IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Tepung Kacang Hijau Sangrai Kacang hijau varietas Betet yang digunakan dalam pembuatan cookies dibuat dalam bentuk tepung. Pembuatan tepung kacang hijau ini meliputi beberapa tahap, yaitu sortasi, pengupasan kulit, pencucian, perendaman dalam air, penyangraian, penggilingan, dan pengayakan. Gambar 3 menunjukkan penampakan kacang hijau yang digunakan dalam pembuatan tepung kacang hijau sangrai.
Gambar 3. Kacang Hijau Kulit (kiri) dan Kacang Hijau Kupas Kulit (kanan)
Kacang hijau varietas Betet yang didapat dari Balai Kacang-Kacangan, Malang disortasi untuk memisahkan biji kacang hijau yang bermutu baik dari yang rusak. Kacang hijau yang telah disortasi ini kemudian dikupas kulitnya dengan menggunakan Grain mill dengan prinsip penyosohan selama 30 detik. Menurut Elias (1979) yang dikutip oleh Bressani et al (1982), kacang hijau mempunyai nilai daya cerna protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81%, namun daya cerna protein ini dipengaruhi oleh adanya inhibitor tripsin. Penyosohan merupakan salah satu cara menghilangkan kandungan antinutrisi pada kacang hijau. Kacang hijau yang telah dikupas kulitnya kemudian dicuci. Proses pencucian ini dilakukan untuk membersihkan kacang hijau dari kontaminan fisik, kimia, maupun mikrobiologis. Kacang hijau ini kemudian direndam menggunakan air dengan perbandingan kacang:air adalah 1:2 selama 2 jam.
31
Perendaman ini bertujuan agar air dapat terserap ke dalam granula kacang hijau sehingga memungkinkan terjadinya proses pregelatinisasi pada saat penyangraian. Kacang hijau yang telah direndam selama 2 jam ini kemudian ditiriskan dan disangrai. Penyangraian dilakukan pada suhu ± 120oC selama 40-45 menit. Kondisi penyangraian yang dilakukan ini merujuk pada penelitian Sitanggang (2008). Menurut Widyotomo dan Sri (2000), penyangraian bertujuan mengembangkan rasa, aroma, warna, memudahkan pelepasan kulit, mengurangi kandungan air, dan mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulit pada proses pembersihan. Penyangraian kacang hijau juga berfungsi untuk mengeliminasi komponen antinutrisi pada biji kacang hijau (Kay, 1979). Kacang hijau hasil penyangraian didinginkan kemudian ditepungkan mengunakan alat penggiling pin disc mill. Hasil pengilingan pin disc mill lalu diayak menggunakan ayakan 60 mesh sehingga dihasilkan tepung kacang hijau sangrai 60 mesh. Rendemen penepungan kacang hijau sangrai ini sebesar 85.20% berdasarkan bobot kacang hijau kupas kulit, sedangkan rendemen tepung kacang hijau sangrai berdasarkan kacang hijau kulit adalah sebesar 62,78%. Penampakan tepung kacang hijau sangrai dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan diagram alir pembuatan tepung kacang hijau dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Tepung Kacang Hijau Sangrai
32
Kacang Hijau 87.71
Dikupas kulitnya dengan grain mill selama 30 detik Dicuci
Direndam dengan perbandingan air:kacang = 2:1 selama 2 jam Ditiriskan
85.20
Disangrai pada suhu ± 120oC selama 40-45 menit
62.78
Didinginka
Digiling dengan menggunakan pin disc mill Diayak menggunakan ayakan 60 mesh
Tepung Kacang Hijau Sangrai Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Tepung Kacang Hijau dan Rendemennya
B. Penentuan Formulasi Cookies Komplementasi ditentukan dengan membandingkan kandungan asam amino esensial kacang hijau dan tepung beras dengan pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino dari masing-masing bahan. Skor asam amino kacang hijau dan tepung beras dapat dilihat pada Tabel 10.
33
Tabel 10. Skor Asam Amino Tepung Beras dan Kacang Hijau berdasarkan Pola FAO (1973) Asam Amino Esensial FAO Tepung Skor Kacang Skor 1973 Beras*) Asam Hijau*) Asam (mg/g) (mg/g) Amino (mg/g) Amino 100 42.18 100 Isoleusin 40 41.36 100 77.28 100 Leusin 70 82.71 35.08 63.78 69.62 100 Lisin 55 20.75 59.29 35 42.54 100 Metionin dan Sistin 100 60 106.95 100 90.25 Phenilalanin dan Tirosin 88.98 32.72 81.8 Threonin 40 35.59 51.76 100 Valin 50 58.98 100 12.20 100 10.88 100 Triptofan 10 *) Sumber: USDA (2008)
Tabel skor asam amino di atas menunjukkan bahwa asam amino pembatas pada tepung beras adalah lisin karena skor asam amino lisin memiliki nilai terendah, sedangkan asam amino pembatas pada kacang hijau adalah asam amino belerang (AAS) atau metionin dan sistin. Oleh karena itu, komplementasi antara asam amino pembatas lisin dengan asam amino belerang (metionin dan sistin) dapat terjadi. Komplementasi lain yang dapat terjadi adalah antara asam amino lisin dengan threonin. Hal ini terjadi karena tepung beras dan kacang hijau mengalami defisiensi asam amino yang sama, yaitu threonin namun karena jumlah asam amino threonin pada kacang hijau lebih rendah dibandingkan dengan tepung beras maka dikomplementasikan dengan asam amino lisin yang merupakan asam amino pembatas pada tepung beras. Kedua komplementasi tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik sehingga didapatkan titik potong yang menunjukkan perbandingan jumlah kacang hijau dengan tepung beras yang nantinya akan menentukan jumlah sumbangan protein masing-masing bahan tersebut di dalam formulasi. Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan grafik komplementasi.
34
Asam Amino Skor
100
Asam Amin o Beler Lisin ang
80 60 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Tepung
Kacang Perbandingan Protein
Gambar 6. Perbandingan Protein Berdasarkan Skor Asam Amino Lisin dan Asam Amino Belerang Persamaan garis lisin: y = 0.362x + 63.78 Persamaan garis metionin: y = -0.407x + 100 Titik potong: 0.362x + 63.78 = -0.407x + 100 36.22 = 0.769x x = 47.10 (persentase jumlah protein kacang hijau)
Asam Amino Skor
52.90 (persentase jumlah protein tepung beras)
100 80
Threo nin Lisin
60 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Perbandingan ProteinKacang
Tepung
Gambar 7. Perbandingan Protein Berdasarkan Skor Asam Amino Lisin dan Threonin Persamaan garis lisin: y = 0.362x + 63.78 Persamaan garis threonin: y = -0.071x + 88.98 Titik potong: 0.362x + 63.78 = -0.071x + 88.98
35
25.20 = 0.433x x = 58.20 (persentase jumlah protein kacang hijau) 41.80 (persentase jumlah protein tepung beras)
Formulasi cookies dilakukan dengan melihat kandungan protein basis kering dari masing-masing bahan utama penyusunnya sehingga dibutuhkan data kadar air dan kadar protein bahan tersebut untuk menentukan perbandingan tepung dalam formula. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies ini, yaitu tepung kacang hijau sangrai, tepung beras, dan ISP (Isolate Soy Protein) dianalisis kadar air dan kadar proteinnya. Hasil kadar air dan kadar protein bahan pembuatan cookies dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kadar Air dan Kadar Protein Bahan Pembuatan Cookies Kadar Kadar Kadar air Kadar air protein protein Bahan (%b/k) (% b/b) (%b/k) (%b/b) Tepung Kacang Hijau 6.52 26.26 6.98 28.09 Tepung Beras 11.93 7.76 13.55 8.81 ISP (Isolat Soy Protein) 12.58 77.02 14.39 88.10 Perbandingan tepung yang dihitung pada formulasi awal adalah perbandingan antara tepung beras dan tepung kacang hijau. ISP (Isolate Soy Protein) tidak dimasukkan ke dalam formulasi awal karena ISP akan digunakan untuk meningkatkan nilai protein cookies bila kadar protein cookies di bawah target 20% AKG atau di bawah 13.4 gram per 100 gram bahan. Perhitungan jumlah tepung beras dan tepung kacang hijau dilakukan mengacu pada persen AKG protein yang ingin dicapai dan kadar protein basis kering tepung kacang hijau dan tepung beras. Sumbangan protein berdasarkan grafik dikalikan target AKG kemudian dibagi dengan kadar protein basis kering bahan sehingga didapatkan perbandingan berat kering antara tepung beras dan tepung kacang hijau seperti yang terlihat pada Tabel 12.
36
Tabel 12. Perbandingan Berat Tepung Beras dan Tepung Kacang Hijau (Berat Kering) Berat (g) Bahan F1 F2 Tepung Beras 80 64 Tepung Kacang Hijau 22 28 Keterangan: F1 = komplementasi lisin-metionin+sistin F2 = komplementasi lisin-threonin Cookies ini juga ditambah dengan bubuk multivitamin-multimineral untuk memenuhi kebutuhan 20% AKG vitamin dan mineral ibu hamil. Bubuk multivitamin-multimineral yang digunakan memiliki merek dagang Caviplex. Caviplex mengandung berbagai jenis vitamin dan mineral namun Caviplex berbentuk kaplet salut gula sehingga salut gula pada Caviplex harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum ditambahkan ke dalam formulasi. Salut gula pada Caviplex dihilangkan dengan cara menumbuk kaplet tersebut dan mengambil bagian dalam Caviplex yang tidak tercampur salut gulanya. Tabel 13 menunjukkan kandungan kaplet salut gula Caviplex.
Tabel 13. Kandungan Kaplet Salut Gula Caviplex Kandungan Jumlah Kandungan Vitamin A 1.2 mg Biotin Vitamin D 0.01 mg Acid Folic Vitamin B1 3 mg Fe fumarat Vitamin B6 4 mg Acid Glutamic Vitamin B2 3 mg Ca (CaH2PO4.2H2O dan CaCO3) Vitamin B12 12 µg MgCO3 Vitamin C 75 mg Zn (ZnSO4.7H2O) Nicotinamide 20 mg Cu (CuSO4.5H2O) Ca panthotenat 5 mg Mn (MnSO4.2H2O) Vitamin E 10 mg Fluor (NaF) Iodium (KI) 0.15 mg Sumber: Label Caviplex
Jumlah 0.1 mg 1 mg 135 mg 50 mg 100 mg 87.5 mg 15 mg 0.5 mg 0.5 mg 0.5 mg
Berat total Caviplex berdasarkan kandungannya adalah sebesar 511.472 mg. Ibu hamil sering mengalami kekurangan zat besi dan juga asam folat sehingga dasar penentuan jumlah Caviplex dalam formulasi ditentukan berdasarkan kebutuhan ibu hamil akan kedua zat tersebut. Formulasi cookies yang dihasilkan akan memenuhi target 20% AKG ibu hamil sehingga
37
penambahan tablet multivitamin dan multimineral ini juga harus memenuhi 20% kebutuhan zat besi dan asam folat untuk ibu hamil, yaitu 7.8 mg untuk zat besi dan 120 µg untuk asam folat. Berdasarkan kebutuhan akan kedua zat tersebut maka penambahan tablet multivitamin-multimineral per adonan (20 cookies) adalah 136.4 mg.
C. Proses Pembuatan Cookies Pembuatan cookies dimulai dengan pencampuran seluruh bahan. Pencampuran bahan dibagi menjadi dua tahap, yaitu pencampuran bahan-bahan pembuat krim (creaming method) dan pencampuran bahan kering. Menurut Matz dan Matz (1978) ada dua cara pembuatan krim, yaitu two-stage method dan three-stage method. Proses pembuatan krim two-stage method adalah pembuatan krim dengan mencampur lemak, gula, emulsifying agent dan komponen minor lainnya selain pengembang menjadi satu. Pencampuran dilakukan selama 4-10 menit sampai bahan padatannya terlarut dan membentuk krim. Pencampuran ini tergantung dari kecepatan mixer yang digunakan. Setelah krim tercampur merata, tepung dan bahan pengembang yang telah dicampurkan secara kering dimasukkan ke dalam krim. Three-stage
method
adalah
metode
pembuatan
krim
dengan
membedakan penambahan pewarna (colorant), flavor (flavouring agent) dan garam. Langkah pertama pembuatan krim diawali dengan mencampurkan bahan-bahan cair (liquid materials) seperti lemak, air, dan shortening. Selanjutnya, ditambahkan dengan bahan pewarna, flavor dan garam, dilanjutkan dengan penambahan bahan pengembang dan tepung. Berdasarkan uraian di atas, maka proses pembuatan cookies berbahan dasar tepung kacang hijau sangrai dan tepung beras ini menggunakan two-stage method dalam pembuatan krim. Adonan yang telah dicampur merata tersebut kemudian ditambahkan dengan air. Penambahan air sangat mempengaruhi konsistensi adonan yang dihasilkan. Menurut Manley (2001) pengertian konsistensi adonan (dough consistency) adalah keadaan yang menyatakan sifatsifat softness, stickiness, elastisitas dan extensibility. Kondisi-kondisi fisik
38
diatas menurut Manley (2001), dihasilkan dari seberapa besar jumlah air yang ditambahkan, keadaan mixing, dan suhu pemanggangan. Menurut Husain (1993), air adalah bahan yang berfungsi dalam pengikatan adonan. Pada proses pembuatan cookies ini dibutuhkan proses pengulenan agar air dapat terdispersi secara merata ke seluruh adonan sehingga dihasilkan konsistensi adonan yang baik dan mudah dicetak. Adonan yang dicetak kemudian dipanggang pada suhu 160oC selama 23 menit. Suhu dan lama pemanggangan ini merupakan suhu pemanggangan terbaik yang didapatkan setelah dilakukan trial error pada berbagai suhu dan lama pemanggangan. Menurut Manley (2001), ada 3 perubahan yang terjadi selama proses pemanggangan, yaitu: 1) Peningkatan ketebalan sebagai akibat dari pengembangan struktur internal adonan; 2) Perubahan warna pada permukaan produk (misalnya: reddish brown colouration) karena adanya reaksi Maillard; 3) Pengeluaran uap air. Cookies yang selesai dipanggang kemudian didinginkan di suhu ruang untuk memberikan kesempatan air menguap sebelum dikemas ke dalam plastik polypropylene (PP).
D. Penentuan Formula Cookies Terpilih 1.
Penentuan Perbandingan Tepung Kacang Hijau dan Tepung Beras Dasar penentuan formulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan komplementasi asam amino esensial dari masing-masing bahan utamanya, yaitu tepung kacang hijau dan tepung beras. Kandungan asam amino esensial masing-masing bahan kemudian dibandingkan dengan Pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino. Skor asam amino menentukan komplementasi yang terjadi. Komplementasi yang mungkin terjadi bila protein kacang hijau dicampur dengan tepung beras adalah komplementasi nyata antara asam amino belerang (metionin dan sisitin) dengan asam amino lisin dan komplementasi parsial antara asam amino lisin dan asam amino threonin. Tabel 14 menunjukkan formulasi yang disusun berdasarkan komplementasi antara protein tepung beras dan tepung kacang hijau.
39
Tabel 14. Perbandingan Tepung Beras dan Tepung Kacang Hijau dalam Formula Cookies Jumlah (%) Bahan F1 F2 Tepung Beras 78 70 Tepung Kacang Hijau 22 30 Margarin*) 55 35 Gula Halus*) 0.25 Garam*) 0.2 Baking powder*) 0.2 Bubuk Vanili*) 0.136 Tablet Multivitamin-Multimineral*) 25 Air*) Keterangan: F1 = asam amino lisin-asam amino belerang F2 = asam amino lisin-threonin *) = basis 100% tepung Cookies
yang
dibuat
berdasarkan
formulasi
pada
Tabel
14
menghasilkan rendemen sebesar 77.68% untuk perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22: 78 dan 79.18% untuk perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70. Kedua jenis cookies yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan berdasarkan penampakan fisiknya baik warna maupun penampakan permukaan cookies. Gambar 8 menunjukkan penampakan cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 dan cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70
Gambar 8. Cookies Perbandingan Tepung Kacang Hijau dan Tepung Beras 22:78 (kiri) dan 30:70 (kanan) Formulasi cookies selanjutnya hanya akan menggunakan salah satu perbandingan saja sehingga dilakukan uji segitiga kepada panelis ibu-ibu untuk melihat apakah secara subyektif kedua jenis cookies ini berbeda secara nyata atau tidak pada taraf 5%. Menurut Meilgaard et al (1999), ada beberapa
40
uji sensori yaitu: uji beda (discrimination test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (afective test). Uji segitiga merupakan salah satu jenis uji beda sederhana untuk dua sampel. Menurut Meilgaard et al (1999), jumlah minimal panelis tidak terlatih untuk uji segitiga adalah 24 orang. Panelis yang digunakan pada uji segitiga ini adalah 27 orang untuk menghindari kesalahan (bias) yang mungkin terjadi. Hasil uji segitiga menunjukkan bahwa dari 27 orang panelis 13 orang panelis menjawab dengan benar. Jumlah panelis yang menjawab benar ini lebih kecil dari standar yang ditentukan oleh Tabel Binomial untuk Uji Segitiga (Lampiran 4) yaitu 14 orang sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua sampel cookies tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Oleh karena itu dilakukan uji lanjutan berupa uji rating hedonik yang merupakan salah satu jenis uji afektif kuantitatif dimana penentuan respon sejumlah panelis melalui pengisian kuisioner berkaitan dengan kesukaan, preferensi dari satu atau keseluruhan atribut sensori. Kuesioner pengujian diberikan kode untuk mewakili sampel yang diuji selain itu juga dicantumkan skala pengujian dari 1 (sangat tidak suka) hingga 5 (sangat suka). Kuesioner pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengujian rating hedonik ini dilakukan tanpa membandingkan tingkat kesukaan antar sampel (antar sampel tidak dibandingkan). Hasil pengujian rating hedonik dapat dilihat pada Gambar 9. Pengolahan data uji rating hedonik dilakukan dengan menggunakan uji t yang terdapat pada Microsoft Excel. Hasil uji t menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 5%. Panelis merespon tingkat kesukaan terhadap kedua cookies dengan skor antara 3.8-3.9 yaitu antara netral hingga suka. Selanjutnya penentuan perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras yang digunakan ditentukan berdasarkan analisis biaya per formulasi.
41
5 3.9 A
3.8
Skor Penerimaan
4
a
3 2 1 0
B
A
Sampel Keterangan: Sampel A (komplementasi lisin-asam amino belerang) Sampel B (komplementasi lisin-threonin) Skor 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka
Gambar 9. Hasil Uji Rating Hedonik Perbandingan Tepung Kacang Hijau dan Tepung Beras Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 adalah Rp. 278,26/cookies, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70 adalah Rp. 287,34/cookies. Analisis biaya secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan pertimbangan biaya produksi maka jumlah perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras yang digunakan adalah 22:78. Cookies terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.68% b/k dengan aw sebesar 0.448 pada suhu 31.4oC dan kerenyahan sebesar 267.4 gf. Pertimbangan lain yang dijadikan dasar penentuan perbandingan yang digunakan adalah jenis komplementasi masing-masing cookies dimana perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 merupakan komplementasi nyata yang memiliki sifat komplementasi serta suplementasi yang lebih baik dibandingkan perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70.
42
Selain uji segitiga dan uji rating hedonik, saat melakukan uji organoleptik juga dilakukan pengisian kuesioner yang menanyakan atribut yang disukai dan penting dalam penilaian kesukaan cookies campuran kacang hijau dan tepung beras ini. Pengumpulan data ini bertujuan mengidentifikasi atribut sensori utama dalam mengembangkan cookies ini. Gambar 10 menunjukkan atribut organoleptik yang disukai panelis.
35 30
Jumlah Panelis
30 25 20 15
11
10 5 0
2 Rasa
Tekstur
Warna
Atribut Cookies Gambar 10. Atribut Organoleptik Cookies yang Disukai Panelis
Gambar 10 menunjukkan bahwa atribut yang dinilai penting dan disukai oleh panelis adalah atribut rasa dan tekstur sehingga uji organoleptik selanjutnya dilakukan untuk menentukan jumlah gula dan margarin yang ditambahkan karena kedua bahan tersebut mempengaruhi atribut rasa dan tekstur dari cookies.
2. Penentuan Jumlah Gula yang Digunakan dalam Formulasi Kuesioner yang diberikan kepada 30 panelis ibu-ibu menunjukkan bahwa atribut rasa merupakan atribut yang paling penting dalam penerimaan terhadap cookies yang dihasilkan. Gula yang ditambahkan ke dalam adonan cookies menentukan rasa manis dari cookies yang dihasilkan. Oleh karena itu, jumlah gula yang ditambahkan di dalam formulasi harus ditentukan
43
melalui suatu uji organoleptik sehingga pada nantinya diketahui tingkat kemanisan yang disukai panelis. Fungsi lain gula selain memberikan rasa manis juga untuk memperbaiki tekstur, memberikan warna pada permukaan cookies, dan mempengaruhi pengembangan cookies. Menurut Buckle et al (1981), gula juga dapat menurunkan aw sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Matz dan Matz (1978) menjelaskan bahwa meningkatnya kadar gula dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan menjadi semakin keras. Jenis gula yang biasanya digunakan dalam pembuatan cookies biasanya adalah sukrosa. Menurut Hoseney dan Rogers yang dikutip oleh Faridi (1994), penggantian sukrosa dengan jenis gula lain seperti glukosa dan fruktosa tidak akan mempengaruhi pengembangan dan penampakan cookies, namun dari segi ekonomis sukrosa merupakan jenis gula yang lebih murah bila dibandingkan dengan glukosa dan fruktosa sehingga pembuatan cookies campuran kacang hijau dan tepung beras ini menggunakan sukrosa sebagai sumber gula. Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus, atau tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan mempengaruhi penyebaran cookies. Formulasi cookies dalam penelitian ini menggunakan gula halus karena gula halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik dibandingkan dengan tepung gula dan gula pasir. Matz dan Matz (1978) juga menerangkan bahwa penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar. Formulasi awal menggunakan gula sebanyak 35% dari basis 100% tepung. Jumlah ini merupakan formulasi gula yang biasa digunakan pada cookies komersial, oleh karena itu dibuat tiga formulasi dengan jumlah penambahan gula sebanyak 30%, 35%, dan 40% dari basis 100% tepung. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan nyata tingkat kemanisan dan penerimaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan. Formulasi yang diujikan disajikan pada Tabel 15.
44
Tabel 15. Formula Cookies untuk Penentuan Tingkat Kemanisan Bahan Tepung Beras Tepung Kacang Hijau Gula Halus*) Margarin*) Garam*) Baking powder*) Bubuk Vanili*) Tablet MultivitaminMultimineral*) Air*) Keterangan: *) = basis 100% tepung
Jumlah (%) A 78 22 30
Jumlah (%) B 78 22 35 55 0.25 0.2 0.2 0.136 25
Jumlah (%) C 78 22 40
Cookies dengan penambahan gula sebesar 30%, 35% dan 40% basis 100% tepung menghasilkan rendemen masing-masing sebesar 77.49%, 80.00%, dan 80.58% dari total adonan. Gambar 11 menunjukkan cookies dengan berbagai tingkat penambahan gula.
Gambar 11. Cookies dengan Berbagai Tingkat Penambahan Gula
Uji organoleptik yang dilakukan kepada panelis adalah rating tingkat kemanisan, rating hedonik, dan ranking hedonik. Rating tingkat kemanisan bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang nyata terhadap tingkat kemanisan ketiga formula cookies di atas, sedangkan rating hedonik untuk melihat skor penerimaan panelis terhadap produk cookies yang dibuat apakah berbeda nyata atau tidak pada taraf 5%. Uji ranking hedonik dilakukan untuk
45
melihat produk cookies yang paling disukai oleh panelis. Gambar 12 menunjukkan hasil uji rating atribut tingkat kemanisan.
Skor Kemanisan
5
4
3.4 a
3.8
ab
4.0
ab
a
3 2 1 0
A
B
C
Sampel Keterangan: Sampel A (penambahan gula 30% basis tepung) Sampel B (penambahan gula 35% basis tepung) Sampel C (penambahan gula 40% basis tepung) Skor 1 = sangat tidak manis 2 = tidak manis 3 = agak manis 4 = manis 5 = sangat manis
Gambar 12. Hasil Uji Rating Tingkat Kemanisan
Hasil uji rating tingkat kemanisan menunjukkan bahwa panelis merespon tingkat kemanisan cookies dengan skor antara 3.4-4.0 atau antara agak manis hingga manis dimana sampel C dengan penambahan 35% gula basis tepung menunjukkan tingkat kemanisan tertinggi diikuti sampel B dan C. Hasil uji rating tingkat kemanisan juga menunjukkan bahwa tingkat kemanisan antara sampel B dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5%, sedangkan sampel A berbeda nyata dengan sampel B dan C pada taraf signifikansi 5%.
46
Skor Penerimaan
5 4
3.9 a
a
3.9
a 3.7
b
3 2 1 0
A
B
C
Sampel Keterangan: Sampel A (penambahan gula 30% basis tepung) Sampel B (penambahan gula 35% basis tepung) Sampel C (penambahan gula 40% basis tepung) Skor 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka
Gambar 13. Hasil Uji Rating Hedonik Tingkat Kemanisan
Gambar 13 menunjukkan hasil uji rating hedonik dimana panelis merespon tingkat kesukaan pada cookies dengan skor antara 3.7-3.9 atau antara netral hingga suka. Uji Tukey menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap sampel B berbeda nyata dengan sampel C pada taraf signifikansi 5%, sedangkan tingkat kesukaan panelis terhadap sampel A tidak berbeda nyata dengan sampel B maupun sampel C pada taraf signifikansi 5%. Gambar 14 menunjukkan hasil uji ranking hedonik. Uji ranking hedonik menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig (0.048) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) sehingga dapat disimpulkan sampel berbeda nyata pada taraf 5%, namun uji Friedman Test menunjukkan bahwa sampel B merupakan sampel yang paling disukai panelis. Uji LSD rank (Least Significant Difference) dilakukan sebagai uji lanjutan karena sampel berbeda nyata pada taraf 5% dan hasil uji LSD rank menunjukkan bahwa
47
sampel C tidak berbeda nyata dengan sampel A dan B, sedangkan sampel A dan B berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%.
5
Skor Ranking
4 3
2.3 b 1.7 a
2.0
a a
2 1 0
A
B
C
Sampel Keterangan: Sampel A (penambahan gula 30% basis tepung) Sampel B (penambahan gula 35% basis tepung) Sampel C (penambahan gula 40% basis tepung)
Gambar 14. Hasil Uji Ranking Hedonik Tingkat Kemanisan
Analisis biaya yang dilakukan menunjukkan bahwa sampel A sebesar Rp. 275,08/cookies, sampel B sebesar Rp. 278,26/cookies, dan sampel C sebesar Rp. 281,45/cookies. Analisis biaya ketiga sampel di atas secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 16. Sampel A memiliki biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan sampel B, namun karena berdasarkan uji afektif baik rating hedonik dan ranking hedonik menunjukkan bahwa sampel B merupakan sampel yang paling disukai sehingga pada formulasi selanjutnya menggunakan penambahan gula sebesar 35% dari basis tepung. Cookies terpilih dengan penambahan gula sebesar 35% dari basis 100% tepung memiliki kadar air sebesar 1.93% b/k dengan nilai aw sebesar 0.362 pada suhu 31.0oC dan kerenyahan sebesar 320.7 gf.
48
3. Penentuan Jumlah Margarin yang Digunakan dalam Formulasi Atribut lainnya selain rasa yang juga dianggap cukup penting oleh panelis adalah tekstur. Bahan cookies yang berpengaruh terhadap kerenyahan dan tekstur suatu cookies adalah shortening (mentega dan margarin) sehingga perlu dilakukan uji organoleptik kepada panelis untuk menentukan jumlah margarin yang ditambahkan dalam formula dan menghasilkan tingkat kerenyahan yang paling disukai. Tipe dan jumlah shortening dan emulsifier dalam formula akan mempengaruhi respon adonan selama pembentukan dan kualitas produk akhir. Jenis shortening juga akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan cookies (Matz, 1978). Jenis shortening yang dapat digunakan adalah mentega, minyak tumbuhan, margarin, atau lemak hewan seperti lemak babi atau lemak sapi. Pemakaian mentega dan margarin dapat saling menggantikan walaupun hasilnya tidak sama (Indriani, 2009). Pemberian mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Adonan yang ditambah dengan mentega menjadi lembek dan mudah meluber saat dipanggang dalam oven dan memiliki aroma harum yang khas (Indriani, 2009). Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berminyak dan untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega, biasanya ditambahkan margarin (Matz, 1978). Adonan yang ditambahkan margarin tidak meluber saat dipanggang dalam oven, namun aroma cookies yang dihasilkan tidak serenyah dan seharum cookies yang menggunakan mentega. Lemak nabati (margarin) biasanya lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus serta menghasilkan penampakan yang baik. Hal yang berbeda akan terjadi bila menggunakan lemak hewani karena volume cookies yang dihasilkan akan lebih rendah dan membentuk butiranbutiran yang kasar (U.S Wheat Association, 1983). Oleh karena itu, jenis shortening yang ditambahkan ke dalam adonan cookies dalam formula ini adalah margarin. Formula-formula
sebelumnya
menggunakan
margarin
dengan
penambahan sebesar 55% dari basis 100% tepung. Jumlah ini merupakan
49
jumlah yang biasanya ditambahkan dalam formulasi cookies komersial. Uji organoleptik untuk menentukan tekstur yang paling disukai menggunakan margarin sebesar 45%, 50% dan 55% dari basis 100% tepung. Tabel 16 menunjukkan formulasi cookies yang diujikan.
Tabel 16. Formula Cookies untuk Penentuan Tingkat Kerenyahan Bahan Tepung Beras Tepung Kacang Hijau Margarin*) Gula Halus*) Garam*) Baking powder*) Bubuk Vanili*) Tablet MultivitaminMultimineral*) Air*) Keterangan: *) = basis 100% tepung
Jumlah (%) A 78 22 45
Jumlah (%) B 78 22 50 35 0.25 0.2 0.2 0.136 25
Jumlah (%) C 78 22 55
Formula cookies di atas menghasilkan cookies dengan rendemen sebesar 79.60% untuk cookies dengan penambahan margarin 45% basis tepung, 80.48% untuk cookies dengan penambahan margarin 50% basis tepung, dan 80.58% untuk cookies dengan penambahan margarin 55% basis tepung. Cookies dengan berbagai tingkat penambahan margarin ditunjukkan oleh Gambar 15.
Margarin 45%
Margarin 50%
Margarin 55%
Gambar 15. Cookies dengan Berbagai Tingkat Penambahan Margarin Uji organoleptik yang dilakukan kepada panelis adalah rating tingkat kerenyahan, rating hedonik, dan ranking hedonik. Rating tingkat kerenyahan
50
bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan tingkat kerenyahan yang nyata terhadap ketiga formula cookies di atas, sedangkan rating hedonik untuk melihat skor penerimaan panelis terhadap produk cookies yang dibuat apakah berbeda nyata atau tidak pada taraf 5%. Uji ranking hedonik dilakukan untuk melihat produk cookies yang paling disukai oleh panelis. Hasil uji rating tingkat kerenyahan ditunjukkan pada Gambar 16.
Skor Kerenyahan
5 4
3.3 a
3.7 a
3.8
B
C
a
a a
3 2 1 0
A
Sampel Keterangan: Sampel A (penambahan margarin 45% basis tepung) Sampel B (penambahan margarin 50% basis tepung) Sampel C (penambahan margarin 55% basis tepung) Skor 1 = sangat tidak renyah 2 = tidak renyah 3 = agak renyah 4 = renyah 5 = sangat renyah
Gambar 16. Hasil Uji Rating Tingkat Kerenyahan
Hasil uji rating tingkat kerenyahan menunjukkan bahwa panelis merespon tingkat kerenyahan cookies dengan skor 3.3-3.8 atau antara agak renyah hingga renyah. Hasil uji rating tingkat kerenyahan juga menunjukkan bahwa tingkat kerenyahan sampel A, B, dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa ketiga sampel cookies direspon panelis dengan skor 3.5-3.7 atau antara netral hingga suka. Uji Tukey menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga sampel tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji rating hedonik tingkat kerenyahan dapat dilihat pada Gambar 17.
51
Skor Penerimaan
5 4
a a
3.5
3.7 a
a a
3.6
3 2 1 0
B
A
C
Sampel Keterangan: Sampel A (penambahan margarin 45% basis tepung) Sampel B (penambahan margarin 50% basis tepung) Sampel C (penambahan margarin 55% basis tepung) Skor 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka
Gambar 17. Hasil Uji Rating Hedonik Tingkat Kerenyahan
Uji ranking hedonik menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig (0.195) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) sehingga dapat disimpulkan ketiga sampel tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Gambar 18 menunjukkan hasil uji ranking hedonik tingkat kerenyahan.
Skor Ranking
5 4 3
2.1
a a
2
1.7
a
2.2
a a
1 0
A
B
C
Sampel Keterangan: Sampel A (penambahan margarin 45% basis tepung) Sampel B (penambahan margarin 50% basis tepung) Sampel C (penambahan margarin 55% basis tepung)
Gambar 18. Hasil Uji Ranking Hedonik Tingkat Kerenyahan
52
Penentuan formula terpilih ditentukan berdasarkan analisis biaya dan faktor teknis. Analisis biaya yang dilakukan menunjukkan bahwa sampel A sebesar Rp. 269,46/cookies, sampel B sebesar Rp. 273,86/cookies, dan sampel C sebesar Rp. 278,26/cookies. Analisis biaya terperinci dari ketiga sampel di atas dapat dilihat pada Lampiran 22. Sampel A memiliki biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan sampel B, namun secara teknis adonan sampel A dengan penambahan 45% margarin dari 100% tepung sangatlah rapuh sehingga akan sulit dicetak dibandingkan kedua sampel lainnya. Hal ini menyebabkan pada formulasi selanjutnya menggunakan penambahan margarin sebesar 50% dari basis tepung karena secara teknis lebih mudah dicetak dan secara uji organoleptik tidak berbeda nyata baik tingkat kerenyahannya maupun tingkat kesukaannya. Formula cookies terpilih dengan penambahan margarin sebesar 50% dari basis 100% tepung ini memiliki kadar air sebesar 3.98% b/k dengan nilai aw sebesar 0.377 pada suhu 30.9oC dan kerenyahan sebesar 151.8 gf.
E. Produk Cookies Terpilih 1. Koreksi Protein Cookies Terpilih Penentuan formula cookies terpilih melalui tiga tahap uji organoleptik, yaitu penentuan perbandingan tepung, penambahan jumlah gula dan jumlah margarin dalam adonan. Formula cookies terpilih berdasarkan ketiga tahap uji organoleptik adalah cookies yang menggunakan perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 dengan penambahan gula halus sebesar 35% dari 100% tepung dan margarin sebesar 50% dari 100% tepung. Formula cookies terpilih ini selain diuji kadar air, tekstur dan nilai aw-nya juga dianalisis kadar proteinnya untuk membandingkan dengan kadar protein yang ditarget, yaitu sebesar 13.4 gram per 100 gram bahan. Tabel 17 menunjukkan formula cookies terpilih.
53
Tabel 17. Formula Cookies Terpilih Bahan Tepung Beras Tepung Kacang Hijau Margarin*) Gula Halus*) Garam*) Baking powder*) Bubuk Vanili*) Tablet Multivitamin-Multimineral*) Air*)
Jumlah (%) 78 22 50 35 0.25 0.2 0.2 0.136 25
Keterangan: *) = basis 100% tepung Formula cookies terpilih ini memiliki nilai kadar air sebesar 3.84% basis basah atau 3.98% basis kering dimana nilai ini sesuai dengan SNI cookies yang mensyaratkan nilai kadar air biskuit maksimal 5% basis basah. Kadar air cookies mempengaruhi kerenyahan cookies yang dihasilkan dimana semakin tinggi kadar air cookies maka cookies yang dihasilkan tidak renyah dan akan mengurangi penerimaan konsumen. Aktivitas air (aw) menentukan jumlah air yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Winarno, 1992). Nilai aw cookies terpilih ini cukup rendah, yaitu sebesar 0.377 dimana tidak ada mikroorganisme yang dapat tumbuh sehingga dapat disimpulkan cookies ini cukup tahan lama dan tidak rentan terhadap serangan mikroorganisme. Tekstur cookies terpilih yang diukur secara obyektif menggunakan Texture Analyzer memiliki nilai kerenyahan (brittleness) sebesar 151.8 gf. Nilai kerenyahan tekstur cookies yang cukup rendah menggambarkan bahwa cookies yang dihasilkan cukup rapuh. Tekstur cookies ditentukan oleh bahan-bahan penyusunnya serta komposisi kimia seperti kadar air, kadar karbohidrat serta kadar protein cookies tersebut. Penampakan formula cookies terpilih dengan perbandingan tepung kacang hijau:tepung beras 22:78, gula 35% basis tepung dan margarine 50% basis tepung dapat dilihat pada Gambar 19. Selanjutnya untuk menentukan takaran saji cookies per orang per hari maka dilakukan pengisian kuesioner kepada 30 panelis dan analisis kadar protein untuk mengetahui jumlah cookies yang harus dikonsumsi untuk memenuhi target 20% AKG.
54
Gambar 19. Cookies Terpilih dengan Perbandingan Tepung Kacang Hijau:Tepung Beras 22:78, Gula 35% dari 100% Tepung ,dan Margarin 50% dari 100% Tepung Pengujian kadar protein ini sangatlah penting karena berfungsi untuk membandingkan kadar protein cookies dengan target protein 20% AKG ibu hamil juga dijadikan dasar penentuan tambahan ISP (Isolate Soy Protein) dalam formulasi serta digunakan untuk menentukan jumlah takaran saji cookies. Uji protein yang dilakukan menggunakan metode Kjeldahl-mikro menghasilkan kadar protein cookies sebesar 6.96% basis basah atau 7.24% basis kering. Protein cookies ini jauh lebih rendah dari nilai protein yang ditargetkan sehingga dalam formulasi selanjutnya perlu ditambahkan ISP (Isolat Soy Protein) agar kadar protein cookies meningkat sehingga takaran saji cookies per orang per hari tidak terlalu banyak. Selain berdasarkan kadar protein cookies, takaran saji cookies per orang per hari juag ditentukan dengan pengisian kuesioner. Kuesioner untuk penentuan takaran saji dapat dilihat pada Lampiran 24. Penyebaran kuesioner untuk menentukan takaran saji diberikan kepada 30 panelis ibu-ibu yang sudah mengenal produk cookies campuran kacang hijau dan tepung beras. Kuesioner ini menanyakan jumlah cookies per hari yang dapat dikonsumsi oleh 30 panelis tersebut. Hasil pengisian kuesioner menunjukkan bahwa 9 orang mengkonsumsi kurang dari 10 cookies per hari, 11 orang mengkonsumsi 11-15 cookies per hari, dan 10 orang mengkonsumsi lebih dari 15 cookies per hari. Hasil kuesioner takaran saji ditunjukkan oleh Gambar 20.
55
12
Jumlah Panelis
10
11
10
11-15
>15
9
8 6 4 2 0
<10
Jumlah Konsumsi Cookies per hari Gambar 20. Hasil Kuesioner Takaran Saji
2. Cookies dengan Penambahan ISP (Isolate Soy Protein) Cookies terpilih dari uji organoleptik tiga tahap ternyata tidak memiliki kandungan protein yang sesuai dengan target protein 20% AKG atau 13.4 gram per 100 gram bahan. Oleh karena itu, pada formulasi cookies dibutuhkan penambahan Isolate Soy Protein (ISP) untuk meningkatkan kadar proteinnya. Jumlah ISP (Isolate Soy Protein) yang ditambahkan berdasarkan basis 100% tepung adalah sebesar 10%. Jumlah yang ditambahkan ini berdasarkan kadar protein dari ISP (Isolate Soy Protein) sehingga kadar protein cookies memenuhi kebutuhan 20% AKG ibu hamil, yaitu sebesar 13.4 gram per 100 gram bahan. ISP (Isolate Soy Protein) dipilih untuk meningkatkan kadar protein cookies karena ISP (Isolate Soy Protein) memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (sekitar 90%) dibandingkan konsentrat protein kedelai dan susu skim. Selain itu, ISP (Isolate Soy Protein) dapat meningkatkan rendemen karena daya serap airnya yang cukup tinggi serta dapat memperbaiki penampakan dan tekstur produk bakery seperti roti dan biskuit (Koswara, 1995). Tabel 18 menunjukkan formulasi produk cookies terpilih dengan penambahan Isolate Soy Protein.
56
Tabel 18. Formula Cookies Terpilih dengan Penambahan ISP (Isolate Soy Protein) Bahan Jumlah (%) Tepung Beras 78 Tepung Kacang Hijau 22 10 Isolate Soy Protein*) Margarin*) 50 Gula Halus*) 35 Garam*) 0.25 0.2 Baking powder*) Bubuk Vanili*) 0.2 Tablet Multivitamin-Multimineral*) 0.136 Air*) 25 Keterangan: *) = basis 100% tepung Penambahan Isolate Soy Protein (ISP) dalam formulasi cookies menyebabkan perubahan waktu pemanggangan. Hal ini menyebabkan diperlukan adanya verifikasi proses pemanggangan. Proses pemanggangan produk cookies terpilih dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein) tetap dilakukan pada suhu 160oC dan berdasarkan trial error yang dilakukan didapatkan waktu pemanggangan selama 16 menit. Gambar 21 menunjukkan cookies terpilih dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein).
Gambar 21. Cookies Terpilih dengan Penambahan ISP (Isolate Soy Protein) sebesar 10% basis tepung Produk cookies dengan penambahan Isolate Soy Protein ini kemudian diuji secara organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating hedonik untuk melihat tingkat penerimaan produk cookies dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein) dibandingkan dengan produk cookies terpilih tanpa 57
penambahan ISP (Isolate Soy Protein) apakah berbeda secara nyata atau tidak pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji rating kedua cookies baik dengan penambahan ISP maupun tanpa penambahan ISP dapat dilihat pada Gambar 22.
5
3.9 a
3.7 a
Skor Penerimaan
a
a
4 3 2 1 0
B
A
Sampel Keterangan: Sampel A (tanpa penambahan Isolate Soy Protein) Sampel B (dengan penambahan Isolate Soy Protein) Skor 1 = sangat tidak renyah 2 = tidak renyah 3 = agak renyah 4 = renyah 5 = sangat renyah
Gambar 22. Hasil Uji Rating Hedonik Produk Cookies Terpilih
Pengolahan data uji rating hedonik dilakukan dengan menggunakan uji t yang terdapat pada Microsoft Excel. Hasil uji t menunjukkan P(T<=t) twotail sebesar 0.0937 lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 5%. Hal ini membuktikan bahwa penambahan ISP (Isolate Soy Protein) tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap produk cookies. Produk cookies dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein) kemudian dianalisis proksimat, daya cerna proteinnya, tekstur dengan Texture Analyzer dan nilai aw-nya dengan menggunakan aw meter. Hasil analisis cookies dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein) dapat dilihat pada Tabel 19.
58
Tabel 19. Hasil Analisis Cookies dengan Penambahan Isolate Soy Protein Analisis Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat (by difference) Daya cerna protein apparent Kerenyahan
aw
Satuan % b/b % b/b % b/b % b/b % % gf -
Jumlah 4.00 1.55 10.72 22.92 60.81 77.42 400.5 0.443
Kadar air merupakan salah satu faktor kritis yang menentukan penerimaan produk karena mempengaruhi rupa, tekstur, dan umur simpan produk tersebut. Semakin tinggi kadar air maka tekstur produk semakin tidak renyah begitu pula sebaliknya. Hasil analisis proksimat produk cookies terpilih dengan penambahan Isolate Soy Protein menunjukkan kadar air cookies sebesar 4.00% basis basah atau 4.16% basis kering. Kadar air produk cookies campuran tepung kacang hijau dan beras ini sesuai dengan persyaratan SNI 012973-1992 dimana kadar air maksimal cookies sebesar 5% basis basah. Kadar abu
suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang
terkandung di dalam bahan tersebut. Kadar abu cookies yang dihasilkan sebesar 1.55% basis basah atau 1.61% basis kering dimana kadar abu maksimal cookies menurut persyaratan SNI 01-2973-1992 tentang biskuit adalah sebesar 1.5% basis basah. Kadar abu cookies yang dihasilkan sedikit lebih tinggi dibandingkan persyaratan SNI, hal ini dikarenakan adanya fortifikasi kaplet multimineral pada produk cookies ini. Kadar protein cookies hasil analisis proksimat adalah 10.72% basis basah atau 11.16% basis kering. Nilain ini sesuai dengan persyaratan SNI biskuit yaitu kadar protein minimum cookies sebesar 9% basis basah. Kadar protein ini merupakan target dasar dalam pembuatan cookies ini dimana formulasi cookies memang dibuat untuk memenuhi target protein yang ditentukan serta untuk menentukan takaran saji cookies per orang per harinya. Hasil analisis proksimat juga menunjukkan bahwa kadar lemak cookies adalah 22.92% basis basah atau 23.87% basis kering. Nilai ini sesuai dengan persyaratan SNI biskuit dimana kadar lemak cookies minimum bernilai 9.5%
59
basis basah. Kadar lemak cookies yang cukup tinggi ini mempengaruhi tekstur yang dihasilkan terutama kerenyahannya, namun kadar lemak yang tinggi ini juga dapat menyebabkan umur simpan cookies menjadi semakin pendek akibat oksidasi lemak sehingga kemasan cookies perlu diperhatikan untuk mencegah oksidasi lemak tersebut. Kadar karbohidrat cookies ditentukan secara by difference dan hasilnya adalah 60.81%. Nilai karbohidrat ini tidak sesuai dengan SNI biskuit yang mensyaratkan kadar karbohidrat minimum cookies sebesar 70%. Kadar karbohidrat yang lebih rendah ini dikarenakan tingginya komponen lainnya seperti protein dan lemak. Berdasarkan hasil analisis proksimat maka didapatkan nilai energi per 100 gram cookies sebesar 492.4 kkal atau sebesar 49.24 kkal per cookies. Nilai energi cookies ini sesuai dengan nilai yang disyaratkan dalam SNI biskuit, yaitu sebesar 400 kkal/100 gram. Analisis kimia lainnya yang juga dilakukan adalah daya cerna protein. Metode daya cerna protein yang digunakan menggunakan dua jenis enzim, yaitu enzim pepsin dan pankreatin. Metode dengan kedua enzim tersebut dipilih karena kedua enzim tersebut menggambarkann proses pencernaan protein di dalam lambung dan di usus halus. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Hasil daya cerna protein cookies terpilih dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein) adalah sebesar 77.42%. Menurut penelitian yang dilakukan Abdel-Aal (2008), daya cerna in vitro cookies yang terbuat dari tepung terigu sebesar 82% bila dibandingkan dengan cookies campuran tepung kacang hijau dan beras ini nilainyalebih rendah namun tidak terlalu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa daya cerna protein cookies campuran tepung kacang hijau dan beras ini cukup tinggi. Daya cerna cookies lebih rendah dibandingkan daya cerna bahan-bahan penyusunnya dimana daya cerna protein kacang hijau adalah 81% (Bressani et al, 1982), tepung beras sosoh sebesar 88%, dan ISP (Isolate Soy Protein) sebesar 95%
(FAO, 1995). Penurunan daya cerna protein cookies
dibandingkan daya cerna bahan utamanya disebabkan karena proses pemanggangan dalam pembuatan cookies yang menyebabkan reaksi Maillard.
60
Reaksi Maillard adalah reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang membentuk glikosamin melalui reaksi basa Schiff’s. Glikosamin selanjutnya mengalami Amadori rearrangement sehingga menghasilkan turunan amadori. Pembentukan komponen amadori ini menyebabkan perubahan nilai gizi, namun belum menyebabkan perubahan warna sehingga penampakan produk masih sepeti produk mula-mula. Tahap terakhir adalah terbentuknya komponen heterosiklik seperti pyrazines dan pyroles serta polimerisasi beberapa produk reaksi yang membentuk pigmen coklat melanoidin (Arpah, 2001). Penurunan gizi yang terjadi pada tahap kedua reaksi Maillard terjadi karena komplek gula-protein yang terbentuk tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan sehingga daya cerna bahan setelah mengalami reaksi Maillard menjadi lebih rendah. Karena reaksi Maillard melibatkan gugs amino dari kandungan protein bahan, maka kandungan asam amino bahan pangan tersebut menjadi berkurang. Lisin merupakan asam amino yang paling aktifi bereaksi dengan gula pereduksi sehingga kandungan pada bahan yang mengalami reaksi Maillard menurun. Asam-asam amino lainnya seperti arginin, histidin, triptofan dan metionin juga menurun karena adanya reaksi dengan senyawa antara seperti aldehid. Hasil analisis kimia cookies dapat dilihat pada Lampiran 27. Takaran saji ditentukan berdasarkan kadar protein basis kering, daya cerna protein cookies, dan hasil pengisian kuesioner. Target protein cookies berbasis kacang hijau dan tepung beras adalah 13.4 gram per 100 gram atau 20% AKG ibu hamil sehingga untuk memenuhi target AKG tersebut ibu hamil harus mengkonsumsi 16 buah cookies per hari. Cookies terpilih yang telah ditambah ISP (Isolate Soy Protein) ini juga dianalisis secara fisik, yaitu tekstur (tingkat kerenyahan) dan aktivitas air (aw). Tekstur pangan merupakan sifat fisik bahan pangan yang bervariasi dalam bentuk, ukuran dan respon bila dikenakan suatu gaya. Tekstur pangan dapat diukur secara subyektif maupun obyektif. Parameter yang biasanya diukur untuk produk biskuit dan cookies adalah brittleness (kerapuhan atau kerenyahan). Analisis tekstur menggunakan alat Texture Analyzer memberikan nilai mean peak force (+) sebesar 400.5 gf. Nilai ini mengindikasikan bahwa cookies terpilih yang telah ditambah Isolate Soy Protein memiliki kerenyahan
61
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerenyahan cookies tanpa penambahan ISP (Isolate Soy Protein) dimana kerenyahan cookies tanpa penambahan ISP sebesar 151.8 gf. Hal ini membuktikan bahwa Isolate Soy Protein (ISP) dapat memperbaiki tekstur dari cookies yang dihasilkan. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aktivitas air (aw), yaitu jumlah air bebas yang dapat dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Nilai aktivitas air (aw) dari cookies yang telah ditambahkan ISP (Isolate Soy Protein) adalah 0.443 pada suhu 31.2oC. Menurut Hariyadi et al (2006) produk kering (aw < 0,6) akan memiliki umur simpan yang lama dibandingkan dengan pangan semi basah IMF (aw = 0,5-0,85) karena penghambatan metabolisme mikroba. Berbagai mikroorganisme memiliki aw minimum agar dapat tumbuh, misalnya bakteri aw 0.90, khamir aw 0.80-0.90, dan aw kapang 0.60-0.70. Rendahnya nilai aw dari cookies campuran tepung kacang hijau dan beras ini tidak memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme. Hasil analisis fisik dapat dilihat pada Lampiran 28. Selain analisis fisik dan kimia juga dibutuhkan analisis biaya untuk mengetahui biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein). Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies berbasis kacang hijau dan tepung beras dengan penambahan ISP (Isolate Soy Protein) adalah sebesar Rp. 4.995,20/takaran saji. Perhitungan biaya produksi cookies dapat dilihat pada Lampiran 29.
62