IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive karena di lokasi tersebut merupakan penghasil jambu biji terbanyak di Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2010 hingga Januari 2011 yang meliputi survey ke lokasi penelitian, penyusunan rencana kegiatan, pengumpulan data, dan penyusunan skripsi. 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam usaha pengembangan usahatani jambu biji. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Responden pada penelitian ini adalah petani jambu biji yang berada di Desa Sukaresmi dan Kencana. Petani jambu dipilih secara random sampling sebanyak 32 orang petani di Kecamatan Tanah Sareal. Data yang dimasukkan ke dalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrik dengan jumlah sampel yang valid secara statistik. Hal ini merupakan keuntungan dilihat dari alokasi waktu peneliti dalam melalukan pengumpulan data lapang. Peneliti dirangsang untuk mengumpulkan informasi yang lebih banyak baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibandingkan dengan besarnya jumlah petani yang diwawancara (Pearson et. al, 2005).
38
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif disajikan dengan menginterpretasikan dan mendeskripsikan data yang diperoleh, sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data, diolah dan disederhanakan dalam bentuk tabulasi untuk dianalisis secara deskriptif. Data kemudian diolah dengan bantuan komputer menggunakan program Microsoft excel dan Tabel input output untuk mengalokasikan biaya dan komponen tradable dan nontradable. Langkah-langkah yang dilakukan untuk membangun model PAM adalah sebagai berikut: 4.3.1. Menentukan Input dan Output Pada usahatani jambu biji ini komponen input merupakan semua input yang digunakan dalam proses produksi sampai menghasilkan output yang siap dijual. Input-input tersebut antara lain: bibit, pupuk kandang, pupuk urea, pestisida, lahan, tenaga kerja, peralatan, bangunan, bunga modal atau capital, bahan bakar, dan bahan-bahan lainnya. Output yang dihasilkan berupa jambu biji. 4.3.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Monke dan Pearson (1989) mengalokasikan biaya menjadi komponen domestik dan asing melalui dua pendekatan, yaitu: Pendekatan Langsung (Direct Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach). Pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Sementara pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing serta
39
dipergunakan apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan penawaran input tradable didatangkan dari produsen lokal. Dalam hal ini, input-input yang tergolong nontradable adalah lahan, tenaga kerja, pupuk organik (kandang dan kompos), dan biaya lain-lain di dalam dan di luar usahatani. Input tradable antara lain pupuk dan obat-obatan (pestisida), dan bahan-bahan lainnya. Pada penelitian ini digunakan pendekatan total untuk mengalokasikan biaya komponen domestik (nontradable) dan asing (tradable). Pendekatan total lebih sesuai digunakan dalam analisis dampak kebijakan untuk memperkirakan biaya ekonomi dan sosial dari struktur proteksi yang dilakukan pemerintah. 4.3.2.1. Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan utnuk menghasilkan suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan. Biaya tersebut digunakan untuk membeli sejumlah input. Pengalokasian biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) atau komponen domestik (nontradable) ditentukan berdasarkan jenis input, penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam biaya total input. Pada usahatani jambu biji ini, input-input nontradable seperti tenaga kerja, bunga modal, pupuk kandang, digolongkan ke dalam komponen biaya domestik. Input tradable seperti pupuk urea, TSP, pestisida dogolongkan ke dalam komponen biaya asing. Pengalokasian biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 6.
40
Tabel 6. Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen Domestik dan Asing No. A 1 B
Uraian
Finansial (%) Domestik Asing Pajak
Penerimaan Output jambu Input produksi Pupuk kandang Urea TSP Decis Round up Kertas koran Plastik Tenaga kerja Penyusutan peralatan Sewa lahan PBB Bunga modal Biaya Transportasi Biaya Penanganan
Ekonomi (%) Domestik Asing
100
0
0
100
0
100 77,02 77,02 79,67 79,67 98,74 48,82 100 96,85 100 100 100 99,18 98,88
0 22,82 22,82 19,06 19,06 0 49,58 0 0 0 0 0 0 0
0 0,16 0,16 1,27 1,27 1,26 1,6 0 3,15 0 0 0 0,82 1,12
100 77,18 77,18 80,94 80,94 100 50,42 100 100 100 100 100 100 100
0 22,82 22,82 19,06 19,06 0 49,58 0 0 0 0 0 0 0
Sumber : Tabel input-output 2005, diolah
4.3.2.2. Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya tataniaga dari daerah produsen hingga ke konsumen, atau dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen. Biaya tataniaga terdiri dari biaya transportasi dan penanganan. 4.3.3. Penentuan Harga Bayangan Harga bayangan adalah nilai ekonomi dari suatu barang atau jasa yang menggambarkan biaya oportunitas (biaya oportunitas: nilai barang atau jasa yang dikorbankan untuk alternatif penggunaan yang terbaik) terhadap masyarakat (Gittinger, 1986). Gittinger menjelaskan bahwa harga bayangan akan terjadi pada keadaan pasar bersaing sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Namun pada kenyataannya tak mudah menemukan pasar dalam kondisi persaingan sempurna, 41
karena terdapat kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, dan sebagainya. Harga bayangan dalam analisis ekonomi berdasarkan beberapa alasan. Pertama, harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Kedua, harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan dalam masyarakat. Harga bayangan dapat dianggap sebagai faktor penyesuaian terhadap harga pasar dari output, sarana atau faktor produksi karena harga pasar yang terjadi belum tentu dapat digunakan langsung dalam analisis ekonomi. Harga pasar seringkali tidak mencerminkan nilai sosial yang sebenarnya (social opportunity cost) dilihat dari benefit yang diperoleh masyarakat, maupun dari sumber-sumber yang dikorbankan karena digunakan untuk suatu proyek tertentu dan bukan digunakan untuk hal lain yang masih tersedia di masyarakat (Gray et al, 1993). Menurut Pearson et.al (2005), harga sosial (harga efisien) untuk barangbarang tradable adalah harga internasional untuk barang sejenis (comparable) yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Untuk barang-barang impor, harga impor barang tersebut menunjukkan opportunity cost dalam menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sedangkan untuk barang-barang ekspor, harga ekspor barang tersebut menunjukan opportunity cost satu unit tambahan produksi domestik untuk diekspor, bukan dikonsumsi dalam negeri. Harga dunia bisa dicari dari pusat statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga
42
internasional (the International Monetary Fund, the World Bank, the Asian Development Bank, atau lembaga-lembaga di bawah PBB). 4.3.3.1. Harga Bayangan Output Harga bayangan output tradable yang digunakan adalah border price, yaitu harga yang berlaku pada perbatasan negara, baik ketika barang tersebut tiba dari luar negeri (impor), maupun saat produk akan dikirim ke luar negeri (ekspor). Harga bayangan jambu biji menggunakan harga ekspor, karena tidak ada bursa berjangka di Indonesia yang menangani komoditi jambu biji. Setelah itu harga ekspor dikonversikan dengan nilai tukar bayangan (SER = Shadow Exchange Rate) dan ditambahkan biaya tataniaga. Melalui perhitungan tersebut, diperoleh harga bayangan jambu biji di tingkat petani, yaitu RP 6.355 per kilogram. 4.3.3.2. Harga Bayangan Input Sama halnya dengan output, harga bayangan input juga ditentukan berdasarkan input tradable dan nontradable. Input tradable misalnya pupuk sintetis dan pestisida, sedangkan input non tradable seperti pupuk kandang, lahan, tenaga kerja, peralatan, dan modal. Harga FOB digunakan untuk menentukan harga bayangan input yang diekspor, sedangkan harga CIF untuk input yang diimpor. Input nontradable diestimasi dengan cara mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya produksi barang atau jasa nontradable kedalam biaya input tradable dan biaya faktor domestik (tenaga kerja, modal, dan lahan). a) Pupuk Terdapat dua jenis pupuk yang digunakan, yaitu pupuk organik (pupuk kandang) dan pupuk sintetis (urea dan TSP). Pupuk kandang yang digunakan berasal dari dalam negeri dan termasuk input non tradable, sehingga harga
43
bayangan pupuk kandang sama dengan harga finansialnya, yaitu Rp 135 per kilogram. Pupuk urea dan TSP yang digunakan bahan dasarnya masih impor, sehingga untuk mendekati harga bayangan berdasarkan harga CIF (cost, insurance and freight) yang kemudian ditambah dengan biaya tataniaga. Harga CIF diperoleh dari harga FOB ditambah dengan biaya asuransi dan pengapalan kemudian dikalikan dengan nilai SER tahun 2009 Rp 10.440,32 ditambah biaya transportasi dan penanganan, sehingga didapat harga bayangan urea per kilogram yaitu Rp 3.116, sedangkan harga bayangan TSP per kilogram yaitu Rp 3.209. b) Pestisida Pestisida yang secara mayoritas digunakan dalam usahatani jambu biji di daerah penelitian adalah decis dan dusbran, sedangkan herbisida yang digunakan adalah round up. Berdasarkan pada penelitian terdahulu, harga bayangan pestisida didekati dengan harga rata-rata finansial dikurangi dengan ppn 10 persen. Harga bayangan decis sebesar Rp 170.100/liter, dusbran Rp 69.300/liter, dan round up Rp 57.600/liter. c) Peralatan Peralatan yang digunakan dalam usahatani jambu biji antara lain, cangkul, garpu tani, golok, handsprayer, gunting pangkas, dan arit. Harga bayangan peralatan dihitung berdasarkan nilai penyusutan per tahun yang nilainya sama dengan harga aktualnya, karena tidak ada subsidi atau pajak yang dikenakan pada peralatan pertanian.
44
4.3.3.3. Harga Bayangan Faktor Domestik a) Lahan Harga sosial lahan ditentukan menurut social opportunity cost lahan, yaitu pendapatan yang diperoleh apabila lahan ditanam oleh komoditi alternatif terbaiknya. Namun cara ini sulit dilakukan dan akan memakan waktu karena peneliti juga harus menganalisis pendapatan usahatani komoditi alternatifnya. Harga bayangan lahan didekati dengan harga sewa lahan karena sistem sewamenywa lahan telah berkembang, artinya banyak petani yang mau menyewa atau menyewakan lahannya pada pihak lain untuk usahatani lainnya, sehingga pasar lahan diasumsikan berkerja dalam kondisi bersaing sempurna (Pearson et. al, 2005). b) Tenaga Kerja Harga tenaga kerja diklasifikasikan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Dalam penelitian ini upah tenaga kerja finansial sama dengan upah tenaga kerja bayangan, karena seluruh tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja tidak terampil dan para peneliti berpendapat tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja pertanian tidak terampil di pedesaan. Tingkat upah ditentukan sama dengan upah tenaga kerja luar keluarga (Pearson et. al, 2005). Upah tenaga kerja pertanian dihitung berdasarkan satuan hari kerja pria (HKP), dimana dalam satu HKP adalah delapan jam dan seharga Rp 35.000/HKP. c)
Bunga Modal Tingkat bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Modal yang digunakan oleh petani pada penelitian ini seluruhnya menggunakan modal sendiri. Menurut Pearson et.al
45
(2005), untuk menghitung harga bayangan bunga modal digunakan pendekatan suku bunga di negara berkembang lainnya (Malaysia) dan ditambahkan tingkat inflasi dalam negeri yaitu 2,09 persen. 4.3.3.4. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang Penentuan harga sosial nilai tukar uang digunakan rumus menurut Squire dan van der Tak (1975) dalam Gittinger (1986), yaitu:
SER t =
OER t SCF t
Dimana: SERt = Shadow Exchange Rate tahun ke-t (Nilai Tukar Bayangan, Rp/US$) OERt = Official Exchange Rate tahun ke-t (Nilai Tukar Resmi, Rp/US$) SCFt = Standard Convertion Factor tahun ke-t (Faktor Konversi Standar) Nilai SCF ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut (Rosegrant, 1987 dalam Gittinger, 1986):
SCFt
=
X t+ M t X t − Tx t + M t − Tm t
Dimana: SCFt Mt Tmt Xt Txt
= Faktor Konversi Standar tahun ke-t = Nilai Impor tahun ke-t (Rp) = Pajak Impor tahun ke-t (Rp) = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp)
4.4. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis matriks kebijakan (Policy Analysis Matrix). PAM terdiri dari matriks yang disusun berdasarkan hasil analisis finansial (privat) dan analisis ekonomi (sosial). Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi menjadi komponen tradable (asing) dan nontradable (domestik). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, peralatan pertanian, dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat
46
diperdagangkan (tradable) dan faktor domestik (nontradable). Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom (Tabel 7). Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi. Melalui perhitungan baris satu dan dua tersebut masing-masing dihitung keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya. Perbedaan perhitungan antara harga privat dengan harga sosial disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga.
Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu
berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis dalam penelitian ini. Penggunaan harga privat dan sosial dalam matriks PAM menggambarkan bahwa matriks ini mengandung analisis privat dan sosial. Dalam analisis sosial, kita meninjau aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara keseluruhan, sedangkan pada analisis privat kita meninjau
aktivitas
pelaku
ekonomi
(individu
atau
perusahaan)
yang
berkepentingan langsung dalam kegiatan ekonomi. Matriks PAM yang menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian sumberdaya dijelaskan pada Tabel 7.
47
Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan Biaya Keterangan
Penerimaan
Input Tradable
Input Nontradable
Keuntungan
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
Nilai Finansial (Harga Privat) Nilai Ekonomi (Harga Bayangan) Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar (Divergensi)
Keterangan: Keuntungan Privat = D = A – B – C Keuntungan Sosial = H = E – F – G Transfer Output =I=A–E Transfer Input =J=B–F Transfer Faktor =K=C–G Transfer Bersih =L=D–H Rasio Keuntungan Privat = C/ (A – B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik = G/ (E – F) Koefisien Proteksi Nominal = output tradable = A/ E = Input tradable = B/ F Koefisien Proteksi Efektif = (A – B) / (E – F) Koefisien Keuntungan = (A – B –C) / (E – F – G) atau D/H Subsidy Rasio untuk Produsen = (D – H) atau L/E Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Dari matriks PAM dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1) Analisis Keungulan Komparatif dan Kompetitif a) Keunggulan Komparatif i)
Keuntungan Sosial atau Social Profitability Keuntungan sosial (SP) merupakan indikator daya saing atau efisiensi dari
sistem usahatani pada kondisi tidak ada efek divergensi baik aibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Keuntungan sosial dirumuskan sebagai berikut:
48
SP (H) = E – F – G Keterangan: E = Penerimaan sosial F = Biaya input tradable sosial G = Biaya input nontradable sosial Jika keuntungan sosial lebih dari nol (SP(H)>0) dan nilainya makin besar, maka sistem komoditi jambu biji makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, jika keuntungan sosial kurang dari nol (SP(H)<0), maka sistem komoditi tidak mampu berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. ii) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Cost Ratio Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan kemampuan suatu usahatani dalam membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial. DRC menggambarkan efisiensi ekonomi suatu usahatani. DRC dirumuskan sebagai berikut:
DRC =
G E−F
=
Biaya input non 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 sosial Penerimaan sosial −Biaya input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 sosial
Jika rasio biaya sumberdaya domestik kurang dari satu (DRC<1) artinya memproduksi di dalam negeri lebih menguntungkan dibanding mengimpor. Jika nilainya semakin kecil berarti sistem komoditi makin efisien secara ekonomi, maka usahatani tersebut mempunyai daya saing yang makin tinggi dan mampu berjalan tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sebaliknya jika DRC>1 berarti untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri lebih menguntungkan dengan mengimpor dibandingkan memproduksi sendiri. Atau dengan kata lain usahatani
49
tidak mampu berjalan tanpa bantuan pemerintah. Kegiatan ini akan memboroskan sumberdaya domestik yang langka karena memproduksi komoditi dengan biaya sosial yang lebih besar daripada biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lain, maka melakukan impor akan lebih efisien dibandingkan dengan memproduksi sendiri. b) Keunggulan Kompetitif i)
Keuntungan Privat atau Private Profitability Keuntungan privat (PP) merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Jika nilai keuntungan lebih dari nol (PP(D)>0), maka sistem komoditi memperoleh profit di atas normal yang mempunnyai implikasi bahwa komoditi itu mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau ada komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. Suatu sistem komoditi tidak akan menguntungkan jika nilai PP(D)<0. Keuntungan privat didapat dengan rumus berikut: PP (D) = A − B – C Keterangan:
A = Penerimaan privat B = Biaya input tradable privat C = Biaya input nontradable privat
ii)
Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah terhadap harga privat. Nilai PCR mencerminkan berapa banyak sistem komoditi tersebut dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D=0). Jelas bahwa perusahaan lebih menyukai D>0 dan ini dapat diraih jika C<
50
(A-B). Maka usaha penanganan biaya faktor domestik dan biaya input tradable bertujuan memaksimumkan profit. Maka PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga privat. Apabila nilai rasio biaya privat kurang dari satu (PCR<1), maka sistem komoditi tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Semakin kecil nilai PCR, maka komoditi tersebut semakin memiliki daya saing (keunggulan kompetitif). Monke dan Pearson (2004) merumuskan nilai Rasio Biaya Privat sebagai berikut: PCR = 2)
C Biaya faktor domestik privat = A − B Penerimaan privat − Biaya input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 privat
Dampak Kebijakan Pemerintah
a) Kebijakan Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari: i)
Transfer Input Transfer Input adalah selisih antara biaya input tradable pada harga privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya kebijakan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai TI positif (TI>0) menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya, jika TI bernilai negatif (TI<0) hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial (social opportunity) yang seharusnya dibayarkan. Transfer input dirumuskan sebagai berikut: TI (J) = B – F Keterangan:
B = Biaya input tradable privat F = Biaya input tradable sosial
51
ii) Nominal Protection Coefficient in Tradable Input (NPCI) Koefisien proteksi input nominal merupakan indikator ang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI adalah rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Apabila nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1) maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi atas input asing yang tradable sehingga produsen dapat membeli dengan harga yang lebih rendah. Apabila nilai NPCI lebih dari satu (NPCI>1) maka terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan merasa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. NPCI dirumuskan sebagai berikut:
NPCI =
B F
=
Biaya input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 privat Biaya input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 sosial
iii) Transfer Faktor Transfer faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Jika nilai transfer faktor positif (TF>0) menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable. Sedangkan jika nilai transfer faktor negatif (TF<0), berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable. Pada matriks PAM transfer faktor dirumuskan sebagai berikut: TF (K) = C – G Keterangan:
C = Biaya input nont tradable privat G = Biaya input non tradable sosial
52
b) Kebijakan Output i)
Transfer Output (TO) Transfer output (TO) merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial (bayangan). Nilai TO menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial. Nilai TO yang positif (TO>0) menunjukkan bahwa ada insentif masyarakat terhadap produsen, artinya harga yang dibayarkan oleh konsumen pada produsen lebih tinggi dari seharusnya, atau ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima oleh produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Sebaliknya jika nilai TO negatif, maka harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Formula Transfer Output: TO (I) = A – E Keterangan:
A = Penerimaan privat E = Penerimaan sosial
ii) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) Koefisien Proteksi Output atau Nominal Protection on Tradable Output adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai NPCO lebih dari satu (NPCO>1) berarti telah terjadi penambahan penerimaan akibat adanya kebijakan yang memengaruhi harga output (efek divergensi), begitu pula sebaliknya. NPCO dirumuskan sebagai berikut: NPCO =
A Penerimaan privat = E Penerimaan Sosial
53
c) Kebijakan Input-Output i)
Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC) Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditi dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan seberapa besar kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila nilai EPC>1 berarti pemerintah melindungi produsen secara efektif dengan menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efisiensinya. Sebaliknya jika nilai EPC<1 artinya kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan secara efektif. EPC dirumuskan sebagai berikut: EPC =
A−B Penerimaan privat − Biaya input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 privat = E−F Penerimaan sosial − Biaya input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 sosial
ii) Transfer Bersih atau Net Transfer (NT) Transfer Bersih (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. NT menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani. Nilai NT yang positif (NT>0) menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah terhadap input dan output. Rumus transfer bersih: NT (L) = D – H Keterangan:
D = Keuntungan privat H = Keuntungan sosial
iii) Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC) Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. PC
54
menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan antara keuntungan privat dan sosial. Jika nilai PC>0, maka yang terjadi adalah kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan tidak ada kebijakan, dan sebaliknya apabila PC bernilai negatif. Koefisien keuntungan dapat dirumuskan: PC =
D Keuntungan privat = H Keuntungan sosial
iv) Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP) Rasio
subsidi
produsen
menunjukkan
tingkat
penambahan
dan
pengurangan penerimaan total karena adanya kebijakan pemerintah. SRP memungkinkan
untuk
membuat
perbandingan
antara
besarnya
subsidi
perekonomian bagi sistem komoditi pertanian. SRP yang bernilai negatif (SRP<0) artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial (opportunity cost) untuk berproduksi. Rumus SRP adalah sebagai berikut:
SRP =
Transfer bersih Penerimaan sosial
4.5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan menguji hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya, baik input maupun output. Dasar-dasar perhitungan tersebut berdasarkan kebijakankebijakan pemerintah atau perubahan harga yang diperkirakan akan memengaruhi proses produksi. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah:
55
1. Perubahan terhadap Harga Output Analisis kepekaan yang pertama adalah perubahan penurunan harga output domestik sebesar 15 persen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan harga jambu biji terendah di tingkat petani pada saat panen raya. Produktivitas tanaman jambu biji meningkat dan produksi melimpah, sehingga harga jambu biji domestik menurun. Begitu pula dengan harga jambu biji internasional juga mengalami penurunan sebesar 17 persen akibat fluktuasi harga di pasar pelelangan internasional. Perubahan harga output lainnya adalah kenaikan harga jambu biji domestik sebesar 20 persen karena peningkatan kualitas jambu biji melalui penerapan SNI jambu biji. 2. Perubahan terhadap Harga Input Diasumsikan bila terjadi kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk sebesar 10 hingga 15 persen di tahun 2011 (ceteris paribus). Kenaikan HET pupuk bersubsidi ini disebabkan oleh pemerintah mengurangi anggaran subsidi pupuk. Namun harga yang diterima petani biasanya akan lebih tinggi 20 persen dari kenaikan HET tersebut (Kompas, 20 Agustus 2010). Maka sensitivitas yang digunakan sebesar 35 persen. 3. Analisis Sensitivitas Gabungan Sensitivitas gabungan yang dilakukan adalah apabila terjadi kenaikan harga jambu biji domestik kemudian digabung dengan kebijakan pemerintah berupa penghapusan PPN 10 persen, penambahan anggaran subsidi pupuk, dan peningkatan kualitas jambu biji domestik melalui penerapan SNI jambu biji. Analisis sensitivitas gabungan lainnya adalah apabila terjadi penurunan harga
56
jambu biji internasional dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
57