Info Komoditi Pakaian Jadi
INFO KOMODiTi PAkAiAN JADi
i
SANKSI PELANGGARAN Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002
ii
1.
Barang siapa dengan segaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupah)
2.
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Info Komoditi Pakaian Jadi
Info Komoditi
PAKAIAN JADI EDITOR: Zamroni Salim, Ph.D Ernawati, Ph.D
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Al Mawardi Prima, Jakarta 2015
iii
Judul: Info Komoditi Pakaian Jadi Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati, Ph.D Copyright © 2015 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All rights reserved Diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya Diterbitkan pertama: Juli 2015 Desain Cover : Piter Prihutomo Sumber Cover depan searah jarum jam 1. Dokumentasi Piter Prihutomo; 2. Puspita Dewi Sumber cover belakang : 1. Piter Prihutomo; 2. Puspita Dewi xii, 103 hlm, 17,5 x 25 cm ISBN: 978-979-461-890-5
Pengarah: Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Penanggung Jawab : Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Redaksi Pelaksana: 1. Puspita Dewi, SH, MBA 2. Maulida Lestari, SE, ME 3. Reni K. Arianti, SP, MM 4. Suler Malau, SH 5. Primakrisna T, SIP, MBA 6. Dwi Yulianto, S.Kom
AMP Press Imprint Al-Mawardi Prima Anggota IKAPI JAYA Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan Telp/Fax. (021) 29325630 Email:
[email protected] Website: www.almawardiprima.co.id
iv
Info Komoditi Pakaian Jadi
KATA PENGANTAR Industri pakaian jadi merupakan industri vital yang secara ekonomi memberikan kontribusi baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun sumbangan nilai tambah yang dihasilkannya terhadap Produk Domestik Buto (PDB) Indonesia. Industri pakaian jadi merupakan salah satu jenis industri yang masuk dalam rangkaian industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dari hulu ke hilir. Dari industri hulu, TPT mencakup industri serat, pemintalan dan benang, perajutan, pencapan (printing) dan penyempurnaan (finishing), dan di hilir industri TPT mencakup industri pakaian jadi. Sejauh mana industri pakaian jadi berkontribusi bagi perekonomian Indonesia terutama dilihat dari sisi perdagangan baik perdagangan dalam negeri maupun luar negeri dan bagaimana prospek industri ini di masa yang akan datang? Buku Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi menyajikan berbagai data dan informasi faktual terkait dengan perkembangan industri dan perdagangan pakaian jadi Indonesia di tengah pusaran persaingan industri pakaian jadi global. Buku bunga rampai ini disusun dalam beberapa bab yang kesemuanya bermuara pada aspek perdagangan. Bab I merupakan bab pendahuluan menguraikan posisi industri pakaian jadi di Indonesia sebagai industri yang strategis dan juga menjelaskan fenomena yang terjadi di pasar global secara singkat. Bab II merupakan bab yang menguraikan sisi produksi pakaian jadi. Dalam bab ini dibahas mengenai asal-usul bahan baku dan produksi pakaian jadi, perkembangan produksi dan kinerja pakaian termasuk aspek produksi yang menyangkut kapasitas terpasang dan utilisasi produksi dalam industri pakaian jadi. Hal lain yang disajikan dalam Bab II menyangkut aspek finansial dan biaya produksi yang berperan dalam menentukan keberlangsungan hidup industri pakaian jadi. Peran dan posisi Indonesia dalam jaringan Global Value Chain (GVC) juga diulas. Konsumsi dan perdagangan pakaian jadi di dalam negeri menjadi topik menarik yang dibahas dalam Bab III. Dalam bab ini diuraikan bagaimana produk pakaian jadi dikonsumsi/digunakan oleh konsumen di Indonesia. Diuraikan juga mengenai struktur pasar industri pakaian jadi yang ditandai dengan banyaknya penjual dan pembeli. Penjual meliputi produsen pakaian jadi, baik yang bermerek maupun yang tidak bermerek dagang, sekaligus pedagang yang memasarkan produk pakaian jadi langsung sampai ke konsumen. Meskipun banyak produsen dan penjual, namun dalam industri pakaian jadi ada kekhasan tersendiri, di mana sebagian produsen memasarkan produk pakaian jadi dengan mencantumkan brand atau merek tertentu
v
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
yang membedakannya dengan produk sejenis yang berasal dari produsen/penjual lainnya. Keberadaan produk impor ilegal di pasar dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi daya saing industri pakaian jadi nasional di bahas dalam bab ini. Selain itu, aspek perdagangan dalam negeri, masalah kualitas dan pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam upaya untuk melindungi konsumen dalam negeri juga diuraikan. Dalam Bab IV diuraikan mengenai pakaian jadi dalam perdagangan dunia atau peta perdagangan internasional. Setelah adanya penghapusan kuota dalam perdagangan tekstil dan pakaian jadi serta pasca krisis finansial global, terjadi pergeseran peta negara produsen/eksportir pakaian jadi dunia. Pada bab ini juga diuraikan mengenai kinerja ekspor dan impor pakaian jadi Indonesia secara khusus, termasuk produk utama yang mendominasi ekspor pakaian jadi dari Indonesia. Bab V menguraikan peluang dan tantangan perdagangan pakaian jadi Indonesia. Pertumbuhan permintaaan diperkirakan masih tetap didominasi oleh peningkatan permintaan dari pasar negara-negara utama seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keikutsertaan dalam GVC menjadi pilihan yang sulit untuk dielakkan. Namun demikian, tantangan lain yang dihadapi dalam internal industri pakaian jadi juga harus diperhatikan. Masalah sumber finansial dan suku bunga, kenaikan biaya produksi yang bersumber dari kenaikan tarif dasar listrik dan upah minimum adalah hal mendasar yang perlu ditangani dengan bijak oleh pemerintah dan dunia usaha. Dalam hal produksi, permasalahan yang muncul adalah usia mesin-mesin yang relatif sudah tua. Permasalahan ini banyak dihadapi oleh sektor hulu produk tekstil sehingga menurunkan produktivitas industri TPT yang sekaligus berimbas pada industri pakaian jadi. Permasalahan lain dalam hubungannya dengan persaingan khususnya di pasar dalam negeri adalah fenomena maraknya produk pakaian jadi impor ilegal yang masuk ke pasar domestik. Faktor-faktor tersebut menyebabkan daya saing industri pakaian jadi nasional semakin melemah dibanding negaranegara produsen lainnya. Di pasar global, munculnya pesaing-pesaing baru dalam industri pakaian jadi hendaknya menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah Indonesia dan pelaku usaha pakaian jadi sehingga industri pakaian jadi nasional tetap bisa bersaing baik di pasar dalam negeri maupun global. Bab VI merupakan bab terakhir, menjelaskan keterkaitan antar bab/benang merah keseluruhan bab yang mengkaji masalah industri pakaian jadi mulai dari produksi, perdagangan dalam negeri dan luar negeri sekaligus prospek industri pakaian jadi Indonesia.
vi
Info Komoditi Pakaian Jadi Kata Pengantar
Semoga Buku Bunga Rampai Info Komoditi Prioritas Pakaian Jadi ini bisa memberikan sumbangan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi para pengambil keputusan baik dalam lingkup pemerintah maupun dunia usaha. Diharapkan juga bahwa buku ini bisa bermanfaat bagi konsumen untuk menambah wawasan mereka dalam mengkonsumsi pakaian jadi dan menjadi pembeli yang cerdas. Kehadiran buku ini tentu masih ada kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi perbaikan buku ini di masa yang akan datang. Jakarta, Juli 2015 Editor
vii
DAFTAR ISI Pengantar Editor.................................................................................................... v Daftar Isi................................................................................................................ viii Daftar Gambar.........................................................................................................ix Daftar Tabel............................................................................................................. x BAB I PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN GLOBAL Ernawati Munadi...................................................................................................... 1 BAB II PRODUKSI PAKAIAN JADI INDONESIA Sefiani Rayadiani.................................................................................................... 6 BAB III KONSUMSI DAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI INDONESIA Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan................................................................... 28 BAB IV PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DUNIA Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti............................................................. 56 BAB V PELUANG DAN TANTANGAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI INDONESIA Arie Mardiansyah.................................................................................................. 73 BAB VI MEMBANGKITKAN KEMBALI INDUSTRI PAKAIAN JADI INDONESIA Zamroni Salim....................................................................................................... 93 Indeks................................................................................................................. 100 Biografi Singkat Penulis................................................................................... 101
viii
Info Komoditi Pakaian Jadi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Nilai Produksi dan Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Global.............................. 7 Gambar 2.2 Peta Produsen Utama Industri Pakaian Jadi Dunia, 2012..................................... 8 Gambar 2.3 Kategori Segmentasi Produk Pakaian Jadi Global................................................. 9 Gambar 2.4 Pohon Industri Tekstil dan Produk Tekstil..............................................................11 Gambar 2.5 Kapasitas Terpasang, Produksi dan Utilisasi Produksi Industri
Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2013..................................................................... 12
Gambar 2.6 Nilai Produksi dan Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2012...... 14 Gambar 2.7 Perkembangan Indeks Partisipasi Industri Pakaian Jadi Indonesia
Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012.................................................................. 15
Gambar 2.8
Komposisi Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan
KBLI 3 Digit, 2009-2012....................................................................................... 16
Gambar 2.9 Perkembangan Biaya Input Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2000-2013 ......... 18 Gambar 2.10 Komposisi Biaya Input Industri Pakaian Jadi....................................................... 19 Gambar 2.11 Rantai Nilai Global Pakaian Jadi.......................................................................... 22 Gambar 2.12 Tahapan Kegiatan dalam Rantai Nilai Global Pakaian Jadi................................. 22 Gambar 3.1 Konsumsi Pakaian Jadi Domestik, 2009-2014..................................................... 30 Gambar 3.2
Rata-Rata Konsumsi Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala
per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Golongan Pengeluaran
per Kapita Sebulan, 2009-2012............................................................................ 31
Gambar 3.3 Jaringan Pemasaran Pakaian Jadi di Dalam Negeri............................................ 36 Gambar 3.4 Perkembangan Harga Pakaian Pria..................................................................... 38 Gambar 3.5 Perkembangan Harga Pakaian Wanita................................................................ 39 Gambar 4.1 Struktur Ekspor Pakaian Jadi, 2013-2014............................................................ 64 Gambar 4.2
10 Negara Utama Tujuan Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014................ 65
Gambar 4.3 Negara Tujuan Ekspor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan
Jenis Pakaian, 2004............................................................................................. 66
Gambar 4.4 Struktur Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014............................................. 67 Gambar 4.5 10 Negara Utama Asal Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014...................... 68 Gambar 4.6 Negara Asal Impor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan Jenis Pakaian.69 Gambar 5.1 Nilai dan Pangsa Pasar Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012, 2025 dan tingkat Pertumbuhan Tahunan Gabungan....................................................................... 76 Gambar 5.2 Pengeluaran per Kapita Produk Pakaian Jadi ..................................................... 77
ix
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Produsen Utama Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012.............................. 8
Tabel 2.2
Perkembangan Nilai Investasi dan Jumlah Perusahaan Industri
Pakaian Jadi Indonesia..................................................................... 12
Tabel 2.3
Perkembangan Nilai Output dan Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi
Indonesia, 2009-2013........................................................................ 14
Tabel 2.4
Perkembangan Nilai Tambah dan Pertumbuhan Industri Pakaian
Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012....................... 17
Tabel 2.5
Perkembangan Indikator Partisipasi Rantai Nilai Global Industri
Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki................................................................ 24
Tabel 3.1
Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut
Kelompok Barang, 2019-2013........................................................... 31
Tabel 3.2
Jumlah Perusahaan Pakaian Jadi dan Kepemilikannya.................... 34
Tabel 3.3
Brand Pakaian Jadi.......................................................................... 35
Tabel 3.4
Kenaikan Harga Tahunan Pakaian Jadi............................................. 39
Tabel 3.5
Koefisien Keragaman Pakaian Jadi 2014.......................................... 40
Tabel 3.6
Daftar SNI Untuk Produk Pakaian Jadi............................................. 46
Tabel 3.7
Nilai Impor Pakaian Bekas................................................................ 50
Tabel 4.1
Eksportir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013.......................................... 59
Tabel 4.2
Importir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013............................................ 62
Tabel 4.3
Kinerja Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014.......................... 63
Tabel 4.4
Kinerja Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014............................ 67
Tabel 5.1
Perkiraan Pertumbuhan GDP............................................................ 74
Tabel 5.2
Perkembangan Jumlah Penduduk, Konsumsi Pakaian Jadi, dan
Penguasaan Pasar Pakaian Jadi Dalam Negeri Indonesia, 2009-2013..... 75
Tabel 5.3
The Global Competitiveness Index, 2014-2015..................................... 81
Tabel 5.4
Persentase Ekspor Negara-Negara Pengekspor Utama Dunia........ 82
Tabel 5.5
Indeks RCA Negara-Negara Pengekspor Utama di Asia.................. 83
Tabel 5.6
Perbandingan Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Minimum di Negara-Negara Asia.......................................................................... 84
x
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global
BAB I PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN GLOBAL Ernawati Munadi Berbicara tentang industri pakaian jadi tidak terlepas dari industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Hal itu karena industri pakaian merupakan bagian dari struktur industri TPT secara umum. Struktur industri TPT terbentuk dari beberapa jenis industri yang membentuk sebuah rangkaian dari hulu ke hilir. Di hulu, industri ini mencakup industri serat, pemintalan dan benang, perajutan, pencapan (printing) dan penyempurnaan (finishing), dan di hilir industri TPT meliputi industri pakaian jadi. Keseluruhan produk subsektor industri tekstil ini sering disebut Tekstil dan Produk Tekstil, disingkat TPT. Industri hulu sektor ini khususnya Industri pemintalan dan pertenunan tradisional sudah ada di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, bahkan hingga awal era Orde Baru. Pada saat itu industri tekstil Indonesia praktis hanya berfungsi sebagai penenun dan perajut, karena semua bahan baku masih harus diimpor. Industri-industri penunjang lain seperti industri pemintalan dan industri yang memproduksi serat sintetis, yang menyediakan bahan baku untuk memproduksi tekstil berkembang beberapa saat khususnya sejak disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri (PMA dan PMDN) tahun 1967 dan 1968. Beberapa tahun sejak itu, industri tekstil dalam negeri berkembang makin modern dan makin terpadu mulai dari hulu hingga hilir (BKPM, 2011). Industri pakaian jadi sendiri baru mulai berkembang pada pertengahan tahun 70-an, yakni sewaktu produsen tekstil dalam negeri telah mampu menyediakan tekstil jadi untuk diolah menjadi pakaian jadi. Bahkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 109/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil, pemerintah telah menetapkan industri pakaian jadi sebagai salah satu klaster industri prioritas berbasis industri manufaktur yang dikembangkan oleh pemerintah sepanjang tahun 2010-2014. 1.1 Industri Pakaian jadi sebagai Sektor Strategis di tengah Tantangan Global Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia disamping kebutuhan akan makanan, rumah dan perabotan rumah tangga, konsumsi pakaian jadi
1
Ernawati Munadi
di Indonesia menunjukkan tren perkembangan yang positif. Selama periode 2009-2014 konsumsi pakaian jadi di Indonesia tumbuh sebesar 6,89% per tahun yaitu meningkat dari 209,3 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 308,4 ribu ton pada tahun 2014 (BPS, 2014). Hal itu juga didukung oleh data terkait persentase pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pakaian, termasuk didalamnya alas kaki dan tutup kepala naik dari 3,3% pada tahun 2009 menjadi 6,5% pada tahun 2013. Angka ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan yang mencapai lebih dari 47% (BPS, 2012). Sebagai industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, industri pakaian jadi merupakan industri yang patut diperhitungkan dalam pengembangan investasi ke depan. Industri pakaian jadi mampu menyerap tenaga kerja sebesar 473.594 jiwa atau 10,81% dari jumlah total tenaga kerja industri besar dan sedang di Indonesia pada tahun 2013 dan menempati urutan kedua setelah industri makanan (BPS, 2015a). Nilai strategis industri pakaian jadi juga ditunjukkan dalam perannya terhadap investasi. Selama periode 2009-2013, pakaian jadi juga merupakan salah satu sektor yang menjadi target investasi di Indonesia. Pertambahan investasi di sektor pakaian jadi tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 17,6% per tahun, dengan nilai investasi yang meningkat sebesar 3,08% per tahun. Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di sektor pakaian jadi juga tumbuh dari 2.639 perusahaan pada tahun 2009 menjadi 2.739 perusahaan pada tahun 2014 dengan pertumbuhan 0,93% per tahun (Kementerian Perindustrian, 2014). Dalam hal kapasitas terpasang, industri pakaian jadi juga menunjukkan kecenderungan yang sama, meningkat dengan pertumbuhan sebesar 3,4%. Namun, sayangnya pertumbuhan yang positif tersebut belum diimbangi dengan kapasitas terpasang yang maksimal sehingga masih memungkinkan untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan situasi dimana meskipun jumlah industri pakaian jadi terus bertambah namun ternyata utilisasi yang terjadi pada industri pakaian jadi termasuk rendah yaitu hanya berkisar antara 70-75% saja. Pentingnya peran industri pakaian jadi juga terlihat dari kontribusinya terhadap ekspor Indonesia. Selama periode 2010-2014, kontribusi ekspor pakaian jadi terhadap total ekspor non migas Indonesia cenderung stabil rata-rata sebesar 0,5% per tahun. Sempat mengalami penurunan kontribusi terhadap total ekspor non migas pada periode 2011-2013, namun terjadi peningkatan kontribusi kembali pada tahun 2014. Selama periode 2010-2014 ekspor pakaian jadi Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 2,1% per tahun dengan total ekspor pada tahun 2014 sebesar USD 7,4 miliar. Sebaliknya,
2
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global
nilai impor pakaian jadi Indonesia juga menunjukkan tren pertumbuhan yang positif dengan pertumbuhan yang jauh melampaui pertumbuhan ekspor pakaian jadi yaitu tumbuh sebesar 13% per tahun. Pada tahun 2014 impor pakaian jadi Indonesia mencapai USD 444,5 juta mengalami penurunan sebesar 6,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data Bankmed–Market & Economic Research Division (2014), di tengah situasi industri pakaian jadi di dunia yang menunjukkan perkembangan yang relatif stabil, Indonesia hanya mampu menduduki peringkat ke-13 terhadap total produksi pakaian jadi dunia. Tahun 2009 industri pakaian jadi dunia memproduksi pakaian jadi dengan nilai mencapai USD 1,1 miliar dan pada tahun 2013 nilai produksinya mencapai USD 1,25 miliar dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 2,8%. Industri pakaian jadi dunia didominasi oleh kawasan Asia dengan kontribusi yang mencapai lebih dari 65%. Berdasarkan data UN COMTRADE (2015a), pada tahun 2012 tiga produsen utama pakaian jadi dunia berasal dari kawasan Asia yaitu Tiongkok, India, dan Pakistan dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 47,2%; 7,1%; dan 3,1%. Sementara Indonesia pada periode yang sama hanya berkontribusi sebesar 1,1% terhadap produksi pakaian jadi dunia. Pakaian wanita mendominasi kategori produk pakaian jadi dengan share lebih dari 50%, diikuti oleh pakaian pria dan pakaian anakanak dengan share masing-masing sebesar 32,3% dan 17,0%. Dari sisi ekspor, industri pakaian jadi Indonesia hanya mampu berkontribusi sebesar 1,93% terhadap total ekspor pakaian jadi dunia tahun 2013 yang mencapai USD 283 miliar dan berada pada urutan yang ke-11. Sementara negara tetangga seperti Vietnam pada periode yang sama mampu berkontribusi sebesar 4,38% dengan tren pertumbuhan yang fantastis selama periode 2012-2013 sebesar 18,94% disaat Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 2,87%. 1.2 Fenomena di Pasar Global dan Permasalahan di Dalam Negeri Industri Pakaian Jadi Indonesia Meskipun menunjukkan perkembangan ke arah yang positif, namun saat ini banyak kendala yang dihadapi oleh industri pakaian jadi Indonesia. Dari sisi produksi, industri pakaian jadi merupakan sebuah komoditi yang menjadi fenomena global. Industri pakaian jadi saat ini bukan lagi merupakan industri yang hanya merakit pakaian sederhana di kawasan tertentu yang bahanbahan input-nya bisa berasal dari impor. Industri pakaian jadi saat ini menjadi sebuah industri yang berorientasi kepada Original Equipment Manufacturing (OEM). Dengan model OEM ini, industri pakaian jadi menjadi lebih terintegrasi
3
Ernawati Munadi
secara domestik dan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dalam bentuk ekspor. Proses untuk memproduksi pakaian jadi dengan merek internasional tidak lagi diproduksi dalam suatu jalur integrasi vertikal di suatu negara yang sama melainkan dapat diproduksi terpisah di beberapa negara dalam suatu rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC). Dengan demikian maka negara pemegang merek internasional tidak harus memproduksi pakaian jadi tersebut di negaranya, namun dapat mensubkontrakkan ke banyak negara bahkan negara berkembang yang mempunyai tingkat efisiensi tinggi. Terkait dengan perkembangan pakaian jadi dalam rantai GVC tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa keterlibatan Indonesia dalam rantai GVC termasuk masih sangat rendah dan bahkan cenderung menurun. Data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2013 menunjukkan bahwa keterlibatan beberapa negara dalam rantai GVC untuk pakaian jadi menunjukkan bahwa Indonesia hanya menunjukkan angka 5,3 pada tahun 1995 dan turun menjadi 2,6 pada tahun 2009 (OECD Stat, 2013). Angka ini tertinggal jauh dibelakang Vietnam dengan indikator keterlibatan yang mencapai angka 10,1 pada tahun 1995 dan terus meningkat hingga 14,2 pada tahun 2009. Demikian juga dengan indeks keterlibatan Kamboja yang hanya sedikit dibawah Vietnam. Dari sisi konsumsi, Industri pakaian jadi Indonesia juga menghadapi banyak permasalahan terkait dengan impor produk pakaian jadi, khususnya impor pakaian jadi dalam keadaan bekas yang mencapai 20% terhadap total impor pakaian jadi (BPS, 2015b). Impor pakaian jadi bekas ini ditengarai sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industri pakaian jadi dalam negeri yang pada akhirnya menurunkan daya saing. Permasalahan yang juga dihadapi oleh industri pakaian jadi dalam negeri juga terkait dengan biaya produksi pakaian jadi di Indonesia yang juga cenderung meningkat dimana dalam tahun 2009-2013 pertumbuhan rata-rata tahunan biaya input industri pakaian jadi nasional sebesar 11,1% (BPS, 2015b). Belum lagi dengan permasalahan-permasalahan lainnya yang dihadapi oleh industri pakaian jadi Indonesia diantaranya permasalahan terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah seharusnya merupakan faktor pendorong dalam meningkatkan daya saing dan ekspor Indonesia, namun mengingat industri pakaian jadi yang masih menggunakan bahan baku impor, akhirnya melemahnya nilai tukar rupiah ini justru memperlemah daya saing pakaian jadi Indonesia. Permasalahan lain yang juga terkait adalah masalah mesin dalam industri tekstil yang umurnya relatif tua serta meningkatnya upah minimum tenaga kerja yang pada akhirnya semakin memperlemah daya saing pakaian jadi Indonesia.
4
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perspektif Perdagangan Global
Informasi-informasi tersebut di atas merupakan beberapa fakta penting tentang Pakaian Jadi yang akan dibahas secara mendalam dalam Info Komoditi Pakaian Jadi edisi kali ini. Kami berharap semoga tulisan ini mampu memberikan wawasan tentang Pakaian Jadi khususnya dan secara luas bermanfaat bagi seluruh pembaca.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan di Daerah Perkotaan dan Perdesaan Menurut Kelompok Barang dan Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan 2000-2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Stastistik (BPS). (2014). Statistik Industri Manufaktur. Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015a). Industri Besar dan Sedang: Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang Menurut Sub Sektor, 2008-2013. Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http:/ http://www.bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/1063. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015b). Data Perdagangan Indonesia. Bankmed – Market & Economic Research Division. (2014). Special Report: Analysis of Lebanon’s Apparel Market – March 2014. Lebanon: Bankmed - Market & Economic Research Division. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2011). Kajian Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Badan KoordinasiPenanaman Modal. Kementerian Perindustrian. (2014). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian. OECD Stat. (2013). OECD Global Value Chains Indicators – May 2013. Diunduh 10 Februari 2015, dari OECD.StatExtracts. UN COMTRADE. (2015). World Export of Manufacture of Wearing Apparel, Dressing, and Dyeing Fur, Diunduh 5 Februari 2015, dari WITS: World Integrated Trade Solution: https://wits.worldbank.org/WITS/WITS/Restricted/Login. aspx.
5
Sefiani Rayadiani
BAB II PRODUKSI PAKAIAN JADI INDONESIA Sefiani Rayadiani 2.1 Pendahuluan Industri pakaian jadi sebagai salah satu bagian dari subsektor industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Barang Kulit, dan Alas Kaki merupakan industri tertua di Indonesia yang memiliki pengaruh signifikan dalam perekonomian Indonesia. Selama lima tahun terakhir (2010-2014) subsektor industri TPT, Barang Kulit, dan Alas Kaki1 memberikan rata-rata kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,90% per tahunnya dan 9,06% terhadap industri pengolahan tanpa migas (Badan Pusat Statistik, 2015a). Laju pertumbuhan produksi kumulatif subsektor industri TPT, Barang Kulit, dan Alas Kaki pada periode yang sama berkisar 1,7% - 7,52% (Badan Pusat Statistik, 2015b). Selain peranannya terhadap perekonomian dan ekspor, industri pakaian jadi juga memiliki peran sosial dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Industri pakaian jadi adalah industri yang menyerap banyak tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Badan Pusat Statistik (2015c) mencatat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri pakaian jadi Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 473.594 jiwa atau 10,81% dari jumlah total tenaga kerja industri besar dan sedang di Indonesia. Penyerapan tenaga kerja di industri pakaian jadi tersebut menempati urutan kedua setelah industri makanan. Di sisi lain, pengeluaran per kapita untuk pakaian jadi secara global pada tahun 2012 mencapai USD 153 dan diprediksikan akan naik menjadi USD 247 pada tahun 2025. Tingkat pertumbuhan pengeluaran pakaian jadi per kapita di negara-negara berkembang pada tahun 2025 diperkirakan juga akan lebih tinggi daripada negara-negara maju (Tot, 2014). Tingginya konsumsi dan pengeluaran per kapita atas pakaian jadi di Indonesia dan dunia mengindikasikan terdapatnya potensi pasar produk pakaian jadi nasional di pasar domestik maupu global yang dapat menjadi peluang bagi industri pakaian jadi Indonesia. Gambaran di atas menunjukkan tentang betapa pentingnya peranan industri pakaian jadi baik dalam perekonomian, perdagangan, penyerapan tenaga kerja maupun peluang pasar. Bab ini mengulas mengenai produksi 1
6
Subsektor TPT, Barang Kulit, dan Alas Kaki merupakan salah satu subsektor yang termasuk dalam sektor Industri Pengolahan dalam PDB menurut Lapangan Usaha.
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
dunia, perkembangan produksi dan kinerja industri pakaian jadi Indonesia, biaya produksi, dan pakaian jadi dalam Global Value Chain (GVC). 2.2 Produksi Dunia Resesi global, yang dipicu oleh krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2008, menyebar dengan pesat ke negara-negara industri maju dan berdampak terhadap produksi pakaian jadi dunia. Dengan adanya kondisi tersebut, permintaan pakaian jadi dunia, khususnya dari Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, mengalami penurunan pada tahun 2009. Resesi global mengakibatkan penutupan pabrik dan pemberhentian tenaga kerja di industri pakaian jadi. Sementara, negara-negara maju baru (emerging countries) seperti RRT mempertahankan pertumbuhan yang tinggi pasca krisis finansial global 2008 sehingga hal ini dapat menyangga industri pakaian jadi global dari dampak yang lebih buruk akibat resesi global. Gambar 2.1 memperlihatkan pertumbuhan produksi industri pakaian jadi dunia pada tahun 2009 sebesar 2,2% dengan nilai produksi industri pakaian jadi dunia sebesar USD 1,1 triliun. Pada tahun 2012 nilai produksi industri pakaian jadi global mencapai USD 1,2 triliun, naik 3,1% dari tahun 2011. Bankmed – Market & Economic Research Division (2014) mencatat pertumbuhan rata-rata tahunan industri pakaian jadi dunia dalam kurun waktu 2008-2012 adalah sebesar 2,8%. Nilai Produksi Industri Pakaian Jadi Global (USD Miliar) 1.117
Pertumbuhan (%)
1.141
1.181
1.212
1.249
2,2%
3,5%
2,6%
3,1%
2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 2.1 Nilai Produksi dan Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Global. Sumber: Bankmed-Market & Economic Research Division (2014)
Yen (2012) berpendapat bahwa sebagian besar produsen utama pakaian jadi dunia pada tahun 2012 terletak di benua Asia sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 2.2. Hal ini diperkuat oleh data Institute of Studies and Industrial Marketing of Brazil (Gotexshow, 2015) yang menunjukkan pangsa produksi pakaian jadi benua Asia pada tahun 2012 lebih dari 65%. Sembilan dari lima belas produsen utama pakaian jadi dunia ada di benua Asia,
7
Sefiani Rayadiani
dimana RRT, India, dan Pakistan menduduki posisi tiga teratas (Tabel 2.1). Indonesia sendiri sebagai salah satu produsen utama dunia memiliki pangsa produksi sebesar 1,1% dari produksi industri pakaian jadi dunia.
Gambar 2.2 Peta Produsen Utama Industri Pakaian Jadi Dunia, 2012. Sumber: Yen (2012)
Tabel 2.1 Produsen Utama Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012 Produsen Utama Pakaian Jadi Dunia Negara Pangsa terhadap Produksi Dunia RRT 47,2% India 7,1% Pakistan 3,1% Brazil 2,6% Turki 2,5% Korea Selatan 2,1% Meksiko 2,1% Italia 1,9% Malaysia 1,4% Taiwan 1,4% Polandia 1,4% Romania 1,2% Indonesia 1,1% Bangladesh 1,0% Thailand 1,0% Lainnya 22,7% Total 100% Sumber: Gotexshow (2015), diolah
Berdasarkan kategori produk, pakaian wanita mendominasi segmentasi produksi industri pakaian jadi global (50,7%) pada tahun 2012. Berikutnya adalah produk pakaian pria (32,3%) dan pakaian anak-anak (17,0%) (Gambar 2.3).
8
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Pakaian Anak-Anak 17,0%
Pakaian Pria 32,3%
Pakaian Wanita 50,7%
Gambar 2.3 Kategori Segmentasi Produk Pakaian Jadi Global. Sumber: Bankmed-Market & Economic Research Division (2014)
Di sisi lain, Yen (2012) mencatat bahwa pada tahun 2012 RRT memimpin pasar dalam memproduksi keseluruhan jenis produk pakaian jadi yang diminta oleh dunia. Sementara itu, India mengkhususkan diri untuk memproduksi kemeja katun/blus bukan rajutan, Vietnam memfokuskan produksi kemeja katun rajutan, kemeja multi fiber rajutan, dan celana multi fiber, sedangkan Bangladesh menspesialisasikan diri untuk memproduksi produk kemeja katun bukan rajutan, celana panjang/ celana pendek katun. Indonesia sendiri terkenal dengan spesialisasi produksi produk kemeja katun. 2.3 Perkembangan Produksi dan Kinerja Industri Pakaian Jadi Indonesia Industri pakaian jadi di Indonesia mulai berkembang sejak akhir tahun 1970-an. Pada masa itu Pemerintah Orde Baru memberikan perhatian dan dukungan khusus melalui berbagai kebijakan proteksi, seperti proteksi tarif bea masuk, prosedur lisensi impor, dan biaya tambahan untuk impor yang dikombinasikan dengan alokasi kuota ekspor, yang bertujuan untuk melindungi industri TPT dari persaingan asing (Vickers, 2012). Pada tahun 1980-an pemerintah mulai memfokuskan pada kebijakan investasi dan liberalisasi pada sektor industri TPT. Pemerintah memberikan pembebasan tarif bea masuk atas bahan baku/penolong, skema insentif, dan tingkat suku bunga rendah guna mendorong produksi industri pakaian jadi nasional (Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM, 2011). Sebagai industri baru di Indonesia pada masa itu, industri pakaian jadi mulai memberikan kontribusi terhadap ekspor pada awal tahun 1980-an. Ekspor pakaian jadi Indonesia melebihi permintaan domestik selama periode 19801993. Bahkan Nur (2010) berpendapat bahwa pada periode 1986-1997 pakaian jadi sebagai komoditi primadona. Pada tahun 1992 ekspor pakaian jadi mencapai puncaknya dan kemudian mengalami pertumbuhan negatif (BKPM, 2011).
9
Sefiani Rayadiani
Saat terjadinya krisis moneter 1997-1998 banyak produsen pakaian jadi Indonesia yang kehilangan sumber pembiayaannya karena banyak bank dilikuidasi oleh pemerintah pada masa itu. Krisis moneter 1997-1998 yang menyebabkan ketidakpastian iklim usaha, kenaikan suku bunga, depresiasi nilai tukar dan biaya produksi yang tinggi mengakibatkan industri pakaian jadi dalam negeri terpuruk dan produktivitasnya menurun (BKPM, 2011; Nur, 2010). Pandangan bahwa industri pakaian jadi merupakan industri yang meredup (sunset industry) menyebabkan kurangnya antusiasme investasi di industri pakaian jadi pasca krisis moneter 1997-1998. Kebijakan industri pakaian jadi yang ada lebih difokuskan pada kebijakan-kebijakan untuk mengatasi penurunan jumlah tenaga kerja. Berbeda dengan perkembangan industri pakaian jadi di Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong yang memiliki integrasi vertikal yang kuat, kondisi tersebut tidak terjadi di industri pakaian jadi di Indonesia (Vickers, 2012). Selama periode 1998-2002 industri pakaian jadi dalam negeri mengalami masa yang sulit, bahkan Nur (2010) berpendapat bahwa periode ini merupakan periode kekacauan, penyelamatan, dan bertahan industri pakaian jadi nasional. Kemudian seiring dengan membaiknya kondisi makroekonomi Indonesia sejak tahun 2002, industri pakaian jadi nasional memasuki upaya revitalisasi dan normalisasi. Sejak tahun 2007 pemerintah melakukan proses restrukturisasi mesin TPT di Indonesia, termasuk industri pakaian jadi dalam negeri. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 109/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil menetapkan industri pakaian jadi sebagai salah satu klaster industri prioritas berbasis industri manufaktur yang dikembangkan oleh pemerintah sepanjang tahun 2010-2014. Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2007, kelompok industri pakaian jadi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 109/M-IND/ PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil mencakup industri pakaian jadi rajutan (KBLI 17302), industri pakaian jadi dari tekstil dan perlengkapannya (KBLI 18101) dan industri pakaian jadi (konveksi) dan perlengkapannya (KBLI 18102). Sementara menurut pengklasifikasian KBLI 2009, industri pakaian jadi meliputi industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil (KBLI
10
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
14111), industri pakaian jadi rajutan (KBLI 14301), dan industri pakaian jadi sulaman/bordir (KBLI 14302). Dalam pohon industri TPT, terdapat 3 sub sektor, yakni sub sektor hulu, sub sektor antara, dan sub sektor hilir. Sub sektor hulu meliputi industri serat dan benang, dimana industri serat mencakup serat alam, serat stapel sintetis, benang filaman, dan industri benang mencakup industri pemintalan benang dan pencelupan benang. Sub sektor antara merupakan industri kain dan sub sektor hilir meliputi industri pakaian jadi dan industri artikel tekstil lainnya (Gambar 2.4).
Textile Fiber Industry
Oth. Textile Industry
NATURAL FIBER (Cotton, Silk, Ramie Jute, Wool, Etc) KBLI : 13111 SYBTETIC STAPEL FIBER (PFY, VSF, NSF, Etc) KBLI: 20302
NON WOVEN KBLI 13443
SPINNING (Yarn) KBLI: 13112, 13113 YARN DYEING KBLI: 13131
FILAMENT YARN (PFY, VSF, VFY, Etc) KBLI: 20301
Sub Sektor Hulu
WEAVING (GREIGE) KBLI 13121
KNITING (GREIGE) KBLI 13911
Yarn Industry
EMBROIDERY (13912)
OTHERS TEXTILE ARTICLE KBLI 13921, 13922 13923, 13930 13941, 13942, 13992 13994, 13999 14131, 14303
GARMENT KBLI 14111 KBLI 14302
DYEING PRINTING FINISHING (FINISHED FABRIC) KBLI 13132, 13133 13134
Garment KNITTED GARMENT KBLI 14301
Fabric Industry
Sub Sektor Antara
Sub Sektor Hilir
Gambar 2.4 Pohon Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Sumber: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014)
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014) dan Badan Pusat Statistik (2014), jumlah perusahaan industri pakaian jadi mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2009-2013. Hal ini seiring dengan penambahan nilai investasi pada industri pakaian jadi setiap tahunnya. Pada tahun 2009 jumlah perusahaan industri pakaian jadi di Indonesia sebanyak 2.639 sedangkan pada tahun 2013 sebanyak 2.739 perusahaan. Nilai investasi pada tahun 2013 mencapai Rp 42,4 triliun, lebih tinggi daripada nilai investasi pada tahun 2009 sebesar Rp 37,5 triliun (Tabel 2.2).
11
Sefiani Rayadiani
Tabel 2.2 Perkembangan Nilai Investasi dan Jumlah Perusahaan Industri Pakaian Jadi Indonesia
Sumber : Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian (2014) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2014), diolah
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2009-2013) kapasitas terpasang industri pakaian jadi nasional cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan tren pertumbuhan sebesar 3,4%. Pertumbuhan kapasitas terpasang industri pakaian jadi Indonesia yang tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 6,67% naik dari 820,6 ribu ton menjadi 875,4 ribu ton. Kapasitas terpasang industri pakaian jadi nasional terus naik hingga mencapai 903,5 ribu ton dan terus meningkat menjadi 940,9 ribu ton pada tahun 2013. Badan Koordinasi Penanaman Modal (2011) mencatat bahwa kenaikan tersebut dipicu oleh peningkatan investasi di industri pakaian jadi akibat adanya realokasi beberapa perusahaan pakaian jadi dari sejumlah negara (seperti Korea Selatan, RRT, Taiwan) yang menjadikan Indonesia sebagai basis industri TPT mereka. Biaya produksi di Indonesia yang lebih murah dan kompetitif menjadi dasar pertimbangan sejumlah negara tersebut untuk memindahkan perusahaan pakaian jadinya ke Indonesia (Better Work Indonesia, 2011).
Gambar 2.5 Kapasitas Terpasang, Produksi dan Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2013. Sumber: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014)
12
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Berbanding lurus dengan bertambahnya kapasitas terpasang pada industri pakaian jadi nasional, volume produksi pakaian jadi juga cenderung mengalami peningkatan sebesar 5,5% per tahunnya selama periode 20092013. Volume produksi pakaian jadi Indonesia yang tadinya hanya sebesar 561,6 ribu ton pada tahun 2009, produksinya naik menjadi 724,1 ribu ton pada tahun 2013. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, volume produksi pakaian jadi pada tahun 2013 adalah yang tertinggi selama lima tahun terakhir (Gambar 2.5). Meskipun kapasitas terpasang dan volume produksi industri pakaian jadi dalam negeri terus meningkat tiap tahunnya selama periode 2009-2013, namun rata-rata utilisasi produksi2 industri pakaian jadi Indonesia sekitar 75,3%. Utilisasi produksi industri pakaian jadi terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 70,2% sedangkan utilisasi produksi tertinggi sebesar 79,3% terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2013 utilisasi produksi industri pakaian jadi nasional mencapai 77% (Gambar 2.5). Utilisasi produksi industri pakaian jadi nasional yang berada di bawah kapasitas terpasangnya mengindikasikan industri pakaian jadi Indonesia masih belum dapat memaksimalkan kapasitas terpasang yang ada sepenuhnya. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan beberapa permasalahan yang terkait dengan komponen biaya produksi dan proses produksi, mulai dari kenaikan tarif dasar listrik, pelemahan nilai tukar rupiah, ketergantungan terhadap bahan baku/penolong, umur mesin yang tua, dan produktivitas yang rendah, menjadi alasan mengapa utilisasi produksi industri pakaian jadi di Indonesia tidak optimal. Industri pakaian jadi lebih memilih untuk melakukan penghematan terkait dengan adanya permasalahan tersebut dengan menurunkan volume produksinya (Bisnis Indonesia, 2014). Ditinjau dari nilai produksi sepanjang periode 2009-2012, Direktorat Industri Tekstil dan Aneka Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2013) mencatat peningkatan nilai produksi subsektor industri pakaian jadi setiap tahunnya (Gambar 2.6). Kondisi ini sejalan dengan pertumbuhan volume produksinya. Pada tahun 2009, produksi subsektor industri pakaian jadi Indonesia sebesar USD 4,6 miliar. Pada tahun 2010, terjadi lonjakan nilai produksi subsektor industri pakaian jadi dalam negeri sebesar 26,9% atau senilai USD 1,3 miliar, sehingga nilai produksi subsektor industri pakaian jadi pada tahun tersebut mencapai USD 5,9 miliar. Peningkatan tersebut berlanjut sampai tahun 2012, dimana nilai produksi subsektor industri pakaian jadi nasional tercatat mencapai USD 6,2 miliar. 2
Utilitas produktifitas adalah presentase pemanfaatan kapasitas terpasang yang dihitung dari rasio realisasi produksi terhadap kapasitas produksi terpasang yang ada.
13
Sefiani Rayadiani
Nilai Produksi (Miliar USD)
Volume Produksi (Juta Ton) 6,2
6,0
5,9 4,6
0,7
0,6
0,7
0,7
2009 2010 2011 2012
Gambar 2.6 Nilai Produksi dan Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2012. Sumber: Direktorat Industri Tekstil dan Aneka, Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian (2013)
Berdasarkan nilai output yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (2015), tren pertumbuhan nilai output industri pakaian jadi dalam negeri sepanjang tahun 2009-2013 sebesar 6,1% setiap tahunnya. Pertumbuhan nilai output tertinggi pada industri pakaian jadi domestik terjadi pada tahun 2010 sebesar 22,9%. Sebaliknya, pertumbuhan negatif dari nilai output yang dihasilkan oleh industri pakaian jadi Indonesia terjadi pada tahun 2013. Tabel 2.3 menunjukkan nilai output industri pakaian jadi pada tahun 2012 sebesar Rp 72 triliun adalah yang tertinggi sepanjang tahun 2009-2013. Nilai output tersebut kemudian menurun menjadi sebesar Rp 65,5 triliun tahun 2013. Tabel 2.3 Perkembangan Nilai Output dan Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2009-2013 Tahun Nilai Output (Miliar Rupiah) 2009 2010 2011 2012 2013* Tren 09-13 (%)
Pertumbuhan (%)
Nilai Tambah (Miliar Rupiah)
51.734 13,5 63.574 22,9 63.969 0,6 71.988 12,5 65.493 -9,0 6,1
Pertumbuhan (%)
29.090 20,0 31.124 7,0 32.071 3,0 44.002 37,2 24.141 -45,1 3,0
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015d, 2015e), diolah Keterangan: *) Angka Sementara
Nilai tambah atas harga pasar industri pakaian jadi Indonesia sendiri selama lima tahun terakhir cenderung menurun setiap tahunnya sekitar 3%. Penurunan nilai tambah tersebut terutama terjadi karena anjloknya nilai
14
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
tambah industri pakaian jadi nasional pada tahun 2013, yang turun sekitar 45%. Kondisi ini sangat kontras dengan tahun-tahun sebelumnya dimana nilai tambah industri pakaian jadi selalu mengalami pertumbuhan positif. Nilai tambah industri pakaian jadi dalam negeri pada tahun 2013 mencapai Rp 24,1 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkan pada tahun 2009 (Rp 29,1 triliun). Penyebab utama turunnya nilai tambah industri pakaian jadi secara drastis pada tahun 2013 adalah adanya lonjakan biaya input3 yang berkisar 47,8% dimana biaya input untuk industri pakaian jadi Indonesia pada tahun tersebut mencapai Rp 41,4 triliun. Berkaitan dengan konsep rantai nilai global industri pakaian jadi Indonesia, OECD Stat. (2013) mencatat bahwa partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki menunjukkan penurunan sejak tahun 1990. Pasca dibatalkannya Multi Fiber Agreement (MFA) sejak tahun 1995, kondisi usaha industri pakaian jadi Indonesia tidak semudah sebelumnya. Inggi (2008) mengemukakan bahwa fenomena pergeseran konsumen, peningkatan permintaan konsumen hingga kenaikan bahan bakar minyak menyebabkan gambaran rantai nilai industri pakaian jadi mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2009 total indeks partisipasi rantai nilai global industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Indonesia hanya berkisar 2,6 padahal pada tahun 1990 indeks partisipasi yang dimiliki Indonesia di atas 5. Indeks partisipasi ke belakang (backward index participation) industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Indonesia lebih dominan dalam rantai nilai global yang mengindikasikan bahwa nilai tambah dari luar negeri yang digunakan untuk ekspor tinggi atau ketergantungan terhadap impor yang tinggi. Meskipun demikian indeks partisipasi ke belakang terus mengalami penurunan karena tumbuhnya industri dalam negeri dalam memasok bahan baku (Gambar 2.7). Backward
Forward
1,0 1,0 0,8 0,5 0,5 4,3 4,1 2,5 2,6 2,1 1995 2000 2005 2008 2009
Gambar 2.7 Perkembangan Indeks Partisipasi Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012. Sumber: OECD Stat. (2013), diolah
3
Kenaikan biaya input yang dimaksud adalah nilai biaya input yang meningkat akibat kenaikan pada komponen input.
15
Sefiani Rayadiani
Ditinjau berdasarkan pengelompokkan dalam industri pakaian jadi nasional KBLI 3 digit, peranan subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) mendominasi industri pakaian jadi nasional. Kontribusi subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) setiap tahunnya cenderung meningkat dari 79,4% pada tahun 2009 menjadi 91,6% pada tahun 2012. Sebaliknya, peranan subsektor pakaian jadi rajutan dan sulaman/bordir (KBLI 143) dalam industri pakaian jadi justru terus berkurang, yakni dari 20,6% pada tahun 2009 menjadi 8,4% pada tahun 2012.
Gambar 2.8 Komposisi Nilai Tambah Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Tren pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan oleh subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) sekitar 18,6% per tahunnya selama periode 2009-2012 (Tabel 2.4). Pertumbuhan nilai tambah subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) sempat berada di bawah rata-rata pertumbuhan pada tahun 2011, namun kemudian kembali berada di atas tren pertumbuhan 2009-2012. Nilai tambah subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) sendiri pada tahun 2012 mencapai Rp 40,3 triliun, naik sekitar 37,7% dari tahun sebelumnya. Berkebalikan dengan subsektor pakaian jadi dan perlengkapannya, bukan pakaian jadi dari kulit berbulu (KBLI 141) yang memiliki kecenderungan meningkat dalam nilai tambah, subsektor pakaian jadi rajutan dan sulaman/bordir (KBLI 143) justru memiliki tren negatif sebesar 13% per tahunnya selama 2009-2012. Nilai tambah pada subsektor
16
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
ini mengalami penurunan secara tajam sebesar 56% pada tahun 2010 dari sebesar Rp 6 triliun menjadi Rp 2,6 triliun. Tabel 2.4 Perkembangan Nilai Tambah dan Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan KBLI 3 Digit, 2009-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Sama halnya dengan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi menjadikan industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka sebagai industri andalan yang menjadi industri prioritas dalam Rencana Induk Pembangunan Industri (RIPIN) Tahun 2015-2035. Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka4 sebagai industri andalan akan berperan besar sebagai penggerak utama (prime power) perekonomian di masa yang akan datang, memiliki keunggulan komparatif berupa potensi sumber daya alam, dan keunggulan kompetitif berupa sumber daya manusia yang berpengetahuan dan terampil serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pada tahun 2015-2019 jenis industri pakaian jadi menjadi prioritas untuk dibangun. Beberapa kriteria yang menentukan industri tersebut masuk dalam kategori prioritas adalah memiliki potensi pasar yang tumbuh pesat di dalam negeri, meningkatkan kuantitas dan kualitas penyerapan tenaga kerja, berpotensi untuk dapat bersaing di pasar global, dan memiliki potensi untuk tumbuh pesat dalam kemandirian (Kementerian Perindustrian, 2014). 2.4 Biaya Produksi Biaya input merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang terdiri dari biaya: bahan baku; bahan bakar, tenaga listrik dan gas; bahan bakar yang digunakan selama proses produksi yang berupa; sewa gedung, mesin dan alat-alat; dan jasa non industri. Biaya input yang dikeluarkan oleh industri pakaian jadi nasional yang berskala besar dan 4
Aneka industri meliputi Industri Furnitur & Barang Lainnya dari Kayu serta Industri Plastik, Pengolahan Karet & Barang dari Karet.
17
Sefiani Rayadiani
menengah semakin meningkat setiap tahunnya selama periode 2000-2013. Pada tahun 2000 biaya input industri pakaian jadi dalam negeri berkisar Rp 15,1 triliun. Biaya input tersebut kemudian mendekati angka tiga kali lipat pada tahun 2013, yakni menjadi sebesar Rp 41,4 triliun. Kendatipun biaya input untuk industri besar dan sedang pakaian jadi dalam negeri cenderung meningkat sepanjang tahun 2000-2013, namun biaya input industri pakaian jadi juga sempat mengalami pertumbuhan negatif pada beberapa tahun (Gambar 2.9). Biaya Input (Triliun Rupiah)
Pertumbuhan, year-on-year (%)
Gambar 2.9 Perkembangan Biaya Input Industri Pakaian Jadi Indonesia, 2000-2013. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015) Keterangan: *) Angka Sementara
Dalam kurun waktu 2009-2013 pertumbuhan rata-rata tahunan biaya input industri pakaian jadi nasional sebesar 11,1%. Setelah mengalami laju pertumbuhan biaya input yang meningkat pada tahun 2009 dan 2010, biaya input yang harus dibayarkan oleh industri pakaian jadi nasional sempat mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 1,7% dan 12,3%. Penurunan biaya input yang signifikan terjadi pada tahun 2012 yakni dari Rp 31,9 triliun (2011) menjadi Rp 28 triliun (2012), akan tetapi penurunan tersebut tidak bertahan lama karena biaya input yang dikeluarkan oleh industri pakaian jadi justru melonjak menjadi Rp 41,4 triliun pada tahun 2013. Jika dilihat secara historis, biaya input industri pakaian jadi pada tahun 2013 adalah nilai tertinggi selama periode 2000-2013. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengemukakan bahwa kenaikan harga bahan baku garmen (seperti serat, benang, dan kain), Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 15% sejak 1 Januari 2013, dan Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah beberapa
18
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
faktor yang memicu lonjakan biaya produksi industri pakaian jadi Indonesia pada tahun 2013 (Neraca, 2013). Ditinjau dari komponennya, biaya untuk pembelian bahan baku mendominasi dalam pembentukkan biaya input industri pakaian jadi nasional di mana kontribusinya terhadap biaya input hampir mendekati 75% pada tahun 2012 dan di atas 75% pada tahun 2013 (Gambar 2.10). Ketergantungan yang tinggi atas impor bahan baku katun yang berasal dari serat kapas dan polyester dan kenaikan harga bahan baku yang merangkak naik sejak tahun 2010 berdampak terhadap semakin besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh industri pakaian jadi nasional. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) menyebutkan bahwa kenaikan bahan baku Purified Therepthalat Acid (PTA) sebesar 5%, serat 10%, benang 15%, kain 20%, dan garmen 25% dari harga rata-rata dunia akibat adanya kenaikan TDL membuat biaya produksi pakaian jadi menjadi lebih mahal dari sebelumnya (Karina, 2012).
Gambar 2.10 Komposisi Biaya Input Industri Pakaian Jadi. Sumber: Badan Pusat Statistik (2014, 2015), diolah
Gambar 2.10 juga memperlihatkan biaya bahan bakar, tenaga listrik, dan gas adalah kontributor terbesar kedua dalam biaya input industri pakaian jadi dalam negeri. Biaya untuk bahan bakar, tenaga listrik, dan gas memegang peranan penting dalam industri pakaian jadi Indonesia. Kenaikan TDL tentu saja menjadi batu ganjalan untuk menjalankan roda bisnis industri pakaian jadi nasional. Kendala lainnya adalah sewa gedung, mesin, dan alat-alat, jasa yang diberikan oleh pihak lain, biaya representasi dan royalti serta pengeluaran lainnya. Upah pekerja termasuk ke dalam jasa non-industri yang harus dibiayai oleh industri pakaian jadi nasional. Karakteristik industri
19
Sefiani Rayadiani
pakaian jadi yang bersifat padat karya tentu saja akan terimbas dengan dampak kebijakan kenaikan Upah Minimum (UM) per tahunnya. Semakin tingginya UM pekerja industri pakaian jadi maka semakin tinggi pula biaya upah (jasa non-industri) yang harus ditanggung oleh industri pakaian jadi dalam negeri. Studi Hermawan (2011) menjelaskan bahwa kebijakan peningkatan UM pada industri pakaian jadi berdampak pada penurunan produksi dan ekspor pada industri pakaian jadi serta rasionalisasi tenaga kerja. Menurut Sutanto (2014), struktur biaya produksi industri pakaian jadi di Indonesia pada tahun 2013 masih didominasi oleh biaya bahan baku (57,7%) diikuti oleh biaya tenaga kerja (27,1%) dan biaya administrasi dan pemasaran (10,2%). Adapun biaya-biaya lainnya yang mempengaruhi proses produksi industri pakaian jadi adalah tingkat suku bunga (2,4%), depresiasi (1,4%), dan energi (1,3%). 2.5 Pakaian Jadi dalam Global Value Chain Industri pakaian jadi merupakan perintis bagi pengembangan perekonomian dan dikenal sebagai cikal bakal dari industrialisasi yang berorientasi ekspor dengan tipikal industri padat karya dan berbiaya produksi rendah (Gereffi & Memedovic, 2003). Industri pakaian jadi sendiri memegang peranan penting dalam perekonomian dalam hal penyerapan tenaga kerja, investasi, dan perdagangan. Sejak awal pertumbuhannya pada tahun 1950-an industri pakaian jadi dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan baik dalam proses produksi, teknologi produksi, dan struktur industri. Humprey dan Schmitz (2002) mengidentifikasi empat tipe peningkatan industri, yakni 1) fungsional (berpindah ke fungsi yang bernilai lebih tinggi); 2) produk (memproduksi produk bernilai lebih tinggi); 3) proses (penggabungan teknologi yang lebih canggih dalam produksi); dan 4) intersektoral (memanfaatkan keahlian yang diperoleh dalam satu sektor industri untuk memasuki sektor baru). Gereffi & Memedovic (2003) dan Fernandez-Stark, Frederick & Gereffi (2011) menjabarkan lebih lanjut mengenai empat tahapan peningkatan industri ke dalam rantai nilai global Global Value Chain (GVC) industri pakaian jadi. Industri pakaian jadi telah mengalami perubahan paradigma dari industri perakitan (assembly) pakaian sederhana yang bahan-bahan inputnya diimpor dan diolah di kawasan berikat/zona pengolahan ekspor menjadi pelayanan paket lengkap (full-package services) atau yang dikenal dengan Original Equipment Manufacturing (OEM) hingga akhirnya menjadi Original Brand Name Manufacturing (OBM). OEM lebih terintegrasi secara domestik dan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dalam bentuk ekspor.
20
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Model OEM di tingkat internasional adalah bentuk subkontrak komersial di mana hubungan pembeli-penjual di antara pembeli luar negeri dan manufaktur domestik yang memungkinkan adanya pembelajaran lokal ke tingkatan yang lebih tinggi mengenai rantai pakaian jadi dari hulu sampai hilir. Dalam model OEM, perusahaan memasok produk sesuai dengan desain yang ditentukan oleh pembeli, produk ini dijual di bawah nama merek pembeli. Pemasok dan pembeli dalam OEM merupakan perusahaan yang terpisah dimana pembeli tidak memiliki kontrol atas distribusi. Gereffi & Memedovic (2003) mengemukakan adanya Original Brand Name Manufacturing (OBM) yang merupakan peningkatan penjualan oleh manufaktur dari keahlian produksi OEM untuk merancang dan menjual produk dengan merek mereka sendiri. Dengan adanya globalisasi, kini industri pakaian jadi tidak lagi diproduksi dalam suatu jalur integrasi vertikal di suatu negara yang sama melainkan dapat diproduksi terpisah di beberapa negara dalam suatu rantai nilai global (GVC). Gereffi & Memedovic (2003) berpendapat bahwa industri pakaian jadi adalah contoh ideal dari rantai nilai global yang ditentukan oleh pembeli (buyer-driven global value chain) ,para pembeli global menentukan apa yang akan diproduksi, di mana, oleh siapa, berapa harganya, dan berapa besar keuntungan yang didapat. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan model buyer-driven value chain hanya merancang dan/atau memasarkan, tidak memproduksi produk bermerek yang mereka pesan. Dengan kata lain, mereka adalah manufaktur tanpa pabrik dengan proses produksi barang secara fisik terpisah dari proses desain dan pemasaran. Adapun karakteristik dari rantai nilai yang ditentukan oleh pembeli ini adalah memiliki tingkat persaingan yang tinggi dan sistem pabrik terdesentralisasi secara global dengan hambatan masuk yang rendah (Gereffi & Memedovic, 2003). Gereffi & Memedovic (2003) menjelaskan rantai nilai global pakaian jadi dapat diorganisasikan ke dalam lima segmen utama yang terdiri dari: 1) pemasok bahan baku (termasuk serat sintesis dan natural; 2) provisi komponen (benang dan kain yang diproduksi oleh perusahaan tekstil); 3) jaringan produksi pembuatan pakaian jadi (subkontrak domestik dan luar negeri); 4) kanal ekspor melalui perdagangan pihak ketiga; dan 5) jaringan pemasaran pada tingkat ritel/ eceran (Gambar 2.11). Frederick (2010) mengemukakan enam tahapan kegiatan dalam rantai nilai global pakaian jadi, yakni 1) penelitian dan pengembangan produk baru (R &D); 2) desain (design); 3) produksi (production); 4) logistik yang mencakup pembelian dan produksi (purchasing and distribution); 5) pemasaran dan branding (marketing); dan 6) pelayanan (services) (Gambar 2.12). Dalam rantai nilai global pakaian jadi, keuntungan tercipta dari kombinasi keenam tahapan kegiatan tersebut.
21
Sefiani Rayadiani
Textile companies
Apparel manufacturers North America
Retail outlet: All retail outlets
US garment factories (designing, cutting, sewing, buttonholing, ironing) Natural fibres
Cotton wool. silk. etc
Yarn (Spinning)
Department stores
Brand-named apparel companies
Fabric (weaving knitting finishing)
Specialty stores
Domestic and Mexican Caribbean Basin subcontractors Mass merchandise chains Asia
Synthetic Oil natural gas fibres
Synthetic fibres
Petrochemicals
Raw material networks
Component networks
Asian garment contractors
Overseas buying offices
Domestic and overseas subcontractors
Trading companies
Production networks
Discount chains
All retail outlets
Export networks
Off-price, factory outlet , mail order, others
Marketing networks
Gambar 2.11 Rantai Nilai Global Pakaian Jadi. Sumber: Gereffi & Memedovic (2003)
Services
Value Added
R&D Design
Marketing
Purchasing
Distribution Production
Pre-Production Intagible
Production : Tangible Activities
Post-Production : Intangible
Gambar 2.12 Tahapan Kegiatan dalam Rantai Nilai Global Pakaian Jadi. Sumber: Frederick (2010)
22
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
Perusahaan-perusahaan unggulan dalam industri pakaian jadi dunia mengadaptasi model rantai nilai global sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu, manufaktur pakaian jadi menjadi dominan di beberapa negara berkembang dan terpengaruh dengan berbagai kebijakan perdagangan. Kebijakan tersebut dimulai dari penetapan kuota melalui Long-Term Arrangement Regarding International Trade in Cotton Textiles and Substitutes pada tahun 1962, Multi Fibre Arrangement (MFA) yang diimplementasikan sejak tahun 1974 hingga penghapusan kuota melalui Agreement Textiles and Clothing (ATC) pada tahun 2005. Dengan adanya penghapusan kuota tekstil dan pakaian jadi, persaingan industri pakaian jadi di negara-negara berkembang menjadi semakin ketat dan bermunculan negara-negara baru sebagai eksportir produk pakaian jadi di dunia (Fernandez-Stark, Frederick & Gereffi, 2011). Pada sebagian besar kasus rantai nilai global pakaian jadi, perusahaanperusahaan unggulan internasional mengalihkan produksinya dalam jaringan rantai nilai global untuk melakukan kontrak produksi dengan pemasok di berbagai negara-negara berkembang seperti RRT, India, Bangladesh, Vietnam, Indonesia, dan sebagainya yang menawarkan harga yang paling bersaing. Perusahaan-perusahaan unggulan ini termasuk pedagang eceran/ retailer dan pemegang merek yang berkantor pusat di pasar utama seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Ditinjau dari perkembangan indikator partisipasi rantai nilai global industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Vietnam memiliki tingkat partisipasi tertinggi dalam rantai nilai untuk industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki global. Tabel 2.5 memperlihatkan bahwa sejak tahun 1995 keikutsertaan Vietnam dalam rantai nilai global pada industri tekstil, kulit dan alas kaki terus meningkat. Selain Vietnam yang menguasai rantai nilai global industri pakaian jadi dunia, Kamboja, Turki, dan RRT juga memiliki tingkat partisipasi rantai nilai global yang tinggi. Berbeda dengan Vietnam, ketiga negara tersebut memiliki indeks partisipasi terus menurun sejak tahun 1995 yang mengindikasikan bahwa keikutsertaannya dalam rantai nilai global di industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki berkurang. Indonesia sebagai salah satu produsen utama Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki dunia memiliki indeks partisipasi rantai nilai global yang menurun, bahkan angka indeksnya pada tahun 2009 berada di bawah Thailand dan Brunei Darussalam.
23
Sefiani Rayadiani
Tabel 2.5 Perkembangan Indikator Partisipasi Rantai Nilai Global Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki
Sumber: OECD Stat. (2013)
2.6 Penutup Industri pakaian jadi berperan signifikan dalam perekonomian, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia selama ini. Namun demikian, semakin tingginya hambatan dan tantangan produksi yang dihadapi oleh industri pakaian jadi nasional mengakibatkan industri pakaian jadi Indonesia belum dapat memanfaatkan potensinya secara optimal, padahal peluang pemasaran produk pakaian jadi baik di pasar dalam negeri maupun dunia terbuka bagi industri pakaian jadi Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan pendukung pembangunan dan pengembangan industri pakaian dan industri terkait lainnya yang dapat memicu peningkatan produksi bagi industri pakaian jadi Indonesia mulai dari kebijakan investasi, restrukturisasi permesinan, tarif dan perpajakan, suku bunga, infrastruktur, hingga kebijakan sistem perburuhan dan pengupahan sangatlah diperlukan.
24
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2011). Kajian Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Jakarta: Badan Koordinasi Penanaman Modal. Badan Pusat Statistik (BPS). (2014). Indikator Industri Manufaktur Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015a, Februari 25). Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2000-2014. Diunduh 25 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/ linkTabelStatis/view/id/1199 Badan Pusat Statistik (BPS). (2015b). Produk Domestik Bruto (Lapangan Usaha): Laju Pertumbuhan Produk Domestik PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen), 2000-2014. Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/ linkTabelStatis/view/id/1202 Badan Pusat Statistik (BPS). (2015c). Industri Besar dan Sedang: Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang Menurut Sub Sektor, 2008-2013. Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http:/ http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/ id/1063 Badan Pusat Statistik (BPS). (2015d). Industri Besar dan Sedang: Nilai Output IBS Menurut Subsektor (Milyar Rupiah), 2000-2013. Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1068 Badan Pusat Statistik (BPS). (2015e). Industri Besar dan Sedang: Nilai Tambah (Harga Pasar) Industri Besar dan Sedang Menurut Subsektor , 2000-2013 (Milyar rupiah). Diunduh 20 Februari 2015, dari Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/ view/id/1055 Bankmed – Market & Economic Research Division. (2014). Special Report: Analysis of Lebanon’s Apparel Market – March 2014. Lebanon: Bankmed. Better Work Indonesia. (2011). Indonesia Garment Industry Review: Better Work Indonesia. Bisnis Indonesia. (2014, Juni 30). Manufaktur: Biaya Produksi Bengkak, Utilisasi Pabrik Tekstil Jeblok. Diunduh 15 Februari 2015, dari Bisnis.com: http://industri.bisnis.com/ read/20140630/257/239770/biaya-produksi-bengkak-utilisasi-pabrik-tekstil-tu Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2013). Facts and Figures Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2014). Profil Basis Industri Manufaktur. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. Fernandez-Stark, K., S. Frederick & G. Gereffi. (2011, November). The Apparel Global Value Chain: Economic Upgrading and Workforce Development. Duke University Center on Globalization, Governance & Competitiveness. Frederick, S. (2010). Development and Application of a Value Chain Research Approach to Understand and Evaluate Internal and External Factors and Relationships Affecting Economic Competitiveness in the Textile Value Chain. Unpublished Phd Dissertation, North Carolina State University, Raleigh, NC.
25
Sefiani Rayadiani
Gereffi, G., & O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for Upgrading by Developing Countries. Vienna: United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). Gotexshow. (2015). Market: Overview of the Textile and Clothing Sector. Diunduh 10 Februari 2015, dari GOTEX SHOW: http://www.gotexshow.com.br/eng/ mercado Hermawan, I. (2011). Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011: 373-408. Jakarta: Bank Indonesia. Humprey, J., & H. Schmitz. (2002). How Does Insertion in Global Value Chains Affect Upgrading in Industrial Clusters. Regional Studies, 36 (9): 1017-1027. Inggi, B.L. (2008, Juli). Rantai Nilai Telah Berubah.Competitiveness at the Frontier, Juli 2008. Forum Bulanan untuk Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Indonesia, Jakarta: USAID, SENADA, Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Karina, S. (2012, Oktober 4). Economy: Industri Tekstil Bakal Tersengat Kenaikan Tarif Listrik. Diunduh 20 Februari 2015, dari Okezone: http://economy.okezone.com/ read/2012/10/04/ 320/699131/industri-tekstil-bakal-tersengat-kenaikan-tarif-listrik Kementerian Perdagangan. (2015, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor) Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral Kementerian Perindustrian. (2014). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 20152035. Jakarta: Kementerian Perindustrian. Kementerian Perindustrian. (2015). Pohon Industri TPT 2. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perindustrian: http://www.kemenperin.go.id/pohon-industri Neraca. (2013, Januari 30). Harga Produk Garmen Akan Naik 16,7%. Diunduh Februari 20, 2015, dari Neraca: http://www.neraca.co.id/industri/ 24390/Harga-Produk-GarmenAkan-Naik-167/3 Nur, Y. H. (2010). Profil Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Info Komoditi Prioritas Tekstil dan Produk Tekstil, Vol. IV No. 01 Tahun 2010, pp. 3-14. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan. OECD.Stat. (2013, May). OECD Global Value Chains Indicators – May 2013. Diunduh 10 Februari 2015, dari OECD.StatExtracts: http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/ linkTabelStatis/view/id/1202 Tot, B. V. (2014). Textile & Apparel Industry Report: Opportunities for Breakthrough, Vol.04/2014. Vietnam: Fpt Securities. United Nations Statistics Division. (2015a). Detailed Structure and Explanatory Notes ISIC Rev.3 (International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev.3). Diunduh 25 Maret 2015, dari United Nations Statistics Division: http:// unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=2&Lg=1 United Nations Statistics Division. (2015b). Detailed Structure and Explanatory Notes ISIC Rev.3.1 (International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev.3.1). Diunduh 25 Maret 2015, dari United Nations Statistics Division: http:// unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=17
26
Produksi Pakaian Jadi Indonesia
United Nations Statistics Division. (2015c). Detailed Structure and Explanatory Notes ISIC Rev.4 (International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev.4). Diunduh 25 Maret 2015, dari United Nations Statistics Division: http:// unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=27 Vickers, A. (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industry. Institutions and Economies , 4 (3), 41-60. Yen, G. (2012). The Evolution of Textile and Apparel Industry in Asia. SEHK Code: 420. Fountain Set (Holdings) Limited
27
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
BAB III KONSUMSI DAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI DI DALAM NEGERI Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan 3.1 Pendahuluan Pakaian (sandang) adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Berbicara tentang pakaian, adalah berbicara mengenai sesuatu yang sangat dekat dengan diri kita, dimana Thomas Carlyle (1843) dalam Barnard (2007) mengatakan, “pakaian merupakan perlambang jiwa”. Selain sebagai salah satu kebutuhan primer manusia, pakaian juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia, termasuk peran dan makna pakaian dalam tindakan sosial. Pakaian membawa pesan tentang keberadaan seseorang, dan menggambarkan gaya hidup seorang individu atau suatu komunitas tertentu, yang merupakan suatu bagian dari kehidupan sosial. Perubahan musim dan wilayah akan berpengaruh pada cara dan model berpakaian. Setiap kelas sosial masyarakat dapat kita lihat dari pakaian apa yang mereka pakai, baik dari segi harga, jumlah, model dan kualitasnya. Selain itu selera cara berpakaian juga dipengaruhi perkembangan fashion dari suatu komunitas seiring dengan perkembangan zaman. Mengingat pentingnya peran ini, berbagai permasalahan terkait dengan pakaian jadi juga seringkali menjadi perhatian bagi pemerintah. Kebutuhan pakaian jadi ini sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, dimana semakin bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan pakaian jadi juga akan semakin bertambah. Dengan demikian maka penting bagi pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan juga pasokan (supply) yang ada. Di samping itu, persaingan dengan produk impor juga merupakan isu penting terkait dengan produk pakaian jadi, apalagi kondisi Indonesia dengan pasar yang besar dan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta akan menjadi target pasar. Produk pakaian dalam negeri sebenarnya memiliki kualitas yang tidak kalah dengan produk impor. Selain para produsen pakaian batik yang memiliki ciri khas yang unik dan bernilai seni tinggi, ada banyak produsen lokal yang memiliki produk yang berkualitas dan brand yang cukup ternama di dunia internasional. Produk produk nasional tersebut harus mampu bersaing ditengah gencarnya serbuan merek asing dalam dunia fashion. Mall-mall papan atas saat ini menjadi pangkalan dan etalase merek asing (Bakri, 2015).
28
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
Untuk mempertahankan dan mengamankan pasar dalam negeri, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, bukanlah hal yang mudah. Beberapa fenomena lain yang juga perlu perhatian, diantaranya adalah membanjirnya produk pakaian bekas impor ilegal. Maraknya penyelundupan pakaian bekas sejak awal tahun 2010, dikhawatirkan akan menghantam pelaku usaha pakaian jadi lokal skala kecil, dimana penyelundupan impor pakaian bekas seperti dari Malaysia sering terjaring razia Bea Cukai di perairan Indonesia (Detik.com, 2010). Walaupun pemerintah sudah menghimbau masyarakat agar tidak membeli pakaian impor bekas, namun bagi masyarakat segmen bawah (yang berpenghasilan rendah) bisa membeli pakaian impor murah adalah suatu keuntungan tersendiri. Selain masalah produk pakaian bekas impor ilegal, juga ada masalah menjamurnya produk pakaian batik impor. Walaupun daya saing batik di kancah fashion global tidak perlu terlalu dikhawatirkan, pemerintah justru mencemaskan kiprah batik di pasar dalam negeri (domestik). Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menyatakan bahwa “yang perlu diwaspadai dari industri batik adalah persaingan dengan produk impor yang harganya lebih murah” (Bisnis.com, 2014). Tulisan dalam Bab III membahas mengenai konsumsi dan perdagangan pakaian jadi di dalam negeri, yang mencakup konsumsi komoditas pakaian jadi di Indonesia (dan dunia), standar dan kebijakan yang ada di dalam negeri serta perlindungan konsumen di Indonesia. Secara umum, bab ini membahas dinamika komoditas pakaian jadi di Indonesia dari sudut pandang konsumsi dan perdagangannya. 3.2 Konsumsi dan Penggunaan Industri Tekstil, dan Produk Tekstil (TPT) menjadi salah satu penopang perekonomian nasional. Oleh karena itu sepanjang tahun 2010-2013, pemerintah telah mengucurkan dana bantuan sebesar Rp 569,05 miliar kepada 609 perusahaan Industri TPT dan alas kaki, sehingga mampu meningkatkan kapasitas produksi nasional sebesar 17-25%, dan peningkatan produktivitas sampai 6-10% (Mediaindustri, 2014). Angka pertumbuhan produksi tersebut berada jauh di atas rata-rata pertumbuhan tahunan penduduk Indonesia yang berkisar 1,3% (World Bank, 2015), dan ini merupakan sebuah prospek yang bagus untuk bisa menguasai pangsa pasar dalam negeri dan bahkan luar negeri. Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi dan 250 juta penduduk (BPS, 2014), juga memiliki beragam cara dan selera berpakaian. Hal ini tentu merupakan suatu potensi yang sangat menjanjikan bagi industri pakaian jadi baik dari dalam maupun luar negeri untuk bisa masuk di pasar Indonesia.
29
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Mereka berlomba-lomba untuk menguasai pangsa pasar di negara kita, memuaskan selera dan kebutuhan pasar di Indonesia dalam rangka memperoleh keuntungan yang besar. Berdasarkan data BPS (2014) nilai total impor pakaian jadi sebesar USD 341 juta, dan jumlah produksi dalam negeri sebesar USD 7,4 miliar selama tahun 2014. Data-data tersebut menunjukkan begitu besarnya perputaran pakaian jadi di dalam negeri, yang melibatkan produsen dalam negeri dan produsen luar negeri. Selain itu data tersebut juga membuktikan bahwa pangsa pasar dalam negeri kita masih di kuasai oleh produsen lokal daripada produsen luar negeri. Selama periode 2009 sampai 2014, rata-rata konsumsi domestik pakaian jadi di Indonesia mengalami kenaikan 6,98% per tahun. Pada Gambar 3.1 terlihat kenaikan konsumsi pakaian jadi tertinggi pada tahun 2009-2010 sebesar 40.975 ton. 350,000 300,000 250,000
250,265
259,004
259,004
286,135
308,363
209,290
200,000 150,000 100,000
19,6 %
3,5 %
2,5 %
7,8 %
7,8 %
50,000 0 2009
2010
2011
Konsumsi (Ton)
2012
2013
2014
Trend (6,98)
Gambar 3.1 Konsumsi Pakaian Jadi Domestik, 2009-2014. Sumber: Pusdatin Kementerian Perdagangan (2014), diolah
Persentase pengeluaran rata-rata masyarakat per kapita di pasar domestik pada periode 2009-2013 ditunjukkan dalam Tabel 3.1. Dari total pengeluaran rata-rata per kapita, persentase terbanyak ditempati oleh kelompok barang makanan dengan total pengeluaran yang hampir mencapai 50% setiap tahunnya. Berikutnya adalah kelompok barang rumah dan perabotan rumah tangga yang mencapai hampir 20%, dan selanjutnya kelompok barang lain-lain, serta yang terakhir adalah kelompok barang pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. Kelompok barang pakaian, alas kaki dan tutup kepala cenderung mengalami kenaikan persentase pengeluaran setiap tahunnya dibandingkan dengan kelompok barang lainnya.
30
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
Tabel 3.1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang, 2009-2013 Kelompok Barang
2009
Makanan
50,62 51,43 48,46 47,71 47,19
Rumah dan perabotan rumah tangga
19,89
20,36
18,92
3,33
3,38
6,96
Pakaian, alas kaki dan tutup kepala Lain-lain
2010
2011
2012* 2013* 19,86 19,15 5,95
6,53
26,14 24,81 25,67 26,49 27,14
Total
100 100 100 100 10
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013), diolah Catatan: *) Tahun 2012-2013 menggunakan sensus triwulan ke dua di bulan september dengan sampel 75.000 rumah tangga
Gambar 3.2 menunjukkan konsumsi masyarakat untuk produk pakaian, alas kaki, dan tutup kepala sesuai golongan pengeluaran per bulan yang mengalami kenaikan sesuai dengan golongan jumlah pengeluaran per bulannya. Semakin besar golongan pengeluaran per bulan maka semakin besar pula konsumsi pakaian jadi yang dilakukannya. Tahun 2009-2012, nilai konsumsi pakaian, alas kaki, dan tutup kepala cenderung menurun di tiap tahunnya. Penurunan ini terjadi hampir di setiap golongan pengeluaran, kecuali pada tahun 2010. 60000
Konsumsi (Rp)
50000 40000 2009
30000
2010 20000
2011 2012
10000 0 >100 100-149,9 150-199,9 200-299,9 300-499,9 500-749,9 750-999,9 1000<
Golongan Pengeluaran dalam Ribuan (Rp)
Gambar 3.2 Rata-Rata Konsumsi Pakaian, Alas Kaki, dan Tutup Kepala per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan, 2009-2012. Sumber: Badan Pusat Statistik (2012), diolah
31
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Peningkatan konsumsi pakaian jadi di dalam negeri merupakan momentum baik yang perlu disikapi dengan tepat. Para produsen pakaian jadi di Indonesia harus mampu mempertahankan pertumbuhan pasar dan omzet penjualannya dari tahun ke tahun dengan strategi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya perusahaannya dan kondisi pasar sasaran mereka, diantaranya dengan peningkatan mutu atau kualitas produk. Deming (1993) mengatakan dalam Mulyadi (2010), bahwa: “perusahaan yang memenangkan pasar adalah perusahaan yang mampu memuaskan konsumennya dengan produknya yang bermutu”. 3.3 Perilaku Konsumen Dalam pemilihan, pembelian, dan penggunaan produk pakaian jadi, konsumen cenderung mempunyai cara atau perilaku yang berbeda, yang dalam literatur pemasaran disebut perilaku konsumen. Perilaku konsumen menyangkut tentang cara individu, kelompok, dan organisasi dalam menyeleksi, membeli, menggunakan, dan memposisikan barang, jasa, gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka (Kotler & Amstrong, 2007). Lebih lanjut Kotler & Amstrong (2007) menjelaskan bahwa perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologi. Konsumsi pakaian di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku konsumen dan khususnya budaya. Hal ini selaras dengan penjelasan dari pedagang di Pasar Tanah Abang, bahwa omzet penjualan cenderung meningkat selama menjelang puasa sampai dengan akhir lebaran. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bahwa budaya cukup berpengaruh terhadap pola pembelian produk pakaian jadi di Indonesia. Pasar Tanah Abang merupakan salah satu pasar terbesar di Asia Tenggara dengan omzet mencapai 400 milliar per hari, dilayani oleh 28 ribu pedagang dan dikunjungi oleh 73 juta orang per tahun. Pengunjung dan pedagang pasar Tanah Abang bukan hanya berasal dari Indonesia saja, namun juga dari negara lain seperti Malaysia dan Nigeria (Bloomberg, 2013). Pasar ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi konsumen karena di pasar ini produkproduk pakaian jadi dijual dengan harga yang relatif lebih murah dengan jenis dan kualitas yang beragam sehingga konsumen bisa mendapatkan semua jenis produk pakaian jadi. Harga yang murah merupakan salah satu pertimbangan bagi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian produk pakaian jadi, terutama untuk kelas menengah ke bawah. Bahkan dalam pembelian produk pakaian jadi, konsumen ketika berhadapan pada harga yang lebih murah, terkadang,
32
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
tidak memperdulikan keselamatan dan kesehatannya seperti ketika memutuskan untuk membeli produk pakaian bekas yang diimpor dari negara lain. Selain harga yang terjangkau, model pakaian bekas juga menarik minat konsumen untuk mendapatkannya. Namun walaupun harganya murah dan menarik, seharusnya konsumen sadar bahwa ada resiko kesehatan dalam membeli pakaian bekas karena di dalam baju bekas terdapat beberapa bakteri dan jamur. 3.4 Struktur Pasar Dalam Negeri Pasar dapat diartikan sebagai sekelompok pelaku ekonomi yang terdiri dari perusahaan dan individu yang saling berinteraksi dalam hubungan pembeli dan penjual (Wilkinson, 2005). Dalam menganalisis suatu pasar, termasuk pasar pakaian jadi, struktur pasar adalah penting untuk diperhatikan. Struktur pasar adalah jumlah perusahaan dalam suatu pasar, serta distribusi pangsa pasar diantara perusahaan tersebut (Black, Hashimzade, & Myles, 2013). Struktur suatu pasar ditentukan antara lain oleh jumlah pembeli dan penjual, jenis produk yang dijual, besarnya hambatan masuk dan keluar pasar, serta kemampuan pembeli dan penjual dalam mempengaruhi harga (Wilkinson, 2005). Dalam pasar pakaian jadi di Indonesia, terdapat banyak penjual dan pembeli. Penjual merupakan produsen pakaian jadi baik yang bermerek dagang maupun yang tidak bermerek dagang dan para pedagang yang terlibat dalam memasarkan produk pakaian jadi sampai ke konsumen. Berdasarkan statistik industri manufaktur (BPS, 2014), sampai dengan tahun 2012 terdapat 1.705 perusahaan besar dan menengah yang bergerak dalam bidang industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil (KBLI 14111)5. Jumlah tersebut terdiri atas 471 perusahaan besar dan 1.234 perusahaan menengah dengan berbagai status kepemilikan perusahaan dengan perincian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.2. Sebagian besar perusahaan swasta asing yang ada di Indonesia merupakan perusahaan besar, sementara itu, perusahaan swasta nasional sebagian besar merupakan perusahaan menengah. Namun demikian jika dilihat dari jumlahnya dan ukuran perusahaannya, perusahaan swasta nasional baik yang skala besar maupun menengah masih lebih banyak dibandingkan jumlah perusahaan yang dimiliki oleh swasta asing. Sebagian produsen memasarkan produk pakaian jadi dengan mencantumkan brand atau merek tertentu. Satu produsen bisa mempunyai lebih dari satu brand di pasaran. Para pemasok garmen branded dalam negeri telah membentuk sebuah asosiasi dengan nama Asosiasi Pemasok Pakaian jadi dan Assesoris Indonesia (APGAI). Asosiasi ini didirikan pada 5
KBLI 14111 (tahun 2009) merupakan klasifikasi untuk produk pakaian jadi yang mencakup usaha pembuatan pakaian jadi (konveksi) dari tekstil/kain (tenun maupun rajutan).
33
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Tabel 3.2 Jumlah Perusahaan Pakaian Jadi dan Kepemilikannya Kelompok Industri dan Status Kepemilikan Jumlah Perusahaan Perusahaan Besar Menengah
Total
Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Tekstil (KBLI 14111) Swasta nasional Swasta asing Swasta nasional dan swasta asing Pemerintah daerah Pemerintah daerah dan swasta asing
1.705 1540 129 24 11 1
471 321 121 23 5 1
1.234 1219 8 1 6 -
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah
tanggal 10 September 1991 oleh para produsen pakaian jadi dan distributor pakaian jadi yang pada awalnya disebut sebagai Asosiasi Pemasok Pakaian jadi Pertokoan Indonesia (APGPI). Perubahan nama APGPI menjadi APGAI dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah nasional pada tanggal 31 Agustus 1995. Tujuan dan fungsi didirikannya APGAI adalah sebagai forum kebersamaaan dan fasilitasi kepada produsen, supplier, dan berbagai perusahaan yang termasuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terkait untuk berkomunikasi kepada partner bisnisnya yaitu pengusaha eceran, mall dan pusat perbelanjaan agar terwujud kerjasama yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Saat ini terdapat 113 perusahaan yang tergabung sebagai anggota di dalam APGAI. Perusahaan-perusahaan anggota APGAI merupakan pemegang lebih dari 500 merek nasional dan internasional dengan jumlah karyawan lebih dari 300.000 orang (APGAI, 2015). Berikut ini adalah beberapa brand yang cukup populer di pasar pakaian jadi di pasar dalam negeri. Struktur pasar pakaian jadi juga ditentukan oleh hambatan masuk (barrier to entry), hambatan keluar (barrier to exit) serta kemampuan untuk mempengaruhi harga. Hambatan pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar pakaian jadi dan untuk keluar dan dari pasar tersebut relatif rendah. Seorang pengusaha dengan kemampuan desain dan modal yang relatif kecil bisa masuk ke dalam pasar pakaian jadi meskipun proses pembuatan dan pemotongan bahan baku dilakukan oleh pihak lain. Selain itu, kemampuan pengusaha untuk mempengaruhi harga pada pasar pakaian jadi juga relatif rendah karena banyaknya jumlah pembeli dan penjual di pasar tersebut. Jika dilihat dari sisi jenis produk, pasar pakaian jadi memiliki produk yang terdeferensiasi. Berdasarkan beberapa kriteria tersebut yaitu jumlah pembeli
34
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
dan penjual, jenis produk, hambatan masuk serta pengaruh terhadap harga dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakaian jadi adalah pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition). Pasar persaingan monopolistik mempunyai karakteristik yang hampir mirip dengan pasar persaingan sempurna, namun pasar persaingan monopolistik ditandai dengan perusahan yang memproduksi produk sejenis yang terdeferensiasi dan tidak homogen sebagaimana yang terdapat pada pasar persaingan sempurna (Samuelson & Marks, 2012). Tabel 3.3 Brand Pakaian Jadi Produk Pakaian Pria
Brand Asing
Brand Lokal
Dunhill, Hugo Boss, Armani, Valentino, The Executive, Wood, John Far, Ralph Lauren, Jack Nicklaus, Choya, Ricciman, Alisan, Van Heusen, Geoffrey Beene Uni Asia, Jobb, Leone ‘Uomo.
Pakaian Wanita Dior, Channel, Prada, Gucci, Esprit, Versace, Giordani Lady
Et Cetera, Colorbox, Lyne Halim, Sophie Martin, graphis, simplicity.
Pakaian Anak Bossini Kids, Esprit Kids,Les Enphants Hipofant, Pingu, Red Cliff, Cool Kids, JSP, Bi One. Pakaian Kasual Uniqlo, Billabong, Zara, Tommy, H&M, Crocodile, Lee Cooper, Arnold Palmer Pakaian Olahraga Adidas, Nike, Umbro, Fila, Reebok, Converse, Puma, Kappa
Hammer, Watchout, Poshboy, Triset, Man Club, Country Fiesta, Cardinal. Leeviera, Hay United.
Pakaian Dalam Triumph, Wacoal, Sorella
GT Man, Sony, Viena Fair, Bonds, Durban, Jockey.
Denim Levi’s, Lee, Wrangler, Lee Cooper
Lea, Peter Says Denim, Old Blue, Mischief, Jimmy Martin, Logo.
Sumber: APGAI (2015) dan sumber lain, diolah
3.5 Jaringan Pemasaran Produk Pakaian Jadi Dalam pendistribusian produk ke konsumen, peran rantai pemasaran sangatlah penting. Rantai pemasaran (marketing channel) terdiri dari seluruh lembaga yang terlibat dalam aktivitas ditribusi dari produsen hingga ke konsumen (Sukesi dkk., 2010). Pemasaran dan distribusi produk pakaian jadi ke konsumen melibatkan banyak pedagang baik pedagang besar maupun pedagang eceran yang mampu menjangkau konsumen secara langsung yaitu pedagang eceran khusus pakaian (KBLI 47711), pedagang eceran di toserba (KBLI 47191), pedagang eceran bukan di toserba (KBLI 47192), pedagang eceran pakaian kali lima dan los pasar (KBLI 47832), pedagang eceran pakaian bekas (KBLI 47742), pedagang eceran pakaian bekas kaki lima dan los pasar (KBLI 47895), pedagang eceran melalui media (KBLI 47912) dan pedagang eceran keliling (KBLI 47994).
35
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Secara umum jaringan distribusi pakaian jadi dimulai dari produsen pakaian jadi sampai konsumen akhir dengan melewati serangkaian pedagang perantara (intermediaries) baik itu pedagang besar (wholesale) maupun pedagang eceran (retailer). Produsen pakaian jadi bisa berlokasi di dalam negeri maupun di luar negeri. Pakaian jadi yang berasal dari produsen luar negeri masuk ke Indonesia melalui importir terdaftar (IT) pakaian jadi yang berperan sebagai pedagang besar (wholesale) untuk pakaian jadi impor. Produsen pakaian jadi dalam negeri bisa mendistribusikan produknya melalui pedagang besar terlebih dahulu atau langsung ke pengecer (retailer). Retailer yang langsung mememperoleh barang dari produsen biasanya berbentuk factory outlet, distribution store, butik dan distro (Gambar 3.3). Impor Pakaian Jadi Toserba (Dept. Store) Toko Khusus Pakaian
Produsen Pakaian Jadi Perancangan
Pelabelan
Pemotongan
Penjahitan
Pengepakan
Pedagang Besar/ Importir Pakaian Jadi
Los pasar & Kaki lima Pedagang Keliling e-retailing Factory Outlet
K o n s u m e n
Butik Distro
Gambar 3.3 Jaringan Pemasaran Pakaian Jadi di Dalam Negeri. Sumber: Sunil & Rai, 2013; Fernandez-Stark, Frederick, & Gereffi, 2011; Widodo & Ferdiansyah, 2010, dengan beberapa perubahan
Para pedagang pakaian jadi (khususnya pedagang kecil dan menengah) cenderung bergabung dengan pedagang lainnya di suatu tempat tertentu untuk membentuk pasar atau pusat perdagangan pakaian jadi yang lebih besar. Sebagai contoh adalah pedagang pakaian jadi di Jakarta. Di Jakarta terdapat beberapa tempat pusat belanja yang dijadikan sebagai sentra penjualan dan tujuan bagi para konsumen untuk mendapatkan pakaian dengan harga yang relatif murah seperti di Pasar Tanah Abang, Plaza Blok M, Thamrin City, Cipulir, Jatinegara, dan Pasar Senen (Neraca.co.id, 2012).
36
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
1.
Pasar Tanah Abang Tanah Abang merupakan salah satu sentra terbesar pakaian jadi di Jakarta, bahkan di Indonesia. Selain itu, Pasar Tanah Abang merupakan pusat perbelanjaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Di pasar ini pusat penjualan pakaian baik grosir maupun eceran yang berlokasi di Jakarta Pusat. Selain menyediakan beraneka macam pakaian jadi, baik pakaian mulai untuk anakanak sampai orang dewasa, juga bisa dijual berbagai macam bahan baku (kain) untuk membuat pakaian. Pasar ini dikunjungi sekitar 73 juta orang tiap tahunnya, dengan jumlah pedagang sekitar 28 ribu pedagang, dan omset per hari sekitar 400 miliar. 2. Kawasan Pertokoan Blok M Blok M merupakan nama kawasan perbelanjaan dan pusat bisnis di di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di pusat perbelanjaan tersebut dijual berbagai macam produk pakaian jadi seperti busana formal, busana kasual busana muslim, aneka batik serta asesoris pria dan wanita. Ada sekitar empat pusat perbelanjaan yang cukup besar di kawasan Blok M yaitu Blok M Plaza, Blok M Square, Mall Blok M dan Pasaraya Grande. Pusat perbelanjaan tersebut menyediakan pakaian dengan harga yang relatif beragam. Harga pakaian yang relatif murah bisa diperoleh di Blok M Square, namun konsumen harus pandai menawar harga produk karena biasanya pedagang menawarkan harga pertama yang jauh lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya. 3. Thamrin City Thamrin City merupakan pusat penjualan batik di Jakarta. Di sini konsumen bisa membeli baju batik yang beraneka ragam. Produk batik yang di jual di Thamrin City berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti dari Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta, dan Madura. 4.
Pasar Cipulir Pasar Cipulir berada di Jalan Ciledug Raya, Cipulir, Jakarta Selatan. Seperti halnya Pasar Tanah Abang, Pasar Cipulir telah dikenal oleh masyarakat sebagai pusat grosir produk tekstil dan pakaian jadi di Jakarta. Di pusat perbelanjaan ini banyak pedagang menjual dagangan secara partai besar atau grosir, namun pembeli eceran juga tetap bisa membeli pakaian jadi yang diinginkannya. Di kawasan ini toko busana menjual beraneka ragam pakaian pria maupun wanita, dan perlengkapan pakaian hingga tas dengan harga yang cukup murah.
37
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
5.
Jatinegara Pasar Jatinegara mempunyai nama lain Mester Passer (Pasar Mester) yang terletak di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Pilihan jenis kaosnya beragam dengan harga yang ditawarkan cukup murah dan terjangkau. Di pasar ini cocok untuk konsumen yang akan membeli dengan partai besar atau grosir. Selain grosir pakaian pasar Jatinegara juga menyediakan grosir souvenir pernikahan dan grosir peralatan rumah tangga. 6.
Pasar Senen Pasar Senen berada di wilayah Jakarta Pusat. Pasar ini merupakan pasar tertua di Jakarta. Pasar senen menjadi tempat bagi pembeli untuk mencari baju murah, bekas dan sisa ekspor. Dilihat dari jenis bajunya, di Pasar Senen juga dijual berbagai macam baju, celana, jaket, dan gaun. Di pasar ini juga dijual bermacam-macam aksesoris pakaian seperti tas, kacamata, sepatu dan sandal, topi dan kalung dengan harga yang cukup murah. 3.6 Perkembangan Harga Pakaian Jadi di Dalam Negeri Harga eceran pakaian jadi mengalami perkembangan sesuai dengan mekanisme permintaan dan penawaran di pasar. Gambar 3.4 dan 3.5 menunjukkan perkembangan harga beberapa jenis pakaian pria dan pakaian wanita. 188.054
190000
177.847
Harga (Rp)
170000
153.072
150000 130000 110000 90000
141.138 112.099 113.375 85.388
70000 68.665 50000 2010 2011 2012 2013 2014 Baju Kaos / T-Shirt
Celana Panjang Katun
Kemeja Pendek Pria Katun
Kemeja Panjang Pria Batik
Gambar 3.4 Perkembangan Harga Pakaian Pria. Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015)
38
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
200000
192.848
180000 160000 Harga (Rp)
140000 120000 100000
134.498 96.837
80000
73.037
60000
49.908
40000
40.287
20000
33.560
91.646 69.776 59.723
0
Gaun
Blus
Kerudung
BH Katun
Daster
Gambar 3.5 Perkembangan Harga Pakaian Wanita. Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015)
Selama tahun 2010 sampai dengan 2015 harga produk-produk pakaian jadi cenderung mengalami kenaikan. Pada gambar diatas kenaikan harga yang relatif tinggi untuk pakaian pria terjadi pada produk kemeja pendek pria katun dengan kenaikan harga sebesar 108%, sedangkan kenaikan harga yang relatif rendah terjadi pada kemeja panjang pria batik dengan kenaikan harga sebesar 35,01%. Adapun untuk produk pakaian wanita, kenaikan harga yang relatif tertinggi terjadi pada produk gaun dengan kenaikan harga sebesar 99,15%, sedangkan kenaikan harga yang relatif rendah pada produk pakaian wanita terjadi pada produk BH katun dengan kenaikan harga sebesar 73,2%. Tabel 3.4 menunjukkan persentase dari kenaikan harga dari tahun ke tahun. Tabel 3.4 Kenaikan Harga Tahunan Pakaian Jadi Produk Kenaikan Harga (%) 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 2010-2014 Baju Kaos(T-shirt) Celana Panjang Katun Kemeja Pendek Pria Katun Kemeja Panjang Pria Batik Gaun Blus Kerudung BH Katun Daster
5,88 4,48 6,91 0,95 0,28 7,90 2,54 3,14 0,96
66,08 39,85 7,74 36,76 87,97 57,75 78,96 62,18 73,20
1,67 14,97 105,55 3,04 11,42 67,76 7,51 68,19 108,28 2,37 -4,46 35,01 4,17 1,42 99,15 3,24 4,80 84,15 0,30 -3,32 77,96 4,13 -0,57 73,20 3,51 1,46 83,63
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015), diolah
39
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Jika dilihat dari Koefisien Keragaman (KK) harga bulanan, selama tahun 2014 relatif stabil, hal ini dilihat dari koefisien keragaman harga kelompok barang tersebut yang bernilai kurang dari 5% sebagai mana ditunjukkan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Koefisien Keragaman Pakaian Jadi 2014 Produk Pakaian Jadi Baju Kaos(T-shirt) Celana Panjang Katun Kemeja Pendek Pria Katun Kemeja Panjang Pria Batik Gaun Blus Kerudung BH Katun Daster
Koefisien Keragaman (KK) 0,71 % 0,74 % 0,93 % 0,70 % 0,55 % 1,71 % 0,51 % 1,49 % 4,28 %
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011-2015h), diolah
3.7 Kebijakan Perdagangan Pakaian Jadi di Indonesia Industri pakaian jadi masuk ke dalam salah satu industri prioritas yang menjadi perhatian pemerintah untuk dikembangkan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. Kebijakan prioritas ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional yang mengatur tentang pengembangan industri nasional yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri, yang memiliki struktur yang sehat dan berkeadilan, berkelanjutan, serta mampu memperkokoh ketahanan nasional. Kebijakan industri nasional ini memberikan pedoman dalam pengembangan industri nasional untuk industri pakaian jadi sebagai dasar pemberian fasilitas pemerintah. Lebih lanjut, kebijakan pengembangan industri pakaian jadi juga diatur pada Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Republik Indonesia Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki juncto Permenperin No.15/ M-IND/PER/2/2012 juncto Permenperin No.01/M-IND/PER/1/2014 yang secara jelas memberikan kemudahan dan keringanan biaya bagi Industri Produk Tekstil termasuk industri pakaian jadi untuk melakukan peremajaan mesin dan peralatannya dengan teknologi yang lebih maju. Berdasarkan pemetaan atas pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Menteri Perindustrian di atas ke dalam alur input, process, output, dan
40
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
outcome, ternyata aspek-aspek yang ditekankan dalam kebijakan ini dianggap belum menyentuh pokok permasalahan dalam industri tekstil secara langsung, terutama industri pakaian jadi nasional. Kebijakan ini secara nyata juga sangat membatasi perusahaan yang ingin mengajukan permohonan keringanan dalam pembelian mesin. Hal ini bisa dilihat pada aspek proses, dimana pemerintah memberikan persyaratan yang cukup berat untuk bisa dipenuhi oleh industri tekstil skala kecil dan menengah yang merupakan pelaku mayoritas (dari sisi jumlah) dalam industri tekstil yang berorientasi ke pasar domestik. Misalkan, perusahaan yang bisa memperoleh fasilitas keringanan pembelian mesin dan peralatan adalah perusahaan yang telah berinvestasi dan beroperasi minimal dua tahun. Selain itu, keringanan pembiayaan hanya diberikan bagi perusahaan yang menggunakan teknologi yang lebih maju dan mesin dalam kondisi baru serta persyaratan nilai investasi yang cukup besar (Efendi, 2013). Seharusnya pasar dalam negeri tidak mudah dipenetrasi barang impor, bila saja produsen dalam negeri bisa memenuhi aspirasi dan ekspektasi konsumen Indonesia yang memang tergolong tinggi dengan gaya hidup yang terus berubah dengan cepat. Dalam hal kebijakan perdagangan, pemerintah telah mengeluarkan tata laksana kebijakan impor produk tekstil yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Republik Indonesia Nomor 23/M-DAG/PER/6/2009 Tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil jo Permendag No.02/M-DAG/PER/1/2010 Tentang Perubahan Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil yang mengatur tentang tata laksana importasi barang-barang tekstil yang hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-Tekstil atas dasar rekomendasi Kementerian Perindustrian. Produk tekstil yang diimpor oleh IP-Tekstil sebagaimana dimaksud hanya untuk dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP-Tekstil yang bersangkutan dan dilarang untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Selain itu, Kementerian Perdagangan juga telah mengeluarkan Permendag No.70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern jo Permendag No.56/M-DAG/PER/9/2014. Pemerintah telah mengimbau produsen nasional untuk bergegas memanfaatkan peraturanperaturan ini untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan pangsa pasar produksi dalam negeri guna meredam laju impor dan membuka peluang ekspor baru. Hal terpenting yang diatur dalam Permendag No.70 Tahun 2013 adalah kewajiban toko modern dan pusat perbelanjaan untuk memasarkan produk dalam negeri paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang
41
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
diperdagangkan. Jika peraturan ini dapat diimplementasikan dengan baik, diharapkan dapat lebih menjamin pemberdayaan dan perlindungan produsen Indonesia dan penguatan pemasaran produk buatan dalam negeri. Setelah selama 80 tahun Indonesia menggunakan peraturan penyelenggaraan perdagangan Bedfrijfsreglementerings Ordonnantie (BO) tahun 1934 yang merupakan hukum warisan kolonial Belanda, pada bulan Februari 2014 Indonesia secara resmi telah mempunyai undang-undang yang mengatur perdagangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang dibuat dengan mengedepankan kepentingan nasional dan ditujukan untuk melindungi pasar domestik dan produk dalam negeri, dan memberikan perlindungan terhadap konsumen. Kebijakan pemerintah dalam mengatur perdagangan produk pakaian jadi akan selalu mengacu kepada undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, adalah undang-undang perlindungan konsumen yang di buat oleh pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian dari konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir, yaitu pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini juga terdapat banyak ketentuan-ketentuan yang juga mengatur para pelaku usaha di dalam hubungannya dengan konsumen dan pemerintah. Pelaku usaha yang dimaksud adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan sebagainya. 3.8
Kebijakan Perlindungan Konsumen di Indonesia
3.8.1 Pentingnya Perlindungan Konsumen Ada beberapa alasan kenapa perlindungan konsumen itu diperlukan, diantaranya adalah, melindungi konsumen berarti melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional
42
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
dalam Pembukaan UUD 1945. Perkembangan teknologi dan cara hidup dari waktu ke waktu akan membuat perubahan pada produk pakaian jadi yang diproduksi oleh para produsen, yang sedikit banyak akan menimbulkan beberapa efek negatif dan positif. Oleh karena itu sebuah payung hukum diperlukan untuk bisa melindungi rakyat Indonesia sebagai konsumen dengan mendapatkan kepastian akan keamanan, mutu, jumlah dan harga dari produk pakaian yang diperoleh melalui perdagangan. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas yang relevan dengan pembangunan nasional. Berdasarkan Bab 2 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, terdapat lima asas perlindungan konsumen yaitu: 1. Asas manfaat, dimana segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen yang harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan, dimana segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus bisa memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan, yang memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, yang bertujuan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum, yang berarti baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum. Melalui perlindungan konsumen, masyarakat yang mengkonsumsi produk pakaian jadi diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian dalam melindungi diri dari produk yang dikonsumsi. Sementara itu bagi para pelaku usaha pakaian jadi diharapkan dapat memiliki sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, karena telah memiliki kesadaran akan pentingnya perlindungan konsumen. Untuk bisa melindungi diri dari produk pakaian yang telah dikonsumsi, konsumen pakaian jadi harus mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya sebagai konsumen, seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
43
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
8 Tahun 1999. Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui tentang hak dan kewajiban dari konsumen pakaian jadi: 1. Konsumen berhak untuk memiliki rasa nyaman dari pakaian jadi yang telah di beli, begitu juga dengan keamanan dan jaminan keselamatan saat memakai pakaian yang telah dibeli tersebut. Namun konsumen juga berkewajiban untuk membaca petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan dari produk pakaian yang dibeli, demi keamanan dan keselamatannya. 2. Konsumen berhak untuk memilih pakaian yang diinginkan serta mendapatkan spesifikasi sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan sebelumnya saat transaksi berlangsung. 3. Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi produk pakaian yang akan dibeli, dan kondisi jaminan yang dimiliki produk pakaian itu. 4. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila produk pakaian yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 5. Konsumen wajib membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan penjual, atas produk pakaian yang dibeli. Bagi para pelaku usaha (penjual, produsen, distributor, dll) produk pakaian jadi wajib untuk mentaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Karena untuk setiap pelanggaran terhadap ketentuan dari perundang-undangan yang berlaku, pelaku usaha akan diberlakukan sanksi administratif dan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 60 sampai 63 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Sanksi itu dapat berupa denda, hukuman kurungan, atau hukuman tambahan seperti penarikan barang dari peredaran atau pencabutan izin usaha. Namun dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, yaitu apabila barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan, cacat barang timbul pada kemudian hari setelah pembelian terjadi atau cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang, terjadi kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen, dan terakhir apabila telah lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. 3.8.2 Standar Nasional Pakaian Jadi Industri pakaian jadi merupakan usaha yang strategis dalam peningkatan ekonomi masyarakat karena dapat dilakukan dengan skala besar maupun skala kecil seperti usaha penjahitan sebagai industri rumahan. Semakin
44
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
banyak usaha di bidang fashion baik skala besar, menengah maupun kecil yang bersifat industri rumah tangga (usaha tailor, modiste) yang menghasilkan berbagai macam bentuk produk fashion, menunjukkan industri fashion berkembang dengan pesat. Era Globalisasi membawa dampak terhadap industri fashion di Indonesia. Hal ini merupakan awal terjadinya persaingan bebas antar negara, terutama di industri pakaian jadi yang besar. Produk pakaian jadi impor dari berbagai negara telah banyak masuk ke dalam pasar domestik. Bahkan akibat dari besarnya permintaan akan produk impor dengan harga murah, produk impor pakaian ilegal juga telah membanjiri pasar domestik. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy (Tempo.co, 2015), mengatakan bahwa angka impor pakaian ilegal baik bekas maupun baru telah mencapai Rp 10,9 triliun. Pada dasarnya larangan impor pakaian bekas sudah dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1982, melalui SK Mendagkop Nomor 28 tahun 1982 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. Begitu banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan impor ilegal, namun ini tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan usaha pemerintah saja. Tentunya tanggung jawab dari para produsen produk pakaian jadi juga diperlukan dengan memastikan quality control dan quality assurance berjalan sebagaimana mestinya, serta memastikan penerapan standar yang berlaku mulai dari hulu hingga hilir. Namun perlu disadari juga bahwa konsumen memiliki peran yang cukup signifikan. Konsumen dituntut untuk cerdas dan kritis dalam memilih produk. Konsumen harus mampu memilih produk yang berkualitas dan aman bagi dirinya. Uji laboratorium oleh instansi resmi yang berwenang akan memberikan informasi tentang kandungan dan komposisi dari produk yang bersangkutan, melalui label yang dicantumkan pada kemasan produk tersebut. Dalam konteks perlindungan konsumen, pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk pakaian jadi. Disebutkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 7, di antara Kewajiban Pelaku Usaha adalah menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar yang berlaku.
45
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Dalam upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen Indonesia, SNI telah ditetapkan untuk produk pakaian jadi atau pakaian jadi di Indonesia. Beberapa SNI untuk produk pakaian jadi yang masih berlaku terdapat dalam Tabel 3.6. Tabel 3.6 Daftar SNI Untuk Produk Pakaian Jadi No. Kelompok
Nomer SNI
1. Pakaian Pelindung
SNI IEC 61331-3:2013, SNI 18-7028-2004, SNI 18-6479-2000
Standar-standar ini mengatur produk pakaian pelindung yang dipergunakan dalam pemeriksaan radiologi dan prosedur intervensional, yang berfungsi untuk mengurangi dosis paparan pada goradnya dari hamburan sinar - X dengan tegangan tabung <= 150 kV . Berikutnya juga diatur dua jenis pakaian pelindung, yaitu pakaian bertekanan dan berventilasi dan pakaian tidak bertekanan dan tidak berventilasi. Kedua jenis pakaian pelindung ini digunakan untuk melindungi pemakai terhadap kontaminasi radioaktif yang disebabkan kontak langsung dengan zat cair atau zat padat atau polutan udara, seperti partikel padat, debu, gas atau uap.
2. Pakaian Wanita
SNI 08-4991-1999, SNI 08-4656-1998, SNI 7719:2011
Standar untuk pakaian wanita ini mengatur standar jahitan, mutu tekstil dan syarat ukuran celana panjang. Untuk standar jahitan ada 3 hal yang harus dipenuhi yaitu ; 1.) kekuatan jahitan sambung minimal = 60% dari kekuatan jebol kain;2.) jumlah setik minimal 4 per cm; 3.) kenampakan jahitan dan cacat jahitan. Standar ini tidak mengatur pakaian dalam wanita, dan hanya mengatur pakaian wanita yang berbahan kain tenun/ kain rajut. Berikutnya untuk mutuk tekstil yang dimaksud adalah kadar formaldehid, kadar logam seperti Pb, Cd, Cu dan Ni dari semua jenis serat dan campuran serat tekstil yang digunakan pada kain rajut untuk pakaian dalam wanita berupa celana dalam, kutang (beha) dan baju dalam (lingerie). Sedangkan syarat ukuran ditentukan oleh lingkar pinggang, lingkar pinggul, panjang celana dan selangkang/pisah, yang ditetapkan melalui SK No 102/BSN-I/HK/05/1998. Standar ini tidak berlaku untuk celana panjang wanita dewasa dari kain denim (Kn).
3 Pakaian Pria
SNI 3539:2010, SNI 08-4910-1998, SNI 08-0361-1998, SNI 7886:2013, SNI 2161:2010
Untuk pakaian pria, standar yang diatur adalah ukuran kemeja, ukuran kaos olahraga dan kaos santai, mutu bahan pakaian, cara pengukuran, dan syarat pengukuran. Untuk ukuran kemeja pria dewasa yang di atur disini adalah kemeja dari semua bahan serat. Sedangkan untuk kaos olahraga dan kaos santai pria dengan ukuran didasarkan pada lingkar badan namun tidak berlaku
46
Keterangan
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
untuk kaos oblong pakaian dalam pria. Sedangkan untuk standar mengatur syarat mutu pada bahan yang digunakan untuk pakaian dalam pria, bahan yang dimaksud adalah kain rajut dari semua jenis serat dan campuran serat yang digunakan untuk semua pakaian dalam pria berupa kaos dalam, celana dalam, dan singlet, baik yang transparan maupun tidak transparan. Standar pengukuran yang diatur didalam SNI mengatur bagian tubuh pria dewasa yang diukur meliputi lingkar pinggang, lingkar pinggul, panjang celana, dan selangkang. 4 Pakaian Bayi dan Anak SNI 7617:2010, SNI 7929:2013, SNI 7930:2013
Standar pakaian bayi dan anak, mengatur masalah standar ukuran kemeja melalui nomor secara berurutan untuk anak usia dari 3 tahun sampai dengan 14 tahun yang terbuat dari kain tenun. Berikutnya standar ukuran blus anak, melalui nomor secara berurutan untuk usia dari 3 tahun sampai dengan 14 tahun yang terbuat dari kain tenun. Dan SNI wajib yang mengatur dan menetapkan persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida pada kain untuk pakaian bayi sampai usia 36 bulan, dan anak diatas usia 36 bulan . Standar ini berlaku pada kain yang terbuat dari kain tenun dan kain rajut dari berbagai jenis serat dan campuran serat yang langsung bersentuhan dengan kulit.
5 Pakaian Wanita dan Pria
Untuk pakaian wanita dan pria standar yang diatur adalah mengenai, pengertian nama-nama bagian tubuh, kadar formalhida, dan mengenai peningkatan standar mutu kain rajut. Untuk standar penyamaan pengertian nama-nama bagian tubuh untuk pembuatan pakaian jadi baik bagi pria ataupun wanita, agar tidak mengganggu ketepatan pengukuran maka pengukuran dilakukan pada tubuh tanpa menggunakan sepatu dan pakaian. Sedangkan standar kadar formaldehida diterapkan pada produk pakaian bayi usia di kurang dari 2 tahun, pakaian anak, dan dewasa baik pria maupun wanita yang langsung bersentuhan dengan kulit yang berbahan kain tenun maupun rajut. Standar ini berlaku untuk persyaratan yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan, dimana kadar formaldehida pada bayi maksimum 20 ppm dan 75 ppm pada anak dan dewasa karena merupakan senyawa kimia yang beracun dan sangat berbahaya bagi manusia. Syarat lulus uji apabila memenuhi syarat mutu yang ditetapkan. Pengemasan dalam kantong plastik dan diberi tanda atau label. Dan untuk standar penetapan mutu kain rajut untuk pakaian olahraga pria, wanita, dewasa dan anak anak yang berlaku untuk semua jenis kain rajut untuk pakaian olahraga yang dibuat . Standar ini tidak berlaku untuk kain rajut yang mengandung benang spandex atau sejenisnya.
SNI 08-4985-1999, SNI 7887:2013, SNI 6688:2011, SNI 08-7189-2006
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2015), diolah
47
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
Seperti yang tercantum pada Tabel 3.6 diatas, pada dasarnya SNI yang telah ditetapkan pada produk pakaian jadi saat ini sudah cukup baik dan mewakili kepentingan dari seluruh stakeholders. Total dari jumlah keseluruhan SNI yang sudah ditetapkan untuk tekstil dan produk tekstil adalah 333 SNI, yang dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional. 3.9 Permasalahan Perdagangan Pakaian Jadi di Indonesia Ada berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri pakaian jadi di Indonesia. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah masalah pakaian impor bekas, impor ilegal, melemahnya daya saing Industri pakaian jadi nasional yang terkait dengan produksi dan biaya produksi. Pakaian impor bekas di Indonesia masih cukup banyak diperdagangkan, hal ini terjadi karena konsumen mempertimbangkan bahwa dengan harga yang murah, bahkan lebih murah dari pakaian baru produksi dalam negeri, mereka bisa mendapatkan pakaian bermerek terkenal yang kualitasnya relatif masih bagus. Selain itu saat dipakai oleh seseorang yang kemampuan ekonominya rendah, pakaian impor bekas itu akan membawa kebanggaan tersendiri bagi pemakainya karena telah mengenakan produk pakaian bermerek. Pakaian bekas impor dapat menimbulkan kerugian terhadap para produsen pakaian jadi dalam negeri, dimana pangsa pasar akan berkurang dan menurunkan omset penjualan para produsen tersebut. Sedangkan bagi para konsumen pakaian bekas impor, akan menghadapi resiko terkena kuman dan bakteri yang dapat membahayakan kesehatannya. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, pakaian bekas impor yang banyak ditemukan di Indonesia mengandung bakteri berbahaya (Sindo, 2015). Warga pun diimbau tidak membelinya, karena Berdasarkan uji laboratorium terhadap 24 sampel pakaian bekas yang dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan pada bulan Desember 2014, dinyatakan bahwa seluruh pakaian bekas positif mengandung bakteri, bahkan pakaian bekas ternyata juga mengandung jenis jamur kapang dan khamir. Setelah melakukan pengujian terhadap 25 contoh pakaian bekas yang beredar di Pasar Senen atas beberapa jenis pakaian seperti pakaian anak (jaket), pakaian wanita (vest, baju hangat, dress, rok, atasan, hot pants, celana pendek), dan pakaian pria (jaket, celana panjang, celana pendek, kemeja, t-shirt, kaos, sweater, kemeja, boxer, celana dalam), telah ditemukan sejumlah koloni bakteri dan jamur yang ditunjukkan oleh parameter pengujian Angka Lempeng Total (ALT) dan kapang pada semua contoh pakaian bekas
48
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
yang nilainya cukup tinggi. Pengujian tersebut dilakukan terhadap beberapa jenis mikroorganisme yang dapat bertahan hidup pada pakaian yaitu bakteri Staphylococcus aureus (S. aureus), bakteri Escherichia coli (E. coli), dan jamur (kapang atau khamir). Pada dasarnya larangan impor pakaian bekas sudah dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1982 melalui SK Mendagkop Nomor 28 tahun 1982 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor dan aturan yang terbaru dari pemerintah menegaskan bahwa kegiatan impor pakaian bekas ke Indonesia dilarang keras. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dimana pada Pasal 47 ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru”. Namun pada kenyataannya pakaian bekas impor ini masih banyak diperdagangkan, penjualan baju bekas impor di dalam negeri tetap ada, contohnya di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan perdagangan barang bekas dengan syarat penjual wajib menjelaskan kepada konsumennya bahwa barang yang dijual tersebut adalah barang bekas, atau bukan baru. Selain itu Kementerian Perdagangan juga belum mengatur tentang daftar produk yang dapat diimpor dalam keadaan bukan baru sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan dan juga Permendag Nomor 54/2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum. Akibat hal tersebut, komoditi pakaian bekas tidak muncul dalam ketentuan larangan terbatas yang diatur dalam situs National Single Window (NSW). Penanggulangan pakaian bekas juga dilakukan dengan membentuk tim pengawasan khusus. Kementerian Perdagangan telah membentuk tim terpadu untuk pengawasan pakaian bekas impor. Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar ini dibentuk bersama Polri, Ditjen Bea Cukai, dan sejumlah instansi terkait. Tim tersebut akan mendeteksi aliran dan keberadaan pakaian bekas impor. Tim pengawasan juga dibentuk di tingkat provinsi, sebagai contoh pada Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah serta Perdagangan (KUKMP) Provinsi DKI Jakarta. Tim tersebut bertugas mengawasi alur perdagangan pakaian bekas impor di Jakarta, khususnya yang akan dipasarkan dan menilai apakah pakaian bekas tersebut layak dijual atau tidak. Dengan dibentuknya timsus untuk mengawasi impor pakaian bekas diharapkan bisa menjadi pendeteksi dini terhadap peredaran pakaian bekas dan titik konsentrasinya (Republika, 2015). Maka dari itu Untuk pengaturan impor pakaian bekas, diperlukan ketegasan dalam
49
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
pengawasan dan law enforcement karena sebenarnya aturan larangan impor pakaian bekas sudah ada sejak dulu, namun sampai saat ini perdagangan pakaian bekas masih marak. Tabel 3.7 Nilai Impor Pakaian Bekas
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Dari tahun 2009 sampai 2013 pada Tabel 3.7 diatas dapat dilihat bahwa nilai impor pakaian bekas cukup fluktuatif dengan nilai tren -39,46. Dimana mulai dari 2010, terjadi penurunan yang secara berkala dari nilai impor pakaian bekas sebesar USD 909 ribu, hingga menjadi USD 203 ribu di tahun 2013. Ini merupakan suatu hal yang baik, karena dengan berkurangnya peredaran produk pakaian bekas impor maka pangsa pasar produk pakaian jadi dalam negeri menjadi bertambah, dan juga berarti konsumen semakin sadar akan pentingnya kualitas dan mutu dari pakaian yang mereka konsumsi. Selain impor pakaian bekas, impor ilegal disinyalir juga terdapat pada pakaian baru/bukan bekas. Pakaian bekas impor biasanya lebih menyasar pasar menengah ke bawah dan mengurangi daya saing UKM TPT. Sedangkan baju baru hasil impor ilegal lebih menyasar pasar menengah ke atas dan dipasarkan di ritel-ritel modern. Biasanya peritel modern tidak menjual pakaian bekas karena akan merusak pasar yang sudah ada (Radarpena, 2015). Nilai impor baju resmi/legal yang melalui izin Kementerian Perdagangan Rp 48,02 triliun atau 142 ribu ton, sedangkan yang dipasok industri dalam negeri Rp 95,35 triliun atau 1,51 juta ton. Dengan demikian, total pasokan ke pasar domestik seharusnya Rp 143,37 triliun atau 1,65 juta ton. Namun konsumsi pakaian Indonesia pada 2014 mencapai Rp 154,3 triliun atau 1,73 juta ton. Jadi, ada selisih Rp 10,9 triliun atau 8400 ton. Diperkirakan, angka tersebut merupakan baju impor yang masuk secara ilegal sehingga tidak tercatat dalam daftar impor baik baju baru maupun bekas (Jawa Pos, 2015). Derasnya impor produk pakaian jadi dari RRT juga turut berperan dalam penurunan penjualan produk tekstil pakaian jadi di pasar domestik. Pada tahun 2013 tekstil lokal hanya berkisar 40% dipasaran domestik.Jumlah tersebut menurun dari tahun 2010 yang sebesar 60%. Hal ini dibuktikan
50
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
dengan penjualan produk tekstil lokal dipasar domestik yang mencapai USD 13,5 miliar pada tahun 2010 dan menurun pada tahun 2011 hingga mencapai USD 9,3 miliar, dan menurun kembali menjadi USD 7,6 miliar. Dengan demikian total penjualan produk tekstil pakaian jadi Indonesia pada 2010- 2012 turun sekitar 5%-7%. Permasalahan domestik lain adalah melemahnya daya saing Industri pakaian jadi nasional. Pelaku usaha tekstil menilai bahwa Indonesia kurang agresif dalam mendorong pertumbuhan industri pakaian jadi. Salah satu faktor yang menyebabkan melemahnya industri pakaian jadi adalah besarnya biaya khususnya biaya listrik. Biaya listrik di Indonesia dinilai paling mahal di Asia. Negara lain sudah menerapkan tarif tetap, yakni sekitar USD 10,5 sen per kilowatt. Selain itu, Jepang bahkan memberikan diskon 30% tarif listrik sebesar USD 11 sen setiap malam. Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri TPT, terutama menyangkut upah buruh. Ketidakpastian pasar dan upah buruh yang meningkat dinilai telah membuat daya saing industri pakaian jadi melemah. Sejak Agustus 2014, sekitar 10 (sepuluh) perusahaan pakaian jadi telah berpindah ke Vietnam. Selain itu, sekitar 12 industri pemintalan juga gulung tikar. Vietnam sangat agresif untuk membangun perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Amerika Serikat yang disebut Trans Pasific Partnership (TPP). Dengan demikian bea masuk produk industri TPT Vietnam lebih rendah dibanding bea masuk produk Indonesia. Kondisi ini meningkatkan daya saing produk industri Vietnam. Jika kondisi ini tidak diperbaiki maka besar kemungkinan industri pakaian jadi nasional akan berpindah ke luar negeri seperti Vietnam (Republika, 2014). 3.10 Penutup Tingkat persaingan dunia usaha pakaian jadi baik skala besar, menengah maupun kecil saat ini sangatlah ketat. Pangsa pasar domestik dan luar negeri yang terus berkembang kini semakin menuntut produk yang bermutu tetapi dengan harga yang bersaing. Dalam memenangkan persaingan di industri pakaian jadi, mutu produk sangat penting peranannya. Perusahaan yang menyediakan produk berupa barang maupun jasa yang bermutu/berkualitas, maka perusahaan tersebut akan mampu memberikan kepuasan yang tinggi kepada konsumen, sehingga dapat memenangkan persaingan di pasar. Untuk dapat memperoleh produk pakaian jadi yang bermutu pemerintah telah menetapkan SNI, sehingga setiap orang yang terlibat harus mengenali: proses pengerjaannya, bahan baku serta informasi ( jenis kain, warna kain, jenis benang, kancing dll) yang dibutuhkan, serta
51
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
standar produk pakaian jadi apa yang akan dihasilkan (kemeja, celana, blus dll) beserta persyaratannya. Untuk mendukung terciptanya produk yang bermutu yang ber-SNI diperlukan: peralatan dan perlengkapan yang baik, pengetahuan dan keahlian SDM-nya, kebijakan-kebijakan, prosedur kerja dan standar kerja yang dapat diukur dan jelas sebagai alat bantu pengukuran kualitas kerja dalam proses pembuatan produk pakaian jadi. Perdagangan dan industri pakaian jadi akhir-akhir ini sedang mengalami pelemahan akibat tekanan dari sisi internal maupun eksternal. Tekanan internal bersumber dari kurang kondusifnya iklim usaha dan investasi akibat naiknya harga untuk suplai energi semacam tarif listrik dan harga BBM, biaya tenaga kerja/upah buruh, ditambah dengan kondisi mesin-mesin produksi tesktil yang sudah tua dan masih tingginya biaya logistik beserta infrastrukturnya yang kurang memadai. Adapun tekanan eksternal bersumber dari masuknya produk-produk RRT dengan harga yang relatif lebih murah baik secara legal maupun illegal. Ditambah lagi dengan maraknya impor pakaian bekas yang telah terbukti mengandung berbagai macam bakteri dan jamur yang akan merugikan konsumen dan juga produsen pakaian jadi di dalam negeri. Sebagai industri strategis yang memiliki peran penting dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penghasil devisa negara, industri pakaian jadi selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk dikuatkan dan dikembangkan daya saingnya dengan cara mengkondusifkan iklim usaha dan investasi bagi para pengusaha dan investor asing maupun domestik. Disamping itu perlindungan terhadap konsumen dari produk-produk yang merugikan kesejahteraan dan kesehatan konsumen perlu ditingkatkan seperti produk pakaian bekas impor. Namun beberapa permasalahan yang timbul seperti impor pakaian jadi bekas dan ilegal juga harus segera diselesaikan. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi para produsen pakaian jadi dalam negeri dan bagi para konsumen yang membelinya, karena tentunya produk pakaian jadi ilegal ini belum diuji mutu dan keamanannya. Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh usaha dari pemerintah saja. Pengaturan terhadap produk impor pakaian bekas cukup dilematis mengingat terdapat permintaan dan kebutuhan atas barang tersebut terutama untuk kelas ekonomi bawah. Maka dari itu perlu dilakukan edukasi yang terus menerus kepada konsumen supaya menjadi konsumen yang cerdas dan paham terhadap hak dan kewajibannya. Pihak produsen dan konsumen dalam hal ini harus ikut serta dan saling berkerjasama dengan menyadari akan arti penting standar dalam mengkonsumsi dan menggunakan pakaian jadi.
52
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pemasok Pakaian jadi dan Assesoris Indonesia (APGAI). (2015). Diakses Maret 6, 2015, dari www.apgai.org: http://www.apgai.org/about.php. Badan Pusat Statistik (BPS). (2009). Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Rata‑Rata Pengeluaran per Kapita Sebulan di Daerah Perkotaan dan Perdesaan Menurut Kelompok Barang dan Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan 2000-2012. Jakarta : Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI). Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik (BPS). (2013). Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang 2009-2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik (BPS). (2014). Statistik Industri Manufaktur. Badan Pusat Statistik. Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2015). Standar Nasional Indonesia. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Bakri, F. (2015, April 8). Diskusi dengan APGAI. Barnard, M. (2007). Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender. Bandung: Jalasutra. Bisnis.com. (2015, Februari 23). Diakses Maret 17, 2015, dari bisnis.com: http://bandung. bisnis.com/read/20150223/34231/527770/terus-anjlok-industri-hulu-tekstil-mintaimpor-kain-disetop. Bisniscom. (2014). Produk Impor Batik Cemaskan Produsen Lokal. Diunduh 17 Februari 2015 dari http://industri.bisnis.com/read/20141002/257/ 262003/produk-imporbatik-cemaskan-produsen-lokal. Black, J., N. Hashimzade & G. Myles (2013). Oxford Dictionary of Economics. Oxford University Press. Bloomberg. (2013, Mei 24). Diakses Maret 8, 2015, dari www.bloombergindonesia.tv: http:// www.bloombergindonesia.tv/videos/watch/2253/pgmst003a-market-story-eps3tanah-abang-seg1-rev2-mp4. Carlyle, T. (1843). Past and Present. London & Glasgow Collins Clear Type Press Pocket Edition Deming, W. E. (1993). The New Economics For Industry, Government & Education. Cambridge: Massachusetts Institute of Technology Center for Advanced Engineering Study. Detik.com. (2010). Penyelundupan Pakaian Bekas Rugikan Industri Kecil. Diunduh 16 Februari 2015 dari http://finance.detik.com/read/2010/02/12/ 101059/1298118/4/ penyelundupan-pakaian-bekas-rugikan-industri-kecil.Detik.com. (2015, Februari 5). Detik. Diakses Maret 8, 2015, dari Detik Finance: http://finance.detik.com/rea d/2015/02/05/184830/2825047/4/ini-hasil-lengkap-uji-laboratorium-pakaian-bekasimpor. Efendi, N. (2013). Analysis of Indonesia Textile Industry Competitiveness in Regulation Theory Perspective. Diunduh 26 Maret 2015, dari: http://www.researchgate.
53
Avif Haryana dan Wibowo Kurniawan
net/publication/235766698_Analysis_of_Indonesia_Textile_Industry_ Competitiveness_in_Regulation_Theory_Perspective_By__Nur_Efendi. Fernandez-Stark, K., S. Frederick & G. Gereffi. (2011). The Apparel Global Value Chain, Economic Upgrading and Workforce Development. Duke CGGC. Fitinline.com. (2015). 5 Tempat Berbelanja Pakaian Murah di Jakarta. Diakses tanggal 2 Mei 2015 dari sumber: http://fitinline.com/article/read/5-tempat-berbelanja-pakaianmurah-di-jakarta/. 11 Maret 2015. Jawa Pos. (2015, Februari 17). Diakses Februari 28, 2015, dari jawapos.com: http://www. jawapos.com/baca/artikel/13055/Baju-Impor-Ilegal-Rp-22-Triliun Kotler, P., & G. Amstrong. (2007). Principles of Marketing. Prentice Hall. Mediaindustri. (2014). Capaian Kinerja Kementerian Perindustrian. Diunduh 17 februari 2015 dari https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1& cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2F www.kemenperin. go.id%2Fdownload%2F6518&ei=e9eQVaqeMIq2uATIioGoAQ&usg =AFQjCNFe2A js1nmQ5_9xU5FO0uvbqpq2YA&sig2=UQYqeg-GBIPZ0pQ7SUHMWw Mulyadi. (2010). Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengembangkan Budaya Mutu. UIN Maliki Press 2010. Halaman 78. Neraca. (2015, Januari 13). Industri Garmen Perlu Solusi Bahan Baku Lokal. Rubrik Industri dan Perdagangan, hal. 11. Neraca.co.id. (2012, Desember 15). Diakses April 3, 2015, dari Neraca.co.id: http://www. neraca.co.id/article/22656/5-Tempat-Berbelanja-Pakaian-Murah-di-Jakarta. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementrian Perdagangan. (2015). Profil Komoditi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia 2015. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Radarpena. (2015, Februari 18). Diakses Februari 28, 2015, dari radarpena.com: http:// radarpena.com/read/2015/02/18/15880/18/1/Impor-Pakaian-Bekas-Tahun-IniCapai-Rp-60-Triliun. Republika. (2014, Desember 3). Daya Saing Industri Pakaian Jadi Melemah. Rubrik Industri, hal. 16. Republika. (2015, Februari 7). Kemendag Bentuk Tim Pengawas Pakaian Bekas. Headline, hal. 1. Samuelson, W. F., & S.G. Marks. (2012). Managerial Economics. John Willey and Sons, Inc. Sindo. (2015). Pakaian Bekas Impor Berbakteri. Diunduh 19 Februari dari http://www.koransindo.com/read/960420/150/pakaian-bekas-impor-berbakteri-1423114308 Sukesi, H., R. Resnia, A. Wirastuti, B. Wicaksena, D.W. Prabowo & R.A. Carolina. (2010). Meredam Gejolak Sistem Distribusi Kebutuhan Pokok di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Sunil, G., & S.S. Rai. (2013). Dynamics of Garment Supply Chains. International Journal of Managing Value and Supply Chains, 4(4). Tempo. (2015). Impor Pakaian Bekas Pengusaha Tekstil Rugi Rp 10 Triliun. Diunduh 16 Februari 2015 dari http://www.tempo.co/read/news/2015/02/16/090642972/ImporPakaian-Bekas-Pengusaha-Tekstil-Rugi-Rp-10-Triliun.
54
Konsumsi dan Perdagangan Pakaian Jadi di Dalam Negeri
UN COMTRADE. (2015). List of importing markets for a product group exported by Indonesia. Diunduh dari www.trademap.org pada tanggal 6 Februari 2015. Widodo, K. H., & E. Ferdiansyah. (2010, Februari). Optimasi Kinerja Rantai Pasok Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Berdasarkan Simulasi Sistem Dinamis. Agritech, 30(1). Wilkinson, N. (2005). Managerial Economic A Problem-Solving Approach. Cambridge University Press.
55
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
BAB IV PAKAIAN JADI INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DUNIA Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti 4.1 Pendahuluan Pakaian jadi merupakan salah satu komoditas yang boleh dikatakan tidak akan lekang dimakan jaman karena merupakan kebutuhan dasar manusia yang utama bersama dengan komoditas pangan. Di bidang industri dan perdagangan, pakaian jadi merupakan industri berorientasi ekspor tertua dan terbesar di dunia serta termasuk industri yang mendunia karena hampir seluruh negara memproduksi dan memasarkan komoditi ini baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pakaian jadi juga dianggap sebagai cikal bakal pembangunan nasional karena merupakan pionir dalam pembangunan industri berbasis ekspor. Hal ini didasarkan pada rendahnya biaya produksi, mendorong penyerapan tenaga kerja (karena sifatnya padat karya), serta pasar yang cukup besar (Adhikari & Weeratunge, 2006; Gereffi,1999). Dalam dasawarsa terakhir, pakaian jadi juga telah berkembang menjadi salah satu komoditas dari kelompok komoditas industri kreatif. Pakaian jadi termasuk dalam kelompok kategori Artisanal Products dan Visual Arts (ITC, 2015). Selain merupakan bagian dari industri kreatif, komoditas pakaian jadi juga tidak lepas dari Rantai Nilai Global atau Global Value Chain (GVC). Setidaknya terdapat lima bagian utama dalam pembagian rantai nilai dari pakaian jadi dunia, yaitu; (i) suplai bahan mentah, termasuk serat alam dan sintetis; (ii) persyaratan dan ketentuan komponen bahan baku pakaian jadi, seperti benang dan kain dari pabrikan perusahaan tekstil tertentu; (iii) jaringan produksi pabrikan pembuatan pakaian jadi , termasuk subkontraktor domestik dan luar negerinya; (iv) aliran ekspor yang telah dimiliki pedagang perantara; dan (v) jaringan pemasaran di tingkat ritel (Gereffi & Frederick, 2010; Gereffi & Memedovic, 2003). Berdasarkan kategori rantai pasok global untuk pakaian jadi, Indonesia sudah termasuk dalam tingkatan Original Equipment Manufacturing (OEM) atau Paket Kontrak. Hanya saja perlu bagi Indonesia untuk meningkatkan investasi terutama di permesinan dan jasa logistik (Gereffi dan Memedovic, 2003). Di masa lalu, ekspansi industri dan perdagangan pakaian jadi dunia sangat tergantung dan ditentukan oleh kebijakan perdagangan, terutama
56
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
the Agreement on Textiles and Clothing (ATC) yang diprakarsai World Trade Organization (WTO) (dihapuskan bertahap pada tahun 2005), dimana banyak kebijakan kuota yang sangat mengatur industri. Akibatnya, terjadi pergeseran yang cukup signifikan di sisi geografis dari perdagangan pakaian jadi untuk mengakomodasi realita politik dan ekonomi yang baru (Gereffi & Frederick, 2010). Perubahan tersebut tentunya mempengaruhi faktor utama yang terkait perdagangan, utamanya dari sisi suplai, yakni daya saing dan kemampuan produksi suatu negara. Sebagai contoh, Bangladesh, RRT dan India telah berkembang menjadi pemain utama pada segmen produksi dengan nilai tambah rendah, sementara negara yang lebih kecil dari tiga negara tersebut dituntut untuk meningkatkan kemampuan ke segmen yang lebih tinggi, seperti desain dan branding, agar daya saingnya tetap terjaga (Stark et. al, 2011). Lebih lanjut, dalam kaitannya dengan perdagangan, pakaian jadi merupakan salah satu komoditas yang memiliki ciri khas sebagai rantai buyer-driven commodity dimana terjadi asimetri pengaruh antara pemasok dengan pembeli global yang pada umumnya adalah lead-firm pemilik merek. Artinya, bahwa pembeli global menentukan apa yang harus diproduksi, di mana, oleh siapa, dan dengan harga berapa. Oleh karenanya, desain, pemberian merek, dan pemasaran produk ditentukan pula oleh pemegang merek tersebut. Sebagian besar pemasok global adalah pemasok yang berasal dari negara–negara berkembang, terutama di wilayah Asia. Pada awal 1970an, pemasok di Asia berupaya meningkatkan peluang dari hanya sebagai perakit (penjahit) menjadi produsen yang lebih bernilai tambah (Bair, 2005; Gereffi et. al., 2001). 4.2 Peta Perdagangan Internasional Sebagaimana diungkapkan oleh Gereffi dan Frederick (2010) serta Gereffi dan Memedovic (2003), seiring waktu akan selalu ada perubahan signifikan seperti perubahan dan perkembangan pasar pakaian jadi dunia. Perdagangan pakaian jadi juga lebih terdiversivikasi dibandingkan dengan perdagangan tekstil, dimana banyak negara yang mampu mengembangkan industri pakaian jadi berorientasi ekspor dari bahan baku kain impor tanpa perlu memproduksi tekstil dalam skala besar di dalam negerinya. Setelah adanya penghapusan kuota dalam perdagangan tekstil dan pakaian jadi serta pasca krisis finansial global, setidaknya peta negara eksportir pakaian jadi dunia dapat dikelompokkan sebagai berikut (Gereffi dan Frederick, 2010; Gereffi dan Memedovic, 2003):
57
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
•
Negara Eksportir dengan peningkatan relatif stabil, dimana pangsa pasar di dunia secara umum terus meningkat semenjak era tahun 1990an. Yang termasuk negara dalam kelompok ini adalah RRT, Bangladesh, India, Vietnam, dan Kamboja, sedangkan Pakistan dan Mesir mempunyai pangsa yang lebih kecil. • Eksportir yang mengalami perubahan pasar. Indonesia merupakan eksportir yang termasuk dalam kategori ini dimana pangsa pasar di Amerika dan Jepang meningkat, namun pasar di Uni Eropa menurun. Namun sebaliknya, Sri Lanka mengalami peningkatan pasar di Uni Eropa namun mengalami penurunan di Amerika Serikat. • Eksportir Pra Kuota, yaitu negara–negara yang mengalami penurunan pangsa pasar yang sangat tajam setelah kebijakan MFA dicabut, namun kembali menguat setelah terjadi krisis finansial global. Negara–negara tersebut termasuk Kanada, Meksiko, negara–negara di Amerika Tengah, Uni Eropa, Tunisia, Maroko dan Thailand. • Eksportir Tradisional, yang bercirikan mengalami penurunan pangsa pasar semenjak awal 1990an, yakni Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia serta Filipina, Singapura dan Macau. Berdasarkan rilis WTO tentang International Trade Statistics 2014, perdagangan pakaian jadi intra regional di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika, terlihat bahwa pasar kawasan Eropa dan kawasan Amerika menunjukkan penurunan untuk periode tahun 2000 hingga tahun 2013. Penurunan ini merupakan dampak dari meningkatnya jumlah FTA di dua kawasan tersebut. Data tersebut menunjukkan bahwa untuk perdagangan intra regional Asia tercatat sebesar 88,2% dari total perdagangan pakaian jadi Asia ke luar Asia pada tahun 2000 dan naik menjadi 88,3% pada 2013. Perdagangan intra regional Eropa dari 64,7% di tahun 2000 menjadi 55,1% di tahun 2013 dengan eksportir utama (menguasai 80% ekspor Uni Eropa) Italia, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan Belgia, sedangkan intra regional Amerika tercatat 0,9% (tahun 2000) menjadi 0,7% (tahun 2013). Ekspor pakaian jadi dunia selama 5 tahun terakhir menunjukkan tren pertumbuhan positif sebesar 7,7% per tahun dan mencapai USD 382 miliar tahun 2013. Indonesia merupakan negara eksportir pakaian jadi ke-11 dunia dengan pangsa ekspor dan nilai ekspor di tahun 2013 sebesar 1,9% dan USD 7,4 miliar. Posisi pertama adalah RRT dengan nilai ekspor sebesar USD 165 miliar dan dengan pangsa lebih dari 40%. Dengan kata lain, RRT merupakan eksportir raksasa untuk produk pakaian jadi dunia. Italia dan Jerman berada pada urutan ke-2 dan ke-3 dengan nilai dan pangsa ekspor pada periode yang sama tahun 2013 masing-masing sebesar USD 21,4 miliar dan USD 17,7 miliar (Tabel 4.1).
58
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Tabel 4.1 Eksportir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Negara ASEAN lainnya yang patut diperhitungkan di sektor pakaian jadi dunia adalah Vietnam. Vietnam menduduki peringkat ke-4 eksportir pakaian jadi dunia. tahun 2013, ekspor pakaian jadi Vietnam mencapai USD 16,8 miliar dengan pangsa sebesar 4,4%. Tingginya ekspor pakaian jadi dari Vietnam disebabkan tingginya partisipasi negara tersebut dalam GVC terutama untuk sektor tekstil. Salah satu indikasi tingginya partisipasi Vietnam dalam GVC adalah terus tumbuhnya industri penopang pakian jadi, yaitu industri tekstil. Menurut laporan The Trans-Pacific Partnership Apparel Coalition tahun 2013, di Vietnam sudah terdapat 145 pabrik pemintalan benang, 401 pabrik tenun, 105 pabrik perajutan, 94 pabrik pewarnaan dan pencelupan kain, serta 7 pabrik nontenun. Pembangunan industri tersebut merupakan perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir sebagai buah dari peningkatan investasi yang berasal dari perusahaan Jepang, Korea Selatan, Taiwan, RRT, dan beberapa negara lainnya (Lopez-Acevedo dan Robertson, 2012). The Vietnam National Textile and Garment Group atau Vinatex merupakan produsen pakaian jadi dan tekstil terbesar di Vietnam dengan
59
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
sebagian kepemilikan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Vinatex merupakan salah satu kelompok usaha yang mendorong peningkatan investasi dan produksi serat dan benang di Vietnam. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Industri Vietnam adalah dengan menetapkan strategi pengembangan sektor tekstil dan pakaian jadi dengan target produksi kain hingga 2 juta metrik ton pada 2020. Selain itu, untuk memutus rantai ketergantungan terhadap serat dan benang impor, Vietnam menargetkan peningkatan produksi mencapai 650 ribu metrik ton pada 2020 dengan memfasilitasi pembuatan pabrik serat polyester joint venture antara Vinatex dengan PetroVietnam (Petrochemical & Textile Fiber Joint Stock Company). Proyek yang dijalankan Vinatex juga termasuk pembangunan komplek industri untuk pemintalan, penenunan, penjahitan, pencelupan dan pewarnaan serta finishing ditambah dengan pembangunan Industrial Park untuk tekstil dan pakaian jadi bekerjasama dengan dua perusahaan dari RRT (Platzer, 2014). Menurut Vietnam Investment Review (2012), peningkatan gelombang investasi di sektor tekstil yang mendorong peningkatan sektor pakaian jadi di Vietnam, merupakan buah dari prediksi keuntungan yang akan tercipta dari adanya kerjasama Trans Pacific Partnership (TPP). Keuntungan dari TPP berasal dari potensi atas skema penurunan tarif dalam kerjasama tersebut. Selain itu, masih rendahnya biaya tenaga kerja merupakan alasan lain banyak investasi masuk ke Vietnam di sektor ini. Beberapa perusahaan yang mengivestasikan dan membangun pabrikan tekstil dan pakaian jadi di Vietnam adalah Texhong and Pacific Textile dari Tionkok, Hyosung Corporation (produser spandek terbesar dunia dari Korea Selatan) dan Kyungbang Group, Japan’s Toray International dan Mitsui Corporation dari Jepang , Lenzing dari Austria, dan Woolmark Company dari Australia. Seperti halnya ekspor, impor pakaian jadi dunia pada tahun 2013 juga tumbuh sebesar 5,6% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang nilainya mencapai USD 373,5 miliar. Tren pertumbuhan impor pakaian jadi dunia masih menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,9% per tahun selama 2009-2013. Pertumbuhan impor yang positif tersebut menunjukkan bahwa permintaan pakaian jadi dunia masih akan terus tumbuh. Amerika Serikat merupakan negara importir pakaian jadi terbesar dunia, dengan nilai impor dan pangsa impornya terhadap total impor dunia di tahun 2013 masing-masing sebesar USD 83,8 miliar dan 22,4%. Berada di urutan ke-2 dan ke-3 adalah Jerman dan Jepang dengan nilai impor dan pangsa impor di tahun 2013 masing-masing sebesar USD 34,5 miliar dan USD 31,7 miliar serta 9,2% dan 8,5% (UN COMTRADE, 2015).
60
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Besarnya pasar Amerika Serikat merupakan salah satu karakteristik dari pasar industri pakaian jadi dimana meskipun banyak dari perusahaan ritel dan pemasaran pakaian jadi ternama dunia mempunyai kantor pusat di Amerika Serikat, akan tetapi pabrikan pakaian jadi berada di luar negeri karena pertimbangan biaya produksi yang lebih rendah. Menurut catatan OTEXA (2014), impor pakaian jadi tercatat mampu mempenetrasi hampir 90% dari total permintaan pakaian jadi Amerika Serikat di tahun 2013, meningkat dari 83% di tahun 2008. Defisit perdagangan pakaian jadi Amerika Serikat pada tahun 2013 sebesar USD 77 miliar. Impor terbesar pakaian jadi Amerika tahun 2013 berasal dari RRT dengan pangsa hampir 40% dari total impor pakaian jadi dengan nilai mencapai USD 32 miliar. Eksportir pakaian jadi kedua dan ketiga terbesar ke pasar Amerika adalah Vietnam dan Indonesia dengan pangsa masing-masing 10% dan 6%. Adapun negaranegara di kawasan Amerika Tengah seperti negera-negara Karibia, Mexico dan Kanada, yang mayoritas menggunakan benang dan tekstil dari Amerika untuk produksi pakaian jadinya dan pemasok pakian jadi terdekat, secara akumulatif hanya memiliki pangsa 16%. Tarif impor pakaian jadi di pasar Amerika bervariasi berdasarkan hubungan bilateral maupun perjanjian regional dengan rata-rata tarif di tahun 2012 sebesar 11,4% dan dapat mencapai 32% untuk jenis pakaian jadi tertentu. Tarif impor Amerika untuk pakaian jadi RRT sebesar 14%-25%, untuk Vietnam 5%-20%, untuk Indonesia 0%-25%, untuk negara di kawasan Amerika Tengah adalah 0-15%, untuk Kanada 0-18% dan untuk Mexico 30% (Platzer, 2014).
61
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Jerman yang juga merupakan negara anggota Uni Eropa mengalami peningkatan impor sebanyak 2% per tahun selama periode 2009-2013. Data yang dirilis Eurostat melalui Statista tahun 2015 menunjukkan bahwa konsumsi pakaian jadi Jerman selama lima tahun terakhir menjadi salah satu faktor tingginya impor pakaian jadi Jerman dari dunia. Konsumsi rumah tangga untuk pakaian jadi Jerman tercatat sebesar 54,4 miliar euro pada tahun 2009 yang kemudian meningkat menjadi 62,8 miliar euro atau meningkat 3,9% per tahun selama 2009-2013. Jepang sebagai pasar pakaian jadi ketiga terbesar di dunia tercatat mengimpor pakaian jadi sebesar 8% dari total impornya. Selain itu, Jepang merupakan importir kedua terbesar pakaian jadi dari RRT, dimana impor pakaian jadi negara- negara Asia Tenggara hanya mencapai 7% dari impor Jepang dari RRT. Tabel 4.2 Importir Pakaian Jadi Dunia, 2011-2013
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Rusia, Korea Selatan dan Australia merupakan negara yang memiliki tren pertumbuhan impor pakaian jadi tertinggi selama lima tahun terakhir (2009-2013) yakni secara berturut– turut 22,05% (pertumbuhan 2012/2013 sebesar -0,07%); 21,98% (pertumbuhan 2012/2013 sebesar 20,86%); dan 11,7% (pertumbuhan 2012/2013 sebesar 3,28%). Impor pakaian jadi Rusia di tahun 2013 sebesar USD 7,1 miliar (pangsa: 2,2%), impor pakaian jadi Korea Selatan dan Australia di tahun 2013 mencapai USD 7,1 miliar (pangsa: 1,9%) dan USD 5,6 miliar (pangsa: 1,5%) (Tabel 4.2).
62
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Gambaran sebaran importir dunia menunjukkan bahwa pada dasarnya pasar utama produk pakaian jadi masih berada di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kondisi ini dinyatakan oleh Gereffi dan Memedovic (2003) sebagai bukti bahwa pakaian jadi merupakan salah satu komoditas yang memiliki ciri khas sebagai rantai buyer-driven commodity. Di beberapa kasus, perusahaan global yang menjadi lead firm, biasanya perusahaan yang mempunyai jaringan ritel dan pemilik merek dari negara maju seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Lead firm pada umumnya meng-outsource manufakturnya ke jaringan kontraktor manufaktur global di negara berkembang yang dapat menawarkan biaya yang paling kompetitif, sementara lead firm melakukan kegiatan yang paling bernilai dalam rantai nilai pakaian jadi, yakni mendesain, branding, dan pemasaran produk. Selain itu, sudah sangat biasa jika satu lead firm juga disertifikasi oleh berbagai merek pembeli seperti Walmart, Ralph Lauren, Target dan GAP (Bartley, 2005; Gereffi et al., 2001). 4.3 Perdagangan Luar Negeri Pakaian Jadi Indonesia Ditinjau dari sisi ekspor, produk pakaian jadi adalah salah satu produk utama dalam ekspor nonmigas Indonesia. Sumbangan ekspor produk pakaian jadi bukan rajutan (HS 62) terhadap ekspor nonmigas Indonesia pada tahun 2014 mencapai 2,69%, sementara kontribusi ekspor produk Barang-barang Rajutan (HS 61) pada tahun yang sama sebesar 2,35% (Kementerian Perdagangan, 2015). Tabel 4.3 Kinerja Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Pangsa eskpor pakaian jadi terhadap ekspor non migas pada tahun 2014 sebesar 5%. Pangsa ekspor pakaian jadi terhadap ekspor non migas Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat sebesar 0,5% per tahun. Total ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 7,4
63
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
miliar, mengalami penurunan sebesar 0,4% (YoY). Namun demikian, tren pertumbuhan ekspornya selama 2010-2014 masih menunjukkan angka yang positif yaitu sebesar 2,1% per tahun. Turunnya kinerja ekspor pakaian jadi di tahun 2014 dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh turunnya ekspor jenis t-shirt dan pakaian olahraga secara signifikan sebesar 9,3% (YoY), sedangkan pakaian bayi dan pakaian jadi lainnya sebenarnya menunjukkan performa ekspor yang cukup baik di tahun 2014 dengan mengalami peningkatan masing-masing sebesar 25,1% (YoY) dan 14,8% (YoY) (Tabel 4.3).
Gambar 4.1 Struktur Ekspor Pakaian Jadi , 2013-2014. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2014 didominasi oleh oleh ekspor pakaian wanita yang terdiri dari mantel/jaket, setelan, gaun, blus dan pakaian wanita lainnya sebesar 40,1%, sementara pakaian pria menempati urutan kedua dengan pangsa sebesar 30,6%. T-shirt dan pakaian olahraga, pakaian bayi dan pakaian jadi lainnya masing-masing memiliki pangsa 18,6%; 3,3%; dan 7,4%. Pangsa ekspor T-shirt dan pakaian olahraga terhadap total ekspor pakaian jadi tahun 2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013, yakni sebesar 1,8%. Berkebalikan dengan lainnya, pangsa pakaian bayi dan pakaian jadi lainnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan kinerja ekspor tahun sebelumnya, yakni secara berturut–turut 2,6% meningkat menjadi 3,3% dan 6,4% menjadi 7,4% (Gambar 4.1). Lebih dari 50% ekspor pakaian jadi Indonesia di tahun 2014 ditujukan untuk pasar Amerika Serikat dengan nilai ekspor sebesar USD 3.819 juta, mengalami penurunan sebesar 2,9% (YoY). Pasar Jepang dan Jerman menempati peringkat ke-2 dan ke-3 dengan pangsa masing-masing sebesar 8,7% dan 7,4%. Negara tujuan ekspor pakaian jadi yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan adalah Uni Emirat Arab (UEA) dan Belgia dengan peningkatan sebesar 26,7% (YoY) dan 16,9% (YoY) (Gambar 4.2).
64
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Ekspor pakaian jadi Indonesia ke UEA didominasi oleh ekspor pakaian wanita, sementara ekspor pakaian jadi ke Belgia didominasi oleh ekspor pakaian pria.
Gambar 4.2 10 Negara Utama Tujuan Ekspor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Amerika Serikat, Jepang dan Jerman hampir selalu menjadi 3 pasar utama bagi ekspor pakaian jadi Indonesia untuk keseluruhan jenis baik untuk pakaian wanita, pakaian pria, T-shirt dan pakaian olahraga serta pakaian jadi lainnya. Namun demikian, untuk pakaian bayi, pasar RRT menduduki peringkat ke-2 terbesar setelah pasar Amerika Serikat dengan pangsa sebesar 3,4% (Gambar 4.3). Tahun 2014, impor pakaian jadi Indonesia mencapai USD 444,5 juta, mengalami penurunan sebesar 6,7% (YoY), walaupun selama 5 tahun terakhir trennya tetap tumbuh sebesar 13%. Nilai impor pakaian jadi Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekspornya sehingga untuk sektor tersebut, Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar USD 6,9 miliar pada tahun 2014. Di tahun yang sama hampir untuk semua jenis garment, nilai impornya mengalami penurunan, kecuali untuk T-shirt dan pakaian olahraga yang justru mengalami peningkatan sebesar 17,4%, sedangkan untuk penurunan impor tertinggi terjadi pada pakaian bayi, yang nilainya turun sebesar 33,8% (YoY). Namun demikian, selama 5 tahun terakhir untuk semua jenis pakaian jadi impornya mengalami pertumbuhan. Rata-rata pertumbuhan impor tertinggi terjadi pada impor T-shirt dan pakaian olahraga dengan rata-rata pertumbuhan 28,2% per tahun dan impor pakaian bayi dengan pertumbuhan rata-rata 22,6% per tahun (Tabel 4.4).
65
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Pakaian Wanita, 2014 BELGIA 1,3% RRT 1,7%
Pakaian Pria, 2014 RRT 2,1 %
LAINNYA 13,6%
LAINNYA 15,6%
BELANDA 2,2%
AUSTRALIA 2,2% KANADA 2,2%
UNI EMIRAT ARAB 2,5%
KOREA SELATAN 2,6% UNI EMIRAT ARAB 3,1%
AMERIKA SERIKAT 56,8%
INGGRIS 3,5%
AMERIKA SERIKAT 43,6%
KANADA 2,9% BELGIA 4,4% KOREA SELATAN 4,4%
JEPANG 5,7%
INGGRIS 4,5%
JERMAN 7,4%
JERMAN 7,6%
T-Shirt dan Pakaian Olahraga, 2014 BELANDA 1,0% RRT 1,6% BELGIA 2,0%
Pakaian Bayi, 2014 PERANCIS 1,2% HONGKONG 1,2% ITALIA 1,8%
ITALIA 1,0%
UEA 2,0%
LAINNYA 11,6%
JEPANG 10,2%
LAINNYA 10,0%
JEPANG 2,4%
KANADA 2,2%
INGGRIS 2,4%
INGGRIS 2,7%
KANADA 2,9%
KOREA SELATAN 4,2%
AMERIKA SERIKAT 57,2%
JERMAN 4,6%
JERMAN 3,3% AMERIKA SERIKAT 69,3%
RRT 3,4%
JEPANG 10,2%
Pakaian Jadi Lainnya, 2014
AMERIKA SERIKAT 18,2%
LAINNYA 22,6% SPANYOL 1,8% SINGAPURA 1,8%
JEPANG 18,0%
INGGRIS 3,3% MALAYSIA 4,2%
JERMAN 11,2%
PERANCIS 4,6% UNI EMIRAT ARAB 7,2%
KOREA SELATAN 7,2%
Gambar 4.3 Negara Tujuan Ekspor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan Jenis Pakaian, 2014.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
66
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Tabel 4.4 Kinerja Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Struktur impor pakaian jadi tahun 2014, tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan struktur impor tahun 2013. Pakaian wanita tetap mendominasi impor pakaian jadi Indonesia di tahun 2014 dengan pangsa sebesar 42,5%, turun dibandingkan dengan pangsanya di tahun 2013 yang mencapai 45,8%. Peringkat ke-2 diduduki oleh impor T-shirt dan pakaian olahraga dimana pangsanya meningkat cukup signifikan sebesar 4,2% dari hanya 16,1% di tahun 2013 menjadi 20,3% di tahun 2014. Pangsa impor pakaian pria dan pakaian bayi di tahun 2014 mengalami penurunan dibandingkan dengan pangsanya di tahun 2013 dari masingmasing sebesar 21,5% dan 2,1% menjadi 20,2% dan 1,5%. Pangsa impor pakaian jadi lainnya seperti kaos kaki, sarung tangan dan lain-lain meningkat dari 14,5% di tahun 2013 menjadi 15,5% di tahun 2014 (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Struktur Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
67
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Impor pakaian jadi Indonesia didominasi oleh impor dari RRT dengan pangsa sebesar 40,2% dari total impor pakaian jadi Indonesia 2014. Pada periode yang sama, nilai impornya mencapai USD 178,6 juta, mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 21,2% dibanding tahun sebelumnya. Turki dan Hong Kong menempati peringkat ke-2 dan ke-3 negara asal impor pakaian jadi dengan nilai impor masing-masing mencapai USD 28,4 juta (naik 20,6% YoY) dan USD 26,4 juta (turun 7,0% YoY). Negara asal impor pakaian jadi Indonesia yang mengalami peningkatan yang signifikan antara lain Bangladesh dan Kamboja. Impor dari kedua negara tersebut pada tahun 2014 masing-masing mencapai USD 23,8 juta dan USD 11,6 juta atau mengalami peningkatan masing-masing sebesar 44,1% (YoY) dan 36,0% (YoY). (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 10 Negara Utama Asal Impor Pakaian Jadi Indonesia, 2013-2014. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
Pangsa impor pakaian wanita dan pakaian pria dari RRT masing-masing sebesar 44,3% dan 40,4%. Maroko dan Hong Kong menduduki peringkat ke-2 dan ke-3 negara asal impor pakaian wanita dengan pangsa sebesar 7,4% dan 7,2%, sedangkan posisi ke-2 dan ke-3 pangsa impor pakaian pria ditempati oleh Bangladesh dan Vietnam dengan pangsa masing-masing sebesar 8,9% dan 8,1%. Posisi ke-2 dan ke-3 pangsa impor T-shirt dan pakaian olahraga ditempati oleh Korea Selatan dan Bangladesh dengan pangsa 12,8% dan 9,7%. India dan Malaysia juga menjadi negara asal impor ke-2 dan ke-3 untuk pakaian bayi di Indonesia dengan pangsa impor 21,1%
68
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
dan 14,8%. Untuk jenis pakaian jadi lainnya, Korea Selatan dan Hongkong memiliki pangsa masing-masing sebesar 19,3% dan 17,5% (Gambar 4.6). Pakaian Wanita, 2014
PORTUGAL 2,2%
Pakaian Pria, 2014
Lainnya 16,0%
Lainnya 14,6%
MAROKO 2,4% MEKSIKO 2,5%
VIETNAM 2,5%
THAILAND 2,8%
BANGLADESH 3,1%
RRT 44,3%
INDIA 3,2%
RRT 40,4%
PAKISTAN 2,9% INDIA 4,6%
SINGAPURA 4,0%
KAMBOJA 5,3%
SRI LANGKA 3,4% TURKI 6,6%
TURKI 7,4%
HONGKONG 7,2%
VIETNAM 8,1%
MAROKO 7,4%
T-Shirt dan Pakaian Olahraga, 2014
Pakaian Bayi, 2014 VIETNAM 1,8% SRI LANGKA 2,0% THAILAND 2,5% TURKI 2,7%
INDIA 1,9% SRI LANGKA 2,3% KAMBOJA 2,9%
BANGLADESH 8,9%
Lainnya 10,7%
Lainnya 7,6% RRT 22,7%
KAMBOJA 3,8%
THAILAND 3,4% RRT 38,4%
VIETNAM 3,7%
KOREA SELATAN 9,0%
TURKI 7,0%
INDIA 21,1%
BANGLADESH 12,1% PORTUGAL 7,2%
KOREA SELATAN 12,8%
MALAYSIA 14,8%
BANGLADESH 9,7%
Pakaian Jadi Lainnya, 2014 PAKISTAN 1,7% JEPANG 2,1% SINGAPURA 2,3%
Lainnya 11,3%
JERMAN 2,9%
RRT 32,7%
TAIWAN 3,3% MALAYSIA 3,0% TURKI 3,9 HONGKONG 17,5%
KOREA SELATAN 19,3%
Gambar 4.6 Negara Asal Impor Utama Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan Jenis Pakaian. Sumber: Badan Pusat Statistik (2015), diolah
69
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
5.4 Penutup Sebelum 2005, sebaran industri dan perdagangan sangat ditentukan oleh kebijakan perdagangan, utamanya kebijakan ATC melalui kesepakatan di WTO. Kebijakan dalam ATC sudah dihapuskan sejak 2005. Penghapusan kebijakan tersebut tentunya merubah kembali peta perdagangan dunia. Negara berkembang pada umunya menjadi subkontraktor dan pasar perdagangan pakaian jadi, sementara negara maju menjadi lead firm dan pasar. Tentunya perlu ada peningkatan kemampuan untuk lebih meningkatkan perdagangan pakaian jadi sehingga dapat menentukan sendiri pasar dan ekspansi pasarnya. Kinerja ekspor pakaian jadi dunia selama lima tahun terakhir menunjukkan tren pertumbuhan positif sebesar 7,7% per tahun dan mencapai USD 382 miliar tahun 2013. RRT merupakan eksportir terbesar diikuti Italia dan Jerman. Negara ASEAN yang patut diperhitungkan di sektor pakaian jadi dunia adalah Vietnam, yang menduduki peringkat ke-4 eksportir pakaian jadi dunia. Tingginya ekspor pakaian jadi dari Vietnam salah satunya disebabkan oleh tingginya partisipasi negara tersebut dalam GVC, terutama untuk sektor tekstil, di mana produksi dan perdagangan pakaian jadi tidak akan lepas dari GVC. Bagi Indonesia, posisi dalam perdagangan internasional pakaian jadi masih ketinggalan dan hanya menempati posisi negara eksportir pakaian jadi ke-11 dunia. Impor pakaian jadi dunia pada tahun 2013 mencapai USD 373,5 miliar dan tumbuh 5,6% dari tahun sebelumnya dengan tren positif pertumbuhan sebesar 4,9% per tahun. Amerika Serikat merupakan negara importir pakaian jadi terbesar dunia, diikuti Jerman dan Jepang. Pakaian jadi merupakan salah satu produk ekspor utama bagi Indonesia dengan pangsa sekitar 5% dari total ekspor non migas. Total ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 7,4 miliar dan turun sebesar 0,4% (YoY) dengan tren positif 2,1% per tahun untuk periode 2010-2014. Ekspor pakaian jadi Indonesia tahun 2014 terdiri atas ekspor pakaian wanita (40,1%), pakaian pria (30,6%), T-shirt dan pakaian olahraga (18,6%), pakaian bayi (3,3%) dan pakaian jadi lainnya (7,4%). Saat ini pasar utama ekspor pakaian jadi Indonesia adalah Amerika Serikat. Impor pakaian jadi Indonesia juga menunjukkan kenaikan per tahun sebesar 6,7% selama lima tahun terakhir. Pangsa impor terdiri atas pakaian wanita (42,5%), T-shirt dan pakaian olahraga (20,3%), pakaian pria (20,2%), pakaian bayi (1,5%), dan pakaian jadi lainnya (15,5%) di tahun 2014. Impor pakaian jadi Indonesia mayoritas berasal dari RRT, Turki dan Hongkong,dengan lonjakan impor terbesar berasal dari Bangladesh dan Kamboja pada tahun yang sama.
70
Pakaian Jadi Indonesia Dalam Perdagangan Dunia
Seluruh data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan strategi untuk mengembangkan perdagangan pakaian jadi, dan berpartisipasi dalam GVC merupakan strategi yang terbaik untuk meningkatkan perdagangan pakaian jadi. Dalam upaya untuk meningkatkan peran Indonesia di pasar global melalui GVC, pemerintah tentu saja perlu memperhatikan segmensegmen dalam industri pakaian jadi yang memiliki nilai tambah yang besar.
DAFTAR PUSTAKA Adhikari, R., & Weeratunge, C. (2006). Chapter 4: textiles and clothing sector in South Asia:coping with post-quota challenges. South Asian Yearbook of Trade and Development 2006 (pp. 109-145). New Delhi, India: CENTAD. Bair, J. (2005). Global capitalism and commodity chains: looking back, going forward. Competition and Change, 9(2), 153-180. Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Data Perdagangan Indonesia. Bartley, T. (2005). Corporate Accountability and the Privatization of Labor Standards: Struggles over Codes of Conduct in the Apparel Industry. In H. Prechel (Ed.), Politics and the Corporation (Vol. 14, pp. 211–244). Bingley, U.K.: Emerald. Gereffi, G. (1999). International trade and industrial upgrading in the apparel commodity chain. Journal of International Economics, 48(1), 37-70. Gereffi, G. and O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for Upgrading for Developing Countries (Report). Vienna, Austria: United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). Gereffi, G. and S. Frederick. (2010). The Global Apparel Value Chain, Trade and the Crisis:Challenges and Opportunities for Developing Countries. In O. Cattaneo, G. Gereffi & C. Staritz (Eds.), Global Value Chains in a Postcrisis World (pp. 157–208). Washington, DC: World Bank. Gereffi, G., R. Garcia-Johnson and E. Sasser. (2001). “The NGO-industrial complex.” Foreign Policy(125): 56-56-65. Lopez-Acevedo, G. & R. Robertson. (2012). Sewing Success?. 1 ed. Washington DC: The World Bank. International Trade Center (ITC). (2015). Creative Industries. Diunduh tanggal 6 Februari 2015 dari http://www.intracen.org/itc/sectors/creative-industries/. Kementerian Perdagangan. (2015, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor) Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral. OTEXA. (2015). Textile and Apparel Trade Balance Report. Diunduh tanggal 18 Februari 2015 dari http://otexa.ita.doc.gov/tbrbal.htm. Platzer, M.D. (2014). U.S. Textile Manufacturing and the Trans-Pacific Partnership Negotiations. Congressional Research Service Report. Diunduh tanggal 18 Februari 2015 dari https://www.fas.org/sgp/crs/row/R42772.pdf
71
Umar Fakhrudin dan Septika Tri Ardiyanti
Stark, K.F., S. Frederick dan G. Gereffi. (2011). The Apparel Global Value Chain: Economic Upgrading and Workforce Development. Center on Globalization, Governance & Competitiveness, Duke University. Statista. (2015). Consumer spending on clothing in Germany 2005-2013. Diunduh tanggal 31 Maret 2015 dari http://www.statista.com/statistics/419897/clothing-consumptionexpenditure-germany/. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2015). OECD-WTO Trade in Value Added (TiVA). Diunduh tanggal 20 Februari 2015 dari http://stats. oecd.org/Index.aspx?DataSetCode=TIVA_OECD_WTO. UN COMTRADE. (2015). Data Perdagangan Pakaian Jadi. Diunduh tanggal 10 Februari 2015 dari http://www.wits.worldbank.org. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). (2015). UNCTAD Product groupings. Diunduh tanggal 8 Februari 2015 dari http://unctadstat. unctad.org/UnctadStatMetadata/Classifications/UnctadStat.SitcRev3Products. UnctadProductGroupingslist.Classification_En.xls. Vietnam Investment Review. (2012). TPP May Attract more Foreign Investment Projects in Textiles and Dyeing. June 19,2012. Diunduh tanggal 18 Februari 2015 dari http:// www.vir.com.vn/tpp-may-attract-more-foreign-investment-projects-in-textiles-anddyeing.html. World Trade Organization. (2015). International Trade Statistics 2014. Diunduh tanggal 5 Maret 2015 dari https://www.wto.org/english/res_e/ statis_e/its2014_e/its2014_e. pdf.
72
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
BAB V PELUANG DAN TANTANGAN PERDAGANGAN PAKAIAN JADI INDONESIA Arie Mardiansyah 5.1 Pendahuluan Industri pakaian jadi memainkan peran yang cukup penting di Indonesia. Selain memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional, industri pakaian jadi juga merupakan sektor yang mampu menyerap jumlah tenaga kerja cukup besar. Pada tahun 2013, industri pakaian jadi Indonesia memberikan kontribusi sebesar 4,23% terhadap total nilai ekspor nasional dan menyerap lebih dari 800 ribu tenaga kerja pada skala industri besar dan sedang, belum termasuk tenaga kerja yang bekerja pada industri skala kecil atau rumahan. Selain itu, devisa yang dihasilkan oleh industri ini juga cukup besar yaitu USD 7,38 miliar pada tahun 2013.6 Indonesia dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki seharusnya mampu untuk memposisikan dirinya sebagai pemasok utama untuk pasar pakaian jadi dunia. Namun, kondisi yang terjadi adalah industri pakaian jadi nasional mengalami stagnasi yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari luar negeri dan dalam negeri. Kenaikan biaya-biaya dan tekanan pelemahan nilai tukar rupiah membebani industri ini yang mengakibatkan pakaian jadi Indonesia kurang berdaya saing. Keputusan pembelian konsumen sendiri sangat dipengaruhi oleh kualitas, harga, dan model fashion yang cepat berubah sehingga persaingan menjadi sangat ketat. Tulisan ini menguraikan peluang dan tantangan perdagangan yang dihadapi oleh industri pakaian jadi Indonesia. Permasalahan-permasalahan yang ada antara lain dikarenakan mesin-mesin pertekstilan sudah sangat tua, maraknya produk impor ilegal, dan resiko ketenagakerjaan yang cukup tinggi. Selain itu, produktivitas secara keseluruhan juga dirasakan masih rendah sehingga biaya investasi dan operasional dianggap relatif mahal bagi investor dan pengusaha. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan kondisi kurang baik bagi industri pakaian jadi nasional sehingga daya saing dan keikutsertaannya dalam rantai nilai global Global Value Chain (GVC) menurun.
6
Disampaikan oleh Anne P. Sutanto dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia dalam acara “Dialog Tekstil Nasional 2014” yang diselenggarakan di Hotel Gran Melia – Jakarta, tanggal 11 Desember 2014.
73
Arie Mardiansyah
5.2 Peluang Pakaian Jadi Indonesia Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dan target sasaran bagi produsen domestik maupun luar negeri. Indonesia memiliki jumlah penduduk kurang lebih seperempat miliar jiwa pada tahun 2014 dengan rata-rata peningkatan 1,4% per tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah setiap tahunnya, tentu saja secara alami akan berdampak pada kenaikan kebutuhan dan permintaan pakaian jadi domestik. Berdasarkan penuturan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dalam Detik.com (2015), konsumsi pakaian Indonesia pada tahun 2014 mencapai Rp 154,3 triliun atau sebesar USD 51 per kapita. Industri dalam negeri sendiri memasok kurang lebih senilai Rp 93,35 triliun. Tingkat konsumsi ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekarang mencapai di atas 5% per tahunnya, di tengah kondisi negara-negara Asia yang diperkirakan pertumbuhan ekonominya akan melambat sebagai dampak dari pelemahan ekonomi negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (World Bank, 2015). Tabel 5.1 Perkiraan Pertumbuhan GDP Negara
“00-”10-e 2011 2012 2013 2014-e 2015-f 2016-f 2017-f
Kamboja RRT Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Thailand Vietnam
8.0 7.1 7.3 7.4 10.5 9.3 7.7 7.7 5.2 6.5 6.3 5.8 7.1 8.0 8.0 8.5 4.6 5.2 5.6 4.7 10.3 5.9 7.3 8.3 4.8 3.6 6.8 7.2 4.3 0.1 6.5 2.9 6.6 6.2 5.2 5.4
7.2 7.4 5.1 7.5 5.7 8.5 6.0 0.5 5.6
7.5 7.1 5.2 6.4 4.7 8.5 6.5 3.5 5.6
7.2 7.0 5.5 7.0 5.1 8.2 6.5 4.0 5.8
7.0 6.9 5.5 6.9 5.2 8.0 6.3 4.5 6.0
* a=average; e=estimated; f=forecast. Sumber: World Bank (2015)
Pertumbuhan konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dimana industri fashion semakin marak bermunculan di tanah air. Selama periode 2009-2013, pertumbuhan ratarata tahunan populasi Indonesia hanya sebesar 1,3% sedangkan konsumsi pakaian jadi Indonesia per kapita naik sebesar 8% per tahunnya. Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 249,9 juta jiwa dan konsumsi pakaian jadi sebanyak 1,3 Kg/kapita/tahun, total konsumsi pakaian jadi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 318,4 ribu ton. Hal ini menggambarkan bahwa tren pertumbuhan konsumsi pakaian jadi di Indonesia tahun 20092013 sebesar 9,4% per tahunnya, angka tersebut berada jauh di atas ratarata peningkatan tahunan penduduk Indonesia itu sendiri (Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, 2014).
74
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Tabel 5.2 Perkembangan Jumlah Penduduk, Konsumsi Pakaian Jadi, dan Penguasaan Pasar Pakaian Jadi Dalam Negeri Indonesia, 2009-2013
Sumber: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (2014) dan World Bank (2015),
Besarnya pasar pakaian jadi Indonesia dan tingginya pertumbuhan konsumsi di dalam negeri merupakan peluang bagi pelaku industri guna meningkatkan realisasi produksinya. Industri pakaian jadi nasional sendiri masih belum dapat mengoptimalkan kapasitas terpasangnya. Selain itu, produk pakaian jadi lokal baru menguasai 80,3% dari pasar pakaian jadi dalam negeri pada tahun 2013. Dengan asumsi tren pertumbuhan penduduk Indonesia 1,3% per tahun dan kenaikan konsumsi per kapita 8%, konsumsi pakaian jadi per kapita Indonesia pada tahun 2014 dan 2015 diprediksikan adalah sebesar 1,4 Kg dan 1,5 Kg, atau total volume konsumsi keseluruhan sebesar 348,3 ribu ton pada tahun 2014 dan 381 ribu ton pada tahun 2015. Pada tahun 2019, volume konsumsi pakaian jadi Indonesia diproyeksikan akan berkisar 545,7 ribu ton (Tabel 5.2). Di sisi lain, pasar internasional juga merupakan peluang yang harus dicermati oleh industri nasional. Permintaan dunia diperkirakan masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pemulihan ekonomi di pasar ekspor utama. Hal ini terlihat dari nilai impor dunia yang terus mengalami kenaikan beberapa tahun terakhir. Selain itu jumlah penduduk dunia saat ini telah mencapai lebih dari 7,2 miliar jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,14% per tahun. Pertumbuhan permintaaan diperkirakan masih tetap didominasi oleh peningkatan permintaan dari pasar negara-negara utama seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan RRT. Pada tahun 2012, pasar pakaian jadi dunia hanya sebesar USD 1,1 triliun atau sekitar 1,8% dari PDB global. Menurut BankMed–Market & Economic Research Division (2014) dalam Tot (2014), pasar utama produk pakaian jadi dunia adalah Uni Eropa (EU-27) dengan pangsa sekitar 32% dan nilai sebesar USD 350 miliar per tahun pada tahun 2012. Tiga pasar utama lainnya adalah Amerika Serikat (pangsa 20%), RRT (pangsa 13%), dan Jepang (pangsa 10%). Keempat pasar utama tersebut memiliki populasi 1/3 dari jumlah penduduk dunia dan menguasai 75% dari total pasar pakaian
75
Arie Mardiansyah
jadi dunia. Tot (2014) juga memproyeksikan bahwa nilai pasar pakaian jadi dunia pada tahun 2025 akan mencapai USD 2,1 triliun setara dengan tingkat pertumbuhan sekitar 5% per tahun dimana RRT akan menjadi pasar terbesar di dunia pada tahun tersebut dengan nilai sebesar USD 540 miliar. 600
12%
12% 10%
450
9% 8%
8%
300
6% 5%
5%
Australia Kanada 2% 3% Russia 4% India 4%
Rest of World 7%
Eu-27 32%
Brazil 5%
4% 150
3% 2%
0
UE-27
2%
AS
Japan 10%
2%
RRT Japan Brazil India Rusia Kanada Australia Others 2012
2025
CAGR
Nilai Pasar Pakaian Jadi Beberapa Negara Tahun 2012, 2025 (USD Miliar) dan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (%)
0% RRT 13%
AS 20%
Pangsa Pasar Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012 (%)
Gambar 5.1 Nilai dan Pangsa Pasar Pakaian Jadi Dunia Tahun 2012, 2025 dan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Gabungan. Sumber: BankMed (2014); dan Tot (2014)
Dilihat dari pengeluaran per kapita penduduk, pengeluaran konsumsi dunia untuk pakaian jadi diproyeksikan terus tumbuh hingga tahun 2025. Pengeluaran rata-rata per kapita konsumsi pakaian jadi dunia hanya sebesar USD 153 pada tahun 2012. Australia merupakan negara yang pengeluaran belanja pakaian per kapitanya tertinggi di dunia dengan nilai USD 1.050 kapita/tahun, sedangkan India merupakan negara dengan pengeluaran belanja pakaian per kapita terendah. Sementara itu pengeluaran rata-rata per kapita konsumsi diperkirakan menjadi USD 247 pada tahun 2025, atau proyeksi peningkatan sebesar 61% dibandingkan tahun 2012. Dapat dilihat juga pada Gambar 5.2, terdapat perbedaan besar tentang pola belanja pakaian per kapita antara negara maju dan negara berkembang. Negaranegara maju seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat, dan EU-27 memiliki tingkat pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan negaranegara berkembang. Namun demikian, tingkat pertumbuhan pengeluaran per kapita di negara-negara berkembang pada tahun 2025 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju (Tot, 2014). Hal ini mungkin terjadi karena tingkat ekonomi di negara-negara berkembang yang diharapkan menjadi lebih baik di masa mendatang sehingga dapat dijadikan alternatif sebagai negara tujuan pemasaran. Indonesia dapat mencermati negara-negara non-tradisional yang perkembangan ekonominya diprediksi
76
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
akan cukup menggembirakan yaitu sebesar 5% – 8%, seperti negaranegara di Asia Timur dan Sub-Sahara Afrika (World Bank, 2015). Tingginya konsumsi dan pengeluaran per kapita atas pakaian jadi di Indonesia dan dunia dapat menjadi suatu parameter bahwa masih terdapat potensi pasar yang menggiurkan bagi industri pakaian jadi di Indonesia. Apparel Spending per capita (USD/person) 1,643
1,080 740 377
247
138 36
153
World India averang spending
781 663
1,221 1,050 831
686
454 273
272 109 RRT
Brazil
Rusia UE-27
AS
Kanada Japan Australia
2025 2012
Gambar 5.2 Pengeluaran Per Kapita Produk Pakaian Jadi. Sumber: Tot (2014)
Untuk menunjang sarana pemasaran kepada masyarakat luas, pemerintah akan membangun pasar-pasar baru yang tersebar di seluruh Indonesia. Pasar merupakan aset penting untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, dan keberadaannya sangat dibutuhkan untuk menunjang perdagangan barang. Ada dua jenis pasar yang ada di Indonesia saat ini, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Saat ini, perkembangan pasar tradisional mengalami tekanan dengan semakin pesatnya perkembangan pasar modern yang sudah mulai menjangkau sampai ke pelosok daerah. Meskipun antara pasar tradisional dengan pasar modern mempunyai segmen yang berbeda, tetapi barang-barang yang diperdagangkan pada kedua jenis pasar tersebut relatif sama sehingga mempunyai konsumen yang sama pula. Untuk mengimbangi hal tersebut, pemerintah telah merencanakan untuk membangun dan merevitalisasi 5.000 pasar tradisional hingga tahun 2019. Dengan semakin banyaknya pasar yang tersebar di seluruh Indonesia diharapkan dapat membantu kelancaran distribusi dan memberikan alternatif yang lebih luas kepada konsumen sehingga produk pakaian jadi nasional mudah dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat (Metrotvnews, 2014).
77
Arie Mardiansyah
Produsen pakaian jadi lokal sepatutnya selangkah lebih maju untuk bersaing dengan produk impor karena mampu mengenali pasar lokal secara lebih baik. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan serangkaian kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk melindungi konsumen dalam negeri. Kebijakan ini mewajibkan kepada produk lokal maupun impor untuk memenuhi semua ketentuan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah agar bisa diperjualbelikan di Indonesia. Untuk menghasilkan produk yang ber-SNI, produsen dalam negeri dituntut untuk memiliki pengetahuan, peralatan, dan prosedur kerja yang memadai sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan diterima secara baik oleh masyarakat. Pada akhirnya, produsen pakaian jadi nasional dapat memberikan kepuasan tinggi kepada konsumen untuk memenangkan persaingan di pasar domestik dan sebagai modal untuk berkompetisi di pasar ekspor. Terkait perdagangan luar negeri, perkembangan ekspor pakaian jadi Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 ekspor pakaian jadi Indonesia ke dunia hanya sebesar USD 5,63 miliar sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi USD 7,38 miliar, atau peningkatan sebesar 31,1% antara tahun 2007 hingga tahun 2013. Permintaaan pakaian jadi asal Indonesia masih didominasi oleh permintaan dari pasar-pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat, Uni Eropa (EU27), Jepang, dan Korea. Komposisi ekspor Indonesia ke empat negara tersebut adalah Amerika Serikat (52%); EU-27 (20%); RRT (10,3%); Jepang (8,4%); dan Korea (3,7%) (UN COMTRADE, 2015). Dalam hal produksi, Indonesia diuntungkan dengan tenaga kerja yang melimpah. Seperti banyak negara di Asia, Indonesia mulai membangun industri pakaian jadi sejak tahun 1970-an dengan mengambil kekuatan dari tenaga kerja low cost yang tersedia pada saat itu. Industri pakaian jadi diperkirakan telah menyerap lebih dari 800 ribu tenaga kerja pada tahun 2013, belum termasuk tenaga kerja yang bekerja pada industri skala rumahan yang tidak terdata secara resmi. Selain itu, jumlah perusahaan yang beroperasi di Indonesia trennya juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari total kapasitas terpasang 949 ribu ton pada tahun 2013, industri pakaian jadi baru memanfaatkan 76,3% utilisasi dari seluruh kemampuan yang ada sehingga masih ada 23,7% kapasitas yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan volume produksi.7 5.3 Tantangan Pakaian Jadi Indonesia Pada bagian ini akan dibahas mengenai faktor apa saja yang menghambat industri pakaian jadi Indonesia saat ini yang menjadi tantangan bersama 7
Disampaikan oleh Anne P. Sutanto dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia dalam acara “Dialog Tekstil Nasional 2014” yang diselenggarakan di Hotel Gran Melia – Jakarta, tanggal 11 Desember 2014.
78
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
antara pemerintah, industri, dan pengusaha untuk memperbaiki kondisi yang dihadapi. Ada beberapa faktor penghambat daya saing pakaian jadi Indonesia dalam upayanya berkompetisi dengan produk dari negara-negara produsen lainnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pertama, kenaikan suku bunga pinjaman bank. Pada tahun 2014, Bank Indonesia menaikkan suku bunga bank menjadi 7,5% yang masih berlaku hingga sekarang. Hal ini menyebabkan pinjaman modal menjadi mahal. Kedua, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) setiap tahun juga turut membebani dimana pada tahun 2014 saja TDL telah naik sebesar 39%. Ketiga, kenaikan upah minimum telah menyebabkan ratusan perusahaan melakukan relokasi ke tempat lain. Upah minimum meningkat hingga 40% pada tahun 2012, mencapai antara USD 80 hingga USD 160 per bulan untuk pekerja pakaian jadi. Angka ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan upah di negara tetangga Asia lainnya seperti Kamboja yang hanya berkisar USD 75 per bulan. Faktor terakhir, industri tesktil juga sangat terbebani atas melemahnya kurs rupiah karena mayoritas bahan baku tekstil adalah barang impor. Dua komoditas yang masih bergantung impor adalah kapas dan serat fiber yang sangat berperan utama pada hulu produksi (Preuss, 2013; dan Business News, 2014). Faktor-faktor ini dianggap sebagai penyebab langsung mengapa industri tekstil Indonesia mengalami stagnasi pada tahun 2014, disamping kenaikan harga kebutuhan pokok akibat naiknya harga BBM sehingga daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia menurun. Akhirnya, produsen dalam negeri kesulitan untuk memasarkan hasil produksinya karena keputusan konsumsi sangat dipengaruhi oleh harga, kualitas, dan siklus model yang sangat pendek sehingga persaingan sangat kompetitif dalam industri ini. Permasalahan lainnya adalah maraknya tekstil impor ilegal yang masuk ke pasar domestik. Yang dimaksud produk tekstil impor ilegal adalah produk tekstil impor dari luar negeri yang tidak tercatat dan masuk ke daerah pabean Indonesia, termasuk di dalamnya adalah pakaian impor bekas. Berdasarkan penuturan API, dari angka konsumsi pakaian Indonesia pada tahun 2014 yang mencapai Rp154,3 triliun, impor pakaian resmi melalui izin impor Kementerian Perdagangan nilainya Rp 48,02 triliun. Terdapat sekitar Rp10,9 triliun, yang diperkirakan berasal dari pakaian baru impor yang masuk ke pasar secara ilegal, angka ini belum termasuk pakaian bekas impor yang memang dilarang untuk masuk ke Indonesia (Detik.com, 2015). Tantangan selanjutnya, pengelolaan merek dan pemasaran dilakukan dengan sangat buruk di masa lalu sehingga merek nasional kurang mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya, pakaian merek asing telah berkembang menjadi pilihan bagi masyarakat
79
Arie Mardiansyah
Indonesia. Kualitas produk dan harga adalah tantangan yang dihadapi oleh produsen Indonesia untuk tetap bersaing dalam memperoleh pangsa pasar domestik dengan negara-negara di Asia, terutama dengan RRT (Global Business Guide Indonesia, 2013). Dalam hal produksi, permasalahan utama industri pakaian jadi Indonesia saat ini adalah usia mesin-mesin yang relatif sudah tua. Permasalahan ini terutama terjadi pada sektor hulu produk tekstil sehingga menurunkanproduktifitas industri TPT. Kondisi ini juga menyebabkan industri TPT Indonesia secara keseluruhan kurang bersaing baik secara ekonomis maupun secara teknologi. Pemerintah telah berupaya untuk melakukan restrukturisasi permesinan TPT sejak lama dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Republik Indonesia Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 juncto Permenperin No.15/M-IND/PER/2/2012 juncto Permenperin No.01/M-IND/ PER/1/2014 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki. Kebijakan ini ditujukan untuk memberikan kemudahan dan keringanan biaya bagi Industri Produk Tekstil termasuk industri pakaian jadi untuk melakukan peremajaan mesin dan peralatannya dengan teknologi yang lebih maju. Namun demikian, Permenperin ini dianggap masih belum mengakomodir pokok permasalahan dalam industri pakaian jadi nasional sehingga pemanfaatannya masih kurang maksimal. Permasalahan lainnya adalah permasalahan tenaga kerja yang dihadapi oleh industri pakaian jadi di Indonesia. Sistem perburuhan, kebijakan upah minimum yang terus meningkat, dan maraknya demonstrasi buruh serta bertambahnya jumlah serikat pekerja di Indonesia dianggap menjadi penghambat dalam proses produksi industri pakaian jadi di Indonesia (Hermawan, 2011 dan Preuss, 2013). Kondisi ini dianggap sebagai penyebab mengapa produktifitas tenaga kerja Indonesia tergolong rendah. Selain permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas, ketidaktersediaan infrastruktur yang belum memadai juga turut memberikan hambatan bagi industri pakaian jadi Indonesia. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan daya saing industri nasional semakin melemah dibanding negara-negara produsen lainnya. Lebih lanjut, permasalahan-permasalahan yang dihadapi Indonesia ini juga dianggap sebagai faktor penyebab mengapa lambatnya tingkat investasi baru sektor industri ini di Indonesia dan keikutsertaan industri pakaian jadi Indonesia dalam GVC fashion terhambat. 5.4 Daya Saing Secara umum, daya saing Indonesia memperlihatkan tren yang cukup menggembirakan, setidaknya demikian menurut laporan World Economic
80
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Forum (WEF). Dalam laporannya tahun 2014–2015, WEF menempatkan Indonesia pada ranking ke-34 dari total 144 negara di dunia berdasarkan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index), meningkat 4 peringkat dari tahun sebelumnya yang menempati peringkat ke-38. Namun demikian, Indonesia masih jauh dibawah beberapa Negara ASEAN lainnya seperti Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 20), dan Thailand (peringkat 31). Indonesia cukup baik terkait pilar inovasi dan kepuasan bisnis, menempati peringkat ke-30 (WEF, 2014). Tabel 5.3 The Global Competitiveness Index, 2014–2015 Overall Index
Basic Requirements
SUB INDEX Efficency Enhancers
Innovation and Sophistication Factors
COUNTRY/ECONOMY
RANK SCORE RANK SCORE RANK SCORE RANK SCORE
Singapura
2 5,65 1 6,34 2 5,68 11 5,13
Malaysia
20 5,16 23 5,53 24 4,95 17 4,95
Thailand
31 4,66 40 5,01 39 4,53 54 3,84
Indonesia
34 4,57 46 4,91 46 4,38 30 4,2
Filipina
52 4,4 66 4,63 58 4,27 48 3,9
Vietnam
68 4,23 79 4,44 74 3,99 98 3,35
Laos
93 3,91 98 4,13 107 3,58 80 3,51
Kamboja
95 3,89 103 4,09 100 3,65 116 3,15
Myanmar
134 3,24 132 3,36 134 3,11 139 2,62
Brunei Darussalam
N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A
Sumber: World Economic Forum (2014)
Ada beberapa perbaikan kondisi daya saing Indonesia berdasarkan 12 pilar dalam penentuan tingkat daya saing suatu negara menurut WEF. Infrastruktur dan konektivitas terus mengalami perbaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, naik 5 peringkat dari tahun 2013 dan 20 peringkat sejak tahun 2011. Indeks daya saing Indonesia menempati urutan ke-56 dalam hal infrastruktur. Kualitas tata kelola publik dan swasta juga dinilai menguat. Indonesia naik 14 peringkat menjadi peringkat ke-53 sebagai akibat peningkatan 18 indikator dari total 21 indikator yang menyusun pilar ini. Secara khusus, Indonesia meraih peningkatan yang luar biasa, peringkat ke-36, dalam hal efisiensi pemerintah. Korupsi dianggap telah sangat jauh berkurang selama beberapa tahun terakhir. Hal paling menggembirakan, Indonesia sangat baik terkait pilar inovasi dan kepuasan bisnis, menempati peringkat ke-30 dan dianggap sebagai aspek paling kuat di antara pilar-pilar daya saing Indonesia (WEF, 2014). Namun demikian, ada beberapa pilar yang perlu dicermati secara serius karena menurunkan indeks daya saing Indonesia. Aspek terlemah yang dihadapi saat ini adalah situasi pasar tenaga kerja yang terus memburuk. Kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia turun tujuh peringkat dari tahun sebelumnya, menjadi peringkat ke-110 pada tahun 2014. Jauh tertinggal dari
81
Arie Mardiansyah
RRT dan Vietnam yang menempati peringkat ke-37 dan peringkat ke-49, namun masih lebih baik dibandingkan dengan Bangladesh yang menempati peringkat ke-124. Menurut WEF, kondisi ini disebabkan oleh penetapan upah serta sistem perekrutan dan pemberhentian yang masih lemah di Indonesia. Selain itu, partisipasi perempuan dalam ketenagakerjaan juga rendah, peringkat ke-112. Bidang lain yang perlu menjadi perhatian khusus adalah kesehatan masyarakat yang hanya menempati peringkat ke-99 (WEF, 2014). Keikutsertaan Indonesia dalam GVC cenderung mengalami penurunan. Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Indonesia mengalami kemunduran dalam keikutsertaannya dalam GVC sejak tahun 1995 sebesar 5,3 menjadi hanya sebesar 2,6 pada tahun 2009 (OECD Stat., 2013). Permasalahan peningkatan daya saing menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan agar Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara produsen lainnya. Bagaimanakah posisi daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara-negara produsen pakaian jadi lainnya? Pada tahun 2013, ekspor Indonesia ke Dunia adalah USD 7,38 miliar atau menempati urutan ketujuh sebagai pemasok pakaian jadi dunia. Jika pangsa ekspor dianggap sebagai cerminan indeks daya saing suatu negara (Mikic, 2007), maka berdasarkan Tabel 5.5 indeks daya saing Indonesia paling rendah dibandingkan dengan negara-negara produsen di Asia lainnya dan kecenderungannya turun sejak tahun 2011. Pangsa ekspor Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 1,7%. Tidak ada perubahan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya sebesar 1,6%. Pada sisi lain, ada perkembangan menarik tentang kondisi yang dialami oleh Bangladesh dan Vietnam. Pada tahun 2007, indeks daya saing Bangladesh dan Vietnam adalah masing-masing sebesar 2,7% dan 2,1%, kemudian meningkat secara signifikan menjadi 6,2% dan 4,3% pada tahun 2013,atau meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007. Tabel 5.4 Persentase Ekspor Negara-Negara Pengekspor Utama Dunia
Satuan : Persen (%)
No. Negara Pengekspor 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RRT EU-27 Bangladesh Vietnam India Turki Indonesia Mexico Amerika Serikat Maroko Total Dunia
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
82
31.8 28.7 2.7 2.1 2.7 3.9 1.6 1.5 1.1 1.0 100
31.3 29.7 3.0 2.3 2.8 3.6 1.7 1.3 1.0 0.9 100
31.8 29.5 3.9 2.6 3.6 3.6 1.8 1.3 1.1 1.0 100
34.9 27.2 4.3 2.9 3.1 3.6 1.9 1.2 1.1 0.9 100
35.2 27.2 4.7 3.1 3.4 3.3 1.9 1.1 1.1 0.8 100
36.6 25.7 5.6 3.5 3.2 3.4 1.8 1.1 1.2 0.8 100
38.8 26.4 6.2 4.3 3.7 3.5 1.7 1.0 1.2 0.7 100
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Secara komparatif, indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia juga paling rendah dan cenderung turun dibandingkan dengan negara-negara pengekspor utama di Asia lainnya (Tabel 5.5). Pada tahun 2007 indeks RCA Indonesia sebesar 2,0 kemudian tahun 2013 menjadi hanya sebesar 1,7. Di lain pihak, Bangladesh paling unggul dibandingkan negaranegara lainnya. Indeks RCA Bangladesh pada tahun 2013 adalah sebesar 35,8 padahal pada tahun 2007 hanya sebesar 28,6. Vietnam, RRT, dan India menempati peringkat selanjutnya setelah Bangladesh dengan indeks RCA masing-masing sebesar 5,6; 3,2; dan 2,0 dan kecenderungannya menurun sejak tahun 2007. Tabel 5.5 Indeks RCA Negara-Negara Pengekspor Utama di Asia No. Indeks RCA
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 2 3 4 5
28.6 6.0 3.6 2.6 2.0
Bangladesh Vietnam RRT India Indonesia
33.2 6.0 3.5 2.5 1.9
30.8 5.7 3.3 2.5 1.9
33.5 6.1 3.3 2.1 1.8
35.0 5.9 3.3 2.0 1.7
37.1 5.5 3.2 2.0 1.7
35.8 5.6 3.2 2.0 1.7
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah
Dalam perdagangan internasional, permintaan ekspor dipengaruhi oleh seberapa besar keikutsertaan produsen di suatu negara dalam GVC. Permintaan pakaian jadi sendiri erat kaitannya dengan perusahaanperusahaan fashion multinasional yang berperan sebagai buyer besar dengan skala global. Buyer yang mayoritas melakukan kegiatan bisnisnya di negara pengimpor, seperti Nike, Zara, GAP, dan sebagainya, sangat menentukan di negara mana mereka akan menetapkan basis produksinya dan menjadi bagian dalam rantai nilai mereka. Dalam GVC, buyer hanya berfokus pada desain, pengelolaan merek, logistik, dan distribusi ritel. Mereka biasanya menggunakan model outsourcing karena tidak memiliki pabrik sendiri dan secara signifikan mempengaruhi bagaimana rantai nilai global pakaian jadi tersebut dilaksanakan dan difungsikan (Fernandez-Stark dkk., 2011). Suatu negara akan dipilih menjadi basis produksi hanya dan jika produsen di negara tersebut memiliki daya saing yang lebih baik dibandingkan negara produsen lainnya. Keunggulan bersaing dapat berupa biaya yang lebih murah atau fasilitas yang diberikan suatu negara, baik itu dalam hal perdagangan maupun investasi. Perakitan pakaian jadi akan dilakukan secara “offshored” di negara-negara berkembang dimana biaya produksi yang rendah serta didukung perjanjian perdagangan yang menguntungkan di negara tersebut (Gereffi, 2003; Fernandez-Stark dkk., 2011). Mengapa daya saing Bangladesh dan Vietnam terus meningkat beberapa tahun terakhir yang menyebabkan kinerja ekspornya naik secara signifikan?
83
Arie Mardiansyah
Ada perbedaan mendasar antara kondisi Bangladesh dengan kondisi yang ada di negara-negara pengekspor utama di Asia lainnya. Karakteristik biaya produksi pakaian jadi sangat ditentukan oleh keterampilan dan keahlian tenaga kerja manusia. Wang (2013) menyebutkan bahwa rasio produktifitas terhadap upah tenaga kerja di Bangladesh paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia lainnya (Tabel 5.6). Hal ini sejalan dengan teori klasik dimana suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan ekspor ketika negara tersebut mampu memproduksi suatu barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan negara pesaing lainnya (Porter, 1990). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa biaya memproduksi pakaian jadi di Bangladesh memberikan “nilai” paling maksimal sehingga Bangladesh memperoleh keuntungan atau manfaat paling tinggi dari perdagangan ekspor pakaian jadi dan keikutsertaannya dalam GVC dibandingkan negara-negara di Asia lainnya. Tabel 5.6 Perbandingan Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Minimum di Negara-Negara Asia No.
Keterangan
Bangladesh Kamboja RRT
Indonesia Malaysia Thailand Vietnam
1 Produktifitas Tenaga 5.715 5.096 18.325 11.904 Kerja (US DOllar) 2 Upah Minimum per Bulan 38 75 210 210 (Jakarta) (US Dollar) 121 (Jawa Barat) 3 Rasio 150,4 68 87,3 56,7 (Jakarta) 98,3 (Jawa Barat)
36.854
18.432
6.816
290
200
85
127,1
92,2
80,2
Sumber: Wang (2013)
Fasilitas perdagangan menjadi semakin penting dalam menentukan keikutsertaan suatu negara dalam GVC. Sebagai contoh, Bangladesh memiliki kemudahan akses ke pasar konsumen pakaian jadi terbesar Uni Eropa melalui fasilitas GSP Preference-nya. Namun, perkembangan yang paling menarik adalah keikutsertaan Vietnam dalam GVC untuk sektor tekstil dan pakaian jadi meningkat signifikan selama beberapa tahun terakhir. Vietnam adalah salah satu negara yang paling cepat berkembang sektor tekstil dan pakaian jadinya dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 14,5% per tahun untuk periode 2008-2013. Pada tahun 2013, industri tekstil dan pakaian jadi menduduki peringkat ke-2 di antara industri terbesar di Vietnam. Hal ini didorong oleh gencarnya perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan mitra strategisnya, terutama kemitraan yang semakin erat dengan RRT, serta perjanjian-perjanjian dagang lainnya seperti Trans-Pacific Partnership, Free Trade Agreement Vietnam-EU, dan lain sebagainya (Tot, 2014). GVC menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan perdagangan masa depan, peluang investasi, dan peluang pertumbuhan ekonomi yang
84
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
lebih baik. GVC menawarkan kesempatan untuk mengintegrasikan ekonomi dunia dengan biaya yang lebih rendah, tetapi keuntungan tiap negara dari partisipasi GVC tersebut tidaklah otomatis. Manfaat GVC juga dapat bervariasi tergantung pada apakah suatu negara beroperasi di tingkatan yang tinggi atau pada tingkatan rendah dari rantai nilai, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia (OECD, WTO, dan World Bank Group, 2014). 5.5 Strategi Setelah melihat kondisi dan permasalahan yang dihadapi industri pakaian jadi di Indonesia, langkah selanjutnya adalah menetapkan serangkaian strategi untuk tetap menjadikan industri ini sebagai tulang punggung dan dapat berkontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional. Ada dua strategi yang dapat diambil oleh Indonesia dengan sumber daya dan kekuatan yang dimiliki saat ini, yaitu penguatan pasar domestik dan ekspor serta peningkatan daya saing produk dalam negeri. Namun demikian, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kerjasama yang kokoh antara pemerintah, industri, dan pelaku usaha itu sendiri. 5.5.1 Penguatan Pasar Domestik Pakaian jadi produksi nasional sudah seharusnya menjadi “tuan” di negara sendiri dan mampu bersaing di luar negeri. Dari segi pemasaran, ada dua langkah yang dapat ditempuh oleh produsen pakaian jadi Indonesia, yaitu strategi pendekatan produk dan strategi peningkatan pasar. Suatu produk tidak akan berhasil dalam kompetisi jika tidak didukung oleh kualitas, harga yang kompetitif, distribusi, komunikasi pemasaran, dan saluran penjualan yang tepat. Strategi Pendekatan Produk Jaminan kualitas (quality assurance) dan pemenuhan spesifikasi standar merupakan hal kunci untuk mendapatkan tempat di hati pelanggan. Pemerintah, pengusaha, asosiasi, dan masyarakat perlu terlibat secara aktif dalam rangka meningkatkan kualitas pakaian jadi hasil produksi Indonesia. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan aturan SNI wajib guna melindungi konsumen dari barang-barang berkualitas rendah yang tidak sesuai standar, termasuk aturan mengenai produk impor ilegal. Selain itu, Kementerian Perdagangan juga telah mengeluarkan Permendag Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 jo Permendag Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Pemerintah telah mengimbau produsen
85
Arie Mardiansyah
nasional untuk bergegas memanfaatkan peraturan-peraturan ini untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan pangsa pasar produksi dalam negeri guna meredam laju impor. Namun, yang terpenting adalah konsumen tidak akan ragu lagi untuk menjadikan produk dalam negeri sebagai pemenuhan kebutuhan sandangnya. Hal terpenting yang diatur dalam Permendag Nomor 70 Tahun 2013 adalah kewajiban toko modern dan pusat perbelanjaan untuk memasarkan produk dalam negeri paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan. Jika peraturan ini dapat diimplementasikan dengan baik, diharapkan dapat lebih menjamin pemberdayaan dan perlindungan produsen Indonesia dan penguatan pemasaran produk buatan dalam negeri. Fakta yang terjadi saat ini, industri pakaian jadi masih dianggap lemah pada sektor hulu tekstilnya. Indonesia masih bergantung terhadap bahan baku impor. Kurang lebih 70% impor produk TPT masih didominasi oleh impor bahan baku. Hal ini karena Indonesia memiliki kelemahan dalam produksi serat (misalnya, kapas dan fiber) di dalam negeri. Permasalahan mesin-mesin tekstil yang relatif tua juga menyebabkan sektor hulu tidak dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan sektor industri pakaian jadi dalam pemenuhan selera dan kebutuhan konsumennya. Selain itu, harga tekstil domestik juga dianggap lebih mahal sehingga produsen pakaian jadi nasional sulit bersaing mengenai harga. Kondisi ini menyebabkan produsen pakaian jadi Indonesia bergantung pada bahan baku impor untuk mengatasi keterbatasan pasokan bahan baku dalam negeri. Untuk mendorong ekspor, pemerintah perlu memberikan fasilitasfasilitas sebagai upaya peningkatan produksi dan kualitas hasil produksi. Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 580/ KMK.04/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Dengan adanya KITE, pengusaha diberikan kemudahan saat mengimpor bahan baku yaitu dengan pembebasan pembayaran bea masuk dan penangguhan PPN apabila barang jadi (dengan mengandung komponen bahan impor) yang dihasilkannya tersebut diekspor kembali secara keseluruhan. Kriteria pengusaha yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut adalah kategori pengusaha yang merupakan importir, eksportir, dan sekaligus produsen. Dengan diberikannya fasilitas ini, pelaku industri diharapkan dapat memperoleh kemudahan-kemudahan agar mampu meningkatkan kualitas produk untuk bersaing dengan negara lain dalam perdagangan internasional sehingga dapat meningkatkan kontribusinya terhadap surplus ekspor nasional.
86
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Strategi Peningkatan Pasar Selain melakukan strategi pendekatan produk, produsen pakaian jadi Indonesia juga perlu melakukan strategi peningkatan pasar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mempertahankan pasar yang telah dibangun saat ini, membuka pasar baru, menahan penurunan ekspor ke negara utama, dan meningkatkan ekspor produk bernilai tambah di pasar yang sudah ada. Hal ini tentunya dengan melakukan serangkaian langkah-langkah pemasaran yang tepat. Pengelolaan merek yang buruk di masa lalu perlu segera dibenahi dan peranan marketing intelligence yang baik untuk terus berupaya memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan selera permintaan konsumen, baik domestik maupun luar negeri. 5.5.2 Peningkatan Daya Saing Dalam rangka meningkatkan daya saing dan mampu berkompetisi dengan negara-negara produsen lainnya, Indonesia harus melakukan reformasi kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemacetan pasokan dan memperbaiki iklim investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan prospek pertumbuhan jangka menengah, mendorong efisiensi biaya, dan memperkuat posisi eksternal sehingga menarik sebagai lokasi GVC. Dibutuhkan suatu policy mix agar industri di Indonesia bisa menjadi bagian penting dalam GVC tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti infrastruktur dan konektivitas yang lebih baik, lingkungan bisnis yang ramah, pasar tenaga kerja yang kondusif, akses terhadap kredit, kesiapan teknologi, inovasi, dan stabilitas makroekonomi. Kebijakan lain yang lebih terarah, seperti kemudahan tarif dan fasilitas perdagangan lainnya (OECD, WTO, dan World Bank Group, 2014). Selain itu, GVC juga perlu dilengkapi dengan kerangka kebijakan yang tepat dan luas yang memungkinkan negara-negara dan perusahaan untuk memanfaatkan kapasitas produksi yang ada dan manfaat spillover dari investasi asing, pengetahuan, dan inovasi. Ini termasuk kebijakan pasar tenaga kerja, kebijakan sosial dan kebijakan persaingan serta kebijakan untuk investasi di bidang pendidikan, keterampilan, teknologi dan infrastruktur strategis (OECD, WTO and World Bank Group, 2014). Indonesia perlu belajar dari apa yang terjadi dengan industri tekstil dan pakaian jadi di Bangladesh. Saxena dan Salze-Lozac’h (2010), dalam penelitiannya terkait industri tekstil dan pakaian jadi di Bangladesh, menyimpulkan bahwa lemahnya daya saing industri tekstil dan pakaian jadi di Bangladesh disebabkan oleh buruknya infrastruktur, fluktuasi nilai tukar mata uang, bunga pinjaman yang tinggi, tenaga kerja yang
87
Arie Mardiansyah
tidak terampil, banyaknya pesaing di dalam negeri, rendahnya teknologi produksi, dan citra negatif yang digambarkan oleh media. Lebih lanjut, Saxena dan Salze-Lozac’h memberikan rekomendasi kepada industri Bangladesh untuk melakukan reformasi lingkungan bisnis yang bisa memberikan dorongan kepada industri secara keseluruhan dengan tujuan meningkatkan efisiensi di tingkat pabrik termasuk memberikan manfaat lebih baik untuk pekerja, dan mengembangkan koalisi antara sektor swasta dan LSM lokal dan internasional, serta di antara pabrikpabrik, untuk menetapkan standar industri. Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah telah mengeluarkan mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Republik Indonesia Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 jo Permenperin Nomor 15/M-IND/ PER/2/2012 jo Permenperin Nomor 01/M-IND/PER/1/2014 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki. Namun demikian, aspek-aspek yang ditekankan dalam Permenperin di atas dianggap belum menyentuh pokok permasalahan dalam industri pakaian jadi nasional. Kebijakan ini secara nyata juga sangat membatasi perusahaan yang ingin mengajukan permohonan keringanan dalam pembelian mesin. Hal ini bisa dilihat pada aspek proses, dimana pemerintah memberikan persyaratan yang cukup berat untuk bisa dipenuhi oleh industri tekstil skala kecil dan menengah yang merupakan pelaku utama dalam industri tekstil yang berorientasi ke pasar domestik. Misalkan, perusahaan yang bisa memperoleh fasilitas keringanan pembelian mesin dan peralatan adalah perusahaan yang telah berinvestasi dan beroperasi minimal 2 tahun. Selain itu, keringanan pembiayaan hanya diberikan bagi perusahaan yang menggunakan teknologi yang lebih maju dan mesin dalam kondisi baru serta persyaratan nilai investasi yang cukup besar (Efendi, 2013) Industri pakaian jadi berskala kecil menengah, yang notabene penopang industri dan merupakan pelaku usaha paling banyak di Indonesia, seringkali menemui kendala ketika berhadapan dengan persyaratan manajemen resiko yang menjadi pertimbangan bank mengeluarkan kredit. Industri pakaian jadi kelas rumahan seringkali tidak didukung oleh manajemen dan tata kelola administrasi yang baik seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan. Oleh karena itu, fungsi pembinaan oleh tingkatan pemerintah di daerah sangat penting diperlukan untuk memberikan jaminan kepastian kepada perbankan. Dalam hal pemasaran, industri pakaian jadi kecil menengah juga seringkali menemui kesulitan. Pola makloon8 dalam industri pakaian jadi merupakan hubungan yang tidak terpisahkan antara industri skala besar 7
Ongkos yang dikeluarkan untuk keseluruhan atau sebagian proses produksi yang diberikan kepada pihak ketiga diluar perusahaan.
88
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
dengan industri skala kecil menengah. Industri pakaian jadi dengan skala lebih besar perlu merangkul pelaku industri yang lebih kecil. Industri pakaian jadi dengan skala besar biasanya telah tertata secara baik dalam hal manajamen dan akses pasar yang lebih luas bagi pasar ekspor. Industri skala kecil menengah juga perlu menyesuaikan dengan terus meningkatkan kapabilitas untuk memenuhi spesifikasi dan standar yang ditetapkan sehingga bisa berorientasi ekspor. Perlunya peran pemerintah daerah untuk mengayomi dan memberikan fasilitas kemudahan kepada industri skala kecil menengah di daerahnya sehingga dapat menjembatani kebutuhan industri skala besar dengan kemampuan industri skala kecil menengah, misalnya dengan membentuk sentra-sentra produksi. Fungsi pembinaan oleh pemerintah sangat diperlukan untuk mencermati permasalahan ini sehingga bisa memberikan efek multiplier secara ekonomi bagi industri pakaian jadi secara nasional. Permasalahan tenaga kerja merupakan hal yang perlu dicermati serius. Kenaikan upah buruh menyebabkan penurunan daya saing jika tidak diikuti dengan produktivitas yang tinggi. Diperlukan suatu policy mix antar lembaga pemerintah sehingga kebijakan yang diambil tidak terbatas pada kebijakan sektoral. Sebagai contoh, agar kesejahteraan buruh dapat meningkat maka pemerintah perlu menekan inflasi, tidak hanya sekedar meningkatkan upah minimum yang mungkin kurang berpengaruh terhadap kemampuan daya beli. Selain itu, tenaga kerja terampil dengan produktivitas tinggi hanya bisa didapat jika dibekali dengan dasar pendidikan dan pelatihan yang cukup. Peran pemerintah cukup besar dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang tepat guna sesuai kebutuhan industri sehingga bisa dijangkau oleh pelaku dan tenaga kerja pada sektor ini. Seperti halnya Vietnam, Indonesia sejak tahun 2011 menjadi bagian dari program Better Work ILO dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi kerja di pabrik-pabrik pakaian jadi sekaligus untuk mempromosikan produktivitas dan daya saing. Program ini telah berhasil mendorong keikutsertaan perusahaan dan pembeli internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Namun demikian, program ini perlu terus dilanjutkan sekaligus melakukan serangkaian perbaikan-perbaikan agar tujuannya dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan (Better Work Indonesia, 2014). Indonesia juga perlu memperbaiki iklim perburuhan sehingga berperan positif terhadap perkembangan industri. Pada Juni 2011, serikat pekerja, pabrik pemasok, dan beberapa produsen internasional yang berproduksi di Indonesia telah menandatangani kesepahaman untuk mendukung hakhak perempuan dan laki-laki dalam memproduksi merek global di Indonesia
89
Arie Mardiansyah
dan memberikan jaminan dalam hal Kebebasan Berserikat sesuai dengan Freedom of Association Protocol (FOAP) untuk melakukan tawar-menawar secara kolektif untuk kondisi kerja yang lebih baik dan meredam pemogokan massal buruh yang justru bisa merugikan semua pihak yang berkepentingan. Namun demikian, pada praktiknya masih perlu perbaikan-perbaikan dan konsistensi dari setiap pelaku industri untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut dengan lebih baik lagi. Impor tekstil ilegal menjadi permasalahan yang harus segera diperbaiki oleh pemerintah agar industri pakaian jadi nasional dapat berkembang dan menjadi tuan di negara sendiri. Pakaian bekas merupakan kategori barang yang dilarang untuk diimportasi. Pelarangan ini merujuk kepada UndangUndang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dimana impor barang harus dalam kondisi baru. Selain itu kebijakan pelarangan impor pakaian bekas juga diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) RI Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya dan Kepmenperindag RI Nomor 642/MPP/ Kep/9/2002 tentang Perubahan Lampiran I Kepmenperindag RI Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya. Namun yang menjadi permasalahan adalah penjualan baju bekas impor di dalam negeri sendiri justru tidak dilarang oleh pemerintah, seperti praktik yang sedang marak di masyarakat saat ini. Hal tersebut karena adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang masih memperbolehkan perdagangan barang bekas, dengan catatan penjual wajib menyebutkan barang yang dijual tersebut adalah barang bekas, atau bukan baru. Pasal 8 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Saat ini, Kementerian Perdagangan tengah berupaya untuk mengintensifkan sosialisasi dan himbauan kepada masyarakat untuk tidak membeli pakaian bekas. Hal ini dilakukan setelah Kementerian Perdagangan menemukan ratusan ribu koloni mikroba dan puluhan ribu koloni jamur berbahaya dalam pakaian bekas impor yang diperjualbelikan di masyarakat. Namun demikian, masuknya pakaian bekas ke Indonesia sulit dideteksi karena melalui pelabuhan-pelabuhan “tikus”. Perlu dilakukan tindakan yang lebih tegas dan represif untuk menindak maraknya peredaran produk ilegal di masyarakat. Untuk itu, Kemendag bersama Polri, Ditjen Bea Cukai, dan instansi teknis terkait yang bergabung dalam Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar (TPBB) terus berusaha mengintensifkan pelaksanaan pengawasannya (Detik.com, 2015).
90
Peluang dan Tantangan Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia
Untuk melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pengendalian impor dan pengamanan pasar dalam negeri melalui kebijakan trade remedies (safeguard dan anti-dumping) maupun instrumen perdagangan lainnya. Namun, pemerintah perlu berhati-hati agar pertimbangan aspek kepentingan nasional yang lebih luas lebih diutamakan sehingga kinerja industri tekstil secara keseluruhan bisa berjalan maksimal. Perlu ditekankan bahwa semangat melindungi produsen dalam negeri tidak dengan menghambat impor bahan baku dan bahan penolong sektor hulu yang justru akibatnya berdampak negatif terhadap daya saing sektor hilir industri tekstil itu sendiri. 5.6 Penutup Indonesia seharusnya memiliki daya saing yang kuat kerena memiliki sumber daya dan fundamental yang cukup memadai serta pasar yang sangat besar di dalam negeri. Indonesia cukup baik baik dalam hal inovasi, situasi makroekonomi, dan peningkatan kualitas infrastruktur yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Namun demikian, ada beberapa hal yang menghambat daya saing Indonesia seperti lemahnya pengelolaan merek, efisiensi dan kapasitas produksi, produktivitas tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja terdidik, adaptasi terhadap penggunaan teknologi, dan biaya energi yang masih relatif mahal sehingga pakaian jadi Indonesia sulit bersaing dengan produk-produk pakaian jadi dari negara lain. Oleh karena itu, industri pakaian jadi membutuhkan perhatian yang lebih serius yang tidak hanya pada tingkatan kebijakan tetapi juga pada tingkatan teknis di lapangan dimana pelaku usaha perlu bimbingan serta jaminan terhadap kelangsungan usaha mereka di masa mendatang. Tantangan yang lebih besar akan segera menanti dalam waktu dekat bagi industri pakaian jadi Indonesia. Indonesia perlu menyiapkan upaya terbaik untuk memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) pada 2015. Berdasarkan Readiness of Indonesian Companies for ASEAN Economic, terungkap fakta bahwa pelaku industri pakaian jadi skala besar di Indonesia lebih sadar akan potensi manfaat dan kerugian dari AEC dan sudah mulai melakukan langkah-langkah persiapan. Kontribusi kedua adalah pemerintah Indonesia. Namun demikian, dalam penelitian yang sama, menunjukkan bahwa masih ada kurangnya kesadaran terkait dengan AEC di banyak perusahaan kecil di Indonesia. Hal ini memerlukan perhatian besar dari pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan AEC blueprint di Indonesia. Secara khusus, sebagian besar perusahaan yang disurvei mengungkapkan perlunya pemerintah untuk mengevaluasi kemungkinan situasi dan skenario berikut implementasi AEC dan menyebarkan ini ke perusahaan untuk membantu mereka mempersiapkan diri untuk era mendatang (Mahendrawati dkk., 2014).
91
Arie Mardiansyah
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia (BI). (2009). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK) Industri Pakaian Jadi Muslim. Jakarta: Bank Indonesia. Desember 2009. Bennie, F; I. Gazibara and V. Murray. (2010). Fashion Futures. Dalam Forum for the Future February 2010. Diakses tanggal 3 Mei 2014 dari www.forumforthefuture.org/ projects/fashion-futures. Crinis, V. (2012) “Global Commodity Chains in Crisis: The Garment Industri in Malaysia, the before, the now and the hereafter”, Journal of Institutions and Economies, 4(3). Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2014). Profil Basis Industri Manufaktur. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. Gereffi, G. and O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for Upgrading by Developing Countries? United Nations Industrial Development, p. 36, 2003. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=413820. Gereffi, G. and S. Frederick. (2010). The Global Apparel Value Chain, Trade and the Crisis: Challenges and Opportunities for Developing Countries. Policy Research Working Paper WPS5281, the World Bank Development Research Group Trade and Integration, April 2010. Gotexshow. (2015). Market: Overview of the Textile and Clothing Sector. Diunduh 10 Februari 2015, dari GOTEX SHOW: http://www.gotexshow.com.br/eng/mercado Kementerian Perdagangan. (2015a, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor) Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral. Thee, K.W. (2009) “The Development of Labour-Intensive Garment Manufacturing in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 39(4): 562. Trade Research and Development Agency (TREDA). (2008). Indonesian Kid’s Wear: Fashion for the Young. Ministry of Trade of the Republic of Indonesia. UN COMTRADE. (2015). Data Perdagangan Pakaian Jadi. Diunduh tanggal 10 Februari 2015 dari http://www.wits.worldbank.org. United States Agency for International Development (USAID). (2008). End-Market Study for Indonesian Apparel Producers. USAID, January 2008. Vickers, A. (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industri. Institutions and Economies, Vol. 4, No. 3, October 2012, pp. 41-60. World Trade Organization (WTO). (2015). Textile Monitoring Body: The Agreement on Textiles and Clothing. Diakses tanggal 1 Mei 2015 dari https://www.wto.org/english/tratop_e/ texti_e/texintro_e.htm. Wu, C. (2007). Studies on the Indonesian textile and garment industri. Labour and Management in Development Journal, Volume 7, Number 5.
92
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
BAB VI MEMBANGKITKAN KEMBALI INDUSTRI PAKAIAN JADI INDONESIA Zamroni Salim Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas mengenai pakaian jadi dari berbagai aspek; mulai dari aspek produksi, konsumsi, perdagangan dalam negeri dan luar negeri, juga prospek perdagangan di masa yang akan datang. Di tengah masih lesunya industri pakaian jadi, dari sisi ekspor, produk ini masih menjadi salah satu produk utama ekspor nonmigas Indonesia (Kementerian Perdagangan, 2015a). Daerah produsen utama pakaian jadi adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali dan Sumatera (TREDA, 2008; BI, 2009). Distribusi terbesar (sekitar 57%) pakaian jadi berada di Jawa Barat. Namun demikian, sentra-sentra tersebut juga merupakan salah satu target utama untuk pakaian jadi yang berasal dari impor. Dalam periode lima tahun terakhir 2009 -2013, seperti diuraikan dalam bab III, konsumsi pakaian jadi Indonesia oleh konsumen dunia juga tumbuh positif sebesar 6,99%. Amerika Serikat masih menjadi pasar utama produk pakaian jadi Indonesia dengan share lebih dari 50% untuk tahun 2013. Pada periode 1986-1997 pakaian jadi merupakan komoditi primadona ekspor Indonesia, namun pada periode setelah itu, pakaian jadi bukan menjadi komoditi unggulan ekspor. Industri pakaian jadi mulai menunjukkan perannya dalam lima tahun terakhir (2009-2013) dimana kapasitas terpasangnya terus tumbuh. Peningkatan tertinggi terjadi tahun 2011 yang tumbuh sebesar 6,67% dengan produksi mencapai 875,4 ribu ton. Seperti diuraikan dalam Bab II, kenaikan tersebut karena adanya tambahan investasi yang berasal dari realokasi beberapa perusahaan dari beberapa negara dan menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi mereka. Meningkatnya kapasitas terpasang belum diikuti oleh tingginya utilisasi produksi, dimana pada tahun 2013 hanya sebesar 77% (Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, 2014). Belum maksimalnya kapasitas terpasang industri pakaian jadi dikarenakan masih adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh industri ini seperti masalah kenaikan biaya produksi, umur mesin yang sudah tua dan rendahnya produktivitas. Pasca berlakunya Multi-Fibre Arrangement (MFA), Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India mendominasi pangsa produksi dunia dengan share masing-masing sebesar 47,2% dan 7,1% di tahun 2012. Posisi Indonesia dari sisi produksi hanya berada di urutan ke-13 negara produsen pakaian jadi dengan pangsa sebesar 1,1% dari total produksi dunia. Dari sisi ekspor, produk pakaian jadi yang berasal dari
93
Zamroni Salim
RRT mendominasi pangsa ekspor dunia sebesar 43,7% dan India sebesar 4% dan Indonesia menyumbang sebesar 2% (Gotexshow, 2015; UN COMTRADE, 2015). 6.1 Industri Pakaian Jadi di Persimpangan Jalan Industri pakaian jadi termasuk ke dalam labour-intensive industry, yang berperan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Industri pakaian jadi yang pernah berjaya merupakan elemen penting dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, kini seolah industri tersebut terabaikan. Industri pakaian jadi berada di persimpangan jalan (Vickers, 2012). Pasca MFA 1995 (WTO, 2015), beberapa krisis tahun 1997 dan juga tahun 2008 memberikan tekanan tersendiri bagi industri pakaian jadi khususnya dan garment pada umumnya. Indonesia merupakan salah satu produsen tekstil dan produk tekstil, termasuk pakaian jadi di ASEAN yang memiliki struktur industri yang lengkap mulai dari industri pemintalan benang sampai industri yang memproduksi pakaian jadi dan aksesoris lainnya (Wu, 2007). Namun demikian, industri pakaian jadi di Indonesia yang awalnya tumbuh dengan pesat terutama periode 1970–1995 sampai berakhirnya MFA yang menghapuskan sistem kuota yang selama ini memberikan manfaat positif bagi industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia. Berakhirnya MFA dan juga resesi ekonomi mempengaruhi penurunan permintaan dunia terhadap produk pakaian jadi sehingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja yang besar dalam industri pakaian jadi dan industri terkait lainnya (dalam value chain) (Gereffi dan Frederick, 2010). Sebelumnya dengan MFA, produk pakaian jadi Indonesia memperoleh fasilitas atau perlakuan khusus untuk masuk pasar negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan lainnya. Perubahan kebijakan global ini tentu berdampak pada keberlangsungan bisnis produsen dan pedagang pakaian jadi di Indonesia, termasuk di dalamnya masalah relokasi perusahaan/pabrik tekstil, munculnya pengangguran dari industri tekstil dan pakaian jadi dan dampak sosial lainnya (Wu, 2007). Setelah tahun 2005 (dengan masa transisi saat berakhirnya MFA dan berlakunya kesepakatan dalam WTO terkait dengan Agreement on Textiles and Clothing – (1995-2004)), praktis produsen pakaian jadi Indonesia harus bersaing penuh dengan produsen dari negara lainnya, termasuk negara produsen utama lainnya seperti India dan RRT, juga negara yang bisa dikatakan pesaing baru dalam industri pakaian jadi, seperti Vietnam. RRT adalah pemain dominan dalam tingkat global (Gereffi dan Frederick, 2010). Dengan berakhirnya era MFA maka perusahaan-perusahaan yang bisa beroperasi secara efisienlah yang bisa memenangkan persaingan. Beberapa hal yang terkait dengan inefisiensi perusahaan dalam industri ini adalah masalah persengketaan dengan buruh, meningkatnya upah dan biaya energi, juga masalah usia mesin produksi yang semakin tua (Wu, 2007).
94
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
Industri ini berada di persimpangan jalan terkait dengan minimnya investasi yang dilakukan untuk peremajaan mesin dan peralatan untuk mengatasi penurunan produktivitas. Keengganan investor untuk melakukan investasi yang besar karena adanya anggapan bahwa industri pakaian jadi ini lebih didasarkan pada upah tenaga kerja yang murah. Di samping itu, keengganan untuk investasi juga adanya kepercayaan di kalangan pengusaha bahwa industri pakaian jadi merupakan industri yang sudah menurun baik pertumbuhannya maupun produksinya, atau dikenal dengan istilah ‘sunset industry’ (Thee, 2009). Posisi “sunset industry” ini juga terefleksikan dalam lingkup ASEAN, di mana Indonesia lebih dilihat sebagai penyedia tekstil (bahan pakaian), bukan produsen pakaian jadi (Crinis, 2012 seperti dikutip oleh Vickers, 2012). 6.2 Global Value Chain Industri Pakaian Jadi Sebagaimana dijelaskan dalam Bab II, dalam era globalisasi pasca berakhirnya era MFA, ada perubahan orientasi dalam Global Value Chain (GVC) industri pakaian jadi. Pakaian jadi tidak hanya diproduksi dalam suatu jalur integrasi vertikal di suatu negara tertentu, tetapi juga berkembang dalam proses produksi secara terpisah di beberapa negara. Konsep dalam GVC, pakaian jadi yang lebih didominasi oleh pasar (pembeli) inilah yang menjadi pola global dan banyak diikuti oleh negara-negara produsen pakaian di dunia. Pembeli global menentukan apa yang akan diproduksi, dimana, oleh siapa, berapa harganya (Gereffi & Memedovic, 2003). Sejak diberhentikannya fasilitas MFA, kompetisi semakin terbuka bagi semua produsen di dunia. Dengan dihapuskannya fasilitas sistem kuota ini, ekspor RRT ke Amerika Serikat meningkat sekitar 40%, atau produk pakaian jadi RRT di pasar Amerika Serikat menyumbang sekitar 28% dari total impor pakaian jadi Amerika Serikat di tahun 2008 (USAID, 2008). Dalam kondisi seperti ini rasionalisasi GVC harus dilakukan; dimana retailer besar, pemilik dan pemasar brand melakukan strategi dengan melakukan usaha dengan supplier yang besar (dari sisi ukuran/size, namun dalam jumlah yang lebih sedikit). Di samping itu, ada beberapa perusahaan besar yang menguasai pasar pakaian jadi global, seperti retailer terbesar (Walmart), pedagang (Li & Fung), brand marketers (Nike), dan brand manufacturers (VF Corporation) yang berusaha meningkatkan pangsa pasarnya dengan melakukan merger, akuisisi dan pailit dalam jaringan industri tekstil dan pakaian jadi. Jalur distribusi dan pemasaran industri pakaian jadi terdiri dari berbagai tipe outlet/retailer, termasuk melalui internet. Tipe outlet/retailer yang umum diantaranya adalah department stores, direct-to-consumer retailers (dengan menggunakan katalog dan internet), serta retailer independent (USAID, 2008). Industri pakaian jadi merupakan industri dengan rantai nilai (value chain) yang ditentukan oleh pembeli
95
Zamroni Salim
(Buyer-Driven Apparel Value Chain). Hal ini ditandai dengan adanya kekuatan yang tidak simetris antara produsen dan pembeli global. Aktivitas terpenting dalam rantai nilai industri pakaian jadi tidak ditentukan oleh aktifitas produksi semata; tetapi lebih dari itu lebih ditentukan oleh desain, branding dan juga pemasaran dari produk pakaian jadi. Aktivitas bisnis ini dikontrol oleh perusahaan terkemuka yang merupakan perusahaan retailer global dan pemilik brand (global retailers and brand owners) dalam pakaian jadi (Gereffi dan Frederick, 2010). Dalam banyak kasus, perusahaan yang menguasai pasar cenderung melakukan outsourcing untuk proses produksinya (manufacturing process) kepada jaringan supplier global. Outsourcing proses produksi di negara yang merupakan supplier pakaian jadi (TREDA, 2008). Dalam kondisi seperti ini tingkat persaingan akan semakin tinggi, tidak hanya antara produsen dan pelaku bisnis dalam industri pakaian jadi, tetapi juga negara, khususnya negara berkembang. Berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, bersaing dalam memperebutkan investasi asing dan melakukan kontrak kerjasama dengan pemilik brand global; sehingga menyebabkan banyak pemasok pakaian jadi yang kurang berperan dalam value chain. Sebagai konsekuensinya adalah pembagian/distribusi nilai tambah yang cenderung dikuasai oleh perusahaan yang menguasai pasar (leading) (Gereffi dan Frederick, 2010). 6.3 Tantangan yang Dihadapi Dalam era perdagangan bebas Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik dari sisi produksi yang menyangkut produktivitas dan kualitas, tetapi juga dari sisi pemasaran baik itu di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk pemasaran di luar negeri, perusahaan yang melakukan ekspor jumlahnya terbatas dan terkonsentrasi pada perusahaan besar. Sementara itu, besarnya pasar dalam negeri yang terus tumbuh merupakan peluang bagi industri pakaian jadi dalam negeri, namun banyak jumlah produsen pakaian jadi berskala kecil dan menengah harus bersiap diri menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan produk sejenis dari luar negeri. Selama ini, pasar dalam negeri cukup menjanjikan sebagai salah satu penyerap hasil produksi pakaian jadi di Indonesia, di tengah masih melesunya pasar dunia. Industri pakaian di Indonesia didukung oleh pasar yang kuat di dalam negeri (Vickers, 2012). Konsumsi domestik pakaian jadi di dalam negeri juga tumbuh sekitar 6,98% per tahun untuk kurun waktu 2009-2014. Tingginya pertumbuhan konsumsi di dalam negeri menarik minat produsen domesik juga produsen luar (melalui jalur impor) untuk masuk ke pasar domestik. Akibat dari tingginya permintaan ini, permintaan produk impor dengan harga murah juga meningkat termasuk produk impor pakaian ilegal. Kebijakan pelarangan pakaian bekas sudah diberlakukan sejak lama (1982) namun, penyelundupan dan impor pakaian bekas terus terjadi. Konsumen dalam
96
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
negeri dituntut untuk lebih berhati-hati dalam membeli produk pakaian jadi, dengan kualitas yang baik dan harga yang bersaing. Permasalahan domestik lain dalam industri pakaian jadi seperti diuraikan dalam Bab III adalah masih lemahnya daya saing Industri pakaian jadi nasional, yang disebabkan oleh, diantaranya, masalah tingginya biaya produksi dan upah buruh yang terus meningkat. Tingginya impor produk pakaian jadi dari RRT juga turut mempengaruhi penjualan produk tekstil pakaian jadi di pasar domestik. Seperti diuraikan dalam Bab V, dalam konteks persaingan regional dan global, selain kehadiran RRT dan India yang sangat kompetitif, Vietnam juga menjadi kompetitor yang patut diperhitungkan oleh produsen pakaian jadi Indonesia. Dari sisi persaingan global, kehadiran RRT dan India sebagai pemain besar dalam industri pakaian jadi di dunia akan mempengaruhi arah dan perkembangan industri ini, tidak hanya di masa sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang (Bennie, Gazibara dan Murray, 2010). Kehadiran negara baru sebagai kompetitor (seperti Vietnam) tidak terlepas dari partisipasi suatu negara dalam Global Value Chain (GVC) untuk produksi tekstil dan pakaian jadi terutama untuk sektor tekstil. Industri pakaian jadi di masa depan, tidak hanya di Indonesia, akan menghadapi berbagai tantangan global. Usaha/industri yang terkait meliputi pemasok bahan baku, designers, produsen pakaian jadi, perusahaan dengan berbagai merek dan outlet retailer-nya. Berbagai tantangan global tersebut diantaranya adalah terbatasnya dan berkurangnya sumber daya alam, perubahan iklim, perubahan demografi suatu negara, kehadiran teknologi baru dan perubahan perekonomian dunia yang bisa mempengaruhi industri dan perdagangan pakaian jadi. 6.4 Upaya Membangkitkan Industri Pakaian Jadi Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kehadiran industri pakaian jadi melalui GVC tidak bisa dihindari. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari besarnya industri pakaian jadi di RRT, India dan tumbuh pesatnya industri ini di Vietnam dan juga negara lainnya. Keterlibatan negara-negara tersebut dalam GVC merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produsi sekaligus meningkatkan daya saing industri pakaian jadi di pasar global. Keberanian untuk meningkatkan keterlibatan dalam GVC dengan mengundang investor besar yang selama ini leading dalam industri pakaian dan upaya menjalin kontrak kerjasa sama dengan pemilik brand global. Namun demikian, perlu digarisbawahi, bahwa kehadiran mereka dalam industri pakaian jadi harus tidak mematikan usaha yang berskala kecil dan menengah yang selama ini telah ada. Kehadiran GVC seharusnya bisa menjalin kerjasama yang kuat dengan perusahaan pakaian jadi lokal, sebagai mitra mereka mulai dari desain, branding dan juga pemasaran dari produk pakaian jadi. Dengan demikian, peran perusahaan lokal bisa lebih aktif dalam GVC.
97
Zamroni Salim
Disamping itu perlu diupayakan bahwa produk GVC lebih diarahkan pada produksi yang berorientasi ekspor. Sudah saatnya pemerintah dan dunia usaha tidak menempatkan lagi industri pakaian jadi sebagai sunset industry, tetapi sebagai industri yang bisa tumbuh dengan dukungan teknologi, inovasi dan sumber daya manusia Indonesia. Upaya untuk memberikan dukungan pada industri pakaian jadi nasional dalam memasarkan produknya di dalam negeri, sekaligus untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan standar untuk pakaian jadi. Seperti halnya standar berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor. 07/M-IND/PER/2/2014, yang berlaku efektif sejak 17 Mei 2014. Dalam peraturan tersebut diantaranya menjelaskan bahwa untuk pakaian jadi (khusus untuk bayi) yang diproduksi atau diimpor, didistribusikan dan dipasarkan di Indonesia harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI 7617:2013). Pemerintah juga sudah berupaya membentengi beredarnya produk pakaian yang tidak layak pakai dan pakaian bekas salah satunya dengan dikeluarkannya beberapa SNI yang terkait dengan baju (seperti diuraikan dalam Bab III). Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 juga sudah melarang impor pakaian bekas, kecuali atas izin Menteri Perdagangan. Tanpa seijin Menteri Perdagangan, maka impor bisa dikatakan illegal (seperti diuraikan dalam bab IV). Berbagai peraturan dan kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai upaya untuk melindungi konsumen dalam negeri, sekaligus memberikan perlindungan pada industri pakaian jadi di dalam negeri. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah upaya persuasif baik bagi pelaku usaha (melalui kebijakan non-sunset industry) maupun konsumen Indonesia untuk mencintai pakaian jadi produksi dalam negeri. Dalam rangka meningkatkan peran industri pakaian jadi dan upaya mempromosikan pakain jadi Indonesia di tingkat nasional dan internasional, pemerintah telah mendorong pemakaian baju batik, melalui instruksi berbagai lembaga pemerintah, dan menjadikan batik sebagai simbol nasionalisme Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia (BI). (2009). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK) Industri Pakaian Jadi Muslim. Jakarta: Bank Indonesia. Desember 2009. Bennie, F; I. Gazibara and V. Murray. (2010). Fashion Futures. Dalam Forum for the Future February 2010. Diakses tanggal 3 Mei 2014 dari www.forumforthefuture.org/ projects/fashion-futures. Crinis, V. (2012) “Global Commodity Chains in Crisis: The Garment Industri in Malaysia, the before, the now and the hereafter”, Journal of Institutions and Economies, 4(3).
98
Membangkitkan Kembali Industri Pakaian Jadi Indonesia
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. (2014). Profil Basis Industri Manufaktur. Jakarta: Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian. Gereffi, G. and O. Memedovic. (2003). The Global Apparel Value Chain: What Prospects for Upgrading by Developing Countries? United Nations Industrial Development, p. 36, 2003. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=413820. Gereffi, G. and S. Frederick. (2010). The Global Apparel Value Chain, Trade and the Crisis: Challenges and Opportunities for Developing Countries. Policy Research Working Paper WPS5281, the World Bank Development Research Group Trade and Integration, April 2010. Gotexshow. (2015). Market: Overview of the Textile and Clothing Sector. Diunduh 10 Februari 2015, dari GOTEX SHOW: http://www.gotexshow.com.br/eng/mercado Kementerian Perdagangan. (2015a, Februari 17). Perkembangan Ekspor Nonmigas (Sektor) Periode 2010-2014. Diunduh 18 Februari 2015, dari Kementerian Perdagangan: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-ofnon-oil-and-gas-export-sectoral. Thee, K.W. (2009) “The Development of Labour-Intensive Garment Manufacturing in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 39(4): 562. Trade Research and Development Agency (TREDA). (2008). Indonesian Kid’s Wear: Fashion for the Young. Ministry of Trade of the Republic of Indonesia. UN COMTRADE. (2015). Data Perdagangan Pakaian Jadi. Diunduh tanggal 10 Februari 2015 dari http://www.wits.worldbank.org. United States Agency for International Development (USAID). (2008). End-Market Study for Indonesian Apparel Producers. USAID, January 2008. Vickers, A. (2012). Clothing Production in Indonesia: A Divided Industri. Institutions and Economies, Vol. 4, No. 3, October 2012, pp. 41-60. World Trade Organization (WTO). (2015). Textile Monitoring Body: The Agreement on Textiles and Clothing. Diakses tanggal 1 Mei 2015 dari https://www.wto.org/english/tratop_e/ texti_e/texintro_e.htm. Wu, C. (2007). Studies on the Indonesian textile and garment industri. Labour and Management in Development Journal, Volume 7, Number 5.
99
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
INDEKS A Agreement Textiles and Clothing (ATC), 23, 57, 70 Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), 13, 18, 45, 74, 79 Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), 19 Asosiasi Pemasok Pakaian jadi dan Assesoris Indonesia (APGAI), 33, 34, 35, 53 Asosiasi Pemasok Pakaian jadi Pertokoan Indonesia (APGPI), 34 Artisanal Products dan Visual Arts, 56 B Brand, v, x, 28, 33, 34, 35, 95, 96, 97 D distribution store, 36 E Escherichia coli, 49
M Makloon, 88 Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), 91 monopolistic competition, 35 multi fiber, 9 Multi Fiber Agreement (MFA), 15, 23, 58, 93, 94, 95 N National Single Window (NSW), 49 O Original Equipment Manufacturing (OEM), 3, 20, 21, 56 Original Brand Name Manufacturing (OBM), 20, 21 Outsource, 63 P Purified Therepthalat Acid (PTA), 19 Q quality assurance, 45, 85 quality control, 45
F factory outlet, 36 Fashion, 28, 29, 45, 53, 73, 74, 80, 83, 92, 99. Freedom of Association Protocol (FOAP), 90
R Retailer, 23, 36, 95, 96, 97 Revealed Comparative Advantage (RCA), 83
G Garment, 11, 25, 53, 59, 65, 92, 94, 99 Global Competitiveness Index, 81 Global Value Chain (GVC), v, vi, 4, 7, 20, 21, 56, 59, 70, 71, 80, 82, 83, 84, 85, 87, 95, 97, 98
S sunset industry, 10, 95, 98 Standar Nasional Indonesia (SNI), vi, x, 46, 47, 48, 51, 52, 85, 98 Staphylococcus aureus, 49 Stakeholders, 48
J joint venture, 60
T Tarif Dasar Listrik (TDL), 18, 19, 79 Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), v, vi, 1, 6, 9, 10, 11, 12, 26, 29, 50, 51, 80, 86 trade remedies, 91
K Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), 86 Koefisien Keragaman (KK), 40 L law enforcement, 50 lead firm, 57, 63, 70
100
W World Economic Forum (WEF), 81, 82 World Trade Organization (WTO), 57, 58, 70, 72, 85, 87, 92, 94, 99
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS Zamroni Salim Zamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1998. Zamroni memperoleh gelar S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University, New Zealand untuk bidang Perdagangan Internasional, tahun 2003; dan Gelar PhD diperoleh dari the Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University, Jepang tahun 2009 dalam bidang International Economic and Development. Area penelitian yang menjadi bidang kajian adalah regionalism, economic integration and development, ASEAN and East Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa jurnal ilmiah seperti: Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS), dan Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP)-Kementerian Perdagangan. Zamroni Salim juga merupakan peneliti senior pada The Habibie Center (THC) sejak 2009. Selain melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga pengajar di Department of International Relations, President University, Cikarang Indonesia. Ernawati Munadi Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai konsultan, dosen dan peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai konsultan sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID, sebagai ahli di bidang Ekonomi Perdagangan. Pada bulan Oktober 2008, dipromosikan sebagai Trade Economist/Senior Team Leader dalam proyek yang sama. Sejak itu penulis bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek yang dibiayai oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia, AusAid, USAID, dan Uni Eropa. Hingga kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya Kusuma. Keahliannya adalah dampak liberalisasi perdagangan pada permintaan ekspor Indonesia hingga model analisis transmisi siklus bisnis dari Indonesia dan Amerika Serikat. Dalam 5 tahun terakhir Ernawati mengembangkan keahlian di bidang perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff measures). Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master di bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada tahun 1997; dan gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas Putra Malaysia pada tahun 2004.
101
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
Umar Fakhrudin Umar Fakhrudin adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2006. Umar memperoleh gelar S1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2005, Postgraduate Diploma in Development Studies dari IDEASJETRO tahun 2011, dan gelar S2 dari Universitas Indonesia untuk bidang Ilmu Ekonomi tahun 2014. Saat ini Umar menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan internasional di bidang non tarif. Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah Daya Saing Perdagangan dan Integrasi Ekonomi. Sefiani Rayadiani Sefiani Rayadiani adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak 20 September 2010, di mana sebelumnya sejak 1 Januari 2009 hingga 19 September 2010 ditugaskan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan. Sefiani memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran (Unpad) pada tahun 2006 dan gelar Master of Science in Applied Economics dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura pada tahun 2013. Saat ini Sefiani menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan luar negeri, khususnya yang berkaitan dengan tarif, hambatan perdagangan nontarif, impor, dan perjanjian perdagangan bebas.
Septika Tri Ardiyanti Septika Tri Ardiyanti adalah statistisi pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2011. Septika memperoleh gelar S1 Jurusan Statistika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun 2010 dan gelar S2 Master of Applied Economics dari Nanyang Technological University, Singapura tahun 2013. Saat ini Septika menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan luar negeri. Avif Haryana Avif Haryana adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Avif memperoleh gelar S1 dari
102
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) Jurusan Manajemen pada tahun 2008 dan gelar S2 dari Institut Teknologi Bandung untuk bidang Teknologi Manajemen Industri tahun 2013. Saat ini Avif menekuni area penelitian bidang logistik, investasi dan fasilitasi usaha. Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah bidang kebijakan perdagangan dalam negeri terutama terkait dengan komoditas bahan kebutuhan pokok. Wibowo Kurniawan Wibowo Kurniawan adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Wibowo memperoleh gelar S1 dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Brawijaya pada tahun 2006 dan gelar S2 dari Universitas yang sama untuk Jurusan Manajemen pada tahun 2011. Saat ini Wibowo menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan Internasional dan ekonomi makro pada perdagangan barang. Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah promosi perdagangan internasional dan hambatan perdagangan internasional.
Arie Mardiansyah Arie Mardiansyah adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Arie memperoleh gelar S1 Jurusan Manajemen dengan Program Studi Manajemen Pemasaran dari Universitas Parahyangan Bandung pada tahun 2006 dan S2 dari School of Business and Management ITB dengan gelar Master of Business Administration tahun 2008. Saat ini, Arie menekuni area penelitian bidang perdagangan internasional khususnya mengenai kebijakan perdagangan multilateral. Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah manajemen dan bisnis.
103
Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi
104