III. KERANGKA TEORITIS
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, ada banyak ukuran yang sering digunakan para ahli dalam studi empirik kemiskinan. Beberapa ukuran atau indeks kemiskinan yang sering digunakan dalam berbagai studi empirik selama ini menurut Blackwood and Lynch, (1994), diantaranya adalah : Pertama, adalah poverty headcount yang mengukur jumlah atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam bentuk formula, poverty headcount, dapat ditulis sebagai berikut : H =
q n
………………………………………………………………
(1)
dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n adalah jumlah penduduk. Dengan demikian, poverty headcount tidak lain adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line) terhadap jumlah penduduk. Ukuran ini dapat digunakan untuk mengetahui perubahan di dalam proporsi penduduk yang hidup di dalam kemiskinan. Jika persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang (bertambah), maka dapat dikatakan kemiskinan mengalami penurunan (peningkatan). Masalah utama dengan poverty headcount adalah bahwa ukuran ini tidak menunjukkan seberapa parah kemelaratan dari kaum miskin (the extent of immiseration of the poor) itu. Kelemahan lain adalah bahwa ukuran ini menganggap bahwa distribusi pandapatan diantara penduduk miskin adalah bersifat homogen.
Kedua, adalah poverty gap atau disebut juga income shortfall. Ukuran ini menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari kemiskinan. Dalam bentuk formula, poverty gap, dapat dinyatakan sebagai berikut : I=z – ì
.............................................................................................
(2)
dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shorfall) yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dari ratarata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, ì adalah pendapatan rata-rata dari penduduk miskin, dan z adalah garis kemiskinan. Suatu pendekatan alternatif untuk mengukur income shortfall adalah menentukan jumlah agregat dari uang yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dari seluruh penduduk miskin ke atas garis kemiskinan : P = q(z- ì )
..........................................................................................
(3)
dimana P adalah aggregate income shortfall, q adalah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, z adalah garis kemiskinan, dan ì adalah pendapatan ratarata dari penduduk miskin. Kelemahan atau keterbatasan dari income shortfall atau poverty gap adalah bahwa ukuran ini tidak menggambarkan the severity of the poverty problem dalam arti jumlah orang yang menderita kemiskinan. Ketiga, adalah distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ukuran ini hanya berhubungan dengan pembagian atau distribusi pendapatan diantara penduduk miskin (income distribution among the poor), dan bukan diantara penduduk secara keseluruhan, sebab ukuran kemiskinan absolut (absolute poverty measures) per definisi bergantung secara eksklusif pada pendapatan dari penduduk miskin. Ukuran
yang secara luas digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan adalah koefisien Gini (Gini coefficient) dan kurva Lorenz (Lorenz curve). Koefisien Gini biasanya dihubungkan dengan kurva Lorenz, yaitu suatu kurva yang memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama, misalnya, satu tahun. Bentuk kurva Lorenz menunjukkan derajat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan (Perkins, et.al, 2001). Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal 45o , maka semakin timpang atau semakin tidak merata distribusi pendapatannya. Sebaliknya, semakin dekat kurva Lorenz dengan garis diagonal 45o (garis kemerataan), maka semakin merata distribusi pendapatannya (Todaro dan Smith, 2003). Dengan kata lain, indeks Gini merupakan rasio antara wilayah yang dibatasi oleh kurva Lorenz dan garis diagonal 45o dengan seluruh wilayah antara garis diagonal 45o dan sumbu mendatar, yaitu wilayah A/(A + B). 100 Persentase Pendapatan Garis Kemerataan A Kurva Lorenz B 0
100 Persentase Penerima Pendapatan
Gambar 4. Kurva Lorenz
Keterbatasan dari koefisien Gini dan kurva Lorenz adalah kedua ukuran ini hanya menunjukkan pemeringkatan parsial (partial ranking) dari distribusi penda-
patan, dimana hanya menunjukkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan tidak menggambarkan ’the extent of impoverishment’. Selain itu ketiga ukuran kemiskinan absolut tersebut, Blackwood dan Lynch (1994) juga mengemukakan apa yang mereka namakan sebagai ukuran kemiskinan komposit (composite poverty measures), yang terdiri dari : Pertama, adalah Sen index yang dikemukakan oleh Sen (1976). Indeks Sen mencoba untuk mengatasi berbagai kekurangan (shortcomings) yang terdapat pada ukuran- ukuran kemiskinan sebelumnya. Selain menggambarkan persentase penduduk miskin, indeks Sen juga menggambarkan luasnya kemelaratan (the extent of immiseration) dan distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Dengan kata lain, indeks Sen mencakup di dalamnya headcount, income atau poverty gap, dan koefisien Gini. Dalam bentuk formula, Sen index dapat ditulis sebagai berikut : S = H [I + (1 − I )Gp]
………………………………………………..
(4)
.............................................................................
(5)
q
I = ∑ ( z − yi / qz ) i =1
dimana S adalah indeks Sen (Sen Poverty index), H adalah headcount index, I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall) sebagai suatu persentase dari garis kemiskinan, yi adalah pendapatan dari rumah tangga miskin yang ke-i, z adalah garis kemiskinan, qz adalah jumlah rumahtangga dengan pendapatan lebih kecil dari z, H = q/n adalah poverty headcount, n adalah jumlah total rumahtangga atau penduduk Gp adalah Gini index diantara penduduk miskin (dimana 0 Gp
1).
Indeks kemiskinan dari Sen ini merupakan ‘increasing function’ dari poverty headcount’ (H) dan ‘poverty gap’ (I). Oleh karena nilai Gp terletak antara 0 dan 1,
maka indeks Sen (S) juga dengan sendiri merupakan
‘increasing function’ dari
koefisien Gini (Gp ). S/ H > 0,
S/ I, dan
S/ Gp
Hal ini menunj ukkan bahwa indeks Sen akan meningkat atau turun apabila salah satu dari faktor- faktor tersebut di atas (H, I atau Gp ) mengalami kenaikan atau penurunan. Kedua, adalah ‘Foster-Greer-Thorbecke’ (FGT ) index, suatu indeks kemiskinan yang dikemukakan oleh Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Indeks ini banyak digunakan dalam berbagai penelitian empiris tentang kemiskinan karena sensitivitasnya terhadap kedalaman kemiskinan (depth of poverty) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Secara matematis, ‘indeks F-G-T’ tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut : q
Pα = (1/ n )[∑ ( gi / z )α ] untuk á 0
………………………………….
(6)
i =1
dimana n adalah jumlah individu di dalam populasi, q adalah jumlah individu atau rumahtangga yang berada di bawah garis kemiskinan, gi adalah poverty gap dari rumahtangga ke- i, z adalah garis kemiskinan, q adalah jumlah rumahtangga yang berada di bawah garis kemiskinan, z adalah garis kemiskinan. Apabila nilai á = 0, maka Pá = headcount ratio, dan formula (6) akan berubah menjadi : q
P0 = (1 / n )[∑ ( gi / z ) 0 ]
........................................................................
(7)
.........................................................................................
(8)
i =1
atau, P0 =
q =H n
Indeks (Po) ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yang didefinisikan sebagai persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk. Walaupun indeks ini merupakan indikator kemiskinan yang paling sering digunakan, namun indeks ini memiliki kelemahan yaitu tidak menggambarkan kedalaman (depth of poverty) dan keparahan (severity of poverty) dari kemiskinan tersebut. Untuk mengatasi kelemahan dari indeks tersebut, maka digunakan indikator lain yaitu rasio kesenjangan pendapatan (income gap ratio) atau yang lebih dikenal dengan ‘poverty gap (PG) index’ yang mengukur perbedaan atau jarak antara pendapatan rata-rata dari kaum miskin dengan garis kemiskinan dan dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan, yaitu (Z- yi)/Z, dimana yi adalah pendapatan atau pengeluaran rata-rata dari penduduk miskin. Apabila á = 1, maka akan diperoleh indeks P1 yang merupakan pengalian antara ‘headcount’ ratio (H) dengan ‘poverty-gap index’, (Z-yi )/Z, dan dapat dinyatakan sebagai berikut : q
P1 = (1 / n)[ ∑ ( gi / z )1 ]
.......................................................................
(9)
.............................................................................................
(10)
i =1
atau P1 = HI
dimana indeks P1 ini dapat digunakan untuk mengukur, baik tingkat kemiskinan (incidence of poverty) maupun intensitas atau kedalaman kemiskinan (the depth of poverty). Namun demikian, indeks P1 ini tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan
diantara penduduk miskin. Dengan kata lain, apabila á = 1, maka akan diperoleh jurang kemiskinan yang dinormalisasi (normalized poverty gap atau NPG). Apabila á = 2, akan diperoleh P2 yang merupakan ‘distributionally sensitive index’, yang dalam bentuk formula dapat dinyatakan sebagai berikut : 2
1 q z − yi 1 q y P 2 = ∑ = ∑ 1 − i n i =1 z n i =1 z
2
.................................................
(11)
Dalam versi lain, Todaro dan Smith (2003) 2 menuliskan persamaan (11) tersebut, sebagai berikut : P2 = (1/ n )[ NPG 2 + (1 − NPG 2 )(CV p ) 2 ] dimana NPG =
...........................................
(12)
q APG Z − yi TPG = , dan TPG = ∑ (Z − yi ) , , sementara APG = Z q Z i =1
dimana NPG adalah jurang kemiskinan yang dinormalisasi (normalized poverty gap), APG adalah jurang kemiskinan rata-rata (average poverty gap), TPG adalah jurang kemiskinan total (total poverty gap), CVp adalah koefisien variasi, yi adalah pendapatan/pengeluaran dari orang miskin, dan Z adalah garis kemiskinan. Indeks P2 atau ‘distributionally sensitive index’ ini, sampai pada batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dan dapat digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan (intensity of poverty). Dari formula (12) tersebut, jelas bahwa P2 akan meningkat apabila q/n, NPG, atau CV p meningkat, dan atau sebaliknya P2 akan turun apabila q/n , NPG, atau CV p turun, dimana CV p adalah koefisien variasi (coefficient of variation). 2
Bandingkan dengan Ray (1998) yang menulis
P2 = HCR[ IGR 2 + (1 − IGR) 2 C 2p ], dimana HCR
adalah headcount ratio, IGR adalah income gap ratio, dan Cp adalah koefisien variasi diantara penduduk miskin. Ini menurut Ray merupakan cara yang sangat bermanfaat untuk melihat FGT index untuk á = 2.
Suatu kelas ukuran kemiskinan yang umum, yang mengkombinasikan ketiga indeks atau indikator kemiskinan, yaitu : (1) persentase penduduk miskin, (2) jurang kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pendapatan diantara penduduk miskin, dapat ditulis sebagai berikut : θ=
∫
z
o
p( z, x) f ( x )dx
......................................................................
(13)
dimana p(z, x) merupakan suatu fungsi homogenus derajat nol di dalam z dan x, yang memenuhi restriksi ∂p ( z , x) 〈0 ∂x ∂2 p( z , x ) 〉0 ∂x 2 dan
p(z,z) = 0 Foster, Greer, dan Thorbecke (1984) mengusulkan suatu ‘class of poverty
measures’ yang diperoleh dengan mensubstitusikan α
z − x p ( z , x) = z
………………………………………………..
(14)
ke dalam persamaan (13), dimana á adalah parameter ‘inequality aversion’. Semakin besar nilai á, semakin besar bobot yang diberikan kepada penduduk miskin. Ketika ‘headcount ratio’ (H) digunakan sebagai ukuran kemiskinan, maka á = 0, dan berarti è = H.
Ukuran headcount ratio ini memberikan bobot yang sama pada semua
penduduk miskin tanpa memperhatikan intesitas kemiskinan mereka. Untuk á = 1, masing- masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemis-kinan (z). Ukuran ini dinamakan rasio jurang atau kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio). Untuk á = 2,
bobot yang diberikan kepada masing- masing
penduduk miskin proporsional dengan kuadrat dari kekurangan pendapatan (income shortfall) mereka dari garis kemiskinan. Ukuran ini dinamakan ‘rasio keparahan kemiskinan’ (poverty severity ratio) dan memenuhi ketiga indikator kemiskinan yang telah di-sebutkan sebelumnya. Derajat kemiskinan di dalam suatu negara bergantung pada dua faktor, yaitu (1) tingkat pendapatan rata-rata atau per kapita, dan (2) derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan (Son dan Kakwani, 2004; Kakwani, et al, 2004; Todaro dan Smith, 2003; Kakwani, 1993, 2000). Jadi, suatu ukuran kemiskinan dengan demikian dapat dinyatakan sebagai berikut : θ = θ ( µ, L( p) )
...................................................................................
(15)
dimana ì adalah pendapatan rata-rata dari masyarakat, dan L(p) adalah kurva Lorenz yang mengukur distribusi pendapatan relatif. L(p) adalah persentase dari pendapatan yang diterima oleh kelompok p persen teratas dari penduduk.
3.1. Dekomposisi Perubahan Total Dalam Kemiskinan : Efek Pertumbuhan Versus Efek Ketimpangan Dekomposisi perubahan total di dalam kemiskinan antara lain dilakukan oleh Kakwani (1993) untuk kasus negara Cote D’Ivoire di Afrika, dan Ravallion dan Datt (1991) untuk kasus Brazil dan India. Bertitik tolak dari persamaan (15), maka perubahan total di dalam kemiskinan dapat didekomposisi ke dalam dua komponen, yaitu komponen pertumbuhan (growth component) dan komponen ketimpangan (inequality component). Efek pertumbuhan mengukur efek dari suatu perubahan di dalam ì terhadap è pada saat L(p) tetap konstan. Efek redistribusi (atau ketimpangan) di lain pihak, mengukur efek dari suatu
perubahan di dalam L(p) terhadap è ketika ì dianggap tetap konstan. Efek total pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dapat didekomposisi ke dalam dua komponen yaitu : (1) dampak pertumbuhan ketika ketimpangan (inequality) dianggap tetap, dan (2) dampak perubahan di dalam ketimpangan distribusi pendapatan yang ditunjukkan dengan indeks Gini ketika pendapatan rata-rata dari masyarakat dianggap tetap. 3.1.1. Efek Pertumbuhan Untuk mengukur efek pertumbuhan, Kakwani (1993) menurunkan elastisitas dari è terhadap ì, dengan menganggap L(p) tetap konstan. Elastisitas kemiskinan (è) terhadap pendapatan rata-rata (ì) ditentukan dengan rumus sebagai berikut : ηθ =
1 z ∂p x f ( x) dx θ ∫o ∂x
...................................................................
yang adalah selalu negatif dalam arti
(16)
∂p < 0 . Untuk ukuran ‘headcount’ P(z,x) = 1, ∂x
elastisitas dapat diturunkan sebagai berikut : ηH = −
zf ( z ) <0 H
........................................................................
(17)
yang merupakan persentase penduduk miskin yang akan melewati garis kemiskinan sebagai akibat dari pertumbuhan sebesar 1 persen di dalam pendapatan rata-rata masyarakat. Dengan mensubstitusikan (14) ke dalam (15), akan menghasilkan elastisitas dari kelas ukuran kemiskinan Foster, Greer, dan Thorbecke, yang dinotasikan dengan èá terhadap ì, sebagai berikut : ηα =
∂θα µ α(θα −1 − θα ) . =− ∂µ θα θα
.....................................................
(18)
untuk á
0, yang akan selalu negatif karena èá merupakan fungsi dari á yang secara
monotonik menurun (monotonically decreasing function).
Elastisitas ini untuk
‘poverty gap ratio’ diperoleh dengan mensubstitusikan á = 1, ke dalam persamaan (18), yang akan menghasilkan : η1 = −
µ* ( z − µ* )
..............................................................................
(19)
dimana ì* adalah pendapatan rata-rata dari penduduk miskin. Besarnya ç1 bergantung pada
µ* , yang mengukur kedalaman kemiskinan z
(the depth of poverty). Dengan demikian dapat dicatat bahwa besaran absolut dari elastisitas dalam persamaan (19) adalah merupakan fungsi menaik (increasing function) dari
µ* , darimana kita dapat menyimpulkan bahwa dampak pertumbuhan z
ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan (ketika ketimpangan tidak berubah) adalah semakin kecil (besar) pada saat kedalaman kemiskinan semakin besar (kecil).
3.1.2. Efek Ketimpangan Meskipun çá adalah murni elastisitas pertumbuhan, yang mengukur dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan (poverty reduction) ketika ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan kurva Lorenz) tidak berubah bersama pertumbuhan, namun pertumbuhan ekonomi bisa meningkatkan atau menurunkan ketimpangan. Pertumbuhan bisa dikatakan memihak kaum miskin (pro-poor) jika ia mengurangi ketimpangan sedemikian sehingga penduduk miskin secara proporsional menikmati lebih banyak daripada yang dinikmati oleh penduduk yang kaya.
Untuk mengukur efek ketimpangan terhadap kemiskinan memang diakui bukan merupakan tugas yang mudah sebab ketimpangan dapat berubah tanpa batas. Dengan mengikuti Kakwani (1993), dan membuat suatu asumsi sederhana bahwa kurva Lorenz seluruhnya bergeser, selanjutnya elastisitas kemiskinan terhadap Gini index dapat ditulis sebagai berikut : εθ =
1 z ∂p ( x − µ) f ( x) dx θ ∫o ∂x
.............................................................
(20)
yang menunjukkan bahwa jika pertumbuhan ekonomi menyebabkan suatu kenaikan di dalam Gini index dengan 1 persen, maka insiden kemiskinan akan naik dengan åè persen, yang terjadi karena garis kemiskinan (z) lebih kecil daripada pendapatan ratarata (ì). Untuk ukuran kemiskinan FGT, elastisitas ketimpangan ditentukan dengan εα = µ + untuk á
αθα −1 ( µ − z) × θα z
……………………………………….
(21)
0. Elastisitas untuk ‘poverty gap ratio’ ini diperoleh dengan cara men-
substitusikan á = 1, ke dalam persamaan (21), yang akan menghasilkan ε1 =
( µ − µ* ) ( z − µ* )
…………………………………………………...
(22)
yang akan selalu positif. µ* Dapat dilihat bahwa å1 meningkat secara monotonik bersama , yang z berarti bahwa dampak kebalikan (adverse impact) dari peningkatan di dalam ketimpangan terhadap kemiskinan akan menjadi semakin besar (kecil) ketika kedalaman kemiskinan semakin kecil (besar).
3.1.3. Trade -off Antara Ketimpangan dan Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi meningkatkan pendapatan rata-rata, yang selanjutnya memiliki dampak menurunkan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan ketimpangan (inequality), yang kemudian meningkatkan kemiskinan, apakah berarti terdapat ‘trade-off’ diantara ketimpangan dan pertumbuhan ? Jika indeks Gini meningkat dengan 1 persen, berapa besarkah tingkat pertumbuhan agar kemiskinan tidak meningkat ? Pertanyaan ini sekarang bisa dijawab jika kita mendekomposis i proporsional perubahan total di dalam kemiskinan dan dapat dinyatakan sebagai berikut : dθ dµ dG = ηθ + εθ θ µ G dimana : ηθ .
...................................................................
(23)
dθ menunjukkan proporsional perubahan total di dalam kemiskinan, θ
dµ dG mengukur dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan, dan εθ . mengµ G
ukur dampak perubahan di dalam indeks Gini terhadap kemiskinan. Dengan menyamakan proporsional perubahan total di dalam kemiskinan dengan nol, selanjutnya akan diperoleh indeks ‘trade-off’ antara ketimpangan dan pertumbuhan (inequality-growth trade-off index, atau IGTI), yang dapat dinyatakan sebagai berikut : IGTI = φθ =
ε ∂µ G + =− θ ∂G µ ηθ
……………………………………..
(24)
Indeks ‘trade-off’ ketimpangan dan pertumbuhan (IGTI) untuk ‘FGT’ indeks adalah :
φα =
zθα + ( µ − z )θα −1 z (θα −1 − θα )
dimana untuk α = 1 , θ1 =
............................................................
(25)
( µ − µ* ) µ*
3.2. Kemiskinan Agregat, Rural dan Urban Selain dekomposisi perubahan kemiskinan ke dalam komponen pertumbuhan dan komponen ketimpangan seperti dikemukakan di atas, perubahan kemiskinan absolut juga dapat didekomposisi berdasarkan wilayah, yaitu ke dalam komponen perdesaan (rural) dan perkotaan (urban). Dalam hal ini, akan diikuti dekomposisi yang dilakukan War (2000, 2002). Andaikan, N, NR, dan NU berturut-turut menunjukkan penduduk total, penduduk perdesaan, dan penduduk perkotaan, dimana N = NR + NU. Selanjutnya, share dari penduduk perdesaan dan perkotaan terhadap total penduduk, berturut-turut dinyatakan sebagai
áR = NR/N, dan áU = NU/N, dimana áR + áU = 1. Jumlah
penduduk yang berada dalam kemiskinan ditunjukkan dengan N p = N pR + N Up , dimana N p = N pR + N Up , dimana N Rp dan N Up menunjukkan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian, insiden kemiskinan agregat (aggregate poverty incidence) dapat dinyatakan sebagai berikut : P = N p / N = ( N pR + N Up ) / N = αR P R + αU PU , dimana
.............................
(26)
P R = N pR / N R menunjukkan proporsi penduduk daerah perdesaan yang berada dalam kemiskinan, dan PU = N Up / N U adalah proporsi penduduk daerah perkotaan yang berada dalam kemiskinan. Sekarang, turunkan persamaan (26) tersebut, dan akan diperoleh hubungan sebagai berikut : dP = αR dP R + αU PU + ( P R − PU ) dαR .
........................................
(27)
Dari persamaan (27) tersebut, perubahan di dalam kemiskinan dapat didekomposisi ke dalam tiga bagian atau komponen, (1) perubahan di dalam insiden kemiskinan perdesaan dibobot dengan share penduduk perdesaan, (2) perubahan di dalam insiden kemiskinan perkotaan dibobot dengan share penduduk perkotaan, dan (3) pergerakan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan dibobot dengan perbedaan dalam insiden kemiskinan antara kedua wilayah tersebut. Komponen yang terakhir dari perubahan dalam insiden kemiskian tersebut sering dikenal dengan istilah “Kuznets effect”. Karena pergerakan penduduk terjadi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, maka suatu perubahan di dalam insiden kemiskinan agregat akan terjadi bahkan pada tingkat yang konstan dari insiden kemiskinan perdesaan dan perkotaan, yang dimungkinkan karena insiden kemiskinan di kedua wilayah tersebut berbeda. Di dalam perekonomian yang berkembang, diharapkan bahwa share penduduk perdesaan turun (dáR < 0) dan bahwa insiden kemiskinan di daerah perdesaan secara tipikal lebih besar dari insiden kemiskinan di daerah perkotaan ((PR – PU)>0). Dengan demikian, diharapkan tanda dari (PR – PU)dá R adalah negatif.
3.3. Kemiskinan dan Pertumbuhan Agregat
Selanjutnya, dapat dilihat bagaimana insiden kemiskinan itu dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, dan untuk penyederha naan, dihipotesiskan bahwa pada awalnya jumlah total rumahtangga yang berada dalam kemiskinan adalah Np, bergantung pada tingkat pendapatan riil agregat, Y, dan jumlah penduduk, N. Dengan demikian, dapat dinyatakan sebagai berikut : Np = ö(Y, N).
.................................................................................
(28)
Insiden kemiskinan dirumuskan sebagai, P = Np /N = ö(Y, N)/N.
..................................................................
(29)
Turunan total dari persamaan tersebut akan menghasilkan, dP = (ö Y/N)y + (öN- ö/N)n,
...........................................................
(30) dimana y dan n masing- masing menunjukkan proporsi perubahan dari peubah Y dan N. Dengan demikian, y = dY/Y, dan n = dN/N, yang menunjukkan tingkat perubahan dalam pendapatan per kapita riil dan penduduk. Dalam kasus dimana fungsi ö(.) adalah homogenus derajat satu di dalam Y dan N, maka persamaan (28) dapat ditulis kembali menjadi Np =ö + ö Í N, dan persamaan (30) akan menjadi, dP = (öYY/N)(y- n).
.........................................................................
(31)
Dalam kasus ini, perubahan di dalam insiden kemiskinan bergantung pada pertumbuhan dari pendapatan per kapita. Dengan asumsi bahwa perubahan dalam insiden kemiskinan hanya ditentukan atau bergantung pada pertumbuhan pendapatan per kapita, selanjutnya dapat dibuat persamaan yang dapat diestimasi dengan bentuk seperti berikut : dP = a1 + b1 (y-n)
.........................................................................
(32)
Konstanta a1 menunjukkan dampak faktor lain di luar pertumbuhan, yang juga mempengaruhi perubahan di dalam insiden kemiskinan. Selanjutnya, dapat dilakukan pengujian apakah koefisien b1 secara nyata lebih besar daripada nol dan apakah terdapat perbedaan yang sistematis antar wilayah (perdesaan dan perkotaan) dilihat dari koefisien tersebut. Selain itu, apabila ingin dikaji lebih lanjut bagaimana pertumbuhan mempengaruhi masing- masing komponen dalam persamaan (27), Ravallion dan Datt menerapkan suatu metode untuk mengestimasi sistem persamaan yang telah didekomposisi. Katakan ada empat persamaan, yang terdiri dari persamaan (32) dan tiga persamaan (pers. 33, 34, dan 35) sebagai berikut : αR dP R = a 2 + b2 ( y − n)
............................................................
(33)
αU dPU = a 3 + b3 ( y − n)
............................................................
(34)
( P R − PU ) dαR = a 4 + b4 ( y − n).
................................................
(35)
Dari identitas yang ditunjukkan oleh persamaan (27), persamaan-persamaan tersebut adalah terkait secara linear (linearly dependent). Persamaan (32) adalah sama dengan penjumlahan dari persamaan-persamaan (33), (34), dan (35).Dengan demikian, dari keempat persamaan tersebut, hanya tiga persamaan yang perlu diestimasi, yaitu persamaan (33), (34), dan (35). Parameter dari persamaan (32) dapat dihitung dari persamaan (27), sehingga hanya persamaan (33), (34),dan (35) yang bisa diestimasi, dan selanjutnya parameter dari persamaan (35) dapat dihitung dari identitas a4 = a1 – a2 – a3 dan b4 = b1 – b2 – b3 .
3.4. Kemiskinan dan Pertumbuhan Sektoral
Bagaimana komposisi dari pertumbuhan sektoral mempengaruhi kemiskinan dapat diinvestigasi sebagai berikut. Tingkat GDP riil ditunjukkan oleh Y = Ya + Yi + Ys, dimana Ya, Yi, dan Ys berrutu-turut menunjukkan nilai tambah (kontribusi terhadap GDP) pada harga konstan, dari sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa. Tingkat pertumbuhan menyeluruh dapat didekomposisi ke dalam komponen sektoral dari : y = Ha y a + H i yi + H s ys .....................................................................
(36)
Dimana Hk = Yk /Y, k= (a, i, s), yang menunjukkan share dari sektor - k ke dalam GDP. Dengan mengestimasi persamaan, dP = a1 + ba H a y a + bi Hi yi + bs H s ys 1
1
1
................................................
(37)
dan untuk menguji apakah ba = bi = bs , kita dapat menguji secara langsung apakah 1
1
1
komposisi pertumbuhan sektoral mempengaruhi tingkat penurunan kemiskinan. Suatu cara alternatif dalam melihat hubungan ini adalah dengan melakukan dekomposisi terhadap persamaan (37) ke dalam suatu komponen yang bergantung tingkat pertumbuhan agregat, dan ke dalam suatu komponen yang bergant ung pada perubahan di dalam komposisi pertumbuhan tersebut. Dapat dicatat bahwa Ya = (Ya/Y)/Y = HaY, ya = y + ha,
.........................................................................................
(38)
dimana ha = dHa /Ha yang menunjukkan perubahan proporsional di dalam share sektor pertanian di dalam GDP. Atas dasar itu, selanjutnya dapat dinyatakan bahwa, ba H a ya + bi H i yi + bs H s ys = 1
1
1
(ba H a + bi H i + bs H s ) y + ba H a ya + bi H i yi + bs H s y s 1
1
1
1
1
1
.....................
(39)
Persamaan (39) menunjukkan bahwa penurunan di dalam kemiskinan dapat didekomposisi ke dalam dua komponen, yaitu (1) komponen yang melibatkan tingkat pertumbuhan output agregat (koefisien yang berada dalam kurung), dan (2) komponen yang melibatkan perubahan di dalam komposisi output sektoral (tiga unsur terakhir). Jika ketiga unsur terakhir tersebut = 0, maka persamaan (39) tersebut dapat dinyatakan hanya sebagai fungsi dari y saja. Selanjutnya, dengan menurunkan identitas Ha + Hi + Hs = 1, dapat dilihat bahwa Ha ha + Hi hi + Hs hs = 0
..................................................................
(40)
Oleh karena itu, suatu kondisi yang mencukupi (sufficient condition) untuk ketiga unsur terakhir dari persamaan (39) adalah bahwa b1 = b2 = b3 . Untuk menghasilkan dekomposisi ini tent u saja tidak diperlukan suatu tambahan perhitungan ekonometrik untuk mengestimasi persamaan seperti persamaan (37). Estimasi parameter dari persamaan (37) sudah cukup untuk mendukung dekomposisi yang ditunjukkan persamaan (39) tersebut. Dengan menerapkan metode persamaan (32), (33), dan (34) sebelumnya, maka sistim persamaan (41) berikut dapat diestimasi : dP = a1 + ba H a y a + bi Hi yi + bs H s ys + c1n 1
1
1
....................................
αR dP R = a 2 + ba H a y a + bi H i yi + bs H s y s + c 2 n 2
2
2
(41)
...........................
(42)
αU dPU = a 3 + ba H a ya + bi H i yi + bs H s y s + c 3 n ........................... Parameter dari persamaan keempat dari sistim persamaan,
(43)
3
3
3
( P R − PU ) = dαR = a 4 + ba H a y a + bi Hi yi + bs H s y s + c 4 n 4
4
4
...........
(44)
dapat dihitung dengan menggunakan identitas yang diturunkan dari persamaan (27), sebagai berikut : a 4 = a1 − a 2 − a 3 , ba = ba − ba − ba , dan seterusnya. 4
1
2
3