BAB I PENDAHULUAN
1.1.1
Latar Belakang Fraktur femur merupakan salah satu trauma mayor di bidang Orthopaedi. Dikatakan
sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga diperlukan suatu trauma yang besar yang dapat menyebabkan fraktur pada femur tersebut. Selain itu, fraktur femur juga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan sebanyak 1-1,5 liter yang merupakan 25% - 30% dari total 5-6 liter volume darah dalam tubuh manusia. Perdarahan yang terjadi dalam jumlah sebanyak itu dapat mengakibatkan terjadinya hipoperfusi jaringan yang tersembunyi (Occult hypoperfusion) dan apabila hipoperfusi jaringan tersebut terjadi dan tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik dan gangguan perfusi jaringan yang lebih berat. Gangguan perfusi jaringan ini dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) dan occult hypoperfusion tersebut juga dapat meningkatkan terjadinya komplikasi pasca operasi bila dilakukan tindakan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF). Gangguan perfusi salah satunya ditandai dengan adanya peningkatan kadar laktat dibandingkan kadar laktat normal. (Crowl dkk, 2000; Perez, 2003) Kadar laktat darah dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai terjadinya gangguan mikrovaskular dan secara cepat dapat memberikan gambaran hipoperfusi atau hipoksia jaringan. Laktat dibentuk dari perubahan piruvat menjadi laktat oleh enzim laktat dehidrogenase pada keadaan insufisiensi oksigen. Kadar laktat darah telah banyak dipelajari dan digunakan sebagai petanda biokimia adanya hipoksia jaringan yang berat (O’brien et al. 2007). Peningkatan serum
laktat adalah ukuran tidak langsung dari keperluan oksigen dan keparahan serta durasi dari syok. Penentuan kadar laktat penting pada pasien dengan syok, sepsis, pasca operasi, trauma, cedera paru akut dan keracunan. Kadar laktat yang tinggi berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi. Kadar laktat yang diukur pada 24 jam setelah masuk rumah sakit mempunyai sensitivitas 55,6% dan spesifitas 97,2% yang lebih baik untuk memperkirakan prognosis pasien (Mustafa I. 2002). Mekanisme kompensasi dari tubuh dan pengisian transkapiler akan memulihkan volume darah dalam 24 jam pada perdarahan yang terjadi sampai 15% dari volume total darah sehingga pengukuran kadar laktat yang dilakukan setelah 24 jam akan memberikan hasil yang bias. Perdarahan pada fraktur femur akan menyebabkan hipoperfusi yang berujung pada hipoksia jaringan apabila terjadi kegagalan fase kompensasi sistem kardiovaskuler. Hipoksia akan mengubah metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan peningkatan serum laktat (Crowl dkk, 2000). Pasien
dengan sepsis dan syok akan terjadi
insufisiensi kardiovaskuler yang selanjutnya menyebabkan hipoksia jaringan. Peningkatan laktat pada syok sepsis karena terjadi peningkatan produksi dari organ-organ yang mengalami hipoksia. Produksi tersebut dapat melebihi metabolisme laktat di hepar sehingga terjadi peningkatan kadar laktat di darah. Beberapa penelitian eksperimental menemukan peningkatan serum laktat terjadi segera setelah hipoksia jaringan (Baker & Lima, 2004). Pada fraktur femur dengan perdarahan yang cukup banyak jika tidak dilakukan resusitasi akan menyebabkan hipoksia dan iskemik jaringan. Keadaan iskemik ini akan memicu terjadinya peningkatan mediator proinflamasi untuk mempertahankan fungsi jaringan dan membunuh mikroorganisme.
Peningkatan
yang
berlebihan
dari
mediator
inflamasi
menyebabkan terjadinya Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS).
inilah
yang
Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) merupakan suatu respon inflamasi dan aktivasi proliferasi sel terhadap suatu cedera yang terjadi (Lin dkk, 2003). Tujuan respon ini adalah untuk mempertahankan fungsi jaringan dan mengeradikasi mikroorganisme. Respon sistemik ini dibagi menjadi dua fase yaitu : fase proinflamasi yang ditandai aktivasi proses seluler untuk mempertahankan fungsi jaringan dan membunuh mikroorganisme, dan fase anti inflamasi untuk mencegah aktivitas berlebih dari mediator proinflamasi (Lin dkk, 2008). Walaupun respon ini berfungsi untuk pertahanan tubuh, namun jika berlebihan hal ini akan merugikan tubuh. SIRS akan dapat berkembang menjadi suatu keadaan yang disebut dengan Multiple Organ Dysfunction (MOD) dan Multiple Organ Failure (MOF) bahkan sampai berakhir dengan kematian. Untuk mengurangi kejadian SIRS pada fraktur femur maka perlu dilakukan resusitasi cairan yang cukup untuk mencegah terjadinya hipoperfusi tersembunyi (occult hypoperfusion). Beberapa studi menunjukkan hipoperfusi tersembunyi dapat menyebabkan peningkatan risiko pasca tindakan Open Reduction Internal Fixation (ORIF) (Crowl dkk, 2000;Meregalli dkk, 2004). Resusitasi meliputi patensi jalan nafas, kontrol perdarahan yang terjadi, dan resusitasi cairan intravena (Peitzman, 2008). Ketiga hal ini harus dilakukan secara simultan. Pasien dengan perdarahan aktif tidak akan berhasil di resusitasi tanpa dilakukan kontrol perdarahan yang terjadi. Namun, beberapa pasien ditemukan tidak mengalami perbaikan meskipun telah dilakukan resusitasi yang memadai dan kontrol perdarahan. Hal ini disebabkan karena durasi syok yang telah memasuki fase ireversibel. Melihat dari hal tersebut penting diketahui pengenalan awal terhadap gejala hipoperfusi, karena beberapa kasus hipoperfusi dapat terjadi tersembunyi (occult), dengan output urin dan tanda vital yang normal. Pada pasien dengan perdarahan yang masif sering ditemui terjadinya gejala hipotermi yang
membuat pemeriksaan untuk mengetahui akses oksigen ke jaringan menjadi sulit (Martin dkk, 2005). Pemeriksaan serum laktat sudah diterima secara luas sebagai salah satu cara untuk mengukur perfusi jaringan, terutama lebih sensitif untuk perfusi jaringan perifer. Prosedur penanganan fraktur femur tertutup di RSUP Sanglah yang tanpa disertai cedera organ
yang
lain
dan
tanpa
disertai
tanda-tanda
gangguan
hemodinamik
(hipotensi,takikardi,anemia,distress nafas), yaitu dengan pemberian cairan maintenance NaCl 0,9% dan pemasangan skin traksi sebelum dilakukan tindakan definitive pada fraktur femur tersebut. Pemeriksaan serum laktat perlu dilakukan sebelum pemberian cairan untuk mengetahui tanda-tanda terjadinya hipoperfusi dan sesudah pemberian cairan maintenance NaCl 0,9% untuk mengetahui keberhasilan pemberian cairan tersebut dalam mengatasi hipoperfusi yang terjadi. Keberhasilan resusitasi ditandai dengan penurunan kadar laktat sesudah dilakukan pemberian cairan NaCl 0,9% tersebut. Nilai laktat normal berkisar antara 0,5-1,5 mmol/L (Phypers dan Pierce, 2006). Nilai laktat > 2,5 mmol/ L menandakan terjadinya hipoperfusi yang memerlukan tindakan resusitasi yang lebih agresif. Kadar laktat dapat digunakan untuk membedakan tingkat survival pasien dalam 24 jam (Dollery dan Driscoll, 1999). Sensitivitas pengukuran dapat ditingkatkan dengan juga mengukur pH intramucosal lambung. Kadar laktat >2,5 mmol/L setelah dilakukannya resusitasi memerlukan intervensi yang lebih agresif, karena menandakan hipoperfusi yang telah berlangsung lama. Meskipun memiliki keuntungan sebagai indikator dalam mengukur syok, serum laktat memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak bisa digunakan berkelanjutan dan dapat dipengaruhi keadaan lain yang menyebabkan asidosis selain syok. Kadar laktat sebelum dan sesudah pemberian cairan maintenance NaCl 0,9% pada pasien fraktur femur tertutup dan tanpa disertai gangguan hemodinamik belum pernah dilakukan. Pengukuran kadar laktat sebelum pemberian cairan maintenance perlu dilakukan untuk
mengetahui adanya peningkatan kadar laktat yang merupakan tanda terjadinya occult hypoperfusion, yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya SIRS dan meningkatkan komplikasi pasca operasi bila dilakukan tindakan ORIF.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terjadi peningkatan kadar laktat dibandingkan dengan kadar laktat normal pada fraktur femur tertutup dengan hemodinamik yang stabil ? 2. Apakah pemberian cairan maintenance NaCl 0,9% akan menurunkan kadar laktat pada pasien fraktur femur tertutup dengan hemodinamik yang stabil ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui efek pemberian cairan maintenance NaCl 0,9% terhadap penurunan kadar laktat pada fraktur femur tertutup dengan hemodinamik yang stabil.
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk membuktikan terjadinya peningkatan kadar laktat dibandingkan dengan kadar laktat normal pada fraktur femur tertutup dengan hemodinamik yang stabil. 2. Untuk membuktikan bahwa pemberian cairan maintenance NaCl 0,9% akan menurunkan kadar laktat pada pasien fraktur femur tertutup dengan hemodinamik yang stabil.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis Jika penelitian ini benar maka akan memberikan sumbangan kepada akademisi bahwa benar terjadi peningkatan kadar laktat dibandingkan kadar laktat normal pada fraktur femur tertutup dengan hemodinamik yang stabil. 1.4.2 Manfaat praktis Dengan pengukuran kadar laktat sebelum dan sesudah pemberian cairan maintenance cairan NaCl 0,9% dapat menunjukkan keadaan hipoperfusi, yang jika tidak mendapatkan penanganan yang baik akan menyebabkan peningkatan mediator inflamasi. Pengenalan lebih awal terhadap terjadinya hipoperfusi akan meningkatkan kewaspadaan dan penanganan terhadap pasien yang sudah mengalami terjadinya hipoperfusi tersebut.