7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Populasi Minimum Lestari 2.1.1. Pengertian Ukuran populasi minimum lestari yang lebih dikenal dengan Minimum viable population (MVP) menyatakan ambang batas ukuran populasi suatu spesies dalam satuan individu yang memastikan bahwa populasi tersebut akan terus bertahan hidup sampai jangka waktu tertentu (Rai 2003). Shaffer (1981) mendevinisikan MVP untuk berbagai jenis spesies yang terdapat di setiap habitat sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99% untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed (2000) MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99% untuk tetap ada selama 40 generasi.
2.1.2. Sejarah Konsep MVP (Minimum Viable Population), pertama kali di cetuskan oleh Shaffer pada tahun 1981, MVP telah mendapatkan perhatian yang lebih dalam bidang konservasi biologi. Genetik dan proses evolusi menjadi salah satu panduan untuk memprediksi populasi minimum agar suatu spesies dapat bertahan hidup. Untuk menghindari tekanan inbreeding dalam jangka waktu yang pendek, Franklin (1980) mengajukan bahwa ukuran minimal populasi yang efektif adalah tidak kurang dari 50 individu, berdasarkan teori ukuran minimum inbreeding 1% pada setiap generasi. Ukuran inbreeding ini telah dipertimbangkan dengan toleransi untuk banyak spesies hewan domestik yang dikondisikan pada lingkungan yang tidak berbahaya (Franklin 1980). Beberapa peneliti berpendapat bahwa lebih penting menentukan nilai populasi efektif (Ne) dibandingkan dengan menentukan nilai MVP (Franklin 1980). Franklin (1980) mengusulkan 50/500 agar digunakan oleh para praktisi konservasi, dimana nilai populasi efektif dibutuhkan untuk mencegah
8
laju inbreeding yang tidak dapat diterima, sedangkan laju populasi efektif 500 diperlukan untuk menjaga keseluruhan varietas genetik dalam jangka waktu yang panjang. Dari pandangan populasi genetik, nilai perkiraan populasi efektif sebanyak 50 individu merupakan pencegahan dari tekanan inbreeding, 12 sampai 1000 untuk menghindari akumulasi mutasi yang dapat menghilangkan beberapa varietas gen, dan 500-5000 untuk menahan potensi evolusioner (Frankham 2002). Berdasarkan rata-rata nilai populasi efektif yang dibagi dengan nilai populasi secara kasar, bernilai sekitar 0,100 atau 10 % maka kita harus mempunyai 500 individu dari 5000 individu yang di sensus (Frankham 2002).
2.1.3. Penentuan Populasi Minimum Lestari Terdapat dua konsep dalam menentukan ukuran populasi minimum lestari yaitu konsep genetik dan demografi (Ewens et al. 1995 Lande 1988). Konsep genetik menekankan pada laju kehilangan variasi genetik dari suatu populasi termasuk didalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep demografi lebih menitik beratkan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Dalam penentuan ukuran populasi minimum lestari, terdapat beberapa metode dan perangkat lunak yang dapat memudahkan penghitungannya, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. STOCHMVP Salah satu penelitian yang menggunakan perangkat lunak ini adalah penelitian tentang MVP pada kupu-kupu Bay checkerspot yang dilakukan oleh Campbell tahun 2002. Campbell menggunakan program modeling STOCHMVP untuk menentukan nilai MVP kupu-kupu tersebut. Data yang digunakan merupakan data populasi tahunan.
2. VORTEX VORTEX merupakan perangkat lunak yang paling sering digunakan oleh para peneliti untuk menentukan ukuran populasi minimum lestari. Berikut ini adalah beberapa penelitian penentuan ukuran populasi
9
minimum lestari yang telah dilakukan: Brito et al. (2002) menentukan nilai MVP dan status konservasi pada Trinomys eliasi. Penentuan nilai minimum viable population dengan menggunakan program VORTEX juga dilakukan oleh Grimm (2000) dalam penelitiannya mengenai penentuan nilai MVP capercaillie Tetrao urogallus dan Champman (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Population viability analyses on a cycling population: a cautionary tale. Bachmayr (2004) menggunakan simulasi model populasi stokastik dengan VORTEX untuk mengidentifikasi variabel kunci yang mempengaruhi nilai ambang batas dalam dinamika populasi, untuk menduga resiko kepunahan, dan untuk mengoptimalisasi manajemen dengan membandingkan parameter model dengan data populasi yang ada.
3. RAMAS Mandujano (2008) menghitung MVP untuk Mexican mantled howler monkeys Alouatta palliata Mexicana. Analisis menggunakan model populasi stokastik dengan menggunakan software RAMAS/Metapop untuk mengevaluasi peranan parameter demografi dalam pertumbuhan populasi dan untuk mensimulasi tren kelompok dan kemungkinan kepunahan lokal
dari Mexican mantled howler monkeys Alouatta
palliata mexicana di Los Tuxtlas, Mexico, dalam dua skenario landscape yakni populasi yang terisolasi (IPS) dan populasi yang terfragmentasi atau meta populasi (MPS). Baik pada simulasi IPS maupun MPS peluang kepunahan secara eksponensial tergantung pada ukuran fragmentasi. Perkiraan 60 % kepunahan di perkirakan akan terjadi pada ukuran fragmentasi yang kurang dari 15 ha. Simulasi ini menunjukan kemungkinan perubahan populasi pada MPS lebih rendah dari IPS.
4. Matriks Leslie. Matriks Leslie biasa digunakan dalam menentukan ukuran populasi secara kontinue di masa yang akan datang. Wielgus (2001) menggunakan matrik Leslie untuk mengetahui waktu kepunahan pada Grizzly bear.
10
Data yang digunakan merupakan data set populasi dari penelitian sebelumnya. MVP ditentukan dengan cara mensimulasikan populasi awal. Surya (2010) menggunakan matriks Leslie sebagai dasar dari penentuan ukuran populasi minimum lestari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Matriks Leslie di jabarkan dengan system aljabar untuk mendapatkan ukuran populasi minimum lestari.
2.2.Bio-ekologi Rusa Timor 2.2.1. Taksonomi dan Morfologi Rusa termasuk satwa ruminansia dari bangsa Artiodactyla, suku Cervidae, dengan anggota 17 marga, 42 jenis dan 196 anak jenis ( Baillie et al. 1996, Timmins et al. 1998, Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006). Rusa Timor diklasifikasikan ke dalam Phylum Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Family Cervidae, Genus Rusa, dan Spesies Rusa
timorensis de
Blainville 1822. Rusa Timor memiliki ukuran tubuh sekitar 50 – 60 % lebih kecil dibandingkan dengan rusa sambar (Semiadi 2006). Rusa Jantan memiliki tanduk yang bercabang yang disebut rangga, dengan panjang dua kali panjang kepalanya (Schroder 1976 dalam Mukhtar 1996). Rangga rusa jantan dewasa biasanya memiliki tiga buah cabang runcing. Rusa jantan memiliki warna bulu coklat keabu-abuan dan pada jantan sering kali memiliki warna yang lebih gelap (Semiadi 2006). Ekor relatif panjang dengan bulu yang tidak terlalu panjang (Anderson 1984 dalam Semiadi 2006). Perut berwarna lebih terang daripada punggung. Ketiak, pangkal paha, dan bagian dalam dari telinga berwarna putih kekuningan.
2.2.2. Habitat Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat beristirahat, kawin, dan menghindarkan diri dari predator. Hutan sampai ketinggian 2.600 meter dpl dengan padang
11
rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis (Garsetiasih 2007). Whitten et al. (1996) dalam Semiadi (2006) menyatakan bahwa habitat utama untuk rusa timor adalah kawasan savana. Di daerah yang sering terkena kebakaran akan dijumpai banyak rusa timor yang “turun gunung” guna merumput tanaman muda dan menjilati abu sisa pembakaran sebagai sumber mineral. Rusa timor dapat dijumpai dengan mudah di daerah hutan terbuka hingga ketinggian 2600 m dpl (Semiadi 2006). Diluar habitat aslinya, Rusa timor dapat hidup hingga daerah bersalju (Inggris), walau hanya dalam jumlah populasi yang terbatas (Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006).
2.2.3. Distribusi Groves dan Grubb (1987) dalam Semiadi (2006) meyakini bahwa rusa timor yang berada di Sulawesi dan Pulau Timor merupakan rusa yang berasal dari Pulau Jawa dan Bali, yang mencapai Pulau tersebut baik dengan adanya campur tangan manusia maupun menyebrang secara berenang, khususnya untuk rusa yang berada di daerah Nusa Tenggara.Van mourik dan Stelmasiak (1986) dalam Semiadi (2006) mempunyai keyakinan bahwa cikal bakal rusa timor dan anak jenisnya dimulai dari daratan Cina. Pada saat perubahan iklim dunia di masa Holocene, terjadilah migrasi pertama yang dimulai ke daerah Kalimantan dan Jawa. Penelitian menunjukan bahwa di awal era Pleistocene di Taiwan pernah hidup jenis rusa timor. Penyebaran rusa timor diluar habitat asli: Rusa timor pernah dilepaskan di daerah Banjarmasin pada tahun 1680 dan berkembang dengan baik (Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006) namun catatan resmi mengenai keberadaan rusa tersebut saat ini tidak diketahui. Pelepasan secara tidak sengaja di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara (Kaltim) diyakini juga terjadi pada anak jenis rusa timor asal NTT pada tahun 1980. Sekitar tahun 1855 rusa timor dari Pulau Seram pernah didatangkan ke Kepulauan Aru (Nootebom 1996 dalam Semiadi
12
2006). Pelepasan rusa timor di daerah Taman Nasional Wasur dilakukan pada tahun 1928an dan telah berkembang pesat (Semiadi 2006).
2.2.4. Status Rusa timor (Rusa timorensis) atau biasa disebut dengan rusa jawa masih umum berada di tempat-tempat asalnya yang terbatas. Tetapi rusa timor di tetapkan sebagai spesies yang masuk dalam kategori Vulnerable (C1) karena pada populasi aslinya total individu dewasa kurang dari 10.000 individu dengan perkiraan penurunan populasi terus bertambah 10% pada setiap generasi akibat dari hilangnya habitat, rusaknya habitat dan perburuan liar. (IUCN 2010). 2.2.5. Populasi Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies pada suatu waktu tertentu dan menghuni suatu wilyah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng 1994). Alikodra (1990) mengartikan populasi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu – individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Ukuran populasi rusa timor telah banyak dikaji di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan penelitian Kangiras 2009 populasi rusa timor di TWA dan CA Panajung Pangandaran tahun 2009 adalah 73 ekor dengan komposisi 8 ekor anak, 11 ekor muda, dan 53 ekor dewasa. Ukuran populasi rusa timor di Taman Nasional Alas Purwo pada tahun 2006 diperkirakan sebanyak 7.992 ekor (Santosa 2008). Menurut penelitian Masy’ud (2007) ukuran populasi rusa timor di Taman Nasional Bali Barat adalah 1.321 ekor. Populasi rusa timor di Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, dilaporkan telah berkembang sangat pesat sehingga menjadi hama bagi keseimbangan ekosistem setempat (Semiadi 2006).
13
2.2.6. Reproduksi Dilihat dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun sampai 12 tahun, rusa dapat bertahan hidup antara umur 15-20 tahun (Garsetiasih 2007). Semiadi (2006) menyatakan bahwa rusa timor yang terdapat di Pulau Jawa (Cervus timorensis russa) secara alami memiliki umur sampai dengan 17 tahun. Anak rusa umur 4 bulan dapat mencapai bobot badan 17,35 kg untuk jantan dan 16,15 kg betina. Rusa pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi, dengan lama bunting antara 7,5 bulan sampai 8,3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi, terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan, sedangkan umur sapih anak rusa secara alami yaitu 4 bulan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor (Garsetiasih 2007).
2.2.7. Parameter Demografi 2.2.7.1. Natalitas Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu dan angka kelahiran spesifik yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran ditentukan oleh faktor-faktor : (1) perbandingan komposisi kelamin, (2) umur termuda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 1990).
14
Laju natalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 3,83% (Kangiras 2009). Tidak jauh berbeda dengan laju natalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif HP Darmaga adalah 3,3% (Kwatrina 2009). 2.2.7.2. Mortalitas Ukuran populasi berkurang karena laju mortalitas. Kematian satwa liar dapat disebabkan oleh keadaan alam, kecelakaan, perekelahian dan aktivitas manusia. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara
jumlah kematian dengan jumlah total
populasi selama satu periode waktu, dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 1990). Laju Mortalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 2,97% (Kangiras 2009). berbeda dengan laju mortalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif Hutan Penelitian Darmaga adalah 0,15% (Kwatrina 2009). Laju Kematian atau laju mortalitas lebih besar di alam di bandingkan dengan di penangkaran.
2.2.7.3. Struktur Umur dan Sex rasio Struktur umur berbeda-beda pada setiap populasi, struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangabiakan satwa liar. Menurut Alikodra (1990), struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari setiap populasi. secara garis besar struktur umur pada populasi dapat digolongkan dalam tiga struktur (Tarumingkeng 1994) yaitu : 1. Struktur umur menurun yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur yang sangat muda dan muda,
15
paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu. 2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus. 3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar. Sedangkan
Van
Laviren
(1982)
dalam
Alikodra
(1990)
menggolongkan struktur umur populasi pada 4 struktur yaitu: 1. Struktur umur dalam keadaan populasi yang seimbang, yaitu natalitas dan mortalitas yang relatif seimbang. 2. Struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur yaitu natalitas mengalami penurunan. 3. Struktur umur dalam keadaan populasi yng berkembang, yaitu natalitas mengalami peningkatan. 4. Struktur umur dalam keadaan mengalami gangguan sehingga terjadi kematian yang tinggi pada kelas umur tertentu.
Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 1990). Berdasarkan penelitian Kangiras (2009) sex rasio jantan:betina di TWA/CA Pananjung Pangandaran pada setiap kelas umur rusa timor adalah 1:2. Di dalam penangkaran rusa, dianjurkan jumlah betina lebih banyak dibanding jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini empat ekor betina (Garsetiasih 2007).
Ringkasan ukuran parameter demografi rusa timor berdasarkan beberapa penelitian disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini:
16
Tabel 2.1. Ukuran Parameter Demografi Rusa Timor Berdasarkan Beberapa Penelitian. Ukuran Parameter Demografi Parameter Demografi
TWA/CA P.Pangandaran (Kangiras 2009)
Natalitas Mortalitas Umur pubertas
3,83% 2,97% -
Siklus berahi Lama berahi Umur perkawinan rusa dara Musim kawin Musim melahirkan Lama bunting Jumlah anak per kelahiran Umur penyapihan Ratio seks
-
Penangkaran (Takandjandji, 1993 dalam Garsetiasih 2007)
Penangkaran Darmaga (Kwatrina 2009)
Penangkaran (Garsetiasih 2007)
96,07% !7,25% Mulai 8 bulan; 8,1 bulan 20 hari 2 hari 12 bulan; 15,2 bulan
3,3% 0,15% -
1,5 -12 tahun
-
-
-
Januari September
-
-
1
8,3 bulan 1 ekor
-
7,5-8,3 bulan -
-
4 bulan
-
4 bulan
1:2
1:2
-
1:4
2.3. Penentuan Kelas Umur Penentuan umur rusa timor dapat dilakukan dengan pengamatan pola keausan gigi, susunan geligi dan pertumbuhan rangga pada rusa jantan. Namun penentuan umur rusa berdasakan pertumbuhan rangga hanya efektif untuk menduga umur dibawah dua tahun saja, sedangkan susunan geligi hanya dapat dipakai hingga umur 3 tahun saja (Semiadi 2006). Oleh karena itu pengamatan pola keausan gigi lebih sering digunakan dalam mendapatkan pekiraan umur secara kasar. Pengamatan keausan gigi dibagi menjadi beberapa criteria (Tabel 2.2). Pengelompokan kelas umur pada beberapa penelitian berbeda beda sesuai dengan dasar dan tujuan penelitiannya (Mukhtar 1996). Ada yang menggolongkan ke dalam tiga kelas umur maupun empat kelas umur. Identifikasi umur satwa liar di lapangan mengalami banyak kesulitan, oleh karena itu penentuan kelas umur dapat ditentukan hanya berdasarkan morfologi dan perilaku satwa dilapangan.
17
Tabel 2.2. Kriteria keausan gigi pada rusa sebagai dasar pendugaan umur Umur (tahun) 3 5 9 12 15 20
M1 + ++ +++ (0)Atau +++ 0 atau (0) 000
M2 + ++ +++ +++ 00
M3 + ++ ++ +++
Sumber: Van Bemmel (1949) dalam Mukhtar (1996) Keterangan: M1, M2, M3 + ++ +++ 0 00 000
= gigi geraham atas = belum dipakai = pemakaian sedikit = pemakaian sedang = pemakaian tinggi = dentin (gigi bagian dala bawah kepala gigi) seperti sabit bagian depan hilang atau hampit hilang (0) = dentin yang seperti sabit pada bagian depan dan belakang hilang = permukaan kepala gigi sepenuhnya pemakaiannya turun, datar dan halus.
Perilaku anak pada rusa timor, biasanya selalu mengikuti induknya atau bergerak disekitar induknya, sedangkan pada individu remaja sudah tidak lagi bergabung dengan induk, namun berkelompok dengan rusa remaja lainnya. Individu dewasa biasanya bergabung membentuk kelompok kecil dengan betina dewasa lainnya dan anak anak mereka. Namun ukuran kelompok tidak terlalu besar hanya 2-3 ekor betina dewasa saja. Sedangkan pada individu jantan dewasa, rusa timor cenderung soliter (Semiadi 2006). 2.4. Produktivitas Rumput Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor (McIlroy 1976) yakni: 1. Persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif. 2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies –spesies lain yang tumbuh bersama. 3. Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat
18
4. Sifat tahan kering atau tahan dingin 5. Penyebaran produksi musiman. 6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah. 7. Kesuburan tanah (terutama kandungan nitrogen) 8. Iklim Dari produktivitas padang rumput, tidak seluruh hijauan tersedia bagi ternak atau satwa liar. Oleh karena itu harus diperhitungkan faktor proper use yaitu persentase hijauan pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak atau satwa pada keadaan padang rumput dapat digunakan dengan baik (Harlan 1956). Menurut Susetyo (1980) nilai proper use dipengaruhi oleh keadaan lapangan, jenis tanaman, jenis ternak atau satwa liar, tipe iklim dan keadaan musim. Pada dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi, faktor proper use semakin kecil. Faktor proper use berdasarkan kemiringan lahan terbagi menjadi tiga yakni, proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30% (Susetyo 1980). 2.4.1. Pengukuran Produktivitas Padang Rumput Seluk beluk mengenai pengukuran produktivitas padang rumut telah banyak dikaji (McIlroy 1976). Bagi peneliti yang belum berpengalaman akan lebih efisien dengan kemungkinan bias kecil, apabila dari sejumlah sampel tertentu analisis komposisi botani dilakukan dengan cara memisah-misahkan tiap spesies dengan tangan dan kemudian menimbangnya. Cara ini memang sangat banyak membutuhkan waktu dan tenaga. Dari beberapa luasan tertentu (ukuran 15 cm x 15 cm) hijauan pakan di potong pada ketinggian yang telah ditentukan (umumnya sangat dekat dengan permukaan tanah). Hijauan yang telah dipotong tadi, kemudian dipisah-pisahkan menurut spesies dan kemudian ditimbang.
19
Teknik pemotongan umumnya dilakukan terdiri dari pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai cuplikan, menimbangnya kemudian dihitung produktivitas per unit luas padang rumput yang bersangkutan. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya gangguan pada pertumbuhan rumput di petak contoh padang yang digembalai, maka digunakan pagar yang terbuat dari kawat besi untuk melindungi petak contoh tersebut (McIlroy 1976). Menurut Anggorodi (1975) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memotong hijauan pakan, yaitu saat pemotongan, tinggi pemotongan dan frekuensi pemotongan. Terdapat tiga tahap pertumbuhan pada tumbuhan pakan yaitu: 1. Tahap pertumbuhan 1 (germinatif) terjadi pada awal pertumbuhan sampai usia rumput satu minggu. Karakteristik rumput: produksi rendah, kualitas tinggi, pertumbuhan vegetatif lemah, pemotongan pada tahap ini berakibat buruk pada “regrowth”. 2. Tahap pertumbuhan 2 (vegetatif) terjadi pada awal minggu kedua sampai akhir minggu ke 3. Karakteristik rumput: produksi tinggi, kualitas baik, pertumbuhan vegetatif sudah kuat, pemotongan pada tahap ini tidak berdampak buruk pada “regrowth” 3. Tahap pertumbuhan 3 (generatif) terjadi pada awal minggu keempat dan setelahnya. Karakteristik rumput: produktivitas tinggi, kualitas menurun, masa persiapan pembentukan biji dan bunga. Pemotongan pada tahap ini menghasilkan hijauan yang rendah. Mengingat sifat-sifat pada setiap tahap tersebut maka pemotongan pada umumnya dilakukan pada tahap dua dimana produksi dan nilai gizi cukup tinggi dan tidak akan mengganggu pertumbuhan berikutnya.