sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXVI, Nomor 2, 2001
lSSN 0216- 1877
INDONESIA MENUJU MANAJEMEN WILAYAH PESISIR TERINTEGRASI Oleh RICKY ROSITASARI 1)
A.BSTRACX
INDONESIA TOWARDS INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT ERA. Since Indonesia were categorized as a widest archipelago and have more than 81.000 kml coast line. For the consequences there are a huge task for 1ndonesia coastal manager, stakeholder and government to develop and implement the integrated activities on planning, managing and monitoring in order to preventing the conflicts potential within land user and to sustain the coastal resources as well as the whole coastal ecosystem. PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai lebih dari 81.000 km, Indonesia membutuhkan pengelola pesisir (Coastal manager) yang handal, berkompeten, kreatif dan inovatif. Konsep pengelolaan pesisir secara terpadu tengah dicanangkan oleh masyarakat kelautan (Sekelompok orang yang berkiprah, merasa bertanggung-jawab. mengelola, dan memiliki kewenangan di wilayah pesisir dan laut). Konsep tersebut merupakan salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED dalam BENGEN
1)
Balitbang Oseanografi, Puslitbang Oseanologi, LIP1
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
2000). Menurut BENGEN (2000) secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) ekologis, ( 2 ) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, (4) hukum dan kelembagan. Dalam dekade terakhir ini telah terjadi berbagai macam kemunduran fungsi (Kerusakan) di wilayah pesisir Indonesia. Kemunduran fungsi tersebut sebagian besar disebabkan oleh berkembangnya pemukiman kumuh tanpa system sanitasi yang layak, berkembangnya berbagai jenis industri, serta pembukaan lahan untuk usaha akuakultur dan pemukiman mewah tanpa melalui studi kelayakan dan studi dampak yang proposional. Berbagai dampak dari kemunduran fungsi tersebut telah terjadi di sebagian besar wilayah pesisir Indonesia. Sebagai contoh adalah aliran pasang (Roh) yang menyebabkan banjir di
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Semarang, Berkurangnya jumlah tangkapan ikan serta berbagai jenis polusi air di Teluk Jakarta, sedimentasi dalam jumlah besar di Delta Mahakam dan sekitarnya yang telah menyebabkan berkurangnya populasi mangrove, hancurnya usaha pertambakan serta pendangkalan yang terus berlangsung di Sungai Mahakam. Usaha konservasi terhadap ekosistem terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya alam yang terdapat di duapertiga pantai perairan Indonesia, kondisinya saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Puslitbang Oseanologi tahun 1997, diperkirakan terumbu karang yang masih baik hanya sekitar 6,2 % dari seluruh terumbu yang ada di Indonesia (EFFENDI 1999). Usaha konservasi terhadap ekosistem terumbu karang menghadapi kendala besar dari peningkatan j u m l a h penduduk beserta aktivitasnya. SUHARSONO (1988) menyebutkan bahwa terumbu karang yang berada dekat kota besar seperti Jakarta, Ujung Pandang, Ambon dan Menado telah rusak akibat menurunnya kualitas perairan Di masa yang akan datang, Indonesia harus mengembangkan kebijaksanaan yang tegas dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi. Apa bila pihak yang berwenang dalam pembuatan kebijaksanaan ini lalai maka akan terjadi penyusutan berbagai jenis sumberdaya pesisir di seluruh pelosok negeri. Saat ini telah berkembang kecenderungan yang menggembirakan yakni telah tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, sehingga berbagai institusi telah menambah kemampuannya dalam bidang ini. lndikasi lain dari telah tumbuhnya kesadaran adalah kesungguhan aparat daerah mulai dari camat, bapedalda, dinas kehutanan serta dinas perikanan dalam menindak-lanjuti berbagai kasus dan konflik di wilayah pesisir masing-masing. Hal lain yang patut kita hargai adalah semangat yang besar dari generasi muda
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
idealis yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat. Walaupun masih banyak kelemahan dan kekurangbijaksanaan (Mungkin disebabkan oleh kurang pengalaman dan wawasan) dari usaha mereka, namun banyak kasus dan konflik sosial masyarakat lokal yang berhasil mereka tampung dan mereka tangani sebatas kemampuan yang ada. DINAMIKA TATA GUNA LAHAN DIINDO NES IA Menurut ONGKOSONGO ( 1 9 9 7 ) aspek utama pemicu perubahan di wilayah pesisir adalah proses anthropogenik dan alamiah. Seperti juga wilayah pesisir di berbagai helahan bumi, Indonesia mengalami konversi lahan pesisir dalam skala besar. Pada akhir tahun 1980. Indonesia melaksanakan pembangunan dalam skala besar yang menuntut perubahan tata guna lahan secara luas termasuk di wilayah pesisir. Pelabuhan, marina, taman rekreasi, tambak ikan dan udang, perumahan, industri, pembangkit lis tri k, pertambangan serta daerah tempat nelayan tradisional berlabuh merupakan contoh perubahan antrophogenik. Tsunami, sedimentasi alamiah dan abrasi merupakan penyebab utama dinamika pesisir yang berlangsung secara alamiah. Berikut beberapa contoh daerah di Indonesia yang tengah menghadapi masalah dalam pengelolaan wilayah pesisirnya.
Propinsi Sumatra Barat Menurut EFFENDI i1999) kondisi terumbu karang di Sumatra Barat sangat memprihatinkan. Setelah terjadi ledakkan Red Tide pada bulan Desember 1997 populasi terumbu karang hidup hanya tinggal 0,1 %. Selain ledakan Red Tide, ketergantungan masyarakat sekitar pesisir terhadap sumber daya lingkungan terumbu karang yang besar, juga merupakan penyebab lain yang cukup berperan atas kemunduran lingkungan terumbu karang dipesisir Sumatra Barat.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Propinsi Lampung Menurut MARSDEN et al. (1999) kegiatan manusia di wilayah pesisir Lampung telah menyebabkan dikonversikannya puluhan ribu hektar hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian. Selain itu telah terjadi pula alih fungsi tanah rawa seluas 51.500 ha menjadi sawah pasang-surut. Penyusutan hutan mangrove seluas 20.000 ha pada tahun 1980 (Dinas Kehutanan dalam MARSDEN et. al., 1999) menjadi seluas 2000 ha, sebagian hilang sewaktu proses pengeringan rawa serta pengembangan tambak udang di Pantai Timur Lampung yang tidak terkontrol (MARSDEN et. al., 1999 ). Saat ini Pemerintah daerah Lampung tengah meghadapi permasalahan abrasi yang cukup berat di pantai Timur Lampung sebagai akibat dari pembukaan lahan tersebut.
Propinsi Banten Banjir besar di muara Sungai Ciujung di awal tahun 2001 merupakan salah satu dampak dari perencanaan pengelolaan wilayah pesisir serta wilayah lahan atas sekitarnya yang
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
kurang terkalkulasi dan terintegrasi. Pembangunan pabrik kertas serta pembukaan hutan untuk bahan baku di kawasan lahan atas Sungai Ciujung, pembukaan hutan mangrove untuk tambak yang kemudian ditinggalkan karena ketidakselarasan peruntukan lahan, kegiatan penambangan emas serta penyedotan sungai untuk kepentingan pembangunan merupakan sejumlah contoh penyebab kemunduran kualitas wilayah pesisir di kawasan ini. Kawasan pesisir l a i n di wilayah Propinsi Banten yang saat ini tengah menghadapi tekanan adalah Tanjung Kait di Kabupaten Tanggerang. Abrasi dalam skala besar di sepanjang pesisir Tanjung Kait berhubungan erat dengan t i d a k adanya keterpaduan dalam perencanaan peruntukkan lahan yang mengakibatkan berbagai konflik dan dampak. Konflik dan dampak ini timbul karena tidak adanya analisa dampak yang s i g n i f i k a n baik dari sudut kelayakan lingkungan maupun sosial-ekonomi-budaya. Hutan mangrove di kawasan ini dibuka untuk pertambakan, yang kemudian sebagian besar
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pertambakan tersebut ditinggalkan karena terdapatnya konflik antara pengusaha dan masyarakat setempat. Lahan pesisir yang terbengkalai inilah yang memiliki potensi besar mengalami abrasi. Penambangan pasir di lepas pantai Tanjung Kait dalam kurun sepuluh tahun lebih, mulai tahun 1980an tanpa analisa dampak yang memadai serta perangkat hukum yang tegas dan objektif merupakan faktor pemicu lain dari abrasi di kawasan ini.
sebagai lahan asuhnya, seperti udang, dan beberapa jenis ikan bernilai ekonomis. Pada awal tahun 1980 an, Laguna Sagara Anakan merupakan surga bagi para nelayan setempat karena mereka dapat menggantungkan hidup hanya dengan menangkap ikan. Namun saat ini laguna ini telah mengalami penyempitan dan menjadi dangkal akibat dari endapan Lumpur dari sungai Citanduy, Cimeneng, Cikoneng, Cikonde dan sungai kecil lainnya. Perlahanlahan kawasan ini berubah menjadi daratan. dan penduduk nelayan telah beralih menjadi petani.
Propinsi Jawa Tengah Banjir Pasang yang setiap saat menggenangi sebagian besar Kota Semarang bagian bawah merupakan akibat dari kurang tanggapnya pengelola wilayah pesisir dalam mengantisipasi karakteristik lokal wilayahnya. Selain masalah limpasan air pasang Semarang pun menghadapi masalah kerusakan pantai yang telah terjadi selama 20 tahun terakhir akibat pembangunan industri yang tidak terkendali. Areal hutan mangrove dan tambak di pesisir Semarang, mulai dari kendal hingga Demak hanya tinggal 10 % yang tersisa. Terkikisnya lahan pesisir ini menyebabkan persediaan ikan menipis karena berkurangnya populasi benih yang tersedia (ANONIMOUS 2000). Sagara Anakan yang merupakan salah satu kawasan mangrove terluas di Pulau Jawa, saat ini tengah menghadapi masalah sedimentasi dan kelangkaan air tawar. Sedimentasi dalam skala besar terus berlangsung mulai dari akhir tahun 80an di kawasan lagunanya. Laguna Sagara Anakan merupakan aset yang sangat berharga baik secara ekologi maupun secara ekonomis. Tingginya nilai ekologi dan ekonomi kawasan perairan ini disebabkan oleh keunikan ekosistem laguna yang merupakan percampuran antara perairan payau dan teluk tertutup. Pesut (Lumba-lumba air tawar), berbagai jenis mangrove serta berbagai jenis fauna yang memilih kawasan hutan mangrove
Propinsi Bali Abrasi yang terjadi di pantai Kuta pada bulan Februari 2000 telah mengikis 8 meter lahan pantai sepanjang empat kilometer. Keadaan ini merupakan suatu kenyataan yang sangat tragis, sebab Bali merupakan lokasi pariwisata unggulan di Indonesia dan saat ini pariwisata merupakan salah satu devisa non-migas yang sangat diandalkan. Sebenarnya kecenderungan terjadi abrasi di pantai Sanur telah banyak diketahui penduduk setempat, namun langkah penanggulangannya tentu harus dilaksanakan sesuai dengan kaidah yang ada, tidak cukup dengan usaha masyarakat yang ala kadarnya. Seharusnya pemda setempat serta Bapedalda dari divisi terkait telah melakukan antisipasi serta pencegahan, karena hal i t u merupakan tugasnya. Biasanya yang menjadi 'kambing hitam' dari ketidaklancaran birokrasi ini adalah pendanaan, walaupun memang demikian keadaanya, memelihara aset seperti Pantai Kuta dapatlah dikatagorikan sebagai hal prioritas. Terkikisnya pantai sesunguhnya merupakan fenomena yang telah berlangsung puluhan tahun (mulai sejak tahun 70 an) di seluruh kawasan pantai di Propinsi Bali, namun perhatian pihak-pihak terkait dalam skala nasional dan lokal pun belum cukup. Karakter
29
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dinamika perairan di sepanjang pesisir Bali yang relatif besar telah banyak diketahui, sehingga terancamnya keberadaan Tanah lot sebagai fenomena monumental telah menjadi keprihatinan nasional. Namun langkah antisipatif yang berarti dari stakeholder dalam berbagai skala belum ada. Sebagai akibatnya saat ini hampir semua pantai di Propinsi ini telah mengalami pengikisan hingga beberapa meter. Perluasan Bandara Ngurah Rai, reklamasi yang dilakukan di pantai Padanggalak, Pulau Serangan dan pantai Amed (Ujung Timur Karang Asem) serta pembangunan pelindung pantai oleh hotel-hotel untuk melindungi kawasan pantainya diduga banyak pihak merupakan penyebab meningkatnya kasus abrasi dan erosi di pesisir Bali.
Delta Mahakam dan sekitarnya telah terjadi penyusutan hutan mangrove sebanyak 9.532 ha, dan penambahan luas tambak sebanyak 641 ha (ANONIMOUS, 2000) Catatan lain yang diperoleh dari Kabupaten Kutai dan Pasir, Kalimantan Timur adalah terjadinya penurunan luas areal hutan mangrove sebanyak 28.109,07 ha, dan bertambahnya areal tambak 642,96 ha (ANONIMOUS, 2000) Propinsi Papua (Irian Jaya) Sekitar 20.000 hektar terumbu karang Taman Nasional Teluk Cendrawasih dengan luas areal 80.000 hektar rusak parah. Kerusakan ini pada umumnya disebabkan oleh kegiatan pemboman ikan, jangkar, penggunaan potas dan beberapa sebab lain. Intervensi nelayan pendatang di Taman laut ini semakin hari semakin meluas di kawasan ini.
Propinsi Nusa Tenggara Timur Kondisi terumbu karang di Taman Nasional Pulau Komodo, saat ini sangat memprihatinkan. Terdapat 2300 penduduk yang tinggal di dalam kawasan taman nasional ini serta tercatat 15.000 orang bermata pencaharian sebagai nelayan tangkap yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan ini. Berbagai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan banyak digunakan oleh nelayan setempat seperti kompresor hookah yang menggunakan dinamit atau sianida (PET & DJOHANI, 1999).
KENDALA UTAMA Kendala utama dari penataan wilayah pesisir yang terencana di Indonesia adalah niat baik (Goodwill) dari para steakholder yang dalam hal ini adalah pemerintah, para investor yang berasal dari berbagai skala dan aspek usaha serta berbagai lapisan masyarakat. Niat baik ini sangat sulit untuk dibangun karena berhubungan erat dengan kesadaran, tanggung jawab serta berbagai tingkat kepentingan. Teknik perencanaan, analisa dampak serta mekanisme pemonitoran tidak dapat dijadikan faktor kendala untuk saat ini, karena telah banyak pakar dari berbagai institusi yang berkompeten dan mampu melaksanakan tugas tersebut. Berbagai jenis institusi yang diatas kertas memiliki tugas dan fungsi saling melengkapi, saat ini telah berkembang cukup baik sehingga memiliki kompetensi dalam menangani dan mengembangkan bidangnya masing-masing. Sebagai contoh institusiinstitusi tersebut adalah LIPI, Bakosurtanal, Lapan, berbagai universitas, Bapedal serta dinas-dinas di Pemda terkait.
Propinsi Kalimantan Timur Perusahaan Total Indonesia telah mengadakan monitoring mulai tahun 1986 hingga saat ini. Pembukaan lahan ini dimulai tahun 1992 untuk digunakan sebagai tambak hingga mencapai 4000 hektar. Lima tahun kemudian sudah mencapai 30.000 hektar dan akhir tahun 1999 sudah mencapai 80.000 hektar. Berdasarkan data landsat-TM periode tahun 1994 hingga 1998 di wilayah pesisir
30
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
31
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Arah kebijaksanaan yang tidak tegas dan tidak konsisten, menciptakan peluangpeluang yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan. Kondisi yang tidak kondusif dalam pengelolaan wilayah pesisir ini, selain berdampak terhadap kondisi lingkungan pesisir secara langsung, berpengaruh pula terhadap perkembangan inisiatif dan inovasi para pakar yang berkecimpung dalam bidang kelautan. Dengan demikian kondisi yang ada saat ini, berbagai institusi tersebut tidak dapat berfungsi secara optimal dalam mengantisipasi, mengatasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di kawasan pesisir Indonesia secara umum baik dalam skala regional maupun lokal. Kecenderungan yang ada saat ini pembangunan wilayah pesisir sangat berorientasi komersial tanpa mempertimbangkan dampak terhadap penduduk lokal, kelayakan ekologis maupun konservasi. Dalam kurun waktu pasca orde baru sebenarnya telah tumbuh iklim yang lebih menyegarkan sehubungan dengan pembangunan di wilayah pesisir dengan dibentuknya departemen kelautan, walaupun masih terkesan penuh kegamangan. Sangat disayangkan kiprah pembangunan ekonomi berbasis masyarakat di lingkungan pesisir telah lebih dahulu dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sebagian besar didanai oleh donor non-pemerintah. Dengan kondisi ini terdapat kesan pemerintah dan institusi-institusi pemerintah yang berwenang dalam pengembangan wilayah pesisir sama sekali tidak berfungsi dan LSM yang merupakan lembaga non pemerintah lebih vokal dan nyata kiprahnya. Namun demikian LSM yang benar-benar telah menjalankan fungsi sesuai dengan koridornya belumlah banyak, karena masih terdapat banyak kendala seperti kemampuan akademis, kemampuan managerial dan kemampuan dalam studi kelayakan program secara sosio-kultural.
Perangkat pemerintahan lain yang merupakan pendukung penting dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi adalah perangkat hukum yang berwibawa. Berbagai ketetapan yang dikeluarkan baik oleh tingkat kepala negara maupun menteri (pemerintah) belum merupakan prasyarat yang mencukupi tanpa disertai oleh penegakan hukum oleh instansi terkait. Kelemahan lain dari mekanisme hukum yang sudah ada saat ini adalah kegamangan atau kesetengah-hatian baik dalam penyusunan ketetapan itu sendiri maupun dalam pelaksanaannya. Seandainya memang dibutuhkan suatu studi yang mendalam dalam pelaksanaan ketetapan tersebut karena kompleksnya masalah yang ada, maka kelompok pakar analisa dampak lingkungan dapat memberikan bantuan sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian bila niat baik itu sudah mendasari para pengelola wilayah pesisir baik dari skala kecil, menengah maupun besar serta perangkat hukum yang memadai, tidak akan terjadi lagi kerusakan lingkungan akibat kebijaksanaan yang keliru. PERLINDUNGAN TERHADAP LAHAN PESISIR SEBAGAI LANGKAH YANG SANGAT MENDESAK Langkah perlindungan terhadap lahan pesisir sebagai upaya mencegah semakin meluasnya kerusakkan akibat pengelolaan yang kurang tepat merupakan agenda yang sudah tidak dapat ditunda lagi. Perlindungan yang dimaksud bukan dalam pengertian dikeluarkannya larangan namun lebih kearah perencanaan yang matang dalam penataan ruang, Secara psikologis masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan baik secara intelektual, ekonomi maupun budaya membutuhkan sosialisasi mengenai fungsi, manfaat, tingkat kerentanan serta cara pemanfaatan yang bijaksana sumberdaya serta
32
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
lahan pesisir i t u sendiri. Setelah proses sosialisasi yang dapat dilakukan melalui sekolah, madrasah, pengajian, serta berbagai forum masyarakat setempat, pemerintah harus segera menyiapkan petunjuk pelaksanaan atau arahan yang tegas dan konsekuen, lengkap dengan sangsi yang tidak membedakan. Bentuk paket arahan dan sangsi tersebut dapat dikongkritkan sebagai undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Namun demikian paket perundangundangan, PP serta perda tanpa dilengkapi dengan kelembagaan yang kuat, bersih dan konsisten, bukan merupakan solusi yang efektif dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Bila selama ini perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana lebih ditekankan pada azas 'top-down', mungkin sudah saatnya kita memulai azas 'bottom-up’. Dengan azas 'bottom-up' ini diberikan peluang seluas-luasnya kepada masyarakat yang berkepentingan untuk mengajukan masukan terhadap perencanaan serta pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka. Berbagai bentuk mekanisme penghimpunan informasi dari masyarakat yang berkepentingan terhadap pembangunan daerah mereka, dapat dibuat. Sebagai contoh dengan menggunakan wahana LKMD, Kelurahan, LSM atau berbagai jenis wahana lain. Puslitbang Oseanologi LIPI yang merupakan institusi penelitian bidang kelautan yang cukup 'leading' (Dilihat dari pengalaman, kelengkapan pakar, kelengkapan sarana dan prasarana) seharusnya cukup mampu untuk banyak berkiprah dalam kegiatan yang mengarah ke manajemen pesisir, baik dalam bidang manajemen sumber daya hayati maupun non-hayati. Sungguh sangat disayangkan hingga tahun-tahun terakhir prioritas kegiatan belum ke arah manajemen wilayah pesisir, walaupun berbagai kasus
timbul di berbagai pelosok tanah air termasuk di Teluk Jakarta dan sekitarnya. Sesungguhnya kekuatan Puslitbang Oseanologi LIPI dengan data berbagai sumber daya pesisir dalam pengulangan waktu (time series data) tidak dapat disaingi oleh institusi manapun seandainya peningkatan sumber daya manusia serta langkah penajaman prioritas kegiatan lebih terarah. Yang terjadi saat ini adalah tertumpuknya data dalam kurun waktu yang lama dengan pengorganisasian dan pengolahan yang sangat terbatas. sehingga nilai manfaatnya menjadi sangat berkurang. Demikian juga peningkatan sumber daya manusia yang kurang terarah karena kurang pengarahan serta kurang objektif dan kurang transparan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas. Inti permasalahan dari kurangnya akselerasi dalam peningkatan sumber daya manusia adalah karena pemilihan prioritas kegiatan yang sangat lemah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat, dilengkapi dengan perangkat undang-undang dan peraturan yang objektif serta kelembagaan yang kuat dan konsisten dapat dijadikan resep paling sederhana dalam mensukseskan pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Azas penggunaan yang berkelanjutan ini tidak hanya untuk sumber daya hayati, namun termasuk pula sumber daya non-hayati yang berkelanjutan seperti lahan dan air. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Sdri. Suci Lasrini yang telah banyak membantu dalam menyediakan gambar ilustrasi dan kepada Drs. Winardi, M.Sc. serta Sdr. Achmad Effendi yang telah meminjamkan koleksi dokumentasi pesisir Lampung.
33
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sumberdaya wilayah pesisir Lampung": Suatu hasil dan proses. Pros. Seminar Kelautan Regional Sumatra Kedua. Fak. Perikanan-Univ. Bung Hatta, Padang: 15-28.
DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS 2000. Laporan Akhir; Pekerjaan inventarisasi dan pengkajian potensi mangrove menggunakan teknologi inderaja. Kerjasama LIPI dan LAPAN Jakarta: 160 pp.
ONGKOSONGO, O.S.R. 1997. Complexity of environmental problems in Jakarta Bay, Indonesia. Int. Symp. On Nat. Disaster Prediction and Mitigation. Japan.
BENGEN, D. 2000. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir. Makalah Pelatihan Untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. IPB-Bogor.
PET J. S. and R.H., DJOHANI 1999. Commbatting destructive fishing practices in Komodo - National Park: Ban and hookah compressor. Jurnal Pesisir dan Lautan (1): 21 - 35.
EFFENDI, Y. 1999. Manajemen pengelolaan terumbu karang di Kelurahan Sungai Pisang Kotamadya Padang: 34-41.
SUHARSONO. 1998. Condition of coral reef resources in Indonesia. Jurnal Pesisir, & Lautan 1 (2): 44-53.
MARSDEN, B., B. WIRYAWAN dan I.M. DUTTON 1999. Proyek pesisir Lampung, Hasil tahun pertama "Atlas
34
Oseana, Volume XXVI no. 2, 2001