31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tahap 1. Pengujiaan Aktifitas Enzim-enzim Hidrolisis pada Ekstrak Enzim Cairan Rumen Domba Hasil pengukuran aktifitas amilase, protease, lipase, selulase dan fitase pada cairan rumen domba disajikan pada Gambar 5. Data pengukuran aktifitas enzim dari dua puluh satu
sampel eksrak enzim kasar cairan rumen domba
terdapat pada Lampiran 15.
Aktifitas selulase lebih besar dari aktifitas enzim
lainnya dengan urutan dari nilai aktivitas terbesar berturut-turut adalah selulase (1,66 ± 0,19 IU/ml/menit); amilase (1,32± 0,02 IU/ml/menit); fitase (0,27 ± 0,13 IU/ ml/menit); protease (0,26 ± 0,07 IU/ml/menit); lipase (0,01 ± 0,00 IU/ml/menit).
Ket. Subsrat yang digunakan: uji selulosa (kertas saring); uji amilase (pati); uji protease (kasein); uji lipase (minyak zaitun); uji fitase (asam fitat)
Gambar 5. Aktifitas enzim selulase, amilase, protease, lipase dan fitase ekstrak cairan rumen domba.
32
Pembahasan Moharrery dan Das (2002) melaporkan bahwa cairan rumen domba yang berisi selsel bakteri mempunyai aktivitas enzim selulase, amilase, protease dan lipase yang lebih tinggi dari cairan rumen tanpa protozoa dan tanpa sel-sel mikroba. Pada cairan rumen domba bebas sel mikroba didapatkan aktifitas enzim selulase sebesar 0,03 (IU/ml/menit),
amilase adalah sebesar 1,16 IU/ml/menit; protease 0,22
IU/ml/menit; dan lipase 1,22
IU/ml/jam.
Dibandingkan dengan nilai akyifitas
enzim yang dilaporkan oleh Moharrey dan Das (2002) maka nilai aktifitas enzim rumen domba yang didapatkan pada penelitian ini menghasilkan aktifitas selulase yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1,66 IU/ml/menit sedangkan
aktivitas
protease tidak terlalu berbeda sebesar 0,26 IU/ml/menit tetapi aktifitas lipase 0,01 IU/menit/ml (setara dengan 0,044 IU/jam/ml) yang jauh lebih kecil.
Perbedaan
nilai aktifitas ini diduga disebabkan jenis makanan yang dikonsumsi oleh domba selama masa pemeliharaan. dengan memakan
Domba pada penelitian ini dikondisikan hanya
lamtoro dicampur dengan jenis hijauan lainnya sedangkan
pakan domba penelitian Moharrey dan Das (2002) mendapatkan pakan konsentrat yang kaya sumber karbohidrat dan pakan domba penelitian Agarwal et al. (2002) adalah air susu sampai domba umur 8 minggu dan diteruskan dengan 50 persen konsentrat dan 50 persen rumput sampai umur 24 minggu.
Dilaporkan pula oleh
Budiansyah (2010), sapi lokal yang mendapatkan pakan serat akan menghasilkan aktifitas enzim selulase tinggi. Sedangkan pada sapi impor yang lebih banyak mendapatkan karbohidrat dari pakan konsentrat, akan menghasilkan lebih banyak enzim-enzim xilanase, manannase dan amilase. Secara lebih terperinci Lee et al. (2002) memetakan enzim-enzim dalam rumen sapi. Enzim-enzim yang terdapat dalam cairan rumen domba antara lain adalah enzim-enzim selulolitik terdiri atas beta-Dendoglukanase,
beta-D-exoglukanase,
beta-D-glukosidase,
dan
beta-D-fucosida
fucohydrolase, enzim-enzim xylanolitik terdiri atas beta-D-xylanase, beta-D-xylosidase, acetyl esterase, dan alfa-L-arabinofuranosidase, enzim-enzim pektinolitik terdiri atas polygalacturonase, pectate lyase dan pectin lyase, dan enzim-enzim lain yang terdiri atas
33
beta-amilase,
endo-arabilase,
beta-D-gluanase
(laminarinase),
(Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase) dan protease.
beta-D-glucanase
Martin et al. (1999)
mendapatkan bahwa enzim-enzim pencerna karbohidrat dalam cairan rumen antara lain
adalah
amilase,
xylanase,
avicelase,
alpha-D-glukosidase,
alpha-L-
arabinofuranosidase, beta-D-glukosidase dan beta-D-xylosidase. Martin et al. (1999) juga melaporkan bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim-enzim pencernaan dalam cairan rumen pada bagian perut (ventral) dan bagian punggung (dorsal). Hal ini disebabkan oleh keragaman oleh protozoa dan bakteri yang berbeda dalam rumen.
Aktivitas enzim-enzim fibrolitik (xylanase, avicelase,
alpha-L-arabinofuranosidase, beta-D-glukosidase dan beta-D-xylosidase) yang berasal dari mikroba protozoa bagian punggung (dorsal) lebih besar/lebih tinggi sekitar 40 persen dari bagian perut (ventral), sebaliknya aktivitas enzim-enzim fibrolitik yang berasal dari bakteri lebih besar dibagian perut (ventral) dari pada bagian punggung (dorsal), secara keseluruhan aktivitas enzim yang berasal dari bakteri lebih tinggi dari pada yang berasal dari protozoa. Kamra (2005) mengemukakan bahwa jenis mikroba rumen yang banyak mensekresikan enzim selulase diantaranya adalah Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, R. flavefaciens, Clostrodium lochheadii, C. longisporum dan Eubacterium cellulosolvens. Sedangkan jenis mikroba yang banyak menghasilkan enzim amilase adalah Streptococcus bovis, Ruminococcus amylophylus, Prevotella ruminicola, Streptococcus ruminantium dan Lachnospora multiparius. Selama ini jenis monoenzim fitase umum digunakan untuk mengurangi kandungan asam fitat dari bungkil kedelai yang digunakan dalam komposisi pakan. Jenis multi enzim yang pernah dicobakan pada pakan ikan adalah enzim komersil produksi Altech dengan merek dagang Allzyme. Budiansyah (2010) melaporkan bahwa Allzyme mengandung aktifitas selulase sebesar 2,93 IU/ml/menit;
amilase 67,5
IU/ml/menit dan protease 1,90 IU/ml/menit. Nilai aktifitas enzim komersil ini untuk selulase tidak terlalu berbeda bahkan aktifitas protease cairan rumen domba lebih tinggi, sedangkan aktifitas amilase pada Allzyme jauh lebih tinggi. Kelebihan yang dimiliki enzim cairan rumen domba pada penelitian ini adalah terdapatnya aktifitas
34
fitase yang dapat menghidrolisis asam fitat yang banyak terdapat dalam bungkil kedelai dan TDL. Aktifitas enzim fitase cairan rumen domba dalam penelitian ini adalah sebesar 0,27 IU/menit/ml. Dilaporkan bahwa aktifitas enzim dalam rumen sangat erat hubungannya dengan keragaman mikroorganisme dalam rumen.
Dimana
aktifitas enzim fitase ini didapat dari kerja mikroba-mikroba rumen yang mensekresikan enzim fitase ke dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi partikel makanan yang mengandung asam fitat.
Jenis bakteri yang dilaporkan
memproduksi fitase adalah Selenomona ruminantium (Yanke et al. 1998) dan yang terbaru adalah Mitsuokella jalaludinii (Lan et al. 2002).
Selain itu Budiansyah (2010) melaporkan bahwa enzim selulase, fitase, amilase dan protease asal cairan rumen sapi lokal mempunyai kisaran suhu dan pH yang luas untuk bekerja yaitu suhu 29 sampai 70oC dan pH dari 4 sampai 9. Enzim yang mempunyai suhu dan kisaran pH yang luas akan mempermudah aplikasi penggunaanya di lapangan, karena dalam pembuatan pakan berbentuk pellet digunakan suhu dan tekanan yang tinggi, sehingga enzim yang mempunyai kisaran suhu yang luas masih dapat bekerja menghidrolisis substrat. Aktifitas multi enzim cairan rumen domba serta kemampuan enzim rumen untuk bertahan pada kisaran suhu dan pH yang luas diharapkan menjadi pilihan untuk terobosan penggunaan enzim yang lebih efisien dalam pakan ikan. Peluang aplikasi enzim rumen domba untuk meningkatkan kualitas TDL semakin besar dengan kandungan multi enzim cairan serta kisaran kerja enzim pada suhu dan pH yang luas.
Didukung pula dengan potensi rumen domba rumah
pemotongan hewan yang terdapat di sebagian besar daerah di Indonesia. Dalam aplikasi di lapangan penyaringan cairan rumen domba dapat dilakukan dengan alat sederhana yaitu alat pengering yang digunakan pada mesin cuci, sehingga cairan yang didapat dapat digunakan sebagai sumber enzim. Berkaitan dengan penggunaan tepung daun lamtoro (TDL) yang mengandung karbohidrat dengan fraksi serat, selulosa dan karbohidrat bukan pati (NSP) yang tinggi (Kale, 1987) maka enzim-enzim cairan rumen domba yang berperanan adalah selulase
35
dan amilase. Sedangkan kandungan asam fitat pada TDL dapat dihidrolisis dengan enzim fitase yang terkandung pada cairan rumen domba.
Proses hidrolisis ini akan
dikaji pada penelitian tahap kedua.
4.2. Tahap Kedua Pengaruh Hidrolisis (predigestion) Tepung Daun Lamtoro dengan Ekstrak Enzim dari Cairan Rumen Domba Secara in vitro Penelitian tahap kedua ini bertujuan untuk mendapatkan jumlah ekstrak enzim dan waktu inkubasi yang paling efektif untuk menghidrolisis substrat TDL. Berdasarkan uji aktifitas enzim pada tahap sebelumnya, nilai aktifitas enzim yang terkandung pada setiap perlakuan penambahan enzim cairan rumen dengan volume berbeda disajikan pada Tabel 10. Dari Tabel 10 dapat terlihat bahwa peningkatan penambahan eksrak enzim cairan rumen akan meningkatkan pula kandungan enzim hidrolisis.
Setiap
peningkatan penambahan 0,2 ml/10g ekstrak enzim rumen akan meningkatkan kandungan enzim selulase sekitar 0,33 IU/ml/menit, enzim amilase 0,27 IU/ml/menit, enzim protease meningkat 0,05 IU/ml/menit, enzim fitase meningkat 0,51 dan enzim lipase meningkat 0,002 IU/ml/menit. Perlakuan kontrol hanya ditambahkan air sebanyak volume enzim tertinggi yang diberikan. Tabel 10. Kandungan aktifitas enzim pada setiap perlakuan Aktifitas enzim(IU/ml/menit)
Perlakuan (ml enzim* / g TDL)
Selulase
Amilase
Fitase
Protease
A (0,2 ml/10g)
0,33
0,26
0,05
0,05
0,001
B (0,4 ml/10g)
0,66
0,53
0,11
0,10
0,003
C (0,6 ml/10g)
0,99
0,79
0,16
0,15
0,004
D (0,8 ml/10g)
1,33
1,05
0,22
0,20
0,006
1,66 1,32 *ekstrak enzim cairan rumen domba
0,27
0,26
0,007
E (1,0 ml/10g)
Lipase
36
4.2.1. Glukosa Terlarut Hasil pengukuran kadar glukosa terlarut pada inkubasi 2 jam dan 24 jam disajikan pada Gambar 6.
Data ulangan per perlakuan disajikan pada Lampiran 16
dan 17. Penambahan mempengaruhi
ekstrak
enzim
cairan rumen domba nyata (P < 0,05)
kadar glukosa terlarut TDL dengan periode inkubasi 2 dan 24 jam.
Pada periode inkubasi 2 jam kadar glukosa terlarut pada perlakuan kontrol tanpa penambahan enzim lebih rendah dan nyata berbeda dengan perlakuan yang mendapat penambahan enzim. Nilai tertinggi glukosa terlarut dicapai pada penambahan enzim 100ml/kg TDL sebesar 0,132%, dimana terjadi peningkatan kadar glukosa terlarut sebesar 501,40 % dibandingkan perlakuan kontrol dengan nilai kadar glukosa terlarut sebesar 0,009%. Hasil pengukuran kadar glukosa terlarut pada inkubasi 24 jam menunjukkan pola yang berbeda.
Kadar glukosa terlarut pada perlakuan kontrol (tanpa
penambahan enzim) nyata lebih rendah dibandingkan dengan semua perlakuan yang mendapat penambahan enzim.
Sedangkan diantara perlakuan yang mendapat
penambahan enzim 20ml/kg dan 40ml/kg didapat kadar glukosa terlarut yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 60ml/kg; 80ml/kg dan 100ml/kg. Nilai yang tertinggi yaitu 0,490% dicapai pada perlakuan 100ml/kgTDL dimana terdapat peningkatan sebesar 2127,45 %, dari nilai terendah yaitu 0,022% yang dicapai pada perlakuan kontrol tanpa penambahan enzim.
37
d cd c b c
b b a
ab
ab
ab
a
Ket : huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P >0,05)
(lihat Lampiran 18 dan 20).
Gambar 6. Nilai rata-rata kadar glukosa terlarut (%) periode inkubasi 2 jam dan 24 jam Pada periode inkubasi
2 dan 24 jam pengukuran kadar glukosa terlarut
memperlihatkan hasil yang semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah cairan enzim kasar yang digunakan untuk menginkubasi TDL. Seluruh perlakuan pada periode inkubasi 24 jam memperlihatkan nilai glukosa terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang sama pada periode inkubasi 2 jam. Peningkatan nilai glukosa terlarut pada waktu inkubasi berbeda dengan perlakuan yang sama disajikan pada Gambar 7.
Semakin banyak volume ekstrak enzim yang
ditambahkan dengan masa inkubasi yang semakin meningkat maka peningkatan nilai glukosa terlarut akan semakin besar. Nilai persentase peningkatan kadar glukosa terlarut dibandingkan kontrol perlakuan 20; 40; 60; 80 dan 100 ml enzim/kg TDL pada waktu inkubasi 2 jam secara berurutan adalah sebesar 357,86; 363,66; 408,14; 433,93 dan 501,40 %. Sedangkan dengan inkubasi 24 jam peningkatan nilai glukosa terlarut yang terjadi sangatlah tinggi yaitu sebesar 576,13: 927,69; 1.412,76; 1756,42 dan 2127,45%.
38
Gambar 7 Persentase peningkatan glukosa terlarut perlakuan dibandingkan kontrol pada inkubasi 2 jam dan 24 jam. Respon kadar glukosa terlarut pada periode inkubasi 2 jam dan 24 jam membentuk pola persamaan garis linier (Gambar 8 dan 9). Pola respon tersebut menggambarkan semakin banyak ekstrak enzim rumen yang ditambahkan dan semakin lama periode inkubasi maka kadar glukosa terlarut akan semakin meningkat.
Gambar 8 . Kurva respon kadar glukosa terlarutinkubasi 2 jam dengan jumlah ekstrak enzim rumen berbeda
Gambar 9.
Kurva respon kadar glukosa terlarut inkubasi 24 jam dengan jumlah ekstrak enzim rumen berbeda
39
4.2.2. Protein Terlarut Kadar protein terlarut merupakan produk antara pada hidrolisis protein oleh ekstrak enzim protease yang terkandung dalam ekstrak enzim kasar dari cairan rumen domba. Hasil pengukuran kadar protein terlarut pada inkubasi 2 jam dan 24 jam disajikan pada Gambar 10.
Data selengkapnya setiap pelakuan dapat dilihat pada
Lampiran 22 dan 23. Kadar protein terlarut yang dihasilkan pada periode inkubasi 2 dan 24 jam nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh jumlah enzim yang ditambahkan ke dalam tepung daun lamtoro gung.
Kadar protein terlarut meningkat dengan
peningkatan jumlah enzim kasar yang diberikan.
Pada masa inkubasi 2 jam kadar
protein terlarut semua perlakuan yang mendapat penambahan enzim sama tetapi semuanya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kadar protein terlarut pada perlakuan tanpa penambahan enzim.
b
a a
c
b
b
b
bc
b
b
b
b
Ket : huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P >0,05)
(lihat Lampiran 24 dan 26).
Gambar 10. Nilai rata-rata kadar protein terlarut setiap perlakuan dengan masa inkubasi 2 jam dan 24 jam Pada inkubasi 24 jam TDL dengan ekstrak enzim kasar dari cairan rumen domba, nilai kadar protein terlarut menghasilkan nilai yang jauh lebih tinggi dari perlakuan 2 jam. Nilai kadar protein terlarut diantara perlakuan 20, 40, 60, 80 dan
40
100 ml enzim/kg TDL tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05) tetapi lebih tinggi dan nyata berbeda perlakuan tanpa penambahan enzim. Persentase peningkatan nilai protein terlarut dibandingkan kontrol pada waktu inkubasi berbeda dengan perlakuan yang sama disajikan pada Gambar 11. Dimana semakin banyak volume ekstrak enzim yang ditambahkan dengan masa inkubasi yang semakin meningkat maka peningkatan kadar protein terlarut akan semakin besar. Besarnya peningkatan kadar protein terlarut dengan pemberian enzim cairan rumen domba sebanyak 20; 40; 60; 80 dan 100 ml/kg TDL dengan waktu inkubasi 2 jam secara berurutan adalah sebanyak 126,72; 92,10; 101,21; 72,18 dan 77,04%. Sedangkan pada waktu inkubasi 24 jam peningkatan kadar protein terlarut mencapai mencapai 3448,49; 3429,52; 3535,02; 3518,94 dan 3538,23%.
Gambar 11.
Persentase peningkatan protein terlarut perlakuan dibandingkan kontrol pada inkubasi 2 jam dan 24 jam
Respon kadar protein terlarut
membentuk pola kuadratik (Gambar 12).
Kadar protein terlarut pada 2 jam inkubasi akan mencapai maksimum pada pemberian eksrak rumen sebesar 58,22 ml.
41
Gambar 12. Kurva respon kadar protein terlarut inkubasi 2 jam 4.2.3. Kandungan Nutrien Tepung Daun Lamtoro 4.2.3.1. Serat Kasar Hasil pengukuran kadar serat TDL yang dihasilkan pada akhir periode inkubasi 24 jam disajikan Gambar 13. Data selengkapnya setiap pelakuan dapat dilihat pada Lampiran 28.
Kandungan serat kasar nyata dipengaruhi oleh
penambahan enzim rumen, dimana kandungan serat kasar mengalami penurunan dengan peningkatan penambahan jumlah enzim (P< 0,05). Nilai serat kasar tertinggi yaitu 16,77% dicapai pada perlakuan tanpa penambahan enzim yang berbeda nyata dengan semua perlakuan dengan penambahan enzim. Nilai serat kasar yang terendah yaitu 7,774% dicapai oleh perlakuan pemberian enzim 100ml/kg. Nilai 7,774% ini berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yaitu pemberian enzim 20, 40, 60, dan 80 ml/kg TDL yang menghasilkan nilai kadar serat berturut-turut adalah 12,94; 12,06; 10,55 dan 9,85%. Perlakuan dengan penambahan enzim 20; 40; 60 dan 80 ml/kg TDL mengalami penurunan kadar serat berturut-turut sebanyak, 22,818 ; 28,098; 37,112 ; 41,238 % apabila dibandingkan perlakuan kontrol (Gambar 14). Penurunan kadar serat tertinggi sebesar 53,640% terdapat pada perlakuan penambahan ekstrak enzim sebanyak 100ml/kg TDL.
42 d
Gambar 13. Kandungan serat kasar setiap perlakuan dengan masa inkubasi 24 jam
Gambar 14. Persentase penurunan serat kasar perlakuan dibandingkan kontrol pada inkubasi 24 jam
Ket : huruf yang sama pada diagram batang Menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P >0,05) (liat Lampiran 29).
4.2.4.2. NDF dan ADF Hasil pengukuran kadar NDF dan ADF tepung daun lamtoro gung yang telah mendapat penambahan eksrak enzim kasar cairan rumen disajikan Gambar 15 dan 16. Data selengkapnya setiap pelakuan dapat dilihat pada Lampiran 31 dan 32. Nilai NDF tepung daun lamtoro gung nyata (P < 0,05) dipengaruhi oleh penambahan ekstrak enzim rumen domba. Terdapat perbedaan yang nyata antara nilai NDF perlakuan tanpa penambahan enzim dengan nilai NDF perlakuan yang mendapat penambahan enzim 40ml/kg TDL.
Nilai NDF tertinggi yaitu 46,32%
dicapai pada perlakuan tanpa penambahan enzim yang tidak berbeda nyata dengan nilai NDF perlakuan yang mendapat penambahan enzim 20 dan 40ml/kg TDL. Sedangkan nilai NDF terendah yaitu 42,54 % dicapai pada perlakuan 100 ml/kg TDL yang tidak berbeda nyata dengan nilai NDF dengan penambahan enzim 80 ml/kg TDL (44,31%) dan 60 ml/kg TDL (44,42%).
Semakin banyak enzim yang
ditambahkan, nilai NDF mengalami penurunan.
Perlakuan dengan penambahan
enzim sebanyak 20; 40; 60; 80 dan 100 ml/kg dibandingkan dengan kontrol, menghasilkan penurunan nilai NDF berturut-turut sebanyak 3,66; 6,29; 10,14; 10,36 dan 13,92%.
43
Penambahan ekstrak enzim rumen domba nyata (P < 0,05) mempengaruhi nilai ADF tepung daun lamtoro. Nilai ADF perlakuan tanpa penambahan enzim lebih tinggi dari nilai ADF seluruh perlakuan yang mendapat penambahan enzim. Perlakuan penambahan enzim pada taraf taraf 20, 40, 60, 80 dan 100 ml/kg tidak menghasilkan nilai ADF yang berbeda tetapi lebih rendah dan nyata berbeda dengan perlakuan tanpa penambahan enzim. Peningkatan jumlah enzim yang ditambahkan cenderung akan menurunkan nilai ADF. Secara berturut-turut penambahan enzim sebanyak 20; 40; 60; 80 dan 100 ml/kg akan menurunkan nilai ADF sebanyak 18,70; 14,63; 15,83 ; 13,43 dan 13,46%.
Gambar 15. Kadar NDF setiap perlakuan dengan masa inkubasi 24 jam
Gambar 16. Kadar ADF setiap perlakuan dengan masa inkubasi 24 jam
Ket : huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P >0,05) (lihat Lampiran 33 dan 35).
4.2.4.3. Kadar Protein dan Lemak Hasil pengukuran kadar protein dan lemak TDL percobaan ini disajikan pada Gambar 17 dan 18. Data selengkapnya setiap pelakuan dapat dilihat pada Lampiran 37 dan 38. Kadar protein dan kadar lemak percobaan semua perlakuan dengan penambahan enzim dan tanpa penambahan enzim menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (Lampiran 38). Pada pengujian in vitro hanya digunakan substrat 10 gram sehingga jumlah enzim yang ditambahkan adalah sepersepuluhnya saja. Pengukuran
44
kadar protein cairan enzim rumen dengan metode Kjedhal, menunjukkan bahwa setiap ml enzim cairan rumen domba mengandung protein sebesar 0,067 gram/ml cairan enzim. Nilai ini setara dengan kandungan protein enzim pada perlakuan 20; 40 60; 80 dan 100 ml/kg TDL berturut-turut adalah sebesar 0,013; 0,02; 0,04; 0,05 dan 0,067 gram.
Gambar 17. Nilai rata-rata kadar protein setiap perlakuan uji in vitro
Gambar 18. Nilai rata-rata kadar lemak setiap perlakuan uji in vit
Ket : huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P >0,05)
(lihat Lampiran 39 dan 40)
4.2.4.4. Kadar Asam Fitat Hasil pengukuran kadar asam fitat tepung daun lamtoro gung yang telah mendapat penambahan eksrak enzim kasar cairan rumen disajikan Gambar 19. Data selengkapnya setiap pelakuan dapat dilihat pada Lampiran 41. Kandungan asam fitat nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh penambahan ekstrak enzim rumen domba. Kadar asam fitat pada perlakuan penambahan ekstrak enzim rumen sebanyak 20, 40, 60 dan 80 ml/kg nyata lebih rendah dibandingan dengan perlakuan kontrol dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan eksrak enzim rumen sebanyak 100ml/kg TDL . Nilai asam fitat tertinggi yaitu 7,84% dicapai pada perlakuan tanpa penambahan enzim dan perlakuan terendah yaitu 2,50% dicapai pada pelakuan yang menggunakan enzim sebanyak 100ml/kg TDL .
45
Gambar 19. Nilai rata-rata kadar asam fitat setiap perlakuan uji in vitro
Gambar 20. Persentase penurunan kadar asam fitat setiap perlakuan dibandingkan kontrol
Ket : huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P >0,05) (lihat Lampiran 42)
Persentase penurunan kadar asam fitat (Gambar 20) pada semua perlakuan yang mendapat penambahan enzim 20; 40; 60; 80 ml/kg TDL secara berurutan adalah 15,15; 19,53; 19,62 dan 19,77 %. Penurunan kadar fitat asam terbesar dibandingkan kontrol yaitu sebesar 68,09% terdapat pada perlakuan penambahan enzim sebesar 100ml/kg TDL.
4.2.4.5. Uji Respon Parameter Kualitas Nutrien Pola respon kadar serat (Gambar 21) termasuk NDF dan ADF ( Gambar 23 dan 24) serta asam fitat (Gambar 22) perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba membentuk pola respon linier negatif yang mengambarkan semakin banyak ekstrak enzim rumen yang ditambahkan maka nilai kadar serat, NDF, ADF dan asam fitat akan menurun.
46
Gambar 21. Kurva respon kadar asam fitat perlakuan uji in vitro
Gambar 22. Kurva respon kadar serat perlakuan uji in vitro
Gambar 23. Kurva respon kadar NDF perlakuan uji in vitro
Gambar 24. Kurva respon kadar ADF perlakuan uji in vitro
4.2.5. Profil Asam Amino TDL Seluruh jenis asam amino yang terdeteksi didapatkan kenaikan kandungan asam amino yang sangat kecil (Tabel 11). Didapatkan pula dua jenis asam amino pada TDL terhidrolisis dengan penambahan enzim cairan rumen yaitu sisten (0,001 µmol ) dan norleusin sebesar 0,0231 µmol yang pada TDL tanpa perlakuan enzimatis tidak terdeteksi.
47
Tabel 11. Komposisi asam amino tepung daun lamtoro sebelum dan sesudah inkubasi 24 jam dengan enzim rumen domba sebanyak 100 ml enzim/kg TDL. No. Jenis asam amino Asam amino alifatik sederhana 1 * Glisina (Gly, G) 2 * Alanina (Ala, A) 3 * Valina (Val, V) 4 * Leusina (Leu, L) 5 * Isoleusina (Ile, I) 6 *Norleusin Asam amino hidroksi-alifatik
Kandungan asam amino TDL1(µmol)
Kandungan asam amino TDLt2(µmol)
Peningkatan kandungan asam amino (µmol)
0,01280 ± 0,00198 0,01355 ± 0,00191 0,01225 ± 0,00219 0,01410 ± 0,00255 0,00870 ± 0,00042 (tidak terdeteksi)
0,01875 ± 0,004450 0,02080 ± 0,00523 0,01690 ± 0,00184 0,02095 ± 0,00304 0,01415 ± 0,00262 0,02310 ± 0,000283
0,00590 0,00725 0,00465 0,00685 0,00545
0,0107 ± 0,00127 0,0108 ± 0,00325
0,00460 0,00310
0,02005 ± 0,00601 0,02750 ± 0,01739
0,00760 0,01525
0,03140 ± 0,00919 0,01880 ± 0,00240 0,01565 ± 0,00078
0,00805 0,00320 0,00125
0,01770 ± 0,00848
0,00730
0,01655 ± 0,00332 0,00895 ± 0,00262
0,00725 0,00340
1 * Serina (Ser, S) 0,0061 ± 0,00226 2 * Treonina (Thr, T) 0,00385 ± 0,0000 Asam amino dikarboksilat 1 * Asam aspartat (Asp, D) 0,01245 ±0,00318 2 * Asam glutamat (Glu, E) 0,01225 ±0,00219 Asam amino basa 1 * Lisina (Lys, K) 0,02335 ±0,00445 2 * Arginina (Arg, R) 0,01560 ± 0,00382 3 * Histidina (His, H) 0,01440 ±0,00170 Prolin (Gugus siklik) 1 * Prolina (Pro, P) 0,00440 ±0,00113 Asam amino aromatik 1 * Fenilalanina (Phe, F) 0,00930 ±0,00184 2 * Tirosina (Tyr, Y) 0,00555 ±0,00163 Asam amino mengandung sulfur 1 * sistein (Cys) (tidak terdeteksi)
Ket; 1 TDL tanpa hidrolisis; 2TDLt terhidrolisis
0,001 ±0,060141
48
Pembahasan Hasil percobaan in vitro menunjukkan bahwa eksrak enzim cairan rumen domba efektif menghidrolisis TDL untuk bahan pakan ikan nila. Nilai glukosa dan protein terlarut sangat dipengaruhi oleh jumlah enzim yang ditambahkan serta waktu inkubasi. Periode inkubasi 24 jam memberikan hasil nilai glukosa terlarut serta protein terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode inkubasi 2 jam, serta semakin banyak enzim yang ditambahkan ke dalam TDL nilai-nilai parameter hidrolisis juga cenderung semakin meningkat dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Seperti pada perlakuan 100 ml enzim/Kg TDL dibandingkan dengan nilai perlakuan kontrol, inkubasi 24 jam akan meningkatkan glukosa terlarut 20 kali lipat dan protein terlarut 35 kali lipat. Sedangkan pada taraf yang sama periode inkubasi 2 jam hanya meningkatkan glukosa terlarut 5 kali lipat dan protein terlarut 1 kali lipat (Gambar 25). Hal ini disebabkan karena semakin lama proses hidrolisis/inkubasi
berlangsung menyebabkan substrat yang
terdegradasi semakin banyak dan produk yang dihasilkan akan semakin meningkat.
Ket : K=kontrol; PT= Protein terlarut; GT= Glukosa terlarut
Gambar 25. Perbandingan peningkatan kadar glukosa terlarut dan protein terlarut perlakuan dengan penambahan 100 ml enzim/kg TDL dengan perlakuan tanpa enzim pada waktu inkubasi 2 dan 24 jam.
49
Parameter glukosa terlarut yang dihasilkan adalah pola respon kerja enzim amilase dan enzim pemotong serat Meningkatnya parameter glukosa dan protein terlarut yang diukur dengan bertambahnya jumlah ekstrak enzim cairan rumen yang ditambahkan, terjadi karena peluang substrat untuk bertemu dengan katalisator biologis dalam proses hidrolisis protein dan karbohidrat semakin besar. Lama proses hidrolisis berlangsung menyebabkan substrat yang terdegradasi semakin banyak dan produk yang dihasilkan akan semakin meningkat. Abu et al. (2005) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi enzim secara umum akan memberikan pengaruh yang lebih besar pada waktu hidrolisis dibandingkan dengan peningkatan temperatur.
Vijaya et al. (2002) mengindikasi adanya
peningkatan derajat hidrolisis dengan peningkatan waktu inkubasi.
Hasil
pengukuran kandungan gula pereduksi pada berbagai waktu inkubasi enzim rumen pada wheat pollard mendapatkan pola hubungan kuadratik dengan waktu optimal 10 jam dan suhu optimal 38oC. Nilai gula pereduksi mulai menurun setelah 10 jam (Pantaya et al. 2005). Kurva respon kadar glukosa terlarut memperlihatkan hubungan linier positif, dimana semakin besar jumlah eksrak cairan enzim rumen domba yang ditambahkan pada substrat TDL akan terjadi peningkatan jumlah glukosa terlarut dengan nilai kadar glukosa terlarut pada inkubasi 24 jam lebih tinggi dari periode inkubasi 2 jam (Gambar 23 dan 24).
Tingkat penambahan yang semakin tinggi
akan efektif dibandingkan penambahan yang lebih rendah. Hal ini berhubungan dengan kesediaan substrat yang dapat dirombak oleh enzim yang ditambahkan. Menurut Kale (1987) tepung daun lamtoro mengandung total karbohidrat (18,6%) dengan komponen gula pereduksi (4,2%), total oligosakarida (2,8%), sukrosa (1,2%), rafinosa (0,6%), stachiosa (1,0%),
dan polisakarida starch (1,0%).
Sedangkan komponen serat tediri dari 39,5% neutral detergent fiber (NDF) dan 35,10% acid detergent fiber (ADF)
(Garcia et al. 1996). Ekstrak enzim rumen
domba mempunyai aktifitas selulase sebesar 1,66 ± 0,19 IU/ml/menit; amilase 1,32 ± 0,02 IU/ml/menit. Tingginya aktifitas enzim ini akan merombak komponen
50
karbohidrat komplek yang banyak terdapat pada TDL. Fakta ini dapat dilihat pada penelitian ini dimana peningkatan penambahan volume ekstrak cairan enzim rumen meningkatkan nilai glukosa terlarut (Gambar 6). Hal ini mengindikasikan bahwa subsrat polisakarida pada TDL masih cukup untuk dirombak sehingga akan meningkatkan pula nilai polisakarida yang dapat disederhanakan menjadi monosakarida yang dapat dilihat dari semakin meningkatnya nilai glukosa terlarut. Pantaya et al. (2005) melaporkan bahwa perlakuan penambahan enzim rumen sebesar 3,44 dan 6,89 IU/kg pada wheat pollard menurunkan kadar polisakarida sebesar 4 dan 3,9%.
Lebih jauh dinyatakan bahwa hidrolisis enzim dengan
konsentrasi 6,89 IU/kg terhadap komponen polisakarida wheat pollard juga akan meningkatkan kandungan oligosakarida dan monosakarida sebesar 5,5% dibandingkan pada perlakuan tanpa penambahan enzim. Enzim amilase akan menghidrolisis ikatan α-1,4 pada TDL menjadi Dglukosa, maltosa dan sejumlah kecil destrin (Gambar 26). Proses penghidrolisisan ini merupakan kerja kelompok endo amilase dan eksoamilase. Endo amilase yaitu enzim amilase yang bekerja dengan memecah ikatan pada bagian tengah substrat dengan pH optimum 5-7 dan suhu optimum 60 – 70oC.
Gambar 26. Mekanisme kerja enzim amilase memotong ikatan α-1,4 (Stryer 2000)
51
Endo amilase banyak ditemukan pada tanaman dan mikroorganisme, terutama Bacillus stearothermophilus, B-subtilus, Apergilus niger dan A.oryzae. Sedangkan kelompok ekso amilase adalah menghidrolisis unit-unit dari ujung non reduksi substrat menjadi maltosa dan maltotriosa dengan pH 4,5 – 5,5 dan suhu 40- 60oC. Ekso amilase banyak ditemukan pada tanaman dan mikroorganisme, terutama Bacillus stearothermophilus, B-subtilus, Apergilus niger dan A.oryzae. Jenis mikroorganisme ini sangat banyak didapatkan di rumen sehingga ketika cairan enzim dieksraksi untuk mendapatkan enzim kasar, jenis enzim amilase dan selulase juga dapat terdeteksi aktifitasnya. Hasil analisa kualitas nutrien TDL dengan periode inkubasi 24 jam menghasilkan penurunan nilai kandungan serat kasar dan perubahan komponen serat. Nilai Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral Detergent Fiber (NDF) adalah nilai yang dihasilkan untuk mengambarkan komponen dari serat kasar dimana kedua metode ini hanya dapat menentukan kadar total serat yang tak larut dalam larutan deterjen. ADF hanya dapat untuk menentukan kadar total selulosa dan lignin, sedangkan dengan NDF dapat ditentukan kadar total dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selisih jumlah serat dari analisis NDF dan ADF dianggap jumlah kandungan hemiselulosa, meski sebenarnya terdapat juga komponenkomponen lainnya selain selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pada penelitian ini nilai NDF dan ADF perlakuan kontrol tanpa penambahan enzim memperlihatkan nilai kandungan NDF yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 20, 40, 60 dan 100 ml enzim/kg TDL. Penurunan nilai NDF dan ADF
ini dapat
mengambarkan meningkatnya bagian bahan pakan yang dapat dicerna. Penambahan 100 ml enzim/kg TDL dapat menurunkan kadar serat mencapai 53,40% (Gambar 9 dan 10). Penurunan kadar serat ini merupakan hasil dari kerja enzim selulase yang berasal dari enzim selulitik yang disekresikan mikroba rumen. Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan 1,4-β glikosida. Molekul lurus dengan unit glukosa rata-rata sebanyak 5000 ini beragregasi membentuk fibril yang terikat melalui
52
ikatan hidrogen di antara gugus hidroksil pada rantai di sebelahnya. Serat selulosa yang mempunyai kekuatan fisik yang tinggi terbentuk dari fibril-fibril ini tergulung seperti spiral dengan arah-arah yang berlawanan menurut satu sumbu (Hart 1983). Kim et al. 1995 mengemukakan bahwa kompleks enzim selulase mempunyai tiga komponen utama yang bekerja bersama-sama atau bertahap dalam menguraikan selulosa menjadi unit glukosa, yaitu 1. Endo-selulase yang memotong ikatan bagian dalam struktur kristal dari selulosa dan mengeluarkan unit selulosa dari rantai polisakarida. 2. Ekso-selulase yang
memotong 2-4 unit selulosa dari rantai akhir hasil
produksi endo-selulase dan menghasilkan tetrasakarida atau disakarida seperti selobiosa. 3. Selobiose atau β-glukosidase yang menghidrolisis produk dari ekso-selulase menjadi monosakarida. Pada Gambar 27 dijelaskan tentang
tiga
jenis reaksi yang dikatalisis
oleh selulase yaitu memotong interaksi nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang ada dalam struktur kristal selulosa oleh enzim endo-selulase; menghidrolisis serat selulosa menjadi sakarida yang lebih sederhana oleh ekso-selulase serta menghidrolisis disakarida dan tetrasakarida menjadi glukosa
oleh enzim β-
glukosidase.
Gambar 27. Tiga tipe reaksi yang dikatalisasi oleh enzim selulase
53
Penelitian yang dilakukan Malathi dan Devegowda (2002)
pada pakan
awal untuk broiler mendapatkan bahwa penggunaan multi enzim meningkatkan nilai total gula sunflower meal, soybean meal, deoiled rice bran, yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan enzim tunggal. Kandungan multi enzim ini juga menjadi kelebihan yang dimiliki oleh ekstrak enzim rumen domba. Kadar protein terlarut merupakan produk antara pada hidrolisis protein oleh ekstrak enzim protease yang terkandung dalam ekstrak enzim kasar dari cairan rumen domba.
Kadar protein terlarut meningkat dengan peningkatan
jumlah enzim kasar yang diberikan Hal ini dimungkinkan dengan dengan adanya aktivitas enzim protease pada cairan rumen domba yaitu sebesar 0,26 ± 0,07 IU/ml/menit. Enzim protease adalah enzim pemecah protein menjadi komponen penyusunnya yaitu asam amino yang akan diserap tubuh. Pada penelitian ini terjadi peningkatan derajat hidrolisis protein dengan didapatkannya nilai protein terlarut yang semakin meningkat dengan meningkatnya waktu inkubasi TDL dengan enzim rumen.
Peningkatan derajat hidrolisis ini disebabkan oleh
peningkatan pemutusan ikatan peptide dengan meningkatnya solubilitas peptide di dalam Trikloro Asetat Acid atau TCA (Montecalvo et al. 1984) dan didukung oleh laporan Jin et al. (2007). Wong (1995) menjelaskan bahwa berdasarkan cara pemotongan ikatan peptida, enzim peptidase dapat dibagi menjadi eksopeptidase dan endopeptidase.
Eksopeptidase bekerja pada kedua ujung molekul protein,
yang terdiri dari dua jenis enzim yaitu karboksipeptidase dan amino peptidase. Karboksipeptidase dapat melepaskan asam amino yang memiliki gugus–COOH bebas pada ujung molekul protein sedangkan amino peptidase dapat melepaskan asam amino pada ujung lainnya yang memiliki gugus –NH2 bebas.
Sedangkan
enzim endopeptidase memecah protein pada tempat-tempat tertentu dalam molekul protein dan biasanya tidak mempengaruhi gugus yang terletak di ujung molekul protein.
Endopeptidase bekerja spesifik memutuskan ikatan peptida pada asam
amino tertentu dalam molekul protein, seperti : tripsin yang memutuskan ikatan
54
peptida setelah asam amino arginin dan lisin dan bekerja optimum pada pH 8 serta kimotripsin yang memutuskan ikatan peptida setelah asam amino fenilalanin, triptofan, tirosin dan bekerja lambat pemutusan ikatan peptida setelah asam amino asparagin, histidin, metionin dan lesin dan bekerja optimum pada pH 8. O H
O
O
HN C C NH2 HO C C NH C ...................................... R R amino peptidase karboksi peptidase
Gambar 28. Hidrolisis protein oleh enzim eksopeptidase (Wong 1995). Pola respon nilai protein terlarut memperlihatkan respon yang bersifat kuadratik dan bukan linier.
Dimana peningkatan penambahan jumlah enzim
cairan rumen (dari 20 – 100 ml/kg) tidak mempengaruhi kadar protein terlarut TDL terhidrolisis. Hal ini dapat dijelaskan bahwa TDL adalah substrat yang sesuai dengan katalisator enzim protease rumen, tetapi karena kadar protein substrat TDL tidak mengalami peningkatan dengan penambahan enzim maka penyederhanaan nutrien protein yang terkandung dalam TDL juga tidak berbeda. Kohn dan Alien (1994) menggunakan enzim protease dari ekstrak cairan rumen sapi untuk mengukur laju degradasi protein dari bungkil kedelai dan hay lucerne. Enzim protease hasil ekstraksi dengan butanol dan aseton hanya tersisa 62 persen aktivitasnya dibanding cairan rumen awal.
Tidak ada perbedaan antara taraf
enzim 3, 5 atau 10 ml dalam mendegradasi protein pakan. Dilaporkan pula oleh Kohn dan Alien (1994) pola respon kuadratik dari enzim protease dimana protein bungkil kedelai terdegradasi dengan kecepatan 0,15 mg per gram per jam pada 2 jam pertama dan turun menjadi 0,01 mg per gram per jam dari 8 sampai 24 jam berikutnya. Kejadian yang sama juga terjadi pada protein hay lucerne, didapat degradasi protein dengan kecepatan 0,06 mg per gram per jam pada 2 jam pertama dan turun menjadi 0,01
55
mg per gram per jam dari 8 sampai 24 jam berikutnya. Pola respon dari kerja enzim protease pada penelitian ini juga menunjukkan pola kuadratik dimana dengan pemberian enzim cairan rumen sebanyak 100ml/kg TDL maka protein TDL terdegradasi dengan kecepatan d 0,017 mg per jam . Kemampuan bakteri rumen untuk meningkatkan kualitas bahan baku pakan telah dibuktikan oleh Purnomohadi (2006).
Dimana fermentasi
jerami padi
selama 7 hari dengan bakteri selulitik rumen menghasilkan penurunan bahan kering 10,6%, kadar serat 15,98% serta meningkatkan kandungan protein 54,50%. Pada penelitian ini tidak terjadi peningkatan kadar protein karena enzim rumen yang ditambahakan adalah enzim yang didapat dari proses pengendapan dan setrifugasi 12.000 rpm, dengan kadar protein enzim cairan enzim yang sangat kecil 0,067g/ml. Sedangkan jumlah enzim yang ditambahkan pada 10 gram TDL perlakuan in vitro hanya 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ml/kg TDL. Hal ini bersesuaian dengan mekanisme kerja dari enzim yang hanya mekatalisasi suatu reaksi tanpa mempengaruhi hasil reaksi tersebut (Wong 1995).
Peningkatan kadar protein
terlarut yang tidak berbeda nyata antara semua perlakuan dengan penambahan enzim juga menjelaaskan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar protein dari substrat TDL yang didegradasi oleh enzim protease.
Peningkatan kadar protein
terlarut akan mempermudah ikan untuk memanfaatkan asam-asam amino penyusun protein untuk pertumbuhan. Hidrolisis asam fitat oleh enzim fitase enzim rumen domba diharapkan akan meningkatkan kemampuan ikan untuk memanfaatkan TDL dalam pakan. Asam fitat merupakan zat antinutrien yang secara alamiah terdapat pada tanaman leguminosa dan kacang-kacangan.
Mio-inositol heksakisfosfat (C6H18O24P6)
adalah rumus kimia dari asam fitat dengan struktur cincin yang mirip dengan glukosa, yang berikatan dengan fosfor unruk membentuk struktur asam fitat. Selain fosfor unsur-unsur lain juga ditemukan terikat dalam asam fitat (Ravindra et al. 2000) seperti mineral bervalensi dua (Ca, Zn, Fe dan Mg) yang akan membentuk fitat mineral yang tidak larut (Cole, 2001). Fitat bersama kation
56
multivalent dapat membentuk ikatan kompleks pada pH netral. Ikatan ini resistant terhadap proses absorbsi di dalam saluran percernaan sehingga ketersediaan mineral yang dapat digunakan akan menurun (Bedford dan Partridge 2001). Asam fitat tidak larut dalam pH netral dan menurunkan aktifitas enzim protease dengan protein yang mengikat fitat, sehingga akan menurunkan pula bioavailability dari protein di dalam pakan (Ravindra et al. 2000). Dilaporkan pula bahwa aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan akan rendah dengan adanya protein terikat fitat. Fitat mengikat protein dan mineral di dalam digesta, sangat potensial untuk menghambat aktivitas enzim-enzim pencernaan. Conrad et al. (1996), menyatakan bahwa fitat menghambat aktivitas enzim tripsin. Ikan mempunyai keterbatasan dalam menyerap fosfor dari air karena konsentrasi fosfor dalam air sangat kecil, sehingga kebutuhan fosfor ikan sebagian besar dipenuhi dari pakan (NRC, 1993). Mineral fosfor penting sebagai komponen dari fosfolipid, asamasam nukleat, senyawa berenergi tinggi (ATP). Fosfor berperanan penting dalam metabolism karbohidrat, lemak dan asam amino, sedangkan dalam otot dan jaringan syaraf berperan dalam menjaga tekanan osmotic cairan tubuh (Lall 2002). Keseimbangan fosfor dalam tubuh dijaga dengan jalan pertukaran antara senyawa fosfor dalam tulang dan fosfor yang ada dalam makanan (Djodjosubagio dan Piliang, 1990). Kadar asam fitat TDL terhidrolisis memperlihatkan pola respon linier, dimana peningkatan jumlah ekstrak enzim cairan rumen yang ditambahkan akan menurunkan kadar asam fitat secara linier. Penurunan kadar asam fitat merupakan hasil kerja dari enzim fitase yang terkandung dalam ekstrak enzim cairan rumen domba. Enzim fitase membantu melepaskan mineral yang terikat pada gugus tertentu menjadi mineral terlarut seperti P, Ca, Zn, Mg dan Fe yang dapat dimanfaatkan oleh ikan. Enzim rumen domba penelitian ini mengandung enzim fitase sebesar 0,27 ± 0,13 IU/ ml/menit. Fitase dapat menghidrolisis asam fitat secara bertahap menjadi senyawa turunannya, yang dapat larut dan terserap dalam sistem pencernaan. Fitase (mio-inositol heksakisfosfat fosfohidrolase, E.C. 3.1.
57
3.8) merupakan suatu fosfomonoesterase yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi ortofosfat anorganik dan ester-ester fosfat dari mio-inositol yang lebih rendah. Cole (2001) mengemukakan bahwa terdapat 2 jenis enzim fitase yaitu 3fitase yang diperoleh dari fungi dan 6-fitase yang diperoleh dari tumbuhan. Perbedaan khas dari kedua jenis ini adalah tempat hidrolisis pertama molekul fitat, 3-fitase pertama memotong asam fitat pada posisi 3 dan 6-fitase pertama memotong asam fitat pada posisi 6 (Gambar 3).
Hal ini sejalan pula dengan
analisa asam fitat yang terkandung pada perlakuan inkubasi TDL dengan 80ml/kg TDL yang mengalami penurunan 19,776% dibandingkan perlakuan kontrol. Penurunan kadar asam fitat yang terbesar didapatkan pada perlakuan penambahan ekstrak cairan rumen domba sebanyak 100 ml/kg TDL yaitu sebesar 68,088 % dibandingkan perlakuan kontrol dengan kadar fitat 7,839%. asam
Penurunan kadar
fitat ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas TDL terhidrolisis.
Sehingga kinerja pertumbuhan ikan diharapkan akan semakin baik dengan penggunaan TDL terhidrolisis karena bahan pakan ikan nila tidak dibatasi lagi oleh bahan antinutisi fitat. Armaini dan Refilda (2005) melaporkan penambahan
enzim fitase pada gandum, bekatul dan
kedelai
bahwa dapat
meningkatkan ketersediaan mineral Ca, Mg, Fe dan Zn. Mineral Ca, Mg, Fe dan Zn yang dibebaskan dari gandum, berturut-tuurut 70 %, 7,1 %, 17,5 % dan 89,6 %; pada bekatul berturut-turut mencapai 60 %, 17,5 %, 7,7 % dan 86,8 % dan pada Kedelai berturut-turut mencapai 77 %, 7,7 %, 12,1 % dan 88,9 %. Penambahan fitase pada bahan pakan dilaporkan akan meningkatkan nilai rasio P terlarut/P total dari 19,5% pada pakan tanpa penambahan enzim fitase menjadi 44,1% pada pakan dengan penambahan enzim fitase sebesar 50 mg/100g setara dengan 250 unit enzim fitase pada bahan nabati bungkil kedelai dan pollard (Amin 2007). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Masumoto et al. (2001) bahwa bahwa proses inkubasi pakan dengan enzim fitase 50mg/100 g bahan nabati pada suhu 37oC selama 2 jam akan memberikan nilai P terlarut/P total sebesar 58,7% dan nilai kecernaan P sebesar 95%.
Peningkatan nilai P
58
terlarut ini akan meningkatkan nilai kecernaan P pakan. Ikan lele yang mendapat pakan dengan penambahan enzim fitase, memperlihatkan kecernaan P sebesar 86,10 % dimana nilai ini yang lebih tinggi dibandingkan ikan yang tidak diberi penambahan fitase yang hanya mencerna P sebesar 68,55% (Amin, 2007). Ikan dengan pakan yang mengandung bahan nabati dengan penambahan enzim fitase dapat meningkatkan kecernaan P dari 68% menjadi 79,8% ikan seabass (Dicentracus labraks) ukuran juvenile (Teles et al. 1999); 59% menjadi 87% pada ikan striped bass (Soares, 2001); 80% menjadi 89,1 pada ikan rainbow trout ukuran 20 g (Hardy 2002), 63,84 menjadi 74,06% pada ikan Salmon ukuran 100g dan 64,5 % menjadi 74,06% pada ikan baung ukuran 6,9g (Yulisman, 2006). Ketiadaan enzim fitase pada pakan berbasis nabati akan menyebabkan fosfor yang terdapat dalam bahan nabati masih terikat asam fitat sehingga kecernaan fosfor menjadi rendah. Sampel perlakuan 100 ml enzim/kg TDL dari hasil analisa profil asam amino memperlihatkan peningkatan komposisi asam amino dibandingkan TDL tanpa hidrolisis.
Hal ini membuka peluang dari enzim rumen domba sebagai
sumber asam amino. Hal ini dapat dilihat dari jenis asam amino sistein dan norleusin yang hanya didapatkan pada TDL dengan penambahan enzim. Asam amino ini diduga didapatkan dari proses pengendapan enzim dengan ammonium sulfat yang akan merusak mantel protein dan menarik molekul air dari sekitar permukaan molekul protein cairan rumen.
Proses ini diduga menarik pula
sebagian kecil asam amino yang terdapat pada endapan rumen.
Dugaan ini
didukung dengan data dari Budiansyah (2010) yang melaporkan bahwa endapan rumen sapi lokal mengandung 66,8% protein yang berupa asam amino. Selain itu sifat khas yang hanya dimiliki oleh enzim protease adalah sifat autokalalisis. Dimana ketika seluruh subsrat sudah terdegradasi sedangkan masih ada aktifitas enzim yang tersisa maka enzim protease akan mendegradasi protein enzim itu sendiri menjadi asam-asam amino sederhana sehingga
dapat menjadi sumber
asam amino TDL yang sudah ada serta menjadi sumber untuk jenis asam amino
59
yang sebelumnya tidak terdapat di TDL. Sebab inilah yang diduga memberikan kontribusi peningkatan dalam jumlah yang kecil profil asam amino TDL terhidrolisis dan didapatkannya jenis asam amino sistein dan norleusin yang sebelumnya tidak didapatkan pada TDL tanpa hidrolisis. Perlakuan penambahan enzim rumen 100 ml enzim/kg TDL menghasilkan penurunan kadar serat tertinggi 53,46%, asam fitat 68,088% serta peningkatan komposisi asam amino. Perlakuan ini akan digunakan untuk tahapan uji in vivo pada penelitian tahap ke tiga.
60
4.3. Tahap ketiga Hasil penelitian tahap ke-3 mencakup dua eksperimen dengan perlakuan yang sama tetapi menggunakan bahan baku TDL yang berbeda yaitu TDL terhidroilis dengan enzim cairan rumen dan TDL tanpa perlakuan hidrolisis.
1.
Efektifitas pemanfaatan TDL terhidrolisis dalam pakan formulasi untuk ikan nila
2.
Efektifitas pemanfaatan TDL tanpa hidrolisis dalam pakan formulasi untuk ikan nila
4.3.1. Laju Pertumbuhan Harian. Laju pertumbuhan harian rata-rata ikan uji setiap perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis disajikan pada Gambar 29. Data selengkapnya setiap perlakuan terdapat pada Lampiran 44 dan 45. Nilai laju pertumbuhan harian perlakuan TDL terhidrolisis nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL terhidrolisis di dalam pakan. Nilai rata-rata laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi yaitu 2,77 % dicapai oleh perlakuan tanpa pemakaian TDL terhidrolisis yang tidak berbeda nyata dengan nilai LPH pada pemakaian TDL terhidrolisis 10 dan 15% dalam pakan. Sedangkan nilai LPH perlakuan dengan pemakaian TDL terhidrolisis 20, 25 dan 30% dalam pakan nyata lebih rendah dari perlakuan kontrol dan perlakuan dengan penggunaan 10 dan 15 % TDL terhidrolisis dalam pakan.
Nilai terendah
yaitu 1,47% dicapai oleh perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis terbanyak yaitu sebesar 30%. Nilai laju pertumbuhan harian
perlakuan TDL tanpa hidrolisis nyata
(P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL terhidrolisis di dalam pakan dimana nilai laju pertumbuhan harian cenderung meningkat dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis di dalam pakan. Perlakuan 30, 25 dan 20 % TDL terhidrolisis dengan nilai laju pertumbuhan harian 1,97; 1,86; 1,83% menghasilkan nilai LPH lebih tinggi dan nyata berbeda (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan 15 dan 10 % TDL terhidrolisis dalam pakan dengan nilai LPH 1,50; 1,32 %.
61
b
b
b a
a a
a
a b
b
a
Ket: LPH TDLt (LPH TDL terhidrolisis); LPH TDLth (LPH TDL tanpa hidrolisis); Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (lihat Lampiran 46 dan 48).
Gambar 29. Nilai Laju pertumbuhan harian perlakuan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis Nilai LPH rata-rata perlakuan TDL terhidrolisis sampai pada taraf penggunaan 15% TDL terhidrolisis dalam pakan masih memperlihatkan nilai yang baik dibandingkan TDL terhidrolisis, tetapi nilai LPH
mulai menurun pada
perlakuan 20 dan 25 % dibandingkan dengan nilai yang didapat pada perlakuan TDL terhidrolisis pada taraf yang sama.
Perlakuan 30 % TDL terhidrolisis
memperlihatkan nilai LPH yang menurun drastis dari 1,80% pada penggunaan 25 % TDL terhidrolisis dalam pakan menjadi hanya 1,47%, dimana nilai ini jauh lebih rendah pada perlakuan dengan TDL terhidrolisis dengan taraf yang sama dengan nilai LPH rata-rata sebesar 1,97%.
4.3.2. Jumlah Konsumsi Pakan Jumlah konsumsi pakan rata-rata ikan uji setiap perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis disajikan pada Gambar 30. Data selengkapnya setiap perlakuan terdapat pada Lampiran 50 dan 51. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis (TDL terhidrolisis) dan TDL tanpa hidrolisis (TDL terhidrolisis) dalam pakan nyata (P>0,05) tidak berpengaruh
62
pada jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji. Pada Gambar 30 secara deskriftif dapat terlihat bahwa sampai dengan taraf 30% jumlah pakan yang dikonsumsi pada perlakuan dengan TDL terhidrolisis dibandingkan dengan perlakuan yang sama pada TDL terhidrolisis.
a a
a
a
a
a
Ket: JKP TDLt (JKP TDL terhidrolisis); JKP TDLth (JKP TDL tanpa hidrolisis); Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (lihat Lampiran 52 dan 53).
Gambar 30. Nilai jumlah konsumsi pakan perlakuan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis. 4.3.3. Efisiensi Pakan Nilai rata-rata efisiensi pakan ikan uji setiap perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis disajikan pada Gambar 31. Data selengkapnya setiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 50 dan 51. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis (TDL terhidrolisis) dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh pada nilai efisiensi pakan.
Perlakuan TDL
terhidrolisis menunjukkan nilai efisiensi pakan tertinggi yaitu 70,52% dicapai oleh perlakuan 10% TDL terhidrolisis. Nilai efisiensi pakan tertinggi ini tidak berbeda nyata dengan yang dicapai perlakuan 15% TDL terhidrolisis yaitu 60,10%.
Nilai efisiensi pakan terendah yaitu 30,71 dicapai oleh perlakuan 25%
TDL terhidrolisis, dimana nilai ini tidak berbeda nyata dengan nilai efisiensi pakan perlakuan kontrol, 20 % dan 30 % TDL terhidrolisis dengan nilai efisiensi pakan berturut-turut sebesar 47,65, 31,05 dan 43,90%.
63
Pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis, penggunaan TDL terhidrolisis dengan persentase yang berbeda dalam pakan tidak mempengaruhi nilai efisiensi pakan (P>0,05). Pada Gambar 31 terlihat nilai efesiensi pakan TDL terhidrolisis sampai taraf 15 % dalam pakan lebih tinggi dari TDL terhidrolisis dengan taraf yang sama.
c ab a
bc
a
ab
a
a
a
a
a
Ket: EP TDLt (EP TDL terhidrolisis); EP TDLth (EP TDL tanpa hidrolisis); Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (lihat Lampiran 54 dan 56).
Gambar
31.
Nilai efisiensi pakan perlakuan TDL hidrolisis
terhidrolisis
dan TDL tanpa
4.3.4. Retensi Protein dan Lemak
Nilai retensi protein rata-rata ikan uji setiap perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis disajikan pada Gambar 32.
Data
setiap ulangan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 58 dan 59. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh pada nilai retensi protein. Nilai retensi protein tertinggi sebesar 40,70% pada
perlakuan 15% TDL terhidrolisis dalam pakan berbeda nyata
dengan semua perlakuan lainnya. Perlakuan 25% TDL terhidrolisis menghasilkan nilai retensi protein terendah sebesar 16,7% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, 10, 20 dan 30 % TDL dalam pakan. Penggunaan persentase TDL tanpa hidrolisis yang berbeda dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh pada retensi protein. Retensi protein tertinggi yaitu 24,68% terdapat pada perlakuan dengan penggunaan 30 % TDL terhidrolisis
64
dalam pakan. Nilai retensi protein tertinggi ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan 25 % TDL terhidrolisis dalam pakan dengan nilai retensi protein sebesar 20,57%. Perlakuan dengan 10 % TDL dalam pakan menghasilkan nilai retensi protein terendah sebesar 14,3% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20 % TDL dalam pakan dengan nilai retensi protein sebesar 17,38 %.
Pada
Gambar 32 terlihat bahwa nilai retensi protein 10, 15 dan 20 % TDL terhidrolisis dalam pakan lebih tinggi dari nilai retensi protein pada taraf yang sama dengan TDL tanpa hidrolisis.
c
ab
b bc
a
a b
a
ab bc
ab c
Ket: RP TDLt (RP TDL terhidrolisis); RP TDLth (RP TDL tanpa hidrolisis) Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (liat Lampiran 60 dan 62)
Gambar 32. Nilai retensi protein perlakuan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis
Nilai retensi lemak rata-rata ikan uji setiap perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis disajikan pada Gambar 33. Data setiap ulangan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 57 dan 58. Persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh pada retensi lemak. Perlakuan kontrol (tanpa penggunaan TDL terhidrolisis) menghasilkan nilai retensi lemak yang tertinggi yaitu 33,73% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan dengan penggunaan 10 % TDL terhidrolisis dalam pakan dengan nilai retensi lemak sebesar 33,15 %. Sedangkan nilai retensi lemak terendah terdapat pada perlakuan 30 % TDL terhidrolisis yaitu sebesar 14,40 % yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 20 % TDL terhidrolisis
65
dalam pakan dengan nilai retensi lemak sebesar 14,95%. Nilai retensi lemak pada perlakuan yang menggunakan TDL terhidrolisis menghasilkan nilai yang cenderung menurun dengan meningkatnya kandungan TDL di dalam pakan. Persentase penggunaan TDL tanpa hidrolisis dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh pada retensi lemak. Peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis cenderung meningkatkan nilai retensi lemak. Perlakuan 30 % TDL terhidrolisis menghasilkan nilai retensi lemak yang rendah dan nyata berbeda dengan semua perlakuan lainnya. Dimana pada perlakuan 10 % TDL terhidrolisis nilai retensi lemak hanya 8,33% dan secara perlahan akan naik menjadi 10,55%, 9,75%, 11,13% dan 20,46% dengan meningkatnya persentase TDL terhidrolisis dalam pakan. Kecuali pada perlakuan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan, terlihat pada Gambar 33 bahwa TDL terhidrolisis menghasilkan nilai retensi lemak sebesar 14,40% yang jauh lebih kecil dari perlakuan dengan TDLtanpa hidrolisis dengan nilai 20,46%.
c
c
b
b b
a a
a
a
a
a
Ket: RL TDLt (RL TDL terhidrolisis); RL TDLth (RL TDL tanpa hidrolisis); Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (liat Lampiran 64 dan 66).
Gambar 33. Nilai retensi lemak perlakuan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis
4.3.5. Hepatosomatik Indeks dan Kadar Glikogen Hati Berdasarkan data bobot tubuh dan bobot hati dilakukan perhitungan nilai hepatosomatik indeks (HIS). Hati yang telah dihitung nilai HIS akan digunakan untuk bahan pengujian kandungan glikogen dalam hati. Nilai HIS rata-rata ikan
66
uji setiap perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis hidrolisis disajikan pada Gambar 34.
dan TDL
tanpa
Data setiap ulangan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 68 dan 69. Pada perlakuan pakan menggunakan TDL terhidrolisis tidak terdapat perbedaan nyata nilai HIS diantara semua perlakuan. Dengan urutan nilai HIS dari rendah ke tinggi adalah 1,03 (15%TDL); 1,07 (10% TDL); 1,11 (tanpa TDL); 1,21 (25%TDL); 1,23 (30%TDL) dan 1,27 (20% TDL). Persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh pada kadar glikogen dalam hati ikan uji. Kadar glikogen dalam hati
terlihat meningkat dengan meningkatnya pemakaian TDL dalam pakan. Perlakuan penggunaan 10% TDL terhidrolisis dalam pakan menghasilkan kadar glikogen hati terendah sebesar 0,116 mg/100ml yang nyata berbeda dengan perlakuan yang menggunakan TDL terhidrolisis 15, 20, 25 dan 30% dengan kadar
glikogen
hati secara berurutan sebesar 0,151; 0,209; 0,224 dan 0,226
mg/100ml.
a
a a
a ab
a a
ab
a b
b
Ket: HIS TDLt (HIS TDL terhidrolisis); HIS TDL (HIS TDL tanpa hidrolisis); Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (liat Lampiran 70 dan 71).
Gambar 34.
Nilai hepatosomatik indeks (HIS) perlakuan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis
Penggunaan persentase TDL tanpa hidrolisis dalam pakan nyata (P<0,05) berpengaruh padat nilai HIS dan jumlah glikogen di hati. Nilai HIS perlakuan 15 % TDL tanpa hidrolisis dalam pakan lebih tinggi dan nyata berbeda dengan perlakuan 25 dan 30 % TDL terhidrolisis dalam pakan. Sedangkan perlakuan 10
67
% TDL terhidrolisis menghasilkan nilai HIS yang tertinggi tetapi tidak nyata berbeda dengan semua perlakuan TDL terhidrolisis yang lain. Nilai glikogen hati tertinggi sebesar 0,001167 (mg/100ml) dicapai pada perlakuan 25% TDL yang berbeda nyata dengan nilai glikogen hati pada semua perlakuan yang lainnya serta terdapat perbedaan yang nyata anatar perlakuan lainnya tersebut.
4.3.6. Aktifitas enzim saluran pencernaan Pada akhir pengamatan, dilakukan pengukuran aktifitas selulase, amilase dan protease (IU/g/menit) pada saluran pencernaan ikan nila yang mendapat perlakuan pakan formulasi yang mengandung TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis dalam pakan ikan nila. Data selengkapnya aktifitas enzim selulase, amilase dan protease setiap perlakuan disajikan pada Lampiran 77 dan 78.
4.3.6.1. Aktifitas Enzim Selulase Aktifitas selulase nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan. Nilai aktifitas selulase adalah nilai yang terendah dibandingkan dengan jenis enzim yang lain.
Perlakuan tanpa
penggunaan TDL terhidrolisis menghasilkan aktifitas enzim selulase terendah (0,0176 IU/ml/menit) yang nyata (P<0,05) berbeda dengan nilai aktifitas enzim selulase pada perlakuan penggunaan 30% TDL terhidrolisis dengan nilai aktifitas selulase sebesar 0,0393 IU/ml/menit.
Nilai aktifitas enzim selulase semakin
meningkat dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis di dalam pakan. Secara berurutan nilai aktifitas selulase pada perlakuan 10, 15, 20, % TDL terhidrolisis adalah 0,0293; 0,0329 dan
0,0311
IU/ml/menit, dan ke-empat
perlakuan ini tidak nyata berbeda dengan perlakuan 25% TDL terhidrolisis dengan aktifitas selulase sebesar 0,021425 IU/ml/menit. Pada perlakuan dengan menggunakan TDL tanpa hidrolisiss didapatkan fakta bahwa peningkatan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan tidak mempengaruhi aktifitas selulase dalam saluran pencernaan ikan.
Pada
Gambar 33 secara deskriptif dapat dilihat bahwa aktifitas selulase pada saluran pencernaan ikan dengan pakan mengandung TDL tanpa hidrolisis mempunyai
68
aktifitas selulase yang lebih tinggi dari perlakuan dengan TDL terhidrolisis pada taraf yang sama.
a
bc
a
a
a
a
abc
bc
ab
c
a
a
Ket: Selulase TDLt (Aktifitas selulase TDL terhidrolisis); Selulase TDLth (Aktifitas selulaseTDL tanpa hidrolisis). Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (lihat Lampiran 79 dan 81).
Gambar 35.
Aktifitas enzim selulase (IU/ml.menit) TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis
4.3.6.2. Aktifitas enzim amilase Aktifitas enzim amilase tidak dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan. Pada perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis nilai aktifitas enzim amilase pada saluran pencernaan berada pada kisaran nilai 0,0758 –0,2148 (IU/ml/menit) sedangkan perlakuan kontrol tanpa TDL didapat nilai aktifitas amilase mencapai 0,2341 IU/ml/menit. Aktifitas enzim amilase nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL tanpa hidrolisis dalam pakan.
Aktifitas enzim
amilase pada saluran pencernaan ikan yang diberi pakan dengan campuran TDL terhidrolisis berada pada kisaran nilai
(0,06202 –0,2924 IU/ml/menit).
Perlakuan dengan penggunaan 10% TDL tanpa hidrolisis dalam pakan mencapai nilai aktifitas enzim amilase tertinggi yaitu 0,2924 IU/ml/menit yang nyata berbeda dengan perlakuan 15, 20 25 dan 30 % TDl yaitu berturut-turut sebesar 0,1466; 0,0620; 0,2099 dan 0,1181 IU/ml/menit. Pada Gambar 34 terlihat secara deskriftif bahwa aktifitas enzim amilase pada saluran pencernaan ikan dengan
69
TDL terhidrolisis pada taraf 10, 15 dan 25 % lebih tinggi dari aktifitas enzim amilase pada taraf yang sama dengan TDL terhidrolisis.
c
b
b b
a
ab
b a
b a ab
Ket: amilase TDLt (aktifitas amilaseTDL terhidrolisis); amilase TDLth (aktifitas amilase TDL tanpa hidrolisis). Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (lihat Lampiran 82 dan 84).
Gambar 36.
Aktifitas enzim amilase (IU/ml.menit) TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis
4.3.6.2. Aktifitas enzim protease Nilai rata-rata aktifitas protease saluran pencernaan ikan uji dengan pakan mengandung TDL terhidrolisis dan TDL terhidrolisis disajikan pada Gambar 35. Aktifitas protease pada saluran pencernaan ikan uji nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan. Nilai aktifitas tertinggi yaitu 0,790 IU/ml/menit dicapai pada perlakuan penggunaan 15% TDL terhidrolisis dalam pakan yang tidak berbeda nyata dengan aktifitas protease pada saluran pencernaan ikan dengan perlakuan 20%TDL/kg pakan. Sedangkan nilai terendah 0,411 IU/ml/menit dicapai pada penggunaan 30% TDL terhidrolisis
dalam pakan yang tidak berbeda dengan perlakuan kontrol dan
perlakuan 10% TDL terhidrolisis dalam pakan tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya. Aktifitas enzim protease saluran pencernaan ikan pada perlakuan kontrol (tanpa penggunaan TDL terhidrolisis) adalah sebesar 0,425 IU/ml/menit dan dengan penggunaan TDL terhidrolisis 10, 15 dan 20% dalam pakan aktifitas
70
protease menjadi meningkat tetapi
pada penggunaan 25 dan 30% TDL
terhidrolisis dalam pakan aktifitas enzim protease terlihat mulai menurun. Aktifitas enzim protease nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan persentase penggunaan TDL tanpa hidrolisis dalam pakan. Nilai aktifitas tertinggi yaitu dicapai pada perlakuan penggunaan 15% TDL dalam pakan yang nyata berbeda dengan semua perlakuan yang lain.
Sedangkan aktifitas protease
terendah sebesar 0,0604 IU/ml/menit dicapai pada penggunaan 25% TDL tanpa hidrolisis yang tidak berbeda dengan perlakuan 20% TDL tanpa hidrolisis dalam pakan. Pada Gambar 35 dapat terlihat bahwa aktifitas protease pada saluran pencernaan ikan dengan TDL terhidrolisis lebih tinggi dari aktifitas protease pada perlakuan TDL terhidrolisis taraf yang sama.
c
c
b ab a
a
c
d
b a
a
Ket: protease TDLt (aktifitas proteaseTDL terhidrolisis); protease TDLth (aktifitas protease TDL tanpa hidrolisis). Huruf yang sama pada diagram batang yang berwarna sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (P>0,05) (lihat Lampiran 85 dan 87).
Gambar 37.
Aktifitas enzim protease (IU/ml.menit) TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis
4.3.7. Kadar Glukosa darah ikan uji perlakuan TDL terhidrolisis Pengamatan kadar glukosa darah dilakukan pada ikan uji dengan perlakuan kontrol tanpa menggunakan TDL serta perlakuan dengan taraf TDL terhidrolisis yang berbeda dalam pakan.
Sebelum pengambilan contoh darah
dilakukan, ikan dipuasakan terlebih dahulu selama 48 jam.
Selanjutnya
pengambilan darah dimulai pada jam ke 0 (sebelum pemberian pakan) dan jam ke 4, 8 dan 24 jam setelah ikan diberi makan satu kali sampai kenyang (post
71
prandial).
Profil kadar glukosa darah disajikan pada Gambar 36 dan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 89. Kadar
glukosa
darah
ikan
uji
segera
meningkat
setelah
ikan
mengkonsumsi sejumlah pakan dan menurun kembali setelah mencapai puncak. Titik puncak kadar glukosa darah berada pada jam yang sama yaitu pada jam ke 8, tetapi berbeda pada tingginya puncak yang dicapai.
Pada perlakuan tanpa
penggunaan TDL dalam pakan kadar glukosa darah memperlihatkan puncak kadar glukosa darah yaitu 75,8 mg/100ml yang nyata berbeda dengan perlakuan yang mengunakan TDL terhidrolisis yang menunjukkan nilai kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Secara berurutan kadar glukosa darah jam ke 8 pada perlakuan penggunaan TDL terhidrolisis 10, 15, 20, 25 dan 30 % adalah 72,2; 95,2; 128,8; 163,6; 104,2 mg/100ml.
Perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis
mengalami peningkatan kadar glukosa darah yang lebih tinggi dan setelah 24 jam akan kembali ke kondisi semula dengan kadar glukosa darah nyata berbeda yaitu 54,4 (10% TDL); 55,8 (0% TDL); 60,0 (20%TDL); 63,60 (15%TDL); 64,00 (30% TDL) dan 73,60 mg/100ml (25% TDL)
Gambar
38. Pola kadar glukosa darah (mg/100mL) ikan uji setiap perlakuan
kontrol dan TDL terhidrolisis pada jam pengamatan 0, 4, 8 dan 24 jam post prandial
72
4.3.8. Histologi Hati dan Usus Pengaruh penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan terhadap hati dan saluran pencernaan ikan uji dengan perlakuan kontrol tanpa menggunakan TDL serta perlakuan dengan taraf TDL terhidrolisis yang berbeda dalam pakan. dapat dilihat pada gambaran histologi hati dan saluran pencernaan pada Gambar 39 sampai 45. Preparat hati ikan nila memperlihatkan bentuk hepatosit bervakuola yang berbeda.
Perlakuan kontrol tanpa menggunakan TDL memperlihatkan
hepatosit bervakuola yang lebih banyak dibandingkan pelakuan dengan menggunakan TDL terhidrolisis dalam pakan.
Pada perlakuan dengan
penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan terlihat kecenderungan bahwa peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan jumlah hepatosit yang bervakuola.
Keterangan : (tanda anak panah) h=hepatosit bervakuola dan inti Gambar 39. Histologi hati ikan nila perlakuan K (0% TDL dalam pakan) dan perlakuan A (10% TDL dalam pakan)
73
Keterangan : (tanda anak panah) h=hepatosit bervakuola dan inti Gambar 40. Histologi hati ikan nila perlakuan B (15% TDL dalam pakan) dan perlakuan C (20% TDL dalam pakan)
Keterangan : (tanda anak panah) h=hepatosit bervakuola dan inti Gambar 41. Histologi hati ikan nila perlakuan D (25% TDL dalam pakan) dan perlakuan E (30% TDL dalam pakan)
74
USUS IKAN NILA
Keterangan : tanda panah mukosa tunika (M); Tunika submukosa; (SM) tunika muscularis (MU) tunika serosa (tanda panah) Gambar 42. Histologi usus ikan nila perlakuan K (0% TDL dalam pakan) dan perlakuan A (10% TDL dalam pakan)-penekanan pada struktur
VC
VC
Gambar 43 Histologi usus ikan nila perlakuan K (0% TDL dalam pakan) dan perlakuan A (10% TDL dalam pakan)-penekanan pada deteksi sel goblet (GC) dan sel vili (VC).
75
Keterangan : tanda panah mukosa tunika (M); Tunika submukosa; (SM) tunika muscularis (MU) tunika serosa (tanda panah) Gambar 44. Histologi usus ikan nila perlakuan B (15% TDL dalam pakan) dan perlakuan C (20% TDL dalam pakan)-penekanan pada struktur.
VC VC
Gambar 45. Histologi usus ikan nila perlakuan B (15% TDL dalam pakan) dan perlakuan C (20% TDL dalam pakan)-penekanan pada deteksi sel goblet (GC) dan sel vili (VC).
76
Keterangan : tanda panah mukosa tunika (M); Tunika submukosa; (SM) tunika muscularis (MU) tunika serosa (tanda panah) Gambar 46. Histologi usus ikan nila perlakuan D (25% TDL dalam pakan) dan perlakuan E (30% TDL dalam pakan)-penekanan pada struktur
VC
VC
Gambar 47. Histologi usus ikan nila perlakuan D (25 % TDL dalam pakan) dan perlakuan E (30% TDL dalam pakan)-penekanan pada deteksi sel goblet (GC) dan sel vili (VC).
77
Pembahasan
Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan (laju pertumbuhan harian), parameter pemanfaatan pakan (retensi protein, retensi lemak), nilai hepatosomatik indeks, kadar glikogen hati serta aktifitas enzim pencernaan (selulase, amilase dan protease) terlihat adanya pengaruh yang berbeda antara eksperimen 1 yang menggunakan TDL terhidrolisis dan eksperimen 2 yang menggunakan TDL tanpa hidrolisis. Data kandungan asam amino essensial yang terkandung pada TDL terhidrolisis menunjukkan peningkatan ketersediaannya dibandingkan pada TDL tanpa hidrolisis (Tabel 11). Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat dihitung komposisi asam amino essensial pakan percobaan dengan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis yang disajikan pada Tabel 12 dan 13.
Tabel 12.
Komposisi asam amino essensial pakan percobaan ikan nila dengan taraf kandungan TDL terhidrolisis yang berbeda serta kebutuhan asam amino essensil ikan nila (% protein).
Komposisi asam amino pakan perlakuan2 Kebutuhan asam amino O A B C D E essensial (0 %) (10%) (15%) (20%) (25%) (30%) ikan Nila1 Arginin 1,18 0,605 0,642 0,623 0,614 0,579 0,550 Fenilalanin 1,05 0,858 0,910 0,883 0,874 0,824 0,780 Histidin 0,48 0,401 0,450 0,447 0,453 0,439 0,429 Isoleusin 0,87 0,596 0,645 0,629 0,623 0,592 0,567 Leusin 0,95 1,053 1,084 1,049 1,029 0,965 0,915 Lisin 1,43 0,610 0,719 0,727 0,745 0,737 0,733 Metionin 0,75 0,334 0,396 0,392 0,391 0,382 0,375 Treonin 1,00 0,432 0,485 0,475 0,471 0,452 0,437 Triptofan 1,05 0,250 0,250 0,238 0,233 0,214 0,197 Valin 0,78 0,853 0,882 0,847 0,831 0,771 0,718 1) Menurut Jackson et al. (1982) 2) Dihitung berdasarkan komposisi asam amino essensial tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung daun lamtoro terhidrolisis, ddgs, tepung polard. Asam amino essensial
78
Tabel 13.
Komposisi asam amino essensial pakan percobaan ikan nila dengan taraf kandungan TDL tanpa hidrolisis yang berbeda serta kebutuhan asam amino essensil ikan nila (% protein).
Kebutuhan Komposisi asam amino pakan perlakuan2 asam amino F G H I J essensial (10% (15% (20% (25% (30% ikan Nila1 TDL) TDL) TDL) TDL) TDL) Arginin 1,18 0,638 0,616 0,605 0,568 0,536 Fenilalanin 1,05 0,890 0,854 0,834 0,774 0,720 Histidin 0,48 0,447 0,443 0,447 0,432 0,420 Isoleusin 0,87 0,633 0,612 0,600 0,563 0,533 Leusin 0,95 1,070 1,028 1,000 0,929 0,872 Lisin 1,43 0,610 0,699 0,697 0,705 0,687 Metionin 0,75 0,396 0,392 0,391 0,382 0,375 Treonin 1,00 0,478 0,466 0,458 0,436 0,418 Triptofan 1,05 0,247 0,237 0,233 0,215 0,199 Valin 0,78 0,873 0,834 0,814 0,750 0,692 1) Menurut Jackson et al. (1982) 2) Dihitung berdasarkan komposisi asam amino essensial tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung daun lamtoro terhidrolisis, ddgs, tepung polard Asam amino essensial
Dari Tabel 12 dan 13 dapat terlihat bahwa, asam amino esensial pakan perlakuan masih dibawah kebutuhan asam amino essensial untuk pertumbuhan ikan nila (Jackson et al. 1982).
Terlihat pula bahwa ketersediaan asam amino pada pakan
percobaan dengan TDL terhidrolisis sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan asam amino dengan TDL tanpa hidrolisis. Perlakuan kontrol tanpa TDL mempunyai ketersediaan asam amino yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pakan yang mengandung TDL terhidrolisis ataupun yang tidak terhidrolisis. Pola asam amino keenam pakan perlakuan memperlihatkan kesamaan pola. Tetapi apabila dibandingkan dengan pola asam amino essensial ikan nila untuk pertumbuhan optimal terlihat adanya perbedaan.
Perbedaan ini terdapat pada jenis
asam amino arginin, metionin, threonin, lisin dan tripthofan. Dimana pola kelima asam amino pada kebutuhan ikan nila mengalami peningkatan sedangkan pada pola pakan perlakuan mengalami penurunan (Jackson et al. 1982 ). Hal yang sama dapat dilihat
79
pula pada TDL tanpa hidrolisis, sehingga fakta ini bukanlah penyebab terjadinya perbedaan nilai parameter yang diukur antar perlakuan.
Gambar 45.
Pola asam amino pakan dengan kandungan persentase TDL terhidolisis yang berbeda dibandingkan dengan kebutuhan asam amino ikan nila.
Gambar 46. Pola asam amino pakan dengan kandungan persentase TDL tanpa hidrolisis yang berbeda dibandingkan dengan kebutuhan asam amino ikan nila. Pengukuran parameter aktifitas enzim protease pada saluran pencernaan ikan nila dengan TDL terhidrolisis dan tanpa hidrolisis merupakan indikator dari kemampuan mencerna dan memanfaatkan protein dalam pakan. Pada penelitian
80
dengan TDL terhidrolisis, aktifitas enzim protease pada pemakaian 10 dan 15%, TDL meningkat dan selanjutnya aktifitas enzim mulai menurun pada penggunaan 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan. Enzim protease berperan dalam pencernaan protein pakan, sehingga penurunan aktifitas enzim protease pada taraf 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan mengindikasikan penurunan kemampuan mencerna protein pakan. Dikemukakan oleh De Silva dan Anderson (1995) bahwa penurunan aktifitas protease berhubungan dengan penurunan kandungan tepung ikan sebagai sumber protein pakan, tetapi dalam penelitian ini digunakan proporsi tepung ikan yang sama yaitu sebesar 15 %.
Storebakken et al. (1998)
melaporkan efek negatif dari glukosa pada kecernaan protein, dimana dijelaskan oleh Ferraris dan Ahearn (1984); Vinardell (1990) bahwa glukosa/monosakarida dapat menghambat transport asam amino di dalam saluran pencernaan. Dikaitkan dengan nilai yang didapat dari hasil in vitro pada tahapan sebelumnya terjadi peningkatan glukosa terlarut TDL terhidrolisis seiring dengan peningkatan volume cairan rumen yang digunakan untuk menghidrolisis TDL. Analisa aktifitas enzim pada domba yang mendapat pakan hijauan menunjukkan bahwa aktifitas enzim selulase sebesar 1,66 ± 0,19 IU/ml/menit dan amilase sebesar 1,32 ± 0,02 IU/ml/menit. TDL dengan kandungan komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Garcia et al. 1996) serta total karbohidrat 18,6 % (Kale, 1987) merupakan media yang sangat sesuai untuk kerja enzim selulase dan amilase. Peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan pula kandungan monosakarida yaitu glukosa akibat kerja enzim selulase dan amilase yang terkandung dalam rumen. Peningkatan penggunaan TDL pada taraf 15, 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis akan meningkatkan pula keberadaan glukosa dalam pakan, sehingga menghambat transport asam amino ke dalam saluran pencernaan. Terganggunya penyerapan protein dalam saluran pencernaan dapat dilihat data retensi protein pada perlakuan 20% TDL terhidrolisis dalam pakan yang mulai menurun. Hal ini terjadi sebagai
81
respon tubuh ikan nila yang tidak mampu memanfaatkan monosakarida yang masuk lewat pakan dalam waktu yang singkat. Peningkatan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dan TDl tanpa hidrolisis dalam pakan meningkatkan pula kandungan serat pakan perlakuan. Hasil uji in vitro pada tahap sebelumnya mendapatkan penurunan serat kasar sebanyak 53,64 %, TDL terhidrolisis dibandingkan TDL tanpa hidrolisis sebagai perlakuan kontrol. Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel tanaman yang terdiri dari rantai β-D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih kurang 14.000 (Stryer 1999).
Serat makanan akan tinggal dalam saluran
pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplex yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan.
Dilaporkan
makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat mengurangi bobot badan ikan (Hemre et al. 2002). Pernyataan tersebut tidak bersesuaian dengan penggunaan TDL tanpa hidrolisis, dimana peningkatan serat kasar pakan dengan meningkatnya taraf TDL, semakin meningkatkan nilai-nilai parameter pertumbuhan dan pemanfaatan pakan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan ikan nila untuk memanfaatkan karbohidrat kompleks seperti starch, dextrin yang lebih baik dibandingkan dengan karbohidrat sederhana seperti glukosa dan maltose. Pemanfaatan karbohidrat erat hubungannya dengan enzim karbohidrase atau amilase yang diproduksi di pankreas, lambung dan di dalam usus. Hidrolisis karbohidrat oleh enzim amilase akan menghasilkan karbohidrat sederhana yaitu mono/disakarida. Aktifitas enzim amilase menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis atau TDL tanpa hidrolisis dalam pakan. Nilai aktifitas enzim amilase pada saluran pencernaan perlakuan TDL terhidrolisis berada pada kisaran nilai
0,0758 –0,2148
82
(unit/ml/menit). Sedangkan nilai aktifitas enzim amilase TDL tanpa hidrolisis berkisar
0,06202 – 0,292466 unit/ml/menit. Tingginya aktifitas enzim pada
perlakuan 10, 15 dan 25 % TDL terhidrolisis dalam pakan mengambarkan kualitas karbohidrat yang lebih baik dibandingkan taraf yang sama pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis. Peningkatan aktifitas enzim saluran pencernaan ikan nila dengan meningkatnya penggunaan TDL dalam pakan merupakan bukti kemampuan ikan nila untuk memanfaatkan TDL yang kaya sumber karbohidrat sebagai sumber energi. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh De Silva dan Anderson, (1995) bahwa pada Oreochromis mossambicus, aktifitas amilase akan meningkat dengan peningkatan kandungan starch dalam pakan. Pengaruh keberadaan serat TDL dalam pakan dapat dilihat dari aktifitas enzim selulase dalam saluran pencernaan. Pada penelitian ini ikan nila yang mendapatkan perlakuan pakan berbasis nabati, aktifitas enzim selulase dapat terdeteksi walaupun nilai aktifitasnya adalah yang terendah dibandingkan dengan jenis enzim yang lain.
Aktifitas enzim selulase berhubungan jenis pakan dengan
kandungan serat pakan baik jenis maupun jumlahnya yang substrat yang tersedia untuk dicerna (Wong DWS, 1995).
Pada penelitian ini nilai aktifitas enzim
selulase senakin meningkat dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidroilsis di dalam pakan.
Beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa ikan tidak memiliki enzim selulase dan kemungkinan adanya populasi mikroba selulotik di saluran pencernaan ikan juga masih menjadi kontrofersi di kalangan peneliti (Stickney dan Shumway 1974; Prejs dan Blaszczyk 2006; Linsday dan Harris 1980; Lessel et al. 1986; Luczkovich dan Stellway 1993; Saha dan Ray 1998). Kontrofersi tersebut terbantahkan dengan data yang didapat pada penelitian ini, serta didukung pula oleh penelitian terbaru (Prejs dan Mieczyslaw 2006; Donovan et al. 2009; Li et al. 2004; Nibedita dan Koushik 2008) yang juga mendapatkan aktifitas enzim selulase pada saluran pencernaan ikan. Perlakuan kontrol tanpa penggunaan
TDL
memberikan
nilai
aktifitas
enzim
terendah
(0,0176
unit/ml/menit) dibandingkan seluruh perlakuan dengan TDL terhidrolisis maupun
83
TDL tanpa hidrolisis. Perlakuan hidrolisis TDL dengan cairan rumen domba dapat menurunkan kadar serat kasar sampai 53,84 %, sehingga tingginya serat yang terkandung pada TDL tanpa hidrolisis diindikasikan sebagai penyebab rendahnya retensi lemak tubuh.
Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar dicerna.
Serat dapat menghambat proses penyerapan lemak
serta membantu mengurangi asupan kalori.
Pada manusia fungsi utama selulosa
adalah untuk menyediakan bahan bulky (tidak dapat dicerna) yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran yang fungsinya dapat disamakan dengan fungsi serat dalam pakan ternak. Semakin banyak konsumsi serat, makin tinggi pula porsi lemak makanan yang terbuang lewat feses. Hal ini mengakibatkan kandungan lemak tersebut dibuang dan tidak diserap tubuh. Rendahnya retensi lemak dalam tubuh juga mengindikasi bahwa tingginya kandungan serat dalam pakan mempengaruhi penyimpanan lemak dalam tubuh melalui proses lipogenesis. (Djojosoebagio dan Pilliang, 1996). Kadar serat dari TDL dengan hidrolisis enzim rumen yang lebih rendah dari TDL tanpa hidrolisis juga diindikasi menjadi sebab nilai aktifitas enzim selulase pada perlakuan TDL terhidrolisis lebih rendah dari nilai aktifitas enzim selulase pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan substrat untuk dicerna oleh enzim selulase pada perlakuan yang menggunakan tepung daun TDL akan merangsang respon dari saluran pencernaan ikan nila untuk semakin banyak mensekresikan enzim selulase. TDL yang digunakan dalam penelitian ini adalah TDL yang sudah mengalami reduksi mimosin. Antinutrisi lainnya yang terkandung dalam TDL adalah asam fitat. Penurunan kandungan asam fitat TDL dengan inkubasi cairan rumen domba 100ml/kg sebesar 68,088 %, diharapkan dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari TDL sebagai bahan pakan untuk hewan-hewan monogastrik termasuk ikan yang tidak mampu menghidrolisis asam fitat karena keterbatasan enzim fitase di dalam saluran pencernaan.
Dilaporkan bahwa fitat mengurangi ketersediaan dari
mineral, menurunkan kecernaan protein yang diakibatkan oleh ikatan kompleks antara asam fitat dan protein serta menggangu proses penyerapan nutrient di dalam
84
pyhloric caeca (Francis et al. 2001). Tingginya kandungan fitat dalam TDL tanpa hidrolisis diduga menjadi penyebab rendahnya aktifitas enzim protease dibandingkan eksperimen dengan TDL terhidrolisis. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan adanya kemampuan fitat mengikat protein dan mineral di dalam digesta, yang sangat potensial untuk menghambat aktivitas enzim-enzim pencernaan. Conrad et al. (1996), menyatakan bahwa fitat menghambat aktivitas enzim tripsin. Metabolisme ini melibatkan chelat mineral dan menghilangkan kofaktor yang dibutuhkan enzim untuk dapat bekerja secara optimum. Penurunan kadar fitat TDL terhidrolisis diharapkan akan meningkatkan penggunaan mineral khususnya fosfor yang ada dalam TDL. Suplementasi fitase dengan inkubasi TDL dengan ekstrak enzim rumen domba diharapkan pula dapat mengurangi pengaruh negatif anti nutrisi dari asam fitat dan mengurangi biaya pakan sebagai dampak tidak dilakukannya suplementasi mineral fosfat anorganik. Dilaporkan keberadaan asam pitat 5-6 gram dalam pakan menggurangi pertumbuhan dari rainbow trout (Spinelli et al. 1983) dan ikan mas (Hossain dan Jauncey, 1993). sebelumnya tentang
Hasil penelitian ini didukung dengan beberapa laporan pengaruh penambahan fitase dalam pakan untuk
meningkatkan ketersediaan dan kecernaan P.
Teller et al. (1998) pada ikan
seabass (Dicentrarchus labrax) ukuran juvenil pemberian enzim fitase dalam pakan meningkatkan kecernaan P dari 63% menjadi 79,8%;
Masumoto et al.
(2001) pada ikan Japanese flounder ukuran 35 g dosis fitase 50 mg/100g tepung bungkil kedelai mampu meningkatkan ketersediaan P pada pakan; Yan dan Reigh (2002), pada ikan channel catfish ukuran 12 g, pemberian fitase 1000 unit/kg pakan mampu meningkatkan konsentrasi Ca, P dan Mg dalam tulang. Menurunnya kandungan asam fitat pada TDL dengan penambahan enzim rumen yang mengandung enzim fitase diharapkan dapat menurunkan limbah P yang dilepas ke perairan. Menurut Baruah et al. (2004), fosfor dalam pakan berada dalam berbagai bentuk, yaitu fosfor dalam kompleks protein dan lipid. Asam fitat mengikat fosfor yang tidak dapat dicerna oleh ikan akan dieksresikan oleh ikan ke
85
lingkungan dan selanjutnya akan mengalami degradasi oleh mikroba penghasil fitase dan akan melepaskan fosfor. Fosfor dalam jumlah besar akan masuk ke perairan yang dapat memicu timbulnya alga di perairan. Nilai retensi protein tertinggi perlakuan TDL terhidrolisis yaitu 40,70 % dicapai pada perlakuan 15 % TDL terhidrolisis, dimana nilai berbeda nyata dengan semua perlakuan lain.
Pada perlakuan yang sama dengan campuran TDL tanpa
hidrolisis didapat nilai retensi protein yang lebih rendah (22,70%).
Hal
diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan ketersediaan asam amino essensial dan peningkatan kualitas nutrisi TDL terhidrolisis pada uji in vitro dengan penurunan kadar serat kasar dan asam fitat.
Pada taraf 10% nilai retensi protein adalah
sebesar 24,98 % selanjutnya pada taraf 15 % nilai retensi protein akan meningkat tetapi pada taraf 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan nilai retensi protein mulai menurun (17,37; 16,79; 20,92 %). Sedangkan pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis peningkatan taraf TDL yang sama cenderung meningkatkan nilai retensi protein (17,38 % 20,57%. 24,68% ). Penurunan nilai retensi protein ini merupakan respon tubuh terhadap terganggunya penyerapan asam amino di dalam saluran pencernaan karena adanya glukosa dalam jumlah yang berlebihan. Parameter retensi nutrisi lainnya yang menjadi perhatian adalah kemampuan tubuh ikan nila untuk meretensi lemak. Meningkatnya kandungan karbohidrat sederhana pada TDL terhidrolisis juga berpengaruh pada nilai retensi lemak.
Nilai retensi lemak mengambarkan pula bentuk cadangan energi dalam
bentuk lemak. Pada taraf penggunaan 10, 15, 20 dan 25 % TDL terhidrolisis menghasilkan nilai retensi lemak yang jauh lebih tinggil dari taraf yang sama dengan TDL tanpa hidrolisis. Hal ini menggambarkan cadangan energi yang dimiliki ikan nila dengan pakan mengandung TDL terhidrolisis lebih besar daripada ikan nila dengan kandungan TDL tanpa hidrolisis.
Hal ini dapat
dijelaskan bahwa kelebihan glukosa yang ada di sel melalui jalur lipogenesis dapat dimanfaatan untuk disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak .sehingga retensi lemak meningkat.
86
Nilai retensi protein dan retensi lemak yang didapat pada penelitian dengan TDL terhidrolisis lebih baik dari nilai retensi protein yang dilaporkan oleh Abdel Hakim et al. (2008) pada ikan nila dengan bobot tubuh 30 ± 0.46 g. Dengan pengantian 30% bungkil kedelai dalam pakan dengan isi rumen yang dikeringkan; sunflower meal; dan sesame seed cake didapatkan nilai retensi protein sebesar 19.02; 19.63; 20.45%. dan nilai retensi lemak 9.02; 10.15; dan 11.51.
Sedangkan Gonzales
(2007) menggunakan tumbuhan sebagai dasar penyusun pakan larva ikan nila hanya mendapatkan nilai retensi protein 31,9%.
Ali et al. (2003) pada pakan
ikan nila menggunakan alfafa leaf meal pada taraf 5, 10, 15 dan 20 % didapatkan nilai retensi protein berturut-turut 35.30; 31.80; 29.81 dan 27.74%. Perbedaan nilai komposisi asam amino esensial serta jumlah karbohidrat sederhana yang berlebih diindikasi menjadi penyebab perbedaan nilai retensi protein ini. Terhambatnya absorbsi asam amino dalam saluran pencernaan oleh glukosa yang berlebih pada saluran pencernaan ikan dengan pakan mengandung 30% TDL terhidrolisis selain mempengaruhi nilai retensi protein juga akan berpengaruh pada nilai retensi lemak. Dimana pada perlakuan 30 % TDL terhidrolisis di dalam pakan, didapatkan nilai retensi protein sebesar 20,92 dan nilai retensi lemak sebesar 14,40%, sedangkan perlakuan dengan TDL tanpa hidrolisis dengan taraf yang sama didapat nilai retensi protein sebesar 24,68% dan retensi lemak 20,46%. Ketersediaan energi yang terbatas dalam bentuk protein pada perlakuan ini, mengakibatkan ikan berusaha memanfaatkan sumber energi yang lain yaitu lemak sehingga retensi lemaknya menjadi turun drastis dibandingkan perlakuan lain dengan TDL terhidrolisis. Ketersediaan glukosa dalam sel yang merupakan produk hidrolisis karbohidrat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh dan kebutuhan energi.
Setelah kebutuhan terpenuhi, glukosa yang tersisa akan merangsang
terjadinya proses
glikogenesis dan lipogenesis (Stryer, 2000).
Glikogenesis
adalah perubahan bentuk glukosa menjadi glikogen seperti yang terjadi di dalam hati dan otot.
Peningkatan aktifitas glikogenesis inilah yang menyebabkan
87
meningkatnya kadar glikogen hati pada ikan uji yang diberi pakan mengandung TDL terhidrolisis dibandingkan dengan TDL tanpa hidrolisis.
Nilai kadar
glikogen hati pada perlakuan TDL terhidrolisis berada pada kisaran 1,03 – 1,27(µg/g), sedangkan pada TDL tanpa hidrolisis berkisar 0,000267 - 0,001167 (µg/g).
TDL terhidrolisis dengan cairan rumen domba akan meningkatkan kadar
glukosa terlarut. Sehingga meningkatnya pemakaian TDL dalam pakan juga akan meningkatkan kandungan glukosa dalam pakan yang dikonsumsi. Pada Gibel carp yang bersifat omnivora, Tan et al. (2006) melaporkan perlakuan pakan selulosa menghasilkan kadar glikogen di hati dengan lebih tinggi dari ikan dengan perlakuan pakan glukosa dan dextrin serta sukrosa dan soluble starch serta tidak ada pengaruh perlakuan pada nilai hepatosomatik indeks. Pada penelitian ini tingginya kandungan glukosa terlarut pada TDL terhidrolisis perlakuan diduga menjadi penyebab didapatkan simpanan glikogen yang lebih tinggi pada perlakuan dengan TDL terhidrolisis dibandingkan TDL tanpa hidrolisis. Nilai HIS eksperimen 1 dengan menggunakan TDL terhidrolisis dalam pakan semakin meningkat dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis. Fakta ini diduga sebagai respon meningkatnya simpanan glikogen dengan meningkatnya kesediaan glukosa/karbohidrat sederhana di dalam pakan. Data HIS ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Hutchins et al. 1998
menyatakan bahwa ikan sunshine bass dengan pakan mengandung karbohidrat sederhana yang semakin meningkat dalam pakan mempunyai nilai HIS yang lebih besar dibandingkan ikan dengan pakan tanpa karbohidrat sederhana. Pada ikan flounder Lee et al. 2003 melaporkan nilai HIS lebih besar pada perlakuan pakan mengandung 15 % glukosa dan 15 % maltose dibandingkan dengan perlakuan yang mengandung dextrin. Fakta yang berbeda didapat pada eksperimen menggunakan TDL tanpa terhidrolis. Nilai HIS semakin menurun dengan meningkatnya taraf TDL dalam pakan. dengan nilai terkecil HIS 0,95%.
Menurunnya nilai HIS ini disebakan
karena lebih rendahnya simpanan glikogen yang didapat dari jalur glikogenesis.
88
Selain itu faktor keberadaan bahan antinutrisi asam fitat juga diduga menjadi penyebab semakin kecilnya nilai HIS dengan meningkatnya kandungan TDL dalam pakan. Seperti yang dilaporkan oleh Olude et al. (2008) menggunakan copra meal dan moringga leaf meal, dimana semakin banyak persentasenya dalam pakan maka nilai HIS akan semakin menurun. Untuk mengetahui pengaruh pakan dengan TDL terhidrolisis pada struktur hati dan usus dilakukan preparasi histologi pada kedua organ ini. Menurut Brauge et al. (1994) pada ikan rainbow trout, sintesis lemak yang berasal dari karbohidrat berlangsung di dalam hati.
Perubahan lemak dalam hati ikan nila dapat dilihat
pada sel hati yang bervakuola. Vakuola pada hepatosit terbentuk karena pada saat proses preparasi histologi lemak dalam hati akan dilarutkan oleh alkohol. Hepatosit yang bervakuola mengindikasikan adanya penyimpanan lemak dalam hati ikan nila. Pada perlakuan tanpa menggunakan TDL, memperlihatkan ukuran dari hepatosit yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan dengan menggunakan TDL.
Hal ini mengidikasikan tingginya proses lipogenesis yang
terjadi di dalam hati.
Sedangkan jumlah hepatosit pada perlakuan TDL, 10, dan
15 % TDL terhidrolisis dalam pakan lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan 20, 25 dan 30 % TDL dalam pakan.
Pada penggunaan 20 dan 25 % TDL
terhidrolisis dalam pakan bentuk vakuola terlihat tidak beraturan sedangkan pada 30 % TDL, ukuran vakuola terlihat lebih kecil dibandingkan perlakuan yang lain. Rendahnya jumlah hepatosit di dalam sel hati dapat pula mengindikasikan rendahnya aktifitas sintetis dari hati untuk mengsekresikan protein (Gonzalez et al..1993; Brusle dan Anadon 1996). Besarnya sintesis protein akan meningkatkan pula protein yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan protein yang diretensi oleh tubuh. Hal ini bersesuaian dengan hasil penelitian ini dimana pada perlakuan 10 % TDL terhidrolisis dengan nilai retensi protein yang lebih tingggi terlihat jumlah hepatosit yang lebih banyak dibanding perlakuan lainnya. Pada organ usus keberadaan sel vili berhubungan dengan proses penyerapan nutrisi. Mikrovili merupakan perluasan
sitoplasma sel-sel epitel ke
89
dalam lumen. Mikrovili ini berperan untuk memperluas permukaan penyerapan makanan. Sel-sel yang melapisi epitel ini dikenal juga sebagai sel silindris (Sel absorptif). Sel-sel ini menghasilkan lapisan glikoprotein dan mengandung enzimenzim seperti disakarida dan dipeptidase yang memecah gula dan peptida. Sel ini juga menghasilkan enterokinase dan fosfatase alkali. Pada seluruh perlakuan dengan menggunakan TDL terhidrolisis dapat ditemukan fili yang secara struktural tidak beda dengan perlakuan kontrol tanpa menggunakan TDL. Iji et al. (2001) menyatakan bahwa penurunan luas permukaan villi akan membatasi penyerapan sari-sari makanan. Secara histologi tidak terdapat penurunan luas villi dengan peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis di dalam pakan. Dilaporkan oleh Osuigwe (2006),
jack bean meal yang
mengandung antinutrisi protein
inhibitor, saponin dan lektin, semakin tinggi persentasenya dalam pakan akan mengakibatkan perubahan struktur usus. Keberadaan sel goblet
menjadi perhatian dalam saluan pencernaan
dikarenakan kemampuan sel goblet untuk mengeluarkan mucus yang befungsi untuk pertahanan terhadap infeksi atau partikel yang berbahaya.
Sel ini
menghasilkan glikoprotein asam yang membentuk lapisan pelindung pada permukaan lumen usus halus. Seperti sel-sel silindris, sel-sel goblet juga ditemukan sepanjang usus halus mulai dari duodenum sampai ileum. Pada seluruh perlakuan dengan TDL terhidrolisis sel goblet dapat dilihat dengan jelas pada sediaan preparat histologist, dimana sel-sel ini terletak di antara sel-sel silindris. Dasar sel ramping bewarna gelap dan berisi inti. Puncaknya menggembung berbentuk khusus karena berisi kumpulan butir-butir sekret mukus. Sel ini juga dibentuk dari sel induk yang disebut oligomukosa yang terdapat di dasar kriptus liberkuhn. Sel ini akan bermigrasi menuju lumen seiring dengan tingkat pematangan sel. Pada penelitian ini jelas terlihat sel goblet pada semua perlakuan dengan menggunakan TDL terhidrolisis. Ketersediaan karbohidrat sederhana dalam bentuk glukosa/monosakarida dan disakarida juga mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Profil glukosa
90
darah dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan karbohidrat sederhana yang didapat dari pakan yang dikonsumsi. Kadar glukosa dalam darah merupakan hasil perimbangan sesaat antara laju penyerapan glukosa dari saluran pencernaan ke aliran darah dan laju pemasukan glukosa darah ke dalam sel dalam proses metabolisme karbohidrat.
Semakin meningkat taraf TDL terhidrolisis
dalam
pakan ketersediaan mono/disakarida juga meningkat sehingga pemasukan glukosa ke dalam sel juga meningkat.
Kadar glukosa darah yang terus meningkat
mengindikasikan adanya aliran glukosa ke dalam darah yang lebih besar dibandingkan pemasukan glukosa darah ke dalam sel. Sebaliknya kadar glukosa darah akan menurun apabila aliran glukosa ke dalam darah lebih rendah dibandingkan pemasukan glukosa ke dalam sel.
Pada penelitian ini titik puncak
kadar glukosa darah pada seluruh perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis berada pada jam yang sama yaitu pada jam ke 8 dimana aliran glukosa ke dalam darah dan pemasukan glukosa darah ke dalam sel mengalami keseimbangan (Gambar 30 ). Perbedaan terdapat pada tingginya puncak yang dicapai. Pada perlakuan tanpa penggunaan TDL dalam pakan kadar glukosa darah memperlihatkan puncak kadar glukosa darah yaitu 75,8 mg/100ml yang nyata berbeda dengan perlakuan yang mengunakan TDL terhidrolisis yang menunjukkan nilai kadar glukosa darah yang lebih tinggi yaitu adalah
72,2; 95,2; 128,8; 163,6; 104,2 mg/100ml.
Tingginya kadar glukosa darah pada perlakuan yang menggunakan TDL terhidrolisis menciptakan kondisi hiperglikemia yaitu tingginya kadar gula dalam darah dalam waktu yang lebih lama. Hal ini berkaitan dengan mekanisme lapar dan kenyang pada ikan. Dimana kadar glukosa darah yang turun lambat akan membuat lambatnya sinyal lapar dikirimkan ke otak, sehingga konsumsi pakan juga akan berkurang. Hal ini terlihat pada kenyataan pada penelitian ini dimana semakin meningkatnya jumlah TDL terhidrolisis yang digunakan maka jumlah konsumsi pakan semakin menurun sehingga berimbas pada asupan nutrient dan
91
selanjutnya mengurangi ketersediaan bahan yang diperlukan untuk pertumbuhan sehingga LPH juga menurun. Adanya peningkatan retensi protein dan lemak selanjutnya akan sangat berpengaruh
pada nilai laju pertumbuhan harian (LPH).
Pada penelitian ini
didapatkan nilai LPH perlakuan dengan pemakaian TDL terhidrolisis 10 % (2,68%) dan 15 % (2,38%) memberikan hasil yang tertinggi di antara semua perlakuan dengan TDL terhidrolisis pada eksperimen 1.
Pada taraf penggunaan
TDL dalam pakan yang sama pada eksperimen 2, nilai LPH yang dihasilkan lebih rendah yaitu 1,32% (10% TDL) dan 1,50 (15% TDL).
Nilai LPH, retensi protein
dan lemak TDL terhidrolisis yang lebih baik ini membuktikan telah terjadi peningkatan kualitas dari TDL. Nilai LPH yang lebih tinggi pada pennggunaan 10 dan 15% TDL terhidrolisis dalam pakan dengan jumlah pakan yang sama akan menghasilkan efisiensi pakan yang lebih tinggi pula. Bukti lain peningkatan kualitas nutrisi TDL terhidrolisis adalah pada eksperimen satu dengan menggunakan TDL terhidrolisis jumlah pakan yang dikonsumsi lebih sedikit yaitu berada pada kisaran 169,64 – 191,83 gram tetapi dapat menghasilkan efisiensi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan TDL tanpa hidrolisis dengan jumlah konsumsi pakannya lebih besar. Dalam udaha budidaya pakan menjadi komponen biaya yang sangat menentukan Apabila konsumsi pakan dapat ditekan tetapi pertumbuhan dan efisiensi pakan pakan dapat lebih baik, maka biaya produksi akan berkurang sehingga diharapkan keuntungan pembudidaya akan semakin meningkat. Respon ikan nila yang lebih baik untuk memanfaatkan TDL terhidrolis pada taraf 10 dan 15% dalam pakan dibandingkan dengan TDL tanpa hidrólisis pada taraf yang sama sebagai sumber karbohidrat pakan untuk sumber energi, dibuktikan pula dengan perbedaan nilai efisiensi pakan. Nilai efisiensi pakan perlakuan TDL terhidrolisis 10 dan 15 % mencapai
70,52 dan 60,10 %, nilai ini
lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan
perlakuan kontrol (54,17%). Sedangkan TDL tanpa hidrolisis pada taraf yang sama hanya mencapai nilai efisiensi pakan 30,57 dan 35,74 %.
92
Metode yang berbeda untuk meningkatkan kualitas TDL telah pula dilaporkan beberapa peneliti. Wee dan Wang (1987) menggunakan TDL yang direndam dalam air selama 48 jam pada taraf 25, 50, 100% dalam pakan Oreochromis niloticus, dengan kadar protein yang lebih tinggi dari penelitian ini yaitu 30% mendapatkan nilai LPH 6,6; 3,6 dan 1,8%, sedangkan pada perlakuan kontrol tanpa penggunaan TDL dengan kadar protein pakan 21% didapatkan nilai LPH sebesar 3,03%. Terlihat adanya penurunan pertumbuhan dan nilai efisiensi pakan dengan meningkatnya penggunaan TDL dalam pakan. Osman et al. (1996) melaporkan bahwa TDL yang dikeringkan dengan sinar matahari memberikan pertumbuhan yang lebih baik pada nila dibandingkan TDL yang ditambahkan sodium hidroksida. Sedangkan penelitian pada ikan dengan ukuran yang yang lebih besar dilakukan oleh Santiago et al. (1982) pada induk jantan dan betina Oreochromis niloticus yang dipelihara pada bak semen dengan pergantian air setiap minggu. Dimana respon persentase pertambahan berat badan ikan betina rata-rata akan semakin menurun dengan peningkatan penggunaan TDL dalam pakan sedangkan pada ikan jantan pada pada pemakaian TDL taraf 80% respon persentase pertambahan berat badan rata-rata nyata menurun dengan drastis. Nilai LPH pada penggunaan TDL terhidrolisis taraf 10 dan 15% dalam pakan yang tidak berbeda (P>0,05) dengan perlakuan kontrol tanpa penggunaan TDL dalam pakan.
Hal ini diindikasi sebagai respon ikan nila untuk
memanfaatkan karbohidrat pakan sebagai sumber energi atau disebut protein sparing action untuk pertumbuhan.
Protein dapat dimanfaatkan maksimal untuk
pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak, tidak sebagai sumber energi. Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting meskipun kandungan kerbohidrat dalam pakan berada dalam jumlah yang relatif rendah. Karbohidrat dalam pakan dapat berupa serat kasar serta bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (NRC, 1993).
BETN
mengandung banyak gula dan pati yang bersifat mudah dicerna sedangkan serat kasar kaya akan lignin dan selulosa yang sukar untuk dicerna. Menurut Zonneveld et al.. (1991) meskipun karbohidrat bukan merupakan energi yang superior bagi
93
ikan melebihi protein dan lemak,
karbohidrat yang dicerna dari pakan bisa
digunakan sebagai sumber energi. Penelitian tentang respon ikan nila terhadap pakan dengan sumber karbohidrat yang berasal dari glukosa telah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Lin dan Shiau (1995) ; Hsieh dan Shiau (2000) mengemukakan bahwa ikan nila yang mendapatkan sumber karbohidrat yang berasal dari glukosa menghasilkan pertambahan bobot tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan disakarida dan starch. Hal ini sesuai pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa ikan omnivora mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dengan pakan yang mengandung polisakarida (Furuichi dan Yone 1982; Shiau dan Peng 1993; Erfanullah dan Jafri 1998; Lin dan Shiau 1995; Hutchins et al. 1998; Lee at al. 2003; Tan et al. 2006. Sedangkan Wilson dan Poe (1987) melaporkan bahwa pertumbuhan dan pemanfaatan pakan ikan nila lebih tinggi dengan kandungan 33% polisakarida (dextrin dan corn starch) dalam pakan dibandingkan dengan pakan yang mengandung mono/disakarida. Beberapa penelitian melaporkan bahwa food habbit sangat mempengaruhi kemampuan ikan untuk memanfaatkan jenis karbohidrat sebagai sumber energi. Kemampuan untuk mencerna karbohidrat pakan ikan air tawar lebih tinggi dari ikan air laut (Wilson dan dan Poe 1987), dan ini dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan karbohidrat dalam pakan dan tingkat kampleksitas dari karbohidrat tersebut (Hutchins et al.. 1998). Pada jenis ikan omnivora catla-catla (Erfanullah dan Jafri 1998), Oreochromis niloticus dan O. aureus (Shiau dan Peng 1993), flounder (Paralichthys olivaceus) Lee at al. 2003; gibel carp, Carassius auratus gibelio (Tan et al. 2006) dan channel catfish (Wilson dan Poe 1987) dilaporkan pemanfaatan karbohidrat kompleks seperti dextrin, strarch
lebih efisien
dibandingkan karbohidrat sederhana seperti glukosa, maltose dan sukrosa. Penelitian yang dilakukan oleh Tan et al. (2006) tentang pengaruh pemanfaatan sumber karbohidrat yang berbeda
pada ikan dengan food habbit yang berbeda,
yaitu ikan Gibel carp (Carassius auratus) yang besifat omnivora dan Chinese
94
longsnout catfish (Leiocassis longirostris Gunter) yang bersifat karnivora menghasilkan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pakan mengandung starch dan glukosa. Pada penelitian ini, walaupun telah terjadi peningkatan kualitas dari TDL terhidrolisis, penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan yang semakin meningkat kurang berefek pada peningkatan LPH. Hal ini terlihat dengan menurunnya nilai LPH pada perlakuan dengan menggunakan TDL terhidrolisis 20; 25 dan 30 %. Pada taraf yang sama, nilai LPH pada perlakuan yang menggunakan TDL tanpa terhidrolisis menunjukkan nilai yang semakin meningkat sampai 1,97%. Pada uji in vivo terjadi peningkatan nilai glukosa terlarut TDL terhidrolisis yang diinkubasi selama 24 jam dengan enzim caiaran rumen domba.
Peningkatan ini
menggambarkan peningkatan ketersediaan karbohidrat sederhana pada TDL terhidrolisis sehingga peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan akan semakin meningkatkan pula ketersediaan karbohidrat sederhana dalam pakan. Seperti dijelaskan sebelumnya, walaupun ikan nila mampu menggunakan karbohidrat sederhana sebagai sumber energi, tetapi keberadaan glukosa dalam jumlah yang berlebihan dapat menurunkan penyerapan asam amino, jumlah pakan yang dikonsumsi, retensi protein, retensi lemak dan selanjutnya menurunkan nilai LPH.
Pemanfaatan enzim cairan rumen domba untuk meningkatkan kualitas
bahan baku pakan ikan khususnya TDL dapat dimaksimalkan dengan mengatur waktu inkubasi yang digunakan.
Dimana waktu inkubasi akan sangat
mempengaruhi jumlah karbohidrat kompleks yang dapat dihidrolisis oleh enzim rumen menjadi karbohidrat sederhana. Potensi kandungan multienzim hidrolisis yang dimiliki cairan rumen domba dengan waktu inkubasi yang tepat diharapkan akan menghasilkan komposisi karbohidrat sederhana yan tidak berlebihan sehingga pemanfaatnya dalam pakan dapat ditingkatkan tanpa menggangu kinerja dari pertumbuhan ikan.