IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini mencoba mengkaji mengenai keadaan umum suatu usaha penggemukan sapi potong, tingkat keuntungan dan efisiensi produksinya, serta upaya keberlanjutan usaha penggemukan sapi potong tersebut. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di peternakan sapi potong PT. Andini Persada Sejahtera. Peternakan ini terletak di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PT. Andini Persada Sejahtera merupakan salah satu peternakan sapi potong dengan skala usaha cukup besar dan terletak dekat daerah konsumen (daerah perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok) sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan daging sapi di daerah tersebut, disamping itu perusahaan ini juga telah memiliki manajemen usaha yang cukup baik. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih delapan bulan pada bulan Juli 2010 - Februari 2011. Kurun waktu penelitian tersebut mencakup pencarian dan pengumpulan data, pengolahan, penulisan hasil laporan, sampai penyajian hasil secara keseluruhan. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pihak peternakan yang ditunjuk dengan bantuan instrumen kuesioner (daftar pertanyaan) serta pengamatan langsung pada peternakan sapi potong PT. Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung. Data sekunder bersumber dari peternakan itu sendiri, Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjennak) Kementrian Pertanian, Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik, jurnal-jurnal dan makalah yang diakses melalui internet, buku-buku, penelitian terdahulu, serta literatur lain yang terkait. 4.3. Penentuan Jumlah Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ternak sapi potong yang dimiliki PT. Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung. Sampel yang digunakan sebanyak 446 ekor sapi yang berada dalam masa pemeliharaan yang sama untuk melihat efisiensi produksi dari usaha penggemukan sapi potong. Sedangkan untuk menganalisis pendapatan usaha menggunakan data populasi. Proporsi penentuan jumlah sampel tersebut dilakukan dengan metode stratified sampling. Juanda (2009) menyatakan dalam stratified sampling (penarikan contoh berlapis), subsample (unit contoh) dipilih secara acak dari masing-masing strata. Keseluruhan contoh acak sederhana dari masing-masing strata yang terbentuk ini menyusun contoh acak berlapis (stratified samples). Teknik penarikan contoh berlapis ini akan mengurangi ragam dari nilai dugaan sehingga akan menghasilkan nilai dugaan yang memiliki ketepatan relatif tinggi, sehingga suatu contoh acak berlapis berukuran tertentu lebih efisien daripada contoh acak sederhana dengan ukuran yang sama. Strata dalam penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan bobot badan dari masing-masing tipe sex sapi saat awal penggemukan, kemudian subsample diambil secara acak dari masing-masing klasifikasi yang ada. Jumlah sampel yang diambil sebagai berikut :
Tabel 5. Jumlah Sampel Sapi Potong yang Digunakan Selama Satu Periode Pemeliharaan Tipe sex sapi Bulls Steers Heifers Σ Populasi 703 224 407 1334 Jumlah Sampel (100% : 3) x (100% : 3) x (100% : 3) x 703 = 224 = 407 = 234,33333 ~ 74,666667 ~ 135,66667 ~ 235 75 136 446 Proporsi 270-275 kg 22 19 41 Sampel 276-280 kg 23 5 17 45 (per 281-285 kg 44 9 22 75 Bobot 286-290 kg 63 14 28 105 Badan) 291-295 kg 35 15 22 72 296-300 kg 21 13 14 48 >300 kg 27 19 14 60 Sumber : PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, diolah (2010)
4.4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan selama kurun waktu tiga setengah bulan, yaitu pada pertengahan bulan Agustus sampai November 2010. Lokasi pengumpulan data yaitu pada peternakan sapi potong PT. Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung. Pengumpulan data melibatkan pihak yang berwenang atau pihak yang ditunjuk atau pihak yang diperkirakan tahu mengenai informasi penting yang terkait dengan penelitian. Harapannya melalui pihak-pihak tersebut dapat digali informasi yang lebih banyak dan mendalam mengenai hal yang berkaitan dengan penelitian ini. 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dikelompokkan terlebih dahulu menjadi dua, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data-data tersebut kemudian disajikan baik dalam bentuk tabulasi maupun dalam penjabaran terurai. Selanjutnya dilakukan analisis data yang ditujukan agar data dan informasi yang telah dikumpulkan dapat lebih berarti serta dapat memberikan informasi.
Analisis data kuantitatif digunakan untuk mengetahui penggunaan faktorfaktor produksi (sapi bakalan, pakan konsentrat, dan pakan hijauan) yang berpengaruh terhadap hasil produksi (sapi potong), menghitung efisiensi produksi dan pendapatan usaha peternakan. Data faktor-faktor produksi yang diperoleh diolah menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan analisis regresi linear. Analisis ini digunakan untuk mengukur pengaruh berbagai variabel penduga atau variabel bebas terhadap hasil produksi. Analisis data kualitatif yang diuraikan secara deskriptif digunakan untuk menjabarkan tentang usaha peternakan serta kegiatan yang berkaitan dengan produksi. Analisis keberlanjutan usaha juga dijelaskan secara deskriptif. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan software komputer program Microsoft Excel 2007, Minitab 14, dan Eviews 6. 4.5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Fungsi
yang
digunakan
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi produksi peternakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan, Y, dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan, X. Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dengan demikian kaidahkaidah pada regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Secara matematis, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan dalam persamaan berikut (Soekartawi, 1990).
Y =a
…
…
=aπ
(4.5.1.1)
Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka : Y = f (X1, X2, …, Xi, …, Xn)
(4.5.1.2)
Dimana : Y
= variabel yang dijelaskan
X
= variabel yang menjelaskan
a,b = besaran yang akan diduga u
= kesalahan (disturbance term)
e
= logaritma natural; e = 2,718
Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan (4.5.1.1), maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Persamaan (4.5.1.1) dapat dituliskan kembali dalam bentuk sebagai berikut. Y = f (X1, X2, X3)
dan
Y=a
(4.5.1.3)
Logaritma dari persamaan diatas, adalah : ln Y = ln a + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 + u Dengan demikian persamaan di atas dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan fungsi CobbDouglas, yaitu (Soekartawi, 1990) : 1.
Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, karena logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).
2.
Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. Artinya, jika dalam suatu pengamatan diperlukan lebih dari satu model (model yang digunakan adalah Cobb-Douglas), maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.
3.
Tiap variabel X adalah perfect competition.
4.
Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan, u. Pertimbangan pemilihan fungsi Cobb-Douglas sebagai fungsi produksi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah karena : 1.
Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, misalnya fungsi kuadratik. Fungsi Cobb-Douglas juga dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear.
2.
Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas.
3.
Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran returns to scale. Jadi seperti pada persamaan (4.5.1.3), besaran b adalah elastisitas dan jumlah elastisitas adalah ukuran returns to scale. Akan tetapi fungsi Cobb-Douglas ini juga memiliki kelemahan (limitasi).
Soekartawi (1990) menyatakan kelemahan dari fungsi Cobb-Douglas umumnya terletak pada permasalahan pendugaan yang melibatkan kaidah metode kuadrat terkecil, misalnya kesalahan pengukuran variabel, multikolinearitas, dan sebagainya. Secara garis besar, permasalahan yang umum dijumpai (kelemahan) dalam fungsi Cobb-Douglas adalah :
1.
Spesifikasi variabel yang keliru. Hal ini akan menghasilkan elastisitas produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil. Spesifikasi
yang
keliru
juga
sekaligus
mendorong
terjadinya
multikolinearitas pada variabel independen (bebas) yang dipakai. 2.
Kesalahan pengukuran variabel. Kesalahan ini terletak pada validitas data, apakah data yang dipakai sudah benar atau sebaliknya, terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah. Kesalahan pengukuran ini akan menyebabkan besaran elastisitas menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah.
3.
Bias terhadap variabel manajemen. Dalam praktek, faktor manajemen merupakan faktor yang juga penting untuk meningkatkan produksi. Tetapi variabel ini kadang sulit diukur dan dipakai sebagai variabel independen dalam pendugaan fungsi Cobb-Douglas karena variabel ini erat hubungannya dengan penggunaan variabel independen yang lain. Misalnya dalam bidang pertanian, manajemen dalam menggunakan pupuk, bibit, alokasi pengeluaran uang untuk kegiatan berproduksi yang lain dan alokasi penggunaan tanah, akan mendorong besaran efisiensi teknik dari fungsi produksi ke arah atas. Variabel manajemen erat hubungannya dengan proses pengambilan keputusan dalam pengalokasian variabel input, maka menghilangkan variabel ini dalam fungsi pendugaan akan menghasilkan hasil dugaan yang bias.
4.
Multikolinearitas, dalam praktek masalah kolinearitas ini sulit dihindarkan walaupun pada umumnya telah diusahakan agar besaran korelasi antara variabel independen tidak terlalu tinggi, misalnya dengan memperbaiki spesifikasi dari variabel yang dipakai.
5.
Data, data yang dipakai merupakan limitasi yang tidak kalah penting dalam penggunaan fungsi Cobb-Douglas. Misalnya : -
Bila data cross-section yang dipakai maka data harus mempunyai cukup variasi.
-
Pengukuran atau definisi dari data yang dipakai sulit dilakukan (dalam hal tertentu). Misalnya data tentang upah tenaga kerja, apakah upah riil atau upah yang diluangkan (opportunity cost).
-
Data tidak boleh ada yang bernilai nol atau negatif karena logaritma dari bilangan tersebut adalah tak terhingga. Dalam praktek kenyataan seperti itu sulit dihindarkan, karenanya diperlukan cara untuk memperbaiki pendugaan seperti : a. Besaran dari variabel yang bernilai nol atau negatif diubah nilainya menjadi variabel dummy, misalnya pengamatan yang bernilai nol atau negatif diberi penimbang nol “0”, dan pengamatan lain diberi penimbang satu “1”. b. Menambahkan sesuatu bilangan yang sama untuk setiap nilai X, sehingga dengan demikian pengamatan yang bernilai nol atau negatif tidak akan menjadi nol atau negatif lagi. c. Mengganti pengamatan yang bernilai nol tersebut dengan bilangan yang kecil sekali.
6.
Asumsi, asumsi yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi CobbDouglas tidak selalu mudah berlaku begitu saja. Misalnya :
-
Asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda, tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama. Padahal, belum tentu teknologi di daerah penelitian adalah sama.
-
Sampel dianggap price takers, padahal untuk sampel petani yang subsisten mungkin tidak selalu demikian.
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi peternakan adalah sapi bakalan, pakan konsentrat, dan pakan hijauan. Melalui fungsi produksi Cobb-Douglas keterkaitan antar peubah-peubah tersebut secara matematis dapat dirumuskan oleh persamaan berikut : Y= Model persamaan diatas kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan linear menjadi persamaan sebagai berikut : ln Y = ln b0 + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 + u ln e Keterangan : Y
= hasil produksi sapi potong (kg/ekor)
X1
= sapi bakalan (kg/ekor)
X2
= pakan konsentrat (kg/ekor/periode)
X3
= pakan hijauan (kg/ekor/periode)
b0
= konstanta
bi
= koefisien regresi dari faktor produksi Xi ; (i = 1, 2, 3)
e
= logaritma natural; e = 2,718
u
= kesalahan (disturbance term) Analisis data yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil atau
Ordinary Least Square (OLS), metode ini digunakan untuk menguji nilai t-hitung,
F-hitung, dan R2. Metode OLS memiliki beberapa sifat : (1) penaksir OLS tidak bias, (2) penaksir OLS mempunyai varians yang minimum, (3) konsisten; yaitu dengan meningkatnya ukuran sampel secara tidak terbatas, penaksir mengarah ke nilai populasi yang sebenarnya, (4) dari sifat nomor 1 dan 2, OLS merupakan penaksir tidak bias dengan varians yang minimum sehingga OLS efisien, dan (5) Linear. Selanjutnya, terdapat kriteria yang digunakan dalam mengevaluasi model ekonometrika tersebut, yaitu : 1) kriteria ekonomi, 2) kriteria statistik, dan 3) kriteria ekonometrika. Kriteria ekonomi menyangkut tanda dan besaran parameter variabel-variabel independen dalam model, tanda dan besaran tersebut harus sesuai dengan hipotesis, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang dapat dijelaskan. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji simultan (F-hitung) model yang digunakan, uji parsial (t-hitung) masing-masing parameter dugaan, dan nilai koefisien determinasi (R2). Kriteria terakhir, yaitu ekonometrika digunakan untuk melihat pelanggaran asumsi yang terjadi. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam persamaan akan mempengaruhi produksi pada perusahaan, maka akan dilakukan uji statistik. Pengujiannya dilakukan dengan dua cara yaitu : 1.
Pengujian parameter secara individu (uji parsial)
2.
Pengujian parameter secara keseluruhan (uji simultan)
4.5.1.1. Uji Parsial (Uji-t) Pengujian parameter secara individu atau parsial menggunakan Uji-t dimaksudkan untuk menguji secara terpisah dari setiap variabel bebas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebasnya.
Hipotesis yang digunakan : H0 : b1 = 0
atau variabel bebas (X1, X2, X3) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y)
H1 : b1
0
atau variabel bebas (X1, X2, X3) berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y)
Uji statistik yang digunakan : t hit = t tabel = t α/2 (n-k) Dimana : bi
= kofisien regresi suatu variabel bebas
Se(bi)
= standar kesalahan
n
= jumlah pengamatan (sampel)
k
= jumlah koefisien regresi dugaan termasuk intersep
Kaidah pengujian : Jika t hit < t tabel
maka terima H0, artinya variabel (X1, X2, X3) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y) pada taraf nyata α.
Jika t hit > t tabel
maka tolak H0, artinya variabel (X1, X2, X3) berpengaruh nyata terhadap (Y) pada taraf nyata α.
Uji-t juga dapat dilakukan dengan cara melihat output perhitungan komputer dengan melihat p-value pada masing-masing variabel bebas. Berdasarkan nilai p-value diketahui sampai berapa persen variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebasnya. Apabila p-value pada masing-masing variabel bebas lebih kecil dari α maka disimpulkan bahwa variabel bebas (X1, X2, X3) berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y).
4.5.1.2. Uji Simultan (Uji-F) Pengujian parameter secara keseluruhan atau simultan menggunakan uji-F dimaksudkan untuk menguji apakah seluruh variabel bebas yang ada dalam model dapat berpengaruh nyata terhadap hasil produksi apabila digunakan secara bersama-sama. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan antara Fhitung dengan F-tabel. Hipotesis yang digunakan : H0 : b1 = b2 = b3 = ..... = bk = 0
atau variabel bebas (X1, X2, X3) secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas (Y)
H1 : minimal ada satu k dimana bk 0 atau variabel bebas (X1, X2, X3) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas (Y) Uji statistik yang digunakan :
F hit =
F tabel = F α (k-1, n-k) Dimana : JKR
= jumlah kuadrat regresi
JKG
= jumlah kuadrat galat
n
= jumlah pengamatan (sampel)
k
= jumlah koefisien regresi dugaan termasuk intersep
Kaidah pengujian : Jika F hit < F tabel
maka terima H0, artinya variabel bebas (X1, X2, X3) secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y)
Jika F hit > F tabel
maka tolak H0, artinya variabel bebas (X1, X2, X3) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y)
Untuk output perhitungan komputer, maka dapat dilihat p-value dari statistik F. Apabila p-value lebih kecil dari α maka berarti secara bersama-sama variabel bebas (X1, X2, X3) berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y). 4.5.1.3. Koefisien Determinasi Suatu angka yang mengukur keragaman pada variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi disebut koefisien determinasi (R2). Untuk menguji kesesuaian model yang ada, maka perlu dihitung besarnya nilai R2. Perhitungan R2 digunakan untuk mengukur kemampuan dari peubah penjelas untuk menerangkan keragaman atau variasi dari peubah endogen pada masing-masing persamaan. Nilai R2 berkisar antara 0 < R2 < 1. Jika R2 semakin tinggi (mendekati satu), maka semakin baik model karena menunjukkan semakin besar keragaman dari peubah endogen yang dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas. Adapun koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut : R2 =
R2 =
–
R2-adjusted dalam regresi berganda adalah nilai R2 yang telah disesuaikan terhadap banyaknya variabel bebas dan banyaknya observasi. Koefisien determinasi yang disesuaikan dirumuskan sebagai berikut :
R2-adjusted = 1 -
Dimana : R2-adjusted
= koefisien determinasi yang disesuaikan
R2
= koefisien determinasi
n
= jumlah observasi
k
= jumlah variabel bebas
4.5.1.4. Metode Uji Ekonometrik Untuk memenuhi asumsi dalam analisis regresi agar hasil analisis tidak bias atau BLUE (Best Linear Unbiased Estimate), maka dilakukan juga uji normalitas, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. 4.5.1.4.1. Uji Normalitas Salah satu pengujian yang dilakukan dalam persamaan regresi untuk menguji apakah nilai-nilai dari Y berdistribusi normal pada tiap nilai dari X adalah uji normalitas. Model regresi dengan persamaan Yi = f(X1i, X2i, ..., Xki) + εi memiliki asumsi bahwa nilai εij yang dihasilkan berdistribusi normal. Untuk keperluan tersebut maka perlu dilakukan uji normalitas terhadap nilai εij yang dihasilkan oleh suatu model. Uji normalitas yang banyak digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov.
Uji
ini
dilakukan
dengan
membandingkan
nilai
probabilitas distribusi teoritik dari jenis distribusi probabilitas yang diasumsikan terhadap distribusi empirik. Selisih maksimum keduanya kemudian disebut
dengan Dmax. Nilai Dmax lalu dibandingkan dengan nilai kritis KolmogorovSmirnov untuk menentukan keputusan apakah satu set data mengikuti distribusi yang diasumsikan atau tidak (Nawari, 2010). Pengujian normalitas dapat dilakukan dengan uji Jarque-Bera (JB). Uji JB mengukur perbedaan antara Skewness (kemenjuluran) dan Kurtosis (keruncingan) data dari sebaran normal, serta memasukkan ukuran keragaman. Hipotesis yang digunakan : H0 : Error term menyebar normal H1 : Error term tidak menyebar normal Uji Statistik yang digunakan : JB = Dimana : S
= Kemenjuluran
K
= Keruncingan
k
= Banyaknya koefisien penduga
N
= Banyaknya data pengamatan
Kaidah pengujian : Jika JB > χ22 maka tolak H0 JB < χ22 maka terima H0 Jika dilakukan perhitungan dengan komputer maka dapat dilihat nilai probabilitas pada output perhitungannya. Apabila nilai probabilitasnya lebih kecil dari α maka artinya tolak H0. Sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar dari α maka artinya terima H0.
4.5.1.4.2. Uji Multikolinearitas Istilah multikolinearitas didefinisikan sebagai hubungan secara linier diantara beberapa atau semua peubah penjelas dalam model regresi. Secara matematis dinyatakan sebagai : γ1X1i + γ2 X2i + ... + γk Xki = 0; γ1, γ2, ..., γk = konstanta yang tidak semuanya bernilai nol untuk i = 1, 2, ..., k. Adanya multikolinearitas menyebabkan peubah penjelas X tidak memberikan informasi yang baru bagi peubah respon Y. Selain itu, adanya multikolinearitas menyebabkan koefisien regresi tidak dapat ditentukan secara unik atau tunggal. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam model regresi, diantaranya : 1. Koefisien korelasi antar peubah penjelas Xi Cara paling mudah dan sederhana untuk mendeteksi multikolinearitas adalah dengan melihat koefisien antara dua peubah penjelas. Adanya kolinearitas seringkali ditunjukkan jika nilai R cukup besar (terletak pada selang -1 ≤ R ≤ -0,5 atau 0,5 ≤ R ≤ 1). 2. VIF (Variance Inflation Factor) VIF didefinisikan sebagai : VIFi = dimana Ri2 merupakan koefisien determinasi berganda dari peubah penjelas Xi dengan seluruh peubah penjelas lainnya. Jika nilai VIFi > 10 maka diindikasikan bahwa telah terjadi multikolinearitas (Darmanto, 2010). 4.5.1.4.3. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (εt) sama atau homogen. Dengan pengertian lain, Var(εi) = E(εi2) = σ2 untuk tiap
pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini disebut homoskedastisitas (homoscedasticity). Jika ragam sisaan tidak sama atau Var(εi) = E(εi2) = σi2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model
regresi,
maka
dikatakan
ada
masalah
heteroskedastisitas
(heteroscedasticity). Masalah heteroskedastisitas sering terjadi dalam data cross section. Meskipun demikian masalah ini dapat juga terjadi dalam data time series (Juanda, 2009). Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan uji White Heteroscedasticity Test, sebagai berikut : Hipotesis yang digunakan : H0 : tidak ada heteroskedastisitas H1 : ada heteroskedastisitas Uji Statistik yang digunakan : 2
ω= Dimana : ω
= Nilai statistik white
e
= galat
Kaidah pengujian : Jika ω > χ2α(K) maka tolak H0 Jika ω < χ2α(K) maka terima H0 4.5.2. Analisis Efisiensi Produksi Efisiensi produksi pada suatu usaha dapat dilihat melalui efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Melalui tingkat efisiensi teknis dapat diketahui apakah produksi berjalan pada tingkat efisien dimana apabila produksi berjalan secara
efisien maka usaha dapat mencapai produksi yang optimum. Efisiensi teknis dan ekonomis secara bersama-sama dapat menunjukkan kombinasi faktor produksi yang menunjukkan tingkat produksi optimum dan menghasilkan keuntungan maksimum dari suatu usaha. 4.5.2.1. Efisiensi Teknis Efisiensi teknis adalah besaran yang menunjukkan tingkat produksi sebenarnya, apakah produksi berada dalam skala optimum atau tidak. Efisiensi teknis dari setiap faktor produksi dapat diketahui dari nilai elastisitas produksinya. Elastisitas produksi dari model regresi digunakan untuk mengukur tingkat kepekaan atau untuk mengetahui persentase perubahan Y (peningkatan atau penurunan) apabila terjadi persentase perubahan X. Secara matematis dituliskan sebagai berikut : EPi =
=
x
=
Kaidah pencapaian kondisi efisiensi teknis berdasarkan nilai elastisitas produksi (EP) adalah sebagai berikut : EPi > 1
belum tercapai efisiensi teknis
0 < EPi < 1
tercapai efisiensi teknis
EPi < 0
tidak tercapai efisiensi teknis
Soekartawi (1990) menyatakan nilai elastisitas dari seluruh faktor-faktor produksi atau elastisitas produksi total (Σ EPi) menunjukkan returns to scale atau skala usaha peternakan, apakah kegiatan usaha peternakan yang diteliti mengikuti kaidah increasing, constant, atau decreasing returns to scale. Kriteria dari kaidahkaidah tersebut adalah sebagai berikut :
EP < 1 artinya proporsi penambahan faktor produksi melebihi/lebih besar dari proporsi penambahan produksi itu sendiri. Kondisi demikian menunjukkan decreasing return to scale. EP = 1 artinya
penambahan
faktor
produksi
akan
proporsional
dengan
penambahan produksi yang diperoleh. Kondisi demikian menunjukkan constant return to scale. EP > 1 artinya bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Kondisi demikian menunjukkan increasing return to scale. 4.5.2.2. Efisiensi Ekonomis Efisiensi ekonomis adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara keuntungan yang sebenarnya dengan keuntungan maksimum. Keuntungan maksimum dapat diketahui apabila turunan pertama dari keuntungannya sama dengan nol. Efisiensi ekonomi tercapai pada saat nilai produk marjinal (NPM) sama dengan biaya korbanan marjinal (BKM). π = PY . Y - PX . X ; kondisi saat π maks
=0 PY
- PX
PY
= PX
=0
PY.PM = PX NPM = BKM Untuk efisiensi dari penggunaan tiap-tiap faktor produksi, kondisi tersebut tercapai dengan syarat sebagai berikut :
=
= ……. =
=1
Apabila kondisi tersebut dipenuhi, artinya faktor produksi X yang digunakan telah mencapai tingkat efisien. Namun dalam kenyataannya kondisi seperti ini sulit dicapai. Jika
> 1 artinya penggunaan faktor produksi X belum efisien sehingga diperlukan penambahan faktor produksi X agar tercapai kondisi efisiennya.
Jika
< 1 artinya penggunaan faktor produksi X telah melampaui tingkat efisien sehingga diperlukan pengurangan faktor produksi X agar tercapai kondisi efisiennya.
4.5.3. Analisis Pendapatan dan Rasio Penerimaan Biaya (R/C ratio) Pendapatan usaha peternakan merupakan total penerimaan yang diperoleh peternakan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan peternakan untuk melakukan proses produksi. Total penerimaan usaha peternakan disini berasal dari hasil produksi yaitu penjualan sapi potong yang telah digemukkan. Total biaya meliputi biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan selama masa produksi berlangsung. Tingkat pendapatan usaha peternakan dapat dituliskan dalam persamaan matematis sebagai berikut : π = TR – TC TR = Σ (Yi x PYi) TC = TFC + TVC
Dimana : π
= pendapatan
TR
= total penerimaan (total revenue)
TC
= total biaya (total cost)
Yi
= jumlah output yang dijual
PYi
= harga output yang dijual
i
= jenis output yang dijual
TFC
= total biaya tetap (total fixed cost)
TVC
= total biaya variabel (total variable cost)
Kaidah pengujian : Jika TR > TC
maka usaha mendapat keuntungan
TR = TC
maka usaha dalam kondisi impas (tidak untung dan tidak rugi)
TR < TC
maka usaha mengalami kerugian
Analisis
pendapatan
usaha
peternakan
biasanya
disertai
dengan
pengukuran efisiensi dari input-outputnya. Efisiensi suatu usaha peternakan terhadap setiap penggunaan satu unit input digambarkan oleh rasio penerimaan dan biaya. Rasio penerimaan dan biaya atau R/C ratio ini merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima usaha peternakan dengan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Secara matematis hal itu dapat dituliskan sebagai berikut : R/C ratio = Suatu usaha peternakan dikatakan menguntungkan jika nilai R/C ratio lebih besar dari satu. Semakin besar R/C ratio maka semakin besar pula
keuntungan yang diperoleh peternak (Soekartawi, 1991). Kriteria yang digunakan adalah : Jika R/C > 1 artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan peternak untuk kegiatan usahanya akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Maka dapat dikatakan usaha peternakan tersebut menguntungkan untuk dijalankan. Jika R/C = 1 artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan peternak untuk kegiatan usahanya hanya memberikan penerimaan yang sama dengan biaya yang dikeluarkannya. Maka dapat dikatakan usaha peternakan berada pada titik impas dimana kondisinya tidak untung tetapi juga tidak rugi. Jika R/C < 1 artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan peternak untuk kegiatan usahanya, menghasilkan penerimaan yang lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha peternakan tersebut tidak menguntungkan untuk dijalankan. 4.5.4. Analisis Keberlanjutan Usaha Setiap
pengusaha,
disamping
mendapatkan
keuntungan
pasti
mengharapkan agar usahanya dapat terus berjalan. Untuk itu diperlukan berbagai upaya agar pengusaha tersebut dapat mempertahankan keberlanjutan usahanya di masa yang akan datang. Analisis keberlanjutan usaha dalam penelitian ini meliputi ketersediaan sumberdaya bahan baku kedepannya. Bahan baku tersebut merupakan faktor produksi yang dapat menunjang usaha agar dapat terus berjalan, yaitu penyediaan sapi bakalan dan pakan.
Selain ketersediaan bahan baku, akan dibahas juga mengenai penanganan limbah peternakan. Lokasi peternakan memang cukup jauh dari pemukiman penduduk, namun seiring berjalannya waktu kepadatan penduduk dalam suatu wilayah pasti bertambah. Terlebih jika di wilayah tersebut tanahnya subur dan memiliki aksesibilitas yang baik. Pembahasan mengenai pengelolaan limbah yang akan dilakukan peternakan kedepannya dimaksudkan agar tidak mengganggu masyarakat dan tercipta lingkungan yang harmonis antara peternakan dan pemukiman sekitar demi keberlanjutan usaha peternakan. Analisis mengenai keberlanjutan usaha ini akan dijelaskan secara deskriptif. 4.5.5. Batasan Istilah 1.
Ternak yang dipelihara merupakan sapi potong bakalan yang diimpor dari Australia untuk kemudian digemukkan sampai batas waktu tertentu hingga dihasilkan bobot badan yang lebih besar.
2.
Fungsi produksi adalah fungsi yang menunjukkan hubungan fisik antara faktor-faktor produksi (input) dengan hasil produksi (output).
3.
Faktor produksi adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya output (berupa sapi potong), yaitu : sapi bakalan, pakan konsentrat, pakan hijauan, tenaga kerja, dan kandang. Namun dalam penelitian ini faktor-faktor produksi yang digunakan adalah sapi bakalan, pakan konsentrat, dan pakan hijauan.
4.
Sapi bakalan merupakan sapi potong hidup dengan bobot berkisar antara 250350 kilogram dari bangsa sapi impor dengan tipe sex bull, steer, heifer yang dipelihara dan diberi pakan tertentu hingga mencapai bobot ideal siap jual.
Sapi bakalan dihitung berdasarkan bobot badan awal sapi potong yang tertimbang saat awal masa pemeliharaan. 5.
Bull adalah sapi jantan dewasa yang tidak dikastrasi (dikebiri) yang sudah dapat digunakan untuk perkawinan (pejantan).
6.
Steer adalah sapi jantan yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kelamin.
7.
Heifer adalah sapi dara atau sapi betina yang dikastrasi dan belum pernah melahirkan.
8.
Sapi potong merupakan sapi potong hidup yang telah mencapai bobot ideal siap jual yaitu minimal berbobot 360 kilogram. Sapi potong disini dihitung berdasarkan bobot badan akhir sapi yang tertimbang saat akhir masa pemeliharaan.
9.
Pakan konsentrat adalah pakan campuran dari beberapa bahan yang berasal dari limbah atau hasil ikutan pertanian yang biasa digunakan sebagai pakan ternak, yang diolah/dibuat sendiri oleh pihak peternakan dengan nama konsentrat APS. Pakan konsentrat disini adalah jumlah konsentrat APS yang diberikan kepada ternak selama periode pemeliharaan.
10. Pakan hijauan adalah pakan berupa hijauan baik hijauan segar maupun kering. Pakan hijauan disini adalah jumlah pakan hijauan berupa rumput gajah, tebon jagung, dan jerami yang telah difermentasi, yang diberikan kepada ternak selama periode pemeliharaan. 11. Lama pemeliharaan adalah waktu yang dibutuhkan untuk memelihara sapi potong mulai dari awal sapi bakalan didatangkan sampai sapi potong tersebut siap dijual. Satu periode pemeliharaan pada perusahaan berkisar ± 3 bulan atau selama 75 - 90 hari.
12. Biaya produksi adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan proses produksi. Biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel. 13. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh peternak yang besarnya tidak dipengaruhi jumlah output yang diproduksi. 14. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan oleh peternak yang besarnya dipengaruhi jumlah output yang diproduksi. 15. Penyusutan adalah penurunan nilai dari faktor-faktor produksi (seperti bangunan, mesin, atau peralatan) akibat penggunaannya dalam suatu proses produksi (karena pertambahan umur pemakaian). Perhitungan ini dilakukan pada faktor-faktor produksi tetap pada suatu usaha. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus, dasar pemikirannya adalah bahwa benda yang digunakan dalam suatu usahatani menyusut dalam besaran yang sama setiap tahunnya. Rumus penyusutan dengan metode garis lurus adalah sebagai berikut : Penyusutan =
16. Rasio penerimaan dan biaya (R/C ratio) menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk memproduksi. Melalui R/C ratio dapat diketahui tingkat keuntungan suatu usahaternak. Nilai R/C ratio yang baik adalah yang lebih besar dari satu, semakin besar R/C ratio maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. 17. Efisiensi adalah suatu kondisi dimana seluruh faktor produksi yang digunakan telah mencapai kondisi efisien teknis dan efisien ekonomis.
18. Efisiensi teknis adalah suatu kondisi dimana nilai elastisitas produksi dari variabel input yang digunakan dalam model serta nilai keseluruhannya berada antara nol dan satu (0 < EP < 1). 19. Efisiensi ekonomis adalah suatu kondisi optimum yang tercapai apabila nilai NPM = BKM dari variabel input yang digunakan dalam model. 20. Nilai Produk Marjinal (NPM) adalah turunan pertama dari persamaan fungsi produksi dikali dengan harga produksi. NPM =
. PY
21. Biaya Korbanan Marjinal (BKM) adalah rata-rata harga satuan faktor-faktor produksi (PX) yang berlaku di daerah penelitian. 22. Keberlanjutan usaha adalah upaya perusahaan untuk memenuhi kebutuhan produksi.