IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAK ETANOL DAUN TEMBAKAU Peng et al. (2004) menyatakan bahwa karakteristik sampel termasuk kadar air yang terkandung di dalamnya dapat mempengaruhi kualitas hasil ekstrak dan rendemen yang diperoleh. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pengujian kadar air terhadap sampel terlebih dahulu sebelum proses soxletasi untuk mengetahui keterkaitan karakteristik awal sampel dengan hasil rendemen yang akan di peroleh. Pengukuran kadar air daun tembakau sampel A dan B menunjukkan nilai 12.37% dan 10.69%. Tingginya nilai kadar air tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah rendemen yang dihasilkan pada proses ekstraksi sampel. Berdasarkan data diketahui bahwa kadar air daun tembakau sampel B lebih rendah dibandingkan pada sampel A. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik bahan bakunya sendiri. Daun tembakau sampel B merupakan bagian daun pada batang tembakau yang rusak dan sudah mengalami kekeringan pada sebagian daunnya sejak masih menyatu pada batang tanaman. Pada penelitian, nilai kadar air yang lebih baik terdapat pada sampel B (10.69%) dibandingkan sampel A (12.37%). Hal itu dikarenakan rendahnya kadar air di dalam sampel B dapat meminimalkan peluang kontaminasi oleh mikroorganisme. Mikroorganisme seperti bakteri dan kapang dapat tumbuh pada kondisi yang berkadar air secara berturut-turut adalah 7.5% dan 8% (Winarno 2002). Adanya nilai kadar air yang tinggi berisiko menjadi peluang kontaminasi oleh kapang dan bakteri apabila sampel disimpan dalam jangka waktu yang lama sebagai stok bahan baku. Namun demikian, kadar air sampel yang tinggi pada penelitian ini tidak berpeluang menimbulkan kontaminan karena kedua sampel hanya mengalami penyimpanan selama dua hari. Setelah penentuan kadar air, dilakukan proses ekstrak daun tembakau untuk mendapatkan ekstrak etanol yang akan digunakan sebagai bahan uji penelitian. Proses ekstraksi sampel pada penelitian ini menggunakan metode soxletasi dengan pelarut etanol (alkohol teknis 96%) yang mengacu pada penelitian sebelumnya. Puspita et al. (2010) telah menggunakan 3 metode ekstraksi tembakau yang meliputi soxletasi, maserasi, dan ultrasonik dengan masing-masing menggunakan pelarut heksan pro analisis, kloroform pro analisis, dan alkohol teknis 96%. Data hasil ekstraksi sebelumnya menunjukkan rendemen terbaik ekstraksi dendeng tembakau menggunakan metode soxletasi dengan pelarut alkohol teknis 96% yaitu 14.56%. Hal itu didukung pula oleh penelitian (Stanisavljevic et al. 2009) yang mengemukakan bahwa proses ekstraksi benih tembakau dengan metode soxletasi menghasilkan rendemen tertinggi (31.1 g/100 g) dibandingkan dengan metode maserasi (19.9 g/100 g) dan ultrasonifikasi langsung (21.0 g/100 g). Dengan demikian, metode soxletasi merupakan rekomendasi pilihan terbaik untuk mengekstrak daun tembakau pada penelitian ini agar diperoleh rendemen yang optimum. Prinsip kerja motode ekstraksi dengan soxletasi adalah adanya pemanasan dan perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel. Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas dan melewati pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas lubang pipa samping soxlet akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik (Harborne 1987). Harborne (1987) menambahkan keuntungan metode soxletasi sebagai berikut: 1) cairan pelarut yang
17
diperlukan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat; 2) simplisisa disari oleh pelarut yang selalu baru sehingga dapat menarik zat aktif yang lebih banyak; 3) dan penyarian dapat diteruskan sesuai keperluan tanpa menambah volume pelarut. Sementara itu, kelemahannya adalah: 1) tidak baik untuk zat aktif yang tidak tahan panas, tetapi kondisi itu dapat diperbaiki dengan menambahkan peralatan untuk mengurangi tekanan udara; 2) adanya pendidihan pelarut terus-menerus sehingga mempengaruhi kualitas pelarut. Rendemen ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B yang diperoleh pada penelitian ini adalah 22.20% (b/b) dan 14.42% (b/b) dalam satuan basis basah. Besar rendemen ekstrak etanol pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Podlejski dan Olejniczak (1983) yang menyatakan bahwa ekstrak benzena dan petroleum eter daun tembakau secara berturut-turut adalah 7.42 % (b/b) dan 6.20 % (b/b) yang dinyatakan dalam satuan basis kering. Diduga bahwa rendemen sebenarnya yang seharusnya dihasilkan lebih kecil daripada nilai rendemen yang diketahui dari hasil penelitian. Tingginya hasil rendemen yang diperoleh pada ekstrak etanol daun tembakau Temanggung itu kemungkinan dipengaruhi oleh adanya kadar air dalam rendemen ekstrak yang belum dipisahkan. Kadar air pada sampel A (12.37%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel B (10.69%) memberikan pengaruh terhadap tingginya rendemen sampel A (22.20%) yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan sampel B (14.42%). Dugaan terdapatnya kadar air pada ekstrak etanol daun tembakau juga dapat dilihat dari karakteristik fisik hasil ekstrak yang berbentuk pasta. Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya kandungan air yang belum terpisahkan. Berdasarkan data rendemen ekstrak etanol daun tembakau diketahui bahwa daun tembakau sampel A (22.20%) menghasilkan ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel B (14.42%). Rendemen ekstrak tersebut diasumsikan hanya mengandung sisa pelarut yang tertinggal dalam jumlah kecil karena telah dilakukan pengeringan ekstrak. Pengeringan ekstrak etanol daun tembakau berlangsung selama 3 jam dengan suhu 40ÂșC hingga diperoleh tembakau serbuk yang kering. Perlakuan pengeringan bertujuan menguapkan sisa pelarut etanol. Berdasarkan kadar rendemen, terlihat bahwa daun tembakau sampel A lebih baik digunakan untuk kepentingan produksi karena besarnya rendemen yang dihasilkan. Penggunaan etanol juga didasarkan oleh keunggulannya sebagai pelarut zat bioaktif. Pelarut etanol tidak bersifat toksik, tidak menyebabkan pembengkakan membran sel, dan mampu mengendapkan albumin serta menghambat kerja enzim. Etanol juga efektif menghasilkan bahan aktif yang optimal karena hanya terdapat sedikit kehilangan (loss) produk yang larut dalam pelarut (Voight 1995). B.
KOMPONEN FITOKIMIA EKSTRAK ETANOL DAUN TEMBAKAU Analisis fitokimia merupakan pengujian ekstrak etanol daun tembakau secara kualitatif yang bertujuan mengetahui jenis senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tembakau sampel A mengandung alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan steroid. Sementara itu, ekstrak etanol daun tembakau sampel B mengandung alkaloid, flavonoid, dan terpenoid (Tabel 5). Ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B menunjukkan hasil positif terhadap kandungan alkaloid yang dilihat berdasarkan hasil pengujian menggunakan pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendrof dengan adanya endapan putih, warna coklat, dan warna merah jingga (Gambar 3). Kadar alkaloid dalam ekstrak etanol daun tembakau tersebut secara kualitatif terlihat tinggi dan sangat tinggi untuk sampel A dan B. Dengan demikian, dapat diduga bahwa
18
alkaloid merupakan salah satu senyawa kimia tumbuhan yang mendominasi daun tembakau. Sementara itu, secara kualitatif pula dapat dilihat bahwa sampel B mengandung alkaloid yang lebih tinggi dibandingkan sampel A dengan adanya perubahan warna pada pengujian kimia yang tampak lebih jelas (Gambar 3). Tabel 5. Hasil uji fitokimia ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B Hasil Pengujian Sampel A Sampel B Alkaloid - Meyer ++++ +++++ - Wagner ++++ +++++ - Dragendrof ++++ +++++ Flavonoid +++ +++ Terpenoid +++ +++ Steroid ++++ Keterangan: + ++ +++
: sangat rendah : rendah : sedang
++++ +++++
: tinggi : sangat tinggi
Sampel B Sampel A Meyer
Wegner
Dragendof
Gambar 3. Hasil uji alkaloid Senyawa alkaloid adalah senyawa alami amina yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 1993). Menurut Andersen et al. (1991), senyawa alkaloid pada tembakau adalah penentu aroma yang terkait dengan kualitas tanaman tembakau. Senyawa tersebut didominasi oleh nikotin hingga 95% (Shen et al. 2006) yang bersifat karsinogenik. Senyawa alkaloid lainnya yang juga terkandung dalam tembakau adalah nornikotin dan anabasin yang dapat menimbulkan kecanduan apabila dikonsumsi (Nugroho et al. 2002). Pada tembakau, nikotin yang terkandung di dalamnya digunakan sebagai zat pertahanan diri dari serangan lingkungan (Wink 1998). Oleh karena itu, produksi nikotin semakin meningkat saat tanaman mulai mengalami kerusakan. Produksi nikotin mencapai kondisi maksimum ketika selang waktu 9 hari setelah terjadi kerusakan awal (Baldwin 1989). Hal tersebut dibuktikan juga oleh penelitian Misuzaki et al. (1973) yang menyatakan bahwa pemangkasan daun tembakau menyebabkan peningkatan produksi nikotin oleh tembakau. Dengan demikian, kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak sampel B memiliki kadar alkaloid yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak sampel A. Telah diketahui bahwa sampel B merupakan daun tembakau dengan karakteristik fisik yang banyak mengalami luka akibat letaknya pada bagian bawah batang tanaman sehingga lebih rentan mengalami gangguan dari
19
lingkungannya. Dengan demikian, diduga daun tersebut (sampel B) memproduksi nikotin yang tergolong alkaloid lebih banyak sebagai bentuk pertahanan diri terhadap lingkungannya. Senyawa nikotin yang tergolong alkaloid tersebut telah diujikan kemampuan aktivitas antibakterinya terhadap beberapa strain bakteri oleh Pavia et al. (2000). Adanya nikotin dalam media cair yang di dalamnya ditumbuhkan bakteri S. aureus, E. coli, Mycobcterium phlei, dan Viridians streptococci dapat menghambat pertumbuhan bakteri secara berurutan pada konsentrasi minimum >10%, >10%, >0%, dan >0%. Kemampuan aktivitas antibakteri oleh ekstrak nikotin daun tembakau ditunjukkan dengan adanya penurunan total bakteri uji dalam media cair (cgu/ml). Senyawa kimia lainnya yang terdapat pada tumbuhan adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan berbentuk aglikol maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Middleton dan Chitan 1994). Pada pengujian fitokimia senyawa flavonoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B, ditunjukkan terjadinya perubahan warna reaksi menjadi merah (Gambar 4). Hal itu menjadi dasar pendugaan adanya senyawa flavonoid pada daun tembakau yang kadarnya tergolong sedang untuk kedua jenis sampel. Dugaan tersebut sesuai dengan penelitian oleh Fathiazad et al. (2006) yang berhasil membuktikan adanya flavonid pada daun tembakau. Jenis flavonoid yang berhasil diisolasi tersebut adalah rutin. Rutin dapat berfungsi mengobati diabetes (Grinberg et al. 1994), meregenerasi sel, serta bersifat anti tumor (Sambantham 1985). Rutin juga dapat dipakai untuk pewarna makanan dan minuman (Evans 1996).
Sampel A
Sampel B Gambar 4. Hasil uji flavonoid Kelompok fenol yang mencakup senyawa flavonoid diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus, E. coli, dan B. subtilis. Zona hambat yang terbentuk pada media tumbuh ketiga bakteri tersebut di media agar oleh polifenol dengan konsentrasi 1 mg /ml secara berurutan adalah 17.7 mm, 20.2 mm, dan 12.9 mm. Steroid dan terpenoid juga ditemukan sebagai senyawa fitokimia dalam ekstrak etanol daun tembakau sampel A yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna keunguan dan hijau pada pengujian fitokimia (Gambar 5). Sementara itu, pada ekstrak etanol daun tembakau sampel B tidak ditemukan adanya steroid. Adanya dugaan senyawa steroid dan terpenoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A sesuai dengan karakteristik warna dan aromanya. Ekstrak etanol daun tembakau sampel A berwarna hijau, selaras dengan sifat steroid yang berwarna hijau (Cowan 1999). Selain itu, aromanya juga khas, sesuai dengan sifat steroid yang tergolong terpenoid, yaitu komponen minyak atsiri yang memiliki kekhasan aroma (Gunta et al. 1985). Hal itu berbeda dengan ekstrak etanol daun tembakau sampel B yang berwarna coklat dan tidak beraroma khas sehingga diduga tidak mengandung steroid dan telah dibuktikan melalui pengujian fitokimia secara kualitatif.
20
Sampel A Sampel B Gambar 5. Hasil uji steroid dan terpenoid Kandungan terpenoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B tergolong sedang berdasarkan penilaian kualitatif, sedangkan steroid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A tergolong kuat. Hal itu menunjukkan bahwa steroid merupakan senyawa yang menyusun sebagian besar komponen terpenoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A. Sementara itu, tidak adanya kandungan steroid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel B pada pengujian fitokimia menunjukkan pula bahwa senyawa terpenoid dalam kandungan ekstrak tersebut diduga tersusun atas senyawa selain steroid. Senyawa steroid dan terpenoid yang tergolong komponen minyak atsiri telah dibuktikan kemampuan antibakterinya terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa pada konsentrasi 1 mg/ml (Palic et al. 2002). Diameter zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi tersebut terhadap bakteri uji secara berurutan adalah 15.2 mm, 15.0 mm, dan 15.2 mm.
C. AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK TERHADAP BAKTERI S. aureus DAN E. coli
DAUN
TEMBAKAU
Pengujian aktivitas antibakteri oleh ekstrak daun tembakau dapat dilakukan dengan mengukur daya hambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli. Hal itu dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada agar yang diisikan ekstrak sampel. Pengukuran itu bertujuan mengetahui potensi senyawa bioaktif pada ekstrak daun tembakau dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Hasil penelitian tentang parameter aktivitas antibakteri pada ekstrak etanol daun tembakau yang dapat disajikan hanya untuk sampel A (yaitu daun tembakau yang dipetik dari batang tembakau bagian atas dan tengah). Sementara itu, pengujian parameter daya aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etanol daun tembakau sampel B pada tahap penelitian ini tidak diuji lanjut karena data yang diperoleh kurang layak sedangkan kendala waktu tidak memungkinkan untuk melakukan pengujian ulang. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun tembakau sampel A dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat pada berbagai konsentrasi ekstrak etanol (20% b/v, 40% b/v, 60% b/v, 80% b/v, dan 100% b/v) sehingga diperoleh nilai daya hambat tumbuh bakteri. Zona hambat tersebut berupa zona bening yang merupakan zona yang tidak ditumbuhi oleh bakteri. Selain itu digunakan pula kontrol positif (tetrasiklin) dan kontrol negatif (DMSO). Tetrasiklin yang digunakan dalam penelitian ini tergolong senyawa antibiotik yang menghambat bakteri dengan cara merusak mekanisme sintesis protein pada sel bakteri. Penggunaan tetrasiklin sebagai kontrol positif tersebut dikarenakan daya spektrum menghambatnya yang luas yaitu terhadap bakteri Gram negatif dan positif (Fardiaz et al. 1987). Sementara itu, pengunaan DMSO sebagai pelarut dan kontrol negatif didasarkan atas sifatnya yang dapat melarutkan senyawa hidrokarbon
21
(Merck 1986) seperti senyawa bioaktif dalam daun tembakau tanpa berpengaruh terhadap pengujian aktivitas antibakteri ekstrak sampel. Perlakuan diberikan terhadap bakteri uji S. aureus (Gram positif) dan E. coli (Gram negatif). Kekuatan daya hambat terhadap bakteri tersebut dapat dinilai dari ukuran zona bening yang terbentuk yaitu daerah yang tidak ditumbuhi oleh bakteri (Kusumaningjati 2009). Penentuan sifat daya hambat bakteri pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Davis-Stout bahwa daya hambat bakteri tergolong sangat kuat bila bernilai >20 mm, kuat bila bernilai 10-20 mm, sedang bila bernilai 5-10 mm, dan tergolong lemah bila bernilai <5 mm. Tabel 6 menunjukkan kekuatan aktivitas antibakteri oleh ekstrak etanol daun tembakau sampel A berdasarkan pengukuran diameter zona hambat yang terbentuk pada pengujian daya hambat tumbuh bakteri. Tabel 6. Diameter zona hambat (mm) ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap bakteri S. aureus dan E. coli Perlakuan
S. aureus
E. coli
Kontrol (+) / Tetrasiklin 10% Kontrol (-) / DMSO Konsentrasi ekstrak 20% (b/v) Konsentrasi ekstrak 40% (b/v) Konsentrasi ekstrak 60% (b/v) Konsentrasi ekstrak 80% (b/v) Konsentrasi ekstrak 100% (b/v)
29.5 0 4 6 6 7 7
37 0 4 6 6 8 8
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa ekstrak etanol daun tembakau sampel A memiliki kemampuan antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli dengan adanya zona hambat terbentuk (Gambar 6). Pada konsentrasi 20%, daya hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap S. aureus dan E. coli tergolong lemah (4 mm). Sementara itu, daya hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap S. aureus dan E. coli tergolong sedang pada konsentrasi 40%-100% b/v. Dengan demikian, ekstrak etanol daun tembakau pada rentang konsentrasi 20-100% b/v tidak memiliki aktivitas yang kuat dalam menghambat bakteri S. aureus maupun E. coli (5-10 mm). Hal itu dimungkinkan karena rentang konsentrasi 20% b/v hingga 100% b/v tersebut terlalu rendah bagi senyawa antibakteri pada daun tembakau untuk bekerja optimal. Pada konsentrasi tersebut kemungkinan telah terbentuk kompleks protein dengan senyawa antibakteri melalui ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian. Akibatnya senyawa antibakteri belum mampu mengkoagulasi protein serta melisis sel bakteri. Dengan demikian, daun tembakau lokal asal Temanggung memiliki aktivitas antibakteri yang rendah, tidak sekuat daun tembakau jenis Prilep (Palic et al. 2002) dan Oltja (Stojanovic et al. 2000) dalam menghambat bakteri S. aureus (15.2 mm & 15.0 mm) maupun E. coli (15.4 mm & 15.0 mm). Kemungkinan lainnya yang menjadi penyebab lemahnya daya hambat tumbuh bakteri S. aureus dan E. coli oleh ekstrak etanol tembakau adalah faktor kemurnian konsentrasi ekstrak yang digunakan. Nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan sebagai sampel uji diduga masih mengandung air sehingga konsentrasi sebenarnya yang digunakan lebih rendah daripada nilai yang digunakan dalam pengujian. Dengan demikian, adanya kandungan air dalam ekstrak berpengaruh negatif pada kemampuan hambat tumbuh bakteri S. aureus dan E. coli.
22
Nilai daya hambat tumbuh bakteri S. aureus dan E. coli oleh ekstrak etanol daun tembakau menunjukkan nilai yang secara umum lebih rendah (<10 mm) bila dibandingkan dengan senyawa atsiri dan polifenol daun tembakau. Nilai daya hambat tumbuh bakteri oleh senyawa atsiri daun tembakau jenis Prilep dapat mencapai 15.2 mm dan 15.0 mm terhadap bakteri S. aureus dan E. coli (Palic et al. 2002). Sementara itu, nilai daya hambat tumbuh bakteri oleh senyawa polifenol daun tembakau dapat mencapai 17.6 mm dan 20.2 mm terhadap bakteri S. aureus dan E. coli (Wang 2008). Dengan demikian, penggunaan ekstrak kasar etanol daun tembakau tidak mampu memberikan pengaruh aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan ekstrak yang telah dimurnikan menjadi flavonoid dan polifenol. Hal itu berbeda dengan kontrol positif (tetrasiklin 10%) yang memberikan nilai diameter zona bening pada S. aureus dan E. coli sebesar 29 mm dan 37 mm yang keduanya memiliki aktivitas antibakteri yang tergolong sangat kuat. Adanya ukuran diameter zona hambat bakteri oleh tetrasiklin sebagai kontrol positif dikarenakan keunggulannya sebagai antibiotik berspektrum luas. Sementara itu, kontrol negatif (DMSO) tidak menunjukkan adanya zona bening yang berarti bahwa peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun tembakau. Data pada tabel 6 juga menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 20%-60% b/v memiliki aktivitas antibakteri yang sama terhadap kedua bakteri uji (S. aureus dan E. coli). Pada konsentrasi yang tinggi (60%-80% b/v) terlihat perbedaan daya hambat ekstrak terhadap kedua jenis bakteri uji. Pada konsentrasi itulah, senyawa bioaktif ekstrak dapat berpenetrasi optimal ke dalam sel bakteri dan membuatnya lisis.
60% 40%
40% 20%
20% 60%
80%
100%
80%
100% 60%
S. aureus
60%
E. coli
Gambar 6. Zona hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap bakteri S. aureus dan E. coli Ekstrak etanol daun tembakau sampel A pada konsentrasi 80% b/v dan 100% b/v memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik terhadap E. coli (8 mm) dibandingkan S. aureus (7 mm) berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk (Gambar 6). Hal itu dipengaruhi oleh adanya sifat dinding sel bakteri Gram negatif (E.coli) yang lebih tipis (5-80 nm) dibandingkan dengan Gram positif (10-15 nm). Perbedaan ketebalan tersebut menyebabkan bakteri Gram negatif lebih mudah untuk dihambat aktivitasnya dengan cara merusak dinding sel bakteri (Pelczar & Chan 1998). Adanya aktivitas antibakeri pada pengujian ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap S. aureus dan E. coli diduga dipengaruhi oleh kandungan senyawa antibakteri berupa komponen
23
bioaktif pada sampel. Hasil pengujian fitokimia sebelumnya membuktikan bahwa ekstrak etanol daun tembakau sampel A mengandung alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan steroid. Senyawasenyawa tersebut bersifat antibakteri dengan mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri yang khas sesuai dengan karateristiknya masing-masing. Pada prinsipnya, mekanisme kerja senyawa alkaloid sebagai antibakteri adalah kemampuannya mengganggu sintesis DNA dan dinding sel (Cowan 1999). Namun demikian, penggunaan kadar alkaloid yang berlebihan dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme sasaran. Resistensi merupakan masalah individual epidemilogi yang menggambarkan ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah hidup (Setiabudy dan Gan 1995), resistensi karena adanya faktor R pada sitoplasma (resistensi ekstrak kromosomal) atau resistensi karena pemindahan gen yang resistensi atau faktor R atau plasmid (Wattimena et al 1991). Senyawa lainnya pada ekstrak daun tembakau pada penelitian ini yang juga diduga berperan sebagai antibakteri adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol (Middleton dan Chitan 1994). Harborne (1993) menyatakan bahwa flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antibakteri, dan antivirus, serta mengatur kerja antiserangga. Hal itu dikarenakan flavonoid memiliki spektrum aktivitas antibakteri yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu 2000). Mekanisme antibakteri flavonoid ialah dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Diketahui bahwa membran sitoplasma berperan mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur keluar masuknya bahan-bahan bagi sel. Membran berfungsi memelihara integritas komponen-komponen seluler. Zat antibakteri akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada membran sel. Kerusakan pada membran ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel bahkan menyebabkan sel mati (Akiyama et al 2001). Selain itu Dwidjoseputro (1994) mengemukakan bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol sementara senyawa fenol dapat bersifat koagulator protein. Senyawa steroid dan terpenoid yang merupakan golongan minyak atsiri turut pula diduga sebagai senyawa yang berperan sebagai antibakteri. Nychas dan Tassou (2000) menyatakan bahwa minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Mekanisme kerusakan dinding sel disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya juga mengandung fenol yang merupakan gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil (Beuchat 1994). Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dan Dewi 2008).
24