II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Peran Kemitraan Dalam Pengelolaan Risiko Sutawi (2008) mengemukakan bahwa kemitraan merupakan salah satu
upaya untuk menekan risiko yang dihadapi petani. Dengan cara mengalihkan risiko harga dan risiko produksi kepada perusahaan agribisnis yang memiliki posisi lebih kuat untuk menghadapi risiko. Kemitraan dapat menekan risiko usaha dengan cara memberi jaminan pasar, diversifikasi produk, memberikan nilai tambah, dan perluasan wilayah pemasaran. Sehingga biaya menanggung risiko petani menjadi berkurang, oleh karena itu petani dapat melakukan diversifikasi dan portofolio aset produktif. Kemitraan sebagai upaya dalam menekan risiko telah dibuktikan oleh penelitian Knoeber dan Thurman (1995) dalam Sutawi (2009). Penelitian tersebut menguraikan komposisi dan pergeseran risiko studi kasus pada kemitraan ayam pedaging di Amerika Serikat. Risiko harga merupakan komponen utama risiko yaitu sebesar 84 persen, sedangkan risiko produksi umum hanya mencapai tiga persen, dan sisanya adalah kombinasi dari kedua risiko tersebut. Dengan kemitraan, perusahaan akan menanggung 97 persen risiko harga dan produksi. Sedangkan peternak hanya menanggung tiga persen risiko. Di India, Ramaswami et al. (1996) dalam Sutawi (2009) menunjukan bahwa pada kasus kemitraan peternak ayam pedaging kontrak, peternak hanya menanggung 12 persen risiko, sedangkan 88 persen risiko dialihkan kepada perusahaan. Martin (1994) dalam Sutawi (2009) menemukan bahwa variabilitas pendapatan studi kasus pada kemitraan peternak babi menurun sekitar 90 persen, ketika mereka mulai menjalin kontrak produksi dengan perusahaan besar. Peternak kontrak pada penelitian martin menghadapi hanya 10 persen dari risiko pendapatan yang dihadapi peternak mandiri. Berdasarkan studi kasus di atas dapat ditarik kesimpulan, kemitraan dapat mengalihkan risiko yang seharusnya ditanggung petani, bahkan risiko yang ditanggung petani relatif lebih kecil dibandingkan dengan risiko yang harus ditanggung pihak perusahaan. Kemitraan merupakan salah satu upaya menekan risiko dengan cara membagi risiko antara perusahaan dengan mitra tani. Hal ini terlihat pada
116
peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Pendapat ini diperkuat oleh hasil Penelitian Puspitasari (2009) dan Febridinia (2010) yang menyebutkan bahwa kemitraan memberikan dampak positif bagi pendapatan dan produktivitas petani mitra. Pada panelitian tersebut dijelaskan mengenai pengaruh kemitraan terhadap pendapatan peternak, studi kasus pada peternak ayam broiler. Pendapatan peternak mitra pada skala usaha yang sama ternyata lebih besar dari pendapatan peternak non mitra. Dengan bermitra peternak dapat lebih mengefisienkan faktor-faktor input produksi seperti pakan, obat-obatan, dan vaksin. Dilihat dari peranan perusahaan dalam menanggulangi risiko yang dapat timbul di tingkat petani. Hal ini diwujudkan melalui peran serta perusahaan dalam proses produksi. Peran serta tersebut diwujudkan dalam bentuk pasokan sarana dari perusahaan, pengawasan proses produksi, penyuluhan teknik budidaya dan teknologi pertanian. Sehingga produk yang dihasilkan petani dapat sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Selain itu perusahaan juga berperan aktif dalam memberikan masukan untuk manajemen produksi ke petani, sehingga dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi. Faktor yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap peningkatan produktivitas petani mitra adalah dengan adanya petugas lapang yang bertugas mendampingi petani untuk melakukan proses budidaya (Puspitasari, 2009). Melalui petugas lapang, petani mendapatkan banyak informasi penting berkaitan dengan teknik budidaya dan pemeliharaan tanaman yang benar. Petugas lapang juga terjun langsung di kebun milik petani apabila dibutuhkan untuk melihat langsung kondisi tanaman dan juga memberikan masukan manajemen produksi lahan mereka. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan ikut bertanggung jawab pada hasil produksi mitra, karena dengan kestabilan produksi petani mitra dapat menjamin pasokan bahan baku mereka dan risiko produksi mereka dapat diminimalisir dampaknya. Kemitraan tidak selalu berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, didapat bahwa prinsip kemitraan tidak selalu terealisasi dengan baik. Permasalahan yang sering terjadi dalam hubungan kemitraan antara lain petani mitra mendapatkan pelayanan yang kurang baik, contohnya dalam penyediaan
117
input produksi maupun pelayanan selama proses produksi. Hal ini ditunjukan dengan pelaksanaan kemitraan belum sesuai dengan isi kontrak, jadwal panen yang sering mundur dari perjanjian, dan keterlambatan dalam pembayaran keuntungan, kinerja PPL yang kurang optimal dilihat dari kurangnya bantuan penanggulangan HPT dan tanggapan terhadap keluhan lambat. Dari segi pendapatan petani mitra memperoleh pendapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan peternak mandiri. Dalam penelitiannya Deshinta menyatakan bahwa besarnya biaya petani mitra dikarenakan skala usaha yang dijalankan petani mitra lebih kecil dibandingkan petani non mitra (Deshinta, 2006; Munigar, 2009; Fadloli, 2005). Rendahnya pendapatan dan produktivitas petani mitra diakibatkan oleh kurangnya bimbingan PPL sehingga yang terjadi, usahatani yang dijalankan oleh petani mitra tidak seusai dengan SOP yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Bimbingan PPL yang diharapkan dapat membantu permasalahan petani dari teknik budidaya, teknologi, manajemen, dan informasi masih belum terlihat hasilnya. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diimpulkan bahwa manajemen kemitraan yang kurang baik, berpengaruh negatif terhadap peningkatan produktivitas dan keuntungan petai mitra. Berdasarkan hasil kajian kemitraan terdahulu dapat disimpukan bahwa manfaat positif terhadap pengelolaan risiko dari pelaksanaan kemitraan. Petani yang bermitra mendapatkan pinjaman sarana produksi, menambah ilmu pengetahuan, mendapatkan kepastian dalam memasarkan hasil penen, dan mendapatkan bimbingan serta penyuluhan dari pihak perusahaan. Manfaat positif tersebut ditunjukan dengan peningkatan pendapatan dan produktivitas mereka. Seperti yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya bahwa hubungan kemitraan tidak selalu berhasil dalam mengelola risiko. Terdapat kesenjangan yang terjadi antara petani dengan perusahaan mitra. Kecurangan juga dilakukan petani dengan cara menjual input produksi yang disuplai perusahaan dan menggantinya dengan input produksi yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Selain itu kurangnya transparansi harga kontrak yang dibuat oleh perusahaan, kredit macet dari petani dikarenakan gagal panen yang bisa disebabkan oleh cuaca, hama dan penyakit, atau kelalaian dari petani tersebut.
118
2.2
Data empiris mengenai Analisis Risiko Wisdya (2009) dan Safitri (2009) sama-sama menganalisis risiko produksi
pada produk agribisnis dengan menggunakan alat analisis yang sama, antara lain menghitung peluang, expected return, variance, standar deviasi, coefficient variance. Wisdya (2009) dan Safitri (2009) meneliti analisis risiko produksi dengan analisis pendapatan. Wisdya (2009) menemukan bahwa komoditi yang memiliki risiko produksi yang lebih tinggi justru terdapat pada komoditi yang memiliki tingkat pendapatan bersih yang lebih rendah, sedangkan Safitri menemukan hal sebaliknya. Safitri (2009) menemukan bahwa komoditi yang memiliki risiko yang lebih tinggi berbanding lurus dengan tingkat pendapatan bersih (high risk high return). Solihin (2009) menganalisis tingkat risiko produksi study kasus produk ayam broiler, dengan mengunakan methode z-score yang digunakan untuk menghitung nilai penyimpangan rata-rata indeks prestasi produksi petani terhadap indeks prestasi produksi standar. Dari hasil penghitungan dengan menggunakan metode z-score, didapat coefficient variance lebih dari 0,5 yaitu sebesar 0,74, nilai tersebut menunjukan bahwa risiko produksi selama tujuh periode sebesar 23 persen. Berarti indeks prestasi produksi standar yang seharusnya dicapai selama tujuh periode sebesar 23 persen yang menunjukan bahwa usaha tersebut memiliki tingkat penyimpangan produksi yang tinggi dan akan memiliki peluang yang besar untuk menanggung kerugian pada setiap periode produksi. Risiko dapat diminimalisir dampaknya dengan menerapkan manajemen risiko. Setelah dilakukan analisis risiko, maka pihak manajemen sudah memiliki satu informasi penting untuk menyusun kebijakan dan tindakan preventif yang harus dilaksanakan, untuk menghadapi dan meminimalisir dampak risiko yang akan dihadapi dalam setiap siklus produksinya. Analisis risiko produksi dengan menggunakan metode z-score juga digunakan pada penelitian Lubis (2009) dimana peneliti menggabungkan analisis probabilitas Risiko produksi dan penerimaan pada komoditi padi semi oraganik. berdasarkan hasil metode z-score yang dilakukan oleh Lubis (2009) terdapat temuan-temuan bahwa terdapat kemungkinan risiko penerimaan pada
119
usahatani lebih besar dibandingkan dengan probabilitas risiko pada proses produksi. Besarnya kemungkinan terjadi risiko pada penerimaan ini dapat disebabkan oleh fluktuasi produksi padi dan harga gabah kering panen, sehingga jumlah penerimaan petani tidak tetap pada tiap panennya. Kemudian besarnya probabilitas ini juga ditentukan oleh ketersediaan padi di lumbung penyimpanan dan kualitas padi. Pada penelitian Aziz (2009), menggunakan metode analisis risiko dengan komoditi yang sama yaitu ayam broiler juga memiliki nilai coefficient variance lebih dari 0,5 yang berarti tingkat risiko yang dihadapi perusahaan memiliki tingkat risiko yang tinggi dan juga memiliki peluang yang besar untuk menanggung kerugian pada setiap periode produksinya. Faktor-faktor penyebab yang hampir sama dengan hasil penelitian mengenai risiko produksi lainnya, antara lain tingkat fluktuasi penerimaan produksi dan harga input produksi yang tinggi, inkonsistensi cuaca yang mengakibatkan ayam menjadi stres dan nilai FCR nya menurun sehingga ayam tidak mau makan dan akibatnya tingkat mortalitas tinggi. Utami (2009) meneliti tentang risiko produksi dan perilaku penawaran bawang merah. Metode pengolahan data yang digunakan meliputi analisis risiko produksi sama halnya dengan wisdya (2009) dan safitri (2009). Perhitungan analisis risiko Utami (2009) berdasarkan dua aspek yaitu aspek risiko dari produktivitas dan aspek risiko dari pendapatan, dari kedua aspek tersebut setelah dihitung didapat hasil yang berbeda cukup signifikan jika dibandingkan perhitungan risiko dari aspek produktivitas, nilai risiko dari aspek penerimaan atau return ternyata jauh lebih tinggi. Menurut Utami (2009), hal ini mengindikasikan bahwa besarnya risiko yang dihadapi oleh petani bawang merah di Kabupaten Brebes bukan hanya dipengaruhi oleh aspek teknis, terdapat pula aspek non-teknis seperti salah satunya faktor iklim dan cuaca. Pada penelitian Sari (2009) yang membahas tentang analisis risko produksi pada sayuran organik, menggunakan metode analisis risko spesialisasi dan analisis risiko diversifikasi. Menurut Sari Faktor yang paling mempengaruhi risiko produksi adalah serangan hama dan penyakit serta faktor alam seperti cuaca, suhu dan kelembaban udara. Dari pengolahan data menggunakan metode
120
analisis risiko spesialisasi didapat hasil Senada dengan penelitian Wisdya (2009) bahwa komoditi yang memiliki risiko produksi yang lebih tinggi justru terdapat pada komoditi yang memiliki tingkat pendapatan bersih yang lebih rendah, sedangkan komoditi yang memiliki risiko produksi yang lebih rendah ternyata memiliki risiko pendapatan yang lebih tinggi. Menurut Putri Eva Sari kondisi ini dipicu oleh permintaan dan harga pada jenis komoditi tertentu. Pada kasus ini antara lain perbandingan antara komoditi bayam hijau dengan komoditi cabe keriting. Komoditi cabe keriting memiliki tingkat permintaan dan harga yang cenderung lebih fluktuatif dibandingkan bayam hijau. Pada penelitian Ginting (2009) berbeda dengan kebanyakan penelitian pada komoditi tanaman pangan lainnya yang sumber utama risikonya adalah faktor alam dan kondisi lingkungan, serta faktor serangan hama dan penyakit. Pada kasus ini dimana komoditinya adalah jamur tiram putih sumber risiko yang memberikan dampak yang paling signifikan pada usaha budidaya jamur tiram putih, hasil temuan Ginting menyatakan bahwa terjadinya kegagalan dalam proses budidaya jamur tiram putih dari mulai awal kegiatan sampai pada tahap akhir, dimana jamur tiram putih tersebut sudah berhenti berproduksi. Pengaruh faktor alam dan kondisi lingkungan serta faktor serangan hama dan penyakit juga tetap menjadi salah satu sumber risiko yang mempengaruhi volume produksi jamur tiram putih. Kegagalan pada setiap kegiatan produksi dari mulai pembibitan, pemeliharaan, sampai pada saat panen akan menimbulkan kerugian bagi pihak pengusaha dan menjadi risiko yang berdampak pada kerugian yang harus ditanggung perusahaan tersebut. Berdasarkan hasil kajian terdahulu mengenai analisis risiko dapat disimpulkan bahwa tingkat risiko tidak selalu berpengaruh pada pendapatan. Hasil temuan Safitri (2009) menyatakan bahwa komoditi yang memiliki tingkat risiko tinggi akan memberikan keuntungan yang tinggi. Akan tetapi pada penelitian Wisdya(2009) ditemukan bahwa komoditi yang memiliki tingkat risiko yang tinggi, justru memberikan keuntungan yang rendah. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah jenis komoditinya itu sendiri. Sumber risiko yang paling utama pada usahatani adalah faktor alam, hama dan penyakit. Akan tetapi dalam penelitian Elsera (2009) ditemukan bahwa
121
sumber risiko yang memberikan dampak paling signifkan adalah kesalahan penanganan yang disebabkan kelalaian sumber daya manusia. Selain itu karakter musiman, bulky, perishable, dan veluminous juga merupakan sumber risiko yang dapat menyebabkan tingginya kemungkinan terjadinya kerugian.
122