24
III. KERANGKA TEORITIS
Bab ini menjelaskan beberapa teori yang terkait dengan penelitian, yaitu teori produksi, risiko produksi dan preferensi risiko petani. Kerangka pemikiran disajikan dalam Sub Bab III ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas hubungan yang terjadi antar variabel, sedangkan tahapan operasional ditampilkan untuk memaparkan tahapan pemikiran yang penulis lakukan dalam penelitian ini. 3.1.
Teori Produksi Untuk menjelaskan mengenai risiko produksi yang terdapat dalam suatu
proses produksi, perlu dipelajari mengenai dasar teori produksi. Input-input yang digunakan dalam proses produksi bukan hanya berengaruh pada produktivitas yang dicapai, tetapi juga berpengaruh pada risiko produksi yang dihadapi oleh petani. Menurut Beattie dan Taylor (1985) produksi merupakan kombinasi dan koordinasi beberapa material dan beberapa kekuatan (berupa input, faktor, sumber daya atau jasa produksi) untuk menciptakan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan fungsi produksi adalah merupakan gambaran secara matematis dari berbagai kemungkinan produksi segara teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Sedangkan Debertin (1986) mendiskripsikan fungsi produksi sebagai hubungan teknik yang menggambarkan perubahan dari input atau sumberdaya, menjadi output atau komoditi. Beattie dan Taylor (1995) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan teknis antara variabel faktor produksi dengan output. Bentuk umum fungsi produksi secara matematik dinotasikan sebagai: y = f(x) y = f (x 1 , x 2 , x 3 ,…,x n )
25
Debertin (1986) menyebutkan bahwa model fungsi Cobb Douglas pada saat pertama kali diperkenalkan, dinotasikan sebagai : y = Ax 1 αx 2 1-α dimana : y = produksi x 1 = tenaga kerja x 2 = kapital Fungsi produksi Cobb Douglass dengan bentuk eksponen dapat diubah dalam bentuk fungsi persamaan linier berganda dengan melogaritmakan persamaan eksponensial tersebut kedalam logaritma dengan bilangan dasar 10 atau menggunakan natural logaritma dengan bilangan dasar e = 2.71828, sehingga dari bentuk eksponen : y = Ax 1 αx 2 1-α diubah menjadi bentuk logaritma : log y = log [Ax 1 αx 2 1-α]
log y = A + α log x 1 + (1-α) log x 2 Nilai α dan (1-α) menunjukkan nilai elastisitas variabel x 1 dan x 2 terhadap y. karena : Elastisitas produksi
y
=
=
=
= MPP •
=
= Ax 1
α
x 2 1-α
= αAx 1 =α
α-1
x 2 1-α =
•
26
α
=
=
•
α
= (α-1)Ax 1 x 2
(1-α)-1
= elastisitas variabel x 1
=
= (α-1)
(α-1) =
•
=
= elastisitas variabel x 2
Grafik fungsi produksi jangka pendek diiliustrasikan pada Gambar 1.
Sumber : Beattie dan Taylor (1985) Gambar 1. Tiga Tahap Kurva Produksi, Kurva Marginal dan Kurva Rata-Rata Produksi Keterangan : TPP : Total Produksi Fisik (Total Physical Product) APP : Rata-Rata Produktivitas Fisik (Average Physical Productivity) MPP : Produktivitas Marginal (Marginal Physical Productivity)
27
Daerah produksi dibagi menjadi tiga tahap daerah produksi. Tahap I pada fungsi produksi merupakan tahap dimana produktivitas dari input bersifat increasing terhadap pertambahan input x 1 . Fungsi produksi terus mengalami peningkatan yang terus bertambah sampai titik infleksi (titik belok). Setelah melewati titik belok, tingkat increasing yang dialami oleh fungsi produksi semakin menurun. Pada titik infleksi menunjukkan batas nilai produksi marginal yang semakin meningkat (increasing marginal return) dan mulai memasuki nilai marginal produksi yang semakin menurun (decreasing marginal return). Selanjutnya fungsi produksi mencapai titik maksimum dan setelah itu mulai mengalami penurunan produksi pada saat dilakukan penambahan input produksi x 1 . Hal ini akan terjadi misalnya pada saat dimana petani menggunakan input pupuk yang terlalu banyak yang sebenarnya hal tersebut akan menyebabkan kerugian atau penurunan terhadap hasil produksinya (Debertin,1986). Model fungsi produksi yang sering diaplikasikan dalam berbagai penelitian diantaranya model fungsi stokastik frontier. Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa Aigner, Lovell dan Schmidt telah melakukan estimasi adanya fungsi produksi stokastik frontier dalam fungsi Cobb Douglas, dimana model dinotasikan : ln(y) = x i β + v i - u i dimana : ln(y) xi vi ui
= logaritma dari output = logaritma input yang digunakan = faktor eksternal yang mempengaruhi produksi = error term
Model tersebut kemudian dikembangkan oleh Kumbhakar (2002) yang menambahkan unsur risiko produksi ke dalam model fungsi produksi, yang dinotasikan : y
= f(x,z) + g(x,z)ε – q(x,z)u
28
dimana : y f(x,z) g(x,z) q(x,z)
= output = fungsi produksi rata-rata = fungsi risiko produksi = fungsi inefisiensi teknis
Robison dan Barry (1987) menyebutkan, model yang dikembangkan oleh Just Pope menunjukkan bahwa input yang digunakan berpengaruh terhadap fungsi produksi rata-rata dan fungsi varians, sehingga dapat dilakukan evaluasi mengenai input-input yang bersifat risk reducing atau risk increasing. Model fungsi Just Pope dinotasikan : y
= f(x,z) + g(x,z)ε
dimana : y = output f(x,z) = fungsi rata-rata g(x,z) = fungsi risiko 3.2.
Konsep Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petani Setelah mengetahui mengenai teori produksi, maka perlu untuk dijelaskan
lebih lanjut mengenai bagaimana risiko produksi terjadi dalam suatu proses produksi usahatani. Debertin (1986) menyebutkan bahwa Frank Knight membedakan definisi antara risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty). Risiko dapat didefinisikan sebagai situasi dimana pembuat keputusan mengetahui alternatif hasil dan kemungkinan dengan setiap hasilnya. (Bachus et al. 1997) juga menyatakan bahwa keadaan alam yang dihadapi petani, bisa dikatakan sebuah risiko apabila dapat diketahui kemungkinan terjadinya serta kemungkinan hasil yang diperoleh. Menurut Ellis (1988), risiko dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang dihubungkan dengan kejadian dari suatu peristiwa yang mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan. Menurut Debertin (1986) risiko adalah suatu kejadian yang kemungkinan
29
muncul dan menyebabkan fluktuasi hasil dimana kemungkinan/probabilitas hasil yang diterima dapat diestimasi. Sedangkan apabila pelaku usaha tidak memiliki data yang bisa dikembangkan untuk menyusun distribusi probabilitas akan timbulnya suatu kejadian, disebut ketidakpastian (uncertainty). McConell dan Dillon (1997) mengidentifikasi sumber risiko yang dihadapi petani dalam sistem usahatani berasal dari dua hal, yaitu : 1. Eksternal sistem usahatani, antara lain keadaan alam, ekonomi, keadaan sosial, kebijakan pemerintah dan kondisi politik. Usaha pertanian sangat tergantung dengan keadaan cuaca dengan segala ketidakpastiannya seperti musim kering yang berkepanjangan, banjir, badai atau dalam jangka panjang berupa terjadinya perubahan iklim (climate change). Risiko bersumber dari kondisi ekonomi adalah risiko pasar yang berhubungan dengan besarnya permintaan dan penawaran (akan mempengaruhi harga output dan input produksi), tingkat inflasi atau suku bunga dan risiko produktivitas yang disebabkan karena penerapan suatu teknologi baru. Kondisi sosial pada umumnya bukan merupakan suber risiko utama dalam sistem usahatani. Kontribusi kondisi sosial terhadap risiko usahatani adalah perubahan tingkat pendidikan dan gaya hidup, yang akan mempengaruhi pasokan tenaga kerja di bidang pertanian. 2. Internal sistem usahatani, terutama disebabkan karena faktor kesehatan, hubungan inter personal (dipengaruhi oleh personality, kebiasaan/attitudes dan aspirasi), serta faktor pendekatan yang dilakukan petani sebagai manager terhadap (a) konservasi dan degradasi sumber daya pertanian (resource and ecological risk), (b) penggunaan kredit pertanian (financial risk), dan (c) transfer usahatani antar generasi (succession risk).
30
Pada penggunaan input produksi pengurang risiko, misalnya penggunaan sistim irigasi, penggunaan pestisida, biaya yang dikeluarkan untuk memprediksi kondisi pasar yang akan datang, menyewa jasa konsultan profesional dan pemakaian peralatan/mesin baru merupakan beberapa cara dalam merespon adanya risiko yang dihadapi oleh pelaku produksi (Robison dan Barry, 1987). Dengan kata lain bahwa risiko yang dihadapi petani akan berpengaruh pada pemilihan jenis input yang digunakan. Jika petani bersifat risk averter, maka input yang menyebabkan variasi hasil akan dihindari oleh petani dan petani akan memilih input lain yang diperkirakan tidak menimbulkan variasi hasil yang besar. Variasi hasil akan berakibat pada variasi pendapatan petani. Risiko yang dihadapi petani bisa berupa risiko hasil atau risiko produksi, risiko penggunaan input dan risiko harga jual produksi. Risiko hasil ditimbulkan antara lain karena adanya serangan hama dan penyakit, kondisi cuaca/alam, pasokan air yang bermasalah dan variasi input yang digunakan. Serangan hama dan penyakit yang diatasi secara organik mempunyai dampak terhadap variasi produksi yang lebih tinggi dari pada jika serangan hama penyakit diatasi secara kimia. Kondisi alam juga berpengaruh terhadap variasi hasil misalnya dengan kondisi curah hujan yang sangat besar ataupun curah hujan yang sangat kecil bisa menimbulkan gagal panen, seperti diilustrasikan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 dapat dijelaskan mengenai pengaruh curah ujan terhadap risiko produktivitas yang dihadapi oleh petani. Dalam pemakaian input X yang sama, yaitu sebesar 50 kg per hektar, akan memberikan hasil yang berbeda karena dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang berbeda, yaitu kondisi curah hujan yang bagus yang mendukung tingginya produktivitas dan curah hujan yang menyebabkan turunnya produktivitas.
31
Sumber : McConell, 1997 Gambar 2.
Respon Ketidakpastian Produksi Y Karena Penggunaan Input X dan Kondisi Curah Hujan yang Berbeda
Just Pope telah mempelajari banyak mengenai isu penting yang menyertakan input penurun risiko. Model fungsi produksi dengan memasukkan unsur risiko didalamnya : q = f(x) + g(x)ε x merupakan faktor produksi yang digunakan, ε mengikuti distribusi ε~(0,σ2 e ), q adalah besarnya produksi yang dicapai, f(x) adalah fungsi produksi rata-rata sedangkan g(x) adalah fungsi varians atau fungsi risiko (Robison dan Barry, 1987). Apabila hasil yang dicapai dalam suatu proses produksi sebesar q dan input yang digunakan adalah x i , ( i = 1,2, …, n) maka ada 7 asumsi yang harus dipenuhi oleh suatu input sebagai input yang bersifat pengurang risiko, yaitu (Robison dan Barry, 1987) : 6.
E(q) > 0 ; harapan hasil untuk q berniali positif.
7.
∂E(q)/∂x i > 0 ; input mempunyai kontribusi positif terhadap proses produksi.
32
8.
∂2E(q)/∂x i 2 < 0 ; produktivitas marginal dari input harus bersifat deminishing pada beberapa titik.
9.
∂E(q)/∂σ2 e = 0 ; output yang diharapkan bisa bernilai konstan , walaupun mengurangi varians dari komponen random error.
10.
∂σ2(q)/∂x i
0 ; perubahan dalam varians berhubungan dengan perubahan
dalam penurunan risiko terhadap input, mempunyai tanda yang tidak konstan. 11.
∂σ2(∂q/∂x i )/∂x i
0 ; Perubahan dalam varians dari produksi marginal bisa
bernilai positif, negatif atau nol. 12.
f(θ x ) = θf(x) ; bersifat konstan stochastik return to scale. Debertin (1986) menjelaskan, dalam melakukan usahatani petani memilih
menggunakan
input
x
dengan
jumlah
tertentu
dengan
harapan
mampu
memaksimalkan utilitas (dalam hal ini utilitas petani didekati dengan besarnya penerimaan). Dengan asumsi bahwa fungsi utilitas merupakan fungsi yang memaksimalkan utilitas yang diharapkan (EU/expected utility) maka : EU [π(x;p,w)] dapat ditulis sebagai : U = U [E(π(.)), var(π(.))] dimana Eπ(.) adalah fungsi keuntungan dan var π(.) adalah variansnya Jadi fungsi U merupakan suatu fungsi utilitas yang terdiri dari keuntungan dan varians dari keuntungan tersebut, Eπ = p.g(x) – w’x = p. Ey – w’x
dan
var π = p2. var y ∂U/∂Eπ(.) neutral.
0 maka petani bisa bersifat risk averse, risk taker dan risk
33
Dengan penggunaan model fungsi Just Pope, maksimisasi terhadap utilitas yang diharapkan adalah sama dengan memaksimalkan rata-rata standar deviasi, atau EU (π(x; p, w)) = max V(μ, σ) dimana : μ = Eπ = p.g(x) – w’x σ = p.h(x)σ ε Ada tiga macam tipe seorang pengambil keputusan sehubungan dengan preferensi terhadap risiko yang dihadapinya. Ketiga tipe tersebut adalah (1) risk taker, (2) risk neutral, dan (3) risk averse. Preferensi terhadap suatu risiko dapat diidentifikasi dengan menggunakan fungsi utilitas yang diasumsikan sebagai fungsi kuadratik : U = z + bz2 Variabel z merupakan variabel tingkat utilitas yang dicapai (didekati dengan besarnya income) sehingga, apabila z diganti dengan harapan income atau E(z) maka utilitas yang diharapkan adalah E(U) = E(z) + bE(z2) dimana E(z2) = σ2 + [E(x)]2 sehingga ; E(U) = E(x) + b[E(x)]2 + bσ2 Jadi, fungsi utilitas bukan hanya fungsi dari harapan income, tetapi juga merupakan fungsi dari variansnya, seperti digambarkan dalam Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan perbedaan perilaku petani terhadap risiko income yang dihadapi. Petani risk averse mengharapkan income yang lebih tinggi dengan bertambahnya risiko income yang dihadapi, artinya apabila petani risk averse akan mengambil suatu peluang dengan risiko yang lebih besar akan mengharapkan income yang semakin besar pula. Sedangkan perilaku petani risk taker akan mengambil suatu
34
kesempatan walaupun hasil yang diperoleh rendah tetapi mempunyai peluang mendapatkan keuntungan lebih besar atau mengalami kerugian yang lebih besar pula. Petani risk neutral menunjukkan perilaku akan mempunyai harapan income yang sama, tidak dipengaruhi oleh besarnya risiko yang dihadapi.
Sumber : Debertin, 1986 Gambar 3. Kurva Indiffenence yang Menghubungkan Varians Income dengan Income yang Diharapkan Kurva indifference yang menunjukkan hubungan kombinasi dari income dan variansnya yang menghasilkan jumlah utilitas yang sama, kemungkinan didapatkan dengan berasumsi bahwa U sama dengan Uo ∂Uo = 0 = (1 + 2b) ∂E(x) + b∂(σ2) dimana, ∂E/∂σ2 = -b/[1 + 2bE(x)] Nilai [1 + 2bE(x)] selalu bertanda positif. Kemiringan dari kurva indiferen tergantung pada nilai b. Jika b = 0 menunjukkan bahwa petani bersifat risk neutral. Jika b > 0 menunjukkan bahwa petani tersebut risk taker, kurva indiferen mempunyai kemiringan/slope negatif dan apabila b < 0 menunjukkan bahwa perani tersebut risk
35
averse dan kurva indiferen mempunyai kemiringan positif. Hubungan antara tingkat utilitas dengan income petani pada preferensi risiko petani diilustrasikan pada Gambar 4.
Sumber : Ellis, 1988 Gambar 4. Teori Utilitas dari Pilihan-Pilihan yang Mengandung Risiko Pada Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa Garis DC merupakan garis linier yang mengambarkan
hubungan
antara
utilitas
dan
income
dan
mempunyai
kemiringan/slope positif, yang berarti semakin banyak income, semakin besar kepuasan atau utilitas seseorang. I 1 dan I 2 merupakan income dengan tingkat risiko yang berbeda dengan kemungkinan kejadian p 1 dan p 2 dimana p 1 + p 2 = 1. Apabila seseorang mempunyai income sebesar I A dimana I A mempunyai utilitas yang sama dengan I E dan orang tersebut akan menolak untuk mendapatkan income yang lebih besar dari I A (yaitu I E ) dengan tujuan untuk mencari kepastian income, maka orang
36
tersebut dikatakan bersifat risk averse, seperti yang ditunjukkan dalam fungsi utilitas DAC yang bersifat decreasing marginal utility. Apabila seseorang yang utilitasnya sama antara income yang pasti diperoleh (I E ) dan dengan income yang beresiko (I A dan I B ) dan dia memilih untuk mendapatkan income sebesar I E , maka orang tersebut dikatakan bersifat risk neutral, seperti ditunjukkan dalam garis fungsi utilitas DC. Sedangkan apabila seseorang lebih suka untuk memilih income yang lebih tinggi lagi untuk mencapai utilitasnya, dan orang tersebut tidak memilih untuk income sebesar I A ataupun I E , tetapi akan memilih untuk mencapai income sebesar I B , maka orang tersebut bersifat risk taker, dengan kurva utilitas DBC yang bersifat increasing marginal utility (Elis, 1988). Menurut Ellis (1988), beberapa persoalan utama yang banyak menjadi topik perhatian penelitian dimana di dalamnya mencakup aspek perilaku risiko petani dan menyangkut mata pencaharian atau sumber pendapatan yang diperoleh petani kecil dan keluarganya antara lain : 1. Petani kecil pada umumnya bersifat risk averse. Sifat ini diindikasikan mengakibatkan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber daya pada tingkat petani. 2. Petani kecil dengan sifat risk averse akan menyebabkan pola tanam atau pola pengelolaan usahatani, akan lebih ditujukan pada kecukupan kebutuhan pangan keluarga, dibandingkan dengan usaha memaksimalkan hasil ataupun memaksimalkan keuntungan. 3.
Petani kecil yang bersifat risk averse akan lebih terhambat dalam proses adopsi terhadap inovasi yang mampu meningkatkan hasil dan juga income petani. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsep risiko terhadap ketidakmampuan atau keterbatasan informasi. Petani merasa tidak percaya
37
dan ragu-ragu terhadap suatu inovasi, karena adanya
keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan inovasi tersebut. Hal penting yang juga menghambat petani kecil dalam proses adopsi teknologi adalah dibutuhkan biaya tinggi dalam mengaplikasikan teknologi yang ditawarkan, di sisi lain petani kecil tidak mempunyai akses terhadap kredit perbankan. 4. Sifat risk averse petani akan menurun atau berkurang sejalan dengan peningkatan income atau kesejahteraan. Kesejahteraan yang lebih tinggi yang dicapai petani akan akan berpengaruh pada kemampuan petani dalam menutup kerugian yang mungkin disebabkan karena pengambilan keputusan yang berisiko. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi income petani, diharapkan akan lebih efisien dalam pengelolaan usahataninya, sehingga lebih mempunyai keinginan untuk melakukan suatu inovasi baru dan lebih besar akses yang dimiliki petani terhadap kredit perbankan. Dalam melakukan usahatani padi, petani akan selalu menghadapi risiko produksi. Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II, ada indikasi bahwa risiko yang dihadapi oleh petani padi organik lebih besar jika dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Petani yang bersifat risk averse akan cenderung memilih untuk melakukan usahatani padi non organik yang mempunyai variasi produktivitas lebih kecil. Sedangkan untuk petani yang bersifat risk taker kemungkinan cenderung memilih melakukan usahatani padi organik yang mempunyai peluang hasil yang tinggi, tetapi ada kemungkinan akan mengalami gagal panen. Robison dan Barry (1987) menyatakan bahwa preferensi risiko petani dapat diukur dengan menggunakan fungsi Arrow-Pratt absolute risk aversion yang menggambarkan suatu hubungan fungsional antara tingkat risk aversion petani
38
dengan kekayaan atau tingkat kesejahteraan sebagai fungsi utilitas individu petani tersebut. Disebutkan bahwa fungsi absolute risk aversion R(y) merupakan suatu cara pengukuran risiko yang unik, yang dihubungkan dengan fungsi utilitas yang dimiliki seseorang U(π). R(y) = – dimana : U(π) π
= fungsi utilitas dari individu = penghasilan/pendapatan individu
Pengambil keputusan dikatakan bersifat : (a) risk averse apabila nilai R(y) > 0, (b) risk neutral apabila R(y) = 0, dan (c) risk taker apabila R(y) < 0. Preferensi risiko akan berubah seiring dengan perubahan penghasilan seseorang. Apabila : R'(y) < 0
pengambil keputusan dikatakan sebagai decreasing absolute risk aversion (DARA), preferensi risiko seseorang akan lebih bersifat risk taker dengan meningkatnya penghasilan atau kesejahteraan.
R'(y) = 0
pengambil keputusan dikatakan sebagai constant absolute risk aversion (CARA), artinya preferensi risiko seseorang yang tidak berubah apabila terjadi perubahan kesejahteraan.
R'(y) > 0
pengambil keputusan dikatakan sebagai increasing absolute risk aversion (IARA), berarti preferensi risiko seseorang yang semakin bersifat risk averse apabila penghasilannya atau kesejahteraannya semakin meningkat.
39
Dalam menghadapi berbagai risiko yang timbul pada saat mengelola usahatani, petani mempunyai beberapa strategi yang dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan dari risiko tersebut. Setiap strategi tersebut akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan pada saat kondisi alam tidak menguntungkan atau kondisi pasar yang tidak berpihak kepada petani. Tetapi strategi yang dilakukan petani tersebut juga bisa menurunkan potensial keuntungan apabila kondisi alam ataupun pasar berada pada posisi yang menguntungkan bagi petani. Beberapa strategi yang dilakukan petani dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian, menurut Debertin (1986) : 1. Asuransi Asuransi biasanya digunakan petani pada situasi dimana kemungkinan peluang kejadiannya rendah dan menimbulkan potensi kerugian yang besar. 2. Kontrak penjualan Kontrak penjualan dilakukan terhadap komoditi yang telah ditentukan, pada tingkat harga tertentu dan jangka waktu pengiriman yang telah ditentukan pada awal kontrak. Sehingga terbentuk future market yang merupakan mekanisme untuk mengatasi risiko ketidakpastian harga dengan menentukan harga yang disepakati antara petani dan pembeli, dimana pembayarannya dilakukan setelah panen. Namun kontrak ini juga akan membatasi keuntungan potensial bagi petani apabila harga pasar berpihak pada petani. 3. Peralatan dan fasilitas yang fleksibel Dalam kondisi fluktuasi harga yang tajam, akan lebih baik apabila petani memilih untuk menggunakan peralatan yang fleksibel . Sedangkan bagi petani yang menghadapi kondisi dimana fluktuasi harga tidak begitu besar, maka akan lebih baik jika menggunakan peralatan atau fasilitas yang spesifik.
40
4. Diversifikasi Merupakan strategi yang digunakan petani dalam menghadapi ketidakpastian harga dan ketidakpastian hasil yang dicapai. Agar lebih efektif, dalam menghadapi fluktuasi harga dan income, maka usaha diversifikasi yang dilakukan harus mempunyai harga dan hasil yang saling berlawanan antara usaha yang satu dengan yang lainnya. 5. Kebijakan pemerintah Kebijakan pemerintah pada umumnya bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian harga pasar dibanding dengan ketidakpastian hasil yang dicapai. Kebijakan harga dasar dari pemerintah terhadap komoditi tertentu biasanya mempunyai tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani.
Kebijakan dari pemerintah yang lain
misalnya adanya subsidi yang diberikan kepada petani. 3.3.
Faktor Penentu Penerapan Usahatani Padi Organik Pada Sub Bab terdahulu telah dijelaskan mengenai teori produksi, risiko
produksi dan preferensi risiko petani. Hubungan antara input yang digunakan, risiko produksi yang dihadapi petani serta preferensi risiko petani dalam penerapan usahatani padi organik, dijelaskan dalam Sub Bab ini. Tingkat produktivitas yang dicapai petani dalam berusahatani tidak terlepas dengan
risiko produksi yang dihadapi oleh petani. Input yang digunakan akan
mempengaruhi tingkat risiko produksi, karena input yang digunakan dalam melakukan usahatani bisa bersifat risk decreasing yang mampu menurunkan tingkat risiko produksi atau input bersifat risk increasing yang menyebabkan meningkatnya risiko produksi. Penggunaan berbagai input ditentukan oleh petani sebagai pengelola usahatani. Kumbhakar (2002) menyebutkan bahwa petani memutuskan untuk memilih
41
jenis dan jumlah input yang dipakai, dipengaruhi oleh preferensi risiko. Petani padi di Kabupaten Sragen dihadapkan pada dua pilihan usahatani padi dengan teknologi yang berbeda. Pilihan pertama adalah usahatani padi non organik yang bersifat capital intensive, dan mempunyai kemungkinan rata-rata hasil lebih rendah dan tingkat risiko yang lebih rendah. Sedang pilihan kedua adalah usahatani padi organik, yang bersifat labour intensive dengan input luar yang rendah dan mempunyai kemungkinan rata-rata hasil lebih tinggi dan diikuti dengan risiko lebih tinggi seperti yang telah ditunjukkan pada data Tabel 3. Banyak faktor yang diduga mempengaruhi petani dalam memilih melakukan usahatani padi organik yang di dalamnya terdapat risiko lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Faktor tersebut di antaranya adalah umur, tingkat pendidikan, pendapatan di luar usahatani padi, luas lahan, status lahan, pengalaman berusahatani padi dan preferensi risiko petani. Umur petani mencerminkan kekuatan fisik petani, dan kekuatan fisik petani akan berhubungan dengan usahatani padi organik yang bersifat labour intensive. Sehingga umur petani diduga merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam menerapkan usahatani organik. Tingkat pendidikan formal dan non formal petani akan mempengaruhi pengetahuan dan penguasaan teknologi. Pengalaman berusahatani pada umumnya akan berpengaruh pada tingkat penguasaan usahatani yang lebih baik dan akan mempunyai keinginan untuk mencoba melakukan cara usahatani yang baru. Adanya pendapatan lain yang diperoleh di luar usahatani padi juga mempengaruhi keputusan melakukan usahatani padi organik karena apabila petani mempunyai penghasilan di luar usahatani padi, diperkirakan petani akan lebih berani menghadapi risiko kegagalan produksi. Sedangkan preferensi risiko petani berpengaruh pada keberanian petani
42
dalam mengambil keputusan berisiko. Untuk lebih memperjelas, maka ditampilkan Gambar 5 mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian. Preferensi risiko mempengaruhi petani dalam menentukan jumlah dan jenis input usahatani (Kumbhakar, 2002). Keputusan petani melakukan usahatani padi organik yang bersifat padat tenaga kerja dan berisiko lebih tinggi atau memilih melakukan usahatani padi non organik yang bersifat padat modal yang didalamnya mempunyai risiko produksi lebih rendah, dipengaruhi oleh preferensi risiko petani. Sedangkan preferensi risiko petani dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi yang melekat pada diri petani. Sebagaimana dikemukakan dalam hasil penelitian Guan dan Wu (2009), bahwa
preferensi risiko petani dipengaruhi oleh status
kesejahteraan, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam proses produksi dalam usahatani, umur dan subsidi yang diterima oleh petani. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang berpengaruh pada preferensi risiko petani adalah aset
43
petani, pendapatan di luar usahatani, pengalaman usahatani dan status lahan garapan. Keempat faktor tersebut merupakan hal yang diduga berpengaruh terhadap preferensi risiko petani di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini data aset yang dimiliki petani tidak dapat diperoleh, maka untuk mendekati data aset petani digunakan proxy luas lahan yang dimiliki petani. Lahan yang dimiliki petani meliputi luas lahan rumah, pekarangan, kebun, sawah dan tegalan. Tingkat kesejahteraan petani tidak diukur dari pendapatan usahatani, karena pendapatan dari usahatani padi yang diterima petani berfluktuasi di setiap musim panen. Faktor pendapatan di luar usahatani akan berpengaruh pada penerapan usahatani padi organik. Petani yang mempunyai pendapatan di luar usahatani padi akan cenderung lebih berani menghadapi risiko gagal panen. Faktor pengalaman usahatani padi akan berpengaruh pada penerapan usahatani padi organik, karena petani dengan pengalaman lebih lama akan cenderung lebih cakap dalam mengatasi permasalahan dalam proses produksi. Petani pada awalnya akan melihat, lalu mencoba melakukan usahatani padi dengan menggunakan pupuk organik yang masih ditambah dengan pupuk kimia, kemudian akan menerapkan usahatani organik secara murni. Sehingga pengalaman usahatani mempengaruhi penerapan usahatani padi organik. Faktor status lahan garapan kemungkinan besar berpengaruh pada penerapan usahatani organik karena petani dengan lahan sewa atau bagi hasil ada kecenderungan tidak akan berani menghadapi risiko produksi gagal panen. 3.4.
Kerangka Pemikiran Operasional Sub Bab ini menjelaskan tahapan operasional dalam suatu penelitian. Tahapan
operasional yang merupakan gambaran secara garis besar mengenai langkah penelitian, sehinga pada penelitian yang berbeda bisa mempunyai tahapan penelitian
44
yang berbeda pula. Setiap tahap penelitian mempunyai karakteristik dan aktivitas pekerjaan yang berbeda. Tahapan yang dilakukan sebelumnya merupakan persiapan untuk melangkah pada tahap selanjutnya (Graziano dan Raulin, 1989). Tahapan pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ide untuk meneliti mengenai penerapan usahatani padi organik yang mendapat respon sangat lambat dari petani. Selama sepuluh tahun usahatani organik digalakkan, kurang dari 1% petani yang melakukan usahatani organik secara murni. Data sekunder mengenai produktivitas yang dicapai petani organik menunjukkan bahwa pada usahatani padi organik mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Tahap kedua adalah menyusun pertanyaan riset, yaitu permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian. Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada risiko produksi usahatani organik, bagaimana sikap petani terhadap risiko dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap petani terhadap risiko. Tahap ketiga adalah menentukan alat analisis data yang akan digunakan dalam menjawab pertanyaan pada tahap kedua. Diikuti dengan tahap menentukan data-data yang digunakan dalam penelitian dan langkah selanjutnya adalah menentukan metode dalam pengambilan sampel. Tahap berikutnya adalah melakukan pengambilan data di lokasi penelitian berdasar pada metode yang telah dirancang pada tahap sebelumnya. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis data berdasar pada alat analisis yang telah dirancang sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah interpretasi hasil analisis, juga merupakan jawaban dari pertanyaan riset. Tahap terahir adalah menyimpulkan dari hasil interpretasi. Tahapan pemikiran operasional penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.
45
Gambar 6. Tahapan Operasional Penelitian