ISBN 978-979-3145-63-1
Pengembangan Teknologi Produksi
berbasis pemberdayaan masyarakat Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI GAHARU BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman ISBN: 978-979-3145-63-1 Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16110 Telp. (0251) 8633234, 7520067; Fax. (0251) 8638111 E-mail:
[email protected]
Petikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
KATA PENGANTAR Terdapat enam tantangan pembangunan kehutanan yang kita hadapi saat ini, yaitu: degradasi hutan, bencana alam dan lingkungan, pemanasan global, share sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, desentralisasi sektor kehutanan, dan kontribusi kehutanan dalam hal food, water scarcity, energy, and medicine. Namun, kita masih melihat ada peluang yang merupakan sebuah anugerah bagi bangsa kita, yang bila dibudidayakan dan dikelola secara serius akan dapat menjawab paling tidak lima dari enam tantangan tadi. Anu-gerah yang juga merupakan peluang usaha sektor kehutanan dari jenis HHBK ini bernama “gaharu”. Ide dan gagasan membangun hutan tanaman gaharu juga menarik untuk kita kaji bersama. Kalau selama ini perusahaanperusahaan HTI telah eksis dengan komoditi-komoditi kayu seperti mangium, sengon, mahoni, dan jenis tumbuhan penghasil kayu lainnya, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mengembangkan hutan tanaman penghasil gaharu apabila secara finansial menjajikan dan memungkinkan setelah dianalisis kelayakan usahanya. Pengembangan usaha budidaya tanaman HHBK unggulan akan berhasil dengan baik apabila didukung oleh semua stakeholder yang berkepentingan, baik Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan petani. Disampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi hingga terbitnya buku ini. Jakarta,
Nopember 2010
Kepala Badan Litbang Kehutanan
Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc.
iii
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...................................................................................iii DAFTAR ISI................................................................................................. v PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU Sulistyo A. Siran ......................................................................................................................................1
STATUS RISET GAHARU........................................................................31 Aspek PRODUKSI...................................................................................33 1. PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Mucharromah..............................................................................................................................35 2. KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI Fusarium sp. PADA Aquilaria microcarpa Eka Novriyanti.............................................................................................................................53 3. TEKNOLOGI INDUKSI POHON PENGHASIL GAHARU Erdy Santoso, Ragil Setio Budi Irianto, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Sugeng Santosa, Najmulah, Ahmad Yani, Aryanto ................77 4. EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI ANTARA Acremonium sp. DAN Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU PADA Aquilaria microcarpa Gayuh Rahayu .............................................................................................................................97
Aspek SILVIKULTUR........................................................................... 113 5. UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN GAHARU SECARA GENERATIF DAN VEGETATIF Atok Subiakto, Erdy Santoso, Maman Turjaman....................................................... 115 6. APLIKASI RHIZOBAKTERI PENGHASIL FITOHORMON UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN Irnayuli R. Sitepu, Aryanto, Yasuyuki Hashidoko, Maman Turjaman............... 123 7. PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS Aquilaria Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Ragil S.B. Irianto, Sugeng Sentosa, Aryanto, Ahmad Yani, Najmulah, Erdy Santoso......................................................... 139
v
aftar Isi D
8. HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL GAHARU Ragil SB Irianto, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu............. 151
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI............................... 157 9. PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU MELALUI POLA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Sri Suharti................................................................................................................................... 159 10. THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD PLANTATION PROJECT Erry Purnomo............................................................................................................................ 181 11. KARAKTERISTIK LAHAN HABITAT POHON PENGHASIL GAHARU DI BEBERAPA HUTAN TANAMAN DI JAWA BARAT Pratiwi.......................................................................................................................................... 193 12. POTENSI DAN KONDISI REGENERASI ALAM GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) DI PROVINSI LAMPUNG DAN BENGKULU, SUMATERA Titiek Setyawati....................................................................................................................... 213
vi
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Gaharu sebuah nama komoditi hasil hutan non kayu yang saat ini menjadi perbincangan banyak kalangan. Dalam kehidupan seharihari telah dikenal pepatah “sudah gaharu cendana pula”. Pepatah ini mengindikasikan bahwa sebenarnya komonditi gaharu sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya. Dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat unik. Gaharu sebenarnya sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang (misalnya: Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu. Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan, maupun masyarakat
1
suku pedalaman di Sumatera dan Kalimantan. Gaharu dengan demikian mempunyai nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup tinggi. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obatobatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu dengan kualitas Super di pasaran lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur mencapai Rp 40.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- per kilogram, disusul kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp 20.000.000,-, kualitas Kacangan dengan harga rata-rata Rp15.000.000,-, kualitas Teri (Rp 10.000.000,- s/d Rp14.000.000,-), kualitas Kemedangan (Rp 1.000.000,- s/d Rp 4.000.000,-), dan Suloan (Rp75.000,-). Bertahun-tahun masyarakat dan pemerintah daerah Kalimantan dan Sumatera menikmati berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi, dan pola pemanenan yang berlebihan serta perdagangan yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka jenis-jenis tertentu misalnya Aquilaria dan Gyrinops saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Spcies of Flora and Fauana (Appendix II CITES). Walaupun sejak 1994 Indonesia berkewajiban melindungi pohon penghasil gaharu, namun menurut kenyataan, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia tidak terkecuali di Sumatera dan Kalimantan semakin langka. Selama ini masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu ditebang tanpa memperhatikan
2
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram saja. Oleh karena itu dapat dibayangkan kalau pencari gaharu mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang. Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun. Indikasi menurunnya pupulasi pohon penghasil gaharu ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun, di mana realisasi produksi gaharu pada dekade 80’an pernah mencapai ribuan ton dengan kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang bervariasi. Guna menghindari agar tumbuhan jenis gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya pohon penghasil gaharu karena memang tidak memberikan keuntungan apa-apa. Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa produksi gaharu. Dengan teknologi inokulasi maka produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan produksi gaharu dimaksud (yang kegiatannya terdiri dari kegiatan di bagian hulu sampai hilir) selanjutnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan oleh masyarakat petani, pengusaha
3
gaharu, dan penerimaan pendapatan asli daerah serta devisa negara. Tulisan ini dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran secara umum mengenai pemanfaatan gaharu, pemahaman mengenai pentingnya nilai gaharu, perlunya budidaya, konservasi, dan rekayasa pembentukan gaharu yang dapat mengembalikan status komoditi dari kelangkaan menjadi produk andalan.
GAMBARAN UMUM TUMBUHAN PENGHASIL GAHARU Hutan hujan tropis di Indonesia semenjak tiga puluh tahun yang lalu dikenal sebagai salah satu penghasil utama kayu bulat (log) untuk bahan baku industri perkayuan. Selain itu hutan hujan tropis Kalimantan juga sangat kaya dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), di mana salah satu di antaranya adalah gaharu yang bernilai ekonomis tinggi. Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua tanaman penghasil gaharu menghasilkan gaharu. Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam delapan marga dan tiga suku. Berdasarkan sebaran tempat tumbuh, tumbuhan penghasil gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Dari pengamatan sebaran Aquilaria spp. yang dilaksanakan pada tahun 2000 ditemukan bahwa Aquilaria spp. tumbuh tersebar secara luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
4
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Tengah, dan Kalimantan Selatan. Tingginya permintaan pasar dunia akan gaharu dan harga jual gaharu yang cukup tinggi telah menarik minat masyarakat, baik lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi gaharu secara besar-besaran. Akibatnya, populasi Aquilaria spp. di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat menjadi punah. Untuk mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) ke-IX di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994, Aquilaria malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting yang banyak tumbuh di Kalimantan telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi. Bahkan sejak tahun 2004, seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CITES. Indikasi dari menurunnya populasi Aquilaria spp. antara lain dari pergerakan pencari gaharu yang telah mengarah pada bagian utara Kalimantan Timur, di pedalaman hutan Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah serta menurunnya realisasi produksi gaharu dari tahun ke tahun. Walaupun realisasi produksi gaharu tidak menggambarkan besarnya potensi, namun dengan semakin sulitnya mendapatkan gaharu dari waktu ke waktu menunjukkan populasi Aquilaria spp. terus mengalami penurunan. Menyadari semakin langkanya tumbuhan penghasil gaharu, beberapa instansi pemerintah dan masyarakat telah melakukan inisiatif untuk mengadakan pelestarian tumbuhan penghasil gaharu dan sekaligus membudidayakan, baik untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi.
KANDUNGAN DAN MANFAAT GAHARU Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu (-agarofuran, (-agarofuran, nor-ketoaaga-rofuran, (-)-10-epi-y-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II serta oxo-aga-rospirol. Lebih lanjut Susilo (2003) mengatakan bahwa terdapat 17 macam
5
senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: noroxoagarofuran, agarospirol, 3,4 –dihydroxy-dihydro-agarufuran, p-methoxybenzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya Oiler (tanpa tahun) dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 unsur kimia yang terkandung di dalam gaharu dan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4 methoxyphenyl)ethil)chromone (27%) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15%). Gaharu dengan aromanya yang khas digunakan masyarakat di Timur Tengah sebagai bahan wewangian. Di Cina, gaharu dimanfaatkan sebagai obat sakit perut, gangguan ginjal, hepatitis, asma, kanker, tumor, dan stres. Selain itu gaharu telah dipergunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dan pengawet berbagai jenis asesori. Karena aromanya harum, gubal gaharu diperdagangkan sebagai komoditi elit untuk keperluan industri parfum, tasbih, membakar jenazah bagi umat hindu, kosmetik, hio, setanggi (dupa), dan obatobatan. Di samping itu dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, saat ini berbagai negara memanfaatkan gaharu selain sebagai bahan pengharum (parfum) dan kosmetik, juga telah berkembang industri pemanfaatan gaharu sebagai bahan baku industri obat herbal alami, untuk pengobatan stres, asma, reumatik, radang lambung dan ginjal, malaria, bahan antibiotic, TBC, liver, kanker, dan tumor yang masih dalam proses uji klinis. Limbah bekas gaharu yang telah disuling digunakan untuk dupa dan bahan untuk upacara agama, sedangkan air suling gaharu dimanfaatkan untuk kesehatan, kecantikan, kebugaran serta bahan minuman (kopi) oleh masyarakat di Kabupaten Berau.
PEMUNGUTAN DAN PENGOLAHAN GAHARU A. Cara Pendugaan Kandungan Gaharu Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu, maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu pada tumbuhan penghasil gaharu yang terinfeksi jamur pembentuk gaharu perlu diketahui terutama oleh para pemungut pemula
6
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
sehingga tidak terjadi salah tebang pada pohon yang tidak berisi gaharu. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan ciri-ciri tersebut maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur coklat kehitaman pada batang menunjukkan adanya kandungan gaharu. Untuk lebih meyakinkan biasanya serpihan kayu tadi selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/ aroma wangi khas gaharu.
B. Sistem Pemungutan Gaharu Pohon dari tumbuhan penghasil gaharu yang telah diyakini mengandung gaharu ditebang, kemudian dipotong-potong dan dibelah untuk diambil gaharunya. Cara pemungutan gaharu semacam ini di Sumatera dan Kalimantan disebut servis, puncut atau pahat. Cara lain yang berlaku pada masyarakat Dayak Kenyah dan Punan di Kalimantan Timur adalah dengan mengiris dan memotong bagian kayu dari tumbuhan penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang. Cara ini disebut tubuk. Potongan kayu berisi gaharu kemudian dikumpulkan dan secara perlahan bagian kayu dipisahkan dari gaharu dengan menggunakan pisau kecil atau pahat cekung.
C. Pengolahan Gaharu Sampai saat ini produk gaharu yang berasal dari alam umumnya dipasarkan dalam bentuk bongkahan namun ada pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem yaitu sistem kukus dan tekanan uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta Rp 750.000/tolak (1 tolak = 12 cc).
7
KLASIFIKASI MUTU GAHARU Klasifikasi mutu gaharu di Kalimantan Timur khususnya di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya hingga saat ini masih belum seragam (Tabel 1) dan penentuannya dilakukan secara visual. Keragaman dan ketidakjelasan di dalam penentuan mutu tersebut menyebabkan harga jual yang berbeda dengan kelas mutu yang sama. Dengan telah ditetapkannya standar nasional untuk mutu gaharu (SNI 01-5009.1-1999) diharapkan standar mutu tersebut dapat segera menjadi bahan acuan para pengusaha gaharu, pedagang pengumpul, dan pemungut gaharu di dalam menentukan kelas mutu gaharu. Pada Tabel 1 disajikan kriteria dan klasifikasi mutu gaharu. Secara umum klasifikasi mutu gaharu dapat dikelompokkan menjadi enam kelas mutu yaitu super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan dan setiap kelas mutu dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas mutu. Tabel 1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya Klasifikasi mutu No.
Lokasi
Super
Tanggung
Kacangan
Teri Teri A Teri B Teri C Teri kulit A Teri kulit B
Cincangan
1.
Samarinda Super king Super A Super AB
Kacangan A Kacangan B Kacangan C
2.
Muara Kaman
Kacangan isi Teri isi Kacangan Teri kulit kosong
Sudokan Serbuk
3.
Kota Bangun
Super A Super B
Kacangan A Kacangan B
Serbuk
4.
Muara Wahau
Super A Super B
Teri A Teri B
TangKacangan isi Teri super gung isi Kacangan Teri laying Tangkosong gung kosong
Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007
8
Kemedangan Kemedangan A Kemedangan B Kemedangan community
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Tabel 2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu No.
Klasifikasi
Kriteria
1.
Super
Gaharu berwarna hitam pekat, padat, keras, mengkilap dan sangat berbau, tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran berukuran besar, bagian dalam tidak berlubang.
2.
Tanggung
Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat, keras, bagian dalam kadang berlubang, kadang bercampur serat kayu dan berukuran tanggung.
3.
Kacangan
Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran sebesar biji kacang atau berdiameter sekitar 2 mm.
4.
Teri
Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau berdiameter sekitar 1 mm.
5.
Kemedangan
Kayu yang mengandung getah gaharu.
6.
Cincangan
Potongan kecil kayu dari pemisahan gaharu.
Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006
Berdasarkan informasi pasar di Samarinda (Tabel 3) harga gaharu dengan kualitas super dapat Tabel 3. Harga jual gaharu di mencapai Rp 30.000.000 per kg, pasaran Samarinda, disusul kualitas tanggung dengan Kalimantan Timur harga rata-rata Rp 10.000.000,- per No. Kelas mutu Harga (Rp/Kg) kg. Kualitas gaharu yang paling 1. Super King 30.000.000,rendah berharga sekitar Rp 25.000 Super 20.000.000,per kg, dan pada umumnya Super AB 15.000.000,2. Tanggung 10.500.000,digunakan sebagai bahan baku 3. Kacangan A 7.500.000,penyulingan untuk menghasilkan Kacangan B 5.000.000,minyak gaharu. Secara visual Kacangan C 2.500.000,4. Teri A 1.000.000,beberapa sampel gaharu dapat Teri B 750.000,dilihat pada Gambar 3. Teri C 500.000,Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) No. 1386/BSN-I/HK.71/ 09/99, telah ditetapkan Standar Nasional mutu gaharu dengan judul dan nomor: Gaharu SNI 01-5009.1-1999. Dalam
5.
6.
Teri Kulit A Teri Kulit B Kemedangan A Kemedangan B Kemedangan C Suloan
300.000,250.000,100.000,75.000,50.000,25.000,-
Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006
9
standar ini diuraikan mengenai definisi gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji dan syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap kelas mutu selanjutnya dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot, dan aroma ketika dibakar. Menurut SNI 01-5009.1-1999 yang dimaksud dengan gubal Gambar 1. Sampel gaharu (a) gaharu adalah kayu yang berasal kelas tanggung; (b) kacangan; (c) teri dan dari pohon atau bagian pohon (d) kemedangan penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. Kemudian yang dimaksud dengan kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
10
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Tabel 4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia
No
Klasifikasi mutu
Kesetaraan dengan standar mutu di pasaran
Warna
Kandungan damar wangi
Bau/aroma (dibakar)
A.
Gubal
1.
Mutu Utama
Super
Hitam merata
Tinggi
Kuat
2.
Mutu I
Super AB
Hitam kecoklatan
Cukup
Kuat
3.
Mutu II
Sabah Super
Hitam kecoklatan
Sedang
Agak kuat
B.
Kemedangan
1.
Mutu I
Tanggung A
Coklat kehitaman
Tinggi
Agak kuat
2.
Mutu II
Sabah I
Coklat bergaris hitam
Cukup
Agak kuat
3.
Mutu III
Tanggung AB
Coklat bergaris putih tipis
Sedang
Agak kuat
4.
Mutu IV
Tanggung C
Kecoklatan bergaris putih tipis
Sedang
Agak kuat
5.
Mutu V
Kemedangan I
Kecoklatan bergaris putih lebar
Sedang
Agak kuat
6.
Mutu VI
Kemedangan II
Putih keabuabuan garis hitam tipis
Kurang
Kurang kuat
7.
Mutu VII
Kemedangan III
Putih keabuabuan
Kurang
Kurang kuat
C.
Abu gaharu
1.
Mutu Utama
Cincangan
Hitam
Tinggi
Kuat
2.
Mutu I
Sedang
Sedang
3.
Mutu II
Kurang
Kurang
TATA NIAGA GAHARU Proses pemasaran gaharu di berbagai tempat di Indonesia dimulai dari pemungut gaharu yang menjual gaharu yang ditemukannya kepada pedagang pengumpul di desa atau di kecamatan dan selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar (eksportir) di Ibukota Propinsi.
11
Salah satu contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2. Pemungut gaharu terdiri dari pemungut bebas dan pemungut terikat. Pemungut bebas adalah pemungut gaharu dengan modal kerja sendiri sehingga bebas di dalam menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya, baik kepada pedagang pengumpul di desa, pedagang pengumpul di kecamatan maupun langsung kepada pedagang besar (eksportir) di Kota Samarinda. Pemungut terikat adalah pemungut gaharu yang dimodali sehingga waktu pencarian dan penjualan hasil perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar. Pemungut Bebas
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
Pemungut Pemungut Terikat
Pedagang Perantara
Gambar 2. Contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan dan Sumatra
Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang perantara di desa yang langsung melakukan pembelian gaharu yang diperoleh para pemungut. Hasil pembelian dari pedagang perantara ini kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul di kecamatan untuk selanjutnya dijual kepada pedagang besar karena adanya ikatan kontrak. Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan jumlah yang diinginkan mereka menanamkan modal yang disalurkan melalui
12
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
pedagang pengumpul ataupun secara langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu. Pemungut Bebas
Pedagang Pengumpul Pedagang Besar
Pemungut Pemungut Terikat
Pedagang Perantara
Gambar 3. Alur tata niaga Gaharu di daerah (Kalimantan)
PEMASARAN GAHARU Dalam dunia perdagangan gaharu, baik di Indonesia maupun di luar negeri, gaharu menjadi komoditi primadona dan memiliki nilai komersial yang cukup tinggi sehingga banyak diburu oleh konsumen. Gaharu yang diperdagangkan di Indonesia terdiri dari tiga jenis, yaitu: gaharu dari Sumatera dan Kalimantan dengan jenis Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa, gaharu dari Papua, Sulawesi dan Maluku lebih dikenal dengan nama Aquilaria filaria, sedangkan jenis gaharu Gyrinops lebih banyak diproduksi dari Nusa Tenggara. Apabila diperhatikan maka perdagangan gaharu hasil alam di Indonesia dari dulu hingga saat ini lebih banyak bertumpu pada peyebaran secara ekologis jenis-jenis gaharu tersebut. Pemasaran gaharu yang merupakan salah satu bentuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Konvensi Perdagangan Internasional tentang jenis flora dan fauna liar yang terancam punah (CITES). Oleh karena itu maka secara umum pemanfaatan gaharu harus mengikuti tahapan dan aturan-aturannya, yaitu: penentuan kuota, pengambilan dari alam atau hasil budidaya (penangkaran), pengangkutan untuk peredaran dalam negeri dan pengangkutan untuk pemasaran luar negeri.
13
A. Pemasaran Dalam Negeri Pemasaran dalam negeri dimulai dari aktivitas pengambilan, pengangkutan dan peredaran secara domestik produk sampai akhirnya ke konsumen. Karena perkembangan teknologi, produk gaharu yang diperdagangkan dalam negeri saat ini tidak saja terbatas pada chip atau serpihan dengan bermacam-macam kelas, tapi juga sudah mengarah ke produk turunannya, antara lain: minyak, sabun, lulur, cream whitening, lotion, makmul, hio, obat nyamuk, pembersih muka, pemanfaatan untuk obat-obatan dan aroma terapi. Bahkan saat ini sudah dikembangkan daun jenis Aquilaria dan Gyrinops untuk bahan pembuatan minuman teh karena kandungan zat anti oksidan dalam daun yang cukup tinggi. Beberapa contoh produk dimaksud dapat dilihat pada gambar 3 dan 4 berikut.
Gambar 4. Produk turunan gaharu: sabun transparan, lulur dan lotion
14
Sirup daun gaharu
Gaharu leaf tea
Gambar 5. Produk sirup dan teh untuk bahan minuman
Dilihat dari pelaku usaha, banyak fihak yang terlibat dalam perdagangan gaharu, baik sebagai individu (perorangan), kelompok masyarakat maupun lembaga. Karena jumlah pelaku usaha pemasaran, misalnya pencari gaharu dan pedagang pengumpul di bagian hulu (hutan atau desa sekitar hutan) lebih banyak dibandingkan dengan pedagang menengah dan besar yang berdomisili di ibukota kabupaten atau propinsi, maka terdapat kecenderungan untuk saling menekan harga. Oleh karena itu bentuk pemasaran gaharu di Indonesia lebih cocok dikatakan sebagai pasar “monopsoni”, yaitu pasar yang dikuasai oleh pembeli, baik dalam menentukan harga maupun kualitas gaharu. Pemasaran gaharu dalam negeri terbentuk karena adanya hubungan antara daerah pemasok dengan kota/pusat penerima. Secara tradisional daerah pemasok gaharu untuk kota Surabaya adalah Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, NTT, NTB. Daerahdaerah ini walaupun letaknya di Indonesia bagian timur, namun karena akses yang mudah memasok gaharu pula ke Jakarta, ditambah dari daerah Indonesia bagian barat, yaitu sumatera, termasuk Riau. Di duga banyak gaharu yang di perdagangkan secara illegal dari sumatera lewat Riau ke Singapura dan Malaysia.
15
Secara garis besar, lalu lintas perdagangan gaharu di dalam negeri dapat dilihat pada gambar berikut.
Kalimantan
Papua
Sulawesi
Maluku Riau Sumatera
Surabaya
Sumatera Jakarta NTT NTB
Gambar 6. Lalu lintas perdagangan gaharu dalam negeri
Beberapa permasalahan yang sering dijumpai di lapangan antara lain: sulitnya menentukan jenis gaharu, standar dan kualitas serta harga yang layak sehingga menguntungkan bagi kedua belah fihak, yaitu konsumen dan produsen.
B. Pemasaran Luar Negeri Secara fisik, produk gaharu sulit dibedakan berdasarkan asal jenis tumbuhan dan asal daerahnya. Demikian pula dari sisi warna dan aroma sangat sulit bagi orang awam atau pedagang pemula untuk dapat memilah-milahnya. Oleh karena kekhawatiran salah satu species penghasil gaharu yang mungkin bisa cepat punah, maka jenis Aquilaria yang ada, yaitu: A. malaccensis, A. microcarpa, A. filaria dan Gyrinops diatur perdagangannya oleh konvensi perdagangan internasional yaitu CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) melalui sistem quota.
Menurut ASGARIN, produk gaharu yang diperdagangkan ke luar negeri mengikuti selera konsumen. Gaharu dengan kualitas super (superking, super A dan AB) umumnya dipasarkan ke negaranegara Timur Tengah untuk digunakan sebagai bahan acara ritual keagamaan, wewangian dan aroma terapi. Untuk gaharu yang berkualitas menengah ke bawah, ekspor lebih banyak dilakukan ke negara-negara Asia Selatan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak wangi dan untuk acara-acara ritual dalam bentuk hio, makmul dan lain-lain. Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan pembeli dari Taiwan untuk mengimpor gaharu dari Indonesia dalam bentuk log. Kayu gaharu yang bentuknya masih gelondongan dan hanya sedikit mengandung gaharu tersebut digunakan sebagai hiasan yang dipasang di suatu ruangan dengan diberikan sedikit sentuan teknologi ukir sehingga terkesan mewah dan mempunyai nilai seni yang sangat tinggi. Pada gambar 6 berikut, dapat dilihat beberapa gaharu yang masih dalam bentuk gelondongan yang siap untuk diekspor. Nilai keseluruhan dari gaharu tersebut tidak kurang dari Rp 600 juta.
Gambar 7. Gaharu dalam bentuk gelondongan yang siap dikirim ke Taiwan.
17
Selama 3 (tiga) tahun terakhir jumlah kuota dan realisasi gaharu yang diekspor sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Perkembangan kuota dan realisasi ekspor gaharu Indonesia Tahun
A. Malaccensis
A. filaria
Gyrinops
2007
30.000 (K) 23.709 (R)
76.000 (K) 76.000 (R)
24.000 (K) 8.000 (R)
2008
30.000 (K) 30.000 (R)
65.000 (K) 65.000 (R)
25.000 (K) 25.000 (K)
2009
173.250 (K) 74.890 (R)
455.000(K) 326.882(R)
-
Tabel diatas memperlihatkan bahwa kuota ekspor gaharu pada tahun 2007 dari ketiga jenis yang dapat dipenuhi hanya dari jenis A. filaria, sedangkan untuk A. malaccensis tidak dapat dipenuhi, dan bahkan untuk Gyrinops realisasi ekspornya hanya mencapai 30% dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2008, realisasi ekspor gaharu untuk ketiga jenis dapat terpenuhi 100% dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2009, lonjakan kuota yang signifikan terjadi pada jenis A. malaccensis sebanyak hampir enam kali lipat, sedangkan pada A. filaria sebanyak tujuh kali lipat. Menurut sebuah sumber, hal ini terjadi karena ditemukannya potensi baru yang sebelumnya luput dari inventarisasi, misalnya untuk jenis A. filaria yang banyak terpendam di rawa-rawa di Papua. Menurut ASGARIN, pusat perdagangan gaharu dunia yang sangat penting adalah Singapura dan Riyad (Saudi Arabia). Dua negara ini pula yang menjadi daerah atau negara tujuan utama ekspor gaharu dari Indonesia. Singapura selain mendapat pasokan gaharu dari Indonesia juga dari negara Asia Tenggara, misalnya Vietnam dan Kamboja. Oleh Singapura gaharu yang masuk dilakukan penyortiran dan pengemasan dan kemudian di ekspor kembali ke India, China, Hongkong, Taiwan dan Jepang, dan sebagian lagi ke Timur Tengah. Sedangkan gaharu yang masuk ke Saudi Arabia di distribusikan lagi ke negara-negara lain di sekitarnya dan sebagian lagi di ekspor ke Inggris dan perancis, seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
18
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Hongkong India
Prancis
Malaysia Taiwan
China
UK
Saudi Arabia
Kwait Oman
Japan
Qatar
UAE
SINGAPORE
Indonesia
Bahrain
Iraq Iran
Middle East Riyadh
Afrika
Gambar 8. Lalu lintas perdagangan gaharu luar negeri
REKAYASA PEMBENTUKAN GAHARU Teknik budidaya perlu dikuasai dengan baik untuk dapat membudidayakan pohon penghasil gaharu. Teknik budidaya dimaksud meliputi kegiatan perbanyakan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit hingga tumbuhan tersebut memiliki volume yang cukup memadai. Rekayasa produksi gaharu diarahkan untuk pohon-pohon penghasil gaharu hasil budidaya, sedangkan pohon-pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami perlu dikonservasi dan dipelihara dengan baik untuk dijadikan pohon induk penghasil anakan. Secara garis besar proses pembentukan gaharu terdiri dari dua, yaitu secara alami dan buatan, yang dua-duanya berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau damar.
19
Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi. Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan diamati. Oleh karena itu untuk dapat mengamati secara langsung proses pembentukan gaharu dilakukan rekayasa dengan cara inokulasi (penyuntikan) jamur atau cendawan pada pohon penghasil gaharu. Rekayasa pembentukan gaharu dengan inokulasi telah dilakukan oleh banyak fihak, dengan teknik induksi yang bermacam-macam dan jenis jamur yang bervariasi. Tahapan rekayasa produksi gaharu meliputi banyak kegiatan, dimulai dari kegiatan laboratorium, kegiatan lapangan dan kombinasi keduanya. Kegiatan yang “berskala laboratorium” dimulai dari kegiatan lapangan, kegiatan di laboratorium dan kegiatan uji lapangan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Eksplorasi, koleksi dan isolasi jamur. Identifikasi jamur secara molekuler Penyaringan (screening) Uji efektivitas Formulasi media Produksi inokulan (jamur) Pembangunan plot demonstrasi untuk ujicoba di lapangan Observasi dan evaluasi
Alur kegiatan rekayasa produksi gaharu secara garis besar dapat dilihat sebagaimana gambar berikut:
Gambar 9. Alur kegiatan rekayasa produksi gaharu.
20
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Sampai saat sudah berhasil dikoleksi 23 inokulan (isolat) dari sebagian besar propinsi di Indonesia. Diantara isolat tersebut empat isolat sudah diujicoba pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu di beberapa daerah dan memberikan hasil yang cukup bagus. Ke empat isolat tersebut adalah: isolat dari Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Gorontalo dan Papua. Berdasarkan pengamatan sementara, beberapa isolat lain yang juga cocok dan memberikan hasil yang cukup bagus adalah Jambi dan Kalimantan selatan. Berdasarkan bukti-bukti keberhasilan tersebut, maka secara resmi ke empat jenis isolat tersebut telah di “launching” Menteri Kehutanan (lihat gambar 8) pada Pameran Indo Green yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada tahun 1999. Launching tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan akses kepada publik agar dapat memanfaatkan isolat tersebut untuk ujicoba produksi gaharu.
Gambar 10. Launching Inokulan Gaharu oleh Menteri Kehutanan
Dengan adanya launching tersebut maka secara resmi inokulan prododuksi Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) telah dilepas di pasaran namun masih terbatas. Keterbatasan tersebut dimaksudkan hanya kepada masyarakat petani gaharu atau pelaku usaha gaharu yang telah mendapatkan pelatihan dari P3HKA saja yang boleh menggunakan inokulan tersebut.
21
Untuk melihat efektivitas pembentukan gaharu, ujicoba ke enam isolat telah dilaksanakan di 15 (lima belas) lokasi yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, yaitu: Bohorok (sumut), Jambi, Sijunjung dan Padang Pariaman (Sumbar), Bangka, Sumsel, Sukabumi, Bogor (Jabar), Carita (Banten), Bali, Lombok (NB), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Menado dan Seram. Ujicoba tersebut dilaksanakan di lokasi dengan kondisi yang berbeda, baik kondisi ekologis, jenis asal isolat dan jenis pohon penghasil gaharu yang diinokulasi. Penyebaran plot inokulasi dapat dilihat sebagaimana gamber berikut.
Bioinduction : 15 locations Gambar 11. Penyebaran plot inokulasi pembentukan gaharu (gambar bintang warna kuning)
Evaluasi dan pengamatan terus menerus dilakukan, untuk mengetahui perkembangan inokulasi, baik kegagalan maupun keberhasilanya. Beberapa faktor penting yang diamati adalah: kondisi kelembaban dan suhu udara, keterbukaan tajuk, virulensi inokulan yang digunakan, jarak titik lubang dan lain sebagainya.
22
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Perkembangan hasil inokulasi yang dilaksanakan di salah satu lplot penelitian yaitu daerah Sukabumi dari waktu ke waktu dapat dilihat sebagaimana tabel berikut. Tabel 6. Perkembangan hasil inokulasi menurut waktu
Umur Setelah Inokulasi
Kualitas
3 bulan 6 bulan 9 bulan 1 tahun 2 tahun 3 tahun
Kemedangan Kemedangan B Kemedangan A teri kacangan tanggung
Apabila di sejajarkan dengan kualitas gaharu hasil alam yang ada di pasaran dalam negeri, maka hasil gaharu yang dipanen setelah 3 bulan inokulasi memiliki kualitas kemedangan, dan terus meningkat menjadi kelas teri setelah 1 tahun. Kualitas gaharu tersebut terus meningkat menjadi kacangan setelah 2 tahun inokulasi dan secara signifikan meningkat menjadi tanggung pada 3 tahun setelah inokulasi. Pada saat ini pohon yang ditebang secara bertahap tersebut masih hidup dan masih tumbuh baik di lapangan. Menurut rencana pada tahun 2011 akan dilakukan pemanen lagi untuk melihat perkembangan kualitas gaharu, dengan harapan bahwa gaharu yang akan dipanen tersebut akan mempunyai kualitas` yang lebih bagus lagi dari sebelumnya. Contoh gaharu hasil panen yang dilakukan secara bertahap adalah sebagai berikut.
23
Gambar 12. Gaharu hasil panen 3 bulan setelah penyuntikan, dengan kualitas kemedangan C.
Gambar 13. Gaharu hasil panen 9 bulan setelah penyuntikan (inokulasi) dengan kualitas kemedangan A.
24
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Grade Kemedangan (US $ 100/kg)
Gambar 14. Gaharu hasil panen satu tahun setelah penyuntikan dengan kualitas teri
Grade Gubah AB (US $ 200-250/kg)
Gambar 15. Gaharu hasil panen dua tahun setelah penyuntikan dengan kualitas kacangan
25
> US $ 800
Gambar 16. Gaharu hasil panen 3 (tiga) tahun setelah penyuntikan dengan kualitas tanggung
Berdasarkan survey pasar, referensi harga gaharu hasil alam di pasaran dalam negeri dan penawaran dari pedagang gaharu dari Riyad (gambar sudut kanan atas), estimasi harga gaharu hasil panen dari plot penelitian P3HKA dapat dilihat sebagai mana tabel berikut. Tabel 7. Harga gaharu yang cenderung meningkat dengan semakin tertundanya waktu panen. Umur Setelah Inokulasi
26
Harga (Rp)
3 bulan
50.000
6 bulan
200.000
9 bulan
750.000
1 tahun
1.000.000
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Umur Setelah Inokulasi
Harga (Rp)
2 tahun
2.500.000
3 tahun
US$ 800 atau 7.500.000
4 tahun
?
Hubungan antara kualitas gaharu, waktu penundaan panen dan harga di pasaran sangan erat sekali. Semakin lama proses pembentukan gaharu di pohon maka akan semakin meningkat kualitas gaharu yang akan dihasilkan dan dengan sendirinya akan meningkatkan harga gaharu tersebut. Grafik hubungan antara terbentuknya gaharu dengan waktu dapat dilihat pada grafik sebagai berikut.
Hasil rekayasa
Kualitas
Super
Hasil alam 1
Tanggung
Hasil alam 2
Kacangan
Hasil alam 3
Teri
Hasil alam 4
Kemedangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tahun
Gambar 17. Grafik hubungan antara terbentuknya gaharu dengan waktu penundaan panen.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, gaharu hasil panen 9 bulan setelah penyuntikan mengandung zat aktif yang cukup
27
banyak, setidaknya terdapat 12 (dua belas) komponen kimia sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut.
Azulene
= komponen minyak esensial tanaman, wangi & warna biru
Benzylacetone = wangi manis bunga, komponen volatile dan kokoa Dumasin = wangi mint, memiliki sifat pestisida Cadinene = konstituen minyak esensial berbagai tanaman Limonene = terpen aroma bunga & buah, insektisida botani, bahan kosemtik
Komponen Kimia
Isolongifolen = bahan odorant & parfum Indole = wangi bunga & parfum,konsituen utama dalam minyak melati Maltol
= wangi caramel (manis), penguat rasa/aroma pada roti &kue
Ketoisophorone = wangi manis campuran kayu, teh dan daun tembakau Valerolactone = wangi herbal Ambrox = odorant tipe amber, anti inflamantory Ambrettolide = wangi musk, manis buah & bunga
1
2
3
4
5
Tahun
Gambar 18. Kandungan kimia yang terdapat pada gaharu hasil rekayasa.
Pemeriksaan kandungan kimia pada gaharu hasil alam menunjukkan hasil yang sama dengan gaharu hasil rekayasa jika dua-duanya diambil dari kualitas yang sama.
28
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
PENUTUP Dengan ditemukannya teknologi inokulasi pembentukan gaharu, terbukalah peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan gaharu yang dimulai dari subsistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), subsistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulasi, dan pengamanan), subsistem hilir (pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran), subsistem pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema kredit dan asuransi). Ketiga subsistem tersebut di atas memerlukan investasi yang cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan penerimaan asli daerah yang cukup signifikan. Untuk dapat mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, maka seluruh sektor harus memainkan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan integrasi yang baik di antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, maka produk gaharu akan menjadi produk andalan dimasa depan.
29
30
STATUS RISET GAHARU
31
32
Aspek PRODUKSI
33
PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Mucharromah Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman Universitas Bengkulu
PENDAHULUAN Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dibanding produk kehutanan lainnya, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam pohon penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam pengembangan gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan sasaran ideal yang dapat melipatgandakan peran dan fungsi program tersebut. Dari segi keberadaan material bibitnya lokasi sekitar hutan memiliki jumlah tegakan gaharu alam terbanyak, mengingat buah pohon ini bersifat rekalsitran, sehingga tidak menyebar jauh, kecuali dengan campur tangan manusia. Dari segi kesiapan masyarakat, pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah mengenal gaharu, sebagian bahkan pernah menjadi pengumpul, sehingga pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai. Dari aspek keamanan lingkungan dan keragaman hayati, pengembangan gaharu di sekitar hutan juga akan membantu pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan, mengingat 35
Aspek PRODUKSI
masyarakat sudah dapat memperoleh penghasilan dari usaha pengembangan gaharu yang sangat prospektif secara ekonomi. Selain itu, mengingat pohon penghasil gaharu memiliki morfologi yang sangat mendukung perannya sebagai ’penjaga lingkungan’, yaitu meningkatkan kapasitas absorbsi dan retensi air tanah, menguatkan tanah, sehingga tidak mudah longsor serta menyerap CO2 dan menghasilkan O2 yang sangat penting dalam mendukung kehidupan. Dengan demikian, pengembangan gaharu di wilayah sekitar hutan akan memperkuat fungsi hutan tersebut, di samping pemberdayaan dan pemakmuran masyarakat di sekitar wilayah hutan. Dengan nilai ekonomi gaharu yang sangat tinggi dan permintaan pasar dunia yang terus meningkat, maka pengembangan gaharu sangat berpotensi mensejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara di samping menghindarkan dari bahaya bencana alam kekeringan, kekurangan air bersih, longsor, paningkatan temperatur udara, polusi, dan kekurangan oksigen. Namun demikian, pengembangan gaharu tidak sama dengan pengembangan tanaman pertanian yang dapat langsung menghasilkan. Pada pohon penghasil gaharu, produksi gaharu justru tidak akan terjadi bila pohonnya tumbuh sangat baik dan tidak terganggu sedikit pun. Oleh karenanya, pengembangan produksi gaharu tidak cukup hanya dilakukan dengan penanaman bibit pohon penghasilnya saja, tetapi juga perlu didukung dengan pengembangan teknik produksi dan pengembangan sistem yang akan mendukung pengembangan produksi, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan proses produksi yang memerlukan dana cukup besar. Sejauh ini produksi gaharu Indonesia masih banyak diambil dari alam sehingga disebut sebagai gaharu alam. Gaharu alam telah dikenal sejak ribuan tahun lalu diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China, termasuk dari wilayah barat Indonesia atau Sumatera dan dihargai sangat mahal, khususnya yang memiliki kualitas super dan di atasnya. Gaharu kualitas super sudah mengeluarkan aroma harum meski tanpa dipanasi atau dibakar. Bentuk gaharu super sangat beragam, dengan tekstur yang sangat keras dan halus tidak berserat, berwarna hitam mengkilat dan berat hingga tenggelam dalam air. Sementara gaharu
36
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
yang memiliki kualitas lebih rendah (kemedangan dan abuk) disuling untuk diambil resinnya dan ampasnya dibuat makmul atau hio untuk ritual keagamaan. Dengan makin meningkatnya permintaan pasar internasional, maka volume perdagangan gaharu makin meningkat, sehingga keberadaan pohon penghasil gaharu juga makin terancam akibat banyak yang ditebangi dan dicacah masyarakat untuk diambil gaharunya. Kondisi ini tak akan dapat diatasi kecuali dengan melakukan pengembangan gaharu secara besar-besaran, khususnya di area yang paling potensial yaitu wilayah sekitar hutan. Dengan upaya ini, maka produksi gaharu Indonesia akan tetap melimpah dan masyarakat yang memproduksinya juga makin makmur dan sejahtera, sehingga lebih mampu menjaga keamanan lingkungan dan keragaman sumberdaya alam di sekitarnya.
KESIAPAN PENGEMBANGAN GAHARU A. Kesiapan SDM Pendukung Proses Produksi Meskipun gaharu sudah sangat lama menjadi salah satu komoditi ekspor Indonesia, namun banyak masyarakat umum yang tidak mengetahui apa yang disebut gaharu, kecuali masyarakat di sekitar wilayah hutan yang sudah pernah terlibat dalam pencarian, pembersihan, dan perdagangan gaharu. Karenanya mereka merupakan kelompok sasaran yang sudah siap menjadi SDM untuk pengembangan gaharu, khususnya pada proses pasca panen, pembersihan gaharu dari sisa kayu putihnya. Proses ini sangat lambat, hampir seperti seni memahat, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja terampil. Dengan pengalaman mencari gaharu alam yang sudah cukup lama, banyak masyarakat di sekitar hutan yang terampil membersihkan gaharu sehingga cukup siap untuk mendukung pengembangan gaharu di daerahnya.
B. Kesiapan Teknologi Produksi Berbeda dengan produk pepohonan lainnya yang selalu dihasilkan selama tanaman tumbuh sehat atau dengan kata lain
37
Aspek PRODUKSI
produksi merupakan fungsi dari pertumbuhan tanaman sehat, gaharu justru tidak akan didapat pada pohon yang tumbuh sehat tanpa ada gangguan apapun. Kebanyakan gaharu justru ditemukan pada pohon yang terganggu, baik secara alami oleh faktor abiotik maupun biotik ataupun telah diinduksi oleh manusia. Faktor abiotik dapat berupa angin atau hujan angin dan petir. Namun kejadian pembentukan gaharu oleh faktor abiotik dari alam ini sulit ditiru sehingga tidak dapat dijadikan dasar pada proses produksi dalam bentuk industri. Sementara pembentukan gaharu oleh faktor biotik dapat disebabkan oleh infeksi jasad renik terhadap tanaman, selain akibat gesekan hewan dan perilaku manusia yang tidak direncanakan. Temuan tentang adanya jenis jasad renik yang dapat menginduksi terjadinya akumulasi resin wangi yang selanjutnya membentuk gaharu inilah yang mendasari adanya temuan tentang teknik induksi pembentukan gaharu yang dapat digunakan untuk mendukung proses produksi gaharu dalam skala industri. Beberapa kelompok peneliti telah mampu melakukan inokulasi yang merangsang pembentukan gaharu (Mucharromah et al., 2008a,b,c,d; Santoso et al., 2006, 2008; Kadir, 2009). Namun mengingat teknik yang diterapkan belum biasa dilakukan masyarakat, maka untuk persiapan pelaksanaannya dalam proses produksi dibutuhkan pelatihanpelatihan, baik pelatihan teknik inokulasi maupun pelatihan teknik monitoring pembentukan gaharu. Selain itu juga perlu dilakukan teknik pelatihan produksi inokulan sehingga proses produksi dapat berlangsung lebih efisien. Dengan dukungan operasional, maka teknik produksi inokulan dan induksi pembentukan gaharu dengan inokulasi telah siap untuk dilatihkan kepada masyarakat guna mendukung pengembangan produksi gaharu melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan.
C. Kesiapan Kontrol Kualitas Produk Untuk keberhasilan dan kesinambungan suatu proses produksi umumnya selalu dilakukan monitoring kualitas produk. Untuk itu penyiapan SDM pendukung pengembangan gaharu juga perlu mempersiapkan personil yang mampu mengenali kualitas
38
dan mensortasi atau mengumpulkan gaharu yang dihasilkan berdasarkan gradasi kualitas dan kegunaannya. Dari segi bentuknya, gaharu merupakan jaringan kayu dari pohon jenis tertentu (penghasil gaharu) dengan kandungan resin sesuiterpenoid volatil beraroma harum gaharu yang cukup tinggi. Adanya aroma harum yang khas dan tahan lama inilah yang membuat gaharu sangat disukai dan dihargai dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu jaringan yang mengandung resin wangi gaharu juga hanya didapati pada bagian pohon yang mengalami proses tertentu, seperti pelukaan yang disertai infeksi patogen melalui inokulasi atau proses lainnya, yang selanjutnya membuat jaringan kayu tersebut memiliki warna, aroma, tekstur, dan tingkat kekerasan dan berat jenis berbeda. Hal ini membuat gaharu menjadi makin mahal dan nilainya sangat ditentukan oleh kualitas kadar dan kemurnian resin yang dikandungnya. Pada gaharu alam gradasi kualitas ditentukan berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan secara nasional dalam SNI 015009.1-1999. Dalam standar ini kualitas gaharu dibedakan menjadi tiga sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Ketiga sortimen tersebut dibagi lagi dalam 13 kelas kualitas, yang terdiri dari: 1. Gubal gaharu, dengan 3 tanda mutu, yaitu: a. mutu utama = mutu super b. mutu pertama = mutu AB c. mutu kedua = mutu sabah super 2. Kemedangan, dengan 7 kelas mutu, yaitu: a. mutu pertama = mutu TGA/TK1 b. mutu TGB/TK2 c. mutu TGC/TK3 d. mutu TGD/TK4 e. mutu TGE/TK5 f. mutu TGF/TK6 g. mutu ketujuh = setara dengan M3 3. Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas mutu, yaitu: a. mutu utama b. mutu pertama
39
Aspek PRODUKSI
c. mutu kedua. Namun pembedaan kelas kualitas tersebut secara detil sangat sulit dilakukan sehingga pada prakteknya hingga saat ini konsumenlah yang menentukan tingkat mutu produk dan harga gaharu. Hal ini merupakan anomali dari kondisi perdagangan komoditi lainnya, di mana pemilik barang merupakan penentu harga. Namun dengan tingkat keahlian sortasi, standar kualitas gaharu dan harganya akan lebih terjamin. Untuk itu pelatihan SDM dalam teknik monitoring perkembangan pembentukan gaharu dan kontrol kualitasnya sangat penting dilakukan. Saat ini sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah makin efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu yang dilakukan beberapa bulan lalu di Provinsi Bengkulu, proses pembentukan gaharu telah semakin cepat terjadi. Pada 6 bulan setelah inokulasi telah dicapai produk kualitas kemedangan TGB dan TGA, yang biasanya baru dapat dicapai pada 12-18 bulan setelah inokulasi, meskipun sebagian besar masih berada pada mutu TGC (Mucharromah et al., 2008). Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi ini sangat prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu yang pohon penghasilnya telah mulai banyak dibudidayakan di Sumatera dan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian pengembangan gaharu siap dilaksanakan, tidak hanya di sekitar wilayah hutan tetapi bahkan hingga ke halaman rumah dan perkantoran serta sekolah, seperti yang telah dilakukan di Kota Bengkulu dan sekitarnya. Namun pengembangan gaharu di sekitar wilayah hutan kemungkinan akan jauh lebih efisien proses produksinya, di samping lebih besar manfaatnya bagi pengamanan lingkungan dan pemberdayaan serta pemakmuran masyarakat.
D. Kesiapan Modal dan Kelembagaan Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan beragam jenis pohon penghasil gaharu. Hal ini menjadi modal utama yang membuat proses produksi gaharu menjadi jauh lebih
40
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
mudah dan murah. Saat ini pembentukan gaharu di alam telah dilaporkan terjadi pada sedikitnya 16 jenis pohon dari beberapa genus famili Thymelaceae, satu famili Leguminoceae, dan satu famili Euphorbiaceae (Wiriadinata, 2008 dan Sumarna, 2002). Di alam tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk gaharu atau hanya sedikit sekali menghasilkan gaharu. Jumlah gaharu yang dihasilkan per pohon di hutan alam sangat bervariasi dari 0,3 hingga 14 kg dan umumnya semakin banyak dengan makin besarnya diameter pohon (MacMahon, 1998). Selain itu, tidak semua pohon menghasilkan gaharu. Hal ini membuat proses produksi gaharu alam menjadi kian mahal. Pada gaharu budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau luka yang diinokulasi dan kualitasnya tergantung dengan lamanya waktu sejak inokulasi hingga panen. Semakin lama maka semakin banyak resin wangi yang terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan. Dengan demikian, maka pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi dapat jauh lebih efisien dibandingkan produksi yang mengandalkan gaharu bentukan alam. Namun demikian pengembangan gaharu tetap memerlukan dukungan dana yang relatif besar meskipun rasio keuntungannya terhadap modal juga cukup besar, sebagaimana disajikan pada analisis usaha inokulasi gaharu (Lampiran 1) dan analisis budidaya gaharu (Lampiran 2). Berdasarkan hasil analisis tersebut maka pengembangan gaharu paling efisien bila dilakukan di area sekitar hutan yang masih kaya dengan tegakan gaharu berdiameter > 20 cm yang dapat diinokulasi untuk mempercepat produksi dan menambah modal awal untuk penanaman pada area yang lebih luas untuk kesinambungan usaha pengembangan gaharu. Selain itu juga diperlukan adanya kerjasama dan komitmen semua pihak untuk membantu mengawali usaha ini berdasarkan expertise dan bidang pekerjaannya. Sejauh ini keberadaan pohon penghasil gaharu di lapangan telah banyak membantu pelaksanaan uji efektivitas inokulasi, uji produksi, pelatihan inokulasi, pelatihan monitoring pembentukan gaharu serta upaya produksi gaharu hasil inokulasi. Namun dari
41
Aspek PRODUKSI
segi kualitas, gaharu hasil inokulasi hingga kini belum dapat mencapai kualitas tertinggi gaharu alam, yaitu super, double super, dan lebih tinggi. Terbentuknya gaharu kualitas super atau yang sering disebut gubal super ini kemungkinan akan dapat dicapai seiring dengan pengembangan penelitian inokulan unggul yang terus dilakukan. Secara teoritis keunggulan inokulan dalam menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis dan kemurnian mikroorganisme yang digunakan, sebagaimana ditunjukkan oleh data mikroskopis perkembangan deposisi resin gaharu pada area jaringan sekitar lubang yang diinokulasi atau hanya dilukai (Mucharromah dan Marantika, 2009). Sementara kehadiran jenis cendawan lainnya, khususnya cendawan pelapuk kayu, justru mendegradasi kembali resin gaharu yang sudah dideposisi bahkan hingga menghancurkan selnya sehingga gaharu yang sudah mulai terbentuk menjadi hancur dan lapuk minimal sebagian dan kualitas gaharu yang dihasilkan akan menurun. Dengan demikian, maka penggunaan inokulan unggul dan teknik inokulasi yang meminimalkan kontaminasi akan dapat meningkatkan kualitas gaharu yang dihasilkan dan mengefisienkan proses produksi hingga dapat dilaksanakan dengan modal lebih rendah. Pada gaharu kualitas gubal, akumulasi resin wangi terjadi maksimal hingga luber dan menutupi sel-sel di sekitarnya. Akibatnya jaringan kayu tersebut menjadi halus seperti dilapisi agar dan berwarna coklat kemerahan atau kehitaman, tergantung intensitas atau kadar resin gaharu yang dikandungnya. Bila kualitas seperti ini dapat dihasilkan dari inokulasi pohon pada awal proses pengembangan, maka produksi gaharu selanjutnya tidak banyak memerlukan bantuan modal lagi, karena kualitas seperti gaharu alam tersebut bernilai sangat tinggi, yaitu USD 2.000 hingga 16.000 per kg di tingkat ’end-consumer’ di luar negeri, sehingga mampu menutupi pembiayaan untuk pengembangan selanjutnya. Saat ini kualitas gaharu hasil inokulasi sudah jauh lebih baik dan pada beberapa hasil penelitian sudah mendekati mutu gubal kualitas kemedangan B/C (Santoso, 2008; Mucharromah dan Surya, 2006) atau bahkan B (Surya, 2008 - komunikasi pribadi;
42
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
Mucharromah et al., 2008). Dengan teknik inokulasi dan jenis isolat yang lebih murni dan potensial serta waktu antara inokulasi dan panen yang lebih panjang, maka kualitas gubal super mungkin akan dapat dicapai. Selain karena kandungan resinnya yang jauh lebih tinggi, aroma resin gaharu juga sangat menentukan kualitas. Sejauh ini aroma gaharu alam lebih lembut dibanding hasil inokulasi, kemungkinan karena kemurnian resin yang dikandungnya. Pada pengamatan mikroskopis (Mucharromah dan Marantika, 2009) menunjukkan bahwa pada jaringan yang terkontaminasi resin gaharu yang awalnya berwarna coklat bening kemerahan berubah menjadi berwarna kehitaman dan menghilang sebelum akhirnya selnya menjadi hancur. Oleh karena itu dalam proses produksi gaharu dengan inokulasi perlu diterapkan prinsip-prinsip aseptik yang akan membatasi peluang terjadinya kontaminasi (Mucharromah et al., 2008). Selain itu kekhasan aroma gaharu juga dipengaruhi oleh jenis pohon penghasilnya dan kemungkinan juga jenis mikro organisme inokulannya, sehingga aroma gubal gaharu kualitas terbaik dari berbagai wilayah dapat berbeda (Mucharromah et al., 2007). Jenisjenis pohon penghasil gaharu dari spesies Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta, dan A. agallocha yang banyak dijumpai di Sumatera, dikenal menghasilkan gaharu yang disukai konsumen mancanegara sejak jaman dahulu. Oleh karenanya pengembangan gaharu di wilayah sekitar hutan dengan cara memperbanyak pohon-pohon jenis Aquilaria yang ada di lokasi tersebut dan menginokulasi pohon yang sudah tua untuk membiayai peremajaannya akan dapat mengembalikan potensi produksi gaharu yang dahulu dimiliki Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya.
MODEL PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Secara teoritis akumulasi resin wangi gaharu telah dilaporkan distimulasi oleh infeksi cendawan dari jenis tertentu (Mucharromah dan Surya, 2006, 2008a,b,c; Santoso et al., 2006; Sumarna, 2002).
43
Aspek PRODUKSI
Kemampuan cendawan inokulan dalam menstimulir produksi resin juga sangat terkait dengan tingkat akumulasi resin yang merupakan hasil netto dari proses sintesis dikurangi dengan degradasinya serta jenis resin dan kemurniannya (Agrios, 2005; Langenhein, 2004; Mucharromah, 2004). Dengan demikian maka penggunaan jenis inokulan tertentu dan kemurniannya serta penerapan teknik aseptik dalam penyiapan dan aplikasi inokulan, ketepatan teknik inokulasi, dan keterampilan pekerja akan sangat mempengaruhi proses produksi dan kualitas produk. Oleh karenanya di Bengkulu pengembangan gaharu diawali dengan pengujian efektivitas berbagai isolat cendawan yang berpotensi menginduksi pembentukan gaharu dan diikuti dengan pengembangan inokulan unggul yang masih terus dilakukan untuk peningkatan kualitas. Selain itu, setelah didapat inokulan efektif dan hasil inokulasi yang cukup menjanjikan, maka kepada masyarakat pemilik tegakan gaharu yang diameternya telah mencapai > 20 cm ditawarkan kerjasama pengembangan gaharu dengan penanaman kembali dan inokulasi. Kerjasama ini meliputi pemeliharaan dan penanaman kembali anakan alam yang ada di sekitar tegakan induk hingga mencapai populasi minimal 10-100 batang tanaman muda per pohon induk diinokulasi untuk produksi gaharu. Sejauh ini telah dilakukan pengembangan gaharu sebanyak > 10.000 batang yang ditanam di sekitar pohon induk yang diinokulasi. Namun kerjasama ini masih membutuhkan cukup banyak modal untuk menjadi usaha pengembangan gaharu yang mandiri, karena masih harus melakukan panen dan proses pembersihan gaharu yang bersifat padat karya. Meskipun gaharu yang dipanen akan menghasilkan produk yang dapat dijual, namun untuk pelaksanaan proses panen dan pembersihan tersebut diperlukan modal yang cukup besar. Oleh karenanya pengembangan gaharu tidak dapat dilakukan secara mandiri, khususnya pada masyarakat yang tidak memiliki modal dan hanya mengandalkan sumberdaya alam dan keterampilan. Oleh karenanya campur tangan pemerintah sangat diharapkan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu memerlukan modal yang cukup besar karena prosesnya cukup kompleks. Pertama, anakan alam atau bibit harus ditanam dan dipelihara. Selanjutnya pohon yang sudah cukup besar (diameter >
44
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
20 cm) perlu diinduksi dengan inokulasi jasad renik atau perlakuan lainnya agar membentuk gaharu. Proses induksi pembentukan gaharu dilakukan dengan memberikan inokulan pada sejumlah besar lubang yang dibuat spiral dengan jarak 7-10 cm horisontal dan 12-20 cm vertikal dari pangkal batang hingga ujung pucuk yang masih bisa dipanjat. Proses inokulasi ini selain memerlukan keterampilan, juga keberanian dan ketersediaan personil dengan kondisi fisik yang mendukung pelaksanaan pekerjaan. Selanjutnya pohon yang telah diinokulasi dimonitor hingga waktu panen. Setelah dipanen secara total, dilakukan proses pembersihan untuk memisahkan gaharu dari jaringan kayu yang lebih sedikit kandungan resin wanginya. Proses ini dilakukan secara manual dengan melibatkan sejumlah besar tenaga kerja. Pada gaharu hasil inokulasi, untuk membersihkan 1 kg gaharu umumnya diperlukan 4-5 orang hari kerja, sehingga untuk menghasilkan gaharu sebanyak 270 ton sebagaimana jumlah yang diekspor pada tahun 2000-an akan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 56.000-68.000 orang/hari. Jumlah ini cukup besar dan akan mampu mempekerjakan masyarakat sekitar hutan sebanyak 280 hingga 340 orang/tahun dengan 200 hari kerja/tahun. Dengan peningkatan permintaan dan kapasitas produksi, maka jumlah tenaga kerja yang dikaryakan juga akan semakin meningkat. Dari segi jumlah tenaga kerja yang menangani proses pembersihan produk ini kemungkinan tidak banyak berbeda antara produksi gaharu alam dengan gaharu budidaya, tetapi dari segi keamanan pekerja dan lingkungan, pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi makin lama makin memberikan keuntungan melimpah dan makin ’sustainable’, sementara gaharu alam akan makin habis, sehingga tidak berkelanjutan. Oleh karenanya pengembangan gaharu harus dilakukan secara serius, sehingga upaya-upaya yang dilakukan akan memberi hasil yang berkelanjutan. Selain itu, mengingat proses produksi gaharu jauh lebih rumit dibandingkan proses produksi komoditi hasil hutan dan perkebunan atau pertanian lainnya, maka perlu ada suatu kelembagaan yang bertugas untuk membantu penyiapan dan pelaksanaan proses produksinya hingga berhasil berkembang menjadi industri gaharu yang mandiri. Kelembagaan tersebut dapat sangat sederhana
45
Aspek PRODUKSI
bila pengembangan gaharu dapat diberlakukan seperti komoditi pertanian atau perkebunan hasil budidaya. Namun bila perdagangan gaharu masih diatur oleh kuota yang dalam proses perdagangannya melibatkan banyak pihak, maka pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perdagangannya, tidak hanya dengan pihak yang dapat membantu pengembangannya. Dalam pelaksanaannya, pelibatan banyak pihak ini bila tidak dipayungi dengan deskripsi tugas yang mendetil dan tidak saling tumpang-tindih, justru akan dapat menghambat pengembangan gaharu yang dituju. Sejauh ini pengembangan gaharu yang dilakukan di Provinsi Bengkulu, baik oleh pihak swasta maupun perguruan tinggi dan kelompok masyarakat, dibuat secara sangat sederhana dengan kontrak kerjasama antara pemilik pohon/lahan dengan pelaksana yaitu perguruan tinggi, swasta atau kelompok masyarakat. Mengingat pohon yang diinokulasi atau bibit yang ditanam berada di lahan pribadi, baik halaman maupun kebun, maka proses pengembangan gaharu yang telah dilakukan sejauh ini berjalan aman. Hal ini dikarenakan upaya pengembangan yang dilakukan masih belum mencapai tahap produksi gaharu yang siap diperdagangkan. Bila sudah mencapai tahap produksi, maka dengan adanya aturan kuota, penjualan gaharu hingga kini masih memerlukan adanya sertifikasi jumlah untuk memastikan bahwa batas kuota belum terlewati, sehingga cukup menyulitkan meskipun prosesnya sederhana. Hal ini mungkin perlu disederhanakan dalam upaya pengembangan gaharu yang dilakukan, mengingat wilayah sekitar hutan yang menjadi area pengembangan gaharu umumnya cukup jauh dari lokasi institusi yang mensertifikasi produknya. Dalam hal pengembangan gaharu, perguruan tinggi dapat memainkan peran yang dapat menguntungkan semua pihak. Dalam hal ini peran perguruan tinggi yang mengembangkan penelitian gaharu dapat dilakukan dalam bentuk pembinaan kelompok produksi gaharu di sekitar wilayah hutan serta penelitian untuk pemutakhiran teknik produksi, pengembangan inokulan unggul untuk peningkatan mutu serta pengembangan teknik pengawasan kualitas produk. Peran tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang sudah secara
46
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
rutin dilakukan perguruan tinggi dengan dukungan pendanaan dari instansi pemerintah maupun swasta.
PENUTUP 1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang sangat besar, tidak hanya karena menghasilkan produk bernilai ekonomi yang sangat tinggi, yang berpotensi sangat besar untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, tetapi juga karena upaya ini memerlukan investasi teknologi dan modal yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh karenanya pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan perencanaan yang sangat matang dari setiap tahapan prosesnya sehingga dapat berjalan dan meningkatkan kemandirian masyarakat di wilayah sekitar hutan. Hal ini sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk menjamin peningkatan dan kesinambungan produksi gaharu, tetapi juga untuk melindungi hutan dan keragaman hayati yang ada di sekitarnya serta meningkatkan kapasitas hutan dalam menanggulangi potensi bahaya bencana alam yang disebabkan oleh longsor, banjir, kekeringan, polusi, dan beragam kerusakan lingkungan lainnya. 2. Untuk lebih mengefisienkan proses produksi dan menekan pembiayaan maka program pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan mengadopsi model yang paling efisien dan praktis, sehingga keberhasilannya akan lebih terjamin. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat proses pembentukan gaharu tidak berjalan secara otomatis pada tanaman yang tumbuh sehat, sebagaimana produk pertanian atau perkebunan dan kehutanan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academic Press, New York. Anonim. 1995. Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Kemedangan pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan pada Temu Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995. Jakarta.
47
Aspek PRODUKSI
Anonim. 2006. Agarwood. ”http://en.wikipedia.org/wiki /Agarwood”. Terakhir dimodifikasi 11:11, 31 Oktober 2006. Maryani, N., G. Rahayu dan E. Santoso. 2005. Respon Acremonium sp. Asal Gaharu terhadap Alginate dan CaCl2. Prosiding Seminar Nasional Gaharu. Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember 2005. MacMahon, C. 1998. White Lotus Aromatics. http://members.aol. com/ratrani/ Agarwood. html. Updated April 16th, 2001, Accessed 16 April 2006. Mucharromah, Misnawaty, dan Hartal. 2008. Studi Mekanisme Akumulasi Resin Wangi Aquilaria malaccensis (Lamk.) Merespon Pelukaan dan Infeksi Cendawan. Laporan Penelitian Fundamental. DIKTI. Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Produksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Peningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus 2008. Mucharromah, Hartal, dan Surani. 2008. Tingkat Akumulasi Resin Gaharu Akibat Inokulasi Fusarium sp. pada Berbagai Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat, Universitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008. Mucharromah, Hartal, dan U. Santoso. 2008. Potensi Tiga Isolat Fusarium sp. dalam Menginduksi Akumulasi Resin Wangi Gaharu pada Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat, Universitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008. Mucharromah. 2006. Teknologi Budidaya dan Produksi Gubal Gaharu di Provinsi Bengkulu. Makalah Seminar. Fakultas Pertanian Universitas Mataram Bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan Moyosari Nusa Tenggara Barat (BP DAS Dodokan Moyosari NTB). Universitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 18 November 2006. Mucharromah. 2006a. Fenomena Pembentukan Gubal Gaharu pada Aquilaria malaccensis (Lamk.). (unpublished).
48
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
Mucharromah dan J. Surya. 2006b. Teknik Inokulasi dan Produksi Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN. Surabaya 11-13 September 2006. Ng., L.T., Y.S. Chang and A.K. Azizil. 1997. A Review on Agar (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Journal of Tropical Forest Products 2 : 272-285. Ngatiman dan Armansyah. 2005. Uji Coba Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Prosiding Seminar Nasional Gaharu “Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia”, Bogor, 1-2 Desember 2005. SEAMEO BIOTROP. Parman, T. Mulyaningsih, dan Y.A. Rahman. 1996. Studi Etiologi Gubal Gaharu pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar Gaharu. Kanwil Dephut Propinsi NTB, Mataram, 11-12 April 1996. Parman dan T. Mulyaningsih. 2006. Teknologi Budidaya Tanaman Gaharu untuk Menuju Sistem Produksi Gubal Gaharu secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Surabaya, 11-13 September 2006. Purba, J.N. 2007. Identifikasi Genus Cendawan yang Berasosiasi dengan Pohon Aquilaria malaccensis (Lamk.) dan Gubal Gaharu Hasil Inokulasi serta Potensinya untuk Menginfeksi Bibit Gaharu. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Raintree. 2001. Database Entry For Aquilaria agallocha. Raintree Nutrition, Inc., Austin, Texas. Sites : hhtp//www.rain-tree.com/ aquilaria.htm. Date 3/3/06. Santoso, E., L. Agustini, D. Wahyuno, M. Turjaman, Y. Sumarna, R.S.B. Irianto. 2006. Biodiversitas dan Karakterisasi Jamur Potensial Penginduksi Resin Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN, Surabaya 12 September 2006. Sumarna, Y. 2005. Strategi Budidaya dan Pengembangan Produksi Gaharu. Prosiding Seminar Nasional Gaharu, Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember 2005.
49
Aspek PRODUKSI
Lampiran 1. Analisis usaha inokulasi gaharu Waktu inokulasi : Jumlah tegakan gaharu : Proyeksi hasil : Total proyeksi hasil : Penjualan kelas BC per batang : Penjualan powder : No A.
3 tahun 1 batang 20 kg/batang (Kelas BC); 30 kg/batang (Kemedangan) 50 kg/batang 60 kg 100 kg/batang
Uraian
Harga/unit (Rp’000)
Unit
Pembelian batang/tanah
1
Btg
100
100
Pengadaan inokulan
1
Btg
5.000
5.000
Pembelian peralatan
1
Set
90
90
Stressing agent
1
Btg
1.500
1.500
Tenaga ahli inokulasi
1
Btg
200
200
Tenaga kerja
1
Btg
600
600
Pemeliharaan/perawatan
3
Thn
12
36
Operasi lainnya
1
Btg
300
300
Beban operasional
Total A.1.
7.826
Beban panen dan pasca panen Penebangan
1
Btg
50
50
Angkut ke gudang
1
Btg
50
50
Pembersihan gaharu
50
Kg
25
1.250
Packing
50
Kg
2
Total A.2.
B.
100 1.450
Beban pemasaran & umum lainnya Angkut penjualan
50
Kg
5
250
Penjualan
50
Kg
10
500
Retribusi
50
Kg
5
250
Pengurusan surat-surat
1
Btg
6
6
Umum lainnya
50
Kg
0,5
25
Total
1.031
Total beban operasi
10.307
Proyeksi penghasilan Penjualan kelas BC
60
Kg
2.000
Penjualan powder
100
Kg
5
Total proyeksi penghasilan C.
Beban zakat/pajak
D.
Proyeksi keuntungan
120.000 500 120.500
5%
Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006
50
Total cost (Rp’000)
QTY
%
6.025 104.168
Pengembangan Gaharu di ..... (Mucharromah)
Lampiran 2. Analisis usaha budidaya gaharu Waktu budidaya : 7 tahun Luas lahan : 1 ha Populasi tegakan : 1.000/ha Rasio jumlah suntikan : 80 lubang/kg Jumlah lubang : 160/batang Proyeksi hasil panen per batang : 160/80 = 2 kg Exchange rate IDR : 9.000
No A.
Uraian
Harga/ unit (Rp’000)
Total cost (Rp’000)
ha
15.000
15.000
Surat*
4.000
QTY
Unit
1 1
Biaya akuisisi lahan Pembelian lahan Perizinan/sertifikat/notariat Total
B.
4.000 19.000
Biaya pra operasi (start-up cost) Sarana & prasarana TBM Rumah jaga
1
Unit
2.000
2.000
Sarana penerangan (PLN)
1
Unit
1.000
1.000
Sarana komunikasi
1
Unit
2.000
2.000
1
-
1.000
1.000
Sarana lainnya A+B C C.1.
Total
6.000
Total biaya (direkapitulasi)
25.000
Beban operasi Penanaman pohon baru Land clearing
1
ha
1.000
1.000
Pembelian bibit
1.000
Btg
5
5.000
Pembuatan lubang
1.000
Btg
1
1.000
Penanaman pohon gaharu
1.000
Btg
0,5
500
Pemupukan
1.000
Btg
5
5.000
1
ha
24.000
24.000
Perawatan dan pengamanan Total C.2.
36.500
Beban inokulasi Pengadaan inokulan
1.000
Btg
20
Pembelian peralatan
1
Set
3.000
3.000
Stressing agent
1.000
Btg
10
10.000
Tenaga kerja
1.000
Btg
5
5.000
Pemelihaaan/perawatan
1.000
Btg
10
10.000
1.000
Btg
1
Operasi lainnya Total
20.000
1.000 49.000
51
Aspek PRODUKSI
QTY
Unit
Harga/ unit (Rp’000)
Total cost (Rp’000)
Penebangan
1.000
Btg
5
5.000
Angkut ke gudang
1.000
Btg
5
5.000
Pembersihan gaharu
2.000
Kg
10
20.000
2.000
Kg
2
No C.3.
Uraian Beban panen & pasca panen
Packing Total C.4.
D
Beban pemasaran & umum lainnya Angkut penjualan
2.000
Kg
5
10.000
Penjualan
2.000
Kg
10
20.000
Retribusi
2.000
Kg
20
40.000
Umum lainnya
2.000
Kg
0,5
71.000
Total beban operasi
190.500
2.000
Kg
Total proyeksi penghasilan F
Beban zakat /pajak
5% Proyeksi keuntungan
Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006
52
1.000
Total Proyeksi penghasilan Penjualan kelas C E
4.000 34.000
2.000
4.000.000 4.000.000
%
200.000 3.609.500
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
2 KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI Fusarium sp. PADA Aquilaria microcarpa Eka Novriyanti Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok
PENDAHULUAN Gaharu adalah komoditas hasil hutan non-kayu yang bernilai ekonomi tinggi dengan harga pasar bervariasi tergantung kualitasnya, mulai dari 300 ribu rupiah hingga 25 juta rupiah untuk kualitas double super. Produk ini dihasilkan beberapa spesies penghasil gaharu dalam famili Thymeleaceae. Indonesia yang merupakan salah satu pemasok gaharu terbesar memiliki kekayaan jenis penghasil gaharu tertinggi di dunia, yaitu 27 spesies dari 8 genus dan 3 famili yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Irian (Sumarna, 2005). Gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang disebut memiliki scent of God’, meskipun pengunaan produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja. Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000). Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagaman, sebagai pengharum ruangan sembayang serta benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, dalam bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesik dan anti
53
Aspek PRODUKSI
inflamatory (Trupti et al., 2007), dan bermanfaat untuk mengatasi berbagai panyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin; juga memiliki sifat anti racun, anti serangga, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan pencernaan, (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004; Suhartono dan Mardiastuti, 2002). Gaharu adalah senyawa fitoaleksin yang merupakan metabolit sekunder dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya. Pohon gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini, 2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi, maupun keadaan cekaman (Goodman et al. dalam Isnaini, 2004). Metabolit sekunder atau zat ekstraktif tanaman dapat efektif dalam melawan hama dan agen penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Commission GIFNFC, 2007). Metabolit sekunder pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills, 1987). Konsentrasi metabolit sekunder ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim (Forestry Commission GIFNFC, 2007). Informasi mengenai bahan-bahan kimia yang terkandung dalam gaharu penting untuk pemanfaatan produk ini. Arah pemanfaatan informasi kimia gaharu di antaranya adalah penyusunan standar produk berdasarkan komposisi kimia yang dikandungnya sehingga lebih seragam dalam praktek penentuan kualitas produk, pengembangan pemanfaatan lain dengan terbukanya kemungkinan diidentifikasinya senyawa-senyawa baru dengan manfaat yang baru pula, informasi jalur biosintetis gaharu itu sendiri sehingga mungkin dapat dibuat sintetis senyawa, pengembangan senyawa-senyawa dalam gaharu dengan bio-teknologi, dan lain-lain pengembangan yang masih sangat luas untuk dilakukan. Namun begitu, hal ini
54
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
masih memerlukan pemikiran dan terus melakukan penelitianpenelitian lanjutan yang akan membuka satu demi satu kebenaran yang saat ini masih belum terungkap.
ANALISIS KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI ISOLAT DARI BEBERAPA DAERAH ASAL Dalam tulisan ini, analisis kimia gaharu dilakukan dengan analisis GCMS pirolisis menggunakan aparatus Shimadzu GCMSQP2010. Helium digunakan sebagai gas pembawa (carrier) (0,8 ml/min) yang dilengkapi dengan kolom kapiler DB-5 MS (60 mm x 0,25 mm, ketebalan film 0,25 μm), dioperasikan dengan electron impact (EI) mode pada 70 eV dan suhu ion source 2000C. Kondisi kromatografi adalah sebagai berikut: suhu oven kolom 500C, suhu injeksi 2800C. Injeksi dilakukan dalam mode split, yaitu isothermal 500C selama 5 menit, kemudian increased mencapai 2800C hingga 30 menit, dan ditahan pada suhu ini hingga menit ke-60. Identifikasi senyawa dilakukan berdasarkan waktu retensi dan analisis MS. Analisis komponen kimia dilakukan untuk gaharu rekayasa hasil inokulasi isolat Fusarium sp. asal Bahorok, Kalimantan Tengah Tamiang Layang, Mentawai, dan Maluku. Pengukuran luasan infeksi dilakukan pada umur inokulasi 6 bulan, sedangkan analisis kimia dilakukan untuk sampel berumur ± 1 tahun. Gambar 1 menyajikan luasan infeksi Fusarium sp. pada batang A. microcarpa. Meskipun secara deskriptif isolat asal Bahorok sepertinya menyebabkan infeksi yang paling besar, namun secara statistik, daerah asal isolat tidak berpengaruh nyata terhadap luasan infeksi yang terjadi pada batang pohon penghasil gaharu ini. Tidak signifikannya pengaruh asal isolat terhadap luas infeksi diduga disebabkan karena isolat yang diinokulasikan sama-sama Fusarium sp., dan perlu dicatat tidak satupun isolat yang origin dari lokasi di mana penelitian dilakukan yaitu asal Carita. Meskipun di awal inokulasi masing-masing isolat memperlihatkan kecepatan pembentukan infeksi yang berbeda sesuai virulensinya, namun setelah sekian waktu ternyata pengaruhnya terhadap luasan infeksi menjadi tidak signifikan lagi.
55
Aspek PRODUKSI
Gambar 1. Panjang infeksi pada umur inokulasi 6 bulan di batang A. microcarpa dengan pembeda daerah asal isolat
Meskipun secara luasan infeksi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, namun analisis komponen kimia dari gaharu hasil rekayasa ini menunjukkan adanya perbedaan. Lampiran 1 menyajikan komponen kimia hasil analisis py-GCMS terhadap sampel gaharu inokulasi umur satu tahun. Sampel yang dianalisi adalah sampel masing-masing dari titik-titik inokulasi dengan jarak suntik 5 cm dan 20 cm. Lampiran 1 dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. kelompok A: konstituen gaharu yang sudah diidentifikasi pada pekerjaan beberapa peneliti sebelumnya 2. Kelompok B: senyawa berkarakter odorant namun merupakan hasil pirolisis komponen kayu seperti selulosa dan lignin 3. Kelompok C: senyawa yang belum dikonfirmasi merupakan konstituen gaharu namun memiliki karakter odorant. Kelompok A pada Lampiran 1, dengan tanpa membedakan jarak suntik menunjukkan bahwa akumulasi konsentrasi relatif tertinggi untuk konstituen terkonfirmasi (Yagura et al., 2003; Bhuiyan et al., 2009; Pojanagaroon dan Kaewrak, 2006; Burfield, 2005; Tamuli, 2005; Alkhathlan et al., 2005; Konishi, 2002; Nor Azhah et al.,
56
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
2008) terjadi pada isolat asal Kalimantan Tengah Tamiang Layang sebesar 12,89%, diikuti masing-masing Maluku (10,96%), Bahorok (10,61%), dan Mentawai (8,27%). Secara kuantitas maupun kualitas (komponen kimia terkonfirmasi), isolat asal Kalimantan Tengah Tamiang Layang memberikan hasil gaharu artifisial yang relatif terbaik yang ditunjukan oleh relatif lebih besarnya infeksi yang terjadi dan akumulasi senyawa gaharu terkonfirmasi tertinggi. Kelompok B pada Lampiran 1 merupakan kelompok senyawa berkarakter odorant yang merupakan hasil pirolisis selulosa dan lignin. Ditampilkannya fakta tersebut karena penggunaan gaharu pada umumnya sebagai incense yang menghasilkan wangi hanya jika kayu yang mengandung resinnya dibakar. Keberadaan senyawasenyawa odorant hasil pirolisis komponen kayu ini kemungkinan memiliki peran pada kesatuan wangi yang dihasilkan incense gaharu yang dibakar. Dengan kata lain, karena digunakan sebagai incense yang mengumbar wangi saat dibakar, maka keberadaan senyawa dalam kelompok B tidak bisa dikesampingkan walaupun bukan merupakan konstituen resin gaharu yang sebenarnya. Untuk kelompok odorant yang merupakan pirolisis komponen kayu ini, konsentrasi relatif tertinggi justru dihasilkan oleh isolat asal Maluku (12,47%), diikuti Bahorok (12,40%), Kalimantan Tengah Tamiang Layang (12,23%), dan Mentawai (11,47%). Perbedaan konsentrasi ini kemungkinan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi selulosa dan lignin dari bagian batang yang dijadikan sampel. Pengaruh kontribusi senyawa dalam kelompok ini pada wangi gaharu memerlukan investigasi lebih lanjut. Untuk Kelompok C, akumulasi konsentrasi relatif tertinggi dihasilkan oleh isolat asal Maluku (26,14%), Mentawai (24,37%), Bahorok (22,31%), dan terakhir Kalimantan Tengah Tamiang Layang (18,71%). Pola urutan konsentrasi yang sama juga terjadi untuk total konsentrasi relatif komponen berkarakter odorant; Maluku, diikuti Mentawai, Bahorok, dan Kalimantan Tengah Tamiang Layang. Namun kontribusi komponen-komponen berkarakter odorant tersebut terhadap wangi gaharu masih memerlukan observasi yang lebih dalam lagi.
57
Aspek PRODUKSI
Untuk komponen gaharu terkonfirmasi (Kelompok A), secara umum jarak suntik 5 cm menghasilkan akumulasi konsentrasi yang lebih tinggi, kecuali untuk isolat asal Kalimantan Tengah Tamiang Layang yang justru lebih tinggi akumulasi konsentrasinya pada jarak suntik 20 cm (Tabel 1). Secara umum untuk kelompok A, jarak suntik 5 cm dan 20 cm menghasilkan akumulasi konsentrasi relatif masing-masing sebesar 11,25% dan 10,11%. Untuk kelompok B, dihasilkan akumulasi masing-masing sebesar 12,17% dan 12,11% untuk jarak suntik 5 cm dan 20 cm. Angka-angka ini tidak jauh berbeda karena diduga konsentrasi komponen kayu yang relatif sama pada pohon-pohon sampel yang relatif berumur sama dan tumbuh pada kondisi yang relatif sama. Tabel 1. Komponen dalam gaharu hasil inokulasi berbagai daerah asal isolat Fusarium sp. pada A. microcarpa yang memiliki karakterisitik odorant penting Komponen
Keterangan
Ambrettolide
Senyawa ini memiliki karakter wangi musk, manis buah, dan bunga (International Flavor and Fragrance, Inc., 2008)
Ambrox
Ambrox memiliki karakter odorant tipe amber dan juga merupakan anti-inflamatory yang potensial untuk bidang pengobatan (Castro et al., 2002).
Valerolactone
Senyawa ini memiliki wangi herbal yang dimanfaatkan dalam industri parfum dan pewangi (Wikipedia Online, 2008).
Ketoisophorone
Ketoisophorone mengumbar wangi manis campuran kayu, teh, dan, daun tembakau (The Good Scent Company, 2008).
Maltol
Komponen ini menyajikan wangi caramel dan digunakan untuk menghasilkan wangi yang manis pada fragrance, biasanya dimanfaatkan sebagai penguat rasa dan aroma (flavor enhancer) pada roti dan kue (Wikipedia Online, 2008).
Indole
Senyawa ini pada konsentrasi rendah menyajikan wangi bunga dan merupakan konstituen dalam berbagai wangi bunga dan parfum. Indole merupakan konstituen utama dalam minyak melati dan karena minyak melati ini berharga mahal, produk ini dibuat sintetisnya dengan menggunakan indole (Wikipedia Online, 2008).
Isolongifolen
Isolongifolene merupakan bahan yang sangat berguna sebagai odorant dan minyak parfum (Bunke dan Schatkowski, 1997).
58
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Komponen
Keterangan
Limonene
Limonene merupakan terpen yang memiliki aroma bunga dan buah. Limonen merupakan monoterpeneoid yang digunakan sebagai insektisida botani, selain sebagai bahan kosmetik dan flavouring karena memberi wangi sitrus. Geraniol dan limonen juga dimanfaatkan dalam pengobatan herbal dan konstituen dalam berbagai tanaman obat (Wikipedia Online, 2008; The Good Scent Company, 2008; Mann et al., 1994; Blake, 2004).
Cadinene
Senyawa ini muncul sebagai konstituen minyak esensial berbagai tanaman (Wikipedia Online, 2008).
Dumasin
Dikenal juga sebagai cyclopentanone yang memiliki wangi mint. Merupakan material wewangian dan untuk pengobatan serta memiliki sifat pestisida (ChemYQ, 2008).
Benzylacetone
Benzylacetone memiliki wangi manis bunga yang merupakan komponen atraktan yang melimpah pada bunga, juga merupakan komponen volatil pada kokoa (Wikipedia Online, 2008).
Azulene
Azulene sangat sering ditemukan sebagai komponen dalam minyak esensial tanaman dalam family Asteraceae dan memiliki wangi dan warna biru pada minyak dan ekstraknya (LyndShiveley, 2004).
Akumulasi total untuk komponen berkarakter odorant menunjukkan bahwa jarak suntik 20 cm (52,59%) yang menghasilkan konsentrasi relatif lebih tinggi dibandingkan jarak suntik 5 cm (50,23%). Pola yang sama juga terlihat untuk akumulasi konsentrasi relatif pada kelompok senyawa C, masing-masing 24,81% dan 20,96% untuk jarak suntik 20 cm dan 5 cm. Dengan besarnya spasi injeksi akan menyebabkan proses pembentukan senyawa yang terjadi berlangsung relatif lebih lambat, yang ditunjukan oleh infeksi yang lebih kecil. Namun, proses yang lambat ini kemungkinan memberi waktu dan kesempatan bagi senyawa tertentu untuk disintesis atau diakumulasikan hingga diperoleh konsentrasi yang relatif lebih tinggi. Di pihak lain, dengan spasi injeksi yang lebih kecil di mana infeksi terjadi lebih cepat dan lebih besar, ada kemungkinan proses sintesis terjadi lebih cepat dibandingkan jarak injeksi yang lebih besar sehingga dihasilkan senyawa-senyawa baru yang lain yang berkarakter odorant namun akumulasinya belum cukup tinggi saat observasi dilakukan. Kajian lebih dalam lagi diperlukan untuk mengetahui perkembangan atau perubahan yang terjadi dengan semakin lamanya waktu inokulasi.
59
Aspek PRODUKSI
Hasil analisis py-GCMS juga menunjukkan adanya senyawasenyawa yang pada beberapa hasil penelitian lain disebutkan sebagai senyawa pertahananan. Beberapa di antara komponen ini bahkan juga memiliki karakter wangi yang diketahui merupakan konstituen minyak esensial dan digunakan secara komersil dalam industri parfum dan pengharum seperti vanillin, eugenol (Cowan, 1999; Rhodes, 2008; Koeduka et al., 2006), senyawa 4H-pyran-4-one dan derivatnya (Abrishami et a., 2002; Rho et al., 2007; Fotouhi et al., 2008), benzoic acid (NBCI, PubChem Compound, 2008), derivat cyclopentane (Wikipedia Onlie, 2008), syringal-dehyde (Pedroso et al., 2008), dumasin (ChemYQ, 2008), dan elimicin (Rossi et al., 2007). Eugenol serta isoeugenol digunakan dalam produksi vanilin yang merupakan bahan penting dalam industri wewangian (Cowan, 1999). Eugenol, isoeugenol, metileugenol, dan isometileugenol merupakan empat senyawa fenilpropanoid dari 12 senyawa volatil yang diketahui menyebabkan wangi yang manis pada Clarkia breweri (Rhodes, 2008). Sedangkan koniferil alkohol merupakan intermediet dalam biosintetis eugenol dan isoeugenol (Cowan, 1999), dan guaiakol merupakan intermediet dalam pembuatan eugenol dan vanilin (Li dan Rosazza, 2000). Senyawa asetosiringon juga tercatat pada semua gaharu hasil inokulasi kelima daerah asal isolat dalam penelitian ini, di mana senyawa ini merupakan fenolik yang dihasilkan tanaman sebagai respon alami terhadap pelukaan (Sheikholeslam dan Weeks, 1986). Dalam Hua (2001) disebutkan bahwa konsentrasi asetosiringon meningkat 10 kali lipat ketika suatu jaringan aktif tanaman dilukai. Asetosiringon merupakan bioaktif dalam interaksi tanamanmikroba yang mempercepat pendeteksian kehadiran patogen oleh tanaman di mana konsentrasi senyawa ini meningkat dalam tanaman seiring dengan meningkatnya konsentrasi mikroba (Baker et al., 2004).
60
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Tabel 2. Senyawa-senyawa yang berdasarkan beberapa referensi diketahui merupakan pertahanan pada tanaman tertentu dan terdeteksi pada gaharu hasil inokulasi Senyawa
Keterangan
Eugenol
Bersifat bakteriostatik terhadap jamur dan bakteri (Cowan, 1999). Eugenol digunakan dalam pembuatan parfum, minyak esensial, dan obat-obatan. Senyawa ini digunakan untuk menghasilkan isoeugenol yang diperlukan untuk membuat vanilin yang juga merupakan bahan yang penting dalam obat-obatan dan industri parfum dan pengharum. Eugenol dan isoeugenol diturunkan dari prekursor lignin, yaitu asam ferulat ataupun koniferil alkohol (Rhodes, 2008).
Koniferil alkohol
Merupakan senyawa pertahanan tipe fitoaleksin yang termasuk dalam grup fenilpropanoid, contohnya adalah yang terdapat pada Linum usitiltissimum (Sengbusch, 2008).
Guaiakol
Merupakan intermediet dalam pembuatan eugenol dan vanilin, yang juga digunakan sebagai antiseptik dan parasitisida (Li dan Rosazza, 2000).
Katekol dan pirogalol
Adalah fenol terhidroksilasi yang bersifat toksik pada mikroorganisme. Letak dan jumlah grup hidroksil pada grup fenol diduga berkaitan dengan daya racun relative-nya terhadap mikroorganisme, di mana daya racun akan semakin meningkat dengan semakin tingginya hidroksilasi (Cowan, 1999).
Veratrol
Merupakan dimetil eter dari pirokatekol. Kedua senyawa ini dan turunannya digunakan sebagai antiseptik, ekspektoran, sedatif, deodoran, dan parasitisida (Wikipedia, 2008a). Konstituen resveratrol yang diturunkan dari asam p-hidroksisinamat dan 3 unit malonat, memiliki sifat antimikrobial (Torssel, 1983; p:144).
KESIMPULAN 1. Hasil inokulasi Fusarium sp. pada batang Aquilaria microcarpa dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap masing-masinng sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu yang terbentuk. 2. Pada gaharu rekayasa hasil inokulasi Fusarium sp. pada A. microcarpa ditemukan beberapa komponen senyawa yang sudah diidentifikasi merupakan konstituen gaharu dan beberapa senyawa lain yang memiliki karakter odorant dan secara komersil digunakan dalam industri perfumery dan flavoring.
61
3. Meskipun secara statistik tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan terhadap luasan infeksi yang terbentuk setelah 6 bulan inokulasi, daerah asal isolat menunjukkan perbedaan dalam konsentrasi senyawa-senyawa gaharu yang terbentuk. Secara umum, inokulasi Fusarium sp. asal Kalimantan Tengah menunjukkan konsentrasi senyawa konstituen gaharu terkonfirmasi yang lebih tinggi, namun isolat asal Maluku menunjukkan konsentrasi yang relatif lebih tinggi untuk total senyawa dengan karakter odoran.
DAFTAR PUSTAKA Abrishami, F, R. Teimuri-Mofrad, Y. Bayat, A. Shahrisa. 2002. Synthesis of Some Aldoxime Derivatives of 4H-Pyran-4-ones. Molecules 7: 239–244. Azah, M. A. N., Y. S. Chang, J. Mailina, A. A. Said, J. A. Majid, S. S. Husni, H. N. Hasnida, Y. N. Yasmin. 2008. Comparison of Chemical Profiles of Selected Gaharu Oils from Peninsular Malayia. The Malaysian Journal of Analytical Sciences 12 (2): 338-340. Baker, C. J., B. D. Whitaker, N. M. Mock, C. Rice, D. P. Robert, K. L. Deahl, A. A. Averyanov. 2004. Stimulatory Effect of Acetosyringone on Plant/Pathogen Recognition. http://www.ars.usda. gov/research/publications/publications. htm. [20 Juni 2008]. Barden, A., N. A. Anak, T. Mulliken, M. Song. 2000. Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. www.traffic.org. [22 Mei 2007]. Blake, S. 2004 Medicinal Plant Constituents. http://www. naturalhealthwizards. com/MedicinalPlantConstituents.pdf. [21 Juni 2008]. Blanchette, R. A. 2006. Sustainable Agarwood Production in Aquilaria Trees. www.therainforestproject.net. [2 Februari 2007]. Bunke, E. J, D. Schatkowski. 1997. Isolongifolanol Derivates, their Production and their Use. United State Patent. http://www. freepatentsonline.com [31 Desember 2008].
Burfield, T. 2005a. Agarwood Chemistry. www.cropwatch.org. [2 Februari 2007]. Castro, J. M., S. Salido, J. Altarejos, M. Nogueras, A. Sánchez. 2002. Synthesis of Ambrox® from Labdanolic Acid. Tetrahedron 58 (29): 5941-5949. ChemYQ. 2008. Dumasin; Succinaldehyde. http://www.chemyq.com/ En/xz/xz11 [3 April 2008]. CITES, 2004. Convention on International Trade in endangered Species of Wild Fauna and flora: Amendments to Appendices I and II of CITES. http://www.cites.org/common/cop/13/raw / props/ID-Aguilaria-Gyrinops.pdf. Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Review 12 (4): 564-582. FAO. Food safety and Quality: Flavoruing Index. http://www.fao.org/ ag/agn/jecfa-flav/index.html?showSynonyms=1 [ 1 November 2008: 2.31 pm]. Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http: // treechemicals. csl.gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007]. Fotouhi, L., A. Fatehi, M. M. Heravi. 2008. Investigation of Electrooxidation Reaction of Some Tetrahydrobenzo[b]pyran Derivatives. Int. J. Electrochem. Sci. 3: 721-726. Hayne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Thymelaceae. Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: Nuttige Planten Van Indonesie. hlm: 1467-1469. Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: SpringerVerlag. Hua, S. S. T. 2001. Inhibitory Effect of Acetosyringone on Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32: 278-281. International Flavor and Fragrance, Inc. 2008. http://www.iff.com/ Ingredients.nsf/0/45BD7B214C6F661E8025699000 5D79C2 [31 Desember 2008]. Ishihara, M., T. Tsuneya, M. Shiga, and K. Uneyama. 1991. Three Sesquiterpenes from Agarwood. Phytochemistry 30 (2): 563566.
63
Aspek PRODUKSI
Isnaini, Y. 2004. Induksi Produksi Gubal Gaharu melalui Inokulasi Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik (Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Koeduka, T., E. Fridman, D. R. Gang, D. G. Vassão, B. L. Jackson, C. M. Kish, I. Orlova, S. M. Spassova, N. G. Lewis, J. P. Noel, T. J. Baiga, N. Dudareva, E. Pichersky. 2006. Eugenol and Isoeugenol, Characteristic Aromatic Constituents of Spices, are Biosynthesized via Reduction of a Coniferyl Alcohol Ester. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. Konishi, T., T. Konoshima, Y. Shimada, S. Kiyosawa. 2002. Six New 2-(2-Phenylethyl)chromones from Agarwood. Chem. Pharm. Bull. 50 (3): 419-422. Li, T., J. P. N. Rosazza. 2000. Biocatalytic Synthesis of Vanillin. Applied and Environmental Microbiology 66 (2): 684-687. Lynd-Shiveley, E. M. 2004. Azulene and Chamomile. www. Aromaticplant project.com. [20 Juni 2008]. NCBI PubChem. 2008. Benzoic acid. http://pubchem.ncbi.nlm.nih. gov/summary/ summary.cgi?cid=243. [1 Desember 2008]. Pedroso, A. P. D., S. C. Santos, A. A. Steil, F. Deschamps, A. Barison, F. Campos, M. W. Biavatti. 2008. Isolation of Syringaldehyde from Mikania laevigata Medicinal: Extract and its Influence on the Fatty Acid Profile of Mice. Brazilian Jour. of Pharmacognosy 18(1): 63-69. Pojanagaroon, S., C. Kaewrak. 2006. Mechanical Methods to Stimulate Aloes Wood Formation in Aquiliria crassna Pierre ex H Lec (Kritsana) Trees. ISHS Acta Hort 676. www.actahort.org. [22 Mei 2007]. Prema, B. R. and P. K. Bhattacharrya. 1962. Microbial Transformation of Terpenes. Nat. Chem. Lab. India. Rho, H. S., H. S. Baek, J. W. You, S. Kim, J. Y. Lee, D. H. Kim, and I. S. Chang. 2007. New 5-Hydroxy-2-(hydroxymethyl)-4H-pyran-4one Derivative has Both Tyrosinase Inhibitory and Antioxidant Properties. Bull. Korean Chem. Soc. 28 (3): 471-473.
64
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Rhodes, D. 2008. Secondary Products Derived from Aromatic Amino Acids: Eugenol and Isoeugenol. www.hort.purdue.edu. [20 Juni 2008]. Rossi, P. G., L. Bao, A. Luciani, P. Panighi, J. M. Desjobert, J. Costa, J. Casanova, J. M. Bolla, and L. Berti. 2007. (E)-Methy-lisoeugenol and Elemicin: Antibacterial Components of Daucus carota L. Essential Oil Against Campylobacter jejuni. J. Agric. Food Chem. 55 (18): 7332-7336. Sengbusch, P. V. 2008. Phenolic Compounds. http://www.biologie. unihamburg. de/b-online/e20/20d.htm. [10 April 2008]. Sheikholeslam, S. N., D. P. Weeks. 1987. Acetosyringone Promotes High Efficiency Transformation of Arabidopsis thaliana Explants by Agrobacterium tumafacien. Plant Molecular Biology 8: 291198. Sumarna, Y. 2005. Budidaya Gaharu. Seri Agribusines. Penebar Swadaya. Jakarta. The Good Scent Company. 2008. Limonene; Ketoisophorone; Syringaldehyde, Tiglaldehyde. http://www.thegoodscents company.com/gca/gc1014951.html [20 Juni 2008]. Torssell, K. B. G. 1983. Natural Product Chemistry. John Wiley & Son Limited. Chichester, New Tork, brisbane, Toronto, Singapore. Trupti, C., P. Bhutada, K. Nandakumar, R. Somani, P. Miniyar, Y. Mundhada, S. Gore, K. Kain. 2007. Analgesik and Antiimflamatoryactivity of Heartwood of Aquilaria agallocha in Laboratory Animal. Pharmacologyonline 1: 288-298. Vidhyasekaran, P. 2000. Physiology of Disease Resistant in Plant. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. Verpoorte, R., R. van der Heijden, J. Memelink. 2000. General Strategies. In Verpoorte, R. and A. W. Alfermann (eds). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p: 31-50. Wikipedia Online. 2008. Pyrrolidine; Propargyl Alcohol; Ptalic Acid; Mesityl Oxide; Maltol; Indole; Glutanic Acid, Furanone; Elemicin; DABCO; Crotonic Acid; Cadinene; Butyric Acid; Benzylacetone; Caprylic Acid. http://en.wikipedia.org/wiki/. [1 juni 2008].
65
Aspek PRODUKSI
Yagura, T., N. Shibayama, M. Ito, F. Kiuchi, G. Honda. 2005. Three Novel Diepoxy Tetrahydrochromones from Agarwood Artificially Produced by Intentional Wounding. Tetrahedron Letters 46: 4395-4398. Yagura, T., M. Ito, F. Kiuchi, G. Honda, Y. Shimada. 2003. Four New 2-(2-Phenylethyl) Chromone Derivatives from Withered Wood of Aquilaria sinensis. Chem. Pharm. Bull. 51:560-564. Zaika, E. I., R. A. Perlow, E. Matz, S. Broyde, R. Gilboa. 2004. Sub-strate Discrimination by Formamidopyrimidine-DNA Glycosylase. The Jour. of Biol. Chem. 279 (6) issue 6: 4849-4861.
66
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Lampiran 1. Komponen dalam gaharu hasil inokulasi Fusarium sp. pada A. microcarpa Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo 5 cm
Kt
20 cm
5 cm
Me
20 cm
5 cm
Mu
20 cm
5 cm
20 cm
A. Komponen aromatis yang sudah diidentifikasi sebagai konstituen gaharu 4-(2’-Methyl-3’-butenyl) azulene
0,09
0,06
0,49
-
0,07
-
0,09
-
-
0,08
-
0,08
-
0,10
-
-
0,09
0,08
-
0,06
-
-
-
-
-
-
-
0,21
-
-
-
-
4-METHYL-2,5DIMETHOXYBENZALDEHYDE
4,35
2,37
3,66
1,52
4,65
1,45
4,42
4,60
Benzaldehyde, 2,4-dihydroxy
0,42
0,30
-
-
-
-
-
0,25
Benzaldehyde, 2,4-dimethoxy- (CAS) 2,4-Dimethoxybenzaldehyde
-
-
-
0,22
-
-
0,11
-
Benzaldehyde, 3,4-dihydroxy- (CAS) 3,4-Dihydroxybenzaldehyde
-
-
0,32
0,29
0,26
-
0,24
0,28
Benzaldehyde, 3-hydroxy- (CAS) m-Hydroxybenzaldehyde
-
0,37
-
-
0,39
-
-
0,29
Benzaldehyde, 4,6-dimethoxy2,3-dimethyl- (CAS) 2,4-Dimethoxy-5,6-dimethyl
-
-
0,36
-
-
-
-
-
Benzaldehyde, 4-[[4-(acetyloxy)-3,5dimethoxyphenyl]methoxy]3-methoxy
-
-
0,37
-
-
0,54
0,48
-
Benzaldehyde, 4-hydroxy(CAS) p-Hydroxybenzaldehyde
-
-
-
-
0,43
0,23
0,44
-
1,2-benzenedicarboxylic acid, diisooctyl ester (CAS) Isooctyl phthalate
-
0,07
-
0,12
-
-
-
-
0,24
-
-
0,41
-
0,53
-
-
-
0,04
-
0,04
-
-
0,05
-
2,5-DIMETHOXY-4ETHYLBENZALDEHYDE 2-Hydroxy-4methylbenzaldehyde 4-Ethoxy-3methoxybenzaldehyde
2-Butanone, 4-phenyl- (CAS) Benzylacetone 2-Butanone, 3,3-dimethyl(CAS) 3,3-Dimethyl-2butanone
67
Aspek PRODUKSI
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
2-Butanone, 3-phenyl- (CAS)
-
-
-
-
-
-
0,15
-
4H-1-Benzopyran-4-one, 2-(3,4-dihydroxyphenyl)-7-(. beta.-D-glucopyranosyl)
-
-
-
0,05
-
-
-
-
4H-1-Benzopyran-4one, 2-methyl- (CAS) 2-Methylchromone
-
-
-
0,18
-
-
-
-
4H-1-Benzopyran-4-one, 5,7-dihydroxy-2-methyl- (CAS) 2-Methyl-5,7-dihydroxy
-
0,06
-
0,36
-
-
0,34
-
4H-1-Benzopyran-4-one, 6-dihydroxy-2-methyl- (CAS) 6-Hydroxy-2-methylchromone
-
-
-
0,46
-
-
-
-
2-Coumaranone
-
-
-
-
-
-
0,28
-
.gamma.-Eudesmol
-
0,04
-
-
-
-
-
-
Hexadecanoic acid, 2-(octadecyloxy)-, tetradecyl ester (CAS) TETRADECYL
-
-
-
-
-
-
-
0,03
Hexadecanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl palmitate
-
-
-
-
-
-
0,05
-
2,4-Hexadienedioic acid, 3,4-diethyl-, dimethyl ester, (Z,Z)- (CAS) CIS.CIS.D
-
-
-
-
0,69
-
0,85
-
2,4-Hexadienedioic acid, 3-methyl-4-propyl-, dimethyl ester, (Z,E)- (CAS)
-
0,12
-
0,16
-
0,09
0,17
-
.alpha.-humulene
-
-
-
-
-
0,11
-
-
1-Naphthalenol, 1,2,3,4-tetrahydro- (CAS) 1-Tetralol
-
-
-
-
-
0,07
-
-
1-Ethynyl-3,4-dihydro-2naphthalenecarbadehyde
-
0,08
-
-
-
-
-
-
Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol
2,94
3,37
2,74
3,67
3,11
3,05
4,22
2,83
Phenol, 3,4-dimethoxy- (CAS) 3,4-dimethoxyphenol
0,25
0,33
0,33
0,40
0,24
0,42
0,40
0,22
-
-
-
0,25
-
-
-
-
Benzenepropanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl hydrocinnamate
68
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
Propanoic acid, 3-(2-propynyloxy)-, ethyl ester (CAS) ETHYL 3-PROPARGYL
-
0,28
-
0,24
-
-
-
0.12
Propanoic acid, anhydride (CAS) Propionic anhydride
-
1,31
1,02
0,60
-
-
0,44
-
Propanoic acid, ethenyl ester (CAS) vinyl propionate
0,04
-
-
-
-
-
-
-
CYCLOPENTANEPROPANOIC ACID, 1-ACETYL-2,2DIMETHYL-, METHYL
3,86
-
-
4,25
0,12
-
-
-
Benzenepropanoic acid (CAS) Phenylpropionic acid
-
-
-
2,74
-
-
-
-
3,4,5,6,7,8-HEXAHYDRO-2HCHROMENE
-
-
0,20
-
-
-
-
-
1,2,3,4,4A,5,6,8A-OCTAHYDRONAPHTHALENE
-
-
-
-
-
-
0,58
-
8,95
9,49
16,30
9,95
6,59
13,30
Jumlah
12,28
Rataan untuk kedua jarak suntik
10,61
12,89
8,27
8,62 10,96
B. Komponen aromatis yang merupakan pyrolisis dari bagian kayu 4H-Pyran-4-one, 3-Hydroxy-2methyl- (CAS) Maltol
0,14
0,17
0,17
0,21
0,19
0,29
0,14
0,27
4H-Pyran-4-one, 5-Hydroxy2-methyl- (CAS) 5-hydroxy-2methyl-4H-pyran-4-one
0,66
-
0,18
0,22
-
-
-
0,20
2-Propanone, 1-(acetyloxy)(CAS) Acetol acetate
0,12
-
-
0,15
-
0,15
0,17
-
2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol
5,57
4,99
3,55
4,26
6,94
3,84
5,87
6,17
Ethanone, 1-(4-hydroxy-3,5dimethoxyphenyl)- (CAS) Acetosyringone
0,50
0,58
0,66
0,67
0,56
0,38
0,49
0,65
ACETOVANILLONE
-
-
-
1,03
-
0,49
-
-
Ethanone, 1-(4-hydroxy3-methoxyphenyl)- (CAS) Acetovanillone
-
-
0,46
-
-
-
0,74
0,83
1,2-Benzenediol (CAS) Pyrocathecol
-
-
-
-
-
-
2,20
-
0,66
0,58
0,20
1,17
0,19
0,66
0,79
0,28
1,2-benzenediol, 3-methyl(CAS) 3-methylpyrocathecol
69
Aspek PRODUKSI
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
3-Methoxy-pyrocathecol
1,43
1,69
1,06
2,01
1,13
1,37
1,70
1,14
4-METHYL CATHECOL
1,90
0,46
0,19
-
0,24
-
-
-
Phenol, 2-methyl- (CAS) o-Cresol
-
-
-
-
-
-
-
0,18
Phenol, 3-methyl- (CAS) m-Cresol
0,27
0,30
0,71
0,18
-
0,45
0,31
-
Phenol, 4-methyl- (CAS) p -Cresol
-
-
-
0,57
0,11
-
-
-
Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol
1,57
1,92
1,82
2,08
1,82
2,19
-
1,36
Phenol, 2-methoxy-4-propyl(CAS) 5-PROPYL-GUAIACOL
0,18
0,23
-
-
0,13
0,15
-
0,11
-
-
-
0,22
-
0,12
0,14
-
0,39
0,52
0,40
0,35
0,34
0,35
0,50
0,35
-
-
0,89
1,07
-
0,87
0,36
-
13,37
11,43
10,28
14,18
11,63
11,31
13,40
11,54
Phenol, 3-methoxy- (CAS) m-Guaiacol Phenol, 4-ethyl-2-methoxy(CAS) p-Ethylguaiacol Phenol (CAS) Izal Jumlah Rataan untuk kedua jarak suntik
12,40
12,23
11,47
12,47
C. Komponen berkarakter odorant lainnya yang belum disebutkan sebagai konstituen gaharu Ascaridole
-
-
-
-
-
-
2,39
-
2H-Pyran-2-one, 6-ethyltetrahydro- (CAS) 6-ETHYL-.DELTA.VALEROLACTONE
-
-
-
-
-
-
0,14
-
Oxacycloheptadec-8-en-2-one (CAS) Ambrettolide
0,05
-
0,82
0,52
-
0,64
-
-
Oxacycloheptadecan-2-one (CAS) Dihydroambrettolide
0,06
-
0,64
0,16
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,03
0,24
-
-
-
-
-
-
-
-
0,07
-
-
-
-
-
-
Benzoic acid, 3,4,5-trimethoxy-, methyl ester (CAS) 3,4,5-Trimethoxybenzoic Benzoic acid, 4-(methylamino)Benzoic acid, 4-ethenyl-, methyl ester (CAS) METHYL 4-VINYLBENZOATE
70
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
.beta.-bisabolene 2-Butanone (CAS) Mehtyl ethyl ketone Butyric acid, m-nitrophenyl ester (CAS) m-Nitrophenyl butyrate Carveol, dihydro-, cis-
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
-
-
-
-
-
0,51
-
-
0,78
0,66
0,98
0,53
1,23
0,55
1,66
2,31
-
-
-
0,09
-
-
-
-
0,85
-
-
-
-
0,76
0,61
-
Cholestane-3,6,7-triol, (3.beta.,5.alpha.,6.beta.,7. beta.)- (CAS)
-
-
-
-
-
0,07
-
-
2,5-furandione, 3-methyl(CAS) Citraconic anhydride
-
-
-
-
-
0,03
-
-
Citronellyl acetate
-
-
-
-
-
-
-
0,20
.beta.-Cyclocitral
-
-
-
-
-
-
0,24
-
Cyclopentanone, dimethylhydrazone (CAS) Cyclopentanone dimethylhydrazone
-
-
-
-
-
0,26
-
-
4,95
6,45
0,65
3,93
4,99
4,17
4,38
4,93
-
-
0,32
-
-
-
-
-
0,33
-
1,93
0,70
-
1,61
-
-
TRANS-ISOELEMICIN
-
0,04
-
-
-
-
-
-
Ethanone, 1-(2,5-dihydroxyphenyl)(CAS) Quinacetophenone
-
-
-
0,42
-
-
-
-
Phenol, 2-methoxy-4-(1propenyl)- (CAS) Isoeugenol
-
-
-
-
-
-
0,28
-
Phenol, 2-methoxy-4-(1propenyl)-, (E)- (CAS) (E)isoeugenol
0,98
1,14
1,25
1,45
1,30
0,71
1,38
0,84
Phenol, 2-methoxy-4-(2propenyl)- (CAS) Eugenol
-
0,12
0,22
0,22
-
1,67
-
-
5-BUTYL-2-VALERYLFURAN
-
-
-
-
-
0,33
-
-
2(3H)-Furanone, 3-acetyldihydro- (CAS) 2-acetylbutyrolactone
-
-
-
-
-
-
-
0,20
Cyclopropyl carbinol Cyclopentanone (CAS) Dumasin 1-Eicosanol (CAS) n-Eicosanol
71
Aspek PRODUKSI
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
2(5H)-Furanone, 5,5-dimethyl(CAS) 4,4-Dimethylbut-2enolide
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
-
-
0,18
-
-
0,09
-
-
2(5H)-Furanone, 5-methyl(identity?) (CAS) 2-Penten-4olide
-
-
-
-
-
0,09
-
-
2(3H)-Furanone, 5-hexyldihydro- (CAS) 4-decanolide
-
-
-
-
-
0,93
-
-
2-Furancarboxaldehyde (CAS) Furfural
0,60
0,31
0,56
0,28
0,74
0,56
0,40
0,75
2-Furanmethanol (CAS) Furfuryl alcohol
0,54
0,54
0,26
0,70
1,09
0,98
0,54
1,03
-
-
-
-
-
0,13
0,23
-
0,35
-
0,63
0,25
-
-
-
0,30
2-Heptanone, 3-methyl- (CAS) 3-Methyl-2-heptanone
-
0,55
-
-
-
-
-
-
Hexanoic acid, 1-methylethyl ester (CAS) Isopropyl hexanoate
-
0,14
-
-
-
0,11
-
0,06
3-Hexenoic acid
-
-
0,21
-
-
-
-
-
0,64
-
0,77
0,65
-
0,51
0,18
-
1H-Indole, 2-methyl- (CAS) 2-methylindole
-
-
-
-
-
0,48
-
-
6-Nitro-5-hydroxy-1,2dimethylindole
-
-
-
0,03
-
-
0,04
0,02
Indolizine (CAS) Indolizin
-
-
0,59
-
-
-
0,36
-
Ionol 2
-
0,03
-
-
-
-
-
-
3-pentanone CAS) Diethyl ketone
0,71
-
-
-
-
-
-
-
1-Penten-3-one (CAS) Ethyl vinyl ketone
0,39
0,38
-
0,69
-
-
-
-
.GAMMA.HEXALACTONE
0,65
-
0,66
-
-
-
0,76
-
3,5-Dihydrodecanoic acid. delta.-lactone
-
0,31
-
-
0,09
-
-
-
Muskolactone
-
-
-
-
-
0,21
-
-
2-Furanmethanol, tetrahydro(CAS) Tetrahydrofurfuryl alcohol 2-Heptanol, acetate (CAS) 2-HEPTYL ACETATE
1H-Indole (CAS) Indole
72
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
L-isoleucine, N-acetyl- (CAS) N-Acetyl-L-isoleucine
-
-
-
-
-
0,70
-
-
5,7-dimethoxy-2-methylindan1-one
-
0,04
-
-
-
-
-
0,04
Lineolone
-
-
0,13
-
-
-
-
-
METHYL MALONIC ACID
-
-
-
-
-
0,11
-
-
p-Menthane-2-one-1,3,3-d3 (CAS)
-
-
-
-
-
0,89
-
-
2,6,6-TRIDEUTERIO-OMENTHONE
-
-
0,19
0,22
-
-
-
-
Benzene, 1-methoxy-4-methyl(CAS) p-methylanisole
-
-
-
0,20
-
-
-
-
NEROLIDOL ISOMER
-
-
-
-
-
-
-
0,15
4-Nonanol, 4-methyl- (CAS) 4-methyl-4-nonanol
-
-
-
-
-
0,21
-
-
2,5-Norbornanediol (CAS) 2,5-DIHYDROXYNORBORNANE
-
-
-
-
-
-
0,13
-
Piperidine, 1-nitroso- (CAS) NITROSOPIPERIDINE
-
0,89
-
-
0,65
-
0,57
-
PIPERIDINE, 1-(1-METHYLPENTYL)-
-
-
-
-
-
0,48
-
-
0,50
-
0,86
0,43
3,56
2,34
3,29
0,50
3-PHENYL-PROPIONIC ACID ISOPROPYL ESTER
-
2,45
-
-
-
-
-
-
2-PROPYNOIC ACID
-
3,17
-
-
-
-
-
5,93
9H-Purine, 6-methyl-9(trimethylsilyl)- (CAS) 6-METHYLPURINE, 9-TRIMETHYLSILYL
-
-
-
0,01
-
-
-
-
1,3-Benzenediol, 4-ethyl- (CAS) 4-Ethylresorcinol
-
-
-
-
-
-
0,42
-
1,3-Benzenediol, 5-methyl(CAS) Orcinol
0,21
0,19
-
0,20
0,13
0,04
0,21
0,15
Benzaldehyde, 4-hydroxy3,5-dimethoxy- (CAS) Syringaldehyde
0,47
0,57
0,52
0,52
0,58
0,40
0,50
0,58
3-(2,5-DIMETHOXY-PHENYL)PROPIONIC ACID
73
Aspek PRODUKSI
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
-
-
-
-
-
0,09
-
-
0,11
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,97
-
Benzaldehyde, 4-hydroxy-3methoxy- (CAS) Vanillin
0,38
0,40
0,50
0,52
0,59
0,52
0,45
0,45
Benzeneacetic acid, .alpha.hydroxy-2-methoxy- (CAS) 2-methoxymandelic acid
-
-
-
-
-
-
0,01
-
Benzeneacetic acid, 4-hydroxy-3-methoxy- (CAS) Homovanillic acid
-
-
-
-
0,20
0,11
0,21
-
ISO-VELLERAL
-
-
-
0,02
-
-
-
-
Benzenemethanol, 3,4-dimethoxy- (CAS) Veratryl alcohol
-
0,10
-
-
-
-
-
-
2-Butanone, 4-(4-hydroxy3-methoxyphenyl)- (CAS) Zingerone
-
-
-
0,63
-
-
-
-
Ethanone, 1-(2-furanyl)- (CAS) 2-Acetyfuran
-
0,14
-
0,12
-
-
0,12
-
2-ACETYL FURAN
-
-
-
-
-
0,23
-
-
2(3H)-Furanone (CAS) .alpha.Furanone
-
0,27
-
0,23
-
-
0,32
-
2(3H)-Furanone, 5-methyl(CAS) 5-Methyl-2-oxo-2,3DIHYDROFURAN
-
0,06
-
-
-
-
-
-
2(3H)-Furanone, hexahydro3-methylene- (CAS) 6-HYDROXYCYCLO
-
-
-
-
-
-
0,15
-
0,36
1,72
1,70
1,61
2,48
1,77
1,55
2,96
2,5-DIMETHYL-3(2H) FURANONE
-
0,04
-
-
-
-
-
-
2-ETHYL-4-HYDROXY-5METHYL-3(2H)FURANONE
-
-
-
0,17
0,14
0,13
-
0,13
2-HYDROXY-5-METHYL-2(5H)FURANONE
-
-
-
-
-
-
0,28
-
3-HYDROXY-5-METHYL-2(5H)FURANONE
-
0,39
-
-
-
-
-
0,26
(E)-2-hydroxy-4’phenylstilbene 1-TRICOSENE Benzaldehyde, 3,4-dimethoxy(CAS) Vanillin methyl ether
2(5H)-FURANONE
74
Kajian Kimia Gaharu .....(Eka Novriyanti)
Konsentrasi Relatif (%) Nama senyawa
Bo
Kt
Me
Mu
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5 cm
20 cm
5-HYDROXYMETHYLDIHYDRO-FURAN-2-ONE
1,23
1,65
-
1,30
1,02
1,33
-
1,18
HYDROXY DIMETHYL FURANONE
0,81
-
-
-
-
-
-
0,87
2-(Acetyloxy)-1-[2-(acetyloxy02-(3-furanyl)ethyl]-5a[(acetyloxy)methyl]hexah
-
-
-
-
-
0,06
-
-
2-Methoxy-4-methylphenol
-
-
0,95
-
-
-
-
-
Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2propenyl)- (CAS) 4-allyl-2,6dimethoxyphenol
2,52
3,13
2,05
3,06
2,80
2,10
3,17
2,23
9H-Xanthen-9-one, 1,3-dihydroxy-6-methoxy-8methyl- (CAS) 6-O-METHYL-
-
-
-
-
0,06
-
-
-
Xanthosine (CAS) Xanthine riboside
-
-
-
-
-
0,23
-
0,29
18,70
25,93
17,57
19,86
21,62
27,12
25,95
26,33
Jumlah Rataan untuk kedua jarak suntik Total
22,31 44,34
Rataan total untuk kedua jarak suntik
46,30 45,32
18,71 37,33
50,34 43,83
24,37 43,19
45,01
26,14 52,65
44,10
46,48 49,56
Keterangan:
Bo = Bahorok, Kt = Kalimantan Tengah Tamiang Layang, Me = Mentawai, Mu = maluku
Referensi:
FAO (2008); Abrishami et al. (2002); Rho et al. (2007); Fotouhi et al. (2008); Sheikholeslam & Weeks (1987); Baker et al. (2004); Hua et al. (2001); Azah et al. (2008); International flavor and fragrance, Inc (2008); Castro et al. (2002); Lynd-Shiveley (2004); ChemYQ (2008); Rossi et al. (2007); Koeduka et al. (2006); Zaika et al. (2004); Valentines et al. (2005); The Good Scent Company (2008); Bunke & schatkowski (1997); Pedroso et al. (2008); Wikipedia encyclopedia Online (2008).
75
76
3 TEKNOLOGI INDUKSI POHON PENGHASIL GAHARU Erdy Santoso, Ragil Setio Budi Irianto, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Sugeng Santosa, Najmulah, Ahmad Yani, Aryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Gaharu yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada abad ke-5 Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli utama. Dalam perdagangan internasional, komoditas ini dikenal dengan berbagai nama seperti agarwood, aloeswood, karas, kresna, jinkoh, oudh, dan masih banyak lagi nama lainnya. Bentuk perdagangan gaharu beragam, mulai dari bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu (Surata dan Widnyana, 2001). Komoditas berbentuk minyak biasanya diperoleh dari penyulingan atau ekstraksi chip gaharu dari kelas yang bermutu rendah. Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang disebut sebagai ‘scent of God’, meskipun penggunaan produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja.
77
Aspek PRODUKSI
Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000). In-cense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagamaan, sebagai pengharum ruangan, sembahyang serta benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, dalam bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesik dan anti imflamatory (Trupti et al., 2007) dan diketahui bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga memiliki sifat anti racun, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan pencernaan (Heyne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004; Suhartono dan Mardiastuti, 2002). Penelitian mengenai berbagai aspek yang terkait dengan gaharu sudah dilakukan sejak lama dan semakin berkembang dewasa ini. Penelitian-penelitian ini terutama didorong oleh berbagai hal seperti pasokan komersil untuk gaharu yang masih sangat tergantung dari produksi alam yang karena tingginya intensitas pemungutan produk ini telah menyebabkan tercantumnya genus utama tanaman penghasil gaharu, Gyrinops dan Aquilaria dalam Appendix II CITES. Selain itu, tidak semua tanaman penghasilnya mengandung gaharu yang hanya terpicu pembentukannya jika terjadi kondisi cekaman. Proses pembentukan gaharu juga membutuhkan waktu yang lama, di mana selama proses tersebut berlangsung dihasilkan variasi mutu dan pada akhir proses dapat diperoleh gaharu dengan mutu paling tinggi (Sumadiwangsa dan Harbagung, 2000). Terbentuknya gaharu pada tanaman penghasilnya, terpicu oleh faktor biotik maupun abiotik. Untuk menghasilkan gaharu secara artifisial, pelukaan mekanis pada batang, pengaruh bahan-bahan kimia seperti metal jasmonat, oli, gula merah, dan yang lainnya dapat memicu pembentukan gaharu. Namun pembentukan gaharu oleh faktor abiotik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya tidak menyebabkan terjadinya penyebaran mekanisme pembentukan ini ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik tersebut. Lain halnya jika pembentukan gaharu dipicu oleh faktor biotik seperti jamur atau jasad renik lainnya, mekanisme pembentukan dapat menyebar ke bagian lain pada pohon, karena
78
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
penyebab mekanisme ini adalah mahluk yang melakukan semua aktivitas yang diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya penyebaran pembentukan gaharu ke jaringan lain pada batang pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang dihasilkan akan lebih memuaskan.
BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah 21 isolat Fusarium spp. yang diinokulasi di Laboratorium Mikrobiologi Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Isolat fungi tersebut diperoleh dari batang Aquilaria spp. yang telah menunjukkan adanya pembentukan gaharu secara alami. Batang Aquilaria spp. diambil dari beberapa tanaman gaharu yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTB dan Sulawesi (Tabel 1). Tabel 1. Isolat-isolat yang diamati No
Kode
1
Ga 1
2
Ga 2
3
Asal lokasi
No
Kode
Asal lokasi
Kalimantan Tengah
12
Ga 12
Lampung
Maluku
13
Ga 13
Bengkulu
Ga 3
Sukabumi
14
Ga 14
Bogor
4
Ga 4
Kalsel
15
Ga 15
Mentawai
5
Ga 5
Kaltim
16
Ga 16
Kaltim LK
6
Ga 6
Belitung
17
Ga 17
Kalbar
7
Ga 7
Riau
18
Ga 18
Yanlapa
8
Ga 8
Bengkulu
19
Ga 19
NTB
9
Ga 9
Jambi
20
Ga 20
Kalsel MIC
10
Ga 10
Sumatera Barat
21
Ga 21
Kalteng TL
11
Ga 11
Gorontalo
Media yang digunakan untuk menambahkan fungi, yaitu Potato Dekstrose Agar (PDA). Inokulasi jenis fungi Fusarium spp. pada A. microcarpa pada kegiatan ini bahan berupa pohon A. microcarpa 79
Aspek PRODUKSI
umur 13 tahun. Untuk fungi pembentuk gaharu asal Gorontalo, Jambi, Kalbar, dan Padang (Sumatera Barat). Alat inokulasi, terdiri dari bor listrik, mata bor ukuran 3 mm, genset, dan lain-lain.
B. Metode Untuk identifikasi masing-masing koloni ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri, kemudian diinokulasi pada suhu kamar dan diletakkan di ruangan inokulasi selama tujuh hari. Untuk pengamatan morfologi dilakukan melalui mikroskop parameter, yang diamati adalah ukuran diameter koloni, baik secara horizontal maupun vertikal, diamati juga warna koloni dan keberadaan aerial miselium. Identifikasi juga mengamati ciri makrokonidia, mikrokonidia serta bentuk konidiofor. Sediaan kultur dibuat dengan cara memindahkan potongan kecil isolat fungi menggunakan alat pelubang gabus berdiameter lima mm, isolat diletakkan pada gelas obyek yang kemudian ditutup dengan cover glass preparat, diinkubasi dengan cara diletakkan pada ruang tertutup yang kelembabannya dijaga dengan cara memasukkan kapas yang telah dibasahi aquadesh steril. Sediaan kultur diinkubasi selama tujuh hari, setelah itu koloni yang tumbuh pada gelas obyek diamati di bawah mikroskop setelah preparat diberi zat pewarna, yang diamati adalah bentuk dan miselium.
C. Teknik Inokulasi 1. Inokulasi Pohon contoh adalah A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita. Rancangan acak lengkap dengan perlakuan daerah asal isolat (I), yaitu Fusarium spp. asal Gorontalo (II); Kalimantan Barat (12); Jambi (13) dan Padang (14) serta campuran dari keempat isolat tersebut (15). Masing-masing isolat diinokulasikan pada 3 ulangan. Inokulasi dilakukan pada semua pohon contoh. Sebelum penginjeksian, semua peralatan yang digunakan disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70% untuk menghindari adanya kontaminasi dari mikrobamikroba lain. Pengeboran dilakukan
80
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
dengan kedalaman mencapai 1/3 diameter batang dengan tujuan inokulum cair nantinya mencapai kambium dan bagian floem kayu. Inokulum Fusarium spp. cair selanjutnya diinjeksikan sebanyak 1 ml untuk setiap lubang bor di batang pohon. Lubang injeksi dibiarkan terbuka untuk memberi kondisi aerasi bagi mikroba yang diinokulasikan.
A
B
Gambar 1. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat pada lubang bor (B)
2. Pengamatan dan Pengambilan Contoh Gaharu Pengamatan infeksi dilakukan pada umur inokulasi 2 bulan dan 6 bulan dengan mengukur panjang infeksi vertikal dan horizontal yang terjadi pada permukaaan batang A. microcarpa. Pengambilan data dilakukan secara acak pada beberapa titik injeksi inokulasi dan nilai panjang infeksi merupakan rata-rata dari panjang titiktitik infeksi tersebut dalam satu pohon.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaman Isolat Fusarium spp. 1. Keragaman Morfologi Isolat Fusarium spp. yang Berasal dari Berbagai Daerah Karakter morfologi aerial miselium, warna koloni dan diameter koloni isolat Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah sangat
81
Aspek PRODUKSI
beragam (Tabel 2). Keragaman karakter morfologi Fusarium spp. disebabkan oleh perbedaan asal isolat. Tabel 2. Tabel 2. Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah
No.
Kode isolat
Karakter morfologi Asal lokasi
Koloni pada
Diameter koloni
Aerial
Warna
mm/7 hari
Miselium
Medium PDA
1
Ga-1
Kalteng
61
Ada,+++
Putih, kuning muda
2
Ga-2
Maluku
49
Ada,++
Putih, coklat muda
3
Ga-3
Sukabumi
48
Ada,+
Coklat muda
4
Ga-4
Kalsel
50
Ada,++
Putih
5
Ga-5
Kaltim
45
Ada,++
Putih
6
Ga-6
Belitung
38
Ada,+
Putih
7
Ga-7
Riau
59
Ada,++
Putih krem
8
Ga-8
Bengkulu
49
Ada,++
Putih
9
Ga-9
Jambi
59
Ada,+++
Putih krem, coklat muda
10
Ga-10
Padang
61
Ada,+++
Putih
11
Ga-11
Gorontalo
58
Ada,+++
Putih kecoklatan
12
Ga-12
Lampung
58
Ada,+++
Putih tulang, merah muda
13
Ga-13
Bangka
59
Ada,+++
Putih
14
Ga-14
Bogor
61
Ada,++
Putih
15
Ga-15
Mentawai
56
Tidak ada
16
Ga-16
Kaltim LK
57
Ada,+
17
Ga-17
Kalbar
59
Ada,+++
Putih krem
18
Ga-18
Yanlapa
58
Ada,++
Putih, kuning muda
19
Ga-19
Mataram
52
Ada,++
Putih
20
Ga-20
Kalsel MIC
50
Ada,++
Putih, kuning muda
21
Ga-21
Kaltel TL
69
Ada,++
Putih, krem
Kelimpahan relatif aerial miselium: + Sedikit, ++ Cukup banyak, +++ Banyak
a. Keberadaan Aerial Miselium
82
Coklet, kuning, putih Putih, unggu
Karakter aerial miselium terdapat hampir pada setiap isolat Fusarium spp. Isolat yang tidak memiliki aerial miselium dijumpai pada Ga-15 asal Mentawai. Walaupun sebagian besar isolat Fusarium spp. memiliki aerial miselium, namun terdapat perbedaan antar isolat jika dilihat berdasarkan kerlimpahan relatif aerial miseliumnya. Isolat Ga-1, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, dan Ga17 memiliki kelimpahan aerial miselium relatif banyak (Tabel 2), sedangkan isolat Ga-3, Ga-6, dan Ga-16 merupakan isolat dengan kelimpahan aerial miselium sedikit. Irawati (2004) melaporkan bahwa secara umum cendawan yang ditumbuhkan pada kondisi terang secara terus-menerus akan membentuk aerial miselium relatif lebih banyak. Aerial miselium yang terbentuk dengan kelimpahan relatif banyak merupakan mekanisme fototropi terhadap kehadiran cahaya (Irawati, 2004). Namun, karena pada penelitian semua isolat yang diuji mendapat perlakuan cahaya yang sama, maka perbedaan kelimpahan aerial miselium adalah disebabkan oleh karakter masing-masing isolat. b. Warna Koloni
Selain aerial miselium, keragaman morfologi isolat Fusarium spp. adalah warna koloni. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa warna koloni putih terdapat pada isolat Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga8, Ga-10, Ga-13, Ga-14, dan Ga-19 (Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4). Selain warna putih, beberapa isolat memiliki warna putih dan warna kuning muda pada isolat Ga-1, cokelat muda (Ga-2), putih krem (Ga-7, Ga-17, dan Ga-21). Isolat ga-17 dan Ga-21 memiliki kemiripan warna koloni dengan isolat Fusarium yang berasal dari Riau yang telah teridentifikasi dan merupakan spesies Fusarium solani (Luciasih et al., 2006). Fusarium solani merupakan spesies yang kosmopolit dengan ciri khas kelimpahan mikrokonidianya elips. Isolat Ga-10 dan Ga11 memiliki warna koloni putih dan warna cokelat muda (peach). Isolat Ga-18, Ga-19, dan Ga-20 memiliki warna koloni putih dan kuning muda. Ditemukan juga isolat yang memiliki warna koloni yang sangat berbeda dengan isolat lain, yaitu warna hifa miselium didominasi
83
Aspek PRODUKSI
oleh warna ungu namun memiliki warna koloni putih sedikit tipis pada aerial miselium yang terletak pada bagian tepi koloni (Gambar 3). Keragaman yang terdapat pada warna koloni berhubungan dengan pigmen yang dikandung oleh dinding sel hifa. Cendawan yang tidak berpigmen umumnya berwarna hialin. c. Diameter Koloni
Diameter koloni Fusarium spp. berkisar antara 30-69 mm. Semua isolat yang diuji dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu diameter kurang dari 40 mm (isolat Ga-6), isolat dengan diameter antara 40-50 mm (isolat Ga-2, Ga-4, Ga-5, Ga-8, dan Ga-20), dan isolat dengan diameter lebih dari 50 mm (isolat Ga-1, Ga-3, Ga-7, Ga-9, Ga10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, Ga-16, Ga-17, Ga-18, Ga-19, dan Ga-21) (Tabel 2, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4). Keragaman diameter koloni Fusarium spp. berhubungan dengan kecepatan tumbuh hifa. Selain itu, diperoleh adanya hubungan yang erat antara kecepatan tumbuh hifa dengan kehadiran aerial miselium. Diameter koloni merupakan veriebel yang berhubungan erat dengan kecepatan tumbuh. Pada beberapa isolat Fusarium, kecepatan tumbuh merupakan karakter yang khas pada setiap isolat. Kecepatan tumbuh yang tinggi dapat berhubungan juga dengan kemampuan virulensi. Untuk mengetahui kemampuan virulensi, maka isolat perlu diuji, misalnya terhadap inangnya.
2. Keragaman Mikro dan Makrokonidia serta Konidiofor Isolat Fusarium spp. Fusarium spp. memiliki keragaman pada karakter morfologi juga tampak adanya keragaman karakter mikrokonidia dan makrokonidia dari isolat yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keragaman terlihat pada karakter jumlah septa makrokonidia, percabangan konidiofor, bentuk, dan kelimpahan mikrokonidia. Jumlah septa makrokonidia dominan berjumlah 2-3 yang dimiliki oleh isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, Ga-7, Ga-8, Ga-10, Ga-18, Ga-20, dan Ga-21. Namun, dari ke-10 isolat tersebut terdapat perbedaan pada
84
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
percabangan konidifornya. Isolat dengan konidiofor bercabang adalah Ga-18 dan Ga-21; Sedangkan isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, GA-7, Ga-8, dan Ga-10 memiliki konidiofor sederhana (Tabel 3).
Gambar 2. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga-2, Ga-3, Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA
Gambar 3. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga16) umur tujuh hari pada medium PDA.
85
Aspek PRODUKSI
Gambar 4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga-19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA Tabel 3. Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah Karakter histologi No
Kode
Makrokonidia Jumlah septa
Mikrokonidia Konidiofor
Kelimpahan
Bentuk
1
Ga-1
3
Simpel
Banyak
Elips
2
Ga-2
4
Bercabang
Banyak
Elips, oval
3
Ga-3
3
Simpel
Banyak
Elips
4
Ga-4
4-7
Simpel
Banyak
Elips, oval
5
Ga-5
2
Simpel
Sedikit
Elips
6
Ga-6
3
Simpel
Sedikit
Elips, oval
7
Ga-7
2
Simpel
Sedikit
Elips, oval
8
Ga-8
2
Simpel
Sedikit
Elips, lonjong
9
Ga-9
5
Simpel
Sedikit
Elips, sekat
10
Ga-10
3
Simpel
Banyak
Elips, sekat
11
Ga-11
4
Bercabang
Banyak
Elips
12
Ga-12
5
Simpel
Banyak
Elips
13
Ga-13
4
Simpel
Sedikit
Elips
14
Ga-14
7
Simpel
Sedikit
Elips
15
Ga-15
4
Bercabang
Banyak
Elips
16
Ga-16
7
Simpel
Sedikit
Elips, sekat 3
17
Ga-17
5
Bercabang
Sedikit
Elips
18
Ga-18
3
Bercabang
Banyak
Elips
19
Ga-19
4
Simpel
Banyak
Elips
20
Ga-20
2
Bercabang
Sedikit
Elips, oval
21
Ga-21
3
Bercabang
Banyak
Elips
Isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-15 memiliki jumlah septa empat, namun dari ke-3 isolat tersebut dapat dibedakan berdasarkan 86
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
percabangan konidifor dan bentuk mikrokonidianya. Isolat Ga-2 memiliki konidifor bercabang, bentuk mikrokonidianya elips dan oval. Isolat Ga-13 memiliki bentuk konidifor simpel dan Ga-15 bentuk konidifornya bercabang. Mikrokonidia pada berbagai Fusarium memiliki bentuk yang khas, yaitu berbentuk bulan sabit (fusoid) sehingga memungkinkan dapat dengan mudah dibedakan dengan genus lain yang memiliki ciri mirip Fusarium. Genus Fusarium memiliki kemiripan dengan Cylindrocarpon pada karakter morfologi, namun Booth (1971) membedakan Cylindrocarpon karena karakter pangkal konidianya yang relatif tumpul dan tidak memiliki hock/foot cell yang jelas seperti pada Fusarium spp. Isolat Ga-12, Ga-14, dan Ga-16 merupakan isolat yang memiliki jumlah septa makrokonidia relatif banyak, yaitu berkisar 5-7 (Tabel 3). Dua dari tiga isolat tersebut, yaitu isolat Ga-12 dan Ga-14 memiliki kemiripan pada bentuk konidiofor dan bentuk mikrokonidia, namun kedua isolat tersebut berbeda pada tipe makrokonidianya. Isolat Ga-12 memiliki ukuran relatif lebih besar pada makrokonidianya apabila dibandingkan dengan Ga-14 (Gambar 5 dan Gambar 6). Isolat Ga-14 berbeda dengan isolat Ga-16 karena pada isolat Ga-16 mikrokonidianya bersekat (Gambar 7). Luciasih et al. (2006) melaporkan bahwa keragaman antar Fusarium spp. dari 21 isolat Fusarium spp., beberapa isolat telah teridentifikasi sampai pada tingkat spesies. Spesies tersebut merupakan F. sambunicum (isolat Ga-1), F. tricinctum (isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-5), dan F. solani (isolat Ga-4, Ga-6, Ga-7, Ga-8, dan Ga9). Di antara ketiga spesies tersebut F. solani keberadaannya paling dominan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Fusarium solani berbeda dengan F. sambunicum, antara lain berdasarkan karakter kelimpahan dan bentuk mikrokonidianya. Sedangkan F. solani dibedakan dari F. tricinctum berdasarkan karakter bentuk makrokonidianya, juga bentuk mikrokonidianya relatif lebih besar untuk F. solani dengan mikrokonidianya berbentuk elips. Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam mensintesis substansi
87
Aspek PRODUKSI
aromatis yang kebanyakan merupakan senyawa fenol atau turunan oksigen-tersubstitusinya. Pada umumnya senyawa-senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang seringkali berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, serangga ataupun herbivora.
Gambar 5. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga12, Ga-15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran 40x
Gambar 6. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x
88
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
Gambar 7. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19) dengan per-besaran 40x
Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu beresin ini merupakan metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon pertahanan. Pohon penghasil gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini, 2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman (Goodman et al. dalam Isnaini, 2004). Metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting (Verpoorte et al., 2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang telah terdapat pada tanaman, kadangkala terpicu pengaktifannya saat pelukaan. Fitoaleksin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang diproduksi secara de novo setelah pelukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen (Verpoorte et al., 2000; Vidhyasekaran, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai fungsi dalam tanaman, di antaranya sebagai minyak esensial (monoterpenoid), atraktan serangga, fitoaleksin sebagai agen anti mikrobial (sesqui-, di-, dan triterpena). Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang terpicu pada level gen setelah pelukaan atau infeksi dan ada yang terjadi pada level senyawa, di mana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika pelukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu pada solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain biosintesis sesquiterpenoid
89
Aspek PRODUKSI
merupakan ekspresi pembentukan yang umum, misalnya pada Morinda citrifolia, anthraquinone biasa ditemukan di seluruh bagian tanaman (Verpoorte, 2000). Konsentrasi metabolit sekunder bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstratif yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet (Forestry Comission GIFNFC, 2007). Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstratif. Zat ekstratif yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memilki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa, dan warna pada kayu. Zat ekstratif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills, 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa di antara fungsi zat ekstratif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen penyakit, karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Comission GIFNFC, 2007).
B. Analisis Infeksi Batang Dalam kondisi menghadapi infeksi oleh jamur, pohon penghasil gaharu akan memberi respon untuk mempertahankan dan memulihkan dirinya. Daya tahan pohon akan menentukan pemenang antara pohon dengan penyakit yang disebabkan mikro-organisme tersebut. Dalam hal pembentukan gaharu tentunya diharapkan penyakitlah yang akan menang, sehingga dihasilkan produk gaharu yang diinginkan. Senyawa kimia yang dimiliki pohon merupakan salah satu upaya pertahanan pohon terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Gaharu sendiri telah diidentifikasi sebagai sesquiterpenoid, senyawa pertahanan tipe fitoaleksin. Kerentanan pohon dalam menghadapi infeksi jamur akan berkaitan dengan
90
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
gaharu yang terbentuk, dapat direfleksikan masing-masing oleh besar infeksi dan komponen kimianya. Pada Gambar 8 terlihat panjang infeksi yang terjadi pada batang pohon A. microcarpa pada umur inokulasi 2 bulan dan 6 bulan. Pada umur inokulasi 2 bulan isolat Fusarium spp. asal Gorontalo memperlihatkan nilai infeksi yang paling besar, yaitu 4,13 cm diikuti oleh isolat campuran, Padang, Kalbar, dan yang terendah adalah infeksi yang terbentuk oleh isolat asal Jambi. Dari hasil analisis sidik ragam, terlihat bahwa asal isolat berpengaruh nyata terhadap panjang infeksi yang terjadi pada batang A. microcarpa. Hasil uji lanjut Duncan memastikan bahwa pada dua bulan sejak inokulasi, isolat asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang paling besar pada batang pohon penghasil gaharu, diikuti oleh isolat campuran (Tabel 4). Berbeda dengan kondisi pada Tabel 4. Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur 2 bulan, pada umur inokulasi 6 umur inokulasi bulan, isolat campuran menyebabkan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan Asal isolat Rataan isolat yang lain (Gambar 8). Pada saat (Isolate origin) (Mean value) ini, secara statistik asal isolat tidak 1,857a lagi memberikan pengaruh nyata Jambi 2,223a terhadap infeksi yang terbentuk pada Kalimantan Barat batang A. microcarpa. Namun sama Padang 2,297a halnya dengan kondisi pada umur Campuran 3,193a inokulasi 2 bulan, dari Gambar 8 Gorontalo 4,133a terlihat bahwa infeksi tertinggi masih Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang disebabkan oleh isolat asal Gorontalo sama tidak berbeda nya-ta pada 0,05 dan campuran.
91
huruf yang sama tidak berbeda nya-
bentuk pada batang A. mita pada 0,05 crocarpa. Namun sama halnya dengan kondisi pada umur inokulasi 2 bulan, dari Gambar 8 Aspek PRODUKSI terlihat bahwa infeksi tertinggi masih disebabkan oleh isolat asal Gorontalo dan campuran.
8. Panjang infeksi batang A. microcarpa GambarGambar 8. Panjang infeksi batang A. microcarpa
Gambar 9 menunjukkan perubahan panjang infeksi yang
Gambar 9 menunjukkan perubahan panjang infeksi Meskipun yang terjadi terjadi sejak dua bulan inokulasi hingga bulan keenam. sejak masih dua bulan inokulasi hingga bulan keenam. Meskipun merupakan isolat yang menyebabkan infeksi terbesar,masih tetapi infeksi bulan keenam oleh isolatinfeksi asal Gorontalo terlihat merupakan isolat yang menyebabkan terbesar, tetapitidak infeksi perkembangan, oleh keempat asal bulanmengalami keenam oleh isolat asal sedangkan Gorontaloinfeksi terlihat tidak mengalami perkembangan, sedangkan infeksi oleh keempat asal isolat71yang | lain menunjukkan peningkatan yang beragam. Namun begitu, secara statistik untuk bulan keenam inokulasi, asal daerah isolat tidak memberikan pengaruh nyata pada laju infeksi yang terjadi (nilai signifikansi 0,186 pada 5%).
Gambar 9. Laju infeksi pada batang A. microcarpa
92
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
Perkembangan infeksi yang terjadi hingga 6 bulan setelah inokulasi menunjukkan asal daerah isolat tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata, meskipun yang terbesar masih disebabkan oleh isolat campuran dan isolat asal Gorontalo. Hal ini diduga ada kaitannya dengan pertahanan masing-masing pohon contoh. Meskipun tetap menyebabkan infeksi yang besar, kekonsistenan perkembangan infeksi sebaiknya diteliti lebih lanjut dengan mengikuti perkembangan laju infeksi oleh isolat asal Gorontalo ini hingga kurun waktu tertentu. Dari perkembangan infeksi pada pohon A. microcarpa ini dapat dikatakan bahwa isolat asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang terbesar, yang berarti isolat ini menghasilkan kuantitas gaharu yang paling besar. Meskipun isolat campuran menunjukkan panjang infeksi yang lebih tinggi saat 6 bulan setelah inokulasi, namun ada kemungkinan hal ini masih merupakan pengaruh dari isolat asal Gorontalo tersebut.
KESIMPULAN 1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna putih, namun terdapat warna koloni merah muda, kuning, dan ungu. Hampir semua isolat memiliki aerial miselium. Secara histologi isolat Fusarium spp. memiliki karakter makrokonidia bersepta 3-4 dan makrokonidia didominasi oleh bentuk elips. 2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat Ga9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki kecepatan tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat Fusarium yang lain. 3. Hasil inokulasi Fusarium spp. pada batang Aquilaria microcarpa dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap masing-masing sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu yang terbentuk. 4. Isolat Fusarium spp. asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang paling besar, jadi sebaiknya isolat ini digunakan untuk inokulasi
93
Aspek PRODUKSI
pada A. microcarpa jika diinginkan hasil gaharu dalam jumlah besar.
DAFTAR PUSTAKA Adelina, N. 2004. Seed Leaflet : Aquilaria malaccensis Lamk. Forest and Landscape Denmark. www.SL.kvl.dk. [2 Februari 2007]. Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000). Heart of The Matter Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC Network. pp. 2. Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England : Commonwealth Mycological Institute). pp. 120-127. Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical microbiology Review.12 (4) : 564-582. Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http: // treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007]. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. pp. 267-269. Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin : SpringerVerlag. Hua SST. 2001. Inhibitory Effect of Acetosyringone on Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32 : 278-281. Irawati. 2004. Karakterisasi Mikoriza Rhizocstonia dari Perakaran Tanaman Vanili Sehat. Tesis. Magelang. pp. 6-7. Isnaini, Y. 2004. Induksi Produksi Gubal Gaharu Melalui Inokulasi Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik. Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Luciasih, A., D. Wahyuno, dan E. Santoso. 2006. Keanekaragaman Jenis Jamur yang Potensial dalam Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III(5):555-564. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Rowell, Rm. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington : American Chemical Society.
94
Teknologi Induksi Pohon .....(Erdy Santoso, dkk)
Soehartono, T., A. Mardiastuti. 2002. CITES and Implementation in Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation. Jakarta. Sumadiwangsa, E. S. dan Harbagung. 2000. Laju Pertumbuhan Tegakan Gaharu (Aquilaria malaccensis) di Riau yang Ditanam dengan Intensitas Budidaya Tinggi dan Manual. Info Hasil Hutan 6 (1) : 1-16. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Surata, I K., I M. Widnyana. 2001. Teknik Budidaya Gaharu. Aisuli 14. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Trupti, C., P. Bhutada, K. Nandakumar, R. Somani, P. Miniyar, Y. Mundhada, S. Gore, K. Kain. 2007. Analgesik and AntiImflamatoryactivity of Heartwood of Aquilaria agallocha in Laboratory Animal. Pharmacology-online 1 : 288-298. Verpoorte, R.; R van der Heijden, J. Memelink. 2000. General Strategies. In Verpoorte, R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : 31-50. Verpoorte, R. 2000. Plant Secondary Metabolism. In : Verpoorte, R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : 1-30. Vidhyasekaran, P. 2000. Physiology of Disease Resistant in Plant. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida.
95
96
4 EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI ANTARA Acremonium sp. DAN Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU PADA Aquilaria microcarpa Gayuh Rahayu Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Esti Wulandari Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
LATAR BALAKANG Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu (Aquilaria sp., Magnoliopsida, Thymelaeaceae). Proses pembentukan gubal pada pohon gaharu, hingga saat ini masih terus diteliti. Menurut Nobuchi dan Siripatanadilok (1991), gubal gaharu diduga dapat terbentuk melalui infeksi cendawan. Beberapa spesies Fusarium seperti F. oxyporum, F. bulbigenium, dan F. lateritium telah berhasil diisolasi oleh Santoso (1996). Selain itu, Rahayu et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa isolat Acremonium sp. asal gubal gaharu pada Gyrinops verstegii (sin. A. filaria) dan A. malaccensis mampu menginduksi gejala pembentukan gubal pada pohon gaharu (A. crassna, A. malaccensis, A. microcarpa) umur
97
Aspek PRODUKSI
2 tahun. Pada gubal gaharu, hasil induksi cendawan, terdeteksi senyawa oleoresin (Prema dan Bhattacharyya, 1962). Rahayu et al. (2007) dan Rahayu (2008) juga menyatakan bahwa Acremonium sp. merangsang perubahan warna kayu dan pembentukan senyawa terpenoid. Oleh sebab itu, perubahan warna kayu dan adanya senyawa terpenoid dijadikan indikator efektivitas dan interaksi antara inokulan dalam pembentukan gubal. Acremonium sp. dan Fusarium sp. seringkali diperoleh dari satu gejala gubal. Mekanisme infeksi kedua cendawan ini pada satu lokasi infeksi belum dipelajari. Padahal menurut Sticher et al. (1997), pada beberapa kasus infeksi cendawan pada tumbuhan, infeksi cendawan yang pertama dapat membangkitkan resistensi yang disebut Systemic Acquired Resistance (SAR) terhadap infeksi cendawan kedua. Sebagai contoh, Caruso dan Kuc (1977) menyatakan bahwa infeksi F. oxysporum f.sp. cucumerinum dapat membangkitkan SAR tanaman semangka terhadap infeksi Colletotrichum lagenarium. Liu et al. (1995) juga menemukan proses SAR dari infeksi Pseudomonas lachrymans pada timun terhadap F. oxysporum. Infeksi ganda Fusarium sp. dan Acremonium sp. melalui pemanfaatan kedua cendawan tersebut sebagai penginduksi ganda memerlukan informasi awal mengenai kemungkinan terbentuknya SAR yang dibangkitkan oleh Fusarium sp. terhadap Acremonium sp. dan sebaliknya. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan interaksi antara Acremonium sp. terhadap Fusarium sp. dalam pembentukan gubal pada pohon gaharu (A. microcarpa).
BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan dan alat yang digunakan adalah pohon A. microcarpa umur 13 tahun di Hutan Penelitian Carita, Banten, biakan Acremonium sp. IPBCC 07.525 (koleksi IPBCC, Departemen Biologi FMIPA IPB), dan Fusarium sp. yang berasal dari Aquilaria sp. Padang (koleksi Laboratorium Mikrobiologi Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam), larutan gula 2%,
98
alkohol, aquades, bor, mata bor berukuran 4 mm, meteran, bahan pelet, dan alat pencetaknya.
B. Metode 1. Pembuatan Inokulan Acremonium sp. dan Fusarium sp. diremajakan pada media agaragar kentang dekstrosa (Difco) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Biakan ini akan digunakan sebagai sumber inokulum untuk pembuatan inokulan. Acremonium sp. ditumbuhkan pada media serbuk gergaji selama 2 minggu, kemudian dibentuk berupa pelet dengan ukuran 4 mm x 40 mm. Fusarium sp. ditumbuhkan pada 300 ml media cair, dan diinkubasi selama 3 minggu menggunakan inkubator bergoyang.
2. Uji Efektivitas dan Interaksi Acremonium sp. dan Fusarium sp. Pertama-tama, sederetan lubang dibuat di sekeliling batang utama (mulai ketinggian 0,5-1 m di atas permukaan tanah) dengan mata bor berdiameter 4 mm, dengan kedalaman lubang maksimal 1/3 diameter batang. Jarak antar lubang dalam deretan sekitar 5 cm. Ke dalam deretan lubang ini dimasukkan inokulan 1 sampai lubang dipenuhi oleh inokulan. Seminggu kemudian, pohon dilubangi lagi pada jarak 15 cm secara vertikal dari deretan lubang yang pertama. Ke dalam lubang pada deretan kedua ini dimasukkan inokulan 2. Pasangan inokulan (FA atau AF) adalah set perlakuan. Jarak antar set perlakuan dalam 1 pohon ± 30 cm. Untuk inokulan berupa pelet, lubang diberi larutan gula 2% sebelum pemberian inokulan. Batang yang tidak diberi perlakuan (K), yang dilubangi saja (B), batang yang dilubangi dan diberi larutan gula (G), serta batang dengan perlakuan tunggal (diberi Acremonium sp. saja (AA) atau Fusarium sp. saja (FF)) digunakan sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan setiap 1 bulan selama 4 bulan. Efektivitas dan interaksi diukur melalui perkembangan pembentukan gejala gubal di sekitar daerah induksi. Perubahan warna batang dan pembentukan wangi merupakan indikator pembentukan gubal. Batang di sekitar lubang dikupas kulitnya, kemudian zona perubahan warna batang diukur secara horizontal
99
Aspek PRODUKSI
dan vertikal. Daerah yang menunjukkan perubahan warna kayu dari putih menjadi coklat-kehitaman diambil dengan dipahat dan dibawa ke laboratorium untuk pengamatan selanjutnya. Perubahan warna diamati pada 10 titik untuk setiap pohon. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0 = putih, 1 = putih kecoklatan, 2 = coklat, 3 = coklat kehitaman). Tingkat perubahan warna kayu dinyatakan dalam rataan dari hasil pengamatan 3 responden. Wangi ditetapkan berdasarkan sistem skor (0 = tidak wangi, 1 = agak wangi, 2 = wangi). Kayu di sekitar titik inokulasi dipahat, kemudian diamati wanginya secara organoleptik ketika kayu dibakar. Wangi dinyatakan dalam tingkat wangi dan persentase titik induksi dengan kategori agak wangi dan sangat wangi. Tingkat wangi dinyatakan dalam rataan skor dari 3 responden.
3. Deteksi Senyawa Terpenoid Senyawa terpenoid dideteksi dengan metode LiebermanBurchard (Harborne, 1987). Setelah diamati tingkat wanginya, sampelsampel dari kayu yang mengalami perubahan warna dipisahkan dari bagian yang sehat. Sebanyak 0,4 g kayu yang berubah warna direndam dalam 5 ml etanol absolut panas, kemudian disaring pada cawan petri steril dan diuapkan sampai kering (sampai terbentuk endapan berwarna kuning). Pada endapan ditambahkan 1 ml dietil eter pekat, dihomogenisasi lalu dipindahkan ke tabung reaksi steril, ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Perubahan warna menjadi merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone, 1987). Sebanyak 5 ml etanol absolut ditambahkan ke dalam larutan, kemudian absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada λ 268 nm.
4. Analisis Data Data hasil pengamatan (panjang, lebar zona perubahan warna, tingkat perubahan warna, dan tingkat wangi) dianalisis dengan SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan waktu dan uji F pada α = 5%. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan
100
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
HASIL A. Efektivitas Inokulan dalam Menginduksi Gejala Pembentukan Gubal Gaharu Secara umum semua perlakuan menyebabkan perubahan warna kayu dan merangsang munculnya perubahan aroma kayu (Tabel 1). Pemberian gula menyebabkan gejala pembentukan gubal gaharu menjadi tertekan. Efektivitas inokulan tunggal maupun ganda Acremonium dan Fusarium relatif lebih tinggi dalam merangsang pembentukan gejala gubal gaharu dibandingkan dengan metode induksi lainnya, Sebagai inokulan tunggal A dan F memiliki efektivitas yang relatif sama. Gejala pembentukan gubal akibat inokulan ganda juga cenderung tidak berbeda nyata dari inokulan tunggalnya. Berdasarkan persentase titik induksi pada kategori wangi, inokulan ganda lebih efektif. Di antara inokulan ganda, AF lebih efektif dalam menginduksi pembentukan wangi daripada FA dan inokulan tunggal. Sedangkan pada parameter lainnya, AF justru lebih baik. Tabel 1. Pembentukan gejala gubal gaharu hasil inokulasi cendawan tunggal dan ganda Rataan* Perubahan warna kayu Perlakuan Panjang (cm)
Lebar (cm)
Warna (skor)
Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
Inokulan tunggal
AA
2,54ab
0,82a
1,90b
0,63ab
34,37
1,39
FF
3,14a
0,94a
1,45c
0,62ab
31,07
0,00
Inokulan ganda
AF
3,20a
0,87a
1,75b
0,70a
39,55
6,24
FA
3,30a
0,83a
2,18a
0,59ab
20,12
4,16
101
Aspek PRODUKSI
Rataan* Perubahan warna kayu Perlakuan Panjang (cm)
Lebar (cm)
Warna (skor)
Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
Kontrol positif
G
1,86b
0,55b
1,02d
0,38c
10,41
0,00
B
2,87ab
0,73ab
1,16d
0,47bc
11,11
0,00
Kontrol negatif
K
0,00c
0,00c
0,00e
0,00d
0,00
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
Kayu mengalami perubahan warna dari putih menjadi coklat atau coklat kehitaman (Gambar 1). Pemberian inokulan tidak berpengaruh pada panjang dan lebar zona perubahan warna. Namun panjang zona perubahan warna tertinggi terjadi berturut-turut pada kayu yang diberi perlakuan ganda FA dan AF. Sedangkan tingkat perubahan warna dipengaruhi oleh inokulan. Tingkat perubahan warna tertinggi pada FA dan berbeda nyata dari perlakuan lainnya.
Pemberian inokulan juga tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan wangi. Berbeda dengan perubahan warna kayu, tingkat wangi tertinggi terjadi pada kayu yang diberi inokulan ganda AF. Secara rataan nilai tingkat wangi yang terbentuk dari hasil perlakuan inokulan termasuk dalam kategori tidak wangi, Meskipun demikian, pemberian inokulan meningkatkan persentase titik induksi yang wangi. Bahkan inokulan tunggal AA dan inokulan ganda menghasilkan titik induksi pada kategori wangi (Tabel 1).
a
b
c
d
Gambar 1. Perubahan warna kayu dengan tingkat kegelapan yang berbeda dari (a) intensitas terendah sampai (d) intensitas tertinggi
102
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
Periode induksi berpengaruh pada semua parameter pembentukan gubal kecuali panjang zona perubahan warna (Tabel 2). Secara umum, nilai parameter pembentukan gubal tertinggi terjadi pada bulan ke-2, kecuali tingkat perubahan warna. Pada bulan ke-2 induksi, intensitas warna cenderung naik, tapi intensitas warna kayu pada bulan ke-4 relatif sama dengan bulan ke-3. Tabel 2. Pengaruh periode induksi pada gejala pembentukan gubal gaharu Rataan* Perubahan warna kayu Bulan Tingkat (skor)
Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
Panjang (cm)
Lebar (cm)
1
2,46ab
0,68a
0,83c
0,32c
8,43
0,00
2
2,58a
0,71a
1,24b
0,64a
39,47
0,00
3
2,32ab
0,65b
1,67a
0,51b
17,45
0,00
4
2,26b
0,65b
1,65a
0,36c
18,45
6,74
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
B. Interaksi Inokulan 1 dan Inokulan 2 Secara umum inokulan 1 tidak membangkitkan resistensi pohon terhadap inokulan 2 (Tabel 3). Inokulasi F sebelum inokulasi A tidak mempengaruhi pembentukan gejala gubal pada titik A termasuk pembentukan wangi. Kehadiran F justru cenderung meningkatkan respon perubahan warna kayu akibat inokulasi A. Demikian pula inokulasi A sebelum F tidak mempengaruhi pembentukan gejala gubal pada titik F, kecuali warna pada F menjadi lebih gelap dan persentase titik induksi yang wangi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan inokulan tunggalnya. Inokulan ganda AF dan FA menghasilkan masing-masing 8,33% titik induksi pada kategori wangi. Infeksi sekunder juga tidak secara konsisten mempengaruhi infeksi primer (Tabel 4). Inokulasi F sebelum inokulasi A cenderung tidak mempengaruhi pembentukan gejala gubal termasuk tingkat
103
Aspek PRODUKSI
wangi, kecuali pada perubahan warna kayu. Intensitas warna pada titik induksi F lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tunggalnya. Infeksi kedua oleh F juga cenderung tidak mempengaruhi gejala pembentukan gubal dan tingkat wangi. Infeksi sekunder oleh cendawan yang sama dengan cendawan tidak berpengaruh pada pembentukan gejala gubal (Tabel 5). Meskipun demikian, secara umum nilai parameter gejala gubal pada titik infeksi sekunder lebih rendah daripada pada titik infeksi primernya. Inokulan A dan F memiliki potensi yang relatif sama dalam merangsang pembentukan wangi. Tabel 3. Pengaruh inokulan 1 terhadap inokulan 2 dalam gejala pembentukan gubal gaharu Rataan* Perubahan warna kayu
Perla-kuan
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Warna (skor)
Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
FAa
2,73abc
0,71bcd
2,15ab
0,60ab
26,37
8,33
AAa
1,96bc
0,66bcd
1,82bc
0,63ab
36,11
0,00
AFf
2,52abc
0,83abcd
1,57cd
0,70a
40,27
8,33
FFf
2,61abc
0,75abcd
1,36de
0,62ab
27,78
0,00
GGg
1,75c
0,53d
1,02e
0,38c
0,00
0,00
BBb
2,40abc
0,65cd
1,13e
0,47bc
0,00
0,00
KKk
0,00e
0,00e
0,00f
0,00d
0,00
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
Tabel 4. Pengaruh infeksi sekunder dengan cendawan yang berbeda dari cendawan penginfeksi primer Rataan* Perlakuan
Perubahan warna kayu Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Warna (skor)
FFF
3,68ab
0,99ab
1,53cd
0,62ab
34,37
0,00
FAF
3,87a
0,95abc
2,22a
0,50bc
13,89
0,00
104
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
Rataan* Perlakuan
Perubahan warna kayu Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Warna (skor)
AAA
3,13abc
0,96abc
1,98ab
0,63ab
32,63
2,78
AFA
3,88a
1,06a
1,93ab
0,70a
38,86
4,15
GGG
1,98bc
0,56d
1,01e
0,38c
20,83
0,00
BBB
3,35abc
0,80abcd
1,20de
0,47bc
13,89
0,00
KKK
0,00d
0,00e
0,00f
0,00d
0,00
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
Tabel 5. Pengaruh infeksi sekunder cendawan yang sama dengan cendawan penginfeksi primernya Rataan* Perlakuan
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Warna (skor)
Wangi (skor)
Titik induksi agak wangi (%)
Titik induksi wangi (%)
AAA
3,13abc
0,96abc
1,98ab
0,63ab
32,63
2,78
AAa
1,96bc
0,66bcd
1,82bc
0,63ab
36,11
0,00
FFF
3,68ab
0,99ab
1,53cd
0,62ab
34,37
0,00
FFf
2,61abc
0,75abcd
1,36de
0,61ab
27,78
0,00
* dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05
C. Pembentukan Senyawa Terpenoid Senyawa terpenoid terdeteksi pada semua perlakuan. Pada perlakuan tunggal FF dan gandanya terbentuk warna merah, yang menunjukkan adanya senyawa triterpenoid. Warna merah pada minyak gaharu dijadikan sebagai pembanding kandungan triterpenoid perlakuan. Pada ekstrak kayu B, G, dan inokulan A terbentuk warna hijau. Warna hijau ini menunjukkan adanya senyawa sterol (Harborne, 1987). Sedangkan pada K tidak terbentuk
105
Aspek PRODUKSI
warna (bening). Hal ini menunjukkan bahwa pada K tidak terdapat senyawa triterpenoid maupun sterol. Kandungan senyawa triterpenoid pada zona perubahan warna bervariasi pada setiap perlakuan selama 4 bsi (Tabel 6). Secara umum, nilai absorbansi ekstrak terpenoid hasil perlakuan kurang dari nilai absorbansi minyak gaharu (0,813) sebagai pembandingnya. Selain itu, secara umum nilai absorban perlakuan inokulan ganda hampir sama dengan inokulan tunggal (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa inokulan ganda tidak efektif dalam meningkatkan kandungan senyawa terpenoid. Inokulan AF maupun FA juga tidak mempengaruhi kandungan terpenoid. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian inokulan 2 tidak mempengaruhi besarnya nilai absorban inokulan 1. Begitu pula dengan nilai absorban inokulan 1 yang tidak dipengaruhi oleh inokulan 2. Pada 3 bsi, perlakuan tunggal FF terbentuk endapan merah dan memiliki nilai absorbansi yang relatif tinggi. Hal ini menunjukkan kandungan triterpenoid yang relatif tinggi pula (Tabel 6). Tabel 6. Nilai absorbasi ekstrak kayu gaharu yang berubah warna Perlakuan
Bulan ke1
2
3
4
K
0
0
0
0
G
0,29*
0,24*
0,34*
0,14*
B
0,12*
0,22*
0,39*
0,45*
AF A
0,20**
0,06*
0,25*
0,12**
AF F
0,20**
0,05*
0,23**
0,11*
FA F
0,12**
0,11**
0,21*
0,06*
FA A
0,12**
0,19**
0,23**
0,23*
AA
0,15*
0,20*
0,27*
0,40*
FF
0,14**
0,06*
0,25**
0,15*
* Endapan berwarna hijau; ** Endapan berwarna merah-kecoklatan
106
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
PEMBAHASAN A. Efektivitas Induksi Pohon-pohon yang diberi perlakuan menurun kebugarannya mulai 1 bsi. Penurunan kebugaran ditunjukkan oleh adanya daundaun yang mengalami klorosis pada cabang pertama dan kedua dari daerah lubang induksi dan kemudian daun-daun ini gugur. Secara umum inokulan tunggal mengakibatkan klorosis pada daun-daun di dua cabang dekat lubang induksi. Sedangkan pada pohon yang diberi inokulan ganda klorosis terjadi pada tiga cabang dekat lubang induksi. Berbeda dengan daun-daun pada pohon perlakuan, pada pohon kontrol daun-daun tidak mengalami klorosis sampai akhir pengamatan. Pada 2 bsi, jumlah daun yang mengalami klorosis tidak berbeda dengan 1 bsi, tetapi klorosis hampir memenuhi luasan helai daun. Klorosis mungkin berhubungan dengan ketersediaan hara. Ketersediaan hara terganggu karena jalur distribusinya ke daun terhambat akibat pengeboran. Selain itu, adanya inokulan juga menjadi penyebab klorosis. Caruso and Kuc (1977) menyatakan bahwa Colletotrichum lagenarium menyebabkan klorosis pada daun tanaman semangka dan muskmelon. Pohon semakin merana ketika diserang ulat. Tajuk-tajuk pohon menjadi gundul. Berkurangnya jumlah daun secara drastis dapat menghambat proses fotosintesis, karena daun merupakan tempat utama berlangsungnya fotosintesis. Fotosintat sebagai sumber karbon dalam pembentukan metabolit sekunder antimikrob pun terganggu, karena kemungkinan sumber karbon lebih diutamakan untuk pembentukan tunas baru. Pada akhirnya, perkembangan gejala pembentukan gubal pun terganggu. Perubahan warna kayu terjadi pada semua perlakuan. Pelukaan, larutan gula, inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium sp. menyebabkan perubahan warna kayu dari putih menjadi gelap. Menurut Braithwaite (2007) Acremonium sp. dan Fusarium sp. berasosiasi dengan gejala perubahan warna kayu dan dicline pada Quercus sp. di New Zealand. Sebelumnya, Walker et al. (1997) juga menyatakan bahwa perubahan warna kayu menjadi warna coklat (browning) dapat disebabkan oleh serangan patogen (cendawan)
107
Aspek PRODUKSI
dan kerusakan fisik. Perubahan warna kayu pada gaharu mungkin dapat mengindikasi adanya senyawa gaharu. Hal ini didukung oleh pernyataan Rahayu dan Situmorang (2006), bahwa perubahan warna dari putih menjadi coklat-kehitaman merupakan gejala awal terbentuknya senyawa gaharu. Pemberian larutan gula (G) menekan perkembangan gejala pembentukan gubal gaharu. Hal ini disebabkan karena gula tersebut segera dipergunakan pohon untuk proses penyembuhan daripada dimanfaatkan oleh cendawan. Menurut Nobuchi and Siripatanadilok (1991), perubahan warna kayu menjadi coklat muncul setelah sel-sel kehilangan pati akibat pelukaan. Periode inkubasi cenderung mempengaruhi semua parameter gejala gubal gaharu. Semakin lama periode induksi semakin gelap warna kayu. Sedangkan pada parameter lainnya, nilai tertinggi diperoleh pada bulan ke-2 induksi. Kemungkinan besar fenomena ini berhubungan dengan kebugaran pohon yang menurun mulai bulan ke-2. Berdasarkan persentase titik induksi yang wangi, inokulan ganda lebih baik dari inokulan tunggal maupun cara induksi lainnya. Hal ini membuktikan bahwa wangi merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan (Rahayu et al., 2007). Aroma wangi mulai terdeteksi pada bulan ke-2 dan menurun pada bulan berikutnya. Aroma wangi merupakan bagian dari senyawa gaharu (Rahayu et al., 2007). Senyawa wangi merupakan senyawa yang mudah menguap sehingga kemungkinan besar tergolong senyawa seskuiterpenoid. Namun demikian metabolisme isopentenil pirofosfat sebagai pekursor pembentukan terpenoid (McGarvey and Croteau, 1995) mungkin tidak berhenti pada produk seskuiterpenoid tetapi dapat masuk dalam jalur metabolisme selanjutnya. Pada penelitian ini senyawa triterpenoid dan sterol juga terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme terpenoid dapat berlangsung terus dan berakhir pada produk selain seskuiterpenoid ketika dipanen. Aroma wangi dan frekuensi wangi pada pemberian inokulan ganda AF relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, intensitas warna kayu lebih rendah dibandingkan
108
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
dengan pemberian inokulan ganda FA. Hal ini menunjukkan bahwa aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan intensitas warna kayu. Sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1999) bahwa terjadinya pembentukan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu. Secara umum inokulan 1 tidak membangkitkan resistensi pohon terhadap inokulan 2. Hal ini berbeda dari hasil penelitian Krokene et al. (1999) yang membuktikan bahwa inokulasi Heterobasidion annosum yang diikuti oleh Ceratocystis polonica menekan pembentukan gejala bluestain pada pohon Norway spruce (Picea abies). Kemungkinan besar hal ini disebabkan aktivitas patologis yang berbeda. Acremonium dan Fusarium dikenal sebagai penyebab busuk batang atau kanker batang pada pohon berkayu. Heterobasidion juga menyebabkan busuk batang tetapi C. polonica adalah penyebab bluestain saja dan tidak menyebabkan busuk batang. Heterobasidion mungkin merangsang pohon membentuk senyawa fitoaleksin yang bersifat anti C. polonica. Kemungkinan lain adalah periode inokulasi antara inokulan 1 dan inokulan 2 yang hanya berselang 1 minggu. Krokene et al. (1999) menyatakan bahwa pada Norway spruce (P. abies) terhadap C. polonica terbentuk SAR setelah 3 minggu infeksi H. annosum.
B. Pembentukan Senyawa Gaharu Acremonium sp. dan Fusarium sp. dalam bentuk inokulan tunggal atau inokulan ganda dapat merangsang pohon gaharu membentuk senyawa terpenoid. Paine et al. (1997) menyatakan bahwa serangan cendawan pada pohon Pinus akan merangsang pohon untuk membentuk senyawa terpenoid sebagai pertahanan pohon. Selain itu penelitian sebelumnya, Putri (2007) juga menyatakan bahwa pemberian Acremonium sp. pada A. crassna terbukti dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid. Pada penelitian ini triterpenoid mulai terdeteksi pada 1 bsi. Triterpenoid terdeteksi pada pemberian inokulan tunggal FF dan inokulan ganda yang ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna merah pada pengujian Lieberman-Burchard. Sedangkan pada perlakuan B, G, dan inokulan tunggal AA terbentuk warna hijau.
109
Aspek PRODUKSI
Warna hijau ini mengindikasikan yang terbentuk adalah senyawa sterol. Harborne (1987) menyatakan bahwa sterol merupakan salah satu senyawa yang tergolong ke dalam senyawa terpenoid.
SIMPULAN Semua pohon yag diinokulasi menurun kebugarannya sejak 1 bulan setelah inokulasi. Inokulan ganda terutama AF lebih efektif daripada inokulan tunggal dalam merangsang pembentukan wangi. Induksi dengan inokulan 1 yang hanya berselang 1 minggu dari pemberian inokulan 2 tidak membangkitkan resistensi pohon terhadap inokulan 2. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A merangsang pohon membentuk triterpenoid.
DAFTAR PUSTAKA Benhamou, N., S. Gagné, D.L. Quéré, L. Dehbi. 2000. BacterialMediated Induced Resistance in Cucumber: Beneficial Effect of the Endophytic Bacterium Serratia plymuthica on the Protection Against Infection by Pythium ultimum. Amer. Phytopathol. Soc. 90(1): 45-56. Braithwaite, M., C. Inglis, M.A. Dick, T.D. Ramsfield, N.W. Waipara, R.E. Beever, J.M. Pay and C.F. Hill. 2007. Investigation of Oak Tree Decline In Theauckland Region. New Zealand Plant Protection 60:297-303 Caruso, F.L., J. Kuc. 1977. Protection of Watermelon and Muskmelon Against Colletotrichum lagenarium by Colletotrichum lagenarium. Phytopathol. 67: 1285-1289. Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro (penerjemah). Institut Teknologi Bandung. Bandung Terjemahan dari: Phytochem Methods. Krokene, P., E. Christiansen, H. Solheim, V.R. Franceschi, A.A. Berryman. 1999. Induced Resistance to Phatogenic Fungi in Norway Spruce. Plant Physiol. 121: 565-569.
110
Efektivitas dan Interaksi .....(Gayu Rahayu, dkk.)
Liu, L., J.W. Kloepper, S. Tuzun. 1995. Induction of Systemic Resistance in Cucumber by Plant Growth-Promoting Rhizobacteria: Duration of Protection and Effect of Host Resistance on Protection and Root Colonization. Phytopathol. 85:1064-1068. McGarvey, D.J. and F. Croteau. 1995. Terpenoid Metabolism. Plant Cell 7:1015-1026. Nobuchi, T., S. Siripatanadilok. 1991. Preliminary Observation of Aquilaria crassna Wood Associated with the Formation of Aloeswood. Bull. Kyoto Univ. Forest 63:226-235. Paine, T.D., K.F. Raffa, T.C. Harrington. 1997. Interactions Among Scolytid Bark Beetles, their Associated Fungi, and Host Conifers. Annu. Rev. Entomol. 42:179-206. Rahayu, G., Y. Isnaini, M.I.J. Umboh. 1999. Potensi Hifomiset dalam Menginduksi Pembentukan Gubal Gaharu. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Purwokerto, 16-18 September 1999. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Purwokerto. hlm 573-581. Rahayu, G., A.L. Putri dan Juliarni. 2007. Acremonium and MethylJasmonate Induce Terpenoid Formation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Makalah dipresentasikan dalam 3rd Asian Conference on Crop Protection. Yogyakarta, 22-24 August 2007. Rahayu, G. 2008. Increasing Fragrance and Terpenoid Production in Aquilaria crassna by Multi-Application of MethylJasmonate Comparing to Single Induction of Acremonium sp. Makalah dipresentasikan dalam International Conference on Microbiology and Biotechnology. Jakarta, 11-12 November 2008. Santoso, E. 1996. Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Makalah Diskusi Hasil Penelitian dalam Menunjang Pemanfaatan Hutan yang Lestari. Bogor, 11-12 Maret 1996. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 1-3. Sticher, L., B. Mauch-Mani, J.P. Métraux. 1997. Systemic Acquired Resistance. Institute de Biologie Végétale, Université de Fribourg, 3 route A Gockel, 1700 Fribourg. Switzerland.
111
112
Aspek SILVIKULTUR
113
114
5 UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN GAHARU SECARA GENERATIF DAN VEGETATIF Atok Subiakto, Erdy Santoso, Maman Turjaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan untuk menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk menghasilkan resin gaharu yang terbentuk dari respon tanaman atas infeksi mikroba, khususnya jamur Fusarium sp., Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp., Pythium sp., Phialophora sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007; Daijo and Oller, 2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987). Di alam, kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan bila terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon yang terinfeksi. Namun gaharu alam dapat mencapai kualitas tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta/kg. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya. Akibatnya populasi jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Konsekuensinya, dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam. Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan dan produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek dimaksud
115
Aspek SILVIKULTUR
berkaitan dengan aspek pembibitan dan penyuntikan stimulan gaharu. Pembahasan makalah ini difokuskan pada aspek pembibitan atau perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu. Perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu dapat dilakukan, baik secara generatif maupun vegetatif. Biji pohon penghasil gaharu tergolong rekalsitran (Hou, 1960). Biji rekalsitran umumnya cepat berkecambah dan tidak dapat disimpan dalam jangka panjang (Roberts and King, 1980). Penerapan perbanyakan vegetatif dan pemuliaan pohon berpotensi untuk menghasilkan bibit klon gaharu yang memiliki keunggulan, baik pertumbuhan maupun produktivitas resin gaharunya. Proyek ITTO PD 425/06 berupaya untuk mengembangkan dan menerapkan iptek pada penanaman pohon penghasil gaharu agar pertumbuhan dan produktivitas resin gaharunya tinggi. Namun informasi iptek mengenai teknik perbenihan dan teknik perbanyakan vegetatif gaharu masih sangat terbatas. Makalah ini menyajikan hasil penelitian berkaitan dengan aspek perbenihan dan perbanyakan stek gaharu.
METODE A. Perbanyakan Generatif Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih (biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu (0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,4-26,1oC dan 4,9-6,5oC). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis. Perlakuan pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu simpan (1, 2, dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan (dalam sungkup dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan.
116
Uji Produksi Bibit .....(Atok Subiakto, dkk.)
B. Perbanyakan Vegetatif Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah kaca yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 2:1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian kedua perlakuan intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali seminggu dengan media arang sekam. Pada pengujian ketiga, media menggunakan campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 1:1 dan intensitas penyiraman 1 kali pada bulan pertama, 2 kali pada bulan kedua, dan 3 kali pada bulan ketiga.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbanyakan Generatif Biji gaharu tergolong rekalsitran, sehingga harus secepatnya dikecambahkan. Uji penyimpanan benih dilakukan untuk mengetahui seberapa lama benih gaharu dapat disimpan. Hasil uji pengecambahan biji dari dua kondisi penyimpanan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Kondisi penyimpanan (kondisi ruang dan dalam re-frigerator) tidak secara nyata mempengaruhi perkecambahan benih (P Anova = 0,0993). Di Tabel 1. Persen kecambah dari hasil uji lain pihak, periode penyimpenyimpanan biji panan mempengaruhi persen Periode Kondisi Refrigerator kecam-bah benih (P Anova = < simpan ruang (%) (%) 0,0001). Secara teknis pengecambahan biji gaharu mudah dilakukan, media tabur dapat menggunakan arang sekam
Langsung
82
-
2 minggu
69
69
4 minggu
77
69
6 minggu
56
61
8 minggu
48
24
117
Aspek SILVIKULTUR
atau zeolit. Dalam pengujian ini media kecambah yang digunakan adalah arang sekam padi. Pada jenis-jenis biji rekalsitran seperti meranti, penaburan biji dilakukan segera setelah buah yang masak dan jatuh. Pada jenis gaharu penyimpanan pada kondisi ruang selama 2 bulan masih dapat menghasilkan kecambah dengan tingkat keberhasilan 48%. Perkecambahan umumnya Tabel 2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji dimulai pada minggu kedua penyim-panan biji dan persen jadi bibit dihitung pada minggu keenam setelah Periode Kondisi Refrigerator penaburan. Pada Tabel 2 simpan ruang (%) (%) tampak ada penurunan antara Langsung 74 persen berkecambah dan 2 minggu 50 54 persen jadi bibit. Penurun- 4 minggu 64 58 annya cenderung lebih besar 6 minggu 37 48 bila bibit disimpan dalam 8 minggu 29 9 jangka waktu yang lebih lama. Oleh sebab itu untuk mendapatkan persen jadi bibit yang tinggi, pengecambahan harus dilakukan segera setelah pengunduhan buah. Perbanyakan generatif Tabel 3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan dapat pula dilakukan dengan kondisi tanam bibit menggunakan bibit yang diperoleh dari cabutan di Periode Dalam Tanpa bawah pohon induknya. Pasimpan sungkup (%) sungkup (%) (hari) da pengujian penanaman 0 80 40 cabutan digunakan bibit 1 76 46 gaharu berukuran tinggi 2 87 24 7 cm, kotiledonnya telah luruh. Hasil uji penanaman 3 76 38 cabutan disajikan pada Tabel 3. Penggunaan sungkup meningkatkan secara nyata persen tumbuh bibit cabutan (P Anova = < 0,0001). Umumnya bibit cabutan yang masih memiliki kotiledon dapat langsung ditanam dalam kantong plastik tanpa penyungkupan.
118
Uji Produksi Bibit .....(Atok Subiakto, dkk.)
Namun bila kotiledon telah luruh, maka penanaman bibit cabutan harus melalui tahap penyungkupan. Sungkup dapat dibuat dari plastik PVC transparan, penyungkupan harus rapat agar kelembaban dalam sungkup dapat dijaga pada level di atas 95%. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa kelembaban tinggi di dalam sungkup mempengaruhi keberhasilan penanaman bibit cabutan. Penyimpanan bibit cabutan selama tiga hari masih memberikan hasil yang cukup baik (76%) bila penanamannya menggunakan sungkup.
B. Perbanyakan Vegetatif Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi lingkungan, yaitu cahaya, kelembaban, temperatur, dan media pada tingkat optimal bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil uji produksi stek gaharu disajikan pada Tabel 4. Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian. Pada tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek. Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Ratarata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 4047%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis bila persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007). Perlakuan jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,6600) dalam persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276) dalam persen jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di bawah 70%, maka dilakukan pengujian lebih lanjut. Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi satu kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga jenis media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova = 0,0083) terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit, namun persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan media dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh cendawan
119
Aspek SILVIKULTUR
ataupun alga. Karena zeolit adalah media yang berat dan relatif lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang memiliki tingkat porositas relatif sama dengan zeolit. Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah tingkat penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali seminggu). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5%, penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap persen berakar stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman terbaik adalah dua kali seminggu dengan persen berakar 69%. Efek dari penyiraman adalah menyebabkan jenuhnya media dan meningkatkan pertumbuhan cendawan, termasuk cendawan pembusuk. Tabel 4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek Tahapan riset 1
A. crassna
1
A. crassna
1
A. microcarpa
1
A. microcarpa
2
Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa
2 2 3 3 3
120
Spesies
Perlakuan Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coco-peat : sekam = 2:1 Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coco-peat : sekam = 2:1 Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coco-peat : sekam = 2:1 Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coco-peat : sekam = 2:1 Media sekam bakar, siram 1 kali seminggu
Persen berakar (%) 40 42 44 47 17
Media pasir, siram 1 kali seminggu
31
Media zeolit, siram 1 kali seminggu
55
Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 1 kali seminggu
53
Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 2 kali seminggu
69
Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 3 kali seminggu
49
Uji Produksi Bibit .....(Atok Subiakto, dkk.)
KESIMPULAN 1. Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan. Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan sungkup. 2. Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran antara serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan perbandingan 1:1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada rumah kaca dengan KOFFCO system.
DAFTAR PUSTAKA Daijo, V. dan D. Oller. 2001. Scent of Earth. URL:http://store.yahoo. com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari 2001). Hou, D. 1960. Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis, C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff, Groningen. The Netherland. p. 1-15. Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman. 1996. Studi Etiologi Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram. Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenisjenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata. 2002. Mass Propagation Method from The Cutting of Three Dipterocarps Species. J. For. Res. 7:73-80. Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. 2007. Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 : 499-509.
121
Aspek SILVIKULTUR
Sidiyasa, K. dan M. Suharti. 1987. Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Makalah Utama Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang Dikenal. Cisarua, Bogor. Subiakto, A. dan C. Sakai. 2007. Manajemen Persemaian KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. Roberts, E. H. and M. W. King. 1980. The Characteristic of Recalcitrant Seeds. In : Recalcitran Crop Seeds (Chin, H. F., and Roberts, E. H., eds). Tropical Press SDN. BHD. Kuala Lumpur, Malaysia. 1-5. Turjaman, M., Y. Tamai, and E. Santoso. 2006. Arbuscular Mycorrhizal Fungi Increased Early Growth of Two Timber Forest Product Species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria Under Greenhouse Conditions. Mycorrhiza 16 : 459-464.
122
6 APLIKASI RHIZOBAKTERI PENGHASIL FITOHORMON UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN Irnayuli R. Sitepu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Aryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Yasuyuki Hashidoko Lab. of Ecological Chemistry, Division of Applied Bioscience, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University
Maman Turjaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Gaharu (dalam Bahasa Inggris dikenal dengan agarwood atau eaglewood) adalah kayu resin yang bernilai komersial tinggi karena digunakan sebagai dupa, bahan aditif minyak wangi, dan minyak esensial untuk kegiatan keagaman, budaya, bahkan kegiatan sehari-hari. Di alam, perburuan gaharu dilakukan secara agresif dan tidak bijaksana. Pohon penghasil gaharu yang ditemukan dengan ciri-ciri adanya lubang kecil yang disebut lubang semut, ditebang dan dipanen gaharunya. Cara perburuan ini mengancam kelestarian gaharu di habitat alaminya, sehingga untuk mencegah punahnya pohon penghasil gaharu, sejak November 1994, Aquilaria
123
Aspek SILVIKULTUR
dan Gyrinops, dua genus pohon penghasil gaharu terpenting yang termasuk ke dalam famili Thymelaeaceae (Ordo: Myrtales dan Kelas: Magnoliopsida) telah masuk ke dalam daftar CITES (the Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Appendix II TRAFFIC-CITES-CoP13 Prop.49 (2004) mencatat ada 24 spesies yang termasuk genus Aquilaria dan tujuh spesies termasuk ke dalam genus Gyrinops. Kedua genus ini ditemukan tumbuh alami di paling tidak 12 negara, termasuk Bangladesh, Butan, Kamboja, Indonesia, Lao PRD, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Papua New Guinea (Barden et al. dalam Gunn et al., 2004). Gaharu terjadi melalui proses patogenisitas di mana jenis patogen fungi tertentu menginfeksi jenis pohon tertentu dan sebagai respon terhadap serangan patogen, pohon menghasilkan metabolit sekunder atau senyawa resin yang menyebabkan bau wangi ketika dibakar. Selain ditemukan pada kedua genus di atas, produk unik ini juga dapat terjadi pada beberapa genus tanaman lainnya, yaitu Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wikstroemia, Gonystylus. Keberadaan gaharu semakin menipis di alam. Agar ketersediaan produk gaharu dan pohon penghasil gaharu tidak punah dan untuk menjaga kesinambungan produksi gaharu yang lestari, perlu upaya budidaya pohon penghasil gaharu. Gaharu hasil budidaya diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasokan gaharu untuk ekspor ke negara-negara pemakai. Budidaya merupakan kunci utama dalam meningkatkan produksi gaharu yang semakin menipis. Kegiatan budidaya pohon penghasil gaharu tidak terlepas dari penyediaan bibit yang berkualitas tinggi. Lain halnya dengan komoditas pertanian yang langsung ditanam di lapangan, persiapan bibit kehutanan dilakukan mulai di persemaian. Upaya peningkatan mutu bibit di persemaian dapat dilakukan dengan pemupukan, penggunaan biji yang bermutu baik dan inokulasi mikroba yang dapat memacu pertumbuhan, seperti bakteri penghuni perakaran yang disebut rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman (RPPT atau plant growth promoting rhizobacteria). Istilah RPPT digunakan untuk bakteri yang dapat membantu pertumbuhan tanaman melalui
124
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
mekanisme yang beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung (Glick, 1995; Kokalis-Burelle et al., 2006). Mekanisme ini meliputi produksi fitohormon, solubilisasi atau mineralisasi fosfat, penambatan nitrogen, sequestration besi oleh siderofor, membantu proses terbentuknya mikoriza, dan pencegahan terjadinya serangan patogen tular tanah (Garbaye, 1994; Glick, 1995; Lucy et al., 2004). Di antara mekanisme ini, fitohormon mendapatkan perhatian penelitian karena aplikasi bakteri penghasil fitohormon dilaporkan meningkatkan produksi tanaman inang secara berkesinambungan (Narula et al., 2006). Narula et al. (2006) mengatakan bahwa dalam studi pemanfaatan bakteri penambat nitrogen untuk meningkatkan produksi tanaman, kandungan nitrogen pada tanaman yang diinokulasi tidak meningkat secara myata, sehingga respon peningkatan pertumbuhan tanaman disebabkan oleh mekanisme lain dan bukan nitrogen, dan diduga adalah produksi fitohormon oleh bakteri penambat nitrogen tersebut. Azospirillum sp. yang dikenal sebagai bakteri penambat nitrogen, misalnya dapat memproduksi tiga jenis fitohormon, yaitu asam indol asetat (AIA/auksin), giberelin (AG), dan kinetin. Sedangkan Azospirillum chroococcum diketahui dapat memproduksi AIA, AG, dan sitokinin (berbagai sumber dalam Narula et al., 2006). Mikroorganisme yang menghuni rhizosfir berbagai macam tanaman umumnya memproduksi auksin sebagai metabolit sekunder sebagai respon terhadap suplai eksudat akar yang berlimpah di zona perakaran. Barbieri et al. (1986) dalam Ahmad et al. (2005) melaporkan bahwa Azospirilum brazilance meningkatkan jumlah dan panjang akar lateral. Sedangkan Pseudomonas putida GR12-2 pada bibit canola meningkatkan panjang akar sampai tiga kali lipat. Dikatakan bahwa bakteri penghasil hormon pertumbuhan diduga memegang peranan penting dalam memacu pertumbuhan tanaman. Namun, sampai saat ini informasi penelitian tentang pemanfaatan bakteri fitohormon untuk tanaman kehutanan di daerah tropis masih terbatas. Untuk menguji hipotesa ini, maka dilakukan penelitian uji aplikasi bakteri penghasil AIA/auksin dalam memacu pertumbuhan bibit penghasil gaharu Aquilaria sp. di persemaian. Dalam penelitian ini, bakteri terlebih dahulu diseleksi secara in vitro untuk
125
Aspek SILVIKULTUR
mengetahui kapasitasnya sebagai bakteri penghasil fitohormon AIA/auksin.
BAHAN DAN METODE A. Bakteri Penghasil Fitohormon: Identifikasi, Karakterisasi in vitro dan Persiapan Inokulum Rhizobakteri diisolasi dari rhizosfir dan rhizoplan bibit atau sapling menggunakan media campuran mineral Winogradsky’s bebas N dengan pH 5,6-6,2 yang mengandung 1% sukrosa sebagai sumber karbon dan 0,3% gellan gum sebagai bahan pemadat (Hashidoko et al., 2002). Rhizobakteri ini kemudian diidentifikasi secara molekuler mengikuti metode Weisburg et al. (1991). Analisa sekuens DNA menggunakan BigDye Terminator v3.1 cycle (Applied Biosystems, Foste City, USA) dengan empat pilihan primer, yaitu: 1. 2. 3. 4.
926F (5 AAACTCAAAGGAATTGACGG 3), 518R (5 GTATTACCGCGGCTGCTGG 3), 1112F (5 GTCCCGCAACGAGCGCAAC 3), dan/atau 1080RM (5 ACGAGCTGACGACA 3).
Homologi sekuens ditelusuri dengan menggunakan BLASTN online DNA database in National Center for Bio-technology Information (NCBI). Seleksi awal rhizobakteri secara in vitro dilakukan untuk mengetahui kemampuannya dalam memproduksi fitohormon (asam indol asetat-AIA) melalui karakterisasi kualitatif dan kuantitatif. Katakterisasi kualitatif menggunakan metode colorimetric Brick et al. (1991) yang dimodifikasi sebagai berikut: Rhizobakteri ditumbuhkan dalam media agar Winogradsky’s yang dimodifikasi (AWM) yang diberi 100 mg/L L-tryptophan (C 11H 12N 2O 2). Segera setelah agar diinokulasi rhizobakteri, media ditumpuk dengan membran nitrocellulose berukuran pori 0,45mm, diameter 47 mm, dan diinkubasi dalam gelap pada suhu 28°C. Setelah inkubasi selama 3 hari, membran dipindahkan dan ditumpuk pada kertas saring berdiameter 55 mm No. 2 (Advantec, Toyo Roshi Kaisha Ltd.,
126
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
Tokyo, Japan) yang telah direndam sebelumnya dalam larutan Salkowski. Perubahan warna diamati setelah 30 menit kemudian. Rhizobakteri yang mampu memproduksi AIA akan membentuk cincin halo warna merah di sekitar koloni. Intensitas warna yang terbentuk, kemudian dikelompokkan menjadi merah muda, merah, dan merah tua. Sedangkan karakterisasi AIA secara kuantitatif dilakukan mengikuti metode Narula (2004). Rhizobakteri yang membentuk cincin halo berwarna merah muda sampai merah pekat digunakan untuk uji kuantitatif AIA. Rhizobakteri dikulturkan pada media MW cair yang ditambah dengan 100mg/L L-tryptophan dan diinkubasikan pada suhu 28°C dalam kondisi statis di dalam gelap selama 7 hari. Kemudian larutan Salkowski ditambahkan pada supernatant kultur rhizobakteri. Setelah 0,5 jam, pembentukan warna dibaca pada A665nm. Strain rhizobakteri yang bereaksi positif dengan larutan Salkowski kemudian diuji untuk mengetahui kemampuannya dalam memacu pertumbuhan akar Vigna radiata sebagai tanaman uji. Namun demikian, uji lanjutan pada V. radiata tidak menunjukkan adanya korelasi yang positif antara intensitas kepekatan warna merah dengan laju pertumbuhan tanaman (tinggi dan total panjang akar). Tidak adanya korelasi yang spesifik ini mengindikasikan bahwa kepekatan warna merah bukan merupakan indikasi tingginya kuantitas IAA yang dihasilkan, melainkan diduga merupakan indikasi perbedaan/variasi derifat dari senyawa indol yang dikonversi dari L-triptophan. Glickmann dan Dessaux (1995) menyatakan bahwa larutan Salkowsky memberikan respon positif tidak hanya terhadap auksin (IAA) melainkan juga terhadap asam indolpirufat dan indoleacetamide. Dari ketiga uji pendahuluan untuk mendapatkan bakteri penghasil AIA, maka dipilih sembilan bakteri (Tabel 1). Selain itu, digunakan juga satu isolat bakteri pemacu asosiasi mikoriza, yaitu Chromobacterium sp. CK8 karena Aquilaria sp. diketahui berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam membantu terbentuknya asosiasi mikoriza pada bibit Aquilaria sp.
127
Aspek SILVIKULTUR
B. Inokulasi Bakteri Fitohormon pada Bibit Aquilaria sp. Sel bakteri yang ditumbuhkan pada media cair MW + 100 mg/L L-tryptophan diinkubasi dengan menggoyang selama 3 hari pada suhu 28ºC, setelah itu kultur bakteri agak dikentalkan dengan menambahkan 0,5% gellan gum selama 30 menit. Inokulasi dilakukan pada bibit yang berumur 4 minggu dengan cara merendam bibit dalam larutan bakteri selama 30 menit, kemudian ditanam dalam polybag yang berisi 500 g media tanah yang tidak steril. Pada saat penanaman, 1 ml larutan bakteri juga disebarkan di daerah perakaran. Bibit ditumbuhkan di rumah kaca dan disiram setiap hari dengan air keran. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi, diameter, dan bobot kering biomassa. Tabel 1. Informasi bakteri PGPR penghasil fitohormon yang digunakan sebagai inokulum
Inang
Substrat
Sta-dium
Asal lokasi
Strain bakteri
Sub kelas
Hasil analisa colorimetric AIA
Dipterocarpus sp. Rizoplan
Sapling ~1 th Nyaru Menteng
Stenotrophomonas sp. CK34
Proteobacteria
Merah
Hopea sp.
Rizoplan
Sapling ~1 tah
Bacillus sp. CK41
Bacilli
Merah muda
S. teysmanniana
Rizoplan
Sapling ~1 th Nyaru Menteng
Azospirillum sp. CK26
Proteobacteria
Merah muda
S. teysmanniana
Rizoplan
Sapling ~1 tah
Burkholderia Proteosp. CK28 bacteria (DQ195889)
Merah muda pupus
Burkholderia Proteosp. CK59 bacteria (DQ195914)
Merah muda pupus Merah muda pupus
Nyaru Menteng
Nyaru Menteng
Dipterocarpus sp. Rizoplan
Sapling ~1th
Nyaru Menteng
Serratia sp. CK67
Proteobacteria
S. teysmanniana
Rizoplan
Bibit~ 6 bln
Nyaru Menteng
NI CK53
Merah tua
NI CK54
Merah tua
S. balangeran
Rizoplan
Sapling ~1 bln
Pembi-bitan UP
NI CK 61
Merah muda
S. parviflora
Rizoplan
Sapling ~1.5 th
Nyaru Menteng
Chromobacterium sp. CK8 (DQ195926)
Proteobacteria
*
Catatan: S: Shorea; H: Hopea; NI: bakteri yang belum teridentifikasi; UP: Universitas Palangkaraya; * isolat mycorrhization helper bacteria; AIA: asam indol asetat
128
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
a
b Gambar 1. Warna merah yang terbentuk di sekitar koloni setelah direaksikan dengan reagen Salkowski (a): Pembentukan warna pada membrane nitroselulose 3 hari setelah inkubasi; (b): Pembentukan warna pada media cair. Bakteri NICK53 yang membentuk warna merah tua dibanding dengan kontrol media tanpa bakteri
C. Rancangan Percobaan dan Analisa Data Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal, yaitu 10 isolat bakteri, yang masing-masing diulang sebanyak 10 bibit per perlakuan. Data dianalisa secara statistik dengan analisa sidik ragam menggunakan program SPSS®version 10.0 (SPSS Inc., Chicago, USA). Data yang berbeda nyata diuji lanjut dengan Least Significant Difference untuk mengelompokkan perlakuan yang tidak berbeda nyata. Parameter yang diukur untuk mengetahui respon bibit terhadap inokulasi, yaitu tinggi, diameter, berat kering total, indeks mutu bibit, dan persentase peningkatan pertumbuhan. Analisa persentase peningkatan pertumbuhan dilakukan sebagai berikut: %Peningkatan =
Bibit yang diinokulasi bibit kontrol Bibit kontrol
x 100%
129
Aspek SILVIKULTUR
HASIL DAN PEMBAHASAN Bibit Aquilaria sp. menunjukkan respon beragam terhadap inokulasi bakteri fitohormon (Gambar 2). Bakteri fitohormon memberikan pengaruh positif, netral atau negatif terhadap pertumbuhan tanaman jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi (kontrol negatif ). Respon tanaman diamati melalui pertumbuhan tinggi dan diameter setiap bulannya. Bakteri fitohormon memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman mulai 1-5 bulan setelah inokulasi (P < 0,05). Dua isolat bakteri, yaitu Burkholderia sp. CK28 (DQ195889, β Proteobacteria) dan Chromobacterium sp. CK8 (DQ195926, β Proteobacteria) merupakan isolat yang paling konsisten dalam memberikan pengaruh paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi selama lima bulan setelah inokulasi (Gambar 2). Kedua bakteri ini berasal dari rhizoplan S. teysmanniana umur kurang lebih 1 tahun dan S. parviflora umur kurang lebih 1,5 tahun dari arboretum Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Peningkatan pertumbuhan tinggi bibit Aquilaria sp. berkisar antara 12,2-38,7% dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasi pada lima bulan setelah inokulasi. Semua bibit yang diinokulasi secara signifikan memiliki pertumbuhan tinggi yang lebih baik daripada tanaman kontrol melalui analisa Least Significant Difference (LSD). Pertumbuhan diameter tidak menunjukkan respon yang konsisten terhadap inokulasi (Tabel 2). Respon yang serupa juga telah dilaporkan oleh Sitepu et al. (2007) bahwa respon diameter bibit Shorea selanica terhadap inokulasi RPPT tidak konsisten. Dijelaskan bahwa tanaman hutan pertumbuhannya jauh lebih lambat dari tanaman pertanian sehingga untuk pertumbuhan stadium awal di persemaian, tinggi merupakan parameter yang reliable untuk mengamati respon bibit terhadap inokulasi mikroba pemacu pertumbuhan. Pada habitat hutan yang rimbun dengan kanopi yang bertingkat, bibit yang tumbuh di lantai hutan perlu memiliki kemampuan untuk segera tumbuh tinggi bersaing dengan bibit di sekitarnya untuk mendapatkan cahaya agar dapat tumbuh baik.
130
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
Gambar 2. Pengaruh bakteri PGPR terhadap pertumbuhan tinggi bibit Aquilaria sp. sampai 5 bulan setelah inokulasi. Angka di atas notasi adalah peningkatan pertumbuhan dibanding kontrol
Inokulasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, enam bulan setelah inokulasi, juga terhadap berat kering total, rasio pucuk terhadap akar, dan indeks mutu bibit (Gambar 3 dan Gambar 4). Inokulasi juga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan setelah bibit dipindah ke lapangan, bibit cenderung tumbuh lambat (Tabel 2). Bibit Aquilaria sp. ditumbuhkan di bawah tegakan meranti di Hutan Penelitian Dramaga. Tidak responnya bibit terhadap bakteri, enam bulan setelah inokulasi, dapat dijelaskan sebagai berikut: Tanah sebagai media tumbuh dan bibit Aquilaria sp. tidak disterilisasi pada saat inokulasi bakteri sehingga mikroba alami yang terdapat dalam tanah, kemudian bebas untuk berinteraksi dengan bakteri yang diinokulasikan. Diduga tidak adanya respon bibit yang nyata pada bulan keenam dan selanjutnya disebabkan karena bibit telah terinfeksi oleh fungi mikoriza secara alami yang dapat berasal dari tanah maupun air yang dipakai untuk menyiram tanaman walaupun analisa infeksi mikoriza alami tidak dilakukan. Fungi mikoriza dilaporkan baru berperan efektif tujuh bulan setelah inokulasi pada tanaman dipterokarpa, yaitu Shorea leprosula, Shorea acuminata, Hopea odorata, dan Shorea pinanga (Lee, 1990; Yazid et al., 1994; Turjaman et al., 2005).
131
Aspek SILVIKULTUR
Tabel 2. Tabel 1. Analisa sidik ragam pada parameter pertumbuhan yang diukur Parameter
Analisa sidik ragam
Diameter (mm)
tn
tn
*
*
tn
tn
Tinggi (cm)
*
*
*
*
*
tn
Berat Kering Pucuk (g)
tn
Berat Kering akar (g)
tn
Berat Kering Total (g)
tn
Rasio P/A
tn
Indeks Mutu Bibit
tn
Catatan: tn: tidak nyata pada taraf 0,05 *: nyata pada taraf 0.05; P/A: Pucuk/akar
Gambar 3. Berat kering total bibit Aquilaria sp. yang diinokulasi bakteri
132
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
Gambar 4. Gambar 4. Indeks mutu bibit Aquilaria sp. yang diinokulasi bakteri
Pada bibit Aquiliaria sp. dalam penelitian ini, pengaruh mikoriza dimulai lebih awal, yaitu pada enam bulan setelah inokulasi. Bakteri tertentu dapat berperan dalam merangsang terbentuknya asosiasi mikoriza antara fungi mikoriza dan tanaman inangnya. Salah satu dari kedua inokulan yang paling efektif, yaitu Chromobacterium sp. CK8 adalah bakteri yang telah diuji secara in vitro dapat membantu pertumbuhan miselia fungi ektomikoriza Laccaria sp. Penelitian yang dilakukan oleh Poole et al. (2001) menyatakan bahwa bakteri Paenibacillus sp., Burkholderia sp., dan Rhodococcus sp. merangsang infeksi ektomikoriza pada tahapan pembentukan akar lateral antara Laccaria rufus dan Pinus sylvestris. Sedangkan Paenibacillus monteilii dan Paenibacillus resinovorans memacu simbiosis antara Pisolithus alba dengan Acacia holosericea di mana P. monteilii meningkatkan biomassa fungi di dalam tanah (Founoune et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Enebak et al. (1998) pada bibit loblolly dan slash pine melaporkan bahwa inokulasi RPPT meningkatkan biomassa tegakan. Pengaruh tidak langsung dari inokulasi RPPT berupa pembentukan asosiasi mikoriza (disebut sebagai mycorrhizal helper bacteria, MHB) juga telah dilaporkan. Pseudomonas fluorescense BBc6R8 memacu simbiosis antara Laccaria bicolor S238N-Douglas fir (Pseudotsuga menziesii) dan efek dari bakteri MHB ini paling efektif pada saat fungi mikoriza tumbuh berada pada kondisi yang tidak optimal (Garbaye, 1994; Brule et al., 2001).
133
Aspek SILVIKULTUR
Untuk mengetahui apakah fenomena MHB ini juga berlaku untuk Aquilaria sp. dan apakah hipotesa di atas benar, maka perlu uji lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh inokulasi ganda antara bakteri dan fungi mikoriza arbuskula dalam memacu pertumbuhan bibit, baik di persemaian maupun di lapangan. Penelitian yang dilakukan oleh Kashyap et al. (2004) menunjukkan bahwa inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskula dan bakteri Azotobacter dengan tambahan asam indol butirat secara nyata meningkatkan survival rate sapling Morus alba (Moraceae) yang ditanam pada kondisi yang bergaram tinggi dari 25-50%. Dalam hal ini bibit bermikroba dapat meningkatkan ketahanan tumbuh tanaman pada kondisi ekstrim. Dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah menyeleksi bakteri secara in vitro terlebih dahulu sebelum dilakukan uji pada tanaman target di persemaian. Uji in vitro merupakan metode yang praktis, terutama dalam menyeleksi isolat dalam jumlah besar sebelum dilakukan uji selanjutnya. Dari hasil in vitro didapat sembilan bakteri penghasil indol yang kemudian diuji lanjut pada bibit Aquilaria sp. Respon pertumbuhan bibit Aquilaria sp. terhadap inokulasi menghasilkan satu bakteri penghasil indol yang efektif, yaitu Burkholderia sp. CK28 yang menghasilkan warna pink muda pada uji colorimetric.
KESIMPULAN Bibit Aquilaria sp. menunjukkan respon beragam terhadap inokulasi bakteri penghasil fitohormon. Inokulasi bakteri penghasil fitohormon dapat meningkatkan tinggi bibit Aquilaria sp. segera setelah inokulasi berturut-turut selama lima bulan. Peningkatan pertumbuhan tinggi bervariasi dari 12,2-38,7% dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasi. Dua isolat Burkholderia sp. CK28 dan Chromobacterium sp. CK8 adalah dua bakteri yang secara konsisten memacu pertumbuhan tinggi. Uji lanjutan inokulasi ganda dengan fungi mikoriza arbuskula perlu dilakukan untuk mengetahui mikroba yang berperan dalam memacu pertumbuhan bibit pada stadia lanjut di persemaian sebelum dipindah ke lapangan.
134
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
Ucapan Terimakasih Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad Yani dan Bapak Zaenal yang telah membantu pengukuran dan perawatan tanaman di Hutan Penelitian Dramaga.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, F., I. Ahmad, dan M.S. Khan. 2005. Indole acetic acid production by the indigenous isolates of Azotobacter and fluorescent Pseudomonas in the presence and absence of tryptophan. Turkish Journal of Biology 29: 29-34. Brick, J.M., R.M. Bostock, and S.E. Silverstone. 1991. Rapid in situ assay for indoleacetic acid production by bacteria immobilized on a nitrocellulose membrane. Applied and Environmental Microbiology 57: 535-538. Brulé, C., P. Frey-Klett, J.C. Pierrat, S. Courrier, F. Gerard, M.C. Lemoine, J.L. Rousselet, G. Sommer, and J. Garbaye. 2001. Survival in the soil of the ectomycorrhizal fungus Laccaria bicolor and the effects of mycorrhiza helper Pseudomonas fluorescens. Soil Biology and Bio-chemistry 33: 1683-1694. Enebak, S.A., G. Wei, and J.W. Kloepper. 1998. Effect of plant growthpromoting rhizobacteria on loblolly and slash pine seedlings. Forest Science 44: 139-144. Founoune, H., R. Duponnois, A.M. Ba, S. Sall, I. Branget, J. Lorquin, M. Neyra, and J.L. Chotte. 2002. Mycorrhiza Helper Bacteria stimulate ectomycorrhizal symbiosis of Acacia holosericea with Pisolithus alba. New Phytologist 153: 81-89. Garbaye, J. 1994. Helper bacteria: a new dimension to the mycorrhizal symbiosis. New Phytologist 128: 197-210. Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living bacteria. Canadian Journal of Microbiology 41: 109-117. Glickmann, E. and Y. Dessaux. 1995. A critical examination of the specificity of the Salkowski reagent for indolic compounds produced by phytopathogenic bacteria. Applied Environmental Microbiology 61: 793-796.
135
Aspek SILVIKULTUR
Gunn, B.V., P. Stevens, M. Singadan, L. Sunari, and P. Chatterton. 2004. Eaglewood in Papua New Guinea. Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No.51. The Australian National University. Canberra. 18 pp. Hashidoko, Y., M. Tada, M. Osaki, and S. Tahara. 2002. Soft gel medium solidified with gellan gum for preliminary screening for rootassociating, free-living nitrogen-fixing bacteria inhabiting the rhizoplane of plants. Bio-science Biotechnology Biochemistry 66: 2259–2263. Kokalis-Burelle, N., J.W. Kloepper, and M.S. Reddy. 2006. Plant growth-promoting rhizobacteria as transplants amendments and their effects on indigenous rhizo-sphere microorganisms. Applied Soil Ecology 31: 91-100.
Lee, S.S. 1990. The mycorrhizal association of the Dipterocarpaceae in the tropical rain forests of Malaysia. AMBIO 19: 383-385. Lucy, M., E. Reed, and B.R. Glick. 2004. Applications of free living plant growth-promoting rhizobacteria. Antonie van Leeuwenhoek 86: 1-25. Narula, N., A. Deubel, W. Gans, R.K. Behl, and W. Merbach. 2006. Paranodules and colonization of wheat roots by phytohormone producing bacteria in soil. Plant Soil Environment 52:119-129. Narula, N. 2004. Biofertilizer technology-A manual. Department of Microbiology. CCS Haryana Agricultural University, Hisar, India. pp.67. Poole, E.J., G.D. Bending, J.M. Whipps, and D.J. Read. 2001. Bacteria associated with Pinus sylvestris-Lactarius rufus ectomycorrhizas and their effects on mycorrhiza formation in vitro. New Phytologist 151: 743-751. Sitepu, I.R. 2007. Screening of plant-growth promoting rhizobacteria from Dipterocarpaceae plants growing in Indonesian tropical rain forests, and investigations of their functions on seedling growth. PhD Dissertation. Hokkaido University. 91 pp. Turjaman, M., Y. Tamai, H. Segah, S.H. Limin, J.Y. Cha, M. Osaki, and K. Tawaraya. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi
136
Aplikasi Rhizobakteri Penghasil .....(Irna R. Sitepu, dkk)
Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30: 67-73. Weisburg, W. G., S.M. Barns, D.A. Pelletier, and D.J. Lane. 1991. 16S ribosomal DNA amplification for phylogenic study. Journal of Bacteriology 173: 697-707. Yazid, S.M., S.S. Lee, and F. Lapeyrie. 1994. Growth stimulition of Hopea spp. (Dipterocarpaceae) seedlings following ectomycorrhizal inoculation with an exotic strain of Pisolithus tinctorius. Forest Ecology Management 67: 339-343.
137
138
7 PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS Aquilaria Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Ragil S.B. Irianto, Sugeng Sentosa, Aryanto, Ahmad Yani, Najmulah, Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini sangat penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu mewah untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan di kawasan Asia (Lemmens et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae terdiri dari 50 genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, Phaleria, Wikstroemia, dan Aquilaria yang memproduksi gaharu (Ding Hou, 1960). Karena disebabkan tingginya nilai produk gaharu, maka jenisjenis ini mengalami kelebihan pemanenan di seluruh kawasan Asia selama 20 tahun terakhir (Paoli et al., 2001). Pada saat ini Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus dimasukkan ke dalam CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species) Appendix II (CITES 2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya banyak dijumpai pada hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah di Indonesia, Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan Filipina. Jenis-jenis ini merupakan sumber utama dari kayu gaharu (semacam kayu yang
139
Aspek SILVIKULTUR
mempunyai resin wangi) yang termasuk dalam urutan teratas dari kelompok hasil hutan bukan kayu bernilai sangat tinggi yang berasal dari hutan tropika. Produk gaharu biasanya digunakan sebagai bahan dasar parfum, incence, obat tradisional, dan produk komersial lainnya (Eurling dan Gravendeel, 2005). Namun demikian, jenis Aquilaria berkurang populasinya di alam, sulit sekali untuk melakukan pengaturan perlindungan genus ini dan termasuk juga dalam pengaturan kelestarian produksi gaharu alami. Ketersediaan nutrisi tanah merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan awal dalam kegiatan penanaman bibit-bibit tanaman hutan pada kondisi lahan hutan yang terdegradasi (Santiago et al., 2002). Pada tahap awal pertumbuhan jenis Aquilaria sering mengalami pertumbuhan yang lambat, sebab pada umumnya kondisi lahan hutan tropika di Indonesia kahat unsur hara terutama N dan P. Pada saat ini kegiatan reforestasi memproduksi ratusan juta bibit tanaman hutan setiap tahunnya. Penggunaan bibit tanaman hutan yang vigor sangat diperlukan dalam kegiatan reforestasi. Pada kenyataannya ketersediaan bibit biasanya cenderung dibuat dengan kualitas rendah dan mengalami defisiensi unsur hara dan pada akhirnya mengalami kematian yang tinggi pada saat telah ditanam di tingkat lapang. Telah banyak dilaporkan dalam beberapa jurnal internasional pentingnya pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dari beberapa jenis tanaman hutan yang berbeda untuk membantu kegiatan reforestasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diuji dengan hasil yang signifikan pertumbuhannya pada jenis Leucaena leucocephala (Michelsen dan Rosendahl, 1990), Parkia biglobosa, Tamarindus indica, Zizyphus mauritiana (Guissou et al, 1998), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri and Mukerji, 2004), 11 jenis Eucalyptus (Adjoud et al., 1996), Tectona grandis (Rajan et al., 2000). Dari hasil studi literatur, belum dilaporkan adanya uji inokulasi fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat pengaruh fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria, baik di tingkat persemaian maupun di lapangan.
140
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
BAHAN DAN METODE A. Perbenihan dan Perkecambahan Benih Aquilaria crassna diperoleh dari Dramaga (Bogor), A. malaccensis dikoleksi dari Desa Gudang (Pulau Bangka), A. microcarpa dari Desa Mianas (Kalimantan Barat), A. beccariana berasal dari Sanggau (Kalimantan Barat). Semua benih Aquilaria spp. direndam selama dua jam, kemudian disterilisasi dengan sodium hypochlorit (5%) selama lima menit. Setelah disterilisasi, benih tersebut dicuci beberapa kali dengan air sampai bersih. Benih Aquilaria spp. dikecambahkan pada bak plastik yang berisi media zeolite. Benih Aquilaria spp. mulai berkecambah 21 hari setelah ditaburkan.
B. Media Semai Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes, Jasinga dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai tersebut disaring dengan diameter saringan lima mm. pH media adalah 4,7; P tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg-1, dan N total (Kjeldahl) was 1.7 mg kg-1. Kemudian media semai disterilisasi pada temperatur 121oC selama 30 menit.
C. Inokulum Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza arbuskula, G. decipiens, G. clarum, Glomus sp. ZEA, dan Glomus sp. ACA diisolasi dari Desa Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah melalui teknik pot kultur. Teknik pot kultur dimulai dengan cara spora tunggal. Inang yang digunakan untuk mempropagasi FMA adalah Pueraria javanica. Pot plastik diisi dengan zeolite steril dan ditambahkan 5 g dari masingmasing jenis FMA. Kemudian ditanam benih P. javanica yang telah berumur enam hari pada pot plastik tersebut. Pot-pot disusun pada rak-rak besi di rumah kaca dan dipelihara selama 90 hari. Spora, hifa eksternal, dan akar yang terkolonisasi dari masing-masing jenis FMA diamati di bawah mikroskop.
141
Aspek SILVIKULTUR
D. Inokulasi FMA Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan dekat akar semai Aquilaria spp. Semai empat jenis Aquilaria yang tidak diinokulasi sebagai kontrol. Dari hasil penelitian pendahuluan, penggunaan inokulum steril tidak memberikan pengaruh pertumbuhan pada Aquilaria spp. Semai dipelihara dan disiram setiap hari pada kondisi rumah kaca dan diamati selama 6 bulan. Temperatur di rumah kacar berkisar antara 26-35oC dan kelembaban udara 8090%. Gulma dan hama yang mengganggu semai dimonitor setiap hari.
E. Parameter Pertumbuhan Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a) kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens; (d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter, dan daya hidup semai. Setelah berumur enam bulan, dilakukan pemanenan pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua sampel di-oven pada suhu 70oC selama tiga hari. Analisis N dan P jaringan semai dilakukan dengan metode semi-micro Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow assay (Olsen and Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan yang dilakukan hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL yang sama. Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina arborea. Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah tinggi dan diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua tahun.
F. Kolonisasi Mikoriza Arbuskula Akar dari masing-masing jenis Aquilaria dicuci untuk membersihkan partikel-partikel tanah yang masih menempel. Akar dibersihkan dalam 100 g l-1 KOH selama satu jam, diasamkan dalam larutan HCl dan diberi warna dengan 500 mg l -1 tryphan blue dalam lactoglycerol (Brundrett et al., 1996). Kemudian akar
142
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar berukuran satu cm diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 200x. Penghitungan kolonisasi mikoriza dilakukan dengan sistem skoring keberadaan dan tidak adanya struktur FMA (McGonigle et al., 1990).
G. Analisis Statistik Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software StatView 5.0 (Abacus Concepts). Sedangkan analisis statistik lanjutan menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai F signifikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lima jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) sangat efektif mengkolonisasi sistem perakaran dari A. crassna, A. malaccensis, A. Microcarpa, dan A. beccariana setelah enam bulan diinokulasi pada kondisi rumah kaca. Dari hasil penelitian sebelumnya Santoso et al. (2008), kolonisasi FMA yang terjadi pada akar bibit A. microcarpa dimulai sebelum minggu ke-7 setelah inokulasi. Tidak ada perbedaan nyata antara lima jenis FMA dalam mengkolonisasi perakaran empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA dapat meningkatkan parameter pertumbuhan tinggi, diameter batang, berat kering, berat basah, dan daya hidup semai Aquilaria di persemaian (Tabel 1). Pada jenis A. crassna, A. Malaccensis, dan A. microcarpa, penggunaan FMA Entrophospora sp. lebih efektif meningkatkan parameter pertumbuhan dibandingkan jenis FMA lainnya. Khusus FMA G. clarum sangat efektif meningkatkan parameter pertumbuhan pada jenis A. beccariana. Semai yang tidak diinokulasi terkolonisasi oleh FMA yang tidak teridentifikasi (110%), tetapi tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA mampu meningkatkan serapan N dan P pada jaringan empat jenis Aquilaria dibandingkan semai yang tidak diinokulasi (Tabel 2). Peningkatan serapan N dan P ini memberikan pengaruh pada peningkatan dari parameter pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Pada tingkat lapang, dilakukan kegiatan penanaman hanya pada jenis A. beccariana dua tahun setelah diinokulasi oleh FMA. Hasil penelitian pada tingkat lapang menunjukkan bahwa
143
Aspek SILVIKULTUR
jenis G. clarum lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan A. beccariana dibandingkan dengan kontrol dan jenis FMA lain yang telah diujicobakan. Dari hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting dalam memanfaatkan inokulum FMA pada jenis-jenis Aquilaria spp. Regenerasi jenis-jenis Aquilaria yang berkelanjutan dapat dibantu dengan adanya pemanfaatan teknologi FMA dimulai pada saat di persemaian. Penggunaan FMA yang efektif dapat meningkatkan pertumbuhan Aquilaria yang sangat signifikan, sehingga biomassa pohon penghasil gaharu yang akan dipanen akan meningkat, artinya produk gaharu hasil induksi yang akan dipanen lebih meningkat produksinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang terdahulu, yaitu tentang pemanfaatan FMA pada 11 jenis Eucalyptus spp. (Adjoud et al., 1996), 17 jenis tanaman legume (Duponnois et al., 2001), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri dan Mukerji, 2004). Penelitian pemanfaatan FMA pada jenis-jenis pohon tropika (Muthukumar et al., 2001) dan khususnya jenis-jenis Aquilaria menunjukkan bahwa ada kemungkinan inokulum FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia di persemaian. Meskipun perhitungan tentang keuntungan dan biaya penggunaan FMA belum diuji dalam penelitian ini, hasilnya tidak diragukan lagi menunjukkan FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia dalam penyediaan semai tanaman penghasil gaharu. Selanjutnya mekanisme penggunaan FMA sebagai pemacu pertumbuhan jenisjenis Aquilaria pada tanah masam dan pada tanah yang populasi FMA sangat rendah harus menjadi perhatian dan pertimbangan untuk mengetahui keberadaan FMA alami. Pola penanaman jenis-jenis Aquilaria dengan pola agroforestry sangat membantu mempercepat ketersediaan pohon-pohon penghasil gaharu di Indonesia. Pada prinsipnya, pencampuran dilakukan untuk melindungi pertumbuhan semai Aquilaria pada tahun pertama dan kedua dari sengatan sinar matahari. Jenis-jenis Aquilaria yang telah dikolonisasi oleh FMA akan dapat mempunyai hubungan antara sistem perakaran pohon jenis-jenis lain, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan gaharu dapat terpenuhi.
144
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
Jenis-jenis pohon yang direkomendasikan sebagai pohon pencampur dengan pohon penghasil gaharu adalah pohon karet, kelapa sawit, kelapa, sengon, gmelina, melinjo, jengkol, dan beberapa jenis lain pohon buah-buahan.
Gambar 1. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam di tingkat lapang. K = Kontrol; Ent = Entrophospora sp.; Gg = G. decipiens; G.Aca = Glomus sp. ACA; Gc = G.clarum; G.ZEA = Glomus sp. ZEA.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Penggunaan FMA pada jenis-jenis Aquilaria sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan awal di persemaian dan lapangan. Jenis FMA Entrophospora sp. sangat efektif dalam memacu pertumbuhan tanaman dan serapan nurtisi pada jenis A. malaccensis, A. crassna, dan A. microcarpa. Khusus jenis pohon penghasil gaharu A. beccariana lebih memilih jenis FMA G. clarum untuk memacu pertumbuhan tanaman dan serapan nutrisinya, baik di tingkat semaian maupun lapangan. 2. Direkomendasikan untuk menggunakan jenis FMA efektif untuk mempercepat pertumbuhan jenis-jenis Aquilaria mulai di tingkat persemaian. Ketersediaan inokulum FMA di tingkat
145
Aspek SILVIKULTUR
pengguna dan sosialisasi penggunaanya perlu dilakukan, agar penggunaan FMA menjadi efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie. 1996. Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with Three Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : 129-135. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32, Canberra. CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III of CITES. UNEP. 48 pp. Ding Hou. 1960. Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed) Flora Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff, Groningen, The Netherlands. p. 1-15. Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005). Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal Fungi in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response and Influences on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2 Years Plantation. Forest Ecology and Management 207 : 351-362. Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel. 2005. TrnL-TrnF Sequence Data Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops (Thymelaeaceae) and Provide New Perspectives for Agarwood Identification. Plant Systematics and Evolution 254 : 1-12. Giri, B. and K.G. Mukerji. 2004. Mycorrhizal Inoculant Alleviates Salt Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania grandiflora Under Field Conditions : Evidence for Reduced Sodium and Improved Magnesium Uptake. Mycorrhiza 14 : 307-312. Guisso, T., A.M. Bâ, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois. 1998. Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth, Tamarindus indica L. and Zizyphus mauritiana Lam. to Arbuscular Mycorrhizal Fungi in a Phosphorus-Deficient Sandy Soil. Biology and Fertility Soils 26 : 194-198.
146
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.). 1998. Timber Trees : Minor Commercial Timbers. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2). Prosea, Bogor, Indonesia. McGonigle, T.P., M.H. Miller, D.G. Evans, G.L. Fairchild and J.A. Swan. 1990. A New Method Which Gives an Objective Measure of Colonization of Roots by Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. New Phytologist 115 : 495-501. Michelsen, A. and S. Rosendhal. 1990. The Effect of VA Mycorrhizal Fungi, Phosphorus and Drought Stress on The Growth of Acacia nilotica and Leucaena leucocephala Seedlings. Plant and Soil 124 : 7-13. Muthukumar, T., K. Udaiyan and V. Rajeshkannan. 2001. Response of Neem (Azadirachta indica A. Juss) to Indigenous Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Phosphate-Solubilizing and Asymbiotic Nitrogen-Fixing Bacteria Under Tropical Nursery Conditions. Biology and Fertility Soils 34 : 417-426 Olsen, S.R. and L.E. Sommers. 1982. Phosphorus. In : Page AL (ed.) Methods of Soil Analysis Part 2 Chemical and Micro-biological Properties. American Society of Agronomy, Madison, p 403-430. Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (Eds.). 1999. Essential-Oil Plants. Plant Resources of South-East Asia No. 19. Prosea, Bogor, Indonesia. Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton and I. Samsoedin. 2001. An Ecological and Economic Assessment of The Nontimber Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology 15 : 1721-1732. Rajan, S.K., B.J.D. Reddy and D.J. Bagyaraj. 2000. Screening of Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Their Symbiotic Efficiency with Tectona grandis. Forest Ecology and Management 126: 91-95. Santiago, G.M., Q. Garcia and M.R. Scotti. 2002. Effect of Post-Planting Inoculation with Bradyrhizobium sp. and Mycorrhizal Fungi on The Growth Brazilian Rosewood, Dalbergia nigra Allem. Ex Benth., in Two Tropical Soils. New Forests 24 : 15-25. Santoso, E., A.W. Gunawan dan M. Turjaman. 2008. Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil
147
Aspek SILVIKULTUR
Gaharu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV (5): 499-509. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
148
Penggunaan Fungsi Mikoriza .....(Maman Turjaman, dkk.)
Lampiran 1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenisjenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca Kolonisasi AM
Perlakuan
A. crassna
Tinggi (cm)
Berat basah
Diameter (mm)
Entrophospora sp.
73b
46,14 c
5,4 c
63b
29,58 b
4,1 b
G. clarum
78b
32,43 b
4,4 b
8,82b
4,3b
Glomus sp. ZEA
78b
38,94 c
4,7 b
9,92b
4,54b
Glomus sp. ACA
59b
24,60 a
3,7 a
13,46b 6,94b
4,19b
Entrophospora sp.
0,33a
0,13a
12,58b 5,72b
3,82b
1,35b
100
11,64b 7,36b
3,26b
1,56b
100
0,86a
0,27a
100
2,99b
1,01b
87
1,52b
100
1,06a
Daya hidup (%)
Akar (g)
G. decipiens
0,68a
Pucuk (g)
4a*
Kontrol
2,9 a
Berat kering
Akar (g)
Kontrol
A. malaccensis
20,90 a
Pucuk (g)
70
1a
16,43a
2,28a
1,46a
0,52a
0,41a
0,18a
73
97b
25,97c
3,88c
4,68c
2,24c
1,44c
0,48c
100
G. decipiens
88b
21,91b
3,02b
2,92b
1,20b
0,88b
0,27b
100
G. clarum
83b
19,96b
2,94b
2,90b
1,28b
1,95c
0,78c
97
Glomus sp. ZEA
84b
22,33b
3,26b
2,62b
1,38b
0,79b
0,27b
90
Glomus sp. ACA
86b
21,30b
3,12b
2,74b
1,22b
0,89b
0,26b
93
A. microcarpa Kontrol
2a
13,39a
2,23a
Entrophospora sp.
97b
24,74d
3,89c
4,32c
G. decipiens
88b
21,99c
3,67c
3,87c
Glomus clarum
83b
20,28c
3,58c
3,46c
Glomus sp. ZEA
85b
17,24b
2,84b
Glomus sp. ACA
87b
18,09b
2,98b
A. beccariana
0,75a
0,23a
0,09a
67
2,29c
1,31c
0,37b
100
3,41d
1,44c
0,57c
97
1,55b
0,95b
0,30b
93
2,24b
1,08b
0,64b
0,24b
87
2,70b
1,23b
0,76b
0,28b
90
0,34a
Kontrol
10a
15,40a
1,90a
0,30a
0,10a
0,09a
0,02a
73
Entrophospora sp.
85b
19,20b
2,37b
5,46e
2,54c
1,76c
0,78c
100
G. decipiens
71b
32,18d
3,94c
4,74d
1,64b
1,59c
0,41b
100
Glomus clarum
79b
45,30e
5,02d
6,74f
2,82d
2,30d
0,91d
100
Glomus sp. ZEA
61b
32,03d
3,75c
3,14b
1,38c
0,97b
0,36b
100
Glomus sp. ACA
84b
26,24c
3,53c
3,84c
1,20b
1,19b
0,28b
100
149
Aspek SILVIKULTUR
Lampiran 2. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) N Concentrations (mg/g)
Perlakuan A. crassna
P Concentrations (mg/g)
N Content (mg/plant)
P Content (mg/plant)
Kontrol
7,9 ± 0,1a*
2,6 ± 0,6a
0,78 ± 0,02a
0,26 ± 0,06a
Entrophospora sp.
9,8 ± 0,1c
37,7 ± 4,3d
1,42 ± 0,03e
5,4 ± 0,6d
G. decipiens
8,2 ± 0,2a
26,7 ± 4,1c
0,85 ± 0,02b
2,8 ± 0,5c
G. clarum
8,7 ± 0,2b
7,4 ± 1,0b
0,95 ± 0,02c
0,82 ± 0,14b
Glomus sp. ZEA
8,7 ± 0,1b
25,8 ± 3,6c
0,96 ± 0,03c
2,85 ± 0,41c
Glomus sp. ACA
10,8 ± 0,2d
45,9 ± 9,6d
1,22 ± 0,02d
5,14 ± 1,0d
A. malaccensis
Kontrol
8,6 ± 0,2a
3,49 ± 0,5a
0,65 ± 0,02a
0,26 ± 0,04a
Entrophospora sp.
12,1 ± 0,1d
17,28 ± 2,0c
0,73 ± 0,01b
1,06 ± 0,15d
G. decipiens
10,7 ± 0,1c
9,02 ± 0,7b
0,85 ± 0,01c
0,75 ± 0,07c
G. clarum
10,4 ± 0,1b
20,5 ± 3,3c
0,72 ± 0,02b
1,60 ± 0,20e
Glomus sp. ZEA
11,1 ± 0,2c
8,8 ± 0,9b
0,77 ± 0,03b
0,6 ± 0,07b
Glomus sp. ACA
10,9 ± 0,2c
9,7 ± 1,8b
1,04 ± 0,03d
0,92 ± 0,17c
A. microcarpa
Kontrol
7,8 ± 0,1a
1,02 ± 0,07a
0,65 ± 0,02a
0,08 ± 0,01a
Entrophospora sp.
9,6 ± 0,2c
16,9 ± 1,5d
1,12 ± 0,03d
1,97 ± 0,18d
G. decipiens
9,6 ± 0,1c
11,7 ± 0,9c
0,86 ± 0,01c
1,20 ± 0,18c
G. clarum
9,3 ± 0,1c
8,3 ± 0,4b
0,78 ± 0,02b
0,70 ± 0,03b
Glomus sp. ZEA
9,4 ± 0,1c
9,17 ± 1,35b
0,77 ± 0,03b
0,75 ± 0,12b
Glomus sp. ACA
8,9 ± 0,2b
8,28 ± 0,40b
0,77 ± 0,02b
0,9 ± 0,1b
A. beccariana
Kontrol
6,0 ± 0,1a
5,02 ± 0,07a
0,40 ± 0,02a
0,10 ± 0,01a
Entrophospora sp.
9,9 ± 0,2c
10,2 ± 1,0c
0,98 ± 0,02d
0,87 ± 0,20d
G. decipiens
10,6 ± 0,1c
11,8 ± 0,8c
0,89 ± 0,03c
1,25 ± 0,21c
G. clarum
11,3 ± 0,d
12,5 ± 0,4d
1,11 ± 0,02e
1,95 ± 0,03e
Glomus sp. ZEA
9,4 ± 0,1b
9,17 ± 1,35b
0,77 ± 0,03b
0,75 ± 0,12b
Glomus sp. ACA
8,8 ± 0,2b
9,28 ± 0,40b
0,97 ± 0,02d
1,04 ± 0,1c
*Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05).
150
8 HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL GAHARU Ragil SB Irianto, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Tanaman penghasil gaharu yang ada di Indonesia sekitar 27 jenis, beberapa di antaranya yang cukup potensial menghasilkan gaharu yaitu Aquilaria spp., Aetoxylontallum spp., Gyrinops spp., dan Gonystylus spp. Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat terutama di pedalaman Pulau Sumatera dan Kalimantan telah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan, antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Produk gaharu saat ini sangat dicari oleh para pencari gaharu, karena harganya yang cukup mahal, dimana harga gaharu super dapat mencapai sekitar Rp 40 juta/kg. Akibat dari harga yang cukup tinggi tersebut, maka para pencari gaharu semakin intensif untuk mendapatkannya, saat ini para pencari gaharu mulai memfokuskan mencari gaharu di Pulau Papua yang potensi alamnya (gaharu) masih cukup tinggi dibandingkan dengan di Pulau Kalimantan atau Sumatera.
151
Aspek SILVIKULTUR
Dengan semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di lapang dan harganya yang cukup tinggi tersebut, maka para peneliti kehutanan, rimbawan, dan masyarakat awam mulai mendomestikasi atau menanam tanaman penghasil gaharu di luar habitat aslinya. Saat ini banyak sekali para petani maupun orang kota yang mulai menanam tanaman penghasil gaharu dalam skala kecil dari beberapa pohon sampai dengan ribuan pohon. Penanaman tanaman penghasil gaharu yang monokultur dan di luar habitat aslinya pada umumnya akan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Dimulai dua tahun yang lalu banyak sekali sentra penanaman tanaman penghasil gaharu yang terserang hama daun Heortia vitessoides Moore. Sentra penanaman tanaman penghasil gaharu yang terserang hama dan telah dilaporkan terdapat di KHDTK Carita (2008), Sanggau (2007), Mataram (2009), dan lain-lain.
HAMA Heortio vitessoides A. Gejala Serangan Gejala serangan tingkat awal adalah permukaan daun yang muda dimakan oleh larva instar pertama dan daun tersebut hanya meninggalkan tulang-tulang daunnya. Pada stadia lebih lanjut ulatulat tersebut mulai menyerang daun-daun pada bagian cabang lebih atasnya dan menyebabkan tanaman menjadi gundul. Ngengat meletakkan telurnya pada bagian bawah permukaan daun yang muda pada cabang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah.
B. Siklus Hidup 1. Telur Ngengat meletakkan telurnya yang berwarna putih kekuningkuningan yang akan segera berubah menjadi kuning kehijauhijauan dalam bentuk kluster pada bagian bawah permukaan daun
152
Hama pada Tanaman .....(Ragil SB Irianto, dkk.)
yang muda pada cabang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah, jumlah telur yang dihasilkan per imago betina berkisar antara 350-500. Telur akan menetas sekitar 10 hari.
2. Larva/Ulat Ulat H. vitessoides pada instar pertama berwarna kuning pucat dan pada instar selanjutnya menjadi hijau kekuning-kuningan, ulat ini terdiri dari 5 instar dan berlangsung selama 23 hari. Larva instar terakhir pada saat akan berkepompong mulai berhenti makan dan ulat turun ke permukaan tanah untuk berkepompong.
3. Pupa Larva instar terakhir sebelum berkepompong akan berhenti makan dan turun ke permukaan tanah dengan bantuan benang sutera yang dihasilkannya. Ulat akan membungkus dirinya dengan butiran-butiran tanah atau serpihan-serpihan serasah yang ada di permukaan dengan bantuan benang-benang suteranya. Stadium pupa berkisar 8 hari.
4. Ngengat Serangga dewasa berbentuk ngengat yang aktif pada waktu malam. Ngengat betina dapat meletakkan telur sebanyak 350-500. Stadium ngengat berkisar sekitar 4 hari. Ngengat (4 Hari)
Kepompong (8 Hari)
Telur (10 Hari)
Larva (23 Hari)
Gambar 1. Siklus hidup hama daun tanaman penghasil gaharu H. vitessoides
153
Aspek SILVIKULTUR
STRATEGI PENGENDALIAN A. Jangka Pendek 1. Mekanis Pengendalian mekanis merupakan pengendalian yang sangat sederhana, sudah populer di tingkat petani, yaitu dengan cara mengambil ulat atau telur yang ada di tanaman tersebut. Pengendalian dengan cara ini mudah diaplikasikan terutama pada pesemaian atau bibit yang baru dua tahun, dimana tanaman masih bisa dijangkau oleh orang dengan berdiri tanpa bantuan alat.
2. Kimiawi Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida kontak, sistemik atau dengan insektisida yang berbahan aktif mikroorganisme, seperti Beauveria bassiana atau Bacillus thuringiensis. Karena hama ini memakan daun dan pada serangan berat umumnya tanaman gundul, maka disarankan pada saat penyemprotan dikombinasikan dengan pemupukan lewat daun dengan pupuk daun seperti gandasil, growmore, dan lain-lain untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.
3. Nabati Pengendalian nabati merupakan pengendalian yang cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh petani sendiri dengan mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar lokasi penanaman tanaman gaharu.
B. Jangka Menengah 1. Predator Rangrang Semut rangrang (Oecophylla smaradigna) merupakan serangga yang mudah ditemukan di kampung-kampung pada tanamantanaman yang banyak mengeluarkan nektar, seperti tanaman nangka, rambutan, melinjo, durian, dan lain-lain. Pencarian sarang semut rangrang yang memiliki ratu merupakan salah satu faktor
154
Hama pada Tanaman .....(Ragil SB Irianto, dkk.)
keberhasilan dalam perkembangan populasi serangga tersebut dalam jangka panjang.
C. Jangka Panjang 1. Musuh Alami Musuh alami, baik parasit maupun predator dari serangga perusak daun tanaman penghasil gaharu H. vitessoides merupakan suatu cara pengendalian yang sangat diharapkan dalam jangka panjang.
2. Teknik Silvikultur Pengendalian dengan cara teknik silvikultur merupakan salah satu cara pengendalian yang sudah menyatu dengan penanaman suatu tanaman dan termasuk pengendalian yang sudah cukup dikenal oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA Kalita, J., P. R. Bhattacharyya, and S. C. Nath. 2002. Heortia vitessoides Moore A Serious Pest of Agarwod Plant (Aquilaria malaccensis Lamk). Geobios 29: 13-16. Mele, P. V. dan N. T. T. Cuc. 2004. Semut Sahabat Petani: Meningkatkan Hasil Buah-Buahan dan Menjaga Kelestarian Lingkungan Bersama Semut Rangrang. ICRAF. 59 p. Mele, P. V. 2008. A Historical Review of Research on The Weaver Ant Oecophylla in Biological Control. Agricultural and Forest Entomology 10: 13-22.
155
156
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
157
158
9 PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU MELALUI POLA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Sri Suharti Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka, rusak atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan serangga, akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari jenis kayu tertentu sebagai reaksi dari infeksi/ luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi tanaman dari infeksi yang lebih besar sehingga dapat dianggap sebagai sistim imun yang dihasilkan (Squidoo, 2008). Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa nama diberikan pada gaharu seperti agarwood, aloeswood, gaharu (Indonesia), ood, oudh, oodh (Arab), chenxiang (China), pau d’aquila (Portugis), bois d’aigle (Perancis), dan adlerholz (Jerman). Aquilaria yang merupakan tanaman penghasil gaharu saat ini menjadi jenis yang dilindungi
159
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
di banyak negara dan eksploitasi gaharu dari hutan alam dianggap sebagai kegiatan ilegal. Kesepakatan internasional seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang disepakati oleh 169 negara ditetapkan untuk menjamin bahwa perdagangan gaharu tidak mengganggu survival dari Aquilaria. Meskipun demikian, eksploitasi gaharu secara ilegal ternyata tetap berlangsung dan konsumen yang kurang memahami hal ini secara tidak sadar justru menciptakan permintaan yang tinggi yang dapat membahayakan keberadaan tanaman Aquilaria (Blanchette, 2006). Sampai saat ini, permintaan akan gaharu jauh melebihi supply yang ada. Sebagai akibatnya pada beberapa tahun terakhir ada kecenderungan besar-besaran untuk mambudidayakan gaharu terutama di wilayah Asia Tenggara (Squidoo, 2008). Di Indonesia, tingginya harga gaharu dan makin langkanya tanaman gaharu di hutan alam juga mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan budidaya gaharu seperti yang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Upaya pembudidayaan tersebut makin berkembang karena ditunjang oleh kemajuan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budidaya gaharu memberikan keuntungan yang layak bagi pelakunya. Namun karena pengusahaan gaharu memerlukan modal yang tidak sedikit, maka masyarakat yang mampu membudidayakan gaharu adalah kelompok yang memiliki permodalan yang kuat. Untuk mengembangkan budidaya gaharu secara lebih luas, perlu dikembangkan suatu skema kerjasama antara pemilik modal dengan masyarakat. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah pola PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat). Pengembangan budidaya gaharu dengan pola PHBM (sistem bagi hasil) merupakan salah satu alternatif bentuk usahatani produktif yang selain bertujuan untuk mengembangkan budidaya gaharu secara luas juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan yang tingkat ketergantungannya terhadap hutan tinggi. PHBM diharapkan menjadi suatu cara yang efektif karena melibatkan masyarakat sekitar hutan dan parapihak pemangku
160
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
kepentingan lainnya untuk bekerjasama dan berbagi (ruang, waktu, hak dan kewajiban) dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang prospek pengusahaan gaharu oleh masyarakat melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
METODOLOGI Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka, laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data dan informasi serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai sumber antara lain, Departemen Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi Gaharu Indonesia (Asgarin), serta berbagai terbitan lainnya. Data dan informasi yang berhasil dihimpun, diolah dan Dianalisis secara deskriptif. Khusus untuk perhitungan analisis finansial usahatani gaharu digunakan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (B/C ).
NPV atau nilai kini bersih dirumuskan sebagai berikut:
n Bt − Ct NPV = ∑ t =0 (1 + i)t
................................................................................... (1)
dimana: NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih), Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = biaya pada tahun t, i = tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku), n = umur ekonomi proyek (cakrawala waktu). Suatu kegiatan usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0. IRR atau tingkat pengembalian internal dirumuskan sebagai berut:
161
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
IRR = i1 +
NPV1 NPV1 − NPV2
(i2 − i1)
.............................................................. (2)
dimana: IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat keuntungan internal), i1 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol, NPV1 = nilai NPV mendekati nol positif, i2 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati nol, NPV2 = nilai NPV negatif mendekati nol. Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih besar dari tingkat suku pinjaman di bank yang berlaku saat ini. Selanjutnya, nilai B/C dirumuskan sebagai beikut: n Bt ∑ t =0 (1 + i)t B/C = n Ct ∑ t =0 (1 + i)t
................................................................................... (3)
dimana: B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya), Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = biaya pada tahun t, i = tingkat diskonto, n = umur ekonomis proyek. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.
PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU A. Prospek Pasar Gaharu Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa spesies gaharu komersial dari
162
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filarial, dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1.487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan spesies-spesies gaharu menjadi langka. Tingginya harga jual gaharu mendorong masyarakat untuk memburu gaharu, tidak hanya dengan cara memungut dari pohon gaharu yang mati alami melainkan juga dengan menebang pohon hidup. Oleh karena itu pada tahun 1995 CITES memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar Ap-pendix II dan sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun (Anonim, 2005). Perkembangan yang terjadi selanjutnya ternyata kurang begitu bagus. Bahkan sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh di bawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok (Gun et al., 2004). Selanjutnya, karena adanya kekhawatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan kembali menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun (Anonim, 2005). Permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena banyaknya manfaat gaharu. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu tidak hanya digunakan sebagai bahan wangi-wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris. Selain itu, beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan (untuk keperluan kegiatan religi). Namun dari sisi negara pengekspor, tingginya permintaan gaharu belum dapat dipenuhi karena kekurangan bahan baku bermutu tinggi untuk ekspor. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa eksportir gaharu Indonesia. Ekspor untuk pasar Timur Tengah sebagai contoh menurun dari 67.245 kg pada tahun 2005 menjadi 39.400 kg tahun 2006, karena sulitnya memperoleh bahan
163
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
baku gubal super yang diminta. Keluhan kekurangan bahan baku gaharu untuk ekspor juga dialami oleh pemasok pasar Singapura. Sebagai contoh, CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta yang pada tahun 2005 bisa mengekspor 5-6 ton/bulan, pada tahun 2006 hanya mampu mengekspor 2-3 ton/bulan (Adijaya, 2009). Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sudah diprediksi oleh berbagai pihak karena eksploitasi hutan dan perburuan gaharu yang tidak terkendali. Sebagai gambaran, pada Tabel 1 disajikan data hasil kajian tentang perdagangan gaharu di Indonesia yang diterbitkan CITES pada tahun 2003. Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara Rp 30.000-50.000/ kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000/kg untuk kualitas super. Pada awalnya kenaikan harga gaharu relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp100.000/kg pada tahun 1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, Tabel 1. Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilqria spp. dari Indonesia tahun 1995 - 2003
Tahun
Kuota hasil panen resmi*)
Kuota hasil aktual*)
Aktual ekspor berdasar CITES Indonesia*)
Net ekspor laporan CITES **)
n/a≠))
Total ekspor gaharu (semua spesies)*)
1995
n/a
n/a
323,577
n/a≠
1996
300,000
160,000
299,523 (termasuk A. filarial dan jenis lain
293,593
299,593
1997
300,000
120,000
287,002 (termasuk A.filarial 180,000 kg)
305,483
287,002
1998
150,000
150,000
148,238
147,212
n/a ≠)
1999
300,000
180,000
81,079
76,401
313,649
2000
225,000
225,000
81,377
81,377
245,150
2001
75,000
70,000
74,826
74,826
219,772
2002
75,000
68,000
70,546
n/a
175,245
2003
50,000
50,000
n/a
n/a
n/a
*): CITES Management Authority of Indonesia; **): CITES Annual Report Data Compiled by UNEP-WCMC; ≠): the reason for the unavailability of data for 1995 1nd 1998 is not known
164
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
di mana harga gaharu mencapai Rp 3-5 juta/kg. Kenaikan harga gaharu terus berlanjut dan makin tajam hingga mencapai Rp10 juta/ kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta/ kg pada tahun 2009 (Adijaya, 2009; Wiguna, 2006). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologis yaitu tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk pembudidayaan gaharu.
B. Potensi dan Peluang Usaha Sebagaimana diuraikan sebelumnya, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan gaharu, namun potensi yang tersedia tersebut sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan produksi gaharu lebih banyak berasal dari proses alami, sehingga produksi gaharu Indonesia terus menurun. Pada saat ini luas kawasan hutan dan perairan Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tercatat seluas 137,09 juta ha, terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam 23,31 juta ha, Hutan Lindung 31,6 juta ha, Hutan Produksi Terbatas 22,5 juta ha, Hutan Produksi Tetap 36,65 juta ha, Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi 22,8 juta ha, dan Taman Buru 0,23 juta ha (Departemen Kehutanan, 2007). Dari kawasan hutan tersebut khususnya dari kawasan hutan produksi alam, dihasilkan gaharu sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Enam di antaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana,
165
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina, dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spesies di antaranya terdapat di Indonesia yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku, dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam di antaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka (Anonim, 2002). Berbagai hasil penelitian tentang tanaman gaharu memberikan hasil yang sangat menggembirakan karena berbagai jenis tanaman gaharu dari hutan alam ternyata dapat dibudidayakan dan produksi gaharu dapat direkayasa. Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara monokultur maupun tumpangsari dengan tanaman lainnya. Persyaratan tumbuh serta pemeliharaan tanaman penghasil gaharu relatif tidak terlalu rumit. Karena sifat permudaan gaharu yang toleran terhadap cahaya (butuh naungan), penanaman pohon gaharu sebaiknya dilakukan secara tumpangsari atau berada di bawah naungan tegakan lain seperti karet, sawit, durian (Rizlani dan Aswandi, 2009) atau di bawah tegakan pohon hutan seperti meranti, mahoni, pulai seperti yang dikembangkan di KHDTK Carita. Jika ditanam secara monokultur dan tanpa naungan resiko kegagalan penanaman (tanaman muda) lebih tinggi. Beberapa alternatif pengembangan budidaya pohon penghasil gaharu selain pada hutan produksi (LOA), HTI, Hutan Rakyat juga dapat ditanam pada areal tanaman perkebunan (karet, kelapa, sawit, dan lain-lain). Setelah tanaman penghasil gaharu berumur 5 tahun dengan diameter 15 cm, rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu sudah dapat mulai dilakukan dengan cara teknik induksi/inokulasi penyakit pembentuk gaharu yang sesuai dengan jenis pohon. Hasil rekayasa tersebut dapat dipanen satu atau dua tahun kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada kondisi pohon belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah pohon mati dengan variasi mutu produksi akan terdiri dari kelas gubal, kemedangan, dan abu/ bubuk (Sumarna, 2007). Keberhasilan berbagai hasil penelitian
166
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
tersebut makin mendorong dan menggugah pemburu gaharu untuk melakukan budidaya tanaman gaharu. Upaya pembudidayaan gaharu sudah mulai dirintis sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT Budidaya Perkasa di Riau dengan menanam A. malaccensis seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang sama seluas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim. Selanjutnya pada tahun 2001-2002 beberapa individu atau kelompok tani juga mulai tertarik untuk membudidayakan jenis pohon penghasil gaharu. Sebagai contoh usaha yang dilakukan oleh para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang menanam gaharu dari jenis A. malacensis dan A. microcarpa. Di desa tersebut, sampai akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya yang telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit gaharu (Anonim, 2008). Selain itu, BP DAS Batanghari bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan pada 2004/2005 membuat demplot budidaya gaharu di antara tegakan tanaman karet rakyat seluas 50 ha (Sumarna, 2007).
C. Kelayakan Pengusahaan Gaharu Untuk memperoleh gambaran bagaimana kelayakan pengusahaan gaharu melalui budidaya dan rekayasa produksi gaharu, berikut ini dilakukan contoh analisis finansial budidaya gaharu dengan asumsi tingkat keberhasilan mencapai 60%. Analisis finansial tersebut menggunakan beberapa batasan dan asumsi sebagai berikut: 1. Pengusahaan gaharu dilakukan pada luasan satu ha dengan jarak tanam 5 m x 5 m, sehingga kerapatan 400 pohon per hektar. 2. Tanaman yang bertahan hidup dan menghasilkan gaharu diasumsikan 60% dengan tingkat produksi 2 kg per pohon, sehingga total produksi 480 kg/ha dengan 3 kualitas masingmasing kelas kemedangan I sebesar 10%, kelas kemedangan II sebesar 40%, dan kelas kemedangan III sebesar 50%.
167
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
3. Harga jual produksi gaharu hasil inokulasi untuk kelas kemedangan I = Rp 5 juta/kg, kelas kemedangan II = Rp 2 juta/ kg, dan kelas kemedangan III = Rp 500 ribu/kg. 4. Upah tenaga kerja, baik tenaga kerja keluarga maupun luar keluarga diasumsikan sebesar Rp 50.000/HK, sedangkan upah tenaga kerja untuk inokulasi Rp 30.000/pohon. 5. Harga inokulan diasumsikan Rp 50.000/pohon, sehingga total biaya inokulan Rp 20 juta/ha. 6. Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto sebesar 15%. Berdasarkan asumsi dan batasan tersebut ternyata untuk pengusahaan satu hektar gaharu dibutuhkan biaya sebesar Rp 141,350 juta. Biaya tersebut meliputi biaya pra-investasi dan persiapan lahan serta penanaman sebesar Rp 26,50 juta, biaya bahan dan peralatan Rp 40,350 juta, dan biaya tenaga kerja Rp 74,50 juta. Kalau diperhatikan lebih seksama, beban biaya yang relatif besar adalah untuk pembelian bahan inokulan, tenaga kerja untuk inokulasi, dan tenaga kerja untuk pemungutan hasil (panen) yang besarnya mencapai Rp 77 juta atau sekitar 54,47% dari total biaya. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pengusahaan gaharu tersebut layak untuk dilaksanakan karena dapat menghasilkan keuntungan bersih nilai kini (NPV) sebesar Rp 147,74 juta/ ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3,32 (Lampiran 1).
PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU DENGAN POLA PHBM A. Peluang Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu akhir-akhir ini makin marak karena sebagian masyarakat sudah dapat menikmati hasilnya. Namun di sisi lain juga dijumpai beberapa kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu yang disebabkan antara lain oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam melakukan inokulasi, dan adanya pencurian pohon di kebun gaharu (Duryatmo, 2009).
168
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
Untuk lebih membudayakan penanaman gaharu secara luas, meningkatkan peluang keberhasilan serta mengurangi resiko kerugian yang diderita, perlu dikembangkan suatu pola kemitraan dalam budidaya tanaman penghasil gaharu. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), baik di lahan milik di luar kawasan hutan maupun di kawasan hutan. PHBM merupakan salah satu jawaban dari pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumberdaya hutan dari yang berbasis negara (state based) ke arah yang berbasis komunitas/masyarakat (community based) (Indradi, 2009). Perubahan paradigma ke arah PHBM menjadi momentum penting bagi masyarakat desa hutan. Di satu sisi masyarakat dapat mendayagunakan potensi-potensi kehutanan untuk kesejahteraan mereka, dan di sisi lain, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dapat menjadi aset bagi usaha-usaha penjagaan, pemeliharan, dan pengelolaan hutan (Hayat, 2007). Melalui pola PHBM, parapihak yang tertarik (pemerintah, pengusaha/investor, kelompok usaha bersama/koperasi, masyarakat) dapat berbagi peran dan tanggung jawab untuk mengembangkan tanaman gaharu. Masyarakat dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, input produksi, sarana prasarana, keterampilan, akses pasar, dan lain-lain) dapat ikut berperan dalam pengusahaan tanaman gaharu. Karena bentuk kerjasamanya adalah kemitraan, maka parapihak yang terlibat dalam kegiatan ini dapat memperoleh bagian/ sharing manfaat sesuai kontribusi masing-masing. Pengembangan gaharu melalui pola PHBM merupakan salah satu alternatif peningkatan produksi gaharu melalui pelibatan masyarakat dalam budidaya gaharu. Dengan pola ini diharapkan areal tanam dan juga kualitas dan kuantitas produksi gaharu akan dapat ditingkatkan. Pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan, baik dalam areal hutan milik (hutan rakyat) maupun dalam kawasan hutan Negara. Pada areal hutan milik, masyarakat diharapkan melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada lahan kosong (tidak produktif ) secara swadaya.
169
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Agar masyarakat bersedia menanam gaharu, maka perlu diberikan berbagai bentuk insentif, baik berupa pengadaan bibit, biaya tanam, biaya inokulasi tanaman maupun informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi dapat difasilitasi oleh mitra kerjasama yang disalurkan kepada petani, baik dalam bentuk bantuan/hibah maupun melalui sistim kredit yang akan dibayar jika tanaman gaharu telah menghasilkan nantinya. Oleh karena lahan milik rakyat umumnya tidak begitu luas dan sudah ditumbuhi berbagai jenis tanaman, proporsi tanaman gaharu yang ditanam disesuaikan dengan luasan dan kondisi areal hutan milik yang ada. Dalam prakteknya pengembangan hutan rakyat gaharu umumnya dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan lainnya yang sudah ada (tanaman sisipan). Pengembangan tanaman gaharu dalam kawasan hutan dapat dilakukan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Hal ini sesuai dengan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan menempatkan masyarakat desa hutan sebagai patner/mitra menuju pengelolaan hutan lestari. Oleh karena kawasan hutan umumnya sudah ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, maka pola tanam yang dikembangkan adalah pola tumpangsari (sisipan atau tanaman sela di antara tegakan yang sudah ada). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kerjasama kemitraan pengelolaan hutan dengan masyarakat desa hutan memberikan dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan meningkatkan posisi tawar serta rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang ada. Dampak positif yang terjadi selanjutnya adalah sumberdaya hutan akan lebih terjaga dan terpelihara, produktivitas meningkat serta kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula. Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu selanjutnya akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan
170
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya (Aswandi, 2009). Menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung juga telah memposisikan masyarakat sebagai garda terdepan dalam pengamanan sumberdaya hutan. Dari sisi masyarakat, pengembangan gaharu dengan pola PHBM memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat ganda yaitu dari hasil tanaman gaharu jika telah menghasilkan nantinya serta kesempatan untuk memanfaatkan lahan di antara tanaman untuk usahatani tanaman semusim.
B. Sistim Bagi Hasil dalam PHBM Pengembangan gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif usaha yang dapat mengakomodasikan kepentingan ekologi di satu sisi dan pertimbangan ekonomi di sisi lain. Tanaman gaharu dipilih karena tanaman ini dapat tumbuh di dalam areal hutan yang sudah banyak ditumbuhi tegakan pohon dengan intensitas cahaya < 70%, pemeliharaannya relatif mudah dan bernilai ekonomi tinggi. Beberapa prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan gaharu dengan pola PHBM adalah: 1. Pengembangan kerjasama memang layak secara ekonomi dalam jangka panjang (sesuai jangka waktu kontrak perjanjian kerjasama), 2. Adanya tujuan bersama yang ingin dicapai, 3. Adanya pengaturan kerjasama yang saling menguntungkan dan adil sesuai dengan kontribusi yang diberikan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan bersama, 4. Adanya kesepahaman tentang resiko dan konsekuensi dari adanya perjanjian kerjasama tersebut. Beberapa skenario sebagai alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan antara lain sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
171
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Tabel 2. Alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan Jenis input
Skenario I 1
Lahan
√
3
1
2
3
√ √
Saprodi Tenaga kerja
2
Skenario II
√
Skenario III
Skenario IV
1
1
2
3
2
√
3 √
√
√
√
√
√ √
Bahan inokulan
√
√
√
Biaya inokulasi
√
√
√
√
Pengolahan hasil
√
√
√
√
Pemasaran
√
√
√
√
√
Keterangan: 1. Petani; 2. Investor/Pengusaha; 3. Pemda/Pihak lain
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan di areal hutan milik maupun di dalam kawasan hutan sepanjang persyaratan tumbuhnya terpenuhi. Berbeda dengan pengusahaan gaharu skala besar yang dilakukan oleh para investor, budidaya gaharu oleh masyarakat umumnya dilakukan dalam skala kecil dengan pola campuran. Sebagaimana sifat usahatani skala kecil oleh masyarakat yang ketergantungannya terhadap lahan usahatani yang dimiliki/digarap sangat tinggi, maka gaharu bukan merupakan komoditi utama yang diusahakan. Gaharu diusahakan sebagai investasi jangka panjang, sepanjang modal yang dimiliki mencukupi untuk biaya budidaya tanaman berikut biaya inokulasinya yang cukup besar. Konsekuensinya, populasi tanaman gaharu dalam setiap garapan petani berjumlah relatif sedikit serta tidak seragam, tergantung luas lahan garapan dan kepadatan tanaman yang ada. Dengan pola PHBM, diharapkan masyarakat yang memiliki banyak keterbatasan, baik dari segi permodalan, teknologi serta akses terhadap pasar dapat ikut berpartisipasi dalam budidaya tanaman gaharu. Besarnya bagi hasil yang diperoleh oleh masingmasing pihak yang terlibat dalam PHBM disesuaikan dengan kontribusi masing-masing pihak dan merupakan hasil kesepakatan bersama. Dengan demikian meskipun investor/penyandang dana
172
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
memberikan kontribusi input dengan porsi terbesar, belum tentu bagian hasil/sharing yang diperolehnya akan paling besar pula. Apalagi jika pengembangan kemitraan dengan pola PHBM bertujuan untuk meningkatkan kelestarian sumberdaya hutan (dalam hal ini tanaman gaharu yang sudah langka) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan bukan semata-mata untuk tujuan komersial (mendapat profit terbesar).
C. Uji Coba Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM di KHDTK Carita Di areal KHDTK Carita, Banten pada tahun 2008 telah dikembangkan uji coba skema kemitraan budidaya tanaman penghasil gaharu dengan pola PHBM. Uji coba ini merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dengan masyarakat sekitar areal KHDTK Carita, Banten. Kegiatan dilaksanakan pada sebagian Petak 21 di areal KHDTK Carita dengan luas ± 40 hektar. Kegiatan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat yang telah berusahatani di areal tersebut untuk ikut mengembangkan tanaman penghasil gaharu di lahan garapan mereka. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini berasal dari Desa Sindang Laut dan Desa Suka Jadi tepatnya dari Kampung Longok, Cangkara, dan Cilaban sebanyak 49 orang (anggota Kelompok Tani Hutan Giri Wisata Lestari yang dipimpin Ustad Jafar sebanyak 40 orang dan Kelompok Tani Hutan Carita Lestari pimpinan Pak Rembang sebanyak 19 orang). Selama ini masyarakat ikut menggarap lahan di Petak 21 dengan budidaya berbagai tanaman jenis pohon serbaguna (JPSG) dan buah-buahan seperti melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai, dan nangka. Selain tanaman JPSG milik masyarakat, di areal tersebut juga terdapat berbagi pohon hutan seperti meranti, mahoni, pulai, khaya, dan hawuan. Oleh karena areal kerjasama sudah ditumbuhi berbagi jenis tumbuhan, maka pola tanam yang diterapkan adalah pola tumpangsari (sisipan di antara tanaman yang ada). Gaharu ditanam dengan jarak ± 5 m x 5 m. Dengan demikian jumlah
173
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
tanaman gaharu yang ditanam di areal kerjasama sebanyak 15.000 pohon (± 400 pohon/ha). Sebelum penanaman, kegiatan pembangunan demplot uji coba tanaman penghasil gaharu di KHDTK Carita diawali dengan pendekatan yang lebih intensif kepada berbagai pihak yang terkait pengembangan gaharu di areal tersebut seperti Perhutani, Pemda, dan masyarakat calon peserta untuk mempelajari prospek partisipasi masyarakat dalam kegiatan dan pemeliharaan tanaman. Setelah diperoleh gambaran prospek partisipasi masyarakat dalam pembangunan demplot uji coba ini dilanjutkan dengan penyusunan rancangan teknis kerjasama penelitian dan penyusunan draft perjanjian kerjasama. Dengan pendekatan yang lebih intensif ini diharapkan masyarakat akan lebih memahami tujuan kerjasama penelitian serta dapat lebih aktif berpartisipasi dalam budidaya tanaman plot uji coba. Beberapa prinsip utama yang disepakati antara pihak pertama (Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam) dengan pihak kedua (kelompok masyarakat peserta uji coba) dalam pola kemitraan di areal KHDTK carita adalah: 1. Pihak pertama menyediakan biaya bagi pihak kedua untuk melakukan kegiatan budidaya penanaman pohon gaharu yang meliputi biaya upah dan bibit tanaman. 2. Pihak pertama memberikan pembinaan teknis budidaya tanaman gaharu secara rutin kepada pihak kedua. 3. Pihak pertama menyediakan jamur pembentuk gaharu untuk kegiatan inokulasi sebanyak 25% dari jumlah tanaman gaharu pada masing-masing penggarap setelah tanaman gaharu berumur ≥ 5 tahun. 4. Pihak pertama akan membantu mencarikan investor untuk bekerjasama menyediakan produksi jamur pembentuk gaharu untuk kegiatan inokulasi untuk 75% tanaman gaharu lainnya. 5. Pihak pertama akan memberikan pelatihan budidaya gaharu serta pemanenan gaharu (paket training gaharu) kepada pihak kedua.
174
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
6. Pihak kedua berkewajiban memelihara dan menjaga keamanan tanaman gaharu dan tanaman hutan lainnya. 7. Pihak kedua berkewajiban mengikuti aturan teknis dan kaidah konservasi yang berlaku di dalam areal KHDTK Carita. 8. Pihak kedua berkewajiban melaporkan setiap kejadian seperti serangan hama/penyakit tanaman, kebakaran atau bencana lain yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, baik pada tanaman gaharu atau tanaman lainnya di areal kerjasama. 9. Jika sudah menghasilkan, pihak pertama dan pihak kedua memperoleh hasil tanaman gaharu yang ditanam dan dipelihara di lokasi kerjasama dengan proporsi masing-masing 35% untuk pihak pertama dan 60% untuk pihak kedua. Selain pihak pertama dan pihak kedua, sebagian hasil tanaman gaharu akan diberikan pada Desa Sindang Laut sebesar 2,5% dan LMDH (kelompok) 2,5%. 10. Jika pada saat pemanenan tanaman gaharu ternyata ada tanaman yang mati/hilang/tidak/belum menghasilkan, maka resiko akan ditanggung bersama sehingga perhitungan bagi hasil pada saat panen ditentukan dengan rumus sebagai berikut: = P akhir
∑ tan total − ∑ tan mati x P awal ∑ tan total
Keterangan: Pakhir = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu yang diterima masingmasing pihak jika ada tanaman yang mati/hilang/tidak/ belum menghasilkan Pawal = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu sesuai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerjasama ini Butir-butir kesepakatan tersebut tertuang dalam naskah perjanjian kerjasama yang disusun berdasarkan hasil kesepakatan/ negosiasi antara pihak pertama dan pihak kedua.
175
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologi yaitu tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk pembudidayaan gaharu. 2. Budidaya gaharu layak untuk dilaksanakan karena secara finansial akan memberikan keuntungan bersih nilai kini (NPV) sebesar Rp 147,74 juta/ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3,32. 3. Kerjasama kemitraan pengembangan tanaman penghasil gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif solusi untuk menjaga kelestarian hutan, meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. 4. Prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan kerjasama kemitraan dengan pola PHBM adalah prinsip kelestarian dan kelayakan secara ekonomi dalam jangka panjang sesuai jangka waktu kontrak serta saling menguntungkan berdasarkan nilai kontribusi yang diberikan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi. 5. Skema kemitraan dengan pola PHBM memberikan kesempatan kepada para-pihak yang berminat mengembangkan tanaman gaharu untuk bekerjasama sesuai dengan input/sumberdaya yang dimiliki dan memperoleh bagian hasil/sharing sesuai dengan kontribusi serta kesepakatan parapihak yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA Adijaya, D. 2009. Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. http:// www.trubus- online.co.id/mod.php?mod=publisher&op =viewarticle&cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari 2009. Anonim. 2002. GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan. http:// www.dephut.go.id/ Halaman/STANDARDISASI_& _LINGUNGAN_ KEHUTANAN/INFO_V02/VI_V02.htm. Diakses 20 Januari 2009.
176
Prospek Pengusahaan Gaharu .....(Sri Suharti)
Anonim. 2003. Review of Significant Trade Aquilaria malaccensis. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). http://www.cites.org/eng /com/PC/14/EPC14-09-02-02-A2.pdf. Diakses 16 Februari 2009. Anonim. 2005. Pelatihan Nasional: BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN GAHARU. BIOTROP Training and Information Centre. http:// www.bticnet. com/gaharu. htm. Diakses 16 Februari 2009. Anonim. 2008. Perkembangan Gaharu dan Prospeknya di Indonesia. http:// forestry-senu57.blogspot.com/2008/01 /perkembangangaharu-dan-prospeknya-di.html. Diakses 16 Februari 2009. Aswandi. 2009. BUDIDAYA GAHARU : Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan. http://bpk-aeknauli.org/index.php ?option=com_content&task= view&id= 74&Itemid=1. Diakses, 12 Februari, 2009. Blanchette, R. A. 2006. Sustainable Agarwood Production in Aquilaria Trees. http://forestpathology.cfans.umn.edu/ agarwood.htm. Access November, 3 2008. Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Depatemen Kehutanan. Jakarta. Duryatmo, S. 2009. Tersandung Wangi Gaharu. Trubus online. http:// www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&cid=1& artid=1618. Diakses 16 Februari 2009. Gun, B., P. Steven., M. Sungadan., L. Sumari and P. Chatteron. (2004). Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Fo rest Project. Working paper No. 51. Vietnam. Hayat, Z. 2007. Mencari Solusi PHBM di Geumpang. http://www.ffi. or.id/id/news /1/tahun/2007/bulan/11/tanggal/17/id/ 60/. Diakses 4 Maret 2009. Indradi, Y. 2009. Perjalanan Panjang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia. http://fwi.or.id. Di akses 4 Maret 2009. Rizlani, C. dan Aswandi. 2009. Prospek Budidaya Gaharu Secara Ringkas. http://laksmananursery.blogspot.com/2009/01/ prospek-budidaya-gaharu-secara ringkas.html. Diakses 13 Januari, 2009.
177
Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta. Squidoo. 2008. Production and marketing of cultivated agarwood. http://www. squidoo.com/agarwood Copyright © 2008, Squidoo, LLC and respective copyright owners. Access November,3 2008. Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus online. http://www.trubus- online.co.id/mod.php?mod =publisher&op=viewarticle& cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari 2009.
179
Cash inflow (Rp 1000) a. Output (kg) b. Nilai output Gaharu kemedangan I (10%) Gaharu kemedangan II (40%) Gaharu kemedangan III (50%) Cash outflow (Rp 1000) a. Pra investasi 1. Pra-investasi 2. Persiapan lahan & tanam 3. Sewa lahan 4. Lain-lain Biaya pra investasi b. Biaya bahan & peralatan 1. Bibit tanaman gaharu 2. Pupuk Urea 3. Pupuk TSP/SP-36 4. Pupuk KCl 5. Pupuk kandang 6. Peralatan pertanian 7. Bahan inokulan Biaya bahan & peralatan c. Biaya tenaga kerja 1. Tenaga kerja keluarga 2. Tenaga kerja upahan 3. Tenaga kerja inokulasi Biaya tenaga kerja Total biaya Cash flow Cash flow komulatif a. NPV (DF 15%) b. IRR (%) c. B/C
I. II. III. IV.
0
0 0 0 0 5250 -5250 -5250 147.742 48,53% 3,3176
0 0 0 0 0 250 0 250
500 3000 1250 250 5000
0
0
2500 1000 0 3500 16425 -16425 -21675
6750 125 350 300 150 0 0 7675
0 2500 2500 250 5250
1
0
2500 1000 0 3500 7075 -7075 -28750
0 125 350 300 300 0 0 1075
0 0 2500 0 2500
2
Catatan: Produksi gaharu 480 kg/ha dengan harga rata-rata Rp 1.550.000/kg Harga gaharu K1= Rp 5 juta/kg, K2= Rp 2 juta/kg dan K3=Rp 500.000/kg. Harga bibit Rp 15.000/phn, jumlah tanaman 400 phn/ha dibutuhkan 450 phn dg sulaman. Harga pupuk urea Rp 2500/kg, TSP Rp 7000/kg, KCl Rp 6000/kg, dan pupuk kandang Rp 150/kg Harga inokulan Rp 50.000/tanaman
Keterangan
No.
0
2000 500 0 2500 6850 -6850 -35600
0 250 700 600 300 0 0 1850
0 0 2500 0 2500
3
0
0 250 700 600 300 250 0 2100
0 0 2500 0 2500
4
1500 500 0 2000 6600 -6600 -42200
Lampiran 1. Lampiran 1. Analisis NPV, IRR, dan B/C dari Pengusahaan tanaman gaharu per hektar
0
1500 500 12000 14000 39125 -39125 -81325
0 375 1050 900 300 0 20000 22625
0
0 375 1050 900 300 0 0 2625
0 0 2500 0 2500
6
1500 500 0 2000 7125 -7125 -88450
Tahun ke-
0 0 2500 0 2500
5
0
1500 500 0 2000 6650 -6650 -95100
0 250 700 600 300 300 0 2150
0 0 2500 0 2500
7
20000 25000 0 45000 46250 697750 602650
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1250 0 1250
480 744000 240000 384000 120000
8
33000 29500 12000 74500 141350 602650
6750 1750 4900 4200 1950 800 20000 40350
500 5500 20000 500 26500
744000
Total
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
180
10 THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD PLANTATION PROJECT Erry Purnomo Lambung Mangkurat University, South Kalimantan
INTRODUCTION Eaglewood (gaharu) may play an important role in gaining foreign exchange and as a source of income for people living in out- and in-side the forest in Indonesia. This is because, the gaharu export market remains open. Therefore there is a big opportunity for the Indonesian farmers to establish eaglewood plantation. In South Kalimantan, the gaharu production may be considered low. Most of the gaharu formation usually relays on natural infection. Only small group of farmers using introduced inoculants. There is a lack of information on factors influencing the success of gaharu formation. The success of gaharu formation may not be only due to inoculants but may also be influenced by environmental characteristics (climate, soil properties and plant species). The present work focused on characterizing the environment, namely, climate, soil properties and plant diversity surrounding the newly grown and existing gaharu stands in South Kalimantan Province.
181
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
METHODS A. Site Distribution of selected sites for the project can be seen in Figure 1. The selected site were used for growing eagle wood and inoculation. The sites located in Banjar, Hulu Sungai Selatan (HSS) and Hulu Sungai Tengah (HST). Location-wise, 14 sites would be used for newly planted eaglewood trees and 9 sites for inoculation trial. 115.7 22.8 km
Wawai (HST)
115.6
Layuh (2, HST)
115.5
Aluan (3) (HST) Bawan (HST) Gading (HST) Batung (HST) Layuh (HKK) (HST)
115.4 oE
Rasau (HST) Kambat (2, HST) Kalaka (HST)
115.3
Kandangan (HSS)
North
Madang (HSS)
115.2 Belanti (3) (HSS)
115.1
115.0
Rejo (Banjar)
2.4
2.6
2.8
3.0
3.2
3.4
3.6
oS
Figure 1. The selected study sites
B. Climatic Characters The climate parameters collected were rainfall, air temperature and relative humidity. The climatic data for all sites were represented by Kandangan weather station. The data were supplied by the Weather Bureau in Banjarbaru, South Kalimantan. The data obtained were for the last 9 years observation.
182
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
C. Soil Properties Soil properties measured were particle fraction analysis, the content of total carbon (C), total nitrogen (N), total potassium (K) and total phosphorus (P), soil pH, electric conductivity (EC), cation exchange capacity (CEC), and CO2 evolution. Method used for particle fraction analysis was described in Klute (1986) and the methods for other soil properties were described in Page et al. (1982).
D. Plant Diversity The diversity of plant species was determined to show its association with the success of inoculation. In each site, plant species grown under gaharu tree were collected plant within area of 6x6 m2.
RESULTS A. Climatic Characters The average rainfall, air temperature and relative humidity for the last 9 years are shown in Figure 2. The average annual rainfall in the study area was 2361.72 mm. The rainfall distribution can be observed in Figure 2a. The rainy season commenced in October and ended in July each year. A significant low rainfall occurred in the period of July-September. The pattern of air temperature and relative humidity are shown in Figure 2b and 2c, respectively.
183
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
30
500
[b]
[a]
29
Air temperature (oC)
Rainfall (mm)
400 300 200
28 27 26
100
25 0
l t ary ary rch Apri May June July gus mbertobermbermber nu ru Ma Au pte Oc ove ece Ja Feb N D Se Month
0
l t ary ary rch Apri May June July gus mbertobermbermber nu ru Ma Au pte Oc ove ece Ja Feb N D Se Month
30 [b]
Air temperature (oC)
29 28 27 26 25 0
l t r r r r ary ary rch pri May June July gus mbe tobe mbe mbe nu ru Ma A Au pte Oc ove ece Ja Feb N D Se Month
Figure 2. The rainfall [a], air temperature [b] and relative humidity [c] for the last 9 years. Bars indicate the standard error mean 9 years observation
B. Soil Properties The soil properties of each site are presented in Figures 3-11. Soil properties measures were particle fraction analysis, the content of total carbon (C), Total nitrogen (N), total potassium (K) and total phosphorus (P), soil pH, electric conductivity (EC), cation exchange capacity (CEC), and CO2 evolution. The particle fraction analysis (Figure 3) shows that all soil samples dominated by slit fraction, followed by clay and sand fractions. If applicable, level of status of each soil property will be made available as categorized by Djaenuddin et al. (1994).
184
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
The category range of total C total content was very low to low (Figure 4). Most of the selected sites contained very low C, only 5 sites had low C. The N content of the soils (Figure 5) was generally low. It was found that Wawai and Belanti 13 sites had very low and moderate levels of N content, respectively. The low level of C and N content confirms the low level of organic matter content of the soil. The K and P contents of the soils from all sites are demonstrated in Figures 6. Most of the soil classified as very low to low level of K concentration. Two sites, namely, Mandala and Madang Low had K content of moderate level. 100 Sand Silt Clay
80
%
60 40 20 0
n Bela
5 ti 1
t ) ) i s 3 g h 3 w - 16 angsa andala awai dingin awa au (10 Kate g Hig adin (2 & 3 lanti 1 ng Lo gkinkin W as M W Man uh an aur G bat da Han Be TL R Lay Mad H Ma Kam Site
Figure 3. Particle fraction analysis of each soil
2.5 Moderate
2.0 Low 1.5 Total C content (%)
1.0
Very low
0.5 0.0
Be
ti lan
t la ai 3 ngin wai (10) ates igh ding & 3) ti 13 Low nkin - 16 gsa da i H i 15 T Lan Man Waw and Waasauyuh Kdang ur Gaat (2Belandang angk M R La Ma Ha mb H Ma Ka Site
Figure 4. The total C of soil for each site
185
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
0.25 Moderate
Total N content (%)
0.20 Low 0.15 0.10
Very low
0.05 0.00
la n Be
16 ngsatndalawai 3 inginawai (10) ates Highading & 3)nti 13 Low inkin d W sau h K ng r G t (2 ela ang ngk 5a ti 1 T La Ma W Man B ad Ha Ra LayuMada Hau mba M Ka Site
Figure 5. The total N of soil for each site
One site (Rasau 10) had a very high K level. Most of total P content of the soils was categorized as very low to low. Only one site (Rasau 10) was categorized as very high (Figure 7). Almost all the soil pH of the selected soils was categorized into very acidic to acidic category. Only one site (Belanti 13) had a slightly acidic value (Figure 8). For EC reading, except for Hangkinkin site, all soils had EC below 1 mS cm-1 (Figure 9). The low EC readings may be associated with the far distance from the shore. The low EC readings indicate the absence of salinity problem. The CEC of the soils were commonly low (Figure 10). There were 3 sites and 2 sites had CEC of moderate and high, respectively. The low CEC indicates a low storage cation capacity and results in prone to cation leaching. The CO2 evolution as an indication microbial activity was similar site-wise (Figure 11). Except, at Madang Low, it was observed that the microbial was lower than the other sites.
C. Number of Plant Species It was observed that the number of plant species was varied from site to site (Figure 12). At 5 sites, there were 3-5 plant species.
186
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
The other 8 sites had 5-14 plant species and one site had 22 plant species. 1200
Total K content (%)
1000 800 600 400 200 0
nt Bela
Very high
High Moderate Low Very low
) ) t s i in - 16 gsa dalawai 3inginawa (10 ate High ding & 3nti 1n3g Logw kin k i 15 T Lan Man WaMand WRasaauyuhaKdangaur Gbaat (2Belaa d a Han L M H Kam M Site
Figure 6. Total K content of soil for each site
2600
Total P content (%)
2400 2200 2000 600 400 200 0
nt Bela
Very high High Moderate Low Very low
t 0) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin - 16 gsa dalawai 3 inginawai (1h g k i 15 T Lan Man WaMand WRasau u K ang r Ga t (2Belan danHang Lay Mad Hauamba Ma K Site
Figure 7. Total P content of soil for each site
187
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Soil pH H2O
7
Neutral
6
Slightly acidic
5
Acidic
4
Very acidic
0
6 sat dala ai 3 ingin wai (10) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin 5 - 1 angM an Wawand Waasauyuh K ang ur Gaat (2 elandang angk B Ma R L a Ma d H a m b n ti 1 T L M H Bela Ka Site
Figure 8. Soil pH for each site
Electric conductivity (mScm-1)
130 120 110 100 2
1
0
nt Bela
t i n 0) ates High ding & 3) ti 13 Low inkin - 16 gsa dalawain3 ingi awa (1h g k i 15 T Lan Man WaM u K ng r Ga t (2Belan a d WRasau danHang Lay Mada Hauamba Ma K Site
Cation exchnage capacity (cmol[+]kg-1)
Figure 9. Electrical conductivity readings for soil each site
40
30
High
20
Moderate
10
Low Very low
0
) ) t s i g a 3 3 h n n - 16 ngsa ndal wai ingi awa (10 Kate Hig adin & 3 nti 1 g Lowkinki ng i 15 T La Ma WaMand WRasauayuh adangaur Gbat (2Bela adanH t a n a L M H am M Bel K Site
Gambar 10. Cation exchange capacity of soil for each site 188
The Environmental Characteristics .....(Erry Purnomo)
2000 1600 1200 CO2 evolution (mg C kg-1) 800 400 0
an t Bel
) ) t s i g a 3 - 16 gsa dal wai 3 inginawa (10 ate High din & 3nti 1ng Logwkinkin i 15 T Lan Man WaMand WRasaauyuhaKdangaur Gbaat (2Belaa d a Han L M H am M K Site
Gambar 11. CO2 evolution from soil from each site
DISCUSSION The rainfall pattern was typical the study area. The highest rainfall occurred in the period of November-April ranging 215-358 mm. In May, June and October the rainfall ranged 132-151 mm. The lowest rainfall was observed in the period of July-September ranging 54-84 mm. The schedule of inoculation may have to consider the climatic condition throughout the year.
Number of plant species each site
25
20
15
10
5
0
t ) ) i s g h 3 3 w in la in - 16 ngsa nda wai ding awaau (10 Kate g HigGadin (2 & 3lanti 1ng Lo gkink W as yuh n i 15 T La Ma W a Man Be ada Han R La Mada Haur mbat ant l M e B Ka
Sites
Gambar 12. The number of plant species found in each site
189
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
The low fertility status according to Djaenuddin et al. (1994) leads the need to amend to improve the soil fertility status. However, improving the fertility status may results in healthier eaglewood trees. The healthy trees may immune to the infection. This may result in the failure of gaharu formation. Plants grown under the gaharu was quite divers from site to site. From field observation, it was found that there was gaharu trees growth variation under different plan species grown surrounding the gaharu trees. It seems that there was a shading affect on the gaharu trees growth.
CONCLUSION The selected sites were distributed in regencies, namely, Banjar, Hulu Sungai Selatan and Hulu Sungai Tengah. The annual total rainfall in the area under study was 2361 mm. The rainy season began in October and ease in June. In general, the soil in each site was considered very poor. The number plant species were varied from site to site. It is too early to gain any conclusion on the effect of environmental characters on gaharu production. Therefore, further study is still needed to investigate the relationship between soil properties or plant diversity on eaglewood growth or the success of inoculants application.
ACKNOWLEDGEMENT I would like to thank ITTO for funding the work. Dr. Maman Turjaman for the invitation to be involved in the project. Mrs. M Yani, Presto Janu Saputra and Storus for supporting the field work. I also acknowledge the anonymous reviewer who critically commented on the manuscript.
190
REFERENCE Djaenuddin, D., Basuni, Hardjowigeno, S., Subagjo, H., Sukardi, M., Ismangun, Marsudi, Ds., Suharta, N., Hakim, L., Widagdo, Dai, J., Suwandi, V., Bachri, S., and Jordens, E.R. Land Suitability for Agricultural and Silviculture Plants. Laporan Teknis No. 7. Versi 1.0. April 1994. Center for Soil and Agroclimate Research, Bogor. (In Indonesian). Klute, A. (1986) Methods of soil Analysis. Part 1 Physical and mineralogy methods. 2nd Edition. ASA, SSSA. Madison. Pp.1188
Page, A.L., Miller, R.H. and Keeney, D.R. (1982) Methods of soil Analysis. Chemical and microbiological properties. 2nd Edition. ASA, SSSA. Madison. Pp 1159.
191
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
192
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
11 KARAKTERISTIK LAHAN HABITAT POHON PENGHASIL GAHARU DI BEBERAPA HUTAN TANAMAN DI JAWA BARAT Pratiwi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini dapat meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup tinggi. Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu. Awalnya gaharu berasal dari pohon tropika yang terinfeksi jamur, seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp., Wikstromeae spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986). Dalam kegiatan penelitian ini difokuskan pada jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A. malaccensis dan A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Karena jenis pohon ini mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka keberadaan jenis ini perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan tanaman gaharu dalam hutan tanaman di beberapa area. Oleh karena itu beberapa
193
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
informasi sehubungan dengan habitat pohon penghasil gaharu perlu diinventarisasi, termasuk sifat-sifat tanahnya dan komposisi vegetasi tumbuhan bawah yang ada di sekitarnya, agar kemampuan lahannya dapat diketahui. Tanah sebagai bagian dari suatu ekosistem merupakan salah satu komponen penyangga kehidupan, di samping air, udara, dan energi matahari. Pratiwi dan Mulyanto (2000) serta Jenny (1941) menyebutkan bahwa tanah merupakan hasil proses pelapukan batuan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, topografi, organisme, dan waktu. Sifat-sifat tanah yang spesifik mempengaruhi komposisi vegetasi yang ada di atasnya (Pratiwi, 1991). Selanjutnya Pratiwi dan Mulyanto (2000) menyatakan bahwa penyebaran tumbuhan, jenis tanah, dan iklim (termasuk iklim mikro) harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ekosistem yang terintegrasi. Sepanjang komponen tanah bervariasi, maka tanah dan karakteristiknya akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Tanah yang berbeda dengan sistem lingkungan yang bervariasi akan menentukan vegetasi yang ada di atasnya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang sifat-sifat habitat pohon penghasil gaharu di hutan tanaman gaharu di daerah Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifat-sifat tanah dan topografi serta vegetasi. Diharapkan informasi ini dapat mendukung pengembangan hutan tanaman pohon penghasil gaharu, sehingga keberadaan jenis ini dapat dilestarikan, sebagaimana juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Secara administrasi pemerintahan, Carita terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sedangkan
194
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Dramaga terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta Sukabumi di Provinsi Jawa Barat. Carita memiliki topografi bergelombang sampai bergunung dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan tahunan sekitar 3.959 mm. Temperatur minimum sekitar 26ºC dan temperatur maksimum 32ºC. Kelembaban udara ratarata berkisar antara 77% sampai 85% (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 2005). Sedangkan Dramaga mempunyai topografi datar sampai bergelombang dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.600 mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 24ºC sampai 30ºC. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 80% sampai 90%. Sedangkan Sukabumi mempunyai topografi bergelombang sampai berbukit dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.000 mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 20ºC sampai dengan 25ºC.
B. Bahan dan Alat Penelitian Sebagai bahan penelitian adalah contoh tanah yang diambil dalam plot penelitian di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Jumlah contoh tanah yang diambil di masing-masing lokasi adalah sebanyak 6 buah. Bahan lain adalah berupa data hasil analisis vegetasi untuk tingkat semai (termasuk tumbuhan bawah). Sedangkan alat yang dipakai dalam penelitian lapangan adalah alat-alat tulis, alat-alat survei lapangan seperti bor tanah, Munsell Color Chart, cangkul, dan meteran.
C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifat-sifat tanah, topografi, dan vegetasi. Pengamatan terhadap sifat-sifat tanah dan topografi dilakukan di dalam plot yang sama dengan pengamatan vegetasi.
1. Pengambilan Contoh Tanah Plot dibuat di area yang telah dipilih berdasarkan peta tanah Jawa dan Madura pada skala 1:500.000 (Lembaga Penelitian
195
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Tanah, 1962). Contoh tanah diambil dari setiap horizon yang telah diidentifikasi untuk dianalisis di laboratorium. Dua macam contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah terganggu untuk analisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta contoh tanah tidak terganggu untuk pengamatan sifat fisik tanah (porositas dan berat jenis tanah). Sifat-sifat tanah yang dianalisis, meliputi: a) sifat fisik yaitu tekstur, berat jenis, porositas, permeabilitas, dan sifat kimia yaitu pH H2O, Corg, Ntotal, ketersediaan P, K, Na, Ca, Mg, KB, KTK, Al, dan H+ (sifat kimia) (Blackmore et al., 1981). Contoh tanah komposit diambil pada kedalaman 0-30 cm, 30-60 cm, dan > 60 cm di setiap lokasi penelitian. Pada setiap kedalaman tanah, contoh tanah diambil pada 20 titik yang tersebar di masing-masing horizon. Kemudian contoh tanah dicampur sesuai kedalamannya. Total tanah komposit yang dikumpulkan dari masing-masing lokasi adalah enam contoh (tiga untuk analisis sifat fisik tanah dan tiga untuk analisis sifat kimia tanah). Dengan demikian ada 18 contoh tanah yang dikumpulkan.
2. Pengamatan Vegetasi Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan semai. Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm sampai < 10 cm dan semai merupakan permudaan dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976). Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m dibuat untuk pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur sepanjang satu km. Sedangkan untuk pengamatan belta dilakukan dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang jalur tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan belta dihitung dan diukur diameternya. Sedangkan tingkat semai dan tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x 1 m di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh semai dan tumbuhan bawah yang ada dicatat dan dihitung jumlahnya. Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap semai dan tumbuhan bawah yang ada di bawah tegakan/pohon penghasil gaharu. Kriteria
196
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
semai adalah permudaan jenis tumbuhan berkayu dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976). Plot-plot berukuran 1 m x 1 m diletakkan di jalur pengamatan vegetasi di dalam tegakan/pohon penghasil gaharu. Pada masingmasing lokasi, jalur dibuat sebanyak tiga buah masing-masing sepanjang 100 m. Seluruh semai dan tumbuhan bawah yang ada dalam plot dicatat nama daerahnya, dan dihitung jumlahnya serta diukur luas penutupan tajuknya. Jenis yang diperoleh kemudian dibuat spesimen herbariumnya untuk diidentifikasi di laboratorium Botani dan Ekologi Hutan, P3HKA, Bogor.
D. Analisis Data Sifat-sifat fisik dan kimia tanah dihitung sesuai dengan formula pada standar prosedur dari setiap karakteristik tanah kemudian ditabulasi untuk setiap horizon. Untuk vegetasi, data yang diperoleh ditentukan spesies dominannya dengan menghitung nilai penting sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh Kartawinata et al. (1976). Spesies dominan merupakan spesies yang mempunyai nilai penting tertinggi di dalam tipe vegetasi yang bersangkutan. Indeks kesamaan jenis dihitung dengan menggunakan rumus Sorensen (Mueller-Dum-bois and Ellenberg, 1974), yaitu:
SI =
2w a+b
Dimana : SI = Similarity Index w = Jumlah dari nilai penting terkecil untuk jenis yang sama yang ditemukan pada dua komunitas yang dibandingkan (A dan B) a = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas A b = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas B
197
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Tanah di Daerah Penelitian Karakteristik tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentukan tanah dan sifat-sifat tanah.
1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Tanah di Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Topograpfi di daerah Carita bergelombang sampai bergunung sedangkan di Dramaga datar sampai bergelombang dan di Sukabumi bergelombang sampai berbukit. Bahan induk tanah Carita adalah dari Gunung Danau sedangkan Dramaga dan Sukabumi masing-masing dari Gunung Salak dan Gede Pangrango. Vulkanik material dari lokasi-lokasi ini memiliki sifat andesitik. Ini berarti bahan induk daerah ini kaya akan mineral-mineral ferro-magnesium dan beberapa mineral sebagai sumber elemen basa. Tipe mineral-mineral ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, khususnya sifat fisik dan kimia. Lokasi penelitian Carita memiliki topografi bergelombang sampai bergunung dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan tahunan sekitar 3.959 mm. Temperatur minimum sekitar 26ºC dan temperatur maksimum 32ºC. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 77% sampai 85% (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 2005). Sedangkan Dramaga mempunyai topografi datar sampai bergelombang dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.600 mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 24ºC sampai 30ºC. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 80% sampai 90%. Sedangkan Sukabumi mempunyai topografi bergelombang sampai berbukit dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.000 mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 20ºC sampai dengan 25ºC.
198
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Penggunaan lahan di ketiga lokasi penelitian adalah hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Di Carita, jenis yang ditanam adalah Aquilaria microcarpa, dengan areal sekitar 5 ha dan dibangun pada tahun 1998 dengan total 346 pohon. Pohon penghasil gaharu ditanam bersama dengan tanaman lain, umumnya pohon serbaguna seperti pete (Parkia speciosa), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Artocarpus integra), durian (Durio zibethinus) dan sebagainya. Ketinggian daerah ini sekitar 100 meter di atas permukaan laut. Sedangkan di Dramaga dan Sukabumi, gaharu ditanam secara monokultur dan ditanam masing-masing tahun 1993 dan 1999. Spesies yang ditanam adalah Aquilaria crassna dan A. microcarpa di Darmaga dan A. microcarpa di Sukabumi.
2. Sifat-Sifat Tanah a. Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah, antara lain berkaitan dengan tekstur, berat jenis, porositas, dan permeabilitas. Hasil penelitian sifat-sifat fisik tanah disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ketiga lokasi penelitian memiliki sifat-sifat fisik tanah yang relatif sama. Data analisis tekstur tanah menunjukkan bahwa tanah di semua lokasi penelitian memiliki kelas tekstur liat. Hal ini mengindikasikan bahwa partikel tanah yang dominan adalah fraksi liat. Implikasi dari kelas tekstur ini adalah retensi air dan hara pada tanah ini relatif bagus. Dari data tekstur tanah dapat dilihat juga bahwa tanah di dalam profil menunjukkan adanya akumulasi liat. Ini berarti seluruh tanah di lokasi penelitian memiliki sub horizon argilik. Berat jenis (BD) tanah di semua lokasi penelitian kurang dari 1 tetapi lebih dari 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian berkembang dari material vulkanik tuff. Tanah yang memiliki horizon argilik dapat diklasifikasikan sebagai alfisol atau ultisol tergantung kejenuhan basanya (KB). Tanah di Carita dan Dramaga memiliki KB kurang dari 50% (Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6). Oleh karena itu tanah ini diklasifikasikan sebagai ultisol. Sedangkan tanah di lokasi penelitian Sukabumi memiliki KB lebih dari 50% sehingga diklasifikan sebagai alfisol.
199
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Data porositas tanah menunjukkan bahwa di semua lokasi penelitian, porositas tanah di horizon permukaan lebih rendah daripada di bagian bawahnya. Informasi ini menunjukkan bahwa terjadi fenomena pemadatan tanah (soil compaction) karena adanya injakan (trampling) dan mungkin adanya jatuhan butir-butir hujan dari batang pohon (stem fall). Sedangkan berat jenis tanah di tiga kedalaman kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai sifat andik, sehingga tanah di lokasi penelitian termasuk dalam ordo andisol dalam sistem taksonomi tanah (Soil Survey Staff, 1994). Tabel 1. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat fisik Kedalaman (cm)
Tekstur
Berat Jenis
Porositas (%)
0
0,90
65,86
30
0,87
66,99
60
0,96
63,85
Berat Jenis
Porositas (%)
0
0,93
64,99
30
0,84
68,45
60
0,90
66,21
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
Kelas tekstur
0-30
8,33
25,10
66,57
Liat
30-60
8,55
22,10
69,35
Liat
> 60
6,01
36,51
57,48
Liat
Tabel 2. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita Sifat fisik Kedalaman (cm)
200
Tekstur Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
Kelas tekstur
0-30
8,33
12,59
79,08
Liat
30-60
6,33
11,98
81,69
Liat
> 60
5,13
9,09
85,78
Liat
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Tabel 3. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat fisik Kedalaman (cm)
Tekstur Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
Kelas tekstur
0-30
12,78
18,73
68,49
Liat
30-60
9,95
5,90
84,15
Liat
> 60
11,54
26,37
62,09
Liat
Berat Jenis
Porositas (%)
0
0,97
63,43
30
0,86
67,59
60
0,83
68,75
Sedangkan porositas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa semakin ke bawah porositasnya semakin kecil. Hal ini menunjukkan semakin ke dalam jumlah pori-pori semakin kecil yang diakibatkan antara lain oleh adanya pemadatan tanah. Pratiwi dan Garsetiasih (2003) menyatakan bahwa pemadatan tanah dapat diakibatkan oleh karena injakan manusia. Hal ini terjadi juga di ketiga lokasi penelitian, di mana lokasi-lokasi ini merupakan hutan tanaman. Adanya pori-pori yang menurun jumlahnya, maka akan mengakibatkan kapasitas tanah menampung air dan udara menurun. Nilai permeabilitas tanah menunjukkan laju pergerakan air. Peningkatan berat jenis tanah, umumnya diikuti dengan penurunan persentase ruang pori atau porositas dan juga penurunan nilai permeabilitas tanah. Hal ini terlihat pada lokasi penelitian. Namun demikian Bullock et al. (1985) menyatakan bahwa nilai ini tergantung bukan saja oleh jumlah pori tetapi juga tingkat kontinuitas pori. b. Sifat Kimia Tanah
Sifat-sifat kimia tanah, meliputi pH H2O, C, N, P tersedia, Ca, Mg, K, Na, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Al, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Keterangan yang lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6. pH H 2O di semua lokasi penelitian umumnya kurang dari lima, kecuali Sukabumi. Namun demikian tanah-tanah di lokasi
201
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
penelitian masih dikategorikan asam. Walaupun tanah-tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan vulkanik andesitik yang kaya akan material-material basa, namun karena adanya proses pelapukan yang intensif dan juga adanya pencucian (leaching), maka reaksinya asam dan kejenuhan basanya kurang dari 100%. Reaksi ini mempengaruhi ketersediaan unsur hara esensial. Unsur hara esensial merupakan unsur yang diperlukan oleh tanaman dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain (Pratiwi, 2004 dan 2005). Unsur-unsur ini dikategorikan sebagai unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co). Di samping pH, ketersediaan dari unsur-unsur esensial ditentukan oleh bahan organik dan proses-proses dinamis yang ada di dalam profil tanah. Carbon organik dan nitrogen total di lokasi penelitian menurun semakin ke bawah. Jumlah carbon organik relatif rendah di semua horizon, tetapi di Carita, carbon organik lebih tinggi daripada Sukabumi dan Dramaga. Rendahnya carbon organik dan nitrogen total berhubungan dengan rendahnya bahan organik. Hal ini dapat dimengerti karena di lokasi penelitian Carita, dijumpai banyak tumbuhan bawah jika dibandingkan dengan lokasi penelitian Sukabumi dan Dramaga. Tumbuhan bawah merupakan sumber bahan organik. Menurut Sutanto (1988), bahan organik juga menyebabkan meningkatnya KTK dengan meningkatnya muatan negatif. Perbandingan C/N di semua horizon tergolong tinggi, khususnya di horizon bagian atas. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi bahan organik tidak terlalu kuat. Kandungan P di semua lokasi penelitian tergolong sangat rendah (< 2). Pratiwi (2004 dan 2005) menyatakan bahwa unsur ini khususnya di lapisan atas mempunyai fungsi yang sangat penting dalam perkecambahan biji. Elemen penting lainnya adalah K, Al+3, dan H+. Di areal penelitian Dramaga, K tergolong medium sedangkan di Carita dan Sukabumi masing-masing tergolong rendah dan tinggi dan Al+3 dan H+ rendah sampai sangat rendah di semua lokasi. Tanah dengan kandungan Al yang tinggi memiliki sifat toksik. Oleh karena itu di ketiga lokasi penelitian tidak ada bahaya keracunan Al.
202
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Unsur hara mikro juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tetapi diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Unsur-unsur tersebut adalah Fe, Cu, Zn, dan Mn. Unsur-unsur Fe, Cu, dan Zn relatif rendah sementara kandungan Mn sedang sampai relatif cukup. Kondisi ini relatif sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan tingkat kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menyerap unsur hara, sehingga ketersediaan hara akan lebih bagus pada areal dengan KTK rendah. KTK tanah dianalisis dengan larutan buffer NH4Oact pH 7 dan KTK sum of cation. Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6 menunjukkan secara jelas bahwa KTK NH4Oact pH 7 dari seluruh profil sangat tinggi daripada KTK sum of cation. KTK tinggi berarti areal tersebut cukup subur. Dari Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6 mengindikasikan bahwa tanah di Sukabumi memiliki KB tinggi (39,35-41,07) sedangkan di Dramaga medium (16,01-17,75) dan yang terendah adalah di Carita (13,0515,77). Tanah dengan pH lebih tinggi umumnya memiliki KTK yang lebih tinggi. Kecenderungan ini terjadi di areal penelitian, di mana pH daerah Sukabumi lebih tinggi daripada Carita dan Dramaga. Kandungan kation basa di Sukabumi termasuk tinggi sedangkan di Dramaga medium dan Carita termasuk rendah. Di semua horizon dari tiga lokasi penelitian ini, kation basa didominasi oleh calcium dan magnesium. Jumlah kation tertinggi di areal penelitian terdapat di Sukabumi dan yang terendah di Carita. Hal ini disebabkan karena Sukabumi memiliki pH H 2O tertinggi. Ada kecenderungan bahwa daerah dengan pH yang tinggi memiliki kejenuhan basa yang tinggi pula. Tabel 4. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat-sifat kimia
Horizon 1 (0-30 cm)
Horizon 2 (30-60 cm)
Horizon 3 (>60 cm)
pH H2O 1:1
4,70 (Rendah)
4,60 (Rendah)
4,50 (Rendah)
C org (%)
1,43 (Rendah)
1,03 (Rendah)
1,03 (Rendah)
N-total (%)
0,15 (Rendah)
0,12 (Rendah)
0,11(Rendah)
203
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Sifat-sifat kimia
Horizon 1 (0-30 cm)
Horizon 2 (30-60 cm)
Horizon 3 (>60 cm)
P Bray (ppm)
1,7 (Sangat rendah)
1,3 (Sangat rendah)
1,7 (Sangat rendah)
Ca
5,29 (Medium)
4,17 (Rendah)
5,32 ( Medium)
Mg
1,19 ( Medium)
1,09 (Medium)
1,70(Medium)
K
0,44 (Medium)
0,44 (Medium)
0,58 (Tinggi)
Na
0,30 (Rendah)
0,26 (Rendah)
0,26 (Rendah)
KTK
17,75 (Medium)
16,61 (Medium)
16,99 (Medium)
KB (%)
40,68 (Medium)
35,88 (Medium)
46,26 (Medium)
Al
3,72 (Sangat rendah)
4,16 (Sangat rendah)
4,90 (Sangat rendah)
H
0,33
0,36
0,41
Fe
2,04
1,80
1,48
Cu
3,44
2,64
2,40
Zn
5,24
4,88
5,28
Mn
85,60
88,01
79,20
NH4OAc pH 7 (me/100 gr):
KCl (me/100 gr):
0,05 N HCl (ppm):
Tabel 5. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita Sifat-sifat kimia
Horizon 1 (0-30 cm)
Horizon 2 (30-60 cm)
Horizon 3 (>60 cm)
pH H2O 1:1
4,60 (Rendah)
4,50 (Rendah)
4,60 (Rendah)
C org (%)
2,31 (Medium)
1,51 (Rendah)
0,71 (Sangat rendah)
N-total (%)
0,17 (Rendah)
0,14 (Rendah)
0,08 (Sangat rendah)
P Bray (ppm)
1,70 (Sangat rendah)
1,20 (Sangat rendah)
1,20 (Sangat rendah)
Ca
1,49 (Sangat rendah)
1,01 (Sangat rendah)
1,00 (Sangat rendah)
Mg
0,75 (Rendah)
0,53 (Rendah)
0,52 (Rendah)
K
0,16 (Rendah)
0,14 (Rendah)
0,13 (Rendah)
NH4OAc pH 7 (me/100 gr):
204
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Sifat-sifat kimia
Horizon 1 (0-30 cm)
Horizon 2 (30-60 cm)
Horizon 3 (>60 cm)
Na
0,20 (Rendah)
0,22 (Rendah)
0,21 (Rendah)
KTK
15,77 (Rendah)
13,11 (Rendah)
13,03 (Rendah)
KB (%)
16,49 (Sangat rendah)
14,49 (Sangat rendah)
14,27 (Sangat rendah)
Al
5,84 (Rendah)
7,36 (Rendah)
6,40 (Rendah)
H
0,49
0,53
0,45
Fe
1,72
1,00
1,04
Cu
1,64
1,68
1,52
Zn
3,00
2,60
2,80
Mn
28,48
17,08
16,40
KCl (me/100 gr):
0,05 N HCl (ppm):
Tabel 6. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat-sifat kimia
Horizon 1 (0-30 cm)
Horizon 2 (30-60 cm)
Horizon 3 (>60 cm)
pH H2O 1:1
5,10 (Rendah)
5,10 (Rendah)
4,60 (Rendah)
C org (%)
1,60 (Rendah)
2,07 (Medium)
1,01 (Rendah)
N-total (%)
0,15 (Rendah)
0,18 (Rendah)
0,11 (Rendah)
P Bray (ppm)
3,90 (Sangat rendah)
3,70 (Sangat rendah)
3,40 (Sangat rendah)
Ca
16,98 (Tinggi)
16,99 (Tinggi)
14,64 (Tinggi)
Mg
10,52 (Sangat tinggi)
10,94 (Sangat tinggi)
10,05 (Sangat tinggi)
K
0,71 (Tinggi)
0,40 (Medium)
0,22 (Rendah)
NH4OAc pH 7 (me/100 gr):
Na
0,36 (Medium)
0,43 (Medium)
0,22 (Rendah)
KTK
41,07 (Sangat tinggi)
36,48 (Tinggi)
39,35 (Tinggi)
KB (%)
69,56 (Tinggi)
78,84 (Sangat tinggi)
63,86 (Tinggi)
KCl (me/100 gr):
205
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Horizon 1 (0-30 cm)
Horizon 2 (30-60 cm)
Horizon 3 (>60 cm)
Al
2,32 (Sangat rendah)
2,76 (Sangat rendah)
6,40 (Rendah)
H
0,25
0,30
0,42
Sifat-sifat kimia
0,05 N HCl (ppm): Fe
0,52
0,36
0,32
Cu
1,20
1,12
1,44
Zn
1,40
1,56
1,56
Mn
17,00
22,12
26,36
B. Komposisi Vegetasi dan Spesies Dominan 1. Umum Analisis vegetasi dilakukan terhadap vegetasi/tumbuhan bawah di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Areal ini merupakan hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Dengan demikian untuk tingkat pohon, sapling serta tiang didominasi oleh gaharu. Oleh karena itu analisis vegetasi ditekankan pada tumbuhan bawah.
2. Komposisi Tumbuhan Bawah Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi jenis tumbuhan bawah di Carita lebih tinggi dibandingkan di Sukabumi dan Dramaga (Tabel 7).
Tabel 7. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi penelitian Lokasi penelitian
Jumlah jenis
Jumlah famili
Ko n d i s i i n i a g a k nya k a r e n a Carita 30 18 perbedaan sistem penanaman dalam Dramaga 8 16 hutan tanaman tersebut. Di Carita pohon Sukabumi 6 3 penghasil gaharu ditanam dengan sistem campuran dengan jenis tanaman serba guna sedangkan di Sukabumi dan Dramaga ditanam dengan sistem monokultur. Sistem penanaman di Carita yang multikultur, mendukung beberapa anakan muncul dari jenis-jenis lain selain jenis tanaman penghasil gaharu.
206
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
3. Jenis Tumbuhan Bawah Dominan Secara ekologis, nilai vegetasi ditentukan oleh peran dari jenis dominan. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di dalam komunitas yang bersangkutan. Nilai ini merupakan hasil dari interaksi di antara jenis dengan kondisikondisi lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis dominan dan kodominan masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita jenis dominan dan kodominan dari tumbuhan bawah yang ditemui adalah jampang (Panicum disachyum) dan selaginela (Selaginella plana) sedangkan di Dramaga adalah pakis (Dictyopteris iregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum) serta di Sukabumi adalah jampang (Panicum disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum) (Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3). Data ini mengindikasikan bahwa habitat dari masing-masing lokasi penelitian secara ekologis memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
4. Indeks Kesamaan Jenis Tumbuhan Bawah Berdasarkan indeks kesamaan jenis menurut Sorensen (MuellerDumbois and Ellenberg, 1974) komposisi jenis tumbuhan bawah di tiap lokasi penelitian berbeda satu Tabel 8. Indeks similaritas (%) dari dengan lainnya. Hal ini diindikomuni-tas tumbuhan di lokasi penelitian kasikan dengan nilai indeks similaritas yang rendah (<50%) Lokasi Carita Dramaga Sukabumi (Tabel 8).
Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan faktor lingkungan seperti iklim, topografi, dan karakteristik tanah.
Carita
-
9
35
Darmaga
-
-
9
Sukabumi
-
-
-
KESIMPULAN 1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang relatif sama, yaitu material volkanik yang bersifat andesitik.
207
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
2. Perbedaan sifat-sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian disebabkan perbedaan tingkat proses pelapukan yang berhubungan dengan kondisi lingkungan dari proses pelapukan tersebut. 3. Sehubungan dengan tingkat pelapukan, tanah Carita kurang subur dibandingkan dengan Dramaga dan Sukabumi. Tingkat kesuburan ini berhubungan dengan tingkat dari proses pelapukan. 4. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah di areal penelitian mendukung pertumbuhan pohon penghasil gaharu. 5. Jenis dominan dan kodominan di masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita tumbuhan bawah yang dominan adalah jampang (Panicum disachyum) dan jenis kodominan adalah selaginela (Selaginella plana). Sedangkan di Dramaga jenis dominan dan kodominan masing-masing adalah pakis (Dictyopteris irregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum), serta di Sukabumi masing-masing jampang (Panicum disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum). 6. Komposisi jenis tumbuhan bawah juga berbeda di tiap lokasi penelitian sebagaimana diindikasikan dengan nilai SI < 50%. Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor lingkungan seperti iklim, topografi, dan sifat-sifat tanah.
DAFTAR PUSTAKA Allison, L.E. 1965. Organic Matter by Walkey and Black methods. In C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II. Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon. 1994. Trade in Agarwood. WWF-Traffic India. Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York. 280 p. Lembaga Penelitian Tanah. 1962. Peta Tanah Tinjau Jawa dan Madura. LPT. Bogor.
208
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Mueller-Dumbois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Willey and Son. New York. Pratiwi. 1991. Soil Characteristics and Vegetation Composition Along a Topotransect in The Gunung Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia. MSc. Thesis. International Training Center For Post Graduate Soil Scientists, Universiteit Gent, Belgium. Pratiwi and B. Mulyanto. 2000. The Relationship Between Soil Characteristics with Vegetation Diversity in Tanjung Redep, East Kalimantan. Forestry and Estate Crops Research Journal 1(1): 27-33. Pratiwi. 2004. Hubungan Antara Sifat-Sifat Tanah dan Komposisi Vegetasi di Daerah Tabalar, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 644: 63-76. Pratiwi. 2005. Ciri dan Sifat Lahan Habitat Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di Beberapa Hutan Tanaman di Pulau Jawa. Gakuryoku XI(2):127-131. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. 2005. Hutan Penelitian Carita. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 21 p. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand. 42. Kementrian Perhubungan. Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Sidiyasa, K., S. Sutomo, dan R. S. A. Prawira. 1986. Eksplorasi dan Studi Permudaan Jenis-Jenis Penghasil Gaharu di Wilayah Hutan Kintap, Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Hutan 474: 59-66. Sutanto, R. 1988. Minerlogy, Charge Properties and Classification of Soils on Volcanic Materials and Limestone in Central Java. Indonesia. PhD Thesis. ITC-RUG. Gent. 233 p. Soil Survey Staff. 1994. Key to Soil Taxonomy. United Stated Department of Agriculture. Soil Conservation Service. Six Edition. 306 p. Soil Conservation Service. 1984. Procedure for Collecting Samples and Methods of Analyses for Soil Survey. Report No. I. Revised ed.,U.S. Dept.Agric. 68 p.
209
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Lampiran 1. Nilai penting jenis tumbuhan bawah di Carita No.
Nama daerah
Nama botani
Famili
Kr (%) Fr (%) Dr (%) NP (%)
1
Jampang
Panicum disachyum Linn. Gramínea
47,00
8,58
25,70
81,28
2
Selaginella
Selaginella plana Hiern.
Selaginellaceae
14,52
10,00
32,76
57,28
3
Harendong merah
Melastoma malabathricum L.
Melastomataceae
5,17
9,99
7,09
22,25
4
Cingcau
Cyclea barbata Miers.
Meraispermaceae
7,88
10,00
3,82
21,70
5
Rumput pait
Panicum barbatum Lamk. Graminae
7,39
5,71
3,71
16,81
6
Ilat
Cyperus difformis Linn.
3,69
5,71
0,99
10,39
7
Parasi
Curculigo latifolia Dryand. Amaryllidiaceae
2,45
4,29
3,09
9,83
8
Terongan
Solanum jamaicence Mill.
Solanaceae
0,98
5,71
2,97
9,66
9
Hatta
Coniograma intermedia Hieron.
Polypodiaceae
0,75
1,43
6,18
8,36
10
Peletok
Cecropia peltata L.
Moraceae
1,23
2,85
2,10
6,18
11
Paku anam
Lygodium circinatum Sw.
Schizophyllaceae
0,98
4,29
0,73
6,00
12
Pakis
Dictyopteris irregularis Presl.
Polypodiaceae
0,50
1,43
3,09
5,02
13
Sasahan
Tetracera indica L.
Dilleniaceae
0,75
2,86
1,11
4,72
14
Harendong
Clidenia hirta Don.
Melastomaceae
0,49
1,43
0,62
4,57
15
Kokopian
Ixora sp.
Rubiaceae
1,23
2,85
0,48
4,57
16
Mahoni
Swietenia macrophylla King
Meliaceae
0,50
2,85
0,62
4,47
17
Cacabean
Morinda bracteosa Hort.
Rubiaceae
0,25
1,43
1,23
2,91
18
Alang-alang
Imperata cylindrica Linn.
Graminae
0,75
1,43
0,25
2,43
19
Hawuan
Elaeocarpus glaber Blume Elaeocarpaceae
0,25
1,43
0,62
2,30
20
Kakacangan
Stachystarpheta jamaisensis Vahl.
Verbenaceae
0,25
1,43
0,62
2,30
21
Pacing
Tapeinochilus teysmannianus K.Sch.
Zingiberaceae
0,49
1,43
0,25
2,17
22
Seuseureuhan Piper aduncum L.
Piperaceae
0,25
1,43
0,37
2,05
23
Gagajahan
Panicum montanum Roxb. Graminae
0,50
1,43
0,12
2,05
24
Ki koneng
Plectronia sp.
0,25
1,43
0,37
2,05
25
Babadotan
Ageratum conizoides Linn. Compositae
0,25
1,43
0,25
1,93
26
Pakis anjing
Dryopteris dentata C.Chr.
Polypodiaceae
0,25
1,43
0,25
1,93
27
Gaharu
Aquilaria malaccensis Lamk.
Thymelaeaceae
0,25
1,43
0,25
1,93
28
Pete
Parkia speciosa Hassk.
Leguminosae
0,25
1,43
0,12
1,80
29
Kanyere
Bridelia monoica L.
Euphorbiaceae
0,25
1,43
0,12
1,80
30
Cingcanan
Morinda bracteosa Hort.
Rubiaceae
0,25
1,43
0,12
1,80
Total
Keterangan: Kr Fr Dr NP
210
: Kerapatan relatif : Frekuensi relatif : Dominansi relatif : Nilai penting
Cyperaceae
Rubiaceae
100,00 100,00 100,00 300,00
Karakteristik Lahan Habitat .....(Pratiwi)
Lampiran 2. Nilai penting jenis tumbuhan bawah di Dramaga No.
Nama daerah
Nama botani
Famili
Kr (%)
Fr (%)
Dr (%)
NP (%)
29,41
16,72
28,08
74,21
11,76
11,03
34,25
57,04
1
Pakis
Dictyopteris irregularis Presl.
Polypodaceae
2
Seuseureuhan
Piper aduncum Linn.
Piperaceae
3
Tales
Alocasia sp.
Araceae
5,89
16,72
20,55
43,16
4
Rumput pait Panicum barbatum Lamk.
Graminae
17,64
16,72
3,42
37,78
5
Rumput padi
Oryza grandulata Nees.
Gramínea
11,76
16,72
1,71
30,19
6
Areu
Micania scandens Willd.
Compositae
5,89
11,03
5,14
22,06
7
Babadotan
Ageratum conizoides Linn. Compositae
11,76
5,52
1,71
19,00
8
Pacine
Tapeinochilus teysmannianus K.Sch.
5,89
5,53
5,14
16,56
100,00
100,00
100,00
300,00
Total
Zingiberaceae
Keterangan: Kr : Kerapatan relatif Fr : Frekuensi relatif Dr : Dominansi relatif NP : Nilai penting
211
Lampiran 3. Nilai penting jenis tumbuhan bawah di Sukabumi No.
Nama daerah
Nama botani
Famili
Kr (%)
Fr (%)
Dr (%)
NP (%)
1
Jampang
Panicum distachyum Linn.
Gramínea
56.56
33.34
50,00
139,9
2
Rumput pait Panicum barbatum Lamk.
Graminae
24,24
16,67
17,87
58,94
3
Harendong
Clidenia hirta Don.
Melastomaceae
4,76
16,67
10,71
32,14
4
Babadotan
Ageratum conizoides Linn.
Compositae
7,74
8,33
14,28
30,35
5
Kirinyuh
Euphatorium pallascens DC. Compositae
2,38
16,67
3,57
22,62
6
Alang-alang Imperata cilíndrica Linn.
4,16
8,33
100,00
100,00
Total
Keterangan: Kr : Kerapatan relatif Fr : Frekuensi relatif Dr : Dominansi relatif NP : Nilai penting
212
Graminae
3,57 100,00
16,06 300,00
12 POTENSI DAN KONDISI REGENERASI ALAM GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) DI PROVINSI LAMPUNG DAN BENGKULU, SUMATERA Titiek Setyawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN Gaharu, dengan nama perdagangan “agarwood/aloe-wood/ eaglewood”, selama ini banyak dikenal sebagai bahan untuk membuat wangi-wangian, bahan obat serta juga kulitnya dapat dibuat untuk bahan tali atau kain (Puri, 2001; Heyne, 1987; Zuhud 1994). Gaharu banyak diproduksi di Indonesia, negara penghasil gaharu terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan habitat endemik beberapa jenis gaharu komersial dari marga Aquilaria, seperti A. malaccensis Lamk., A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filaria, dan lain-lain. Gaharu merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu yang banyak diminati oleh pasar luar negeri (Soehartono dan Newton, 2000). Bagi Suku Dayak Punan di Kalimantan Timur, gaharu merupakan komoditi hasil hutan non-kayu penting, karena merupakan sumber pendapatan terbesar yang memiliki nilai pasar tinggi (Kaskija, 2002). Indonesia merupakan salah satu eksportir terbesar produk gaharu dan sudah menyumbangkan sekitar 6,2 milyar rupiah ke kas negara pada tahun 1995. Jenis pohon penghasil gaharu menghasilkan resin yang memiliki aroma wangi dan jenis-jenis yang menghasilkan gaharu dengan
213
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
kualitas tinggi banyak diperdagangkan ke luar negeri. Gaharu dihasilkan dari proses pembusukan atau infeksi, baik batang maupun akar pohon secara kimiawi oleh beberapa jenis jamur. Resin yang dihasilkan memiliki aroma wangi yang merupakan ciri khas dalam menentukan kualitas gaharu. Pada umumnya gaharu diperdagangkan dalam tiga kelompok sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Dalam proses selanjutnya, masingmasing sortimen akan dibedakan lagi berdasarkan kelas mutunya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, gaharu ternyata dihasilkan tidak dari satu jenis pohon saja melainkan dari berbagai macam jenis. Menurut Sidiyasa (1986) dalam Mai dan Suripatty (1996), kedelapan jenis tersebut masuk dalam marga Aetoxylon (1 jenis), Aquilaria (2 jenis), Enkleia (1 jenis), Gonystylus (2 jenis), dan Wikstroemia (2 jenis). Dari beberapa pustaka yang ada, jenis pohon penghasil gaharu dari marga Aquilaria dan Wiekstroemia memiliki lebih dari 2 jenis (Sellato, 2001) yang tumbuh tersebar di Indonesia. Hampir sebagian besar jenis dapat ditemukan di Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, serta Irian Jaya. Potensi yang diperkirakan ada saat ini yaitu 1,87 pohon/ha (Sumatera), 3,37 pohon/ha (Kalimantan), dan 4,33 pohon/ha (Irian Jaya) (Anonim, 2007). Satu pohon biasanya dapat menghasilkan 0,5 sampai 4 kg gaharu dengan harga di tingkat pencari Rp 700.000,untuk kualitas super. Jenis yang saat ini banyak dipanen di Irian Jaya sudah sangat terancam keberadaannya, karena eksploitasi yang berlebihan (Zich dan Compton, 2001). Meskipun jumlah ekspor gaharu saat ini mengalami penurunan pesat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, informasi mengenai jenis, keberadaan serta potensi pohon penghasil gaharu yang ada di Indonesia sampai saat ini masih belum terkoleksi dengan baik. Bahkan beberapa jenis sudah menjadi langka akibat perburuan jenis-jenis tertentu yang tidak terkendali. Usaha budidaya jenis pohon penghasil gaharu juga belum banyak mengalami perkembangan yang nyata dan produk gaharu masih lebih banyak dipanen dari hutan alam. Karena eksploitasi yang intensif sehingga mengancam keberadaanya di alam, sejak tahun 1994 gaharu masuk dalam Appendix II daftar CITES (Soehartono dan Newton, 2001) dan bahkan semua jenis penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops
214
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
spp.) masuk dalam Appendix II CITES sejak tahun 2004. Mengingat keberadaan jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang mulai langka dan terancam punah, diperlukan upaya eksplorasi dan konservasi, baik ek-situ maupun in-situ. Mengingat semakin terancamnya keberdaan jenis pohon penghasil gaharu yang ada di habitat alaminya, maka diperlukan upaya serius dari berbagai macam pihak yang berkepentingan agar keberadaan jenis-jenis tersebut di Indonesia dapat dipantau, baik dari sisi potensi dan persebarannya. Dengan tersedianya informasi yang memadai, maka diharapkan tersedia bukti yang kuat menyangkut status jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia, diharapkan jenis ini dapat keluar dari daftar CITES sebagai jenis yang harus dilindungi, karena berbagai macam alasan yang menyangkut status konservasinya. Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi menyangkut aspek potensi dan persebaran gaharu (A. malaccencis Lamk.) di Provinsi Lampung dan Bengkulu, Sumatera. Selama beberapa dekade ini, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil gaharu terbesar (Direktorat Jenderal PHPA, 1997 dalam Soehartono dan Newton, 2000) dan sudah memberikan sumbangan kepada pemasukan negara sejumlah 6,2 milyar rupiah di tahun 1995. Harga gaharu saat ini sangat bervariasi tergantung dari kualitasnya. Dengan usia tanam dari 6 hingga 8 tahun gaharu mampu menghasilkan getah sekitar dua kilogram. Harga gaharu saat ini bervariasi mulai dari 5 juta hingga 20 juta rupiah per kilogramnya. Untuk jenis gaharu yang terbaik di kelasnya harganya bisa melebihi 20 juta rupiah per kilogram tergantung kualitasnya (Anonim, 2009). Mengingat harga gaharu yang demikian tinggi, maka tidaklah heran jika gaharu sangat dicari oleh para pedagang sedangkan pemanenan masih mengandalkan gaharu yang tumbuh di alam dan pencarian dilakukan oleh masyarakat lokal yang memiliki akses masuk ke dalam hutan. Masyarakat di lokasi hutan di Sumatera pada umumnya mengumpulkan gaharu dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari 3 sampai 5 orang. Kelompok tersebut biasanya akan tinggal di hutan selama lebih kurang seminggu untuk mencari
215
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
gaharu di pedalaman hutan. Pada saat ini, pencarian gaharu makin sulit akibat potensinya yang mulai menurun, sehingga orang harus tinggal lebih dari 2 minggu atau bahkan sebulan hanya untuk mendapatkan gaharu. Jika gaharu ditemukan, maka mereka akan menebang pohonnya secara manual menggunakan kampak. Seringkali terjadi bahwa kualitas gaharu tidak seperti yang mereka inginkan dan pada akhirnya pohon yang sudah terlanjur ditebang ditinggalkan begitu saja di hutan.
METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian 1. Lampung Survei jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Provinsi Lampung dilakukan di satu lokasi yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Hutan Biha) dan dua lokasi di luar kawasan TNBBS, yaitu di Hutan Bukit Rupi dan Hutan Gunung Sugih, tepatnya di Kabupaten Lampung Tengah. Kawasan Hutan Bukit Rupi berada di Desa Segala Midar, Kecamatan Pubian, Kabupaten Lampung Tengah. Kondisi topografi di hutan alam ini sedikit berbukit dengan beberapa lokasi memiliki kelerengan hingga 35 derajat. Kawasan Hutan Bukit Rupi berada di luar kawasan TNBBS namun demikian merupakan kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Tengah. Kondisi hutan sebagian sudah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dan ladang masyarakat. Namun demikian masih ada beberapa lokasi hutan alam, dimana ditemukan tegakan gaharu yang masih utuh. Kawasan Hutan Biha masuk dalam Blok Hutan Podomoro, Resort Biha, Seksi Krui. Lokasi survei berada di Desa Sumur Jaya, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat. Areal penelitian masuk dalam Seksi Konservasi Wilayah II Krui dengan luas kawasan ± 96,884 ha dengan cakupan wilayah meliputi Resort Merpas, Pugung
216
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Tampak, Krui, dan Biha. Lokasi penelitian secara detil tertera pada Gambar 1. Kawasan hutan TNBBS ini terletak di ujung selatan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan dan secara geografis berada pada 4031’5057’ LS dan 103024’1 0 4 0 BT s e d a n g k a n secara administratif p e n ge l o l a a n te r b a g i d a l a m t i g a w i l aya h pengelolaan, yaitu Seksi Konservasi Wilayah I Liwa. Gambar 1. Peta lokasi survei dan pengamatan
S e k s i Ko n s e r va s i jenis-jenis pohon penghasil gaharu Wilayah Krui, dan Seksi di Provinsi Lampung Konservasi Wilayah III Sukaraja. Topografi kawasan ini bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 0-1.964 m dpl. Curah hujan ratarata di bagian barat adalah 3.000-3.500 mm/th sedangkan di bagian timur 2.500-3.000 mm/ th.
2. Bengkulu Lokasi kedua kawasan hutan sangat berdekatan dengan Tahura Rojolelo yang terletak di antara 03 42’-03 44’LS sampai 102 21’BT dan berada di ketinggian 10-30 m dpl. Waktu tempuh dari pusat kota Bengkulu sekitar 30 menit dengan jarak sekitar 20 km (Gambar 2).
217
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Gambar 2. Lokasi penelitian di Kawasan Hutan Binjai Temula (Kec. Talang Empat) dan Pungguk Gambo (Kec. Pondok Kelapa), Bengkulu Utara
Kawasan hutan dekat Desa Tanjung Terdana sebagian besar sudah dikonversi menjadi areal persawahan dan perkebunan masyarakat. Tanaman yang umum ditanam antara lain padi, kelapa sawit, karet, pisang, jeruk, jati, dan tanaman palawija lainnya.
BAHAN DAN ALAT A. Bahan dan Alat Bahan yang dijadikan sebagai obyek kegiatan ekologi, fenologi, dan potensi sebaran jenis pohon penghasil gaharu ini adalah semua jenis pohon yang diduga menghasilkan gaharu yang terdapat di kawasan hutan lindung. Alat yang digunakan untuk pengambilan data di lapangan, baik primer dan sekunder, antara lain alkohol 96%, kamera digital, GPS Garmin 12 satelit, kompas, larutan sub-limat, kertas koran, kantung plastik, karung plastik, kertas gambar spesial, kertas plak herbarium, alat plak herbarium, tinta gambar spesial, pena/alat gambar, tambang nilon, dan tali rafia.
B. Prosedur Kerja Kajian lapangan di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Barat dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2007 sedangan
218
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu dilaksanakan dua kali, yaitu pada bulan Oktober dan Desember 2008. Pengamatan pertama di Bengkulu dilaksanakan di Hutan Lindung Kelompok Hutan Binjai Temula, Desa Dusun Baru, Kecamatan Talang Empat dan yang kedua di Hutan Lindung Kelompok Hutan Pungguk Gambo, Desa Tanjung Terdana, Kecamatan Pondok Kelapa. Waktu pengamatan lapangan masing-masing selama 8 dan 10 hari. Kegiatan pengamatan dan pengukuran di lapangan dikerjakan oleh seorang peneliti, 3 orang teknisi, dan 5 orang tenaga teknis lapangan. 1. Pengamatan dan analisis gaharu meliputi beberapa macam kegiatan, antara lain: 2. Pengumpulan data lapangan, baik secara langsung melalui wawancara dengan masyarakat yang tinggal di dekat dan sekitar hutan maupun tidak langsung dengan cara melakukan kajian pustaka. Kuesioner dipersiapkan sebelum kegiatan lapangan dilakukan. 3. Koleksi data primer di lapangan mencakup keanekaragaman jenis pohon penghasil gaharu dan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya dengan menggunakan metode eksplorasi dalam jalur-jalur yang sistematik. Panjang tiap jalur eksplorasi yaitu 1 km dengan jarak antar jalur 500 m. Eksplorasi dilakukan di berbagai kondisi hutan, baik di lahan kering maupun lahan basah. Ketinggian tempat di lahan kering ada 3 macam, yaitu antara 0-200 m, 200-500 m, dan lebih dari 500 m dpl dengan topografi yang berbeda, yakni topografi datar (kemiringan lereng kurang dari 10%) dan bergelombang berat (kemiringan 25% atau lebih). Beberapa contoh pohon akan diambil untuk keperluan identifikasi dan koleksi herbarium. Untuk itu digunakan blanko isian mencakup data pohon, data kondisi lingkungan tempat tumbuh, dan data penggunaan tradisional penduduk setempat. Di samping itu dibuat juga blangko isian tersendiri yang digunakan untuk bahan wawancara dengan penduduk yang berisi pertanyaan-pertanyaan menyangkut berbagai macam informasi tentang karakter jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang dikenal oleh penduduk setempat.
219
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
4. Mengadakan pendugaan potensi dan sebarannya dengan menggunakan metode titik pusat kuadran (quadrant center point method) sepanjang jalur eksplorasi dengan jarak antara titik pertama dan titik berikutnya 50 m. Pada tiap titik pusat kuadran dilakukan perisalahan 4 individu pohon penghasil gaharu atau pohon lainnya yang terdekat dengan titik pusat atau 1 individu pohon pada tiap kuadran. Individu pohon tersebut yang dirisalah dibatasi jarak terjauh 25 m dari titik pusat kuadran dan diameter batangnya 20 cm atau lebih. Pendataan pohon meliputi nama jenis, diameter batang, dan tinggi pohon. 5. Estimasi regenerasi jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang terdapat di kawasan hutan dengan cara menghitung permudaan tingkat semai (tinggi kurang dari 150 cm), tingkat pancang (tinggi lebih dari 150 cm dengan diameter kurang dari 10 cm) dan tingkat tiang (diameter 10-20 cm) di sekitar titik pusat kuadran. Jika anakan yang pertama ditemukan berada jauh dari pohon induk, maka dibuat risalah anakan menggunakan metoda jalur transek sepanjang 1 km dari titik anakan pertama ditemukan. Jarak anakan pertama dengan pohon induk diukur. Selanjutnya dibuat petak 10 m x 10 m di setiap selang 200 m dari jalur transek. 6. Pengidentifikasian jenis-jenis pohon penghasil gaharu dan proses koleksi herbarium dari kegiatan eksplorasi. 7. Penggambaran lukisan spesimen herbarium jenis pohon penghasil gaharu. 8. Pengolahan data hasil wawancara dengan masyarakat lokal. 9. Pengolahan data potensi keberadaan jenis pohon penghasil gaharu dan wilayah sebarannya yang terdapat di dalam kawasan hutan alam. 10. Penulisan deskripsi jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang disertai gambar lukisan spesimen herbarium. 11. Pembuatan tally sheet untuk mengisi data tentang masa berbunga dan berbuah jenis-jenis pohon penghasil gaharu. Penduduk yang tinggal di dekat kawasan diminta untuk mengisi blanko kosong yang harus diisi dengan informasi kapan masa
220
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
berbunga, jumlah buah dan bunga (persentase), jumlah pohon yang berbuah dan berbunga, kondisi iklim atau cuaca pada saat berbunga atau berbuah (hujan, panas, kering, dan sebagainya) dan mengisi data curah hujan.
C. Analisis Data 1. Beberapa definisi dan kalkulasi yang digunakan dalam analisis vegetasi, antara lain: 2. Kepadatan: jumlah individu per plot (100 m2). 3. Frekuensi: jumlah unit contoh (10 m x 10 m), di mana jenis ditemukan. 4. Luas Bidang Dasar (LBD): luasan bagian melintang dari batang >20 cm sebatas dada (diameter of breast height (dbh)). Luas bidang dasar untuk tiap plot dijumlah untuk memperoleh LBD tiap pohon dengan menggunakan rumus: LBD (m2) = pi x d (diameter dalam m)2/4 (Kent dan Coker, 1992). 5. Nilai Penting (NP): perkiraan secara keseluruhan pentingnya suatu jenis pohon di dalam komunitas lokalnya. Nilai NP ini diperoleh dengan cara menjumlahkan Dominansi Relatif (DoR), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Relatif (FR) dari jenis tertentu. DR merupakan rasio total luas bidang dasar dari suatu jenis terhadap jumlah total luas bidang dasar dari seluruh jenis yang ada, KR merupakan rasio jumlah individu dari suatu jenis terhadap jumlah total jenis di dalam plot dan FR merupakan rasio frekuensi dari suatu jenis terhadap total frekuensi seluruh jenis di dalam plot (Kent dan Coker, 1992, Krebs, 1999, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan di Lampung Hasil pengamatan yang diperoleh dalam rangka melakukan kajian potensi sebaran jenis A. malaccensis Lamk. di Provinsi Lampung ini menunjukkan bahwa di beberapa lokasi di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini masih terdapat
221
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
tegakan alam pohon gaharu meskipun jumlah dan potensi regenerasi alamnya tampak mengalami penurunan seperti yang ada di Kawasan Hutan Biha. Di beberapa tempat juga tampak tandatanda bekas perambahan hutan yang tentunya sebagian besar untuk mengambil kayu gaharu. Khusus di Bukit Rupi, jumlah tegakan pohon, sapling, dan anakan yang ditemukan pada enam plot sampel tampak cukup banyak. Tampaknya tidak banyak gangguan seperti pengambilan gubal gaharu di kawasan ini. Kemungkinan hal ini disebabkan akses ke dalam kawasan hutan yang relatif sulit dibandingkan dengan Kawasan Hutan Biha. Tampak pada Gambar 3 kecambah gaharu yang tumbuh melimpah menyerupai permadani di bawah tegakan induknya yang ditemukan di Kawasan Hutan Bukit Rupi, Lampung Tengah. Di lokasi ini juga dijumpai tegakan pohon penghasil gaharu alami yang tumbuh Gambar 3. Anakan gaharu yang ditemukan tumbuh secara besar di wilayah perkebunan alami di Kawasan Hutan Bukit milik masyarakat (Gambar Rupi, Lampung Tengah 4). Tegakan dapat dikatakan alami, karena berdasarkan wawancara dengan pemilik kebun, mereka tidak merasa menanam pohon penghasil gaharu dan menemukan pohon tersebut tumbuh di halaman kebun mereka. Kemungkinan besar biji gaharu terbang dan menemukan media yang baik untuk tumbuh besar di kebun milik penduduk tersebut. Namun demikian, belum ada laporan bahwa pohon tersebut pernah menghasilkan gaharu atau terinfeksi oleh patogen. Nampak bahwa kondisi batang tegakan pohon sangat halus dan tidak ditemukan cacat pohon. Jumlah pohon gaharu yang dapat ditemukan di Bukit Rupi, Lampung Tengah tertera pada Tabel 1. Hasil pengamatan regenerasi alam jenis gaharu di Kawasan Hutan Way Waya, Gunung Sugih, Lampung Tengah menunjukkan 222
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
perkembangan yang sedikit berbeda dengan yang ada di Bukit Rupi, meskipun lokasinya sama-sama di satu kabupaten. Tampak bahwa tidak satu pun jenis penghasil gaharu ditemukan di petak sampel (Tabel 2) di antara 13 jenis pohon hutan yang berhasil diidentifikasi di laboratorium Botani Hutan. Sedangkan jumlah pohon gaharu dan potensi regenerasi alam yang ada di beberapa cuplikan sampel plot di Kawasan Hutan Biha tertera pada Tabel 3. Tampak bahwa potensi tegakan alam dan regenerasi alam yang ada di Hutan Biha sangat sedikit, namun bukan sama sekali tidak ditemukan seperti di Kawasan Hutan Gunung Sugi, Lampung Tengah. Kurangnya jumlah pohon ini dimungkinkan dengan semakin terbukanya akses ke dalam kawasan hutan lindung, sehingga pemungut kayu gaharu setiap saat dapat secara kebetulan maupun ada juga yang dengan niat keras, menemukan jenis gaharu tersebut. Nampak pula bahwa sebagian besar masyarakat sudah banyak mengetahui nilai ekonomis dari gaharu, sehingga kemungkinan sejak dahulu sudah banyak masyarakat yang memanfaatkan gaharu yang tumbuh alami namun hal ini tidak dibarengi dengan upaya budidayanya.
Gambar 4. Tegakan pohon A. malaccensis Lamk. yang ditemukan tumbuh secara alami di perkebunan milik masyarakat yang lokasinya berbatasan dengan Kawasan Hutan Bukit Rupi, Lampung Tengah
223
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Gambar 5. Penduduk setempat yang sudah melakukan upaya bu-didaya penanaman pohon gaharu (A. malaccensis Lamk.) di kebun miliknya di Kawasan Hutan Gunung Sugih, Lampung Tengah Tabel 1. Jumlah pohon, pancang, dan anakan A. malaccensis Lamk. yang ditemukan di tiap-tiap plot sampel di Kawasan Hutan Bukit Rupi, Lampung Tengah No. plot
Jumlah pohon (> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
26
34
14
2.
9
15
21
3.
8
21
30
4.
14
16
14
5.
16
19
11
6.
8
17
9
Tabel 2. Jumlah pohon, pancang, anakan dan semai beberapa jenis pohon alami yang ada dalam 50 plots penelitian di Kawasan Hutan Way Waya, Gunung Sugih, Lampung Tengah Pohon No
Nama jenis
Tiang
Pancang
Semai
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
1
Artocarpus elasticus
15
45
2
6
0
0
0
0
2
Ganophyllum falcatum
5
10
0
0
4
15
0
0
3
Bombax valetonii
4
5
0
0
2
4
0
0
224
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Pohon No
Nama jenis
Tiang
Pancang
Semai
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
Plot
Batang
4
Pterospermum diversifolium
4
5
4
8
6
18
4
8
5
Laportea stimulans
0
0
1
4
5
17
12
20
6
Vitex sp.
3
7
5
12
0
0
11
23
7
Ficus sp.
3
5
4
8
2
7
10
15
8
Artocarpus sp.
2
3
1
2
0
0
0
0
9
Alstonia angustifolia
4
5
2
5
3
10
6
12
10
Pometia pinnata
2
3
5
8
0
0
12
23
11
Cananga odorata
3
5
5
6
2
7
5
12
12
Litsea sp.
2
3
4
5
0
0
13
20
13
Hibiscus macrophyllus
1
1
4
5
2
3
0
0
Tabel 3. Jumlah pohon, pancang, dan anakan A. malaccensis Lamk. yang ditemukan di tiap-tiap plot sampel di Kawasan Hutan Bukit Biha, Lampung Barat No. plot
Jumlah pohon (> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
2
-
3
2.
-
1
8
3.
-
2
5
4.
-
4
12
Berdasarkan informasi penduduk yang tinggal di Kawasan Hutan Lindung Bukit Sugih (Register 22 Way Waya) bahwa jenis pohon gaharu sudah sulit dijumpai karena adanya pembalakan hutan maupun adanya pencari gaharu di masa lampau. Namun demikian masih terdapat beberapa pohon penghasil gaharu alami yang tersisa di daerah hutan belukar, oleh karena itu pembuatan plot dilakukan di hutan belukar tersebut. Pohon gaharu yang masih ada di Kawasan Hutan Register 22 Way Waya, Desa Sendang Baru, Kecamatan Sendang Agung, Kabupaten
225
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Gunung Sugih, Lampung Tengah, hanya tinggal sekitar 5 pohon, itu pun terbagi tempatnya menjadi tiga titik dengan jarak tempuh yang berbeda. Titik yang terdekat berjarak sekitar 5 km dengan jarak tempuh sekitar 1 jam berjalan kaki. Adapun jenis pohon penghasil gaharu yang ditemui hanya satu jenis yaitu A. malaccensis Lamk. (Thymelaeaceae). Dari 50 plot yang dibuat terdapat 5 plot yang dijumpai pohon penghasil gaharu, masing-masing satu batang pohon yang berdiameter 20 cm, 25 cm, 28 cm, 30 cm, dan 34 cm, sedangkan tingkat tiang tidak dijumpai, tingkat pancang hanya satu batang, dan tingkat anakan terdapat 3 plot dengan jumlah masing-masing 30, 85, dan 102 batang.
Gambar 6. Tegakan pohon A. malaccensis Lamk. (kiri) dan anakan yang tumbuh di bawahnya (kanan) di lokasi Kawasan Hutan Biha, Lampung Barat
226
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
B. Hasil Pengamatan di Kawasan Hutan di Provinsi Bengkulu Hasil menunjukkan bahwa A. malaccensis Lamk. merupakan jenis yang ditemukan di kedua lokasi penelitian di Bengkulu Utara, yaitu di Kelompok Hutan Binjai Temula, Desa Dusun Baru, Kecamatan Talang Empat dan Kelompok Hutan Pungguk Gambo, Desa Tanjung Terdana, Kecamatan Pondok Kelapa. Kedua lokasi berada di Provinsi Bengkulu dan kedua kawasan juga masuk dalam kawasan hutan lindung. Sampai saat ini masih terdapat perburuan gaharu di hutan alam dan bahkan masyarakat atau penduduk lokal mengumpulkan anakan pohon gaharu (semai dan pancang) dari hutan alam untuk diperdagangkan. Hal ini terjadi terutama di Kawasan Lindung Kelompok Hutan Pungguk Gambo. Jumlah pohon penghasil gaharu dan potensi regenerasi alam yang ada di beberapa cuplikan sampel plot di Kawasan Hutan Binjai Temula tertera pada Tabel 4. Tampak bahwa potensi tegakan alam dan regenerasi alam yang ada di Kawasan Binjai Temula ini sangat sedikit. Hal ini dimungkinkan dengan semakin terbukanya akses ke dalam kawasan hutan lindung dan kemungkinan besar juga adalah tingkat reproduksi tegakan yang mulai berkurang. Sedangkan jumlah pohon gaharu dan potensi regenerasi alam yang ada di beberapa cuplikan sampel plot di Kawasan Hutan Pungguk Gambo tertera pada Tabel 5. Kondisi regenerasi di kawasan ini hampir sama dengan kawasan yang sebelumnya, yaitu Binjai Temula. Tampak bahwa jumlah pohon sangat sedikit dan menurut informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar, sebagian besar masyarakat sudah banyak mengetahui nilai ekonomis dari gaharu, sehingga sejak dahulu sudah banyak memanfaatkan gaharu yang tumbuh alami. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di Kelompok Hutan Binjai Temula, A. malaccensis Lamk. memiliki indeks nilai penting yang cukup tinggi pada tingkat pohon, yaitu 39,86% (urutan kedua setelah Cinnamomum porectum (Roxb.) Kostm. (57,20%). Tegakan gaharu pada tingkat tiang dan pancang tidak ditemukan pada plot sampel namun mendominasi pada tiangkat seedling (38,72%). Berdasarkan angka nilai pentingnya, pada Kawasan Lindung Kelompok Hutan
227
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Pungguk Gambo, pohon penghasil gaharu (>20 cm) menduduki urutan keempat (43,20%) setelah Vitex pubescens Vahl. (90,55%), C. porectum (Roxb.) Kostm. (67,30%), dan Garcinia diocia Blume (56,82%). Tegakan tidak ditemukan di tingkat tiang dan hanya memiliki nilai penting 3,59% pada tingkat pancang dan berada di urutan keempat (19,48%) untuk tingkat seedling atau semai. Pada plot sampel di lokasi Pungguk Gambo, banyak ditemukan kecambah atau biji-biji yang mulai berkecambah di bawah pohon induknya serta beberapa anakan dengan pertumbuhan yang cukup sehat (Gambar 7).
Gambar 7. Kecambah atau biji yang mulai tumbuh (kiri) dan beberapa anakan mulai tinggi (kanan) di areal Kelompok Hutan Pungguk Gambo
Tabel 4. Jumlah pohon, pancang, dan anakan A. malaccensis Lamk. yang ditemukan di tiap-tiap plot sampel di Kawasan Hutan Binjai Temula, Bengkulu Utara No. plot
Jumlah pohon (> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
1
0
0
2.
1
0
3
3.
0
0
1
4.
1
0
2
5.
1
0
3
6.
0
0
2
228
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
No. plot
Jumlah pohon (> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
7
1
0
2
8
0
0
1
9
0
0
3
10
1
0
3
Tabel 5. Jumlah pohon, pancang dan anakan A. malaccensis Lamk. yang ditemukan di tiap-tiap plot sampel di Kawasan Hutan Pungguk Gambo No. plot
Jumlah pohon (> 10 cm)
Jumlah pancang
Jumlah anakan
1.
1
0
0
2.
0
0
0
3.
1
2
0
4.
0
0
0
5
1
0
0
6
0
0
3
7
0
0
0
8
0
0
4
9
0
0
0
10
0
0
0
Biji yang mulai berkecambah tersebut tumbuh sangat rapat dan pada umumnya hanya bertahan beberapa hari saja, karena akan dipungut oleh penduduk untuk diperdagangkan. Namun demikian semai/seedling berukuran tinggi di atas 10 cm saja dihitung dalam petak pengamatan (2 m x 2 m) untuk memperoleh angka nilai penting. Tegakan pada tingkat pohon terlihat sangat rapat (Gambar 8) dan pada sebagian petak sampel terdapat pohon dengan ukuran diameter yang cukup besar namun belum menampakkan tandatanda terjadinya pembusukan yang mengakibatkan terbentuknya gaharu (Gambar 9). Pada umumnya pohon mulai berbunga dan berbuah pada umur 5 sampai 6 tahun bahkan pohon berukuran sedang bisa menghasilkan biji kurang lebih 1,5 kg pada musim yang baik. Masa
229
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
berbunga dan berbuah biasanya terjadi pada bulan-bulan kering. Di Sumatera, masa berbunga dan berbuah 2 kali dalam setahun.
Gambar 8. Tegakan gaharu yang rapat
Gambar 9. Pohon gaharu dengan diameter ≥ 50 cm
Pohon berbunga pada bulan Juli dan Agustus dan menghasilkan buah matang pada bulan November-Desember. Pembungaan pada bulan Maret-April akan menghasilkan buah di bulan Juli-Agustus (Adelina, 2004). Buah yang matang berwarna coklat kehitamhitaman. Buah ini harus langsung dipanen dari pohonnya. Masalah utama di lapangan adalah penyakit pada anakan yang disebabkan oleh serangga kecil yang hinggap di ujung daun anakan, menghisap cairan daun dan menyebabkan helai pucuk daun bergulung dan mengakibatkan anakan menjadi kerdil. Petani menggunakan pestisida jika perlu untuk membasmi serangga ini. Perkecambahan biji dan anakan yang muda sangat rentan terhadap penyakit damping off yang disebabkan oleh jamur (Kundu dan Ka-chari, 2000, Sumarna et al.. 2001). Penyakit seperti ini tidak ditemukan di lokasi penelitian di Bengkulu Utara. Meskipun ada,
230
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
dilaporkan hanya sedikit di beberapa tempat saja. Bisanya petani akan membuang anakan yang sakit. Estimasi potensi stock kayu gaharu di Indonesia yaitu 1,87 pohon/ha di Sumatera, 3,37 pohon/ha di Kalimantan, dan 4,33 pohon/ha di Papua. Tampak bahwa stock di kawasan hutan di Sumatera lebih rendah dibandingkan dengan kawasan hutan yang ada di Kalimantan dan Papua. Meskipun tampak bahwa di kawasan Bengkulu Utara di sebagian tempat tampak rapat namun keberadaan pohon penghasil gaharu sendiri tidak menjamin adanya resin gaharu. Beberapa peneliti menduga bahwa hanya 10% dari pohon Aquilaria yang mengandung gaharu. Indonesia merupakan eksportir utama produk gaharu dan dengan tingginya permintaan pasar akhir-akhir ini serta tingginya harga yang ditawarkan di pasar dunia, maka banyak kolektor yang tidak berpengalaman pada akhirnya ikut mengeksploitasi gaharu di alam. Sebagai akibatnya populasinya di alam makin lama makin berkurang. Saat ini gaharu sudah masuk dalam Appendix II CITES. Namun hal ini tidak mengurangi kerusakan dan berkurangnya populasi gaharu di alam (Anonim, 2007, Soehartono dan Newton, 2001).
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan estimasi potensi regenerasi alam jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tumbuh di hutan alam di beberapa lokasi contoh di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Barat, tampak bahwa potensi tegakan alam A. malaccensis Lamk. sudah mengalami penurunan populasi. Demikian pula dengan potensi regenerasinya yang ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah semai maupun anakan yang ada di bawah tegakan alam. 2. Hasil pengamatan di dua lokasi contoh di Kabupaten Bengkulu Utara, tampak bahwa potensi tegakan alam A. malaccensis Lamk. masih banyak namun demikian kondisinya saat ini menghadapi ancaman penurunan populasi di berbagai tingkatan umur
231
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
tegakan, terutama di tingkat seedling dan sapling. Akibatnya bagi proses regenerasi alaminya terjadi kekosongan tegakan pada tingkat tiang, sehingga potensi regenerasi alami akan mengalami hambatan karena ketidakseimbangan pertumbuhan di setiap tingkatan terutama tidak terjadinya pertumbuhan mencapai tingkat tiang. Berlainan dengan temuan yang ada di Provinsi Lampung, di Bengkulu ditemukan adanya laporan serangan serangga yang menyebabkan pertumbuhan tegakan gaharu menjadi kerdil. Untuk data masa pembungaan dan berbuah sampai saat penelitian belum dapat diperoleh mengingat masa pengamatan tidak bertepatan dengan masa berbunga dan berbuah. 3. Kawasan hutan di Provinsi Lampung dan Bengkulu memiliki potensi yang cukup baik untuk dijadikan areal sumberdaya genetik untuk jenis A. malaccensis Lamk, mengingat potensi jenis gaharu yang masih tampak baik. Meskipun ada beberapa lokasi sampel dengan kondisi tegakan pohon dewasa yang sangat kurang, akibat pemanenan gaharu yang kurang memperhatikan aspek kelestarian.
B. Saran Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Barat memiliki potensi tegakan alam gaharu yang cukup merata meskipun di beberapa lokasi jumlah sampelnya tidak memadai. Tampak pula terjadi pemanfaatan kayu gaharu di alam yang kurang mengindahkan aspek kelestarian, sehingga diperlukan penyuluhan bagi masyarakat setempat terutama penduduk yang tinggal berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan kawasan hutan lindung. Sedikit lebih baik dari kondisi gaharu di Provinsi Lampung, kawasan hutan di Provinsi Bengkulu, khususnya Kabupaten Bengkulu Utara memiliki potensi tegakan alam gaharu yang juga cukup baik dilihat dari sisi populasi tegakan alaminya. Meskipun demikian jenis pohon ini mengalami ancaman serius akibat perburuan, tidak hanya pohonnya namun juga anakan alaminya. Sebagian besar penduduk memperjualbelikan anakan alami untuk
232
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
dikembangkan lebih lanjut atau ditanam di kebun masyarakat ataupun dijual ke luar daerah Bengkulu. Mengingat masih terjadi pemanfaatan kayu gaharu di alam yang kurang mengindahkan aspek kelestarian, terutama gangguan terhadap proses regenerasi alaminya, maka diperlukan penyuluhan atau pendidikan konservasi bagi masyarakat setempat terutama penduduk yang tinggal berdekatan dengan kawasan hutan lindung yang merupakan habitat alami jenis pohon penghasil gaharu ini.
DAFTAR PUSTAKA Adelina, N. 2004. Aquilaria malaccensis Lamk. Seed Leaflet No. 103. Forest & Landscape Denmark. December 2004. Anonim, 2009. Siapkan Masa Depan, Ayo Tanam Gaharu. Ko m p a s o n l i n e : h t t p : / / r e g i o n a l . k o m p a s .c o m / r e a d / xml/2009/07/24/1300220/siapkan.masa.depan.ayo.tanam. gaharu Anonim. 2007. Gaharu (Aquilaria). Media on line : http// www. wwf.or.id/index.php?fuseactian=whatwedo.species_gaharu. Downloaded: 24 Januari 2007. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol. I, II, III, dan IV. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Kaskija, L. 2002. Claiming the Forest. Punan Local Histories and Recent Developments in Bulungan, East Kalimantan. CIFOR. Indonesia. Kent, M. dan P. Coker. 1992. Vegetation Description and Analysis : A Practical Approach. CRC Press, Behalven Press. Krebs, C. J. 1994. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper Collins College Publishers. Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology. Jim Green. Kundu, M. dan J. Kachari. 2000. Desiccation Sensitivity and Recalcitrant Behaviour of Seeds of Aquilaria agallocha Roxb. Seed Science and Technology.
233
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Mai, R.R. dan B.A. Suripatty. 1996. Pengaruh Wadah Penyimpanan dan Kelas Diameter Terhadap Pertumbuhan Stump Wikstroemia polyantha. Buletin Penelitian Kehutanan 1(1). Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, Irian Jaya. Puri, R.K. 2001. Bulungan Ethnobiology Handbook. East West Center-Prosea- CIFOR. CIFOR, Bogor, Indonesia. Sellato, B. 2001. Forest, Resources and People in Bulungan. Elements for a History of Settlement. Trade and Social Dynamics in Borneo, 1880-2000. CIFOR. Indonesia. Soehartono, T. dan A.C. Newton. 2000. Conservation and Sustainable Use of Tropical Trees in the Genus Aquilaria I. Status and Use in Indonesia. Biological Conservation No. 96. Soehartono, T. dan A.C. Newton. 2001. Conservation and Sustainable Use of Tropical Trees in the Genus Aquilaria II. The Impact of Gaharu Harvesting in Indonesia. Biological Conservation No 97. Sumarna, Y., A. Syaffari, dan N. Mindawati. 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk). Zich, F. dan J. Compton. 2001. Agarwood (Gaharu) Harvest and Trade in Papua New Guinea : A Preliminary Assessment. An information Document Prepared by TRAFFIC Oceania for the Eleventh Meeting of the CITES Plants Committee, with reference to CITES Decisions 11.112 and 11.113 Regarding Aquilaria spp. Canberra, Australia, Centre for Plant Biodiversity Research, CSIRO Plant Industry. Zuhud, E.A.M. 1994. Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia, Latin, Bogor.
234
Potensi dan Kondisi .....(Titiek Setyawati)
Lampiran 1. Daftar jenis pohon yang di survei dalam plot pengamatan gaharu di Bukit Rupi, Lampung Tengah No
Nama lokal
Nama botanis
Famili
1
Kayu alim
Aqualaria malaccensis Lamk.
Thymelaeaceae
2
Leban
Vitex pubescens Vahl.
Verbenaceae
3
Kelat
Eugenia grandis Wight
Myrtaceae
4
Kelepu
Neonauclea calycina Merr
Rubiacea
5
Putat
Barringtonia sp.
Lecythidiaceae
6
Lahu
Ficus variegata Bl.
Moraceae
7
Ketaran
Artocarpus anisophyllus Reinw.
Moraceae
8
Kilada
Cinnanmomum porectum (Roxb.) Kosterm.
Lauraceae
9
Simpur
Dillenia excelsa Gieg.
Dilleniaceae
10
Terap
Artocarpus elasticus Reinw.
Moraceae
11
Sepat
Carallia brachiata Merr
Rhizophoraceae
12
Rempelas
Tetracera indica L.
Dilleniaceae
13
Lingkem
Selaginella plana Hiern.
Selaginelaceae
14
Ranggung
Dillenia sumatrana Miq.
Dilleniaceae
15
Ancau
Clausena excavata Burm.
Rutaceae
16
Cempaka
Evodia aromatica Blume
Rutaceae
17
Pulai
Alstonia angustiloba Miq.
Apocynaceae
18
Lupang
Comersonia bartamia Merr
Sterculiaceae
19
Medang
Dehaasia caesia Blume
Lauraceae
20
Kedukduk
Clidenia hirta don
Melastomataceae
21
Gio
Kibessia azurea DC.
Melastomataceae
22
Kemutul
Cratoxylum formosum Dyer.
Hypericaceae
23
Seru
Schima wallichii Korth.
Theaceae
24
Asam Kandis
Garcinia dioica Bl.
Guttiferae
25
Nerung
Parasponia parvifolia Miq.
Ulmaceae
26
Petai
Parkia speciosa Hassk.
Mimosaceae
27
Sebasah
Strombosia javanica Blume
Olacaceae
28
Beruas
Garcinia celebica L.
Guttiferae
29
Tepa
Cinnamomum iners Blume
Lauraceae
30
Sago
Peltophorum grande prain
Celasteraceae
31
Sidi
Eurya acuminata APDC.
Theaceae
32
Nyari
Antidesma tetandrum Blume
Euphorbiaceae
33
Sungkai
Peronema canescens Jack
Verbenaceae
235
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI
Lampiran 2. Daftar jenis pohon yang ada di dalam Kelompok Hutan Binjai Temula, Desa Dusun Baru, Kecamatan Talang Empat, Bengkulu Utara No
Nama lokal
Nama botanis
Famili
1
Karas
Aquilaria malaccensis Lamk
Thymelaceae
2
Gadis
Cinnamomum porectum (Roxb.) Kostrm
Lauraceae
3
Leban
Vitex pubescens Vahl
Verbenaceae
4
Marapuyan
Rhodamnia cinerea Jack
Myrtaceae
5
Petai
Parkia speciosa Hassk
Leguminosae
6
Berawas
Litsea odorifera T et B
Lauraceae
7
Sipo
Dillenia exelsa Gilg
Dilleniaceae
8
Terap
Artocarpus elasticus Reinw
Moraceae
9
Jering
Archidendron jiringa (Jack) Nielsen
Leguminosae
10
Tetak Tunjuk
Canarium dichotonum Miq
Burseraceae
11
Semipis
Baccaurea racemosa Muell Arg
Euphorbiaceae
12
Kademe
Croton argyratus Blume
Euphorbiaceae
13
Semuting
Neonauclea calycina Merr
Rubiaceae
14
Seubo-ubo
Glochidion zeylanicum Juss
Euphorbiaceae
15
Kemutun
Cratoxylum formosum (jack) Dyer
Hyperiaceae
16
K.Gambir
Styrax benzoind Dryand
Styraxaceae
17
Ketepung
Vernonia arborea Ham.
Compositae
18
K.Angit
Clausena exavata
Rutaceae
19
Jungjung bukit
Actinodaphne glabra Blume
Lauraceae
20
Sugi
Orophea sp
Annonaceae
21
Sipunan
Pleomele elliptica H.Br
Liliaceae
22
Kenidai
Bridelia monoica Merr
Euphorbiaceae
23
Kendung
Symplocos cochinchinense Lour
Symplocaceae
24
Naran
Horsfieldia glabularis Warb
Myristicaceae
25
Kandis
Garcinia dioica Blume
Guttiferae
26
Kbg Saka/ Seketut
Aporusa sp.
Euphorbiaceae
27
Pelangas
Aporusa aurita Miq
Euphorbiaceae
28
Lulus
Cratoxylum sumatranum (Jack) Blume
Hyperiaceae
29
Gamat
Elaeocarpus stipularis Blume
Elaeocarpaceae
30
Marabikang
Ixonanthes petiolaris Blume
Linnaceae
31
Kemalau
Litsea firma Hook.f
Lauraceae
32
Gelam Abang
Eugenia glomerata K et V
Myrtaceae
33
K.Beras
Timonius sericanthus Boerl
Rubiaceae
34
Salung Gajah
Tarenna sp.
Rubiaceae
35
Salung
Tarenna confusa K et V.
Rubiaceae
36
Urat Use
Ganophyllum falcatum Blume
Sapotaceae
37
Nyaran
Lucuma maingayi Dub
Sapotaceae
38
Ingitdare
Carallia brachiata Merr
Rhizophoraceae
236