II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KECAP Kecap dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai produk semacam saus dari kedelai dengan konsistensi cair, berwarna coklat gelap dan beraroma seperti daging (Winarno, 1986). Sedangkan definisi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3543-1994), kecap kedelai adalah produk cair yang diperoleh dari hasil fermentasi dan atau cara kimia (hidrolisis) kacang kedelai (Glycine max L) dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan. Kecap kedelai diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kecap kedelai manis dan kecap kedelai asin (SNI 01-3543-1994). Kecap manis mempunyai konsistensi sangat kental, rasa manis dengan kandungan gula 26-61%, serta kandungan garam 3-6%. Kecap asin yang juga disebut saus kedelai ringan, mempunyai konsistensi encer, warna lebih muda dan rasa lebih asin, dengan kandungan garam 18-21% serta kandungan gula 4-19% (Judoamidjojo, 1986). Sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa, cenderung lebih menyukai kecap manis (Judoamidjojo, 1986). Kecap manis yang dibuat secara tradisional menggunakan bahan baku kedelai hitam atau kedelai kuning, kadang-kadang dalam proses pembuatannya ditambahkan tepung tapioka, tepung gandum atau tepung beras (Judoamidjojo, 1986). Secara umum proses pembuatan kecap manis di Indonesia dapat dilakukan seperti pada Gambar 1. Sedangkan beberapa persyaratan mutu dari kecap manis yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kecap memiliki keunggulan dari segi nilai gizinya. Kedelai yang digunakan sebagai bahan baku sangat kaya akan protein dan karbohidrat. Mutu protein kedelai termasuk paling unggul dibandingkan dengan jenis tanaman lain, bahkan hampir mendekati protein hewani. Apalagi ditunjang dengan adanya proses fermentasi dalam pembuatannya.
Kedelai hitam
Perendaman dalam air (1 malam)
Pemasakan (1-5 jam)
Pengeringan
Inokulasi (Aspergillus oryzae) Air garam 20 %
Fermentasi I (3-5 hari)
Fermentasi II (bakteri + khamir, 3-4 minggu)
Saring
Filtrat
Ampas
Pasteurisasi (+ karamel)
Saring
Filtrat
Limbah
Gambar 1 Bagan alir pembuatan kecap (Winarno, 1986)
Proses
fermentasi
pada
kecap
mampu
mengubah
senyawa
makromolekul kompleks yang ada dalam kedelai (seperti protein, karbohidrat dan lemak) menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino, asam lemak dan monosakarida. Senyawa ini menjadi lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh (Astawan, 2004). Adapun komposisi kimia dari kecap manis seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
6
Tabel 1 Syarat mutu kecap manis Kriteria uji Keadaan Bau Rasa Protein (N x 6,25) Jumlah padatan NaCl (garam) Total gula (dihitung sebagai sukrosa) Bahan tambahan makanan Pengawet 1) Benzoat, atau 2) Metil para hidroksi benzoat, 3) Propil para hidroksi benzoat Pewarna Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg)
Satuan
Persyaratan
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 30,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05
Arsen Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri koliform Escherichia coli S. aureus Kapang/khamir Sumber : SNI 01-3543-1994
mg/kg
Maks. 0,5
% b/b % b/b % b/b % b/b
Normal,khas Normal, khas Min. 2,5 Min. 10 Min. 3 Min. 40
mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 600 Maks. 250 Maks. 250
Sesuai SNI 01-0222-1995
Koloni/g APM/g APM/g APM/g Koloni/g
Maks. 1x105 Maks. 1x102 <3 Maks. 10 Maks. 50
Tabel 2 Komposisi kimia kecap manis Karakteristik Air Protein kasar Lemak Abu Karbohidrat Garam (NaCl) Sumber : Judoamidjojo (1986)
Kadar (%) 29,61 1,46 0,14 7,64 61,15 6,27
7
Komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama terdiri dari sukrosa, glukosa dan fruktosa (Judoamidjojo, 1986). Tingginya kadar gula pada kecap manis ini disebabkan adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya. Beberapa jenis gula yang ditambahkan adalah gula palma, gula tebu dan molases (Winarno et al., 1984). Penggunaan kecap sebagai bumbu penyedap atau pembangkit flavor makanan, sampai saat ini telah dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia dari semua golongan umur. Semakin banyak jenis makanan yang senantiasa membutuhkan kehadiran produk ini, tanpanya niscaya makanan akan terasa hambar. Oleh karena itu, wajar jika pemanfaatan produk ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat (AS) saja produksi kecap mencapai 17.85 juta liter per tahun. Diperkirakan total konsumsi tahunan kecap di AS sekitar 43.35 juta liter per tahun (Astawan, 2004). Mengingat tingginya tingkat konsumsi kecap di masyarakat, maka produk ini dapat dijadikan sebaga i media pembawa (vehicle) beberapa zat gizi yang akan difortifikasi. Selain itu, kecap dengan konsistensinya yang cair cukup memberikan kemudahan dalam fortifikasi.
B. SAUS CABE Saus secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu produk yang merupakan hancuran dari beberapa bahan pangan yang tergolong sayuran, seperti tomat dan cabe (Fardiaz, 1992). Standar Nasional Indonesia (SNI 012976-1992) mendefinisikan saus cabe sebagai saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabe (Capsicum sp.) yang telah matang dan bermutu baik dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. Bahan-bahan yang dapat digunakan antara lain garam, gula, bawang putih dan pengental. Proses pembuatan saus meliputi pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji cabe, pengukusan pada suhu 100°C selama 1 menit, penggilingan, penambahan garam, bahan pengawet, gula, asam cuka 25%, penyedap, maizena dan air, dilanjutkan dengan proses pengadukan, pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental, pemasukan
8
dalam botol steril, exhausting dan penutupan botol serta pendinginan (Setiadi, 1987). Bagan alir proses pembuatan saus cabe dapat dilihat pada Gambar 2. Cabe merah dan bawang putih
Pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji
Pengukusan pada suhu 100°C (± 1 menit)
Penggilingan sampai halus
Garam, pengawet, gula, asam cuka 25%, penyedap, maizena, air
Bubur
Pengadukan
Pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental
Pemasukkan dalam botol steril dan exhausting
Penutupan botol dan pendinginan kemasan
Produk saus cabe
Gambar 2 Bagan alir pembuatan saus cabe (Setiadi, 1987)
Adapun syarat mutu saus cabe yang telah ditetapkan oleh SNI dapat dilihat pada Tabel 3.
9
Tabel 3 Syarat mutu saus cabe Kriteria uji Keadaan Bau Rasa Jumlah padatan Bahan tambahan makanan Pewarna Pengawet Pengental Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg)
Satuan
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 2,0 Maks. 5,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03
Arsen Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri koliform Escherichia coli S. aureus Salmonella Sumber : SNI 01-2976-1992
mg/kg
Maks. 1,0
% b/b
Persyaratan Normal Normal cabe 20-40 Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Men. Kes. No. 772/MenKes/Per/IX/88
Koloni/g APM/g APM/g APM/g
Maks. 1x105 Maks. 1x102 Negatif Maks. 10 Negatif/25 g
Seperti halnya pada kecap manis, penggunaan produk saus sambal (saus cabe) semakin meningkat. Hal ini didukung dengan berkembangnya industri
makanan,
terutama
industri
mi
instan.
Industri
mi
instan
menggunakan saus cabe sebagai salah satu komponen bumbu. Beberapa jenis makanan non oriental seperti burger, steak dan sebagainya, juga sering menggunakan produk ini. Dengan karakteristiknya yang kental dan berwarna, produk ini juga cukup menguntungkan untuk difortifikasi dengan beberapa zat gizi.
C. IODIUM Iodium merupakan jenis mineral mikro kedua sesudah zat besi yang dianggap penting bagi kesehatan manusia, walaupun kebutuhan sebenarnya akan mineral ini relatif kecil. Manusia tidak dapat membuat sendiri elemen iodium dalam tubuh, tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh melalui
10
serapan
iodium
yang
terkandung
dalam
makanan
serta
minuman
(Djokomoeldjanto, 1993). Kebutuhan iodium pada manusia cukup bervariasi, tergantung pada umur, jenis kelamin dan kondisi biologis. Pada Tabel 4. disajikan tingkat kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa. Tabel 4 Kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa Kondisi Kebutuhan (µg) Bayi (0-3 tahun) 90 Anak-anak (4-12 tahun) 120 Pria dewasa (13->65 tahun) 150 Wanita dewasa (13->65 tahun) 150 Wanita hamil +50 Masa Laktasi +50 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) Dari Tabel 4 terlihat bahwa, baik pada wanita hamil maupun menyusui terjadi peningkatan kebutuhan iodium sebesar 50 µg. Peningkatan kebutuhan tersebut dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid si ibu dan sebagiannya lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya perkembangan otak. Peranan iodium yang sudah dikenal cukup luas adalah dalam hubungannya dengan kelenjar gondok dan hormon-hormon tiroid. Iodium diperlukan tubuh untuk pembentukan hormon tetraiodotironin (T4) dan triiodotironin (T3) (Hetzel dan Wellby, 1997). Tiroksin merupakan nama lain untuk T4. Hormon- hormon ini dibutuhkan untuk proses pertumbuhan normal, perkembangan fisik dan mental hewan dan manusia. Selain itu, hormon tiroid juga diketahui berperan dalam pengontrolan konsumsi oksigen oleh sel dan tingkat metabolisme sel (Linder, 1992). Pengaruh iodium terhadap otak terkait dengan peranan hormon tiroksin dalam proses pembentukan neurofil di berbagai tempat pada otak pada akhir kehamilan sampai awal postnatal. Sedangkan pengaruh iodium terhadap perkembangan mental dan psikomotorik sudah dapat dijelaskan melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan. Pengaruh iodium dalam hal ini diwujudkan dalam tingkat Intelegence quotient (IQ point). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa anak yang tinggal di daerah kekurangan
11
iodium rata-rata memiliki IQ 13.5 point lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal di daerah yang cukup konsumsi iodium. Kekurangan asupan iodium dapat mengakibatkan kekurangan produksi hormon tiroid yang muncul dalam bentuk GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) ringan sampai berat, dari gondok endemik sampai kretin. Penderita GAKI dapat mengalami gangguan fisik, mental dan intelektual (Cahyadi, 2004). Sampai saat ini, GAKI masih merupakan masalah utama gizi masyarakat Indonesia, sampai dengan tahun 1994 prevalensinya mencapai 27.4% (Soekirman 1994). Secara rinci Tim Pembina Penanggulangan (TPP) GAKI Depkes RI (1992) memperkirakan bahwa 33.30 juta penduduk Indonesia beresiko menderita GAKI, 11.30 juta jiwa menderita gondok, 2.09 juta jiwa menderita keterbelakangan mental dan motorik ringan, 0.90 juta jiwa anak menderita kretin, 194 juta jiwa menderita cacat ringan dan 20 710 janin dan bayi baru lahir meninggal dunia. Permasalahan GAKI dan dampaknya dapat dijumpai pada semua segmen umur dalam masyarakat, mulai dari fetus sampai dewasa. Tabulasi dampak kekurangan iodium pada berbagai segmen umur dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Dampak kekurangan iodium pada berbagai segmen umur Tahap perkembangan Fetus
Kelainan Aborsi, lahir mati, peningkatan angka kematian bayi, kretin neorologis (defisiensi mental, bisu tuli, kelumpuhan spastik, juling), kretin hipotiroid (cebol, defisiensi mental), gangguan psikomotorik. Bayi baru lahir (neonatus) Gondok, hipotiroid, rendahnya kadar tiroid pada fase neonatus. Anak-anak dan remaja Gondok, hipotiroid juvenil, gangguan mental, terhambatnya perkembangan fisik. Dewasa Goiter dan komplikasinya, hipotiroid, gangguan mental. Sumber : Hetzel dan Wellby (1997) Kekurangan iodium pada janin diakibatkan oleh ibu yang kekurangan iodium. Iodium sangat dibutuhkan bagi janin. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa transfer T4 dari ibu ke janin pada awal kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Apabila ibu kekurangan iodium sejak awal
12
kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi. Dengan demikian, perkembangan otak janin sangat tergantung pada kecukupan hormon tiroid ibu pada trimester pertama kehamilan, apabila ibu kekurangan iodium maka akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid ibu dan janin. Pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun karena kekurangan iodium pada masa ini maka tetap akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga timbul kelainan hipotiroidisme pada janin (Sethi dan Kapil, 2004). Pada bayi baru lahir, perkembangan otaknya sangat tergantung pada fungsi tiroid. Saat lahir, ukuran otak bayi baru mencapai sepertiga dari otak orang dewasa, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Apabila terjadi defisiensi iodium dan kelainan fungsi tiroid secara terus menerus pada masa ini, akan dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen (Sethi dan Kapil, 2004). Pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, kekurangan iodium dapat mengakibatkan gondok, gangguan mental, rendahnya IQ dan prestasi anak sekolah serta rendahnya daya produktifitas kerja. Pemberian koreksi iodium pada fase ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kadar T4 serum, sehingga dapat memperbaiki kelainan akibat kekurangan iodium (Anonim, 2005). Dengan melihat pentingnya fungsi iodium dan berbagai dampak yang ditimbulkan akibat defisiensinya, maka kecukupan asupan iodium sangat perlu untuk diperhatikan.
D. ZAT BESI Besi (Fe) adalah mikromineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan, dikarenakan mineral ini dijumpai dalam semua sel tubuh. Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan atau cadangan. Yang termasuk dalam kelompok pertama adalah hemoglobin (Hb), mioglobin, sitokrom dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan
13
protein. Sedangkan senyawa zat besi dalam bentuk cadangan terdapat sebagai ferritin dan he mosiderin. Kandungan Fe pada orang dewasa berkisar antara 2.5 – 4 gram, dimana 2.0 – 2.5 gram- nya berada dalam sirkulasi sel darah merah, sebagai komponen hemoglobin (Hb). Sedangkan dalam jumlah kecilnya (kira-kira 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim yang mengandung Fe (Linder, 1992). Dengan demikian, besi memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Dalam kaitannya dengan Hb, besi berperan dalam pembentukan sel darah merah serta pengangkutan O2 dan CO2 . Sedangkan sebagian kecil Fe yang terdapat dalam enzim jaringan (sekitar 7%), bertanggung jawab dalam pengangkutan elektron pada proses transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (sitokrom, kompleks Fe-S protein), serta bertanggung jawab dalam proses pengaktifan O2 (oksidase dan oksigenase) (Brody, 1994). Zat besi penting untuk produksi antibodi dan sintesis purin (sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), dan dalam reaksi sintesis kolagen. Selain itu, Fe diperlukan dalam proses penghilangan lipida dari darah, serta untuk detoksifikasi zat racun dalam hati (Muchtadi, 1993). Keseimbangan zat besi di dalam tubuh harus selalu dipertahankan. Keseimbangan di sini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh jumlahnya sama dengan zat besi yang diperoleh tubuh dari bahan makanan. Kebutuhan manusia akan zat besi ditentukan oleh kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan dan pemeliharaan. Kisaran kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur ditunjukkan pada Tabel 6. Peningkatan kebutuhan akan Fe terjadi pada beberapa kondisi klinis dan fisiologis dikarenakan terjadinya peningkatan kehilangan darah. Kehilangan
darah
selama
menstruasi
pada
wanita
usia
reproduktif
meningkatkan kebutuhan akan Fe, rata-rata 5 mg/hari diatas kebutuhan pria dewasa. Kebutuhan pada pria dewasa dan wanita menopouse sebesar 10 mg/hari.
14
Tabel 6 Kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur dan kondisi fisiologis Kategori Umur AKG Fe (mg) Bayi 0-6 bulan 0.5 7-11 bulan 7 Anak-anak 1-3 tahun 8 4-6 tahun 9 7-9 tahun 10 Pria dewasa 10-12 tahun 13 13-15 tahun 19 16-18 tahun 15 19->65 tahun 13 Wanita dewasa 10-12 tahun 20 13-49 tahun 26 50->65 tahun 12 Wanita hamil Trimester 1 +0 Trimester 2 +9 Trimester 3 +13 Wanita menyusui +6 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) Apabila kebutuhan Fe bagi tubuh tidak tercukupi akan dapat menghantarkan pada berbagai kondisi (Tabel 7) . Tabel 7 Kondisi-kondisi akibat defisiensi zat besi A. Anemia B. Gangguan thermoregulasi C. Gangguan fungsi immun D. Gangguan fungsi mental dan kecerdasan E. Gangguan penampilan fisik F. Komplikasi saat kehamilan Sumber : O’dell dan Sunde (1997) Defisiensi besi adalah penyebab anemia yang paling sering/umum, mencapai 50% sebagai penyebab dari keseluruhan anemia yang ada (Black, 2003). Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan kadar Hb di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (WHO, 1976). Sedangkan anemia gizi besi (AGB) adalah anemia yang timbul karena kekurangan zat besi, sehingga pembentukan sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu. Penurunan kekebalan (imunitas) tubuh individu yang kekurangan Fe, menyebabkannya sangat peka terhadap serangan berbagai penyakit. Hal ini
15
berhubungan erat dengan menurunnya fungsi enzim pembentuk antibodi, sebagai akibat kekurangan nutrisi tersebut. Dampak defisiensi zat besi terhadap gangguan mental dan kecerdasan telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh NHANES III di Amerika Serikat terhadap 5398 anak usia 6-16 tahun, menunjukkan ternyata status Fe berhubungan dengan prestasi akademik objek yang diteliti. Berdasarkan skor tes matematika terstandaridisasi, pada anak-anak dengan defisiensi besi (dengan atau tanpa anemia), memiliki skor tes lebih rendah dibandingkan anak-anak dengan status besi normal (Black, 2003). Zat besi dalam hal ini memiliki peranan dalam sistem neurotransmitter dan mungkin berpengaruh terhadap metabolisme dopamin. Dopamin secara nyata memiliki pengaruh yang sangat penting dalam fungsi kontrol perhatian, persepsi, memori, motivasi dan motorik (Black, 2003). Anemia gizi besi pada ibu hamil dapat berakibat pada kematian si ibu, pendarahan, berat bayi lahir rendah, infeksi setelah lahir (Shah dan Sachdev, 2004). Bayi yang lahir dari ibu yang menderita anemia gizi besi akan mengalami defisiensi zat besi dan dapat menyebabkan disfungsi otak serta gangguan perbanyakan sel otak.
E. VITAMIN A Vitamin A merupakan zat gizi essensial, aktivitas biologi senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Vitamin A di dalam tubuh dapat ditemukan dalam tiga bentuk nya, yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid) dan retinoat (asam). Retinol dapat diubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson, 1991). Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani, sebagian besar dalam bentuk ß-karoten dan retinil ester dari hewan. Bagi ßkaroten harus mengalami pemecahan dalam tubuh menjadi dua molekul retinal. Selanjutnya senyawa tersebut dimetabolisme dalam tubuh mengikuti jalur metabolisme asam lemak, ditransportasikan dan disimpan dalam hati. Konsentrasi retinol dalam tubuh ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan
16
levelnya dipertahankan sangat konstan kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan (Linder, 1992). Vitamin A memiliki empat fungsi utama, yaitu (1) penglihatan, (2) differensiasi sel, (3) pertumbuhan dan (4) reproduksi. (Linder, 1992). Sedangkan Brody (1994) membagi fungsi vitamin A ke dalam tiga kelas yaitu (1) mendorong differensiasi sel epitel, (2) mendorong kelangsungan hidup dari sistem reproduktif (pertumbuhan fetal dan vitalitas testis) dan (3) utilisasi siklus penglihatan. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998) dengan mempertimbangkan faktor- faktor khas dari keadaan tubuh orang Indonesia (Tabel 8). Tabel 8 Daftar kecukupan konsumsi vitamin A Golongan Umur
Kebutuhan vitamin A (RE)
Anak-anak : 0-6 bulan 375 7-3 tahun 400 4-6 tahun 450 7-9 tahun 500 Pria : 10->65 tahun 600 Wanita : 10-18 tahun 600 19->65 tahun 500 Hamil +300 Menyusui +350 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) Defisiensi terhadap vitamin A dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya : (1) konsumsi vitamin A (pro- vitamin A) rendah, (2) gangguan dalam proses penyerapan didalam usus halus, (3) gangguan dalam proses penyimpanan di hati, dan (4) gangguan dalam proses konversi pro- vitamin A menjadi vitamin A. Gejala maupun akibat defisiensi yang muncul adalah refleksi dari berbagai peranan vitamin A (Tabel 9) (Muchtadi, 1993).
17
Tabel 9 Gejala atau akibat defisiensi vitamin A A. Mata Rabun senja, keratinisasi kornea, opacity (kornea keruh), Bitot’s spot, xerosis conjunctivaI, xerophtalmia B. Infeksi saluran pernafasan C. Perubahan Kulit Kulit kasar dan kering, folliculasis (benjolan kecil di dasar kantung rambut yang mengeras) D. Pertumbuhan tulang terhambat E. Gangguan kesuburan/fertilitas pada pria F. Gangguan siklus estrus, perkembangan plasenta serta aspek lain reproduksi wanita dan resorpsi fetus. G. Pengaruh lainnya Saluran pencernaan (diare), hilangnya enamel gigi, menurunnya indera pencium dan perasa, selera makan menurun. Sumber: Muchtadi (1993)
F. FORTIFIKASI Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan. Tujuan fortifikasi terhadap suatu bahan pangan selain untuk meningkatkan nilai gizi bahan makanan, juga dapat ditujukan untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi, 1993). Saat ini, upaya fortifikasi marak dilakukan sebagai usaha untuk menanggulangi defisiensi zat gizi tertentu di tengah masyarakat. Tiga permasalahan utama defisiensi zat gizi yang terjadi di beberapa negara adalah defisiensi iodium, zat besi dan vitamin A. Kejadian ini banyak disebabkan oleh ketidakcukupan konsumsi dan atau rendahnya bioavailabilitas zat- zat gizi tersebut (Gibson, 2004). Oleh karena itu, dengan adanya upaya fortifikasi diharapkan dapat mencegah ataupun mengurangi permasalahan ini. Fortifikasi dapat dilakukan secara single, double maupun multi fortifikasi. Namun, secara umum penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut : 1) zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan citarasa makanan; 2) dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak menyebabkan
18
timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang ditambahkan atau yang ada
dalam
bahan
makanan;
5)
jumlah
yang
ditambahkan
harus
memperhitungkan kebutuhan individu (Muchtadi, 1993). Pada saat melakukan fortifikasi mineral juga harus mempertimbangkan dalam memilih jenis garam mineral dari suatu mineral yang akan difortifikasikan, berdasarkan pertimbangan : 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas (kemampuannya dalam mengubah warna, flavor, penampakan dan katalisator bagi reaksi lain yang tidak diinginkan); 3) harga; dan 4) toksisitas. Pertimbangan serupa juga perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin (Clydesdale, 1991). Persyaratan bahan makanan yang dapat dijadikan pembawa (carrier) suatu zat gizi tertentu yang difortifikasikan antara lain : 1) dikonsumsi secara merata/umum oleh masyarakat sasaran; 2) dikonsumsi dalam jumlah yang relatif konstan sepanjang tahun; 3) diproduksi secara terpusat agar memudahkan
proses
fortifikasi
dan
pengawasannya
(Lachance
and
Bauernfeind, 1991). Pada awalnya, bahan makanan yang dipilih adalah dari golongan makanan pokok seperti produk-produk sereal, sebuah pilihan yang cukup masuk akal dan dapat diterima. Selanjutnya, terjadi diversifikasi bahan makanan pembawa yang terdiri dari bahan makanan tambahan diantaranya garam, gula, minuman (teh) dan bumbu masakan seperti kecap dan saus. Kecap dan saus dipilih dengan pertimbangan lebih yaitu karena karakteristik bahan yang berwarna dan kental sehingga diharapkan zat gizi yang difortifikasi akan terdispersi secara merata dalam bahan yang berwarna tanpa mengubah kualitas organoleptik bahan asal (Imanningsih, 2001).
19