II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
TEMULAWAK Temulawak merupakan tanaman obat berbatang semu dengan tinggi hingga
lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna bercabang kuat, dan berwarna hijau gelap. Rimpang induk dapat memiliki 3-4 buah rimpang. Warna kulit rimpang cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang oranye tua atau kuning. Rimpang temulawak terbentuk di dalam tanah pada kedalaman sekitar 16 cm. Tiap rumpun umumnya memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah rimpang muda (Rahmat, 1995). Kedudukan tanaman temulawak dalam tata nama (sistematika) tumbuhan termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : : : : :
Plantae Spermatophyta Angiospermae Monocotyledonae Zingiberales Zingiberaceae Curcuma Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Rahmat, 1995).
Manfaat temulawak terutama diperoleh dari kurkuminoid yang merupakan senyawa aktif dalam rimpang tanaman dari familia Zingiberaceae. Salah satu anggota Familia ini adalah Curcuma xanthorrhizae, yang lebih dikenal sebagai temulawak (Purnomowati, 2008). Menurut Taryono (1987), komponen utama dari rimpang temulawak adalah zat kurkumin, pati, dan zat-zat minyak atsiri. Minyak atsiri mengandung phelandren, kamfer, tumerol, borneol, sineal, xanthorrizol dimana komponen yang disebut belakangan bergabung dengan kurkumin diduga merupakan penyebab berkhasiatnya temulawak. Secara lengkap, komposisi kimia rimpang temulawak disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
3
Tabel 1. Komposisi kimia rimpang temulawak Komponen Jumlah (%) Pati 58,24 Lemak 12,10 Kurkumin 1,55 Serat Kasar 4,20 Abu 4,92 Protein 2,90 Mineral (N, P, K, Na) 4,29 Minyak Atsiri 4,90 Sumber : Roeslan (1980) di dalam Ketaren (1988) Fraksi pati dalam rimpang temulawak merupakan fraksi dengan jumlah yang paling besar. Pati ini dikembangkan sebagai bahan baku industri pangan. Pati ini memiliki bentuk berupa serbuk dan berwarna putih kekuningan yang disebabkan oleh adanya sepora kurkuminoid (Sidik dan Muhtadi, 1995). Fraksi kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri dari campuran komponen senyawa kurkumin dan desmetoksikurkumin. Komponen ini berwarna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, memiliki aroma yang khas dan tidak bersifat toksik (Sidik dan Muhtadi, 1995). Menurut Mahendra (2005), kurkumin yang terdapat dalam rimpang temulawak bermanfaat sebagai acnevulgaris, disamping sebagai anti-inflamasi (anti radang) dan anti hepototoksik (anti keracunan empedu). Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 dengan bobot molekul sebesar 368, sedangkan desmetoksikurkumin memiliki rumus molekul C20H18O5 dengan bobot molekul 338. Analisis kualitatif kurkuminoid dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu melalui reaksi warna, spektroskopi infra merah atau analisis kromatografi. Fraksi minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak terdiri dari senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Fraksi minyak atsiri asal rimpang temulawak mempunyai aktivitas biologis yang dalam beberapa hal bekerja sinergis dengan fraksi kurkuminoid. Liang et al. (1985) dengan kromatografi gas dapat mendeteksi 31 komponen yang terkandung dalam minyak atsiri rimpang temulawak. Beberapa diantaranya merupakan komponen khas yang dikandung oleh minyak atsiri temulawak, yaitu: isofuranogermakren, trisiklin, allo-aromadendren, germakren, dan xanthorrhizol.
4
Minyak atsiri temulawak ini memiliki indeks bias sebesar 1,5130, bobot jenis 0,9423, dan rotasi optik -140 pada suhu 24oC. Kombinasi keberadaan kurkuminoid dan minyak atsiri rimpang temulawak merupakan kunci khasiat temulawak. Minyak atsiri pada temulawak memiliki khasiat sebagai cholagogum, yaitu bahan yang dapat merangsang pengeluaran cairan empedu yang bersifat sebagai penambah nafsu makan dan anti kekejangan otot. Banyaknya khasiat yang dimiliki oleh temulawak mengakibatkan terjadinya peningkatan penggunaan temulawak. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya peningkatan produksi nasional temulawak. Selama kurun waktu 5 tahun dari tahun 2003-2008
terjadi
peningkatan
produksi
temulawak.
Informasi
mengenai
perkembangan produksi temulawak tersebut disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Produksi Temulawak Indonesia Tahun Jumlah Produksi (Ton) 2004 16.666,50 2005 22.582,04 2006 27.170,54 2007 32.075,04 2008 37.990,58 Sumber : Ditjen Bina Produksi Holtikultura Efek farmakologis yang diberikan oleh temulawak tidak lepas dari peran senyawa aktif yang terdapat dalam rimpang temulawak. Secara garis besar, zat aktif yang terdapat dalam temulawak terbagi menjadi dua fraksi utama yaitu zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Salah satu komponen minyak atsiri temulawak adalah xhanthorrizol. Menurut Taryono et al (1987), gabungan senyawa kurkumin dengan xhanthorrizol diduga sebagai penyebabnya berkhasiatnya temulawak. B.
OLEORESIN Oleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri yang dapat
diekstrak dari berbagai jenis rempah, baik rempah yang berasal dari buah, biji, daun, kulit maupun rimpang, misalnya jahe, lada, cabe, kapulaga, kunyit, pala, vanili dan kayu manis (Gilbertson, 1971). Bentuk oleoresin dijelaskan oleh Whiteley (1951) sebagai padatan atau semi padat dan biasanya besifat lengket. Selain mengandung
5
resin dan minyak atsiri, oleoresin juga mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik, zat warna, vitamin, dan komponen lain yang penting dari rempah tersebut. Menurut Afifah (2003), oleoresin temualawak adalah sari temulawak yang mengandung komponen-komponen temulawak, baik yang menguap (minyak atsiri) maupun yang tidak menguap (seperti resin dan pigmen). Oleoresin temulawak berwana merah tua atau merah jingga, hal ini disebabkan oleh terdapatnya senyawa pigmen kurkuminoid dalam oleoresin temulawak. Oleoresin banyak digunakan untuk industri makanan dan minuman. Bentuk oleoresin temulawak lebih disukai oleh industri makanan dan minuman dibandingkan dengan bahan asalnya. Hal ini dikarenakan oleoresin lebih higienis, mempunyai aroma yang tajam, dan dapat disimpan untuk jangka waktu lama. Menurut Afifah (2003), ekstraksi untuk mendapatkan oleoresin biasanya dilakukan dengan cara perkolasi pada suhu kamar atau dengan menggunakan pemanasan. Pelarutnya diuapkan dengan bantuan pompa vakum pada suhu sekitar 50oC. Secara umum dikenal beberapa metode yang bisa diterapkan untuk mengekstraksi bahan aktif temulawak. Metode tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Maserasi, yakni merendam bahan didalam pelarut. Cara ini sangat sederhana, tetapi membutuhkan waktu sangat lama antara 1-3 hari. Proses ekstraksi dengan cara ini hasilnya kurang sempurna. 2. Digesti, yakni ekstraksi dengan cara maserasi yang dikombinasikan dengan pemanasan. Cara ini tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas. 3. Perkolasi, yakni ekstraksi dengan cara mengalirkan pelarut melalui serbuk bahan, cara ini membutuhkan waktu selama 3-24 jam. 4. Ekstraksi dengan menggunakan soxhlet. Cara ini juga tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak bahan panas. 5. Maserasi dengan pengadukan. Cara ini merupakan cara yang paling representatif dari cara-cara diatas. Ekstraksi dengan cara ini dapat mempercepat waktu yang dibutuhkan menjadi 6-24 jam. Menurut Sabel dan Waren (1973), tedapat dua cara ekstraksi yang biasa dilakukan untuk mengekstrak sari temulawak, yaitu ekstraksi dengan soxhlet dan cara perkolasi dengan pemanasan atau tanpa pemanasan. Djubaedah (1978)
6
menambahkan cara perkolasi pada prinsipnya adalah dengan menambahkan pelarut pada bahan yang akan diekstrak dengan perbandingan tertentu kemudian diaduk dengan magnetic stirrer atau mixer. Pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk mempercepat pelarutan dan ekstraksi padatan dengan jalan membentuk suspensi serta melarutkan partikel-partikel ke dalam media pelarut. Tahapan yang diperlukan dalam ekstraksi oleoresin adalah persiapan bahan, pemilihan pelarut, proses ekstraksi dan pengawasan mutu (Sabel dan Warren, 1973). Persiapan bahan mencakup pengeringan bahan baku sampai kadar air tertentu, penggilingan untuk mempermudah proses ekstraksi yang dilakukan serta untuk mempermudah kontak antara bahan dengan pelarut sehingga meningkatkan efektifitas ekstraksi. Pemilihan pelarut merupakan tahapan yang paling penting, Menurut Purseglove (1981), pemilihan pelarut mempengaruhi komposisi oleoresin dan jumlah ekstrak yang dihasilkan. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut non polar akan menghasilkan oleoresin dengan kandungan lemak yang tinggi, sedangkan ekstraksi dengan menggunakan pelarut polar akan menghasilkan oleoresin dengan kandungan lemak yang rendah. Ekstraksi oleoresin umumnya dilakukan dengan pelarut organik, misalnya etilen diklhorida, aseton, etanol, metanol, heksan (Somaatmadja, 1981), eter dan isopropil alkohol (Moestofa, 1981). Pemilihan pelarut yang tepat sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas oleoresin yang diperoleh. Dalam ekstraksi oleoresin mula-mula bahan rempah yang telah digiling diekstraksi beberapa kali dengan pelarut organik yang sesuai, dengan cara perkolasi. Akhirnya pelarut diuapkan, sebaiknya dalam kondisi vakum. Ekstrak yang tertinggal merupakan oleoresin yang biasanya bercampur dengan minyak, lemak, pigmen dan komponen flavor yang terekstrak dari bahan asal. Oleoresin yang diperoleh merupakan cairan yang kental atau semi padat yang mempunyai karakteristik rasa dan aroma sama dengan bahan asalnya. Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air. Pelarut lain yang juga umum digunakan adalah bahan kimia organik (mengandung karbon) yang juga disebut pelarut organik. Pelarut biasanya memiliki titik didih rendah dan lebih mudah menguap, meninggalkan substansi
7
terlarut yang didapatkan. Untuk membedakan antara pelarut dengan zat yang dilarutkan, pelarut biasanya terdapat dalam jumlah yang lebih besar (Purseglove, 1981). Beberapa jenis pelarut yang banyak digunakan pada proses ekstraksi flavor makanan disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Pelarut yang digunakan dalam flavor makanan Pelarut
Titik Didih 760 mmHg Spesifik Gravity 0 ( C) (20/20 0C) Etil Alkohol (Etanol) 78,4 0,7905 Isopropil Alkohol 82,3 0,7862 Etil Asetat 77,1 0,8990 Dietil Eter 34,4 0,7140 Gliserol 290 1,2600 Gliseril Monoasetat 158 1,2210 Gliseri diasetat 280 1,1780 Gliseril Triasetat 260 1,1590 Propilen Glikol 185 1,0380 Sumber : Scheflan dan Jacobs (1953) di dalam Heath dan Pharm (1978). Etanol atau etil alkohol yaitu cairan bening tidak berwarna, mudah menguap, berbau merangsang dan mudah larut dalam air. Etanol mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan pelarut organik lainnya seperti heksan. Etanol mudah melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, sebagian karbohidrat dan senyawa organik lainnya (Anonim, 1962). C.
PENELITIAN TERDAHULU Ria (1989), melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh jumlah pelarut,
lama ekstraksi, dan ukuran bahan terhadap rendemen dan mutu oleoresin temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Pelarut yang digunakan adalah etanol dengan jumlah 400, 600, dan 800 ml, sedangkan jumlah bahan baku yang digunakan adalah 100 gram. Lama ekstraksi yang digunakan terdiri dari beberapa taraf, yaitu 1, 3, dan 5 jam dengan ukuran bahan 40 dan 60 mesh. Proses ekstraksi berlangsung pada suhu 500C dengan kecepatan pengadukan sebesar 700 rpm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rendemen oleoresin yang diperoleh berkisar antara 15,70 persen sampai 19,19 persen. Rendemen tertinggi (19,19%) diperoleh pada rimpang berukuran 40 mesh yang diekstrak dengan 800 ml pelarut selama 3 jam. Kadar minyak atsiri dalam oleoresin temulawak yang diperoleh berkisar antara 49,50-
8
74,83%. Kadar minyak atsiri tertinggi (74,83%) diperoleh dari ekstrak rimpang temulawak dengan ukuran 60 mesh yang diekstrak dengan jumlah pelarut 600 ml selama 3 jam. Kadar kurkumin yang dihasilkan berkisar antara 1,86-3,06% dengan kadar kurkumin tertinggi diperoleh dari ekstrak rimpang temulawak yang berukuran 60 mesh yang diekstrak dengan 600 ml pelarut selama 3 jam. Yusro (2004), mengekstrak rimpang temulawak dengan mempertimbangkan faktor waktu, suhu, dan nisbah bahan baku-pelarut terhadap kadar kurkumin dalam ekstrak rimpang yang dihasilkan. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah maserasi dengan pelarut etanol. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan lima taraf waktu, yaitu 2, 6, 12, 18, dan 24 jam, dua taraf suhu 27 0C dan 350C, serta dua taraf perbandingan bahan baku pelarut 1:5 dan 1:8. Rendemen terbesar dicapai pada proses ekstraksi selama 18 jam, yaitu sebesar 11,89%. Peningkatan rendemen terjadi seiring dengan peningkatan suhu ekstraksi dan nibah bahan baku-pelarut. Suhu 350C (10,12-12,77%) menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan suhu 27 0C (8,03-12,24%). Nisbah bahan baku-pelarut 1:8 (8,46-22,46%) memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan nisbah bahan baku-pelarut 1:5 (8,0312,13%). Kadar kurkumin yang dihasilkan berkisar antara 0,73-1,58%. Kondisi ekstraksi terbaik dicapai pada suhu 350C, perbandingan bahan baku-pelarut 1:5, dan waktu ekstraksi selama 18 jam dengan nilai rata-rata kurkumin yang terekstrak sebesar 1,58%. D.
SOFT CANDY ( PERMEN LUNAK) Permen (boiled sweet) merupakan salah satu produk pangan yang digemari.
Candy atau permen menurut jenisnya dikelompokkan menjadi dua macam yaitu permen kristalin (krim) dan permen non kristalin (amorphous). Permen kristalin biasanya mempunyai rasa yang khas dan apabila dimakan terdapat rasa krim yang mencolok. Contoh permen kristalin adalah fondant, dan fudge. Sedangkan permen non kristalin (amorphous) terkenal dengan sebutan “without form”, berdasarkan teksturnya dibedakan menjadi hard candy (hard boiled sweet), permen kunyah (chewy candy) atau soft candy, gum dan jellies. Pembuatan candy merupakan manipulasi gula/cokelat untuk mendapatkan tekstur tertentu. Prinsipnya yaitu mengontrol kristalisasi gula/cokelat dan rasio gula – air (Jackson, 1995).
9
Soft candy merupakan permen bertekstur lebih lunak dan dapat dikunyah/chew saat dikonsumsi dengan cara mengunyah dan ditelan. Permen jenis ini memiliki kadar air yang relative tinggi (6 – 8 %). Bahan dasar utamanya tetap sukrosa dan sirup glukosa. Namun untuk membentuk tekstur yang chewy, biasanya dicampurkan lemak, gelatin, emulsifier dan bahan tambahan lainnya. (Suprianto, 2007). Kembang gula lunak jelly merupakan kembang gula bertekstur lunak, yang diproses dengan penambahan komponen hidrokoloid seperti agar, gum, pektin, pati, karagenan, gelatin dan lain-lain yang digunakan untuk modifikasi tekstur sehingga menghasilkan produk yang kenyal. Setelah adonan masak kemudian dicetak dan diproses aging terlebih dahulu sebelum dikemas (SNI 3547.2-2008).
Permen kunyah juga dapat dijumpai dengan berbagai ragam rasa dan warna sangat menarik. Selain itu pembuatannya juga dapat dilakukan dengan berbagai variasi teknologi, ada yang berbentuk padat, atau ada juga yang berisi cairan, baik berupa cokelat, sari buah dan lainnya (Winarno dan Fardiaz, 1980). Salah satu parameter mutu yang sangat berperan dalam menampilkan karateristik permen kunyah adalah tekstur. Sensasi yang didapatkan saat mengkomsumsi permen kunyah pada dasarnya adalah perpaduan tekstur dan flavor. Dari tekstur bisa dirasakan sensasi kenyal, keras, lembut, empuk, atau alot dan lengket, halus atau kasar berpasir, dan lainnya. Selain itu permen kunyah dapat dibuat dengan berbagai cita rasa dan aroma yang ditambahkan, bahkan ada pula yang menambahkan sensasi dingin, menyengat dan sebagainya (Suprianto, 2007). Tekstur yang timbul sangat ditentukan oleh struktur kristal yang terbentuk, yang dapat diarahkan sesuai industri dengan cara mengatur komposisi bahan dan jenis aplikasi teknologi pembuatan yang digunakan. Pada hard candy proses kristalisasi dicegah sedemikian rupa dengan mengatur komposisi sukrosa dan sirup glukosa, sehingga setelah proses pemasakan dan pendinginan terbatas, langsung dilanjutkan ke proses pencetakkan. Sedangkan proses pembuatan permen kunyah berbeda, di mana setelah proses pemasakan, dilakukan proses pendinginan, menggunakan cooling drum atau cooling table. Yang kemudian dilanjutkan dengan proses pulling/beating yang bertujuan untuk rekristalisasi (Chapman dan Fellows, 2000).
10
E.
BAHAN PEMBUATAN PERMEN LUNAK
1.
Sorbitol Sorbitol merupakan polihidrat, serupa dengan gliserin dan merupakan gula
alkohol yang mudah larut dalam air. Sorbitol secara komersial dibuat dari glukosa dengan Brix 45-50, dihidrogenasi tekanan tinggi atau reduksi elektrolit melalui reaksi kimia atau dapat dengan teknik fermentasi. Bahan pembantu adalah katalis nikel untuk proses hidrogenasi, MgO sebagai aktivator, dan gas hidrogen untuk hidrogenasi dan gas nitrogen pada perlakuan purging, sebelum bahan masuk ke autoklaf. Konversi glukosa ke dalam bentuk sorbitol merupakan reaksi adisi dua unsur hidrogen terhadap aldosa (glukosa) melalui pemutusan ikatan rangkap C dan O pada gugus fungsional aldehid. Proses tersebut terjadi pada tahap hidrogenasi (Dwivena, 1991). Gula alkohol merupakan hasil reduksi dari glukosa di mana semua atom oksigen dalam molekul gula alkohol yang sederhana terdapat dalam bentuk kelompok hidroksil, sinonim dengan polyhidric alcohol (polyols). Polyols dapat dibagi menjadi dua yaitu polyols asiklik dan polyols siklik. Sorbitol termasuk dalam kelompok polyols asiklik dengan enam rantai karbon (Goldberg, 1994). Reaksi pembentukan sorbitol disajikan pada Gambar 1. C6H12O6 + H2
C6H14O6
Gambar 1. Reaksi pembentukan sorbitol Sebagai gula alkohol, sorbitol digunakan untuk bahan pemanis yang tidak meningkatkan kadar gula dalam darah, seperti halnya fruktosa. Gula alkohol seperti maltitol, manitol atau palatinosa adalah gula berkalori rendah oleh karena itu dapat
11
mencegah obesitas. Selain itu gula alkohol juga berfungsi mencegah kerusakan gigi (Marie, 1991). Di Indonesia sorbitol (C6H14O6) paling banyak digunakan sebagai pemanis pengganti gula karena bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah. Di Indonesia, sorbitol diproduksi dari tepung umbi tanaman singkong (Manihot Utillissima Pohl) yang termasuk keluarga Euphoribiaceae. Selain itu sorbitol juga dapat ditemui pada alga merah Bostrychia scorpiodes yang mengandung 13,6% sorbitol. Tanaman berri dari spesies Sorbus americana mengandung 10% sorbitol. Famili Rosaceae seperti buah pir, apel, ceri, prune, peach, dan aprikot juga mengandung sorbitol (Sudharmadji, 1982). Sorbitol dapat digunakan sebagai pengganti sukrosa pada penderita penyakit diabetes. Nilai kalori makanan yang mengandung sorbitol sama tinggi dengan gula, tapi rasa manisnya kira-kira hanya 60 persen rasa manis sukrosa. Sorbitol (C6H14O6) berasal dari golongan gula alkohol. Konsumsi sukrosa sebagai pemanis makanan sekarang mulai digantikan dan dikurangi penggunaanya. Bahan pengganti gula harus memenuhi persyaratan yaitu harus mempunyai rasa manis, tidak toksik, tidak mahal, tidak bisa diragikan oleh bakteri plak gigi, berkalori, di samping itu juga harus dapat dikerjakan secara industrial. Dari semua persyaratan tersebut, maka bahan pengganti gula yang baik adalah yang berasal dari golongan gula alkohol. Sorbitol merupakan bahan pengganti gula dari golongan gula alkohol yang paling banyak digunakan, terutama di Indonesia. 2.
Maltodekstrin Maltodekstrin merupakan salah satu jenis pati termodifikasi. Pati termodifikasi
merupakan pati yang diubah karakteristiknya sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisat pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Adapun rumus umum maltodekstrin adalah (C6H10O5)nH2O (Kennedy et al. di dalam Kearsley dan Diedzic, 1995). Maltodekstrin bersifat kurang higroskopis (kurang menyerap air dari lingkungannya), kurang manis, memiliki kelarutan yang tinggi dan cenderung tidak membentuk zat warna pada reaksi browning, serta memberikan tekstur yang lembut
12
ketika dikonsumsi. Dalam pembuatan permen, maltodekstrin dapat mensubstitusi laktosa dan tepung susu dalam jumlah tertentu (McDonald, 1984). Perbandingan jumlah bahan pengisi (sorbitol dan maltodekstrin) yang digunakan dalam pembuatan permen sangat menentukan tekstur yang terbentuk. Campuran sorbitol dan matodekstrin dapat membuat tekstur yang dihasilkan lebih liat, tetapi kekerasannya cenderung menurun. Mengatur perbandingan antara sorbitol dan matodekstrin merupakan perpaduan ilmiah dan seni yang sangat menarik, untuk mendapatkan tekstur akhir yang diinginkan. Maltodekstrin ini digunakan dalam pembuatan candy untuk mengatur tingkat dan kecepatan proses kristalisasi sesuai dengan keinginan. Jika hanya larutan gula, akan sangat cepat membentuk kristal pada saat penurunan suhu larutan. Proses kristalisasi belum diharapkan pada proses pencetakkan, karena jika proses kristalisasi telah terjadi terlalu cepat pada saat pencetakkan maka adonan menjadi tidak elastis dan akan pecah saat proses pencetakkan (Dziedzic dan Kearsley, 1984). Kandungan gula bermolekul lebih tinggi yang terdapat dalam maltodekstrin berperan dalam meningkatkan kekentalan dan konsistensi produk sehingga dapat dikunyah. Selain itu maltodekstrin membantu mencegah terjadinya, kristalisasi gula yang tidak diinginkan dalam produk. Pada permen kunyah, DE juga merupakan hal penting dalam pemilihan maltodekstrin. Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. Semakin besar DE berarti semakin besar juga persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Selain sebagai penahan atau penyeimbang dalam proses rekristalisasi, maltodekstrin juga berperanan penting untuk memberikan body pada adonan. Semakin tinggi DE akan semakin tinggi kemanisannya, namun semakin bersifat higroskopis dan encer. DE yang rendah akan berkurang manisnya namun bisa digunakan untuk menambah viskositas, cheewiness dan thougness pada adonan (Brown, 2000). 3.
Flavor Flavor didefinisikan sebagai gabungan persepsi yang diterima oleh indera kita
yaitu bau, rasa, penampilan, sentuhan dan bunyi saat kita mengkonsumsi makanan. Interaksi antara senyawa-senyawa beraroma dalam suatu produk dapat memberi efek
13
sinergisme atau antagonisme (mendominasi atau mempengaruhi karakter lain dalam bahan pangan) (Suprianto, 2007). Perlakuan penambahan flavor ke dalam syrup panas dilakukan dalam jumlah tertentu sehingga produk akhir mengandung berat 0,05 –0,3% atau 0,1 – 0,2% berat flavor. Tujuan penambahan flavor bukan untuk menutupi kualitas dari bahan pangan yang sebenarnya, tetapi antara lain untuk meningkatkan daya tarik bahan pangan, menstandarisasi produk akhir, meningkatkan flavor yang lemah dan menggantikan flavor yang hilang selama pengolahan (Brown, 2000). Permen bisa mengandung flavor alami, buatan dan minyak tanaman dan buahbuahan, seperti: minyak atsiri, oleoresin, minyak citrus (jeruk), minyak daun, bunga, buah lemon, madu, cherry, menthol, eucalyptus, peppermint dan spearmint (Jackson, 1995). 4.
Karagenan Karagenan merupakan senyawa yang termasuk kelompok polisakarida
galaktosa hasil ekstraksi dari rumput laut. Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa. Karagenan dapat diekstraksi dari protein dan lignin rumput laut dan dapat digunakan dalam industri pangan karena karakteristiknya yang dapat berbentuk jelly, bersifat mengentalkan, dan menstabilkan material utamanya. Karagenan sendiri tidak dapat dimakan oleh manusia dan tidak memiliki nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itu, karagenan hanya digunakan dalam industri pangan karena fungsi karakteristiknya yang dapat digunakan untuk mengendalikan kandungan air dalam bahan pangan utamanya, mengendalikan tekstur, dan menstabilkan makanan. Karagenan banyak digunakan pada sediaan makanan, sediaan farmasi dan kosmetik sebagai bahan pembuat gel, pengental atau penstabil. Proses pembuatan permen lunak menggunakan bahan pengental. Bahan pengental yang dipilih adalah karagenan karena terbuat dari bahan alami, yaitu rumput laut. Selain itu, karagenan merupakan bahan yang mudah larut dalam air. Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3,6anhidro galaktosa dengan ikatan glikosidik alfa-1,3 dan beta-1,4 secara bergantian. 14
Karagenan terdiri dari beberapa jenis, yaitu kappa, lambda, iota, nu, dan theta. Karagenan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karagenan iota. Karagenan tersebut menghasilkan tekstur permen yang lebih kenyal dibandingkan karagenan kappa (Winarno, 1990). Perbedaan sifat karagenan disajikan pada Tabel 4. Karagenan larut dalam air. Karagenan kappa dan karagenan iota larut dalam air dingin dan larutan garam natrium. Karagenan bersifat kental dan viskositasnya bergantung pada konsentrasi, suhu, dan jenis karagenan. Viskositas ini akan menurun dengan naiknya suhu. Larutan karagenan kappa dan iota bersifat reversibel, artinya bila larutan dipanaskan kembali, gel akan kembali mencair (Angka dan Suhartono, 2000). Tabel 4. Perbedaan karakteristik karagenan Medium Kappa Iota o Air panas Larut diatas 60 C Larut diatas 60oC Air dingin Larut dalam garam Na, Larut dalam garam Na, tidak larut dalam garam garam Ca memberi K dan Ca dispersi thixotropic Susu panas Larut Larut Susu dingin Tidak larut dalam Tidak larut garam Na, Ca, K tetapi akan mengembang Larutan gula Panas, larut Larut, sukar pekat Larutan Tidak larut Larut, panas garam pekat
Lambda Larut Larut
Larut Larut
Larut, panas Larut, panas
Sumber : Winarno (1990) Kegunaan karagenan hampir sama dengan agar-agar, antara lain sebagai pengatur keseimbangan, bahan pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi. Karagenan banyak digunakan untuk bahan makanan, pembentuk gel dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan, bumbu, dan sebagainya. Senyawa ini juga digunakan untuk mengentalkan bahan bukan pangan seperti odol, kosmetik, shampoo, dan alat kecantikan lainnya serta industri tekstil dan cat (Angka dan Suhartono, 2000).
15
Tabel 5. Syarat mutu kembang gula lunak (SNI 3547.2-2008)
persyaratan no
kriteria uji
1
Keadaan
satuan
jelly
1.1 Bau
-
normal
1.2 Rasa
-
normal
2
kadar air
% fraksi massa
maks. 20,0
3
kadar abu
% fraksi massa
maks. 3,0
gula reduksi (dihitung sebagai gula 4
inversi)
% fraksi massa
maks. 25,0
5
Sakarosa
% fraksi massa
min. 27,0
6
cemaran logam
6.1 timbal (Pb)
mg/kg
maks. 2,0
6.2 tembaga (Cu)
mg/kg
maks. 2,0
6.3 Timah (Sn)
mg/kg
maks. 40,0
6.4 raksa (Hg)
mg/kg
maks. 0,03
7
cemaran arsen (As)
mg/kg
maks. 1,0
8
cemaran mikroba
8.1 angka lempeng total
koloni/g
maks. 5x104
8.2 bakteri coliform
APG/g
maks. 20,0
8.3 E. coli
APG/g
Kurang dari 3
8.4 staphylococcus aureus
koloni/g
maks. 1x102
8.5 Salmonella 8.6 kapang/khamir
negatif/ 25 g koloni/g
maks. 1x102
16