Refleksi Kritis Otonomi Daerah Oleh: Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta Salah satu mandat dasar gerakan reformasi 14 tahun lalu adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Tujuan besarnya tak lain adalah membangun Indonesia dari daerah, melalui segala upaya pemajuan demokrasi dan kesejahteraan. Otonomi memang tetap eksis bahkan diterima sebagai point of no return dalam agenda pembangunan bangsa, tetapi apakah daerah menjadi kian demokratis dan sejahtera tetap menjadi pertanyaan serius nan menggugat. Artikel kritis-reflektif ini berupaya mengetengahkan peta masalah yang ada dan menawarkan pilihan-pilihan tindakan ke depan bagi pembaruan menuju otonomi yang lebih bermakna bagi publik.
H
adirnya desentralisasi dan otonomi daerah kerap dibalut suatu narasi besar: suatu keyakinan akan jalan ideal memperkuat demokrasi lokal bahkan nasional (Smith, 1985), meningkatkan efek-
tivitas layanan publik dan kapasitas teknokrasi negara (governability), mendorong realokasi ulang nilai, kuasa dan sumber daya (ekonomi), serta mengakselerasi laju pembangunan yang lebih bermutu. Ringkasnya, otonomi acap dipercaya sebagai rute alternatif bagi penguatan negara di satu sisi, serta keberdayaan dan kesejahteraan rakyat pada sisi lain. Namun, fakta umum di Republik ini --selepas dua belas tahun kita berotonomi dan menyelenggarakan pemerintahan desentralistis-- jalan yang dilalui terasa berliku, bahkan sebagian berputar pada radius gerak pendek. Yang lebih banyak hadir adalah deretan paradoks, bukan pada aras instrumentasi saja, tapi malah masih berkenan soal-soal besar seputar visi pembangunan dan pilihan
kebijakan yang seringkali berseberangan dengan
Joel Migdal) dalam relung kehidupan masyarakat
denyut kebutuhan dan masalah nyata masyarakat.
tak saja membersitkan rasa apatis-skeptis terhadap
Ujung semua itu, dua tujuan akhir otonomi: de-
politik, tetapi juga berpotensi tergerusnya keper-
mokrasi lokal dan kesejahteraan sosio-ekonomi,
cayaan (trust) publik yang sejatinya menjadi basis
menjadi tak tentu hasilnya.
otonomi itu sendiri.
Padahal, sejak otonomi mulai diterapkan
Desentralisasi yang hanya menghasilkan
lebih dari sedekade lalu, dasar hukum pokok pen-
demokrasi terbajak dan kesejahteraan yang men-
gaturan pemerintahan daerah (UU No.22/1999
jauh semacam itu jelas makin menyulitkan ikhtiar
maupun UU No.32/2004) selalu menempatkan
membuka akses keadilan bagi segenap warga ne-
desentralisasi
menuju
gara yang selama ini berada di garis tepi pemban-
kondisi masyarakat sejahtera. Gramatika rumusan
gunan. Padahal, negara lewat piranti pemerin-
dalam dua undang-undang itu bermakna jelas: de-
tahannya tidak saja berperan sebagai institusi alter-
sentralisasi pada dirinya mengandung nilai-nilai
natif tatkala warga negara belum mampu menyan-
instrumental, tapi sekaligus inheren di dalamnya
tuni dirinya atau hanya menjadi substitusi ketika
nilai-nilai esensial demokrasi dan kesejahteraan
pasar terbukti gagal bekerja (market failure), me-
sebagai muara akhir. Rumusan normatif ini telah
lainkan dalam dirinya Negara menjadi pihak ber-
mencerminkan perkembangan gagasan ikhwal pe-
tanggung jawab guna mengurai segala belitan ma-
merintahan lokal modern, meski fakta menunjukan
salah dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar
ironi jauh panggang dari api.
warga sebagai pemenuhan makna esensial keadilan.
sebagai
jalan
strategis
Bukti kesejahteraan adalah fungsi dari tanda Realisasi
desentralisasi
yang
defektif
hadirnya negara.
semacam itu pada gilirannya berimbas pada pesimisme rakyat akan tuah otonomi. Pergeseran
Otonomi yang Dibajak Elite
fase transisi ke konsolidasi desentralisasi yang tak
Pembacaan mendasar yang mesti diajukan
diikuti gerak maju (capaian) otonomi dan justru
pertama-tama di sini adalah bahwa berbagai ma-
macet di tataran instrumentalis (tentu lebih dijejali
salah seputar proyek demokrasi dan kesejahteraan
agenda elite ketimbang agenda substantif-publik)
publik di era otonomi ini jelas tak semata berakar
membuat rakyat kehilangan rasa percaya. Mereka
pada desain institusional desentralisasi, tetapi lebih
tak segera mendapatkan dirinya sebagai bagian dari
fundamental: paradigmatis dan politik. Tesis gagal-
sistem permainan yang ada lantaran ruang
nya desentralisasi untuk menghadirkan kese-
otonomi masih dimonopoli kepentingan elite dan
jahteraan dan layanan publik yang lebih baik di
inkompetensi mereka dalam mengoptimalkan alo-
banyak daerah hingga hari ini, misalnya, adalah ha-
kasi sumber daya tersisa untuk rakyat. Lemahnya
sil pembacaan ekonomi-politik yang men-
bukti kehadiran negara (state in practice, menyitir
dasar, bukan semata merefleksikan pikiran
2
yang terfokus pada sebab-sebab praktis.
kebijakan dan alokasi resorsis APBD berupa proyek, bantuan sosial hingga perizinan investasi
Sepanjang kurun sepuluh tahun kita
di sektor pertambangan jelas amat sarat predatory-
bersibuk diri dengan desain kebijakan yang
interest (Hadiz, 2003), sementara publik hanya
institusionalis, dari mana lalu mengalir deras
menunggu tetesan sisa. Suara agamawan, akade-
berbagai proyek instalasi kerangka kelembagaan
mia, dan aktivis LSM lokal memang dibiarkan
baru demokrasi, sementara pada sisi lain justru lalai
muncul, tetapi efek tandingnya tak sebanding,
untuk memeriksa lebih seksama struktur relasi
bahkan kerap dikooptasi melalui segala ragam mo-
kekuasaan yang timpang dan masih didominasi
dus “peredaman” dari yang bersifat subtil hingga
segelintir elit/oligarki lokal. Kita dibuat terlena
koersif.
dengan kerangka formal kebijakan yang cenderung mendepolitisasi desentralisasi dan mendorong
Sepuluh
tahun
berotonomi,
desain
dislokasi politik dari arena lokal, tetapi fakta di
kebijakan publik di level nasional maupun lokal
lapangan
gagal menyadari satu karakter khas tiap desen-
justru
ditandai
amat
”politisnya”
desentralisasi tersebut. Di sini
tralisasi yang lahir pada konteks
muncul
kontradiksi
antara
transisi reformasi: tidak tuntas-
tataran
legal-formal
yang
nya perubahan struktur eko-
dan
nomi-politik, termasuk relasi
structural
kuasa dan para aktor lama di
efficiency model ketimbang local
dalamnya. Cerdiknya, kelompok
democracy model dengan tataran
yang umumnya datang dari
praktik di lapangan yang justru
masa lalu ini tidak menolak ber-
mengalami
bagai perubahan kelembagaan
terkesan
”antipolitik”
berorientasi
kepada
proses
politisasi
yang hebat. Tidak heran, dalam banyak kejadian,
demokrasi (termasuk pilkada) lantaran mereka ya-
klausul hukum sering gagal menjadi kerangka
kin betul: karakter kekuasaan yang dicangkok
formal mengelola dinamika politik.
dalam kelembagaan itu masihlah mewarisi nilai dan struktur hubungan lama. Alih-alih beradaptasi den-
Padahal,
hidup-mekarnya
demokrasi,
gan pranata dan prosedur demokrasi, mereka ber-
meningkatnya kesejahteraan sosio-ekonomi, serta
hasil memanipulasinya sebagai jalan baru rekon-
membaiknya
solidasi kekuasaan, membajak arah demokrasi,
layanan
dasar
bukan
semata
ditentukan oleh regulasi atau institusi tetapi pula
merampok sumber daya publik, dll.
sebagai hasil dari power relations. Penguasaan otoritas formal dalam jabatan publik yang
Konteks struktural inilah yang melatari jadi
didukung jejaring oligarki berarti penguasaan
sulitnya pilkada langsung, pemekaran atau
instrumen negara (regulasi dan fiskal). Kiblat
perubahan tata kelola (governansi) sebagai
3
jalan perbaikan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi
tersendiri bagi perubahan politik dan birokrasi.
adalah kalangan elite politik dan birokrasi justru
Bersamaan dengan itu, mulai pula terbangun ke-
bersekutu jahat dengan oligarki bisnis (local capture).
berdayaan politik rakyat sebagaimana terlihat pada
Pada titik ini, segenap elemen prodemokrasi perlu
beraninya mereka mendesakkan perubahan kebija-
melihat otonomi ini dalam perspektif relasi kuasa
kan kepada elite Pemda.
(power relations) antarpemangku peran dalam entitas lokal. Suka-tidak-suka, di lapangan, otonomi me-
Namun, bagi gerakan politik demokrasi
mang adalah ruang yang “amat politis”, menjadi
yang signifikan, upaya di atas jelas masih jauh dari
arena (politik) yang saling diperebutkan, di mana
cukup. Para aktivis dan kaum cendikia tampaknya
kontestasi kepentingan di dalamnya sudah tidak
masih mengidap sindrom antinegara dan terkesan
terhindarkan lagi. Dengan pembacaan demikian,
melakukan penghindaran diri dari keterlibatan
pada tataran aksinya kemudian, advokasi yang dila-
dalam politik representasi formal. Masih lebih ban-
kukan tidak lain mesti pula melibatkan upaya inter-
yak kalangan aktivis yang menghabiskan energinya
vensi bahkan pelibatan diri dalam merebut otoritas
dalam gerakan destatisasi dan menjadikan ranah
publik dan arena permainan yang ada sebagai tanda
masyarakat sipil sebagai zona nyaman, ketika insti-
tumbuhnya keberdayaan politik warga (citizen poli-
tusi-institusi demokrasi baru justru dimasuki
tics).
bahkan dibajak para predator. Pengucilan diri ini pada satu sisi membuat mereka menjadi demokrat
Pilihan Tindakan Politik
mengambang yang kurang berakar kuat ke basis
Defisit demokrasi dan akses kesejahteraan
sosial tapi juga tak tersalur dalam wadah resmi ne-
itu tentu tak bisa dibiarkan berlangsung terus,
gara, sementara di sisi lain membuka peluang dis-
apalagi jika bertambah parah. Blok prodemokrasi
torsi keterwakilan dan bahkan terbajaknya agenda
dan elemen masyarakat sipil mesti menata ulang
publik oleh elite oligarkis di ranah politik dan eko-
segala langkah perbaikan dan mengonsolidasi ga-
nomi.
gasan dan gerakan secara politik hingga kerja-kerja teknokratik.
Melihat corak relasi kuasa dan peta oligarki kekuatan dalam politik lokal hari ini, para pegiat
Pertama, secara politik, hari-hari ini di atas
demokrasi patut mewacanakan secara serius upaya
panggung gerakan sosial di sebagian daerah me-
“repolitisasi” masyarakat dan menyusun strategi
mang mulai terlihat tumbuh dan menggeliatnya
untuk merangsek ke ruang politik formal--sambil
upaya pengorganisasian diri (forum warga, dll)
menyepakati sebagian aktivitas lainnya tetap ber-
guna mengadvokasi kebijakan dan perbaikan gov-
tahan di ranah konvensional seperti selama ini. Hal
ernansi, transparansi anggaran, perizinan investasi,
itu menuntut lingkup keterlibatan yang tak lagi se-
dan kerusakan lingkungan. Pada tingkat tertentu,
batas memengaruhi kebijakan tetapi juga
semua ikhtiar tersebut menjadi kekuatan tanding
mendudukui posisi kekuasaan di DPRD
4
ataupun jajaran eksekutif. Transisi menuju konsoli-
kewargaan hingga ke level basis, dengan men-
dasi desentralisasi-demokratik adalah era kerja
dorong kepedulian dan bahkan kesadaran kritis
politik karena pada fase inilah agenda-agenda sub-
mereka akan kontestasi kebijakan dan perebutan
tantif-publik memperoleh prioritas tinggi. Mereka
alokasi sumber daya publik, termasuk keterlibatan
mesti berani keluar dari comfort zone menuju competi-
sistematis sejak fase pembuatan kebijakan. Pendu-
tive zone di lapangan politik untuk turut ikut me-
kung gerakan sosial mesti memfasilitasi pencarian
nentukan keberlanjutan demokrasi lokal ke depan,
titik-titik krusial kepentingan riil warga, sekurang-
kalau tak mau ranah politik lokal terus dibajak para
kurangnya menjaring isu-isu seputar tata kelola dan
predator politik dan bisnis.
politik anggaran, proses pembuatan Perda, perizinan usaha, pengadaan barang/jasa (tender proyek,
Kedua,
ikhwal
perbaikan
akses
kese-
dll), dan semacamnya.
jahteraan, agenda pada aras politik diambil berdasar fakta bahwa setiap kebijakan publik bagi
Ketiga, sesudah politik, langkah berikutnya
pencapaian kesejahteran dan pelayanan publik
adalah rekayasa teknokrasi pelayanan. Hemat pe-
hanya bisa mewujud secara efektif dalam sistem
nulis, selama ini kelompok masyarakat sipil lebih
politik demokratis. Pengabaian secara sadar atas
sering menyoal hidangan (produk) layanan buruk
hak-hak rakyat lebih biasa terjadi dalam pemerin-
yang diterima publik, namun tidak banyak terlibat/
tahan
nirakuntabilitas,
yang
memberi tawaran agenda sis-
melihat birokrasi sebagai alat
tematis untuk turut membenah
kekuasaan dan memaknai kebi-
dapur di mana semua hidangan
jakan publik sekedar sebagai
itu diracik (service manufacturing):
instrumentasi pemenangan ke-
dapur birokrasi! Kita tahu, in-
pentingan diri dan oligarkinya.
kompetensi
Pemerintahan semacam ini ti-
membuat
dak hanya ada dalam rezim
yang ideal berpotensi macet
otokrasi,
dalam mesin produksi rusak
tetapi
dapat
pula
birokrasi segenap
kerap
kebijakan
menghinggapi setiap penguasa di era otonomi ini,
tersebut. Pemimpin politik yang progresif dan
yang senantiasa berusaha menjadikan sistem de-
menggagas banyak inovasi sering frustrasi lantaran
mokrasi dan desentralisasi sebagai wadah penetrasi
buruknya kinerja birokrasi. Ironi ini terjadi lantaran
agenda ekonomi-politiknya.
mesin birokrasi kadung rusak.
Untuk itu, mengalir pada tindakan peruba-
Meski banyak LSM memiliki keterbatasan
han, penulis melihat bahwa agenda krusial yang
untuk memasuki ranah teknis semacam ini, sinerji
patut
dengan kaum professional (kampus, konsul-
digiatkan
terus-menerus
oleh
elemen
masyarakat sipil di sini adalah penguatan kualitas
tan, dll) patut dijalin guna membenahi hulu
5
hingga hilir birokrasi. Kerja crafting birokrasi
Catatan Akhir
menuntut rentang keterlibatan luas dari makro ke-
Tantangan kritis di era beralihnya transisi
bijakan hingga teknis penataan organisasi. Kita ha-
ke fase konsolidasi desentralisasi hari ini adalah
rus member kontribusi nyata bagi penyelesaian
membuktikan agar segenap tujuan yang terpatri
segala problem klasik birokrasi yang rusak itu: dari
dalam maksud kehadiran rute alternatif tersebut
proses rekrutmen pegawai yang cacat, penentuan
memang bisa menciptakan perbedaan dan mem-
formasi kepegawaian yang sentralistis dan tidak
beri faedah nyata bagi segenap anak bangsa. Segala
sejalan kebutuhan daerah, jenjang karir yang kerap
narasi
menciderai asas merit system (politisasi), pola remu-
jahteraan mesti dibuktikan melalui berbagai usaha
nerasi yang minim dan tak berbasis kinerja. Suatu
yang juga besar dan meyakinkan.
besar
desentralisasi,
demokrasi,
kese-
inovasi hanya bisa dikelola efektif kalau lingkungan kerjanya kondusif, mesin produksinya berkapasitas
Pengalaman dua belas tahun eksperimen-
optimal, serta relatif terbebas dari hambatan insti-
tasi desentralisasi tentunya telah banyak memberi
tusional.
pelajaran berharga bagi pilihan-pilihan tindakan yang imperatif ke depan. Segala usaha harus
Untuk itu, upaya kontrol intensif terhadap
dikerahkan, dari tataran politik hingga level
seluk-beluk birokrasi harus dimulai dari sejak masa
teknokratik, agar rakyat boleh menaruh harapan
penerimaan PNS agar benar-benar menjamin mun-
awal
culnya calon aparatus negara yang kompeten,
(kesejahteraan sosio-ekonomi dan jaminan hak-hak
kredibel, dan amanah. Selain itu, lebih jauh lagi,
konstitusional rakyat) bukanlah sesuatu yang
elemen masyarakat sipil perlu mengembangkan
mustahil diraih. Capaian itu sekaligus memastikan
keterampilan teknis untuk bisa memberikan asis-
bisa tumbuhnya trust rakyat yang merupakan fon-
tensi teknis bagi perbaikan internal birokrasi se-
dasi bagi keberlanjutan desentralisasi dan konsoli-
hingga mereka bisa bekerja efektif dan mampu
dasi demokrasi lokal ke depan. Kita, kaum prode-
mengalirkan segala sumber daya (terutama APBD)
mokrasi, sejatinya memiliki ruang peran besar di
bagi kesejahteraan publik. Seringkali, sumber daya
sana, termasuk melalui keterlibatan langsung guna
APBD ini tidak terlihat hasilnya bagi belanja publik
mengambil berbagai pilihan tindakan sosial-politik
juga lantaran rendahnya kapasitas birokrasi dalam
yang perlu. ■■■
bahwa
muatan
esensial
demokrasi
mengelola dan menyerap anggaran yang ada ke dalam program dan implementasi. Jadi, selain tekanan dari luar, di sini juga perlu dilakukan asistensi dari dalam (pressure from outside, assistance from inside).
6