107
INOVASI UNTUK ORIENTASI BARU OTONOMI DAERAH Ernawati FISIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293 e-mail:
[email protected]
Abstract: Innovation for a New Orientation Autonomous Daerah. The study describes innovations good government bureaucracy. Developing strategies and empowering bureaucracy is not an instant process. Experience in Indonesia shows that settlement policy of government officials with no holistic solution will generate new problems shackled. Developing strategies and empower government officials to comrehend resourcesshall new organization learning process should be supported by a good learning system supported organic-adaptic structure. This process is carried out continuously through the process of mutual learning among bureaucrats, civil society and the market wholeheartedly with the seriousness of the bureaucracy to public service positions. Abstrak: Inovasi Untuk Orientasi Baru Otonomi Daerah. Penelitian ini menjelaskan inovasi birokrasi pemerintahan yang baik. Pengembangan strategi dan memberdayakan birokrasi bukanlah proses yang instan. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa penyelesaian aparat pemerintah dengan tidak kebijakan solusi holistik akan menghasilkan masalah baru membelenggu. Pengembangan strategi dan memberdayakan aparatur pemerintah untuk comrehend resourcesshall organisasi baru proses belajar yang seharusnya didukung oleh sistem belajar yang baik yang didukung organis-adaptic struktur. Proses ini dilakukan secara terus menerus melalui proses pembelajaran bersama di antara birokrat, masyarakat sipil dan pasar dengan keseriusan sepenuh hati kepada birokrasi posisi untuk pelayanan publik. Kata Kunci: Inovasi, pemberdayaan, sumber daya manusia, birokrasi, tata kelola yang baik
PENDAHULUAN Perubahan lingkungan akan menuntut perubahan yang sangat besar dan mendasar terhadap cara hidup dalam berbagai tatanan organisasi yang mencakup antara lain para karyawan, menejer dan pemimpin organisasi yang selalu harus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh perubahan yang sangat pesat dan penuh ketidak pastian. Kita sekarang ini sedang dihadapkan pada perubahan sifat-sifat dasar menejemen yang digerakkan oleh perubahan cepat dan luas dalam kondisi sosial, ekonomi dan politik, yang dipicu secara pesat oleh berkembangnya teknologi. Kondisi tersebut mendorong kita semua, sebagai anggota organisasi yang professional, harus mampu merespon era globalisasi sehingga bukan saja harus mampu memanfaatkan berbagai peluang, namun lebih dari itu, yaitu harus mampu merubah tantangan menjadi peluang. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi akan banyak mempengaruhi keadaan dan kehidupan orga-
nisasi. Beberapa tuntutan harus dapat dipenuhi oleh suatu organisasi sehingga ia dapat hidup dalam keadaan apapun (survive) dan tidak mengalami kematian (coleps, cheos atau mengalami mortalitas). Kurt Lewin mengutarakan “Model Perubahan Tiga Langkah Lewin” yang pada intinya menjelaskan bahwa perubahan yang sukses dalam organisasi hendaknya mengikuti tiga langkah, yaitu pelelehan, gerakan dan pembekuan ulang. Sedangkan pendapat lain adalah yang dikemukan oleh Plenert (1999) tentang rencana inovasi dan perubahan yang dikembangkan, dimana pada intinya meliputi: Memusatkan dengan suatu fokus atau visi untuk upaya perubahan; Mengembangkan strategi perubahan yang berfokus pada visi kita; Memperkuat masing-masing area strategi disekitar visi; Mengidentifikasikan ciri, kemampuan dan sifat yang harus dimiliki seorang manejer kelas dunia, untuk mendorong inovasi, termasuk mengenai alat perubahan spesifik yang tersedia bagi manejer. 107
108
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2012, hlm. 59-141
Sesuai dengan dasar pertimbangan, Tap MPR II/1999 telah mengidentifikasi masalah krisis multi dimensi yang melanda negara Indonesia sebagai penghambat perujudan cita-cita dan tujuan nasional. Melalui reformasi di segala bidang, memungkinkan melakukan langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan pembangunan serta memperkokoh kepercayaan diri. Kemampuan para pemimpin penyelenggaraan pemerintahan negara dan masyarakat untuk mengelola perubahan menjadi sangat kritis dan strategik, terutama sensitivitas dan responsivitas atas sinyal kapan perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam lompatan langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan pembangunan. Krisis multi dimensi telah mendorong dimulainya sesuatu yang baik dan benar, yaitu melaksanakan reformasi di segala bidang. Dengan demikian telah terjadi pahit dan manis sekaligus, baik dalam kebijakan maupun dalam aransemen kelembagaan termasuk manajemen organisasi. Diharapkan upaya reformasi dapat membantu instansi pemerintah beradaptasi secara signifikan dengan meningkatkan kinerja dan kepercayaan publik. Birokrasi dewasa ini sedang dan telah menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan nyata di lapang yang terus berubah, salah satunya aparatur dan birokrasi harus semakin memfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan pelayanan jasa yang semakin berkualitas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Permasalahan transformasi pemerintahan dan birokrasi dalam menghadapi percepatan perubahan tuntutan masyarakat ini telah dikemukakan oleh Osborn dan Gaebler (1992) dengan konsepnya, yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Government: How the Enterreneurial Spirit is Transforming the Public Sector” Buku tersebut menyajikan sejumlah prinsip yang dinyatakan sebagai prinsip-prinsip fundamental birokrasi di masa depan. Kehadiran konsep ini dianggap sebagai paradigma baru. Sehingga banyak dikutip dan dijadikan rujukan kajian
perkembangan aparatur dan birokrasi hampir disemua negara termasuk Indonesia. Lahirnya konsep ini bagi Osborn dan Gaebler lebih banyak disadari dari latar belakang fundamental lembaga birokrasi (public) yang berseberangan dengan lembaga bisnis (private). Bagi lembaga bisnis pendapatan terbesar mereka dari pelanggan mereka sedangkan bagi birokrasi sebagian besar didapat dari pajak. Bagi lembaga bisnis persaingan adalah segalanya, sedangkan bagi birokrasi lebih banyak mengandalkan monopoli. Konsep reinventing government, menawarkan satu konsep kewirausahaan sebagai satu konsep yang bias dijalankan oleh lembaga public ataupun lembaga-lembaga non profit lainnya. Konsep ini menggeser spectrum semangat kewirausahaan ke birokrasi. Selanjutnya bagaimana mengembangkan konsep tersebut, Osborne dalam buku lanjutannya yang ditulis bersama rekannya Plastrik (1996), yang berjudul Banishing Bureaucracy: the five strategies for reinventing government, menyampaikan lima strategi untuk pengembangan konsep “reinventing government”. Timbulnya isu negative dari perubahan yang direncanakan dalam kebijakan, program dan kegiatan pembangunan dalam beberapa hal memang tidak dapat dihindarkan. Banyak pemborosan, kesia-siaan dan penderitaan yang ditemukan, yang sebenarnya dapat dihindarkan. Untuk menghindari resiko, sekaligus mengoptimalkan peluang yang ada, organisasi harus menjadi pelaku yang tegak berdiri dan patut diperhitungkan. Selanjutnya langkah yang digunakan dalam perubahan organisasi akan efektif bila dilandasi oleh wawasan yang mendasar, yaitu perubahan besar tidak akan terjadi dengan mudah karena berbagai alasan (krisis mata uang, moneter, ekonomi atau krisis multi dimensi, penggeseran aspirasi dan kebutuhan masyarakat, inovasi, iri hati negara lain dan lain sebagainya). Meskipun demikian perubahan yang diperlukan, bias gagal oleh karena adanya kepemimpinan yang berorientasi masa kini/lalu dan internal, struktur dan system organisasi yang menghambat, politik dan
Inovasi untuk Orientasi Baru Otonomi Daerah (Ernawati) 109
ideologi yang picik, tingkat kepercayaan yang rendah, kurangnya kerjasama, sikap yang arogan, sikap saling menyenangi yang tidak sehat, kurangnya kepemimpinan yang visioner dan demokratis (partisipatif), tingkat menejemn menengah ke bawah yang tidak diberdayakan dan ketakutan umum akan sesuatu yang tidak diketahui dan hanya bisa dirasakan. HASIL Praktik desentralisasi dalam pengelolaan hubungan antara pemerintah pusat dan daerahdaerah di Indonesia bukanlah hal yang baru. Secara historis, desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan secara vertikal telah mulai diterapkan di Indonesia sejak masa kolonial Belanda melalui Decentralisatie Wet pada tahun 1903. Kebijakan ini memang lebih kental dengan nuansa kepentingan pemerintah kolonial Belanda untuk memudahkan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Meskipun desentralisasi lazimnya diikuti dengan otonomi daerah, tapi pada masa kolonial, baik Belanda, Inggris, maupun Jepang, kebijakan desentralisasi lebih bersifat administratif, kalaupun ada penyebaran kekuasaan antarlevel pemerintahan, maka delegasi kekuasaan tersebut hanya berhenti pada para pejabat di daerah. Tidak ada otonomi yang sesungguhnya bagi masyarakat di daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Setelah kemerdekaan, pengelolaan hubungan pusat dan daerah diatur melalui sejumlah undangundang tentang pemerintahan daerah, antara lain UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan sekarang berlaku UU No. 32 Tahun 2004. Keseluruhan undang-undang tersebut memiliki paradigma desentralisasi yang beragam. Undangundang yang berlaku pada periode 1945-1974 sangat kental dengan nuansa otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, bahkan ada kecenderungan pemerintah pusat mengabaikan daerah karena pusat sendiri ketika itu tengah berupaya mempertahankan kemerdekaannya dari agresi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pada periode 1974-1999, hubungan pusat
dengan daerah justru menjadi sentralistik. Model sentralistik ini diterapkan untuk mendukung paradigma pembangunan yang ketika itu menjadi ideologi. Pada masa Orde Baru, paradigma pembangunan diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, dengan menggunakan pendekatan padat modal. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan, diperlukan stabilitas politik yang kuat, sehingga pendekatan sentralistik menjadi pilihan untuk menjamin terjaganya stabilitas politik tersebut. Pembangunan pada masa Orde Baru memang berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengagumkan, tapi kemajuan tersebut ternyata tidak dinikmati secara merata oleh daerah-daerah. Banyak daerah yang kaya akan sumber daya alam, tapi justru masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Keberhasilan pembangunan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat di Jawa atau di kota-kota besar yang menikmati langsung hasil industrialisasi. Kesenjangan pembangunan inilah yang kemudian memunculkan ketidakpuasan daerah-daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Ketidakpuasan ini mencapai puncaknya pada era reformasi (1998) yang kemudian memicu munculnya tuntutan disintegrasi dari beberapa daerah yang merasa tereksploitasi selama masa Orde Baru. Tuntutan ini kemudian direspon melalui pemberlakuan kebijakan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua. Selain kebijakan otonomi khusus, praktik desentralisasi pascareformasi mengalami perubahan signifikan, yang ditandai oleh perluasan kewenangan politik daerah dalam memilih kepala daerahnya; penguatan kapasitas fiskal daerah melalui pengaturan ulang perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta perluasan kewenangan daerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam pengelolaan urusan rumah tangganya. Penguatan kewenangan daerah ini direspon dengan sikap beragam oleh daerah-daerah di Indonesia. Selama 10 (sepuluh) tahun setelah otonomi luas dan nyata diberlakukan di Indonesia melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui oleh UU No. 32 Tahun 2004, terdapat dua kategori respon daerah terhadap desentralisasi. Ke-
110
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2012, hlm. 59-141
lompok pertama, yang merupakan mayoritas daerah di Indonesia, bekerja apa adanya (taken for granted) dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah-daerah ini memang telah mengadopsi visi kesejahteraan dalam dokumen resmi perencanaan pembangunannya, tapi kebijakan dan program-program untuk mengoperasionalkan visi tersebut tidak mengalami perubahan signifikan dari masa-masa sebelumnya. Sebaliknya, kelompok kedua, memanfaatkan otonomi daerah untuk merancang dan menerapkan berbagai inovasi untuk mempercepat pencapaian visi kesejahteraan. Perbedaan respon inilah yang menyebabkan kinerja daerah dalam mencapai kesejahteraan sangat beragam. Pilihan terhadap desentralisasi sebagai model pengelolaan hubungan pusat dan daerah diyakini mampu mempercepat pencapaian kesejahteraan daerah (World Development Report, 1997; Axel Hadenius, 2003) dan membangun demokrasi lokal (Smith, 1985; James Manor, 1999; Larry Diamond, 2003). Namun, hubungan ini tidak bersifat otomatis bahkan sangat ditentukan oleh kapasitas daerah dalam menerjemahkan otonomi. Inovasi merupakan kapasitas penting yang diperlukan untuk menerjemahkan desentralisasi menjadi kesejahteraan.
Munculnya inovasi-inovasi tersebut tidak dengan serta merta membuat desentralisasi menjadi efektif secara keseluruhan (Eko, 2007) karena jumlah daerah-daerah inovatif tersebut masih merupakan minoritas dari keseluruhan daerah otonom yang ada dan inovasi-inovasi tersebut umumnya muncul akibat adanya kepemimpinan lokal yang kuat. Dominasi inisiatif individu ini menyebabkan basis keberlanjutan dari inovasiinovasi tersebut masih belum teruji dengan baik. Karena itu, menarik untuk dikaji bagaimana seharusnya inovasi tersebut dikembangkan sebagai suatu sistem sehingga dapat dioptimalkan untuk mendukung pencapaian kesejahteraan di daerah. Inovasi sebagai sebuah konsep sudah dikenal sejak zaman dulu, sebagai upaya untuk menjawab berbagai permasalahan yang dialami masyarakat. Karena perubahan merupakan suatu keniscayaan, maka inovasi menjadi suatu hal yang biasa dilakukan untuk mengimbangi
berbagai perubahan tersebut. Secara etimologis, istilah inovasi berasal dari bahasa Latin innovare yang berarti berubah sesuatu yang menjadi baru. Istilah inovasi (innovation dan innovate) sendiri baru mulai dikenal dalam kosakata bahasa Inggris pada abad ke-16 (Suwarno, 2007). Hanya saja pada masa itu, istilah inovasi lebih banyak diasosiasikan secara negatif sebagai troublemaker serta lebih identik dengan nuansa revolusi atau perubahan radikal yang membawa dampak yang sangat luar biasa, terutama terhadap kemapanan sosial politik serta dianggap mengancam struktur kekuasan (Suwarno, 2007). Dalam perspektif tersebut, rezim kekuasaan dan politik, serta otoritas keagamaan pada masa itu cenderung menolak segala hal yang berbau inovasi. Adapun istilah innovative sendiri mulai luas dipergunakan banyak orang sejak abad ke17, atau sekitar 100 tahun kemudian. Barulah kemudian setelah sekitar 300 tahun kemudian, pengertian inovasi perlahan mengalami pergeseran makna menjadi lebih positif. Inovasi dipahami sebagai “creating of something new” atau penciptaan sesuatu yang baru. Istilah inovasi menemukan pengertian modernnya untuk pertama kali dalam Oxford English Dictionary edisi tahun 1939 yaitu the act of introducing a new product into market (Suwarno, 2007). Dalam hal ini, inovasi dipahami sebagai proses penciptaan produk (barang atau jasa) baru, pengenalan metode atau ide baru atau penciptaan perubahan atau perbaikan yang inkremental. Dalam literatur modern, inovasi sendiri memiliki pengertian yang sangat beragam serta banyak perspektif yang mencoba memaknainya. Salah satu pengertian menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang tersedia sebelumnya (Suwarno, 2007). Pengertian ini menekankan pemahaman inovasi sebagai sebuah kegiatan (proses) penemuan (invention). Sedangkan dalam Damanpour (2000) dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang
Inovasi untuk Orientasi Baru Otonomi Daerah (Ernawati) 111
baru,sistem struktur dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi. Sejalan dengan itu menurut Rogers (2003), an innovation is an idea, practice, or object that is perceived as new by individual or other unit of adopter. Jadi inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu satu unit adopsi lainnya. Pengertian dari Damanpour maupun Rogers ini menunjukkan bahwa inovasi dapat merupakan sesuatu yang berwujud (tangible) maupun sesuatu yang tidak berwujud (intangible), sehingga dimensi dari inovasi sangatlah luas. Memaknai inovasi sebagai sesuai yang hanya identik dengan teknologi saja akan jadi menyempitkan konteks inovasi yang sebenarnya. Inovasi baru mulai menjadi wacana penting dalam sektor publik pada tahun 1967, seiring dengan perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kurang populernya konsep inovasi di sektor publik dapat difahami karena karakter birokrasi yang lebih didasarkan pada prinsip-prinsip birokrasi Weber. Dalam konsepsi Weber, birokrasi memerlukan aturan yang jelas, hirarki, spesialisasi dan lingkungan yang relatif stabil. Dalam konteks ini, inovasi dipandang tidak banyak diperlukan bagi aparatur birokrasi pemerintah (Kelman, 2005). Kewajiban aparatur birokrasi pemerintah adalah menjalankan aturan yang telah ditetapkan (rule driven). Jika kemudian inovasi dilaksanakan, hanya dalam intensitas yang kecil dan dilakukan terbatas pada level pimpinan puncak. Inovasi, dalam hal ini sebagaimana reformasi administrasi, didekati melalui mekanisme top down (Caiden, 1969). Konteks kemunculan inovasi dalam pemerintahan merupakan respon terhadap perubahanperubahan yang dibawa oleh berkembangnya globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi. Globalisasi membawa perkembangan baru dalam manajemen pemerintahan. Lahirnya konsep-konsep, seperti management by objective, total quality management, new public management, change management, dan knowledge management yang semula berkembang dalam manajemen sektor swasta mempengaruhi pula manajemen sektor publik. Penyelenggaraan pemerintahan dituntut untuk
berorientasi pada pencapaian visi, misi, berbasis pada kinerja yang terukur, dan memprioritaskan kepuasan masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Relasi antara pemerintah dengan masyarakat menjadi lebih berimbang karena kedudukan masyarakat diakui layaknya pelanggan yang harus diutamakan kepuasannya. Pada akhir dekade 1990-an, terjadi pergeseran paradigma manajemen pemerintahan. Pengaruh manajemen sektor swasta memang diakui cukup banyak mengubah praktik tata kelola pemerintahan, tapi, dampak yang dihasilkan tidak selalu positif. Muncul berbagai kritik terhadap pengadopsian pola manajemen sektor swasta ke sektor publik. Denhardt (2000) mengatakan bahwa penekanan pada semangat pengelolaan sektor publik dengan cara-cara entrepreneur dapat menimbulkan pengabaian sumber kekuasaan negara dan pemerintah. Kritik ini melahirkan paradigma baru dalam manajemen sektor publik, yakni paradigma new public service (NPS) yang melihat bahwa pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat, sehingga penyelenggara pemerintahan termasuk aparat birokrasi seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan seharusnya membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Paradigma NPS menegaskan pengakuan atas warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Identitas warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.
112
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2012, hlm. 59-141
Di Indonesia, beberapa institusi yang melakukan promosi inovasi ini antara lain The Asia Foundation, melalui proyek IRDA, telah melakukan rapid appraisal yang berharga, tetapi hanya mengungkap inovasi parsial dalam pelayanan publik yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah. Jawa Pos Institute Pro Otonomi Daerah (JPIP) dan Partnership juga telah melakukan appraisal di 28 kabupaten/kota di Jawa Timur untuk membuat rating kinerja daerah, dengan tiga indikator utama: pelayanan publik (kesehatan, pendidikan dan administrasi); pengembangan kehidupan ekonomi (pertumbuhan, pemerataan, pemberdayaan ekonomi lokal) serta manajemen risiko lokal (kesinambungan politik, partisipasi dan akuntabilitas). Demikian juga yang dilakukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) maupun Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, yang hanya mencuplik sedikit best practices dari beberapa daerah. Bank Dunia (2006) juga melakukan studi inovasi pelayanan publik pro miskin di sejumlah 9 daerah, yakni: Jembrana, Band-ung, Blitar, Lumajang, Pemalang, Tanah Datar, Polman, Boalemo dan Maros. Di luar daerah itu ada daerah-daerah lain yang menerapkan inovasi seperti Solok, Belitung Timur, Sinjai, Sragen, Balikpapan, dan Purbalingga dan beberapa daerah lain yang baru mulai mengembangkan praktik inovasi seperti Minahasa, Sukoharjo, Magelang, Sumedang, Kebumen, Tanah Bambu, dan sebagainya. Berbagai studi yang dilakukan oleh banyak pihak tentu bersifat rapid appraisal, terutama mencermati beberapa kebijakan inovatif daerah yang memberbaiki pelayanan publik. Karena menggunakan pendekatan yang rapid, maka studi-studi itu baru mencakup level permukaan dan pola, yang belum sam-pai ke level struktur fundamental. Meskipun demikian, publikasi mengenai berbagai inovasi yang dilakukan daerah-daerah tersebut telah menginspirasi daerah-daerah lain untuk mulai mengembangkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerahnya. Dengan demikian, kemunculan inovasi bukanlah sebuah kesengajaan tapi merupakan
bagian dari upaya untuk merekonstruksi penyelenggaraan pemerintahan agar lebih berorientasi pada kepentingan publik. Inovasi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar paradigma baru pemerintahan yang berbasis pada pengakuan kedudukan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dapat terwujud. Inovasi bukan semata mencakup penerapan praktik manajemen baru dalam pemerintahan, ataupun teknologi modern dalam tata kelola pemerintahan, tapi juga perubahan dalam pola pikir (mindset) para pengelola otonomi daerah untuk memprioritaskan pemenuhan kepentingan publik dengan cara-cara yang akuntabel, partisipatif, efektif, dan efisien. PEMBAHASAN Pembangunan daerah tentu memiliki banyak aspek dan permasalahan, sehingga sulit bagi pemerintah daerah jika harus menggarap semua dimensi tersebut. Untuk mengoptimalkan pembangunan daerahnya, pemerintah daerah harus mencari daya pengungkit (leverage) yang berujung pada penentuan skala prioritas. Keberhasilan pembangunan daerah pada pokoknya menggunakan sejumlah pola leverage, yakni reformasi birokrasi pemerintah daerah, perluasan akses pendidikan bagi masyarakat, peningkatan kualitas kesehatan masyarakat (Yappika, 2009). Ketiga aspek inilah yang akan ditinjau dalam kaitannya dengan inovasi dalam pemerintahan daerah. Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah Reformasi birokrasi publik pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya mencakup pembenahan struktural menuju perampingan ukuran dan komponen birokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 41 Tahun 2007, tapi juga mencakup perubahan secara bertahap terhadap nilai dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku dari penguasa menjadi pelayan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Sragen, misalnya, melakukan perombakan struktural dengan
Inovasi untuk Orientasi Baru Otonomi Daerah (Ernawati) 113
penambahan satuan kerja (satker) adhoc. Kelembagaan satker adhoc ini tidak masuk ke dalam struktur birokrasi pemerintah daerah tetapi mengemban fungsi yang justru menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya agar lebih optimal. Marketing Unit (MU) dibentuk Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai unit fungsional yang bertugas dalam memasarkan potensi sumberdaya kompetitif, peluang investasi, serta produk-produk unggulan kepada pihakpihak di dalam dan luar Kabupaten Sragen. Bentuk kelembagaan adhocracy unit fungsional ini tidak hanya menjadikan MU dapat lincah dan leluasa bergerak dengan koordinasi langsung dengan Bupati/Wakil Bupati tetapi juga memenuhi ketentuan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang lebih menekankan keterpenuhan fungsi daripada pengayaan struktur birokrasi. Lembaga adhoc lain yang dibentuk adalah Engineering Services (ES) yang dibentuk untuk membuat seluruh perencanaan yang bersifat konstruksi. Perencanaan berikut estimasi yang dibuat oleh satker ini akan menyelaraskan kebutuhan biaya konstruksi dengan sumberdaya yang harus dikeluarkan pada setiap proyek konstruksi. Cara kerja ini mirip dengan Tim Owner Estimate (OE) yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Jembrana, Bali. Tim OE, melalui estimasi dan kalkulasi matematis atas kebutuhan pekerjaan konstruksi, memberikan second opinion kepada Bupati perihal kebutuhan yang sesungguhnya dari suatu pekerjaan konstruksi. Kerja kedua satker ini, baik ES maupun OE, diarahkan pada minimasi praktik korupsi yang potensial terjadi dalam proyek-proyek konstruksi. Reformasi struktural birokrasi pemerintah daerah juga memiliki varian lain, yakni reengineering process terhadap pelayanan publik. Reformasi ini menekankan pada rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan dengan aspek struktural birokrasi publik. Contoh nyata varian reformasi ini adalah pelayanan satu pintu (one stop service), tidak sekadar satu atap, untuk melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Bentuk pelayanan ini baru bisa direkayasa dengan restrukturisasi organ satuan
kerja ke dalam satu badan berikut pelimpahan kewenangan padanya, dipadukan dengan penggunaan teknologi informasi intranet sebagai pewujudan e-government dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur membentuk Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Kabupaten (Badan Simpekab) yang melayani 42 jenis pelayanan. Dalam ragam yang sama, Pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Badan Pelayanan Terpadu (BPT) yang melayani 62 jenis pelayanan dengan batas waktu pelayanan maksimal 12 hari (khusus pelayanan IMB 15 hari). Pengambil keputusan dalam pemberian izin tidak lagi bergantung pada Bupati tetapi telah diserahkan kepada Kepala BPT. Kerja BPT ditunjang oleh teknologi informasi (TI), menggunakan intranet dalam aplikasi Kantaya (Kantor Maya) yang secara resiprokal menjamin pertukaran informasi secara efisien sekaligus mekanisme pengawasan secara transparan antarsatker. Secara lebih luas Pemerintah Kabupaten Sragen memanfaatkan TI dalam pengoperasian kerja pemerintah daerah sehingga tidak terbatas pada BPT. Keberadaan badan pelayanan satu pintu semacam ini memangkas kesemrawutan pengurusan izin di berbagai dinas sehingga pelayanan bisa memanfaatkan waktu yang lebih singkat. Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate culture yang berlandaskan semangat kewirausahaan. Bupati Sragen, misalnya, selama enam bulan pertama masa jabatannya secara rutin mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala satker untuk membicarakan persoalan masyarakat yang terakumulasi dan belum terselesaikan untuk kemudian dipecahkan bersama saat pertemuan itu juga. Bupati juga mencanangkan nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda berupa 5K: Komitmen, Konseptual, Kontinyu, Konsisten, dan Konsekuen. 5K tidak sekadar dicanangkan tapi diintegraskan dalam mekanisme kerja harian,
114
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2012, hlm. 59-141
terutama yang bersinggungan langsung dengan tugas pokok dan fungsi Bupati/Wakil Bupati. Pemerintah Kabupaten Sragen juga mengundang pelaku bisnis di perusahaan swasta untuk memberikan pelatihan perilaku organisasi bagi pegawai BPT agar mereka berperilaku dan bertindak selayaknya karyawan swasta yang berorientasi pada kepuasan pengguna jasa. Untuk menangani masalah-masalah psikologis pegawai, Pemerintah Kabupaten Sragen membangun Klinik Terapi Holistik yang menjadi pusat konsultasi dan penyelesaian problem personal pegawai, baik psikologis, spiritual, dan medis. Klinik ini kemudian dikembangkan menjadi Assessment Center yang menjalankan penilaian prestasi kerja secara terukur dan solutif dengan pendekatan holistik tadi. Semangat kewirausahaan ditumbuhkan melalui penyediaan professional fee bagi para pegawai satker yang melakukan kegiatan-kegiatan produktif. Production Training Center (PTC) Garmen dan Meubel di Badan Diklat, perangkat pemilihan kepala desa secara elektronik di Bagian Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah, aplikasi TI di Bagian Penelitian dan Pengembangan dan Pengolahan Data Elektronik Sekretariat Daerah, merupakan sedikit dari sekian banyak contoh satker yang bisa meraih manfaat dari program-program kegiatannya. Berbeda dengan Pemerintah Kabupaten Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay. Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Di samping itu, pengerjaan kegiatan-kegiatan pemerintah Provinsi Gorontalo tidak lagi menggunakan sistem proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki pembagian tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja, pegawai dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di samping menekankan anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan, transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Provinsi Gorontalo diwujudkan
dengan pemuatan laporan keuangan yang spesifik di media massa. Perluasan Akses Pendidikan bagi Masyarakat Upaya memajukan dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang, jauh melebihi usia tampuk pemerintahan seorang kepala daerah, bahkan hingga dua kali masa jabatannya. Inilah yang menyebabkan tidak banyak kepala daerah menjejakkan program-programnya pada sektor ini karena dalam kurun waktu periode kekuasaannya dan hasilnya tidak langsung dirasakan. Tidak banyak pula pemerintah daerah yang menjadikan upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagai pengungkit utama dalam mencapai kemajuan daerah. Namun, yang menjadi kecenderungan adalah mengasumsikan kegiatan penarikan investor dan pengembangan kegiatan-kegiatan jasa sebagai pengungkit kemajuan daerah. Meskipun demikian, terdapat beberapa pemerintah daerah yang peduli memajukan dunia pendidikan dengan memperluas akses pendidikan bagi masyarakat sekaligus memperbaiki mutu keberlangsungannnya. Di Maluku Utara, Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dalam dua tahun terakhir telah menerapkan pendidikan gratis agar program wajib belajar 12 tahun tidak sekadar jargon. Pendidikan gratis bagi para siswa sekolah dasar hingga menengah atas berkenaan dengan keadilan antaretnis yang diharapkan berujung pada kebersamaan etnis. Jika pendidikan gratis diterapkan untuk semua siswa, tidak akan ada kalangan etnis tertentu yang merasa didiskriminasikan. Hal yang sama diterapkan di Kabupaten Kutai Timur dalam setahun terakhir. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menerapkan pembebasan biaya pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi, termasuk pungutan uang gedung, dan biaya ujian. Selain itu, pemerintah kabupaten juga memberikan insentif tambahan bagi tenaga pendidik hingga Rp 1,5 juta. Ini semua soal kepedulian pemerintah daerah agar tuntutan anggaran sebesar 20% dari APBD, selain dari APBN, terpenuhi secara riil. Di Kabupaten Jembrana, Bali, kepedulian terhadap dunia pendidikan telah dilakukan sejak
Inovasi untuk Orientasi Baru Otonomi Daerah (Ernawati) 115
lama, lebih-kurang enam tahun berjalan. Untuk memajukan dunia pendidikan, Pemerintah Kabupaten Jembrana menggunakan kebijakankebijakan afirmatif berdasarkan pelaku, program, dan sarana yang bermain di sektor ini. Terhadap para siswa, Pemerintah Kabupaten Jembrana menerapkan pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah (SMA) bagi mereka yang menempuh pendidikan di sekolah negeri. Bagi yang bersekolah di swasta, Pemerintah Kabupaten memberikan beasiswa bagi siswa tidak mampu. Program ini untuk membuka kesempatan yang sama bagi seluruh warga masyarakat untuk mengecap pendidikan. Bagi tenaga pendidik, insentif Rp 5.000,00/jam mengajar dan tunjangan Rp 1 juta setiap tahun merupakan instrumen pendorong semangat mengajar sekaligus membantu memperbaiki kesejahteraan guru. Namun, ini tidak melupakan upaya perbaikan infrastruktur pendidikan. Di saat banyak sekolah di berbagai daerah mengalami kondisi fisik yang memperihatinkan, Pemerintah Kabupaten Jembrana justru melakukan perbaikan gedung dan sarana belajar-mengajar. Untuk mengoptimalkan fungsi pendidikan yang tidak terperangkap pada rutinitas pengajaran, Pemerintah Kabupaten Jembrana menyelenggarakan Sekolah Kajian. Sekolah ini memadukan sistem pendidikan yang diberlakukan di sejumlah sekolah, seperti SMA Taruna Nusantara, Pondok Pesantren, serta pola pendidikan di sekolah-sekolah Jepang. Jadilah kemudian model sekolah ini berorientasi pada pengembangan pendidikan secara lebih inovatif, muatan disiplin yang tinggi, pendidikan akhlak secara intensif, keterampilan praktis, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini, dan berwawasan global. Secara praktis sekolah ini dilaksanakan dengan sistem asrama (boarding school) dengan konsep full-day school dalam pengertian yang sebenarnya, ditandai dengan waktu belajar yang lebih lama daripada sekolahsekolah konvensional serta interaksi antara peserta didik dan pengasuh/gurunya lebih intensif. Pilot project program ini adalah SMPN 4 Mendoyo dan SMAN 2 Negara.
Berbeda dengan contoh di tiga kabupaten tadi, Pemerintah Kabupaten Sragen tidak menerapkan pendidikan gratis. Anggaran yang ada lebih banyak dialokasikan pada upaya peningkatan kualitas keterampilan kerja masyarakat, baik untuk keperluan bersaing di dunia kerja maupun modal nonfinansial dalam berwirausaha. Inilah yang dijalankan Pemerintah Kabupaten Sragen melalui program pelatihan kerja masyarakat secara gratis dan swadana di Badan Diklat. Pendidikan dalam jalur formal diasumsikan lebih banyak dititikberatkan pada pengasahan pengetahuan, sementara untuk tetap bertahan di lapangan dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan, yakni keahlian praktis, pengalaman yang memadai, dan semangat berwirausaha. Pemerintah Kota Tarakan juga tidak menerapkan pendidikan gratis. Jika di Halmahera Selatan pendidikan gratis diarahkan untuk mencapai keadilan antaretnis, Pemerintah Kota Tarakan memandang pendidikan gratis justru mengarah pada ketidakadilan berdasarkan stratifikasi sosial antara masyarakat mampu dan kurang mampu. Sebagai gantinya, diselenggarakan subsidi silang antara siswa yang mampu kepada siswa yang kurang mampu. Bentuk beasiswa yang diberikan pun terbagi atas dua jenis: beasiswa tdak mampu dan beasiswa prestasi, serta dibagikan kepada para siswa di sekolah negeri dan swasta. Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan masyarakat biasanya tercermin atas tiga hal. Pertama, infrastruktur dan sarana penunjang yang tidak memadai, sebaliknya justru kumuh dan tak terawat. Kedua, pelayanan kesehatan oleh tenaga medis dan ketersediaan obat-obatan yang terbatas. Ketiga, biaya pelayanan kesehatan yang mahal. Pemerintah Kabupaten Jembrana, Bali, menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) untuk mengatasi problem kesehatan masyarakat. Subsidi bidang kesehatan semula diarahkan pada pengadaan obat-obatan di RSUD dan puskesmas sesuai kebutuhan masyarakat. Namun, subsidi ini kemudian dialihkan langsung kepada pengguna jasa kesehatan,
116
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2012, hlm. 59-141
yakni masyarakat itu sendiri, dengan mekanisme asuransi jaminan kesehatan. Subsidi ini diberikan dalam bentuk premi biaya rawat jalan tingkat pertama di unit-unit pelayanan kesehatan yang telah melakukan kesepakatan dalam bentuk kontrak kerja dengan Badan Penyelenggara JKJ. Karena subsidi untuk obat-obatan telah dialihkan ke premi asuransi JKJ, RSUD dan puskemas mesti mencari sendiri pembiayaan untuk pengadaannya. Peserta JKJ adalah seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin dengan perolehan kartu keanggotaan JKJ yang bisa dipergunakan untuk menjalani pengobatan rawat jalan di unit pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. Di Halmahera Selatan, hal serupa dijalankan oleh pemerintah kabupaten melalui Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati. BLUD menyelenggarakan jaminan kesehaan daerah dengan sistem iuran mirip dengan premi asuransi di Jembrana. Kesehatan gratis diselenggarakan bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Yang juga diprioritaskan oleh pemerintah kabupaten adalah pembukaan unit-unit pelayanan kesehatan di seluruh pelosok wilayah Halmahera Selatan. Hal ini menemukan urgensinya tersendiri mengingat Halmahera Selatan terdiri atas daratan dan kepulauan. Namun, diproyeksikan ke depan, melalui iuran masyarakat dalam jumlah yang terjangkau, Rp 5.000,00/bulan, bagi tiap orang masyarakat bisa mendapatkan layanan pengobatan. Uraian di atas menunjukkan bahwa pengalaman beberapa daerah dalam menerapkan inovasi biasanya dimulai dengan pembenahan kelembagaan birokrasi pemerintah daerah sebelum akhirnya merambah pada pembenahan di sektor lain, misalnya peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akss masyarakat ke dalamnya, peningkatan mutu kesehatan, penggalian potensi daerah untuk melakukan pembangunan berbasis keunggulan lokal, penggalakan usaha-usaha di bidang jasa, dll. Beberapa penelitian hingga kini masih menemukan bahwa perubahan-perubahan pada aparatur pemda masih terkait erat dengan langgam keterikatan sistem yang diberlakukan secara birokratis.
Belum ada penemuan mutakhir bahwa perubahan tersebut mencakup perubahan secara ideologis dan paradigmatik, dua hal yang justru menjadikan perubahan lebih permanen tanpa ketergantungan pada sistem dan figur kepala daerah. Kelemahan inilah yang menjadikan inovasi masih belum terlembaga apalagi menjadi sebuah sistem yang dapat direplikasi dan diadaptasi di daerah-daerah lainnya. Mesipun kesadaran perlunya inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tampaknya makin menguat, namun kenyataannya belum banyak pemerintah daerah sekarang ini yang menerapkan inovasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya. Dari keseluruhan jumlah pemerintah daerah yang terdiri dari 33 provinsi dan 472 Kabupaten/Kota, diperkirakan tidak lebih dari 5% yang menonjol dalam inovasi (Sutoro, 2008). Pada umumnya, pemerintah daerah masih menerapkan penyelenggaraan pemerintahan sebagai rutinitas, business as usual. Berbagai upaya pemerintah untuk mendorong inovasi pada birokrasi melalui berbagai penghargaan, juga tidak banyak menunjukan hasil sebagaimana yang diharapkan. Secara teoretik, hal ini dapat dijelaskan melalui konsep “innovation capability” atau kemampuan inovasi. Menurut Terziovski (2007), kemampuan inovasi ini menyediakan potensi bagi munculnya inovasi yang efektif. Dengan demikian, kemampuan inovasi dari masing-masing lembaga pemerintah sangat berperan dalam penciptaan kreativitas dan inovasi yang berujung pada peningkatan kinerja birokrasi pemerintah. Mengacu pada definisi Lawson dan Samson (2001) tentang kemampuan inovasi, kemampuan inovasi birokrasi pemerintah dimaknai sebagai kemampuan birokrasi pemerintah untuk mentransformasikan secara berkelanjutan pengetahuan dan gagasan ke dalam berbagai bentuk pelayanan, proses, dan sistem yang baru, bagi keuntungan lembaga dan stakeholders. Kemampuan inovasi dalam pemerintahan bukanlah konsep yang berdiri sendiri, tetapi ia berkaitan dengan berbagai aspek manajemen, kepemimpinan, dan aspek teknis seperti alokasi sumberdaya stratejik, pemahaman kepentingan
Inovasi untuk Orientasi Baru Otonomi Daerah (Ernawati) 117
stakeholders, dan lain-lain. Banyaknya faktor yang mempengaruhi kemampuan inovasi dalam pemerintahan, berakibat kemampuan setiap lembaga pemerintah untuk melakukan inovasi berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut sangat penting untuk dikenali, terutama untuk membangun strategi yang memadai bagi peningkatan kemampuan inovasi suatu lembaga pemerintah. Hanya saja, pengenalan terhadap faktor-faktor tersebut, bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan, pada lembagalembaga yang sudah berhasil melakukan inovasi sekalipun, hanya sedikit yang memahami faktorfaktor yang mempengaruhi suksesnya inovasi (Assink, 2006). Kompleksitas dalam menggagas suatu inovasi menyebabkan inovasi dalam bidang pemerintahan tidak mudah dilakukan. Borins (2001) mengatakan ada tiga penghambat inovasi. Pertama muncul dari dalam birokrasi itu sendiri, yaitu sikap yang skeptis dan enggan berubah. Sikap ini muncul karena perubahan yang dibawa oleh inovasi akan berdampak pada kemapanan mekanisme yang selama ini menjadi kekuatan birokrasi. Inovasi dalam kelembagaan pemerintah akan berdampak pada penyederhanaan ketatalaksanaan, yang kemudian akan berdampak pada perampingan struktur, rasionalisasi jumlah pegawai, dan perubahan peran serta tanggung jawab aparat birokrasi. Bagi birokrasi yang telah terbiasa dengan kemapanan, maka perubahan tersebut akan menjadi ancaman terhadap eksistensinya. Karena itu, resistensi, baik terbuka maupun tersamar, sangat potensial muncul dari birokrasi terhadap upaya-upaya inovasi. Resistensi terhadap inovasi juga bisa disebabkan oleh sistem penganggaran dan pengelolaan sumber daya yang berdasarkan pendekatan proyek. Sistem ini justru dapat menyebabkan gagasan inovatif kehilangan momentum ketika akan direalisasikan karena terjebak dalam prosedur yang birokratis. Penghambat yang kedua berasal dari lingkungan politik. Tuntutan inovasi kadangkadang tidak bisa dipenuhi karena lingkungan politik yang tidak kondusif seperti penambahan anggaran, peraturan-peraturan yang mengham-
bat dan kepentingan-kepentingan golongan. Pada periode awal kepemimpinannya, Bupati Jembrana tidak langsung memperoleh dukungan dari DPRD untuk merealisasikan gagasangagasan inovatifnya karena kekuatan politik di DPRD lebih besar dibandingkan kekuatan politik partai pendukung Bupati. Konstelasi kekuatan politik antara eksekutif dan legislatif menjadi faktor penting dapat mendukung atau sebaliknya menghambat perkembangan inovasi. Keenganan legislatif untuk mendukung gagasan inovasi dari kepala daerah akan berdampak pada hambatanhambatan dalam pengalokasian anggaran dan sumber daya lainnya yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan inovasi. Hambatan ketiga berasal dari lingkungan di luar sektor publik seperti keraguan publik terhadap efektivitas suatu program, kesulitan melaksanakan program terutama dalam menentukan kelompok sasaran, atau penentangan dari kelompok lain yang terkena dampak dari perubahan tersebut. Minimnya kepercayaan publik terhadap niat baik dibalik penerapan inovasi atau keraguan terhadap kapasitas pemerintah dalam merealisasikan gagasan inovasi tersebut dapat menimbulkan penentangan terhadap upaya-upaya inovasi. Selain ketiga faktor tersebut, hambatan terhadap pengembangan inovasi juga dapat bersumber dari pemerintah pusat. Ketiadaan kebijakan yang mendukung di tingkat pusat akan berakibat pada kecenderungan daerah untuk bersikap menunggu dan enggan mengambil resiko, bukan hanya resiko kegagalan dalam bereksperimen menerapkan inovasi tapi juga resiko hukum akibat tuduhan telah melakukan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai melanggar undang-undang. Kondisi ini membuat banyak pemimpin pemerintahan di daerah takut berinovasi, sehingga upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pun tertunda. SIMPULAN Nilai penting inovasi tidak dapat diperdebatkan lagi. Apalagi dalam lingkungan yang makin kompetitif dewasa ini. Kapasitas untuk berino-
118
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2012, hlm. 59-141
vasi dan menyebarluaskan inovasi tersebut menjadi faktor krusial yang menentukan daya saing suatu daerah bahkan negara di kancah global. Sebagai sebuah sistem, inovasi tidak dapat berdiri sendiri atau terwujud secara otomatis tanpa ada upaya untuk mengembangkan, menerapkan, serta menyebarluaskannya. Karena itu, di masa mendatang, tantangan yang lebih besar bukan sekedar mendorong munculnya inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan tapi bagaimana mendorong penyebarluasan inovasi tersebut. Pengembangan inovasi sebagai sebuah sistem tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada inisiatif daerah-daerah yang cenderung bersifat parsial dan parokial. Pemerintah pusat harus berperan lebih banyak dalam mengembangkan sebuah sistem inovasi nasional yang akan melembagakan kinerja inovasi, mulai dari riset, implementasi, recognisi, dan replikasi berbagai praktik inovatif sehingga penyebarluasannya menjadi lebih luas. Dukungan dari sisi kebijakan dan anggaran untuk pengembangan sistem inovasi ini perlu diperkuat dengan mengembangkan berbagai skema kemitraan dengan aktor-aktor non pemerintah, baik di dalam maupun luar negeri, sehingga ada sinergi yang optimal untuk mendorong perkembangan inovasi, baik antara pemerintah dengan non pemerintah maupun antara pemerintah pusat dan daerah-daerah.
DAFTAR RUJUKAN Eko, Sutoro. 2008. “Daerah Budiman: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan”. IRE’S Insight Working Paper, Vol. III, Februari. Yogyakarta: Institute for Research Empowerment. Harris, Michael dan Rhonda Kinney (eds). 2003. Innovation and Entrepreneurship in State and Local Government. USA: Lexington Books. Kelman, Steve. 2005. Public Management Needs Help. Academy of Management Journal. Harvard University. Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah. Jakarta: Elex Media Komputindo. Paskarina Caroline, 2009, Inovasi, Orientasi Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, LPPM Universitas Padjadjaran. Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Diunduh dari http://pkai.org/pdf/Inovasi% 20Sektor%20Publik.pdf Wibawa, Fahmi (ed). 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Jakarta: Kemitraan dan Jawa Pos Institute Pro Otonomi Daerah.