tindak bisnis mereka yang pada akhirnya akan memunculkan kartel dalam perekonomian.
4.2.2.3. Faktor-Faktor Terbentuknya Kolusi Selain ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar, faktor pemicu adanya kolusi adalah: 1). Konsentrasi dan jumlah perusahaan Semakin tinggi tingkat konsentrasi, semakin tinggi kekuatan pasar yang dimiliki suatu perusahaan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolusi di antara mereka. Semakin sedikit pemimpin perusahaan maka akan semakin kuat kendali yang dapat dilakukan terhadap strategi yang
diterapkan
oleh
perusahaan-perusahaan
yang
melakukan
kesekapatan tersebut. Oleh karena itu, kolusi akan lebih stabil dan akhirnya akan menuju ke monopoli.
126
2).
Persaingan non-harga Persaingan non-harga merupakan substitusi dari persaingan harga
yang dapat digunakan untuk merebut pangsa pasar pesaing. Namun butuh biaya yang tidak sedikit untuk melakukannya, sehingga jika dilakukan dengan kolusi dan kerjasama akan lebih baik. 3).
Pengalaman Pengalaman (Long industry experience,) Industri-industri yang
sudah berada lama dalam pasar pada umunya sudah saling mengenal karakteristik masing-masing dan mengalami situasi secara bersama-sama. Oleh karena itu menjadi lebih mudah dan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kolusi.
4.2.2.4. Bentuk-Bentuk Kolusi Kartel merupakan persetujuan penggabungan usaha secara terbuka dan formal. Persoalan yang diangkat dari kartel ini adalah bagaimana perusahaan-perusahaan yang bergabung itu bersama-sama menentukan tingkat harga yang berlaku dan jumlah produksi yang akan dihasilkan untuk mencapai laba maksimum. Terdapat dua wujud kerjasama, yaitu penentuan tingkat harga dan pembagian pangsa pasar. Sehingga, terdapat dua kemungkinan yang dapat ditempuh, pertama adalah membiarkan tiap perusahaan berproduksi sesuai kemampuan dan menjualnya ke pasar pada tingkat harga yang telah disepakati bersama. Kedua, menentukan kuota masing-masing perusahaan dalam bentuk jumlah output atau dapat pula dalam bentuk pembatasan daerah penjualan.
127
Kartel adalah bentuk konsentrasi usaha yang berdasarkan atas perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud akan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang dan jasa. Dengan sifatnya seperti itu di Indonesia, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 kartel termasuk ke dalam monopoli dan dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
4.2.2.5. Kerjasama Tersembunyi Kerjasama tersembunyi (Tacit Collusion) merupakan persetujuan penetapan harga yang dilakukan secara diam-diam. Dalam Tacit Collusion terdapat kesepakatan antara perusahaan untuk melakukan kolusi. Namun dalam bentuk yang tidak tampak atau tidak berkolusi langsung atau tidak menandatangani persetujuan. Contohnya adalah adanya price leadership dimana ada satu leading firm yang merupakan price leader. Melalui media massa membuat pengumuman atau artikel yang mengindikasikan bahwa perlu diadakan kenaikan harga sehingga pelaku usaha lain tahu kalau mereka harus meningkatkan harga. Tindakan pemimpin harga ini dikatakan sebagai price signaling yang biasa diikuti oleh pemain follower untuk menghindari terjadinya perang harga yang dapat merugikan mereka. Syarat stabilnya price leadership di dalam pasar adalah : 1. Tingkat konsentrasi yang tinggi dan tingkat pangsa pasar yang hampir sama
128
2. Hambatan masuk yang tinggi sehingga kemampuan perusahaanperusahaan pemimpin dalam menentukan harga 3. Jenis barang tidak harus homogen, namun terdiferensiasi dengan subsitusi yang dekat. Hal ini untuk menjamin bahwa di antara mereka harus terjadi interdependence yang kuat. 4. Kurva permintaan harus inelastis. Hal ini untuk menjamin bahwa restriksi jumlah output yang dilakukan mendatangkan keuntungan 5. Kondisi biaya masing-masing perusahaan setidaknya harus sama sehingga ketika
terjadi penetapan harga,
keuntungan yang
diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut akan sama pula. 4.2.2.6.
Asosiasi Perdagangan
Asosiasi perdagangan dikategorikan sebagai bentuk kolusi karena dalam asosiasi perdagangan biasanya perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam asosiasi tersebut bersama-sama menentukan jumlah produksi dan distribusi yang dapat memaksimalkan keuntungan mereka, baik secara individu maupun kelompok.
4.2.3.
Kinerja Kinerja merupakan hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan
perilaku industri di mana hasilnya pada umumnya terlibat melalui tingkat keuntungan atau besarnya penguasaan pasar, dan efisiensi.
4.2.3.1.
Keuntungan
129
Keuntungan (Profitability), dengan persaingan perusahaan hanya diperbolehkan untuk mendapatkan tingkat pengembalian di atas normal. Keuntungan
monopoli
adalah
keuntungan
yang
terdapat
di
atas
keuntungan normal, sehingga mendorong perusahaan untuk meningkatkan kekuatan pasar. Semakin dekat harga dengan biaya marginal, maka akan semakin baik kinerja suatu perusahaan.
4.2.3.2. Efisiensi Efisiensi
secara
statis
maupun
secara
dinamis
dapat
menggambarkan kinerja dari suatu pasar. Efisiensi statis dapat diartikan sebagai tingkat di mana suatu perusahaan dapat menghasilkan tingkat output dengan biaya minimum. Sedangkan secara dinamis, efisiensi dapat dilihat dari tingkat technical progress.
4.2.3.3. Perhitungan kinerja Dalam menghitung kinerja dapat dilakukan dengan berbagai cara. Menurut
studi
mengenai
SCP,
kinerja
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan salah satu dari empat variabel perhitungan seperti di bawah ini (Church dan Ware, 2000). 1. Economic profit atau rates of return of investment Laba ekonomis mengandung arti selisih antara pendapatan dan opportunity cost dari semua input. Dalam jangka panjang, laba ekonomis adalah indikator kekuatan pasar. Pada pasar persaingan, laba ekonomis berkurang dengan adanya pendatang baru yang masuk pasar. Keuntungan dalah indikator yang kurang sempurna
130
karena boleh jadi perusahaan memiliki kekuatan pasar, namun tidak memiliki economic profit. 2. Indeks Lerner atau Price-Cost Margin Perhitungan Indeks Lerner dapat dilakukan dengan cara (P-MC)/P, namun pada umumnya data MC sulit diperoleh. Oleh sebab itu sering digunakan perhitungan PCM, yaitu dengan menggantikan MC menjadi AVC sehingga dapat dihitung dengan menggunakan cara (P-AVC)/P, di mana P adalah harga dan AVC adalah biaya variabel rata-rata. 3. Tobin’s q; Pendekatan ini menggunakan penilaian pasar modal untuk menafsir laba ekonomis. Tobin’s q adalah rasio antara nilai pasar suatu perusahaan terhadap biaya penggantian (replacement cost) atau aset perusahaan. Nilai pasar suatu perusahaan adalah jumlah nilai stok dan utang perusahaan. Selisih nilai pasar perusahaan atas biaya
penggantian
asetnya
sering
ditafsirkan
sebagai
laba
ekonomis. Nilai q yang melebihi satu berarti makin besar nilai return suatu perusahaan relatif terhadap biaya asetnya, maka makin tinggi laba ekonomisnya. 4. Indeks Kinerja Dansby-Wilig (IKDW) IKDW adalah indeks yang mencoba untuk mengukur seberapa jauh kesejahteraan sosial, yang didefenisikan sebagai surplus konsumen dan produsen, akan meningkat bila perusahaan-perusahaan dalam suatu industri meningkatkan output yang secara sosial efisien. Bila
131
IKDW suatu industri sama dengan nol, maka tidak ada manfaat yang diperoleh dengan mendorong perusahaan untuk mengubah outputnya. Bila IKDW lebih besar dari nol, maka kesejahteraan sosial akan meningkat dengan adanya kenaikan output industri.
4.3.
Model Ekonometrika
4.3.1. Hubungan Struktur, Perilaku dan Kinerja Edward S. Mason dalam Joe S. Bain, (1956), awalnya membuat pernyataan bahwa jika ingin melihat kejadian di suatu pasar, di mana ada harga yang naik atau tinggi dalam suatu pasar, maka kita harus melihat dari kinerja suatu pasar. Kinerja itu sendiri menurut Mason, dilihat dari perilakunya yang tercermin dari struktur pasar tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa untuk melihat suatu kinerja pasar itu baik atau buruk, terlebih dahulu harus melihat struktur pasar yang mempengaruhi perilaku pasar tersebut. Joe S. Bain, (1956), merupakan orang pertama yang melakukan pendekatan Mason tersebut ke dalam sebuah teori empiris. Bain mencoba membuat suatu persamaan sederhana untuk mencoba membuktikan apa yang dikatakan Masson, yaitu kinerja di pengaruhi oleh struktur. Persamaan yang dibentuk oleh Bain adalah sebagai berikut : P = f (S) Di mana : P
= Performance
S
= Struktur
132
Kemudian Bain, (1956), mencari variabel yang mempengaruhi struktur
tersebut.
Ditemukan
bahwa
yang
menentukan
struktur
terkonsentrasi atau tidak adalah variabel tingkat konsentrasi dan tingkat hambatan masuk. Sehingga besaran kinerja merupakan fungsi dari tingkat konsentrasi dan tingkat hambatan masuk. Persamaan di atas diperjelas lagi seperti di bawah ini : P = f (CR, EB) Di mana : CR = Concentration Rate EB = Entry Barrier
Untuk Entry Barrier (hambatan masuk) dapat dilihat dari Minimum Eficiency of Scale (MES) dan Product Differentiated.
Sehingga,
persamaan di atas menjadi :
P = f (CR, MES, DIFT) Di mana : CR
= Concentration Rate
MES = Minimum Eficiency of Scale DIFT = Product Differentiated Dari persamaan di atas, Bain (1953), mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasinya maka akan semakin tinggi tingkat hambatan masuk ke dalam suatu pasar, sehingga pasar tersebut akan
133
memiliki kinerja yang buruk karena mendekati monopoli, di mana pada struktur pasar ini, persaingan hampir tidak ada. Dari persamaan tersebut, juga dapat diketahui bahwa struktur akan mempengaruhi kinerja melalui perilaku suatu perusahaan atau suatu industri. Dalam penulisan disertasi ini, penulis menggunakan landasan teori SCP yang dikemukakan oleh kaum strukturalis. Kaum ini mengatakan bahwa struktur mempengaruhi perilaku, dan perilaku pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja. Elemen yang digunakan dalam mengukur struktur adalah entry barriers yang diproksikan dengan MES (Minimum Eficiency of Scale), tingkat konsentrasi dengan menggunakan metode pengukuran CR (Concentration Ratio). Melalui struktur tersebut, penulis mengggunakan proksi
profitability
atau
tingkat
keuntungan
dengan
menggunakan
perhitungan PCM.
4. 3.2. Defenisi Variabel 4.3.2.1. PCM atau Price-Cost Margin Untuk mengukur tingkat kekuatan pasar digunakan indeks lerner. Persamaan yang terbentuk adalah :
MR = P + ΔP = P (1 + Q ΔP ) ΔQ P ΔQ Dalam persamaan di atas mengandung elastisitas permintaan, yaitu :
ε
it
=
ΔQ Q ΔP P
= - P ΔQ Q ΔP
134
sehingga penerimaan marginal dapat ditulis sebagai berikut :
MR = P + Q ΔP = P (1 + Q ΔP ) = P (1 - 1 ) ΔQ P ΔQ ε QP
Lerner, dalam pesaingan tidak sempurna, suatu perusahaan akan memaksimalkan keuntungannya atau profitnya dengan memilih tingkat output ketika biaya marginal berada pada tingkat yang sama dengan pendapatan marginal (MC = MR). Sehingga keuntungan maksimum terbentuk ketika : MR = P (1 - 1 ) = MC
ε QP
Dengan demikian, Lerner melihat tingkat kekuatan pasar bertujuan untuk melihat sejauh mana kemampuan suatu perusahaan untuk meningkatkan tingkat harga di atas biaya marginal. Hal ini dapat dijelaskan melalui persaman matematis yang dibuatnya berikut ini : P (1 - 1 ) = MC
ε QP
menjadi ; P - P = MC
(ε QP ) Sehingga melalui persamaan di atas, terbentuklah persamaan Lerner yang disebut juga Lerner Index seperti di bawah ini :
P - MC =
1
135
P
(ε QP )
Sisi kiri persamaan menunjukkan selisih antara tingkat harga dengan biaya marginal yang kemudian dibagi dengan tingkat harga. Hal inilah yang menurut Lerner dapat menggambarkan kekuatan pasar suatu perusahaan. Untuk menggambarkan struktur pasar, Lerner menggunakan angka berkisar antara satu hinggal nol. Untuk pasar yang kompetitif, menandakan bahwa tingkat harga sama dengan biaya marginal, sehingga indeks Lerner bernilai nol. Sedangkan untuk pasar monopoli, indeks Lerner akan mendekati satu atau di mana dengan perhitungan tersebut menunjukkan bahwa tingkat harga akan semakin jauh perbedaannya dengan biaya marginal. Sehingga dapat disimpulkan semakin besar indeks Lerner, maka semakin besar kekuatan pasar yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Selain itu, jika ditinjau dari elastisitas permintaan, semakin besar elastisitas permintaan membuat kekuatan pasar yang dimiliki oleh perusahaan semakin besar. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, perolehan data mengenai Marginal Cost (MC) sangat sulit. Maka para ekonom, seperti Collin-Preston pada tahun 1969, mengasumsikan industri bersifat constant return to scaleI (CRTS). Hal ini menjadikan pada jangka panjang biaya marginal sama dengan biaya rata-rata (AVC atau Average Cost). Oleh sebab itu, dari perjalanan panjang indeks Lerner ini diperoleh persamaan sebagai berikut : LI = P - ΔVC
136
P Di mana : LI
= Lerner Index
P
= Price atau harga
MC
= Marginal Cost atau biaya marjinal
Persamaan di atas kemudian dikenal dengan Price-Cost Margin. Selain dengan persamaan di atas, PCM juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus seperti berikut :
PCM
= NILAI TAMBAH - UPAH OUT PUT
PCM merupakan variabel standar yang digunakan untuk mendekati indeks Lerner yang digunakan mengukur seberapa besar kekuatan pasar. Sebenarnya PCM merupakan perkiraan kasar mengenai keuntungan perusahaan. Namun, karena keterbatasan data, proksi semacam ini banyak digunakan dalam studi literatur ekonomi industri, khususnya dalam pencarian hubungan antara tingkat konsentrasi dengan PCM. Para ekonom tersebut juga beranggapan bahwa PCM dapat dijadikan proksi yang baik untuk indeks Lerner. Dalam penulisan disertasi ini digunakan persamaan PCM dengan cara mengurangi nilai tambah dengan upah lalu membaginya dengan jumlah output.
4.3.2.2. Rasio Konsentrasi
137
Konsentrasi industri merupakan salah satu variabel penting untuk melihat struktur Pasar yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku suatu perusahaan. Seperti hipotesa yang dikemukakan oleh Bain, perilaku kolusi dapat terjadi jika tingkat konsentrasi yang terjadi tinggi. Dengan adanya tingkat konsentrasi yang tinggi juga akan menyebabkan tingkat keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan akan menjadi tinggi. Oleh sebab itu, tingkat konsentrasi merupakan variabel penting untuk mengukur PCM. Untuk mengukur tingkat konsentrasi, maka penulis akan menggunakan perhitungan CR dengan menggunakan empat perusahaan terbesar dalam perhitungannya. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut : CR 4 =
Out Put 4 Perusahaan Terbesar Output Industri
4.3.2.3. Minimum Efficiency of Scale Salah satu proksi yang dapat digunakan untuk mengukur entry barriers adalah MES. Variabel ini merupakan kondisi di mana penambahan output yang diproduksi menyebabkan penurunan biaya produksi pada jangka panjang. Perhitungan MES yang dilakukan adalah :
MES = Rata-rataOutput 4 Perusahaan terbesar (50% Output Industri) Output Industri
Angka 50% dalam persamaan di atas bukanlah angka mutlak. Angka ini dapat saja melebihi 50% jika struktur pasar dalam keadaan natural monopoly.
138
4.3.2.4.
Tingkat pertumbuhan permintaan CPO oleh industri minyak RBD dan RBD Olein
Kondisi perekonomian yang dihadapi oleh perusahaan merupakan proksi dari kondisi makro perekonomian. Pendekatan yang digunakan sebagai tingkat permintaan ini adalah tingkat permintaan industri minyak goreng akan CPO. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut :
DGROW =
Yn - Y n-1 Y n-1
Di mana : Yn
= Tingkat permintaan industri minyak RDB terhadap CPO pada tahun ke n
Y n – 1 = Tingkat permintaan industri minyak RBD terhadap CPO pada tahun ke n-1
4.4. Estimasi Model 4.4.1. Hubungan antara PCM dengan Tingkat Konsentrasi Encau dan Jacquemin, (1980), menemukan hubungan antara PCM dengan perhitungan tingkat konsentrasi untuk suatu model oligopoli baik secara statis maupun dinamis. Dalam seluruh penelitian yang mereka lakukan ditemukan bahwa PCM memiliki hubungan yang positif dengan perhitungan
tingkat
konsentrasi
dan
berhubungan
negatif
dengan
elastisitas permintaan. Studi lainnya yang dilakukan oleh Waterson (1984) menunjukkan
hubungan
antara
PCM
dengan
tingkat
konsentrasi.
139
Waterson menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara tingkat konsentrasi dengan PCM. Dapat disimpulkan, dalam estimasi yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi kekuatan pasar yang akhirnya akan membuat semakin tingginya tingkat keuntungan suatu perusahaan. 4.4.2.
Hubungan antara PCM dengan MES Semakin tinggi MES maka akan semakin tinggi keuntungan yang
diperoleh. Hal ini disebabkan oleh tingkat output yang meningkat seiring dengan penurunan biaya produksi pada jangka panjang. Hal ini dapat menjadikan hambatan masuk bagi pemain baru yang disebabkan mereka sulit untuk bersaing dengan pemain lama yang lebih dapat mengetahui bagaimana cara memproduksi dengan biaya yang rendah. Oleh sebab itu, peningkatan MES akan mengakibatkan tingkat keuntungan yang tinggi. Sehingga, hubungan MES dengan PCM adalah positif. 4.4.3. Hubungan PCM dengan Pertumbuhan Permintaan Semakin tinggi tingkat permintaan yang dihadapi menunjukkan pangsa pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan semakin besar. Hal ini menunjukkan kekuatan pasar yang tinggi sehingga akan mengakibatkan tingkat keuntungan yang besar. Oleh sebab itu, hubungan antara DGROW (pertumbuhan permintaan) dengan PCM adalah positif. 4.4.4. Hubungan PCM dengan Harga Internasional
140
Semakin tinggi harga internasional, maka akan semakin tinggi keuntungan yang dirasakan pada suatu industri. Hal ini menandakan pergerakan yang searah antara harga internasional dengan PCM. 4.4.5. Hubungan PCM dengan Harga RBD OIL, RBD OLEIN Domestik Semakin tinggi harga minyak RBD dan RBD Olein domestik maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh. Dengan kata lain, pergerakan PCM searah dengan pergerakan RBDOD dan RBDOLD. 4.4.6 Hubungan PCM dengan Variabel CPODIFF Variabel
CPODIFF
merupakan
variabel
yang
ingin
melihat
hubungan tingkat keberagaman produk turunan CPO dalam pembentukan keuntungan pada industri kelapa sawit Malaysia. Menurut teori, semakin tingginya tingkat keberagaman produk turunan CPO Malaysia maka akan semakin tinggi tingkat keuntungan yang tercipta. 4.4.7. Hubungan PCM dengan Variabel KURS Variabel KURS merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat nilai tukar mata uang Dolar Amerika terhadap nilai tukar mata uang Ringgit Malaysia. Menurut teori bahwa hubungan antara keuntungan industri berbanding terbalik dengan niai tukar, semakin rendah nilai tukar Ringgit
Malaysia
terhadap
Dolar
Amerika,
maka
semakin
keuntungan yang diperoleh.
4.4.8. Hipotesa Hipotesa yang penulis buat untuk diuji kebenarannya adalah :
tinggi
141
SCP dapat menjelaskan hubungan antara struktur dan kinerja dari Industri Kelapa Sawit di Malaysia, di mana : •
Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang terjadi
•
Semakin besar tingkat hambatan masuk maka akan semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
•
Semakin besar tingkat harga internasional maka keuntungan yang diperoleh juga semakin tinggi
•
Semakin besar tingkat harga minyak RBD domestik maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
•
Semakin besar tingkat harga minyak RBD Olein maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
•
Semakin beragam produk turunan minyak sawit Malaysia maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
•
Semakin lama waktu terlaksananya industri ini maka akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh
•
Semakin tinggi permintaan terhadap Minyak RBD dan RBD Olein domestik maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh
•
Semakin rendah nilai tukar Dolar Amerika terhadap Ringgit Malaysia
maka
semakin tinggi tingkat
keuntungan yang
diperoleh
Tabel 41. Hipotesa Hubungan Variabel Dependen dengan Variabel Independen
142
PCM
CR4
MES
PCPOINT
RBDOD
RBDOLD
CPODIFF
DGROW
KURS
+
+
+
+
+
+
+
-
4.5. Sumber Data dan Pengolahan Dalam pelaksanaan analisa, penulis melakukan pengujian data melalui model yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai penerapan analisis SCP pada industri kelapa sawit Malaysia dan Indonesia dan perilaku yang timbul pada industri tersebut. Analisa tersebut dilakukan dengan menggunakan dua cara. Pertama, penulis melakukan analisa dengan teknik deskriptif, yaitu menganalisis
SCP
dengan
data-data
yang
ada.
Kedua,
penulis
menggunakan metode ekonometrika dengan bantuan software SPSS Versi 6 dan Minitab 15 untuk melakukan regresi atas model yang dianalisa. Analisa kuantitatif dilakukan setelah hasil regresi diperoleh dan sudah dilakukan pengujian atas pelanggaran yang terjadi. Data yang berkaitan dengan analisa ini diperoleh dari Asosiasi Minyak sawit Malaysia (MPOA), Badan Pengelola Minyak Kelapa Sawit Malaysia (MPOB), MPOC, Bank Dunia,
Sekretariat ASEAN, PORLA Malaysia, gabungan pengusaha
kelapa sawit Malaysia di Indonesia (APIMI), Departemen Statistik Malaysia dan data sawit Indonesia dari; BPS, Deperindag, Departemen Pertanian, CIC, Oilworld, Malaysian Palm Oil Board, dan LPEM.
4.6. Metode Penelitian
143
4.6.1. Metode OLS Metode Least Square merupakan metode yang sering digunakan dalam analisis regresi. Pengolahan data dengan metode OLS harus memenuhi asumsi Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Oleh sebab itu, terbentuklah asumsi-asumsi dasar yang harus dipenuhi untuk menjaga agar OLS dapat menghasilkan estimator yang paling baik pada model regresi. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Model korelasi merupakan model korelasi linear, linear pada parameter-parameternya, terspesifikasi secara benar seperti : Y1 = β1 + β2Xi + ui 2. Nilai rata-rata atau nilai yang diharapkan dari variabel disturbance atau error term adalah nol, seperti : E(U i |X i ) = 0 3. Covarian antara variabel disturbance, U i , dengan variabel X i = Nol Cov(U i |X i ) = 0 4. Varian dari variabel residu, disturbance adalah sama atau homoskedastisitas Var = (U i |X i ) = E[U i – E(U i |X i )]2 = E(Ui2|X i ) = σ2 5. Tidak terdapat autokorelasi antar disturbance pada pengamatan satu dengan pengamatan yang lain Cov(U i ,U j |X i ,X j ) = 0 6. Variabel error term memiliki distribusi normal
4.6.2.
Pendekatan Kuadrat Terkecil
144
Misalkan ada empat perusahaan dengan periode waktu 20 tahun, maka dapat dikatakan N (jumlah individu) adalah empat dan T (periode waktu) adalah dua puluh. Sehingga diperoleh jumlah observasi sebanyak N.T = 80 observasi. Hal ini dapat menjadikan suatu parameter menjadi konstan dan efisien. Dengan melakukan pooling seluruh observasi sebanyak N.T, permasalahan fungsi dapat ditulis sebagai berikut : Yit = α + β 1 X 1it + β 2 X 2it + ε it Untuk i = 1,2,...,N = 4 dan t = 1,2,...,T = 20 Di mana i adalah cross section identifier dan t adalah time series identifier. Pendekatan yang paling sederhana dilakukan adalah dengan mengabaikan dimensi cross section dan time series dari data panel dan mengestimasi data dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan dalam data yang berbentuk Pool. Model mengasumsikan bahwa slope koefisien dari dua variabel adalah identik untuk semua perusahaan. Tentu ini merupakan asumsi yang sangat ketat. Sehingga walaupun metode PLS menawarkan kemudahan, model mendistorsi gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara Y dan X antar empat perusahaan tersebut.
4.6.3.
Aturan Keputusan Pengujian Hipotesis Dalam pengujian sebuah hipotesis, sebuah statistik sampel harus
dihitung sehingga memungkinkan hipotesis nol (H 0 ) diterima atau ditolak dengan membandingkan nilai tersebut dengan nilai kritis pada tabel yang
145
umumnya terdapat pada lampiran buku-buku mengenai ekonometrika. Prosedur tersebut umumnya dikatakan sebagai aturan keputusan. Pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan uji t dan uji F.
4.6.3.1.
Uji t-Stat
Uji t adalah uji yang biasa dipakai oleh para ahli ekonometrika untuk menguji hipotesa tentang
koefisien-koefisien
korelasi
individual. Pertama-tama, setelah data di-run akan
secara
dilakukan uji
signifikansi individu melalui uji t ini. Uji t-stat ini menguji apakah masingmasing variabel independen dalam model yang dikorelasi mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Hipotesa untuk uji t-stat ini adalah sebagai berikut : H0
= β = 0 artinya variabel independen tersebut tidak signifikan mempengaruhi
H1
= β ≠ 0 artinya variabel independen tersebut signifikan mempengaruhi
Sedangkan kriteria penolakan adalah : Tolak H 0 bila probabilitas t-stat < 0.20 Tingkat kepercayaan pada 80% di mana α = 20 %
4.6.3.2.
Uji F-Stat
Selain dilakukan pengujiannya secara individu, pengujian serentak juga dilakukan yaitu melalui uji F-stat. Adapun hipotesa dan kriteria penolakannya adalah sebagai berikut :
146
Hipotesis untuk Uji F-stat : H0
: β 1 = β 2 = ... = β k = 0
Artinya variabel-variabel independen yang terdapat pada model secara tidak signifikan mempengaruhi H1
: β 1 ≠ β 2 ≠ ... ≠ β k ≠ 0
Artinya variabel-variabel independen yang terdapat pada model secara signifikan mempengaruhi Kriteria penolakan : Tolak H 0 bila probabilitas F-stat < 0.20 Tingkat kepercayaan pada 80% di mana α = 20% 4.6.3.3. Uji R-squared Uji R-squared (R2) merupakan uji kecocokan model regresi, yang menggambarkan kemampuan model dalam menjelaskan perubahan pada variabel dependen. Model time-series yang baik memiliki R2 diatas 0.90. Sedangkan untuk data cross section sebaiknya memiliki R2 diatas 0.30. 4.6.4.
Hubungan antara Independen
Variabel
Dependen
dengan
Variabel
Melihat hubungan antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen menggunakan koefisien yang ada. Jika koefisien pada variabel independen positif, menunjukkan hubungan yang searah dengan variabel dependen, sedangkan jika koefisien dari variabel independennya negatif, menunjukkan hubungan yang berlawanan arah dengan variabel dependennya.
147
4.7. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dimulai dengan prapenelitian yang dilakukan mulai bulan Oktober 2006 dan pelaksanaan penelitian pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober tahun 2008 di berbagai daerah di Malaysia, yaitu Kuala Lumpur dan di beberapa negara bagian Malaysia seperti Selangor Putrajaya, Kelana Jaya, Negeri Sembilan, Malaka. Untuk mendapatkan data lengkap mengenai pengelolaan dan perdagangan minyak sawit, dilakukan penelitian lebih lanjut seperti di Kantor Badan Kelapa Sawit Malaysia (MPOB), kantor perusahaan FELDA Malaysia, Sekretariat ASEAN, dan beberapa kantor perwakilan dagang minyak sawit Malaysia di Indonesia. 4.8. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan sebagian besar adalah data sekunder namun pengambilan data primer hanya bersifat konfirmasi terhadap realita di beberapa tempat di Malaysia seperti di Kuala Lumpur, Selangor Putrajaya, Sabah dan Serawak Malaysia. Data sekunder dan informasi dikumpulkan dari berbagai sumber seperti dari Sekretariat ASEAN Jakarta, Badan Kelapa Sawit Malaysia Kuala Lumpur (Malaysian Palm Oil BoardMPOB), World Bank, ASEAN Developmen Bank (ADB), Departemen Statistik Malaysia (Departement of Statistics 2008.
Malaysia)
periode 1980-
148
Sedangkan data primer didapat dari wawancara dengan beberapa narasumber seperti dengan petani sawit di lokasi penelitian, para pakar dibidang Kelapa Sawit, industriawan dan juga penulis sawit terdahulu. 4.9. Objek Penelitian Secara garis besar objek penelitian ini adalah pasar minyak kelapa sawit dan produk industri kelapa sawit Malaysia yang terdiri dari tiga pelaku utama yaitu; pertama, pengembang kebun (growers), kedua, industri pengolah minyak sawit dan produk industri kelapa sawit (refineries), dan ketiga adalah pedagang (traders). Ketiga pelaku industri ini dibagi menjadi; perusahaan milik pemerintah, milik negara kerajaan milik perusahaan swasta dan milik rakyat.