Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
INTENSIFIKASI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU SKALA RUMAH TANGGA PETANI UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN KONSUMSI SUSU DAN HASIL OLAHANNYA (Intensification of Processing milk Technology for Household Farmer to Increase Milk Consumption and Milk Products) UUM UMIYASIH dan YENNY NUR ANGGRAENY Loka Penelitian Sapi Potong, Jawa Timur
ABSTRACT Milk consumption as well as processing products of per capita Indonesia people is still considered very low, one of the reasons is because of its relative expensive prices for most people, and only some can afford it. Alternative option that can be proposed is to accelerate the development on processing milk technology for the household farmers in based on the availability of the infrastructure and human capital, such as : milk crackers, jam, candy, ice cream and yoghurt. These innovative technologies are already available and accessible for the farmers; unfortunately these have not been well applied yet. Introduction of the milk processing technology may increase the farmer’s value added due to the milk products diversification. Enhanced intensification on the improved farmer’s knowledge of the milk processing under the household scale is needed consistentley and continuously. This may hope on the increasing milk consumption as well as milk-processing product for the people. Keywords: Technology, milk processing, milk products ABSTRAK Konsumsi susu masyarakat Indonesia maupun produk olahannya masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah produk susu olahan pabrik harganya relatif mahal, sehingga hanya masyarakat tertentu yang dapat mengkonsumsinya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memacu pengembangan pengolahan susu skala rumah tangga di daerah sentra produksi susu menjadi teknologi sederhana sesuai dengan ketersediaan sarana, prasarana dan kemampuan SDM yang terbatas. Beberapa teknologi pengawetan susu dan pengolahan berbagai produk susu dengan cara sederhana seperti krupuk susu, dodol susu, karamel susu, es krim, es putar dan yoghurt yang mudah dikerjakan telah tersedia namun sampai saat ini belum berkembang. Penerapan teknologi pengolahan ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah secara ekonomi akibat adanya diversifikasi produk susu. Peningkatan intensitas sosialisasi teknologi pengolahan susu skala rumah tangga perlu dilakukan, agar produk-produk susu olahan dapat terjangkau dan dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Kata kunci: Teknologi, pengolahan ssusu, olahan susu
PENDAHULUAN Ketersediaan pangan dan kecukupan gizi merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas. Produk pangan berkualitas yang mampu mencukupi kebutuhan gizi seluruh masyarakat secara merata adalah salah satu sasaran akhir pembangunan pertanian. Secara umum kebijakan di bidang pangan dan gizi bertujuan
untuk meningkatkan penyediaan pangan melalui penganekaragaman pola konsumsi masyarakat. Berdasarkan data UNDP 2006 dalam MUCHTADI (2007) kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. masih rendah, berada diperingkat 112 dari 147 negara. Hal ini terkait dengan konsumsi protein hewani terutama susu dan daging masyarakat yang relatif masih rendah yakni sebesar 3,7 dan 9,1 kg/kapita/tahun apabila dibandingkan dengan
213
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
negara –negara lain seperti Malaysia dengan konsumsi sebesar 24,40 kg dan 52,30 kg/kapita/tahun; Jepang sebesar 42,80 dan 42,10 kg/kapita/tahun dan Amerika (katagori negara maju) sebesar 119 dan 122 kg/kapita/ tahun. Swasembada pangan hewani asal ternak yang telah dicapai adalah telur, sedangkan daging (terutama sapi) dan susu belum tercapai. Diantara ketiga macam produk tersebut nilai pemenuhan susu adalah yang paling rendah. Secara nasional produksi susu masih jauh dari harapan, dengan jumlah permintaan sebesar 4–4,5 juta/liter/hari dan produksi sebesar 1,2 juta/liter/hari, yang berarti hanya mampu terpenuhi sebesar 30%. Produksi susu tersebut terutama berasal dari industri persusuan yang berlokasi di Jawa Barat sebesar 450 ton, Jawa Tengah sebesar 110 ton/tahun dan Jawa Timur sebesar 510 ton. Nilai impor produk susu yang tinggi, mencapai 173.084 ton (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006), tentunya akan sangat menguras devisa negara. Meskipun banyak kendala yang dihadapi untuk meningkatkan konsumsi susu, namun upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan berkualitas harus tetap berlanjut. Didalam makalah ini akan disampaikan beberapa upaya peningkatan konsumsi susu yang dapat dilakukan terutama bagi masyarakat pedesaan antara lain melalui pengembangan teknologi pengolahan susu skala rumah tangga petani di daerah sentra produksi susu.
TINGKAT KONSUMSI SUSU MASYARAKAT INDONESIA Susu merupakan salah satu produk pangan hewani yang sangat diperlukan untuk kehidupan manusia selain daging dan telur. Sebagai sumber protein hewani yang paling lengkap kandungan nutrisinya, dalam batas– batas tertentu sangat diperlukan untuk menopang hidup pokok, aktivitas maupun reproduksi. Fenomena meningkatnya kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan masyarakat berdampak pula terhadap peningkatan permintaan susu dan produk olahannya, Terlebih dengan adanya indikasi bahwa telah terjadi kecenderungan penurunan konsumsi pangan karbohidrat yang beralih ke pangan sumber protein, SOEDJANA (1996) menyatakan bahwa masyarakat yang berpenghasilan rendah sebanyak 50% pengeluarannya didominasi oleh pengeluaran pangan terutama untuk beras sebagai makanan pokok, sebaliknya pada masyarakat perkotaan yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan menengah ke atas, pengeluaran tersebut kurang dari 50%. Dengan demikian dapat diduga bahwa pangan sumber protein hewani lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan. Terdapat beberapa konsep/skenario target angka kecukupan gizi (AKG) asal protein hewani dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5%/tahun, pertumbuhan jumlah penduduk 1,5%/tahun dan elastisitas susu > 1%/tahun sebagai berikut:
Tabel 2. Skenario angka kecukupan gizi dan konsumsi susu Target pencapaian AKG 8 gram protein hewani/kapita/tahun
Target konsumsi pangan asal ternak Daging = 13,5 kg/kapita/tahun Telur = 7,0 kg/kapita/tahun Susu = 10,5 kg/kapita/tahun
7 gram protein hewani/kapita/tahun
Daging Telur Susu Daging Telur Susu
6 gram protein hewani/kapita/tahun
= 11,70 kg/kapita/tahun = 6,0 kg/kapita/tahun = 9,20 kg/kapita/tahun = 11,70 kg/kapita/tahun = 6,0 kg/kapita/tahun = 9,20 kg/kapita/tahun
Sumber: DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN (2004)
Dari rata–rata konsumsi susu sebesar 6 l liter/kapita/tahun, hampir 90% pasokan susu
214
yang setara dengan 4 juta l liter/hari dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan; dengan
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
demikian masyarakat pedesaan yang pada umumnya berpendapatan rendah hanya mengkonsumsi 10%. Hal ini menunjukkan bahwa, konsumsi riil susu keluarga mampu telah melebihi 50 l liter/kapita/tahun
(SUBANDRIYO, 2006). Perkembangan produksi susu domestik juga meningkat, hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya populasi sapi perah tahun 1997–2004 sebagaimana disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah populasi dan produksi susu 1997 – 2004
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata–rata Laju pertumbuhan (%/tahun)
Populasi sapi perah (ekor) 334.000 322.000 332.000 354.000 347.000 358.386 373.753 364.062 350.346 1,29
Produksi susu (ton) 423.664 375.382 435.998 495.646 479.900 493.400 553.400 549.945 481.711 4,26
Sumber: DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN (2004), diolah
Susu dan produk olahannya merupakan bahan pangan padat gizi karena mengandung hampir semua zat yang diperlukan oleh tubuh. Kandungan nutrisi pada susu segar dan beberapa produk olahan susu tertera pada Tabel 4. Saat ini sebagian besar produksi susu diserap oleh Industri Pengolahan Susu (IPS)
untuk diolah menjadi berbagai produk olahan susu. Kondisi ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat pada umumnya yang lebih menyukai produk olahan susu dari pada mengkonsumsinya dalam bentuk segar (UMIYASIH dan WIJONO, 1990).
Tabel 4. Kandungan nutrisi susu, susu skim dan keju Zat Nutrisi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Vitamin (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B b (mg) Vitamin B 12 (mg) Vitamin A (I 4) Kholeterol (mg)
Susu 5,36 5,44 7,58 194,10 152,08 1,53 0,06 0,07 0,58 205,06 22,01
Susu skim 9,77 0,52 13,89 353,42 288,98 2,81 0,10 0,11 1,08 584,50 5,16
keju 6,19 8,24 0,32 178,90 127,20 0,01 0,02 0,20 263,10 26,30
Sumber: WOLF (1992) dalam SURYO (1995)
Produk susu olahan dengan berbagai modifikasi proses penambahan ataupun pengurangan komposisi, penambahan flavor maupun aroma lebih disukai meskipun sesungguhnya kandungan gizi susu segar lebih komplit. Proses pengolahan melalui pemanasan menyebabkan terjadinya penurunan kandungan gizi susu karena sebagian nutrisi ada yang
rusak. Produk-produk susu olahan yang banyak dijumpai di pasaran antara lain: susu kental manis (SKM), susu skim bubuk, susu krim bubuk, susu pasteurisasi, es krim, mentega, makanan instan untuk bayi, yoghurt, keju, susu UHT dan sebagainya. Produk-produk tersebut mempunyai daya saing yang cukup tinggi
215
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dibandingkan susu yang dikonsumsi dalam keadaan segar (DANUWIJAYA, 1991). Produk susu olahan pabrik pada umumnya mempunyai variasi rasa, praktis serta dikemas dalam kemasan yang menarik, sehingga meskipun harganya cukup mahal namun banyak diminati oleh konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan menengah keatas. Sebaliknya konsumen berpenghasilan rendah menganggap susu sebagai bahan makanan yang cukup mahal, apalagi harga produk olahannya. Dibandingkan dengan bahan pangan sumber protein yang lain, harga susu menempati urutan ke dua setelah harga daging sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 5.
Hal ini menunjukkan bahwa harga protein asal susu masih cukup tinggi dibandingkan dengan sumber protein lain seperti tahu ataupun tempe yang merupakan konsumsi harian masyarakat. Harga susu maupun produk olahannya yang masih relatif mahal bagi masyarakat kelas bawah akan semakin sulit ditekan selain karena biaya produksi yang cukup tinggi juga karena ketergantungan usaha sapi perah terhadap Industri Pengolahan Susus (IPS) dalam hal pemasaran yang mengakibatkan IPS dapat leluasa menentukan harga produknya.
Tabel 5 Harga beberapa bahan pangan sumber protein Nama bahan
Harga/kg (Rp)
Kandungan protein (%)
Harga per gram protein (Rp)
Tempe Tahu Telur Daging ayam Daging sapi Susu segar Ikan tawar Ikan laut
7.500 5.500 9.000 16.000 50.000 6.000 12.500 15.000
15 7.5 12.5 18.5 20 4 15 17.5
50 75 75 85 250 150 85 85
Sumber: DARMAWAN (2007)
Kekurangan maupun kesulitan mengkonsumsi susu tidak hanya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah, namun juga pada masyarakat pedesaan peternak sapi perah penghasil susu. Hal ini antara lain disebabkan karena usaha peternakan sapi perah meskipun akhir–akhir ini cukup berkembang namun keuntungan yang diperoleh peternak belum optimal. Produksi susu lebih baik dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya daripada diminum untuk konsumsi keluarga. Dengan demikian dapat dipahami mengapa sampai terjadi kesenjangan tingkat konsumsi susu (termasuk produk olahannya) yang cukup tinggi antara keluarga berpenghasilan menengah keatas apalagi keluarga mampu dengan keluarga yang berpenghasilan rendah terutama masyarakat pedesaan.
216
PENGEMBANGAN PRODUK OLAHAN SUSU SEDERHANA Pemasaran susu sangat tergantung kepada koperasi susu sebagai penampung susu terbesar sebelum dikirim ke IPS dengan persyaratan tertentu. Susu dengan kualitas dibawah standar akan ditolak oleh IPS. Realitas di lapang menunjukkan bahwa penolakan susu terkadang juga terjadi karena di suatu waktu produksi susu melimpah, sedangkan di lain pihak daya tampung IPS terbatas. Susu yang ditolak tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga sering merugikan peternak. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap IPS dan dalam rangka memanfaatkan susu kualitas rendah, diperlukan upaya diversifikasi produk melalui pembuatan produk susu olahan skala rumah tangga petani. Hal yang perlu diperhatikan adalah model teknologi pengolahan dan jenis produk susu olahan harus tepat untuk diterapkan dan sesuai dengan ketersediaan SDM yang kualitasnya terbatas. Teknologi pengolahan susu pada
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
umumnya memerlukan sentuhan teknologi modern, namun ada beberapa produk susu olahan yang dapat dibuat secara tradisional. (SURYO, 1996) mengemukakan terdapat beberapa kelompok produk susu ditinjau dari sifatnya yaitu: a. Susu segar b. Produk susu fermentasi c. Krim susu dengan berbagai variasi kadar lemak d. Mentega e. Susu kental f. Susu kering (bubuk) g. Keju dan berbagai variasinya h. Frozen dessert
Selanjutnya dinyatakan bahwa kelompok produk–produk susu segar (sterilisasi maupun pasteurisasi), susu bubuk, susu krim dan es krim termasuk produk olahan yang memerlukan paralatan mahal dengan sistem pengemasan yang harus terkontrol. Kelompok susu fermentasi, susu kental, mentega dan keju relatif lebih mudah dikerjakan tanpa menggunakan peralatan yang mahal dengan sistem pengemasan yang dapat dilakukan secara lebih sederhana. Hal ini menyebabkan biaya produksi dapat ditekan, sehingga harga jual produk susu olahan ini diharapkan dapat terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah. Secara rinci, produk–produk olahan susu sederhana yang dapat diterapkan di daerah sentra produksi susu dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis–jenis produk olahan susu Kelompok produk Susu segar Susu kental
Susu fermentasi Mentega Keju
Contoh variasi produk Susu sterilisasi Pasteurisasi Susu kental manis Susu skim Susu rendah lemah Kerupuk susu Karamel Dodol susu Kefir Yoghurt Minyak mentega Spread mentega Soft cheese Hard cheese
Prinsip dasar pengolahan susu cara sederhana yang terpenting adalah pemanasan dan atau penguapan. Alat pendingin pada umumnya diperlukan untuk penyimpanan kecuali pada pembuatan es krim dan es puter yang memerlukan suhu pembekuan dimana di lapangan dapat digantikan dengan penggunaan kulkas. Teknologi sederhana proses pengolahan produk–produk tersebut telah tersedia dan sering disosialisasikan namun belum berkembang dengan optimal. Hal ini disebabkan karena peternak sapi perah lebih mengutamakan sebagai produsen susu segar, meskipun produk susu olahan mempunyai nilai tambah yang diharapkan dapat meningkatkan keuntungan. Kurangnya motivasi peternak untuk berwirausaha dan kurang yakin menghadapi persaingan pasar dengan pabrik yang sudah lebih stabil menjadi salah satu
Prinsip pengolahan Pemanasan pada susu dan waktu tertentu Penguapan atau pemanasan
Pasteurisasi dengan pemanasan disertai dengan inokulasi starter Pasteurisasi dengan krim dilanjutkan dengan churning dan penambahan starter mentega Pengumpalan protein dan penambahan starter
penyebab hal tersebut. Dengan melakukan motivasi yang terus menerus dan bimbingan secara intensif terhadap manajemen pengelolaan usaha pengolahan produk susu olahan diharapkan dapat mempercepat pengembangan pengolahan susu di pedesaan. Beberapa upaya pendampingan usaha yang dapat dilakukan baik oleh koperasi maupun instansi terkait antara lain adalah: a. Membentuk kelompok peternak inti penghasil produk olahan susu sebagai motivator kelompok peternak yang lain. b. Memberikan bimbingan secara intensif terhadap kelompok inti, terutama dalam hal teknologi aplikatif c. Membantu promosi dan pemasaran produk
217
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
d. Membantu akses permodalan untuk pengembangan usaha e. Memberikan informasi pasar terutama yang terkait dengan pesaing sesama produsen agar selalu dapat meningkatkan kualitas produk sesuai dengan permintaan konsumen. Dari pengamatan lapang, hal terpenting dari manajemen usaha produksi adalah pemasaran. Adanya peluang konsumen susu terutama keluarga yang berpenghasilan rendah/ masyarakat pedesaan merupakan tantangan yang menarik bagi industri susu semacam ini. Kunci utama pemasaran adalah promosi, sehingga harus dilakukan secara intensif dengan bekerja sama dengan instansi terkait yaitu Pemda dalam hal ini Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, PKK ataupun yang lain. Promosi diawali dengan menyampaikan pesan ”bahwa susu adalah bahan pangan padat gizi yang penting dalam proses pembentukan sumber daya manusia berkualitas”. Oleh sebab itu ”minum susu” harus dibudayakan sejak dini, apabila telah menjadi budaya, maka masalah harga tidak akan lagi menjadi faktor penghambat konsumsi. Kerjasama dengan Dinas Pendidikan dapat dilakukan misalnya dengan menyediakan susu/produk olahan susu di kantin-kantin sekolah atau mewajibkan siswa membelanjakan uang jajannya untuk membeli susu pada ”hari sehat” yang ditentukan sekolah, misalnya setiap hari Jumat. Demikian pula halnya dengan Dinas Kesehatan, misalnya susu/ produk susu dapat ditentukan sebagai ”ekstra fooding” bagi pasien inap di rumah sakit. Koperasi sebagai wadah peternak dapat mengusulkan kepada Pemda agar menjadikan susu sebagai ”minuman wajib” bagi seluruh pegawai di kantor 1 x dalam 1 minggu, menggantikan air minum yang biasanya berupa teh. Susu dan produk olahan peternak dapat pula dijadikan ”oleh-oleh khas daerah” yang selalu disajikan setiap ada even acara yang penting, misalnya ada kunjungan tamu dari luar daerah. Dengan kemasan yang menarik dan harga yang relatif terjangkau, tidak mustahil industri ini akan dapat berkembang.
KESIMPULAN Intensifikasi pengembangan teknologi pengolahan susu skala rumah tangga disertai dengan pendampingan manejemen yang optimal oleh institusi yang terkait diharapkan mampu menghasilkan produk dengan harga yang terjangkau; sehingga diharapkan dapat meningkatkan tingkat konsumsi susu masyarakat secara merata. DAFTAR PUSTAKA DANUWIJAYA, D. 1991. The role and function of marketing service in the development of livestock industry in tropice. “A cases of daving Cooperaties in Indonesia‘. In Livestock and feed development in the Tropias Proceedings of the International seminar held at Brawijaya University. Malang DARMAWAN. 2007. Dukungan teknologi penyediaan keamanan produk pangan hewani. Seminar Hari pangan Sedunia (HPS) XXVII. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2004 Program pembangunan peternakan 2005-2009. Lokakarya “Peranan Roodmap dalam Membantu Penyusunan Program Pembangunan Peternakan yang Berkelanjutan menuju tahun 2020. Bogor. Direktorat Jenderal Bina Peternakan Peternakan Departemen Pertanian. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan, 2006 Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. MUCHTADI, T.R. 2007. Riset unggulan strategi nasional peningkatan produk pangan hewani Seminar Hari Pangan sedunia XXVII. Badan penelitian dan Pengembangan peternakan. Departemen pertanian. SOEDJANA, T.D. 1996. Perkembangan konsumsi daging dan telur ayam di Indonesia. Media Komunikasi dan Informasi Pangan, Agribisnis Unggul. SURYO, I. 1995. Permasalahan dan alternatif perbaikan kondisi gizi masyarakat dari sub sektor peternakan di Jawa Timur tahun 2005. Prosiding Seminar Aspek Agribisnis Bidang Peternakan Astajati-Malang. UMIYASIH, U dan DIDI BUDI WIJONO. 1990. Pengaruh sterilisasi sederhana terhadap kualitas dan daya tahan susu. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati Vol 1 No. 1.
218