I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi merupakan tindakan bedah minor yang sering dilakukan dan menimbulkan luka pada soket gigi dan tulang alveolar. Proses penyembuhan tulang alveolar pasca pencabutan gigi merupakan hal yang penting untuk perawatan dental, terutama jika setelah pencabutan gigi akan dilakukan perawatan lanjutan seperti pemasangan protesa (implan atau gigi tiruan jembatan) dan perawatan ortodontik (Dharma et al., 2010; Haghighat et al., 2011; Zhang et al., 2012). Penyem buhan tulang pasca pencabutan gigi terjadi dalam empat tahap proses biologis
yang
kompleks,
yaitu:
1)
Tahap
eksudatif
yang
ditandai
dengan
pembentukan jendalan darah dan sel-sel inflamasi (makrofag, monosit, limfosit, sel polim orfonuklear).
Selanjutnya,
fibroblas berinfiltrasi ke
dalam
tulang yang
dimediasi oleh prostaglandin (1-7 hari pasca pencabutan gigi pada tikus), 2) Tahap proliferasi, ditandai oleh proliferasi sel, pengembangan dan maturasi jaringan ikat (714 hari pasca pencabutan gigi pada tikus), 3) Tahap reparasi, yakni terjadi penggantian jaringan ikat oleh trabekula tulang (14 -21 hari pasca pencabutan gigi pada tikus), dan 4) Tahap remodeling, yakni proses penggantian jaringan tulang primer dengan jaringan tulang sekunder (hari ke -21 pasca pencabutan gigi pada tikus) (Fernandes et al., 2012). Proses penyembuhan tulang pasca pencabutan gigi telah diteliti secara histologis maupun radiografik pada manusia dan hewan coba. Penelitian proses penyembuhan tulang pasca pencabutan gigi pada tikus secara histologis yang telah 1
2
dilakukan menggunakan pewarnaan hematoxylin-eosin dengan parameter derajat pembentukan tulang baru atau fraksi volume trabekula dari kom ponen penyembuhan tulang alveolar (jendalan darah, jaringan ikat, dan trabekula tulang) yang dipe rkirakan dengan menggunakan metode differential point-counting (Brandao et al., 2002; Yugoshi et al., 2002; Calixto et al., 2007; Teofilo et al., 2010; M anrique et al., 2012). Penelitian proses penyembuhan tulang alveolar yang dilakukan oleh Carvalho et al. (1997), Yugoshi et al. (2002), Fracon et al. (2010), M anrique et al. (2012), Rodrigues et al. (2010) menggunakan tikus sebagai hewan coba. Tikus merupakan pilihan utama hewan coba untuk proses penyembuhan tulang. Penyembuhan tulang pasca pencabutan gigi pada tikus merupakan model eksperimen yang sesuai untuk mempelajari pembentukan tulang (Pearce, 2007; Gorustovich et al., 2008). Proses penyembuhan tulang alveolar pada
tikus berdasarkan analisis
histologis selesai pada minggu ke-3 setelah pencabutan gigi, sedangkan analisis kuantitatif menunjukkan peningkatan yang signifikan pembentukan tulang baru pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 (Brandao et al., 2002; Calixto et al., 2008). Pembentukan tulang maksimum dan densitas mineral tulang maksimum terjadi pada akhir minggu ke-2 atau hari ke-14 setelah pencabutan gigi tikus (Teofilo et al., 2010). Calixto et al. (2008) mengamati proses penyembuhan tulang alveolar pada tikus pada minggu
ke-9
setelah
pencabutan
gigi
dengan
pertimbangan
akhir
periode
penyembuha n tulang. Perawatan tulang alveolar setelah pencabutan gigi adalah masalah yang perlu diatasi dalam kaitannya dengan rehabilitasi fungsi pengunyahan (Brandao et al.,
3
2002). Kehilangan tulang alveolar dapat muncul sebelum pencabutan gigi karena penyakit periodontal, kelainan periapikal atau karena trauma pada gigi atau tulang. Kerusakan pada tulang selama proses pencabutan gigi juga dapat menyebabkan atrofi tulang alveolar. Volume tulang alveolar yang cukup dan bentuk alveolar ridge sangat penting untuk mendapatkan fungsi yang ideal dan mengembalikan fungsi estetika (Schropp et al., 2003). Kehilangan tulang vertikal dan horizontal memiliki dampak pada target perawatan untuk memperbaiki kehilangan gigi. Konsekuensi kehilangan tinggi tulang dan lebar ridge menyebabkan kesulitan penempatan ideal implan dan permasalahan estetik gigi tiruan (Coslyn et al., 2011; Kan et al., 2003). Beberapa teknik untuk mengatasi kekurangan tulang yang ditujukan untuk mempersiapkan soket gigi dan dengan cara demikian meminimalkan kehilangan tulang. Termasuk didalamnya teknik pemasangan im mediate im plant ( Coslyn et al., 2011; Kan et al., 2003), pencabutan gigi tanpa flap (Fickl et al., 2008) dan penggunaan berbagai bahan cangkok tulang berbahan dasar hidroksiapatit dengan atau tanpa membran (Baldini et al., 2011; Bornstein et al., 2008). Komposisi hidroksiapatit (Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 ) sebagai mineral anorganik utama penyusun tulang memberikan sifat osteokonduktif yang baik dengan kesamaan gambaran kristalografi mineral tulang (Gosh, 2008). Hidroksiapatit dikenal memiliki biokompatibilitas baik dan kemampuan untuk membentuk ikatan kimia yang kuat dengan jaringan tulang. Hidroksiapatit dapat meremineralisasi jaringan tulang yang hilang atau mengalami kerusakan tanpa menyebabkan reaksi penolakan oleh tubuh (Ylinen, 2006).
4
Beberapa bahan baku alami yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan hidroksiapatit yaitu coral, seashells, cangkang telur, cuttlefishshells, natural gypsum, natural calcite, tulang sapi (bovine bone). Hidroksiapatit dari bahan baku alami mempunyai beberapa keunggulan penting yaitu, tersedia hampir di seluruh dunia dalam jumlah yang cukup banyak, harga bahan b aku yang sangat rendah bahkan gratis karena termasuk kategori sam pah biologis. Tulang sapi merupakan pilihan yang tepat karena selain tersedia dalam jumlah yang banyak, hidroksiapatit dari tulang sapi sangat kuat (Ozyegin et al., 2004). Tulang sapi digunakan untuk sintesis hidroksiapatit karena secara morfologi dan struktur sama dengan tulang manusia (Ooi et al., 2007). Tulang sapi mudah didapatkan dengan biaya yang murah dan tersedia dalam persediaan yang tak terbatas, pemanfaatannya sangat sederha na dengan peralatan yang tidak mahal, cepat dan sangat efisien dalam pembuatannya (Herliansyah et al., 2012). Pembuatan hidroksiapatit dengan metode defatting/deproteinnization sangat efektif untuk menghasilkan hidroksiapatit yang murah namun berkualitas karena tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk pengadaan material maupun peralatannya. Hidroksiapatit
yang
dihasilkan
memiliki
karakteristik
yang
m irip
dengan
hidroksiapatit sintetik (komersial), dan sudah umum digunakan dalam aplikasi biomedis (Herliansyah et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Jensen et al., (2006) membandingkan autograft,
ß-tricalcium
phosphate
dan
anorganic
bovine,
kedua
bahan
ini
menunjukkan terjadinya osseous integrasi yang lengkap. Herliansyah et al., (2007)
5
membandingkan hidroksiapatit yang diproduksi dari tulang sapi buatan laboratorium teknik Universitas Gadjah M ada, gypsum dan kalsit, didapatkan bahwa kristalinitas dan fase purity bovine hydroxyapatite lebih tinggi daripada hidroksiapatit dari gipsum dan kalsit. M enurut Suzuki et al., (2005) kristalinitas yang tinggi akan menambah kekuatan mekanik hidroksiapatit, tetapi kristalinitas yang terlalu tinggi a kan memperlambat resorpsi hidroksiapatit . Beberapa graft berbahan dasar hidroksiapatit dari tulang sapi yang telah beredar luas dipasaran baik produksi luar negeri se perti Bio-Oss maupun dalam negeri produksi BATAN, Pusat Bank Jaringan Dr Sutomo Surabaya . Dalam penelitian
ini
digunakan
bovine
hydroxyapatite
buatan
laboratorium
teknik
Universitas Gadjah M ada sebagai pilihan bahan cangkok tulang. Kemudian bovine hydroxyapatite di im plantasikan pada hewan coba (Rattus Novergicus) dan dievaluasi secara histologis. Selain hal diatas, tingginya harga graf hydroxyapatite sintetik menjadi salah satu latar belakang utama penelitian ini. Atas dasar ini, pengembangan ap likasi bone graft sintetik produksi lokal dengan nilai ekonomis yang terjangkau diharapkan dapat menjawab tantangan sebagai alternatif pilihan bone graft komersial yang sudah ada.
B. Permasalahan Apakah implantasi intraalveolar bahan cangkok tulang bovine hydroxyapatite menambah besar fraksi area trabekula ?
6
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh implantasi intraalveolar bahan cangkok tulang bovine hydroxyapatite terhadap fraksi area trabekula. D. Manfaat Penelitian M anfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: M emberi tambahan informasi mengenai penggunaan bahan alternatif untuk penyembuhan tulang yang biokompatibel terhadap tubuh. M anfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah: M enambah informasi ilm iah mengenai pengaruh implantasi intraalveolar bahan cangkok tulang bovine hydroxyapatite terhadap fraksi area trabekula. E. Keaslian Penelitian Penelusuran
melalui
Pubmed
dengan
kata
kunci
anorganic
bovine
hydroxyapatite ditemukan artikel yang paling mirip dengan penelitian ini adalah Calixto et al., (2008) yang membandingkan penyembuhan tulang pada soket gigi tikus yang diimplantasi graft organic bovine dengan anorganic bovine. Hasil pelacakan literatur ilmiah melalui Repository perpustakaan UGM ditemukan beberapa penelitian yang mirip dengan penelitian ini adalah p enelitian mengenai pengaruh penggunaan demineralisasi matrik tulang X enogen dari tulang sapi terhadap pembentukan tulang baru telah dilakukan oleh Sudiro (2004). Penelitian mengenai evaluasi struktur bovine hydroxyapatite yang dihasilkan oleh Universitas Gadjah M ada dibandingkan dengan bahan cangkok tulang sintetis sebagai substitusi tulang telah dilakukan oleh Sisidra (2012). Penelitian mengenai pengaruh implantasi
7
intraalveolar bahan cangkok tulang bovine hydroxyapatite terhadap fraksi area trabekula sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tabel 1. Perbandingan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan Referensi Sudiro (2004)
Persamaan
Perbedaan
M enggunakan xenograft dari
M enggunakan xenograft
tulang sapi (Pusat Bank Jaringan
komersial
Dr Sutomo Surabaya), Penilaian terhadap pembentukan tulang baru Yunanthi (2009)
M enggunakan bovine
Sisindra (2012)
graf
xenograft
anorganic
Sebagai pembandingnya
(produksi
Demineralized Freeze-D ried
BATAN)
Bone Allograft (DFDBA)
M embandingkan graf bovine
Penelitian mengenai evaluasi
hydroxyapatite
struktur bovine hydroxyapatite dibandingkan dengan graf sintetis komersial