BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Osteoporosis didefinisikan sebagai kondisi rendahnya kepadatan mineral tulang disertai dengan perubahan mikroarsitektural tulang, peningkatan kerapuhan tulang dan peningkatan risiko terjadinya fraktur atau patah tulang (Kanis et al., 1994). Osteoporosis sering disebut silent disease, karena menyerang secara diam-diam tanpa disertai tanda-tanda khusus sampai akhirnya terjadi fraktur (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Osteoporosis merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh gaya hidup dan dapat dicegah dengan perubahan gaya hidup (Yoshii et al., 2007). Analisis data risiko osteoporosis yang dilakukan pada tahun 2005 oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan nutrisi menunjukkan bahwa dari 65.727 sampel yang berasal dari 16 daerah terpilih di Indonesia terdapat prevalensi osteopenia sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%. Berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia berisiko terkena osteoporosis, yaitu 41,2% dari keseluruhan sampel yang berusia kurang dari 55 tahun terdeteksi menderita osteopenia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Industri
dan
popularitas
minuman
ringan
berkarbonasi
terus
berkembang (Steen dan Ashurst, 2006). Dalam waktu hampir 30 tahun terakhir, terjadi peningkatan konsumsi minuman manis (sugar-sweetened
1
beverages , termasuk di dalamnya soda, minuman rasa buah dan punch) secara dramatis pada anak-anak dan remaja di Amerika Serikat (Nielsen dan Popkin, 2004). Pada tahun 2010, diketahui terjadi peningkatan konsumsi minuman ringan
di
Inggris
sebesar
4,1%
dari
tahun
2009
yaitu
226,9
liter/kapita/tahun menjadi 235,1 liter/kapita/tahun (The 2011 UK Soft Drink Report, 2011). Hasil penelitian Dehdari dan Mergen (2012) menunjukkan 94,1% siswa yang menjadi subjek penelitian mengonsumsi minuman ringan secara teratur. Menjamurnya restoran cepat saji di berbagai tempat juga dapat meningkatkan asupan minuman ringan. Berdasarkan hasil penelitian French et al (2001), terjadi peningkatan asupan minuman ringan sebesar 42% pada remaja perempuan yang makan di restoran sepat saji, sementara pada remaja pria diketahui peningkatannya sebesar 45%. Substitusi susu dengan minuman berkarbonasi maupun minuman bernutrisi rendah lainnya berpengaruh terhadap mineral tulang remaja (Whiting et al., 2001). Asupan minuman cola dapat meningkatkan risiko fraktur pada anak-anak (Ma dan Jones, 2004). Dalam beberapa tahun terakhir, rendahnya massa atau kepadatan tulang pada anak dan remaja telah menarik perhatian. Di satu sisi, ada peningkatan kesadaran bahwa massa mineral tulang yang diperoleh pada akhir pertumbuhan dan perkembangan merupakan faktor penentu
2
utama osteoporosis di masa depan; di sisi lain, masalah osteoporosis juga semakin meningkat pada usia muda (Bianchi, 2007). Masa
remaja
merupakan
masa-masa
kritis
untuk
puncak
pembentukan massa tulang (peak bone mass) serta membentuk kebiasaan yang dapat membantu meningkatkan kesehatan tulang (Gordon, 2006; Huncharek et al., 2008). Kebiasaan tersebut meliputi konsumsi kalsium dan vitamin D sesuai jumlah yang direkomendasikan, melakukan aktivitas fisik secara teratur serta tidak mengonsumsi alkohol maupun merokok (Bass et al., 2007; Lambert et al., 2008). Survey nasional di Amerika pada tahun 2001-2002 menunjukkan hanya sekitar 31% remaja laki-laki dan hanya 9% remaja perempuan berusia
14-18
tahun
yang
mengonsumsi
kalsium
sesuai
yang
direkomendasikan (Moshfeg et al., 2005). Menurut Cook dan Friday (2005), remaja laki-laki usia 12-19 tahun yang mengonsumsi susu maupun produk susu sesuai anjuran hanya 32% dan untuk remaja perempuan hanya 17%. Hasil penelitian Cais-Sokolinska dan Borski (2010) menunjukkan bahwa asupan kalsium pada anak dan remaja usia 10-18 tahun di Polandia sangat rendah yaitu hanya 38% dari total jumlah yang direkomendasikan. Masa
dewasa
muda
merupakan
kesempatan
terakhir
untuk
memaksimalkan pembentukan tulang. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti seputar asupan kalsium dan frekuensi
3
konsumsi minuman ringan dalam kaitannya dengan massa tulang mahasiswa S1 UGM Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah ada hubungan asupan kalsium dengan massa tulang mahasiswa S1 UGM Yogyakarta? 2. Apakah ada hubungan konsumsi minuman ringan berkarbonasi dengan massa tulang mahasiswa S1 UGM Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara asupan kalsium dan konsumsi minuman ringan dengan massa tulang pada mahasiswa S1 UGM Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan asupan kalsium dengan massa tulang mahasiswa S1 UGM Yogyakarta. b. Mengetahui hubungan konsumsi minuman ringan berkarbonasi dengan massa tulang mahasiswa S1 UGM Yogyakarta.
4
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a. Bagi mahasiswa/I S1 UGM Yogyakarta Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
mengenai gambaran seputar hubungan antara asupan kalsium dan konsumsi minuman ringan berkarbonasi dengan massa tulang. b. Bagi masyarakat Memberikan informasi akan pentingnya pemenuhan zat gizi, khususnya kalsium, demi pembentukan dan kesehatan tulang sebagai pencegahan terjadinya osteoporosis di kemudian hari. 2. Manfaat Teoretis a. Bagi peneliti Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pemahanan peneliti selama persiapan, menjalankan proses penelitian dari awal hingga akhir dan pelaporan hasil. b. Bagi peneliti lain Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
5
E. Keaslian Penelitian 1. Tucker et al. (2006) meneliti tentang Colas, but Not Other Carbonated Beverages, are Associated with Low Bone Mineral Density in Older Women : The Framingham Osteoporosis Study. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan konsumsi minuman
cola
dengan
rendahnya
massa
tulang. Rancangan
penelitian ini adalah cohort. Subjek dalam penelitian ini yaitu 1125 pria dan 1413 wanita yang berpartisipasi dalam Framingham Osteoporosis Study di Amerika Serikat. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu konsumsi cola sedangkan variabel terikatnya yaitu kepadatan mineral tulang (bone mass density/ BMD). Data konsumsi cola serta minuman ringan non-cola lainnya diperoleh dari pengisian formulir Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan data BMD diperoleh dengan pengukuran langsung mneggunakan dual X-ray absorptiometry di bagian pinggul kanan dan lumbar tulang belakang. Uji statistik yang digunakan yaitu post-hoc comparisons dan Tukey-Kramer, dan seluruh analisis statistik diuji menggunakan program SAS for Windows versi 9.1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan minuman cola, namun tidak termasuk minuman ringan berkarbonasi lainnya, berhubungan dengan rendahnya kepadatan mineral tulang pada wanita.
6
Persamaan dengan penelitian ini yaitu variabel bebas (konsumsi
minuman
ringan
berkarbonasi),
variabel
terikat
(massa/kepadatan tulang) serta instrumen yang digunakan yaitu formulir FFQ. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada rancangan penelitian, variabel bebas (minuman ringan berkarbonasi yang diteliti pada penelitian ini lebih umum, tidak hanya cola. Selain itu diteliti juga hubungan antara asupan kalsium dan massa tulang), instrumen yang digunakan
untuk
mengukur
massa
tulang
(penelitian
ini
menggunakan ultrasound bone densitometry), program dan uji statistik yang digunakan, serta karakteristik subjek di mana subjek pada penelitian ini yaitu pria dan wanita berusia 19-25 tahun.
2. Gutin et al. (2011) meneliti tentang Relations of Diet and Physical Activity to Bone Mass and Height in Black and White Adolescents. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh diet dan aktivitas fisik terhadap bone mineral content (BMC) remaja. Rancangan penelitian ini yaitu cross-sectional dengan subjek 660 remaja berusia 14-18 tahun yang berasal dari ras hitam maupun putih. Variabel bebas penelitian ini yaitu total asupan energi, distribusi makronutrien, porsi produk susu, vitamin D, kalsium,dan aktivitas fisik. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu bone mineral content (BMC) dan tinggi badan.
7
Data asupan/diet diperoleh dari 24-h food recall dan data aktivitas fisik diperoleh dari recall aktivitas fisik hari sebelumnya. Bone mineral content (BMC) diukur secara langsung dengan dual energy Xray absorptiometry. Adapun uji statistik yang digunakan yaitu korelasi Pearson. Hasil dari penelitian ini adalah ada pengaruh dari ras, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik dan asupan zat gizi (energi, porsi produk susu, asupan kalsium dan vitamin D) terhadap level BMC dalam kaitannya dengan massa tulang serta tinggi badan remaja. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada desain penelitian, variabel bebas (asupan kalsium) dan variabel terikat (massa tulang). Perbedaan terletak pada karakteristik subjek, variabel bebas (konsumsi minuman ringan berkarbonasi), variabel terikat, uji statistik serta instrumen yang digunakan (penelitian ini menggunakan FFQ untuk mengetahui data asupan kalsium serta minuman ringan berkarbonasi, sedangkan massa tulang diukur dengan ultrasound bone densitometry).
3. Sinaga (2010) meneliti tentang Hubungan antara Asupan Kalsium dan Status Gizi dengan Massa Tulang pada Mahasiswa Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan kalsium dan status gizi dengan massa tulang pada
8
mahasiswa Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan cross-sectional, dengan subjek berusia 18-21 tahun sebanyak 55 orang. Variabel bebas dari penelitian ini yaitu asupan kalsium dan status gizi, sedangkan variabel terikatnya yaitu massa tulang. Data asupan kalsium diperoleh dengan pengisian formulir food record 3x24 jam. data status gizi diperoleh
dengan
pengukuran
tinggi
badan
(menggunakan
microtoise) dan berat badan (menggunakan timbangan injak digital) secara langsung. Massa tulang juga diukur secara langsung pada bagian
tumit
kaki
menggunakan
alat
ukur
massa
tulang
(sonodensitometer). Uji statistik yang digunakan yaitu Chi-Square Test. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan baik status gizi (indeks massa tubuh) dan asupan kalsium pada subjek. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada karakteristik subjek (subjek pada penelitian juga mencakup usia ≥ 19 tahun), variabel bebas (asupan kalsium) variabel terikat (massa tulang) serta instrumen yang digunakan (microtoise, timbangan injak digital serta sonodensitometer untuk mengukur kepadatan tulang tumit kaki). Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas yang diteliti (konsumsi minuman ringan berkarbonasi), instrumen untuk data asupan kalsium dan minuman ringan berkarbonasi (Food Frequency Questionnaire (FFQ) serta uji statistik yang digunakan.
9