III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan moneter memepengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui intervensi Bank Sentral terhadap pasar uang dan pasar bond (surat berharga). Oleh karenanya, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sering digunakan sebagai instrumen untuk menstimulasi dan menstabilkan kegoncangan perekonomian yang mengganggu pertumbuhan ekonomi (Dornbusch et al., 2004). skema hubungan pasar barang dan pasar uang, sebagaimana Gambar 5.
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Gambar 5. Skema Hubungan Pasar Uang dan Pasar Barang
Adapun
38
Keseimbangan pasar barang terjadi ketika permintaan agregat sama dengan penawaran agregat, yang ditunjukkan dengan terbentuknya kurva Investment Saving (IS) yang menunjukan kombinasi-kombinasi suku bunga dan tingkattingkat pendapatan ketika alokasi belanja yang direncanakan (Planned Expenditure atau PE) sama dengan belanja aktual (Actual Expenditure atau AE). Kurva IS ini dapat dilihat secara grafis pada Gambar 6. AE E
PE1 3
E1
E2
4
0
r
r
r2
r2
r1
1
0
I2
I1
Y2
Y1
I
0
Y
5 IS
r1
I(r)
2
PE2
∆I
Y2
Y1
Y
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Gambar 6. Kurva Investment Saving Proses terbentuknya kurva IS dimulai dari keseimbangan permintaan agregat dan penawaran agregat, yaitu ketika belanja aktual (AE) sama dengan belanja yang direncanakan (PE1) dititik E1, Y1, titik yang terbentuk oleh
39
pertemuan Y1 dan r1 adalah posisi kondisi perekonomian awal dititik IS. Ketika suku bunga naik dari r1 ke r2, maka investasi turun dari I1 ke I2, dan PE geser ke bawah, yang berpotongan dengan AE di titi E2, Y2, dimana E2 < E1 dan Y2 < Y1. Titik yang terbentuk oleh kombinasi Y2, r2 merupakan titik ke dua dari IS, atau posisi perekonomian kedua. Ketika dua titik r1, Y1, dan r2, Y2 dihubungkan, maka garis yang terbentuk adalah garis IS membentuk kurva IS. Saat terjadi keseimbangan pasar uang, disebut kondisi perekonomian 1, terbentuk oleh kombinasi suku bunga (r1) dan tingkat-tingkat output (Y1), yaitu ketika permintaan uang (MD) sama dengan persediaan uang (MS = M/P). Kurva Liquidity Preference Money Supply atau LM digambarkan pada Gambar 7. MS
r
L(r2, Y2)
r1
L(r1, Y1)
r2 0
M/P
M/P
r LM r1 r2 0
Sumber:
Y1
Y2
Y
Dornbusch, 2004 (dimodifikasi).
Keterangan: Jika MD dipengaruhi oleh r dan Y, maka peningkatan Y dari Y1 ke Y2 akan menyebabkan peningkatan r. Oleh sebab itu kurva LM menggambarkan peningkatan r yang disebabkan oleh peningkatan Y.
Gambar 7. Kurva Liquidity Preference Money Supply
40
Proses terbentuknya kurva LM dimulai dari keseimbangan penawaran uang dengan permintaan uang, yaitu ketika penawaran uang riil (M1/P1) sama dengan L (r1,Y1), titik yang terbentuk oleh pertemuan M/P1 dengan L(r1,Y1) adalah titik awal kurva LM, yang juga menggambarkan kondisi perekonomian awal. Ketika pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2, maka L(r2, Y2) geser ke atas karena penawaran uang (M/P1) tetap, mengakibatkan suku bunga meningkat dari r1 ke r2. Titik yang terbentuk oleh kombinasi Y2, r2 merupakan titik ke dua dari LM, atau posisi perekonomian kedua. Ketika dua titik r1, Y1 dan titik r2, Y2 dihubungkan, maka garis yang terbentuk adalah garis LM membentuk kurva LM. Sesuai dengan proses pembentukan kurva IS dan LM pada Gambar 6 dan Gambar 7 di atas, maka diasumsikan pertemuan kurva IS dan LM berada pada titik P1, Ye1. Lalu, di asumsikan pula bahwa kurva IS tidak berubah karena tidak sensitif terhadap perubahan harga, dan jumlah uang nominal (M) dianggap tetap, maka penurunan harga akan menggeser kurva penawaran uang ke kanan. Mengingat penawaran agregat dan suku bunga tetap, karena kurva IS dipertahankan tetap, maka kurva LM bergeser ke kanan, sehingga memotong kurva IS di titik P2, Ye2. Selanjutnya titik Ye1, P1 dihubungkan dengan titik Ye2, P2 akan membentuk kurva permintaan agregat (AD), sebagaimana Gambar 8. Dengan demikian, maka kurva AD adalah kombinasi-kombinasi tingkat harga dan tingkat-tingkat output/pendapatan yang terbentuk oleh kombinasi titik keseimbangan kurva IS-LM saat kurva IS dipertahankan dan jumlah persediaan uang nominal tetap tetapi harga berubah (Dornbusch, 2004).
41
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi). Gambar 8. Kurva Permintaan Agregat 3.1.1. Dampak Kebijakan Fiskal Pada Permintaan Agregat Dengan memperhatikan hubungan kurva IS-LM dan kurva AD di atas, maka intervensi terhadap pasar barang yang disebut kebijakan fiskal, dan intervensi
pasar uang, yang disebut kebijakan moneter, akan mempengaruhi
perekonomian.
Kebijakan
fiskal
mempengaruhi
perekonomian
melalui
peningkatan belanja Pemerintah dan tingkat pajak. Pengaruhnya dapat ditelusuri ulang pada Gambar 6, 7, dan 8. Adapun besaran pengaruh kebijakan fiskal terhadap perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui perubahan kurva IS dapat dihitung dari persamaan berikut ini (Dornbusch, 2004): Y = αG (Ã-bi) ; αG = 1/{(1-c(1-t)} .......................................................... (1) dimana: Y αG Ã
: Pendapatan. : Koefisien atau parameter variabel. : Variabel eksogen.
42
b c t
: koefisien. : Marginal propencity to consume. : Pajak.
3.1.2. Dampak Kebijakan Fiskal pada Penawaran Agregat Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi penawaran adalah penjumlahan seluruh nilai produksi (output) sektor-sektor perekonomian. Hubungan antara PDB dengan tingkat harga akan membentuk kurva penawaran agregat (AS) sebagaimana Gambar 9. W
AS0 A S1 P0 P1
Y
W /P
W /P 1
W /P 0
Y1
Y0
L1 L0 Y = IPM 1 f(L) SL
DL Y = IPM 0 f(L)
L
Sumber: Dornbusch, 2004 (dimodifikasi). Keterangan: P1 < P0 dan IPM1 > IPM0.
Gambar 9. Kurva Penawaran Agregat Gambar 9 tersebut menjelaskan tentang hubungan antara produksi, input tenaga kerja, dan pasar tenaga kerja, namun dengan asumsi upah tetap, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
43
1.
Diasumsikan upah bersifat kaku (Ŵ), sehingga perubahan harga (P) akan mempengaruhi upah riil (Ŵ/P) yang diterima tenaga kerja, sehingga mengakibatkan adanya hubungan antara tingkat harga dengan pasar tenaga kerja (permintaan tenaga kerja (DL) dan penawaran tenaga kerja (SL)), yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah nilai barang yang diproduksi (Y).
2.
Ketika tingkat harga (P) berubah maka akan berubah pula jumlah nilai barang yang diproduksi, yang mana kombinasi keduanya akan membentuk sejumlah titik pada kurva AS.
3.
Oleh karena setiap kebijakan fiskal melalui belanja Pemerintah (G), akan meningkatkan AD sekaligus meningkatkan nilai produksi barang-barang yang diproduksi sektor-sektor, maka pertumbuhan ekonomi dapat pula dianalisis dari sisi AS.
4.
Kurva AS dalam jangka panjang akan bergeser ke kanan dari AS0 ke AS1, apabila kualitas kompetensi tenaga kerja meningkat sejalan dengan peningkatan indeks pembangunan manusia akan meningkatkan koefisien teknologi (A) dari A0 ke A1. Dengan kata lain, walaupun jumlah tenaga kerjanya sama tetapi sebagai pengaruh peningkatan koefisien teknologi (A) akan meningkatkan jumlah nilai produksi (Y) yang dihasilkan. Oleh karena setiap kebijakan fiskal melalui G, akan meningkatkan AD
sekaligus meningkatkan nilai produksi barang-barang yang diproduksi sektorsektor, maka transmisi kebijakan fiskal terhadap perekonomian dari sisi penawaran agregat dapat dilihat pada Gambar 10.
44
Sumber: Dornbusch, 2004, (dimodifikasi).
Gambar 10. Dampak Kebijakan Fiskal pada Pasar Barang Gambar 10 menjelaskan transmisi dari belanja Pemerintah terhadap permintaan agregat, penawaran agregat, pendapatan, tenaga kerja, upah, suku bunga, dan harga, dengan asumsi kurva LM tidak berubah, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Dimulai dengan perekonomian yang berada pada keseimbangan awal, yaitu dengan tingkat pendapatan awal (Y0), tingkat suku bunga awal (r0), tingkat harga awal (P0), tingkat upah awal (W0), dan jumlah tenaga kerja awal (L0).
2.
Kemudian diasumsikan bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui belanja Pemerintah, maka produksi akan meningkat dari Y0 ke Y1, mengakibatkan kurva AS bergeser ke kanan dari AS0 ke AS1.
3.
Pergeseran kurva AS ke kanan akan berpotongan dengan kurva permintaan agregat awal (AD0) sehingga harga turun dari P0 ke P1, tetapi kemudian
45
karena turunnya harga tersebut menyebabkan AD meningkat dan bergeser dari AD0 ke AD1. 4.
Pada pasar barang meningkatnya AD mempengaruhi kurva IS-LM, yaitu kurva IS bergeser dari IS0 ke IS1, menyebabkan naiknya suku bunga dari r0 ke r1. Selanjutnya, berimplikasi kepada menurunnya investasi (I) sehingga pendapatan (Y) ikut turun, yang disebut crowding out effect.
5.
Pada pasar tenaga kerja meningkatnya output akan menambah tenaga kerja (L) dari L0 ke L1, diasumsikan kurva penawaran tenaga kerja tetap tidak bergeser.
6.
Kesimpulan : kebijakan fiskal melalui peningkatan belanja Pemerintah akan meningkatkan pendapatan/output dan meningkatkan kesempatan kerja (L), dan mengurangi pengangguran (U), yaitu selisih antara tingkat pencapaian pada
titik
keseimbangan
akhir
dikurangi
pencapaian
pada
titik
keseimbangan sebelum dilakukannya kebijakan fiskal. Pencapaian akhir dimaksud menghasilkan tingkat pendapatan baru (Y*), tingkat suku bunga baru (r*), tingkat harga baru ( P*), tingkat upah baru (W*) dan tingkat penyerapan tenaga kerja baru (L*), serta tingkat pengangguran baru (U*). 3.2.
Kemiskinan Dalam studi ini tingkat kemiskinan desa dan kota diukur dengan
menggunakan ukuran kemiskinan poverty headcount index, yang mengukur persentase penduduk miskin (berada di bawah garis kemiskinan) terhadap total penduduk. Secara matematis, poverty headcount Index, dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut:
46
H=
q n
........................................................................................................ (2)
dimana H adalah poverty headcount Index (persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskianan terhadap jumlah penduduk), q adalah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n adalah jumlah penduduk. Permasalahan dalam poverty headcouni Index adalah ukuran ini tidak menunjukkan keparahan dari kemiskinan. Hal ini karena menganggap tidak ada perbedaan pendapatan di antara penduduk miskin, dengan kata lain persentase penduduk
miskin
(q)
dihitung
sebagai
penjumlahan
penduduk
yang
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tanpa mempersoalkan adanya perbedaan nominal pendapatan para penduduk miskin satu sama lain. Derajat kemiskinan pada suatu negara bergantung pada tingkat pendapatan rata-rata atau per kapita dan derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan (Son, 2004; Todaro, 2006). 3.3. Tingkat Pengangguran Masalah perekonomian makro (pendapatan per kapita, dan indikator turunannya seperti tingkat inflasi, pengangguran, tingkat investasi, belanja Pemerintah,
tingkat
konsumsi,
dan
posisi
neraca
pembayaran)
yang
mempengaruhi secara langsung terhadap kualitas pembangunan manusia adalah pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi akan mengakibatkan kualitas pembangunan manusia menurun. Tingkat pengangguran yang biasa dipelajari adalah tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
47
Persamaan matematis yang biasa digunakan dalam mengkaji mengenai pengangguran (Mankiw, 2007) dirumuskan dalam formula sebagai berikut : LF = L + U ................................................................................................. (3) dimana LF adalah angkatan kerja dari seluruh penduduk, L adalah jumlah orang yang bekerja pada seluruh sektor perekonomian, dan U adalah jumlah pengangguran. Tingkat pengangguran sendiri dinyatakan dengan U/L yang dapat dirumuskan menjadi: U/L = (S-F)/L .......................................................................................... (4) dimana S adalah jumlah pemutusan hubungan kerja dan F adalah tingkat perolehan pekerjaan. Persamaan ini menunjukkan bahwa pada saat tingkat pengangguran berada pada tingkat pengangguran alamiah, maka tingkat pengangguran sama dengan nol, sehingga S = F, sesuai formula berikut: U*/L = (S-F)/L = 0 ..................................................................................... (5) Dengan kata lain setiap kebijakan yang bertujuan menurunkan tingkat pengangguran alamiah (U*/L) akan menurunkan tingkat pemutusan hubungan kerja (S/L) atau meningkatkan tingkat perolehan pekerjaan (F/L), juga sebaliknya. Mankiw
(2007)
menyatakan
beberapa
alasan
mengapa
adanya
pengangguran alamiah, artinya tidak ada satu negarapun yang bebas dari pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara kompetensi pekerja dengan jenis pekerjaan, karena kompetensi pekerja dan jenis-jenis pekerjaan yang tersedia tidak selalu berkaitan dan cocok (link and match). Kedua, adanya kekakuan upah terhadap perubahan penawaran (SL) dan permintaan tenaga kerja (DL). Terlihat pada Gambar 11.
48
SL Upah Riil
Upah Riil yang Kaku DL1 Jumlah DL2
0
Tenaga Kerja yang Dipekerjakan
Tenaga Kerja yang Ingin Bekerja
Tingkat Pengangguran (Persen)
Sumber: Mankiw, 2007.
Gambar 11. Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran Ketika permintaan tenaga kerja turun, maka kurva permintaan tenaga kerja geser ke bawah, sementara upah yang kaku menyebabkan tenaga kerja yang dipekerjakan menjadi lebih sedikit dari jumlah tenaga kerja yang ingin bekerja sampai terbentuk keseimbangan baru Pada tahun 1958, A. W. Philips mengkaji prilaku upah di Inggris tahun 1861-1957. Philips menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat pengangguran dan tingkat perubahan upah nominal (inflasi upah), dimana semakin tinggi tingkat pengangguran, maka semakin rendah laju inflasi upah. Kurva Phillips menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya tingkat pengangguran. Dengan kata lain, terjadi trade off antara inflasi upah dengan pengangguran dalam jangka pendek (Dornbusch, 2004).
49
Hubungan inflasi upah dengan tingkat pengangguran menurut Dornbusch (2004) dapat dinyatakan dalam formula: gw = (Wt+1 - Wt)/Wt ................................................................................... (6) Dimana gW adalah laju inflasi upah, Wt adalah tingkat upah dalam periode saat ini, dan Wt+1 adalah tingkat upah periode yang akan datang. Besarnya upah ditentukan oleh jumlah penawaran tenaga kerja, dimana semakin besar penawaran tenaga kerja maka semakin rendah upah, dan sebaliknya. Implikasinya apabila semakin besar penawaran tenaga kerja yang tidak sebanding dengan penyediaan lapangan kerja, yang berarti semakin besar pengangguran, maka akan semakin rendah upah. Sehingga, laju inflasi upah juga tergantung pada jumlah pengangguran. Apabila µ* adalah tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), maka Kurva Philips dapat ditulis dengan formula: gW = - € (µ - µ* ) ........................................................................................ (7) dimana gW adalah laju inflasi upah, € adalah elastisitas (responsif) dari upah terhadap pengangguran aktual, dan µ adalah tingkat pengangguran. Kemudian, formula (6) dan (7) dapat digabung menjadi: *
Wt+1 = Wt [ 1 - € (µ - µ )] .......................................................................... (8)
Dari formula (8) di atas terlihat bahwa apabila upah naik dari upah sebelumnya, maka jumlah pengangguran mesti lebih rendah dari jumlah pengangguran alamiah, dan sebaliknya. Setelah tahun 1960an kurva Phillips dan formula-formula di atas tidak konsisten dalam menggambarkan hubungan inflasi dan pengangguran di Inggris dan Amerika Serikat, hal ini sebagai akibat dari
50
belum
diakomodasikannya
inflasi
yang
diharapkan
(expected
inflation)
(Dornbusch et al., 2004). Menurut menggambarkan
Mankiw
(2007),
hubungan
kurva
tingkat
Philips
inflasi
dalam
dengan
bentuk
tiga
faktor
modern yang
mempengaruhinya yaitu inflasi yang diharapkan (expected inflation), deviasi pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut juga pengangguran siklikal (cyclical unemployment), dan goncangan penawaran (supply shock). Ketiga faktor tersebut dirumuskan dalam formula: π = πe - €(u - u*) + v ................................................................................... (9) dimana π adalah tingkat inflasi aktual, πe adalah tingkat inflasi yang diharapkan, u adalah tingkat pengangguran aktual, u* adalah tingkat pengangguran alamiah, v adalah goncangan penawaran, € adalah elastisitas (responsif) dari upah terhadap pengangguran siklikal, dan (u - u*) adalah tingkat deviasi pengangguran atau cyclical unemployment. Oleh karena kekakuan upah, maka dalam studi ini, upah akan dijadikan variabel eksogen berdasarkan sektor, yang menempatkan perhitungan upah berdasarkan nilai rata-ratanya di wilayah perdesaan (untuk kelompok usaha primer seperti sektor pertanian) dan nilai rata-rata upah di perkotaan untuk kelompok sektor skunder seperti sektor industri. Selanjutnya, disebabkan oleh adanya hubungan terbalik antara inflasi dan pengangguran, maka berarti pula inflasi mempengaruhi jumlah orang yang bekerja. Berikutnya, atas dasar hubungan searah dan positif antara kualitas sumber daya manusia dengan jumlah tenaga keja, maka IPM sebagai indikator kualitas manusia akan menggambarkan
51
produktivitas tenaga kerja yang akan mempengaruhi berapa jumlah tenaga kerja yang bekerja. Terakhir populasi penduduk secara eksogen akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja. 3.4. Pemerintah sebagai Penyedia Barang Publik Menurut Stiglitz (1999) suatu barang dikatagorikan sebagai barang publik jika memenuhi salah satu atau kedua karakteristik sebagai berikut: 1.
Non - rival consumption, merupakan karakteristik pertama barang publik, yaitu barang yang dapat dikonsumsi oleh individu tanpa mengurangi kesempatan bagi individu lain untuk mengkonsumsinya, atau dapat dikonsumsi secara bersama-sama,
2.
Non - exclusion, merupakan karakteristik kedua dari barang publik dimana tidak ada yang dapat menghalangi seseorang untuk mengkonsumsi barang tersebut. Jika kedua karakteristik tersebut (non - rival
consumption dan non -
exclusion) ada pada sebuah barang, maka barang tersebut merupakan murni barang publik (pure public goods). Sedang barang yang hanya memiliki salah satu dari kedua karakteristik tersebut, atau properti lain (dapat dikonsumsi bersama atau tidak dapat dikecualikan) pada tingkat tertentu,
maka barang tersebut
merupakan barang publik yang tidak murni (impure public goods). Penyediaan barang publik dapat dilakukan secara pribadi maupun oleh Pemerintah. Namun penyediaan barang publik yang dilakukan secara pribadi akan menimbulkan free rider, yang dapat menyebabkan penyediaan barang tersebut menjadi tidak efisien. Timbulnya free rider disebabkan karena sifat dari barang
52
publik yang memberikan eksternalitas positif bagi orang lain, namun mereka enggan untuk berpartisipasi dalam penyediaan barang publik tersebut. Oleh sebab itu, maka Pemerintah dinilai sebagai pihak yang paling tepat untuk menyediakan barang publik bagi masyarakat. Secara faktual pemerintah menyediakan sarana dan prasarana di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan, karena kedua sektor ini memenuhi kriteria barang swasta yang disediakan secara publik (Stiglitz, 1999). Di Indonesia, wujud penyediaan sarana dan prasarana di sektor pendidikan antara lain berupa gedung sekolah, tenaga pengajar dan biaya operasional sekolah (BOS), serta di sektor kesehatan antara lain berupa rumah sakit, puskesmas, tenaga medis, dan pengobatan gratis. Kekurangan
penyediaan sarana dan prasarana di sektor
pendidikan dan di sektor kesehatan oleh pemerintah biasanya dipenuhi oleh pihak swasta. Namun untuk menghindari adanya free rider, yang dapat menyebabkan tidak efisiennya penyediaan barang di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan tersebut, maka penyediaan sarana dan prasarana oleh swasta di kedua sektor ini tidak lagi menganut prinsip barang publik (public goods), tetapi menganut prinsip barang swasta (private goods). Merupakan fitrah manusia yang akan berupaya
memenuhi tingkat
tertinggi dari utilitasnya, sehingga akan memilih barang publik atau barang swasta berdasarkan marginal rate of substitution (MRS), yang merupakan slop dari kurva indiferen (indifference curve). Namun setiap individu mempunyai keterbatasan anggaran (budget constraint), yang besarnya adalah:
53
Y = C + PG dimana: Y adalah pendapatan; C adalah konsumsi barang swasta (private goods), P adalah harga yang harus dibayarkan untuk mengkonsumsi setiap unit barang
Barang Swasta
publik (public goods), dan G adalah jumlah barang publik yang disediakan.
B
Kurva indiferen
E’
E
Batas Anggaran B Harga
G1 G2
B’ Konsumsi barang publik
Permintaan barang publik
P1 P2
G1 G2
Jumlah barang publik
Sumber: Stiglitz, 1999. Gambar 12: Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan
54
Gambar 12 di atas adalah ilustrasi kurva indiferen barang publik dan barang private sektor pendidikan dan sektor kesehatan. Secara grafis, utilitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap individu adalah berada di titik E pada panel A, yaitu titik perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran. Tetapi ketika harga (P) turun, sementara batas anggaran tetap, maka jumlah barang publik (G) yang diminta bertambah, sehingga perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran di titik E’. Kurva ini juga menunjukkan bahwa setiap individu mempunyai potensi untuk membelanjakan pendapatannya guna keperluan membeli barang publik maupun barang private di sektor pendidikan maupun di sektor kesehatan.