Kewarganegaraan OTONOMI DAERAH (12) A. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah berasal dari kata “autonomy” dimana “auto” artinya sedia dan “nomy”artinya aturan atau undang-undang, jadi autonomy artinya hak untuk mengatur dan memerintah daerah sendiri atas inisiatif sendiri dan kemampuan sendiri dimana hak tersebut diperoleh dari pemerintah pusat. Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain pengertian otonomi daerah sebagaimana disebutkan diatas, kita juga dapat menelisik pengertian otonomi daerah secara harafiah. Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri
atau kewenangan untuk membuat aturan guna
mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah. Berdasarkan pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas sesungguhnya kita telah memiliki gambaran yang cukup mengenai otonomi daerah. Namun perlu diketahui bahwa selain pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas, terdapat juga beberapa pengertian otonomi daerah yang diberikan oleh beberapa ahli atau pakar. Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar, antara lain: Pengertian Otonomi Daerah menurut F. Sugeng Istianto, adalah: “Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”. Menurut Ateng Syarifuddin, adalah: “Otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan”
B. Deskripsi Otonomi Daerah Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk
system
penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewaj iban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada tingkat yang terendah, otonomi berarti mengacu pada perwujudan free will yang melekat pada diri-diri manusia sebagai satu anugerah paling berharga dari Tuhan (Piliang,
2003).
Free
will
inilah
yang
mendorong
manusia
untuk
mengaktualisasikan diri dan menggali seluruh potensi terbaik dirinya secara maksimal. Berawal dari individu-individu yang otonom tersebut kemudian membentuk komunitas dan menjadi bangsa yang unggul. Otonomi individu menjadi modal dasar bagi terbentuknya otonomi pada level yang lebih tinggi. Otonomi daerah adalah manifestasi dari keinginan untuk mengatur dan mengaktualisasikan seluruh potensi daerah secara maksimal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerah dipandang penting karena otonomi merupakan kebutuhan hakiki dimana daerah memiliki keinginan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah memberikan peluang untuk bersaing secara sehat dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat dan juga antardaerah. Untuk itu, otonomi daerah perlu diperkuat dengan peraturan yang jelas dan rambu-rambu yang disepakati bersama untuk menjamin keteraturan sosial dan mencegah timbulnya kerawanan sosial yang tidak perlu Ciri-ciri hakikat otonomi yang independen yaitu legal self sufficiency dan actual independence.
Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan,
otonomi daerah berarti self government atau the conditition of living under one’s
own
laws
(Sarundajang,
1999).
Karena
itu,
otonomi
lebih
menitikberatkan aspirasi daripada kondisi. Otonomi daerah menjamin setiap
daerah memiliki peluang yang sama untuk berkembang berdasarkan potensi yang ada. Potensi sumber daya alam dan manusia menjadi akan dapat digali secara optimal jika masing-masing daerah diberi keleluasaan dan jaminan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Otonomi
daerah
sebagai
satu
bentuk
desentralisasi
kebijakan
pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk mendekatkan pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, pelayanan yang diberikan cenderung akan lebih merata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Otonomi daerah berupaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih adil dan makmur. Pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian tugas-tugas kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah memiliki pijakan kuat dalam kerangka Negara federal. Dalam kerangka ini, daerah memiliki hak dan dijamin pelaksanaannya untuk dapat mengelola dan memaksimalkan pembangunan didaerahnya dengan keunikannya masing-masing.
C. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan otonomi daerah kerap menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang menarik bahkan hingga saat ini setelah konsepsi otonomi daerah itu diselenggarakan di Indonesia. Mungkin inilah akibat belum tercapainya tujuan otonomi daerah itu sendiri sesuai dengan gagasan awal pelaksanaannya atau mungkin lemahnya indikasi akan tercapainya tujuan otonomi daerah dengan melihat realitas pelaksanaan otonomi daerah dengan berbagai macam ekses yang telah ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembicaraan mengenai tujuan otonomi daerah selalu dibarengi dengan harapan untuk mewujudkannya. Tujuan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang adalah di atur dalam dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 disebutkan tujuan otonomi daerah sebagai berikut:
Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut disebutkan adanya 3 (tiga) tujuan otonomi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan masyarakat atau adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Sementara upaya peningkatan daya
saing
diharapkan
dapat
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang dimiliki oleh daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam upaya mewujudkan tujuan otonomi daerah, maka konsepsi otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia menggunakan prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Pinsip otonomi seluasluasnya dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan melalui peraturan perundang-undangan kepada daerah untuk membuat kebijakan yang dianggap benar dan adil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya masing-masing. Masing-masing daerah dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya berhak untuk membuat kebijakan baik dalam rangka peningkatan pelayanan maupun dalam rankga peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah yang diharapkan bermuara pada citacita untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat, diberlakukan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan pemberian prinsip otonomi yang nyata adalah bahwa kewenangan, tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi obyektif suatu daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah bahwa penyelenggaraan otonomi
daerah oleh pemerintah daerah di masing-masing daerah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah sebagai bagian dari tujuan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan otonomi daerah tidak boleh dilepaskan dari tujuan otonomi daerah yakni mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan oleh karena itu, senantiasa harus memperhatikan apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat di daerah masing-masing.
D. Model Desentralisasi Dan Demokrasi Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalam formasi negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negaranegara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federasi itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal. Dalam negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah, apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya
bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat
independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya. Di asumsikan bahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya
terbentuklah daerah-daerah otonom (Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, 1999). Setiap negara, apapun bentuk negara tersebut, memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan negara. Menurut Dr. Pratikn (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu; fungsi pelayanan publik (public services), fungsi pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer/memberikan kewenangan dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah ini menurut Litvack & Seddon (1999 :2) di namakan juga dengan ”desentralisasi” “Decentralization is the transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independece government or organization, or the private sector” Rondinelli (1981)mengartikan desentralisasi sebagai “transfer of political power”. Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah. Selanjutnya menurut Rondinelli, terdapat empat model desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi. Istilah dekonsentrasi
ini dipakai untuk menggambarkan pemindahan
beberapa kekuasaan administrasi ke kantor-kantor daerah dari Departemen pemerintah pusat. Karena dalam model ini hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politis, maka jenis ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dekonsentrasi ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering diterapkan di negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1970-an.
Istilah Devolusi ini merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional. Biasanya di tingkat subnasional telah mempunyai status hukum yang jelas, mempunyai batasan geografis yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari pendapatan dan membelanjakannya. Istilah Delegasi ini merupakan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi–organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat. Dan sementara privatisasi ini merupakan pemindahan tugas-tugas dan pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan-perusahaan privat yang mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara yang sedang berkembang telah lamah bergantung kepada organisasi-organisasi sukarela dalam penyediaan pelayanan publik. Karena seringnya pemerintah tidak dapat menanggung biaya pengembangan maka dicarilah alternatifalternatif pembiayaan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan publik. Pendapat lain tentang desentralisasi dikemukakan oleh Carolie Bryant dan Louise G White. Desentralisasi diartikannya sebagai transfer kekuasaan/kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik. Desentralisasi administratif adalah pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat daerah, sedangkan desentralisasi politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan daerah. Konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan
dan
pengawasan
kepada
pemerintah
lokal
adalah
akan
memberdayakan kemampuan daerah (empowerment local capasity). Apabila pemerintahan daerah diserahi tanggung jawab terhadap sumber daya, maka kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah daerah hanya ditugaskan untuk mengikuti kebijakan pusat maka partisipasi para elit daerah dan warganya akan rendah. Akibatnya, daya
kreativitas, dan inovasi masyarakat menjadi lemah dan tidak berkembang serta tingkat ketergantungan masyarakat dan pemerintahan daerah kepada pusatnya semakin tinggi. Menurut Rondinelli, harus dibedakan antara desentralisasi fungsi dan desentralisasi geografis. Pembedaan ini dalam organisasi sistem pelayanan kesehatan misalnya, sangat relevan. Dalam desentralisasi fungsional, badan yang berwenang dalam menjalankan fungsi tertentu misalnya pelayanan kesehatan diubah ke kantor daerah yang khusus. Dalam desentralisasi wilayah, tanggung jawab luas dalam pelayanan masyarakat dipindah ke-organisasiorganisasi daerah yang telah mempunyai wilayah kerja yang jelas. Organisasi pelayanan kesehatan dapat didesentralisasi dalam dua cara tersebut, tetapi departemen- departemen mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi derajat desentralisasi fungsional dibanding dengan desentralisasi wilayah, dimana sektor kesehatan hanya merupakan salah satu pelayanan pemerintah yang didesentralisasi. Prof Dr. Riswandha Imawan (2005 : 39) mengatakan bahwa “desentralisasi merupakan konsekwensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Dengan demikian, setiap keputusan harus dibicarakan bersama dan pelaksanaan dari keputusan itu didesentralisasikan menjadi elemen penting dalam proses demokratisasi. Bahkan secara tegas dinyatakan oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA (2007 : 17-18) bahwa “Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Hal ini berarti ”Tidak ada demokrasi pemerintahan tanpa desentralisasi” Menurut Sutoro Eko (2003 : 2), keterkaitan antara desentralisasi dan demokratisasi kemudian melahirkan konsep desentralisasi demokratis atau model Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat (ODBM). Selanjutnya dikatakan oleh Sutoro Eko bahwa : Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi berbasis kepada partisipasi masyarakat. Semuanya berasal dari masyarakat dan dikembalikan untuk masyarakat, yaitu
otonomi daerah yang dibangun dari partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab oleh masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif untuk masyarakat” Konsep ODBM identik dengan konsep desentralisasi demokratis (democratic decentralization), yaitu bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal dan antara pemerintah lokal dengan warga masyarakat. Menurut Camille Barnett, dkk (1997) yang dikutip oleh Sutoro Eko, desentralisasi demokratis hendak mengelola kekuasan untuk mengembangkan
kebijakan,
perluasan
proses
demokrasi
pada
level
pemerintahan yang lebih rendah, dan mengembangkan standar (ukuran) yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung secara berkelanjutan.
E. Implementasi Otonomi Daerah Implementasi otonomi daerah bagi daerah tingkat 1 dan tingkat 2, seiring dengan pelimpahan wewenang pemerintah pusat dapat dikelompokkan dalam lima bidang yaitu implementasi dalam pembinaan wilayah, pembinaan sumber daya manusia, penanggulangan dan percepatan penurunan kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah daerah, serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work). 1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Wilayah a. Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran, dan tanggungjawab pemerintah pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan otonomi tanpa batas. Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia itu satu eenheidstaat”, Indonesia tidak akan mempunyai daerah dengan status staat atau negara. Otonomi tidak dirancang agar suatu daerah memiliki sifat-sifat seperti suatu negara. Pemerintah pusat dalam kerangka otonomi masih melakukan pembinaaan wilayah. Pembinaan wilayah dapat diartikan bagaiman mengelola dan mengerahkan segala potensi wilayah suatu daerah untuk di dayagunakan secara terpadu guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Potensi wilayah termasuk segala potensi sumber daya yang mencakup potensi
kependudukan, sosial ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan. b. Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan tugastugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Pada prinsipnya pembinaan wilayah diserahkan kepada daerah unuk mengelola sumber daya yang potensial untuk kesejahteraan daerah, dan dalam negara kesatuan, tugas pemerintah pusat melakukan pengawasan. Bentuk pengawasan dalam otonomi daerah adalah seluruh rancangan kegiatan dan anggaran daerah tingkat II dibuat kepala daerah dan DPRD II, serta diperiksa oleh gubernur. Untuk rencana kegiatan dan anggaran tingkat I, dibuat gubernur dan DPRD I, dan diperiksa oleh menteri dalam negeri atas nama pemerintah pusat. c. Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum,
yaitu
memfasilitasi
penyelenggaraan dan
pemerintahan
mengakomodasi
kebijakan
pusat
di
daerah,
daerah, menjaga
keselarasan pemerintah pusat dan daerah, menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah, menyelenggarakan kewenangan daerah, dan menjalankan kewenangan lain. d. Pejabat pembina wilayah dilaksankan oleh kepala daerah yang menjalankan dua macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan umum. 2. Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia a. Pelaksaan otonomi daerah memberikan wewenang pembinaan sumber daya manusia kepada daerah. Hal ini tugas berat bagi daerah, karena SDM pada umumnya mempunyai tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak maksimal. Menurut kaloh (2002) banyak faktor yang menyebabkan kinerja pegawai negeri sipil (PNS) rendah, yaitu: (a) adanya monoloyalitas PNS kepada satu partai pada zaman ORBA, sehingga mendorong PNS bermain politik praktis atau tersembunyi, (b)
prose rekrutmen PNS masih tidak sesuai dengan ketentuan yang ada berdasarkan jenis dan persyaratan pekerjaan, (c) rendahnya tingkat kesejahteraan, (d) penempatan dan jenjang karir tidak berdasarkan jenjang karir dan bidang keahlian, dan (e) PNS terkesan kurang ramah, kurang informatif, dan lamban dalam memberikan pelayanan. b. Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pemerintah membutuhkan PNS yang tanggap, responsip, kreatif, dan bekerja secara efektif. c. Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar daerah dan pusat, pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan jaringan dan kerja sam tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi. d. Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berkreatif dan membuat terobosan baru, (3) mendorong PNS berani mengambil resiko,
(4)
memberikan
penghargaan
bagi
yang
berhasil,
(5)
mengembangkan pola komunikasi yang efektif antar PNS, (6) membangu suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja profesional; dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik. e. Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat perencanaan, melaksanakan kerja denga pengawasan yang memadai, menentukan prioritas, memecahkan masalah dengan inoivatif, melakukan komunikasi lisan dan tulisan, melakukan hubungan antar pribadi, dan memperhatikan waktu kehadiran dan kretaivitas. f. Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi. Pelayanan pemerintah sering kali banyak mengalami penyimpangan yang disebabkan sistem birokrasi, atau keinginan menambah penghasilan dari pegawai. Pemda harus melakukan perbaikan dengan: menegakan disiplin pegawai dengan memberikan penghargaan dan sanksi, memberikan pelayanan yang
berorientasi pelanggan, menetapkan tanggung jawab dengan jelas, dan mengembangkan budaya birokrasi yang bersih, serta memberikan pelayanan cepat dan tepat dengan biaya murah. 3.
Implementasi Otonomi Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan a. Masalah merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah. Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya. b. Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU nomor 25 tahun 1999, dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan didukung dana yang cukup dari APBD. Pengentasan kemiskinan menggunakan prinsip: penegmbangan
SDM
dengan
memberdayakan
peranan
wanita,
membrdayakan dan memprmudah akses keluarga miski utuk berusaha, dengan
mendekatkan
pada
modal
dan
pemasaran
produknya,
menanggulangi bencana, dan membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin. c. Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan berdasarka karakter penduduk dan wilayah, dengan melakukan koordinasi antarinstansi yang terkait. d. Pembangunan
dalam
rangka
penanggulangan
kemiskinan
harus
mengedepankan peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan ivestasi yang dapat menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin. e. Membangun paradigma baru tentang peranan pemda, yaitu dari pelaksana menjadi fasilitor, memberikan interuksi menjadi melayani, mengatur menjadi memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk mencapai misi pembangunan. f. Dalam pemberdayan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga
miskin,
turut
mengendalikan
pembangunan
fisik,
memberikan sosialisasi gerakan terpadu pengentasan kemiskinan.
dan
g. Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil kebijakan keluarga, yaitu mendata dengan benar karakter keluarga miskin, mengidentifikasi tipe dan pola keluarga miskin, melakukan intervensi kebijakan, yang meliputi kebijakan penyediaan sumber daya melalui pendidikan dan pelatihan, menyediakan program yang mendorong kesempatan kerja, dan menyediakan program untuk membangun lingkungan fisik masyarakat miskin, seperti prasarana jalan, jembatan, perumahan, listrik dan air bersih, dan pada tahap akhir pemda melakukan evaluasi efektivitas dari pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. 4. Implementasi Otonomi Daerah dalam Hubungan Fungsional Eksekutif dan Legislatif a. Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD. Ketidakharmonisan dipicu oleh interprestasi dari UU nomor 22 tahun
1999,
yang
menyatakan
peran
legislatif
lebih
dominan
dibandingkan peran pemda, dan hal ini bertentangan dengan kondisi sebelumnya, dimana pemda lebih dominan daripada DPRD. b. Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemrintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. c. Asas dalam otonomi menurut UU No. 22 tahun 1994 adalah: (1) penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang hankam, luar negeri, peradilan, agama, mpneter, dan fiskal, (2) pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan (3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas teretentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.
d. Kepala daerah mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggung jawab kepada DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur. e. DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota,
membentuk
peraturan
daerah,
menetapkan
anggaran
pendapatan belanja daerah, melaksankan pengawasan. Memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. f. Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan komunikasi yang intensuf, baik untuk tukar menukar informasi, dan pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah. g. Prinsip kerja dalam hubungan antara DPRD dengan kepala daerah adalah: proses pembuatan kebijakan transparan, pelaksanaan kerja melalui mekanisme akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan, prosedur dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika. 5. Implikasi Otonomi Daerah dalam Membangun Kerja Sama Tim a. Koordinasi merupakan maslah yang serius dalam pemerintah daerah. Sering bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperti PAM,PLN, dan Telkom menunjukan lemahnya koordinasi selama ini. b. Dalam rangka otonomi, di mana pemda mempunyai wewenang mengatur enam bidang selain yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur sektir riil seperti transportasi, sarana/prasarana, pertanian, dan usaha kecil, serta wewenang lain yang ditentukan undang-undang. c. Lemahnya koordinasi selam otonomi daerah telah menimbulkan dampak negatif, di antaranya: inefisiensi organisasi dan pemborosan uang, tenaga dan alat, lemahnya kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan
keputusan tertunda-tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi integrasi dan sinkronisasi pembangunan. d. Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di pemda antara lain karena sesama instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak adanya rencana pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak strategis, rendahnya kemauan kerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando, rendahnya keterampilan, integritas dan kepercayaan diri. e. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah harus menciptakan kerja sama tim. Kerja tim dilaksanakan dengan (1) pelatihan kepada PNS pemda untuk menumbuhkan komitmen, integritas, kejujuran, rasa hormat dan percaya diri, peduli terhadap pemerintah daerah, mempunyai kemauan dan tanggung jawab, matang secara emosi, dan mempunyai kompetensi, (2) mengembangkan visi dan misi pemerintahan daerah yang menjadi acuan kerja, (3) membuat sistem kerja yang baik, yaitu adanya kejelasan tugas pokok, fungsi dan akuntabilitas pekerjaan, dan (4) membangun suasana dialogis antar pimpinan dan staf pemda. Terkait dengan implementasi otonomi daerah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan otonomi daerah, yaitu: 1. Meningkatkan kualitas SDM. Yang dapat dilakukan melalui: a. Pelaksanaan seleksi PNS yang jelas, ketat, yang baik, serta berdasarkan pekerjaan dan spesifikasi lowongan pekerjaan. b. Peningkatan kompetensi, keterampilan, dan sikap melalui pelatihan dan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah, serta mengevaluasi keefektifan program pendidikan dan pelatihan. c. Penempatan PNS berdasarkan kompetensi, minat, dan bakat, serta kebutuhan pemerintah daerah. d. Pengembangan SDM yang kreatif, inovatif, fleksibel, profesional, dan sinergis di pemda.
2. Menindaklanjuti ketentuan undang-undang tentang otonomi dengan peraturan daerah yang terkait dengan kelembagaan, kewenangan, tanggung jawab, pembiayaan, SDM, dan sarana penunjang terhadap penugasan wewenang yang dilimpahkan pemerintah pusat. 3. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. 4. Mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif, objektif, rasional, dan modern.
F. Tantangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa yang menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Namun dalam realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-citanya. Tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial budaya. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin sejuk reformasi berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria reformasi dan dalam situasi dimana krisis ekonomi sedang mencekik tingkat kesejahteraan
rakyat,
Negara
Indonesia
membuat
suatu
keputusan
pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di Judicial Review dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Judicial review ini dilakukan setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut dilaksanakan dengan mendasarkannya pada logika hukum. Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan dimana mereka harus memahami peraturan perundang-undangan hasil judicial
review. Tanpa adanya pemahaman yang baik dari aparatur, maka bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang sering terjadi dimana peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan realitas hukum masyarakat sehingga kehilangan nilai sosialnya dan tidak dapat dilaksanakan. Wacana ini pernah ditulis oleh Hikmahanto Yuwono dan dimuat di harian Kompas pada tahun 2002. Pelaksanaan otonomi daerah telah mendorong lahirnya banyak perubahan di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka yang berperan siap dengan kondisi yang akan mereka hadapi. Diserahkannya kewenangan untuk mengelola potensi daerah kepada pemerintah daerah tidak berarti bahwa daerah bisa secara massif berupaya meningkatkan pendapatan daerah yang disisi lain justru berpotensi mengurangi investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Demikian pula bahwa perencanaan pembangunan di daerah mesti didasarkan pada analisa yang obyektif bukan sekedar ambisi kepala daerah dan harrus secara bijak memperhatikan kepentingan masyarakat kecil. Belakangan ini kita sangat sering menyaksikan bagaimana para pedagang kecil yang harus disejahterakan melalui pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi korban penggusuran.
Daftar pustaka Prof. Dr. Azyumaroi Azra, MA.2003.Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) : demokrasi, Hak asasi manusia dan masyarakat madani (jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah) Sriyanti,
A.Rahman
dkk,
2009,
Pendidikan
Kewarganegaraan
Mahasiswa.Yogyakarta : graha ilmu) http://otonomidaerah.com/pelaksanaan-otonomi-daerah/
untuk