I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Kemampuan bicara merupakan salah satu peran rongga mulut disamping mengunyah sebagai parameter dalam menentukan perkembangan anak. Bicara merupakan proses artikulasi vokal atau verbal yang menunjukkan ketrampilan seseorang mengacu pada kemampuan kognitif. Penilaian kemampuan bicara anak lebih sering dikaitkan dengan kemampuan berbahasa, dan dapat dibedakan atas kemampuan untuk mendengar dan memahami (reseptif) dengan benar serta kemampuan berbicara (ekspresif) dengan tepat sesuai dengan artikulasi (Ramin dan David., 2004). Berbahasa yang benar dan mudah difahami berarti memberi dan menerima informasi berita dengan cara lisan atau tertulis sebagai alat berkomunikasi sesuai dengan artikulasi (Language., 1992). Perolehan bahasa pada anak merupakan kemampuan dan ketrampilan berbahasa di lingkungannya. Ketrampilan dalam berbicara dan berbahasa dipengaruhi oleh kondisi fisiologis organ bicara yang terlibat sebagai faktor intrinsik, dan faktor lingkungan sebagai faktor ekstrinsik (Ramin dan David., 2004). Kelainan bicara atau tutur berupa ketidak jelasan artikulasi berhubungan erat dengan kelainan oklusi dan susunan gigi geligi, kelainan jaringan rongga mulut serta gangguan fungsi otot mulut, dapat dimulai dari bentuk sederhana seperti bunyi suara tidak normal sampai dengan mekanisme oral-motor yang 1
2
tidak normal. Untuk dapat menuturkan kata dengan baik, sehingga tutur yang didengar dapat ditangkap dengan jelas dan setiap fonem atau huruf dapat terdengar secara terinci, maka bibir, lidah, gigi geligi, gusi/ alveolar, palatum dan pita suara dalam keadaan normal. Bila salah satu fungsi dari organ tersebut terganggu timbul tutur yang kurang jelas, dan ada fonem yang seolah-olah hilang terutama terjadi pada akhir tutur yang diakibatkan dari tidak tepatnya titik artikulasi dan cara artikulasi (Cameron dan Widmer., 2008). Pengaruh lingkungan sangat erat dengan logat atau aksen dari suatu daerah, seperti pada pada bahasa Jawa aksen yang paling kental adalah fonem /dh/ dan /th/ untuk konsonan, sedang untuk vokal selain /i/, /u/, /a/, /e/, dan /o/ adalah /ǝ/ seperti dalam pengucapan emas. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua di kebanyakan daerah di Indonesia, dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, kecuali dilingkup sekolah sebagai sarana informasi dalam pembelajaran dipergunakan bahasa Indonesia (Marsono., 1986) Pada Periode tumbuh kembang anak, banyak ditemukan kasus kelainan dalam rongga mulut yang menimbulkan kelainan bicara atau tidak jelasan tutur kata. Ketidak jelasan tutur kata dapat terjadi karena beberapa hal, salah satunya disebabkan karena kelainan bentuk dan struktur jaringan keras dan jaringan lunak rongga mulut anak sebagai organ bicara. Kelainan tersebut akan menyebabkan perubahan dalam pengucapan fonem vokal dan konsonan baik pada penempatan titik artikulasi (TA) maupun cara artikulasi (CA) atau pengucapan, yang mengakibatkan anak melakukan penggantian (substitusi), penghilangan (omisi),
3
penambahan (adisi) atau pengucapan yang tidak jelas (distorsi) (William., 1961; Carrel., 1983; Bambang., 2000; Dardjowidjojo., 2010). Selama perkembangan produksi suara, anak dihadapkan pada penguasaan persepsi dan kemampuan motorik yang nantinya mampu berkoordinasi dan mengerti input dan output dari persepsi dan sistem produksi suara pada usia dewasa (Locke., 1997). Anak-anak secara berkelanjutan mengembangkan dan memperhalus kemampuan motorik bicara antara usia 3-7 tahun, berlanjut perkembangannya setelah usia 7 tahun dan maturasi kemampuan motorik bicara sampai anak memasuki tahap pubertas. Masa sekolah merupakan masa bagi anak menambah perbendaharaan kosa kata yang diajarkan secara langsung saat pembelajaran. Anak umur 7 tahun saat pertama kali di bangku sekolah memiliki perbendaharaan kosa kata sebanyak 24.000 kosa kata, kemudian pada umur 9-10 tahun meningkat mencapai 30.000 sampai 35.000 kosa kata dan pada umur 11-12 tahun dapat mencapai lebih dari 50.000 kosa kata. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya peningkatan perkembangan pada kognitif dan motoriknya (Locke., 1997). Beberapa pola artikulasi merupakan bukti kemampuan produksi suara pada tingkat yang lebih tinggi dan kemungkinan lain merupakan tanda ketidak matangan alat gerak artikulasi. Perbedaan perkembangan yang berhubungan dengan jenis kelamin membuktikan wanita memiliki durasi pengucapan yang lebih panjang dan tingkat artikulasi yang lebih lambat dari pada pria (Nittrouer dkk., 1996; Elliot, 1996), sedangkan rentang frekuensi suara untuk anak sebelum
4
pubertas baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan, rentang frekuensi suara 200-5000 Hz (Clark dan Yallop., 1991). Secara klinis penyebab kelainan bicara yang menyangkut kelainan bentuk anatomis dan atau struktur organ bicara khususnya artikulator disebut disglosia. Organ bicara merupakan bagian akhir dari suatu rangkaian proses bicara, sekaligus berfungsi sebagai resonator untuk memodifikasi suara yang diproduksi didaerah glotis, sehingga menjadi suatu rangkaian fonem yang berarti. Bagian artikulasi dan resonansi merupakan proses akhir dalam pembentukan suara. Banyak dijumpai di klinik, orang tua tanpa disadari membuat kesalahan dalam memberikan asupan makanan pada putra putrinya, terkadang pemberian makanan bersifat cair masih diberikan walaupun anak sudah berumur 4 tahun. Keadaan tersebut tidak disadari bahwa kondisi gigi geligi tidak aktif dipakai untuk pengunyahan selain menyebabkan gigi berlubang atau karies juga akan menghambat tumbuh kembang anak, sehingga pertumbuhan rahang dan gigi geliginya sampai fungsi bicara terhambat (Marsono., 1986; Bernd Wienberg, 1994; Bambang, 2000, ) Hambatan yang terjadi akibat fungsi oral motor tidak berfungsi optimal akan menyebabkan terjadinya maloklusi pada gigi geligi dan perkembangan bicara mengalami hambatan dengan bicara tidak jelas. Melihat ketidak aturan gigi geligi anaknya orang tua tidak menyadari bahwa kelainan gigi geligi akan berakibat pada kelainan pengucapan, sehingga perlunya dilakukan deteksi dini untuk membuktikan bahwa kondisi gigi geligi yang mengalami kelainan akan
5
menyebabkan kelainan pengucapan. Secara psikologi banyak pasien anak mengalami cemas sampai ketakutan bila ke praktek/ klinik dokter gigi untuk dilakukan pemeriksaan, sehingga perlu pendekatan khusus dengan jalan diajak ngobrol bermain kata-kata untuk memancing anak bicara dan mengucapkan katakata tertentu sebagai alat deteksi untuk membantu diagnosis (Cameron dan Widmer, 2008). Kelainan bicara dapat terjadi pada vokal maupun konsonan, kelainan bicara yang terjadi pada vokal berhubungan dengan kelainan yang ada di rongga mulut dan hidung. Makin sempit rongga mulut makin tinggi bunyi vokal, adapun urutan vokal dari tinggi ke rendah yaitu /i/, /u/, /e/, /a/dan /o/. Vokal /i/ merupakan vokal tinggi terletak di depan, paling sempit dan paling sulit diucapkan, sedangkan vokal /u/ vokal tinggi yang terletak di belakang dan keduanya merupakan vokal tertutup, kemudian vokal /a/ merupakan vokal terbuka yang terletak ditengah. Vokal /i/, /u/ dan /a/ secara klinis dipakai oleh terapis bicara untuk menilai kelancaran dan kejelasan bicara, sehingga vokal /i/, /u/ dan /a/ dianggap sebagai vokal utama. Vokal /i/, /u/ dan /a/ dipakai dalam pembelajaran tutur pada anak, karena tuturan/ ucapan yang ditimbulkan menghasilkan frekuensi suara yang sangat jelas kedudukannya dan terbesar diantara vokal yang lain (Eijkman., 1955 cit, Gernadus., 1973). Kelainan konsonan dapat terjadi pada organ bicara seperti bibir, lidah sebagai artikulator aktif dan gigi geligi, gusi/ alveolar, langitan/ palatum sebagai artikulator pasif serta
pita suara. Kelainan yang terjadi pada gigi geligi dan
6
alveolar sebagai pendukung gigi selalu terkait dengan lidah dan bibir. Kelainan dapat terjadi pada titik artikulasi linguo dental, labio dental, linguo alveolar, bilabial pada kelainan gigi geligi depan yang protrusif, konsonan geser pada kelainan gigi geligi yang mempunyai ruang atau celah diantaranya seperti kondisi gigi yang rotasi, berupa konsonan /t/, /d/, /f/, /v/, /w/, /m/, /l/, /n/, /p/, /b/, /s/ (Cameron dan Widmer, 2008). Kelainan konsonan terjadi pada organ bicara lainya seperti bibir dan lidah dengan kelainan pengucapan artikulasi konsonan /p/, /b/, /m/ pada bibir, /k/, /g/, /r/,/ng/ pada lidah, gigi geligi dengan kelainan pengucapan artikulasi konsonan /t/, /v/, /f/ dan /w/, gusi/ alveolar dengan kelainan pengucapan artikulasi konsonan /l/, /n/ dan /s/, langitan/ palatum dengan kelainan pengucapan artikulasi konsonan /c/, /j/, /d/, /y/, /ny/ sedang pita suara dengan kelainan pengucapan artikulasi konsonan /h/, serta fonem /s/ pada kelainan maloklusi klas I dengan gigitan terbuka menyebabkan adanya jarak pada saat tutup menutupnya gigi geligi depan rahang atas dan bawah (Cameron dan Widmer, 2008). Secara klinis sebagai syarat pembakuan kata pengucapan untuk uji pengucapan tutur dipilih kata yang didalamnya terkandung fonem baik vokal maupun konsonan yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan pengucapan, serta fonem tersebut dapat terletak diawal, tengah dan akhir kata (Marsono, 1986; Syamsul Arifin, 2006). Kasus-kasus kelainan bicara anak akibat kelainan organ bicara pada saat ini hanya dideteksi sebatas sebelum dan sesudah tindakan perawatan dengan melihat perbedaan grafik frekuensi suara suara yang terjadi
7
berdasarkan ucapan fonem yang mengalami kelainan (Rinaldi, 2003; Sapti dkk., 2003; Rinaldi dan Iwa, 2008; Rinaldi, 2008). Penelitian lain tentang tutur kata sampai saat ini bertujuan untuk identifikasi suara sebagai ciri khusus seseorang memiliki otentikasi pembicara seperti sidik jari (Khalid Saeed, 2008). Mark dkk. (1976) melakukan penelitian pengenalan suara yang menghubungkan susunan kata dengan mengembangkan sistem komputer pada linguistik untuk mengenali frase dan kalimat yang diucapkan secara lisan tanpa memerlukan penyesuaian dan pengulangan. Pengenalan ucapan dengan metode pengolahan citra sinyal kata yang diucapkan berdasarkan pola matrik telah dilakukan oleh Yudhi. A (2010), sedangkan pengenalan ucapan vokal bahasa Indonesia dengan metode Linear Predictive Coding sebagai pengekstraksi ciri - Dynamic Time Warping sebagai pengenal pola (LPC-DTW) telah dilakukan Rachman (2001). Penggunaan suara atau akustik untuk mendapatkan frekuensi yang maksimum atau dominan telah dilakukan oleh Sunarno (2013) untuk membedakan butir gabah yang bagus dengan yang tidak. Penelitian Soewito (1985) tentang daftar tutur bahasa Indonesia yang ditemukan sebagai daftar tutur Audiometri yang dipakai untuk deteksi pendengaran. Bahasa memiliki sistem fonologi yang mengatur bagaimana suara digunakan untuk membentuk urutan yang dikenal sebagai kata, dan sebuah sistem sintaksis yang mengatur bagaimana kata-kata digunakan membentuk frasa dan pengucapan (Lyons, John 1995). Suara vokal yang diucapkan manusia dari setiap
8
kata, hanya ada beberapa suara yang dapat berkontribusi dalam pembentukan makna, dan lebih banyak kata-kata yang terbentuk dari fonem-fonem secara umum menandakan adanya konsonan atau harakat dalam struktur
kata. Pembakuan
bahasa atau kata merupakan langkah utama untuk dapat menjadi bahasa yang dapat dipakai kesegala lapisan masyarakat. Pembakuan atau menjadikan standar pada kata dengan jalan pemilihan acuan paling wajar dan baik pemakaian kata dalam bahasa kesehariannya oleh masyarakat. Pembakuan juga terkait beberapa aspek atau konteks yaitu situasi, tempat, mitra bicara, alat, status penuturnya dan waktu (Alwi, 2000). Perkembangan kata dan bicara anak merupakan perkembangan kognitif untuk memperoleh dan mempergunakan simbol-simbol verbal atau non verbal dari suatu konsep atau pengertian sesuai dengan aturan semantik dan sintaksis di lingkungannya. Perkembangan kata mempunyai tiga tahap yaitu, pembentukan unsur kata, pengertian dan perbendaharaan kata serta penggunaan kata. Perkembangan artikulasi merupakan perkembangan kognitip /kemampuan menghasilkan suara yang dipergunakan untuk ekspresi verbal. Perkembangan normal artikulasi dimulai sejak usia 2 tahun dan diakhiri pada usia 7 tahun, tahap selanjutnya adalah menambah perbendaharaan, pematangan dan penghalusan dari mulai bentuk kata sampai kalimat yang mengandung pengertian semantik dan sintaksis (Cameron dan Widmer, 2008). Bahasa Indonesia mempunyai vokal dan konsonan yang lengkap berupa 27 fonem dengan 6 vokal dan 21 konsonan, bila dirangkai membentuk kata yang
9
akan memiliki makna. Dilingkup sekolah, sebagai tempat sarana menyampaikan informasi pada situasi dan waktu pembelajaran, diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat dan status penuturnya serta sebagai mitra bicaranya antara murid dan guru, keadaan tersebut dapat dipakai sebagai model kata baku untuk mewakili masyarakat berbahasa Indonesia. Anak dengan umur 9, 10, 11 dan 12 tahun memiliki gigi geligi berupa gigi susu dan gigi permanen dalam rongga mulutnya dan termasuk dalam tahap gigi bercampur. Gigi permanen akan menggantikan gigi-gigi susu di dalam deretan lengkung gigi dan disebut sebagai gigi pengganti. Pertumbuhan gigi-geligi pada saat erupsi sangat bervariasi, erupsi normal untuk menggantikan kedudukan gigi sebelumnya mempunyai order of eruption sebagai kelengkapan yang baik bagi gigi pengganti bererupsi pada kedudukan yang benar (McDonald dkk., 2000; Pinkham dkk., 2005). Tahap pergantian gigi selama tumbuh kembang disamping terjadi perubahan susunan gigi geligi dan oklusi juga berpengaruh pada pengucapan kata. Secara fonetik bila titik artikulasi dan cara artikulasi tidak tepat, kelainan pengucapan dapat terjadi pada kata atau leksim yang mengandung konsonan geser berupa fonem /s/, f/ dan /v/, serta konsonan hambat letup apiko dental/ alveolar berupa fonem /t/ dan /d/, sehingga tahap gigi bercampur merupakan saat yang kritis, pada tahap tersebut mudah sekali terjadi kelainan, salah satunya dan paling mudah terjadi adalah maloklusi, dan tepat pada saat terjadi pertukaran antara gigi susu dan gigi tetap, maloklusi akan berkembang bila pertumbuhan tulang rahang
10
menurun, gigi susu tanggal terlalu pagi, gigi susu belum tanggal pada waktunya serta erupsi gigi permanen terlambat (McDonald dkk., 2000; Pinkham dkk., 2005). Tahap pertumbuhan gigi-geligi anak secara teori pada tahap gigi bercampur dimulai pada usia 6 tahun dengan ditandai gigi Molar pertama bawah dan Insisifus pertama bawah permanen mulai erupsi. Pada usia 7 tahun gigi gigi permanen Molar pertama atas dan bawah telah berkontak satu sama lain dengan posisi sisi distal keduanya membentuk garis lurus vertikal, posisi Insisifus pertama permanen atas dan bawah belum kontak, sehingga terdapat ruang diantaranya. Selanjutnya usia 8 tahun gigi gigi susu insisifus kedua atas dan bawah sudah tanggal, tetapi gigi Insisivus kedua permanen atas dan bawah belum erupsi sempurna, sehingga terdapat ruang diantaranya, sedangkan posisi gigi gigi Insisivus pertama permanen atas dan bawah sudah saling kontak (Bishara, 2000). Pada usia 9 tahun semua gigi-geligi yang ada baik gigi susu dan permanen atas maupun bawah saling berkontak, sehingga terlihat tanpa ada ruang diantaranya. Usia 10 tahun gigi susu kaninus dan molar satu bawah serta molar satu atas telah tanggal, kontak gigi-geligi telah berubah, posisi Molar satu permanen bawah agak bergeser ke depan atau arah mesial, terdapat ruang akibat tanggalnya gigi dan belum sempurnanya erupsi gigi pengganti. Pada usia 11 tahun semua gigi susu baik atas dan bawah sudah tanggal, namun gigi gigi pengganti belum erupsi sempurna, sehingga tampak adanya ruang diantaranya. Pada usia 12 tahun semua gigi-geligi pengganti telah erupsi sempurna membentuk kontak atas
11
dan bawah, keadaan tersebut dapat dikatakan sebagai tahap awal gigi permanen muda (Bishara, 2000). Kondisi oklusi gigi geligi setiap individu berbeda dan sangat bervariasi, keadaan tersebut tergantung jaringan pendukung, umur, ukuran dan bentuk serta posisi gigi. Keadaan oklusi normal jarang ditemukan pada saat proses pertumbuhan gigi geligi, bila susunan gigi di rahang atas dan rahang bawah dikatakan harmonis maka disebut oklusi yang netral atau neuroklusi, Angle mengklasifikasikan sebagai oklusi Klas I (Hamilah, 2008). Hasil penelitian tipe oklusi yang paling banyak terjadi pada anak umur 1012 tahun adalah oklusi Klas I Angle , anak umur 9 tahun merupakan masa transisi pergantian gigi dengan ditandai adanya resobsi akar gigi geligi molar dan kaninus gigi susu dan munculnya gigi pengganti, jika ruang antar gigi geligi dalam lengkung rahang cukup, maka kedudukan molar gigi permanen akan menempati posisi netral (Foster, 1999). Variasi perkembangan oklusi Klas I Angle dapat terjadi posisi gigi geligi depan berjejal yang biasa terjadi pada kondisi tahap gigi bercampur. Gigi Insisifus lateral kebanyakan bererupsi dengan posisi berjejal, rotasi atau protusi (Foster, 1999). Foster (1999) juga mengatakan urutan erupsi di antaranya dipengaruhi oleh jenis kelamin, anak perempuan lebih dulu erupsi 5 bulan daripada anak laki-laki. Foster (1999)
menjelaskan
bahwa klasifikasi oklusi menurut Angle
merupakan klasifikasi hanya untuk menempatkan gigi geligi posterior baik rahang atas dan rahang bawah, dengan kedudukan pada bidang sagital, hubungan antero
12
posterior dengan gigi geligi pada posisi yang tepat dalam lengkung rahang. Kedudukan tonjol mesio bukal Molar pertama atas permanen berkontak dengan alur (Groove) bukal dari Molar pertama bawah permanen dikatakan sebagai klasifikasi Klas I Angle, jika gigi Insisifus sentralis dan lateralis pada lengkung rahang yang benar atau berada pada inklinasi yang tepat, dan didapatkan jarak over jet insisal adalah sebesar 3 mm diklasifikasikan sebagai kedudukan oklusi yang harmonis atau netral. Secara fonetik kedudukan gigi geligi yang paling berpengaruh adalah kondisi susunan gigi geligi insisifus sentralis dan lateralis dan terletak pada lengkung rahang. Berdasarkan klasifikasi Angle Klas I dengan kedudukan antara Molar satu permanen atas dan bawah normal, bila kedudukan gigi gigi Insisif tidak pada lengkung rahang yang baik, jarak over jet lebih dari 3 mm dan adanya ruang atau celah dikatakan mempunyai kelainan. Kelainan yang terjadi berupa gigi gigi depan yang berjejal, protrusif dan rotasi (Foster, 1999). Untuk pengucapan tutur sebagai sarana
membantu diagnosis kelainan
struktur organ bicara rongga mulut anak diperlukan daftar tutur kata bahasa Indonesia yang sering atau populer diucapkan anak sekolah dasar dilingkungan sekolah,
mengingat bahasa Indonesia mempunyai fonem 6 vokal dan 21
konsonan yang merupakan fonem lengkap, disusun, dibakukan dan dipergunakan sebagai alat uji pengucapan tutur bicara. Apabila ucapan terdengar tidak jelas akibat kualitas kata yang diucapkan tidak baik dapat dipastikan ada kelainan pada
13
struktur organ bicara pada rongga mulut (Laitman dan Reidenberg, 2009; Dardjowidjojo, 2010). Dalam uji pengucapan tutur diperlukan daftar kata valid dan reliabel yang dapat disusun, dibakukan dan diterapkan secara langsung dengan alat uji menggunakan perangkat program analisis pengucapan yang memperlihatkan grafik frekuensi suara dan amplitudo sebagai alat atau dasar penerapan kualitas pengucapan kata.. Pengucapan tutur kata diharapkan dapat sebagai metode yang menyenangkan dan sekaligus untuk mengetahui perubahan suara pada tahap pertumbuhan gigi bercampur (Lapilowa, 1988). Tutur bahasa Indonesia diambil dari kata-kata yang banyak di ucapkan anak-anak di lingkungan sekolah sebagai kata yang populer diucapkan. Pengucapan tutur kata berbahasa Indonesia dapat dideteksi secara langsung dengan melihat grafik frekuensi suara perekaman dari perangkat program analisis pengucapan, keadaan tersebut didasari bahwa setiap suara atau bunyi yang dihasilkan akan menghasilkan dan menggambarkan frekuensi suara dan amplitudo (Lapilowa, 1988; Clark dan Yallop, 1991). Daftar tutur kata bahasa Indonesia dapat disusun, dibakukan dan diterapkan sebagai alat uji pengucapan tutur, sehingga diharapkan dapat diketahui secara awal perubahan suara pada tahap pertumbuhan
gigi bercampur
berdasarkan umur, serta sebagai acuan berdasarkan pengucapan di segala kondisi kelainan oklusi untuk alat komunikasi yang tepat.
14
B. Permasalahan 1. Apakah daftar tutur kata dalam bahasa Indonesia yang mengandung vokal dan konsonan dapat disusun dan dibakukan sebagai alat uji pengucapan yang valid dan reliabel untuk deteksi adanya gangguan artikulasi ucapan dalam kaitannya dengan keadaan oklusi gigi geligi pada rongga mulut anak umur 9-12 tahun? 2. Apakah daftar tutur kata bahasa Indonesia yang disusun dan dibakukan dapat diterapkan sebagai alat uji pengucapan untuk membuktikan gangguan pengucapan secara
obyektif pada oklusi klas I Angle variasi kelainan
berjejal, protrusif, rotasi anak umur 9-12 tahun baik laki-laki maupun perempuan? C. Lingkup Penelitian 1. Penelitian dilakukan pada anak umur 9-12 tahun dari sejumlah sekolah dasar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta secara terseleksi. Daftar tutur kata bahasa Indonesia yang disusun hasil seleksi dari saat proses pembelajaran anak di kelas. 2. Penelitian dilakukan pada anak umur 9-12 tahun dari sejumlah sekolah dasar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta secara terseleksi. Daftar tutur kata bahasa Indonesia yang disusun dan dibakukan merupakan hasil seleksi dari saat proses pembelajaran anak di kelas, diterapkan sebagai uji pengucapan pada oklusi klas I Angle variasi kelainan berjejal, protrusif,
15
rotasi anak umur 9-12 tahun baik laki-laki maupun perempuan di lingkungan sekolah dasar. D. Tujuan 1. Umum: Menyusun dan membakukan daftar tutur kata bahasa Indonesia yang mengandung vokal dan konsonan yang dapat dipakai sebagai alat uji pengucapan pada anak-anak di lingkungan sekolah merupakan sumbangan dalam upaya pengembangan untuk mengetahui perubahan suara tahap pertumbuhan gigi geligi yang terjadi di rongga mulut anak untuk membantu, mempermudah dan mempercepat penentuan diagnosis. 2. Khusus: Menerapkan daftar tutur kata bahasa Indonesia yang telah disusun dan dibakukan diucapkan pada anak-anak umur 9-12 tahun dengan oklusi klas I Angle variasi kelainan berjejal, protrusif, rotasi di lingkungan sekolah dasar sebagai alat uji pengucapan. Daftar tutur kata bahasa Indonesia diharapkan dapat diterapkan secara klinis sebagai alat uji pengucapan. E. Manfaat 1. Ilmu Pengetahuan Daftar tutur
kata bahasa Indonesia yang diucapkan sebagai alat uji
pengucapan dapat langsung ditafsirkan dengan menggunakan perangkat program analisis pengucapan merupakan tindakan yang sangat penting dalam tahap pertumbuhan gigi. Pengucapan tutur kata dapat dipakai dan bermanfaat di bidang
16
kedokteran gigi anak secara klinis pada kondisi oklusi dan susunan gigi geligi yang mengalami kelainan. 2. Masyarakat Daftar tutur kata bahasa Indonesia sebagai alat uji pengucapan dapat dipakai oleh masyarakat khususnya kalangan pendidikan dasar dapat diterapkan sebagai acuan untuk melihat adanya kelainan pada organ bicara khususnya kondisi gigi geligi dengan memperhatikan oklusi dan susunan gigi yang akan mempengaruhi pengucapan. 3. Linguistik Daftar tutur kata bahasa Indonesia sebagai alat uji pengucapan dapat dipakai sebagai informasi untuk kalangan linguistik dalam pengembangan di bidang terapi kelainan bicara anak, dengan adanya kelainan pada organ bicara khususnya kondisi gigi geligi dengan memperhatikan oklusi dan susunan gigi akan mempengaruhi pengucapan.
F. Keaslian Selama ini di Indonesia belum ada daftar tutur kata/leksim bahasa Indonesia yang disusun, dibakukan dan diterapkan sebagai alat uji pengucapan bicara pada anak umur 9-12 tahun dengan oklusi klas I Angle variasi kelainan berjejal, protrusif dan rotasi di lingkungan sekolah dasar.