II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemitraan Kamus Besar Bahasa Indonesia Arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja serta rekan. Kemitraan artinya perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 angka 8. Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan Pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. definisi menurut peraturan Hafsah (1999) mengemukakan Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama
dengan
prinsip
saling
membutuhkan
dan
saling
membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secar individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2003), kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. 2.1.1 Tujuan Kemitraan Maksud dan tujuan kemitraan adalah untuk meningkatkan pemberdayaan usaha kecil di bidang manajemen, produk, pemasaran dan teknis di samping agar bisa mandiri demi kelangsungan usahanya sehingga bisa melepaskan diri dari sifat ketergantungan. (Tohar 2007). Menurut Julius (2003) menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Hafsah (1999) menjelaskan bahwa manfaat kemitraan dilihat dari segi produktifitas, efisiensi, jaminan kualitas kuantitas dan kontinuitas, resiko,
6
sosial serta ketahannan ekonomi nasional. Lebih jelasnya tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain yaitu: 1. Tujuan dari Aspek Ekonomi Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit yaitu : a. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional e. Memperluas kesempatan kerja f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional 2. Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan usaha kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil dapt tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yng tangguh dan mndiri. Dipihak lain dengan tumbuh berkembangnya kemitraan usaha ini diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupkan upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial. Kesenjangan itu diakibatkan oleh pemilikan sumberdaya produksi dan produktivitas yang tidak sama di antara pelaku ekonomi. Oleh karena itu, kelompok masyarakat dengan kepemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah biasanya akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang rendah pula.
7
3. Tujuan dari Aspek Teknologi Usaha keci biasanya mempunyai skala usaha yang kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya. Demikian pula dengan status usahanya yang bersifat pribadi atau kekeluargaan; tenaga kerja berasal dari lingkungan setempat; kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan adiministratif sangat sederhana dan struktur permodalannya sangat bergantung pada modal tetap. Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil, maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi. Teknologi dilihat dari arti kata bahasanya adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. 4. Tujuan dari Aspek Manajemen Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasilhasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Sehingga ada dua hal yang menjadi pusat perhatian yaitu; peningkatan produktivitas individu yang melaksnakan kerja dan, peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi. 2.1.2 Pola Kemitraan Beberapa jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan, menurut Hafsah (1999) 1. Pola Inti Plasma Pola inti plasma adalah usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Perusahaan ini melaksanakan hal-hal teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi. Usaha besar dan atau usaha menengah sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam hal ini: a. Penyedia dan penyimpan lahan
8
b. Penyedia sarana produksi c. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan e. Pembiyayaan f. Pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efesiensi dan produktivitas usaha 2. Pola Subkontrak Pola subkontrak adalah usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sabagai bagian dan produksinya. Usaha besar dan atau usaha menengah memberikan pembinaan dan pengembangan kepada usaha kecil dalam hal: a. Menganjarkan sebagian produksi dan komponen b. Memperoleh bahan baku yang digunakan untuk produksi secara berkasinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar c. Bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan e. Pembiyayaan 3. Pola Dagang Umum Pola dagang umum adalah usaha menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menangah atau usaha besar mitranya, dalam kegiatan perdagangan pada umumnya. Kemitraan antara usaha besar atau usaha manengah dengan usaha kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerja sama pemasaran, penyadiaan lokasi usaha atau penerimaan pasokan dari usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan. 4. Pola Waralaba Pola waralaba adalah usaha menengah atau usaha besar sebagai pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merk dagang dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Usaha menengah atau usaha besar yang dimaksud memperluas usahanya dengan cara memberi kesempatan dan mendahulukan
9
usaha kecil yang memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai penerima waralaba bagi usaha yang bersangkutan. 5. Pola Keagenan Pola keagenan adalah usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha menengah atau usaha besar sebagai agen yang diutamakan, dalam hal ini usaha kecil ditunjuk sebagai agen yang diutamakan untuk kegiatan
usaha
yang
tidak
mensyaratkan
adanya
fasilitas
pemeliharan/perbaikan yang memerlukan investasi tersendiri. 2.2. Kemiskinan Secara etimologis, kemiskinan berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik, mendefinisikan kemiskinan dari perspektif kebutuhan dasar. Kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak dan juga kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan nonmakanan yang disebut garis kemiskinan atau batas kemiskinan (Nurhadi, 2007). Kemiskinan dari sudut pandang sosial dan budaya, merupakan kondisi yang secara umum menggambarkan seseorang atau suatu rumah tangga atau komunitas yang berada dalam serba kekurangan, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan yang paling dasar. Akibat dari itu yang bersangkutan mengalami berbagai keterbatasan baik terhadap peran-peran yang secara sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang harus dilakukan. Keterbatasan-keterbatasan dan pembatasan-pembatasan seperti itu, bisa karena akibat dari internal individu atau rumah tangga yang gagal beradaptasi terhadap lingkungan atau di dalam merespon perubahan. Pada saat yang sama, bisa terjadi sebaliknya, yaitu lingkunganlah yang melahirkan kemiskinan (Mudjahirin, 2009). 2.2.1 Jenis Kemiskinan Menurut Frank Ellis dalam Nurhadi (2007) kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial psikologis. Kemudian menurut Tadjuddin dalam Nurhadi (2007) membagi kemiskinan menjadi tiga jenis dengan variasi yang berbeda, yaitu: kemiskinan ekonomi,
10
kemiskinan social dan kemiskinan politik. Kedua pendapat ini dapat dijelaskan bahwa kemiskinan memiliki 3 aspek, yaitu; ekonomis, politik dan sosialpsikologis. 1.
Kemiskinan ekonomi Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam hal ini tidak hanya menyangkut masalah financial saja, tetapi juga meliputi semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan. Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut.
2.
Kemiskinan politik Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan. Kekuatan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunanakan resources. Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu: (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
3.
Kemiskinan sosial-psikologis Secara sosial-psikologis, kemiskinan menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatankesempatan peningkatan produktifitas. Dimensi ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada di dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal.
11
2.2.2 Penyebab Kemiskinan World Bank dalam Nurhadi (2007) dijelaskan bahwa penyebab kemiskinan adalah strategi pembangunan yang terlalu menitikberatkan dan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Kenyataan menunjukkan bahwa proses pembangunan sebagian besar Negara berkembang kurang menyentuh 40% dari lapisan terbawah jumlah penduduknya. Strategi pertumbuhan yang dianut telah mengakibatkan
trickle-up
dan
bukannya
trickle-down,
sehingga
proses
pembangunan terus memperbesar kesenjangan antara golongan miskin dan kaya. Andre Gunder Frank dalam Nurhadi (2007) salah satu penyebab kemiskinan adalah pola hubungan ekonomi-politik antar bangsa yang timpang, yang selanjutnya dikenal sebagai Teori Ketergantungan. Pola hubungan antara Negara berkembang dan negara maju berada dalam posisi yang timpang dimana negara-negara berkembang berada pada posisi tergantung pada negara-negara maju dan hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi kepentingan negara berkembang. 2.2.3 Penanggulangan Kemiskinan Nurhadi (2007), menjelaskan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu: (1) pendekatan peningkatan pendapatan, dan (2) pendekatan pengurangan beban. Kedua pendekatan tersebut ditopang oleh empat pilar utama, yaitu: (1) penciptaan kesempatan (2) pemberdayaan masyarakat (3) peningkatan kemampuan dan (4) perlindungan sosial. Kedua pendekatan dan keempat pilar tersebut bertumpu pada perencanaan, penganggaran APBN dan APBD serta perbankan/lembaga keuangan nonbank, swasta dan masyarakat. Pilar pertama, yaitu perluasan kesempatan kerja dimaksudkan sebagai menciptakan suasana dan lingkungan ekonomi makro, pemerintahan, dan pelayanan publik yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi sehingga mampu meningkatkan penciptaan kesempatan kerja dan mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Pilar kedua, yaitu pemberdayaan masyarakat mengandung maksud bahwa melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor
13
Tahun
kemiskinan sebagai berikut:
2009
tentang koordinasi penanggulangan
12
1. Penanggulangan Kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintah serta pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat. 2. Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, serta
masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, serta pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil. PEMDA Kota Depok menjelaskan bahwa kemiskinan sebagai alat belajar masyarakat agar dapat bermitra dengan pemerintah dan swasta. Masyarakat didorong agar dapat menggali potensi yang ada dan dapat menimba ilmu secara teknis dari dinas-dinas terkait yang bermitra dalam pelaksanaannya dan masuk dalam sebuah kepanitiaan yang disebut Pakem (Panitia kemitraan). 2.2.4 Tim Penanggulangan Kemiskinan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 2009 tentang Tim penanggulangan kemiskinan: 1. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional adalah wadah koordinasi
lintas
sektor
dan
lintas
pemangku
kepentingan
untuk
penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional. 2. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi adalah wadah koordinasi
lintas
sektor
dan
lintas
pemangku
kepentingan
untuk
penanggulangan kemiskinan di tingkat provinsi. 3. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota adalah wadah koordinasi
lintas
sektor
dan
lintas
pemangku
kepentingan
untuk
penanggulangan kemiskinan di tingkat kabupaten/kota. 2.2.5 Tujuan Penanggulangan Kemiskinan Tujuan
penanggulangan
kemiskinan
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia nomor 13 tahun 2009 adalah: 1. Meningkatkan taraf hidup keluarga miskin melalui kepedulian stakeholderstakeholder terkait.
13
2. Menjadi pedoman bagi stakeholder terkait dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Tujuan penangulangan kemiskinan Kota Depok adalah menciptakan proses pembangunan yang partisipatif antara PEMDA dan masyarakat serta kelompok peduli, menciptakan nuansa kerjasama yang nyata antara PEMDA dan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan PEMDA terhadap hasil P2KP serta membuka akses masyarakat ke Sumber Daya yang ada di PEMDA. 2.3. Focus Group Discussion (FGD) Lingkaran Survei Indonesia (2006) menyatakan bahwa FGD dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah atas suatu isu atau masalah tertentu. Meski terlihat sederhana, menyelenggarakan suatu FGD butuh kemampuan dan keahlian. Ada prosedur dan standar tertentu yang harus diikuti agar hasilnya benar dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 2.3.1 Manfaat FGD Manfaat FGD Pada situs artikel psikologi dimuat pada tanggal 29 Oktober 2009, menjelaskan bahwa ada beberapa manfaat FGD, antara lain : 1. FGD normalnya setiap kelompok terdiri dari 4–7orang dan rata-rata satu kelompok waktunya adalah 20–30menit sehingga FGD akan menghemat waktu yang harus diluangkan pemandu. 2. FGD mengungkap beberapa aspek sekaligus seperti pemahaman atas permasalahan di sekitarnya, logika berfikir, pengambilan keputusan, inisiatif, ketrampilan komunikasi dan kepercayaan diri. 3. FGD lebih bersifat natural bila dibandingkan dengan wawancara, namun justru dari situ dapat dilihat antisipasi peserta dalam menyelesaikan permasalahan atau kasus yang diberikan. Selain itu bisa dilihat juga bagaimana
ketahanannya
dalam
berhadapan
dengan
situasi
yang
underpressure. Tidak seperti wawancara yang pressurenya dari pertanyaan interviewer, pressure dari FGD selain berupa kasus itu sendiri bisa dari anggota kelompok lainnya.
14
2.3.2 Pelaksanaan FGD Pelaksanaan FGD yang dimuat pada tanggal 29 Oktober 2009 dalam situs artikel psikologi menyatakan bahwa pelaksanaan FGD setiap kelompok terdiri dari 4 sampai 7 orang, namun hal ini bisa disesuaikan dengan kemampuan observasi dari pemandu, dengan kemampuan yang expert jumlah anggota kelompok masih bisa ditambah lagi. Setelah terbentuk kelompok-kelompok, pemandu memberikan penjelasan sekilas kepada kelompok bahwa mereka harus mendiskusikan kasus yang akan diberikan kepadanya. Pembatasan waktu kadang boleh diterapkan, namun pada beberapa situasi pembatasan waktu ini justru menghambat dinamika kelompok karena terdesak oleh waktu maka kelompok akan melakukan voting untuk mendapatkan penyelesaian yang disepakati. Waktu yang digunakan juga sangat fleksibel, tergantung dari kebutuhan tiap-tiap perusahaan. Setelah kelompok mendapatkan penyelesaian yang dirasa paling tepat, ada baiknya pemandu membahas dinamika kelompok tersebut seperti apa yang telah mereka dapatkan dari kasus atau apa yang dirasakan ketika harus bekerja dengan orang lain. 2.4.
Interpretative Structural Modelling (ISM) Broome dalam Marimin (2004) ISM adalah salah satu metodologi berbasis
komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antar ide dan struktur tetap pada isu kompleks. Saxena dalam Marimin (2004) menjelaskan ISM bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu objek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan interatif. Marimin (2004) ISM adalah salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan berapa tipe struktur termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas dan kategori ide serta menambahkan
bahwa
ISM
menganalisis
elemen-elemen
sistem
dan
memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Program yang sedang ditelaah penjejangan strukturnya diuraikan menjadi sejumlah sub elemen untuk setiap elemen dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub elemen sampai memadai. Studi dalam perencanaan program yang
15
terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisis di mana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategi. Menurut Saxena dalam Marimin (2004) ada sembilan elemen program, yaitu: 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh 2. Kebutuhan dari program 3. Kendala utama 4. Perubahan yang dimungkinkan 5. Tujuan dari program 6. Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan 7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas 9. Lembaga yang terlibat dalam melaksanakan program Sektor masyarakat yang terpengaruh, kebutuhan dari program, kendala utama, perubahan yang dimungkinkan serta lembaga yang terlibat merupakan kebutuhan dalam program sedangkan tujuan dari program, tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan serta ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas merupakan pengembangan dalam program. 2.5. Penelitian Terdahulu Pada penelitian terdahulu yang berjudul Kemiskinan dan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur, oleh Lesatari (2008) menjelaskan secara bersamasama, variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, pendapatan perkapita. Inflasi dan krisis ekonomi, memberikan pengaruh nyata terhadap variable kemiskinan. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penerimaan pemerintah dan jumlah penduduk miskin, kadang variable ini memberikan pengaruh positif. Variable pendapatan nasional, nilai tukar dan dummy krisis tidak berpengaruh secara signifikan. Inflasi dan tingkat upah rata-rata berpengaruh terhadap pendapatan perkapita. Pengangguran dari Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variable pengeluaran pemerintah
16
untuk infrastruktur, tingkat upah rata-rata dan inflasi. Investasi dipengaruhi secara nyata oleh suku bunga tahun sebelumnya. Prameswara (2010) pada penelitian yang berjudul Analisis Pemilihan Alternatif Skenario Pola Kemitraan pada Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Kota Depok dengan alat analisis Analisis Hierarki Program. Analisa menunjukkan bahwa Faktor-faktor yang dominan menyebabkan kemiskinan adalah sulitnya akses usaha, lemahnya modal usaha, kurangnya keterampilan, kurangya pendampingan, terbatasnya peluang kerja, tingkat pengeluaran yang besar dan kebijakan pemerintah. Studi pola kemitraan untuk menanggulangi masalah kemiskinan di Pemkot Depok merekomendasikan hal-hal penting yang terkait dengan faktor, aktor, tujuan, dan skenario alternatif terbaik. Faktor utama untul suksesnya pola kemitraan adalah akses modal dan pendidikan/pengetahuan. Prioritas aktor yang mendukung sukesnya pola kemitraan adalah Perguruan tinggi/lembaga penelitian. Tujuan utama dalam pola kemitraan adalah mengurangi pengangguran.
Skenario
yang
dimunculkan
sesuai
prioritas
adalah
Pendampingan/mediasi usaha, dan penguatan infrastruktur bisnis. Dolles (2010) pada penelitian yang berjudul Analisis Kelembagaan dalam Pengembangan Program untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kota (studi kasus penanggulangan kemiskinan di Kota Depok) dengan alat analisi Interpretative Struktural Modelling. Analisa menunjukkan bahwa Pemda Depok harus segera melakukan tindakan yaitu (1) membangun lembaga pendampingan UKM dan IKM yang mampu membuka peluang kerja, (2) membangun pusat penampungan kerajinan, (3) menjalin kerjasama dengan perusahaan besar agar mau menampung produk masyarakat miskin, (4) mengusahakan pasar untuk produk masyarakat miskin dan menjalin kerjasama dengan outlet pemasaran, (5) mengusahakan ZIS dari lembaga BAZIS yang ada (6) memberikan pelatihan usaha kepada masyarakat miskin (7) optimalisasi pemanfaatan dan perusahaan dan instansi untuk UKM. Indikator untuk menilai tujuan memiliki lima prioritas dalam penanggulangan kemiskinan, diantaranya, (1) hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, (2) tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/Poliklinik, (3) sumber penghasilan kepala rumah tangga
17
(4) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan (5) memiliki tabungan /barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000 Lindiasari (2008) pada penelitian berjudul Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor dengan alat analisis metode Chi-square Automatic Interaction Detection or Detector. Analisa menunjukkan bahwa, jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor sebesar 16,06% yang tersebar di wilayah pengembangan Bogor, Bogor barat, Bogor tengah dan Bogor Timur. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah Kabupaten Bogor adalah kepemilikkan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, frekuensi makan dalam sehari dan fasilitas buang air besar. Saripudin (2009) pada penelitian berjudul Pengangguran dan Kemiskinan di Pedesaan dengan alat analisis uji Chi Squre dan Spearman. Analisa menunjukkan
bahwa,
fenomena
pengangguran
yang
berkepanjangan
menimbulkan kemiskinan, bagi mereka yang miskin akan sangat kesulitan untuk memberikan bekal hidup untuk anggota rumah tangga terutama dalam hal pendidikan formal maupun non formal. Oleh karena itu, hubungan pengangguran dan kemiskinan pada rumah tangga pedesaan dinyatakan sebagai hubungan yang saling mempengaruhi, dimana orang yang mengalami pengangguran cenderung miskin dan orang yang miskin cenderung tidak mampu meraih kesempatan kerja yang besar (menganggur). Hudaya
(2009)
pada
penelitian
berjudul
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Analisa menunjukkan bahwa indikator jumlah penduduk miskin, presentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan serta indeks keparahan kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia priode 2002-2004 semakin membaik. Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia salah satunya tergantung dari pendapatan yang diterima oleh masyarakat, pengeluaran penduduk terhadap pendidikan serta tergantung pada kebijakan pemerintah dalam menurunkan tingkat pengangguran.