58
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Hasil analisis tutupan lahan (land cover) menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) menunjukkan bahwa tumbuhan sagu terdistribusi pada wilayah pesisir di dataran rendah pada tanah-tanah endapan, di tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, lembah-lembah bukit dengan total luas areal mencapai 18.239 ha (Lampiran 1). Apabila luas areal sagu ini dibandingkan dengan luas P. Seram 1,8 juta ha, maka luas tutupan sagu hanya mencapai satu persen. Dalam rangka uji akurasi dilakukan pengumpulan Ground Control Points (GCP). Tingkat akurasi klasifikasi cukup tinggi mencapai 76 % (Gambar 9) berdasarkan overall accuracy (Producer’s Accuracy = 73 % dan User’s Accuracy = 68 %) . Tingkat akurasi ini dipengaruhi oleh awan dan kondisi topografi sehingga
tumbuhan
sagu tidak terdeteksi dengan baik pada citra.
Selain itu diduga karena terdapat tumbuhan sagu yang tumbuh bercampur dengan vegetasi pohon dan/atau ternaungi sehingga nilai dijitalnya bercampur dengan nilai dijital tumbuhan di atasnya. Hambatan lain yang bisa terjadi adalah pertumbuhan sagu yang tidak teratur dengan luas klaster yang relatif terbatas yakni tidak mencukupi ukuran 3 x 3 piksel. Semua klaster sagu dengan ukuran luas melebihi ukuran tersebut apabila tidak terdapat hambatan lain, misalnya karena adanya awan, maka klaster tersebut tampak pada citra. Resolusi citra landsat-5TM minimal yang dapat terdeteksi pada citra sebanyak sembilan piksel karena dilakukan focal scan dengan ukuran window 3 x 3. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram apabila dikaitkan dengan sifat-sifat lahan, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu menyukai kondisi lahan dengan ciri-ciri yaitu : 1) lahan datar-curam, 2) dekat pesisir, 3) dekat sungai, 4) pada tanah-tanah aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan 5) pada ketinggian tempat antara 0-250 m dpl. Sifat-sifat lahan ini selanjutnya disebut sebagai kondisi habitat tumbuhan sagu yang sesuai, sedangkan kondisi lahan yang tidak termasuk dalam kategori di atas dikategorikan sebagai kondisi habitat yang kurang, bahkan tidak sesuai untuk pertumbuhan dan pengembangan sagu.
58
Gambar 9. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku
57
58
4.1.1. Distribusi sagu pada berbagai elevasi Overlay antara distribusi sagu dan Digital Elevation Model (DEM) ASTER dan observasi lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan tumbuhan sagu tumbuh di dataran rendah pada elevasi (ketinggian tempat) ≤ 250 meter dari atas permukaan laut (m dpl) (Tabel 10 dan Gambar 10). Lahan pada ketinggian ini merupakan habitat yang banyak ditemukan tumbuhan sagu, mencapai 99,98 %.
Bintoro (2008)
mengemukakan bahwa pada tegakan sagu alami di berbagai daerah di Indonesia seperti Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera banyak ditemukan sagu tumbuh pada ketinggian tempat mencapai 300 m dpl. Secara umum tumbuhan sagu dapat tumbuh sampai mencapai ketinggian tempat 1000 m dpl,
tetapi
pertumbuhan sagu terbaik berada pada ketinggian antara 0 - 400 m dpl. Pada ketinggian yang lebih besar pertumbuhannya terhambat dan memiliki kandungan pati rendah. Pada ketinggian tempat di atas 600 m dpl pertumbuhan sagu memendek, hanya mencapai tinggi sekitar enam meter.
Atas dasar ketinggian tempat ini,
berdasarkan hasil survey BPPT (1982) dilaporkan bahwa tumbuhan sagu di Maluku pada umumnya ditemukan tumbuh pada ketinggian antara 0-20 m dpl. Berdasarkan fakta di atas, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram kondisi habitat yang sesuai terletak pada ketinggian tempat antara 0-250 m dpl (Lampiran 2). Pada ketinggian tempat yang lebih besar dari 250 m dpl tumbuhan sagu yang tumbuh pada ketinggian tersebut tidak mencapai setengah persen. Hal ini berarti bahwa secara alami tumbuhan sagu tidak dapat beradaptasi dengan baik pada ketinggian yang melebihi 250 m dpl. Kalaupun terdapat sagu, luas klasternya kecil-kecil atau hanya terdiri atas beberapa rumpun.
Klaster-klaster seperti dengan menggunakan citra Landsat tidak dapat
terdeteksi. Kelas elevasi dan distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram disajikan pada Tabel 10.
58
Gambar 10. Distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram, Maluku
59
60 58
Tabel 10. Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku Ketinggian tempat (m dpl)
Luas P. Seram (ha)
%
Luas sagu (ha)
%
0 - 125 125 - 250 250 - 375
617.800,32 324.529,29 236.379,87
34,64 18,19 13,25
13.385,61 4.814,28 39,87
73,39 26,39 0,22
375 - 500 500 - 625 625 - 750 750 - 825 825 - 1000 > 1000
174.499,83 126.367,02 91.214,10 43.930,98 68.282,82 100.680,75
9,78 7,08 5,11 2,46 3,83 5,64
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1.783.684,98
100,00
18.239,76
100,00
Jumlah
Pada Tabel di atas tampak bahwa dari sisi ketinggian tempat di atas permukaan laut, lahan yang terletak pada ketinggian antara 0-250 m dpl sebanyak 942.329,61 ha atau setara 52,83 % dari total luas lahan di P. Seram yang mencapai 1,8 juta hektar.
Hal ini berarti bahwa secara parsial berdasarkan ketinggian
tempat, maka sekitar 50 % lahan sagu di P. Seram dapat dikatakan sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan tersebut tumbuh dan berkembang sekitar 18.239 ha tumbuhan sagu. Distribusi sagu di P. Seram pada berbagai ketinggian tempat yaitu : 1) pada ketinggian 0-125 m dpl sebanyak 13,39 ribu ha (73,39 %), 2) 125-250 m dpl 4,81 ribu ha (26,39 %). Apabila luas ini dikaitkan dengan luas lahan yang terdapat pada ketinggian antara 0-250 m dpl, maka dapat dikatakan bahwa hanya sekitar 1,94 % lahan yang ditumbuhi sagu, sisanya berupa jenis vegetasi yang lain. Overlay distribusi sagu pada berbagai ketinggian tempat di P. Seram tersaji pada Gambar 8. 4.1.2. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan Kondisi topografi lahan di P. Seram pada umumnya berbukit dan berlereng. Berdasarkan sifat lahan ini, tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh pada kondisi lahan dengan kemiringan rendah atau memiliki slope antara kecilsedang, berkisar antara 0-40 % (Tabel 11 dan Gambar 11). Kondisi kemiringan lereng ini merupakan sifat lahan yang sesuai sebagai habitat untuk pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 3). Pada kemiringan lereng yang lebih besar dari 40 persen tidak sesuai bagi pertumbuhan sagu. Secara parsial berdasarkan kemiringan lereng, di P. Seram terdapat sekitar 336.922,65 ha setara dengan 18,96
61
% luas lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan 336,9 ribu ha ini telah tumbuh sebanyak 18,239 ha sagu. Distribusinya pada berbagai kemiringan lereng yaitu : 1) kemiringan 0-88 % (datar) sebanyak 9,17 ribu ha (50 %), 2) 8-15 % (landai) 2,79 ribu ha (15 %), 3) 15-25 % (agak curam) 2,85 ribu ha (16 %), 25-40 % (curam) 2,68 ribu ha (15 %). Dengan kata lain sebanyak 98 % tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kemiringan lereng antara 0-40 %. Sisanya sebesar empat persen tumbuh pada kemiringan >40 %. Tabel 11. Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P. Seram, Maluku Luas P. Seram Luas sagu Kemiringan Lereng % % (ha) (ha) 0 - 8 % (Datar) 8 - 15 % (Landai) 15 - 25 % (Agak curam) 25 - 40 % (Curam) >40% (Sangat curam) Jumlah
336.922,65 270.211,77 408.540,78 541.066,77 220.146,39 1.776.888,36
18,96 15,21 23,00 30,45 12,39 100,00
9.169,20 2.787,39 2.845,35 2.681 756,72 18.239,66
50,00 15,00 16,00 15,00 4,00 100,00
4.1.3. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan
Sistem lahan (land system) berkaitan dengan bahan induk pembentukan tanah. Oleh karena itu sistem lahan menentukan jenis tanah yang terbentuk di suatu tempat. Berdasarkan analisis sistem lahan (land system), tumbuhan sagu di P. Seram kebanyakan terdistribusi pada sistem lahan dari bahan-bahan seperti : 1) Limestone; coral, seluas 607,86 ha (3,33 %), 2) Alluvium-recent riverine; alluvi, 1.102,05 ha (6,04 %), 3) Alluvium, estuarine marine; allu, 3.887,91 ha (21,32 %), 4)
Schist; gneiss, 1.067,40 ha (5,85 %), 5) Phyllite; schist; gneiss; sandst,
2.101,32 ha (11,52 %), 6) Andesite; basalt; diorite; gabbr, 1.227,33 ha (6,73 %), dan 7) Phyllite; schist 1.025,00 ha (5,62 %) (Tabel 12 dan Gambar 12). Jumlah luas lahan pada sistem lahan ini mencapai 11.474 ha, setara 62,64 % dari total lahan sagu pulau Seram 1,8 juta ha.
58
Gambar 11. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram, Maluku
62
63 58
Tabel 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku No.
Sistem Lahan
Luas P. Seram (ha)
%
Luas sagu (ha)
%
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Coral; alluvium, recent estuarin Limestone; coral Alluvium-recent riverine; alluvi Alluvium-recent estuarine-marine Limestone; coral; sandstone; mar Alluvium recent riverine; alluvi Alluvium, estuarine marine; allu Marl; limestone
14.514,93 72.797,76 184.232,52 17.032,50 80.150,31 28.465,47 8.902.89 100.129,41
0,79 3,94 9,98 0,92 4,34 1,54 0,48 5,42
607,86 1.102,05 3.887,91 410,13 861,21 723,33 1.063,80 465,66
3,33 6,04 21,32 2,25 4,72 3,97 5,83 2,55
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Schist; gneiss Alluvium, recent marine (beachs) Sandstone; mudstone; shale; cong Phyllite; schist; gneiss; sandst Sandstone; mudstone; conglomerat Limestone; coral, alluvium, fan Clay
71.548,92 9.059,67 80.297,28 343.933,74 195.521,49 32.321,07 261.007,11
3,88 0,49 4,35 18,63 10,59 1,75 14,14
1.067,40 348,48 231,21 2.101,32 315,45 521,91 301,95
5,85 1,91 1,27 11,52 1,73 2,86 1,66
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Limestone; sandstone; marl Limestone Limestone; alluvium, recent rive Limestone; coral; marl; alluvium Alluvium recent riverine; alluvi Sandstone; shale; alluvium, rece Marl; limestone; sandstone; shal Granite; granodiorite
28.227,24 82.791,09 17.879,04 9.786,69 11.136,24 20.244,06 8.966,61 2.491,29
1,53 4,48 0,97 0,53 0,60 1,10 0,49 0,13
291,78 30,78 429,12 134,46 43,65 163,17 28,80 47,25
1,60 0,17 2,35 0,74 0,23 0,90 0,16 0,26
24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Andesite; basalt; diorite; gabbr Basalt; andesite Serpentinite; peridotite; dunite Andesite; basalt Alluvium, fan deposits alluvium, Alluvium, fan deposits, colluviu Alluvium, fan deposits
106.775,64 1.263,60 8.361,45 17.736,30 926,62 1.068,66 10.082,61
5,78 0.07 0,45 0,96 0,50 0,06 0,55
1.227,33 359,10 41,94 35,91 63,99 218,88 0,00
6,73 1,97 0,23 0,20 0,35 1,20 0,00
2.165,76 689,85 7.306,11
0,12 0,04 0,40
27,72 1.025,00 61,18
0,15 5,62 0,33
1.828.911,04
100,00
18.239,75
100,00
31. Sandstone; shale; alluvium; old 32. Phyllite; schist 33. Alluvium, recent riverine; alluv Jumlah
Pada sistem lahan sebagaimana yang disebutkan di atas, lahan yang ditumbuhi sagu pada umumnya >1000 ha. Sistem lahan ini diduga merupakan sistem lahan yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 4).
58
Gambar 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku
64
65 58
4.1.4. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah Berdasarkan sistem lahan, apabila dikaitkan dengan
jenis tanah yang
terbentuk di P. Seram, maka tampak bahwa tumbuhan sagu banyak berkembang pada lima jenis tanah yatitu : 1) entisols, 2) alfisols, 3) inceptisols, 4) oxisols, dan 5) ultisols (Tabel 13). Ciri yang dipakai untuk menjelaskan jenis-jenis tanah tersebut adalah berdasarkan empat huruf pada bagian akhir tiap-tiap jenis tanah, sesuai ketentuan penamaan menurut Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff USDA 1999). Jenis-jenis tanah ini yang selanjutnya dapat dikategorikan sebagai tanah-tanah yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 5). Distribusi sagu paling banyak pada jenis tanah entisols dan inceptisols. Jenis tanah ini merupakan tanah yang belum lama terbentuk atau tanah yang baru mulai berkembang.
Diduga bahan-bahan penyusunnya berasal dari bahan
endapan baru yang terbawa dari bagian ketinggian terbawa oleh aliran permukaan (run off), atau berasal dari endapan banjir apabila terjadi hujan. Menurut Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff USDA 1999) tanah-tanah ini merupakan jenis tanah baru (recent). Penamaan ini sepadan dengan jenis tanah Aluvial menurut sistem klasifikasi tanah yang dikembangkan oleh Pusat penelitian Tanah Bogor (Hardjowigeno 2003). Jenis tanah Entisols memiliki ciri antara lain selalu jenuh air dan matriksnya tereduksi pada semua horizon di bawah kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Sedangkan jenis tanah Inceptisols memiliki ciri antara lain mulai terbentuk struktur dan di dalam kedalaman 50 cm dari permukaan tanah mineral mengandung cukup besi fero (Fe 2+) aktif untuk dapat memberikan reaksi positif terhadap alpha, alpha-dipyridil ketika tanah tidak sedang diirigasi (Soil Survey Staff USDA 1999). Pada Gambar 13 tampak sebaran jenis tanah yang sesuai bagi habitat tumbuhan sagu. Tabel 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis tanah Troporthens; Tropudalfs; Tropop Rendolls; Eutropepts; Tropudalfs Tropaquepts; Fluvaquents Hydraquents; Sulfaquuents Rendolls; Tropudalfs; Eutropepts Tropoquepts; Eutropepts; Tropof
Luas (ha) 607,86 1.665,63 3.887,91 410,13 861,21 723,33
(%) 3,33 9,13 21,32 2,25 4,72 3,97
70 66
… lanjutan 7. Tropaquepts; Eutropepts; Tropud 8. Eutropepts; Dystropepts; Troport 9. Dystropepts; Tropudults 10. Tropopsamments; Tropaquents 11. Tropudults; Dystropept 12. Humitropepts; Dystropepts; Tropa 13. Dystropepts; troporthents; Tropu 14. Rendolls; Eutropepts 15. Eutropepts; Paleudults; Troudal 16. Eutropepts; Tropudults 17. Tropofluvents; Tropaquepts 18. Tropudults; Tropudalfs; Dystrope 19. Eutropepts; Dystropepts; tropudda 20. Eutropepts; Dystropepts 21. Dystropepts; Eutropepts; Tropudu 22. Haplorthox; Acrorthox; Dystrpep 23. Dystropepts; Tropudults; Troport 24. Dystropepts; Dystrandepts; Tropa 25. Dystropepts; Dystrandepts; Tropu 26. tropaquents; Tropopluvents; Fluva 27. Eutropepts; Tropaquepts; Tropfl Jumlah
1.063,80 465,66 2.377,17 348,48 247,23 2.101,32 315,45 552,69 301,95 291,78 43,65 163,17 28,80 359,10 41,94 35,91 63,99 218,88 27,72 1.025,01 9,99 18239,76
5,83 2,55 13,03 1,91 1,36 11,52 1,73 3,03 1,66 1,60 0,24 0,90 0,16 1,97 0,23 0,20 0,35 1,20 0,15 5,62 0,05 100,00
4.1.4. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh di bagian pinggir kiri-kanan sungai yang datar atau berupa rawa-rawa yang senantiasa terendam air, baik permanen ataupun temporer (Gambar 14). Hasil observasi lapangan ditemukan bahwa tidak semua kawasan kiri-kanan sungai terdapat tumbuhan sagu. Bagian kiri-kanan sungai yang biasanya dapat ditemukan tumbuhan sagu adalah bagian pinggir sungai yang tanahnya terdapat liat, memiliki tekstur halus, atau mengandung bahan organik yang memadai yang ditunjukkan oleh perubahan warga coklat kehitaman. Pada bagian pinggir sungai yang didominasi partikel pasir, jarang atau bahkan tidak ditemukan sagu.
Louhenapessy (1993)
mengemukakan bahwa tumbuhan sagu dapat bertumbuh dengan baik pada tanahtanah berpasir apabila mengandung bahan organik yang cukup.
58
Gambar 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku
67
58
66
Gambar 14. Distribusi sagu pada buffer sungai di P. Seram, Maluku
68
69
Hasil overlay distribusi sagu dengan jarak dari pinggir kiri-kanan sungai (buffer sungai) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 10.834,44 ha (59,40 %) tumbuhan sagu yang tumbuh pada sisi pinggir kiri-kanan sungai berjarak <300. Hal ini berarti bahwa terdapat sekitar 7.405,36 ha tumbuhan sagu yang tumbuh pada jarak > 300 m (40,60 %) dari sisi kiri-kanan sungai (Tabel 14). Tabel 14. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai di P. Seram, Maluku No. 1.
Jarak dari sungai 0 - 300 m
Luas (ha) 10.834,44
(%) 59,40
2.
> 300 m
7.405,36
40,60
Jumlah
18.239,80
100,00
Pada Tabel di atas tampak bahwa tidak semua areal sagu di P. Seram terdapat di tempat yang berdekatan dengan sungai pada jarak sekitar 300 m. Artinya terdapat sebagian tumbuhan sagu di luar jarak tersebut. Hal ini berarti bahwa buffer sungai untuk keperluan mengetahui distribusi tumbuhan sagu pada sisi kiri-kanan sungai jaraknya perlu diperlebar.
4.2. Studi Autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 4.2.1. Struktur populasi Struktur populasi tumbuhan sagu (Metroxylon
spp.) dalam kajian ini
diuraikan menurut fase pertumbuhan berdasarkan kriteria yang dikembangkan BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) dengan modifikasi.
Fase
pertumbuhan dimaksud meliputi fase semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (pole), dan pohon (trees). Secara teoritis dikenal tiga struktur populasi yang dapat ditemukan dalam pertumbuhan suatu organisme. Pemisahan ini pada umumnya didasarkan pada tingkatan umur organisme, yaitu struktur populasi menurun, stabil, dan muda (Wirakusumah 2003). Struktur populasi menurun dicirikan oleh jumlah populasi yang tinggi pada fase umur post-reproduktif, berkurang pada fase reproduktif, dan semakin sedikit pada fase pre-reproduktif. Struktur populasi stabil dicirikan oleh jumlah populasi yang rendah pada fase post-reproduktif,
70
makin bertambah pada fase reproduktif, dan makin bertambah lagi pada fase prereproduktif. Struktur populasi yang berikut adalah struktur populasi muda, yaitu struktur populasi yang dicirikan oleh jumlah individu rendah pada fase postreproduktif, sedang pada fase produktif, dan sangat banyak pada fase prereproduktif. Struktur populasi sagu yang ditemukan di P. Seram Maluku secara umum menyerupai struktur populasi muda yaitu populasi yang memiliki jumlah individu paling banyak pada fase semai, kemudian berkurang secara drastis pada fase sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada fase pohon (Gambar 15). Terjadinya peningkatan populasi pada fase pohon diduga karena tiga alasan yaitu : 1) fase pohon menghambat pertumbuhan sagu pada fase dibawahnya sehingga terjadi gap antara sagu fase tiang dan pohon belum panen. Hambatan ini berlangsung sampai dengan tumbuhan sagu fase pohon tersebut berbunga. Ketika tumbuhan sagu sampai pada fase berbunga, maka ukuran daun mengecil atau tangkai dan anak-anak daun memendek.
Pada masa itu tidak lagi terjadi
penambahan daun yang kemudian mengarah ke kematian. Hambatan tersebut dapat pula berakhir apabila tumbuhan sagu fase pohon telah dipanen, 2) sejak akhir fase tiang sampai dengan awal fase pohon panen diperlukan periode waktu sekitar 5-7 tahun, dengan asumsi masak panen sagu sekitar 15 tahun, 2) kriteria ukuran tinggi sekitar dua meter bagi pertumbuhan sagu selama fase tiang patut dikoreksi menjadi tiga meter atau memerlukan periode waktu sekitar empat tahun, dan Apabila tiga aspek sebagaimana tersebut di atas dimasukkan dalam pembangunan struktur populasi tumbuhan sagu, kemudian ditarik garis pola pertumbuhan (trend line) maka akan membentuk huruf ‘J’ terbalik. Hasil ini mirip dengan temuan Rostiwati et al. (2008) yang memperoleh trend line yang sama dengan struktur populasi sagu berdasarkan data rumpun sagu alam di Papua dan Maluku. Dalam struktur populasi sagu di P. Seram secara umum, dimana jumlah individu rata-rata fase semai mencapai 83,04 ind/ha, apabila dibandingkan dengan jumlah individu rata-rata fase sapihan sebanyak 21,59 ind/ha, terlihat bahwa terjadi pengurangan jumlah individu sagu mencapai 76,18 %. Dengan kata lain hanya sebanyak 23,82 % individu semai sagu yang sukses tumbuh mencapai fase
71
sapihan. Tingginya tingkat kematian atau gagalnya individu sagu fase semai tumbuh masuk ke fase sapihan dan seterusnya karena beberapa aspek yaitu :1) sifat pertumbuhan tunas, 2) banyaknya jumlah tunas, 3) kondisi kemasaman tanah, dan 4) intensitas sinaran surya yang terbatas. c. Struktur populasi sagu M. longispinum Mart.
d. Struktur populasi M. sagu Rottb.
90
20 18
70
16
Populasi sagu (ind/ha)
Populasi sagu (ind/ha)
79,27
80
60 50 40 30 15,22
20
15,14
14 12 10
8,93 7,82
8 6 3,03
4 5,73
5,26
10
18,87
3,39
PP
PV
2
3,21
0
0 Semai Sapihan Tiang
PBP
PP
Semai Sapihan Tiang
PV
a. Struktur populasi M. rumphii Mart.
b. Struktur populasi sagu M. sylvestre Mart.
180
70 168,9
60 Populasi sagu (ind/ha)
160 140 120 100 80 60
42,53
36,73
40 20
PBP
Fase Pertumbuhan
Fase Pertumbuhan
Populasi sagu (ind/ha)
3,39
50 40 30 20,76
6,29
18,60
20 10
15,31
65,12
6,49
3,67
0,7
0
0,53
0 Semai Sapihan Tiang
PBP
Fase Pertumbuhan
PP
PV
Semai Sapihan Tiang
PBP
PP
PV
Fase Pertumbuhan
Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Gambar 15. Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku
Dalam pertumbuhan tunas anakan sagu, terdapat sebagian yang muncul dari pangkal batang tidak bersentuhan dengan permukaan tanah (anakan menggantung) (Gambar 16) dan selama beberapa periode waktu tertentu sistem perakarannya tidak dapat mencapai permukaan tanah untuk masuk ke dalam tanah melakukan fungsi penyerapan unsur hara dan air. Pada masa tertentu suplai
72
makanan dari pohon induk ke tunas anakan tersebut terhenti. Dengan terhentinya suplai makanan ini, maka kebutuhannya tidak mencukupi untuk melangsungkan pertumbuhannya, selanjutnya menyebabkan kematian tunas anakan.
±50 cm
Gambar 16. Anakan sagu M. rumphii Mart. yang tumbuh menggantung Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan dengan individu yang tumbuh lebih awal. Dalam rumpun sagu sangat mungkin terjadi kompetisi atau persaingan diantara sesama individu semai itu sendiri dan fase di atasnya. Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas tanah (atmosfer) seperti udara, cahaya, ruang, dan komponen di dalam tanah seperti air, oksigen, dan unsur hara. Hasil pengukuran intensitas sinaran surya di dekat rumpun sagu menunjukkan bahwa hanya sekitar 12,40 % setara 206,53 lux sinaran surya yang masuk sampai di dekat rumpun sagu. Pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux. Hal ini karena terdapat hambatan masuknya cahaya matahari oleh tajuk rumpun
73
tumbuhan sagu itu sendiri. Keterbatasan intensitas sinaran ini dapat berdampak terhadap pertumbuhan anakan sagu dan dapat berakhir dengan kematian. Sinaran surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan, dan berperan dalam proses fotosintesis.
Apabila intensitas sinaran surya terbatas maka proses
fotosintesis tidak dapat berlangsung secara maksimal.
Implikasi berikutnya
adalah hasil fotosintesis (fotosintat) akan berkurang. Dengan demikian kebutuhan tunas anakan tidak dapat terpenuhi, selanjutnya dapat menyebabkan kematian anakan sagu. Tumbuhan sagu selain tumbuh pada lahan kering, sebagian besar tumbuh pada kondisi habitat tergenang, baik temporer maupun permanen. Lahan yang tergenang memungkinkan kondisinya menjadi tereduksi. Artinya terjadi kekurangan oksigen di dalam air dan tanah, karena diserap oleh akar dan organisme yang hidup di air maupun dalam tanah melalui proses respirasi. Dalam proses respirasi terjadi pembebasan molekul karbondioksida (CO2).
Dengan
pertambahan waktu akan terjadi akumulasi CO2 dalam air dan dalam tanah. Akumulasi ini memungkinkan terjadi reaksi dengan molekul air (H2O) menghasilkan senyawa asam karbonat (H2CO3). Senyawa ini memberikan akses masam ke dalam tanah maupun air, sehingga tingkat kemasaman akan meningkat (pH turun). Hasil analisis pH (KCl) tanah atau kemasaman potensial dapat mencapai 4,3. Artinya apabila kondisi tanah terendam air dalam periode waktu cukup lama, kemasaman tanah berpotensi turun mencapai angka tersebut.
Dalam kaitan
dengan kematian tunas anakan sagu, diduga sebagian tunas anakan yang baru muncul tidak dapat bertahan hidup pada kondisi kemasaman yang rendah, dapat pula terjadi melalui pengaruh kemasaman rendah terhadap sistem perakaran tunas anakan yang masih muda. Kemasaman dapat bersifat mengikis sehingga dapat merusak
sel-sel akar terutama yang masih muda.
Akar tunas anakan yang
mengalami kerusakan, berdampak terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan dapat menyebabkan kematian anakan. Kematian anakan sagu dapat pula disebabkan karena keracunan Fe dan Al. Hasil pengukuran Fe dan Al di dalam tanah mencapai 3,08 % dan 4,99 %, termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Brady (1990)
74
mengemukakan bahwa konsentrasi unsur mikro seperti Fe yang terlalu tinggi dalam tanah dapat bersifat toxic. Fakta penelitian mengenai kematian semai pada kondisi habitat tergenang atau tereduksi menunjukkan bahwa jumlah populasi semai pada kondisi habitat tergenang temporer air payau dan tergenang permanen hanya mencapai 162 ind/ha dan 264 ind/ha. Jumlah populasi ini hanya separoh dibandingkan dengan populasi semai pada habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar masing-masing sebesar 345,28 ind/ha dan 416,90 ind/ha. Hasil penelitian jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram ditemukan sebanyak 176,55 rumpun/ha (Gambar 17 dan Lampiran 6). Pada setiap rumpun sagu tidak selalu dapat ditemukan rumpun yang memiliki semua fase pertumbuhan berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Komposisi fase pertumbuhan yang sering dijumpai pada suatu rumpun sagu di lapangan dalam komunitas sagu alami adalah sebagai berikut : semai, sapihan, pohon; semai, pohon; semai, tiang; semai, sapihan; dan/atau hanya semai saja. Pada sejumlah rumpun sagu yang mencapai 176,55 rumpun/ha, ditemukan fase pohon sebanyak 106,06 ind/ha. Jumlah populasi pohon ini termasuk tumbuhan sagu fase masak panen dan yang telah melampaui fase masak panen (pohon veteran). Hal ini berarti bahwa sekitar 60 % rumpun sagu yang memiliki fase pohon. Dengan kata lain bahwa sekitar 40 % rumpun tumbuhan sagu di P. Seram tidak terdapat fase pohon. Terlihat pada Gambar 17 bahwa dalam struktur populasi tumbuhan sagu, fase tiang memiliki jumlah populasi paling sedikit hanya sekitar 30,3 ind/ha, atau hanya 17,2 % dari jumlah populasi rumpun yang terbentuk. Sedangkan fase sapihan mencapai 49,3 %, dan pada fase semai jumlah populasinya paling tinggi yakni mencapai dua kali lipat dari jumlah rumpun. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap rumpun tumbuhan sagu dapat ditemukan lebih dari satu individu fase semai, bahkan di lapangan untuk jenis tanaman sagu tuni dan sylvestre ditemukan ada yang dapat mencapai lebih dari 10 individu semai (rata-rata 6-8), tetapi pada fase yang lain tidak selalu terdapat pada setiap rumpun.
75
400 335,71
350
Populasi sagu (ind/ha)
300 250 200
176,6
150 87,1
100 50
80,5 30,27
19,08
6,48
0 Rumpun
Semai
Sapihan
Tiang
PBP
PP
PV
Fase Pertumbuhan Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Gambar 17. Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan
4.2.2. Kelimpahan Kelimpahan sagu (Metroxylon spp.) dalam uraian ini diletakkan pada kelimpahan menurut spesies yang dipahami secara umum.
Parameter yang
dipergunakan untuk menjelaskan kelimpahan jenis adalah menurut jumlah rumpun dan indeks nilai penting (INP). Dari lima spesies sagu yang ditemukan di P. Seram yaitu M. rumphii Mart., M.sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. Khusus spesies M. microcanthum Mart. tidak diuraikan dalam pembahasan dikarenakan jumlah individunya sangat terbatas yakni tidak mencapai satu persen. Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting empat spesies sagu menunjukkan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu paling banyak dan indeks nilai penting paling tinggi diantara semua spesies sagu, bahkan diantara semua spesies tumbuhan dalam komunitas sagu di P. Seram (Tabel 15 dan Gambar 18). Hal ini berarti bahwa spesies M. rumphii
76
Mart. merupakan spesies tumbuhan yang memiliki kerapatan, frekwensi yang melampaui spesies sagu yang lain. petunjuk bahwa
sebagian besar
dominasi, dan
Fakta ini memberikan
lahan dalam komunitas sagu di P. Seram
ditempati atau dikuasai oleh spesies M. rumphii Mart. (Lampiran 7) Tabel 15. Kelimpahan Metroxylon spp. di P. Seram, Maluku Parameter Kelimpahan
Luhu-SBB
Wilayah Sampel Sawai-MT Werinama-SBT
Rataan
M. rumphii Mart. Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon
71.53 117.27
101.6 124.93
108.85 145.85
93.99 129.35
Tiang
107.56
141.45
103.11
117.37
Sapihan
97.93
117.79
97.63
104.45
Semai
57.6
94.4
94.4
82.13
Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon
8.33 16.91
43.09 101.44
38.02 75.67
29.81
Tiang
17.93
75.5
39.69
44.37
Sapihan
31.85
59.71
55.79
49.12
Semai
16.28
45.76
45.76
35.93
Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon
67.36 121.37
13.83 23.26
22.4 35.88
34.53
Tiang
107.56
14.24
19.85
47.22
Sapihan
70.83
36.6
27.89
45.11
Semai
46.06
36.28
36.28
39.54
Jumlah rumpun/ha INP (%) Pohon
13.19 24.1
22.87 33.07
14.06 13.92
16.71
Tiang
31.69
33.48
43.49
36.22
Sapihan
47.78
46.97
39.15
44.63
38.39
30.51
30.51
M. longispinum Mart. 64.67
M. sylvestre Mart. 60.17
M. sagu Rottb.
Semai
23.70
33.14
Keterangan : SBB = Seram bagian Barat, MT = Maluku Tengah, SBT = Seram Bagian Timur, INP = indeks nilai penting.
Secara ekologi nilai penting yang diperlihatkan oleh suatu spesies, merupakan indikasi bahwa spesies yang bersangkutan dianggap dominan pada kondisi habitat tersebut, yaitu mempunyai nilai frekwensi, kerapatan, dan dominasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies tumbuhan lain.
M.
rumphii Mart. merupakan spesies sagu dengan indeks nilai penting paling tinggi, mencapai 108,33 %. Spesies tumbuhan sagu yang juga memiliki indeks nilai
77
penting cukup tinggi yaitu M. sylvestre Mart. 48,71 % dan M. longispinum Mart. 51,77 %. Sedangkan dua spesies sagu yang lain indeks nilai pentingnya < 35 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kemampuan menguasai ruang spesies M. rumphii Mart. dua kali lebih besar dibandingkan sagu M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. Sedangkan kemampuan menguasai ruang spesies M. rumphii Mart. apabila dibandingkan dengan M. sagu Mart. tiga kali lebih tinggi.
Secara keseluruhan kemampuan spesies sagu di P. Seram dalam
menguasai ruang dalam komunitas sagu alami mencapai 70-90 %, khusus spesies M. rumphii Mart. kemampuan menempati ruangnya sekitar 43,12 %. 100
93,98
90 81,47
84,32 80,81
Nisbah jumlah dominasi (%)
80 70
63,47
60 50 40
36,53
30 18,53
20
19,19 15,68
10
6,02
0 Semai
Sapihan Tiang Fase pertumbuhan
Keterangan : NJD = nisbah jumlah dominasi
Pohon
Rataan
Sagu
Non-sagu
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Gambar 18. NJD spesies sagu dan non-sagu di P. Seram, Maluku
Pada Gambar 18 diperlihatkan nisbah jumlah dominasi (NJD = INP/3) spesies sagu secara ekologi merupakan spesies dominan dalam menguasai habitat. Sedangkan spesies tumbuhan lain (bukan sagu) memiliki nilai NJD yang rendah. Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang dijumpai pada tipe
78
vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Menurut Mueller dan Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005) dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan fisiognomi, fenologi, dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dan menyolok. Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu lama.
4.2.3. Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan mekanisme pembentukan rumpun a. Pertumbuhan Dalam uraian untuk menjelaskan pertumbuhan sagu, maka siklus pertumbuhan sagu dipisahkan atas beberapa fase pertumbuhan menurut kriteria sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu fase semai (seedling). sapihan (sapling), tiang (pole), dan pohon (trees). Fase semai diawali dari keluarnya tunas sampai batang utama terbentuk (masa roset). Pada saat muncul tunas anakan, keluar satu tangkai daun, disusul dengan tangkai daun berikutnya. Setelah terbentuk anakan sempurna jumlah tangkai daun berkisar antara 3-4 tangkai dengan panjang sekitar 50-80 cm. Anakan yang terus membesar, diikuti dengan bertambahnya jumlah tangkai daun antara 5-6 tangkai, dengan panjang antara 1-2 m. Menjelang masa roset, jumlah tangkai daun berkisar antara 6-8 tangkai dengan panjang sekitar 3-4 m, dan setelah masa roset jumlah tangkai daun berkisar antara 7-9 tangkai, dengan panjang dapat mencapai 5 m. Anakan sagu yang keluar dari bagian pangkal batang memiliki jumlah yang bervariasi, tergantung jenisnya. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. biasanya memiliki jumlah anakan yang lebih banyak mencapai 7-8 anakan. Sedangkan spesies sagu yang lain relatif lebih sedikit, jumlah anakan spesies M. longispinum Mart. sekitar 6-7 anakan, M. sagu Rottb. 34 anakan, dan yang paling sedikit ditemukan pada spesies M. microcanthum Mart. hanya sekitar 2-3 anakan.
79
Tunas anakan sagu yang muncul tidak semuanya sukses tumbuh menjadi anakan fase bibit (fase yang lebih besar). Sebagian besar mengalami kematian selama masa pertumbuhan awal.
Berdasarkan letak tunas anakan sagu pada
bagian pangkal batang, ditemukan dua tipe yaitu : 1) tunas anakan yang keluar dari bagian pangkal batang di bawah permukaan tanah atau sejajar permukaan tanah, dan 2) letak tunas anakan beberapa centimeter dari atas permukaan tanah. Tunas anakan ini biasanya gagal untuk tumbuh dan berkembang ke fase selanjutnya. Selain dari bagian pangkal batang, tunas anakan sagu muncul pula dari rhyzome yang memanjang. Pada rhyzome ini, tunas anakan keluar dari bagian bawah atau sejajar permukaan tanah dan ada pula yang keluar dari bagian atas, tidak bersinggungan dengan permukaan tanah. Tunas anakan sagu yang disebut terakhir paling rentan terhadap kematian (Gambar 19). Sejak mulai muncul tunas anakan pada pangkal batang, sampai terbentuk batang di permukaan tanah (masa roset) diperlukan waktu sekitar tiga tahun.
±3 m
Gambar 19. Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome
Setelah terbentuk batang pokok di permukaan tanah, pertumbuhan sagu masuk pada fase berikutnya yaitu fase sapihan (sapling).
Fase ini ditandai
80
dengan mulai terbentuk batang sempurna sampai tinggi batang mencapai ukuran sekitar dua meter. Masa pertumbuhan selama fase ini diperlukan waktu sekitar tiga tahun (Sjachrul 1993). Dengan demikian masa pertumbuhan sejak muncul tunas anakan sampai akhir fase ini memerlukan waktu sekitar enam tahun. Pada fase ini jumlah pelepah daun berkisar antara 8-12 tangkai dengan panjang sekitar 5-6 meter. Pada spesies M. rumphii dan M. sylvestre panjang pelepah daun dapat mencapai 7-7,5 meter, dengan jumlah anak daun dapat mencapai 140 helai. Pada fase ini tumbuhan sagu sudah mulai menghasilkan tunas anakan. Setelah mencapai umur lebih dari enam tahun, tumbuhan sagu masuk ke fase tiang (pole).
Fase ini berlangsung sekitar tiga tahun, dan selama masa
periode fase ini terjadi pertambahan tinggi batang yang bertambah sekitar tiga meter, sehingga total tinggi batang sampai dengan akhir fase tiang sekitar lima meter (Sjachrul 1993). Sejak mulai muncul tunas anakan sampai berakhir fase ini dibutuhkan waktu sekitar sembilan tahun.
Sejak fase ini sering kali terjadi
pertambahan diameter batang, sehingga ukuran batang relatif lebih besar daripada ukuran batang sagu di bagian pangkal. Selama fase tiang jumlah pelepah daun berkisar antara 8-12 tangkai dengan jumlah anak daun dapat mencapai 180 helai. Panjang pelepah daun dapat mencapai 7,5–8,0 meter, bahkan pada jenis sagu sylvestre yang pertumbuhannya bagus, panjang pelepah daun dapat mencapai 910 meter. Pada akhir fase ini tinggi batang sagu telah mencapai lima meter. Setelah mencapai umur sekitar sembilan tahun, maka tumbuhan sagu telah masuk ke fase pohon (trees) . Pada fase ini tinggi batang sagu telah mencapai lebih dari lima meter (Sjachrul 1993). Terdapat jenis sagu tertentu seperti spesies rotang dan makanaro sudah dapat dipanen pada tinggi batang mencapai 7-8 meter. Dari fase tiang sampai mencapai ukuran tinggi batang tersebut diperlukan waktu sekitar 3-4 tahun. Dengan demikian tumbuhan sagu secara alami baru dapat dipanen setelah mencapai umur paling kurang 12 tahun . Pada jenis-jenis sagu yang memiliki ukuran tinggi pohon antara 15-20 meter, diperkirakan untuk sampai pada masa panen diperlukan masa pertumbuhan sekitar 12-15 tahun. Jenis-jenis sagu yang dapat mencapai ukuran tinggi tersebut seperti spesies M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Selama fase ini jumlah tangkai daun berkisar antara 10-15 tangkai dengan panjang pelepah mencapai 7-8
81
meter, dan jumlah anak daun mencapai 200 helai.
Meskipun demikian,
menjelang masa pembungaan ukuran pelepah daun dan anak-anak daun mulai memendek, dan pada masa pembungaan jumlah pelepah daun tidak lagi mengalami penambahan. b. Perkembangbiakan dan mekanisme pembentukan rumpun Tumbuhan sagu berkembangbiak dengan menggunakan organ generatif dan vegetatif. Perkembangbiakan dengan organ generatif menggunakan buah atau biji.
Di dalam buah terdapat biji yang dapat berkecambah, tumbuh, dan
berkembang membentuk individu baru. Agen penyebaran sagu melalui organ buah/biji ini diduga terjadi melalui perantaraan air, karena buah sagu dilengkapi dengan sabut yang dapat menjadikan buah sagu terapung, kemudian terbawa mengikuti arus pergerakan air. Buah sagu yang jatuh di sekitar pohon, bila terjadi hujan dan tinggi muka air meningkat, maka buah sagu akan terapung, kemudian terbawa dari bagian muara sungai atau bagian kaki bukit terangkut mengikuti arus genangan ke bagian pesisir. Apabila aliran genangan masuk sampai ke bagian pesisir pantai, maka buah sagu akan terbawa arus ke berbagai tempat dan memungkinkan terdampar pada sisi pesisir pulau lain. Jika kondisi lingkungan mendukung untuk perkecambahan biji, maka dari biji akan tumbuh anakan dan seterusnya menjadi generasi baru di tempat tersebut. Agen penyebaran buah sagu yang lain seperti melalui perantaraan hewan, menurut hemat penulis kemungkinan itu sangat kecil dikarenakan tidak terdapat bagian buah atau biji yang disukai sebagai makanan hewan liar. Argumen ini memiliki kelemahan karena penulis tidak memiliki fakta empiris atau sandaran hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam melakukan observasi atau penelitian lapangan di P. Seram selama lebih kurang enam bulan sejak Maret-Agustus 2009, tidak ditemukan fakta adanya biji sagu yang berkecambah di bawah tegakan pohon yang tumbuh dengan kerapatan tinggi. Pada tempat yang lain di sekitar hutan sagu dimana terjadi pembukaan hutan oleh masyarakat petani pengolah sagu, ditemukan biji-biji sagu yang berkecambah dengan baik dalam jumlah terbatas (Gambar 20). Fakta ini menunjukkan bahwa biji sagu akan mengalami hambatan perkecambahan apabila
82
tidak mendapat penyinaran surya yang cukup atau tidak mendapat penyinaran surya secara langsung. Hal ini berarti bahwa untuk mematahkan dormansi biji sagu diperlukan intensitas sinaran surya yang cukup. Apabila intensitas sinaran surya tidak terpenuhi, maka biji sagu akan tetap mengalami dormansi atau gagal berkecambah.
Gambar 20. Pertumbuhan anakan sagu melalui biji Kueh
(1977
dalam
Flach
1983)
melaporkan
hasil
penelitian
perkecambahan biji sagu yang berasal dari Serawak, sebagian besar biji tidak dapat berkecambah, terdapat beberapa biji yang berkecambah namun memiliki mutu yang rendah.
Disebutkan bahwa kegagalan perkecambahan itu
kemungkinan karena biji-biji sagu tersebut tidak mendapatkan cahaya yang cukup atau cadangan makanan telah berkurang karena tersimpan dalam waktu yang cukup lama. Cara perkembangbiakan sagu yang kedua adalah melalui organ vegetatif berupa anakan, stolon, atau rhyzome yang muncul dari bagian pangkal batang. Anakan sagu biasanya muncul dari pangkal batang di bagian bawah permukaan tanah, sejajar permukaan tanah, atau tidak menyentuh permukaan tanah. Tipe anakan yang disebut terakhir pada umumnya gagal untuk tumbuh menjadi individu baru ke fase pertumbuhan berikutnya. Agen penyebaran sagu dengan
83
organ ini yang paling banyak terjadi melalui perantaraan manusia terutama dalam praktek budidaya. Dalam perkembangbiakan secara vegetatif ini, apabila anakan sagu tumbuh berdekatan dengan pohon induk, maka rumpun terbentuk memiliki jumlah individu yang relatif banyak.
Di lapangan ditemukan rumpun sagu spesies
tertentu seperti M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dapat terdiri dari 15-20 individu. Rumpun sagu dengan jumlah individu sebanyak itu memiliki kemampuan penguasaan ruang dapat mencapai 10 m 2. Pertumbuhan rhyzome (percabangan basal) yang memanjang menjauh dari pohon induk, terpisah dari rumpunnya pada jarak antara 1,5 – 2,0 m dapat tumbuh dan berkembang membentuk rumpun sendiri (Gambar 21).
Dalam mekansime pembentukan
rumpun ini, percabangan basal tumbuh membesar, setelah mencapai fase sapihan mulai diikuti dengan terbentuknya tunas. Tunas-tunas ini selanjutnya tumbuh membesar, secara bersama-sama dengan pohon induk membentuk rumpun baru.
±2,5 m Gambar 21. Percabangan basal yang menjauh dari pohon induk
Percabangan basal akan mengalami pemanjangan, menjauh dari pohon induk atau rumpun apabila terdapat hambatan dalam pertumbuhannya, atau
84
terdapat kondisi yang tidak memungkinkan untuk segera tumbuh vertikal membentuk individu baru.
Hambatan yang dapat menyebabkan percabangan
basal memanjang jauh dari pohon induk antara lain adalah adanya tumpukan tangkai daun kering yang jatuh berserakan.
Tumpukan ini
memunculkan
hambatan sinaran surya yang dapat memacu pergerakan tunas ke arah vertikal sebagai bagian dari mekansime fototropisme. Dengan kata lain terjadi hambatan terhadap sinaran surya sehingga pemunculan tunas ke arah vertikal terhambat, sehingga pada periode tertentu tumbuh secara horizontal, setelah cahaya cukup kemudian tumbuh secara vertikal.
Dalam perkembangan selanjutnya diikuti
dengan pertumbuhan tunas-tunas baru membentuk suatu rumpun lagi. 4.2.4. Sifat morfologi sagu Sagu (Metroxylon spp.) merupakan jenis tumbuhan palem tropika basah, apabila diamati secara morfologi memiliki bentuk arsitektur pohon model Tomlinson. Model arsitektur ini dicirikan oleh adanya beberapa sumbu yang terbentuk dari percabangan basal, yaitu percabangan yang berkembang dari munculnya mata tunas di bagian pangkal batang, kemudian memanjang atau menjalar ke arah samping menyerupai akar (rhyzome) seterusnya membentuk individu baru (caulomere). Masing-masing kaulomer pada awalnya dihasilkan dari dasar batang yang semula jumlahnya hanya satu, terus bertambah muncul dari permukaan tanah (Halle & Oldeman 1975). Tumbuhan sagu memiliki sistem perakaran yang serupa dengan perakaran jenis tumbuhan palem pada umumnya yaitu sistem akar serabut. Akar keluar dari hampir seluruh permukaan pangkal batang di bawah permukaan tanah, bahkan sampai beberapa sentimeter di atas permukaan tanah. Akar keluar secara padat menyebar memanjang ke arah horizontal dan vertikal. Perakaran tumbuhan sagu menyebar horizontal sampai radius 3-4 meter dari pangkal batang. Sedangkan jangkauan jelajah ke dalam tanah dapat lebih dari satu meter, namun akumulasi perakaran paling banyak terdapat pada kedalaman tanah sekitar 60 cm. Diameter akar rata-rata sekitar satu centimeter, berwarna coklat muda sampai coklat tua. Sepanjang akar terdapat bagian menyerupai buku, dengan jarak yang bervariasi antara 3-5 cm.
Ujung akar pada umumnya berwarna putih kekuningan atau
85
kemerahan. Hampir pada seluruh permukaan akar tumbuh bulu-bulu akar dengan panjang antara 3-5 cm dan diameter 1,5-2,0 mm. Batang sagu berbentuk bulat, ukuran diameter spesies.
bervariasi, tergantung
Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran
diameter batang berkisar antara 55-75 cm, M. longispinum Mart. dan M. microcanthum Mart. memiliki diameter sekitar 40-55 cm. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. pada umumnya memiliki ukuran diameter sekitar 50-65 cm. Tinggi batang sagu bebas daun juga bervariasi tergantung spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran tinggi batang antara 15-20 meter, M. longispinum Mart. sekitar 10-12 meter, M. microcanthum Mart. 7-10 meter, dan M. sagu Rottb. berkisar antara 12-15 meter. Susunan penampang batang dari bagian luar ke dalam terdiri dari kulit luar yang tipis, kulit keras, serat kasar, dan empulur. Pada sisi bagian luar batang terdapat tanda bekas pelepah daun. Jarak antara bekas pelepah yang satu dengan yang lain secara vertikal berkisar antara 10-15 cm. Warna empulur bervariasi tergantung jenis sagu mulai dari putih sampai kemerahan. Spesies M. rumphii Mart. mempunyai empulur berwarna putih agak kemerahan, M. sylvestre Mart. kemerahan, M. longispinum Mart. merah muda, M. microcanthum Mart. berwarna merah muda, dan M. sagu Rottb. berwarna putih. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) dikemukakan bahwa bahwa berat kulit batang sagu berkisar antara 17-25 % dari berat batang, sisanya berupa berat empulur sekitar 75-83 % dan perbandingan antara berat kulit batang dan empulur selama masa pertumbuhan sagu relatif tetap. Daun tumbuhan sagu terdiri dari pelepah (tangkai daun), anak daun, tulang daun, dan spesies M. rumphii Mart. terdapat duri (spine) yang menempel pada hampir seluruh bagian pangkal pelepah. Duri-duri tersebut juga terdapat pada bagian belakang tangkai daun. Duri juga terdapat pada sisi pinggir anak daun berupa duri-duri halus. Pangkal pelepah daun sagu menempel mengitari batang. Di sepanjang tangkai daun tumbuh anak daun menyirip berhadapan atau agak berhadapan. Jarak tata letak anak daun pada tangkainya berkisar antara 5-10 cm. Pelapah atau tangkai daun berjumlah antara 12-16 tangkai dan memiliki ukuran panjang sekitar 5-7 m. Pada spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. ukuran tangkai daun dapat mencapai delapan meter bahkan lebih. Setiap tangkai
86
daun dewasa terdapat sekitar 50-80 pasang anak daun. Anak daun memiliki ukuran panjang antara 100-180 cm, dan lebar 10-15 cm.
Flach (1983)
mengemukakan bahwa tanaman sagu memiliki tangkai mencapai 18 tangkai dengan ukuran antara 5-7 m. Setiap bulan terbentuk satu tangkai daun, dan umur rata-rata tangkai daun diperkirakan sekitar 12-18 bulan. Tangkai daun berwarna hijau muda, kemudian berubah warna menjadi hijau kekuningan dan selanjutnya tangkai dan anak-anak daun menguning, mengering dan gugur. Daun sagu yang masih muda pada umumnya berwarna hijau muda, kadang-kadang berwarna hijau keunguan.
Dengan bertambah umur secara berangsur-angsur berubah warna
menjadi hijau tua, kuning, dan coklat apabila telah mengering. Tumbuhan sagu diperkirakan mulai berbunga pada umur sekitar 10-12 tahun, diikuti dengan pembentukan buah. Masa pembungaan diawali dengan munculnya tanda-tanda seperti tangkai daun dan anak-anak daun memendek, ukuran lebar menyempit dan pelepah tangkai daun menunjukkan perubahan warna menjadi hijau kekuningan. Tomlinson (1990 dalam Flach 1997) melakukan deskripsi pembungaan Metroxylon spp. dilaporkan bahwa palem ini melengkapi proses pertumbuhan dengan membentuk pembungaan, merupakan indikasi akan berakhirnya masa pertumbuhan yang diakhiri dengan kematian. Bunga sagu
merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau
pucuk batang, berwarna merah kecoklatan.
Bunga bercabang banyak seperti
tanduk rusa yang terdiri dari cabang primer, sekunder, dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Diduga penyerbukan tumbuhan sagu berlangsung secara silang (Flach 1977
dalam Haryanto dan
Pangloli 1992). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai buah salak. Kulit buah berupa sisik yang tersusun secara diagonal. Di dalam buah terdapat biji yang sifatnya fertil.
Dikemukakan juga bahwa waktu antara bunga mulai muncul
sampai fase pembentukan buah, berlangsung sekitar dua tahun. 4.2.5. Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu Secara umum tipe habitat sagu dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu 1) tipe habitat lahan kering dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa rawarawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat kedua atas
87
dasar karakteristiknya dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi beberapa tipe habitat yaitu : 1) tipe habitat tergenang air payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan atau berbatasan dengan vegetasi nipah (mangrove).
Pada
umumnya terdapat di bagian belakang nipah, dari bagian pesisir ke arah daratan. Tumbuhan sagu pada tipe habitat ini biasanya mengalami perendaman atau tergenang apabila terjadi air pasang, dan kondisi habitatnya mengering jika terjadi air surut, 2) tipe habitat tergenang sementara oleh air hujan yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan. Apabila terjadi hujan habitat sagu mengalami genangan selama beberapa waktu, pada umumnya sekitar satu sampai dua minggu atau paling lama satu bulan. Apabila tidak terjadi hujan maka kondisi habitatnya mengering, 3) tipe habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat sagu yang mengalami genangan pada periode waktu relatif cukup lama, biasanya lebih dari satu bulan. Air genangan bisa berasal dari air hujan atau air sungai, dan 4) tipe habitat lahan kering, artinya kondisi habitat sagu tidak pernah mengalami genangan air, apakah dari air hujan, sungai atau air laut. Kondisi lahan pada tipe habitat ini pada umumnya kemiringan lahan agak datar, sehingga tidak memungkinkan air sungai, air laut ataupun air hujan yang jatuh tidak menyebabkan genangan tetapi mengalami run off masuk ke sungai atau kolam yang dapat menampung sejumlah air, seringkali masuk ke tipe habitat tergenang tidak permanen air tawar atau ke tipe habitat permanen (Lampiran 8). Di dalam wilayah P. Seram terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) M. rumphii Mart., 2) M. sylvestre Mart., 3) M. longispinum Mart., 4) M. microcanthum Mart., dan 5) M. sagu Rottb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua spesies sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Dari lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram, hanya tiga spesies sagu yang ditemukan tumbuh pada semua tipe habitat yaitu M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. (Tabel 16). Dua spesies tumbuhan sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. ditemukan pada tipe habitat terbatas. Spesies M. microcanthum Mart. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer
88
air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Hal ini menunjukkan bahwa tiga spesies tumbuhan sagu yang disebutkan pada bagian awal memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe habitat, sedangan dua spesies yang lain memiliki kemampuan untuk berinteraksi
dengan tipe habitat yang
relatif terbatas. Tabel 16. Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda di P. Seram, Maluku tahun 2009 No
Spesies sagu
Populasi rumpun 1. M. rumphii 2. M. longisp. 3. M.sylvestre 4. M. microc. 5. M. sagu Jumlah Populasi semai 1. M. rumphii 2. M. longisp. 3. M.sylvestre 4. M. microc. 5. M. sagu Jumlah Populasi sapihan 1. M. rumphii 2. M. longisp. 3. M.sylvestre 4. M. microc. 5. M. sagu Jumlah Populasi tiang 1. M. rumphii 2. M. longisp. 3. M.sylvestre 4. M. microc. 5. M. sagu Jumlah Populasi pohon 1. M. rumphii 2. M. longisp. 3. M.sylvestre 4. M. microc. 5. M. sagu Jumlah
TTG ind/ha %
T2AT ind/ha
Tipe Habitat T2AP % ind/ha
103,26 28,37 37,95 4,27 0,00 173.85
58,9 15,8 22,9 2,5 0,0 100,0
124,33 26,01 85,10 0,00 12,50 247,94
50,1 10,5 34,3 0,0 5,0 100,0
62,08 20,00 14,58 0,00 0,00 96,67
186,35 53,4 96,46 9,06 0,00 345.28
54,00 15,5 27,9 2,6 0,0 100,0
195,56 49,74 157,71 0,00 13,89 416,90
46,9 11,9 37,8 0,0 3,3 100,0
25,97 6,46 11,01 2,12 0,00 45.56
57,0 14,2 24,2 4,7 0,0 100,0
25,64 7,68 18,88 0,00 4,63 56,83
10,66 1,11 5,80 0,56 0,00 18.13
58,8 6,1 32,0 3,1 0,0 99,9
57,36 12,95 29,10 3,65 0,00 103,06
55,7 12,6 28,2 3,5 0,0 100,0
Rataan TPN ind/ha %
ind/ha
%
64,2 20,7 15,1 0,0 0,0 100,0
61,20 36,04 11,58 0,00 55,19 164,0
37,3 22,0 7,1 0,0 33,7 100,0
87,72 27,60 37,30 1,07 16,92 170,6
52.6 17.2 19.8 0.6 9.7 100,0
159,38 40,00 43,75 0,00 0,00 162,08
65,6 16,5 18,0 0,0 0,0 100,0
90,69 77,24 41,24 0,00 55,63 264,8
34,3 29,2 15,6 0,0 21,0 100,0
158,0 55,1 84,79 2,27 17,38 317,5
50.2 18.3 24.8 0.7 6.1 100,0
45,1 13,5 33,2 0,0 8,2 100,0
24,38 7,50 1,25 0,00 0,00 33,13
73,6 22,6 3,8 0,0 0,0 100,0
16,77 17,48 3,30 0,00 23,16 60,71
27,6 28,8 5,4 0,0 38,2 100,0
23,19 9,78 8,61 0,53 6,95 49,06
50.8 19.8 16.7 1.2 11.6 100,0
11,04 3,57 6,39 0,00 2,31 23,32
47,4 15,3 27,4 0,0 9,9 99,9
2,50 1,67 0,00 0,00 0,00 4,17
60,0 40,0 0,0 0,0 0,0 99,9
8,50 8,06 0,00 0,00 8,55 25,11
33,8 32,1 0,00 0,00 34,0 99,9
8,17 3,60 3,05 0,14 2,72 17,68
50.0 23.4 14.9 0.8 11.0 99,9
41,55 14,73 33,38 0,00 6,94 96,60
43,0 15,3 34,6 0,0 7,2 100,0
15,00 5,83 0,00 0,00 0,00 20,83
72,0 28,0 0,0 0,0 0,0 100,0
24,95 22,84 4,92 0,00 29,44 82,14
26,6 25,3 6,9 0,0 41,3 100,0
34,71 14,09 16,85 0,91 9,1 75,66
49.3 20.3 17.4 0.9 12.1 100,0
%
89
… lanjutan Populasi pohon masak panen 1. M. rumphii 8,65 50,4 8,09 32,6 0,83 33,3 7,3 26,2 6,22 35.6 2. M. longisp. 5,42 28,1 6,62 26,7 1,67 66,7 9,73 34,9 5,86 39.1 3. M.sylvestre 3,89 21,5 7,48 30,1 0,00 0,0 0,00 0,0 2,84 12.9 4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0 5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 10,6 0,00 0,0 10,82 38,9 3,36 12.4 Jumlah 17,95 100,0 24,82 100,0 2,50 100,0 27,85 100,0 18,28 100,0 Populasi pohon veteran 1. M. rumphii 1,63 30,1 0,44 6,9 0,00 0,0 4,44 24,3 1,63 15.3 2. M. longisp. 3,23 59,6 2,83 44,7 0,50 100 8,46 46,2 3,76 62.6 3. M.sylvestre 0,56 10,3 0,44 6,9 0,00 0,0 0,76 4,1 0,44 5.3 4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0 5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 41,5 0,00 0,0 4,65 25,4 1,82 16.7 Jumlah 5,42 100,0 6,34 100,0 0,50 100,0 18,32 100,0 7,64 100,0 Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. micrc = M. microcanthum, ind = individu, ha = hektar, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Dalam kaitan dengan habitat tergenang, Levitt (1980) mengemukakan bahwa penggenangan dapat memunculkan tiga macam cekaman secara berurutan yaitu : 1) cekaman tekanan turgor sebagai akibat potensi air meningkat, 2) cekaman defisit oksigen, dan 3) cekaman ionik oleh unsur mangan (Mn 2+) dan besi (Fe2+). Jika terjadi penggenangan, mula-mula memunculkan cekaman air yakni peningkatan cekaman turgor, diikuti dengan cekaman sekunder berupa kekurangan oksigen dalam air, implikasi berikut adalah terjadi cekaman ionik. Ketika oksigen di dalam air berkurang, maka potensial oksidasi-reduksi menurun, implikasi selanjutnya adalah terjadi akumulasi Mn 2+ dan Fe2+ yang bersifat meracun (toxic). Tumbuh-tumbuhan pada kondisi cekaman karena genangan, maka akan menciptakan resistensi (katahanan) melalui penghindaran (avoidance) dan toleransi (tolerance). Penghindaran terhadap cekaman defisit oksigen terjadi melalui pembesaran ruang antar sel (intercellular space) misalnya dengan meningkatkan volume perakaran yang dapat mencapai 70 %. Sedangkan toleransi terhadap cekaman berlangsung melalui penghindaran terhadap akumulasi senyawa yang bersifat toxic atau toleransi terhadap akumulasi senyawa itu. Skema adaptasi tumbuhan pada kondisi tergenang yang menyebabkan cekaman terhadap defisit oksigen tersaji pada gambar berikut (Gambar 22). Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan ukuran atau acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasi tumbuhan sagu terhadap tipe
90
habitatnya, tampak bahwa kemampuan adaptasi diantara spesies sagu dengan tipe habitat relatif berbeda. M. rumphii Mart. secara keseluruhan mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat pada semua tipe habitat, yang ditunjukkan melalui jumlah rumpun dan jumlah populasi semua fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan spesies sagu lain. Ketahanan defisit oksigen
Penghindaran cekaman
Perbanyak akar, menambah ruang antar sel, meningkatkan transport gas dari tajuk
Gambar 22.
Toleransi cekaman
Penghindaran terhadap akumulasi senyawa beracun
Toleransi terhadap akumulasi senyawa beracun
Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen (Levitt 1980)
Selain spesies M. rumphii Mart., dua spesies sagu yang juga mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat dengan tipe habitatnya adalah spesies M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart.
Spesies M. sylvestre Mart. mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat pada tipe habitat lahan kering (TTG)
dan
tergenang temporer air tawar (T2AT), yang ditunjukkan oleh jumlah populasi rumpun dan fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies M. longispinum Mart. Sedangkan pada tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN) populasi spesies M. sylvestre Mart. tidak lebih tinggi daripada M. microcanthum Mart. Dengan kata lain pada dua tipe habitat yang disebut terakhir ini, spesies M. longispinum Mart. mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies M. sylvestre Mart. Spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat T2AT dan TPN. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan sagu ini memiliki daya adaptasi yang cukup baik pada kondisi habitat tergenang, tetapi tidak pada air payau karena pada tipe habitat tergenang tidak permanen air payau spesies sagu ini tidak ditemukan. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa spesies M.
91
microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi yang sangat terbatas atau sempit terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan jumlah populasi tumbuhan sagu, tampak bahwa spesies sagu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sampai sempit terhadap berbagai kondisi habitat secara berurutan sebagai berikut M. rumphii Mart. > M. longispinum Mart. > M. sylvestre Mart. > M. sagu Rottb. > M. microcanthum Mart. Dalam hubungan ini, maka spesies M. rumphii Mart. dapat dikategorikan sebagai spesies sagu yang memiliki tingkat toleransi yang luas/lebar (eury tolerance) terhadap kondisi habitatnya. spesies tumbuhan sagu M. Longispinum Mart., M. Sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. dikategorikan sebagai jenis sagu dengan tingkat toleransi sedang (meso tolerance). Sedangkan spesies M. microcanthum Mart. dikategorikan sebagai spesis sagu yang memiliki tingkat toleransi sempit (steno tolerance). Indikator untuk menjelaskan lebar atau sempitnya tingkat toleransi masing-masing jenis ini didasarkan pada ada/atau tidak-adanya suatu spesies pada setiap habitat dan banyak atau sedikitnya jumlah populasi pada masing-masing habitat. Dalam kaitan itu maka dapat dikemukakan bahwa spesies M. rumphii merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Spesies M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., dan M. sagu Rottb. merupakan spesies sagu yang dapat dikategorikan sebagai spesies yang memiliki kemampuan tumbuh tinggi tetapi daya adaptasi yang terbatas. Sedangkan spesies M. microcanthum Mart. merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan daya adaptasi yang lebih terbatas lagi. Apabila tipe habitat ini diurutkan ke dalam tingkat marjinalisasi habitat, terkait dengan jumlah populasi rumpun masing-masing spesies sagu pada setiap tipe habitat, maka akan didapatkan urutan marjinalisasi habitat sebagai berikut : tergenang temporer air payau (T2AP) > tergenang permanen (TPN) > lahan kering (TTG) > tergenang temporen air tawar (T2AT). Artinya tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) memiliki tingkat marjinal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat marjinal tipe habitat tergenang permanen (TPN), dan tipe habitat ini lebih marjinal dibandingkan dengan tipe habitat lahan kering
92
(TTG). Kondisi habitat yang sangat rendah tingkat marjinalnya adalah tipe habitat tergenang temporer air tawar (T2AT). Ukuran untuk menjelaskan tinggi atau rendahnya tingkat marjinalisasi ini didasarkan pada banyak atau sedikitnya jumlah populasi rumpun sagu yang tumbuh pada setiap tipe habitat. Pada tipe habitat tergenang temporer air payau, jumlah populasi rumpun sagu hanya mencapai 96,67 ind/ha, tipe habitat tergenang permanen 164,02 ind/ha, tipe habitat lahan kering 173,85 ind/ha, sedangkan tipe habitat tergenang temporer air tawar jumlah populasinya mencapai 247,94 ind/ha. Diagram ringkasan adaptasi sagu pada berbagai tipe habitat disajikan pada Gambar 23. Habitat
TTG
T2AT
T2AP
TPN
M. rumphii
M. rumphii
M. rumphii
M. rumphii
M. Sylvestre
M. Sylvestre
M. Sylvestre
M. Sylvestre
M. longispinum
M. longispinum
M. longispinum
M. longispinum
akanaro
o
M. microcanthum
M. sagu
M. sagu
Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air payau; TPN = tergenang permanen; secara horizontal tidak terdapat jenis yang sama.
Gambar 23. Diagram ringkasan adaptasi spesies sagu pada berbagai tipe habitat
4.2.6. Mekanisme adaptasi sagu Sebagian besar tumbuhan sagu tumbuh pada lahan yang terendam, baik sifatnya temporer maupun permanen.
Pada kondisi habitat yang senantiasa
tergenang tersebut memungkinkan kondisi tanah menjadi masam dan miskin oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah di areal lahan sagu
93
berkisar antara 4,47 – 5,63 (pH H2O), dan berpotensi turun lebih rendah lagi mencapai 4,13 (pH KCl). pH masam pada umumnya bersifat melisis suatu zat sehingga dapat merusak didinding sel. Tanah-tanah masam dengan kandungan logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan tumbuhan. Syekhfani (1997) mengemukakan logam memiliki kemampuan untuk melisis air sehingga pH tanah dapat semakin masam. Pada saat pH dalam kondisi masam Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat. Konsentrasi Fe dan Al yang tinggi dapat meracun perakaran, walaupun Fe merupakan unsur hara esensial, namun termasuk dalam kategori unsur hara mikro, sehingga kelebihannya tidak menguntungkan bagi perakaran. Separoh atau sebagian besar habitat tumbuhan sagu adalah berupa rawarawa yaitu berupa tipe habitat tergenang, baik temporer atau permanen. Pada kondisi habitat seperti itu biasanya sistem perakaran sagu mengalami modifikasi bentuk untuk dapat beradaptasi dengan kondisi habitat tereduksi. Kondisi habitat tergenang
atau berupa rawa-rawa, identik dengan kondisi tereduksi. Artinya
keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah karena oksigen atau udara terdesak oleh partikel air (H2O).
Pada sisi yang lain untuk menjamin
pertumbuhan diperlukan oksigen untuk proses respirasi akar. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka sistem perakaran tumbuhan sagu mengalami modifikasi bentuk dan arah. Biasanya pergerakan akar senantiasa tumbuh ke samping secara horizontal dan vertikal ke lapisan tanah bagian dalam. Namun ketika kondisi tanah tergenang air, maka terdapat sebagian arah pertumbuhan akar sagu berbalik ke atmosfer keluar menembus permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Disamping itu jumlah atau volume akar rambut meningkat sehingga luas permukaan kontak bertambah besar. Mekanisme adaptasi sistem perakaran sagu seperti inilah yang ditemukan terjadi untuk memenuhi penyerapan aksigen melalui perluasan kontak permukaan akar dengan udara luar, sehingga kebutuhan oksigen sagu dapat terpenuhi selama terjadi genangan (Gambar 24).
94
Gambar 24. Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang Modifikasi sistem perakaran ke arah permukaan air, atau melewati tinggi genangan ini, diduga agar supaya penyerapan oksigen oleh perakaran tumbuhan sagu dapat berlangsung dengan baik, yang dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan oksigen.
Mekanisme pergerakan ini selanjutnya disebut sebagai
oxytropisme, yaitu pergerakan akar sagu menuju tempat yang cukup tersedia oksigen. Menurut Levitt (1980) dikemukakan bahwa lahan yang tergenang dalam tempo cukup lama
memunculkan cekaman.
menguntungkan bagi banyak jenis tumbuhan.
Kondisi
cekaman tidak
Beberapa tumbuhan dalam
menghadapi kondisi cekaman, secara alamiah terjadi pembentukan organ dalam jumlah banyak seperti rhyzome dan memperbanyak jumlah akar. Mekanisme inilah yang terjadi pada tumbuhan sagu untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi tergenang.
Daubenmire (1974) mengemukakan pula bahwa banyak
tumbuhan untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lahan yang memiliki aerase jelek, terjadi melalui dua mekanisme adaptasi yaitu :
1) melalui adaptasi
morfologi seperti membentuk sistem perakaran dangkal, membentuk jaringan aerase khusus atau organ aerase tertentu, misalnya membentuk sistem ruang udara interseluler yang menghubungkan stomata dengan sistem parakaran, yang disebut
95
pneumatophora, dan 2) melalui adaptasi fisiologi seperti pemenuhan kebutuhan oksigen rendah dan kemampuan respirasi anaerobik secara spesifik.
4.2.7. Karakteristik habitat sagu di P. Seram a. Karakteristik iklim Intensitas sinaran surya Hasil penelitian intensitas sinaran surya dalam areal pertumbuhan sagu pada tiga wilayah sampel di P. Seram menunjukkan bahwa hanya sebagian dari intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke lantai rumpun sagu. Dari jumlah intensitas sinaran surya yang mencapai 2000 lux (lumen/m 2) yang diukur pada ruang terbuka, hanya sekitar 29,69 % yang sampai ke bagian bawah rumpun tumbuhan sagu (Tabel 17). Jumlah intensitas sinaran surya yang sampai di bagian bawah rumpun sagu di antara rumpun mencapai 46,97 %, sedangkan intensitas yang sampai di bagian bawah dekat pohon hanya mencapai 12,40 %. Hal ini berarti bahwa lebih dari 50 % intensitas sinaran surya tidak dapat masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan tumbuhan sagu. Rata-rata jumlah intensitas sinaran surya yang terukur di dekat rumpun tumbuhan sagu sekitar 206,53 lux, di antara rumpun sagu yang satu dengan yang lain sekitar 781,48 lux. Sedangkan intensitas sinaran surya rata-rata yang terukur pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux (Lampiran 9). Rendahnya intensitas sinaran surya yang masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan pohon tumbuhan sagu dikarenakan adanya hambatan dari tajuk. tajuk terbentuk dari tangkai dan anak-anak daun yang tumbuh merapat. Selain itu pada suatu rumpun terdiri dari beberapa individu. Individu dimaksud meliputi beberapa fase berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Walaupun tidak semua rumpun ditemukan stadia pertumbuhan yang lengkap, namun pada setiap rumpun bisa terdapat lebih dari 10 individu tumbuhan sagu. Setiap individu tumbuhan sagu dapat memiliki 8-14 tangkai daun dengan anak daun dapat mencapai 150 helai.
96
Tabel 17. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Lokasi Pengamatan Wilayah Sampel Rg Terbuka Bwh Tgkn Antara Tgkn Rataan WS I Luhu-SBB lux (lumen/m2) April 250,38 882,91 566,64 1779,56 Mei 233,10 803,45 518,28 1676,85 Juni 225,78 789,58 507,68 1641,30 Juli 204,06 793,24 498,65 1542,22 Rataan 228,33 817,30 522,81 1659,98 WS II Sawai-MT April 186,70 837,48 512,09 1872,89 Mei 206,91 825,95 516,43 1781,93 Juni 199,34 796,05 497,69 1788,26 Juli 181,24 796,23 488,74 1644,47 Rataan 193,55 813,93 503,74 1771,89 WS III Werinama-SBT April 252,68 960,28 606,48 2019,48 Mei 246,39 749,79 498,09 1852,71 Juni 182,48 762,36 472,42 1653,03 Juli 109,34 380,47 244,91 850,80 Rataan 197,72 713,22 455,47 1594,00 Rataan umum 177,07 670,56 423,82 1427,56 Persen thdp Rtb 12,40 % 46,97 % 29,69 % Keterangan : WS = wilayah sampel, Bwh Tgkn = bawah tegakan, Rg = ruang, Rtb = ruang terbuka. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Temperatur udara Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di bawah tegakan sagu P. Seram Maluku selama periode waktu pengamatan antara bulan April sampai Juli 2009 berkisar antara 22,69 – 23,940C (Tabel 18). Fakta ini menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan sagu relatif sempit, lebih rendah dibandingkan dengan temperatur di lahan terbuka. Berdasarkan data yang diperoleh dari dua stasiun Klimatologi yang terdapat di P. Seram menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata berkisar antara 24,67 – 26,31oC (Lampiran 10).
97
Tabel 18. Temperatur rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Wilayah Sampel WS I Luhu-SBB MG 1 MG 2 MG 3 MG 4 Rataan WS II Sawai-MT MG 1 MG 2 MG 3 MG 4 Rataan WS III Werinama-SBT MG 1 MG 2 MG 3 MG 4 Rataan
23,13 23,56 23,50 23,44 23,41
Periode Pengamatan Mei Juni 0 Temperatur ( C) 23,38 23.47 23,25 23.00 23,38 23.25 23,31 23.44 23,33 23.29
23.94 23.63 22.94 23.25 23.44
23,50 23,56 23,50 23,38 23,48
23,88 23,44 23,38 23,31 23,50
23.38 23.13 23.25 23.44 23.30
23.75 23.38 22.94 23.25 23.33
23,69 23,75 23,88 23,50 23,70
23,13 23,63 23,94 23,38 23,52
23.44 23.25 23.63 23.00 23.33
22.88 23.00 22.69 23.13 22.92
April
Juli
Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Kondisi temperatur ini hampir mirip dengan hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan pada areal pertumbuhan sagu di Papua. Rendahnya temparatur udara di bawah tegakan tumbuhan sagu dikarenakan permukaan tanah sebagian besar (sekitar 55 %) turtutup oleh bagian tajuk tumbuhan sagu, sehingga menghambat penetrasi sinaran surya sebagai sumber energi yang dapat memberikan efek panas. Implikasi dari rendahnya sinaran surya yang masuk ini menyebabkan temperatur udara di sekitar tajuk atau rumpun tumbuhan sagu lebih rendah daripada di ruang terbuka. Perubahan temperatur udara di sekitar tumbuhan sagu senantiasa mengikuti perubahan (fluktuasi) kondisi temperatur lokal (Gambar 25). Kondisi temperatur lokal rata-rata pada bulan April sekitar 26,15oC, kondisi ini selama tiga bulan ke depan bergerak turun sampai mencapai 24,67oC pada bulan Juli. Dengan kata lain temperatur lokal sejak bulan April sampai Juli terjadi penurunan temperatur udara sekitar 1,5oC. Pergerakan ini mengikuti pola perubahan musim.
98
dimana pada bulan April termasuk musim kemarau dan sampai dengan bulan Juli sudah masuk ke musim hujan. 28
Temperatur udara (oC)
27 26 25 24 23 22 April
Amahai
Mei Juni Periode Waktu Kairatu
Rataan
Juli
T-mikro
Keterangan : Data primer dan sekunder diolah
Gambar 25. Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku
Curah hujan Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang diperoleh dari dua stasiun klimatologi di P. Seram yaitu stasiun klimatologi Amahai Kabupaten Maluku Tengah dan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat, menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P. Seram Maluku banyak ditemukan tumbuh pada kondisi curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 139,37 mm pada bulan Januari sampai 491,36 mm pada bulan Juni, puncak hujan berlangsung pada bulan Juni-Juli (Gambar 26 dan Lampiran 11). Dengan kata lain bahwa curah hujan tahunan berkisar antara 1.672,44 mm – 5.896,32 mm/tahun (rata-rata 3.031,82 mm/tahun), termasuk dalam kategori tipe hujan A dan B berdasarkan klasifikasi menurut Schmidt and Ferguson (BPKH Wil. IX Ambon 2006). Jumlah curah hujan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi curah hujan
99
>2000 mm/tahun. Hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Provinsi Papua menunjukkan bahwa tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh pada tipe iklim B1 dengan curah hujan rata-rata 2.118 mm/tahun.
Harsanto
(1992) mengemukakan bahwa jumlah curah hujan sekitar 2.000 - 4.000 mm/tahun menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu.
Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm)
550 500 450 400 350 300
250 200 150
100 50 Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des
Periode Waktu Kairatu
Amahai
Rataan
Keterangan : Data primer dan sekunder diolah
Gambar 26. Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku
Kelembaban Udara Hasil penelitian kelembaban udara relatif di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram Provinsi Maluku menunjukkan bahwa jumlah kandungan uap air yang terdapat di bawah tegakan tumbuhan sagu berkisar antara 87,97 – 91,60 %. (Tabel 19 dan Lampiran 12). Hal ini berarti bahwa kandungan uap air di bawah tegakan tumbuhan sagu cukup besar. Apabila dibandingkan kondisi kelembaban udara lokal, tampak bahwa perubahan kondisi kelembaban udara mikro sepadan dengan perubahan kondisi kelembaban lokal.
Pada bulan April rata-rata
kelembaban udara relatif lokal sebesar 86,70 %, kemudian cenderung bergerak naik sampai mencapai 91,13 % pada bulan Juli (Gambar 27). Perubahan kondisi
100
kelembaban ini sejalan dengan peningkatan jumlah curah hujan yang mulai meningkat sejak bulan April, terus bergerak naik sampai mencapai puncaknya sekitar bulan Juni dan Juli, dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara 477,24 mm – 491,36 mm. Tabel 19. Kelembaban udara relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku Periode Pengamatan Wilayah Sampel April Mei Juni Juli WS I Luhu-SBB Kelembaban relatif (%) MG 1 87,38 90,38 89,63 92,13 MG 2 88,63 89,50 90,00 90,13 MG 3 87,25 85,88 89,75 92,38 MG 4 86,00 89,25 90,00 89,25 Rataan 87,31 88,75 89,84 90,97 WS II Sawai-MT MG 1 88,88 91,25 92,50 91,38 MG 2 87,38 91,93 91,25 91,50 MG 3 89,63 90,75 89,25 91,75 MG 4 89,50 89,01 90,88 89,88 Rataan 88,84 90,73 90,97 91,13 WS III Werinama-SBT MG 1 88,50 90,75 91,75 93,00 MG 2 88,13 90,88 92,00 92,50 MG 3 87,25 90,50 92,00 92,63 MG 4 87,13 89,88 92,00 92,75 Rataan 87,75 90,50 91,94 92,72 Rataan umum 87,97 89,99 90,92 91,60 Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Di bawah tegakan rumpun sagu, tingkat kelembaban udara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif lokal, hal ini dimungkinkan karena pergerakan uap air di bawah tegakan rumpun sagu berjalan lambat karena ada hambatan tajuk rumpun sagu. sedangkan kelembaban udara relatif lokal berasal dari data stasiun klimatologi yang dipasang pada ruang terbuka, tanpa ada hambatan pohon, bangunan atau bentuk hambatan lainnya. Pada ruang terbuka pergerakan angin biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan di bawah tajuk vegetasi.
101
Tingkat kelembaban udara relatif di P. Seram ini, baik bagi pertumbuhan sagu karena berada pada rentang yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu menghendaki kondisi kelembaban >70 % untuk menjamin pertumbuhannya yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Papua, diperoleh kelembaban relatif sebesar 83,34 % pada areal pertumbuhan sagu dengan tipe iklim B1. 92
Kelembaban Udara (%)
91 90 89 88 87
86 85 April Amahai
Mei Juni Periode Waktu Kairatu
Rataan
Juli RH-mikro
Keterangan : Data primer dan sekunder diolah
Gambar 27. Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku
b. Karakteritik tanah habitat sagu Hasil analisis paramater tanah menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan dengan pH (H2O) berkisar antara 4,47 – 5,63 (Tabel 20).
Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan sagu
mampu tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat pH aktual bersifat masam. Pada kondisi seperti ini tidak banyak tanaman pertanian mampu bertahan hidup atau dapat tumbuh dengan baik. Apabila kondisi tanahnya makin tereduksi, maka reaksi tanah akan semakin masam. Fakta ini ditunjukkan oleh pH (KCl) hasil
102
analisis berkisar antara 4,13 – 4,67 (Lampiran 13). Berdasarkan kisaran nilai pH (KCl) ini, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu memiliki toleransi yang kuat terhadap kondisi kemasaman yang rendah.
Dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan palem yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap kondisi kemasaman tanah yang dapat mencapai empat. Kandungan bahan organik tanah pada berbagai tipe habitat di lahan sagu P. Seram mencapai 4,81 %, termasuk dalam kategori sedang-tinggi (berdasarkan kriteria PPT Bogor dalam Hardjowegeno 1992). Tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari satu persen merupakan tanah yang menyerupai kondisi tanah dalam kawasan hutan. Tanah-tanah hutan biasanya memiliki kandungan bahan organik lebih dari 3 %, hal ini dikarenakan di dalam kawasan hutan sumber bahan organik cukup banyak yang berasal dari seresah tumbuhan hutan. Pada lahan yang ditumbuhi sagu dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi, dimungkinkan karena lahan tumbuhan sagu pada umumnya terletak di dataran rendah, lembah-lembah bukit, di bagian kiri-kanan sungai, atau lahan datar sampai ke arah dekat pesisir pantai. Pada wilayah tersebut bahan organik bisa berasal dari daerah dataran tinggi yang terangkut air mengikuti run off kemudian mengendap atau terakumulasi pada lahan-lahan habitat tumbuhan sagu, atau dapat pula berasal dari vegetasi dalam habitat sagu, termasuk dari tumbuhan sagu itu sendiri. Kandungan unsur hara nitrogen di habitat sagu rataan sebesar 0,19 %, nitrogen paling tinggi ditemukan pada tipe habitat T2AT mencapai 0,26 %. Rendahnya kandungan nitrogen tanah ini menunjukkan bahwa sumber nitrogen tanah terbatas.
Nitrogen tanah biasanya berasal dari bahan organik yang
mempunyai kandungan protein tinggi, fiksasi atau pengikatan Nitrogen bebas oleh mikroba tanah, air hujan, atau melalui pemupukan. Rendahnya kandungan Nitrogen tanah diduga dapat pula dikarenakan Nitrogen anorganik dalam bentuk ion terabsorpsi atau terserap oleh tumbuhan sagu termasuk vegetasi lainnya yang berada dalam habitat sagu. Secara keseluruhan pada semua tipe habitat C/N ≤ 20. merupakan rasio yang termasuk dalam kategori rendah.
Rasio C/N yang rendah merupakan
103
petunjuk yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengenai kecepatan proses perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi unsur hara yang terikat secara kimia dalam bentuk senyawa kompleks dalam tubuh organisme. Rasio C/N yang kurang atau sama dengan 20 %, merupakan petunjuk bahwa perombakan berlangsung cepat, dan sebaliknya apabila rasio C/N melebihi 20 %, kecepatan perombakan bahan organik akan berlangsung lambat. Jika perombakan berlangsung lambat, maka pelepasan (release) unsur hara terutama Nitrogen akan mengalami keterlambatan pula. Pada umumnya Kapasistas Tukar Kation tanah > 14 cmol/kg, pada tipe habitat tergenang permanen dapat mencapai 26,69 cmol/kg. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan sagu cukup subur, artinya unsur hara yang berada di dalam tanah dalam kondisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tumbuhan. Kondisi KTK yang tinggi ini merupakan petunjuk pula bahwa tanah lahan sagu di P. Seram memiliki penyanggah (buffer) terhadap unsur hara. Tanah-tanah yang memiliki KTK tinggi terhindar dari pencucian unsur hara (leaching), sehingga unsur hara senantiasa tetap berada dalam jangkauan perakaran tumbuhan. Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah, karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid, maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air. Kandungan kalium, kalsium, dan magnesium tanah rata-rata secara berurutan K 0,72 %, Ca 0,34 %, dan Mg 0,46 %, termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Ketiga unsur hara tersebut di dalam tanah merupakan kation basa, artinya dapat memberikan akses basa dalam meningkatkan pH tanah. Tingginya kation-kation basa ini dapat dikarenakan oleh pengaruh bahan induk tanah yang sebagian berasal dari bahan coral dan limestone. Dalam kaitan dengan sifat kation basa tersebut, Syekhfani (1997) mengemukakan bahwa di antara ion-ion basa K, Ca, dan Mg terdapat sifat antagonistik dalam hal serapan oleh tumbuhan. Bila salah satu unsur lebih
104
Tabel 20. Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku
0-30
H2O 5,6
KCl 4,7
% 2,62
% 0,20
C/N Rasio 12,50
30-60
5,3
4,5
1,57
0,13
12,50
14,28
0-30
4,9
4,3
6,46
0,26
21,72
30-60
4,5
4,1
3,12
0,14
0-30
5,4
4,5
6,08
30-60
5,3
4,3
0-30
4,7
30-60
Tipe Habitat
Kedalaman (cm)
TTG
T2AT
T2AP
TPN
Rataan
pH (1:5)
C-Org1)
N-Total2)
KTK3)
P
Ca
Mg
Fe
Al
Total (NHO3 + HClO4) (%) 0,77 0,36 0,47 3,10
4.65
0,05
0,72
0,29
0,48
4,53
4.79
25,03
0,10
0,73
0,37
0,51
3,31
5.36
18,45
21,49
0,06
0,87
0,33
0,58
4,45
6.11
0,23
20,00
18,97
0,03
0,60
0,30
0,35
1,56
3.42
3,24
0,24
13,25
17,21
0,05
0,62
0,33
0,40
1,66
4.38
4,3
5,62
0,25
20,00
26,69
0,05
0,72
0,53
0,48
2,91
5.46
4,5
4,1
3,80
0,20
16,17
18,57
0,03
0,64
0,33
0,39
2,14
4.82
0-30
5,1
4,4
4,81
0,23
17,89
20,88
0,05
0,72
0,38
0,46
2,82
4.85
30-60
4,8
4,3
2,73
0,16
15,06
17,77
0,04
0,73
0,30
0,47
3,33
5.14
5.0
4,3
3,77
0,19
16,47
19,32
0,05
0,72
0,34
0,46
3,08
4,99
Rataan Umum
Cmol(+) /kg 14,32 0,04
K
Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen, C-org = Karbon organik, N = Nitrogen, KTK = Kapasistas Tukar Kation, P = Phosfor, K = Kalium, Ca = Kalsium, Mg = Magnesium, Fe = Ferrum, Al = Aluminium. 1) Walkley & Black; 2)Kjeldahl; 3)NH4-Acetat 1N. pH7. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
104
105
banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Kompetisi ini berkaitan dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar. Bagi tumbuhan, kalium berperan dalam meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap penyakit tertentu di samping mendorong perkembangan akar. Hardjowigeno
(1992)
mengemukakan
bahwa
kalium
berperan
dalam
pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis dalam tumbuhan. proses metabolik dalam sel, mempertinggi daya tahan tumbuhan, dan penting dalam perkembangan perakaran. Sedangkan kalsium berperan dalam penyusunan dinding-dinding sel, pembelahan sel, dan pemanjangan
sel
(elongation).
Sementara
magnesium
berperan
dalam
pembentukan klorofil, sistem enzim, dan pembentukan minyak pada tumbuhan. Hasil analisis sifat fisika tanah menunjukkan bahwa bulk density atau kepadatan tanah di lahan sagu P. Seram Maluku tidak terlalu tinggi atau termasuk dalam kategori sedang yakni berkisar antara 1,07 – 1,31 (Tabel 21 dan Lampiran 14).
Tabel 21. Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Tipe Habitat TTG
Tekstur (Pipet) (%) Kedalaman BD Kelas Tekstur (cm) Pasir Debu Liat 0-30 1,31 22,67 39,00 38.33 Lempung liat 30-60 21,83 38,67 39.50 Lempung liat T2AT 0-30 1,24 23,33 41,00 35.67 Lempung berliat 30-60 17,17 46,00 36.83 Lempung liat T2AP 0-30 1,19 22,00 40,75 37.25 Lempung liat 30-60 25,50 34,50 40.00 Berliat halus TPN 0-30 1,07 18,00 40,00 42.00 Liat berdebu 30-60 10,17 41,17 48.67 Liat Berdebu Rataan 0-30 1,21 21,47 40,69 37.83 Lempung liat 30-60 18,29 40,89 40.82 Liat berdebu Rataan Umum 1.20 19,88 40,79 39,33 Lempung liat Keterangan : BD = bulk density, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Tingkat bulk density yang sedang ini dapat dikarenakan oleh cukup tingginya kandungan bahan organik tanah di lahan sagu Pulau Seram Maluku. Kondisi ini memberi ruang yang baik untuk mendukung pertumbuhan perakaran tumbuhan sagu. Hasil analisis kelas tekstur tanah menunjukkan bahwa secara umum termasuk dalam kategori lempung liat, sebagian termasuk dalam kategori
106
liat berdebu.
Hal ini memberikan petunjuk bahwa pada semua tipe habitat
tumbuhan sagu ditemukan adanya kandungan liat, artinya tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi lahan yang memiliki kandungan liat.
c. Kualitas air rawa habitat sagu Hasil analisis parameter air menunjukkan bahwa pH air pada lahan sagu di P. Seram Maluku, baik pada tipe habitat tergenang tidak permanen ataupun tergenang permanen memiliki kisaran kemasaman yang sedang berkisar antara 6,23 – 6,58, dengan kondisi kesuburan air yang cukup baik yang ditunjukkan oleh kandungan nitrogen, kalium, kalsium, dan magnesium yang cukup tinggi (Tabel 22 dan Lampiran 15). Kadar salinitas air pada lahan sagu di P. Seram Maluku relatif rendah, walaupun pada tipe lahan tergenang tidak permanen air payau. Hal ini diduga disebakan karena dua sebab yaitu 1) adanya pengaruh air tawar yang berasal dari sungai yang terdapat disekitar lahan tempat tumbuh sagu atau air sungai yang berdekatan dengan lahan sagu.
Pada umumnya tumbuhan sagu
ditemukan tumbuh pada lahan yang berada disekitar sumber air, seperti misalnya dekat sungai, dan 2) tumbuhan sagu senantiasa berada di belakang vegetasi nipah kearah daratan dari bagian pesisir pantai. Vegetasi nipah diketahui memiliki kemampuan untuk memfilter atau menyaring kadar garam yang terkandung dalam air laut, sehingga air yang masuk sampai ke lahan sagu kandungan garamnya telah turun, atau dapat pula disebabkan karena tumbuhan sagu memiliki kemampuan untuk menyaring kadar garam sehingga salinitas air menjadi rendah yakni hanya mencapai 0,60 ppt. Pada Tabel 22 tampak bahwa kandungan nitrogen mineral dalam air di lahan sagu P. Seram Maluku kebanyakan dalam bentuk Nitrat (NO 3-) (rata-rata 5,65 mg/l) dibandingkan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+) (rata-rata 0,61 mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air berada dalam suasana teroksidasi, indikasi ini diperjelas dengan kondisi pH air yang mendekati netral. Hal ini berarti bahwa air tersebut belum terlalu lama menggenang terutama pada tipe habitat tergenang tidak permanen air tawar (T2AT) dan tipe lahan tergenang permanen (TPN). Lain halnya dengan tipe habitat tergenang tidak permanen air payau yang memang kondisi pH air sekitar netral karena pengaruh kandungan garam natrium
107
(Na) yang terkandung dalam air laut dan sering menggenangi lahan sagu ketika air pasang dan mengering ketika air surut. Tabel 22. Kualitas air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku Air Bebas Lumpur Ca2+ Mg2+ NO32mg/liter 23,31 4,97 6,66
Tipe Habitat
pH
NH4+
K+
T2AT
6,23
0,60
7,23
T2AP
6,58
0,61
2,54
27,74
3,16
TPN
6,33
0,61
3,80
23,83
4,26
PO43-
Salinitas (ppt)
1,27
0,13
4,59
0,06
0,60
5,71
0,23
0,10
Keterangan : T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen; NH4+ = Ammonium, K+ Kalium, Ca2+ = Kalsium, Mg2+ = Magnesium, NO32- = Nitrat, PO43- = Phosfat, ppt = part per thousand. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Kandungan ion K dalam air cukup tinggi terutama pada tipe lahan T2AT mencapai 7,23 mg/l, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kandungan ion K pada tipe habitat T2AP dan TPN. Lebih rendahnya kadar K+ pada dua tipe habitat yang disebut terakhir diduga karena K+ yang terlarut dalam air pada kedua tipe habitat tersebut mengalami perkolasi, dikarenakan apabila dilihat dari lama tergenang, maka air di kedua tipe habitat itu lebih lama terendam. Faktor inilah yang memungkinkan lebih rendahnya kandungan K+ dalam air di dua tipe habitat itu. Fenomena ini mirip dengan kandungan fosfat di dalam air pada tiga tipe habitat yang telah diuraikan di atas. Ion kalsium dan magnesium memiliki ciri yang mirip yakni semua tipe habitat memiliki kandungan K dan Mg yang tidak jauh berbeda antara satu tipe habitat dengan tipe habitat yang lain. Hal ini diduga karena kedua ion tersebut memiliki sifat yang relatif lebih tahan terhadap gerakan perkolasi karena mempunyai dua muatan yang bisa terikat pada permukaan koloid tanah. 4.2.8. Interaksi dengan komponen biotis a. Asosiasi interspesifik Hasil observasi untuk mengetahui jumlah spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram ditemukan sebanyak 42 spesies. Hasil analisis
108
Varians Ratio (VR) diperoleh nilai sebesar 0,831 (VR < 1). Hal ini berarti bahwa secara simultan (keseluruhan) spesies tumbuhan penyusun komunitas sagu di P. Seram di antara sesama spesies terjadi asosiasi yang bersifat negatif. Dalam kaitan itu, untuk menjelaskan pasangan asosiasi antara spesies yang satu dengan spesies lainnya dalam komunitas sagu terutama spesies penyusun utama dilakukan analisis chi-square. Dari 42 spesies yang tumbuh dalam komunitas sagu, terdapat 21 spesies tumbuhan sebagai penyusun utama (Lampiran 16). Kriteria untuk menentukan spesies sebagai penyusun utama berdasarkan nilai penting yang dimiliki setiap spesies yaitu spesies yang memiliki nilai penting ≥10 %. Hasil analisis chi-square spesies berpasangan, dalam spesies sagu dan antara spesies sagu dengan spesies lain menunjukkan bahwa terdapat asosiasi dalam spesies sagu yang sama dan antara spesies sagu dengan spesies bukan sagu (Lampiran 17). Empat spesies sagu yang terdapat di P. Seram berasosiasi diantara sesamanya masing-masing M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. dengan nilai X2 sebasar 6,53, 5,12, 16,74, 20,73, 5,69, dan 5,31. Sedangkan asosiasi dengan spesies sagu dengan bukan sagu hanya terjadi dengan tiga spesies yaitu Pandanus furcatus Roxb., Homalomena rubra Hassk., dan Nephrolepis exaltata Shcott. Tipe asosiasi semua pasangan spesies bersifat negatif dengan tingkat asosiasi berdasarkan indeks Jaccard kurang dari 0,5 atau bersifat lemah. Hasil analisis chi-square disajikan pada Tabel 23. Terjadinya asosiasi antara spesies yang bersifat negatif
sebagaimana
tersaji pada Tabel di atas merupakan fakta bahwa di antara setiap spesies terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya pertumbuhan atau jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lainnya. Interaksi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pula bahwa tidak terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup. Menurut Barbour et al. (1999 dalam Kurniawan et al. 2008) dikemukakan bahwa asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pada setiap tumbuhan dalam suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Dikemukakan lebih lanjut oleh Krivan & Sirot (2002) bahwa dalam asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi
109
dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai kompetitor yang mendominasi spesies lain. Tabel 23. Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan penyusun utama komunitas sagu P. Seram, Maluku No.
Nama spesies
Chi-square (X2)
Tipe Asosiasi
Indeks Jaccard
1. M. rumphii Mart. 1.1
M. longispinum Mart.
6,53*
Negatif
0,43
1.2
M. sylvestre Mart.
5,12*
Negatif
0,47
1.3
M. sagu Rottb.
16,74*
Negatif
0,16
1.4
Pandanus furcatus Roxb.
6,76*
Negatif
0,06
1.5
Homalomena rubra Hassk.
9,28*
Negatif
0,15
1.6
Nephrolepis exaltata Schott.
21,03*
Negatif
0,05
2. M. longispinum Mart. 2.1. M. sylvestre Mart.
20,73*
Negatif
0,15
2.2.
M. sagu Rottb.
5,69*
Negatif
0,20
2.3.
Homalomena rubra Hassk.
4,35*
Negatif
0,08
2.4.
Nephrolepis exaltata Schott.
4,76*
Negatif
0,04
3. M. sylvestre Mart. 3.1
M. sagu Rottb.
5,31*
Negatif
0,14
3.2
Homalomena rubra Hassk.
4,45*
Negatif
0,04
3.3
Nephrolepis exaltata Schott.
4,96*
Negatif
0,04
4. M. sagu Rottb. 4.1
Pandanus furcatus Roxb.
4,56*
Negatif
0,10
4.2
Homalomena rubra Hassk.
3,54*
Negatif
0,04
4.3
Nephrolepis exaltata Schott.
4,48*
Negatif
0,02
Keterangan : * signifikan pada taraf α 0.05. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Interaksi spesies M. rumphii Mart. memiliki tingkat asosiasi yang cukup kuat dengan spesies M. longispinum Mart., dan M. sylvestre Mart. yang ditunjukkan dengan indeks Jaccard yang cukup tinggi masing-masing sebesar 0,43 dan 0,47. Hal ini berarti bahwa dalam habitat yang sama terjadi saling menekan atau kompetisi yang cukup kuat antara spesies M. rumphii Mart. dengan M. longispinum Mart. dan antara M. rumphii Mart. dengan M. sylvestre Mart. dalam mendapatkan kebutuhan hidup dan penempatan ruang. Sedangkan asosiasi antara
110
spesies M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., M. sagu Rottb., Pandanus furcatus Roxb., Homalomena rubra Hassk., dan Nephrolepis exaltata Schott. semuanya rendah, fakta ini ditunjukkan dengan indeks Jaccard kurang dari 0,20. b. Keadaan umum fauna dalam komunitas sagu Selama melakukan penelitian di tiga wilayah sampel dalam komunitas sagu di P. Seram, tercatat beberapa jenis fauna yang hidup dalam komunitas sagu seperti kelelawar (Pteropus sp), biawak (Hydrasaurus amboinensis), ular kobra (Python reticulatus), katak (Rachoporus renwardii), babi hutan (Susscrofa sp), burung raja udang (Halcyon sp), kumbang sagu (Oryctes rhinoceros L), dan ulat sagu. Di dalam wilayah sampel I Luhu-SBB pada siang hari dijumpai kelelawar bergantungan pada bagian ujung tangkai daun pohon sagu dewasa secara berkelompok dalam jumlah yang cukup banyak mencapai ratusan individu. Populasi kelelawar dalam jumlah besar yang bergantungan di tangkai daun ini menyebabkan terjadinya kerusakan anak-anak daun yang cukup berarti. Peran kelelawar dalam proses penyerbukan atau agen dispersal buah atau biji sagu tidak diketahui dengan pasti, karena tidak ditemukan fakta empiris atau sandaran hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Biawak dan ular menjadikan habitat sagu sebagai habitat tempat hidupnya, dengan kondisi yang tertutup atau ternaung ditemukan biawak berteduh pada tangkai daun sagu yang tumbuh agak mendatar kebanyakan pada tipe habitat yang tergenang, baik permanen maupun temporer. Sedangkan ular ditemukan pada tempat yang tertutup dan lembab. Dalam habitat sagu ditemukan juga katak terutama pada tipe habitat yang berair. Hewan liar yang sering ditemui di dalam komunitas sagu adalah babi hutan.
Hewan ini mencari makan pada tempat-tempat pembuangan limbah
pengolahan sagu, ditengarai limbah sagu ini dijadikan sebagai pakan oleh babi hutan. Selain itu pada limbah pengolahan sagu yang telah tersimpan cukup lama hidup banyak cacing tanah, di tempat-tempat ini banyak ditemukan juga bekas pembongkaran babi hutan, kemungkinan dalam mencari fauna tanah. Di beberapa bagian dalam habitat sagu dijumpai pula bekas pembongkaran tanah oleh babi hutan. Secara tidak langsung pembongkaran limbah atau pembongkaran tanah
111
oleh babi hutan mempunyai andil dalam perbaikan struktur tanah karena terjadi penghancuran struktur sekaligus percampuran tanah dengan bahan organik yang terdapat di bagian permukaan tanah. Pada tangkai daun sagu fase semai yang tumbuh melengkung dan berada pada posisi agak datar dijumpai burung raja udang (Halcyon sp) sedang berada di tangkai daun sagu terutama yang berada pada tipe habitat tergenang atau tangkai daun sagu yang melengkung ke atas permukaan sungai. Selain berteduh, pada waktu tertentu burung raja udang (Halcyon sp) menceburkan tubuhnya ke dalam air atau sungai. Tindakan atau perilaku tersebut tidak diketahui maksudnya. mungkin sekedar membasahi badannya atau untuk keperluan menemukan mangsa sebagai pakannya. Pada pohon sagu yang telah dipanen atau ditebang, beberapa saat kemudian dapat ditemukan kumbang sagu berwana hitam yang biasanya menempel pada bagian empulur batang yang telah dipotong dan dibelah atau dibuka. Sebelum batang dibuka, kumbang sagu dapat ditemukan pada bagian empulur tuas dan pangkal batang bekas tebangan. Selain itu kumbang sagu ini ditemukan juga pada bagian pelepah tangkai daun sagu yang telah dipanen. Diduga kumbang sagu ini mengkonsumsi atau menghisap cairan glukosa atau fruktosa dari pati sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kumbang sagu ini dapat ditemukan beberapa individu atau cukup banyak pada pagi dan sore hari. Kumbang Oryctes rhinoceros L ternyata diketahui merupakan salah satu jenis hama sagu. Kumbang ini biasanya menyerang tanaman palm seperti kelapa, kelapa sawit, dan sagu (Bintoro 2008). Menurut Rostiwati et al. (2008) kumbang Oryctes merupakan serangga hama yang menyerang pucuk daun tanaman sagu. Biasanya sekitar dua meter bagian ujung batang sagu tidak diolah atau diproses, karena memiliki kandungan pati yang rendah.
Bagian ujung yang
ditinggalkan ini, dalam tempo kurang lebih 3 bulan telah membusuk. Pada bagian dalam batang semula berupa empulur dapat ditemukan larva ulat sagu dalam jumlah banyak (Gambar 28). Oleh sebagian masyarakat petani di Maluku dan Papua ulat sagu ini dipanen dan dijadikan menu untuk dikonsumsi. Bustaman (2008) mengemukakan bahwa ulat sagu selama ini belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan
112
pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi.
Sumber :http://www.google.co.id/imglanding
Gambar 28. Ulat sagu hidup pada bagian empulur batang sagu tidak diolah
4.2.9. Interaksi dengan komponen abiotis a. Interaksi dengan parameter iklim Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) faktor iklim menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data iklim sebesar 100 %. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat iklim masing-masing sebesar 55,5 % dan 44,5 % (Tabel 24).
Tabel 24. Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim Komponen PC1 PC2
Eigenvalue 2,777 2,223
Proportion 0,555
Cumulative 0,555
0,445
1,000
113
Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor iklim yaitu sinaran surya mikro dan curah hujan.
Sementara pada PC2 secara dominan
dicirikan oleh tiga variabel yaitu temperatur mikro, kelembaban mikro, dan sinaran surya lokal (Tabel 25). Tabel 25. Eigenvector komponen utama variabel iklim Variable PC1 Temperatur mikro 0,351
PC2 -0,544
Kelembaban mikro
-0,090
0,663
Sinaran surya lokal
0,406
0,494
Sinaran surya mikro
0,598
-0,050
Curah hujan
-0,588
-0,136
Hasil
analisis PCA untuk menjelaskan interaksi
variabel iklim
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara variabel sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot kedua variabel itu (Gambar 29). Korelasi positif ini mengandung pengertian bahwa apabila sinaran surya lokal meningkat, maka dengan sendirinya akan terjadi peningkatan sinaran surya mikro. Korelasi yang sama terjadi pula antara variabel sinaran surya dengan temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Artinya apabila sinaran surya meningkat, maka temperatur mikro dan kelembaban mikro akan bertambah. Meningkatnya sinaran surya yang diikuti dengan peningkatan temperatur mikro, dikarenakan sinaran surya
sesungguhnya
adalah
merupakan
pancaran
radiasi
gelombang
elektromagnetik yang dapat menimbulkan efek panas. Efek ini kemudian diukur sebagai derajat panas yang dikenal sebagai temperatur. Dalam konteks ini temperatur yang dimaksud adalah temperatur mikro. Sedangkan dalam kaitan dengan korelasi positif antara sinaran surya dengan kelembaban mikro, dikarenakan temperatur yang ditimbulkan oleh sinaran surya dapat menyebabkan terjadinya evaporasi (penguapan air rawa) pada habitat sagu. Uap air ini kemudian terperangkap dalam tajuk rumpun sagu karena tutupan lahan oleh tajuk sagu mencapai >50 %. Jumlah kandungan uap air yang terukur di bawah tajuk sagu tersebut yang dikenal sebagai kelembaban mikro. Argumen
114
yang dipakai untuk menjelaskan bahwa terjadi tutupan lahan yang cukup tinggi didasarkan pada jumlah intensitas sinaran surya yang masuk di antara rumpun sagu hanya sekitar 46,97 %. Loading Plot of T_mikro; ...; CH 0,75
RH_mikro Sry_lokal
Second Component
0,50
0,25
0,00
Sry_mikro CH
-0,25
-0,50
T_mikro
-0,50
-0,25
0,00 0,25 First Component
0,50
0,75
Gambar 29. Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Pada Gambar 29 tampak pula bahwa variabel curah hujan memiliki korelasi negatif dengan sinaran surya lokal, sinaran surya mikro, dan temperatur mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh plot curah hujan dengan ketiga variabel yang disebutkan di atas membentuk sudut tumpul. Korelasi yang besifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan semakin bertambah curah hujan, maka sinaran surya (lokal maupun mikro), dan temperatur mikro akan menurun.
Sinaran surya yang berkurang ini dikarenakan pada
umumnya bila terjadi hujan senantiasa terdapat keawanan atau diawali dengan munculnya awan yang menghalangi sinaran surya tembus ke permukaan bumi. Kemudian dengan adanya hujan, maka dengan sendirinya dapat menurunkan temperatur udara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara variabel iklim yang satu dengan yang lain, baik interaksi yang bersifat positif maupun negatif.
115
Dengan mempertimbangkan akar ciri (eigenvalues) sebagai skor komponen utama (skor PC) dan vektor ciri (eigenvector) terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel
terhadap
habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor iklim terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 6,69 % (Tabel 26). Variabel iklim yang memiliki kontribusi tertinggi adalah sinaran surya mikro, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,66 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah temperatur mikro sebesar 0,78 %. Tabel 26. Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) Temperatur mikro 2,223 0,351 0,78 Kelembaban mikro
2,223
0,663
1,47
Sinaran surya lokal
2,223
0,494
1,10
Sinaran surya mikro
2,777
0,598
1,66
Curah hujan
2,777
0,588
1,63
Jumlah
3,38 Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 24 di atas,
dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor iklim di P. Seram sebagai berikut : HS(F-iklim) = (0,78T-mikro) + (1,47RH-mikro) + (1,10Sry-lokal) + (1,66Sry-mikro) + (1,63C-hujan) …………………………………………… (25) dimana : HS = habitat sagu terkait dengan faktor iklim T-mikro = temperatur mikro RH-mikro = kelembaban mikro Syr-lokal = sinaran surya lokal Sry-mikro = sinaran surya mikro C-hujan = curan hujan
Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam persamaan-25 di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram atas dasar sifat iklim sangat ditentukan oleh variabel intensitas sinaran surya mikro, selain itu ditentukan pula oleh sinaran surya lokal.
Hal ini berarti bahwa tumbuhan sagu memiliki
penyinaran yang cukup untuk dapat tumbuh dengan baik. Fakta ini menunjukkan
116
bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan yang memerlukan penyinaran langsung. Apabila terjadi hambatan penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhannya. Fakta ini juga semakin memperkuat argumen bahwa kematian tunas anakan sagu antara lain dipengaruhi oleh banyaknya intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke bagian bawah tajuk rumpun sagu.
Banyak tunas anakan sagu mengalami
kematian karena terjadi kompetisi yang kuat diantara individu setiap rumpun dalam mendapatkan sinaran surya.
Sinaran surya yang masuk sampai dekat
rumpun sagu hanya sekitar 423,82 lux setara 12,40 %, dibandingkan dengan ratarata intensitas sinaran surya terukur sebesar 1427,56 lux. Kontribusi variabel curah hujan dan kelembaban mikro terhadap habitat sagu, tertinggi kedua dan ketiga setelah sinaran surya mikro. Hal ini mengandung makna bahwa curah hujan dan kelembaban mikro memiliki peran cukup besar dalam menentukan habitat sagu di P. Seram. Peran yang sama juga terjadi pada variabel iklim yang lain seperti temperatur mikro. Peran curah hujan terhadap habitat sagu berkaitan dengan jumlah curah hujan atau tipe iklim. Dalam konteks itu, maka terdapat kecenderungan bahwa bahwa habitat sagu di P. Seram banyak tumbuh pada jumlah curah hujan berkisar antara 1.672,44 – 5.898,32 mm/tahun, termasuk tipe hujan A dan B menurut Schmidt-Ferguson (1951 dalam BPPT 1982 dan BPKH 2006). Dalam rangka menjelaskan pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu, dilakukan analisis regresi komponen utama. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu di P. Seram masing-masing sebesar 7,1 % dan 5,3 % (Lampiran 18). Persamaan regresi komponen utamanya secara berurutan sebagai berikut : Y1 = 15,74 - 1,321 X1 + 0,4645 X2 - 0,0021 X3 - 0,0049 X4 + 0,0247 X5 … (26) Y2 = -1897,31 + 2814,27 X1 - 5672,75 X2 + 293,69 X3 + 62,42 X4 + 2,99 X5 ……………………………………………………………………….. (27) dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha), Y2 = produksi pati sagu (kg/batang), X1 = temperatur mikro, X2 = kelembaban mikro, X3 = sinaran surya lokal, X4 = sinaran surya mikro, X5 = curah hujan.
117
Pada persamaan regresi di atas tampak bahwa variabel temperatur mikro memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel iklim yang lain, baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi pati sagu. Kondisi temperatur mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif atau kurang menguntungkan bagi pertambahan jumlah rumpun sagu. Namun terhadap produksi pati bersifat positif, mengandung makna bahwa kondisi temperatur mikro cukup baik terhadap penambahan produksi pati sagu. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat positif tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif terhadap produksi pati sagu, demikian sebaliknya pengaruh negatif faktor iklim terhadap jumlah rumpun sagu tidak selalu diikuti dengan pengaruh negatif terhadap produksi. Variabel iklim berikut yang berpengaruh cukup kuat terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah kelembaban mikro. Variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif, artinya kondisi kelembaban mikro berperan dalam penambahan jumlah rumpun, tetapi tidak menguntungkan bagi peningkatan produksi pati. Hal ini berarti bahwa kondisi kelembaban mikro yang baik bagi penambahan jumlah rumpun dicapai pada taraf yang tidak bersamaan dengan tingkat kelembaban mikro yang baik bagi peningkatan produksi pati. Demikian pula dengan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Curah hujan merupakan variabel iklim yang memberikan pengaruh sepadan terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Artinya variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun dan juga terhadap produksi pati sagu. Dalam kaitan dengan pembentukan rumpun dan produksi pati sagu, maka diperlukan curah hujan dalam jumlah yang memadai. Jika curah hujan berkurang dapat menghambat pembentukan rumpun baru, demikian pula untuk produksi pati sagu. Intensitas sinaran surya mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumlah populasi rumpun sagu.
Hal ini mengandung makna bahwa
sinaran surya mikro tidak memberikan andil dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Dengan kata lain apabila sinaran surya mikro cukup tidak akan membentuk rumpun baru, karena apabila sinaran surya terpenuhi maka percabangan basal
118
tumbuh menjadi individu baru tidak jauh dari pohon induk. Dengan kata lain individu baru yang terbentuk berdekatan dengan pohon induk. Apabila sinaran surya berkurang, maka dapat menambah jumlah rumpun yang terbentuk. Fenomena ini memperkuat argumen tentang mekanisme pembentukan rumpun yang terbentuk pada kondisi sinaran surya berkurang.
Dengan berkurangnya
sinaran surya percabangan basal akan memanjang keluar menjauh dari pohon induk atau rumpun mencari ruang dengan sinaran surya memadai untuk tumbuh menjadi individu baru.
Dalam perkembangan selanjutnya dari individu ini
kemudian muncul percabangan basal baru atau anakan secara bersama-sama menjadi rumpun sendiri. Pengaruh faktor iklim terhadap tumbuhan sagu diawali oleh pengaruh sinaran surya sebagai sumber energi utama dalam kehidupan. Sinaran surya lokal memainkan peranan penting dalam mengendalikan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya mikro, temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Apabila sinaran surya lokal meningkat maka sinaran surya mikro ikut pula bertambah dan senantiasa terjadi fluktuasi dari waktu ke waktu. sumber energi utama bagi kehidupan.
Sinaran surya merupakan
Energi surya dalam bentuk radiasi
ditangkap tumbuhan melalui daun oleh klorofil.
Kemudian melalui proses
fotosintesis dirubah menjadi energi kimia, selanjutnya energi ini dipergunakan untuk pertumbuhan dan tersimpan pada tempat penyimpanan (zink) yakni pada bagian batang. Sinaran surya terkait pula dengan temperatur mikro dan kelembaban mikro. Sinaran surya senantiasa memancarkan radiasi yang dapat menimbulkan efek panas. Efek panas ini selanjutnya meningkatkan termperatur udara. Pada umumnya dengan meningkatnya temperatur udara akan menurunkan tingkat kelembaban relatif. Dengan adanya perubahan temperatur dan kelembaban relatif, maka akan mempengaruhi jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Secara teoritis dengan meningkatnya temperatur maka proses reaksi dalam tubuh tumbuhan akan meningkat, tetapi pada kondisi temperatur yang sangat tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Dengan meningkatnya kondisi temperatur mikro dapat meningkatkan produksi pati sagu.
119
Kelembaban relatif dan temperatur udara selain berkaitan dengan sinaran surya, juga berkaitan dengan curah hujan. Apabila curah hujan meningkat maka kelembaban relatif akan bertambah, sedangkan temperatur udara akan menurun. Peran curah hujan dalam pertumbuhan sagu bukan saja berkaitan dengan naikturunnya kelembaban dan temperatur, tetapi curah hujan juga mempengaruhi tumbuhan sagu melalui ketersediaan air.
Dengan meningkatnya curah hujan,
maka ketersediaan air ikut meningkat, selanjutnya kebutuhan air tumbuhan akan terpenuhi, dan sebaliknya jika curah hujan berkurang atau tidak terjadi hujan, terutama pada tipe habitat lahan kering. b. Interaksi dengan parameter tanah Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa tiga komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat tanah sebesar 85,4 %. Tiga komponen utama tersebut (PC1, PC2, dan PC3) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat tanah masing-masing sebesar 42,8 %, 25,4 %, dan 17,2 % (Tabel 27). Tabel 27. Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah Komponen PC1
Eigenvalue 3,848
Proportion 0,428
Cumulative 0,428
PC2
2,289
0,254
0,682
PC3
1,547
0,172
0,854
Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor tanah yaitu pH (KCl), KTK, dan kalsium. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh empat variabel yaitu C-organik, kalium, bulk density dan partikel liat. Sementara PC3 penciri dominannya adalah magnesium dan ferrum (Tabel 28). Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel tanah menggunakan loading plot menunjukkan bahwa C-organik berkorelasi positif dengan pH (KCl), kalsium, KTK, magnesium, dan kalium. Partikel liat memiliki korelasi positif dengan BD (bulk density) (Gambar 30). Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh pasangan variabel-variabel tersebut. Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi
120
peningkatan C-organik maka akan terjadi peningkatan pula pada variabel lain yang menjadi pasangannya. C-organik merupakan indikator yang menjelaskan tentang banyak-sedikitnya kandungan bahan organik tanah. Dalam kaitan dengan korelasi positif dengan pH (KCl), dikarenakan bahan organik dapat berparan dalam meningkatkan kemasaman tanah (Syekhfani (1997). Tabel 28. Eigenvector komponen utama variabel tanah Variable PC1 PC2 pH (KCl) 0,416 0,187
PC3 -0,156
C_organik
0,348
0,363
-0,193
KTK
0,494
0,098
-0,023
Kalium
0,305
-0,421
0,156
Kalsium
0,425
0,163
0,142
Magnesium
0,348
-0,100
0,546
Fe
-0,142
0,192
0,694
BD
0,031
-0,532
0,171
Liat
0,213
-0,539
-0,290
Loading Plot of pH (KCl); ...; Liat 0,4 0,4 0,3
Second Component
Second Component
0,2 0,1 0,0
C_organik
Loading Plot of pH (KCl); ...; C_organik
0,3
C_organik
Fe
0,2
Fe
pH (KCl) Kalsium
pH (KCl) Kalsium
0,1
KTK
KTK
0,0
Magnesium
-0,1
Magnesium
-0,1 -0,2 -0,3
-0,2 Kalium
-0,4
-0,3 -0,5 -0,4 -0,2
BD
-0,1
-0,5 -0,2
0,0
Liat
0,1 0,2 First Component
-0,1
0,0
0,3
BD
0,4
Kalium
0,5
Liat
0,1 0,2 First Component
0,3
0,4
0,5
Gambar 30. Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku
121
Korelasi positif antara pH (KCl) dengan kalsium, magnesium, dan kalium, dikarenakan unsur-unsur tersebut selain sebagai unsur hara bagi tumbuhan, juga merupakan kation basa yang dapat meningkatkan pH tanah. Bahan kapur yang sering dipakai sebagai bahan untuk memperbaiki kemasaman tanah biasanya mengandung kation-kation tersebut, seperti kalsit (CaCO3) dan dolomit [CaMg(CO3)2] (Hardjowigeno 1992). Pada Gambar 30 tampak pula bahwa C-organik berkorelasi positif dengan KTK. Dengan bertambahnya kandungan bahan organik tanah, maka KTK tanah akan meningkat. Hal ini dikarenakan bahan organik memiliki KTK sekitar 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Misalnya pada tanah-tanah mineral yang mengandung mineral liat montmorilonit, KTK-nya berkisar antara 80-150 me/100 gr,
sedangkan KTK bahan organik berkisar antara 100-300
me/100 gr (Syekhfani 1997). Partikel liat memiliki korelasi positif dengan bulk density. Hal ini dikarenakan liat merupakan partikel tanah berukuran paling kecil dan memiliki muatan listrik, baik positif maupun negatif.
Partikel yang
mempunyai muatan berbeda akan terjadi tarik menarik. Dengan ukuran partikel yang sangat kecil (<0,002 mm) dan adanya daya tarik menarik ini, maka terjadi pemadatan partikel yang berimplikasi pada peningkatan bulk density. Korelasi antara pH dan Fe bersifat negatif, mengandung makna bahwa dengan bertambahnya kandungan Fe, maka pH tanah akan berkurang. Hal ini dikarenakan Fe merupakan kation masam yang memiliki andil dalam meningkatkan kemasaman tanah (pH turun). Secara teoritis kemasaman tanah yang meningkat dikarenakan oleh kandungan ion H+ yang meningkat, artinya dengan meningkatnya ion H dalam tanah, pH tanah akan turun. Ion Fe memiliki kemampuan dalam memecahkan (melisis) molekul air menjadi ion H+ dan OH-. Kemudian ion OH- diikat oleh Fe membentuk besi hidroksida [Fe(OH) 3] dan membebaskan tiga ion H+ (Syekhfani 1997). Reaksinya sebagai berikut : Fe3+ + 3H2O
Fe(OH)3 + 3H+
Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama (skor PC) dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel tanah
terhadap habitat sagu.
122
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor tanah terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 10,15 % (Tabel 29). Variabel tanah yang memiliki kontribusi tertinggi adalah KTK, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,90 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah BD sebesar 0,27 %. Tabel 29. Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) pH (KCl) 3,848 0,416 1,60 C-organik 2,289 0,363 0,83 KTK 3,848 0,494 1,90 0,305 1,17 Kalium 3,848 Kalsium 3,848 0,425 1,64 Magnesium 1,547 0,546 0,85 Fe 1,547 0,694 1,07 BD 1,547 0,171 0,27 Liat 3,848 0,213 0,82 Jumlah 10,15 Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 28 di atas, dapat disusun model indeks pertumbuhan sagu terkait dengan peran faktor tanah di P. Seram sebagai berikut : HS(F-tanah) = (1,60pH-KCl) + (0,83C-org) + (1,90KTK) + (1,17K) + (1,64Ca) + (0,85Mg) + (1,07Fe) + (0,27BD) + (0,82Liat) ……………... (28) dimana : HS(F-tanah) = habitat sagu terkait dengan faktor tanah pH-KCl = kemasaman tanah potensial C-org = karbon organik KTK = kapasitas tukar kation K = Kalium Ca = Kalsium Mg = Magnesium Fe = Ferrum BD = bulk density Liat = partikel liat
Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-28 di atas, tampak bahwa pertumbuhan sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat tanah sangat ditentukan oleh variabel kapasitas tukar kation (KTK). Hal ini berarti bahwa sagu menghendaki tanah dengan kesuburan yang memadai. Argumen ini
123
dikemukakan karena KTK merupakan parameter tanah yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut subur, dan sebaliknya apabila KTK rendah termasuk kurang subur. Selain itu pertumbuhan sagu dikendalikan pula oleh kation-kation basa seperti K, Ca, dan Mg dan kondisi kemasaman tanah. Pada model dalam pers-28 di atas, tampak bahwa dua sifat fisika tanah yaitu bulk density dan partikel liat, memiliki peran yang lebih kecil dibandingkan dengan sifat tanah yang lain.
Hal ini dapat
dijadikan petunjuk bahwa untuk pertumbuhan sagu peran sifat fisik tanah kurang dominan. Hasil analisis regresi komponen utama untuk mengetahui pengaruh variabel tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu menunjukkan bahwa terdapat lima variabel tanah memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram. Lima variabel dimaksud yaitu kapasitas tukar kation (KTK), kalsium, magnesium, ferrum, dan bulk density. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu sebesar 4,3 % (Lampiran 19). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut : Y1 = 9,363 - 0,016 X1 - 0,0389 X2 + 0,0526 X3 - 0,128 X4 + 2,284 X5 ….. (29) dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun, X1 = KTK, X2 = Kalsium, X3 = Magnesium, X4 = Ferrum, X5 = bulk density. Sedangkan hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh faktor tanah terhadap produksi pati sagu diperoleh kontribusi pengaruh faktor tanah sebesar 60,9 %. Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut : Y2 = 745,19 + 63,731 X1 + 21,909 X2 + 2,087 X3 + 1,935 X4 + 31,129 X5 + 48,988 X6 - 32,131 X7 - 0,030 X8 + 1,647 X9 ……..……………… (30) dimana : Y2 = produksi pati sagu, X1 = pH (KCl), X2 = C-organik, X3 = KTK, X4 = Kalium, X5 = Kalsium, X6 = Magnesium, X7 = Ferrum, X8 = bulk density, X9 = liat. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua variabel tanah yang diuji berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu, tetapi terhadap produksi pati
124
sebagian besar variabel tanah memberikan pengaruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sifat tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu lebih terbatas dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap produksi pati. Terdapat variabel tanah yang memberikan pengaruh yang bersifat positif atau menguntungkan. baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi. Demikian pula sebaliknya terdapat variabel yang berpengaruh negatif atau bersifat tidak menunjang terhadap populasi rumpun dan juga produksi pati. Pengaruh yang bersifat menguntungkan bagi pertumbuhan tidak selalu diikuti dengan pengaruh yang serupa terhadap produksi pati sagu. Kapasitas tukar kation, pengaruhnya terhadap jumlah populasi rumpun bersifat negatif, namun sebaliknya terhadap produksi pati bersifat positif. Demikian pula dengan pengaruh variabel kalsium dan bulk density. Pada persamaan regresi (pers-29) tampak bahwa variabel tanah yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah bulk density. Variabel ini berkaitan dengan partikel penyusun tanah. Tanah yang memiliki bulk density tinggi biasanya memiliki kandungan liat yang banyak. Tumbuhan sagu banyak tumbuh dan berkembang pada tanah-tanah yang memiliki kandungan liat tinggi. Tumbuhan sagu biasanya tumbuh pada lahan-lahan aluvium berupa endapan pada dataran rendah, bagian lembah, atau berupa endapan di sisi kiri kanan sungai. Variabel bulk density berkaitan dengan kepadatan tanah, dan tingkat kepadatan tanah di dalam habitat sagu P. Seram berada pada kondisi yang memadai yakni berkisar antara 1,07 – 1,31, dengan kelas tekstur lempung liat dan liat berdebu. Pada kondisi tersebut menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu, dalam arti mendukung percabangan basal tumbuh keluar menjauhi rumpun induk dan kemudian membentuk rumpun baru. Kapasitas tukar kation (KTK) dan unsur hara kalsium memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumpah populasi rumpun sagu. Artinya kedua variabel ini tidak menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Hal ini dapat dikarenakan kedua variabel tersebut merupakan variabel kesuburan tanah. Tanah yang subur dapat mendorong penambahan jumlah anakan. Dengan semakin bertambahnya jumlah anakan, maka radius rumpun semakin bertambah. Penambahan radius ini dapat menyebabkan penyatuan rumpun yang satu dengan rumpun yang lain. Dengan demikian maka jumlah populasi rumpun akan semakin
125
berkurang.
Jadi jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat negatif, bukan
dikarenakan terjadi kematian rumpun atau rusaknya rumpun. Tetapi penyatuan rumpun dalam komunitas sagu itu sendiri. Lain halnya dengan unsur hara magnesium. Unsur hara ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Artinya kondisi kesuburan magnesium rata-rata sekitar 0,46 % dapat menambah jumlah rumpun sagu.
Magnesium merupakan unsur hara yang berperan dalam
penyusunan atau pembentukan klorofil. Rumus kimia klorofil-a dan kloroofil-b sebagai berikut : klorofil-a C55 H72 O5 N4 Mg dan klorofil-b C55H70O6N4 Mg (Anonim 2010).
Karena magnesium merupakan penyusun klorofil, maka
berkaitan dengan fotosintesis. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah magnesium cukup, maka klorofil yang terbentuk bertambah.
Dengan demikian dapat
meningkatkan fotosintesis, selanjutnya dapat meningkatkan hasil fotosintesis (fotosintat). Meningkatnya fotositat dapat meningkatkan jumlah buah dan biji. Buah atau biji sagu ini penting sebagai calon individu baru yang kemudian dapat tumbuh membentuk rumpun baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat sifat tanah yang berperan dalam meningkatkan jumlah populasi rumpun sagu melalui pengaruhnya terhadap organ vegetatif. Dalam konteks ini melalui perpanjang cabang basal (rhyzome), dan juga dapat melalui organ generatif berupa buah atau biji sagu. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, variabel kemasaman tanah (pH) memberikan pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel yang lain. Hal ini berarti bahwa dengan membaiknya kondisi kemasaman tanah, yakni meningkat >4,3 akan memberikan pengaruh positif dalam peningkatan produksi pati sagu. Pengaruh positif ini diduga berkaitan dengan ketersediaan unsur hara terutama phosfor, karena unsur hara ini sangat peka terhadap perubahan kemasaman tanah. Dengan adanya peningkatan kemasaman tanah, biasanya akan diikuti dengan perbaikan sifat tanah yang lain seperti ketersediaan unsur hara phosfor.
Unsur hara ini sangat peka terhadap kemasaman.
Pada kondisi
kemasaman yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, biasanya phosfor tidak tersedia bagi tumbuhan. Serapan phosfor oleh tumbuhan banyak berlangsung pada kondisi kemasaman berkisar antara 5,5 – 6,8 dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- (Brady
126
1990). Pada waktu kemasaman tanah rendah, phosfor difiksasi oleh ion Fe dan Al membentuk senyawa kompleks Fe(OH)2 H2PO4 dan Al(OH)2 H2PO4, sedangkan ketika kemasaman tinggi, maka phosfor difiksasi oleh Ca membentuk senyawa Ca(H2PO4)2 atau berupa senyawa kalsium yang lain. Semua senyawa kompleks yang dikemukakan di atas bersifat sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi tumbuhan. Dengan demikian, apabila kondisi kemasaman berada pada kategori sedang maka phosfor menjadi tersedia dan dapat meningkatkan produksi pati sagu. Hardjowigeno (1992) menyebutkan bahwa phosfor merupakan unsur hara yang memainkan peranan dalam pembentukan pati.
Oleh karena itu jika phosfor
terpenuhi, maka penimbunan pati dapat meningkat. Dengan demikian dapat meningkatkan produksi pati sagu. Kandungan karbon organik (bahan organik) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan parameter tanah yang dapat menjelaskan kesuburan tanah. Tanah-tanah yang memiliki kandungan bahan organik dan KTK tinggi berarti kesuburannya tinggi dan sebaliknya. Kandungan bahan organik dan KTK yang rendah menunjukkan tanah yang kurang subur atau tidak subur. Bahan organik merupakan salah satu sumber unsur hara dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Khusus KTK, sering disebut dengan istilah gudang unsur hara, artinya sebagai tempat penyimpanan unsur hara. Apabila tumbuhan memerlukan akan segera dilepas untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. KTK juga berperan sebagai buffer unsur hara, sehingga hara tertentu yang mudah tercuci bisa terhindar dari pencucian atau terangkut oleh air perkolasi (leaching). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan organik dan KTK berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Hal ini berarti bahwa unsur hara yang tersimpan dan di buffer mampu memenuhi kebutuhan sagu sehingga berimplikasi pada peningkatan produksi pati. Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur hara kalium, kalsium, dan magnesium berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Hal berarti bahwa apabila terjadi penambahan jumlah unsur hara tersebut dalam batas tertentu akan meningkatkan produksi sagu. Unsur hara kalium bagi tumbuhan antara lain berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim dan mendorong
metabolisme
karbohidrat, dan
memacu
perkembangan
akar
127
(Hardjowigeno 1992). Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya kandungan kalium tanah, ketersediaan semakin tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan sagu. Dengan terpenuhinya kebutuhan, maka dengan sedirinya akan mendorong pembentukan karbohidrat, kemudian disimpan dalam bentuk pati. Dalam tubuh tumbuhan unsur hara kalsium berperan dalam menyusun dinding sel, pembentukan sel, dan elongasi (elongation) atau pemanjangan sel.
Dengan
semakin banyak sel yang terbentuk, maka pati yang tersimpan semakin tinggi, dengan demikian dapat meningkatkan produksi sagu.
Dalam kaitan dengan
pengaruh unsur hara magnesium terhadap produksi pati sagu, telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, ferrum memberikan pengaruh yang bersifat negatif.
Dengan kata lain unsur hara ini tidak berperan dalam
meningkatkan produksi pati sagu. Ferrum diketahui sebagai unsur hara esensial mikro (Hardjowigeno 1992).
Hal ini berarti bahwa unsur hara tersebut
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Selain itu peran atau fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur hara yang lain. Walaupun esensi bagi tumbuhan, tetapi apabila konsentrasi tinggi dalam tanah, dapat bersifat meracun (toxic) terhadap perakaran (Brady 1990). Implikasi dari sifat toxic ini dapat menyebabkan pertumbuhan akar terganggu. Gangguan dalam pertumbuhan akar, maka fungsinya tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Misalnya serapan unsur hara bisa berkurang atau terhambat. Jika kebutuhan unsur hara tumbuhan tidak terpenuhi, maka proses pembentukan pati tidak dapat berlangsung maksimal, dengan demikian dapat menurunkan produksi. Dalam pertumbuhan sagu di P. Seram, bulk density atau kepadatan tanah memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Artinya tanah-tanah yang memiliki kepadatan tinggi tidak baik dalam peningkatan produksi pati sagu. Hasil analasis menunjukkan bahwa bulk density mencapai 1,3 gr/cm3, termasuk tinggi karena bulk density tanah mineral pada umumnya berkisar antara 1,1 – 1,6 gr/cm3 (Hardjowigeno 1992). Secara teoritis, tanah-tanah padat merupakan tanah yang memiliki tata air (drainase) dan tata udara (airase) jelek. Menurut Levitt (1980) dikemukakan bahwa tanah-tanah yang memiliki drenase jelek atau tergenang dapat menyebabkan terjadinya cekaman terkanan
turgor. Dampaknya adalah
128
serapan air dan unsur hara terhambat. Hambatan ini dapat berpengaruh terhadap produksi pati sagu. Selain bulk density, sifat fisika tanah lain yang diuji dan memberikan pengaruh terhadap produksi sagu adalah partikel liat. Hasil analisis menunjukkan bahwa partikel liat berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Adanya pengaruh yang bersifat positif ini diduga karena liat yang terbentuk pada habitat sagu merupakan liat yang memiliki kesuburan tinggi.
Syekhfani (1997)
mengemukakan bahwa terdapat dua jenis liat yang memiliki kesuburan tinggi yaitu liat montmorilonit dan vermikulit.
Kedua jenis liat ini memiliki KTK
masing-masing sebesar 80-150 me/100 gr dan 100-150 me/100 gr. Dalam kaitan dengan peran KTK terhadap produksi pati sagu telah dijelaskan pada uraian sebelumnya. c. Interaksi dengan parameter kualitas air rawa Hasil analisis PCA faktor kualitas air rawa menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat kualitas air rawa sebesar 83,3 %.
Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2)
memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat kualitas air rawa masingmasing sebesar 52,0 %, dan 31,3 % (Tabel 30). Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor kualitas air rawa yaitu pH, kalsium, dan nitrat. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu kalium, magnesium, dan salinitas (Tabel 31). Tabel 30. Eigenvalues matriks korelasi faktor air Komponen PC1 PC2
Eigenvalue 3,1197
Proportion 0,520
1,8757
0,313
Cumulative 0,520 0,833
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel kualitas air rawa menggunakan loading plot menunjukkan bahwa pH air memiliki korelasi positif dengan kalium, kalsium, dan magnesium (Gambar 31). Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh garis loading plot. Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa dengan makin bertambah kandungan
129
kalium, kalsium, dan magnesium, maka pH air akan meningkat. Kalium, kalsium, dan magnesium merupakan kation basa yang memainkan peranan dalam meningkatkan pH. Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa bahan kapur untuk memperbaiki kemasaman tanah adalah mengandung kation-kation tersebut. Korelasi positif terjadi pula antara variabel salinitas dengan pH dan kalium. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya pH air dan kalium dalam air, maka akan menaikkan kadar salinitas air rawa. Tabel 31. Eigenvector komponen utama variabel kualitas air rawa Variable pH Kalium Kalsium Magnesium NO3 Salinitas
PC1 0,516 0,255 0,554 0,332 -0,499 0,044
PC2 -0,290 0,629 -0,091 0,565 0,264 -0,352
Loading Plot of pH; ...; Salinitas Kalium
0,6
Magnesium
Second Component
0,4 NO3
0,2
0,0 Kalsium
-0,2 pH Salinitas
-0,4 -0,50
-0,25
0,00 First Component
0,25
0,50
Gambar 31. Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Kandungan nitrat (NO3) dalam air berkorelasi negatif dengan pH. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh garis loading plot variabel tersebut. Korelasi yang bersifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan
130
meningkatnya pH, maka kandungan nitrat akan berkurang. Pada lahan rawa yang mengalami genangan cukup lama, biasanya oksigen berkurang dibarengi dengan peningkatan kemasaman air. Di dalam air nitrat mudah tercuci atau terbawa oleh aliran perkolasi. Dalam air yang tergenang dimana kondisinya tereduksi, nitrat biasanya dirubah ke dalam bentuk ammonium (NH4). Perubahan ini antara lain diduga berperan dalam turunnya kandungan nitrat dalam air rawa di lahan sagu. Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama (skor PC) faktor kualitas air rawa dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel kualitas air rawa
terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah
kontribusi faktor kualitas air rawa terhadap habitat sagu di Pulau Seram sebesar 6,26 % (Tabel 32). Variabel kualitas air rawa yang memiliki kontribusi tertinggi adalah kalsium, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,73 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah salinitas sebesar 0,14 %. Tabel 32. Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%) pH 3,120 0,516 1,61 Kalium
1,876
0,629
1,18
Kalsium
3,120
0,554
1,73
Magnesium
1,876
0,565
1,10
Nitrat (NO3)
1,876
0,264
0,50
Salinitas
3,120
0,044
0,14
Jumlah
6,26
Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 30 di atas, dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor kualitas air rawa di P. Seram sebagai berikut : HS(F-KAR) = (1,61pH) + (1,18K) + (1,73Ca) + (1,10Mg + (0,50Nitrat) + (0,14Salinitas) ……………………………………………………………….. (31)
131
dimana : HS(F-KAR) = habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa pH = kemasaman air K = Kalium Ca = Kalsium Mg = Magnesium NO3 = Nitrat
Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-31 di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat kualitas air rawa sangat ditentukan oleh variabel kandungan kalsium. Hal ini berarti bahwa untuk habitat sagu diperlukan kalsium yang memadai. Kalsium merupakan unsur hara esensial makro, artinya diperlukan oleh tumbuhan dalam jumlah yang relatif banyak. Kalsium juga merupakan kation basa yang berperan dalam memperbaiki kemasaman air. Selain itu pertumbuhan sagu ditentukan pula oleh kation dan anion lain seperti kalsium, magnesium, dan nitrat. Setelah kalsium, variabel kualitas air rawa yang paling berperan adalah kemasaman air (pH). Kemasaman air berkaitan dengan ketersediaan unsur hara tertentu seperti phosfor, dan kelarutan senyawa logam yang dapat memberikan efek buruk terhadap pertumbuhan sagu. Kualitas air rawa di lahan sagu yang paling kecil perannya adalah salinitas. Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing sebesar 10,0 % dan 11,0 % (Lampiran 20). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut : Y1 = 6,17 + 0,004 X1 - 0,018 X2 - 0,009 X3 - 2,105 X4 ……….……….
(32)
Y2 = 546,18 + 4,056 X1 - 0,370 X2 + 5,090 X3 - 186,047 X4 …………..
(33)
dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu, Y2 = produksi pati sagu, X1 = Kalium, X2 = Kalsium, X3 = Magnesium, X4 = Salinitas.
Hasil analisis menunjukkan bahwa salinitas merupakan variabel air yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Pengaruh salinitas ini bersifat negatif, artinya menghambat penambahan jumlah
132
populasi rumpun dan tidak menunjang peningkatan produksi pati sagu, jika salinitas air meningkat. Rostiwati et al. (2008) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu dapat tumbuh sampai dengan kondisi salinitas air mencapai 10 ppt. Walaupun tumbuhan sagu memiliki daya adaptasi untuk dapat tumbuh sampai dengan kondisi salinitas sebagaimana tersebut di atas, namun dengan peningkatan salinitas tidak memberikan pengaruh yang baik bagi penambahan jumlah populasi rumpun maupun terhadap produksi pati sagu. Pengaruh yang bersifat negatif dari salinitas terhadap jumlah populasi rumpun dikarenakan pada habitat tergenang terdapat garam-garam yang larut seperti garam kalsium, magnesium, dan mungkin juga natrium terutama pada habitat air payau.
Garam-garam ini diduga menghambat pertumbuhan
percabangan basal (rhyzome) sehingga pembentukan rumpun baru tidak dapat berlangsung. Artinya pertumbuhan percabangan basal hanya tumbuh disekitar pohon induk, tumbuh bersama dalam suatu rumpun. Dalam pertumbuhan sagu, kalium di dalam air memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini berarti bahwa kalium berperan dalam penambahan jumlah populasi rumpun sagu. Dalam kaitan ini dimungkinkan karena kalium merupakan unsur hara yang berperan dalam perkembangan akar (Hardjowigeno 1992). Dalam konteks ini diduga kalium berperan juga dalam mendorong pemanjangan percabangan basal (rhyzome) sagu. Dalam ilmu Botani, rhyzome merupakan modifikasi akar yang dapat tumbuh menjadi individu baru. Rhyzome sagu yang memanjang menjauhi pohon induk atau rumpun induk, kemudian tumbuh menjadi individu baru yang selanjutnya membentuk rumpun baru. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu,
hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel salinitas memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Salinitas sesungguhnya merupakan indikator yang mencirikan kandungan garam-garam yang terlarut dalam air. Tiga jenis unsur hara yang larut dalam air tersebut yakni, kalium, kalsium, dan magnesium. Tiga unsur tersebut merupakan kation yang dibutuhkan tumbuhan dan menentukan tingkat salinitas. Dalam proses serapan, dapat terjadi kompetisi diantara ketiga kation tersebut karena memiliki kemiripan sifat.
Pada uraian sebelumnya dikemukakan oleh Syekhfani (1997) bahwa
133
terdapat kompetisi dalam penyerapan ion kalium, kalsium, dan magnesium karena secara kimia memiliki kesamaan sifat.
Kalium dan magnesium yang terus
bertambah dapat meningkatkan produksi pati sagu. Hal ini ditunjukkan dengan pengaruh kedua kation tersebut yang bersifat positif. ditunjukkan oleh
Pengaruh sebaliknya
kalsium, artinya dengan semakin bertambah jumlahnya di
dalam air, tidak diikuti dengan peningkatan produksi pati sagu. Hal ini diduga karena kebutuhan kalsium sagu telah dapat dipenuhi dari dalam tanah. Terkait dengan fungsi dan peran masing-masing unsur telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
4.2.10. Potensi populasi dan produksi pati sagu di P. Seram a. Potensi populasi sagu di P. Seram Di P. Seram Maluku terdapat luas potensi areal tumbuhan sagu lebih kurang 18.239 ha. Pada luas areal tersebut tumbuh dan berkembang sekitar 3,22 juta rumpun sagu, terdiri dari sagu fase semai 6,14 juta individu, sapihan
1,59
individu, tiang 0,55 juta individu, pohon 1,47 juta individu, pohon masak panen 0,35 juta individu, dan pohon veteran 0,12 juta individu (Tabel 33). Tabel 33. Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Spesies sagu
Fase Pertumbuhan
Rumpun Semai
Sapihan
Tiang
Pohon
Phn.Panen
Phn.Veteran
x 1000 ind. M.rumphii M.longisp. M.sylvestre M.microc. M.sagu
1.714,3 543,8 629,8 27,5 304,8
2.991,9 1,025,6 1,745,8 57,3 315,2
775,8 277,6 378,7 13,7 142,7
279,3 95,9 118,4 3,2 55,3
678,3 276,2 331,0 20,1 162,8
114,8 104,5 67,0 0,0 61,8
12,8 58,6 9,6 0,0 37,1
Jumlah 3.220,2 6.135,8 1.588,6 552,1 1,468,2 348,0 118,1 Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. microc = M. microcanthum, ind = individu, phn = pohon. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009, kemudian dikoreksi dengan luas areal sagu di P. Seram 18.239,8 ha.
Atas dasar jumlah individu yang dimiliki, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies sagu yang sangat potensil karena memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan spesies
134
sagu yang lain. Apabila dibandingkan dengan spesies M. longispinum Mart., spesies M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu rumpun dan seluruh fase pertumbuhan hampir tiga kali lebih banyak daripada M. longispinum Mart. Demikian pula jika dibandingkan dengan jumlah individu sagu M. sylvestre Mart. Walaupun demikian dua spesies sagu yang disebut terakhir ini memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. Spesies sagu yang sangat tidak potensial di P. Seram yaitu M. microcanthum Mart. karena memiliki jumlah individu yang sangat sedikit yakni tidak mencukupi setengah persen. Dalam setiap tahun tumbuhan sagu yang telah mencapai fase pohon, dan diperkirakan dapat dipanen sekitar 25-30 % atau sekitar 350 pohon sagu yang mencakup empat spesies sagu, yaitu M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Sekitar 85 % pohon sagu yang dapat dipanen berupa spesies M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart. Pada Tabel di atas terlihat bahwa populasi spesies M. sylvestre Mart. fase pohon yang dapat dipanen relatif sedikit. Hal ini dikarenakan spesies sagu ini banyak yang dipanen petani karena spesies sagu ini dapat memberikan hasil yang banyak, merupakan spesies sagu yang paling dipilih untuk panen. Argumen ini didukung dengan fakta jumlah individu M. sylvestre Mart. fase pohon veteran yang relatif sedikit. Berlainan dengan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb., dimana jumlah individu fase pohon veteran yang cukup menonjol karena kurang diminati untuk dipanen oleh masyarakat petani di P. Seram. a. Potensi produksi pati sagu di P. Seram Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu di P. Seram menunjukkan bahwa jenis tumbuhan sagu yang memiliki potensi produksi paling tinggi adalah spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. Berdasarkan tipe habitat, pada habitat lahan kering potensi produksi pati M. rumphii Mart. rata-rata mencapai 685,50 kg/batang, M. sylvestre Mart. 726,22 kg/batang (Tabel 34).
Potensi
produksi kedua spesies sagu ini hampir sama pada semua tipe habitat. Secara umum potensi produksi pati spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dua kali lebih besar dibandingkan dengan spesies M. lonhispinum
135
Mart. dan M. sagu Rottb. Apabila potensi produksi sagu ini ditinjau dari tipe habitat, maka produksi pati sagu pada tipe lahan kering dan tergenang temporer air tawar (T2AT) diperoleh produksi pati sagu yang paling tinggi pada semua jenis sagu, dibandingkan dengan dua tipe habitat yang lain yakni tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN). Tabel 34. Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda Tipe Habitat No. Spesies sagu TTG T2AT T2AP TPN kg/batang 1. M. rumphii 685,50 721,50 479,17 378,00
Rataan 566,04
2.
M. longispinum
324,50
287,11
186,00
183,22
245,21
3.
M. sylvestre
726,22
708,00
460,50
348,00
560,68
4.
M. sagu
-
348,44
-
126,00
237,22
Rataan
578,74
516,26
353,06
258,81
393,13
Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Pada tipe habitat tergenang terjadi cekaman defisit oksigen, dan cekaman ionik oleh unsur Fe dan Al. Levitt (1980) mengemukakan bahwa defisit oksigen menyebabkan penyerapan air (water uptake) berkurang karena aerase jelek. Pada tumbuh-tumbuhan yang tergenang daun-daunnya mengalami klorosis, dan ketika taraf oksigen berkurang, maka terjadi hambatan dalam proses sintesis polisakarida. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, dengan berkurangnya water uptake, maka penyerapan unsur hara ikut terhambat antara lain seperti nitrogen, magnesium, dan besi. Fenomena inilah yang menyebabkan daun tampak klorosis, dengan demikian proses
fotosintesis terhambat, dampaknya adalah
penimbunan fotosintat dalam bentuk pati sedikit. Selain itu apabila serapan unsur hara kalium menurun, karena water uptake bekurang maka proses metabolisme karbohidrat terhambat. Cekaman defisit oksigen karena penggenangan yang menyebabkan sintesis polisakarida menurun berpengaruh terhadap produksi sagu adalah dikarenakan produksi sagu tersimpan dalam bentuk pati (polisakarida), sehingga jika fotosintat tersimpan dalam bentuk karbohidrat sederhana, akan mudah larut dan terbuang dalam proses pengolahan.
136
Tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN) merupakan tipe habitat yang kurang baik bagi pertumbuhan dan produksi pati sagu. Hal ini tampak dari potensi produksi sagu yang relatif rendah apabila dibandingkan dengan potensi produksi pati sagu pada tipe habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar. Potensi produksi pati sagu tuni dan sylvestre pada tipe habitat yang kurang baik tersebut sama baiknya dengan potensi produksi pati sagu makanaro dan molat pada tipe habitat yang dianggap baik bagi pertumbuhan sagu yakni habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar (T2AT). Berdasarkan potensi produksi pati sagu yang dimiliki masing-masing spesies sagu, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart.
merupakan jenis sagu yang berpotensi untuk dikembangkan
dimasa yang akan datang.
Sedangkan tipe habitat yang paling baik untuk
pengembangan sagu adalah tipe habitat lahan kering (TTG) dan tergenang temporer air tawar (T2AT). Untuk keperluan pengembangan pada tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN), selain diperlukan pertimbangan pemilihan jenis sagu yang memiliki potensi produksi tinggi, juga diperlukan usaha-usaha pengelolaan berupa pengembangan saluran drainase sehingga tidak memungkinkan air tergenang dalam tempo yang relatif lama.
4.3. Studi Biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Berdasarkan tingkatannya, biodiversitas atau keanekaragaman hayati terdiri
dari
tiga
tingkatan
yaitu
keanekaragaman
tingkat
komunitas,
keanekaragaman tingkat spesies, dan keanekaragaman tingkat genetik (Kartono 2006).
Dalam penelitian ini keanekaragaman tumbuhan sagu dikelompokkan
menurut tiga tingkatan tersebut. 4.3.1. Biodiversitas tingkat komunitas Keanekaragaman sagu tingkat komunitas dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan keanekaragaman tumbuhan sagu menurut wilayah
137
sampel, meliputi wilayah sampel I Luhu-SBB, wilayah sampel II Sawai-MT, dan wilayah sampel III Werinama-SBT.
Keanekaragaman komunitas sagu antar
wilayah sampel didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989). Hasil analisis indeks kemiripan komunitas sagu antara wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel II Sawai-MT, wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel III Werinama-SBT, dan wilayah sampel II Sawai-MT dan wilayah sampel III Werinama-SBT menunjukkan bahwa komunitas sagu di P. Seram memiliki kemiripan komunitas yang termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 60,66 – 80,92 %. (ratarata 65,76 %) (Tabel 35). Tabel 35. Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku No. Fase Indeks Kemiripan Komunitas (%) Pertumbuhan I x II I x III II x III Rataan 60,95 80,92 67,61 1. Pohon 60,95 2.
Tiang
57,14
57,52
61,42
58,69
3.
Sapihan
74,91
71,60
76,47
74,33
4.
Semai
65,92
60,66
60,66
62,41
Rataan
64,73
62,68
69,87
65,76
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Berdasarkan fase pertumbuhan, tampak bahwa kemiripan komunitas paling tinggi terdapat pada fase sapihan mencapai 74,33 % dan kemiripan komunitas yang lebih rendah secara berurutan, fase tiang 58,69 %, semai 62,41 %, dan fase pohon 67,61 %. Indeks kemiripan komunitas antara wilayah sampel yang satu dengan yang lain pada semua fase pertumbuhan sagu menunjukkan bahwa kemiripan komunitas tumbuhan sagu di P. Seram termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks rata-rata sebesar 65,76 %. Hal ini berarti bahwa terdapat kesamaan komunitas sagu alami di dalam wilayah P. Seram. Kesamaan yang tinggi ini dikarenakan pada semua wilayah sampel tumbuhan sagu tumbuh dan berkembang membentuk klaster secara masif melalui pertumbuhan rhyzome yang memanjang membentuk individu baru.
Dalam perkembangan lebih lanjut
individu baru ini kemudian membentuk rumpun sendiri, demikian seterusnya
138
dengan pertambahan waktu sehingga menguasai seluruh areal lahan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Sagu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan marjinal yaitu lahan dimana jenis tumbuhan atau kebanyakan tanaman perkebunan tidak dapat bertahan hidup (Suryana 2007). Secara ekologi wilayah pengamatan yang mempunyai indeks kemiripan komunitas yang tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas tersebut relatif memiliki kesamaan. Berdasarkan nilai IS yang diperoleh diketahui bahwa seluruh wilayah pertumbuhan sagu alami di P. Seram Maluku memiliki kemiripan komunitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan kondisi habitat atau lingkungan pertumbuhan, baik secara fisik, kimia, maupun interaksi antar spesies yang hidup pada seluruh wilayah penelitian, sehingga spesies sagu dan vegetasi lain yang tumbuh relatif sama. Akibatnya tingkat kemiripan komunitas vegetasi di seluruh wilayah penelitian termasuk dalam kategori tinggi.
Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa kondisi
mikrositus yang relatif homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang sama, karena spesies tersebut secara alami telah mengembangkan mekanisme adaptasi dan toleransi terhadap habitatnya. Kemiripan atau kesamaan komunitas vegetasi dalam areal pertumbuhan sagu di P. Seram ini didorong pula oleh adanya aktivitas masyarakat yang melakukan penanaman tumbuhan sagu, walaupun secara sporadis sejak masa lampau berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu. Hal ini sejalan dengan pendapat Loveless (1983 dalam Setiadi 2005) yang mengemukakan bahwa faktor lain yang menentukan kehadiran suatu spesies tumbuhan atau komunitas tumbuhan tidak hanya sebagai akibat dari pengaruh faktor fisik dan kimia, tetapi hewan dan manusia juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tumbuhan. 4.3.2. Biodiversitas tingkat spesies Penentuan indeks keanekaragaman spesies dilakukan dengan menghitung indeks keanekaragaman Shannon (H’). Indeks ini mengggambarkan banyaknya jumlah individu suatu spesies atau kelimpahan jenis dan jumlah jenis spesies
139
tertentu atau kekayaan jenis (Muhdi 2005). Hasil analisis indeks keanekaragaman spesies menurut indeks Shannon (H’) pada semua fase pertumbuhan di seluruh wilayah sampel menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies termasuk dalam kategori sangat rendah dengan nilai H’ berkisar antara 0,61 – 0,90, kecuali pada stadia semai dalam wilayah sampel I Luhu-SBB termasuk dalam kategori rendah dengan nilai H’ sebesar 1,18 (Tabel 36). Tabel 36. Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P. Seram Indeks Shannon (H’) Fase No. Wil.Sampel I Wil. Sampel II Wil. Sampel III Tumbuh Rataan 1. 2. 3. 4.
Pohon Tiang Sapihan Semai Rataan
Luhu-SBB
Sawai-MT
Werinama-SBT
0,61 0,64 0,75 1,18 0,79
0,61 0,68 0,71 0,92 0,73
0,65 0,89 0,90 0,95 0,85
0,62 0,74 0,79 1,02 0,79
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Nilai indeks keanekaragaman spesies pada sebagian besar pertumbuhan kurang dari satu (<1), mengandung
fase
makna bahwa indeks
keanekaragaman spesies fase sapihan sampai fase pohon di P. Seram Maluku termasuk dalam kategori sangat rendah, sedangkan pada fase semai termasuk dalam kategori rendah. Walaupun demikian apabila diperhitungkan secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman spesies tidak mencapai satu (rataan 0,79). Dengan demikian maka secara umum dapat dikatakan bahwa indeks keaneragaman spesies dalam wilayah P. Seram termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini berarti bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu pada seluruh wilayah sampel tidak terdapat perbedaan indeks keanekaragaman spesies. Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu yang tumbuh secara alami di P. Seram telah mencapai suatu komunitas klimaks dan stabil. Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa keanekaragaman spesies merupakan informasi penting tentang suatu komunitas.
Semakin luas areal
sampel dan semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks keanekaragaman
spesies
cenderung
akan
lebih
tinggi.
Nilai
indeks
keanekaragaman spesies yang rendah pada umumnya dijumpai pada komunitas
140
yang telah mencapai klimaks. Untuk mempertahankan keanekaragaman spesies yang tinggi, suatu komunitas memerlukan gangguan secara teratur dan acak. Komunitas yang sangat stabil, meluas secara regional dan homogen, mempunyai indeks keanekaragaman spesies lebih rendah dibandingkan bentuk hutan mosaik atau secara regional diganggu secara periodik oleh api, angin, banjir, hama, dan intervensi manusia. Biasanya setelah terjadi gangguan akan terjadi peningkatan keanekaragaman spesies sampai pada suatu titik dimana komunitas mencapai klimaks. Selanjutnya setelah klimaks ada kecendurungan indeks keanekaragaman menurun lagi. Di dalam komunitas tumbuhan sagu alami di P. Seram seringkali terjadi gangguan melalui kegiatan pemanenan oleh masyarakat, akan tetapi gangguan yang ditimbulkan oleh aktivitas itu belum menyebabkan kerusakan berarti yang memungkinkan munculnya spesies lain atau vegetasi baru secara menyolok sehingga mampu meningkatkan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu. Disisi lain pemanenan sagu pada fase pohon tidak menyebabkan gangguan berarti terhadap eksistensi rumpun sagu, dalam arti rumpun sagu masih relatif kokoh dan fase tumbuh sagu di bawah fase pohon seperti tiang, sapihan, dan/atau semai masih tetap mendominasi habitat tumbuhnya. Hasil analisis yang tersaji dalam Tabel 18, sangat relevan dengan pendapat Barbour et al. (1987) dimana pada seluruh wilayah sampel dan fase pertumbuhan diperoleh nilai indeks keanekaragaman spesies yang tergolong rendah dan termasuk dalam kategori relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi habitat pada seluruh wilayah sampel relatif homogen, apabila terjadi gangguan tidak secara drastis yang menyebabkan kerusakan berarti. 4.3.3. Biodiversitas tingkat genetik Analisis genetik dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu karena ditengarai terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Analisis untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan menggunakan metode elektroforesis gel pati atau disebut pula dengan istilah metode isozim atau isoenzim (Hartana 2003).
Untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan
141
menggunakan
empat
jenis
pewarna
enzim
yaitu
1)
enzim
Aspartat
Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase (ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST). Hasil analisis enzim atau isolasi enzim menunjukkan bahwa dari empat jenis pewarna enzim, tiga jenis enzim memberikan hasil pewarnaan yang dapat dilakukan interpretasi yaitu enzim AAT, ACP, dan PER. Sedangkan pewarnaan dengan menggunakan enzim Esterase (EST) memberikan pewarnaan yang tidak sempurna.
Tiga jenis enzim yang
memberikan pewarnaan yang baik dan dapat dilakukan interpretasi disajikan berturut-turut dalam Gambar 32 berikut. Berdasarkan hasil analisis isozim sebagaimana terlihat pada gambar tersebut tampak bahwa pola pita isozim lima spesies sagu yang dianalisis memperlihatkan dua pola pita isozim. Spesies M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., dan M. micrtocanthum Mart. membentuk pola pita isozim dalam satu kelompok tersendiri, sedangkan M. sagu Rottb. terpisah membentuk pola pita tersendiri pula. Empat spesies sagu yang membentuk pola pita isozim pertama merupakan spesies sagu yang memiliki duri sedangkan spesies sagu dengan pola pita isozim kedua berupa M. sagu Rottb. merupakan jenis tumbuhan sagu yang tidak berduri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram hanya terdiri dari dua spesies. Kedua spesies ini oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) dikelompokkan ke dalam spesies Metroxylon rumphii Mart. untuk spesies sagu yang memiliki duri, sedangkan spesies Metroxylon sagu Rottb. untuk tumbuhan sagu yang tidak berduri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997).
142
a
b
c
Keterangan : 1 = M. rumphii Mart.; 2 = M. sylvestre Mart.; 3 = M. longispinum Mart.; 4 = M. microcanthum Mart.; 5 = M. sagu Rottb.
Gambar 32. Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b) Asam Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER)
143
Berdasarkan
hasil
penelitian
Sarkar
(1970
dalam
Flach
1997)
dikemukakan bahwa jumlah kromosom tumbuhan sagu sebanyak 16 (2n = 32). Hasil penelitian ini kemudian terkoreksi berdasarkan hasil penelitian Verhaar (1976 dalam Flach 1997) yang menemukan bahwa jumlah kromosom spesies sagu tidak berduri (M. sagu Rottb.) memiliki jumlah kromosom sebanyak 13 (2n = 26). Dengan demikian, maka spesies sagu yang berduri M. rumphii Mart. memiliki jumlah kromosom sebanyak 16 dan spesies M. sagu Rottb. jumlah kromosomnya sebanyak 13. Dua spesies tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram Provinsi Maluku yaitu M. rumphii Mart. dan M. sagus Rottb., yang meliputi lima spesies sagu sebelumnya, oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) dilakukan pengelompokkan menjadi empat varietas yaitu M. rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu : 1) varietas microcanthum Becc., 2) varietas sylvestre Becc., dan 3) varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya memiliki satu varietas yakni varietas molat Becc.
Selanjutnya varietas microcanthum dibagi menjadi dua
subvarietas yaitu subvarietas tuni dan subvarietas makanaro.
Hasil analisis
genetik menggunakan isozim ini semakin mempertegas atau memperjelas uraian yang dikemukakan oleh Beccari ini. Sistem klasifikasi atau cara penamaan ini menganut prinsip penamaan menurut istilah spesies biologis. Spesies biologi ini mengandung makna sebagai individu-individu organisme yang dapat melakukan pertukaran gen atau dapat kawin dan membentuk individu baru yang bersifat fertil. Selain pembagian spesies tumbuhan sagu sebagaimana yang dikemukakan di atas, ditemukan pula cara penulisan atau pemahaman bahwa di P. Seram Maluku khususnya dan Indonesia pada umumnya terdapat lima spesies sagu. Pertama kali penulis mengetahui bahwa tumbuhan sagu di Maluku berjumlah lima spesies berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Heyne (1950) dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993), yaitu : 1) M. rumphii Mart., 2) M. longispinum Mart., 3) M. microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart., dan 5) M. Sagu Rottb. Penamaan ini oleh Louhenapessy (1993 dan 2006) disertakan dengan nama lokal sebagai berikut : 1) Metroxylon rumpii Mart. (sagu tuni), 2) M. sagu
144
Rottb. (sagu molat), 3) M. sylvester Mart. (sagu ihur), 4) M. longispinum Mart. (sagu makanaru), dan 5) M. microcanthum
Mart. (sagu duri rotan).
Cara
penamaan ini dianut pula oleh para ahli yang lain, misalnya Bintoro (2008) dan Rostiwati et al. (2008). Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka faham yang menganut lima spesies sagu di Maluku terutama di P. Seram terkoreksi. Dapat dikemukakan pula bahwa dalam Botanica Sistematica yang dikeluarkan FAO (2007) dari delapan spesies sagu yang terdapat di dunia, tidak terdapat spesies sagu seperti M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart, dan M. sylvestre Mart. Kemudian di dalam klasifikasi sagu yang dibuat Martius (1838 dalam FAO 2007) hanya terdapat dua spesies yaitu spesies M. rumphii Mart. dan M. elatum Mart. Ringkasan jumlah spesies sagu menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) dan beberapa ahli yang lain disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 37. Spesies
M. rumphii Mart.
Subvarietas
Varietas
Microcanthum
Tuni
Sylvestre
Makanaro
Sagu Rotang M. sagu Rottb.
Molat
Gambar 33. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) Tabel 37. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa ahli No.
Nama spesies sagu
1.
Metroxylon rumphii Mart.
2.
Metroxylon sylvestre Mart.
3.
Metroxylon longispinum Mart.
4.
Metroxylon microcanthum Mart.
5.
Metroxylon sagu Rottb.
Referensi Hayne (1950 dalam Notohadiprawiro & Louhenapessy 1993). Louhenapessy (1993 & 2006). Bintoro (2008) Rostiwati et al. (2008).
145
Khusus varietas molat dari spesies M. sagu Rottb. seperti yang dikemukakan oleh Beccari (19181 dalam Flach 1997). Sejalan dengan hasil penelitian genetik sagu di PNG oleh Kjaer et al. (2004), dengan menggunakan metode AFLP disimpulkan bahwa secara taxonomy spesies M. sagu hanya terdiri dari satu spesies. Dikemukakan lebih lanjut bahwa pola distribusi morfologi secara geografi tidak mencerminkan pola variasi secara genetik.
Hal ini
mengandung pengertian bahwa terdapat variasi secara morfologi pada spesies M. sagu Rottb., keragaman morfologi di berbagai daerah di PNG tidak berkaitan dengan perbedaan secara genetik.