II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Iklan Kleppner (1986) menyatakan bahwa iklan (advertisement) berasal dari bahasa latin ad-vere berarti menyampaikan pikiran dan gagasan pada pihak lain. Pengertian iklan tersebut merupakan pengertian komunikasi satu arah. Proses komunikasi ini penting sebagai alat pemasaran untuk membantu menjual barang, memberi ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi persuasif. Iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi seorang pembeli potensial dalam mempromosikan penjualan suatu produk atau jasa, untuk mempengaruhi pendapat publik, memenangkan dukungan publik untuk berpikir atau bertindak sesuai dengan keinginan para pemasang atau pembuatnya (Pattis, 1993). Menurut Undang-undang Pangan nomor 7 tahun 1996, iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran atau perdagangan pangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran atau perdagangan. Sidang Codex Committee on Food Labelling (CCFL) ke 35 bulan Mei 2007 menyimpulkan bahwa iklan adalah segala bentuk komunikasi komersial kepada masyarakat yang dilakukan dengan berbagai cara kecuali label pangan, dalam rangka meningkatkan secara langsung atau tidak langsung penjualan atau konsumsi suatu pangan dengan menggunakan klaim gizi dan klaim kesehatan. Dari perspektif perlindungan konsumen, iklan merupakan sumber informasi tentang produk yang harus dapat dibuktikan kebenarannya. Informasi yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan dalam iklan yang disebarkan dapat dituntut (Sukmaningsih, 1997).
4
2.2. Sasaran, Tujuan dan Jenis Iklan Iklan digunakan oleh perusahaan untuk komunikasi langsung dalam rangka meyakinkan publik agar tercapai target penjualan. Tujuan atau sasaran iklan dapat diklasifikasikan berdasarkan maksud yang diinginkan, yaitu untuk memberi informasi (periklanan informatif), untuk menyakinkan (periklanan persuasif) dan untuk memberikan peringatan (periklanan mengingatkan). Periklanan Informatif adalah periklanan yang memberitahu tentang produk baru, menjelaskan kegunaan suatu produk, memberitahukan perubahan harga pada pasar, menjelaskan bagaimana bekerjanya suatu produk, menjelaskan jasa-jasa yang tersedia, dan memperbaiki kesan yang keliru dan membangun citra perusahaan. Periklanan persuasif adalah periklanan yang mendorong konsumen beralih merek ke merek yang diiklankan, mengubah persepsi pelanggan mengenai atribut produk dan menyakinkan pelanggan untuk membeli pada waktu sekarang serta kunjungan penjualan. Periklanan mengingatkan adalah periklanan yang mempertahankan ingatan pelanggan, mengingatkan merek dimana membelinya, membuat mereka tetap ingat selama masa bukan musimnya dan mengingatkan pelanggan bahwa produk tersebut mungkin dibutuhkan dalam waktu dekat. Engel dkk (1995) membagi iklan atas tiga bagian berdasarkan keberpihakan pesan yaitu: (1) iklan informasional, yaitu iklan yang pesannya bersifat memberikan informasi; (2) iklan komparatif, yaitu iklan yang pesannya berusaha untuk merebut bisnis dari produk yang sudah ada; (3) iklan transformasional, yaitu iklan yang pesannya berusaha membuat pengalaman produk lebih kaya dan lebih hangat daripada yang diperoleh semata-mata dari uraian obyektif dari merek yang diiklankan.
2.3. Media Iklan Ada dua media yang sering digunakan untuk menyampaikan pesan iklan, yaitu media lini atas dan media lini bawah. Media lini atas terdiri dari media cetak dan media eletronik atau biasa disebut dengan media massa dan media luar ruang. Media lini bawah terdiri dari atas pameran, direct mail, point of purchase (Zulkarnaen, 1993).
5
Media massa biasanya menjadi perhatian utama untuk digunakan sebagai media iklan, walaupun tidak menutup kemungkinan digunakannya media lain sebagai penunjang atau pelengkap iklan di media massa. Jangkauan media massa lebih luas dan lebih berkembang ke arah spesialis khalayak. Dengan demikian pengiklan lebih mudah merencanakan dan mengoptimalkan penggunaan media massa (Susilo, 1993). Jenis media utama berdasarkan urutan volume periklanan adalah surat kabar, televisi, surat langsung (brosur), radio, majalah dan media luar ruangan. Masing-masing jenis media tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan tertentu. Pilihan ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan seperti kebiasaan media, audiens sasaran, produk, pesan dan biaya (Kolter dan Amstrong, 1996).
2.4. Klaim Iklan Klaim adalah pernyataan mengenai kelebihan relatif suatu poduk dibandingkan pesaingnya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pernyataan (klaim) manfaat kesehatan adalah pernyataan bahwa produk pangan tertentu mengandung zat gizi dan atau zat non-gizi tertentu yang bermanfaat jika dikonsumsi atau tidak boleh bagi kelompok tertentu, misalnya untuk anak-anak berusia di bawah lima tahun, kelompok usia lanjut, ibu hamil, dan menyusui, dan sebagainya. Klaim dapat menjadi sumber informasi bagi konsumen dalam menentukan pilihan. Studi oleh Berney-Reddish dan Areni (2006) menunjukkan bahwa pengaruh adanya klaim pada produk berbeda antara pria dan wanita, dimana wanita cenderung untuk lebih menerima perbedaan klaim dalam iklan jika dibandingkan pria. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh ambang pengolahan informasi wanita yang lebih rendah dan wanita lebih sensitif terhadap penggunaan kalimat dalam pesan. Hal ini lebih ditegaskan oleh Tias (2005) yang menyatakan bahwa sebanyak 82% pengambil keputusan pembelian susu formula adalah ibu (wanita). Iklan produk pangan merupakan salah satu jenis iklan yang sering menggunakan klaim yang dapat menipu konsumen. Suryani (2001) melalukan penelitian tentang pelabelan dan analisis klaim gizi produk pangan berdasarkan
6
pada kesesuaiannya dengan Nutrition Labelling of Singapore serta Keputusan Dirjen POM No. 0202664/B/SK/VIII/1991 tentang Persyaratan Mutu Pengganti ASI. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 1/6 dari produk yang diteliti memiliki klaim gizi yang tidak benar. Dengan semakin ketatnya persaingan antar produsen, berbagai cara dilakukan termasuk pencantuman klaim yang dapat mengelabui konsumen. Iklan sering dijadikan media klaim atas sesuatu tanpa bukti. Ada empat jenis klaim yang digunakan untuk mengelabui konsumen, yaitu (1) Klaim yang tampak objektif; seperti klaim tentang kandungan gizi tertentu dalam suatu produk pangan yang harus dibuktikan melalui pengujian atau dibandingkan dengan standar yang telah ada; (2) Klaim yang subjektif, seperti klaim yang menampilkan persepsi individu (kesukaan, pilihan, kepercayaan) yang mungkin menghasilkan tafsiran berbeda antar individu, klaim seperti ini sukar dibuktikan; (3) Klaim yang mendua, yaitu suatu klaim yang menampilkan dua sisi pesan yang bersifat pro dan kontra (sebagian benar dan sebagian salah); dan (4) Tidak mempunyai dasar, yaitu tidak didukung oleh logika sehingga klaim yang dibuat hanya ditujukan untuk kepentingan promosi yang lebih mengutamakan segi persuasi dibanding segi informasinya (Sumarwan, 2006). Menurut (Sumarwan, 2006), berdasarkan pada kebenaran informasi atau klaimnya, iklan dapat dibagi menjadi (1) Literal truth atau kebenaran sesungguhnya, yaitu klaim produk yang didukung oleh fakta secara objektif, (2) True Impression advertising, yaitu iklan yang memberikan informasi yang benar namun dapat menimbulkan kesan yang keliru di benak konsumen, (3) Discernible exaggregation, yaitu iklan yang berlebihan atau tidak didukung oleh fakta, (4) False impression advertising, yaitu iklan yang secara sengaja atau tidak sengaja menciptakan salah impresi/ kesan di benak konsumen.
2.5. Peraturan-peraturan yang terkait dengan pelanggaran Iklan Pangan Tinjauan pustaka terhadap peraturan perundang-undangan berikut dibagi berdasarkan kategori pelanggaran, yaitu (1) iklan yang mencantumkan keterangan tidak benar dan menyesatkan berhubungan dengan gizi, manfaat kesehatan dan keamanan pangan, (2) iklan yang memberikan keterangan tidak benar dan
7
menyesatkan berkaitan dengan proses dan asal serta sifat bahan pangan, (3) yang yang mengarah pada pernyataan baha pangan seolah-olah sebagai obat, (4) iklan yang mendiskreditkan atau merendahkan baik secara langsung maupun tidak langsung produk pangan lain. serta (5) ilklan yang mencantumkan logo/ pernyataan. 2.5.1. Larangan iklan pangan yang mencantumkan keterangan tidak benar dan menyesatkan yang berkaitan dengan gizi, manfaat kesehatan dan keamanan pangan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.52.1831 tanggal 14 April 2008 tentang Pedoman Periklanan Pangan menetapkan kata-kata atau pernyataan yang tidak boleh digunakan dalam iklan yang berhubungan dengan gizi, manfaat kesehatan, dan keamanan pangan, yaitu (1) yang bermakna superlatif seperti “super”, “paling”, “nomor satu”, “top”, awalan “ter-“ (terbaik, termurni); (2) satu-satunya, jika telah ada produk pembandingnya; (3) “sehat”,”cerdas”, “pintar” jika terkait dengan sebab dan akibat dari mengkonsumsi pangan yang diiklankan; dan (4) “aman”, “tidak berbahaya”, “tidak mengandung risiko” atau “tidak ada efek samping” tanpa keterangan yang lengkap. Peraturan tersebut juga melarang pencantuman kata higienis, sanitasi, cara produksi pangan yang baik. Hal ini karena proses higienis, sanitasi dan produksi pangan yang baik merupakan keharusan dalam proses produksi yang harus dipenuhi oleh produsen pangan, sehingga tidak boleh diklaim dalam iklan. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pasal 50, melarang iklan yang memuat keterangan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan. Pencantuman klaim pada zat gizi ARA, DHA, Lutein, Sphingomyelin dan Gangliosida “ termasuk kategori pelanggaran iklan yang menyesatkan. Hal tersebut diatur dalam Surat Kepala Badan POM No. HK.00.05.1.52.3572 tanggal 10 Juli 2008 tentang Penambahan zat gizi dan non gizi dalam produk pangan pasal 6 yang menyatakan bahwa dilarang mencantumkan klaim gizi dan klaim kesehatan tentang ARA, DHA, Lutein, Sphingomyelin dan Gangliosida. Klaim tanpa bahan tambahan pangan termasuk kategori pelanggaran iklan pangan yang menyesatkan, karena seolah-olah suatu bahan tambahan pangan
8
dilarang atau berbahaya untuk digunakan. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan diperbolehkan sepanjang mengikuti aturan yang ditetapkan Badan POM menerbitkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.06.1.52.6635 tanggal 27 Agustus 2007 tentang Larangan Pencantuman Informasi Bebas Bahan Tambahan Pangan pada Label dan Iklan Pangan. 2.5.2. Larangan iklan pangan yang mencantumkan keterangan tidak benar dan menyesatkan yang berkaitan dengan proses dan asal serta sifat bahan pangan Peraturan Menteri Kesehatan No. 386/MenKes/SK/IV/1994 Tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Rumah Tangga dan Makanan-minuman mengatur bahwa iklan makanan harus memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Penggunaan kalimat, kata-kata, dan pernyataan tentang asal dan sifat bahan pangan hanya boleh digunakan apabila tidak menyesatkan dan atau menimbulkan penafsiran yang salah, seperti penggunaan kata ”alami”, “segar”, “murni” dan “dibuat dari”. Kata “alami” hanya boleh digunakan untuk bahan mentah yang tidak dicampur dan tidak diproses atau produk yang diproses secara fisik tetapi tidak merubah sifat dan kandungannya. Kata ”segar” hanya boleh digunakan untuk pangan yang tidak diproses, berasal dari suatu bahan dan menggambarkan pangan yang belum mengalami penurunan mutu secara keseluruhan. Kata segar juga boleh digunakan dalam kalimat atau ilustrasi yang tidak terkait secara langsung dengan pangan. Kata ”murni” hanya boleh digunakan untuk bahan atau produk yang tidak ditambahkan sesuatu apapun; Kata ”dibuat dari” hanya boleh digunakan bila produk yang bersangkutan seluruhnya terdiri dari satu bahan dan ”100%” digunakan untuk produk pangan yang tidak ditambahkan/dicampur dengan bahan lain. Ketentuan tersebut sesuai dengan Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap label atau iklan tentang yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Demikian juga dalam Peraturan Pemerintah RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pasal 44 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap iklan tentang pangan yang diperdagangkan wajib
9
memuat keterangan mengenai pangan secara benar dan tidak menyesatkan, baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan, dan atau bentuk lainnya. Penggunaan kata yang berlebihan termasuk dalam kategori iklan yang menyesatkan, karena dapat menyesatkan konsumen. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 9 ayat 1 butir j yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap. 2.5.3. Larangan iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat. Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman mengatur bahwa iklan makanan tidak boleh mengarah ke pendapat bahwa makanan yang bersangkutan berkhasiat sebagai obat. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pasal 53 juga jelas menyatakan bahwa iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat. 2.5.4. Larangan iklan pangan yang mendiskreditkan atau merendahkan baik secara langsung maupun tidak langsung pangan lain. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/ MenKes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Makanan dan Minuman bagian Petunjuk Teknis Umum melarang bahwa makanan yang berlabel gizi seolah-olah mempunyai kelebihan dbandingkan makanan yang tidak berlabel gizi. Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pasal 47 ayat (1) juga mengatur bahwa iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya.
10
2.5.5. Larangan iklan pangan yang mencantumkan logo/pernyataan Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Pedoman Periklanan Pangan Bab II Ketentuan Umum Periklanan Pangan No.22 mengatur bahwa logo yang dilarang untuk ditampilkan dalam iklan adalah logo lembaga yang mengeluarkan sertifikat/penghargaan. Peraturan tersebut juga melarang pencantuman pernyataan dan atau menampilkan gambar laboratorium, nama, logo atau identitas lembaga, termasuk lembaga yang melakukan analisis dan mengeluarkan sertifikat terhadap pangan. Permenkes No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Makanan dan Minuman melarang pencantuma kata halal dalam iklan. Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Kepala badan POM No. HK. 00.05.52.1831 tanggal 14 April 2008 tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyatakan bahwa penggunaan tulisan dan atau logo halal dalam iklan hanya dapat ditampilkan berupa label pangan yang telah mendapat persetujuan pencantuman tulisan dan atau logo halal dari Badan POM.
2.6. Etika Pariwara Indonesia Etika Pariwara adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaaati dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembannya. Etika Pariwara merupakan sistem nilai dan pedoman terpadu tata krama (code of conduct) dan tata cara (code of practices). Etika Pariwara Indonesia tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundangan. Jika untuk sesuatu hal ditemui penafsiran ganda, maka makna undang-undang dan peraturan perundangan yang dianggap sahih. Tata krama yang berhubungan iklan pangan diatur dalam pengggunaan bahasa, yaitu iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya dan tidak menggunakan persandian yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksud oleh perancang pesan iklan tersebut. Dalam ketentuan tersebut juga iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti ”paling”, ”nomor satu”, ”top” atau kata-kata berawalan ”ter”, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus
11
dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Penggunaan kata ”satu-satunya” atau yang bermakna sama juga dilarang digunakan dalam iklan tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Demikian juga penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber otentik. Penerapan Etika Pariwara Indonesia diberlakukan kepada setiap pelaku periklanan nasional, baik sebagai individu atau profesional, maupun sebagai entitas, atau usaha. Pengawasan pelaksanaan Etika Pariwara Indonesia dilakukan oleh lembaga pemantau, pengamat, atau pengawas periklanan serta masyarakat luas dan pamong. Penegakan dilakukan oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dengan membentuk organisasi internal yang bertugas khusus untuk itu. Disamping hal tersebut diatas, peran Dewan Periklanan Indonesia adalah menjalankan kemitraan dengan pamong dalam membina industri periklanan nasional. Sebagai bentuk komitmen dalam melindungi konsumen, industri periklanan mempunyai prinsip yang dinamakan swakarma (self-regulation) atau pengaturan diri sendiri. Rumusan tentang prinsip tersebut adalah jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum negara; sejalan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat serta mendorong persaingan, namun dengan cara-cara yang adil dan sehat. Etika Pariwara tahun 2005 menyatakan bahwa periklanan harus memenuhi tiga (3) asas, yaitu (1) jujur dan bertanggung jawab, dimana iklan tidak boleh menyesatkan, seperti memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui, memberikan janji yang berlebihan, dan menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat, (2) bersaing secara sehat, dimana penggunaan kata-kata yang berlebihan, perbandingan langsung, merendahkan produk lain baik langsung maupun tidak langsung dan peniruan harus dihindarkan, (3) melindungi dan menghargari khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
12