II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengalaman Empiris Sebagaimana halnya di negara-negara Asia Tenggara, konsep pertanian terpadu yang melibatkan pola sistem integrasi tanaman-ternak, sebenarnya sudah diterapkan oleh petani di Indonesia sejak jaman dahulu. Berbagai varian dari penerapan pola ini cukup beragam berdasarkan tingkat pemilikan petani, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Sistem usahatani terpadu mulai diperkenalkan pada tahun 1970-an berdasarkan hasil-hasil pengkajian dan penelitian yang dimulai oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor dengan mengacu pada pola di IRRI (Manwan, 1989). Sejak saat itu secara bertahap muncul istilah-istilah “pola tanam” (cropping pattern), “pola usahatani” (cropping systems), sampai akhirnya muncul istilah “sistem usahatani” (farming systems), serta “sistem integrasi tanaman-ternak” yang merupakan terjemahan dari crop livestock systems (Diwyanto et al., 2002). Devendra (1993) menyatakan bahwa terdapat delapan keuntungan dari penerapan pola sistem integrasi tanaman-ternak, yaitu (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (2) mengurangi terjadinya resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan biologi serta masukan sumberdaya lainnya, (6) sistem ekologi lebih lestari serta tidak menimbulkan polusi sehingga ramah lingkungan, (7) meningkatkan output, dan (8) mampu mengembangkan rumahtangga petani yang berkelanjutan.
12
Tabel 1. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Asia Tenggara Komoditas Ternak ruminansia: Kerbau
Tujuan produksi
Tipe tumpangsari
Tingkat kepemilikan
Tenaga kerja Daging
Padi dan palawija Padi
Tinggi Tinggi
Daging
Tinggi
Susu Tenaga kerja
Hortikultura, perkebunan, padi Hortikultura, perkebunan Padi dan palawija
Kambing
Daging Susu
Hortikultura, perkebunan Hortikultura, perkebunan
Sedang/tinggi Rendah
Domba
Daging
Hortikultura, perkebunan
Sedang/tinggi
Ternak non ruminansia: Babi
Daging
Hortikultura
Sedang/tinggi
Ayam
Daging, telur
Hortikultura dan padi
Sedang/tinggi
Bebek
Daging, telur
Hortikultura, padi dan kolam ikan
Sedang/rendah
Sapi
Tinggi Tinggi
Sumber: Devendra, 1993
Program peningkatan produktivitas padi terpadu yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian menunjukkan bahwa introduksi teknologi pertanian terpadu tanaman-ternak setelah dua kali musim tanam berlangsung, mampu meningkatkan produktivitas padi sawah sekitar 1 ton per Ha dan pendapatan petani meningkat antara Rp.900 ribu - Rp.1 juta per Ha per musim tanam (Zaini et al., 2003). Pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan efisiensi usaha padi sawah melalui penerapan komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik.
13
Budianto (2003) menyatakan bahwa secara rataan, dari 28 lokasi di Indonesia yang menerapkan program pengelolaan tanaman terpadu, produktivitas tanaman padi meningkat rata-rata 18 persen dibandingkan dengan pola tradisional. Biaya produksi dari sistem usahatani ini adalah Rp.3.9 juta/Ha dibandingkan dengan pola tradisional yang sebesar Rp.3.6 juta/Ha. Peningkatan biaya ini disebabkan karena adanya introduksi penggunaan pupuk organik dalam bentuk padat sebesar 0.90 ton/Ha, namun rataan hasil gabah yang diperoleh 1.03 ton lebih tinggi pada program pengelolaan tanaman terpadu dibandingkan dengan pola tradisional, sehingga pendapatan petani rata-rata masih meningkat sebesar 33 persen. Peningkatan pendapatan ini salah satunya disebabkan oleh penggunaan pupuk berimbang akibat introduksi penggunaan pupuk organik, dimana jumlah pupuk urea (sumber N) dan SP-36 (sumber P) masing-masing berkurang sebesar 39 kg/Ha dan 4 kg/Ha pada program pengelolaan tanaman terpadu dibandingkan dengan pola tradisonal. Suatu penelitian di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menunjukkan bahwa petani padi pada sistem usahatani terpadu dengan menggunakan pupuk organik menghasilkan pendapatan Rp.1.45 juta per musim tanam lebih tinggi dibandingkan dengan petani padi yang tidak menggunakan pupuk organik (Howara, 2004). Hal ini disebabkan karena penggunaan pupuk organik menyebabkan turunnya penggunaan pupuk anorganik, sehingga biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal senada juga telah dilaporkan oleh Syam dan Sariubang (2004) yang menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik sebanyak 2 ton per Ha diimbangi dengan pupuk urea, Za dan KCl pada sistem usaha padi sawah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, memberikan pendapatan petani sebesar
14
Rp.3 376 878 per Ha per musim tanam. Lebih lanjut dinyatakan bahwa karena harga pupuk anorganik yang semakin mahal, maka disarankan bagi petani dalam penggunaan kombinasi pupuk organik dengan pupuk anorganik secara berimbang. Pada sistem usahatani di lahan kering, respon penggunaan pupuk organik terhadap pendapatan petani juga telah dilaporkan oleh Priyanti et al., (2004). Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kompos yang dibuat oleh petani dengan proses fermentasi, penerimaan dari hasil produksi kacang tanah memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan kompos komersial dan kotoran ternak yang telah dikeringkan. Perbedaan tersebut untuk setiap Ha mencapai Rp.624 937 dan Rp.724 333 masing-masing untuk penggunaan kompos komersial dan kotoran ternak yang telah dikeringkan. Peningkatan gross margin pada kompos hasil fermentasi yang dilakukan oleh petani disebabkan karena relatif rendahnya biaya produksi akibat penggunaan pupuk dasar. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya produksi rata-rata pembuatan bahan kompos adalah Rp.42 per kg dengan tanpa memperhitungkan biaya tenaga kerja, dimana rata-rata proporsi input terhadap output yang dihasilkan adalah sebesar 69 persen. Suatu pengkajian pola integrasi tanaman padi dan ternak sapi pada sistem usahatani telah dilakukan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Model integrasi yang dikembangkan adalah berdasarkan potensi sumberdaya lahan yang dimiliki petani, dengan kegiatan terdiri dari pengelolaan jerami padi dan pengelolaan pupuk kandang. Distribusi tenaga kerja rumahtangga petani terdiri dari kegiatan on farm, off farm dan non farm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan pada alokasi penggunaan tenaga kerja
15
rumahtangga petani pada waktu sebelum dan sesudah mengikuti program pertanian terpadu. Kegiatan rumahtangga yang awalnya mencapai 22.4 HOK per bulan berkurang menjadi 17.3 HOK per bulan pada alokasi penggunaan tenaga kerja wanita (Prasetyo et al., 2002). Hal ini disebabkan karena kegiatan mencari air minum yang sedianya berjarak 3 km tidak lagi dilakukan karena melalui pembentukan kelompok tani-ternak, dibangun penyediaan program air bersih dengan menggunakan modal koperasi. Waktu luang tersebut diganti untuk kegiatan usahaternak dan non farm. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan kuntungan usahatani pada pola sistem integrasi tanaman-ternak telah dianalisis oleh Suwandi (2005) yang menyatakan bahwa usahatani pola ini memberikan harapan bagi petani lahan sempit untuk meningkatkan produksi usahatani dan diperlukan insentif untuk mendorong semakin berkembangnya usaha sistem integrasi tanaman-ternak. Dibandingkan dengan petani yang tidak mengadospi pola sistem integrasi tanaman-ternak, usaha padi sawah pola ini mampu meningkatkan produksi padi sebesar 23.6 persen dengan keuntungan 14.7 persen lebih tinggi. Peningkatan penggunaan pupuk kandang sebesar satu unit dapat meningkatkan produksi padi sebesar 0.125 dengan peningkatan keuntungan usahatani sebesar 0.134. Perbaikan aplikasi pupuk kandang sesuai standar teknis ternyata mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
2.2. Ekonomi Rumahtangga Petani Sistem usahatani adalah pendekatan secara holistik dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Suatu usahatani merupakan agro ekosistem yang unik, yang merupakan suatu
16
kombinasi sumberdaya fisik dan biologis seperti bentuk-bentuk lahan, tanah, air, tumbuhan dan hewan. Dengan mempengaruhi komponen-komponen agro ekosistem ini dan interaksinya, rumahtangga petani mendapatkan hasil atau produk seperti tanaman dan ternak (Reijntjes et al., 2003). Untuk menjaga proses produksi terus berlangsung, rumahtangga petani membutuhkan input, misalnya benih/bibit, energi, unsur hara, air, dan lain sebagainya. Input dalam adalah komponen yang diambil maupun yang dihasilkan dari usahatani sendiri, misalnya tenaga kerja keluarga, sedangkan input alami adalah input alam yang digunakan dalam proses produksi seperti energi matahari, air hujan, nitrogen yang diikat dari udara, dan lain sebagainya. Input luar adalah input yang diperoleh dari luar usahatani, seperti informasi, tenaga buruh, pupuk anorganik, dan lain-lain. Hasil usahatani digunakan untuk dikonsumsi oleh rumahtangga petani, dijual, ditukar atau diberikan. Hal ini secara rinci disajikan dalam Gambar 1 yang menerangkan aliran barang dan jasa dalam suatu sistem usahatani yang sederhana. Penjualan hasil memberikan uang tunai yang dapat dipakai untuk membeli berbagai macam barang atau jasa (misalnya pangan, sandang, pendidikan dan transportasi), dan/atau mendapatkan input pertanian. Input dapat juga diperoleh dengan pertukaran hasil pertanian secara langsung. Gambar 1 memberikan indikasi bahwa aktivitas produksi dan konsumsi dalam suatu rumahtangga sangat erat kaitannya. Rumahtangga petani dipandang sebagai pengambil keputusan dalam aktivitas produksi dan konsumsi, serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Kegiatan produksi merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam sistem usahatani, dimana tujuan produksi tidak semata-mata untuk
17
dipasarkan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga. Petani lebih banyak berperilaku sebagai penerima harga input dan output, serta tidak mampu mempengaruhi harga-harga tersebut.
Masyarakat/Pasar
Input luar Input alami
Hasil (dijual/ ditukar)
Konsumsi rumahtangga
Kerugian
Input dalam
Sumberdaya usahatani Batas sistem usahatani
Sumber: Reintjes et al., 2003. Gambar 1. Aliran Barang dan Jasa dalam Suatu Usahatani
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar usahatani di Indonesia dilakukan oleh petani-petani kecil dengan cara masih tradisional. Keterbatasan sumberdaya (khususnya lahan dan modal) menjadi ciri yang utama, sehingga petani berusaha untuk memilih dan memutuskan model usahatani dalam memenuhi kebutuhan keluarga melalui usaha yang beresiko rendah. Peningkatan produksi dan produktivitas dapat ditempuh dengan tetap memperhatikan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu, sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Petani akan mengalokasikan penggunaan sumberdaya usahataninya, khususnya melalui
18
penambahan jumlah dan jenis input, jika diyakini bahwa usaha tersebut akan berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan. Secara teoritis, perilaku petani tersebut dapat didekati dengan teori produksi, dimana fungsi produksi ini merupakan hubungan matematis antara output atau produk dengan faktor-faktor produksi atau input. Bagi keluarga petani dengan keterbatasan pemilikan lahan, keamanan produksi atau pendapatan merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelangsungan hidupnya sangat tergantung akan hal ini. Sehingga, untuk menjamin kelangsungan cara hidupnya, petani juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, misalnya terhadap inovasi teknologi baru. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang berubah, akhirnya menentukan keberlanjutan pertanian. Beberapa faktor penting dalam kesanggupan untuk menyesuaikan diri di tingkat usahatani adalah kemampuan untuk (Reijntjes et al., 2003): 1. Mengelola pengembangan usahatani 2. Memilih kombinasi sumberdaya genetik dan input yang tepat 3. Mengembangkan teknik/hasil inovasi teknologi baru 4. Mencocokkan hasil inovasi dalam sistem usahatani. Dalam kaitannya dengan pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak, sebetulnya pola ini bukan merupakan hal yang baru bagi petani. Namun, dengan semakin berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi yang ada, maka penggunaan input luar dalam sistem usahatani dapat diminimalkan untuk memberikan tambahan kontribusi terhadap pendapatan keluarga petani.
19
2.3. Studi Empiris Model Ekonomi Rumahtangga Mempelajari dan memahami perilaku usahatani di perdesaan sangat penting dalam membangun kebijakan ekonomi di negara-negara berkembang, dimana sektor pertanian memegang peranan yang cukup besar. Sama halnya dengan di Indonesia, pada umumnya konsumsi merupakan bahan pangan yang diproduksi oleh petani itu sendiri, namun pada saat pemerintah merancang kebijakan ekonomi dihadapkan pada kondisi untuk memilih antara mempengaruhi perilaku konsumsi dari petani dengan memodifikasi harga dan/atau pendapatan, maupun mempengaruhi rencana produksi. Sehingga sangat bermanfaat untuk mengestimasi konsumsi dari fungsi permintaan dan penawaran dari produkproduk pertanian dalam memberikan rekomendasi sebagai pemandu dalam keputusan-keputusan pemerintah.
2.3.1. Studi di Asia, Amerika Latin dan Afrika Singh dan Janakiran dalam Singh et al., (1986) menggunakan data rumahtangga petani dari Korea dan Nigeria untuk menggambarkan model rumahtangga petani pada beberapa komoditas pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Korea, produksi yang dihasilkan oleh usahatani keluarga sangat terintegrasi terhadap aspek pasar, meskipun tidak seluruhnya komersial, namun pada umumnya petani berusaha dengan orientasi pasar. Beberapa komoditas pertanian ditanam dengan kondisi irigasi yang dapat dikontrol secara baik. Disamping itu, keluarga petani juga memiliki berbagai sumber pendapatan diluar usahatani yang dapat dipergunakan sebagai input bagi produksi pertanian. Sebaliknya, petani di Nigeria bagian utara lebih terisolasi dari aspek pasar, dimana usaha pertanian yang dilakukan lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan
20
keluarga. Meskipun usahatani ini bersifat semi komersial sehingga juga berhubungan terhadap faktor dan produk pasar, namun hanya sedikit yang mempunyai peluang terhadap pekerjaan diluar usahatani. Hal ini memang terkait dengan keadaan geografis wilayah yang semi-arid, sehingga faktor ketidakpastian terhadap output yang diharapkan sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Muller dalam Caillavet et al., (1994) menyatakan bahwa 95 persen masyarakat di Rwanda sangat tergantung pada sektor pertanian, dimana pendapatan mereka sebagian besar berasal dari hasil produk-produk pertanian. Melalui metoda linear expenditure system diperoleh hasil bahwa faktor produksi utama yang sangat penting adalah tenaga kerja dan tanah dengan konsumsi pangan terdiri dari hasil pertanian yang diproduksi sendiri. Lebih lanjut dilaporkan bahwa keputusan produksi harus dipertimbangkan saat membuat estimasi sistem permintaan dalam model yang simultan. Variabel endogen dari produksi dan keputusan sistem penawaran tenaga kerja secara simultan menerangkan bahwa kepentingan trade off pasar pada konsumsi ternyata kurang nyata. Hal ini disebabkan karena parameter pada reduced form persamaan permintaan produksi tidak berpengaruh dan terjadi spasial korelasi untuk barang-barang yang dikonsumsi sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman perilaku usahatani memerlukan data dan informasi secara berkala yang lebih akurat, sehingga penentu kebijakan dapat mengindikasikan bagaimana pengaruh kebijakan terhadap
konsumsi
rumahtangga
petani
dan
konsekuensinya
terhadap
kesejahteraan masyarakat. Sadoulet (1995) menggunakan model ekonomi rumahtangga yang non separable dengan tiga aspek dikaji secara simultan, yakni produksi (tanaman
21
pangan), faktor input (tenaga kerja dan pupuk) serta konsumsi meliputi pangan, barang yang dibeli di pasar dan waktu santai. Studi ini mengamati perilaku petani di Maroko yang tidak memberikan respon positif terhadap insentif harga pemerintah dalam kegiatan produksi tanaman pangan. Petani lebih memilih untuk menyesuaikan penggunaan tenaga kerja atau mengurangi konsumsi pangannya. Kontradiksi ini didekati dengan memasukkan variabel kegagalan pasar dalam model ekonomi rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi dimana tidak terjadi kegagalan pasar, peningkatan harga output tanaman pangan sebesar 10 persen, mengakibatkan rumahtangga petani meningkatkan penggunaan faktor input produksi sampai 5.4 persen dan pendapatan meningkat hingga 9.9 persen. Alokasi waktu dan curahan tenaga kerja yang digunakan untuk berproduksi meningkat, sehingga terjadi peningkatan upah tenaga kerja sampai 6.1 persen. Akibat lebih sedikit output tanaman pangan yang diproduksi dibandingkan dengan yang dikonsumsi, maka permintaan produk tersebut di pasar meningkat 7.9 persen. Pada kondisi dimana terjadi kegagalan pasar, respons elastisitas produksi cash crops turun dari 0.99 sampai 0.18, karena ketidakmampuan petani untuk mengurangi produksinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan rendahnya penggunaan tenaga kerja keluarga untuk meningkatkan produksi. Semakin tinggi pendapatan yang diterima, maka semakin besar pula konsumsi waktu santai. Model ekonomi rumahtangga terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan strategis yang terjadi mengikuti perubahan ekonomi secara global. Key et al., (2000) memasukkan biaya transaksi, seperti biaya proporsional dan biaya tetap kedalam model umum ekonomi rumahtangga yang dibangun oleh
22
Singh et al., (1986). Model tersebut dibangun untuk mengestimasi respon produksi rumahtangga petani jagung di Meksiko dan elastisitas fungsi produksi secara agregat. Partisipasi dari aspek pasar menjadi variabel yang sangat penting dalam model ini, dimana selain jumlah barang yang dikonsumsi, diproduksi dan digunakan sebagai input rumahtangga, ditentukan pula seberapa banyak barang yang masuk ke pasar (jika nilainya positif dapat dijual, sedangkan jika nilainya negatif harus membeli). Model ekonomi rumahtangga yang digunakan adalah memaksimumkan keuntungan dengan kendala pendapatan, keseimbangan sumberdaya dan teknologi produksi. Sebanyak 382 petani jagung yang terdiri dari 190 pedagang, 69 pembeli, dan 123 produsen mandiri, dipergunakan sebagai responden dalam studi tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kenaikan harga output sebesar 60 persen disebabkan oleh masuknya para produsen ke pasar, dimana 40 persen sisanya memang sudah berada di pasar. Hal ini membuktikan bahwa keputusan memasukkan variabel untuk partisipasi pasar harus dipertimbangkan dengan baik, sehingga keberadaan jenis dan biaya transaksi memiliki implikasi yang kuat dalam kaitannya dengan spesifikasi dan estimasi respon fungsi produksi. Jika biaya transaksi merupakan biaya tetap, akan terjadi discontinuities dalam merespon insentif yang terjadi di pasar. Kebijakan untuk menurunkan biaya transaksi sangat berarti bagi kebijakan harga yang akan mempengaruhi terhadap respon produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurunkan biaya transaksi melalui perbaikan transportasi dan sarana promosi dapat meningkatkan output.
23
Uji global separability yang pada umumnya digunakan untuk memisahkan keputusan produksi dan konsumsi dalam model ekonomi rumahtangga dianggap tidak tepat secara teori, dimana faktor kegagalan pasar dapat mengakibatkan terjadinya non separability, meskipun tidak untuk semua rumahtangga petani. Carter dan Yao (2002) mengkaji hal tersebut dengan menggunakan data panel hasil survei yang diterbitkan oleh Biro Pusat Statistik di delapan propinsi di China pada periode 1988 dan 1993. Metoda analisis Maximum Likelihood Estimation digunakan dalam penelitian ini dengan input lahan dan alokasi tenaga kerja sebagai faktor utama dalam fungsi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak pemindahan atas lahan memiliki efisiensi yang sangat nyata, sehingga perlu adanya pilihan lain dalam mengatasi kasus reformasi lahan bagi pemerintahan di China. Debat tentang reformasi hak-hak atas pemilikan lahan menjadi salah satu penyebab terjadinya trade off antara investasi yang tidak berinsentif yang diciptakan oleh tuan-tuan tanah versus terciptanya fungsi jaring pengaman sosial. Hasil analisis menyarankan suatu resolusi parsial, dimana berkurangnya hak-hak pemindahan atas lahan dapat memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan tanpa mengorbankan jaring pengaman sosial yang sudah berlaku dalam sistem pengaturan pemilikan lahan saat ini. Taylor dan Adelman (2003) mengulas tentang evolusi dan perkembangan penggunaan model ekonomi rumahtangga pada 196 petani di Michoacan, Meksiko. Metoda estimasi yang digunakan adalah General Algebraic Modeling System (GAMS) untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan NAFTA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek pendapatan karena perubahan kebijakan tidak didistribusikan secara merata diantara rumahtangga petani di perdesaan. Transfer
24
pendapatan pada keluarga petani subsisten di wilayah perdesaan Meksiko memberikan hasil terbaik dan berpotensi dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena pola pengeluaran dari rumahtangga tersebut lebih menyukai produk yang dihasilkan di wilayahnya, sehingga kebijakan perubahan harga jagung yang rendah dalam konsensus NAFTA tidak menjadi stimulus untuk terjadinya migrasi dari Meksiko ke USA.
2.3.2. Studi di Indonesia 2.3.2.1. Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Telah cukup banyak studi dengan topik model ekonomi rumahtangga petani di Indonesia. Sawit (1993) menggunakan model ekonomi rumahtangga petani di Jawa Barat untuk menganalisis dampak dari berbagai kebijakan pemerintah, utamanya harga input dan output, terhadap pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja. Model ekonomi yang digunakan untuk menduga perilaku produksi keluarga petani adalah melalui pendekatan fungsi translog keuntungan, sedangkan untuk perilaku konsumsi dilakukan dengan model almost ideal demand system (AIDS) dan linear approximation dari AIDS (LA/AIDS). Sejumlah 241 keluarga petani digunakan sebagai responden dalam studi ini yang diseleksi berdasarkan multi stage stratified random sampling mulai dari kecamatan, desa, kampung dan rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak dapat dipungkiri jika perilaku keluarga petani adalah memaksimumkan keuntungannya. Hasil estimasi model LA/AIDS pada lima komoditas usahatani menunjukkan bahwa kenaikan harga beras akan mengakibatkan (1) meningkatnya pendapatan keluarga melalui keuntungan yang diperoleh, (2) meningkatnya penyerapan tenaga kerja pada
25
sektor pertanian melalui meningkatnya permintaan tenaga kerja, dan (3) meningkatnya jumlah beras yang dijual di pasar. Khusus untuk aspek tenaga kerja dinyatakan bahwa penawaran tenaga kerja laki-laki dan perempuan dalam usaha padi di Jawa Barat adalah elastis terhadap upahnya sendiri, sedangkan hal tersebut pada usaha non pertanian adalah mendekati nol. Model ekonomi rumahtangga pertanian juga telah digunakan oleh Heatubun (2001) dalam studinya untuk mengevaluasi keberhasilan program pemberdayaan petani multikomoditi di Propinsi Maluku. Penelitian ini menggunakan 152 petani contoh berdasarkan metoda stratified random sampling. Model analisis yang digunakan adalah model persamaan simultan dengan metode two stage least squares (2SLS). Hasil analisis secara deskriptif menunjukkan bahwa program pemberdayaan petani multikomoditi dinyatakan berhasil dari sisi tepat sasaran, sesuai agro ekosistem setempat, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Skala usaha, produksi dan marketable surplus masing-masing usaha inelastis terhadap peubah harga. Usaha tanaman pangan kurang berorientasi pasar dan lebih bersifat subsisten, sedangkan pada usaha tanaman perkebunan meskipun sudah berorientasi pasar namun marketable surplusnya bersifat inelastis terhadap harga. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi, penggunaan tenaga kerja, marketable surplus, konsumsi dan dispossible income, maka skenario yang terbaik adalah kombinasi antara variabel-variabel kenaikan harga produk, upah dan pendapatan non usahatani. Penelitian terdahulu yang mengkaji masalah perilaku rumahtangga petani padi dalam kegiatan ekonomi di Jawa Barat menunjukkan bahwa produksi padi
26
sangat dipengaruhi oleh luas sawah garapan, pendapatan bersih usaha padi dan curahan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan (Andriati, 2003). Data sekunder panel petani nasional Jawa Barat dipergunakan dalam studi ini dengan menggunakan model ekonometrika yang dianalisis secara simultan, sedangkan analisis dampak perubahan harga input dan output usahatani dilakukan dengan metode simulasi. Produksi usahatani di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) Jratunseluna, Jawa Tengah juga telah diduga dengan menggunakan bentuk umum agricultural household model, dimana produksi ditentukan oleh tingkat penggunaan variabel input, tingkat penggunaan tenaga kerja dan karakteristik proses produksi (Basit, 1996). Sejumlah 459 petani digunakan sebagai responden dan model penelitian menggunakan persamaan simultan dengan metoda pendugaan 3SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat ditentukan oleh luas lahan yang dikuasai, tenaga kerja, status penguasaan lahan, frekuensi penyuluhan dan keikutsertaan petani dalam program tersebut. Petani berlahan sempit lebih responsif terhadap teknologi usahatani yang diterapkan dibandingkan dengan petani dengan lahan lebih luas. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang terlibat, semakin kuat status penguasaan lahan dan semakin tinggi frekuensi penyuluhan berdampak pada semakin besarnya peluang petani untuk mengadopsi teknologi. Keragaan usahatani ditentukan oleh kualitas penerapan teknologi, pendapatan non usahatani, harga output dan upah tenaga kerja. Kualitas penerapan teknologi merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap keragaan usahatani, khususnya terhadap
27
produksi dan pendapatan, dimana kualitas penerapan teknologi sangat ditentukan oleh intensitas penyuluhan dan ketersediaan modal. Kebijakan harga yang dilakukan melalui mekanisme pasar tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh petani. Kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang sifatnya langsung, seperti peningkatan intensitas dan kualitas penyuluhan, bantuan penyediaan modal (subsidi dan kredit) serta pengembangan kelembagaan usahatani. Kebijakan yang sifatnya tidak langsung dapat ditempuh melalui pembangunan perdesaan, yang antara lain mencakup pembangunan sarana dan prasarana, lembaga keuangan perdesaan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di perdesaan. Kusnadi (2005) mengintegrasikan harga bayangan input atau faktor produksi maupun harga output ke dalam model ekonomi rumahtangga petani dalam kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna responsif terhadap perubahan harga output usahatani, sehingga perbaikan harga output secara efektif dapat menggerakan ekonomi rumahtangga petani. Sebaliknya, pada kondisi ini, rumahtangga petani tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk dan upah tenaga kerja usahatani dan upah tenaga kerja di luar usahatani. Dengan demikian, pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, disinsentif ekonomi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga input tidak terlalu banyak merugikan rumahtangga petani. Model ekonomi rumahtangga petani dengan menggunakan model simultan pada komoditas tanaman pangan dan perkebunan di provinsi Lampung juga telah dilakukan oleh Asmarantaka (2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
28
kenaikan harga output mempunyai dampak positif terhadap produksi dan penggunaan input, terutama di desa pangan. Kenaikan harga input berdampak negatif terhadap produksi, terutama di desa pangan padi. Hal yang sama, kenaikan penggunaan tenaga kerja keluarga yang diiringi dengan kenaikan harga input dan output mempunyai dampak positif terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan rumahtangga petani terutama di desa pangan padi. Di desa kebun, kenaikan investasi alat-alat pertanian berdampak positif terhadap produksi kebun dan pendapatan total.
2.3.2.2. Rumahtangga Industri Kecil dan Menengah Pakasi dan Sinaga (1999) juga telah melakukan studi aktivitas ekonomi rumahtangga industri kecil alkohol di Kabupaten Minahasa dalam kaitannya dengan dampak kebijakan harga input dan output. Penelitian dilakukan dengan metode survei terhadap 50 rumahtangga di empat desa yang telah ditetapkan secara purposive. Model ekonomi rumahtangga diestimasi menggunakan metode 2SLS karena semua persamaan-persamaan terindikasi sebagai over identified. Analisis simulasi yang diterapkan merupakan simulasi kebijakan peningkatan harga bahan baku, kenaikan upah, kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan lain dan kenaikan harga alkohol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara aspek produksi, pendapatan dan konsumsi rumahtangga industri kecil alkohol nira aren. Kenaikan jumlah produksi berdampak terhadap meningkatnya pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan dispossible income dan konsumsi. Peningkatan harga input (biaya) yang diiringi oleh kenakan harga output (penerimaan) dalam proporsi tertentu
29
masih meningkatkan produksi, pendapatan dan konsumsi serta kesejahteraan rumahtangga industri kecil alkohol nira aren.
2.3.2.3. Rumahtangga Nelayan Pada komoditas perikanan, Muhammad (2002) telah melakukan studi ekonomi rumahtangga nelayan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jawa Timur yang disertai dengan suatu analisis simulasi kebijakan. Sebanyak 120 contoh unit armada penangkapan ikan dipergunakan sebagai responden dengan metoda estimasi 2SLS. Simulasi perubahan kebijakan dan non kebijakan meliputi perubahan harga BBM, pengembangan teknologi, perubahan harga ikan dan curahan kerja non melaut, pengaturan bagi hasil, pengembangan usaha dan industri perikanan ZEE 200 mil, dan perubahan daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan produksi sangat ditentukan oleh ukuran asset kapal, daerah penangkapan ikan, frekuensi melaut serta produktivitas wilayah penangkapan ikan. Harga BBM dan peluang kerja non perikanan berhubungan negatif dengan produksi ikan, sedangkan status sumberdaya, teknologi, pelabuhan, ukuran kapal, kegiatan agro industri, kredit dan mutu sumberdaya manusia berhubungan positif dengan produksi ikan dan pendapatan nelayan. Pendapatan rumahtangga nelayan terutama ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan melaut, dimana pengaruh perubahan harga ikan dan status sumberdaya terhadap penerimaan nelayan cukup rendah. Dampak kebijakan kenaikan harga BBM menunjukkan penurunan produksi ikan dan pendapatan nelayan. Peningkatan pendapatan nelayan dalam menghadapi kenaikan harga BBM memerlukan kombinasi kebijakan yang terpadu, diantaranya penyediaan kredit, peningkatan ketrampilan, peningkatan ukuran kapal, pengembangan
30
teknologi ramah lingkungan, pelayanan pelabuhan, peningkatan pendapatan non melaut, perbaikan harga ikan dan perluasan daerah penangkapan ikan. Penelitian yang diajukan kali ini mempunyai keunikan tersendiri karena model ekonomi rumahtangga petani yang terintegrasi antara tanaman pangan (padi) dan usaha peternakan belum pernah dilakukan. Bentuk-bentuk usaha sistem integrasi ini sudah banyak dilakukan oleh petani di Indonesia, namun keterkaitan antara penggunaan satu output menjadi input dari usahatani yang lain masih belum banyak dilakukan analisis ekonominya. Hal ini sangat penting mengingat salah satu keluaran dari kegiatan ini adalah suatu model ekonomi rumahtangga petani padi dan sapi dalam suatu pendekatan kesisteman. Kebijakan yang akan diterapkan harus mempertimbangkan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, utamanya adalah petani padi dan sapi.