I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor non migas merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat dibutuhkan Indonesia dalam mendukung perekonomian nasional. Selama beberapa tahun terakhir, sektor non migas terutama yang berasal dari sektor pertanian
memberikan
kontribusi
yang
cukup
besar
bagi
pertumbuhan
perekonomian nasional. Beberapa peran penting sektor pertanian antara lain sebagai sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, penyedia bahan baku industri serta sebagai penyedia pangan, sandang dan papan bagi penduduk Indonesia. Peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional dapat dilihat dari kontribusinya terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan besarnya volume ekspor serta impor. Besarnya kontribusi nilai PDB sektor pertanian terhadap PDB nasional cukup besar dibanding sektor-sektor lain. Nilai PDB untuk sektor pertanian selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dengan rata-rata peningkatan sepanjang tahun 2004 sampai 2006 sebesar 2,82 persen per tahun (Tabel 1). Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004 - 2006 Lapangan Usaha (Sektor) 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan
PDB Sektoral (miliar Rp.) 2004 247.163,60
2005 253.726,00
Pangsa terhadap PBD (%) 2006
261.296,80
2004 14,34
2005
2006
13,07
12,90
160.100,50
165.085,40
168.729,90
8,94
11,07
10,62
469.952,40
491.421,80
514.192,20
28,07
27,71
28,05 0,91
4. Listrik, Gas, Air bersih
10.897,60
11.584,10
12.263,60
1,03
0,96
5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
96.334,40
103.483,70
112.762,20
6,59
7,03
7,46
271.142,20
293.877,20
311.903,50
16,05
15,45
14,87
96.896,70
109.467,10
124.399,00
6,20
6,50
6,92
151.123,30
161.384,30
170.495,60
8,47
8,28
8,13 10,14
152.906,10
160.626,50
170.612,10
10,32
9,94
Produk Domestik Bruto
1.656.516,80
1.750.656,10
1.846.654,90
100
100
100
PDB Non Migas
1.506.296,60
1.605.247,60
1.703.086,00
90,73
88,62
89,17
150.220,20
145.408,50
143.568,90
9,27
11,38
10,83
PDB Migas
Sumber
: Badan Pusat Statistik (2007) dan Bank Indonesia (2007)
Rata-rata volume dan nilai ekspor-impor produk pertanian Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, dengan tingkat pertumbuhan volume ekspor pada tahun 2005 sebesar 17,91 persen dan tingkat pertumbuhan
volume impor pada tahun yang sama sebesar 0,78 persen (Tabel 2). Rata-rata nilai neraca ekspor-impor produk pertanian yang meningkat serta besarnya kontribusi terhadap PDB nasional menunjukkan bahwa sektor pertanian sangat potensial untuk dikembangkan dan dapat menjadi kekuatan perekonomian Indonesia. Tabel 2. Neraca Ekspor dan Impor Produk Pertanian Tahun 2004 - 2006 Subsektor
2004 Volume (Kg)
2005 Nilai (USD)
Volume (Kg)
2006 Nilai (USD)
Volume (Kg)
Nilai (USD)
T. Pangan Ekspor
1170247442
274497239
1123504033
286759477
861335403
264307559
Impor
9670604316
2423417775
8936435847
2115139808
12205261813
2646232725
Ekspor
296478733
177089540
384092283
227617442
451068406
236976726
Impor
798321898
344791048
856393158
367424554
970284706
534175246
Ekspor
15556889495
9107466305
18592702467
10702128795
21394135259
14001324695
Impor
1353601447
1323371273
2091654011
1532519642
1764117697
1908240859
Hortikultur
Perkebunan
Peternakan Ekspor
221663791
328536645
233481615
298562696
188822797
255570765
Impor
873619160
936174934
910930268
1121831745
904638897
1154299200
Ekspor
17245279461
9887589729
20333780398
11515068410
22895361865
14758179745
Impor
12696146821
5027755030
12795413284
5136915749
15844303113
6242948030
Pertanian
Keterangan : Nilai impor tahun 2006, data kumulatif sampai bulan September Sumber : Departemen Pertanian (Diolah)
Sektor pertanian terdiri dari subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan. Subsektor hortikultura terdiri dari komoditas buahbuahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan nasional di masa depan. Komoditas buah-buahan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, konstribusi PDB komoditas buah-buahan menempati urutan pertama di atas komoditi hortikultura lain dengan nilai rata-rata antara tahun 2003 sampai 2006 berdasarkan harga konstan sebesar Rp. 22,398 milyar atau sebesar 52,45 persen dari total PDB hortikultura1. Komoditas buah-buahan memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan karena pada setiap tahun rata-rata volume produksinya menunjukkan peningkatan yang cukup 1
Nilai PDB Hortikultura Tahun 2003 - 2006. http://www.deptan.go.id. [12 April 2008].
signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan produksi buah-buahan Indonesia sepanjang tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan kecenderungan yang meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 14,9 persen per tahun (Tabel 3). Tabel 3. Produksi Buah-Buahan Indonesia Sepanjang Tahun 2001 – 2006 No.
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alpukat Belimbing Duku Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Jeruk Siam Jeruk Besar Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Markisa Sirsak Sukun Melon Semangka Blewah Total
Tahun
Growth (%)*
2001
2002
2003
2004
2005
2006
141.703 53.157 113.071 347.118 137.598 73.061 691.433 923.294 25.812 415.079 494.968 500.571 4.300.422 350.875 681.255 63.011 46.951 41.036 37.141 240.298 8275251
238.182 56.753 208.350 525.064 162.120 97.296 968.132 1.402.906 62.055 537.186 555.588 605.194 4.384.384 476.941 768.015 69.479 52.974 47.549 59.106 266.904 9677854
255.957 67.261 232.814 741.831 239.108 115.210 1.529.824 1.441.680 88.144 1.526.474 79.073 694.654 677.089 626.745 4.177.155 815.438 928.613 83.877 71.898 68.426 62.432 70.560 455.464 31.532 11544178
221.774 78.117 146.067 675.902 210.320 117.576 2.071.084 1.994.760 76.324 1.437.665 62.117 710.795 709.918 732.611 4.874.439 709.857 800.975 88.031 59.435 82.338 66.994 47.664 410.195 34.582 15081259
227.577 65.967 163.389 566.205 178.509 110.704 2.214.020 2.150.219 63.800 1.412.884 64.711 712.693 925.082 548.657 5.177.607 675.579 937.930 83.787 75.767 82.892 73.637 58.440 366.702 63.860 16419540
239.463 70.298 157.655 747.848 196.180 128.648 2.565.543 2.479.852 85.691 1.621.997 72.634 683.904 1.427.781 643.451 5.037.472 801.077 861.950 107.169 119.683 84.373 88.339 55.370 392.587 67.708 17000619
5,22 6,57 -3,51 32,08 9,90 16,21 15,88 15,33 34,31 14,80 12,24 -4,04 54,34 17,28 -2,71 18,58 -8,10 27,91 57,96 1,79 19,97 -5,25 7,06 6,03 10,21
Keterangan : * Pertumbuhan produksi tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 - Data tidak tersedia Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2007)
Buah-buahan adalah salah satu jenis hortikultura yang mempunyai daya tarik tersendiri. Buah mempunyai rasa yang segar dan khas, yaitu perpaduan dari berbagai macam rasa dengan komposisi yang tepat, sehinggga banyak digunakan sebagai pemicu selera makan (appetizer) dan sebagai jus. Selain itu, buah juga memiliki aroma dan warna spesifik, yang menjadi ciri khas bagi setiap jenis.
Sebagai bahan
pangan,
buah
mempunyai keunggulan
tersendiri
dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Buah mempunyai kadar air, vitamin, mineral dan serat yang tinggi, tetapi mengandung energi, lemak, dan karbohidrat yang rendah, sehingga buah baik untuk kesehatan tubuh. Mengingat begitu pentingnya nilai buah-buahan bagi masyarakat, maka manusia perlu mengkonsumsi buah dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, konsumsi
masyarakat
Indonesia
terhadap
komoditas
tersebut
masih
relatif
kecil
dibandingkan yang telah dianjurkan FAO (Food Agricultural Organization). FAO menetapkan standar konsumsi buah minimal 65,75 kg per orang per tahun, tetapi konsumsi rata-rata penduduk Indonesia terhadap buah-buahan baru mencapai 40 kg per orang per tahun (Dirjen Bina produksi Hortikultura, 2001). Komoditi salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang menjadi komoditas unggulan dan salah satu tanaman yang cocok untuk dikembangkan. Di Indonesia terdapat berbagai varietas salak diantaranya: salak pondoh, salak swaru, salak enrekang, salak gula pasir, salak bali, salak padang sidempuan, salak gading ayu, salak pangu, salak sibakua, salak sangata, salak condet, salak manonjaya, salak madura, salak ambarawa, salak kersikan, salak bongkok. Diantara berbagai jenis serta varietas salak tersebut, varietas salak pondoh, swaru, nglumut, enrekang, dan gula batu atau bali mempunyai nilai komersial yang tinggi, sehingga varietas tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai varietas unggul untuk dikembangkan 2. Produksi salak nasional menunjukkan angka yang cukup besar, salak memberikan sumbangan produksi terbesar keempat terhadap total produksi buah nasional setelah pisang, jeruk siam/keprok dan mangga, yaitu sebesar 6,57 persen atau sebesar 937.930 ton dan produksi terbesar berasal dari Jawa Tengah yaitu sebesar 165.173 ton atau sekitar 17,6 persen dari total produksi salak nasional (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006). Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini menunjukkan fluktuasi produksi dan luas panen tetapi cenderung menunjukkan peningkatan. Terjadinya peningkatan produksi salak secara langsung akan mempengaruhi penawaran baik dipasar lokal maupun pasar nasional, sehingga peningkatan penawaran salak yang diikuti kegiatan pemasaran yang baik akan mempengaruhi juga permintaan terhadap salak. Dari segi penawaran, beberapa faktor yang mempengaruhi salak pondoh, diantaranya: (1) kecenderungan meningkatnya luas areal tanaman salak, (2) iklim, (3) harga sarana produksi, (4) perkembangan teknologi produksi salak, dan (5) bagi daerah-daerah pasar tertentu ketersediaan buah salak sangat dipengaruhi oleh cara pengemasan dan sarana transportasi yang dapat menjamin kesegaran dan mutu buah salak sampai di tangan konsumen. Sedangkan dari segi permintaan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan diantaranya: (1) semakin meningkatnya jumlah penduduk yang 2
Salak (Salacca edulis). http://www.ristek.go.id. [21 Desember 2007].
berminat pada buah salak sebagai dampak keberhasilan program penyuluhan dan program peningkatan gizi masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah, (2) tingkat harga salak di pasar eceran, (3) tingkat harga buah-buahan lainnya, dan (4) tingkat pendapatan konsumen buah salak atau kekuatan daya beli masyarakat pada umumnya. Daerah-daerah di Indonesia yang tercatat sebagai sentra produksi salak diantaranya: Padangsidempuan (Sumatra Barat), Serang (Banten), Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Batujajar (Jawa Barat), Magelang, Ambarawa, Wonosobo, Banyumas, Purworejo, Purbalingga, Banjarnegara (Jawa Tengah), Sleman (Yogyakarta), Bangkalan, Pasuruan (Jawa Timur), Karang Asem (Bali), Enrekang (Sulawesi Selatan). Akan tetapi pada umumnya daerah-daerah sentra salak tersebut memproduksi buah salak yang khas. Jawa Tengah merupakan salah satu daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia dan Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu daerah sentra salak di Jawa Tengah. Pada tahun 2005, besarnya produksi salak di Kab. Banjarnegara mencapai 110.812.995 kg atau mencapai 67 persen dari produksi salak untuk Jawa Tengah (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006 dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara, 2006). Besarnya produksi tersebut merupakan sebuah peluang dalam memenuhi permintaan pasar, hal ini dikarenakan permintaan buah-buahan secara umum maupun permintaan salak secara khusus yang akan terus meningkat pada waktu ke waktu (Tabel 4). Selain itu, perdagangan bebas juga memberikan peluang dan tantangan baru dalam pengembangan komoditas hortikultura dimasa yang akan datang. Tabel 4. Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Sampai Tahun 2015 Konsumsi Buah Populasi Tahun Penduduk (Juta) Konsumsi/Kapita (Kg) Total Konsumsi (Ribu ton) 1998 200.000 36,76 7.352.00 2000 213.000 36,76 7.829.88 2005 227.000 45,70 10.373.90 2010 240.000 57,92 13.900.80 2015 254.000 78,74 19.999.96 Keterangan : Data tahun 1998 – 2005 merupakan kondisi aktual; Sumber : Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2000).
Pada tahun 1997 sampai 2002, Departemen Pertanian, Direktorat Bina Produksi Hortikultura dan Dinas Pertanian Kab. Banjarnegara dengan bantuan dari OECF (Overseas Economic Coorporation Fund) Jepang, mengembangkan kebun salak pondoh secara lengkap seluas 1.000 Ha di Kec. Banjarnegara dan Kec. Sigaluh, Kab. Banjarnegara dimana bantuan tersebut berupa bibit, pupuk,
jaringan irigasi, pelatihan untuk petani, bangunan pengumpul hasil sampai dengan alat pengolahan berupa vaccum fryer. Produksi buah salak di Kab. Banjarnegara lebih besar dibandingkan komoditas buah-buahan lain dengan volume produksi buah salak yang berfluktuatif (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa buah salak khususnya salak pondoh merupakan salah satu komoditi buah unggulan di Kab. Banjarnegara yang selalu dikembangkan dalam rangka
meningkatkan
pendapatan
asli
daerah
dan
meningkatkan
laju
pertumbuhan ekonomi serta dikembangkan sebagai salah satu identitas serta kebanggaan Kab. Banjarnegara. Tabel 5. Produksi Komoditas Buah Unggulan Kabupaten Banjarnegara Tahun 2002 2006 No.
Komoditas
Produksi (Kg) 2002
2003
2004
2005
2006
Growth (%)*
298934315
293982616
239729400
110812995
166866800
50,6
5640027
6454027
8833400
7322856
8528150
16,5
55043
93543
69,9
178600
297800
66,7
5463900
1509800
-72,4
261400
1242300
120600
-90,3
614600
591688
760550
28,5
1
Salak
2
Pisang
3
Nenas
267679
28431
60400
4
Jambu Biji
1720279
562235
780900
5
Rambutan
6726146
6726146
5040400
6
Duku
1198275
4847308
7
Pepaya
1269136
707236
8
Durian
2815500
2416935
410800
1494500
1005600
-32,7
9
Jeruk Siam
1138960
1357745
567500
722100
516100
-28,5
10
Mangga
3306180
497781
353800
429800
721500
67,9
Keterangan : * Pertumbuhan produksi tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara (2007).
Pengembangan salak pondoh di Kab. Banjarnegara didasarkan bahwa salak pondoh merupakan salah satu varietas salak unggulan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui SK Menteri Pertanian No. 272/Kpts/TP. 240/4/1988 dan SK Menteri Pertanian No. 462/Kpts/TP. 240/7/1993. Salak pondoh memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi, kadar gula yang lebih tinggi serta kadar asam yang lebih rendah dibanding dengan jenis salak lain (Redaksi Agromedia, 2007). Salak pondoh juga mempunyai keunggulan dibanding dengan salak lain, dari segi rasa salak pondoh memiliki rasa yang manis dan tidak sepet saat masih muda, dan daya simpan yang lebih lama karena buah salak pondoh tergolong buah yang berpola respirasi non klimaterik yang memiliki umur penyimpanan yang relatif lebih lama dimana salak pondoh mulai membusuk setelah 13 hari penyimpanan pada suhu kamar (Santoso, 1990), serta salak pondoh merupakan salah satu buah lokal yang pemasarannya dapat memasuki supermarket.
Buah salak pondoh merupakan salah satu produk pertanian khususnya hortikultura yang memiliki sifat mudah rusak atau tidak tahan disimpan lama, memerlukan tempat atau ruangan yang luas, dan pada umumnya sentra produksi relatif jauh dari tempat konsumen yang tersebar dari pedesaan sampai perkotaan. Sehingga berdasarkan ciri-ciri tersebut, buah salak khususnya salak pondoh perlu mendapatkan penanganan yang intensif dalam penanganan pasca panen serta pemasaran, sehingga salak yang sampai ke konsumen masih dalam keadaan baik dan segar.
1.2. Perumusan Masalah Salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang menjadi komoditas unggulan nasional dan pangsa pasar salak tidak hanya mencakup pasar lokal maupun nasional tetapi sudah merambah ke pasar internasional. Di Indonesia produksi salak saat ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan daerah penanamannya telah menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Tabel 6. Produksi Salak Pada Seluruh Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2001 - 2006 No.
Kecamatan
1
Susukan
2
Pwj. Klampok
3
Mandiraja
2001
Produksi Salak (kg) 2003 2004
2002
2005
2006
152700
197220
114310
151200
66000
31100
16800
25000
8900
23100
132800 23100
0
0
138500
84500
157000
116200
4
Purwonegoro
157800
148100
225300
258800
84700
33000
5
Bawang
150000
81000
188510
352200
130900
100300
2764500
146400
2236275
13516600
166800
5451600
0
0
0
0
4147500
3773600
7571000
5527100
15180000
9442500
8945200
7169800
6
Banjarnegara
7
Pagedongan
8
Sigaluh
9
Madukara
10
Banjarmangu
55841000
56260200
132538861
76160300
67489000
76541200
171430400
25608899
128691200
126794800
4227400
11
55451400
Wanadadi
97050
8271
48300
96200
126000
77800
12
Rakit
20400
0
0
5800
23100
9300
13
Punggelan
2274200
577951
212560
454200
290100
275800
14
Karangkobar
2752000
746800
249150
513100
245400
323900
15
Pagentan
31000000
207200000
13480000
10850000
23600000
16280000
16
Pejawaran
9000
820
13200
13000
0
0
17
Batur
0
0
0
0
0
0
18
Wanayasa
547000
2079754
551450
792300
515795
717000
19
Kalibening
250000
335000
90000
235000
575000
390000
20
Pandanarum Jumlah
0 275048150
0 298934315
0 293982616
0 239729400
0 110812995
0 166866800
Sumber
: BPS Kabupaten Banjarnegara (2001 – 2006)
Jawa Tengah merupakan salah satu daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia dan Kab. Banjarnegara merupakan salah satu daerah sentra salak khususnya salak pondoh di Jawa Tengah. Produksi salak pondoh tersebar hampir diseluruh kecamatan-kecamatan di Kab. Banjarnegara, dengan lokasi sentra salak pondoh adalah Kec. Sigaluh, Mudakara, Banjarmangu, Pagentan, Pagedongan dan Banjarnegara. Hal ini dilihat bahwa produksi salak di beberapa kecamatan tersebut memiliki produksi yang besar dibanding kecamatan lain di Kabupaten Banjarnegara (Tabel 6). Buah salak pondoh produksi Kab. Banjarnegara selain dipasarkan di dalam pasar lokal, sebagian besar dipasarkan keluar daerah seperti: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Mataram, Medan dan beberapa kota baik di pulau Jawa maupun diluar pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh kemampuan pasar lokal menyerap produk sangat kecil dibandingkan kemampuan pasar-pasar diluar Kab. Banjarnegara. Sehingga sebagian besar salak pondoh Kab. Banjarnegara dipasarkan diluar daerah. Perbedaan harga di konsumen akhir di pasar lokal dengan harga di konsumen akhir di pasar-pasar luar daerah juga merupakan salah satu alasan bahwa sebagian besar salak pondoh dari Kab. Banjarnegara dipasarkan di luar daerah. Harga yang diterima konsumen akhir di pasar lokal hanya berkisar Rp. 3.500,- per kilogram, sedangkan harga yang diterima konsumen akhir di Jakarta misalnya dapat mencapai Rp. 7.000,- per kilogram. Jauhnya daerah pemasaran salak pondoh dengan sentra produksi serta relatif tersebar, hal ini menyebabkan sangat penting peran lembaga tataniaga dalam menyalurkan salak pondoh dari petani sampai kepada konsumen akhir. Karena apabila petani menjual langsung kepada konsumen akhir yang tersebar luas, petani akan menghadapi resiko berupa biaya transportasi dan keterbatasan informasi pasar yang umumnya hanya dimiliki oleh lembaga-lembaga tataniaga, misalnya informasi pasar potensial. Perubahan harga jual salak pondoh yang terjadi ditingkat petani cukup berfluktuatif. Pada musim panen raya yaitu pada bulan November sampai Desember, harga jual salak pondoh hanya sekitar Rp. 1.500 per kilogram sedangkan diluar musim panen harga jual salak pondoh di tingkat petani cukup tinggi yang dapat mencapai Rp. 5.000 per kilogram atau bahkan lebih (Tabel 7). Apabila perubahan harga yang terjadi di tingkat petani dapat mempengaruhi harga di tingkat lembaga-lembaga tataniaga maka dapat dikatakan bahwa pasar
tersebut terpadu. Dengan kata lain bahwa informasi pasar bersifat simetris sehingga perubahan harga dapat ditransmisikan secara sempurna pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Tabel 7. Perubahan Harga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara Pada Juni 2007 sampai Maret 2008 No. Bulan Tahun Harga (Rp/Kg) 1 Juni 2007 4297,45 2 Juli 2007 4530,16 3 Agustus 2007 4580,52 4 September 2007 4786,12 5 Oktober 2007 4801,62 6 November 2007 2676,26 7 Desember 2007 1837,94 8 Januari 2008 2259,45 9 Februari 2008 3090,07 10 Maret 2008 3668,80 Sumber : Pedagang Salak Pondoh di Pasar Salak Banjarnegara (Diolah)
Salah satu bentuk pasar efisien adalah dengan sistem pemasaran yang terbentuk relatif pendek dengan fungsi-fungsi tataniaga yang merata. Selain itu, ciri pasar yang efisien adalah distribusi marjin tataniaga yang tersebar secara merata pada seluruh pelaku atau lembaga tataniaga dan bagian dari harga di tingkat pengecer yang diterima oleh petani. Selain pendeknya saluran tataniaga yang terbentuk dan meratanya margin tataniaga, ciri lain dari pasar yang efisien adalah ada atau tidaknya keterpaduan (integrasi) dan korelasi harga pada berbagai tingkat pasar. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Berapa banyak lembaga tataniaga atau pelaku pasar yang terlibat, bagaimana pola saluran tataniaga yang terbentuk dan apa fungsi masingmasing lembaga tataniaga pada pasar komoditi salak pondoh yang terjadi di Kab. Banjarnegara?
2.
Bagaimana struktur pasar pada setiap lembaga tataniaga yang dihadapi komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara dan bagaimana perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat?
3.
Bagaimana keragaan pasar pada sistem tataniaga salak pondoh yang terjadi di Kab. Banjarnegara berdasarkan margin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan dan biaya, dan keterpaduan pasar yang terjadi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, antara lain: 1.
Mengidentifikasi lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga
yang
dilakukan
oleh
setiap
lembaga
tataniaga,
serta
mengidentifikasi pola saluran tataniaga pada sistem tataniaga komoditi salak pondoh; 2.
Menganalisis struktur pasar dan perilaku pasar pada komoditi salak pondoh;
3.
Menganalisis keragaan tataniaga salak pondoh, berdasarkan margin tataniaga, bagian harga yang diterima petani (farmer’s share), rasio keuntungan dan biaya, dan keterpaduan pasar salak pondoh;
4.
Menganalisis efisiensi sistem tataniaga komoditi salak pondoh di Kabupaten Banjarnegara.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta mengingat adanya keterbatasan
sumberdaya
yang
tersedia
(terutama
waktu
dan
dana),
menimbulkan keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu penelitian dilakukan hanya di Kab. Banjarnegara dengan lokasi pengambilan data dan informasi baik informasi dari petani maupun lembaga tataniaga yang terlibat adalah di beberapa kecamatan yang telah ditentukan sebelumnya.