II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan
Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai (Gerbang
Dayaku) Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 adalah di satu sisi, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat dapat lebih berkonsentrasi pada kebijakan makro yang bersifat strategis Ryaas Rasyid, (2002: 172). Di sisi lain, dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol adanya trust dari pemerintah pusat kepada daerah Syaukani ,(2003: 84). Visi otonomi daerah menurut Afan Gaffar dalam Syaukani (2002: 173 – 174) dapat dirumuskan dalam tiga aras interaksinya, yaitu: Bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus difahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang terpilih secara demokratis, dan pengambilan keputusan/kebijakan yang transparan. Bidang ekonomi, otonomi daerah dapat menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan potensi ekonomi daerahnya. Bidang sosial dan budaya. Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya. Karena itu, kebijakan penerapan otonomi daerah sesunguhnya dapat menjawab dua masalah secara bersamaan. Pertama, menyangkut soal merebaknya keinginan memisahkan diri oleh beberapa daerah seperti Aceh, Papua, Riau, Kalimantan Timur dan Maluku. Secara kasat mata, tuntutan pemisahan diri dari NKRI lebih tampak sebagai dampak psiko-sosio-politik akibat tekanan dan
7
perlakuan yang tidak adil selama rezim Orde Baru berkuasa; dan kedua, secara historis dan empiris makin melebarnya jurang ketimpangan antara pusat dan daerah di mana daerah penyumbang devisa terbesar negara tidak mendapatkan dana perimbangan secara memadai. Sementara sumber daya alam daerah dieksploitasi habis-habisan, pada saat yang sama program-program pemberdayaan daerah tidak memdapat perhatian secara maksimal dari pemerintah pusat Susanto, (2003: 40). Dalam perspektif demikian, implementasi otonomi daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah membuat isu sentral pembangunan berbasis pada proses pemberdayaan
masyarakat
yang
disebut
Gerbang
Dayaku
(Gerakan
Pengembangan Pembedayaan Kutai, di mana program Gerbang Dayaku tersebut merupakan konsep Syaukani dalam penyampaian visi dan misi calon bupati di depan anggota DPRD Kabupaten Kutai pada tahun 2004 yang memfokuskan kepada pembangunan berbasis wilayah, yaitu gerbang wilayah pedesaan, gerbang wilayah perkotaan dan gerbang sumber daya manusia. Potensi setiap wilayah yang berbeda mengharuskan penanganan dan bentuk pembangunan yang tentunya berbeda pula. Gerbang Dayaku secara harfiah berarti pintu, dan Dayaku berarti kekuatan dan kemandirian. Artinya, pintu kekuatan untuk memasuki kemandirian, di mana kemandirian menjadi spirit dari otonomi daerah Sayukani, (2004). Sedangkan definisi Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai atau lebih dikenal dengan akronim Gerbang Dayaku menurut Syaukani (2004) adalah “Sebuah model pendekatan pembangunan yang berbasiskan pada pemberdayaan yang semua komponennya bersumber pada aspirasi dan potensi sumber daya yang dimiliki”. Di mana program dari Gerbang Dayaku itu sendiri dibagi dalam tiga kegiatan besar, yaitu pembangunan infrastuktur, ekonomi kerakyatan, dan sumber daya manusia. Salah satu program unggulan Gerbang Dayaku adalah adanya gerakan satu milyar/desa per tahun 2006. Guna menumbuhkan dan mendorong masyarakat meningkatkan etos kerja dan sektor produksi Susanto, (2003). Visi Gerbang Dayaku adalah untuk menciptakan masyarakat Kutai Kartanegara yang madani sejahtera, mandiri dan berkualitas. Masyarakat madani sebagaimana visinya, mengandung arti bahwa masyarakat dapat menggunakan
8
potensi dan sumber daya dirinya untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh kabupaten tersebut. Masyarakat madani adalah masyarakat yang agamis dan egaliter yang didasari atas kehidupan yang rukun dan damai berdasarkan masyarakat yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sesuai dengan standart kehidupan yang layak bagi kemanusian sebagaimana mestinya Susanto, (2003: 81). Misi dari Gerbang Dayaku adalah memberdayakan seluruh komponen dan potensi masyarakat dalam sebuah wadah gerakan yang terencana dan terkoordinasi untuk mewujudkan pembangunan Kabupaten Kutai Kartanegara sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal ini apabila dicermati sangat sesuai dengan salah satu prinsip pekerjaan sosial, yaitu prinsip menentukan sesuatu sesuai dengan dirinya sendiri, bahwa sekecil apapun manusia mempunyai potensi sehingga bisa diberdayakan dalam pembangunan. Dengan visi dan misi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa seluruh komponen, khususnya masyarakat miskin yang selama ini beban
dari
pembangunan,
akan
menjadi
kekuatan
dianggap sebagai baru
yang
dapat
menyumbangkan peranannya dalam pembangunan bangsa dan negara. Dengan demikian, tujuan yang akan dicapai dalam program Gerbang Dayaku adalah: (a) mewujudkan masyarakat Kutai Kartanegara yang berkesejahteraan sosial, yang adil dan beradab; (b) mewujudkan masyarakat Kutai Kartanegara yang mandiri; dan (c) mewujudkan masyarakat yang berkualitas Hery Susanto,( 2002:82 – 83). Berangkat dari visi, misi dan tujuan tersebut dapat dikatakan bahwa parameter dari program Gerbang Dayaku adalah kesejahteraan, kemandirian dan kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya partisipasi masyarakat dalam Gerbang Dayaku menempati posisi sangat tinggi karena segenap komponen tersebut akan menjadi ujung tombak yang mewarnai sis-sisi gerakan pembangunan yang dicanangkan. Sehingga dengan demikian tidak ada yang berpotensi mubazir dari keseluruhan proses pembangunan di Kabupaten Kutai Kartanegara
sepanjang
pemerintahannya
beserta
stakeholder
di
tingkat
masyarakat dapat selalu melakukan evaluasi secara efektif. Sehubungan dengan itu dalam disiplin ilmu pekerjaan sosial dalam rangka pelaksanaan program Gerbang Dayaku termasuk dalam jenis pelayanan sosial.
9
Alfed J. Khan dalam Soetarso, (1993: 35) mengklasifikasikan pelayanan sosial berdasarkan fungsinya, adalah: 1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan 2. Pelayanan sosial dengan tujuan penyembuhan, pemberian bantuan, rehabilitasi dan perlindungan sosial 3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan pelayanan yang sudah ada, pemberian informasi dan nasehat. Berdasarkan klasifikasi pelayanan sosial tersebut, pelayanan sosial oleh keluarga miskin termasuk dalam fungsi pemberian bantuan, pengembangan, menjangkau dan menggunakan pelayanan yang sudah ada, pemberian informasi dan nasehat. Sehingga dengan bantuan yang diberikan diharapakan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan lebih dari itu keluarga miskin dapat menjalankan fungsi sosialnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Alfred J. Khan dalam Soetarso, (1993: 26) bahwa: Pelayanan sosial berisikan program-program yang ditujukan untuk melindungi dan memulihkan kehidupan keluarga, membantu perorangan untuk mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh faktor-faktor
dari
luar
maupun
dalam
dirinya,
meningkatkan
proses
perkembangan, serta mengembangkan kemampuan orang untuk memahami, menjangkau dan mengusahakan pelayanan yang tersedia melalui pemberian informasi, bimbingan perwakilan kepentingan dan bantuan-bantuan nyata. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan sosial bertujuan untuk memecahkan masalah bagi pengembangan diri keluarga miskin untuk menjangkau pelayanan sosial yang tersedia.
2.2. Kemiskinan di Pedesaan Masalah kemiskinan merupakan masalah yang spesifik dihadapi oleh individu atau masyarakat yang menyandang masalah kemiskinan, kadang-kadang individu dan masyarakat juga menghadapi akumulasi berbagai
masalah yang
spesifik tersebut. Masalah spesifik tersebut dapat berupa SDM yang rendah, sumber daya alam yang minim dan tidak mungkin di kembangkan, tidak memiliki akses dalam memperoleh sumber ekonomi,dan factor sistem politik Budiman, (1997) yang menyebabkan salah satu masyarakat termarginal dalam garis
10
kemiskinsn. Oleh karena itu, upaya penanganan kemiskinan harus melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, seperti pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat yang menghadapi masalah kemiskinan. Penanganan kemiskinan juga memerlukan kesamaan arah di berbagai level penanganan, seperti pengambilan keputusan kebijakan, mediator dan pelaksanaan teknis dilapangan, kedalam program yang bertujuan untuk : 1. Membina, menyelamatkan, memulihkan serta mengentaskan penyandang masalah kesejahteraan sosial (kemiskinan) agar dapat hidup dan berkembang secara layak. 2. Mengali dan memanfaatkan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial dan peningkatan serta pemerataan pelayanan sosial. 3. Meningkatkan keberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat rentan Penyandang Masalah Ksejahteraan Sosial (PMKS) dapat mendukung pemulihan kehidupan ekonomi nasional. 4. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia da;lam jajaran pembangunan kesejahteraan sosial. 5. Mengembangkan kepekaan, kesejahteraan sosial, etika moral dan tanggung jawab sosial masyarakat yang mampu. Upaya tersebut di atas harus memiliki muara yang sama setuju pada penanganan
masalah kemiskinan, sehingga tidak terjadi program yang
bertentangan antara yang dikeluarkan pada level pengambil keputusan dengan program yang direalisasikan dilevel pelaksanaan teknis di lapangan. Sehubungan
dengan itu Uma Lee dalam soetarso (1993) merumuskan
pembangunan masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut : “Community rural development is an improving standard of the mass of low-income population residing in rural areas and making the proses of their development self sustaining” (Pembangunan masyarakat pedesaan sebagai upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagian besar penduduk yang berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah pedesaan seraya menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan ).
11
2.3. Keluarga Miskin Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh standar tingkat kehidupan yang rendah, tingkat kekurangan materi pada golongan tertentu dibandingkan dengan standar yang berlaku di masyarakat Andi Bayo Ala, (1996), yaitu standar kehidupan yang rendah secara langsung, mutu pendidikan yang rendah, serta ketrampilan dan kemampuan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Dawam Raharjo (1995: 146), kemiskinan adalah: “Sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Orang miskin adalah mereka yang tingkat pendapatannya (diukur dari pengeluaran yang terjadi) berada di bawah garis kemiskinan”. Kemiskinan sebagai suatu standart tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standart kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standart kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri mereka yang tergolong orang miskin. Dari definisi di atas kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga menyangkut aspek non material. Selain terbatasnya kemampuan tersebut, secara sosial keluarga miskin juga ditandai oleh adanya keterbatasan dalam pemilikan rumah, atau tempat tinggal kurang layak huni, kurangnya pendidikan, kurang ketrampilan, rendahnya tingkat kesehatan, lemahnya kehidupan beragama, kurangnya hubungan sosial dan sebagainya. Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan yang bersinambung; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Keluarga miskin adalah keluarga yang tidak mampu memberikan kepada anggotanya untuk makan tiga kali sehari. Sedangkan ukuran yang khas di Indonesia adalah apabila ada rumah tangga yang terus menerus tidak mampu
12
mencukupi kebutuhan pokok hidup, maka rumah tangga tersebut dianggap rumah tangga miskin. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin, keluarga miskin didefinisikan sebagai: 1.
Sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak.
2.
Mempunyai sumber mata penjaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan yang meliputi sandang, papan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan. Menurut Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip Achlis mengolongkan
pendapatan atau penghasilan keluarga ditinjau dari kosumsi beras yang dapat dipenuhi. Pengolongan tersebut adalah : 1. Keluarga sangat miskin Sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai penghasilan di bawah setara dengan 240 kg beras ekuivalen setiap orang tiap tahun untuk penduduk yang tinggal di pedesaan dan yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras untuk yang tinggal di perkotaan. 2. Keluarga miskin
Keluarga yang memiliki penghasilan setara dengan 240 kg beras bagi yang di pedesaan dan yang berpenghasilan 360 sampai dengan 480 beras yang tinggal di perkotaan. 3.Keluarga berpendapatan menengah Keluarga yang memiliki penghasilan setara dengan 360 sampai dengan 480 kg beras untuk yang di pedesaan dan 480 kg sampai dengan 500 kg beras bagi yang tinggal di perkotaan. 4.Keluarga kaya Keluarga yang mempunyai penghasilan setara dengan 480-600 kg beras untuk di pedesaan atau 600 - 720 kg untuk daerah perkotaan. 5.Keluarga sangat kaya Keluarga yang mempunyai penghasilan 600-720 kg beras untuk pedesaan atau 720-840 kg beras di perkotaan.
13 Dari pengertian keluarga miskin di atas, keluarga miskin mempunyai
keterbatasan-keterbatasan dalam menjangkau sistem sumber atau pelayanan sosial yang ada. Hal ini dapat menjadi kendala bagi keluarga miskin dan keluarganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Dari sudut penggolongan penghasilan keluarga, keluarga miskin itu dapat ukur dengan beras yang dikonsumsi. Lebih lanjut Emil Salim (1989: 75) menyatakan bahwa keterbatasan yang dimiliki keluarga miskin pada umumnya adalah sebagai berikut: 1. Mutu tenaga kerja yang terbatas, 2. Jumlah modal tidak memadai, 3. Luas tanah dan sumber daya terbatas, 4. Kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang relatif rendah, dan 5.
Lingkungan hidup yang kurang memungkinkan perubahan dan kemajuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga miskin mempunyai ciri-
ciri: (1) miskin, terutama sangat miskin; (2) mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok; (3) tempat tinggal kurang layak atau sederhana; (4) tingkat pendidikan rendah; (5) derajat kesehatan dan gizi yang rendah dan buruk; dan (6) pemilikan harta sangat terbatas jumlah dan nilainya. Dalam perspektif demikian, keluarga miskin dalam segala sisi sangat rentan yang berdampak pada masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi birokrasi, tingginya rasio ketergantungan dan semua itu, dalam pandangan Oscar Lewis terefleksikan dalam budaya kemiskinan. Namun demikian, pemerintah sudah berupaya meningkatkan kehidupan keluarga miskin yang ada di seluruh Indonesia, kenyataan ini dilakukan melalui pemerataan pendidikan dan
program-program bantuan pengentasan kemiskinan yang
dimaksudkan agar meningkatnya kualitas sumber daya manusia di mana keluarga miskin diharapkan mempunyai daya dan kemampuan mengubah kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. 1. Dimensi Kemiskinan Suharto (1997: 74 – 75) bentuk kemiskian dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Pertama, kemiskinan absulut adalah keadaan miskin diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam
14
memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Penentuan kemiskian absulut ini biasanya diukur melalui batasan kemiskinan atau garis kemiskinan (poverty line) baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran atau indikator tersebut umumnya di konvensikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada di bawah garis kemiskinan, dikategorikan sebagai miskin secara absulut. Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umumnya suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 100.000 perkapita/bulan, seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 200.000 perkapita/ bulan secara absulut tidak miskin, tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat sekitar adalah Rp. 300.000/kapita, maka secara relatif orang atau keluarga tersebut termasuk orang miskin. Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orentasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (moderenisasi). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan berprestasi (need for achievement), fatalis, berorentasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah beberapa ciri yang memadai untuk kemiskinan kultural.Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang, selompok orang menjangkau sumber-sumber kehidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktek monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai pemiskinan yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktur demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh golongan orang-orang tertentu. Contohnya para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau memiliki hanya sedikit lahan tanah, para nelayan yang tidak mempunyai perahu dan peralatan menangkap ikan, para pekerja yang tidak
15
trampil
(unskilled labour), termasuk
ke dalam mereka yang berada dalam
golongan kemiskinan struktural. 2.
Ciri- ciri Keluarga Miskin. Ciri-ciri keluarga miskin antara daerah satu dengan daerah lain berbeda, ciri
kemiskinan biasanya disesuai dengan kondisi, tempat dan keadaan suatu wilayah. Sedangkan ciri-ciri umum sebagaimana dikemukakan Emil Salim (1994: 105) adalah: a. Mereka pada umumnya tidak memiliki faktor sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan, faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan terbatas. b. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan aset produksi dengan kekuatan sendiri, masalah ini dapat menghambat usaha keluarga miskin untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Akibat yang ditimbulkan keluarga miskin tidak dapat menjangkau pelayanan yang ada dan aset produksi dimonopoli oleh gologan orang yang mampu. c. Tingkat pendidikan keluarga miskin pada umumnya rendah, waktu mereka habis untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk belajar, dan anak-anak keluarga miskin tidak dapat menyelesaikan sekolah karena membantu orang tua. d. Kebanyakan keluarga miskin tinggal di pedesaan, banyak di antara mereka tidak memiliki tanah, menjadi buruh tani, pekerja kasar di luar pertanian. e. Banyak diantara keluarga miskin hidup dikota dengan usia muda dan tidak mempunyai ketrampilan dan pendidikan. 3.
Sebab-sebab Kemiskinan.
Dengan mengikuti pendapat para ahli sebab terjadinya kemiskinan dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu: a. Kesempatan kerja. Seseorang miskin karena menganggur sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau tahun. b. Upah gaji di bawah standar minimum. c. Produktivitas kerja yang rendah.
16 d. Ketiadaan aset. Pertanian, kemiskinan terjadi karena petani tidak memiliki lahan tanah untuk bertani atau mempunyai lahan tetapi lahannya sempit. e. Adanya diskriminasi sehingga menyebabkan terjadinya kemiskinan. f. Kemiskinan dapat terjadi karena tekanan harga. Harga yang mahal menyebabkan daya beli melemah sehingga tidak dapat melalukan taransaksi pembeliaan. g. Penjualan tanah baik tanah pertanian, pertambakan ataupun perumahan bisa meimbulkan kejatuhan dan akhirnya kemiskinan.
4.
Dampak Atau Akibat Masalah
Dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan (Andi Bayo Ala, 1996: 34; Dawam Rahardjo: 113, 1995; Emil Salim, 1994: 136) adalah: a. Masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan; b. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada peluang kerja; c. Kemiskinan
adalah
masalah
ketidakpercayaan,
perasaan
impotensi
emosional dan sosial mengahadapi birokrasi; d. Kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian besar pengahasilan golongan miskin untuk konsumsi pangan dengan kualitas yang terbatas; e. Kemiskinan juga ditandai dengan tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka; dan f. Kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan yaitu
pewarisan
dari generasi ke generasi lainnya. 2.4. Penanganan dan partisipasi dalam pengentasan kemiskinan dipedesaan Spesifik permasalahan kemiskinan, yang semuanya di tandai dengan adanya berbagai keterbatasan, menuntut segala program pemberdayaan bagi masyarakat miskin memiliki spirit yang tulus untuk melakukannya. Semangat yang tulus bagi pihak-pihak yang berfungsi sebagai pendamping pemberdayaan masyarakat yang memiliki berbagai keterbatasan. Secara konkret, strategi yang harus dilakukan Scott Thorson, ( 2000 ), antara lain :
17 1. Pemberdayaan sosial, yaitu pembinaan bagi aparatur pemerintah sebagai pelaku
pembangunan
kesejahteraan
sosial
untuk
meningkatkan
profesionlisme dan kinerja serta pemberian kepercayaan dan peluang pada masyarakat
maupun
dunia
usaha
serta
penyandang
permasalahan
kesejahteraan sosial dalam mencegah dan mengatasi masalah yang ada dilingkungannya. 2. Kemitraan sosial, yaitu adanya kerja sama, kepedulian, kesetaraan, kebersamaan dan jaringan kerja yang dapat menumbuh kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra. 3. Partisipasi sosial, yaitu adanya prakarsa dan peranan dari penerima pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan serta melakukan peranan yang terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Sesuai dengan strategi dan upaya penanganan kemiskinan untuk pembangunan kesejahteraan sosial, maka dalam menanggani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dilakukan secara bertahap sampai mereka dapat hidup layak serta berkembang dengan wajar, terus menerus sampai pada titik terminasi dan manpu hidup mandiri. Partisipasi dalam konteks ini diartikan sebagai keikutsertaan atau peranserta dalam proses pembangunan, baik perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasinya Tjokroamidjoyo,(1996). Dalam pelaksanaan pembangunan misalnya, partisipasi dimaknai tidak boleh menjadi menonton atau membiarkan orang lain bekerja, tetapi harus memiliki partner kerjasama, sehingga diperlukan adanya semangat demokratis, bersifat terangsang dan sukarela. Berdasarkan analisisnya terhadap kasus-kasus di negara berkembang, Carlson (1985:233), mengetengahkan bahwa sesungguhnya kemampuan rakyat untuk menolong diri sendiri dapat diperbesar dan ditingkatkan hanya dengan memberi bimbingan dan pengarahan seperlunya. Namun demikian diperlukan syarat Totten, (1985:320), bahwa rakyat akan lebih mudah menerima program pembangunan apabila mereka dapat merasa bahwa hal itu secara wajar, sesuai dengan kebutuhan mereka, serta sesuai dengan kebudayaannya. Dengan kata lain, bahwa tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pimpinan haruslah yang paling cocok bagi masyarakat itu.
18 Pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan didasarkan setidaknya
pada tiga alasan Conyers, (1994) sebagai berikut: pertama, partisipasi merupakan alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat, yang tanpa kehadirannya pembangunan bisa gagal; kedua, masyarakat akan percaya dimana ia ikut dilibatkan dalam tahap persiapan dan perencanaannya; dan ketiga, bahwa partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat apabila ia dilibatkan dalam pembangunan masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan sepanjang proses pembangunan, namun juga dapat dilakukan hanya terhadap suatu tahapan pembangunan. Cohen dan Uphoff (1997) menyebut yang pertama sebagai partisipasi prosesual, sedang yang kemudian sebagai partisipasi parsial. Berdasarkan tahapan proses pembangunan inilah kemudian Cohen dan Uphoff selanjutnya membedakan partisipasi menjadi: (1) partisipasi dalam perencanaan program pembangunan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan; (3) partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan; (4) partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Dusseldorp (1992) membedakan partisipasi berdasarkan tingkatan sebagai berikut: (1) partisipasi sukarela (free participation); (2) partisipasi karena kebiasaan (customary
participation)
dan
(3)
partisipasi
yang
dipaksakan
(force
participation). Partisipasi sukarela adalah partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri. Ndraha (1996) menyebutnya sebagai partisipasi sejati. Partisipasi karena kebiasaan adalah partisipasi yang dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Sedangkan partisipasi paksaan adalah partisipasi masyarakat karena ada paksaan dari pihak lain, misalnya aparat pemerintah. Oleh karena itu apabila ingin mengembangkan dan melembagakan sistem pembangunan wilayah yang partisipatif, meminjam istilah Soetrisno (1995:222), kita harus meninggalkan definisi yang mengarah pada mobilisasi dan model perencanaan yang mekanistik. Sehingga yang muncul adalah partisipasi sukarela, dimana masyarakat mampu berinisiatif dan menampilkan prakarsa dalam mengidentifikasi permasalahan pembangunan dan mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya. Sehubungan dengan perencanaan pembangunan,
19
khususnya dalam penentuan program pembangunan desa, partisipasi yang diharapkan muncul adalah kesempatan kepada warga desa untuk menggali permasalahan masyarakat dan potensi yang dimilikinya, menentukan alternatif pemecahan masalah dan merumuskan sendiri rencana tindakan berdasarkan sumberdaya dan waktu yang tersedia. Dalam tahapan ini warga masyarakat tidak hanya terbuka kesempatan untuk menilai rencana pembangunan yang akan diterapkan, tetapi yang lebih penting adalah keberanian mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam suatu bentuk rencana tindakan penyelesaian masalah. Dalam proses ini yang lebih penting bahwa masyarakat telah melakukan proses belajar (learning process) dalam menentukan masa depannya secara demokratis tanpa paksaan. Dalam proses belajar ini masyarakat mengalami suatu keterlibatan secara mental dan emosional. Oleh karenanya Davis dalam Sholahuddin (1997), memaknai partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosi dari seseorang atau kelompok yang menggerakkan mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan dan ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Dalam partisipasi setidak-tidaknya diperlukan tiga prasyarat, yaitu: pertama, adanya keterlibatan mental dan emosional daripada keterlibatan secara fisik, sehingga yang muncul adalah partisipasi sukarela dan bukannya partisipasi yang dipaksakan; kedua, ada dorongan untuk menyumbang atau mendukung (to contribute) dalam situasi tertentu dan bukan sekedar menyetujui (to consent) terhadap sesuatu; dan ketiga, ada dorongan untuk ikut bertanggung jawab dalam suatu ide atau kegiatan, karena apa yang disumbangkan atas dasar sukarela. Namun demikian yang menjadi masalah utamanya adalah bagaimana pemerintah mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi munculnya kepekaan, inisiatif dan daya kreasi masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu diperlukan adanya keterbukaan dan kesempatan yang luas bagi munculnya partisipasi warga desa dalam proses pembangunan desa. Kenyataan
menunjukkan,
bahwa
pengalaman
hidup
sehari-hari
sering
mengakibatkan masyarakat kurang bersikap terbuka untuk secara jujur menyatakan
pendapatnya
mengenai
suatu
program
yang
secara
resmi
diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, menurut Huntington (1990)
20
mengungkapkan seharusnya aparat waspada terhadap kelompok masyarakat yang berpartisipasi secara semu itu, karena bisa menghambat dan mempersulit tujuan secara utuh dan mantap. Berkaitan dengan proses penentuan program pembangunan desa, ada baiknya diperhatikan bahwa sahnya keputusan-keputusan komunitas sangat tergantung kepada mereka yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan partisipasi dimaksudkan, bahwa setiap anggota masyarakat memegang peranan dalam satu tahap atau lebih dari proses pembangunan dan hal itu sangat tergantung dari siapa yang memprakarsai dan siapa yang terlibat dalam proses pengabsahannya. Jika ditinjau produk hukum terdahulu sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi dan diganti dengan no. 32 Tahun 2004 masih terdapat adanya peraturan yang justru melemahkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ini. Misalnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang membuat kekuasaan kepala desa dan pemerintah desa menjadi sedemikian kuatnya, sehingga menyebabkan Kepala Desa lebih menonjolkan pelaksanaan perintah atasan daripada sebagai seorang pengayom rakyatnya. Akibatnya, rakyat tidak berani atau tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan aspirasi dan pendapatnya. Untuk melihat sejauhmana partisipasi masyarakat benar-benar terwujud dalam perencanaan pembangunan desa, maka perlu diperhatikan dimensi-dimensi dan bentuk-bentuk partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff (1977) sebagai berikut: dimensi partisipasi meliputi apa, siapa dan bagaimana partisipasi itu dilaksanakan. Dimensi apa artinya dalam hal apa saja partisipasi itu dilakukan. Ini menyangkut arti, pengertian atau definisi partisipasi. Dimensi siapa artinya siapa saja yang ada kemungkinan terlibat dalam partisipasi. Mereka adalah warga setempat, pimpinan setempat dan pejabat pemerintah. Sedangkan dimensi bagaimana berkaitan dengan bagaimana terjadinya partisipasi dalam pembangunan. 2.5.
Relevansi Masalah dengan Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah profesi yang berhubungan dengan masalah-masalah
sosial termasuk di dalamnya keluarga miskin. Sebagai suatu profesi kemanusiaan,
21
pekerjaan
sosial
memiliki
paradigma
yang
memandang
bahwa
usaha
kesejahteraan sosial merupakan suatu institusi strategis bagi keberhasilan pembangunan Suharto, (1997; 233). Paradigma pekerjaan sosial merefleksikan pembelaan terhadap kaum lemah dan yang dilemahkan, kelompok tidak beruntung dan tidak diuntungkan, golongan terpinggir dan dipinggirkan dalam dan oleh gegap gempita pembangunan. Dengan demikian pekerjaan sosial menjadi penting perannya dalam mengatasi permasalahan keluarga miskin. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Soetarso (1993: 5), dikatakan bahwa:
Pekerjaan sosial adalah bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi di antara orang-orang dengan lingkungan sosialnya sehingga orang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya, mengatasi kesulitan-kesulitan mereka serta mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka. Sedangkan menurut Walter A.Friedlander dalam Syarief Muhiddin,(1997:7). “Pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan ketrampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial”. Berdasarkan definsi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai profesi kepada individu, kelompok dan masyarakat dengan tujuan membantu menciptakan lingkungan yang memberikan kesempatan dan dukungan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya, memecahkan masalahnya, melaksankan tugas-tugas kehidupan dan menwujudkan nilai serta aspirasi mereka dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, Dean H. Hepworth and Jo Ann larson dalam Dwi Heru Sukoco, (1993: 20 – 25) menyatakan bahwa tujuan pekerjaan sosial adalah: 1. Membantu orang memperluas potensinya dan meningkatkan peran mereka untuk menghadapi serta memecahkan masalahnya. 2. Membantu orang memperoleh sumber-sumber. 3. Membantu organisasi-organisasi yang responsef dalam memberikan pelayanan kepada orang.
22 4. Memberikan fasilitas interaksi antar individu lainnya di dalam lingkungannya. 5. Mempengaruhi interaksi antar organisasi dengan institusi yang ada. 6. Mempengaruhi kebijakan sosial maupun kebijakan lingkungan. Dengan demikian tujuan pekerjaan sosial terkait dengan keluarga miskin
adalah membantu mereka memperluas dan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi dan memecahkan masalah, membantu memperoleh sumber-sumber, penguatan organisasi yang sudah ada di lingkungannya, serta memfasilitasi interaksi antara mereka dengan orang lain di lingkungannya. Usaha ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan peran keluarga miskin dalam memanfaatkan bantuan. Sedangkan fungsi pekerjaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Allen Pincus and Anne Minahan dalam Dwi Heru Sukoco, (1993: 45 – 46) adalah: 1. Membantu mengkaitkan dengan menggunakan kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi. 2. Mengkaitkan orang dengan sistem sumber. 3. Memberikan fasilitas interaksi di dalam sistem-sistem sumber. 4. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber. 5. Mempengaruhi kebijakan sosial. 6. Memeratakan/menyalurkan sumber-sumber material. 7. Memberikan pelayanan sosial sebagai kontrol sosial. Berdasarkan fungsi tersebut yang intinya adalah memfokuskan interaksi antara orang dengan sistem sumber di lingkungan sekitarnya supaya mereka dapat menjangkau dan memanfaatkan sistem sumber tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Sehubungan dengan itu, tradisi pekerjaan sosial mengajarkan bahwa ciri praktek pekerjaan sosial dalam suatu pendekatan generalist, yaitu: 1.
Pekerjaan Sosial dengan Individu Menurut Zastrow (1982: 483) sebagian besar pekerja sosial baik yang bekerja di lembaga pemerintahan maupun swasta menghabiskan waktunya untuk menerapkan metode ini. Metode pekerjaan sosial dengan individu adalah serangkaian pendekatan dan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan
23 untuk membantu individu-individu yang mengalami masalah secara perorangan atau berdasarkan relasi satu persatu (Suharto, 1997: 243 – 244). Dengan demikian peran pekerja sosial dalam metode ini (Suharto, 1997: 245 – 246) adalah: a. Broker, yaitu membantu menyediakan pelayanan sosial kepada klien. b. Mediator, yaitu menghubungkan klien dengan berbagai sumber pelayanan sosial yang ada dalam masyarakat. c. Public Education, memberikan dan menyebarluaskan informasi mengenai masalah dan pelayanan-pelayanan sosial yang tersedia. d. Advocate, yaitu membela klien dalam memperjuangkan hak-haknya memperoleh pelayanan atau menjadi penyambun lidah klien agar lembaga lebih responsif memenuhi kebutuhan klien. e. Outreach, yaitu pekerja sosial menjangkau atau mendatangi klien yang karena suatu sebab tidak dapat menjangkau pelayanan. f. Behavioral Specialist, yaitu menjadi ahli yang dapat melakukan berbagai strategi dan teknik pengubahan perilaku. g. Konselor, yaitu memberikan pelayanan konseling kepada klien. Peranan ini merupakan ketrampilan dan tugas yang paling utama dari pekerja sosial dalam menerapkan metode pekerjaan sosial dengan individu.
2.
Pekerjaan Sosial dengan Keluarga Keluarga adalah sistem yang sangat cenderung untuk mempengaruhi keberfungsian individu, di mana keluarga merupakan sistem utama yang bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan individu. Masalahmasalah yang muncul dari ketidakberfungsian individu sering muncul dari ketidakberfungsian keluarga. Untuk menimbulkan keberfungsian individu, perlu memahami keluarga sebagai suatu sistem sosial, hal mana merupakan tempat individu-individu berada sehingga ketika ingin memahami seorang individu maka sistem keluarga individu tersebut harus menjadi perhatian atau sebagai klien Louise C. Johnson, (1983). Jadi dalam sistem keluarga mungkin termasuk beberapa anggota keluarga luas yang bisa jadi tidak tinggal dalam satu rumah, seperti kakek/nenek atau paman/bibi. Hal ini karena keluarga adalah sebagai suatu sistem di mana para anggota keluarga adalah orang-orang yang memiliki relasi yang lebih kuat di antara mereka daripada dengan orang lain dan batas Dubois and Milley ,(1992). Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat. Agar
masyarakat berfungsi, keluarga harus melaksanakan peranan-peranan yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut mencakup
24
penyediaan utama dari kebutuhan umum manusia bagi individu-individu, perawatan dan pengasuhan anak, dan kelanjutan dari kebudayaan Gerungan, (1996:65). Sehingga aspek penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan caracara suatu keluarga berfungsi adalah pola-pola komunikasi, cara keputusan dibuat, dan cara peranan didelegasikan kepada anggota keluarga. Aspek terakhir untuk memahami keluarga sebagai suatu sistem sosial adalah perkembangan keluarga, yang dimulai dalam akar keluarga. Sebagaimana dikemukakan Sonya Rhodes dalam Louise C. Johnson, (1983: 107) bahwa terdapat tujuh tahap perkembangan dalam kehidupan keluarga, yaitu: intimacy vs idealization; replenishment vs turning inward; individualization of family members vs pseudomutual organization; companionship vs isolation; regrouping vs binding or expulsion; recovery vs despair; and mutual aid vs uselessness. Sehubungan dengan itu, peran pekerja sosial adalah menentukan motivasi, kemampuan dan kesempatan sistem keluarga untuk berubah dan melibatkan sistem keluarga tersebut dalam proses pertolongan. Dengan demikian keluarga menjalani proses menjadi klien, yaitu memahami keluarga sebagai klien dari sudut pandang struktural, fungsional dan perkembangan. Dalam memahami skema keluarga Louise C. Johnson (1983: 103) membagi ke dalam empat bagian, yaitu informasi identifikasi yang perlu; gambaran keluarga sebagai suatu sistem; identifikasi tentang keprihatinan, kebutuhan, dan masalah dari sistem keluarga; dan identifikasi tentang kekuatan dan keterbatasan dari sistem keluarga untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah. Dengan demikian faktor-faktor penting untuk dipertimbangkan dalam memahami keberfungsian klien adalah bagaimana klien mengisi peranan-peranan yang vital dari pekerjaan, perkawinan, dan orang tua; bagaimana perbedaan manusia mempengaruhi kebrfungsian sosial individu; motivasi klien pada upaya pertolongan; dan tingkat krisis serta stress yang dialami klien. Adapun tugas pekerja sosial agar suatu keluarga berfungsi adalah: (1) membantu semua anggota keluarga untuk berpartisipasi; (2) mengklarifikasi proses pembuatan keputusan; dan (3) mendorong proses demokratisasi dalam keluarga Louise C. Johnson, (1983: 195). 3. Pekerjaan Sosial dengan Kelompok
25 Social group work atau pekerjaan sosial dengan kelompok adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses pertolongan profesionalnya Suharto, (1997: 273). Pada saat ini para pekerja sosial menyakini bahwa intervensi pekerjaan sosial yang berbasis pada kelompok sangat efektif dan efesien dalam memecahkan masalah individu maupun masalah sosial. Terdapat beberapa alasan mengapa kelompok dipandang sebagai media yang penting dalam proses pertolongan pekerjaan sosial diantaranya adalah orang-orang yang terlibat dalam kelompok terlibat relasi, interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, metode ini lebih efesien dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana karena proses pemecahan masalah tidak dilakukan secara individual, melainkan bersama. Pekerjaan sosial dengan kelompok menurut National Association of Social
Work dalam Suharto, (1997: 274) adalah: “Suatu pelayanan kepada kelompok yang tujuannya untuk membantu anggota-anggota kelompok memperbaiki penyesuaian sosial mereka (social adjustmant), dan tujuan keduanya untuk membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat”. Sebagaimana dikatakan oleh Hartford dalam Alissi, (1980: 66 – 67) metode Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) digunakan untuk memelihara atau memperbaiki keberfungsian personal dan sosial para anggota kelompok dalam beragam tujuan, yaitu (a) tujuan korektif; (b) tujuan preventif; (c) tujuan pertumbuhan sosial normal; (d) tujuan peningkatan personal; dan (e) tujuan peningkatan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Proses perencanaan dan pengimplementasian metode Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) tidaklah terlalu jauh berbeda dengan tahap-tahap praktek pekerjaan sosial pada umumnya. Sebagaimana dikemukakan Zastrow (1985, dalam Suharto: 289 – 290), tahap-tahap dalam PSK adalah: a. Tahap intake. Tahap ini ditandai oleh adanya pengakuan mengenai masalah spesifik yang mungkin tepat dipecahkan melalui pendekatan kelompok. Tahap ini disebut juga tahap kontrak antara pekerja sosial dengan klien, karena pada tahap ini dirumuskan persetujuan dan komitment antara mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan perubahan tingkah laku melalui kelompok. b. Tahap assessment and planning for intervention. Pemimpin kelompok bersama dengan anggota kelompok mengidentifikasi permasalahan, tujuan-tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan
26 masalah. Dalam kenyataannya, tahap ini tidaklah definitif, karena hakekat kelompok senantiasa berjalan secara dinamis sehingga memerlukan penyesuaian tujuan-tujuan dan rencana intervensi. c. Tahap selection of members. Penyeleksian anggota harus dilakukan terhadap orang-orang yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari struktur kelompok dan keterlibatannya dalam kelompok d. Tahap group development and intervention. Norma-norma, harapanharapan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan kelompok akan muncul pada tahap ini, dan akan mempengaruhi serta dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas serta relasi-relasi yang berkembang dalam kelompok. Pekerja sosial pada tahap ini memainkan peran yang aktif dalam mendorong kelompok mencapai tujuan-tujuannya. e. Tahap evaluation. Evaluasi pada hakekatnya merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan, karenanya evaluasi tidak selalu dilakukan pada tahap akhir suatu kegiatan. Namun untuk memudahkan pemahaman, evaluasi perlu dibedakan dengan monitoring. Evaluasi dapat diartikan sebagai pengidentifikasian atau pengukuran terhadap proses dan hasil kegiatan kelompok secara menyeluruh. Terminasi dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) tujuan individu maupun kelompok telah tercapai; (2) waktu yang ditetapkan telah berakhir; (3) kelompok gagal mencapai tujuan-tujuannya; dan (4) keberlangsungan kelompok dapat membahayakan satu atau lebih anggota kelompok.
4.
Pekerjaan Sosial Masyarakat (PSM) Pekerjaan sosial dengan masyarakat (PSM) secara luas dapat didefinisikan
sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial Suharto, (1997: 292). Sebagaimana dikatakan Netting (1993; 3), bahwa: ”macro practice is professionally directed intervention designed to bring about planned change in organization and communities” (intervensi makro merupakan bentuk intervensi langsung yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan secara terencana pada tingkat organisasi dan komunitas). Sehubungan dengan itu, PSM pada dasarnya merupakan perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan yang bertujuan meningkatkan tarap hidup atau kesejahteraan sosial masyarakat. Metode ini sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya. Selanjutnya Rothman dan Tropman sebagaimana dikutip Adi (2001) mengemukakan bahwa intervensi makro mencakup berbagai metode profesional
27
yang digunakan untuk mengubah sistem sasaran yang lebih besar dari individu, kelompok dan keluarga, yaitu: organisasi, komunitas baik tingkat lokal, regional maupun nasional secara utuh. Praktik makro berhubungan dengan aspek pelayanan masyarakat yang pada dasarnya bukan hal yang bersifat klinis, tetapi lebih memfokuskan pada pendekatan sosial yang lebih luas dalam rangka meningkatkan kebidupan yang lebih baik di masyarakat. Jack Rothman dalam Suharto, (1997: 293) mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang PSM, yaitu (a) pengembangan masyarakat lokal (locality development); (b) perencanaan sosial (social planning); dan (c) aksi sosial (social action). Paradigma ini dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptual, tetapi dalam praktiknya ketiga model tersebut saling bersentuhan satu sama lain. Setiap komponen dapat digunakan secara kombinasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang berkembang. Dari ketiga metode di atas dapat dikatakan bahwa seorang pekerja sosial harus mampu merespon masalah dan kebutuhan manusia dalam masyarakat yang senantiasa berubah, meningkatkan keadilan dan hak asasi manusia, serta mengubah struktur masyarakat yang menghambat pencapaian usaha dan tujuan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu dalam praktiknya, pekerja sosial harus mau dan mampu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan profesional dari, bagi dan bersama individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi sosial dalam mencapai tujuan sosial dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai tujuantujuan tersebut. Sehubungan dengan itu, terdapat dua fokus utama yang mewarnai pendekatan pekerjaan sosial, yaitu: pertama, pekerjaan sosial senantiasa melihat manusia dalam konteks sistem, yaitu interaksi antara individu dengan sistem lingkungannya. Pekerja sosial menyakini bahwa lingkungan fisik, sosial maupun organisasional mempengaruhi kemampuan orang dalam menjalankan peran dan fungsinya; dan kedua, sejalan dengan prinsip pekerjaan sosial, tujuan pekerjaan sosial senantiasa diarahkan sedemikian rupa agar klien mampu menolong dirinya sendiri. Dengan demikian peran yang perlu dilakukan oleh seorang pekerja sosial sebagaimana dikemukakan oleh Zastrow dalam Adi, (2001: 62) adalah: 1. Pekerja sosial sebagai pemercepat perubahan
28 Membantu keluarga miskin untuk dapat mengartikulasikan kebutuhan, mengidentifikasi masalah berkaitan dengan pemanfaatan sistem sumber, dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah sendiri. Peran ini merupakan peran klasik seorang pekerja sosial, yaitu help people to help themselves. Adapun fungsi fungsi pekerja sosial dalam mempercepat perubahan adalah (a) membantu keluarga miskin menyadari dan melihat kondisi mereka; (b) membangkitkan dan mengembangkan organisasi tempat keluarga miskin berada; (c) mengembangkan relasi interpersonal yang baik; dan (d) memfasilitasi perencanaan yang efektif. 2. Pekerja sosial sebagai perencana Dalam hal ini pekerja sosial membuat suatu program tentang masalah yang dihadapi keluarga miskin, menganalisanya dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu mengembangkan program, mencoba mencari alternatif sumber pendanaan, dan mengembangkan konsensus dalam kelompok. 3. Pekerja sosial sebagai motivator Dengan cara memberikan dorongan dan bimbingan kepada mereka termasuk dukungan kepada keluarga miskin untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 4. Pekerja sosial sebagai perantara Peranan yang perlu dilakukan adalah menghubungkan keluarga miskin kepada sistem sumber yang relevan dan belum diketahui dengan melibatkan mereka sehingga keluarga miskin benar-benar tahu cara mengakses sistem sumber dimaksud. Dari uraian di atas maka jelas bahwa profesi pekerjaan sosial sebagai suatu
profesi kemanusiaan memberikan sumbangan yang besar terhadap setiap upaya peningkatan peran dan fungsi keluarga miskin dalam mengembangkan dirinya di dalam lingkungan sekitar dan mampu memanfaatkan program Gerbang Dayaku sebagaimana paparan Syaukani HR dalam penyampaian visi dan misi calon bupati di depan anggota DPRD Kabupaten Kutai tahun 2004 adalah metode intervensi pekerjaan sosial, yakni pengembangan masyarakat dengan cara menyuntikkan nilai-nilai pembangunan.